Anda di halaman 1dari 3

Tugas Etnobiologi Mas'arisaldy Khairul Barkatullah

(1711013110009)

Kayu galam dan kayu ulin: pemanfaatan oleh masyarakat Alalak


atau tindak eksploitasi sumber daya alam?
Mas'arisaldy Khairul Barkatullah

1. Lokasi dan sejarah Alalak


Alalak mengacu pada wilayah yang sekarang mencakup tiga kelurahan di
kecamatan Banjarmasin Utara. Dulunya, wilayah ini disebut sebagai kecamatan
Alalak Besar atau Alalak Padang. Wilayah Alalak Besar adalah salah satu
pemukiman tertua di Banjarmasin, serta merupakan bentuk melting pot berbagai
budaya. Nama Alalak sendiri merupakan serapan dari bahasa Arab al-alaq (lit.
segumpal) yang mencerminkan sejarah Alalak sebagai tempat bertemu serta
berbaurnya kultur1.
Tarikan utama percampuran kultur di Alalak adalah prospek berupa hasil
hutan dari Barito. Kayu yang datang dari Barito membentuk lapangan kerja yang
menarik bagi perantau untuk menguji nasib di Alalak. Seiring waktu, budaya dari
hasil hutan ini berevolusi menjadi penghasilan utama bagi masyarakat Alalak.
masyarakat Alalak banyak bekerja sebagai pengrajin kayu, khususnya kayu galam
(Melaleuca cajuputi subsp. cumingiana) dan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).
Aspek geografis Alalak yakni daerah rawa mendukung prospek materi tersebut
dengan memberikan insentif bagi masyarakat untuk menggunakan kayu galam
dan ulin sebagai bahan bangunan.

2. Kualitas unik kayu galam dan ulin


Kayu galam dan kayu ulin adalah jeniskayu yang digunakan sebagai
bahan bangunan. Alalak merupakan daerah rawa, sehingga untuk membangun
struktur di daerah ini perlu alternatif bahan bangunan yang tahan karat. Kayu
galam dan ulin masing-masing memiliki kualitas unik yang membuat keduanya
digunakan oleh masyarakat Alalak sebagai alternatif.
Kayu galam adalah kayu yang cocok digunakan untuk pondasi, cerucuk
(steger), dan penahan longsor. Diameter kayu galam berukuran kecil, namun
struktur kayunya kokoh, sehingga dapat membantu konstruksi struktur seperti
jembatan, rumah, maupun pagar sementara. Selain itu, harga kayu galam relatif
terjangkau sehingga banyak diminati. Kendati demikian, kayu galam kurang awet,
sehingga perlu jenis kayu lain untuk menjadi bahan bangunan utama.
Kayu ulin memiliki nama lain kayu besi. Hal ini dikarenakan sifat kayu
ulin yang semakin kuat relatif terhadap lama kayu tersebut terendam. Kayu ulin

1 Khairun H. Sanderi, “Pengalihan Hak Asuh Anak Kepada Ayah (Studi Kasus Di Alalak Utara
Banjarmasin)” (Skripsi, Banjarmasin, UIN Antasari, 2015).
tahan terhadap perubahan suhu dan kelembapan, serta sifat kayu ini secara alami
berat dan keras. Namun, tumbuhan ulin merupakan tumbuhan yang langka; status
konservasi ulin menurut IUCN adalah Vulnerable atau terancam 2, dikarenakan
kultivasi pohon ulin yang sulit.

3. Perspektif etnoekologis terhadap kayu galam dan ulin


3.1. Pemanfaatan kayu galam dan kayu ulin dari perspektif masyarakat Alalak
Kerajinan kayu dan penjualan kayu merupakan urat nadi Alalak.
Penghidupan masyarakat Alalak banyak bergantung pada kayu, khususnya galam
dan ulin. Namun, pada kenyataannya kelangkaan pohon galam dan ulin
merupakan timbal balik negatif keadaan ini. Bila melihat sisi tersebut, maka sulit
memungkiri bahwa kegiatan masyarakat Alalak sekilas terlihat eksploitatif.
Terdapat perspektif lain yang menyatakan bahwa sejatinya yang dilakukan oleh
masyarakat Alalak adalah pemanfaatan sumber daya alam yang tidak eksploitatif.
Pemanfaatan kayu yang dilakukan oleh masyarakat Alalak dapat
dikatakan eksploitatif ketika melihat keadaan dengan lensa di mana masyarakat
Alalak tidak berada dalam ekosistem3. Sejarah Alalak menunjukkan bahwa
masyarakat Alalak telah mengintegrasikan pemanfaatan tersebut dalam
budayanya. Sehingga, jauh lebih produktif anggapan bahwa masyarakat Alalak
merupakan bagian dari ekosistem kayu galam dan ulin.
3.2. Konservasi kayu galam dan ulin
Upaya konservasi kayu galam dan ulin mengabaikan keadaan holistik
kedua jenis kayu tersebut dan menganggap bahwa kayu galam dan ulin
merupakan sumber daya yang khusus dieksploitasi oleh masyarakat Alalak.
Secara keseluruhan upaya konservasi seperti yang dijelaskan Diniy (2017) 4 dan
Iriyanto et al. (2013)5 merupakan upaya yang masih menggunakan sudut pandang
potensi bagi manusia. Sementara yang seharusnya dilakukan adalah menyadari

2 Asian Regional Workshop, “Eusideroxylon zwageri. The IUCN Red List of Threatened
Species,” IUCN Red List: Eusideroxylon zwageri, 1 Januari 1998,
https://www.iucnredlist.org/species/31316/9624725.
3 Kofi Akamani, “Integrating Deep Ecology and Adaptive Governance for Sustainable
Development: Implications for Protected Areas Management,” Sustainability 2020, no. 12
(2020): 1–21.
4 Elgi Zulfakar Diniy, “Konservasi tanaman ulin (Eusideroxylon zwageri) di Kota Balikpapan
sebagai sumber belajar biologi” (Tesis, Malang, UMM, 2017).
5 Yustinus Iriyanto dan Zikri Azham, “STUDI TEGAKAN JENIS ULIN (Eusideroxylon
zwageri Teijesm & Binnend) SEBAGAI SUMBER PENGHASIL BENIH DARI TEGAKAN
BENIH TERSELEKSI DI KECAMATAN SAMBOJA KABUPATEN KUTAI
KARTANEGARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR,” AGRIFOR XII, no. 2 (2013): 220–
29.
bahwa masyarakat Alalak adalah bagian dari ekosistem kayu galam dan ulin itu
sendiri.
Upaya konservasi kayu ulin, khususnya, tidak cukup bila hanya mengacu
pada penggunaan ulin oleh masyarakat Alalak. Pohon ulin adalah pohon yang sult
dikultivasi, maka dari itu sebagai upaya konservasi kita harus memahami cara
pohon ulin untuk mengantisipasi kepunahan spesiesnya. Sejauh ini upaya
konservasi kayu ulin baru berada pada pembuatan penangkaran yang harapannya
mampu mengakomodir keperluan pertahanan diri ulin.

4. Penutup
Perspektif etnoekologi pemanfaatan kayu galam dan ulin oleh
masyarakat Alalak merupakan perspektif yang masih menggunakan pemikiran
anthroposentris. Kendati demikian, upaya tersebut merupakan langkah awal untuk
kelestarian ekosistem Alalak. Namun untuk menuju langkah selanjutnya, perlu
perubahan terhadap pemahaman mengenai konservasi.

Anda mungkin juga menyukai