Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS KEBERLANGSUNGAN HIDUP PENYU SISIK (Eretmochelys

Imbricata) DI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU


(Laporan Praktikum Biokonservasi)

Oleh

Akhmad Rafiq Fanani


2217061077

PROGRAM STUDI S1 BIOLOGI TERAPAN


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Praktikum : Analisis Keberlangsungan Hidup Penyus Sisik (Eretmochelys


Imbricata) di Taman Nasional Kepulauan Seribu

Tanggal Praktikum : 18 September 2023

Tempat Praktikum : Laboratorium Ekologi

Nama : Akhmad Rafiq Fanani

Npm : 2217061077

Kelompok : V (Lima)

Bandarlampung, 18 September 2023


Menyetujui,

NPM.
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyu merupakan kelompok reptil yang memiliki ciri khas yaitu karapas yang kuat dan
memiliki empat kaki yang berbentuk seperti sirip. Kaki ini berfungsi untuk memudahkan
penyu pada saat berenang di laut. Secara umum, habitat utama penyu berada di dalam laut
karena hampir semua aktivitas penyu dilakukan didalam laut misalnya aktivitas makan dan
melakukan perkawinan. Menurut Silalahi dalam Suwelo, dkk (1992), habitat yang dipilih
oleh penyu adalah di dalam laut yang ditumbuhi oleh banyak alga dan lamun serta menjadi
habitat dari jenis hewan avertebrata sehingga memudahkan penyu untuk mendapatkan
makanan. Namun pada saat melakukan peneluran penyu betina naik kedaratan untuk
melakukan peneluran.
Penyu saat ini mengalami ancaman kepunahan. Menurut Ario, dkk (2016), dari tujuh
jenis penyu di dunia, di perairan Indonesia terdapat enam jenis penyu yang terdiri dari
penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang
(Lepidochelys olivaceae), penyu pipih (Natator depressa), penyu tempayan (Caretta
caretta), dan penyu sisik (Erethmochelys imbricata). Dari keenam jenis penyu ini penyu
sisik (E. imbricata) mulai terancam keberadaannya. Menurut IUCN (International Union
for the Conservation National) tahun 2008 termasuk dalam kategori Critically endangered
atau kategori hampir punah. Salah satu diantara faktor yang mengancam keberadaan penyu
adalah adanya pemanfaatan penyu untuk dikonsumsi dan diperdagangkan.
Penyu sisik (E. imbricata) memiliki mulut yang berbentuk seperti paruh, bagian rahang
atas penyu sisik (E. imbricata) melengkung dan sangat tajam sehingga penyu ini disebut
dengan “Hawksbill turtle”. Menurut Leon dan Bjorndal (2002), untuk mendapatkan
makanan penyu sisik (E. imbricata) menggunakan paruhnya yang tajam untuk merobek
spons sehingga nutrisi didalam spons keluar dan dimakan oleh ikan-ikan kecil yang ada di
sekitar penyu sisik (E. imbricata). Selain itu, dengan paruh yang dimiliki penyu sisik (E.
imbricata) mampu mengganti terumbu karang yang sudah mati dengan terumbu karang
yang baru sehingga terumbu karang tetap menjadi tempat untuk ikan-ikan kecil.
Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa penyu sisik (E. imbricata) sangat
berperan penting bagi ekosistem laut.
Pulau Popaya merupakan salah satu pulau yang menjadi dipilih oleh penyu sisik (E.
imbricata) sebagai daerah peneluran. Menurut data dari Balai Konservasi Sumber Daya
Alam Status Konservasi Wilayah II Gorontalo (2014), pulau Popaya merupakan salah satu
bagian dari kawasan Cagar Alam (CA) Pulau Mas Popaya Raja. Kawasan C.A ini yang
terdapat di Desa Dunu Kecamatan Monano Kabupaten Gorontalo Utara. Adapun status
pengukuhannya didasarkan atas Staadblad van Nederlandsch Indie No. 626 Tahun 1939.
Total luas C.A Pulau Mas Popaya Raja adalah 159,4 ha. Dari luas tersebut, pulau Popaya
menempati 17 ha. Berdasarkan penelitian Buhang (2015) di pulau tersebut ditemukan tujuh
sarang penyu yang terdiri dari tiga sarang penyu sisik (E. imbricata), satu sarang penyu
tempayan (Caretta caretta), dan tiga sarang penyu hijau (Chelonia mydas).
Keberadaan penyu sisik (E. imbricata) yang melakukan peneluran di pantai dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor biologi dan faktor fisik dari habitat
peneluran. Menurut Lubis, dkk (2015), faktor-faktor fisik terdiri dari kemiringan pantai,
lebar pantai, tekstur pasir, keterlindungan dan stabilitas pantai. Sedangkan menurut
Yulmeirina, dkk (2016), aspek biologi terdiri dari jenis vegetasi di sekitar habitat peneluran
dan jenis fauna di habitat peneluran. Saat ini ancaman yang mempengaruhi penyu sisik (E.
imbricata) di Pulau Popaya adalah adanya sampah plastik dan aktivitas manusia. yang
dapat mengganggu habitat peneluran dari penyu sisik (E. imbricata). Apabila habitat
peneluran terganggu maka dikhawatirkan penyu sisik (E. imbricata) tidak akan melakukan
peneluran di pulau Popaya sehingga hal ini dapat mempengaruhi populasi dari penyu sisik
(E. imbricata). Berdasarkan hal ini maka, perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik
biofisik habitat peneluran penyu sisik (E. imbricata) untuk menjadi bahan referensi sebagai
upaya pengelolaan konservasi.

B. Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keberlangsungan hidup penyu sisik dan
lingkungan tempat hidupnya
\
C. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal (Baseline) tentang faktor-faktor yang
menjadi penentu habitat peneluran penyu sisik (E. imbricata). Selain itu diharapkan pula
dengan mengetahui aspek biofisik habitat peneluran penyu sisik (E. imbricata) dapat
dijadikan acuan dalam upaya pengelolaan konservasi penyu sisik (E. imbricata).
II. TINJAUAN PUSTAKA

Penyu Sisik merupakan salah satu jenis penyu yang ditemukan di perairan laut. Populasi
penyu terancam punah karena aktivitas penambangan di laut. Upaya perlindungan untuk
menyelamatkan populasi penyu dengan melakukan kegiatan Penangkaran Penyu agar
proses regenerasi dapat terjaga. Penyu merupakan salah satu jenis hewan reptilian yang
termasuk poikilothermal (suhu tubuh mengikuti suhu lingkungan), bernafas dengan paru-
paru, berkulit sisik, berkembang biak melalui penetasan telur. Penyu dewasa sering berada
di daerah pantai dan biasanya digunakan untuk tempat bertelur. Penyu bertelur ketika air
laut pasang tertinggi, induk penyu akan berenang menuju ke tepi pantai dan melakukan
beberapa tahapan proses peneluran, yaitu merayap, membuat lubang badan, membuat
lubang sarang, bertelur, menutup lubang sarang, menutup lubang badan, memadatkan pasir
dan kembali ke laut (Ningsih, dan Umroh. 2017).
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) adalah penyu yang memiliki ciri khas moncong
berbentuk paruh, rahang atasnya melengkung ke bawah dan relatif tajam seperti burung
kakak tua sehingga sering disebut “Hawksbill turtle”. Penyu jenis ini adalah pemakan
terumbu karang yang tidak sehat sehingga terumbu karang menjadi sehat kembali. Penyu
sisik tersebar di wilayah Indonesia terutama di pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni.
Sebagian besar penyu sisik ditemukan di Kepulauan Riau hingga Belitung, Lampung,
Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Laut Sulawesi (Berau), Sulawesi Selatan
(Takabonerate) hingga Sulawesi Tenggara (Wakatobi), Maluku dan Papua (Rachman, dkk.
2019).
Salah satu kegiatan konservasi pada penyu sisik (Erethmochelis imbricata) dengan
melakukan proses relokasi dengan memindahkan telur dari sarang alami ke tempat
penetasan semi alami. penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan kedalaman
sarang semi alami terhadap presentase penetasan telur Penyu Sisik. Tujuh jenis penyu yang
dilindungi oleh peraturan internasional, 6 (enam) di antaranya hidup di perairan Indonesia
dan dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa, bersama dengan jenis-jenis lainnya yaitu (1) Penyu Belimbing (Dermochelys
coriacea), (2) Penyu Tempayan (Careta careta), (3) Penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea), (4) Penyu Pipih (Chelonian depressa), (5) Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricate), (6) Penyu Hijau (Chelonia mydas). (Maulana, dkk. 2017).
Penyu adalah kura-kura laut yang ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut data
para ilmuan, penyu sudah ada sejak akhir zaman jura (145-208 juta tahun yang lalu) atau
seusia dengan dinosaurus. Pada masa itu Archelon yang berukuran panjang badan enam
meter, dan Cimochelys yang berenang yang di laut purba seperti penyu masa kini. Penyu
memiliki sepasang tunkai depan yang berupa kaki pendayung yang memberinya
ketangkasan berenang di dalam air, sesekali hewan kelompok vertebrata kelas reptilian itu
tetap haru sesekali naik kepermukaan air untuk mengambil nafas. Itu karena penyu bernafas
dengan paru-paru. Penyu pada umum nya bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan
waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3000 kilometer dapat ditempuh 58-73 hari
(Semedi,2020).
Penyu biasanya melakukan peneluran jauh dari bibir pantai. Mereka cenderung lebih
memilih bagian pantai yang berbatasan dengan semak belukar atau pohon-pohon khas
pantai seperti cemara maupun ketapang untuk berjemur, berpapasan dengan manusia atau
hewan lain, lalu memilih mundur kembali ke laut. Sebagian ada pulan yang naik kebibir
pantai untuk melakukan obervasi lokasi. Sebagian lagi ada yang telah sampai pada tahap
menggali lubang, namun lokasi yang telah dipilih untuk bertelur itu penuh dengan sampah.
Akhirnya penyu-penyu tersebut mengurungkan niat untuk bertelur dan kembali kelaut
(Yusra, dkk. 2022).
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang akan digunakan pada praktikum ini berupa thermo
hygro, buku, alat tulis, kamera, teropong, dan meteran rol.

B. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 7 dan 8 September 2023 di Taman


Nasional Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta
yang secara geografis terletak di antara 5°23’- 5°40’LS dan 106°37’BT sebelah
utara Jakarta.

C. Langkah Kerja

Metode pengambilan data di lapangan menggunakan teknik observasi lapangan


dimana data dikumpulkan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek
yang diteliti, baik areal penelitian maupun karakteristik penyu yang ada pada areal
tersebut serta metode Rapid Assessment Procedures (RAP) yaitu teknik
pengumpulan data kualitatif secara cepat yang berguna dalam pengambilan
keputusan. Sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis
deskriptif kualitatif, yaitu dengan menguraikan, menjelaskan dan menggambarkan
hasil data yang telah diperoleh saat di lapangan dan disusun dalam bentuk kalimat
ilmiah secara sistematis.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Taman Nasional Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu,


Provinsi DKI Jakarta

Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) merupakan salah satu kawasan


pelestarian alam bahari yang terletak di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi
Kepulaun Seribu, Provinsi DKI Jakarta yang secara geografis terletak di antara 5°23’-
5°40’LS dan 106°37’BT sebelah utara Jakarta. Secara administratif Kawasan ini berada
dalam wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, terletak. di Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara, tepatnya di tiga kelurahan, yaitu Pulau Panggang, Pulau
Kelapa, dan Pulau Harapan. Dari jumlah pulau yang berada di dalam kawasan Taman
Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) yang berjumlah 78 pulau, diantaranya 20 pulau
sebagai pulau wisata, 6 pulau sebagai hunian penduduk dan sisanya dikelola perorangan
atau badan usaha. Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) tersusun oleh ekosistem
pulau-pulau sangat kecil dan perairan laut dangkal, yang terdiri dari gugus kepulauan
dengan 78 pulau sangat kecil, 86 gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang
pulau sekitar 2.136 hektar (Reef flat 1.994 ha, laguna 119 ha, Selat 18 ha dan teluk 5
ha), terumbu karang tipe fringing reef, mangrove dan lamun bermedia tumbuh sangat
miskin hara atau lumpur, dan kedalaman laut dangkal sekitar 20-40 m, dengan
ekosistem utama pembentuk system ekologis adalah hutan pantai, hutan mangrove,
padang lamun, dan terumbu karang. Taman Nasional Kepulauan Seribu yang memiliki
luas 107.489 ha (SK Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002) ini memiliki
ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi yang diperuntukkan bagi kegiatan
penelitian, budidaya, dan wisata alam dengan tanpa mengurangi fungsi pokok dari
masing-masing Kawasan. Zona-zona di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
(TNKpS) terbagi menjadi 4 zona, yaitu:
1. Zona Inti bertujuan untuk mengembangkan budidaya.
2. Zona Perlindungan bertujuan untuk melindungi budidaya di zona inti.
3. Zona Pemanfaatan 1 berfungsi sebagai Kawasan ekowisata bahari yang bersifa
terbatas.
4. Zona Pemanfaatan 2 berfungsi sebagai tempat masyarakat mengambil ikan di
perairan.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE dan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA,
mengamanatkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan Taman
Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) sebagai berikut: Taman Nasional Kepulauan
Seribu (TNKpS) adalah Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang mempunyai fungsi:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
3. Pemanfaatan secara lestari SDA hayati dan ekosistemnya

B. Penyu Sisik (Eretmochelys Imbricata)

Indonesia memiliki 6 jenis penyu dari 7 jenis penyu di dunia, antara lain terdapat
6 jenis penyu yang ditemukan di Indonesia, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu
sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivaceae), penyu
belimbing (Dermochelys coriaceae), penyu tempayan (Caretta caretta) dan penyu
pipih (Natator depresus). Di Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) terdapat 2
jenis penyu yang dilindungi, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu
hijau (Chelonia mydas).

Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) merupakan penyu yang memiliki ciri khas
moncong berbentuk paruh, rahang ats melengkung ke bawah dan relatif tajam seperti
burung elang sehingga sering disebut “Hawksbill turtle” . Salah satu karakteristik penyu
sisik yang sangat mudah terlihat adalah susunan skat yang menghiasi karapaksnya.
Karapaks pada penyu sisik memiliki lima skat tengah dan empat pasang skat lateral,
dengan bagian belakang skat yang saling tumpang tindih sedemikian rupa sehingga
pinggiran belakang karapaksnya terlihat bergerigi, mirip dengan tepi gergaji atau pisau
bistik. Karapaks penyu tersebut diketahui dapat mencapai panjang 1 m (3 kaki).
Karakteristik morfologi penyu sisik adalah warna karapas bervariasi kuning, hitam dan
coklat bersih, plastron berwarna kekuningan, dengan dua pasang sisik prefrontal.
Sisiknya banyak digunakan sebagai bahan baku industry kerajinan tangan seperti
membuat pin, sisir dan bingkai kacamata. Paruh penyu sisik agak runcing sehingga
memungkinkan mampu menjangkau makanan yang berada di celah karang seperti
sponge dan anemon. Jenis penyu ini makan udang dan cumi-cumi. Pasir yang dilalui
penyu sisik membentuk pola asimetris, karena mereka merangkak di atas tanah dengan
cara berjalan alternatif. Seperti kura-kura laut lainnya, penyu sisik memiliki bentuk
tubuh yang datar. Rata-rata penyu sisik dewasa dapat tumbuh sampai satu meter dan
berat sekitar 80 kg. Penyu sisik terbesar yang pernah ditangkap memiliki berat 127 kg.

Penyu sisik dapat ditemukan di beberapa tempat yang umumnya berada di


daerah tropis Samudra Hindia, Pasifik, dan Atlantik. Dari seluruh spesies penyu, penyu
ini adalah satu-satunya spesies yang paling terikat dengan perairan tropis yang hangat.
Dua subpopulasi utama yang diketahui adalah subpopulasi Atlantik dan Indo-Pasifik.
Untuk subpopulasi Indo-Pasifik, penyu sisik umumnya terdapat di pesisir timur Afrika,
termasuk laut yang berada di sekitar Madagaskar dan kelompok pulau-pulau terdekat,
dan di seluruh pesisir selatan Asia, termasuk Teluk Persia, Laut Merah, dan pesisir anak
benua India dan Asia Tenggara. Mereka muncul di sepanjang Kepulauan Melayu dan
sebelah utara Australia. Di Pasifik, penyu sisik hanya terdapat di wilayah samudra
tropis dan subtropis. Di bagian barat, hewan tersebut terdapat di sebelah barat daya
Semenanjung Korea dan Kepulauan Jepang sampai sebelah utara Selandia Baru.
Populasi penyu sisik di Indonesia terus menurun. Jenis penyu ini termasuk
dalam daftar Red Data Book IUCN sebagai jenis yang hampir punah. Penurunan
populasi penyu sisik di alam disebabkan terutama oleh faktor manusia (pencurian telur
penyu, perburuan penyu, pendegradasi habitat penyu, dan pengambilan sumber daya
alam laut yang menjadi makanan penyu) dibandingkan dengan factor alam dan predator
(Adnyana, 2009). Selain itu, hewan ini banyak diburu untuk dimanfaatkan sebagai
pembuatan barang-barang pribadi, seperti kerangka kacamata dan bahan pembuatan
shamisen (alat musik tradisional Jepang yang memiliki tiga dawai). Cangkang penyu
sisik adalah sumber utama dari material cangkang kura-kura yang digunakan untuk
bahan dekorasi atau hiasan. World Conservation Union mengklasifikasikan penyu sisik
sebagai spesies kritis. Convention on International Trade in Endangered Species
melarang penangkapan dan penjualan penyu sisik maupun produk-produk yang berasal
darinya. Oleh karena itu, pengelolaan yang berkelanjutan terhadap penyu ini sangat
diperlukan guna menjaga populasi penyu sisik agar tidak punah.

C. Karakteristik Habitat Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)

Pulau Pramuka yang berada di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu,


Provinsi DKI Jakarta, terletak pada 5°44'44"S 106°36'49"E memiliki luas wilayah
16,73 ha dengan jumlah penduduknya ±2.000 jiwa. Beberapa karakteristik Pulau
Pramuka yang sesuai dengan habitat penyu sisik adalah:
1. Panjang dan lebar pantai Umumnya karakteristik pantai yang dipilih oleh penyu
sebagai habitat bertelur adalah daratan luas dan landai yang terletak di atas bagian
pantai dengan kemiringan ± 300. Karakteristik pantai di Pulau Pramuka adalah
pantai landai, karena merupakan pantai yang topografinya relatif datar.
2. Kedalaman Laut Laut yang dipilih penyu sebagai habitatnya adalah laut yang
dangkal, dimana masih ditemukan jenis rumput laut dan terdapat koral di dasar laut
sebagai tempat beristirahat. Laut dangkal merupakan laut yang terdapat di Pulau
Pramuka
3. Keanekaragaman vegetasi Vegetasi yang ditemukan disekitar pantai Pulau Pramuka
adalah Tanaman bakau (Rhizophora) dan lamun (Cymodocea serrulate). Susunan
vegetasi Tanaman Bakau sangat membantu proses peneluran penyu
4. Pasang Surut Air laut Pasang surut antara yang cocok untuk habitat penyu adalah
30 – 80 meter. Berikut merupakan data pasang surut di Pantai Pulau Pramuka
bagian Utara.
Tabel 1. Ketinggian Air Pasang Surut

No Waktu Ketinggian Air


1 14.49 33 cm
2 15.49 24 cm
3 16.49 17 cm
4 22.30 0 cm
5 06.37 94 cm
6 13.55 39 cm
Pengukuran pasang surut menggunakan alat bambu yang ditancapkan di daerah
titik tersurut di pantai utara. Titik pengukuran dilakukan pada koordinat 5.742198° LS
dan 106.614505° BT. Kemudian jarat titik paling surut hingga pasang paling tinggi
adalah sepanjang 7,3 meter. Pasang tertinggi di pantai utara hampir mencapai 1 meter.
Sedangkan titik tersurutnya sampai titik 0 meter dan berjarak 7,3 meter dari titik pasang
tertinggi. Tipe pasang surut di pantai utara adalah mikrotidal, yaitu di bawah 2 meter.

Suhu dan Kelembaban Suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio penyu dapat
bejalan dengan baik adalah antara 24°C - 33°C (Yusuf, 2000). Cuaca di Pulau Pramuka
yakni cerah dengan sedikit awan dengan suhu rata – rata mencapai 30˚C, dengan suhu
yang terendah mencapai 21˚C pada malam hari sekitar pukul 23.00 WIB. Kelembapan
di Pulau Pramuka sebesar 69% yang di pengaruhi oleh variasi tekanan udara
Menurut, keberhasilan peneluran penyu dikaitkan dengan parameter sebagai berikut:
1. Suhu udara, suhu substrat dan kadar air substrat mempengaruhi laju inkubasi
telur penyu. Semakin tinggi suhu semakin cepat laju inkubasi.
2. Ukuran butiran pasir menentukan tingkat kemudahan penyu untuk menggali
substrat. Ukuran pasir yang terlalu besar menyulitkan penyu untuk menggali.
3. Suhu udara dan suhu subtrat berkorelasi negatif terhadap kadar air substrat.
Semakin besar suhu udara dan suhu substrat menyebabkan kadar air semakin
rendah dan sebaliknya.
4. Jarak sarang ke vegetasi berkorelasi negatif terhadap komposisi debu dan suhu
udara. Semakin besar jarak sarang ke vegetasi terluar maka komposisi debu
pada substrat sarang dan suhu udara makin rendah.
5. Semakin tinggi curah hujan dan semakin rendah jarak sarang ke batas pasang,
maka semakin tinggi pula kadar air substrat.
6. Kemiringan pantai berkorelasi positif terhadap kadar air dan jarak sarang ke
vegetasi. Jika kemiringan pantai landai, maka kadar air substrat dan jarak sarang
ke vegetasi semakin besar.
V. KESIMPULAN

Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS), Pulau Seribu, Kabupaten Administratif


Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta merupakan habitat asli penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) karena memiliki karakteristik yang sesuai bagi
keberlangsungan hidup penyu jenis ini. Topografi pantai yang landai dengan hamparan
pasir yang berasal dari pecahan batu karang, iklim tropis, suhu, kelembaban, kedalaman
laut yang dangkal, pasang surut mikrotidal, dan kerapatan serta dominasi vegetasi yang
sesuai membuat tempat ini menjadi habitat asli sekaligus tempat bertelur bagi penyu
sisik (Eretmochelys imbricata).
DAFTAR PUSTAKA

Abroorza, A, Yusra, Agri, A, F, Andi, F, Hendro, S. 2020. Penyu dan Paloh, Perjalan
Konservasi di Ekor Borneo, Yayasan WWF Indonesia, Jakarta.
Achmad, R, Syarif, B & Setiawan, H, 2013, Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmachelys
Imbricata) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
An Nissa, A, Fatiya, S, Ode, S, H, Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta. 2019.
Analisis Karakteristik Habita Penyu Sisik Taman Nasionak Kepulauan Seribu, Pulau
Pramuka, kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Siliwangi Vol.5. No.1,
2019.
Agus. 2007. Penangkaran Penyu. Buku. Angkasa. Bandung. 68 p
Badriah, D.L. 2006. Studi Kepustakaan, Menyusun Kerangka Teoritis, Hipotesis Penelitian
dan Jenis Penelitian. http://www.kopertis4.or.id/Pages/data%20200 6/kelembagaan/studi_
kepustakaan_DR%5B1%5D._Dewi.Doc. Diunduh pada 10 Februari 2016.
Dodi, R, Edi, W, K, Gunawan, w, S. 2019. Kecocokan Habitat Bertelur Penyu Sisik
Eretmochelys imbricate, Linnaeus, 1766 (Reptilia : Cheloniidae) di Balai Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu, Jakarta. Journal of Marine Research Vol.8, No.2 Mei 2019, pp. 168-
176
Fitria, N, Umroh. 2017. Perbandingan Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Sisik
(Eretmochelys Imbricata) di Penangkaran Penyu Pantai Tongaci dan UPT Penangkaran
Penyu Guntung, Jurnal Sumber Daya Perairan ISSN 1978-1652
Ir. Bambang Semedi, M. Sc. 2020. Buku Ajar, Pegembangan Wisata Edukasi dan Konservasi
Penyu Berbasis Masyarakat di Pantai Serang, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur.
Universitas Brawijaya, Malang.
Iskandar, D.T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia & Papua Nugini. International Union
For Conservation Of Nature And Natural Resources (IUCN) Regional Biodiversity
Programme for South.
Lubis, RM, 2012, Pariwisata dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kepulauan (Kasus: Pulau
Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu), Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota,
Vol. 23 No. 2, Agustus 2012, hlm. 157- 176
Maulana, R, Wahyu, A, Khoirul, M. 2017. Kedalaman Sarang Semi Alami Terhadap
keberhasilan Penetasan Telur Penyu Sisik, Jurnal Sumber Daya Perairan, Vol. 11, No.2.
Murti. 2006. Analisis vegetasi spermatophyta di Taman Hutan Raya (Tahura) Seulawah Aceh
Besar. Jurnal Biodiversitas. 4(1): 30-34.
Novitasari, E, Prayogo, H & Anwari, MS, 2018, Karakteristik Tempat Peneluran Penyu Sisik
(Eretmachelys Imbricata) di Resort Sungai Perlu Taman Nasional Tanhung Puting, Jurnal
Hutan Lestari, Vol. 6 (1), hlm. 165- 174.
Nuitja. I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Buku. Institut Pertanian
Bogor Press. Bogor. 157-160 p.
Prabowo, ED, Arief, H & Sunarminto, T, 2015, Analisis Aspek Pengelolaan Kolaboratif Di
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS), Media Konservasi. Vol 20, No.3
Desember 2015, hlm. 220-225.
Prakoso, YA, Komala, R & Ginanjar M, 2018, Karakteristik Habitat Peneluran Penyu Sisik
(Eretmochelys imbricata) di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta, PROS
SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 5, Nomor 1 hal 112-116.
Pratiwi, BW, 2016, Keragaman Penyu dan Karakteristik Habitat Penelurannya di Pekon
Muara Tembulih, Ngambur, Pesisir Barat (Skripsi).
Pritchard, Peter C.H., dan Jeanne A. Mortimer, 1999. Taxonomy, External Morphology, And
Species Identification, dalam Research and Management Techniques for the Conservation of
Sea Turtles. K. L. Eckert, K. A. Bjorndal, F. A. Abreu-Grobois, M. Donnelly (eds.).
IUCN/SSC Marine Turtle Specialist Group Publication No. 4. 248pp.
Richayasa, A, 2015, Karakteristik Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmachelys Imbricata) di
Pulau Geleang, Karimunjawa.
Razak, A & Suprihardjo R, 2013, Pengembangan Kawasan Pariwisata Terpadu di Kepulauan
Seribu, Jurnal Teknik Pomits Vol. 2, No. 1.
Setiawan, R, Zamdial & Fajar, B, 2018, Studi Karateristik Habitat Peneluran Penyu di Desa
Pekik Nyaring, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi
Bengkulu, Jurnal Ilmu Kelautan Kepulauan, 1(1), hlm. 59-70.
Tambun, PC, Wahyuningsih, H & Soemaryono, Y, 2017, Karakteristik Bio-Fisik Habitat
Pantai Peneluran Terhadap Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia
mydas) di Pulau Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat.
Widiastuti, H.H. 1998. Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia
Mydas L) dan Interaksinya dengan Populasi Penyu Hijau yang Bertelur di Pantai
Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 p

Anda mungkin juga menyukai