Anda di halaman 1dari 15

Chitra indica (Labi-Labi Besar)

PUTU CINTHIA DELIS (C24080070)


LAPORAN PRAKTIKUM M.K. SUMBERDAYA PERIKANAN

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chitra indica merupakan salah satu jenis reptil air yang bentuk fisiknya
menyerupai penyu, namun memiliki beberapa perbedaan yang menjadi ciri-ciri
khususnya. Labi-labi besar atau bulus raksasa merupakan julukan bagi Chitra
indica di beberapa daerah di Indonesia. Chitra indica merupakan reptil air yang
hidup di perairan tawar. Hewan ini biasa dimanfaatkan sebagai bahan makanan
karena dagingnya yang enak dan bergizi tinggi. Saat ini, populasi Chitra indica
sudah mengalami penurunan karena maraknya penangkapan hewan ini untuk
dijadikan santapan, bahkan beberapa negara juga memanfaatkan hewan ini untuk
dijadikan makanan, obat, dan bahkan bahan baku pembuatan kancing.
Perkembangbiakan Chitra indica di alam juga mengalami gangguan, karena telurtelur hewan ini juga banyak dicuri oleh manusia untuk dijadikan bahan makanan.
Saat ini, informasi mengenai Chitra indica sangat sulit didapatkan seiring
dengan keberadaanya di alam, untuk itu makalah ini dibuat untuk memberikan
sedikit

informasi

mengenai

Chitra

indica

khususnya

tentang

informasi

perdagangannya di Indonesia.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan sumberdaya perikanan
ekonomis di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya dalam hal ini
jenis atau spesies Chitra indica dilihat dari potensi, eksploitasi, produksi,
pemanfaatan dan alternatif pengembangan produksi pemanfaatan.

II.

KARAKTERISTIK SUMBERDAYA

2.1 Sistematika
Menurut

Wilkinson

(1979)

dalam

Amri

(2002),

Chitra

indica

diklasifikasikan sebagai berikut,


Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Klasis (kelas) : Reptilia


Ordo (bangsa) : Tesrudineae
Subordo

: Cryptodira

Famili (suku) : Trionychidae


Genus

: Chitra

Spesies

: Chitra indica (labi-labi besar atau bulus raksasa)

Gambar 1. Chitra indica


Sumber: (Lee 2010)

II.2

Morfologi dan Anatomi


Menurut Amri (2002), Chitra indica atau di Indonesia lebih dikenal sebagai

labi-labi raksasa memiliki perbedaan dibandingkan penyu dan kura-kura. Labi-labi


memiliki karapas atau cangkang yang lebih lunak dibandingkan dengan karapas
penyu, oleh karena itu juga labi-labi sering dikenal sebagai soft sbelled turtle di
dunia Internasional. Bentuk tubuh labi-labi sangat khas, yakni oval atau agak

lonjong, pipih, dan tanpa sisik. Karapas dan plastron atau bagian bawah tubuh yang
tidak tertutup cangkang, terbungkus oleh kulit yang kiat. Di sisi belakang dari
karapas terdapat pelebaran pipih yang bentuknya membulat mengikuti bentuk
karapas bagian belakang, dengan tekstur seperti tulang rawan. Kulit tertutup oleh
perisai yang berasal dari lapisan epidermis berupa zat tanduk. Bila lapisan tersebut
mengalami kerusakan akan terjadi penyembuhan secara berangsur-angsur. Hidung
labi-labi memanjang membentuk tabung seperti belalai. Di atas punggungg
terdapat guratan-guratan memanjang tidak teratur dengan garis punggung. Tungkai
kaki masing-masing berkuku tiga dan berselaput renang menyerupai dayung.
Warna labi-labi umumnya abu-abu kehitaman seperti lumpur. Labi-labi tidak
bergigi, namun memiliki rahang yang kuat dan tajam. Leher dapat dipanjang dan
dipendekkan. Labi-labi bernapas dengan paru-paru, saat berada di air sesekali
kepalanya akan muncul ke permukaan untuk menghirup oksigen dan udara bebas.
II.3

Habitat dan Distribusi


Menurut Amri (2002), hampir seluruh hidup labi-labi berada di dalam air

tawar, kecuali pada waktu akan bertelur, ia naik ke darat. Labi-labi bisa hidup pada
iklim yang berbeda, dari musim panas, dingin, semi, hingga musim gugur. Labilabi menyukai perairan yang tergenang dengan dasar perairan yang berpasir dan
sedikit berlumpur. Kebiasaan hidup tinggal di dasar perairan, kadang-kadang
menampakkan diri di atas batu-batuan atau bagian yang tidak terendam air untuk
berjemur.
Chitra indica merupakan hewan asli yang berasal dari Pakistan melalui
Semenanjung India, Nepal dan Bangladesh, di mana diketahui juga dari aliran
sungai Indus, Gangga, Godavari, Padma, Mahanadi, dan Coleroon (Indraniel
2007). Namun untuk spesies ini juga telah diintroduksi dan ditemukan di beberapa
wilayah di Indonesia, yaitu di Kalimantan , Sumatera, dan Jawa.

Gambar 2. Daerah Penyebaran Chitra Indica


Sumber: Anonim1

Gambar 3. Peta penyebaran labi-labi (khususnya spesies A. cartilaginea)


Sumber: Iverson (1992) dalam Sinaga (2008)

II.4

Makanan dan Kebiasaan Makan


Chitra indica memakan ikan-ikan kecil dan terkadang juga aktif memakan

ikan besar. Selain itu, hewan ini juga memakan katak, krustasea, dan moluska.
Chitra indica biasa menggunakan lehernya yang dapat memanjang untuk
menangkap mangsa ikan-ikan kecil sambil menggunakan tungkainya untuk
menarik ikan agar berenang mendekat (Gurley 2004).
II.5

Peranan sumberdaya di ekosistem


Menurut Amri (2002), Chitra indica, atau labi-labi pada umumnya

merupakan predator yang memakan ikan-ikan kecil. Untuk kegiatan budidaya, labilabi dianggap sebagai hama ikan, karena bila ikan tersebut memasuki kolam, maka
sudah dapat dipastikan bahwa populasi ikan di kolam tersebut akan berkurang.
Sehingga bila ada labi-labi yang memasuki kolam, maka akan segera diburu dan
dimusnahkan.
2.6 Pertumbuhan dan Reproduksi
Labi-labi berkembang biak dengan cara bertelur. Siklus hidup labi-labi
hampir sama denga reptile air lainnya, yakni dari telur menetas menjadi larva,
kemudian berubah menjadi tukik, dan selanjutnya menjadi labi-labi remaja,
dewasa, dan kemudian melakukan perkawinan serta menetaskan telur untuk
melanjutkan keturunannya. Untuk labi-labi betina, sekali bertelur dapat mencapai
10-30 butir. Bentuk telur berwarna krem dengan diameter antara 2-3 cm. Telurtelur yang dikeluarkan ditimbun dalam tanah yang berpasir selama kurang lebih
45-50 hari pada suhu antara 25-30 0C (Amri 2002).
2.7 Pemanfaatan Sumberdaya
Menurut Amri (2002), daging labi-labi sering dikonsumsi dan dijadikan
berbagai bentuk masakan di berbagai negara karena daging ini dikenal memiliki
rasa daging yang enak dan kandungan zat gizinya sangat tinggi. Berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa daging labi-labi banyak mengandung protein, lemak,
karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, dan vitamin A. Sementara itu, telur labi-labi
menurut Thaiholland (2001) kaya akan kandungan latitin dengan jumlah kandunga

1.500 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan dalam tumbuhan.
Selain itu, telur labi-labi mengandung asam lemak tidak jenuh dan omega 3 ( EPA
dan DHA). Di Singapura, kepala dan batok labi-labi diseduh dengan air minum dan
digunakan sebagai obat. Minyak labi-labi dapat digunakan sebagai bahan kosmetik,
dan bahkan di Cina, cangkang labi-labi digunakan untuk memproduksi kancing
pakaian-pakaian mahal.
2.8 Penangkapan
Jenis labi-labi Chitra indica sudah tidak boleh lagi diburu dan dilakukan
penangkapan karena jumlahnya yang sudah terbatas di alam. Jenis labi-labi yang
dapat direkomendasikan untuk ditangkap dan diperdagangkan hanya ada dua, yakni
Trionyx cartilegineous dan Trionyx spiaces. Selain itu, labi-labi dilarang untuk
dimanfaatkan atau diperdagangkan secara internasional, kecuali untuk kepentingan
ilmu pengetahuan, penelitian dan budi daya. Menurut pandangan internasional,
Red Data Book International Union for Conservation of Nature Resources (IUCN).
status labi-labi atau kura-kura air tawar saat ini sudah masuk dalam kategori hewan
langka dan harus dilindungi undang-undang, yaitu memiliki predikat Endangered
(terancam punah).
Seperti halnya budi daya ikan, dalam pengelolaan dan budi daya labi-labi
diperlukan landasan hukum yang menjamin kegiatan usaha. Dalam hal ini landasa
hukum yang digunakan adalah Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
327/Kpts/Um/51978 yang isinya melindungi 5 jenis labi-labi, yakni dari jenis atau
species Chitra indica (bulus raksasa, labi-labi besar), batagur baska, (kra-kura
irian, dan kura-kura gading. Sampai saat ini labi-labi masih dalam studi untuk
dapat dibudidayakan dan dikembalikan keberadaanya di alam.

III.

PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Daerah Tangkapan labi-labi di Indonesia berasal dari Sumatera Utara,


Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dan Bangka Belitung. Direktorat Jendral
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan kuota famili Trionychidae
di Sumatera Selatan hanya untuk spesies Amyda cartilaginea. Spesies Chitra
indica sudah memiliki status Appendiks II pada Convention on International Trade
in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), IUCN 2008 Red List:
Endangered (EN A1cd 2 cd) (dinilai 2000), India Wildlife (Protection) Act: Pasal
II, dan Undang- Undang Perlindungan Satwa Liar Pakistan Pasal III. Status
Appendiks II dalam hal ini berarti spesies tersebut masih dapat diperdagangkan
secara global namun hanya dibatasi pada kuota tertentu, namun pada CITES
spesies Chitra indica sudah tidak lagi terdaftar pada database ekspor-impor di
dunia.
Saat labi-labi masih boleh ditangkap, labi-labi ditangkap menggunakan alat
tangkap seperti sair atau menggunakan tangan. Penangkapan harus dilakukan
secara hati-hati untuk menghindari terjadinya luka-luka pada labi-labi yang dapat
menyebabkan harga jualnya rendah (Amri 2002).
Biasanya, labi-labi diekspor ke Cina, Taiwan, Singapura, dan Malaysia
untuk dikonsumsi. Menurut Amri (2002), daging labi-labi sering dikonsumsi dan
dijadikan berbagai bentuk masakan di berbagai negara karena daging ini dikenal
memiliki rasa daging yang enak dan kandungan zat gizinya sangat tinggi. Di
Singapura, kepala dan batok labi-labi diseduh dengan air minum dan digunakan
sebagai obat. Minyak labi-labi dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, dan
bahkan di Cina, cangkang labi-labi digunakan untuk memproduksi kancing
pakaian-pakaian mahal.

IV.

PENANGANAN, PENGOLAHAN DAN PEMASARAN


Labi-labi merupakan hewan yang dilindungi, namun untuk famili

Trionychidae spesies lain yang masih boleh diperdagangkan, perdagangannya


memiliki jaring-jaring perdagangan yang cukup kompleks. Hubungan penangkap
dan penampung dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bebas (tidak terikat) dan
terikat. Hubungan yang tidak terikat berarti penangkap bebas untuk menjual ke
penampung yang memberikan harga tertinggi (Oktaviani 2010).
Regulasi CITES telah diterapkan ke dalam sistem peraturan perundangundangan Indonesia yaitu PP No. 8 tahun 1999 dan KepMenhut No. 447 tahun
2003, sehingga pengaturan pemanenan dalam negeri juga dapat diselaraskan
dengan upaya pengendalian perdagangan dan ke luar negeri.
Menurut Oktaviani (2010), Data Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK)
Provinsi Sumatera Selatan dan Balai Karantina Ikan Sultan Mahmud Badaruddin II
Palembang menunjukkan ekspor antara 1996 - 2005 kosong tanpa data 2004 dan
2005. Hal tersebut terjadi karena adanya perubahan status dari Amyda cartilaginea
dari Non-Appendiks menjadi Appendiks II. Di Sumatera Selatan terdapat tiga mata
rantai dalam perdagangan Ordo Trionychidae: penangkap, penampung, dan
eksportir.

Penampung I

Penangka
p

Penampung
II

Penampung
III

Ekportir

Gambar 4. Rantai Perdagangan Famili Trionychidae di Sumatera Selatan


Sumber : Oktaviani (2010)

Terdapat tiga tingkatan penampung labi-labi di Sumatera Selatan,


penampung I selalu berhubungan langsung dengan penangkap, penampung II
berhubungan dengan penangkap dan penampung I, dan penampung III biasanya
memiliki ikatan tertulis dengan penangkap maupun penampung di bawahnya.
Penampung terbesar memiliki surat ijin tangkap yang mencantumkan nama oraang
yang diberi tanggung jawab oleh pemegang ijin untuk menyediakan stok labi-labi.
Saat ini, karena labi-labi sudah masuk dalam Appendiks II, izin perdagangan
didapatkan dari BKSDA Sumatera Selatan yang meliputi surat ijin tangkap dan ijin
angkut (edar). Data BKSDA Sumatera Selatan , sampai dengan 2007 terdapat
hanya dua perusahaan yang berizin dalam pemanfaatan Amyda cartilaginea.

Gambar 4. Total Produksi Ordo Tesrudineae (mencakup penyu laut dan kura-kura air tawar)
di Indonesia tahun 2000-2008
Sumber: www.FAO.org

Data FAO di atas menunjukkan jumlah produksi Ordo Testudinae


(mencakup penyu laut dan kura-kura air tawar) di Indonesia. Data produksi labilabi air tawar di Indonesia sangat sulit didapatkan sehingga digunakan data
tersebut. Dari grafik terlihat bahwa produksi pada daerah penangkapan di sekitar
Samudera India dari tahun 2000-2008 mengalami sedikit kenaikan dan mulai
mengalami penurunan pada tahun 2008, untuk daerah penangkapan di sekitar
Samudera Pasifik garfik penangkapan juga mulai menurun dari tahun 2000-2004
dan mulai mengalami sedikit kenaikan pada tahun 2005-2008. Hal tersebut dapat

dikarenakan jumlah spesies di alam yang mulai menurun. Seperti kita ketahui
bahwa beberapa spesies dari Ordo Testudinae bahkan sudah dapat dikatakan
hampir punah, hanya spesies-spesies tertentu saja yang masih dapat dilakukan
penangkapan. Beberapa spesies yang masih boleh ditangkap dan diperdagangkan
adalah Amyda cartilaginea (salah satu jenis labi-labi air tawar), Careta careta, dan
jenis penyu dan kura-kura lainnya yang belum mengalami penurunan populasi.
Menurut Shephered (2000) dalam Sinaga (2008), menunjukkan bahwa
jumlah labi-labi yang diekspor dari Sumatera Utara ke luar negeri selama tahun
1996-1998 berjumlah 715,192 ekor (1996), 423,100 ekor (1997) dan 358,927 ekor
(1998), menunjukkan adanya penurunan dari tahun ke tahun, namun data untuk
perdagangan di seluruh Indonesia belum diketahui.

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Chitra indica merupakan salah satu jenis reptil air tawar yang sangat
digemari masyarakat dunia untuk dikonsumsi dagingnya. Daging Chitra indica
memiliki kandungan gizi yang tinggi dan berkhasiat sebagai obat dan minyaknya
dapat digunakan sebagai bahan kosmetik. Selain itu, cangkang dari spesies ini
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kancing.
Distribusi perdaganngan Labi-labi terdapat di Sumatera Selatan dan
diekspor ke beberapa Negara seperti Cina, Singapura, dan Malaysia. Karena
keberadaannya di alam yang mulai menurun, maka perdagangan labi-labi sudah
mulai dibatasi. Spesies Chitra indica bahkan telah memiliki status Appendic II
dalam CITES yang berarti hewan ini sudah tidak boleh dilakukan penangkapan dan
perdagangan.
5.2 Saran
Saran untuk pembaca adalah agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut
untuk labi-labi khususnya spesies Chitra indica, dan semoga pembaca mulai
menyadari betapa pentingnya melestarikan hewan-hewan dan sumberdaya alam
lain yang keberadaanya hampir punah demi keseimbangan ekosistem.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim1.2009.Chitra Indica.www.Zipcodezoo.com.[23 Oktober 2010]
Amri,

Khairul

dan

Khairuman.2002.Labi-labi

Komoditas

Perikanan

Multimanfaat.Depok: PT Agro Media Pustaka


Gurley, Russ.2004.The Captive Care of Chitra indica, The Giant NarrowHeaded Softshell
Turtle.http://www.asianturtle.org/htm/species_Chitra_indica.html .[13
September 2010]
Indraniel,

Das

dan

Singh,

Shailendra.2007.Narrow-Headed

Softshell

Turtle.http://www.iucn-tftsg.org/chitra-indica-027/.[14 September 2010]


Oktaviani, Dian.2010.Perdagangan Labi-labi (Famili: Trionychidae) di Sumatera
Selatan.Kementrian Kehutanan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam.http://www.ditjenphka.go.id/index.php?a=pa&i=101.[14
September 2010]
Lee,

Dave.2010.Chitra

Gallery.http://www.chelonia.org/chitra_gallery.htm.[16

September 2010]
Sinaga, Hans Nico Agustinus.2008.Perdagangan Jenis Kura-kura Darat dan
Kura-kura Ait Tawar di Jakarta.Tesis: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

LAMPIRAN

Gambar 1. Chitra indica (Lee 2010)

Total Production
Countr
y
Famili
Indones TESTUDIN
ia
ES
Indones TESTUDIN
ia
ES

Fishing area
Indian Ocean,
Eastern
Pacific, Western
Central

200
0

200
1

200
2

200
3

20
04

200
5

20
06

39

44

68

59

136

124

133

705

306

54

81

27

54

63

Tabel 1. Total Produksi Ordo Tesrudineae


(mencakup penyu laut dan kura-kura air tawar) di Indonesia tahun 2000-2008
FAO.org

Anda mungkin juga menyukai