Anda di halaman 1dari 17

STRATEGI PENYELAMATAN BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb.

1787) DI
PULAU CURIAK, BARITO KUALA, KALIMANTAN SELATAN
Oleh
1, 3
Sofian Iskandar dan Amalia Rezeki2 3

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara Mega Biodiversity di dunia, dengan kekayaan
keanekaragaman hayatinya yang berlimpah, salah satu diantaranya adalah keanekaragaman
jenis primata. Di Indonesia tercatat ada 62 jenis primata (24,7% dari jumlah jenis primata
dunia), yang tersebar di beberapa wilayah bioregion, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara). Di wilayah bioregion Kalimantan,
tercatat ada 12 jenis primata, yaitu orangutan (Pongo pygmaeus) dengan tiga sub species,
yaitu P.p. morio, P.p. pygmaeus dan P.p. wurmbii, empat jenis lutung dari marga Presbytis,
yaitu P. chrysomelas, P. rubicunda, P. hosei dan P. frontata, dua jenis owa dari marga
Hylobates, yaitu H. muellerie dan H. albibalbris, dua jenis dari marga Macaca, yaitu monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina), bekantan (Nasalis
larvatus), kukang (Nycticebus coucang) dan tarsius (Tarsius spectrum). Delapan dari 12 jenis
tersebut merupakan jenis primata endemik Kalimantan, yaitu Pongo pygmaeus, Nasalis
larvatus, Hylobates muellerie, H. albibalbris, Presbytis rubicunda, Presbytis chrysomelas,
Presbytis frontata, Presbytis hosei, dan Tarsius spectrum.
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb. 1787), merupakan salah satu primata endemik
Kalimantan dari suku Cercophitecidae, dan anak suku Colobinae. Bekantan hidup di berbagai
tipe habitat lahan basah, seperti hutan bakau, hutan di sekitar sungai (hutan riparian) dan
habitat rawa gambut (Jolly 1972; Napier dan Napier 1985). Saat ini keberadaannya sudah
terancam kepunahan. Berdasarkan Redlist Data IUCN (2020), bekantan dikategorikan
dengan status terancam punah (Endangered). Ancaman kepunahan yang utama adalah
kerusakan habitat, degradasi habitat dan koYayasan nversi hutan menjadi kawasan non hutan.
Akibatnya adalah terjadi penurunan luasan dan kualitas habitat, dan habitat bekantan yang
ada menjadi terfragmentasi, bahkan terisolasi (Manangsang dkk 2005; Soendjoto 2005;
Bismark 2009). Selain itu perburuan bekantan juga merupakan ancaman bagi kelestarian
bekantan. Bekantan diburu oleh masyarakat untuk digunakan sebagai umpan untuk

1
Fakultas Kehutanan, Universitas Nusa Banga. E-mail: sofianiskandar@yahoo.com
2
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidilan, Universitas Lambung Mangkurat
3
Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia
memancing biawak (Varanus salvator). Oleh sebagian masyarakat suku Dayak, bekantan
juga diburu untuk dikonsumsi dagingnya (Meijaard dan Nijman 2000).
Laju degradasi hutan riparian habitat bekantan berlangsung dengan cepat dan secara
terus menerus. Mengingat pada umumnya kawasan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi
bagi kehidupan manusia. Di Kalimantan, sungai merupakan salah satu sarana transportasi
utama bagi masyarakat. Sementara, lahan di tepian sungai merupakan lokasi yang strategis
untuk dimanfaatkan sebagai kemukiman, ladang, kebun masyarakat. Bahkan pengusaha
HPH, perkebunan kelapa sawit dan tambang, juga memanfaatkannya sebagai tempat
penampungan hasil usahanya. Akibatnya habitat bekantan menjadi terfragmentasi, bahkan
beberapa populasi terisolasi dalam habitat yang sempit. Hal tersebut menyebabkan populasi
bekantan menurun dan sebaran sub populasi menjadi lebih terkotak-kotak (Jarak antar sub
populasi semakin jauh) (Bismark dan Iskandar, 2002; Ma’ruf, 2004). Selain itu, anggapan
masyarakat bahwa bekantan merupakan hama pengganggu ladang dapat mengancam
kelestarian populasi bekantan di alam (Soendjoto et al., 2005).
Ancaman terhadap populasi dan habitat bekantan saat ini sangat kuat dan berpotensi
terhadap kepunahan bekantan. Untuk itu dianggap perlu untuk menyusun suatu strategi
konservasi bekantan, Hal tersebut penting untuk mengimbangi dampak pesatnya laju
pembangunan dan pertumbuhan penduduk di sekitar habitat bekantan. Diharapkan dengan
adanya strategi konservasi bekantan, tersebut dapat memberikan jalan keluar dalam
melestarikan jenis primata endemik tersebut.

II. TAKSONOMI DAN BIOLOGI


Bekantan (Nasalis larvatus) berdasarkan silsilah taksonomi dikelompokkan ke dalam
famili Cercophitecidae, dan sub-famili Colobinae (Jolly,1972). Bekantan dewasa menunjukan
adanya sexual dimorphisme, yaitu perbedaan bentuk dan ukuran tubuh antara individu jantan
dan bentina (Kern, 1964; Bennett dan Sebastian 1988; Yeager, 1989) (Gambar 1). Perbedaan
tersebut terdapat pada ukuran dan bentuk tubuh serta bentuk hidung pada jantan yang relatif
lebih besar. Selain itu, alat kelamin eksternal pada jantan, terdapat warna putih berbentuk
segi tiga pada bagian pinggul serta berkembangnya otot yang kuat. Betina ukuran tubuhnya
relatif lebih kecil, puting susu jelas dan hidung Iebih kecil dan lancip. Berat badan individu
jantan dewasa berkisar antara 20-22 kg dan individu betina antara 10-12 kg (Yeager, 1990).
Hasil penelitian Bismark (2005) berat badan individu jantan pada bekantan di hutan
mangrove berkisar antara 22-27 kg dan betina antara 8-17 kg
Secara morfologi, warna rambut bekantan bervariasi, di bagian bahu dan punggung
atas berwarna coklat kemerahan. Ujung-ujung rambutnya berwarna merah kecoklatan
sedangkan dua pertiganya berwarna abu-abu. Punggung berwarna kuning keabuan, perut
berwarna kekuningan atau abu-abu, kadang-kadang ada bagian yang berwarna kuning
kecoklatan. Tangan dan kaki putih kekuningan, kepala berwarna coklat kemerahan dan leher
berwarna putih keabuan. Ciri khas bekantan yang mudah dikenali adalah adanya hidung besar
dan panjang pada jantan dan lancip pada betina. Adanya variasi warna bulu pada bagian-
bagian tubuh tersebut merupakan dasar dalam membedakan anak jenis (sub-species) bekantan
yang ada, yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis lavartus orientalis (Kern, 1964).

A B

Gambar 1. Perbedaan morfologi antara individu jantan dewasa (A) dan betina dewasa (B)

III. SEBARAN POPULASI DAN HABITAT


Meiyaard dan Nijman (2000) telah melakukan survei sebaran bekantan di 30 lokasi di
berbagai kawasan hutan mangrove, pulau kecil, delta, sepanjang sungai dan hutan rawa gambut.
Lebih dari 20 persen populasi tersebar di daerah pantai, 18 persen tersebar antara 100-200 km
dari pantai, 16 persen antara 20-100 km dan 58 persen populasi tersebar 50 km dari pantai. Hanya
sedikit catatan tentang sebaran populasi bekantan pada habitat dengan ketinggian area lebih dari
350 meter do atas permukaan laut (DPL). Lebih dari 90% dari sebaan populasi bekantan terdapat
di bawah ketinggian kurang dari 200 meter DPL (Gambar 2).
Di Kalimantan Barat, populasi bekantan tersebar di Taman Nasional (TN) Gunung
Palung, TN (455 individu). Danau Sentarum dengan populasi yang cukup besar (679 individu),
Hutan Lindung Kubu Raya 61 individu (24 individu/Km2) dan di Cagar Alam Muara
Kendawangan (76 individu) (Direktorat KKH 2015, Lestari 2018), kawasan esensial Cermai,
Kabupaten Sambas sebanyak 24 individu. Di Kalimantan Selatan, bekantan tersebar di beberapa
kawasan konservasi, antara lain Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Bakut, Suaka Margasatwa
(SM) Kuala Lupak, TWA Pulau Kembang dan Cagar Alam Pulau Kaget (BKSDA Kalsel 2015).
Selain di kawasan konservasi, bekantan juga ditemukan di kebun karet, ekosistem karst
(Soendjoto 2005), kebun campuran dan riverine mangrove (Iskandar 2014) dan Pulau Curiak
sebanyak 21 individu (Zainudin dan A. Rejeki 2016) dan Rawa Gelam seluas 346 hektar dengan
jumlah 258 individu (Alikodra dan Srimulyaningsih 2014) . DI Kalimantan Tengah, sebaran
populasi bekantan hanya tercatat di TN. Tanjung Puting, yaitu di Sungai Sekonyer sebanyak 341
individu (Balai TN Tanjung Puting 2015). Di Kalimantan Timur, sebaran populasi bekantan yang
utama terdapat di TN. Kutai, yaitu di hulu Sungai Sangata 122 individu dengan kerapatan 0,8
individu per km2, di muara Sungau Sangata berjumlah 107 individu dengan kerapatan 8,9
individu per km2 dan di hutan mangrove 81 individu dengan kerapatan 7 individu per km2
(Bismark dan Iskandar 2002). Di Hutan Lindung Sungai Wain kerapatan bekantan 15,2 individu
per km2 dan di Delta Mahakam 10 Individu per km2 (Ma’ruf et al. 2005).

Gambar 2. Sebaran bekantan dan lokasi prioritas untuk pelestarian bekantan (Mejaard dan
Nijman, 2000).

Pada tahun 1986 McKinnon memprediksi jumlah populasi bekantan hanya 250.000
individu,dan 25.000 diantaranya berada di Kawasan Konservasi. Menurut Yeager dan
Blondal (1992), bekantan yang ada di kawasan konservasi kurang dari 5000 individu. Pada
tahun 1994 populasi bekantan di Kalimantan diduga sejumlah 114.000 individu (Bismark,
2009) dan dalam simposium PHVA bekantan tahun 2004, populasi bekantan diduga tinggal
25.000 individu, dan yang berada di kawasan konservasi 5.000 individu.
Habitat bekantan umumnya terdapat di hutan lahan basah yang berada di dalam
maupun di luar kawasan konservasi. Menurut McNeely et al. (1990), dari 29.500 km persegi
habitat bekantan, telah berkurang seluas 40 persen sedangkan yang berstatus kawasan
konservasi hanya 4,1 persen. Pada tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan 3,49% per
tahun. Dari 6 tipe ekosistem habitat bekantan, pada tahun 1995 telah terjadi penurunan luas
habitat antara 20-88 persen (Meijaard dan Nijman, 2000) dan laju penurunan habitat ini, baik
di dalam maupun di luar kawasan adalah 2% per tahun (Manangsang, et al., 2005).
Sungai merupakan komponen ekologis penting yang berpengaruh dalam pemilihan
habitat bekantan di hutan bakau dan hutan rawa gambut. Bekantan di hutan karet, dijumpai di
sekitar air atau danau kecil sebagai bagian habitatnya (Soendjoto et al., 2006). Pohon yang
tinggi di tepi sungai merupakan komponen habitat yang penting yang digunakan sebagai
pohon tidur kelompok bekantan. Perilaku tidur bekantan yang memilih lokasi di tepi sungai
merupakan strategi untuk berkomunikasi dan keamanan kelompok dari predator (Bismark,
1986; Yeager, 1990). Sungai berfungsi sebagai sumber air minum dan sarana untuk berenang
bekantan, sedangkan pohon di tepi sungai selain sebagai pohon tidur malam hari juga sebagai
sumber pakan pada pagi dan sore hari. Pada siang hari bekantan menuju ke dalam hutan, 500-
700 m dari tepi sungai sebagai bagian dari daerah jelajah hariannya (Bismark, 1986).

IV. KEBIJAKAN DAN PERATURAN TENTANG KONSERVASI BEKANTAN


Upaya konservasi satwa liar di Indonesia, termasuk konservasi bekantan dilaksanakan
berdasarkan amanah peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Salah
satu undang-undang yang sangat penting adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, termasuk turunannya yaitu
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar dan
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar.
Selain itu, terdapat berbagai peraturan lain yang mendukung upaya konservasi
bekantan dan habitatnya, seperti Undang-Undang No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Convention on Biological Diversity, Unndang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Kawasan Lindung, Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1991 tentang Pengesahan Konvensi
Ramsar dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya.
Namun demikian, sejauh ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, belum mengeluarkan suatu peraturan atau pedoman teknis terkait
dengan teknis penyelamatan bekantan secara khusus. Sehingga dalam melaksanakan kegiatan
penyelamatan mengacu pada pedoman teknis primate secara umu.

V. PERMASAHAN
Laju degradasi hutan dan lahan basah habitat bekantan berlangsung dengan cepat,
karena pada umumnya kawasan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat
yang tinggal di sekitar bantara ekosistem sungai. Dalam kehidupan sehari-hari sungai
merupakan jalur transportasi utama bagi masyarakat, sedangkan hutan riparian dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai pemukiman dan ladang. Hal tersebut menyebabkan habitat bekantan
terfragmentasi dan terisolasi. Akibatnya populasi bekantan menurun dan sebaran sub populasi
menjadi lebih terkotak-kotak (Jarak antar sub populasi semakin jauh) (Bismark dan Iskandar,
2002; Ma’ruf, 2004).
Salah satu ancaman utama terhadap kelestarian populasi bekantan adalah degradasi
habitat. Penyebab kerusakan habitat bekantan diantaranya adalah penebangan pohon, baik
legal maupun ilegal, kegiatan pertambangan emas liar, reklamasi rawa dan pengelolaan
tambak rakyat. Dari habitat bekantan yang penting, hanya 39% yang dianggap dapat
dipertahankan, sementara itu hanya 15% yang merupakan kawasan konservasi (Meiyaard dan
Nijman 2000).
Degradasi habitat dan dampaknya terhadap perburuan dan konversi lahan telah
menurunkan populasi bekantan sebesar 90% dalam 20 tahun dan di hutan mangrove
penurunan populasi 3,1 persen per tahun (Bismark, 2002). Selain itu telah terjadi proses
adaptasi bekantan yang terdesak ke arah perkebunan namun tidak terlepas dari kebutuhannya
terhadap sumber air, danau dan sungai dengan berbagai tumbuhan sebagai sempadan sungai
atau danau kecil (Soendjoto, et al., 2005). Kondisi habitat seperti yang digambarkan di atas,
juga menyebabkan adanya populasi bekantan dalam kelompok kecil antara 2-4 individu per
kelompok. Bahkan dijumpai juga bekantan yang hidup soliter.

VI. STRATEGI DAN PROGRAM PENYELAMATAN BEKANTAN DI PULAU


CURIAK
Strategi dan Rencana Aksi Penyelamatan Bekantan dibuat dengan tujuan sebagai
panduan teknis (Technical guidelines) dalam penyelenggaraan program penyelamatan
bekantan secara terintegrasi. Strategi ini disusun berdasarkan aspek penyelamatan, karantina,
rehabilitasi, pelepasliaran, serta penelitian, pengembangan dan inovasi.. Diharapkan strategi
penyelamatan ini dapat menjamin kelestarian populasi bekantan di habitat aslinya. Agar
strategi penyelamatan bekantan ini dapat mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu
terjaminnya kelestarian bekantan di alam, maka strategi ini dijabarkan dalam program beserta
kegiatannya (Gambar 2).

Permasalahan
 Habitat terfragmentasi dan terisolasi
 Populasi bekantan terisolasi dalam
kelompok kecil
 Kebakaran lahan dan hutan
 kebakaran lahan

Dampak
 Individu bekantan sering menjadi
korban tertabrak ketika berpindah
habitat untuk mencari sumber pakan
 Bekantan sering menjadi korban
akibat kebakaran hutan dan lahan,
seperti lemas karena kekurangan

Strategi Penyelamatan
Bekantan

Strategi 1: Penyelamatan Strategi 2: Rehabilitasi Strategi 3: Litbang dan


dan Karantina dan Pelepasliaran Inovasi
 Melakukan tindakan  Merehabilitasi  Melakukan penelitian dan
penyelamatan bekantan bekantan pengembangan dan inovasi
ke tempat yang lebih  Melkukan yang mendukung program
aman pelepasliaran dan penyelamatan dan
 Melakukan tindakan pemantauan rehabilitasi bekantan serta
karantina pengembangan ekowisata

Gambar 2. Bagan Alir Strategi Penyelamatan Bekantan

1. Visi dan Misi


a. Visi
Strategi penyelamatan bekantan memiliki visi melindungi dan mensejahterakan
bekantan untuk keberlanjutan populasinya
b. Misi
1) Melindungi bekantan yang hidup terancam pada habitat yang terisolasi dan
dalam populasi yang kecil
2) Menyelamatkan dan mensejahterakan bekantan dari kepunahan lokal
3) Meningkatkan kapasitas ilmu pengetahuan untuk mendukung upaya
keberlanjutan populasi bekantan di alam

2. Sejarah dan Profil Ekologi Pulau Curiak


Stasiun Riset Bekantan dan Lahan Basah Pulau Curiak, awal pendiriannya,
ditujukan sebagai lokasi pelepasliaran bekantan, sekaligus sebagai pusat penelitian.
Sejalan dengan pengembangan program kerja SBI, Pulau Curiak dijadikan sebagai
Pusat Penelitian Bekantan dan Ekosistem Lahan Basah. Sedangkan tempat
rehabilitasi bekantan berada di Banjarmasin. Stasiun Riset Bekantan didirikan oleh
Sahabat Bekantan Indonesia yang bermitra dengan Universitas Lambung Mangkurat
(ULM) dan diresmikan pada tahun 2018 oleh Rektor Universitas Lambung
Mangkurat, Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc., bersama Professor Roberts
Timothy Kilgour, Professor Matthew Warrington dan Professor Michael Mahony
Joseph dari University of New Castle Australia. Sebagai kegiatan perdana, telah
dilakukan program Summer Course bersama mahasiswa ULM dan mahasiswa New
Castle, Australia. Pada acara tersebut juga dilakukan pelepasliaran burung dan kura-
kura khas lahan basah. Saat ini, Stasiun Riset Bekantan menjadi laboratorium alam
yang menjadi daya tarik bagi peneliti dalam dan luar negeri, khususnya bekantan
dan ekosistem lahan basahnya.
Pulau Curiak merupakan kawasan seluas 2,72 Ha yang terletak di delta
sungai Barito. Secara administrasi berada di Desa Marabahan Baru, Kecamatan
Anjir, Kabupaten Barito Kuala. Pada April 2015 Tim Riset Pusat Studi & Konservasi
Keanekaragaman Hayati Indonesia (Biodiversitas Indonesia), Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin yang dipimpin oleh Amalia Rezeki, menemukan keberadaan
bekantan di Pulau Curiak, di luar kawasan konservasi. Nama Curiak itu diambil dari
nama sejenis burung prenjak atau lebih dikenal dengan nama Cinenen kelabu
(Orthotomus ruficeps) yang banyak terdapat di pulau tersebut dan sejak itu pulau ini
dikenal dengan nama Pulau Curiak (Gambar 2).
Tipe ekosistem pulau Curiak adalah ekosistem lahan basah (Riverine
mangrove), dengan ragam vegetasi yang didominasi oleh jenis rambai (Sonneratia
caseolaris). Adapun jenis tumbuhan lain yang banyak dijumpai di kawasan ini adalah
Bintaro (Cerbera manghas), Jingah (Gluta renghas), Beringin (Ficus microcarpa),
Putat (Planchonia valida), Piai (Acrostichum aureum), Kelakai (Stenochlaena
palustris), Jeruju (Acanthus illicifolius), Bakung (Crinum asiaticum), Pipisangan
(Ludwigia hyssopifolia), dan berbagai jenis tumbuhan khas ekosistem mangrove.
Jenis satwa yang menghuni pulau ini yaitu bekantan (Nasalis larvatus) yang
termasuk primata endemik terancam punah. Selain itu, ditemukan juga jenis satwa
liar lainnya seperti Lutung (Presbytis cristatus), Elang Bondol (Haliastur indus),
Elang Tikus (Elanus caerulus), Elang Brontok (Nisaetus cirrhatus), Pekaka emas
(Pelargopsis capensis), Cekakak sungai (Todirhampus chloris), Raja Udang Meninting
(Alcedo meninting), Biuku (Orlitia borneensis), Kura pipi putih (Siebenrockiella
crassicolis), Biawak (Varanus salvator), Ular phyton (Phyton reticulatus), dan masih
banyak lagi jenis satwa liar lainnya yang berada di kawasan Pulau Curiak ini.
Potensi keanekaragaman hayati Pulau Curiak yang cukup tinggi serta
keunikan ekosistem lahan basahnya, menjadi ide dasar pendirian Stasiun Riset
Bekantan. Stasiun Riset Bekantan Pulau Curiak, Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten
Barito Kuala, Kalimantan Selatan, yang digagas pada 22 April 2015 oleh Ferry F.
Hoesain dan Amalia Rezeki dari Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman
Hayati Indonesia, Universitas Lambung Mangkurat, yang juga founder Yayasan
Sahabat Bekantan Indonesia. Kemudian pada 22 Desember 2017 mulai
direalisasikan secara fisik dengan melakukan pembebasan lahan untuk
pembangunan fasilitas stasiun risetnya. Pembangunan ini didanai oleh Yayasan
Sahabat Bekantan Indonesia serta donatur yang tidak mengikat.

Gambar 3. Peta Pulau Curak, Kabupaten Barito Kuala (Foto : SBI 2015)
3. Strategi 1. Penyelamatan dan Karantina
a. Melakukan tindakan penyelamatan bekantan ke tempat yang lebih aman

Program penyelamatan bekantan dilakukan oleh Yayasan Sahabat Bekantan


Indonesia (SBI), sejak tahun 2014, yaitu ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan yang
luas dan mengakibatkan banyak luasan hutan dan lahan habitat bekantan yang luas.
Salah satu korban dari kebakaran hutan dan lahan tersebut, adalah bekantan. Banyak
bekantan di habitatnya yang terkepung oleh titik api. Banyak individu bekantan, terutama
induk betina dan anaknya yang lemas karena kekurangan oksigen. Ada pula bekantan
yang jadi korban tabrakan ketika bekantan berlari untuk menghindari titik api yang
mengepung habitatnya. Saat itulah anggota SBI bersama tim Balai KSDA Provinsi
Kalimantan Selatan berupaya mengevakuasi dan meyelamatkan individu bekantan yang
terluka dan sakit, dengan fasilitas dan sarana yang terbatas.
Kegiatan evakuasi bekantan dilakukan bersama dengan petugas Balai KSDA
Kalimantan Selatan, berdasarkan informasi dan laporan yang diterima dari masyarakat
tentang keberadaan bekantan. Tahapan kegiatan penyelamatan yang dilakukan adalah :
a. Mengidentifikasi dan mendiskusikan laporan masyarakat, terkait dengan lokasi,
permasalahan dan kondisi bekantan yang akan dievakuasi.
b. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, maka dibuat perencanaan evakuasi,
menentukan jumlah anggota tim rescue, peralatan dan waktu pelaksanaan. Jika
diperlukan penanganan medis pada saat penyelamatan, maka tim akan melibatkan
petugas kesehatan hewan (dokter hewan atau paramedis) dari Dinas Perkebunan dan
Peternakan setempat.
c. Melakukan tindakan penyelamatan dan evakuasi sesuai dengan prinsip animal
welfare.
d. Membuat berita acara dan pelaporan kegiatan penyelamatan dan evakuasi
A B

Gambar 4. A. Evakuasi bekantan; B. Penyerahan bekantan oleh masyarakat (Foto : SBI,


2015)

b. Melakukan tindakan karantina


Kegiatan karantina dilakukan terhadap individu bekantan yang dievakuasi. Setibanya
di Pusat Rehabilitasi, individu bekantan ditempatkan di kandang individu, dan diberi makan
untuk memulihkan kondisi fisiknya serta masa adaptasi terhadap lingkungan baru. Setelah
kondisi individu bekantan dianggap cukup sehat, maka dilakukan pemeriksaan kesehatan
awal dan pengukuran morfometri dan berat badan.
Pemeriksaan kesehatan tersebut meliputi pemeriksaan kesehatan fisik untuk melihat
ada tidaknya luka, dan cidera. Selain itu dilakukan pula pemeriksaan medis untuk mengetahui
jika ada penyakit, terutama yang disebabkan oleh virus dan bakteri dan parasite. Jika
diperlukan akan dilakukan pengambilan sampel darah dan feses untuk selanjutnya dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Setelah individu bekantan yang dievakuasi dinyatakan sehat
secara medis, maka selanjutnya bekantan akan masuk ke tahap ehabilitasi.

A B

Gambar 5. A. Pengukuran morfometri dan penimbangan berat baan; B. Pemeriksaan dan


tindakan medis (Foto : SBI, 2016)
4. Strategi 2. Rehabilitasi dan Pelepasliaran
a. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah proses perlakuan medis hingga mereka sehat kembali dan
agar mereka dapat belajar serta mengasah kemampuan hidup di alam agar dapat hidup
mandiri di habitat alaminya kelak. Dalam tahapan rehabilitasi, bekantan akan diberikan
pakan dengan komposisi nutrisi yang baik guna mendukung proses pemulihan
kesehatannya. Pakan bekantan yang merupakan satwa faliosvor, diberikan adalah
campuran antara dan-daunan dan beberapa jenis buah mentah, seperti kelakai, buah
rambai dan pisang mentah
Selama masa rehabilitasi, perkembangan kesehatan fisik bekantan terus dipantau.
Setelah individu bekantan rehabilitan dianggap cukup sehat dan mampu mlakukan
aktivitas rutinnya, maka individu bekantan tersebut siap untuk dilepasliarkan kembali ke
habitat alamnya. Selama tahun 2014 hingga 2017, sudah sekitar 33 kali melakukan
evakuasi bekantan yang didapat dari berbagai habitat dan berhasil direhabilitasi.
Sementara

Gambar 6. Pusat Rehabilitasi Bekantan di Banjarmasin (Foto: SBI 2015)


b. Pelepasliaran
Pelepasliaran kembali adalah upaya mengembalikan individu bekantan hasil
rehabilitasi ke habitat alaminya. Pelepasliaran dilakukan pada beberapa lokasi, baik di
dalam kawasan konservasi maupun kawasan hutan lainnya, diantaranya Pulau Curiak
dan Pulau Bakut. Sampai tahun 2020 jumlah individu bekantan yang sudah
dilepasliarkan adalah 20 ekor, termasuk yang terakhir, pelepasliaran bekantan dilakukan
bersama Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Siti Nurbaya di Pulau
Bakut, Kabupaten Barito Kuala.
Kegiatan pemantauan pasca pelepasliaran perlu dilakukan terhadap individu
bekantan rehabilitant untuk mengetahui tingkat survival dari individu tersebut.
Pemantauan dilakukan dengan memperhatikan beberapa parameter keberhasilan, yaitu
kemampuan beradaptasi terhadap habitat barunya, kemampuan mendapatkan sumber
pakan serta perilaku sosialnya, terutama kemampuan interaksi dengan kelompok individu
bekantan penghuni habitat tersebut. Catatan terakhir, populasi bekantan di Pulau Curiak
ada 28 individu dari dua kelompok, dari sebelumnya saat awal srvey empat tahun yang
lalu berjumlah 15 individu. Tercatat ada penambahan lima individu bayi.

Gambar 7. Kegiatan Pelepasliaran Bekantan Rehabilitan di Pulau Bakut (Foto : SBI 2016)

5. Strategi 3. Penelitian, Pengembangan dan Inovasi

Program penelitian, pengambangan dan inovasi dilakukan untuk menunjang program


penyelamatan dan konservasi bekantan. Program tersebut dilakukan oleh Sahabat Bekantan
Indonesia bekerjasama dengan Universitas Lambung Mangkurat dan Universitas New Soith
Wales, Australia. Kedua lembaga pendidikan tersebut sudah beberapa kali mengirimkan
kelompok mahasiswa dan dosennya untuk melakukan penelitian. Adapun aspek penelitian
yang sudah dilakukan adalah ekologi habitat, populasi, sosial ekonomi dan teknologi
restorasi habitat. Di waktu yang akan datang, aspek penelitian tersebut akan dikembangkan
adalah penelitian biologi molekuler untuk mengungkap pola kekerabatan bekantan
(Phylogeny).
Untuk mendukung program pemerintah dalam sektor kepariwisataan, yayasan
Sahabat Bekantan Indonesia juga sudah mengembangkan program ekowisata berbasis satwa
bekantan. Program ekowisata ini bertujuan sebgai sarana penyadar tahuan dan edukasi
masyarakat tentang pentingnya konservasi keanekaragaman hayati, khususnya pada
ekosistem lahan basah bagi kehidupan manusia. Dalam mengembangkan program ekowisata
tersebut, SBI juga bekerjasama dengan perguruan tinggi, Dinas terkait di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota serta masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan yang telah berjalan
selama ini antara lain mengundang siswa sekolah tingkat menengah atas dan mahasiswa
jurusan biologi, kehutanan dan pendidikan dalam program “Gerakan Tanam Sejuta Rambai”.
Program tersebut diharapkan dapat membentuk karakter generasi muda yang mencintai
kekayaan hayati Indonesia.

A B

C D

Gambar 8. A. Lokasi penelitian bekantan dan lahan basah di Pulau Curiak; B. Kelompok
mahasiswa asing yang sedang studi lapangan di Pulau Curiak; C. Kelompok
wisatawan asing sedang mengamati bekantan; D. Bangunan stasiun riset bekantan
dan lahan basah (Foto: SBI 2017)

VII. PENUTUP

Strategi penyelamatan bekantan yang sudah dan sedang ilaksanakan saat ini tentunya
masih perlu disempurnakan lagi. Mengingat tantangan dan peluang yang berhubungan
dengan upaya konservasi bekantan terus berkembang. Keterlibatan para pemangku
kepentingan (Stakeholders), baik pemerintah daerah, masyarakat serta pelaku usaha, dalam
menekan meluasnya fragmentasi dan isolasi habitat bekantan sangatlah penting. Dalam hal
ini Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia bersama mitra Balai Besar KSDA Kalimantan
Selatan dan dinas terkait secara kontinyu melakukan kegiatam sosialisasi tentang konsevasi
bekantan ke berbagai wilayah di Kalimantan Selatan. Harapannya ke depan keberhasilan
program penyelamatan bekantan dan program ikutan lainnya dapat dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Bennett, E.L. and A.C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology of proboscis
monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. Int. J. of Primatol. 9
(3) : 233-255.

Bismark, M. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus) dalam memanfaatkan lingkungan


hutan bakau di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timor. Thesis Magister Sains,
Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Bismark, M. 1997. Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar
Alam Pulau Kaget. Kalimantan Selatan. Diskusi hasil Penelitian, Pusat Litbang Hutan
dan Konservasi Alam.

Bismark, M. 2005. Model pengukuran biomassa populasi primata. Jurnal PenHut dan
Konservasi Alam II(5):491-496

Bismark, M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Siran, S.A., A.S.
Mukhtar., T. Setyawati (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor.

Bismark, M. dan S. Iskandar, 2002. Kajian total populasi dan struktur sosial bekantan
(Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Bul.Pen.Hut.
No.631:p.17-29.

Harcourt AM. 1995. Population viability estimates. Theory and practical for wild gorilla
population. Conserv.Biol. 9(1):134–142.
Iskandar, S. 2017. Koeksistensi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb. 1787) dengan manusia
di Rsws Gelam. Disertasi. Institut Pertanian Bogor

IUCN, 2020. IUCN Red list of threatened animals. IUCN, Gland, Switzerland

Jolly, A. 1972. The evolution of primate behavior. Macmillan Publishing Co., Inc. New York
.
Kern, J.A. 1964. Observation on the habit of the proboscis monkey, Nasalis larvatus
(Wurmb), made in the Brunei Bay area. Borneo Zoologica 49 : 183-192.
Manansang, J., K. Traylor-Holzer, D. Reed and K. Leus (eds.). 2005. Indonesian Proboscis
Monkey Population and Habitat Viability Assessment: Final Report. IUCN/SSC
Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN.
Ma’ruf, A. 2004. Studi perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di daerah Balik Papan dan
Sekitarnya. Lap. Penelitian Loka Litbang Primata, Samboja (Unpublish).
Ma’ruf, A. Triatmoko dan I.Syahbani. 2005. Studi populasi bekantan (Nasalis larvatus) di
Muara Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Lap. Penelitian Loka Litbang Primata,
Samboja (Unpublish).

MacKinnon, K. 1986. Alam Asli Indonesia: Flora, Fauna dan Keserasian. Gramedia Jakarta
McNelly, J.A., K.R. Miller, W.V. Reid, R.A. Miltermeier and T.B. Werner, 1990. Coserving
the world's biological diversity. mCN, Gland. Switzerland.
Meijaard, E. And V. Nijman, 2000. Distribution and conservation of proboscis monkey
(Nasalis larvatus) in Kalimantan Indonesia. Biol. Conserv. 92. 15-24.
Sahabat Bekantan, 2018. Profil yayasan Sahabat Bekantan Indonesia
Soendjoto, M.A., 2005. Adaptasi bekantan (Nasalis larvatus) terhadap hutan karet: Studi
kasus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Soendjoto, A.M., H.S. Alikodra, M. Bismark dan H. Setijanto. 2005. Vegetasi tepi baruh
pada habitat bekantan (Nasalis larvatus) di hutan karet Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan. Biodiversitas. 6(1):40-44.
Soendjoto, A.M., H.S. Alikodra, M. Bismark dan H. Setijanto. 2006. Jenis dan komposisi
pakan bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di hutan karet Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan. Biodiversitas 7(1): 34-38.
Wilson. C.C. and W.L. Wilson, 1975. The influence of selective logging on primates and
some other animals in East Kalimantan. Folia Primatol 23 : 245-274.
Yeager C.P. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). Int. J. of
Primatology 10 (6) : 497-529.
Yeager C.P. 1990. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization group structure.
Am. J. of Primatology 20: 95-106.
Yeager C.P. 1992. Changes in proboscis monkey (Nasalis larvatus) group size and density at
Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Tropical Biodiversity I
(1) : 49-55.
Yeager C.P. and T .K. Blondal, 1992. Conservation status of proboscis monkey (Nasalis
larvarus) at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Forest
Biology and Conservation in Borneo. Center for Borneo Studies Publication 2 : 220-
228.

Anda mungkin juga menyukai