PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Taman Nasional Berbak (TNB) seluas 162.700 Ha merupakan salah satu
taman nasional yang terdapat Di Propinsi Jambi (BPS, 2014). Taman
Nasional ini merupakan kawasan hutan rawa gambut dan rawa air tawar
terluas di Asia Tenggara. Secara geomorfologis, Berbak merupakan bagian
dari dataran rendah bagian timur pulau Sumatera. Taman nasional ini berupa
lahan basah internasional yang memiliki keragaman tumbuhan dan satwa,
diantaranya 28 spesies mamalia seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae), 229 jenis tumbuhan obat, 27 jenis anggrek hutan dan ragam hayati
lainnya.
Sebagai Kawasan Pelestarian Alam, Taman Nasional Berbak kaya akan
sumberdaya alam yang terdiri dari beberapa tipe ekosistem serta kaya dengan
berbagai macam spesies yang merupakan sistem ekologi yang masih belum
banyak diketahui. Beberapa tipe ekosistem yang ada di Taman Nasional
Berbak meliputi ekosistem hutan rawa air tawar, ekosistem hutan rawa
gambut dan ekosistem hutan dataran rendah dengan ketinggian 0 – 20 m
dpl. Kawasan Taman Nasional Berbak merupakan kawasan yang khas
keadaan fisik dan ekologinya, nilai hidrologi dan biofisik, nilai sosial dan
budaya, keanekaragaman flora fauna dan kekhasannya. Dari beberapa
penelitian diketahui di kawasan ini terdapat sekurang-kurangnya 261 spesies
tumbuhan dari 73 famili, 28 spesies mamalia, 224 jenis burung dari 49 famili,
39 jenis reptil dari 12 famili, berbagai jenis amfibi serta tidak kurang 35 jenis
ikan yang dapat dikonsumsi telah teridentifikasi di kawasan ini.
Kerusakan habitat mendorong spesies dan bahkan seluruh komunitas
hidupan liar menuju ambang kepunahan (Indrawan et al. 2007). Ancaman
utama keanekaragaman hayati akibat kegiatan manusia adalah kerusakan
habitat, fragmentasi habitat, degradasi habitat, perubahan iklim global,
pemanfaatan spesies berlebihan, invasi spesies-spesies asing dan
meningkatnya penyebaran penyakit (Indrawan et al. 2007). Hal tersebut
mengakibatkan ekosistem alamiah menjadi habitat yang lebih kecil dan
terpecah-pecah. Daerah urban yang banyak dihuni oleh manusia dilihat
1
sebagai area buatan dan bukan area yang alami (Collins et al. 2000).
Kerusakan habitat dan fragmentasi habitat merupakan faktor utama
menurunnya keragaman amfibi dan reptil di Indonesia (Iskandar & Walter
2006).
Salah satu lokasi yang menjadi tempat berkembangnya labi-labi adalah di
Desa Belawa Kecamatan Lemah Abang Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa
Barat (Kusrini et al. 2007). Hasil penelitian yang dilakukan Kusrini et al.
(2007) menemukan 226 individu labi-labi yang hidup di kolam-kolam dan
parit milik masyarakat lokal. Keberadaan labi-labi semakin terancam dengan
adanya pengambilan telur oleh masyarakat dan pengurangan habitat labi-labi
(Kusrini et al. 2007).
Keberadaan labi-labi di Taman Nasional Berbak yang ada di Desa Sungai
Air Hitam Laut merupakan habitat labi-labi yang potensial untuk
pengembangan labi-labi. Berdasarkan latar belakang tersebut, diperlukan
suatu kajian mengenai habitat labi-labi dan upaya pengelolaannya di Desa Air
Hitam Laut sehingga dapat melestarikan habitat dan populasi labi-labi (Amyda
cartilaginea).
2
2. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi keberadaan serta sebaran
habitat labi-labi (Amyda cartilaginea) di SPTN III Desa Air Hitam
Laut Taman Nasional Berbak
4
pertengahan dari karapasnya (Kairuman & Amri 2002). Leher labi-labi dapat
dipanjang-pendekkan, jika ingin melindungi dirinya maka akan
memendekkan lehernya dan memasukkan kepala serta tungkai-tungkainya ke
dalam theca (Iskandar 2000).
Labi-labi memiliki karapas yang ditutupi oleh kulit, dan sebagian dibangun
dari tulang rawan. Warna karapas hitam sampai abu-abu, pada perisai
punggung terdapat bintil-bintil kecil membentuk garis putus-putus dari depan
ke belakang. Kadang-kadang ditemui juga bercak hitam bertemu putih
melengkung sebanyak 6-10 pada bagian belakang perisainya, terutama pada
individu muda. Kepala dan kaki berwarna hitam atau abu-abu, pada hewan
muda umumnya dijumpai bintilbintil berwarna kuning (Iskandar 2000). Di
Kalimantan Timur, ditemukan labilabi berwarna kuning memiliki tubuh yang
lebih tipis/ramping dengan bagian supracaudal dan marginal karapas lebar
dan tipis. Labi-labi berwarna kuning umumnya diperoleh di sungai besar
berarus kuat (Kusrini et al. 2009). Bagian plastron (ventral) berwarna putih
pucat pada A. cartilaginea dewasa dan kemerahan pada individu muda
(Elviana 2000). Plastron berwarna putih susu atau kadang-kadang sampai
kuning tua, tergantung dari habitat dan lingkungannya (Kairuman & Amri
2002). Perbedaan ciri individu muda dan individu dewasa A. cartilaginea
adalah guratan-guratan dan bintik-bintik hitam atau kuning pada karapas.
Tanda-tanda khas dipermukaan karapas mulai berkurang, kecuali bintikbintik
kuning pada kepala tetap ada sampai mencapai ukuran maksimal. Kaki
menyerupai dayung dengan 3 jari bercakar (Elviana 2000).
5
2.2 Perilaku
Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam
tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya.
Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan
hidupnya, melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan
dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk
kawin, reproduksi dan lainnya (Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah
untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar
maupun dari dalam (Tanudimadja 1978 dalam Alikodra 2002).
Labi-labi bisa hidup pada iklim yang berbeda, dari musim panas, dingin,
semi, hingga musim gugur. Ia termasuk hewan berdarah dingin, yang artinya
suhu tubuhnya tidak tetap tetapi berubah-ubah mengikuti suhu lingkungan di
sekitarnya. Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi aktivitas hewan
tersebut. Pada suhu yang tinggi, labi-labi bersifat lebih aktif dan pada suhu
rendah bersifat kurang aktif.
Dalam keadaan umum, labi-labi selalu bersembunyi di dalam lumpur atau
di dalam pasir di dasar kolam atau sungai, sehingga sulit untuk ditemukan.
Labi-labi hanya kadang-kadang memunculkan hidungnya ke permukaan air
(Kusrini et al. 2009). Makanan utama labi-labi adalah ikan, tetapi tidak
menolak sisa makanan manusia (Iskandar 2000). Labi-labi seringkali berada di
dalam lubang di pinggir sungai yang dipakai untuk beristirahat, kawin dan
berkumpul dengan labi-labi lainnya. Lubang dapat dicari berdasarkan tanda-
tanda cakaran di sekitar pinggir sungai. Lubang ini berukuran cukup besar
yang sebagian besar berair namun sebagian lagi kering. Lubang ini biasanya
terlihat saat surut yang jika digali bisa diperoleh sejumlah labi-labi. Jumlah
labi-labi yang bisa ditemukan di lubang ini berkisar 7-12 ekor. Pada saat
bertelur, labi-labi akan meletakkan telur-telurnya di sarang yang bisa berupa
banir pohon yang ditutupi daun-daunan dan kayu lapuk di lantai hutan atau
dalam gundukan lumpur, jumlah telur mencapai 20-50 butir (Kusrini et al.
2009).
6
Kebiasaan berjemur labi-labi merupakan salah satu kebutuhan hidup.
Dengan berjemur matahari membuat semua air pada cangkang atas dan
bawahnya 9 terjemur kering, sehingga lumut, jamur, parasit yang menempel
pada permukaan badannya dapat kering dan terkelupas. Bila tidak berjemur,
maka labi-labi akan mudah terserang penyakit atau mendapat gangguan
fisiologis.
7
Secara biologis, labi-labi pada umumnya menyenangi perairan yang kaya
akan hewan air seperti ikan, molusca, crustacea, dan lain-lain, serta
permukaan airnya terdapat tumbuhan air seperti eceng gondok, salvinia,
semanggi, teratai dan lainnya (Nutaphand 1979). Ketersediaan berbagai
sumberdaya ini sebagai potensi jenis pakan bagi labi-labi. Jenis pakan labi-
labi sangat bervariasi, Jensen dan Das (2005) menemukan bahwa di dalam
usus besar labi-labi terdapat materi tumbuhan dan vertebrata, ini
mengindikasikan bahwa labi-labi merupakan hewan omnivora.
Menurut Liat & Das (1999), makanan labi-labi terdiri atas serangga air,
kepiting, udang, ikan, bangkai, serta buah dan biji. Selain itu ada pula yang
makan siput (Dijk 2000). Iskandar (2000) menambahkan bahwa makanan
utama labi-labi adalah ikan tetapi tidak menolak sisa makanan manusia.
8
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan, terhitung
dari bulan Januari 2020 sampai dengan Februari 2020. Kegiatan penelitian
akan dilaksanakan di SPTN Wilayah III Desa Sungai Air Hitam Laut Taman
Nasional Berbak Sembilang.
9
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang secara langsung diambil dari lokasi
penelitian. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data
habitat labi-labi (Amyda cartilaginea) meliputi : makan, minum, dan cover
(tempat berlindung).
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data penunjang penelitian yang diperoleh
dari berbagai sumber atau studi literatur, meliputi karakteristik lokasi
penelitian berupa kondisi umum lokasi penelitian dan data penunjang yang
sesuai dengan topik penelitian.
10
3. Kecerahan air, diukur menggunakan sechi disk. Alat ini dibuat dari
keramik berwarna hitam dan putih secara menyilang diberi tali
berskala. Sechi disk dimasukkan ke dalam air dan dicatat panjang tali
ketika pertama kali sechi disk hilang dari pandangan. Berikutnya sechi
disk ditarik kembali ke arah permukaan air dan dicatat panjang tali
ketika sechi disk pertama kali dapat dilihat oleh mata. Penjumlahan
kedua ukuran panjang tali tersebut kemudian dibagi dua untuk
mendapatkan ukuran yang disebut sechi depth.
Keterangan :
D = Kedalaman rata-rata
2. Kecerahan Air
Kecerahan air ini diukur menggunakan secchi disk yang memiliki
ukuran untuk tingkat kedalaman yang berhasil diukur, yaitu sebagai
berikut :
11
L = L1 + L2
2D
Keterangan :
L1 = Posisi Seechi disk masih terlihat
L2 = Posisi Seechi disk tidak terlihat
D = Kedalaman rata-rata
12
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB Bogor.
Amri K, Khairuman. 2002. Labi-labi:Komoditas Perikanan Multimanfaat.
Jakarta: Agro Media Pustaka.
Elviana. 2000. Habitat, morfologi dan kariotip labi-labi batu dan labi-labi super
(Trionychidae: Reptilia) di perairan umum Jambi [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Indrawan M, Primarck RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Iskandar DT. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Kusrini MD, Y Wardiatno, A Mashar, N Widagti. 2007. Kura-kura Belawa
(Amyda cartilaginea Boddaert 1770). Technical Report submitted to Dinas
Perikanan Provinsi Jawa Barat. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kusrini MD, Ani M, Boby D, Mediyansyah, Abdul M. 2009. Survey Pemanenan
dan Perdagangan Labi-labi (Amyda cartilaginea) di Kalimantan Timur.
Bogor: NATURE Harmony.
13