Anda di halaman 1dari 13

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumput laut merupakan salah satu komoditi sumber daya hayati yang
melimpah di perairan Indonesia. Ketersediaan rumput laut yang melimpah
biasanya dimanfaatkan masyarakat sebagai lauk pauk atau lalapan, karena rumput
laut mengandung gizi yang cukup tinggi. Menurut Restiana dan Rachmawati
(2004), rumput laut juga mengandung air 18,62%, abu 15,13%, lemak 0,58%,
protein 2,09%, serat kasar 5,29%, karbohidrat 58,29%, energy 246,7%, karagenan
20,97%. Rumput laut juga mengandung alginate yang cukup tinggi. Lebih lanjut,
Dirjen PEN (2013) menyatakan bahwa Kandngan senyawa karagenan dan
alginate yang cukup tinggi di dalam rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku industri makanan, pelembut rasa, pencegah kristalisasi es krim dan
obat-obatan. Jenis rumput laut yang digunakan untuk bahan baku industri
pengolahan adalah (Gracillaria, Gelidium, Gelidella, dan Gelidiopsis) sebagai
bahan baku penghasil agar-agar atau agarophytes, (Euchema dan Hypnea) sebagai
bahan baku penghasil karagenan atau carrageenophytes, dan (Sargassum
Laminaria serta Turbinaria) sebagai bahan baku penghasil alginat atau
alghinophytes (Munifah, 2008).
Kualitas rumput laut kering menjadi salah satu masalah di Industri
pengolahan seperti masih ditemukan rumput laut kering yang kurang baik, masih
terdapat kotoran atau benda asing seperti kayu, kerikil, rumput, lumpur, dan
berpasir. Salah satu benda asing yang sering mencemari rumput laut adalah
lumpur. Rumput laut yang tercemar oleh lumpur dapat menyebabkan rumput laut
menjadi kotor (Hasiru et al, 2010). Rumput laut yang kotor akan menurunkan
harga jual rumput laut, karena harga jual rumput laut tergantung dari kualitas
rumput laut itu sendiri (Surata dan Nindhia, 2016). Permintaan akan rumput laut
yang berkualitas baik akan semakin meningkat, seiring dengan banyaknya produk
diversifikasi dari rumput laut dan berkembangnya industri pengolahan. Oleh
karena itu, perlu upaya yang dapat meningkatkan kualitas rumput laut kering.

Universitas Sriwijaya
1
2

Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas rumput laut adalah
dengan penanganan yang baik. Proses penanganan rumput laut yang baik meliputi
kegiatan pemanenan, sortasi atau peyortiran, pencucian, penjemuran, pengepakan
dan peyimpanan. Pemanenan rumput laut yang baik dilakukan setelah rumput laut
berumur 45-60 hari. Setelah pemanenan, dilakukan peyortiran untuk memilih
rumput laut yang berkualitas baik dan memisahkan dari kotoran (kerikil, kayu,
dan rumput). Kemudian dilakukan pencucian agar tidak ada lagi lumpur yang
menempel pada rumput laut. Selanjutnya dilakukan penjemuran untuk menambah
daya simpan rumput laut dan mempermudah proses pengepakan. Rumput laut
yang sudah kering dikemas agar terhindar dari kontaminasi mikroorganisme
penyebab kerusakan. Lalu dilakukan penyimpanan di gudang yang bersih dan
sirkulasi udara yang baik.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktek lapangan ini adalah untuk mengetahui penanganan
rumput laut yang dilakukan di PT Galic Artabahri Bekasi Jawa Barat.

1.3. Manfaat
Adapun manfaat dari praktek lapangan ini dapat menambah informasi
untuk pengembangan di bidang teknologi hasil perikanan khususnya penanganan
rumput laut yang dilakukan di PT Galic Artabahri Bekasi Jawa Barat, dan
menjalin kerja sama antara program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya dengan PT Galic Artabahari Bekasi Jawa Barat.

Universitas Sriwijaya
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistematika dan Morfologi (Eucheuma cottonii)


Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) yaitu sebagai berikut:
kingdom : Plantae
divisi : Rhodophyta
kelas : Rhodophyceae
ordo : Gigartinales
famili : Solieracea
genus : Eucheuma
species : Eucheuma cottonii
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk kedalam golongan algae
rumput laut merah (Rhodophyceae). Eucheuma memiliki ciri-ciri berbentuk bulat
simetris atau pipih, dan mempunyai warna diantaranya merah, coklat merah atau
juga hijau kuning, selang cabang tidak teratur, terdapat benjolan-benjolan dan
berduri (Aslan, 1991). Pertumbuhan dan penyebaran Eucheuma cottonii
tergantung dari faktor oseonografi (faktor fisika, kimia, dinamika air laut dan jenis
substrat dasar perairan). Menurut Winarno (1996) rumput laut Eucheuma cottonii
penyebarannya di Indonesian terutama di Jawa Timur, Sulawesi , Bali, Maluku
dan Irian.
Rumput laut berkembang biak dengan dua cara yaitu, cara kawin dan
tidak kawin (generatif dan vegetative). Menurut Harahap (2010)
perkembangbiakan secara kawin Eucheuma cottonii dengan cara gametophyte
jantan melalui pori spematongia lalu menghasilkan sel jantan yang disebut
(spermatia). Sel jantan akan membuahi sel betina pada cabang carponogia dari
gametophyt betina. Hasil pembuahan dari sel betina dengan jantan disebut
carpospora dan terjadi proses germinasi, kemudian tumbuh menjadi tanaman yang
tidak ada alat kelamin yang disebut sporophyt. Perkembangbiakan cara tidak
kawin, terjadi dengan penyebaran tetraspora setelah germinasi tumbuh menjadi
tanaman yang memiliki alat kelamin yaitu gametophyte jantan dan gametophyte
betina.

Universitas Sriwijaya
3
4

Perkembangbiakan tidak kawin (vegetatif) dilakukan dengan cara stek.


Stek adalah mengambil atau memanfaatkan bagian batang tanaman untuk
dikembangbiakan sebagi tanaman baru. Stek pada Eucheuma cottii dapat dengan
cara memotong seluruh bagian dari thallus, dari pemotongan thallus akan
membentuk percabangan baru dan tumbuh berkembang menjadi tanaman biasa.

2.2. Penanganan Rumput Laut


Penanganan rumput laut adalah kegiatan yang dilakukan setelah kegiatan
pemanen dilakukan, kegiatan ini sifatnya tidak merubah struktur asli dari bahan,
tujuan dari penanganan pasca panen ini adalah untuk mempertahankan kualitas
hasil panen agar tetap baik sampai ketempat pegolahan, sehingga dengan kualitas
bahan yang baik akan meningkatkan harga jual dari hasil panen itu sendiri.
Kegiatan penanganan pasca panen harus cepat dilakukan untuk mencegah
terjadinya kerusakan bahan akibat dari aktivitas, mikrobiologis, mekanis, fisik,
kimia, biologis (Susiwi, 2009).
Penanganan rumput laut dimulai ketika kegiatan pemanenan selsai. Proses
pemanenan akan mempengaruhi cara penanganan ketika terjadi kesalahan pada
saat pemanenan. penanganan akan mudah, jika proses pemanenan rumput laut
dikerjakan dengan benar dan baik. Kegiatan pemanenan yang baik adalah dengan
pemanenan rumput laut yang benar-benar siap dipanen, prosesnya benar (tidak
membuat rumput laut patah atau rusak). Selain faktor penanganan dan
pemanenan, faktor Budidaya rumput laut juga berpengaruh dengan kualitas
rumput laut, ada beberapa faktor budidaya rumput laut yang dapat mempengaruhi
kualitas diantaranya pemilihan lokasi dari budidaya rumput laut (kondisi
oseonografi, bibit yang baik) waktu pemanenan yang tepat dan yang paling besar
berpengaruh terhadap kualitas rumput laut adalah penanganan pasca panen baik.
Pemilihan lokasi budidaya rumput laut diantaranya tempatnya harus jauh dari air
sungai atau tawar, area estuaria dan sumber limbah, lokasi harus budidaya
terlindung dari pengaruh ombak besar agar tidak merusak lahan dari budidaya.
Kondisi oseonografi ini berkaitan dengan musim (Kurnianto dan Teddy, 2013).
Menurut Sulardjo, (2014) bibit rumput laut yang baik mempunyai kadar karaginan
yang tinggi, tidak terdapat bercak, thallus elastis, bersih dari hama, tanaman

Universitas Sriwijaya
5

pengganggu, kotoran, waktu pemanenan yang baik ketika umur rumput laut
mencapai 45-60 hari kadar karaginan dari Eucheuma cottonii sudah optimal.
Penanganan pasca panen rumput laut dapat dilakukan dengan memulai tahap
sortasi, pencucian, pengeringan, pengepakan, penyimpanan (Julianto et al, 2014).

2.2.1. Sortasi
Tahapan sortasi adalah tahapan awal dari penanganan. Kegiatan sortasi
meliputi penyortiran (memilih rumput laut yang masuk kriteria yang baik).
Kriteria rumput laut yang baik memiliki ciri-ciri diantaranya thallus mempunyai
tampilan warna cerah, transparan serta mudah dipatahkan, rumput laut bersih dari
penempelan antara lain ganggang dan kotoran lain serta thallus dan batang normal
dan mempunyai bau khas alamiah (Dirjen PB, 2015) . Pada tahapan sortasi ini
jika ada rumput laut yang tidak mempunyai karakteristik tidak layak untuk diolah
maka tidak dapat masuk ketahapan berikutnya. Kegiatan sortasi dapat dilakukan
oleh pembudidaya rumput laut itu sendiri.
Menurut Sugianto et al (2013) sortasi juga dilakukan setelah tahap
pengeringan, proses sortasi setelah pengeringan dilakukan pada saat rumput laut
benar-benar telah kering dengan mengayak rumput laut dalam kondisi kering.
Proses pengayakan untuk membantu mempermudah membuang kotoran yang
masih menempel pada rumput laut, berupa kerang, cangkang siput dan lumut.
Jenis kotoran tersebut sulit dihilangkan ketika rumput laut masih basah karena
hewan sejenis siput yang menempel umumnya masih hidup dan sulit lepas dari
thallus rumput laut.

2.2.2 Pencucian
Pencucian rumput laut adalah kegiatan untuk menghilangkan suatu
mikroorganisme dan zat pengotor yang terdapat pada rumput laut seperti, pasir,
karang, lumpur dan garam dengan menggunakan air untuk membersihkan rumput
laut. Air yang digunakan untuk pencucian rumput laut bisa menggunakan air
tawar. Untuk budidaya rumput laut di tengah laut dapat mencuci rumput laut
dengan air laut dan setelah sampai di daratan baru mencuci rumput laut dengan air
tawar. Pencucian rumput laut yang efisien dilakukan di air yang mengalir.

Universitas Sriwijaya
6

Penggunaan air yang mengalir akan membantu proses pencucian rumput laut lebih
cepat, karna dengan kondisi air yang mengalir zat pengotor lebih mudah
dibersihkan atau dihilangkan.
Zat pengotor yang sulit dihilangkan seperti (karang, substrat tumbuhan
laut lain) dapat dilakukan pencucian dengan cara sambil mengucek atau
menggosok rumput laut dengan menggunakan tangan. Salah satu benda yang
sering mengotori rumput laut adalah lumpur. lumpur harus di cuci besih karena
lumpur susah dibersihkan pada saat rumput laut sudah dalam kondisi kering, ini di
karenakan lumpur yang menempel sudah mengeras (Sugianto et al, 2013). Untuk
menghasilkan kualitas karagenan, alginat yang baik, setelah proses pencucian
rumput laut di rendam dengan larutan KOH 0,1% (Mirza et al, 2013)

2.2.3. Pengeringan
Pengeringan merupakan salah satu kigiatan yang biasanya dilakukan
petani setelah petani membersihkan hasil panennya, pengeringan dilakukan petani
dengan cara menjemur hasil panen dibawah sinar matahari. Tujuan petani
melakukan pengeringan ini untuk memperpanjang daya simpan hasil panen,
karena proses pengeringan akan mengurangi kadar air dalam bahan. Dengan kadar
air dalam bahan rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
penyebab kebusukan (patogen). Proses pengeringan dapat mengubah suatu
material berbentuk padatan, semi padatan atau cairan menjadi produk berbentuk
padatan melalui penguapan cairan didalamnya dengan mengubahnya ke fase uap
dengan penambahan panas (Siagian, 2008).
Pengeringan akan mengecilkan volume bahan menjadi lebih kecil
sehingga akan mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan
pengepakan, berat bahan menjadi berkurang sehingga mempermudah pada proses
transportasi, dengan demikian diharapkan biaya produksi lebih murah. Jika proses
pengeringan tidak dilakukan pada rumput laut. Akan menyebabkan kerusakan
fisik, kimia dan biologi pada rumput laut (Wiyanto, 2010).
Pengeringan akan mempengaruhi kualitas rumput kering, dimana jika
rumput laut kering yang memiliki kadar air yang masih tinggi. Rumput laut yang
dihasilkan oleh industri dalam negeri masih rendah karena berwarna coklat

Universitas Sriwijaya
7

(browning) dan kadar air yang cukup tinggi yaitu di atas 20% (Djeani et al, 2012).
Penyebab kadar air yang tinggi ini akan menyebabkan kualitas karaginan rumput
laut rendah. Menurut Oviantari dan Purwata (2007) pengeringan rumput yang
kurang baik dapat menyebabkan perbedaan kadar pigmen (warna) pada rumput
laut kering, kadar pigmen akan mempengaruhi proses ekstraksi dari proses
karagenan.
Pengeringan rumput laut biasanya dilakukan dengan tiga metode yaitu
dengan Pengeringan dengan alas, Pengeringan dengan menggunakan para-para
jemur dan Pengeringan dengan metode gantung. Teknis pengeringan rumput laut
yang biasa dilakukan petani yaitu dengan alas. Pengeringan dengan alas dapat
dilakukan dengan menggelar alas (waring) di atas tanggul tambak. Rumput laut
hasil panen yang telah melewati proses sortasi dan pencucian yang masih basah di
letakkan dan diratakan di atas waring yang telah dipersiapkan. Pemilihan waring
sebagai alas pengeringan ini bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan
rumput laut yang masih basah, karena karakteristik waring yang berupa lembaran
dengan lubang mess seperti saringan memungkinkan proses pengeringan berjalan
optimal karena udara dapat melewati permukaan rumput laut secara merata
(Sugianto et al, 2013).

2.2.4. Pengepakan dan Penyimpanan


Pengepakan bertujuan untuk mempertahankan mutu rumput laut
disamping itu proses pengepakan dilakukan untuk memudahkan proses
penyimpanan, labeling dan transportasi. Pengepakan dapat dilakukan baik
menggunakan alat bantu maupun manual. Penggunaan alat bantu
(manual hydrolicpress) memungkinkan proses lebih cepat dan proses pemadatan
yang optimal. Rumput laut yang telah kering selanjutnya dikemas dengan
menggunakan kemasan berupa karung plastik atau goni yang bersih dan bebas
dari bahan yang berbahaya. Untuk mempermudah pengangkutan sebaiknya berat
kemasan sebaiknya tidak lebih dari 50 kg. Setelah dikemas rumput laut kemudian
diberi label yang memuat nama rumput laut serta berat masing-masing kemasan.
Setelah dikemas rumput laut dapat langsung dikirim untuk dijual atau
disimpan digudang. Jika disimpan digudang, gudang harus bersih, tidak lembab,

Universitas Sriwijaya
8

sirkulasi udara digudang cukup baik dan lantai gudang tempat penyimpanan
sebaiknya diberi pallet kayu (Juliato, 2014). Penyimpanan yang tidak baik bisa
menyebabkan kadar air rumput laut meningkat hingga 50-55%. Pada kondisi
demikian, rumput laut bisa membusuk dan tidak mampu disimpan lama. Rumput
laut yang mengalami peningkatan kadar air yang sebaiknya dilakukan penjemuran
ulang dan dipadatkan kembali, kemudian disimpan pada tempat yang memenuhi
syaratpenyimpanan (Dirjen PB, 2015).

2.3. Pemanfaatan Rumput laut


Rumput laut berdasarkan kemampuan untuk menghasilkan senyawa
fikokoloid dapat dibedakan atas tiga jenis, rumput laut sebagai penghasil agar atau
biasa yang dikenal sebagai sebutan (agarophyte), rumput laut penghasil caragenan
biasa disebut dengan (caragenophyte) dan rumput laut penghasil alginat
(alginophyte). Rumput laut penghasil agar-agar termasuk kedalam jenis rumput
laut merah (rhodophyceae) sama seperti rumput laut penghasil karagenan,
sedangkan rumput laut penghasil alginate termasuk jenis rumput laut coklat
(phaeophyceae). Rumput laut penghasil agarofit Glasilaria sp dan Gelidium sp
rumput laut penghasil karagenan adalah Eucheuma sedangkan jenis rumput laut
penghasil alginofit adalah Sargasum sp dan Turbinaria sp (Utomo, 2011).
Pemanfaatan rumput laut tergantung dengan jenis industri yang akan
mengolah. Industri makan dan minuman biasanya akan membuat prodak yang
berbahan dasar rumput laut menjadi, agar-agar, minuman. Untuk industri
kesehatan dan kecantikan rumput laut dimanfaatkan menjadi prodak masker
rumput laut, selain itu rumput laut juga bisa berfungsi sebagai senyawa biodisel
dan bioetanol, sebagai pupuk organic karena kandungan mineral yang terkandung
di dalam rumput laut (Munifah, 2008).

2.3.1. Agar
Agar adalah pikokoloid yang diekstrak dari rumput laut merah kelas
(Rhodophyceae) yang meliputi Gelidium, Pterocladia, dan Gracilaria. Gelidium.
Agar sering dimanfaatkan sebagai bahan pengemulsi (emulsifier), penstabil

Universitas Sriwijaya
9

(stabilizer), pembentuk gel, pensuspensi, pelapis, dan inhibitor pembentuk gel,


pensuspensi, pelapis, dan inhibitor. Pemanfaatan agar dalam bidang industri antra
lain industri makanan, minuman, farmasi, kosmetik, pakan ternak, keramik, cat,
tekstil, kertas dan fotografi. Dalam industri makanan, agar banyak dimanfaatkan
pada industri es krim, keju, permen, jelly, dan susu coklat, serta pengalengan ikan
dan daging. Agar juga banyak digunakan dalam bidang bioteknologi sebagai
media pertumbuhan mikroba, jamur, yeast, dan mikroalga, serta rekombinasi
DNA dan elektroforesis (Murdiah et al, 2008).

2.3.2. Karaginan
Getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari
spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah), lazim dinamakan dengan
Karaginan yang telah banyak digunakan dalam industri pangan sebagai pengental,
pengemulsi, pensuspensi, dan faktor penstabil. Karagenan juga dipakai dalam
industri pangan untuk memperbaiki penampilan produk kopi, bir, sosis, salad, es
krim, susu kental, coklat, jeli. Industri farmasi memakai karaginan untuk
pembuatan obat, sirup, tablet, pasta gigi, sampo dan sebagainya. Industri
kosmetika menggunakannya sebagai gelling agent (pembentuk gel) atau binding
agent (pengikat). Sedangkan industri non pangan seperti tekstil, kertas, cat air,
transportasi minyak mentah, penyegar udara, pelapisan keramik, kertas printer
atau mesin pencetak serta karpet (Winarno, 1996).

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTEK LAPANGAN

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Universitas Sriwijaya
10

Praktek lapangan ini akan dilaksanakan di PT Galic Artabahari Bekasi.


Waktu pelaksanaan Praktek lapangan ini adalah pada bulan Mei sampai Juli 2017.

3.2. Metode Pelaksanaan


Metode yang digunakan pada praktek lapangan ini bertujuan untuk
mendapatkan data yang lengkap untuk menyusun laporan Praktek Lapangan.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survey, untuk data yang
diambil berupa data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung proses penanganan
berupa cara kerja yang dilakukan pada penanganan rumput laut sebelum diolah.
Selanjutnya melakukan wawancara kepada pembimbing praktek lapangan di PT
Galic Artabahari Bekasi.
Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka tentang penanganan rumput
laut yang baik, sejarah singkat instansi, struktur organisasi, kepegawaian, dan
keadaan umum di sekitar instansi.
Aspek-aspek yang akan dipelajari dalam pelaksanaan praktek lapang ini
adalah:
1. Keadaan P.T Galic Artabahari.
1.1. Lokasi dan Bangunan
1) Kecamatan
2) Kabupaten atau Kota
3) Luas PT Galic Artabahari Bekasi.
4) Keadaan lingkungan PT Galic Artabahari Bekasi.
5) Sejarah Perkembangan PT Galic Artabahari Bekasi.
6) Sejarah berdirinya PT Galic Artabahari Bekasi.
7) Perkembangan PT Galic Artabahari Bekasi.

1.2. Organisasi dan Personalia


1) Struktur organisasi
2) Tugas masing-masing bagian
10
3) Hubungan tugas antar bagian
4) Personalia

Universitas Sriwijaya
11

5) Jumlah karyawan
6) Hari kerja
2). Penanganan Rumput laut
Proses atau metode penanganan
1) Sortasi
2) Pencucian
3) Pengangkutan ke tempat penjemuran
4) Persiapan alat penjemuran
5) Penjemuran
6) Pengangkutan ke gudang
7) Pengepakan
8) Penyimpanan

3.3. Jadwal Kegiatan Praktek Lapangan


Bulan 1 Bulan 2
No. Kegiatan (Mei 17) (Juni 17)
1 2 3 4 1 2 3 4
1 Perkenalan dengan
pihak PT Galic
Artabahari
2 Pengumpulan data
primer (keadaan
umum perusahaan)
3 Pengumpulan data
tentang penerapan
system penanganan
rumput laut
4 Pengumpulan data
sekunder
5 Penyusunan laporan

DAFTAR PUSTAKA

Aslan LM. 1991. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta.

Direktoral Jendral Pengembangan Ekpor Nasional. 2013. Rumput Laut Indonesia.


Warta Ekspor. Jakarta

Universitas Sriwijaya
12

Direktoral Perikanan Budidaya. 2015. Petunjuk praktis mengelola pasca panen


rumput laut. http://www.djpb.kkp.go.id/arsip/c/265/PETUNJUK-PRAKTIS-
MENGELOLA-PASCA-PANENRUMPUTLAUT/?category_id=13
(Diakses 13 Februari 2017).

Djeani, MA Prasetyaningrum dan A. Mahayan. 2012. Pengeringan Karaginan Dari


Rumput Laut Eucheuma Cottonii Pada Spray Drayer Menggunakan Udara
Yang Didehumidifikasi Dengan Zeolit Alam. Momentum. Vol. 8(2) :28-34.

Doty, M.S. 1973. Farming the red seaweed, Eucheuma, for carrageenans.
Micronesia 9:59-73.

Harahap F. 2010. Budidaya Rumput laut dengan Spora dan Kultur Jaringan untuk
Peningkatan Pendapatan Keluarga. Jurnal pengabdian kepada
masyarakat. 16 (62) : 0852-2715.

Hasiru R, Niode I Y, Rahim E, Payu B R, Suhaimi F, Aziz Muh. A, Utiarahman


M. 2010. Studi kelayakan klaster rumput laut di kabupaten gorontalo utara
provinsi gorontalo. Jurnal inovasi gorontalo. Vol 5 (3).

Juliato B S, Badrudin, dan Tim perikanan WWF-Indonesia. 2014. Budidaya


Rumput Laut di Tambak Glacilaria.sp. WWF-Indonesia.

Kurnianto D. dan Teddy T. 2013. Pengaruh musim terhadap pertumbuhan dan


hasil rumput laut Eucheuma cottonii yang di tanam di dua lokasi
perairan di Maluku tenggara. Makalah pada seminar sain dan
teknologi V lembaga penelitian universitas lampung, Lampung. 19-20
November.

Mirza MRA dan Pramesti R. 2013. Pengaruh perendaman larutan KOH dan
NaOH terhadap kualitas alginat rumput laut sargassum polycycstum C.A.
agardh. Journal Of Marine Research. Vol. 2(1):41-47.

Munifah I. 2008. Prospek Pemanfaatan Alga Rumput Laut Untuk Industri. Balai
Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
Vol. 3 (2).

Murdiah, Dina Faransiksa dan Subaryono. 2008. Pembuatan bakto agar dari
rumput laut gelidium rigidum untuk media tumbuh bagi organism. Journal
pasca panen dan bioteknologi kelautan dan perikanan. Vol 3 (1) ;79-88

Nursanto I. 2004. Pembuatan Minuman Sebagai Usaha Diversifikasi Rumput Laut


Eucheuma cottoni. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor. Bogor: IPB.

Oviantari M Vdan Parwata P I. 2007. Optimalisasi produksi semi-refined


carragenan dari rumput laut Eucheuma cottonii dengan variasi teknik
pengeringan dan kadar air bahan baku. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Sains & Humaniora. Vol. 1(1) :62-71.

Universitas Sriwijaya
13

Peraturan Kementrian Pertanian Indonesia. 2013. Pedoman Panen, Pasca Panen


dan Pengolahan Hortikultura Yang Baik. www.djp.kemenhumham.go.id.

Restiana WA, Rachmawati D. 2004. Analisa Komposisi Nutrisi Rumput Laut


(Euchema cotoni) di Pulau Karimun Jawa Dengan Proses Pengeringan
Berbeda. Artikel Undip. Semarang.

Samidjo J. 2014. Pengelolaan Sumber Daya Air. Fakultas ilmu kelautan dan
Perikanan. Universitas Veteran Semarang.

Sardjanan J. 2014. Penanganan Pasca Panen Rumput Laut. Issn 0215-9511

Siagian P. 2008. Pengeringan Pada Produk Pangan. Fakultas Teknik Universitas


Indonesia. Jakarta.

Sugianto, Munifatul I, Ema P. 2013. Manajemen Budidaya dan Pengolahan Pasca


Panen Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Journal Buletin Anatomi
dan Psiologi. P 42-50.

Surata IW. dan Nindhia TGT. 2016. Pemberdayaan masyarakat melalui


pengembangan usaha kelompok tani di desa ped. Jurnal udayana
mengabdi. 16 (1).

Susiwi. 2009. Kerusakan Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.

Utomo B S D. 2011. Prospek Pengembangan Teknologi Pengolahan Rumput Laut


di Indonesia. Balai riset pengolahan produk dan bioteknologi kelautan dan
perikanan. Jakarta.

Winarno, F. G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pusat Sinar Harapan.


Jakarta.

Wiyanto DB. 2010. Uji aktivitas anti bakteri ekstrak rumput laut Kappaphycus
alvarezii dan Eucheuma denticullatum terhadap bakteri Aeromonas
hydrophila dan vibrio harveyii. Jurnal Kelautan. Vol. 3(1): 1907-9931.

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai