1787) DI
PULAU CURIAK, BARITO KUALA, KALIMANTAN SELATAN
Oleh
1, 3
Sofian Iskandar dan Amalia Rezeki2 3
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara Mega Biodiversity di dunia, dengan kekayaan
keanekaragaman hayatinya yang berlimpah, salah satu diantaranya adalah keanekaragaman
jenis primata. Di Indonesia tercatat ada 62 jenis primata (24,7% dari jumlah jenis primata
dunia), yang tersebar di beberapa wilayah bioregion, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara). Di wilayah bioregion Kalimantan,
tercatat ada 12 jenis primata, yaitu orangutan (Pongo pygmaeus) dengan tiga sub species,
yaitu P.p. morio, P.p. pygmaeus dan P.p. wurmbii, empat jenis lutung dari marga Presbytis,
yaitu P. chrysomelas, P. rubicunda, P. hosei dan P. frontata, dua jenis owa dari marga
Hylobates, yaitu H. muellerie dan H. albibalbris, dua jenis dari marga Macaca, yaitu monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina), bekantan (Nasalis
larvatus), kukang (Nycticebus coucang) dan tarsius (Tarsius spectrum). Delapan dari 12 jenis
tersebut merupakan jenis primata endemik Kalimantan, yaitu Pongo pygmaeus, Nasalis
larvatus, Hylobates muellerie, H. albibalbris, Presbytis rubicunda, Presbytis chrysomelas,
Presbytis frontata, Presbytis hosei, dan Tarsius spectrum.
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb. 1787), merupakan salah satu primata endemik
Kalimantan dari suku Cercophitecidae, dan anak suku Colobinae. Bekantan hidup di berbagai
tipe habitat lahan basah, seperti hutan bakau, hutan di sekitar sungai (hutan riparian) dan
habitat rawa gambut (Jolly 1972; Napier dan Napier 1985). Saat ini keberadaannya sudah
terancam kepunahan. Berdasarkan Redlist Data IUCN (2020), bekantan dikategorikan
dengan status terancam punah (Endangered). Ancaman kepunahan yang utama adalah
kerusakan habitat, degradasi habitat dan koYayasan nversi hutan menjadi kawasan non hutan.
Akibatnya adalah terjadi penurunan luasan dan kualitas habitat, dan habitat bekantan yang
ada menjadi terfragmentasi, bahkan terisolasi (Manangsang dkk 2005; Soendjoto 2005;
Bismark 2009). Selain itu perburuan bekantan juga merupakan ancaman bagi kelestarian
bekantan. Bekantan diburu oleh masyarakat untuk digunakan sebagai umpan untuk
1
Fakultas Kehutanan, Universitas Nusa Banga. E-mail: sofianiskandar@yahoo.com
2
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidilan, Universitas Lambung Mangkurat
3
Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia
memancing biawak (Varanus salvator). Oleh sebagian masyarakat suku Dayak, bekantan
juga diburu untuk dikonsumsi dagingnya (Meijaard dan Nijman 2000).
Laju degradasi hutan riparian habitat bekantan berlangsung dengan cepat dan secara
terus menerus. Mengingat pada umumnya kawasan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi
bagi kehidupan manusia. Di Kalimantan, sungai merupakan salah satu sarana transportasi
utama bagi masyarakat. Sementara, lahan di tepian sungai merupakan lokasi yang strategis
untuk dimanfaatkan sebagai kemukiman, ladang, kebun masyarakat. Bahkan pengusaha
HPH, perkebunan kelapa sawit dan tambang, juga memanfaatkannya sebagai tempat
penampungan hasil usahanya. Akibatnya habitat bekantan menjadi terfragmentasi, bahkan
beberapa populasi terisolasi dalam habitat yang sempit. Hal tersebut menyebabkan populasi
bekantan menurun dan sebaran sub populasi menjadi lebih terkotak-kotak (Jarak antar sub
populasi semakin jauh) (Bismark dan Iskandar, 2002; Ma’ruf, 2004). Selain itu, anggapan
masyarakat bahwa bekantan merupakan hama pengganggu ladang dapat mengancam
kelestarian populasi bekantan di alam (Soendjoto et al., 2005).
Ancaman terhadap populasi dan habitat bekantan saat ini sangat kuat dan berpotensi
terhadap kepunahan bekantan. Untuk itu dianggap perlu untuk menyusun suatu strategi
konservasi bekantan, Hal tersebut penting untuk mengimbangi dampak pesatnya laju
pembangunan dan pertumbuhan penduduk di sekitar habitat bekantan. Diharapkan dengan
adanya strategi konservasi bekantan, tersebut dapat memberikan jalan keluar dalam
melestarikan jenis primata endemik tersebut.
A B
Gambar 1. Perbedaan morfologi antara individu jantan dewasa (A) dan betina dewasa (B)
Gambar 2. Sebaran bekantan dan lokasi prioritas untuk pelestarian bekantan (Mejaard dan
Nijman, 2000).
Pada tahun 1986 McKinnon memprediksi jumlah populasi bekantan hanya 250.000
individu,dan 25.000 diantaranya berada di Kawasan Konservasi. Menurut Yeager dan
Blondal (1992), bekantan yang ada di kawasan konservasi kurang dari 5000 individu. Pada
tahun 1994 populasi bekantan di Kalimantan diduga sejumlah 114.000 individu (Bismark,
2009) dan dalam simposium PHVA bekantan tahun 2004, populasi bekantan diduga tinggal
25.000 individu, dan yang berada di kawasan konservasi 5.000 individu.
Habitat bekantan umumnya terdapat di hutan lahan basah yang berada di dalam
maupun di luar kawasan konservasi. Menurut McNeely et al. (1990), dari 29.500 km persegi
habitat bekantan, telah berkurang seluas 40 persen sedangkan yang berstatus kawasan
konservasi hanya 4,1 persen. Pada tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan 3,49% per
tahun. Dari 6 tipe ekosistem habitat bekantan, pada tahun 1995 telah terjadi penurunan luas
habitat antara 20-88 persen (Meijaard dan Nijman, 2000) dan laju penurunan habitat ini, baik
di dalam maupun di luar kawasan adalah 2% per tahun (Manangsang, et al., 2005).
Sungai merupakan komponen ekologis penting yang berpengaruh dalam pemilihan
habitat bekantan di hutan bakau dan hutan rawa gambut. Bekantan di hutan karet, dijumpai di
sekitar air atau danau kecil sebagai bagian habitatnya (Soendjoto et al., 2006). Pohon yang
tinggi di tepi sungai merupakan komponen habitat yang penting yang digunakan sebagai
pohon tidur kelompok bekantan. Perilaku tidur bekantan yang memilih lokasi di tepi sungai
merupakan strategi untuk berkomunikasi dan keamanan kelompok dari predator (Bismark,
1986; Yeager, 1990). Sungai berfungsi sebagai sumber air minum dan sarana untuk berenang
bekantan, sedangkan pohon di tepi sungai selain sebagai pohon tidur malam hari juga sebagai
sumber pakan pada pagi dan sore hari. Pada siang hari bekantan menuju ke dalam hutan, 500-
700 m dari tepi sungai sebagai bagian dari daerah jelajah hariannya (Bismark, 1986).
V. PERMASAHAN
Laju degradasi hutan dan lahan basah habitat bekantan berlangsung dengan cepat,
karena pada umumnya kawasan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat
yang tinggal di sekitar bantara ekosistem sungai. Dalam kehidupan sehari-hari sungai
merupakan jalur transportasi utama bagi masyarakat, sedangkan hutan riparian dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai pemukiman dan ladang. Hal tersebut menyebabkan habitat bekantan
terfragmentasi dan terisolasi. Akibatnya populasi bekantan menurun dan sebaran sub populasi
menjadi lebih terkotak-kotak (Jarak antar sub populasi semakin jauh) (Bismark dan Iskandar,
2002; Ma’ruf, 2004).
Salah satu ancaman utama terhadap kelestarian populasi bekantan adalah degradasi
habitat. Penyebab kerusakan habitat bekantan diantaranya adalah penebangan pohon, baik
legal maupun ilegal, kegiatan pertambangan emas liar, reklamasi rawa dan pengelolaan
tambak rakyat. Dari habitat bekantan yang penting, hanya 39% yang dianggap dapat
dipertahankan, sementara itu hanya 15% yang merupakan kawasan konservasi (Meiyaard dan
Nijman 2000).
Degradasi habitat dan dampaknya terhadap perburuan dan konversi lahan telah
menurunkan populasi bekantan sebesar 90% dalam 20 tahun dan di hutan mangrove
penurunan populasi 3,1 persen per tahun (Bismark, 2002). Selain itu telah terjadi proses
adaptasi bekantan yang terdesak ke arah perkebunan namun tidak terlepas dari kebutuhannya
terhadap sumber air, danau dan sungai dengan berbagai tumbuhan sebagai sempadan sungai
atau danau kecil (Soendjoto, et al., 2005). Kondisi habitat seperti yang digambarkan di atas,
juga menyebabkan adanya populasi bekantan dalam kelompok kecil antara 2-4 individu per
kelompok. Bahkan dijumpai juga bekantan yang hidup soliter.
Permasalahan
Habitat terfragmentasi dan terisolasi
Populasi bekantan terisolasi dalam
kelompok kecil
Kebakaran lahan dan hutan
kebakaran lahan
Dampak
Individu bekantan sering menjadi
korban tertabrak ketika berpindah
habitat untuk mencari sumber pakan
Bekantan sering menjadi korban
akibat kebakaran hutan dan lahan,
seperti lemas karena kekurangan
Strategi Penyelamatan
Bekantan
Gambar 3. Peta Pulau Curak, Kabupaten Barito Kuala (Foto : SBI 2015)
3. Strategi 1. Penyelamatan dan Karantina
a. Melakukan tindakan penyelamatan bekantan ke tempat yang lebih aman
A B
Gambar 7. Kegiatan Pelepasliaran Bekantan Rehabilitan di Pulau Bakut (Foto : SBI 2016)
A B
C D
Gambar 8. A. Lokasi penelitian bekantan dan lahan basah di Pulau Curiak; B. Kelompok
mahasiswa asing yang sedang studi lapangan di Pulau Curiak; C. Kelompok
wisatawan asing sedang mengamati bekantan; D. Bangunan stasiun riset bekantan
dan lahan basah (Foto: SBI 2017)
VII. PENUTUP
Strategi penyelamatan bekantan yang sudah dan sedang ilaksanakan saat ini tentunya
masih perlu disempurnakan lagi. Mengingat tantangan dan peluang yang berhubungan
dengan upaya konservasi bekantan terus berkembang. Keterlibatan para pemangku
kepentingan (Stakeholders), baik pemerintah daerah, masyarakat serta pelaku usaha, dalam
menekan meluasnya fragmentasi dan isolasi habitat bekantan sangatlah penting. Dalam hal
ini Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia bersama mitra Balai Besar KSDA Kalimantan
Selatan dan dinas terkait secara kontinyu melakukan kegiatam sosialisasi tentang konsevasi
bekantan ke berbagai wilayah di Kalimantan Selatan. Harapannya ke depan keberhasilan
program penyelamatan bekantan dan program ikutan lainnya dapat dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bennett, E.L. and A.C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology of proboscis
monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. Int. J. of Primatol. 9
(3) : 233-255.
Bismark, M. 1997. Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar
Alam Pulau Kaget. Kalimantan Selatan. Diskusi hasil Penelitian, Pusat Litbang Hutan
dan Konservasi Alam.
Bismark, M. 2005. Model pengukuran biomassa populasi primata. Jurnal PenHut dan
Konservasi Alam II(5):491-496
Bismark, M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Siran, S.A., A.S.
Mukhtar., T. Setyawati (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor.
Bismark, M. dan S. Iskandar, 2002. Kajian total populasi dan struktur sosial bekantan
(Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Bul.Pen.Hut.
No.631:p.17-29.
Harcourt AM. 1995. Population viability estimates. Theory and practical for wild gorilla
population. Conserv.Biol. 9(1):134–142.
Iskandar, S. 2017. Koeksistensi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb. 1787) dengan manusia
di Rsws Gelam. Disertasi. Institut Pertanian Bogor
IUCN, 2020. IUCN Red list of threatened animals. IUCN, Gland, Switzerland
Jolly, A. 1972. The evolution of primate behavior. Macmillan Publishing Co., Inc. New York
.
Kern, J.A. 1964. Observation on the habit of the proboscis monkey, Nasalis larvatus
(Wurmb), made in the Brunei Bay area. Borneo Zoologica 49 : 183-192.
Manansang, J., K. Traylor-Holzer, D. Reed and K. Leus (eds.). 2005. Indonesian Proboscis
Monkey Population and Habitat Viability Assessment: Final Report. IUCN/SSC
Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN.
Ma’ruf, A. 2004. Studi perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di daerah Balik Papan dan
Sekitarnya. Lap. Penelitian Loka Litbang Primata, Samboja (Unpublish).
Ma’ruf, A. Triatmoko dan I.Syahbani. 2005. Studi populasi bekantan (Nasalis larvatus) di
Muara Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Lap. Penelitian Loka Litbang Primata,
Samboja (Unpublish).
MacKinnon, K. 1986. Alam Asli Indonesia: Flora, Fauna dan Keserasian. Gramedia Jakarta
McNelly, J.A., K.R. Miller, W.V. Reid, R.A. Miltermeier and T.B. Werner, 1990. Coserving
the world's biological diversity. mCN, Gland. Switzerland.
Meijaard, E. And V. Nijman, 2000. Distribution and conservation of proboscis monkey
(Nasalis larvatus) in Kalimantan Indonesia. Biol. Conserv. 92. 15-24.
Sahabat Bekantan, 2018. Profil yayasan Sahabat Bekantan Indonesia
Soendjoto, M.A., 2005. Adaptasi bekantan (Nasalis larvatus) terhadap hutan karet: Studi
kasus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Soendjoto, A.M., H.S. Alikodra, M. Bismark dan H. Setijanto. 2005. Vegetasi tepi baruh
pada habitat bekantan (Nasalis larvatus) di hutan karet Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan. Biodiversitas. 6(1):40-44.
Soendjoto, A.M., H.S. Alikodra, M. Bismark dan H. Setijanto. 2006. Jenis dan komposisi
pakan bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di hutan karet Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan. Biodiversitas 7(1): 34-38.
Wilson. C.C. and W.L. Wilson, 1975. The influence of selective logging on primates and
some other animals in East Kalimantan. Folia Primatol 23 : 245-274.
Yeager C.P. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). Int. J. of
Primatology 10 (6) : 497-529.
Yeager C.P. 1990. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization group structure.
Am. J. of Primatology 20: 95-106.
Yeager C.P. 1992. Changes in proboscis monkey (Nasalis larvatus) group size and density at
Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Tropical Biodiversity I
(1) : 49-55.
Yeager C.P. and T .K. Blondal, 1992. Conservation status of proboscis monkey (Nasalis
larvarus) at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Forest
Biology and Conservation in Borneo. Center for Borneo Studies Publication 2 : 220-
228.