Anda di halaman 1dari 11

SEBARAN DAN UPAYA KONSERVASI BEKANTAN

(Nasalis Larvatus ) di KALIMANTAN SELATAN

OLEH:

Sinta R Pardosi
NIM: 237030008

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman flora dan fauna. Keragam ini harus
terus dijaga agar dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Secara khusus, satu di
antara keragaman fauna adalah keberadaan hewan primata yakni Bekantan. Bekantan (Nasalis
larvatus Wurmb.) adalah satwa primata langka dan dilindungi. Status konservasi bekantan
menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) adalah
terancam punah (endangered species) (Boonratana et al., 2020), selain itu jenis ini juga masuk
dalam Apendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna & Flora) (CITES, 2017). Satwa ini telah ditetapkan menjadi satwa maskot Provinsi
Kalimantan Selatan berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Selatan No. 29 Tahun 1990. Akan
tetapi, meskipun bekantan mendapat status istimewa sebagai satwa maskot provinsi, saat ini
bekantan telah mengalami penurunan populasi (Bismark, 2009).
Perlindungan bekantan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial dengan adanya
Peraturan Perlindungan Binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie) tahun 1931 (Atmoko,
2016). Selanjutnya pemerintah Indonesia memperkuat status perlindungan yang sudah ada
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa, yang lampirannya telah diperbarui melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018. Namun demikian, populasi bekantan dinyatakan terancam
punah karena wilayah sebaran yang terbatas, hanya di Borneo, serta tingkat gangguan habitat
yang sangat tinggi karena konversi lahan hutan, perambahan hutan, penebangan hutan, dan
perburuan satwa. Menurut McNeely et al. (1990), luas habitat bekantan telah berkurang
sebanyak 40%, yakni dari 29.500 km2 menjadi sekitar 17.700 km2 .
Penyebaran alami bekantan hanya terbatas di Pulau Borneo dan beberapa pulau kecil yang
ada di sekitarnya (Roos et al., 2014). Habitat bekantan bervariasi, yaitu di hutan mangrove, rawa
gambut, hutan tepi sungai (Salter et al. 1985, Matsuda et al. 2010), hutan Dipterocarpaceae,
hutan kerangas (Salter et al. 1985, hutan rawa gelam, hutan karet dan hutan bukit kapur
(Soendjoto 2005, Soendjoto et al. 2006). Pemilihan habitat oleh bekantan dipengaruhi oleh
distribusi, ukuran, dan ketersediaan sumber pakan (Boonratana 1999), sedangkan distribusi dan
reproduksi suatu spesies dipengaruhi kondisi lingkungan abiotik seperti suhu dan curah hujan
(Sinclair et al. 2006). Akibatnya kondisi populasi yang menempati suatu habitat bergantung pada
kondisi perkembangan habitat (Alikodra 2010). Ketersediaan pakan, cover, air dan komponen
habitat dibutuhkan untuk memelihara fungsi fisiologi dasar satwa untuk bertahan hidup dan
bereproduksi sampai menghasilkan keturunan yang menjadi anggota populasi (Patton 2011).
Kerusakan dan hilangnya habitat saat ini menjadi faktor ancaman utama bagi
keberlangsungan suatu populasi termasuk bekantan.Berdasarkan hasil PHVA bekantan tahun
2004, disebutkan bahwa populasi bekantan di seluruh Pulau Kalimantan diperkirakan sebanyak
25.000 individu (Manansang et al., 2005), dan telah terjadi penurunan populasi lebih dari 70%
dalam kurun waktu tiga generasi (Boonratana et al., 2020). Penelitian mengenai perseberan dan
upaya konservasi bekantan perlu dilakukan karena sebagai dasar untuk perlindungan dan
pembinaan populasi bekantan di Kalimtan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana persebaran spesies Bekantan di Kalimantan Selatan?
2. Bagaimana Status Keberadaan Bekantan menurut IUCN?
3. Bagaimana upaya konservasi Bekantan di Kalimantan ?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana persebaran spesies Bekantan di Kalimantan. Selatan
2. Untuk mengetahui bagaimana Status Keberadaan Bekantan menurut IUCN.
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya konservasi Bekantan di Kalimantan.

1.4. Manfaat
Adapun manfaat dalam tulisan ini harapannya dapat memberikan informasi tentang
persebaran, status keberaadaan dan konservasi dari Bekantan di Kalimantan Selatan.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Persebaran Spesies Bekantan di Kalimantan Selatan


Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) adalah jenis satwa primata endemik Borneo, yang
sebarannya meliputi tiga negara yakni: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Habitat
bekantan bervariasi, yaitu di hutan mangrove, rawa gambut, hutan tepi sungai (Salter et al. 1985,
Matsuda et al. 2010), hutan Dipterocarpaceae, hutan kerangas (Salter et al. 1985, hutan rawa
gelam, hutan karet dan hutan bukit kapur/karst (Soendjoto 2005, Soendjoto et al. 2006). Namun
demikian, populasi bekantan dinyatakan terancam punah karena wilayah sebaran yang terbatas,
hanya di Borneo, serta tingkat gangguan habitat yang sangat tinggi karena konversi lahan hutan,
perambahan hutan, penebangan hutan, dan perburuan satwa. Menurut McNeely et al. (1990),
luas habitat bekantan telah berkurang sebanyak 40%, yakni dari 29.500 km2 menjadi sekitar
17.700 km2 .
Berdasarkan status dan fungsi kawasan maka hanya 4,1% yang termasuk kawasan
konservasi. Meijaard & Nijman (2000) menyatakan bahwa pada tahun 1995 dari enam tipe
ekosistem habitat bekantan, telah terjadi penurunan luas habitat berkisar antara 20-88%. Laju
penurunan luas habitat bekantan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, adalah 2% per
tahun (Manansang et al. 2005). Tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan bahkan meningkat
menjadi 3,49% per tahun (Bismark 2009). Akibat degradasi habitat tersebut populasi bekantan
terus mengalami penurunan secara drastis. MacKinnon (1987) menduga populasi bekantan di
Indonesia pada tahun 1987 berjumlah 260.950 individu dengan kepadatan 25 individu/km2 .
Selama kurun waktu 10 tahun, populasi bekantan menurun hingga tersisa sebanyak 114.000
individu (Bismark & Iskandar 2002). Di antara jumlah populasi tersebut diduga sebanyak
25.625 individu berada di dalam kawasan konservasi (BEBCI 2007 dalam Kartono et al. 2008),
namun menurut simposium Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) bekantan
tahun 2004, populasi bekantan ditaksir tinggal 25.000 individu dan sekitar 5.000 individu hidup
di dalam kawasan konservasi (Ditjen PHKA 2012). Stark et al. (2012) bahkan memperkirakan
bahwa populasi bekantan di Kalimantan akan terus mengalami penurunan sampai lebih dari
setengah pop ulasi yang ada saat ini, dan menuju kepunahan dalam kurun waktu kurang dari 27
tahun jika tidak ada upaya peningkatan pengelolaan habitat. Berikut dibawah ini Persebaran dan
Populasi Bekantang di Daerah Kalimantan.
3.1.1 Persebaran dan Populasi Bekantan di Delta Berau Kalimantan
Menurut penelitian yang dilakukan atmoko at al (2020) menyatakan bahwa populasi
bekantan di Delta Berau dan sekitarnya diperkirakan berkisar antara 1.350-1.774 ekor yang
terbagi dalam 126 kelompok. Sebanyak 115 kelompok diantaranya adalah kelompok one-male
group (OMG), 5 kelompok all-male group (AMG), satu ekor jantan dewasa soliter yang dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran dan populasi bekantan di Delta Berau

3.1.2 Persebaran dan Populasi Bekantan di Rawa Gelam Kalimantan Selatan


Menurut penelitian yang dilakukan sofian at al (2020) menyatakan bahwa dari habitat
bekantan di kawasan Rawa Gelam seluas 240 ha, dari empat kali pengamatan yang dilakukan,
ditemukan sebanyak sembilan kelompok bekantan, dengan jumlah 192 individu (Gambar 1).
Kepadatan populasi bekantan di kawasan ekosistem Rawa Gelam adalah 28,34 individu/km2
dengan kepadatan kelompok 1,34 kelompok/km2.

Gambar 1. Struktur populasi bekantan di Rawa Gelam

3.1.2 Persebaran dan Populasi Bekantan di Suaka MargaSatwa Kuala Lupak Kalsel
Jumlah individu bekantan yang teramati secara langsung pada konsentrasi di tapak
referensi dan tapak model 1 berkisar antara 77-158 individu dengan rata-rata 103,67 individu.
Lebarnya selang jumlah individu bekantan disebabkan karena adanya individu yang tidak
teramati pada saat pengamatan di hari yang berbeda. Dugaan populasi pada areal 195 ha adalah
139 ± 43 individu, dengan kepadatan populasi 0,81 individu/ha atau 81 individu/km2 pada
kondisi vegetasi yang mengalami hambatan regenerasi dengan kerapatan tegakan. Berikut
struktuk populasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi populasi kelompok bekantan di SM Kuala Lupak
3.2. Status Konservasi Bekantan menurut IUCN
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) adalah satwa primata langka dan dilindungi. Status
konservasi bekantan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural
Resources) adalah terancam punah (endangered species) (Boonratana et al., 2020), selain itu
jenis ini juga masuk dalam Apendiks I CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna & Flora) (CITES, 2017). Perlindungan bekantan di
Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial dengan adanya Peraturan Perlindungan Binatang
Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie) tahun 1931 (Atmoko, 2016). Selanjutnya pemerintah
Indonesia memperkuat status perlindungan yang sudah ada melalui Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang lampirannya telah
diperbarui melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun
2018.
3.3. Upaya Konservasi Bekantan di Kalimantan
Satu aspek penting dalam upaya konservasi adalah memperhatikan kesedian pakan.
Pakan merupakan salah satu kaidah utama dalam mempelajari habitat satwa liar. Keberadaan
pakan yang akan menjamin keberadaan satwa tersebut di suatu lokasi. Tingkat kecukupan pakan
juga sangat berpengaruh terhadap populasi satwa dan menjadi indikator kesehatan habitat satwa
tersebut. Satwa memilih pakan yang tersedia di lapangan. Beberapa pakan lebih dipilih dan
disukai dibanding pakan lain walaupun ketersediaannya sama (Indriyanto, 2006; Harahab, 2010;
Jaelani and Ni’mah, 2019).
Berkenaan dengan ketersediaan pakan bagi Bekantan maka mangrove yang ditanam
harus berjenis mangrove rumbia (Sonneratia Caseolaris). Di Kalimantan Selatan khususnya
Pulau Curiak di Kabupaten Barito Kuala konservasi Bekantan dilakukan melalui model
konservasi insitu. Konservasi insitu merupakan upaya konservasi pada habitat asli dan masih
terdapat populasi bekantan, seperti pada wilayah taman nasional, cagar alam, hutan lindung,
sanctuary, dan suaka margasatwa. Dengan menjaga tanaman mangrove rambai, maka kita
berkontribusi dalam menjaga pakan Bekantan. Demikian, bisa dipastikan bahwa Bekantan tidak
kekurangan pakan untuk tumbuh dan berkembang di Pulau Curiak (Soendjoto, 2011; Ajidayanti
and Abbas, 2019).
Hasil penelitian Javied et al (2022) menyatakan bahwa dapat dilakukan pengembangan
ekowisata berbasis konservasi bekantan. Ekowisata berbasis konservasi bekantan adalah wisata
berkelanjutan dengan menjadikan konservasi satwa langka yaitu bekantan sebagai atraksi dengan
tujuan menjadikannya sebagai wadah edukasi yang memberikan pemahaman konservasi
bekantan. Permasalahan arsitektural yang diangkat adalah bagaimana rancangan kawasan
ekowisata berbasis konservasi bekantan yang edukatif dan meminimalkan dampak kerusakan
serta gangguan pada lingkungan setempat.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb, 1781) adalah jenis satwa primata endemik Borneo, yang
sebarannya meliputi tiga negara yakni: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Habitat
bekantan bervariasi, yaitu di hutan mangrove, rawa gambut, hutan tepi sungai, hutan
Dipterocarpaceae, hutan kerangas, hutan rawa gelam, hutan karet dan hutan bukit
kapur/karst.
2. Status konservasi bekantan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature
& Natural Resources) adalah terancam punah (endangered species), selain itu jenis ini juga
masuk dalam Apendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna & Flora) (CITES, 2017).
3. Upaya konservasi dengan dilakukannya relokasi perbaikan habitat untuk ketersediann
pangan dari Bekantan. Keberadaan pakan yang akan menjamin keberadaan satwa tersebut di
suatu lokasi. Tingkat kecukupan pakan juga sangat berpengaruh terhadap populasi satwa dan
menjadi indikator kesehatan habitat satwa tersebut.
3.2. Saran
Penelitian tentang populasi, persebaran dan upaya konservasi bekantan di Kalimantan
Selatan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Perlu adannya kesadaran bukan hanya dari
pemerintah untuk menjaga keberadaan dari salah satu hewan endemic maupun mascot dari di
Kalimantan Selatan Ini. Selain itu,dari berbagai hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan
untuk menjadi sumber informasi dan dasar untuk menjadi kerja sama dengan masyarakat terkait
untuk mengatasi kepunahan dari hewan ini..
DAFTAR PUSTAKA

Atmoko T. (2015). Habitat dan penyebaran bekantan di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Di
dalam: Alikodra HS, Bismark M, Sondjoto MA, editor. Perjuangan Melawan Kepunahan.
Bogor: IPB Press. hlm. 119–140.

Atmoko T. (2016). State of the art penelitian dan upaya konservasi bekantan (Nasalis larvatus)
di Kalimantan. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balitek KSDA. Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek
KSDA). hlm. 49–66.

Atmoko T, Mardiastuti A, Bismark M, Prasetyo LB, Iskandar E. (2020). Habitat suitability of


proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Berau Delta, East Kalimantan, Indonesia.
Biodiversitas 21: 5155-5163.

Atmoko T , Mardiastuti A, Bismark M, Prasetyo L, and Iskandar E. (2021). The Population and
Distribution of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Berau Delta. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea. 10(1), 11-23.

Atmoko T , Mardiastuti A, Bismark M, Prasetyo L, and Iskandar E. (2022). Ekowisata Berbasis


Konservasi Bekantan. Journal of architecture. Vol (11) No 1 Halaman 11-23.

Bismark M, Iskandar S. (2002). Kajian total populasi dan struktur sosial bekantan (Nasalis
larvatus Wurmb.) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Bul. Penelit. Hutan.
631:17–29.

CITES Appendices I, II and III. Conv. Int. Trade Endanger. Species Wild Fauna Flora.(4
October). Tersedia pada: www.cites.org

IUCN. (2014). IUCN Red list of threatened animals. Switzerland: IUCN, Gland.

Iskandar S, Alikodra H, Bismark M, dan Kartono A. (2017). Population and Conservation


Status of Proboscis Monkeys (Nasalis larvatus Wurmb. 1787) in Rawa Gelam Habitat, South
Kalimantan. Jurnal penelitian hutan dan konservasi alam. Volume (14) No 2 dan
halaman 123-132.

Faruqy J, Muchamad B. (2022). Ekowisata Berbasis Konservasi Bekantan. Journal of


architecture. Vol 11 (1).
Puspitasari A , Erianto, Rifanjani S. (2019). Population Of Bekantan (Nasalis larvatus) In The
Mangrove Forest Setingga Asin River Sebubus Village Paloh District Sambas Regency.
Jurnal Hutan Lestari. Vol. 7 (3) : 1434 – 1438

Roos C, Boonratana R, Supriatna J, Fellowes JR, Groves CP, Nash SD, Rylands AB,
Mittermeier RA. (2014). An update taxonomy and conservation status review of asian
primates. Asian Primates J. 4(1):1–38. SSN 1979-1631.

Sebastian AC. (2000). Proboscis monkey in Danau Sentarum National Park. Borneo Res. Bull.
31:359–371.

Suwarto, Prasetyo LB, Kartono AP. (2016). Kesesuaian habitat bekantan (Nasalis larvatus
Wurmb, 1781) di hutan mangrove Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Bonorowo
Wetl. 6(1):12–25.

Anda mungkin juga menyukai