LP Trakeostomi
LP Trakeostomi
TRAKEOSTOMI
A. ANATOMI TRAKEA
Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago. Panjang
trakea pada orang dewasa 10-12 cm. Trakea berawal dari kartilago krikoid yang
berbentuk cincin dan meluas ke anterior pada esofagus, turun ke dalam thoraks dimana ia
membelah menjadi dua bronkus utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher
berjalan sejajar dengan trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis.
Kelenjar tiroid terletak di atas trakea di setelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea
di sebelah anterior, biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus
rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi
trakea di bagian depan adalah otot-otot supra sternal yang melekat pada kartilago tiroid
dan hioid.
B. DEFINISI TRAKEOSTOMI
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior
trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan
memintas jalan nafas bagian atas (Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi, 2004).
Trakeostomi adalah tindakan membuat stoma atau lubang agar udara dapat
masuk ke paru-paru dengan memintas jalan nafas bagian atas (Adams, 1997).
Trakeostomi merupakan tindakan operatif yang memiliki tujuan membuat jalan nafas baru
pada trakea dengan membuat sayatan atau insisi pada cincin trakea ke 2,3,4.
Trakeostomi merupakan suatu prosedur operasi yang bertujuan untuk membuat
suatu jalan nafas didalam trakea servikal. Perbedaan kata–kata yang dipergunakan dalam
membedakan “ostomy” dan “otomy” tidak begitu jelas dalam masalah ini, sebab lubang
yang diciptakan cukup bervariasi dalam ketetapan permanen atau tidaknya. Apabila
kanula telah ditempatkan, bukaan hasil pembedahan yang tidak dijahit dapat sembuh
dalam waktu satu minggu. Jika dilakukan dekanulasi (misalnya kanula trakeostomi
dilepaskan), lubang akan menutup dalam waktu yang kurang lebih sama. Sudut luka dari
trakea yang dibuka dapat dijahit pada kulit dengan beberapa jahitan yang dapat
diabsorbsi demi memfasilitasi kanulasi dan, jika diperlukan, pada rekanulasi; alternatifnya
stoma yang permanen dapat dibuat dengan jahitan melingkar (circumferential). Kata
trakeostomi dipergunakan, dengan kesepakatan, untuk semua jenis prosedur
pembedahan ini. Perkataan tersebut dianggap sebagai sinonim dari trakeotomi.
C. FUNGSI TRAKEOSTOMI
Fungsi dari trakheostomi antara lain:
1. Mengurangi tahanan aliran udara pernafasan yang selanjutnya mengurangi kekuatan
yang diperlukan untuk memindahkan udara sehingga mengakibatkan peningkatan
regangan total dan ventilasi alveolus yang lebih efektif. Asal lubang trakheostomi
cukup besar (paling sedikit pipa 7)
2. Proteksi terhadap aspirasi
3. Memungkinkan pasien menelan tanpa reflek apnea, yang sangat penting pada
pasien dengan gangguan pernafasan
4. Memungkinkan jalan masuk langsung ke trachea untuk pembersihan
5. Memungkinkan pemberian obat-obatan dan humidifikasi ke traktus respiratorius
6. Mengurangi kekuatan batuk sehingga mencegah pemindahan secret ke perifer oleh
tekanan negatif intra toraks yang tinggi pada fase inspirasi batuk yang normal.
Sedangkan untuk kontraindikasi dari trakeostomi antara lain adalah adanya infeksi
pada tempat pemasangan, dan gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol, seperti
hemofili.
E. KLASIFIKASI
1. Menurut Lama Pemasangan
a) Permanen (Tracheal Stoma Post Laryngectomy)
Tracheal cartilage diarahkan kepermukaan kulit, dilekatkan pada leher. Rigiditas
cartilage mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga tidak diperlukan
tracheostomy tube (canule).
b) Sementara (Tracheal Stoma without Laryngectomy)
Trachea dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat obstruksi.
Digunakan tracheostomy tube (canule) terbuat dari metal atau Non metal (terutama
pada penderita yang sedang mendapat radiasi dan selama pelaksanaan MRI
Scanning).
2. Menurut Letak Insisi
a) Insisi Vertikal
Dilakukan pada keadaan darurat
b) Insisi Horisontal.
Dilakukan pada keadaan elektif.
3. Menurut Waktu Dilakukan Tindakan
a) Darurat
Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawat darurat. Dilakukan
pembuatan lubang di antara cincing trakea satu dan dua atau dua dan tiga. Karena
lubang yang dibuat lebih kecil, maka penyembuhan lukanya akan lebih cepat dan
tidak meninggalkan scar. Selain itu, kejadian timbulnya infeksi juga jauh lebih kecil.
Menggunakan teknik insisi vertical.
b) Non-Darurat
Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruang operasi.
Insisi dibuat di antara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-5 cm.
Menggunakan teknik insisi horizontal.
2. Uncuffed Tubes; Digunakan pada tindakan trakeostomi dengan penderita yang tidak
mempunyai risiko aspirasi.
3. Trakeostomi dua cabang (dengan kanul dalam); Dua bagian trakeostomi ini dapat
dikembangkan dan dikempiskan sehingga kanul dalam dapat dibersihkan dan diganti
untuk mencegah terjadi obstruksi.
4. Silver Negus Tubes; Terdiri dari dua bagian pipa yang digunakan untuk trakeostomi
jangka panjang. Tidak perlu terlalu sering dibersihkan dan penderita dapat merawat
sendiri.
H. TEKNIK TRAKEOSTOMI
Sebelum dilakukan pembedahan, maka alat-alat yang perlu dipersiapkan adalah
semprit yang berisi obat analgesia, pisau, pinset anatomi, gunting panjang yang tumpul,
sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta kanul trakea dengan
ukuran yang sesuai untuk pasien. Pasien atau keluarganya yang akan dilakukan tindakan
trakeostomi harus dijelaskan segala resiko tindakan trakeostomi termasuk kematian
selama prosedur tindakan.
Posisi pasien berbaring terlentang dengan bagian kaki lebih rendah 30° untuk
menurunkan tekanan vena sentral pada vena-vena leher. Bahu diganjal dengan bantalan
kecil sehingga memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalanto
oksipital. Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis
median dekat permukaan leher.
Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip aseptik dan antiseptik dan ditutup
dengan kain steril. Obat anestetikum disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fossa
suprasternal secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai dari
bawah krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal dilakukan
pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-kira
dua jari dari bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira
lima sentimeter. Dengan gunting panjang yang tumpul, kulit serta jaringan di bawahnya
dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul sampai tampak
trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin tulang rawan yang berwarna putih. Bila
lapisan ini dan jaringan di bawahnya dibuka tepat di tengah maka trakea ini mudah
ditemukan. Pembuluh darah vena jugularis anterior yang tampak ditarik ke lateral. Ismuth
tiroid yang ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas terlihat. Jika tidak
mungkin, ismuth tiroid diklem pada dua tempat dan dipotong ditengahnya. Sebelum klem
ini dilepaskan ismuth tiroid diikat kedua tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan
dihentikan dan jika perlu diikat.
Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin
trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong cincin trakea
ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian pasang kanul trakea dengan ukuran yang
sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dan luka operasi ditutup dengan
kasa. Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit jangan terlalu
pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit
Gambar 8. Prosedur Trakeostomi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
J. KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI
Komplikasi dini yang sering terjadi adalah perdarahan, pneumotoraks terutama
pada anak-anak, hilangnya jalan nafas, penempatan kanul yang sulit, laserasi trakea,
ruptur balon, henti jantung sebagai rangsangan hipoksia terhadap respirasi dan paralisis
saraf rekuren.
Perdarahan terjadi bila hemostasis saat trakeostomi tidak sempurna serta disertaii
naiknya tekanan arteri secara mendadak setelah tindakan operasi dan peningkatan
tekanan vena karena batuk. Perdarahan diatasi dengan pemasangan kasa steril sekitar
kanul. Apabila tidak berhasil maka dilakukan ligasi dengan melepas kanul.
Emfisema subkutan terjadi di sekitar stoma tetapi bisa juga meluas ke daerah
muka dan dada, hal ini terjadi karena terlalu rapatnya jahitan luka insisi sehingga udara
yang terperangkap di dalamnya dapat masuk ke dalam jaringan subkutan pada saat
penderita batuk. Penanganannya dilakukan dengan multiple puncture dan longgarkan
semua jahitan untuk mencegah komplikasi lanjut seperti pneumotoraks dan
pneumomediastinum.
Sedangkan komplikasi pasca trakeostomi terdiri atas kematian pasien, perdarahan
lanjutan pada arteri inominata, disfagia, aspirasi, pneumotoraks, emfisema, infeksi stoma,
hilangnya jalan nafas, fistula trakeoesofagus dan stenosis trakea. Kematian pasien terjadi
akibat hilangnya stimulasi hipoksia dari respirasi. Pasien hipoksia berat yang dilakukan
tindakan trakeostomi, pada awalnya pasien akan bernafas lalu akan terjadu apnea. Hal ini
terjadi akibat deinervasi fisiologis dari kemoreseptor perifer yang dipicu dari peningkatan
tekanan oksigen tiba-tiba dari udara pernafasan
Secara sistematis, komplikasi dari trakeostomi antara lain:
Haemorrhage (pendarahan).
Rasa panas pada jalan nafas
Cedera pada trakea dan laring
Cedera pada struktur trakeal
Emboli udara
1. Intraoperatif
Apnea
Henti jantung
Perforasi
Ruptur pleura viseralis
Sumbatan darah/secret
2. Postoperatif Emfisema subkutan
Pneumotoraks / pneumomediastinum
Tabung berpindah
Tabung tersumbat
Infeksi luka
Trakea nekrosis
Pendarahan sekunder
Masalah menelan
K. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengumpulan data tergantung pada patofisiologi dan/atau alasan untuk dukungan
bantuan ventilasi (trakeostomi), misalnya trauma dada (pneumothorax, hemothorax).
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : dispnea dengan istirahat ataupun aktivitas
2. Sirkulasi
Tanda : takikardia, frekuensi tak teratur, nadi apical berpindah oleh adanya
penyimpangan medaistinal. TD hiper/hipotensi
3. Makanan/cairan
Gejala : anorexia (mungkin karena bau sputum)
Tanda : pemasangan IV line,
4. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri area luka trakeostomi, nyeri dada unilateral meningkat karena batuk atau
bernafas
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah
5. Pernafasan
Gejala : kesulitan bernafas, batuk (mungkin gejala yang ada), riwayat trauma dada.
Tanda : peningkatan frekuensi nafas, kulit cyanosis, penggunaan ventilasi mekanik
(trakeostomi), secret pada selang trakeostomi
6. Hygiene
Tanda : kemerahan area luka trakeostomi
7. Interaksi social
Tanda : ketidakmampuan mempertahankan suara karena distress pernafasan,
keterbatasan mobilitas fisik.
L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi sekunder
terhadap trakeostomi, obstruksi kanula dalam, atau perubahan posisi selang
trakeostomi.
2. Pola pernafasan tak efektif/ventilasi spontan, ketidakmampuan untuk meneruskan.
berhubungan dengan depresi pusat pernafasan, paralisis otot pernafasan
3. Resiko infeksi berhubungan dengan penumpukan sekresi berlebihan dan bypass
pertahanan pernafasan atas.
4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
menghasilkan bicara sekunder terhadap trakeostomi.
M. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi sekunder
terhadap trakeostomi, obstruksi kanula dalam, atau perubahan posisi selang
trakeostomi.
Tujuan : Tidak ada sekret pada jalan nafas
Kriteria hasil : Ronchi dan wheezing tidak terdengar
Intervensi Rasional
1. Mengauskultasi paru setiap 4 jam 1. Jika ditemukan crackles dan
wheezing dapat mengintrepretasikan
adanya sekret pada jalan nafas
2. Menganjurkan klien untuk tarik 2. Pasien dapat mengeluarkan
nafas dalam dan batuk sekret dengan tarik nafas dalam dan
batuk tanpa suctioning
3. Melakukan fisioterapi nafas jika 3. Untuk membantu pasien
tidak ada kontraindikasi mengeluarkan sekret dengan batuk
4. Membersihkan trakheostomy tube 4. Dengan membersihkan
klien sesuai dengan kebutuhan. trakheostomy, menghindari terjadinya
Berdasarkan jumlah akumulasi secret penumpukan sekret dan agar jalan
5. Melakukan suctioning bila perlu nafas bersih
5. Suctioning membersihkan jalan
6. Melakukan nebulizing nafas dari sekret
6. Nebulizer membantu untuk
mengencerkan secret sehingga lebih
mudah untuk dikeluarkan
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Irman. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. 2008. Jakarta : Salemba Medika.
Doenges, dkk. Rencana Asuhan Keperawatan. 2000. Jakarta : EGC
Gibson, I. (1983) Tracheostomy management. Nursing 2(18), pp538-540
Griggs, A. (1998) Tracheostomy: Suctioning and humidification. Nursing Standard Continuing
Education Reader pp18-23
Hooper, M. (1996) Nursing care of the patient with a tracheostomy. Nursing Standard 15(10),
pp 40-43