Anda di halaman 1dari 17

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Baung (Mystus nemurus)

2.1.1. Klasifikasi

Menurut Eschmeyer (1998) dan Kottelat (1996) sistematika ikan baung

adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Sub kelas : Toleostei

Ordo : Siluriformes

Famili : Bagridae

Genus : Hemibagrus

Species : Mystus nemurus

Gambar 1. Ikan Baung (Mystus nemurus)


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2022)
5

2.1.2. Morfologi

Ciri-ciri umum dari ikan Baung (Mystus nemurus) adalah kepala ikan

kasar dan besar dengan warna tubuh abu-abu kehitaman, dengan punggung gelap,

tapi perut lebih cerah (Rukmini, 2012). Menurut Aryani (2012) sirip lemak di

punggung panjangnya dapat melebihi sirip dubur, pinggiran ruang mata bebas,

bibir tidak bergerigi yang dapat digerakkan, daun-daun insang terpisah. Langit-

langit bergerigi, lubang hidung berjauhan, yang dibelakang dengan satu sungut

hidung. Sirip punggung berjari-jari keras tajam. Mulut ikan ini tidak dapat

disembulkan, biasanya tulang rahang atas bergerigi, 1-4 pasang sungut peraba

terletak di rahang atas dan umumnya berupa sirip tambahan (Sukendi, 2010).

Sepasang dari sungut peraba sangat panjang sekali dan mencapai sirip

dubur. Sirip punggung mempunyai dua buah jari-jari keras, satu diantaranya keras

dan meruncing menjadi patil. Badan ikan baung tidak bersisik, bewarna coklat

kehijauan dengan pita tipis memanjang jelas di tutup insang hingga pangkal ekor,

panjang totalnya lima kali tingginya, sekitar 3-3,5 panjang kepala, serta

mempunyai panjang maksimal 350 mm (Rukmini, 2012).

Sirip punggung mempunyai 2 jari – jari keras, satu diantaranya besar dan

runcing menjadi patil, jumlah jari – jari lemah 7 buah. Sirip dubur memiliki 12 –

13 jari – jari lemah, sirip perut memiliki 6 jari – jari lemah dan sirip dada

memiliki 8 – 9 jari – jari lemah. Kepala berukuran relatif besar, panjang tubuh 5

kali tinggi badan atau 3-3,5 panjang kepala (Aryani, 2012).


6

2.1.3. Asal dan Habitat

Ikan baung secara umum tersebar di beberapa daerah atau negara yaitu

Asia seperti Mekong, Chao Phraya dan Xe Bangfai basins, juga dari Malay

Peninsula, Sumatera, Java dan Borneo (Sukendi, 2010). Penyebaran ikan baung di

Indonesia meliputi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan

dan Jawa. Di daerah aliran sungai Batanghari dijumpai dari hulu sampai ke hilir,

dengan faktor kondisi terbaik terjadi pada bulan April dan terjelek ditemukan pada

bulan Oktober (Samuel dan Said, 1995).

Ikan baung banyak hidup di perairan tawar, daerah yang paling disukai

adalah perairan yang tenang, bukan air yang deras. Karena itu, ikan baung banyak

ditemukan di rawa-rawa, danau-danau, waduk dan perairan yang tenang lainya. Di

Sumatera, ikan baung banyak ditemukan di Danau Toba, tetapi populasinya terus

berkurang, karena adanya penangkapan yang tidak selektif. Selain itu ikan baung

juga sering ditemukan di sungai-sungai, tentu saja sungai yang berarusnya lambat

(Rukmini, 2012).

2.1.4. Kebiasaan dan Pakan Ikan

Ikan baung tergolong pada ikan pemakan segala (omnivora), tetapi lebih

cenderung suka pada jenis insekta air dan ikan atau mengarah pemakan daging

(karnivora). Hal ini juga dapat terlihat dari besarnya mulut ikan yang merupakan

ciri–ciri dari predator atau pemangsa. Insekta air yang sering dimakan oleh ikan

Baung adalah famili gyrinidae, yaitu sejenis kumbang yang hidup diperairan
7

tenang atau ikan Motan (Thynnichtys sp.) dan Selais (Ompok hypopthalmus)

(Alawi et al., 1990).

Berdasarkan makanannya secara garis besar ikan dapat digolongkan

menjadi herbivora, karnivora dan omnivora. Akan tetapi, dalam kenyataannya

banyak sekali terjadi tumpang tindih (overlap) yang disebabkan oleh keadaan

habitat ikan itu hidup. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam

hubungan ini diantaranya faktor penyebaran organisme sebagai makanan ikan,

faktor ketersediaan makanan, faktor pilihan dari ikan itu sendiri serta faktor-faktor

fisik yang mempengaruhi perairan.

Baung bersifat noktural, artinya aktivitas kegiatan hidupnya (mencari

makan, dan aktivitas lainnya) lebih banyak dilakukan pada malam hari. Selain itu,

baung juga memiliki sifat suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai

tempat habitat hidupnya. Di alam, baung termasuk ikan pemakan segala

(omnivora). Namun ada juga yang menggolongkannya sebagai ikan karnivora,

karena lebih dominan memakan hewan-hewan kecil seperti ikan-ikan kecil

(Muflikhah et al., 2006). Pakan baung antara lain ikan-ikan kecil, udang-udang

kecil, remis, insekta, molusca, dan rumput.

Analisis lambung ikan sangat berguna untuk mengetahui pengembangan

suatu jenis ikan, terutama ikan-ikan ekonomis penting agar dapat diambil

langkah-langkah budidaya. Ikan baung bersifat karnivora Vaas et al. (1953)

menyatakan bahwa makanan ikan baung terdiri atas ikan, udang, insekta dan larva

ikan. Hasil penelitian membuktikan bahwa marga Mystus pada umumnya terdiri

atas ikan, krustacea, insekta dan sisa-sisa tumbuhan dan detritus. Ikan menduduki
8

kelompok pertama yang disukai ikan baung yang terdapat di danau Kenali dan

Sipin Jambi (Muflikhah et al., 2006).

2.1.5. Reproduksi

Selama proses reproduksi, sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada

perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan terdapatnya perubahan dalam gonad

itu sendiri. Umumnya pertambahan dalam gonad ikan betina 10-25% dan pada

ikan jantan 5-10% dari bobot tubuh. Pengetahuan tentang perubahan atau tahap-

tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan

yang akan atau tidak melakukan reproduksi. Pengetahuan tentang kematangan

gonad juga didapatkan keterangan bilamana ikan akan memijah, baru memijah

atau sudah selesai memijah. Ukuran ikan pada saat pertama kali gonadnya masak,

ada hubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang

mempengaruhinya (Tang dan Affandi, 2001).

Ikan baung, sebagaimana ikan-ikan yang hidup di perairan umum air tawar

memijah pada awal musim hujan. Hal ini merupakan fenomena umum karena saat

musim hujan, kawasan (daerah) yang kering pada musim kemarau akan ditumbuhi

rerumputan dan tergenang air. Di kawasan demikian, banyak terdapat makanan

dan cukup terlindungi bagi ikan untuk melakukan pemijahan. Alawi et al. (1992)

melaporkan bahwa ikan baung di perairan Sungai Kampar (Riau) memijah pada

sekitar bulan Oktober sampai Desember.


9

2.2. Teknik Pembenihan Ikan Baung (Myustus nemurus)

2.2.1. Pemeliharaan Induk

Pemeliharaan induk baung adalah tahap awal yang harus dilakukan dengan

tujuan untuk menghasilkan induk yang telah matang gonad. Kematangan gonad

sangat dipengaruhi oleh faktor umur dan lingkungan. Umumnya, ikan jantan

matang gonad lebih awal dari pada ikan betina. Selain umur dan lingkungan,

pakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap proses

kematangan gonad, khususnya pada perkembangan ikan betina. Selain itu, pakan

akan berpengaruh terhadap fekunditas dan kualitas telur, serta sebagai bahan dasar

untuk sintesis vitelogenin dan hormon. Suhenda et al. (2009) menyatakan bahwa

pakan yang mengandung lemak sebesar 6% akan menghasilkan perkembangan

embrio yang optimal, derajat pembuahan (>95%), derajat penetasan (>90%), dan

sintasan (>95%).

Pemeliharaan induk ikan baung dapat dilakukan di kolam, keramba, atau

wadah fiber. Induk ikan baung akan memberikan benih ikan dengan kualitas baik

perlu ditangani secara seksama. Pada pemeliharaan secara terpisah, padat tebar

yang dapat digunakan untuk induk 0,5 ekor per m2. Induk baung yang dipelihara

di kolam ukuran 100 m2 dapat ditebar dengan kepadatan 50 ekor. Kolam yang

digunakan mempunyai kedalaman 1–1,5 m dengan kondisi air masuk dan

pengeluaran yang baik. Lokasi kolam induk, berbentuk persegi atau disesuaikan

dengan ruang yang tersedia (Muflikhah et al. 1994). Induk ikan baung, bisa juga

dipelihara dalam wadah pemeliharaan berupa waring berukuran masing-masing 2


10

m x 2 m x 1,25 m yang diletakkan di dalam kolam tembok berukuran 200 m 2

dengan kedalaman air 1,25 m. Kualitas air diupayakan dalam kondisi yang baik,

seperti yang disyaratkan dalam pemeliharaan induk, terutama untuk kandungan

oksigen terlarut. Untuk itu pada malam hari digunakan aerasi dengan pompa air.

2.2.2. Seleksi Induk

Secara umum, ukuran induk baung yang baik digunakan untuk proses

pemijahan berkisar 400-700 g. Ikan baung jantan dan betina cukup mudah

dibedakan dengan melihat tanda-tanda pada tubuh. Induk jantan ditandai dengan

tubuh ramping dan panjang, warna kulit lebih cerah dibanding warna ikan betina,

serta memiliki alat kelamin dengan ujung genital papilla yang meruncing

mengarah ke pangkal sirip anal. Ciri lain apabila diurut terkadang keluar cairan

berwarna putih. Persyaratan ikan jantan yang telah matang atau dewasa dicirikan

dengan panjang genital papilla sudah mencapai atau melebihi pangkal sirip anal.

Ciri induk betina ditandai dengan tubuh lebih gemuk dan lebih melebar terkesan

tampak lebih pendek, warna kulit agak kusam dibanding dengan ikan jantan, alat

kelamin betina berwarna kemerahan, serta bentuknya membulat dan hanya sedikit

menonjol. Induk betina yang sudah matang dicirikan dengan perutnya yang

gendut, permukaan kulit lebih lembut, bila bagian perut dilakukan pemijatan

terkadang keluar telur berwarna kecoklatan.

Induk baung yang matang gonad dari kolam induk dipindakan (diberok) di

kolam pemberokan atau akuarium. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk

mengurangi kandungan lemak yang ada pada tubuh induk ikan. Kandungan lemak
11

di dalam tubuh induk ikan yang berlebihan dapat mengganggu proses keluarnya

telur pada saat pengurutan (striping) (Subagja et al. 2019).

2.2.3. Pemijahan

Menurut Subagja et al. (2019), Proses pemijahan ikan baung belum bisa

dilakukan secara alami sehingga pemijahan baung dilakukan secara buatan

(induced breeding). Aktivitasnya di awali dengan penyuntikan hormon, stripping,

pembuahan telur, dan inkubasi telur. Demikian juga dengan sprema dari ikan

jantan diperoleh dari hasil pembedahan. Setiap pemijahan dilakukan dengan rasio

1:3 (satu ekor jantan membuahi tiga ekor betina).

2.2.4. Penetasan Telur

Telur ikan baung bersifat menempel pada substrat (adhesive), pada proses

inkubasi telur bisa menggunakan substrat penempel, atau langsung ditebar ke

dasar wadah. Telur akan menetas optimal pada suhu 28°C. Telur yang terbuahi

berwarna bening atau transparan, sedangkan telur yang tidak terbuahi berwarna

putih pucat. Fekunditas telur ikan baung biasa mencapai 232.000 butir/ekor

dengan nilai derajat pembuahan sebesar 70-90%, derajat penetasan sebesar 30-

90% (Subagja et al. 2012).

2.2.5. Pemeliharaan Larva

Pemanenan larva dilakukan setelah 24 jam telur menetas. Pada periode

tersebut, cadangan makanan berupa kuning telur (yolk sack) pada larva sudah
12

mulai menipis. Umumnya, larva akan menetas dan berenang pada permukaan

wadah. Substrat diambil dari wadah penetasan sehingga yang tersisa hanya larva

yang menetas saja karena telur yang tidak menetas akan tetap menempel pada

substrat. Larva ikan baung yang baru menetas memiliki panjang 0,5 cm dengan

bobot 0,7 mg. (Kusmini et al. 2019) dengan kelangsungan hidup sebesar 50-60%

(Subagja et al. 2012).

Larva merupakan fase kritis bagi ikan, yaitu fase awal di mana

perkembangan organ mulai terbentuk. Pada kondisi larva, ikan akan mudah

mengalami kematian pada kondisi kualitas air yang buruk. Pemeliharaan larva,

biasanya dilakukan di ruangan tertutup agar suhu tetap terjaga. Pemeliharaan larva

bisa dilakukan di akuarium, fiber, bak semen, dan bak plastik.

2.2.6. Pendederan

Pendederan merupakan proses pemeliharaan benih setelah larva.

Pendederan bisa dilakukan pada kolam, akuarium, dan fiber. Pada pendederan,

ukuran larva ikan bisa mencapai sekitar 2 cm. Ikan baung dapat dipelihara dalam

berbagai wadah pemeliharaan seperti keramba, kolam, dan keramba jaring apung.

Kedalaman air 15 cm adalah yang terbaik dalam pemeliharaan larva ikan baung

terhadap pertumbuhan berat mutlak dan pertumbuhan panjang mutlak dengan

persentase pertumbuhan berat sebesar 0,32 g, persentase pertumbuhan panjang

mutlak sebesar 1,79 mm, dan tingkat kelangsungan hidup (SR) 64,75% (Rachimi

et al. 2015).
13

2.3. Kualitas Air

2.3.1. Kualitas Air untuk Induk Ikan

Kualitas perairan yang baik merupakan syarat utama dalam pengelolaan

induk ikan baung. Lingkungan dapat meningkatan performa reproduksi induk ikan

baung sehingga penyediaan benih dalam kelangsungan budidaya terpenuhi.

Parameter kualitas air utama yang berpengaruh pada manajemen pengelolaan

induk ikan baung adalah suhu, tingkat keasaman (pH), oksigen terlarut, salinitas

dan amonia.

A. Suhu

Suhu perairan merupakan salah satu faktor eksternal yang berpengaruh

terhadap aktivitas ikan untuk pertumbuhan, pernapasan, dan reproduksi. Suhu

memegang peran penting dalam perkembangan jaringan daging dan otot ikan

(Sfakianasis et al. 2011; Johnston et al. 2009). Oleh karena itu, suhu air yang

terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mengakibatkan pertumbuhan pada ikan

menjadi terhambat (Kossakowski 2008). Suhu perairan optimum untuk

pemeliharaan induk ikan baung sekitar 27°C (Ali dan Junianto 2014). Ikan baung

dapat hidup di perairan dari muara sampai ke bagian hulu sungai, bahkan dapat

hidup juga pada areal sub-optimal (lahan marjinal).

Meskipun demikian, suhu air optimum merupakan kunci untuk tumbuh

dan berkembang dengan baik. Selain itu, suhu air pada pemeliharaan induk ikan

baung dapat meningkatkan metabolisme. Energi yang dihasilkan dari proses

metabolisme mampu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai

perubahan yang terjadi. Suhu air yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan
14

berpengaruh terhadap berbagai ukuran, efisiensi penggunaan kuning telur,

pertumbuhan, kecepatan makan, waktu metamorfosis, tingkah laku, kecepatan

berenang, penyerapan, laju pengosongan lambung, dan metabolisme (Blaxter

1988). Pengaruh suhu air pada pemeliharaan induk ikan baung selain terhadap

pertumbuhan dan metabolisme, juga berpengaruh terhadap waktu masa inkubasi

telur. Woynarovich dan Horvath (1980) mengemukakan bahwa semakin tinggi

suhu media penetasan akan mempercepat proses penetasan telur, namun suhu air

yang terlalu tinggi akan mengakibatkan abnormalitas pada larva.

B. Tingkat Keasamaan (pH)

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan

menyukai nilai pH sekitar 7–8,5 (Effendi 2000). Menurut Boyd (1982), kisaran

pH 6,5–9 cocok untuk produksi ikan. Kenaikan pH pada perairan umum, seperti

sungai atau rawa yang merupakan media habitat alamiah ikan baung, akan diikuti

dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam berat yang dapat

berpengaruh bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup induk ikan baung.

Pembesaran ikan baung pada perairan yang bersifat asam lebih berpotensi

tercemar logam berat dibandingkan yang berada dalam air dan sedimen. Kisaran

nilai pH 6,0–8,5 tercatat sebagai tingkat keasaman optimum untuk pemeliharaan

induk baung. Hasil penelitian Erlangga (2007) menunjukkan bahwa ikan baung

mampu tumbuh dan berkembang dengan baik di sepanjang Sungai Kampar,

Provinsi Riau yang memiliki nilai pH air 4,5–6. Muflikhah dan Aida (1994)

menyatakan bahwa kisaran pH yang baik untuk induk ikan baung 5–7.
15

C. Oksigen Terlarut (DO)

Ikan baung hidup optimal pada kadar oksigen antara 5–6 mg/L (Tang

2003). Menurut Effendi (2000), kandungan oksigen terlarut dalam air >4 mg/L

dibutuhkan untuk ikan baung. Induk ikan baung membutuhkan kadar oksigen

tinggi karena kadar oksigen terlarut yang optimum dapat mempercepat proses

elemen-elemen meristik embrio (Kossakowski 2008). Selain memengaruhi proses

rematurasi, oksigen terlarut menjadi stressor untuk induk ikan yang dipelihara

secara terkontrol. Menurut Adebayo (2006), stres pada akhirnya akan

memengaruhi beberapa parameter reproduksi, yaitu fertilisasi, persentase

penetasan, abnormalitas larva, sintasan, dan mortalitasnya.

D. Ammonia

Kadar amonia dalam air tawar dapat bersifat racun bagi ikan apabila

jumlahnya >0,2 mg/L (Effendi 2000). Menurut Boyd (1982), tingkatan amonia

untuk jangka pendek berada di antara 0,6–2,0 mg/L. Menurut Modu et al. (2012),

kolam induk ikan baung dengan kadar total amonia nitrogen (TAN) 2,1–3,05

mg/L menyebabkan perubahan kondisi sel insang rusak dan iritasi.

Interaksi yang tidak seimbang antara faktor lingkungan dengan kondisi

ikan dan organisme parasit akan memicu munculnya serangan penyakit pada ikan.

Insang ikan sangat sensitif terhadap perubahan fisik dan kimia dari media akuatik

dan terhadap setiap perubahan dalam lingkungannya. Hasil penelitian Modu et al.

(2012) mencantumkan perubahan bentuk insang dan terjadinya nekrosis yang

diakibatkan terserang monogeneans parasit. Parasit tersebut muncul dikarenakan

kualitas air kolam ikan baung yang buruk akibat kadar amonia yang melebihi
16

ambang batas optimum. Kondisi tersebut memicu peningkatan infeksi penyakit,

yaitu parasit dan beberapa mikroba. Parasit monogeneans adalah jenis parasit ikan

yang sering ditemukan menyerang insang dan sirip ikan (Jiri et al. 2004).

E. Salinitas

Variasi salinitas di lingkungan hidup ikan baung mulai dari daerah estuaria

hingga perairan tawar/kolam menyebabkan ikan tersebut mempunyai toleransi

terhadap kisaran salinitas yang lebih besar dibandingkan ikan tawar lainya. Induk

baung hasil tangkapan alam memerlukan waktu adaptasi secara bertahap untuk

dibudidayakan di kolam secara terkontrol. Pengaruh salinitas terhadap induk ikan

baung berhubungan dengan daya tetas telur yang dihasilkan. Kadar salinitas 2 ppt

merupakan salinitas terbaik untuk penetasan telur ikan baung. Kondisi ini sesuai

hasil penelitian Hadid et al. (2014) dengan persentase penetasan telur mencapai

85,33%. Sungai Kampar dengan salinitas berkisar 0–0,5‰ merupakan salah satu

perairan dengan populasi ikan baung tertinggi (Erlangga 2007). Kondisi ini

menggambarkan induk ikan baung dapat dipelihara dan dipijahkan di kolam air

tawar.

2.3.2. Kualitas Air Untuk Pemeliharaan Larva

A. Suhu

Menurut Tang (2003), suhu 25°C memberikan hasil terbaik bagi

kelangsungan hidup larva ikan baung. Bunasir et al. (2005) menyatakan suhu

untuk perawatan larva dan pertumbuhan benih ikan baung berkisar antara 27–
17

30°C. Menurut Ali dan Junianto (2014), suhu yang optimal untuk kelangsungan

hidup larva sampai benih ikan baung adalah 27°C.

B. Tingkat Keasaaman (pH)

Konsentrasi pH air memegang peran penting terhadap metabolisme dan

proses fisiologis (Abbink et al. 2011; Kwong et al. 2014), sintasan (Hamid et al.

1994), serta kerusakan insang (Kwong et al. 2014). Setiap jenis ikan memiliki

kisaran toleransi pH air berbeda. Kisaran pH air optimum untuk budidaya ikan

berkisar 4,25– 9,4 (Oliveira et al. 2012; Courtenay dan Williams 2004).

Konsentrasi pH air optimum pada pemeliharaan benih ikan baung berkisar antara

5,5–6,5 (Heltonika dan Karsih 2017).

C. Oksigen Terlarut (DO)

Kisaran oksigen terlarut optimum pada pemeliharaan ikan yaitu 3–7 mg/L

(Mallya 2017). Kisaran oksigen terlarut optimum pada pemeliharaan benih ikan

baung berkisar antara 3,7–5,6 mg/L (Heltonika dan Karsih 2017).

D. Ammonia

Amonia merupakan buangan metabolik yang pada kensentrasi tertentu

sangat beracun bagi ikan (Benli et al. 2008). Sumber amonia di perairan berasal

dari pemecahan nitrogen organik (protein, urea, feses) dan nitrogen anorganik

yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba atau jamur (Boyd

2015). Peningkatan amonia melebihi 0,3 mg/L berdampak terhadap penurunan

oksigen terlarut dan meningkatkan konsentrasi karbondioksida dalam darah.

Menurut Boyd (2015), konsentrasi amonia optimal untuk budidaya ikan di

perairan yang tidak tercemar <0,25 mg/L dan perairan tercemar konsentrasinya di
18

bawah 1,0 mg/L. Konsentrasi amonia optimum untuk pemeliharaan benih ikan

baung berkisar 0,02–0,72 mg/L.

2.4. Penyakit, Pencegahan Penyakit dan Penanggulangan

Penyakit dapat berkembang akibat bermacam-macam faktor diantaranya

perubahan lingkungan, mikroorganisme dan adanya patogen. Sebenarnya ikan

mempunyai kekebalan terhadap serangan hama dan penyakit selama dipelihara

dalam kondisi lingkungan yang baik. Ikan yang sakit biasanya memperlihatkan

tingkah laku yang menyimpang, misalnya menggosok-gosokkan badannya pada

benda-benda seperti batu, atau pinggiran pematang kolam. Pada kasus lain

gerakan tidak seimbang dan pada akhirnya diam di dasar dengan sirip dada

membuka atau sekali-kali muncul ke permukaan air sperti menggantung. Sebagai

pedoman ciri-ciri ikan yang sakit sebagai berikut :

a. Kelainan warna tubuh Kelainan warna tubuh patut dicurigai, barangkali

sudah ditempeli parasit tertentu. Namun perubahan warna tubuh itu juga

dapat disebabkan oleh kondisi terkejut karena terjadi pergantian cahaya

dari gelap ke terang.

b. Produksi lendir Ikan yang sakit memproduksi lendir berlebihan. Hal ini

jelas pada ikan yang berwarna gelap, seperti ikan baung dan jenis ikan

yang tidak bersisik lainnya seperti lele dan patin. Produksi lendir yang

berlebihan biasanya disebabkan oleh parasit yang menyerang bagian kulit.

Banyaknya lendir tegantung pada intensitas serangan.


19

c. Kelainan bentuk organ serangan tertentu akan menimbulkan kelainan

tertentu pada bagian tubuh ikan misalnya berupa bintik-bintik putih pada

sirip, sisik maupun pada bagian lain. Bila serangan sangat hebat akan

terjadi infeksi yang parah sehingga menyebar ke seluruh bagian tubuh.

Bagian kulit termasuk juga otot, tak luput dari serangan parasit yang

mengakibatkan bintik-bintik merah atau menunjukkan gejala adanya

semacam tumor pada kulit.

Upaya pencegahan lebih baik dari pada mengobati, tindakan pencegahan

bertujuan untuk mencegah masuknya wabah penyakit ke dalam wadah budidaya

ikan. Untuk mencegah meluasnya wilayah yang terkena penyakit, dan untuk

mengurangi kerugian produksi ikan akibat timbulnya penyakit sebaiknya

dilakukan:

a. Sanitasi kolam dilaksanakan melalalui pengeringan, penjemuran dan

pengapuran kolam dengan sebanyak 200g/m2 yang ditebar merata di

permukaan tanah dasar kolam selama 7-10 hari. Setelah tiu kolam siap

ditebari ikan.

b. Mengatur padat tebar ikan Ikan yang akan ditebar harus direndam dalam

larutan PK (20g/m3) malacyht hijau (40 mg/10 liter air) atau dengan

formalin (1 cc/10 liter air) masing-masing selama 10 menit. Sanitasi juga

disarnkan untuk perlengkapan dan peralatan dengan cara merendam

dengan larutan PK selama 30-60 menit.

c. Menjaga lingkungan tempat budidaya merupakan upaya perlindungan dari

gangguan hama dan penyakit adalah dengan menjaga lingkungan budidaya


20

dan perairan. Pematang kolam dibersihkan dari tumbuhan liar yang sering

menjadi tempat persembunyai hewan darat seperti ular dan kodok. Pohon

yang rindang dikurangi agar tidak mengurangi masuknya sinar matahari.

Setiap kolam/bak diusahakan mendapatkan pemasukan air yang baru dan

segar. Selain tiu bahan-bahan organik seperti sampah yang memungkinkan

masuk ke wadah budidaya dikurangi.

Anda mungkin juga menyukai