Anda di halaman 1dari 86

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

KAJIAN TEORITIS TENTANG ANTINOMY NORMEN (KONFLIK


NORMA) ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERKAIT DENGAN
KEWAJIBAN MEMEGANG KERAHASIAN KLIEN BAGI ADVOKAT
(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PASURUAN,
PUTUSAN NOMOR : 101/PID.B/2007/PN.PSR)

Penulisan Hukum
(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk


Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Oleh
FARIED MUHAMMAD YAMIN
NIM. E0008340

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
commit to user

i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

Man Jadda Wajadaa.


(Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil)

Segala hal yang sulit akan terasa lebih mudah jika sebelumnya ditata dengan baik
(Kristiyadi, S.H., M.Hum.)

Untuk memahami hati dan pikiran seseorang,


Jangan melihat apa yang telah diraihnya,
Lihatlah apa yang telah dia lakukan untuk menggapai cita-citanya
(Kahlil Gibran)

Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan


hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan,
entah mereka menyukainya atau tidak
(Aldus Huxley)

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya
mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.
(Thomas Alva Edison)

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati... sebuah karya yang


sederhana ini, penulis persembahkan kepada :

1. Dzat yang Maha Agung, Allah SWT, penguasa alam semesta & pemilik
hidupku
2. Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat yang senantiasa kita nantikan
safaatnya di akhirat kelak
3. Keluargaku tercinta (ayahanda Drs. Dwi Isunaryono M.M., ibunda
Dra. Nurhasanah Latief S.H., M.M., M.Kn.) terima kasih atas cinta yang tak
pernah padam, atas kepercayaan & harapan yang diberikan untukku.
4. Nenekku tercinta Hj. Asroriah Latief, terima kasih atas doa yang selama ini
telah dipanjatkan untuk kesuksesanku.
5. Kakakku tercinta Drajat Muhammad Nur S.H., S.E., M.Kn., Rizka Dian
Rachmawati S.E., M.Si., dan Kenfitria Diah Wijayanti, S.S., M.Hum.
6. Pamanku H. Muhammad Nasir Latief, S.S., MA., terima kasih atas
dukungannya selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya
7. Yang tersayang Dian Wahyuningtiyas, S.Ked, makasih atas doa dan
dukungannya selama ini.
8. Untuk kakak angkatku Elfa Roza, S.H., yang selalu memberikan inspirasi serta
mendukung dan memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Erwan Adi, Nur Saefodin, Ananda Mega W, Adhiputro Pangarso, Tabah Ikrar,
Mahendra Hengki, Eric Mustika W, Enggar Santoso, Hengki Rama, Teuku
Agam Gifari, Heri Susanto, Triyono, Shoffa Salsabila Al Fafa dan Olvita
Winastesia, terima kasih sobat-sobatku semua atas dukungannya hingga
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi. Aku bangga dengan kalian,
semoga tetap dijaga persahabatan kita.

commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsiku yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan bapak, ibu dan
teman-teman semua menjadi amalan kebaikan dan mendapat balasan pahala
dari Allah SWT. Amin...
11. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Faried Muhammad Yamin, E0008340. 2012. KAJIAN TEORITIS TENTANG


ANTINOMY NORMEN (KONFLIK NORMA) ANTARA UNDANG–UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN
UNDANG–UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERKAIT
DENGAN KEWAJIBAN MEMEGANG KERAHASIAN KLIEN BAGI ADVOKAT
(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PASURUAN, PUTUSAN
NOMOR 101/PID.B/2007/PN.PSR). FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terjadinya pertentangan norma
antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan
dengan kewajiban menyimpan kerahasiaan bagi klien advokat dan langkah yang
ditempuh oleh hakim manakala terjadi pertentangan norma tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, bersifat preskriptif.
Jenis bahan yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah
dengan cara studi kepustakaan melalui pengumpulan peraturan perundang-
undangan, buku, dan dokumen lain yang mendukung, diantaranya Putusan
Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Psr. Dalam penulisan
hukum ini, penulis menggunakan analisis dengan metode deduksi yang berpangkal
dari pengajuan premis mayor yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
dan Premis Minor yaitu Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor
101/Pid.B/2007/PN.Psr. Dari kedua hal tersebut, kemudian dapat ditarik suatu
konklusi guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah bagaimanakah
terjadinya pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat terkait masalah penyitaan dengan kewajiban menyimpan
kerahasiaan bagi klien advokat dan bagaimanakah langkah yang ditempuh oleh
hakim manakala terjadi pertentangan norma sebagaimana tersebut di atas.
commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan: Pertama,


timbulnya pertentangan norma (antinomy normen) disebabkan oleh karena adanya
bidang pekerjaan yang sama (dalam penelitian ini adalah penegak hukum pidana).
Kepolisian oleh undang-undang diberikan landasan hukum khususnya dalam
penegakan hukum pidana atas dasar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, lebih khusus pernyataan yaitu dalam Pasal 7,
disisi lain advokat atas dasar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 khususnya
Pasal 16 serta Pasal 18, kedua undang-undang tersebut berada dalam kedudukan
yang sama. Kedua, Untuk mengatasi adanya pertentangan norma yang dapat
dilakukan oleh hakim adalah melalui reinterpretasi (penafsiran kembali) dalam hal
ini reinterpretasi terhadap hak imunitas advokat, tidak ditafsirkan secara mutlak,
tetapi hendaknya dibalik hak melekat kewajiban yang harus ditaati.

Kata kunci : Antinomy Normen, Advokat, Kerahasian Klien

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Faried Muhammad Yamin, E0008340. 2012. A THEORETICAL STUDY ON


ANTINOMY NORMEN (NORM CONFLICT) BETWEEN THE ACT NUMBER
8 OF 1981 ABOUT CODE OF CRIMINAL PROCEDURE AND ACT NUMBER
18 OF 2003 ABOUT ADVOCATE RELATED TO OBLIGATION OF KEEPING
THE CLIENT SECRET FOR THE ADVOCATE (A CASE STUDY ON
VERDICT OF PASURUAN FIRST INSTANCE COURT, VERDICT NUMBER
101/PID.B/2007/PN.PSR). FACULTY OF LAW OF SURAKARTA SEBELAS
MARET UNIVERSITY.
This research aims to find out the norm conflict occurrence between the Act
Number 8 of 1981 about Code of Criminal Procedure and Act Number 18 of 2003
about Advocate related to confiscation problems with the obligation of keeping the
client secret for the Advocate and the measures the judge takes in dealing with the
norm conflict.
This study was a normative law research that is prescriptive in nature. The
type of material used consisted of primary and secondary law materials. Technique
of collecting law materials used in this research was library study through
collecting legislations, book, and other documents, such as Verdict of Pasuruan
First Instance Court Number 101/Pid.B/2007/PN.Psr. In this law writing, the
writer used a deductive analysis method departing from mayor premise proposition
namely Code of Criminal Procedure and minor premise namely Verdict of
Pasuruan First Instance Court Number 101/Pid.B/2007/PN.Psr. From both
premises, a conclusion was drawn to get an answer to the problem formulation
“how does the norm conflict occur between the Act Number 8 of 1981 about Code
of Criminal Procedure and Act Number 18 of 2003 about Advocate related to
confiscation problems with the obligation of keeping the client secret for the
Advocate and the measures the judge takes in dealing with the norm conflict, as
mentioned above.
Based on the result of research and discussion, it could be concluded that:
firstly, the norm conflict (antinomycommit to user
normen) occurred because of the same work

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

area (in this case criminal law enforcer). Police officer, by constitution, was given
legal foundation, particularly in enforcing the criminal procedural laws based on
the provisions of Act Number 8 of 1981 about Code of Criminal Procedure,
particularly the statement in Article 7, on the other hand advocate, based on the
Act Number 18 of 2003 particularly Articles 16 as well as 18, both of them were on
the same position. Secondly, to deal with such norm conflict, the judge could take
such measures as reinterpretation in this case reinterpretation on advocate
immunity that was not interpreted absolutely, but to the right is inherent the
obligation that should be obeyed.

Key words : Antinomy Normen, Advocate, Client secret

commit to user

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis akhirnya dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KAJIAN TEORITIS
TENTANG ANTINOMY NORMEN (KONFLIK NORMA) ANTARA UNDANG–
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
DENGAN UNDANG–UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT
TERKAIT DENGAN KEWAJIBAN MEMEGANG KERAHASIAN KLIEN BAGI
ADVOKAT (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PASURUAN,
PUTUSAN NOMOR 101/PID.B/2007/PN.PSR).
Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penulisan hukum ini membahas tentang terjadinya pertentangan norma
antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan
dengan kewajiban menyimpan kerahasiaan bagi klien advokat dan langkah yang
ditempuh oleh hakim manakala terjadi pertentangan norma. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis dengan besar hati akan menerima segala masukan yang dapat memperkaya
pengetahuan penulis di kemudian hari.
Dengan selesainya penulisan hukum ini, maka dengan segala kerendahan
hati penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan hukum ini :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan, beserta Bapak/Ibu
Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dalam
penyusunan penulisan hukum ini.

commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum. yang telah memberikan segala ilmu dan
dengan penuh kesabaran membimbing serta mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) ini dengan baik.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang
telah membantu menyelesaikan penulisan hukum ini.
4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku dosen bagian Hukum Acara
yang telah memberikan banyak ilmu selama saya menjadi mahasiswa di FH
UNS.
5. Bapak Dr. M. Hudi Asrori S, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik
yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan selama penulis belajar
di kampus Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah memberikan bekal ilmu kepada
penulis selama penulis belajar di kampus Fakultas Hukum UNS.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta (Drs. Dwi Isunaryono M.M., dan Dra.
Nurhasanah Latief S.H., M.M., M.Kn.) serta kakakku tersayang Drajat
Muhammad Nur S.H., S.E., M.Kn., Rizka Dian Rachmawati S.E., M.Si., dan
Kenfitria Diah Wijayanti, S.S., M.Hum. yang senantiasa memberikan
dukungan baik secara moril maupun materiil.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsiku yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan bapak, ibu dan
teman-teman semua mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Amin.
Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

Surakarta, 25 Juni 2012


Penulis

commit to user Faried Muhammad Yamin

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. vi
ABSTRAK .............................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................ x
DAFTAR ISI........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiv
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ................................................... 5
E. Metode Penelitian..................................................... 6
F. Sistematika Penelitian .............................................. 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................. 10
A. Kerangka Teori ......................................................... 10
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Acara Pidana 10
2. Tinjauan Umum tentang Penyitaan ................... 12
3. Tinjauan Umum tentang Norma ....................... 22
4. Tinjauan tentang Antinomy Normen.................. 23
5. Tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 ....................................................... 23
commit
B. Kerangka Pemikiran to user
................................................. 30

xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............... 32


A. Hasil Penelitian ........................................................ 32
1. Kasus Posisi ...................................................... 32
2. Identitas Terdakwa ............................................ 33
3. Dakwaan Penuntut Umum ................................ 33
4. Keterangan Para Saksi....................................... 36
5. Tuntutan Penuntut Umum ................................. 50
6. Pertimbangan Hakim ......................................... 51
7. Putusan Hakim .................................................. 62
B. Pembahasan .............................................................. 63
1. Analisis Penggunaan
Terjadinya Putusan Pengadilan
Pertentangan Norma Antara
sebagai Novum olehNomor
Undang-Undang Terpidana
8 dalam
Tahun 1981
Pengajuan
Tentang Peninjauan Kembali
Hukum Acara PerkaraDengan
Pidana
Korupsi dalam Perspektif
Undang-Undang NomorKitab
18 Undang-
Tahun 2003
Undang Hukum Acara Pidana..........................
Tentang Advokat……………………………. 63
2. Analisis
Langkah Kesesuaian
Yang Ditempuh
......................... Penggunaan
Hakim
PutusanDalam
Pengadilan sebagai Novum
Menyelesaikan oleh Terpidana
Pertentangan Norma
dalam
(antinomy
Pengajuan
normen)............................................
Peninjauan Kembali 65
BAB IV. PENUTUP ....................................................................... 68
A. Simpulan .................................................................. 68
B. Saran ......................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 69
LAMPIRAN

commit to user

xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran .......................................... 30

commit to user

xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam suatu negara menentukan situasi yang berdasarkan hukum
(rechstaats), kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi
dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif. Kekuasaan kehakiman diwujudkan
dalam tindakan pemeriksaan dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta
menentukan situasi konkrit dan menyelesaikan persoalan atau konflik yang
ditimbulkan secara impansial berdasarkan hukum sebagai patokan objektif
(Lili Rasjidi, 2004: 93).
Kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim. Pengertian
hakim bisa diartikan dua pengertian, pertama sebagai orang yang mengadili perkara
di pengadilan, kedua sebagai orang yang bijak. Pada dasarnya tugas hakim adalah
memberikan putusan dalam setiap perkara atau konflik yang dihadapkan
kepadanya, menetapakan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai-nilai hukum dan
perilaku serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara,
sehingga untuk dapat menyelesaikan konflik serta impersial berdasarkan hukum
yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh manapun,
terutama dalam mengambil keputusan.
Dalam melaksanakan tugasnya, hakim diharuskan untuk bekerja
profesional, bersih, dan bijaksana, serta mempunyai rasa kepekaan sosial yang
tinggi. Putusan hakim akan secara begitu dihargai dan mempunyai nilai
kewibawaan, jika putusan tersabut dapat merefleksikan nilai-nilai keadilan hukum
masyarakat dan merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk
mandapatkan kebenaran dan keadilan. Sebelum hakim memutus suatu perkara,
maka hakim akan menanyakan kepada hati nuraninya sendiri, apakah putusan ini
nantinya adil dan bermanfaat atau sebalilnya, sehingga seorang hakim memilih
otak yang cerdas disertai hati nurani yang bersih (Rudi Suparmono dalam Ahmad
Rifai, 2010: 3).
commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam hukum dikenal prinsip hakim tidak


boleh menolak untuk mengadili suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas
atau hukumnya tidak ada. Kondisi yang demikian dapat teratasi dengan prinsip/asas
“ius curia novit”, yaitu hakim dianggap tahu tentang segala macam aturan hukum.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya diharapkan untuk dapat bekerja secara
profesional, dalam arti hakim dalam menjalankan pekerjaannya mampu
menerapkan ilmu pengetahuan yang pernah dipelajari untuk menyelasaikan kasus
konkrit yang dihadapi.
Melalui putusan yang dijatuhkan dalam menyelesaikan kasus konkrit
yang dihadapi, akan dapat diukur tingkat keprofesionalan hakim, hakim yang
profesional dalam memutuskan perkara, salah satu parameter yang dapat
dipergunakan sebagai tolak ukur adalah dengan mengajukan pendapat Gustav
Radbruch yang antara lain mengatakan bahwa hukum utamanya putusan hakim
harus mengandung unsur keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum. Dengan
mendasarkan pendapat Gustav Radbruch tersebut, dapat dikemukakan bahwa
putusan hakim semestinya mengutamakan rasa keadilan, selanjutnya seandainya
keadilan belum terpenuhi setidak-tidaknya melihat pada unsur kemanfaatan,
meskipun kemungkinan agak mengurangi adanya kepastian hukum.
Negara indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda melalui prinsip
konkordansi menganut hukum eropa kontinental (civil law). Ciri utama sistem
hukum eropa kontinental adalah mengutamakan hukum yang tertulis dalam bentuk
undang-undang. Metode yang demikian untuk diterapkan pada kondisi saat ini
yang menampakkan dinamika masyarakat penegakkan hukum, dalam hal ini hakim
dalam mengadili suatu perkara mengikuti konsep hukum progresif adalah :
1. Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri dengan
dibimbing oleh pandangan atau pemikiran secara mandiri, dengan berpijak
pada pandangan bahwa hukum itu untuk mengabdi kepada manusia.
2. Penemuan hukum yang berdasarkan pada nilai-nilai hukum, kebenarannya
dan keadilan serta etika juga moralitas.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

3. Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan


masyarakat, atas melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat yang sesuai
dengan perkembangan jaman dan teknologi serta keadaan masyarakat.
Selanjutnya dikemukakan, bahwa menganut hukum progesif dibutuhkan
hakim yang cerdas, memiliki moralitas, serta mampu memberikan putusan yang
bersifat inovatif atas perkara yang ditanganinya. Atas dasar hal ini dikatakan bahwa
tugas hakim yang ideal adalah untuk menemukan hukumnya atas suatu perkara.
Pengertian penemuan hukum menurut Utrecht dalam Ahmad Rivai terjadi apabila
terjadi suatu peraturan perundangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim
harus bertindak sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim
harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun
perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim ini dinamakan
penemuan hukum (Ahmad Rifai, 2010: 23).
Soedikno Mertokusumo tentang penemuan hukum mengatakan penemuan
hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya
menerapkan peraturan hukum umum dalam upaya menerapkan peraturan hukum
umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode
tertentu, yang dipergunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut
dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang
diperoleh dari proses itu dapat diterima dan dipertanggung jawabkan dalam ilmu
hukum.
Menurut Philipus M. Hadjon, dalam proses penerapan azas hukum secara
teknis operasional dapat ditempuh melalui dua cara yaitu, melalui penalaran
induksi dan deduksi. Penanganan perkara atas suatu sengketa di pengadilan negeri
selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari
hubungan sebab akibat dan mereka-reka probabilitasnya. Setelah langkah induksi
diperoleh maka diikuti penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah
penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum. Dalam identifikasi
hukum sering kali dijumpai adanya keadaan, kekosongan hukum, pertentangan
norma hukum serta norma yang kabur (Philipus M. Hadjon, 2005: 71).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

Khususnya tentang pertentangan norma, hakim Pengadilan Negeri


Pasuruan pernah menangani perkara yang demikian ini, yakni ketika dua orang
terdakwa yaitu Terdakwa I MOCH. ANSORI serta Terdakwa II
SUGIARTO, S.H. selaku kuasa hukum MOCH ANSORI menolak untuk
menyerahkan sertifikat sebagai barang bukti kepada penyidik Polres Pasuruan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian ke dalam bentuk skripsi dengan judul : KAJIAN TEORITIS
TENTANG ANTINOMY NORMEN (KONFLIK NORMA) ANTARA
UNDANG–UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM
ACARA PIDANA DENGAN UNDANG–UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG ADVOKAT TERKAIT DENGAN KEWAJIBAN MEMEGANG
KERAHASIAN KLIEN BAGI ADVOKAT (STUDI KASUS PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI PASURUAN, PUTUSAN NOMOR 101/PID
B/2007/PN.PSR).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah terjadinya pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan dengan kewajiban
menyimpan kerahasiaan bagi klien advokat ?
2. Bagaimanakah langkah yang ditempuh oleh hakim manakala terjadi
pertentangan norma sebagaimana tersebut di atas ?

C. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian sudah barang tentu memiliki tujuan-tujuan yang
ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan tersebut tidak terlepas dari permasalahan yang
telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui terjadinya pertentangan norma antara Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait
masalah penyitaan dengan kewajiban memegang kerahasiaan bagi klien.
b. Untuk mengetahui penyelesaian yang ditempuh oleh hakim manakala
terjadi pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokad terkait masalah penyitaan dengan
kewajiban menjaga kerahasiaan bagi klien.
2. Tujuan Subjektif
a. Sebagai wahana bagi penulis untuk melatih ketajaman khususnya dalam
menelaah permasalahan hukum yang timbul dalam praktek penerapan
hukum pada umumnya, serta Hukum Acara Pidana pada khususnya.
b. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis
ketahui agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya
dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian
Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh
terutama bagi bidang ilmu yang diteluiti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak khususnya
para penegak hukum apabila menghadapi permasalahan yang berkaitan
dengan pertentangan norma.
b. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menambah bahan referensi di
perpustakaan khususnya yang terkait dengan masalah Hukum Acara
Pidana.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
mengimplementasikan ilmu yang diperoleh.
b. Memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum pada
umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya, yang berkaitan
dengan pertentangan norma.

E. Metode Penelitian
Setiap kegiatan penelitian dilakukan dengan mendasarkan metode-metode
tertentu, maksud penggunaan metode penelitian sudah barang tentu agar penelitian
yang dilakukan dapat terarah dan terukur. Adapun metode yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki yang dimaksudkan
dengan penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan
suatu aturan hukum, prinsip-pripsip hukum, doktrin-doktrin hukum untuk
menjawab permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan pendapat Peter Mahmud Marzuki tersebut, maka
penulis menetapkan penelitian hukum yang akan penulis lakukan adalah
penelitian hukum normatif dalam hal ini penulis berupaya untuk menemukan
aturan, prinsip-prinsip hukum, serta doktrin-doktrin dalam hal terjadinya
pertentangan norma, dalam hal ini norma dalam hukum acara pidana dengan
norma tentang advokat..
2. Sifat Penelitian
Setiap penelitian dilihat dari sifatnya memiliki sifat yang berbeda-
beda, dalam menentukan sifat penelitian penulis mengikuti pendapat Peter
Mahmud Marzuki yang mengatakan bahwa penelitian hukum ditinjau dari
sifatnya merupakan penelitian yang bersifat perskriptif atau terapan.
Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
commit
nilai-nilai keadilan, validitas aturanto hukum,
user konsep-konsep hukum, dan
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

norma hukum sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar


prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan
hukum.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan yang digunakan dalam
penulisan hukum adalah pendekatan undang–undang (statue approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).
Dari beberapa pendekatan tersebut, penulis akan mengunakan
pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus dipilih karena dalam
penulisan hukum ini penulis ingin mengetahui cara penyelesaian yang
ditempuh oleh hakim apabila terjadi pertentangan norma antara Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait masalah penyitaan
dengan kewajiban menjaga kerahasiaan bagi klien.
4. Jenis Sumber Hukum
Sumber Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
sumber bahan hukum sekunder. Sumber hukum sekunder mempunyai ruang
lingkup yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 141).
5. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum atau bahan
pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun
yang penulis gunakan adalah :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.


4. Putusan Pengadilan Negeri Nomor 101/Pid.B/2007/PN.Psr.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan hukum primer seperti :
1. Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan dan yang berkaitan
dengan masalah ini
2. Beberapa buku yang terkait dengan masalah penelitian ini.
6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang penulis pergunakan dalam
penelitian ini adalah studi dokumentasi. Teknik pengumpulan bahan hukum
ini penulis lakukan dengan cara mempelajari, membaca dan mencatat buku-
buku, literatur-literatur, catatan-catatan perundang-undangan, serta putusan
hakim yang hal kaitannya dengan isi hukum yang dipergunakan dalam
menyusun penulisan hukum ini yang selanjutnya dikatagorikan menurut
pengelompokan yang tepat.
7. Teknik Analisa Bahan Hukum
Analisa bahan hukum merupakan tahap yang paling penting dalam
suatu penelitian. Agar bahan yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan
yang tepat dari permasalahan, maka perlu teknik analisis bahan hukum yang
tepat, analisis bahan hukum merupakan langkah untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan.
Adapun analisis bahan hukum yang diterapkan oleh penulis adalah
melalui metode diduksi yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Analisis
deduktif menggunakan premis mayor dikaitkan dengan premis minor melalui
silogism untuk menetapkan konklusi (kesimpulan).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

F. Sistematika Penulisan Hukum


Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi
penulisan hukum ini, maka peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika
penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi
dalam sub-sub bagian. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang masalah,
perumusan masalah ,tujuan penelitian, manfaat penelitian , metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum (skripsi).
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab II penulis kemukakan tinjuan pustaka yang terdiri atas
kajian teoritis dan kerangka pemikiran kajian teoritas berisi tentang
Tinjauan Hukum Acara Pidana yang terdiri atas pengertian Hukum
Acara Pidana, garis besar materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981, tinjauan tentang penyitaan, tinjauan tentang Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, pengertian Norma, serta
pengertian Konflik Norma. Selanjutnya dikemukakan kerangka
pemikiran yang mengemukakan bagan serta uraian dalam bentuk
narasi mengenai penyelesaian tentang konflik norma.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis kemukakan hasil penelitian tentang Konflik
Norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat beserta penyelesaiannya oleh hakim.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran terkait dengan
permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana
a. Pengertian Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana diberikan definisi oleh beberapa sarjana
dengan berbagai pengertian, adapun definisi-definisi tersebut
sebagaimana dikutip oleh R. Atang Ranoemihardja sebagai berikut :
1) De Bos Kemper
Sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan Undang-Undang yang
mengatur bilamana Undang-Undang Hukum pidana dilanggar,
negara menggunakan haknya untuk menghukum.
2) Simons
Mengatur bilamana negara dengan alat-alat perlengkapannya
mempergunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan
hukuman.
3) R. Atang Ranoemihardja
Hukum Acara Pidana adalah merupakan suatu peraturan yang
mengatur tentang acara peradilan (R. Atang Ranoemihardja,
1984: 9).
Sedangkan Moch. Faisal Salam mengemukakan ketentuan-
ketentuan perundang-undangan yang mengatur prosedur agar pelaku
pelanggaran dan kejahatan dapat dihadapkan kemuka sidang pengadilan
dinamakan hukum pidana formil. Dengan kata lain bahwa hukum
pidana formil adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang
memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal sebagai berikut :

commit to user

10
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

1) Tindakan-tindakan apa yang harus diambil apabila dugaan, bahwa


terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang.
2) Apabila benar terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang, maka perlu diketahui, siapa pelakunya dan bagaimana
cara melakukan penyelidikan terhadap pelakunya.
3) Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik dapat
menangkap, menahan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
permulaan atau dilakukan penyidikan.
4) Untuk membuktikan apakah benar-benar tersangka telah
melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan
barang-barang bukti, menggeledah badan dan tempat-tempat serta
menyita barang-barang bukti yang diduga ada hubungannya
dengan perbuatan tersebut.
5) Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan
polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri,
selanjutnya pemeriksaan telah sidang pengadilan terhadap
terdakwa oleh hakim sampai dengan dijatuhkan pidana (Moch.
Faisal Salam, 2001: 3).
b. Tujuan Hukum Acara Pidana
Menurut pendapat Moch. Faisal Salam, tujuan dari Hukum
Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan
untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwanya melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan apakah orang yang didakwakan dapat
dipersalahkan (Moch. Faisal Salam, 2001: 1).
Pendapat dari R. Atang Ranoemihardja, tujuan Hukum Acara
commit
Pidana untuk menegakkan to user
hukum pidana serta peraturan pemeriksaan
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

alat yang lain yang ada ancaman pidananya, sehingga dengan demikian
setiap peraturan atau Undang-Undang yang ada saksi pidananya dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya (R. Atang Ranoemihardja,
1984 : 15).
c. Garis Besar Materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan sumber utama bagi
pedoman pelaksanaan Hukum Acara Pidana di Indonesia.
Secara garis besar materi peraturan dalam Hukum Acara
Pidana di Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Ketentuan Umum.
2) Ketentuan Tentang Penyidikan.
3) Ketentuan Tentang Penuntutan.
4) Ketentuan Tentang Bidang Pengadilan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam skripsi ini penulis
memandang perlu untuk sedikit mengemukakan pengertian penyidikan.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 (KUHAP) penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Undang-Undang untuk mencari sesuatu mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Selanjutnya atas dasar pengertian dari penyidikan tersebut,
dapat dikatakan bahwa dalam rangka penyidikan ini, terdapat satu
proses yang merupakan rangkaian dalam penyidikan yaitu penyitaan.

2. Tinjauan Umum Tentang Penyitaan.


Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan “pembuktian”
dalam penyidikan, penuntutancommit to user (Pasal 1 butir 16 KUHAP).
dan peradilan
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Tujuan penyitaan, untuk kepentingan "pembuktian", terutama


ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar
tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh
karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik
melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan,
dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan (Nur Hidayat,
2008: 64).
“Benda sitaan menurut kamus bahasa Indonesia adalah benda
adalah harta atau barang yang berharga dan segala sesuatu yang berwujud
atau berjasad. Sitaan berarti perihal mengambil dan menahan barang-barang
sebagiannya yang dilakukan menurut putusan hakim atau oleh polisi
(W.J.S. Poerwadarminta, 2008: 132).”
Berdasarkan pengertian (penafsiran otentik/Authentieke
interpretatie) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP
tersebut dapat disimpulkan bahwa benda yang disita/benda sitaan yang dalam
beberapa pasal KUHAP (Pasal 8 ayat (3) huruf b, Pasal 40, Pasal 45 ayat (2),
Pasal 46 ayat 2, Pasal 181 ayat (1), Pasal 194, Pasal 197 ayat (1) huruf i,
Pasal 205 ayat (2)) dinamakan juga sebagai “barang bukti” adalah berfungsi
(berguna) untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan.
Akan tetapi apabila perumusan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP
tersebut dihubungkan dengan BAB XVI bagian keempat KUHAP yang
mengatur tentang “pembuktian dan putusan” dalam Acara Pemeriksaan
Biasa (Pasal 183 s/d Pasal 202), ternyata tidak terdapat suatu ketentuan pun,
yang mengatur atau menegaskan mengenai peranan/kegunaan/fungsi dari
“barang bukti” (benda sitaan) dalam kaitangnya dengan “pembuktian”.
Bahkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP secara jelas diterapkan bahwa yang
dimaksud dengan “alat bukti yang sah” adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa diluar 5 (lima) macam alat bukti
yang sah tersebut tidak ada lagi alat bukti yang sah. Ketentuan tersebut dalam
praktek hukum bukan saja dapat membingungkan, tetapi kadang-kadang
dapat menimbulkan kekaburan pengertian dan permasalahan. Dalam praktik
peradilan tidak jarang terjadi hakim menunda persidangan disebabkan barang
bukti/benda sitaan oleh penuntut umum belum /tidak dapat diajukan dimuka
persidangan atau yang diajukan hanya sebagian kecil dari barang bukti
sebagai contoh (sample).
Selain itu dalam praktek hukum ada kalanya berkas perkara hasil
penyidikan oleh Penuntut Umum dikembalikan kepada penyidik disertai
petunjuk agar benda/barang tertentu disita (misalnya pisau/pedang/pistol yang
digunakan untuk melakukan pembunuhan) guna diajukan sebagai barang
bukti di depan persidangan. Dalam praktek penegakan hukum dan dikalangan
masyarakat sebutan barang bukti ternyata lebih populer daripada sebutan
benda sitaan. Dan dalam pemberitaan media massa penyebutan alat bukti dan
barang bukti sering kali dikacaukan.
a. Fungsi Benda Sitaan/Barang Bukti Dalam Pembuktian.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP dapat diketahui secara
jelas bahwa benda sitaan/barang bukti tidak termasuk sebagai alat bukti
yang sah.
Oleh karena dalam perumusan Pasal 1 butir 16 KUHAP secara
jelas dinyatakan bahwa tindakan penyitaan yang dilakukan oleh
Penyidik terhadap suatu benda adalah dimaksudkan untuk kepentingan
“pembuktian” maka pertanyaan tersebut dapat dijawab bahwa barang
bukti mempunyai manfaat/fungsi dan nilai dalam upaya pembuktian,
walaupun benda sitaan tersebut dapat berbicara. Akan tetapi dalam
praktik penegakan hukum/peradilan barang barang bukti tersebut
commit dan
ternyata dapat dikembangkan to user
dapat memberikan keterangan yang
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

berfungsi/bernilai sebagai alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan


saksi, keterangan ahli (visum at repertum ) dan keterangan terdakwa.
Misalnya sebuah benda berupa senjata api atau senjata tajam setelah
disita menjadi barang bukti kemudian ditunjukan dan ditanyakan
kepada saksi dan saksi tersebut memberikan keterangan bahwa barang
bukti tersebut oleh tersangka/terdakwa telah digunakan untuk
melakukan pembunuhan/penganiayaan. Kemudian keterangan saksi
tersebut diperkuat dengan keterangan tersangka/terdakwa yang
membenarkan keterangan saksi tersebut. Demikian pula mayat korban
pembunuhan setelah dilakukan pemeriksaan ilmiah oleh Ahli
kedokteran kehakiman (laboratorium forensic) kemudian hasil
pemeriksaan dituangkan ke dalam VER yang isinya bersesuaian dan
memperkuat keterangan saksi dan keterangan tersangka/terdakwa, maka
benda sitaan/benda mati yang berubah bentuk menjadi VER tersebut
dengan sendirinya mempunyai nilai dan kekuatan sebagai alat bukti
yang sah dalam bentuk keterangan ahli.
Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa benda
sitaan/barang bukti meskipun bukan alat bukti yang sah, tetapi dalam
praktik penegakan hukum ternyata dapat dikembangkan dan
mempunyai manfaat/kegunaan/fungsi dalam upaya pembuktian dan atau
setidak-tidaknya dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan
memperkuat “keyakinan” Hakim (Pasal 181 KUHAP).
Disamping itu dengan diajukannya barang bukti didepan
persidangan, maka hakim melalui putusannya dapat secara sekaligus
menetapkan status hukum dari barang bukti yang bersangkutan, yaitu
dapat ditetapkan untuk diserahkan kepada pihak yang paling berhak
menerimanya kembali, atau dirampas untuk kepentingan negara atau
untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi
(Pasal 194 jo 197 ayat (1) huruf i KUHAP).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

b. Pejabat Yang Berwenang Melakukan Penyitaan


Seperti halnya ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
tindakan penggeledahan, maka KUHAP menetapkan bahwa pejabat
yang melakukan penyitaan adalah pejabat Penyidik (Pasal 1 butir 16 jo
Pasal 38 s/d Pasal 46 KUHAP). Sesuai dengan ketentuan tersebut,
apabila Penuntut Umum atau hakim memerlukan suatu benda
untukdisita sebagai barang bukti/alat bukti maka pelaksanaan
penyitaannya dilakukan oleh Penyidik.
Dalam hal Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan
menganggap perlu dilakukan penyitaan terhadap suatu benda sebagi
barang bukti atau alat bukti maka melalui wewenang dalam
prapenentuan memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk melakukan
tindakan penyitaan.
Apabila dalam pemeriksaan persidangan Hakim menganggap
perlu dilakukan penyitaan terhadap suatu benda, maka untuk keperluan
tersebut Hakim mengeluarkan “penetapan” yang berisi perintah untuk
melakukan penyitaan. Penetapan Hakim tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 13 jo 14 huruf j KUHAP oleh Penuntut Umum
diteruskan kepada Penyidik untuk dilaksanakan penyitaannya.
c. Tata Cara Penyitaan Dalam Keadaan Biasa
Kalau di simak ketentuan-ketentuan dalam KUHAP dapat
disimpulkan bahwa penyitaan tersebut adalah saudara kembarnya
penggeledahan. Karena dalam praktik penegakan hukum kedua macam
tindakan tersebut pada umumnya selalu berjalan bersamaan, seiring
sejalan dan searah setujuan. Pelaksanaan penyitaan pada umumnya
didahului atau dibarengi dengan tindakan penggeledahan dengan tata
cara sebagai berikut :
1) Penyitaan Dilakukan dengan Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri
Setempat.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1)
KUHAP tindakancommit to user
penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

setelah ada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.


Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka sebelum penyidik
melakukan tindakan penyitaan wajib terlebih dahulu mengajukan
surat permintaan izin penyitaan kepada Pengadilan Negeri
setempat yaitu ketua Pengadilan Negeri dimana barang benda
tetap yang akan disita itu berada. Sedangkan untuk penyitaan
benda bergerak pemberian izinnya tetap dilakukan oleh Ketua
sesuai dengan locus delictinya (Tambahan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP butir 20). Untuk kepentingan praktis pada umumnya
permintaan izin penyitaan dilakukan bersamaan dengan
permintaan izin penggeledahan (dengan formulir Serse : dan
A.8.01).
2) Penyidik Menunjukan Tanda Pengenal
Setelah mendapatkan Surat Izin Penyitaan dari Ketua
Pengadilan Negeri, kemudian sebelum melakukan penyidikan,
penyidik tersebut terlebih dahulu wajib menunjukkan tanda
pengenalnya kepada orang yang menguasai benda yang akan disita
(Pasal 128 KUHAP). Disamping kedua macam surat tersebut,
dalam praktik hukum pejabat/petugas pelaksana penyitaan harus
dapat menunjukkan Surat Perintah Penyitaan (model Serse : A.8)
yang ditanda tangi oleh Pimpinan instansi penyidik.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menjamin
terciptanya kepastian hukum, bahwa pelaksanaan penyitaan
tersebut benar-benar dilakukan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
3) Memperlihatkan Benda yang Akan Disita
Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada
orang dari mana benda itu disita atau keluarganya disertai
permintaan keterangan tentang benda yang akan disita itu, dengan
disaksikan Kepala Desa/Lurah/Ketua RW/Ketua RT dan 2 orang
commit
saksi (Pasal 129 ayat to user
(1) KUHAP).
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

4) Membuat Berita Acara Pemeriksaan


Penyidik Membuat Berita Acara Penyitaan (model
Serse: A.11.11) yang dibacakan dihadapan orang dari mana benda
itu disita atau keluarganya dengan disaksikan Kepala
Desa/Lurah/Ketua RW/Ketua RT dan 2 (dua) orang warga
setempat, kemudian ditanda tangani oleh Penyidik dan orang yang
menguasai benda yang disita atau keluarganya serta 3 (tiga) orang
sebagai tersebut diatas (Pasal 129 ayat (2) KUHAP);
Dalam hal orang yang menguasai benda yang disita atau
keluarganya menolak membubuhkan tanda tangannya pada Berita
Acara Penyitaan tersebut, maka akan dicatat dalam BA Penyitaan
dengan menyebutkan alasannya (Pasal 129 ayat (3) KUHAP).
5) Menyampaikan Turunan Berita Acara Penyitaan
Setelah Berita Acara Penyitaan ditanda tangani oleh para
pihak sebagai tersebut pada Pasal 129 ayat (2) KUHAP, kemudian
turunannya/tembusannya (copy-nya) disampaikan kepada atasan
Penyidik dan kepada orang dari mana benda itu disita atau
keluarganya serta Kepala Desa/Lurah/Ketua RW/Ketua RT (Pasal
129 ayat (4) KUHAP).
6) Membungkus Benda Sitaan
Terhadap benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 jo Pasal 39 jo Pasal 129 KUHAP dilakukan
pembungkusan/penyegelan Barang Bukti (formulir model Serse :
A. 11.12).
Sebelum benda sitaan/barang bukti dibungkus/disegel
terlebih dahulu harus dicatat mengenai berat dan atau jumlah
menurut jenisnya, ciri dan sifat khas, tempat, hari, dan tanggal
penyitaan, identitas orang darimana benda itu disita dan lain-lain.
Kemudian diberi lak dan cap jabatan serta ditandatangani oleh
Penyidik (Pasal 130 ayat (1) KUHAP).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus,


Penyidik memberikan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
130 ayat (1) diatas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada
benda sitaan tersebut (Pasal 130 ayat (2) KUHAP).
d. Tata Cara Penyitaan Dalam Keadaan Perlu Dan Mendesak.
Untuk memberikan kesempatan kepada Penyidik bertindak
secara cepat maka dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa terlebih dahulu
mendapatkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Tetapi
penyitaan dengan cara demikian hanya dapat dilakukan atas benda
bergerak dan segera dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna
memperoleh persetujuan (Pasal 38 ayat (2) KUHAP).
Mengenai apa yang dimaksud sebagai keadaan yang perlu
dan mendesak dapat berpedoman pada penjelasan Pasal 34 ayat (1)
KUHAP yaitu bilamana ditempat itu diduga kuat terdapat benda yang
dapat disita yang dikhawatirkan segera dimusnahan atau dipindahkan
sedangkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin
diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.
Mengenai pelaksanaan penyitaan dalam keadaan yang
sangat perlu dan mendesak tata caranya tetap mengikuti ketentuan
yang diatur dalam Pasal 128, Pasal 129, Pasal 130 KUHAP seperti
halnya mengenai tata cara penyitaan dalam keadaan biasa.
e. Tata Cara Penyitaan Dalam Keadaan Tertangkap Tangan
Dalam keadaan tertangkap tangan wewenang Penyidik
untuk melakukan penyitaan lebih diperluas lagi, yaitu tanpa izin Ketua
Pengadilan Negeri Penyidik dapat secara langsung menyita benda
dan alat :
1) Yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana, atau
2) Benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40
KUHAP). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

3) Menyita berbagai paket atau surat/surat kawat, surat teleks dan


sejenisnya dan atau benda yang pengakutannya/pengirimannya
melalui kantor pos, jawatan/perusahaan komunikasi atau
pengangkutan, sepanjang paket/surat/benda tersebut
diperuntukkan bagi tersangka/terdakwa dan atau yang berasal
daripadanya. Dan kepada pejabat Kantor Pos dan
Telekomunikasi/jawatan/Perusahaan komunikasi/pengangkutan
yang bersangkutan harus diberikan surat Tanda Penerimaan
(Pasal 41 KUHAP).
Di lingkungan penyidik Polri digunakan formulir model Serse :
A.8.0 (Surat Tanda Penerimaan).
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 111
KUHAP dalam keadaan tertangkap tangan setiap orang berhak untuk
melakukan penangkapan dan menyita barang bukti untuk
segera/secepatnya/pada kesempatan pertama diserahkan kepada
penyidik/penyelidik terdekat.
f. Tata Cara Penyitaan Terhadap Surat/Tulisan Lain
Dalam KUHAP Pasal 41 diatur tentang penyitaan surat/surat
kawat/surat teleks dan surat yang sejenis dalam keadaan tertangkap
tangan, dan Pasal 42 mengatur tentang penyitaan surat/tulisan dari
orang yang menguasai surat yang berasal/ditujukan/diperuntukan bagi
tersangka/terdakwa atau merupakan alat untuk melakukan tindak
pidana. Sedangkan yang diatur dalam Pasal 43 adalah mengenai
penyitaan surat atau tulisan lain mereka/orang tertentu yang
menguasai/menyimpan, yang menurut Undang-Undang berkewajiban
untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara,
misalnya surat/tulisan yang disimpan Notaris. Ketentuan yang diatur
dalam Pasal 43 tersebut tidak berlaku untuk surat/tulisan yang
menyangkut rahasia negara. Penyitaan surat/tulisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 KUHAP hanya dapat dilakukan oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

Penyidik “dengan persetujuan” dari orang /pejabat yang


menyimpannya menurut undang-undang.
Dalam hal orang/pejabat yang menyimpan surat/tulisan
tersebut tidak memberikan persetujuan terhadap tindakan penyitaan
oleh Penyidik, maka penyitaan hanya dapat dilakukan dengan surat
ijin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali undang-
undang menentukan lain.
g. Penyerahan Benda Yang Dapat Disita Kepada Penyidik
Untuk kepentingan pemeriksaan (penyidikan, penuntutan
dan pengadilan) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang
(setiap orang) yang menguasai benda yang dapat disita sebagai barang
bukti/alat pembuktian agar menyerahkan kepada penyidik, termasuk
berbagai surat/tulisan yang berasal dari tersangka/terdakwa atau
ditujukan kepadanya, kepunyaannya atau diperuntukan baginya, jika
benda (surat/tulisan) itu merupakan alat untuk melakukan tindak
pidana (Pasal 42 KUHAP).
Penyerahan benda/surat/tulisan dari orang yang
menguasainya tersebut dapat dikatakan sebagai “penyitaan secara
tidak langsung”, dan kepada orang yang menyerahkan
benda/surat/tulisan tersebut diberikan “Surat Tanda Penerima”
(model Serse : A.8.02).
h. Benda Yang Dapat Disita
KUHAP mengatur dan memberikan kewenangan kepada
Penyidik untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Akan
tetapi benda yang dapat disita terbatas pada benda-benda yang ada
hubungannya dengan terjadinya tindak pidana. Jika tindakan
penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik tersebut adalah semata-mata
untuk kepentingan “pembuktian” dalam pemeriksaan penyidikan,
penuntutan dan pengadilan. Oleh karena itu tindakan penyitaan yang
commit
tidak ada hubungannya to user
dengan tindak pidana dapat dianggap/dinilai
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

sebagai tindakan penyitaan yang tidak sah (bertentangan dengan


hukum). Dan terhadap pejabat yang melakukan penyitaan yang tidak
sah tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian melalui
praperadilan (Pasal 95 KUHAP).
Adapun mengenai benda-benda yang dapat dikenakan
penyitaan telah diatur secara rinci dalam Pasal 39 KUHAP, yaitu
sebagai berikut:
1) Benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana;
2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana;
4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak
pidana;
5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan (Pasal 39 ayat (2) KUHAP).
Benda yang berada dalam suatu penyitaan perkara perdata
atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan, sepanjang benda tersebut ada hubungannya
dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
KUHAP.

3. Tinjauan Umum Tentang Norma


Menurut pendapat Marwan Mas, kaidah atau norma merupakan tata
tertib yang berwujud kumpulan peraturan peraturan hidup tentang bagaimana
manusia sebagai individu bertindak dalam kehidupan sosialnya serta
bagaimana manusia menhindari perbuatan akan menimbulkan yang akan
menimbulkan gangguan terhadap kepentingan manusia lainnya. Kaidah atau
commit
norma berarti aturan hukum atau to user(Marwan Mas, 2004: 41).
penilaian
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

Menurut pendapat H. Riduan Syahrani beliau berkesimpulan bahwa


norma bertujuan untuk menjaga agar hubungan individu dalam masyarakat
selalu harmonis, maka perlu adanya petunjuk hidup. Petunjuk hidup biasanya
dinamakan norma (kaidah) yang merupakan pedoman, patokan, atau ukuran
untuk berperilaku yang pantas dalam kehidupan di dalam masyarakat.
Selanjutnya dikemukakan norma norma yang mengatakan segala
macam hubungan antara individu terdapat 4 (empat) macam, yaitu norma
agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum (Riduan Syahrani,
1999: 15).

4. Tinjauan Tentang Antinomy Normen


Di dalam kamus bahasa Inggris maupun bahasa Belanda tidak
diketemukan pengertian Antinomy, untuk memberikan pengertian Antinomi
Norma (Antinomy Norm), maka penulis mengutip pendapat dari Ahmad Rivai
yang antara lain mengatakan : dalam identifikasi aturan hukum sering kali
dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in hes
recht), konflik antar norma hukum (Antinomy Norm) dan norma yang kabur
(vage norm) atau norma yang tidak jelas. Antinomy Normen dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai konflik norma / pertentangan norma (Ahmad
Rivai, 2010: 90).

5. Tinjauan Tentang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003


a. Pengertian Advokat
Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik
didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam Undang-Undang
Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang
memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim,
jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu
sama lain.
Menurut Brigid Coleman. A, Advokat diartikan sebagai
berikut :
Lawyer is a representative of clients, an officer of the legal
system and a public citizen having special responsibility for
the quality of justice.”A lawyer’s varied roles include advisor,
advocate, negotiator, intermediary, and evaluator. Lawyers
are generally concerned only with legal issues and conditions
that directly affect a specific case.9 In addition, the legal
profession commonly reflects an individualistic and
noncollaborative view. Finally, social justice is not an explicit
goal of the legal profession. Lawyers see justice as the
efficient result of an adversarial system; as long as they serve
their clients well, justice is served in that process (Pengacara
adalah wakil dari klien yang memiliki tanggung jawab khusus
untuk menegakkan keadilan. Pengacara mempunyai peran
yang bervariasi, termasuk advokat, perunding, perantara dan
penilai. Pengacara pada umumnya hanya peduli dengan
masalah hukum dan kondisi yang secara langsung
mempengaruhi kasus tertentu. Selain itu, profesi hukum
umumnya mencerminkan pandangan individualis dan non-
kolaborasi. Akhirnya, keadilan sosial bukanlah tujuan eksplisit
dari profesi hukum. Pengacara melihat keadilan sebagai hasil
yang efisien dari sistem bermusuhan, selama mereka melayani
klien mereka dengan baik, keadilan dilayani dalam proses itu)
(Brigid Coleman, 2001: 134).

Sedangkan Elizabeth F. Loftus, mengartikan Advokat dengan :


Lawyers’ litigation forecasts play an integral role in the
justice system. In the course of litigation, lawyers constantly
make strategic decisions and/or advise their clients on the
basis of their perceptions and predictions of case outcomes.
The study investigated the realism in predictions by a sample
of attorneys (n _ 481) across the United States who specified a
minimum goal to achieve in a case set for trial. They estimated
their chances of meeting this goal by providing a confidence
estimate. After the cases were resolved, case outcomes were
compared with the predictions. Overall, lawyers were
overconfident in their predictions, and calibration did not
increase with years of legal experience. Female lawyers were
slightly bettercommit to user
calibrated than their male counterparts and
showed evidence of less overconfidence. In an attempt to
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

reduce overconfidence, some lawyers were asked to generate


reasons why they might not achieve their stated goals. This
manipulation did not improve calibration (Pengacara litigasi
memainkan peran integral dalam sistem peradilan. Dalam
litigasi, pengacara terus-menerus membuat keputusan-
keputusan strategis dan/atau menyarankan klien mereka
berdasarkan persepsi dan prediksi kasus hasil mereka. Studi
diselidiki menggunakan prediksi yang nyata dengan sampel
pengacara di amerika serikat minimal untuk mencapai tujuan
tertentu dalam kasus yang ditetapkan untuk diadili. Mereka
memperkirakan peluang mereka untuk memenuhi tujuan ini
dengan menyediakan perkiraan melalui kepercayaan. Setelah
kasus-kasus diselesaikan, hasilnya dibandingkan dengan
prediksi. Secara keseluruhan, pengacara yang terlalu percaya
diri dalam prediksinya dan hasil teraan tidak meningkatkan
pengalaman hukum pada tahun-tahun berikutnya. Pengacara
wanita sedikit lebih baik dalam hasil teraannya daripada
pengacara pria yang menunjukkan bukti percaya diri yang
terlalu berlebihan. Dalam upaya untuk mengurangi
kepercayaan diri yang terlalu berlebihan, beberapa pengacara
dimintai alasan mengapa mereka tidak bisa mencapai tujuan
mereka. Manipulasi ini tidak meningkatkan hasil teraan)
(Elizabeth F. Loftus, 2010: 133).

Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan


negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan
yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini
diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan
polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak
termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan
fungsinya secara mandiriuntuk mewakili kepentingan masyarakat
(klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan
eksekutif).
Sebagai konsekuensi dari perbedaan konsep tersebut, maka
hakim dikonsepsikan memiliki kedudukan yang objektif dengan cara
berpikir yang objektif pula sebab mewakili kekuasaan negara di bidang
yudikatif. Oleh sebab itu, dalam setiap memeriksa, mengadili, dan
commit
menyesesaikan perkara, to userhakim selain wajib mengikuti
seorang
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

peraturan perundang-undangan harus pula menggali nilai-nilai keadilan


yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang
subjektif dengan cara berpikir yang subjektif pula sebab mewakili
kepentingan pemerintah (eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran
hukum (undang-undang), maka jaksa dan polisi diberikan kewenangan
oleh undang-undang untuk menindaknya tanpa harus menggali nilai-
nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang), maka
akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil tindakan.
Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang
subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif
Advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk
membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum
tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan
keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik
ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara
yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang
memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan
kepada klien.
b. Kewajiban Advokat
Kewajiban Advokat menurut Pasal 18 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Advokat, seorang advokat wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan
profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Advokat
berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk
perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik Advokat. Selanjutnya dalam menjalankan tugasnya seorang
advokat wajib untuk menjunjung tinggi etika yang telah ditentukan
commit to user
dalam kode etik advokat.
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

Kode etik advokat sangat berkaitan erat dengan Ethika. Ethika


merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku
yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang
baik dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang.
Ethika moral ini menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma
ethika yang mencakup theori nilai tentang hakekat apa yang baik dan
apa yang buruk, dan theori tentang perilaku “conduct” tentang
perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.
Moral ini berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama atau
kepercayaan maupun adat-kebiasaan masyarakat yang bersangkutan.
Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila sebagai dasar ideologi Negara
dan pandangan hidup dan jati diri bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai
Pancasila harus menjadi landasan ethika moral bangsa Indonesia,
termasuk sila Pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang menunjukkan bahwa, seluruh bangsa Indonesia adalah bangsa
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di dalamnya
adalah seorang Advokat.
Dari ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf a. Kode
Etik Advokat Indonesia dapat disimpulkan bahwa seorang advokat,
dalam menjalankan profesinya, harus selalu berpedoman kepada :
1). Kejujuran profesional (professional honesty) sebagaimana
terungkap dalam Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia
dalam kata-kata “Oleh karena tidak sesuai dengan keahilannya”,
dan
2). Suara hati nurani (dictate of conscience).
Keharusan bagi setiap advokat untuk selalu berpihak kepada yang
benar dan adil dengan berpedoman kepada suara hati nuraninya
berarti bahwa bagi advokat Indonesia tidak ada pilihan kecuali
menolak setiap perilaku yang berdasarkan “he who pays the piper
calls the tune” karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah
commit to user
pelacuran profesi advokat.
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

Keperluan bagi advokat untuk selalu bebas mengikuti suara


hati nuraninya adalah karena di dalam lubuk hati nuraninya, manusia
menemukan suatu satu hukum yang harus ia taati. Suara hati nurani
senantiasa mengajak manusia untuk melakukan yang baik dan
mengelakkan yang jahat. Hati nurani adalah inti yang paling rahasia dan
sakral dari manusia. Di sana ia berada sendirian dengan Allah, suara
siapa bergema dalam lubuk hatinya. Makin berperan hati nurani yang
benar, maka makin banyak advokat akan meninggalkan sikap dan
perilaku sesuka hati dan berusaha dibimbing oleh kaidah-kaidah moral
yang objektif.
Dalam proses penegakan hukum ini, kita para lawyers baik di
bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maupun di bidang pemberian
jasa hukum harus berperan secara positif-konstruktif untuk ikut
menegakkan hukum yang berkeadilan. Janganlah berperan secara
negatif-destraktif dengan menyalahgunakan hukum, sehingga akhir-
akhir ini muncul tuduhan adanya “mafia peradilan”, penyelewengan
hukum, kolusi hukum dan penasehat hukum yang pinter-busuk
(“advocaat in kwade zaken”) yang memburamkan Negara kita sebagai
Negara hukum.
Satu-satunya profesi yang menyandang predikat sebagai
profesi terhormat (officium nobile) adalah Advokat. Predikat itu
sesungguhnya bukan “gelar kehormatan” yang diberikan masyarakat
atau penguasa, karena para advokat telah berjasa kepada masyarakat
dan Negara. Akan tetapi, predikat itu muncul karena tanggung jawab
yang dibebankan kepada advokat.
Dalam kode etik advokat Indonesia tahun 2002 dijelaskan
bahwa Kode Etik Advokat Indonesia merupakan hukum tertinggi dalam
menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun
membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan
bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien,
commitlawan
pengadilan, negara, UUD, to userberperkara, rekan advokat atau
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Advokat sebagai


profesi hukum (officium nobile) dalam menjalankan profesinya harus
menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan
menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi
(file:///D:/01.%20data%20new/urgensi-pembentukan-dewan-etika-
profesi-advokat-nasional-broleh--dr-frans-h-winarta-sh--
mh.htm>(Diakses, Rabu 20 Juni 2012 pukul 11.55 WIB).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kode etik
yang mengatur mengenai kepribadian advokat sangat berkaitan erat
dengan Ethika, yang bertujuan agar orang hidup bermoral baik dan
berkepribadian luhur (berkharakter), sesuai dengan ethika moral yang
dianut oleh kesatuan/lingkungan hidupnya (dalam hal ini adalah Negara
Indonesia yang berdasarkan dan berideologikan Pancasila). Sehingga,
sudah sepantasnya jika seseorang advokat harus memiliki kepribadian
yang luhur dan mulia, berkaitan dengan predikat yang disandangnya
sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran

UNDANG – UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981


TENTANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap


benda – benda milik tersangka/terdakwa

Menolak Penyitaan
Kewajiban untuk
merahasiakan segala
sesuatu yang
Penasehat Hukum Tersangka diketahui atau
diperoleh dari
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 Tentang
Kliennya termasuk
Advokat perlindungan. atas
berkas dan
dokumennya
terhadap penyitaan.

Terjadi Pertentangan
Norma

Pertentangan norma antara Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana terkait tentang penyitaan terhadap
benda-benda milik tersangka dengan dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat terkait masalah penyitaan dan
kewajiban memegang kerahasiaan bagi klien.

commitKerangka
Gambar 1. Skematik to user Pemikiran
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

Keterangan :

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih


dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
hukum acara pidana Penyidik memliki hak untuk dapat melakukan penyitaan
terhadap benda-benda milik tersangka /terdakwa, akan tetapi pada kenyataannya
didalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 seorang advokat juga memiliki hak
untuk menolak penyitaan dan kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang
diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya,serta seorang
Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk
perlindungan. atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan. Atas dasar tersebut
maka timbul pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana terkait tentang penyitaan terhadap benda-benda milik
tersangka dengan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
terkait masalah penyitaan dan kewajiban memegang kerahasiaan bagi klien.
Atas dasar tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
tentang pertentangan norma tersebut dan cara penyelesaian yang ditempuh oleh
hakim manakala terjadi pertentangan norma sebagaimana tersebut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi
Dalam perkara ini ada 2 (dua) orang terdakwa yaitu I. H. Moch.
Ansori Alias H. As’ari yang mengaku sebagai pemilik sertifikat Hak Milik
No. 94/Kel.Sebani, Kota Pasuruan a.n. Subakti yang menolak untuk disita
penyidik dari Polresta Pasuruan, dengan membawa Surat Perintah Penyitaan
Barang Bukti No. Pol. SP.Ta/97/XI/2005/Reskrim tanggal 21 Nopember,
2005 dan Penetapan Penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan
Nomor.W.10.25P1.03.07/61/PN Psr, pihak Penyidik yang menanyai perkara
pidana penggelapan yang dilakukan tersangka Moch. Munip dengan alasan
terdakwa I telah membeli tanah tersebut dari tersangka Moch Munip,
sedangkan pihak Penyidik berkeyakinan bahwa sebelumnya tanah tersebut
telah dijual oleh tersangka Moch Munip kepada Rudi Harsono.
Terdakwa I kemudian meminta bantuan hukum kepada terdakwa II
Sugiarto, SH, seorang advokat untuk membela hak-haknya, dan kemudian
sertifikat dimaksud diserahkan terdakwa I kepada terdakwa II, ternyata
terdakwa II tidak mau menyerahkan sertifikat tersebut dengan alasan hal itu
bertentangan dengan Pasal 5, 16 dan 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat.
Atas hal tersebut, penyidik Polresta Pasuruan kemudian menetapkan
terdakwa I dan terdakwa II melanggar Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 ayat (1)
ke -1 KUHP, yaitu kedua terdakwa telah melakukan yang menyuruh lakukan
atau turut melakukan perbuatan itu, dengan sengaja, mencegah, merintangi
atau menggagalkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang
pegawai negeri.

commit to user

32
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

2. Identitas Terdakwa
a. Terdakwa I
Nama lengkap : H. Moch. Ansori alias H. As’ari
Tempat lahir : Pasuruan
Umur/tanggal lahir : 54 tahun / 30 Juni 1953
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jl. Raya Mendalam, Ds. Mendalan, Kec.
Winogan, Kabupaten Pasuruan
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta

b. Terdakwa II
Nama lengkap : Sugianto, SH
Tempat lahir : Bangli
Umur/tanggal lahir : 42 tahun / 2 Nopember 1964
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Perum Permata Asri Blok M No. 14 RT. 01
RW.05 Kel. Gerpeng, Kec. Bangli, Kab.
Pasuruan
Agama : Islam
Pekerjaan : Advokat

3. Dakwaan Penuntut Umum


Bahwa mereka terdakwa H. Moch. Ansori alias H. As'ari baik
bertindak sendiri maupun bersama-sama dengan terdakwa Sugianto, S.H.,
pada hari Kamis, tanggal 8 Desember 2005 sekitar jam 11.30 WIB atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Desember 2005 atau setidak-
tidaknya dalam tahun 2005, bertempat di Kantor Sat Reskrim Polresta
commit
Pasuruan, atau setidak-tidaknya padatosuatu
user tempat lain yang masih termasuk
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

daerah hukum Pengadilan Negeri Pasuruan, mereka terdakwa telah


melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu,
dengan sengaja, mencegah, merintangi, atau menggagalkan suatu perbuatan
yang dilakukan oleh salah seorang pegawai negeri itu, dalam menjalankan
suatu peraturan undang-undang, perbuatan mana dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, awalnya
penyidik dari Polresta Pasuruan, yaitu Hendra Trio Wijaya telah menangani
perkara pidana penggelapan yang dilakukan oleh tersangka Mochamad
Munip dengan objek Sertifikat Hak Milik No. 94, Kel. Sebani, Kec.
Gadingrejo, Kota Pasuruan atas nama Subakti yang saat itu sertifikat berada
di tangan terdakwa H. Mochamad Ansori dengan alamat Jl. Slamet Riyadi
Kel. Gentong, Kec. Gadingrejo, Kota Pasuruan. Kemudian pada tanggal 3
Desember 2005 sekitar pukul 11.00 WIB, Hendra Trio Wijaya bersama
Denny Wahyu Promintodarko selaku penyidik Polresta Pasuruan mendatangi
lagi ke rumah terdakwa H. Mochamad Ansori dengan alamat di Jalan Slamet
Riyadi Kel. Gentong, Kec. Gadingrejo, Kota Pasuruan, dengan membawa
Surat Perintah Penyitaan Barang Bukti No. PoL: SP.Ta/97/XI/2005/Reskrim,
tanggal 21 November 2005 dan Penetapan Penyitaan dari Pengadilan Negeri
Pasuruan Nomor: W-10.D.25.PI.03.07.161/PN.Psr., namun tidak bertemu
dengan terdakwa H. Mochamad Ansori dan ditemu, oleh kedua anaknya yang
bernama Lutfi dan Munir, kemudian Hendra dan Denny menunjukkan Surat
Perintah Penyitaan dan Penetapan Izin Penyitaan Barang Bukti Sertifikat No.
94 atas nama Subakti tersebut dari Pengadilan Negeri Pasuruan serta
menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan penyidik dari Polresta Pasuruan
tersebut dan kedua anaknya terdakwa H. Mochamad Ansori menolak dengan
alasan karena khawatir sertifikat tersebut dalam persidangan jatuh ke tangan
pelapor Rudi Harsono kemudian kedua penyidik Polresta Pasuruan kembali
pulang ke Polresta Pasuruan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

Kemudian pada tanggal 6 Desember 2005, Hendra Trio Wijaya dan


Siswanto serta Denny selaku penyidik Polresta Pasuruan mendatangi rumah
H. Mochamad Ansori di Winongan, Kabupaten Pasuruan, untuk
mengantarkan surat panggilan dan juga menjelaskan akan melakukan
penyitaan sertifikat dengan menunjukkan Surat Perintah Penyitaan dengan
Nomor: SP.Ta/97/XI/2005/Reskrim dan juga menunjukkan Penetapan
Penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan dengan Nomor: W-
10.D.25.PL03.07.161/PN.Psr, tanggal 29 November 2005, namun setelah
dijelaskan H. Mochamad Ansori menolak/tidak mengizinkan Sertifikat No.
94 atas nama Subakti untuk dilakukan penyitaan, malah sertifikat tersebut
diseraiikan/dikuasakan kepada Sugianto, S.H., selaku Penasihat Hukumnya.
Kemudian atas kejadian tersebut di atas pada tanggal 8 Desember
2005 sekitar jam 10.00 WIB terdakwa Sugianto, S.H.; datang ke Sat Reskrim
Polresta Pasuruan untuk memenuhi panggilan dengan dasar panggilan
Nomor: SPgI/152/XII/2005/Reskrim, dan pada waktu itu Kasat Reskrim AKP
Sunardi Riyono, S.H.; menjelaskan akan menyita Sertifikat Hak Milik No.
94, Kel. Sebani, Kec. Gadingrejo, Kota Pasuruan atas nama Subakti, namun
setelah dijelaskan terdakwa Sugianto, S.H., tetap tidak mau menyerahkan
sertifikat tersebut dengan alasan sertifikat tersebut setelah dalam persidangan
akan jatuh ke tangan pelapor, yaitu Rudi Harsono lalu dibuatkan Berita Acara
Penolakan Penyerahan Barang Bukti Sertifikat Nomor 94 atas nama Subakti,
dan saat itulah Kasat Reskrim membuat laporan polisi dengan Nomor:
K/LP/373/XII/ 2005/Reskrim, tanggal 8 Desember 2005 dengan tersangka H.
Mochamad Ansori dan Sugianto, S.H., menghalang-halangi penyitaan barang
bukti berupa Sertifikat Nomor 94 atas nama Subakti dalam perkaranya Moch.
Munip tersebut;
Perbuatan mereka terdakwa diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 216 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

4. Keterangan Para Saksi


Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil dakwaannya,
Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi, yang telah didengar
keterangannya di bawah sumpah di persidangan, yang pada pokoknya sebagai
berikut.
Saksi 1: Hendra Trio Wijaya
a. Bahwa saksi adalah anggota Polresta Pasuruan yang ikut membantu
menangani perkara penggelapan sertifikat tanah dengan tersangka
Moch. Munip, dengan saksi pelapor Rudi Harsono;
b. Bahwa dari pengembangan pemeriksaan tersangka Moch. Munip,
diketahui sertifikat tanah tersebut aslinya ada pada terdakwa I.H.
Ansori;
c. Bahwa untuk itu dibuatkan surat penyitaan yang ditandatangani oleh
Kasat Reskrim Polresta Pasuruan untuk menyita sertifikat tersebut.
d. Bahwa pada tanggal 3 Desember 2005, saksi bersama dengan dua orang
rekannya, yaitu Denny Wahyu dan Siswanto datang ke rumah terdakwa
I H. Ansori di Gentong dengan membawa surai perintah penyitaan dan
penetapan izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan untuk
melakukan penyitaan terhadap sertifikat s tanah tersebut;
e. Bahwa saat itu terdakwa I H. Ansori tidak ada di rumah dan saksi hanya
bertemu dengan dua orang anak H. Ansori, yang setelah saksi
perlihatkan surat penyitaan dan penetapan Pengadilan Negeri Pasuruan
tersebut, akan tetapi kedua anaknya terdakwa I H. Ansori tidak
mengizinkan sertifikat tanah itu disita dengan alasan khawatir nantinya
akan jatuh ke tangan Rudi Harsono;
f. Bahwa pada tanggal 6 Desember 2005, saksi bersama dua rekannya itu
kembali mendatangi terdakwa I H. Anshori di rumahnya di Winongan,
dengan memperlihatkan surat penyitaan dan penetapan dari Pengadilan
Negeri untuk melakukan penyitaan sertifikat tanah tersebut, akan tetapi
terdakwa I H. Ansori mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut telah
commit
diserahkan kepada Kuasa to useryaitu Sugianto (terdakwa II);
Hukumnya,
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

g. Bahwa kemudian dibuatkan surat panggilan untuk menghadap ke


Polresta Pasuruan untuk terdakwa I, dan selanjutnya pada tanggal 8
Desember 2005, terdakwa I dengan didampingi Kuasa Hukumnya yaitu
terdakwa II, datang menghadap penyidik dan juga Kasat Reskrim, akan
tetapi terdakwa I dan terdakwa II tetap tidak mau menyerahkan
sertifikat tanah tersebut kepada penyidik dengan dasar hukum Undang-
Undang Advokat, walaupun Kasat Reskrim telah menunjukkan surat
penyitaan dan penetapan izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri;
h. Bahwa pada tanggal 14 Desember 2005, setelah dibuatkan panggilan
untuk terdakwa I, yang datang kepada penyidik adalah Kuasa
Hukumnya, yaitu terdakwa II, dan saat itu di hadapan saksi dan
beberapa anggota penyidik Polresta Pasuruan serta Kasat Reskrim,
terdakwa II tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tanah dengan tetap
mengacu pada Undang-undang Advokat, sehingga dibuatkan berita
acara penolakan untuk menyerahkan sertifikat tanah yang
ditandatangani oleh terdakwa II,
i. Bahwa atas penolakan tersebut, maka oleh Kasat Reskrim Polresta
Pasuruan dibuatkan surat laporan polisi atas tindakan terdakwa I dan II
yang menghalang-halangi penyidikan Polisi dengan tidak mau
menyerahkan sertifikat tanah tersebut, tertanggal 14 Desember 2005.
j. Bahwa terdakwa I menjadi saksi dalam perkaran Moch. Munip pada
saat penyidikan di Polresta Pasuruan dan kemudian menjadi saksi pula
dalam tingkat persidangan di Pengadilan Negeri Pasuruan;
k. Bahwa saksi hanya mendengar saja ada surat kuasa dari terdakwa I
kepada terdakwa II dalam mendampingi terdakwa I ke penyidik;
l. Bahwa saksi menribPnarkan barang bukti yang ditunjukkan terhadapnya
di persidangan oleh Majelis Hakim;
Atas keterangan saksi yang pertama tersebut, terdakwa I tidak
keberatan, sedangkan terdakwa II menyatakan bahwa ia juga pernah datang
ke Polresta Pasuruan pada tanggal 6 Desember 2005, sedangkan keterangan
saksi yang lainnya, terdakwa commit
II tidak to user
keberatan;
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

Terhadap keberatan terdakwa II tersebut, saksi menyatakan tetap


pada keterangannya tersebut;
Saksi II: Denny Wahyu Promintodarko
a. Bahwa saksi adalah penyidik pembantu Polresta Pasuruan yang
menangani perkara penggelapan sertifikat tanah dengan tersangka
Moch. Munip, dan saksi pelapor Rudi Harsono;
b. Bahwa dari pemeriksaan terhadap tersangka Moch. Munip, diketahui
sertifikat tanah tersebut aslinya ada pada terdakwa I H. Ansori;
c. Bahwa menurut tersangka Moch. Munip, senifikat tanah tersebut atas
nama Subakti, dan telah menjadi milik dari Moch. Munip karena
merupakan warisan dari orang tuanya;
d. Bahwa setahu saksi, Moch. Munip dan Subakti adalah kakak beradik;
e. Bahwa kemudian tanah itu dijual oleh Moch.Munip kepada Rudi
Harsonc dan ada kwitansinya yang saat ini ada pada berkas perkara
Moch. Munip;
f. Bahwa kemudian Rudi Harsono meminta Moch. Munip untuk mengurus
akta jual beli dan sertifikat tanah tersebut agar menjadi atas nama Rudi
Harsono, tetapi oleh Moch. Munip ternyata setifikat tanah itu
digadaikan kepada terdakwa I H. Ansori;
g. Bahwa dalam perkara penggelapan atas nama tersangka Moch. Munip
tersebut, terdakwa I menjadi saksi;
h. Bahwa kemudian untuk keperluan penyidikan perkara itu, maka
dibuatkan surat penyitaan atas sertifikat tanah tersebut yang di-
tandatangani oleh Kasat Reskrim Polresta Pasuruan dan dimintakan
pula penetapan izin khusus penyitaan atas sertifikat tersebut" dari
Pengadilan Negeri Pasuruan;
i. Bahwa pada tanggal 3 Desember 2005, saksi bersama dengan dua orang
rekannya, yaitu Hendra Trio Wijaya dan Siswanto datang ke rumah
terdakwa I H. Ansori di Gentong dengan membawa surat penyitaan dan
juga penetapan izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan
commit
untuk melakukan penyitaan to usersertifikat iaraah itu;
terhadap
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

j. Bahwa saat itu terdakwa I H. Ansori tidak akta di rumah dan hanya
ditemui oleh dua orang anak H. Ansori, yang setelah saksi perlihatkan
surat penyitaan dan penetapan Pengadilan Negeri Pasuruan tersebut,
kedua anak terdakwa I H. Ansori tidak mengizinkan sertifikat tanah itu
disita dengan alasan khawatir nantinya akan jatuh ke tangan saksi
pelapor Rudi Harsono;
k. Bahwa pada tanggal 6 Desember 2005, saksi bersama dua rekannya
tersebut kembali mendatangi terdakwa I H. Ansori di rumahnya di
Winongan, dengan memperlihatkan surat penyitaan dan penetapan dari
Pengadilan Negeri untuk melakukan penyitaan sertifikat tanah tersebut,
tetapi terdakwa I H. Anshori mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut
telah diserahkan kepada Kuasa Hukumnya, yaitu Sugianto (terdakwa
II);
l. Bahwa surat perintah penyitaan dibuat 2 (dua) kali oleh saksi sendiri
karena upaya penyitaan dilakukan dua kali, yaitu pada tanggal 3 dan 6
Desember 2005, dan batas waktu surat penyitaan tersebut 1 x 24 jam;
m. Bahwa kemudian dibuatkan surat panggilan untuk menghadap ke
Polresta Pasuruan untuk terdakwa I, dan selanjutnya pada tanggal 8
Desember 2005, terdakwa II sebagai Kuasa Hukum terdakwa I, datang
menghadap penyidik dan juga Kasat Reskrim, tetapi terdakwa II tetap
tidak mau menyerahkan sertifikat tanah tersebut kepada penyidik
dengan dasar hukum Undang-Undang Advokat, walaupun telah
ditunjukkan surat penyitaan dan penetapan izin khusus penyitaan dari
Pengadilan Negeri oleh Kasat Reskrim;
n. Bahwa pada tanggal 14 Desember 2005, setelah dibuatkan panggilan
untuk terdakwa I, yang datang kepada penyidik adalah terdakwa II
sebagai Kuasa Hukum terdakwa I, dan saat itu dihadapkan saksi dan
beberapa anggota penyidik Polresta Pasuruan serta Kasat Reskrim,
terdakwa II tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tanah dengan dasar
Undang-undang Advokat, sehingga dibuatkan berita acara penolakan
untuk menyerahkan commit to user
sertifikat tanah yang ditandatangani oleh
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

terdakwa II,
o. Bahwa atas penolakan tersebut, maka oleh Kasat Reskrim Polresta
Pasuruan dibuatkan surat laporan politi atas tindakan terdakwa I dan II
yang menghalangi proses penyitaan pada tanggal 14 Desember 2005;
p. Bahwa terdakwa I dalam tingkat penyidik menjadi saksi dalam perkara
penggelapan a.n tersangka Moch. Munip, yang kemudian diadili dan
dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana penjara oleh Pengadilan
Negeri Pasuruan.
q. Bahwa saksi tidak membaca surat kuasa dari terdakwa I kepada
terdakwa II tetapi saksi melihatnya saat dipegang oleh Kasat Reskrim;
r. Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang ditunjukkan terhadapnya
di persidangan oleh Majelis Hakim;
Atas keterangan saksi yang kedua ini, terdakwa I tidak keberatan,
sedangkan terdakwa II akan menanggapinya dalam pembelaan:
Saksi III: Sunardi Riyono.S.H.
a. Bahwa sebagai Kasa Reskrim Polresta Pasuruan saksi mendapat
laporandar saksi pelapor Rudi Harsono mengenai penggelapan/penipuan
atas sertifikat tanah No. 04, atas nama Subakti yang dilakukan oleh
Moch. Kunip;
b. Bahwa kemudian dilakukan penyidikan dengan tersangka Moch. Munip
dan ternyata sertifikat tersebut telah digadaikan Moch. Munip kepada
terdakwa/ H. Ansori sehingga untuk kepentingan pembuktian perkara
maka dilakukan upaya penyitaan sertifikat tanah tersebut dari H. Ansori.
c. Babwa pada tanggal 3 Desember 2005.dilakukan upaya penyitaan
sertifikat oleh bawahan saksi, yaitu Siswanto sebagai Kanit dengan dua
orang anggotanya, yaitu Denny Wahyu, Hendra Trio Wijaya yang
datang ke rumah terdakwa I H. Ansori di Gentong, tetapi tidak berhasil;
d. Bahwa pada tanggal 6 Desember 2005, dilakukan upaya penyitaan yang
kedua oleh 3 (tiga) orang bawahan saksi tersebut, di rumah terdakwa I
di Winongan, tetapi juga tidak berhasil;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

e. Bahwa menurut anggota saksi tersebut, alasan terdakwa I tidak mau


menyerahkan sertifikat tanah itu karena takut jatuh ke tangan Rudi
Harsono sehingga sertifikat diserahkan kepada terdakwa II sebagai
Kuasa Hukumnya;
f. Bahwa dalam kedua upaya penyitaan tersebut, ketiga anggota saksi
tersebut selalu disertai dengan surat perintah penyitaan yang
ditandatangani oleh saksi, tetapi saksi tidak ingat berapa kali surat
perintah penyitaan itu dibuat;
g. Bahwa kepada terdakwa I sudah dijelaskan oleh anggota saksi, bahwa
tujuan penyitaan ini adalah untuk kepentingan penangkapan, penyidikan
dan pembuktian dalam perkara Moch. Munip dan bukan untuk
dikembalikan kepada saksi pelapor Rudi Harsono seperti yang
dikhawatirkan terdakwa I;
h. Bahwa terdakwa II sebagai kuasa hukum dari terdakwa l, pernah 3
(tiga) kali datang menghadap,saksi di Kantor Polresta Pasuruan dalam
rangka mewakili terdakwa I dan ada surat kuasanya untuk mendampingi
terdakwa I dalam tingkat penyidikan sampai dengan persidangan;
i. Bahwa kepada terdakwa II, saksi selalu memberitahukan maksud
penyitaan ini untuk kepentingan proses hukum dan pembuktian dalam
perkara pidana berupa penggelapan atas nama tersangka Moch. Munip
sebagaimana Pasal 38 dan 46 KUHAP, dan bukan untuk dikembalikan
kepada saksi pelapor Rudi Harsono;
j. Rahwa pada tanggal 8 Desember 2005, terdakwa II datang menghadap
saksi untuk wakili terdakwa I, dan tetap menolak penyitaan tersebut
dengan asalan melindungi kliennya sesuai Pasal 18 Undang-undang
Advokat;
k. Bahwa saksi berdiskusi dengan teman-teman di Pengadilan Negeri dan
setelah itu saksi membuat laporan polisi dengan dasar Pasal 216 KUHP,
yaitu terdakwa I dan terdakwa II menghalangi upaya penyidikan oleh
Polisi;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

l. Bahwa kemudian pada tanggal 14 Desember 2005, terdakwa II datang


menghadap saksi kembali, dan setelah dijelaskan oleh saksi, terdakwa II
tetap tidak mau menyerahkan sertifikat tersebut dengan alasan yang
sama Pasal 18 Undang-Undang Advokat, maka dibuatkan berita acara
penolakan penyitaan sertifikat, yang ditandatangani oleh terdakwa II;
m. Bahwa setahu saksi, Moch. Munip dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana penjara, di mana Moch. Munip tidak banding, sehingga
perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan sekarang Moch. Munip
telah selesai menjalani masa pidananya;
n. Bahwa saksi tidak pernah melihat sertifikat tanah tersebut yang asli, dan
hanya melihat fotokopinya saja dan sertifikat itu atas nama Subakti;
o. Bahwa masa berlakunya Surat Perintah Penyitaan itu adalah 2 x 24 jam
p. Bahwa surat persetujuan penyitaan diterbitkan jika penyitaan sudah
dilakukan oleh penyidik, sedangkan surat izin khusus diterbitkarn
sebelum penyitaan dilakukan oleh penyidik;
q. Bahwa saksi membuat dulu surat perintah penyitaan dan kemudian
meminta surat izin khusus penyitaan dari Pengadilan Negeri Pasuruan;
r. Bahwa saksi membenArkan barang bukti yang ditunjukkannya di
persidangan oleh Majelis Hakim;
Atas keterangan saksi ketiga ini, terdakwa I tidak keberatan,
sedangkan terdakwa II menyatakan bahwa ia menolak perintah penyitaan
tersebut dengan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat dan yang lainnya akan, ditanggapi dalam pembelaan;
Atas tanggapan terdakwa II, saksi ketiga ini tetap pada
keterangannya;
Saksi IV: Rudi Harsono
a. Bahwa saksi adalah saksi pelapor dalam nerkara penggelapan sertifikat
tanah atas nama Subakti milik saksi yang dilakukan oleh Moch. Munip;
b. Bahwa tanah tersebut telah saksi beli dari Moch. Munip dengan harga
Rp17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

c. Bahwa sebelumnya Moch. Munip mempunyai utang kepada saksi


sebesar Rp13.500.000,- (tiga belas juta lima ratus ribu rupiah) dan
belum dibayar hingga satu tahun, lalu saksi hanya menambah uang
sebesar Rp4.000.000,- (empat juta rupiah) untuk menambah pembelian
tanah tersebut dari Moch. Munip;
d. Bahwa jual beli dilakukan di rumah Subakti dengan menandatangani
sebuah surat jual beli di bawah tangan dan kwitansi, di mana saksi
sebagai pembeli, Subakti sebagai penjual dan Moch. Munip serta
suaminya Subakti sebagai saksi jual beli tanah ,tersebut, dan ; kemudian
sertifikat diserahkan kepada saksi;
e. Bahwa dari Subakti, saksi tahu tanah tersebut adalah milik Moch.
Munip yang dihibahkan oleh orang tuanya, tetapi belum dibalik nama
kepada Moch. Munip, dan hubungan Subakti dengan Moch. Munip
adalah kakak beradik;
f. Bahwa karena saksi tinggal di Surabaya, maka satu minggu kemudian
saksi meminta tolong kepada Moch. Munip yang tinggal di Pasuruan
untuk mengurus akta jual beli ke Notaris dan juga sertifikat balik nama
tanah tersebut menjadi atas nama saksi;
g. Bahwa saksi memang belum menyerahkan biaya pengurusan atas tanah
tersebut kepada Moch. Munip;
h. Bahwa setelah sekitar 3 (tiga)/4 (empat) bulan kemudian saksi
menanyakan kepada Moch. Munip, tetapi katanya masih dalam proses;
i. Bahwa setelah lama menanti, akhirnya saksi tahu dari kakak ipar Moch.
Mursip, yaitu Mulia Drajad bahwa tanah tersebut telah dijual lagi oleh
Moch. Munip kepada H. Ansori dan saat diminta
pertangggungjawabannya, Moch. Munip tidak juga mengembalikan
tanah tersebut kepada saksi, sehingga saksi melaporkan Moch. Munip
ke Polresta Pasuruan;
j. Bahwa Moch. Munip telah diproses hingga kemudian diadili dan
dinyatakan terbukti bersalah menggelapkan sertifikat tanah milik saksi
commitselama
dan dijatuhi hukuman penjara to user1(satu) tahun.
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

k. Bahwa setahu saksi, saat ini sertifikat tanah ada pada pengacaranya H.
Ansori;
l. Bahwa saksi tidak tahu barang, bukti dalam perkara ini;
Atas keterangan saksi yang keempat ini, baik terdakwa I tidak
keberatan sedangkan terdakwa II akan menanggapinya dalam pembelaan;
Saksi V: Moch Munip
a. Bahwa saksi diberi tanah dari ayahnya saksi yang saat tanah itu dibeli
oleh ayah saksi, diatasnamakan kakaknya saksi, yaitu Subakti,
kemudian tanah tersebut diberikan oleh ayahnya saksi kepada saksi;
b. Bahwa karena saksi punya utang kepada Rudi Harsono sebesar Rp12
juta lebih, maka tanah.itu kemudian dijual kepada Rudi Harsono dengan
harga Rp17.500.000,- (tujuh juta lima ratus rupiah);
c. Bahwa jual beli hanya di bawah tangan dan ada kwitansinya di mana
kemudian sertifikat tanah itu diserahkan kepada Rudi Harsono;
d. Bahwa satu minggu setelah jual beli itu, Rudi Harsono datang lagi ke
saksi dan meminta tolong agar sertifikat tanah itu dibalik nama menjadi
namanya Rudi Harsono, tetapi Rudi Harsono tidak memberikan biaya
untuk pengurusan balik nama sertifikat tersebut;
e. Bahwa karena memerlukan uang, sertifikat tanah tersebut kemudian
saksi gadaikan kepada H. Anshori seharga Rp7.000.000,- (tujuh juta
rupiah) di mana sebelumya saksi pernah punya utang kepada H. Ansori
sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah);
f. Bahwa harga pasaran tanah tersebut saat itu adalah Rp15.000.000,(lima
belas juta rupiah):
g. Bahwa saksi tidak pernah menjual tanah itu kepada H. Ansori hanya
mengadaikan saja, dan pada kertas segel yang ditulis oleh saksi di
rumah H Ansori di Gentong, ditulis, ditulis jual beli karena atas
keinginan H. Ansori dan terdakwa menulisnya karena butuh uang dan
yang menjadi saksi adalah Pak Umar;
h. Bahwa uang gadai itu, saksi gunakan untuk usaha mebel, tetapi tidak
commit
berkembang, sehingga saksi to user
tidak bisa membayar kepada H. Ansori;
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

i. Bahwa Rudi Harsono tidak mengetahui kalau sertifikat tanah miliknya,


saksi gadaikan kepada H. Ansori;
j. Bahwa atas perbuatan tersebut, kemudian saksi diproses oleh Polresta
Pasuruan hingga sampai diadili di Pengadilan Negeri Pasuruan;
k. Bahwa saat saksi diadili itu, H. Ansori dijadikan sebagai saksi. tetapi
barang buktinya adalah fotocopy dari sertifikat tanah tersebut,
sedangkan sertifikat aslinya tidak pernah diperlihatkan di persidangan
karena H. Ansori tidak membawanya saat menjadi saksi dalam perkara
itu padahal Majelis Hakim menyuruh H. Ansori untuk memperlihatkan
sertifikat tersebut;
l. Bahwa setelah pemeriksaan saksi sebagai terdakwa dalam perkara
penggelapan itu selesai, H. Ansori pernah mau memperlihatkan
sertifikat tanah itu di persidangan, tetapi tidak diterima oleh Majelis
Hakim;
m. Bahwa oleh Majelis Hakim, saksi dinyatakan bersalah melakukan
penggelapan sertifikat tanah tersebut dan dijatuhi hukuman penjara
selama 1, (satu) tahun, dan sekarang saksi telah selesai menjalani
hukuman tersebut;
Atas keterangan saksi yang kelima ini, terdakwa I keberatan karena
tanah itu bukan digadaikan, tetapi dijual kepada terdakwa I oleh saksi Moch.
Munip, sedangkan terdakwa II akan menanggapinya dalam pembelaan;
Atas bantahan terdakwa I saksi menyatakan tetap dengan
keterangannya:
Menimbang, bahwa selain itu Penuntut Umum mengajukan saksi
ahli di persidangan, tetapi saksi ahli tersebut tidak dapat dihadirkan di
persidangan, sehingga Penuntut Umum memohon kepada Majelis Hakim
untuk membacakan keterangan saksi ahli sebagainya keterangannya di Berita
Acara Pemeriksaan (ahli) yang dibuat oleh Penyidik Polwi Malang di bawah
sumpah, tetapi terdakwa II keberatan atas hal tersebut, dan atas hal tersebut,
kemudian Majelis Hakim menpersilakan Penuntut Umum untuk membacakan
pokok-pokok dari keterangancommit to user
ahli tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

a. Bahwa mengenai Pasal 43 KUHAP dalam kaitannya dengan penolakan


penyitaan yang dilakukan Advokat, jika beranjak dari ketentuan pasal
ini, di mana Advokat dapat membatalkan tindakan penyitaan atas surat
tulisan (sertifikat dapat dianggap sebagai surat), bilamana dia
menyatakan ketidaksetujuannya atas tindakan penyitaan yang dilakukan
oleh penyidik, tetapi pembatalan yang dilakukan oleh Advokat tersebut
menjadi tidak berlaku kalau ada tindakan penyitaan itu mendapat izin
khusus dari Ketua Pengadilan Negeri setempat;
b. Bahwa dalam Pasal 43 KUHAP ada ketentuan, bahwa hal-hal yang
diatur seperti tersebut di atas dapat disimpangi, dapat dikecualikan
kalau Undang-Undang menentukan lain. Undang-Undang menentukan
lain tersebut adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, di mana
dalam Pasal 18 ayat (2) menurut Sugianto, S.H., memberikan hak
kepada Advokat untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan
penyitaan atas surat/dokumen (sertifikat termasuk dalam pengertian
surat/dokumen) sifatnya mutlak tidak dapat diganggu gugat. Padahal
seperti diuraikan di atas pengertian serta pemaknaan pasal tersebut
harus dikaitkan dengan pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang No.
18 Tahun 2003 itu sendiri maupun ketentuan lain yang berkaitan dengan
pengaturan penyitaan yang ada dalam Undang-Undang lain, yakni
dalam KUHAP maupun Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman; dokumen dari tindakan penyitaan yang
dilakukan penyidik. Akan tetapi, hendaknya di balik hak tersebut,
Pengacara juga mempunyai kewajiban dalam rangka melakukan
pembelaan terhadap kliennya.
c. Bahwa dalam Pasal 1 ayat (1.3) Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI)
dinyatakan bahwa: "Advokat dalam melakukan tugasnya, tidak semata-
mata mencari imbalan materi, tetapi terutama berjuang untuk
menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur
dan bertanggung jawab";
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

d. Bahwa ketentuan tersebut kemudian dimantapkan dalam lafal, sumpah


Advokat sebagaimana Pasal 4 ayat (2) poin 3 UU No.1 Tahun 2003
berisikan: "Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagal
pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dai bertanggung jawab
berdasarkan hukum dan keadilan";
e. Bahwa dalam Pasal 39 jo. Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman ditegaskan dalam memberikan bantuan hukum,
Advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung
tinggi hukum dan keadilan;
f. Bahwa dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa tugas dan kewajiban Advokat tidak sekadar membela
kepentingan kliennya saja. Lebih dari itu Advokat berusaha dan
bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan
cara yang jujur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam
membela kepentingan kliennya, jika Advokat lebih mengedepankan
haknya daripada kewajibannya, maka tidak ditutup, kemungkinan
perbuatannya dapat dianggap sebagai upaya untuk mempersulit atau
menghalang-halangi proses penyidikan. Tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar etika keadvokatan serta
sumpah Advokat dan juga melanggar ketentuan hukum yang berlaku;
g. Bahwa tindakan Advokat yang menolak menyerahkan sertifikat yang
akan disita oleh penyidik, padahal sudah dijelaskan oleh penyidik
pentingnya sertifikat bagi kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan, dan peradilan dalam rangka penegakan hukum, keadilan,
dan kebenaran yang juga diharapkan oleh klien dan masyarakat, maka
perbuatan penolakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 KUHP;
Saksi Ahli: H. Haryono Mintaroem, S.H., M.S.
a. Bahwa saksi adalah Dosen Pengajar mata kuliah Hukum Pidana,
Hukum Pidana Korupsi, Hukum Pidana Ekonomi, dan mata kuliah
Kejahatan Nyawa dan commit to userpada Fakultas Hukum Universitas
Harta Benda
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

Airlangga di Surabaya sejak tahun 1976 sampai dengan sekarang; ,


b. Bahwa menurut saksi saat H. Moch. Ansori membeli tanah dari Moch.
Munip prosesnya tidak sesuai dengan peraturan/ketentuan yang berlaku
karena :
1) Penjual tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang sah seperti
sertifikatnya tanah tersebut bukan atas nama penjual tersebut,
yaitu Moch. Munip;
2) Kalaupun tanah tersebut bukan milik Moch. Munip, tetapi saat
dijual, tidak dapat menunjukkan surat kuasa dari yang
berhak/memiliki tanah dengan sertifikat atas nama Subakti;
3) Jual beli tidak dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT);
4) Jika dilakukan di bawah tangan, seharusnya disaksikan oleh
Kepala Desa yang membawahi wilayah di mana tanah itu terletak;
c. Bahwa jika perbuatan membeli tanah dalam kondisi seperti di atas,
maka pembelian tanah yang dilakukan oleh H. Moch. Ansori dari Moch.
Munip. dapat dikatakan perbuatan itu dikategorikan sebagai perbuatan
dalam Pasal 480 KUHP, yaitu penadahan;
d. Bahwa jika tanah itu dijual oleh Moch. Munip dengan sertifikat bukan
atas namanya, dan Moch. Munip tidak dapat menunjukkan dasar hukum
tentang asal-muasal tanah dan sertifikat tersebut sampai
dikuasai/dimiliki, kemudian yang bersangkutan menjualnya, seharusnya
calon pembeli mengetahui atau setidaknya dapat menduga tanah berikut
sertifikatnya berasal dari perbuatan melawan hukum atau dari suatu
kejahatan;
e. Bahwa tindakan yang dilakukan oleh H. Moch. Ansori yang tidak
menyerahkan sertifikat tanah pada saat penyidik akan melakukan
penyitaan sertifikat tanah SHM No. 94 atas nama Subakti yang
dikuasainya tersebut, dan malah diserahkan kepada pengacaranya, yaitu
Sugianto, S.H. (terdakwa II), tidak serta-merta dianggap sebagai
commit Pasal
perbuatan pidana sebagaimana to user
216 KUHP;
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

f. Bahwa kalau tindakan yang dilakukan menolak penyitaan yang


dilakukan penyidik, kemudian dia meminta bantuan hukum kepada
pengacaranya agar mendapat pembelaan dari pengacaranya: Untuk
maksud itu, kemudian menceritakan kasus yang dihadapinya berikut
menyerahkan sertifikat tersebut kepada pengacaranya dalam rangka
keperluan pembelaan, maka tindakan atau perbuatan H. Moch. Ansori
tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan dimaksud dalam
Pasal 216 KUHP.
g. Bahwa penyidik mempunyai kewenangan melakukan penyitaan
sebagaimana Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP dalam rangka
penyidikan, sehingga Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang
yang menguasai benda yang dapat disita menyerahkan benda tersebut
kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang
menyerahkan benda tersebut harus diberikan tanda terima;
h. Bahwa dalam rangka kepentingan penyidikan bila memang diperlukan,
penyidik dapat melakukan pengambil alihan atau penyimpanan suatu
barang termasuk suatu sertifikat guna kelengkapan pembuktian yang
sedang dilakukannya. Penyitaan dilakukan sebagaimana Pasal 38
KUHAP, dan benda yang disita paling tidak termasuk disebutkan dalam
Pasal 39 KUHAP;
i. Bahwa penyitaan sifatnya tidak untuk seterusnya tetapi hanya untuk
sementara guna kepentingan penyidikan, penuntutan bahkan juga untuk
proses peradilan (Pasal 1 angka 16 KUHAP). Jika nantinya pemeriksaan
dalam tingkat penyidikan dianggap telah selesai, atau perkara tidak jadi
dilakukan penuntutan, atau pemeriksaan perkara sudah diputus di
persidangnn maka benda sitaan akan dikembalikan kepada yang berhak
(Pasa1 46 KUHAP);
j. Bahwa tidak benar kekhawatiran terdakwa H.Moch Ansori dan/atau
pengacaranya bahwa nantinya kalau diserahkan sertifikat tersebut,
besar kemungkinan akan hilang atau diserahkan kepada orang kepada
commitatau
orang lain yang tidak berhak, to user
akan disalahgunakan oleh penyidik.
perpustakaan.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

Jika hal tersebut terjadi, maka penyidik dapat dituntut melakukan


perbuatan sebagaimana Pasal 372 KUHP atau Pasal 417 KUHP;
k. Bahwa dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat, dapat ditafsirkan memberikan perlindungan hukum
dengan memberikan hak perlindungan atas berkas dan

5. Tuntutan Penuntut Umum


Menimbang bahwa di persidangan Penuntut Umum telah
mengajukan tuntutan atas diri terdakwa yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut:
a. Menyatakan bahwa I H. Mochammad Ansori bin H. As’ari dan
terdakwa II Sugianto, S.H., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindakan pidana: “Secara bersama-sama dengan sengaja
tidak menurut perintah atau permintaan yang keras, yang dilakukan
menurut undang-undang oleh Pegawai Negeri yang diwajibkan
mengawasi atau Pegawai Negeri yang diwajibkan atau dikuasakan
mengusut atau memeriksa tindak pidana atau menghalang-halangi atau
menggagalkan suatu pekerjaan yang diusahakan oleh salah seorang
Pegawai Negeri itu, untuk menjalankan suatu peraturan perundang-
undangan. Melanggar Pasal 216 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP sebagaimana dalam Surat Dakwaan”.
b. Menjalankan pidana terhadap terdakwa I H. Mochammad Ansori bin H.
As’ari dan terdakwa II Sugianto, S.H., masing-masing dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan selama 5 (lima)
bulan;
c. Menyatakan barang bukti berupa:
1) 1 (satu) lembar Berita Acara Penolakan Penyerahan Barang Bukti
untuk dilakukan penyitaan, tanggal 14 Desember 2005;
2) 3 (tiga) lembar fotocopy Penetapan Penyitaan Nomor :
W.10.D.25.Pi.03.07.161./PN. Psr, tanggal 29 November 2005
commit to user
yang telah dilegalisir;
perpustakaan.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

3) Surat Putusan dari Hakim Pengadilan Negeri Pasuruan dalam


perkara a.n. Mohammad Munif Nomor: 05/Pid.B/2006/PN.PSR,
tanggal 15 Maret 2006 (fotocopy dilegalisir PN Pasuruan);
Terlampir dalam berkas Perkara
d. Menetapkan agar para terdakwa membayar biaya perkara masing-
masing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah)

6. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa untuk menentukan alasan apakah yang diajukan
oleh terdakwa II tersebut, yaitu sertifikat akan jatuh ke tangan saksi pelapor
Rudi Harsono dan alasan Pasal 43 KUHAP dan Pasal 18 Undang-undang No.
18 Tahun 2003 tentang Advokat itu beralasan menurut hukum ataukah tidak,
maka Majelis hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut :
Menimbang, bahwa menurut Pasal 17 KUHAP bahwa dalam rangka
penyidikan suatu perkara pidana, penyidik dapat melakukan tindakan
penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan;
Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Pasal 39 KUHAP dinyatakan
bahwa benda yang dapat disita tersebut adalah:
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana’
d. Benda yang khusus dibuat dan diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan;
f. Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena
pailit untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara
pidana. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id

Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) KUHAP


bahwa: “ Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai
benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk
kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus
diberikan surat tanda penerimaan”:
Menimbang, bahwa dengan demikian dalam perkara pidana
penggelapan sertifikat tanah No. 94 a.n. Subakti, dengan tersangka Moch.
Munip, ternyata sertifikat tanah tersebut dikuasai oleh terdakwa I, maka guna
kelengkapan pembuktian, kemudian penyidik berwenang untuk
memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita
tersebut, yaitu terdakwa I untuk menyerahkan benda tersebut kepadanya
untuk kepentingan pemeriksaan dan saat penyerahan sertifikat tanah tersebut
akan diberikan tanda penerimaannya;
Menimbang, bahwa menurut Pasal 46 KUHAP, jika nantinya
pemeriksaan dalam tingkat penyidikan dianggap telah selesai, atau perkara
tidak jadi dilakukan penuntutan, atau pemeriksaan perkara sudah diputus
dipersidangan, maka benda sitaan akan dikembalikan kepada yang berhak;
Menimbang, bahwa dengan demikian kekhawatiran dari terdakwa I
maupun terdakwa II, yaitu jika sertifikat tanah No. 94 a.n. Subakti yang
dikuasai oleh terdakwa I diserahkan kepada penyidik, nantinya akan hilang
atau diserahkan kepada orang lain yang tidak berhak, atau akan
disalahgunakan oleh penyidik, adalah alasan yang berlebihan dan terlalu
dibuat-buat, sehingga kekhawatiran alasan tersebut tidak berdasarkan hukum,
karena yang menentukan kepada siapa sertifikat tanah tersebut akan
dikembalikan adalah saat setelah selesainya persidangan dengan penjatuhan
pidana terhadap terdakwa, di mana Majelis hakim dalam amar putusannya
akan menentukan status dari barang bukti tersebut, sebagaimana ketentuan
Pasal 197 ayat (1) huruf I KUHAP, dan bukan Penyidik atau Penuntut
Hukum;

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id

Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 43 KUHAP menyatakan


bahwa; “Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban
menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak
menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka
atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-
undang menentukan lain”:
Menimbang, bahwa terdakwa II menolak tindakan penyataan yang
dilakukan oleh penyidik terhadap sertifikat tanah No. 94 a.n. Subakti dengan
mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 KUHAP tersebut di atas di mana
selaku Advokat dari terdakwa I, ia menyatakan menolak dan tidak menyetujui
penyataan terhadap sertifikat tanah yang dikuasai oleh kliennya tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap hal tersebut, Majelis hakim
berpendapat, bahwa jikalau bertitik tolak pada ketentuan Pasal 43 KUHAP, di
mana benda yang akan disita, yang dalam perkara ini berupa sertifikat tanah
yang bukan merupakan surat atau dokumen rahasia Negara, seharusnya tidak
memerlukan persetujuan dari advokat, yang nota bene buka pula sebagai
orang berkewajiban untuk merahasiakan sertifikat tanah tersebut, sehingga
seharusnya dengan surat perintah penyataan dari penyidik saja, cukup untuk
advokat tersebut menyerahkan sertifikat tanah untuk disita sebagai barang
bukti dalam proses pembuktian perkara pidana, apalagi jika surat perintah
penyataan dari penyidik tersebut dilengkapi pula oleh penetapan izin khusus
untuk melakukan penyataan tersebut, maka dengan adanya Penetapan izin
khusus dari Ketua Pengadilan Negeri Pasuruan, maka dengan adanya
Penetapan izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor:
W.10.D.25.Pi.03.07.161/PN.Psr., tanggal 29 November 2005, harus ditaati
oleh semua pihak, maka penolakan penyataan yang dilakukan oleh advokat
(dalam hal ini terdakwa II Sug anto, S.H.), demi hukum tidak berlaku lagi
bagi. Sehingga seharusnya sebagai salah satu pilar penegak hukum,
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, maka terdakwa II sebagai orang yang mengerti akan proses hukum
commit
pidana, harus memahami dalam artito luas,
user makna yang terkandung dalam
perpustakaan.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id

Pasal 43 KUHAP tersebut dan tidak memberikan penafsiran sendiri yang


sempit, keliru dan menyesatkan yang hanya ditujukan untuk kepentingannya
saja, sehingga sudah seharusnya demi hukum terdakwa II menyerahkan
sertifikat tanah itu kepada penyidik untuk dilakukan penyataan, dan bukan
sebaliknya menghalang-halangi tindakan penyataan tersebut, mengingat
terdakwa I dan terdakwa II mengetahui bahwa sertifikat tersebut dikuasainya
dengan proses melawan hukum dalam perkara pidana a.n. terdakwa Moch.
Munip dan terdakwa I H. Ansori alias H. Asári dalam perkara pidana
terdsebut hanyalah sebagai saksi saja dan bukan dalam kapasitas sebagai
terdakwa;
Menimbang, bahwa mengenai adanya ketentuan dalam Pasal 43
KUHAP di mana adanya kata-kata:”kecuali undang-undang menentukan
lain”, Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut;
Menimbang, bahwa dalam rangkaian pemeriksaan proses perkara
ini, maka terdakwa II sebagai seorang advokat, tentu saja mendalilkan
undang-undang yang dikecualikan itu adalah Undang-undang No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat, terutama Pasal 18 yang berisikan:
a. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan
lain oelh Undang-undang.
b. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk
perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyataan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik Advokat.
Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat, dapat ditafsirkan bahwa advokat dapat
memberikan perlindungan hukum atas berkas dan dokumen dari tindakan
peyitaan yang dilakukan penyidik. Akan tetapi, hendaknya dibalik hak
tersebut, selanjutnya sebagaimana ketentuan Pasal 15, advokat dalam
menjalankan tugas profesinya untuk membela kliennya tetap berpegangan
commit to
pada kode etik profesi dan peraturan user
perundang-undangan;
perpustakaan.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

Menimbang, bahwa dengan demikian secara expressis verbis, status


advokat diakui sebagai penegak hukum yang disertai pula dengan berbagai
hak kekebalan hukum (imunitas) dalam menjalankan profesinya dan
menyimpan kerahasiaan klien yang dimiliki Advokat, tetapi di sisi lain
advokat mempunyai kewajiban pokok sebagai penegak hukum untuk
menegakkan hukum dan keadilan, yang tidak boleh diabaikan oleh setiap
advokat yang dituangkan dalam Kode Etik Profesi yang menjadi rambu-
rambu etika untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi yang wajib
ditaati dan dipatuhi oleh setiap individu advokat yang rentan terhadap
berbagai godaan materiil maupun kepentingan sesaat. Kemudian yang lebih
penting lagi adalah adanya aturan perundang-undangan yang harus tetap
ditaati dan dijunjung tinggi oleh Advokat sebagai bagian dari aparat penegak
hukum;
Menimbang, bahwa dalam Pasal 3 Kode Etik Advokat Indonesia
(KEAI) dinyatakan bahwa:”Advokat dalam melakukan tugasnya tidak
bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi, tetapi lebih
mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”;
Menimbang, bahwa dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa keberadaan advokat sebagai bagian dalam sistem
peradilan yang memiliki kekebalan hukum, tidak boleh hanya dilihat atau
diartikan dalam arti sempit yang subjektif saja seolah-olah tugas atau hak
Advokat hanya sekadar untuk membela kepentingan klien semata-mata
sehubungan dengan profesinya sebagai pemberi jasa hukum, akan tetapi lebih
dari itu hendaknya dilihat dari fungsinya dalam arti luas, di mana Advokat
mempunyai kewajiban melalui jasa hukum untuk berusaha dan bertujuan
mencari kebenaran dan keadilan, dengan cara yang jujur dan bertanggung
jawab sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan;
Menimbang, bahwa terhadap pendapat Penasihat hukum terdakwa II
yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 merupakan
lex specialis, sehingga seharusnya tidak menggunakan atur dalam KUHP dan
bukan dalam KUHAP, di mana commit to usermerupakan hukum pidana formil
KUHAP
perpustakaan.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id

atau hukum acara yang mengatur tata cara untuk mempertahankan hukum
pidana materiil, termasuk salah satunya adalah KUHP di samping banyak
ketentuan perundang-undangan hukum pidana yang lainnya, sehingga
menurut pandangan Majelis Hakim ketentuan-ketentuan mengenai penyitaan
sebagaimana yang terdapat dalam KUHAP merupakan ketentuan pokok atau
hukum acara yang harus menjadi pedoman aparat penegak hukum secara
keseluruhan. Sehingga tidak dapat diperbandingkan dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang merupakan
salah satu hukum pidana materiil;
Menimbang, bahwa selain itu dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat tidak terdapat tindak pidana yang mengatur
mengenai perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan suatu proses
penyidikan suatu perkara yang dilakukan oleh Polisi, maka sudah tepat dan
benar Penuntut Umum mengajukan dakwaan terhadap terdakwa II secara
bersama-sama dengan terdakwa I dengan Pasal 216 KUHP, karena ketentuan
pidana dalam Bab XI, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003
hanyalah mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang
bukan advokat menjalankan pekerjaan profesi Advokat dengan bertindak
seolah-olah sebagai Advokat;
Menimbang, bahwa selain itu, dalam Asas-Asas Hukum yang
menyatakan bahwa kepentingan hukum publik lebih diutamakan daripada
kepentingan hukum privaat, artinya tindakan yang dilakukan untuk
kepentingan yang berkaitan dengan publik akan lebih didahulukan daripada
tindakan tindakan yang dilakukan untuk kepentingan yang berkaitan dengan
pribadi/privaat. Oleh akrena itu, tindakan Penyidik Polresta Pasuruan dalam
melakukan penyidikan suatu perkara yang dilaporkan kepadanya, sehingga
memerlukan tindakan hukum berupa penyitaan untuk kepentingan proses
pembuktian perkara pidana merupakan suatu tindakan untuk kepentingan
publik, yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat, haruslah didahulukan
dan tidak dalam penegakan hukum dan keadilan, sedangkan apa yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

dilakukan oleh terdakwa II sebagai advokat/kuasa hukum dan terdakwa I


adalah untuk kepentingan pribadi dari terdakwa I;
Menimbang, bahwa secara logika hukum, jika perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa II sebagai advokat dalam membela kliennya yaitu
terdakwa I dilakukan juga secara meluas dan terorganisir, maka akan terjadi
preseden buruk dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia di masa
mendatang, terutama dalam proses perkara pidana, di mana pribadi-pribadi
yang sedang menghadapi proses hukum dan tuntutan hukum atau perkaranya
kemudian diproses oleh penyidik atau penuntut umum, dapat saja menurut
hukum tidak dapat dibuktikan tindak pidana yang dilakukannya tersebut,
semata-mata oleh karena barang-barang bukti yang ada hubungannya dengan
tindak pidana tersebut, baik yang dikuasai oleh orang yang diduga melanggar
tindak pidana ataupun oleh pihak lain baik yang ada hubungannya dengan
perkara tersebut maupun tidak, yang kemudian dikuasai secara perseorangan
dan menolak untuk dilakukan tindakan penyataan atau telah diserahkan oleh
pribadi-pribadi tersebut kepada advokat yang mempunyai hak imunitas dan
perlindungan akan suatu berkas atau dokumen, apalagi jikalau hak tersebut
diartikan secara sempit oleh advokat yang bersangkutan, sebagai hak yang
mutlak tanpa mengindahkan kewajiban, kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan dan
penegakan hukum secara keseluruhan, maka dapat dipastikan akan terjadi
kebuntuan/kemacetan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di tingkat
penyidikan, yang berakibat pula pada proses di tingkat peruntutan dan
persidangan, sehingga tidak jarang para pelaku tindak pidana akan
melenggang bebas karena unsur kesalahannya tidak dapat dibuktikan hanya
oleh karena tidak adanya barang bukti dalam perkara pidana tersebut;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam membela kepentingan
kliennya tersebut, advokat lebih mengedepankan haknya daripada
kewajibannya, maka perbuatan advokat tersebut, yang dalam perkara ini,
terdakwa II sebagai advokat dari terdakwa I, yang menolak untuk
commit
menyerahkan sertifikat tanah to user
No. 94, a.n. Subakti yang akan dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id

penyataan untuk kepentingan proses pembuktian dalam perkara pidana


penggelapan yang dilakukan oleh tersangka Moch. Munip, dan apalagi
penyidik dalam melakukan tindakan penyataan itu, sudah membekali diri
dengan surat perintah penyataan dan penetapan izin khusus dari penyitaan
dari Pengadilan Negeri Pasuruan, maka Majelis Hakim berpendapat tindakan
terdakwa II tersebut telah termasuk sebagai tindakan turut serta menghalang-
halangi proses penyidikan yang sedang dilakukan oleh penyidik Polresta
Pasuruan atau dapat dikategorikan peran daripada terdakwa II adalah sebagai
mededader/medepleger, sekaligus sebagai intelectuere dader;
Menimbang, bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 16 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan
bahwa:”Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana
dalam menjalankan tugas profesinya dalam iktikad baik untuk kepentingan
pembelaan klien dalam sidang pengadilan”, yang kemudian dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
“ Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara
klien untuk pihak yang berwenang dan atau masyarakat”, Majelis sangat
menyetujui isi dari pasal tersebut, tetapi dalam perkara a quo, Majelis Hakim
melihat adanya iktikad tidak baik sebagaimana telah dipertimbangkan
sebelumnya sebagai mens rea dari terdakwa II yang membela kliennya
tersebut, yaitu terdakwa I, bukan dalam sidang pengadilan, tetapi pada saat
masih dalam proses awal pemeriksaan dugaan tindak pidana yang dilakukan
oleh tersangka Moch. Munip di tingkat penyidikan, sehingga seharusnya
terdakwa II membantu memperlancar jalannya proses penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik dan bukan berusaha mencegah, merintangi atau
menggagalkan penyataan sertifikat tanah dengan melakukan pembelaan
secara berlebihan terhadap kliennya, yaitu terdakwa I sebagai kliennya
dengan dalih hak imunitas advokat, seolah-olah terdakwa II sendiri sebagai
pihak materil yang langsung menghadapi perkara a quo;
Menimbang, bahwa dari uraian pertimbangan di atas, Majelis
Hakim melihat ada tindakan commit
lain daritoterdakwa
user II sebgai advokat, yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id

dikategorikan melanggar Kode etik Profesi dan Sumpah Advokat serta


melanggar logika penegakan hukum dalam proses penegakan Kode Etik
Profesi Advokat sebagaimana ketentuan Bab IX Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat;
Menimbang, bahwa selain itu selanjutnya berdasarkan keterangan
saksi-saksi Rudi Harsono, Moch. Munip, dan terdakwa I M. Ansori, yang
dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan Penuntut Umum berupa
Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan, nomor: 05/Pid.B/2006/PN.PSR, tanggal
15 maret 2006, atas nama terdakwa yang bersifat alternatif, yaitu dakwaan
melakukan penggelapan atau penipuan terhadap setifikat tanah No. 94 a.n.
Subakti, ternyata dalam amar putusannya Pengadilan Negeri Pasuruan
menyatakan bahwa terdakwa Moch. Munip dinyatakan telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penipuan”, dan oleh
karena itu terhadap terdakwa Mochamad Munip dijatuhi pidana penjara
selama 1 (satu) tahun, dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewisdezaak) serta telah dijalani oleh terdakwa Mochamad
Munip;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga berpendapat, bahwa apa
yang didalilkan oleh terdakwa II dimana dalam proses perkara pidana a.n.
Moch. Munip, walaupun tidak ada barang bukti sertifikat tanah tersebut,
tetapi ternyata perkara pidana tersebut dapat terus berjalan sebagai suatu
alasan sepihak yang dicari-cari oleh terdakwa II sebagai dasar untuk
membenarkan perbuatan terdakwa II yang sebenarnya bertentangan dengan
kode etik profesi dan peraturan perundangan-undangan sebagaimana yang
telah dipertimbangkan di atas;
Menimbang, bahwa berdasarkan atas uraian-uraian pertimbangan
tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat unsur ketiga ini telah terpenuhi
dan terbukti oleh perbuatan terdakwa I dan terdakwa II;
Menimbang, bahwa dengan demikian atas dasar keseluruhan
pertimbangan dari ketiga unsur tersebut, maka Majelis Hakim berkeyakinan
commit
seluruh unsur-unsur dari Pasal to userJo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
216 KUHP
perpustakaan.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id

sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut hadap terdakwa I dan terdakwa


II haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Dengan Sengaja Secara Bersama-Sama Mencegah, Merintangi atau
Menggagalkan Proses Penyidikan Suatu Perkara”;
Menimbang, bahwa selama pemeriksaan perkara ini berlangsung,
Majelis Hakim tidak menemukan adanya hal-hal atau keadaan-keadaan yang
meniadakan ataupun yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada
diri terdakwa I dan terdakwa II, baik berupa alasan pemaaf maupun alasan
pembenar, sehingga Majelis Hakim memandang terdakwa I dan terdakwa II,
dalam keadaan mampu untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang
telah dilakukannya;
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana atas diri terdakwa
I dan terdakwa II tersebut, Majelis Hakim akan memperhatikan sifat yang
baik dan sifat yang jahat dari terdakwa I dan terdakwa II sesuai dengan
ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman serta hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan bagi diri terdakwa I dan terdakwa II, sesuai dengan ketentuan
Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP;
Hal-hal yang memberatkan :
1) Perbuatan terdakwa I menghambat proses pembuktian dalam perkara
pidana;
2) Perbuatan terdakwa II sebagai Advokat dapat menjadi preseden buruk
dalam proses perkara pidana dan upaya penegakan hukum secara
keseluruhan;
3) Terdakwa II sebagai advokat dalam menjalankan tugas profesinya
kurang mengindahkan kode etik profesi dan peraturan perundang-
undangan;
Hal-hal yang meringankan :
Terdakwa I dan terdakwa II berlaku sopan di persidangan, sehingga
memperlancar jalannya sidang;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 61
digilib.uns.ac.id

Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan


meringankan pidana tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa pidana yang
akan dijatuhkan terhadap terdakwa I sebagai pleger/deder dan terdakwa II
sebagai mendedader/mendepleger, telah setimpal dengan perbuatan dan berat
serta sifat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa-terdakwa, dan telah sesuai
pula dengan rasa keadilan hukum dan keadilan masyarakat serta dalam
kerangka lebih luas untuk penegakan hukum dan keadilan;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim melihat bahwa jika upaya penal
policy dipilih oleh Majelis Hakim, yaitu berupa penjatuhan pidana penjara
selama waktu tertentu terhadap terdakwa I maupun terdakwa II, akan
menimbulkan beberapa konsekuensi bagi keduanya antaar lain berupa stigma
negatif yang akan terus melekat sepanjang hidup, produktivitas para terdakwa
dalam bekerja terhambat, penjara dapat merupakan sekolah kejahatan (school
of crime), maka Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Pasal 14a KUHP, akan
menjatuhkan pidana percobaan terhadap terdakwa I dan terdakwa II yang
lamanya akan ditentukan sebagaimana dalam amar putusan, dengan harapan
agar para terdakwa dapat merenung tentang tidak akan terjadi lagi di
kemudian hari;
Menimbang, bahwa mengenal barang bukti yang diajukan dalam
perkara ini, Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai berikut :
a. 1 (satu) lembar Berita Acara Penolakan Penyerahan barang bukti untuk
dilakukan penyitaan, tertinggal 14 Desember 2005;
b. 3 (tiga) lembar fotocopy Penetapan Penyitaan
Nomor:W.10.D25.Pi.03.07.161 /PN.Psr, tanggal 29 November 2005
yang telah dilegalisir;
c. Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan, No. 05/Pid.B/2006/PN.Psr
tertanggal 15 Maret 2006, atas nama terdakwa Moch, Munip bin As’ari;
Menurut Majelis Hakim, barang-barang tersebut berkaitan erat
dengan perkara ini, maka barang-barang bukti tersebut akan tetap dilampirkan
dalam berkas perkara;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 62
digilib.uns.ac.id

7. Putusan Hakim
MENGADILI:
Dalam Eksepsi:
Menolak Ekspesi terdakwa II.
Dalam Pokok Perkara :
a. Menyatakan terdakwa I H. Mochamad Ansori alias H. As’ari dan
terdakwa II Sugianto, S.H., telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja secara bersama-
sama mencegah, merintangi atau menggagalkan proses penyidikan
suatu perkara”;
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I dan terdakwa II oleh karena
itu dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan;
c. Menetapkan pidana tersebut tidak akan dijalankan, kecuali jika
dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, oleh karena
terdakwa I dan terdakwa II dipersilahkan melakukan suatu tindak
pidana sebelum masa percobaan selama 5 (lima) bulan terakhir;
d. Memerintahkan barang bukti berupa:
1) 1 (satu) lembar berita acara penolakan penyerahan barang bukti
untuk dilakukan penyitaan, tertinggal 14 Desember 2005;
2) 3 (tiga) lembar fotocopy Penetapan Penyitaan Nomor: W.10.
D.25.Pi.03.07. 161/PN.Psr, tanggal 29 November 2005 yang telah
dilegalisir;
3) Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan, No. 05/Pid.B/2006/PN.Psr.,
tertinggal 15 Maret 2006, atas nama terdakwa Moch. Munip bin
As’ari;
Tempat terlampir dalam berkas perkara.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 63
digilib.uns.ac.id

B. Pembahasan

1. Terjadinya Pertentangan Norma Antara Undang-Undang Nomor


8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Berdasarkan pemaparan penelitian yang telah penulis kemukakan
tersebut, yakni timbulnya pertentangan norma (antinomy normen) dalam hal
ini tindakan penyidik di satu sisi untuk melakukan penyitaan barang bukti
yang dikuasai oleh tersangka, disisi lain tindakan advokat untuk tetap tidak
mau menyerahkan obyek penyitaan (sertifikat tanah) merupakan pokok
timbulnya pertentangan norma. Dikatakan demikian oleh karena tindakan
penyidik untuk melakukan penyitaan adalah merupakan kewenangan yang
sah yang dimiliki oleh penyidik atas dasar ketentuan undang-undang yang
menjadi pedoman pelaksanaannya.
Sebagaimana diketahui bahwa pedoman utama penyidik untuk
melakukan tugasnya dalam penegakan hukum (proses dalam acara pidana)
adalah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perihal kewenangan penyidik dalam Pasal 7
KUHAP yang antara lain bunyi perumusannya, Penyidik mempunyai
wewenang sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memberikan tanda
pengenalan diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil seseorang untuk di dengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 64
digilib.uns.ac.id

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan


pemeriksaan perkara;
i. Menghentikan penyidikan
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sedangkan tindakan advokat untuk tidak bersedia menyerahkan
sertifikat yang menjadi obyek penelitian bagi penyidik, bagi advokat
merupakan konsekuensi dari kewenangan yang dimilikinya berdasarkan
ketentuan undang-undang yang menjadi landasan kerjanya. Seperti diketahui
tentang keberadaan advokat diatur oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat. Lebih tepat lagi mengenai hal ini diatur dalam
beberapa pasal berikut ini. Pasal 16 antara lain perumusannya: “Advokat
tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan
pembelaan klien dalam persidangan”.
Pasal 18
(1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan
lain oleh Undang-undang.
(2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk
hubungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi
elektronik advokat.
Atas dasar uraian di atas jelaskah dapat diketahui bahwa kedua
Undang-undang yang mengatur kewenangan masing-masing pihak yakni
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) bagi Kepolisian untuk melakukan tugasnya, dalam pihak bagi
advokat (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003) berada dalam kedudukan
yang sama, bahkan secara substansi bagi keduanya berada dalam lingkup
bidang pekerjaan yang senafas, yakni sebagai penegak hukum. Hal ini dapat
dilihat dari ketentuan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republikcommit to user
Indonesia khususnya Pasal 2 yang antara lain
perpustakaan.uns.ac.id 65
digilib.uns.ac.id

berbunyi : “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di


bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan untuk advokat hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18
tahun 2003 tentang advokat khususnya Pasal 5 ayat (1): “Advokat berstatus
sebagai penegak hukum bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan
peraturan perundang-undangan”.
Selanjutnya oleh karena kedua undang-undang tersebut berada
dalam posisi sejajar dalam heirarchi tata urutan berlakunya peraturan
perundang-undangan. Maka disinilah timbul permasalahan. Dikatakan
demikian oleh karena dalam posisi yang sejajar satu dengan yang lain,
diantara undang-undang tersebut tidak bisa mengesampingkan, sehingga
disinilah terjadi pertentangan norma (konflik norma). Peraturan yang satu
sejajar dengan yang lainnya, kondisi demikian oleh hakim diambil langkah
yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Tindakan penyidik untuk
melakukan penyitaan berada dalam lingkup hukum acara pidana sebagai
hukum publik, sedangkan tindakan advokat dalam melindungi harta benda
klien lebih merupakan tindakan dalam hukum privat.

2. Langkah Yang Ditempuh Hakim Dalam Menyelesaikan Pertentangan


Norma (antinomy normen)
Langkah yang ditempuh Hakim dalam menyelesaikan pertentangan
norma, Hakim berpedoman pada berlakunya beberapa asas dalam peraturan
perundangan-undangan yang antara lain meliputi:
a. Lex Posterior derogat Legi Priori : Peraturan yang baru didahulukan
dari pada peraturan yang lama. Artinya undang-undang yang baru
diutamakan pelaksanaannya dari pada undang-undang yang lama yang
mengetahui hal yang sama, apabila dalam undang-undang yang baru
tersebut tidak mengatur pencabutan undang-undang lama.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 66
digilib.uns.ac.id

b. Lex Superior derogat Legi Inferiori : hukum yang lebih tinggi


diutamakan pelaksanaannya dari pada hukum yang lebih rendah.
c. Lex Specialis derogat Legi Generalis : Hukum yang khusus lebih
diutamakan dari pada hukum yang umum. Artinya suatu ketentuan yang
bersifat mengatur secara umum dapat dikesampingkan oleh ketentuan
yang lebih khusus yang mengatur hal yang sama.
Langkah praktis yang dapat diambil oleh hakim dalam menyaksikan
pertentangan norma diantaranya melalui pengingkaran, penafsiran kembali,
pembatalan dan pembetulan.
Terhadap hal ini hakim dapat diketahui bahwa hakim cenderung
untuk mempergunakan langkah penafsiran kembali. Hakim dalam rangka
untuk menyelesaikan pertentangan norma, dalam hal ini tentang kewenangan
penyidik untuk melakukan tindakan penyitaan di satu sisi, sedangkan di sisi
lain “hak immunitas advokat atas dasar ketentuan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003. Mengingat bahwa kedua undang-undang tersebut sama
kekuatannya, maka hakim bersikap fleksibel, dikatakan demikian oleh karena
antara “Penyidik” dengan “Advokat”, kedua-duanya merupakan alat negara
penegak hukum. Oleh karena itu sikap fleksibel dalam penafsiran kembali ini
harus diterapkan oleh hakim, hal ini tampak jelas manakala hakim
menetapkan tindakan advokat untuk tidak menyerahkan sertifikat, lebih
merupakan tindakan yang kurang tepat dikatakan demikian, oleh karena
penyerahan sertifikat sebagai barang bukti dalam perkara pidana tanggung
jawab sepenuhnya berada pada pihak penegak hukum yang melakukan
penyitaan. Selanjutnya tentang kewajiban penjamin kerahasiaan klien yang
didampingi, tidak dapat berlaku bagi kasus tersebut, mengingat bahwa
sertifikat bukanlah termasuk sesuatu yang harus dirahasiakan oleh advokat
terhadap para pihak. Justru dalam rangka konteks penegak hukum ketidak
bersediaaan advokat untuk menyerahkan sertifikat harus ditafsir sebagai
tindakan melawan hukum.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 67
digilib.uns.ac.id

Meskipun status advokat adalah sebagai penegak hukum yang


dibekali dengan berbagai hak kekebalan hukum (immunitas) dalam
menjalankan profesinya dan menyimpan kerahasiaan klien, tetapi advokat
tidak boleh mengabaikan kode etik profesi. Kode etik profesi advokat
menjadi pedoman bertindak dan berperilaku bagi advokat sekaligus sebagai
penjaga martabat dan kehormatan profesi advokat.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan atas uraian yang telah penulis kemukakan, maka penulis
dapat memberikan simpulan atas hasil penelitian yang penulis lakukan dikaitkan
dengan landasan teori yang ada hal-hal sebagai berikut :
1. Timbulnya pertentangan norma (antinomy normen) disebabkan oleh karena
adanya bidang pekerjaan yang sama (dalam penelitian ini adalah penegak
hukum pidana). Kepolisian oleh Undang-Undang diberikan landasan hukum
khususnya dalam penegakan hukum pidana atas dasar ketentuan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, lebih khusus
pernyataan yaitu dalam Pasal 7, disisi lain advokat atas dasar Undang-
Undang Nomor 18 tahun 2003 khususnya Pasal 16 serta Pasal 18, kedua
Undang-Undang tersebut berada dalam kedudukan yang sama.
2. Untuk mengatasi adanya pertentangan norma yang dapat dilakukan oleh
hakim adalah melalui reinterpretasi (penafsiran kembali) dalam hal ini
reinterpretasi terhadap hak imunitas advokat, tidak ditafsirkan secara mutlak,
tetapi hendaknya di balik hak melekat kewajiban yang harus di taati.

B. Saran-Saran
Berdasarkan simpulan tersebut saran yang penulis kemukakan adalah :
1. Perlunya bagi para penegak hukum, khususnya hakim untuk selalu
meningkatkan, dan mengasah ketajaman analisis hukum, mengingat hakim
adalah merupakan penegak hukum yang merupakan gerbang akhir bagi
masyarakat untuk mendambakan keadilan hukum yang di peroleh melalui
putusan yang dijatuhkan.
2. Khususnya bagi pembentuk undang-undang untuk senantiasa berpikir dan
bersikap terarah sehingga produk undang-undang yang dihasilkan tidak
menimbulkan adanya permasalahan dalam praktek.
commit to user

68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Lili Rasjidi. 2004. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.

Ahmad Rivai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati. 2005. Argumentasi Hukum.


Yogyakarta: UGM Press.

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

R. Atang Ranoemihardja. 1984. Hukum Acara Pidana. Bandung: Tarsito.

Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek.
Bandung: Mandar Maju

Marwan Mas. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.

W.J.S. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai


Pustaka.

Jurnal

Brigid Coleman. A. 2001. “Lawyers Who Are Also Social Workers: How to
Effectively Combine Two Different Disciplines to Better Serve Clients
Brigid Coleman”. Journal of Law & Policy. Vol. 7 No. 131.

Elizabeth F. Loftus. 2010. “INSIGHTFUL OR WISHFUL: Lawyers’ Ability to


Predict Case Outcomes”. University of California Psychology, Public
Policy, and Law. Vol. 16 No. 2.

Nur Hidayat. 2008. “Tanggung Jawab Yuridis Benda Sitaan dalam Perkara
Pidana”. Jurnal Yustitia. Volume 8, No.1.
commit to user

69
perpustakaan.uns.ac.id 70
digilib.uns.ac.id

Pustaka Maya

file:///D:/01.%20data%20new/urgensi-pembentukan-dewan-etika-profesi-advokat-
nasional-broleh--dr-frans-h-winarta-sh--mh.htm>(Diakses, Rabu 20 Juni 2012
pukul 11.55 WIB.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor 101/Pid B/2007/PN.Psr

commit to user

Anda mungkin juga menyukai