melekat pada bebatuan di daerah pesisir pantai (Kılınç et al., 2013). (Zailanie & Kartikaningsih,
2016) mengemukakan bahwa rumput laut mampu digunakan dalam menjaga kesehatan manusia.
Rumput laut juga memiliki potensi ekonomis yang dapat dikembangkan, yaitu sebagai bahan
baku dalam industri makanan dan kesehatan (Suparmi & Sahri, 2009).
Rumput laut menjadi salah satu komoditas hasil kelautan yang dapat dikembangkan di
Indonesia. Setiap tahun permintaan dunia terhadap rumput laut semakin meningkat. Kenaikan
rata-rata sebesar 22,25% setiap tahun. Data ekspor menunjukkan bahwa pada tahun 2015
mencapai 11,27 juta ton. Sedangkan pada tahun 2016, produksi naik menjadi 11,69 juta ton.
Berbagai peluang yang ada pada hasil kelautan rumput laut mampu diciptakan sebagai
produk unggulan ekspor dunia. Namun, tingginya peluang rumput laut tersebut belum
sepenuhnya diimbangi dengan usaha yang mampu memanfaatkan sumber daya rumput laut yang
mampu memberikan nilai ekonomi yang maksimal bagi semua stakeholder yang terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam industri budidaya rumput laut. Saat ini,
pemanfaatan rumput laut hanya berbatas pada ekspor barang mentah sebesar 50% dari jumlah
rumput laut yang dihasilkan oleh para petani laut (Kemendag, 2013). Pengendalian ekspor
rumput laut di Indonesia akan dirancang melalui proses ekspor rumput laut yang banyak
mengirimkan bahan mentah diganti dan diarahkan kepada rumput laut olahan pangan (KKP,
2016).
Keberhasilan produksi rumput laut dapat dicapai dengan mengoptimalkan faktor-faktor
pendukung dalam budidaya laut. Faktor-faktor pendukung tersebut antara lain pemilihan lokasi
budidaya yang tepat, penggunaan jenis yang bermutu baik, teknik atau metode budidaya yang
tepat, serta panen dan pasca panen. Salah satu faktor yang sangat penting adalah salinitas yang
Proses pertumbuhan rumput laut adalah hal yang sangat penting untuk diketahui
perkembangan ukuran, baik dilihat dari segi panjang maupun beratnya. Pertumbuhan rumput laut
jenis Eucheuma cottoni dapat dipengaruhi oleh dua faktor penting yakni faktor eksternal serta
faktor internal. Faktor eksternal memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut meliputi
keadaan lingkungan fisik maupun kimiawi sedangkan faktor internal yang mempengaruhi
terhadap rumput laut yakni jenis, thallus dan umur (Syaputra, 2005). Rumput laut yang
digunakan pada saat penelitian adalah rumput laut jenis Eucheuma cottoni yang memiliki thallus
berbentuk silindris, pipih, memiliki ujung runcing atau tumpul, percabangan thallus tidak teratur
serta cabangnya bersifat dichotomus maupun trichotomus yang memiliki warna merah, merah
coklat dan hijau (Meiyana et al., 2001). Keuntungan yang dapat diperoleh dari rumput laut
Eucheuma cottonii adalah senyama karaginan yang terkandung didalamnya, karaginan secara
luas digunakan pada bahan makanan dan industri-industri lain sebagai pengental dan stabilisator.
(Eucheuma Cottonii)”.
1.2. Permasalahan
Minimal 1 halaman
reproduksinya (Hurtado et al., 2009). Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana perubahan
salinitas berpengaruh terhadap pertumbuhan Eucheuma cottonii pada salinitas yang berbeda
Faktor fisika dan kimia laut selain mempengaruhi pertumbuhan rumput laut juga
berpengaruh terhadap rendemen karaginannya, dan semakin baik pertumbuhan rumput laut maka
rendemen karaginannya semakin tinggi (Munoz et al., 2004; Tewari et al., 2006). Faktor fisika
dan kimia laut sangat dipengaruhi oleh musim, hasil penelitian yang dilakukan pada spesies
rumput laut Eucheuma cottonii menunjukkan bahwa pertumbuhan rumput laut memberikan
respon berbeda terhadap musim. Pertumbuhan rumput laut yang lambat di musim hujan karena
kisaran salinitas yang fluktuatif, merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia (Parenrengi
et al., 2007).
Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang bersifat stenohaline. Rentan terhadap
fluktuasi salinitas yang tinggi. Dari hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian didapatkan
salinitas dengan nilai 33 ppt. Menurut Ditjenkanbud (2005) kisaran salinitas yang baik untuk
rumput laut Eucheuma cottonii adalah 28 – 35 ppt. Maka lokasi yang dijadikan titik penanaman
rumput laut sesuai dengan salinitas yang dibutuhkan oleh rumput laut (Eucheuma cottonii).
Perubahan salinitas yang ekstrim dapat menyebabkan timbulnya penyakit ice – ice. Untuk
memperoleh perairan dengan salinitas tersebut lokasi harus jauh dari sumber air tawar yaitu
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi rumput laut
Eucheuma cottonii terhadap pengaruh salinitas yang berbeda. Hasil yang diperoleh diharapkan
dapat memberikan informasi baru terutama bagi pembudidaya rumput laut tentang penanaman
rumput laut pada salinitas laut yang berbeda yang dapat menghasilkan pertumbuhan dan
Seperempat halaman
Menurut Nazir (2005: 151) menyatakan bahwa “hipotesis tidak lain dari jawaban
sementara terhadap permasalahan penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris”.
Berdasarkan kajian teori yang sesuai dengan sejumlah asumsi dasar sebagaimana
volume produksi.
volume produksi.
volume produksi.
merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti
akar, batang, dan daun. Rumput laut atau alga juga dikenal dengan nama seaweed
merupakan bagian terbesar dari rumput laut yang tergolong dalam divisi Thallophyta. Ada
empat kelas yang dikenal dalam divisi Thallophyta yaitu Chlorophyceae (alga hijau),
Phaeophyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae (alga biru
hijau). Alga hijau biru dan alga hijau banyak yang hidup dan berkembang di air tawar,
sedangkan alga merah dan alga coklat secara eksklusif ditemukan sebagai habitat laut
(Ghufran, 2010).
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu carragaenophtytes yaitu
rumput laut penghasil karaginan, yang berupa senyawa polisakarida. Karaginan dalam
rumput laut mengandung serat (dietary fiber) yang sangat tinggi. Serat yang terdapat pada
karaginan merupakan bagian dari serat gum yaitu jenis serat yang larut dalam air. Karaginan
dapat terekstraksi dengan air panas yang mempunyai kemampuan untuk membentuk gel.
Sifat pembentukan gel pada rumput laut ini dibutuhkan untuk menghasilkan pasta yang baik,
(Anggadiredja, 2011).
lebih dikenal dengan nama Cottonii. Spesies ini menghasilkan karaginan tipe kappa. Oleh
karena itu secara taksonomi diubah namanya dari Eucheuma alvarezii menjadi Eucheuma
khusus, kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut atau yang selalu terendam air. Melekat
pada substrat di daerah perairan berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping
dan cangkang molusca (Doty 1986 diacu dalam Atmadja et al. 1996).
Menurut Anggadireja (2011), taksonomi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii
Kingdom : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Substansi thalli “gelatinus” dan atau “kartilagenus” (lunak seperti tulang rawan)
Memiliki benjolan-benjolan dan duri
Karakteristik gel kappa-karaginan dicirikan oleh tipe gel yang lebih kuat dan rapuh
dengan sineresis dan memiliki efek sinergis yang tinggi dengan locust been gum. Pada
umumnya rumput laut jenis Eucheuma cottonii (karaginan) dapat melakukan interaksi
2.2. Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah perubahan fisik suatu organisme melalui proses pertambahan
berat dan ukuran dari waktu ke waktu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain
jenis, galur, thallus (bibit), dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara
lain lingkungan atau esaanografi, bibit, jarak tanam berat bibit awal, dan teknik penanaman
(Kamlasi, 2008).
oseanografi (fisika, kimia, dan pergerakan atau dinamika air laut) serta jenis substrat
dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi disekitarnya secara difusi
2.3. Produksi
Produksi adalah proses pembuatan suatu produk atau barang dan jasa dengan
memanfaatkan sumber daya dan akan menghasilkan suatu barang dan jasa atau meningkat
nilai barang dan jasa tersebut. Produksi rumput laut dapat berhasil dengan adanya faktor-
faktor pendukung dalam budidaya laut dan perlu dioptimalkan. Pemilihan lokasi budidaya
yang tepat, penggunaan jenis yang bermutu baik, teknik atau metode budidaya yang tepat,
serta panen dan pasca panen adalah faktor pendukung produksi yang perlu diperhatikan
dalam budidaya rumput laut. Faktor-faktor pendukung tersebut diperlukan agar produksi
2.4. Salinitas
Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang cukup berpengaruh pada
organisme dan tumbuhan yang hidup di perairan laut. Saliniatas perairan yang ideal untuk
digunakan sebagai lahan budidaya rumput laut adalah yang memiliki salinitas perairan yang
tinggi dengan kisaran 28-34 o/oo. Hal ini tergantung dari spesiesnya, dan Euchema spp
tumbuh dengan baik pada perairan antara 30 – 37 permil. Rumput laut jenis Euchema sp
hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran salinitas 33 – 35 permil dengan nilai
optimum 33 permil, bahkan Euchema spp memiliki toleransi salinitas yang cukup luas dan
dapat tumbuh dengan baik pada salinitas perairan 27 – 34 permil. Meskipun demikian nilai
salinitas yang optimum bagi rumput laut adalah 32 o/oo (Sutika, 1989).
Menurut Dahuri (2001), secara umum salinitas permukaan perairan Indonesia rata-
rata berkisar antara 32 – 34 per mil. Selanjutnya ditambahkan oleh Sutika (1989) bahwa
salinitas air laut pada umumnya berkisar 33 o/oo sampai 37 o/oo dan berubah-ubah
berdasarkan waktu dan ruang. Nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar ke air
laut, curah hujan, musim, topografi, pasang surut dan evaporasi (Nybakken, 2000).
Ditambahkan pula oleh Nontji (1987) bahwa sebaran salinitas dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Salinitas
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Kondisi
salinitas yang baik untuk pertumbuhan rumput laut yaitu berkisar antara 15-35 ppm
(Aslan,1999)
DAFTAR PUSTAKA
Minimal 1 halaman
Anggadiredja, JT. 2009. Rumput Laut, Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas
Perikanan Potensial. Depok : Penebar Swadaya.
Ambardhy J H, 2004. Physical and Chemical Properties Water. Pegangan Training Budidaya.
PT. Central Pertiwi Bahari. Januari 2004. 25 hlm. http://www.Softwarelabs.com 28
Oktober 2021.
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan. Bogor.
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. DKP RI,
Ditjenkanbud. Jakarta. Hal 11
Ghufran M, Kordi K, 2010. Budi Daya Biota Akuatik untuk Pangan, Kosmestik, dan Obat-
obatan, Lily Publisher, Yogyakarta.
Hurtado, A.Q., D.A. Yunque, K. Tibubos, & A.T. Critchley. 2009. Use of Acadian Marine Plant
Extract Powder from Ascophyllum nodosum in Tissue Culture of Kappaphycus alvarezii.
J. Appl. Phycol . 21: 633–639
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KPP). (2017). KPP sasar rumput laut sebagai komoditas
unggulan budidaya. Retrieved from file:///F:/KKP%20Sasar%20Rumput%20Laut
%20sebagai%20Komoditas%20Unggulan%20Budidaya%20_%20KKP%20News.htm.
28 Oktober 2021.
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2016). 4 kiat Menteri Susi kembangkan rumput
laut. Jakarta : Kementrian Kelautan dan Perikanan. Retrieved from
http://kkp.go.id/2016/09/28/4-kiat-menteri-susikembangkan-rumput-laut/.
Meiyana, M., Evalawati dan Prihaningrum, A. (2001). Biologi Rumput Laut. Balai Budidaya
Laut, Lampung.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Munoz, J., Y.F. Pelegrin, & D. Robledo. 2004. Mariculture of Kappaphycus alvarezii
(Rhodophyta, Solieriaceae) Color Strains in Tropical Waters of Yucatan, Mexico.
Aquaculture, 239: 161-177.
Parenrengi, A., E. Suryati, & R. Syah. 2007. Penyediaan Benih dalam Menunjang Kebun Bibit
dan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Makalah Simposium Nasional Riset
Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 12 hal.
Suparmi, S., & Sahri, A. (2009). Mengenal potensi rumput laut : Kajian pemanfaatan sumber
daya rumput laut dari aspek industri dan kesehatan. Jurnal Sultan Agung, 44(118), 95–
116.
Syaputra, Y. (2005). Pertumbuhan dan Kandungan Keragenan Budidaya Rumput Laut Euchema
cottoni Pada Kondisi Lingkungan Yang Berbeda dan Perlakuan Jarak Tanam di Teluk
Lhok Seudu. [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tewari, A., K. Eswaran, P.V.S. Rao, & B. Jha. 2006. Is Kappaphycus alvarezii Heading Towards
Marine Bioinvasion? Current Science, 90(5): 619-620.