Anda di halaman 1dari 63

STUDI POPULASI DAN HABITAT LUTUNG JAWA

(Trachypithecus auratus E Geoffroy 1812)


DI KAWASAN HUTAN MANGROVE MUARA BENDERA
RPH MUARA GEMBONG, KABUPATEN BEKASI

SKRIPSI

Ahmad Ansharuddin
41205425117075

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS NUSA BANGSA
BOGOR
2020
STUDI POPULASI DAN HABITAT LUTUNG JAWA(Trachypithecus auratus E
Geoffroy 1812)DI KAWASAN HUTAN MANGROVE MUARA BENDERA
RPH MUARA GEMBONG, KABUPATEN BEKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program
Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Nusa Bangsa

Oleh:
Ahmad Ansharuddin
41205425117075

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
PEMINATAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN
UNIVERSITAS NUSA BANGSA
BOGOR
2020

ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Studi Populasi dan Habitat Lutung
Jawa (Trachypithecus auratus E Geoffroy 1812) di kawasan Hutan Mangrove Muara
Bendera RPH Muara Gembong Kabupaten Bekasi” adalah benar hasil karya saya
sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.

Bogor, November 2020


Penulis

Ahmad Ansharuddin
NIM 41205425117075

iii
RINGKASAN

AHMAD ANSHARUDDIN. Studi Populasi dan Habitat Lutung Jawa


(Trachypithecus auratus E Geoffroy 1812) di Kawasan Hutan Mangrove Muara
Bendera RPH MuaraGembong Kabupaten Bekasi. Dibawah bimbingan ZAINAL
MUTTAQIN dan SOFIAN ISKANDAR.

Lutung Jawa (Trachypithecus auratus E Geoffroy 1812) adalah jenis primata


diurnal dan arboreal yang hidup dihutan dataran rendah hingga dataran tinggi, baik di
hutan primer maupun sekunder serta daerah perkebunan dan hutan bakau. Primata ini
merupakan salah satu komponen ekosistem yang memiliki nilai penting bagi
kelangsungan keberadaan hutan dan kehidupan manusia. Saat ini Lutung Jawa
mengalami ancaman kepunahan karena populasinya cenderung terus menurun akibat
dari perburuan dan degradasi habitat. Sehingga perlu dilakukannya pemantauan
secara berkesinambungan agar dapat diketahui bagaimana perkembangan populasi
dan habitat lutung terkini. Untuk itulah maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan
mengetahui jumlah individu, struktur umur,nisbah kelamin populasi serta kondisi
terkini habitat Lutung jawa yang ada di Muara Bendera desa Pantai Bahagia, Muara
Gembong.
Adapun metode penelitian yang digunakan sebagai berikut : untuk menentukan
populasi Lutung Jawa adalah dengan metode “Pengamatan Terkonsentrasi dimana
data perhitungan populasi terdiri atas parameter sebagai berikut: jumlah kelompok,
jumlah individu, sex ratio dan struktur umur Lutung Jawa. Pengamatan dilakukan
pada saat jam aktif lutung yakni dari pukul 06.00 (pagi hari) sampai 18.00 (sore hari),
masing-masing kelompok diamati sebanyak 2 kali pengulangan (Surya, 2010).
Sedangkan untuk Analisis vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan metoda
kombinasi antara metoda jalur dan metoda garis berpetak.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa populasi Lutung Jawa adalah Kepadatan
populasi Lutung Jawa yaitu sebesar 12 ind/ha, berjumlah 48 ekor, nisbah kelamin 1:7,
dan struktur umur didominasi oleh dewasa. Sedangkan jenis tumbuhan paling
dominan adalah Api-api (Avicennia marina) dengan INP mencapai 111,88%.dan
kerapatan 86,11 batang/ha, kemudian Api-api (Avicennia lanata) dengan INP
106,58% dan kerapatan 88,89 batang/ha, serta Pidada (Sonneratia caseolaris) dengan
INP 81,52% dan kerapatan 33,33 batang/ha. Pohon-pohon dengan morfologi besar
khususnya Pidada (Sonneratia caseolaris) dijadikan sebagai shelter/ cover bagi
lutung jawa.

Kata kunci : Trachypithecus auratus,populasi, habitat, Muara Gembong.

iv
ABSTRAK

AHMAD ANSHARUDDIN. Studi Populasi dan Habitat Lutung jawa


(Trachypithecus auratus E Geoffroy 1812) di Kawasan Hutan Mangrove Muara
Muara Bendera RPH Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Dibawah bimbingan
ZAINAL MUTTAQIN dan SOFIAN ISKANDAR.

Saat ini, keberadaan populasi Lutung Jawa (Trachypithecus auratus E Geoffroy


1812) mengalami ancaman kepunahan karena populasinya cenderung terus menurun
akibat dari perburuan dan degradasi habitat. Sehingga perlu dilakukannya
pemantauan secara berkesinambungan agar dapat diketahui bagaimana perkembangan
populasi dan habitat lutung terkini. Untuk itulah maka tujuan penelitian ini adalah
mengetahui jumlah individu, struktur umur,nisbah kelamin populasi serta kondisi
terkini habitat Lutung Jawa yang ada di Muara Bendera desa Pantai Bahagia, Muara
Gembong. Metode penelitian yang digunakan yaitu untuk menentukan populasi
Lutung Jawa dengan mengunakan metode “Pengamatan Terkonsentrasi dimana data
perhitungan populasi terdiri atas parameter sebagai berikut: jumlah kelompok, jumlah
individu, sex ratio dan struktur umur Lutung Jawa. Sedangkan untuk Analisis
vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan metoda kombinasi antara metoda jalur
dan metoda garis berpetak. Hasil menunjukan bahwa populasi Lutung Jawa adalah
Kepadatan populasi Lutung Jawa yaitu sebesar 12 ind/ha, berjumlah 48 ekor, nisbah
kelamin 1:7, dan struktur umur didominasi oleh dewasa. Jenis tumbuhan paling
dominan adalah Api-api (Avicennia marina) dengan INP mencapai 111,88%. dan
kerapatan 86,11 batang/ha, kemudian Api-api (Avicennia lanata) dengan INP
106,58% dan kerapatan 88,89 batang/ha, serta Pidada (Sonneratia caseolaris) dengan
INP 81,52% dan kerapatan 33,33 batang/ha. Pohon-pohon dengan morfologi besar
khususnya Pidada (Sonneratia caseolaris) dijadikan sebagai shelter/ cover bagi
lutung jawa.

Kata kunci : Trachypithecus auratus,populasi, habitat, Muara Gembong.

v
ABSTRACT

AHMAD ANSHARUDDIN. Population and Habitat Study of Javan Lutung


(Trachypithecus auratus E Geoffroy 1812) in the Mangrove Forest Area of Muara
Bendera RPH Muara Gembong, Bekasi Regency.Under the guidance of ZAINAL
MUTTAQIN and SOFIAN ISKANDAR.

Currently, the Javan Lutung (Trachypithecus auratus E Geoffroy 1812) population


is threatened with extinction because the population tends to continue to decline due
to hunting and habitat degradation. So it is necessary to carry out continuous
monitoring in order to know how the current development of the monkey population
and habitat is. For this reason, the purpose of this study is to determine the number of
individuals, age structure, population sex ratio and the current condition of Javan
langur habitat in Muara, Pantai Bahagia village, Muara Gembong. The research
method used is to determine the Javan Langur population using the "Concentrated
Observation method where the population count data consists of the following
parameters: number of groups, number of individuals, sex ratio and age structure of
Lutung. Meanwhile, the analysis of mangrove forest vegetation is carried out by a
combination method between the path method and the checkered line method. The
results showed that the Javan langur population was 12 ind / ha. The population
density of Javan langurs was 48 individuals, the sex ratio was 1: 7, and the age
structure was dominated by adults. The most dominant plant species were fires
(Avicennia marina) with an IVI value of 111.88% and a density of 86.11 stems / ha,
then flames (Avicennia lanata) with an IVI value of 106.58% and a density of 88.89
stems / ha, as well as pidada (Sonneratia caseolaris) with an IVI value of 81.52% and
a density of 33.33 stems / ha. Trees with large morphology, especially chest
(Sonneratia caseolaris) are used as shelters for Javan Langurs.

Key words: Trachypithecus auratus, population, habitat, Muara Gembong.

vi
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Studi Populasi dan Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus


AuratusE Geoffroy 1812) di Kawasan Hutan Mangrove
Muara Bendera RPH Muara Gembong Kabupaten Bekasi
Nama : Ahmad Ansharuddin

NIM : 41205425117075

Program Studi : Kehutanan

Fakultas : Kehutanan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. Zainal Muttaqin,Ir.,MP) (Dr. Sofian Iskandar,Drs.,M.Si)


Tanggal: Tanggal:

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Ketua Program Studi Kehutanan


Universitas Nusa Bangsa Universitas Nusa Bangsa

(Dr. Luluk Setyaningsih,Ir.,M.Si) (Kustin Bintani Meiganati, S.Hut, M.Si)


Tanggal : Tanggal:

Tanggal lulus:

vii
PENGESAHAN TIM PENGUJI
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS NUSA BANGSA

Kami menyatakan bahwa Karya Ilmiah yang ditulis oleh :


Nama : Ahmad Ansharuddin
NIM : 41205425117075
Judul : Studi Populasi dan Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus
AuratusE Geoffroy 1812) di Kawasan Hutan Mangrove
Muara Bendera RPH Muara GembongKabupaten Bekasi

Diterima sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Kehutanan, Fakultas
Kehutanan Universitas Nusa Bangsa.

TIM PENGUJI

Ketua : Dr. Zainal Muttaqin, Ir.,MP (..........................)

Anggota : 1. Dr. Sofian Iskandar, Drs., M.Si (..........................)

2. Ratna Sari Hasibuan, S.Hut.,M.Si (..........................)

3. Messalina L. Salampessy, S.Hut.,M.Si (..........................)

4. Dr. Luluk Setyaningsih,Ir.,M.Si (..........................)

Tanggal sidang : 01 Desember 2020

viii
UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa syukur penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses penyelesaian penyusunan skripsi ini, terutama yang saya
hormati:

1. Bapak Dr. Zainal Muttaqin,Ir.,Mp sebagai dosen pembimbing pertama dan bapak
Dr. Sofian Iskandar,Drs.,M.Si sebagai dosen pembimbing kedua atas bimbingan,
saran, serta nasehatnya yang telah diberikan kepada penulis.
2. Dekan Fakultas Kehutanan, Universitas Nusa Bangsa ibu Dr. Luluk
Setyaningsih, Ir.,M.Si atas pembinaan, dukungan dan fasilitas selama penulis
kuliah
3. Ketua Program Studi Fakultas Kehutanan, Universitas Nusa Bangsa ibu Kustin
Bintani Meiganati S.hut, M.Si sekaligus sebagai dosen Pembimbing Akademik
atas bimbingan, saran, serta nasehat selama penulis kuliah.
4. Perhutani Bogor, BKPH Ujung Krawang, RPH Muara Gembong, Pak Narto dan
rekan-rekan
5. Kepala Desa pak Maman Suryaman, Sekdes Pak Ahmad Kurtubi, Perangkat
Desa dan masyarakat Desa Pantai Bahagia
6. Ibu Messalina L. Salampessy, S.Hut.,M.Si yang telah memberikan judul
penelitian dan Bapak Tomy Pesiwarissa yang memberikan dukungan semangat
7. Papa, Mama, adik-adik, keluarga marga UAT, serta keluarga mbah Budin.
8. Rekan-rekan team penelitian di Muara Gembong Elfis Metkono, Nelson Dicky
O, Zubair Syaifuddin, Steven Jonathan Adu, Adrian Risad Sianresy, serta Ari
Syamsudin Uwa
9. Abang Kosmus Imbiri S.p dengan keluarga kecilnya
10. Ni Kadek Yudia Susanti E50, Adjie Romanoputra E50, M.Muhajir Hasibuan
E51 dan Ismul E51
11. Pak Dusun Warnata dan keluarga
12. Pak Daman dan keluarga
13. Pak Son Aji dan keluarga besar Pokdarwis
14. Keluarga GAMINOR
15. Pak dokter Dr Trevino A. Pakasi MS, PhD dan Om Imanuel Taloen beserta
keluarga

ix
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “Studi Populasi dan Habitat Lutung Jawa
(Trachypithecus Auratus) di Kawasan Hutan Mangrove Muara Bendera RPH Muara
GembongKabupaten Bekasi”. Skripsi ini merupakan syarat agar penulis untuk
memperoleh gelar sarjana.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari peranan beberapa pihak yang sangat
membantu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada bapak Dr. Zainal Muttaqin,Ir.,MP selaku DosenPembimbing I, dan kepada
bapak Dr. Sofian Iskandar,Drs.,M.Si selaku DosenPembimbing II yang telah
membantu mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini serta kepada ibu
Mesalina L. Salampessy,S.Hut.,M.Siselaku dosen yang memberikan saran tentang
judul penelitian ini dan selalumemberikan motivasi dan dukungan moral.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan
banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga Skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, aamiin!

Bogor, November 2020

Penulis

x
DAFTAR ISI

Halaman

UCAPAN TERIMAKASIH......................................................................................................ix
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................x
DAFTAR ISI.............................................................................................................................xi
DAFTAR TABEL................................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................... xvi
1. PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................................... 3
E. Batasan Penelitian ............................................................................................................ 4
F. Kerangka Pemikiran ......................................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 6
A. Taksonomi dan morfologi lutung ..................................................................................... 6
B. Populasi ............................................................................................................................ 7
C. Metode inventarisasi mamalia .......................................................................................... 7
D. Habitat .............................................................................................................................. 9
E. Hutan mangrove ............................................................................................................. 10
III. METODE PENELITIAN.................................................................................................. 11
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................................... 11
B. Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................................. 12
C. Metode Penelitian........................................................................................................... 13
1. Menentukan lokasi pengamatan ............................................................................. 14
2. Identifikasi populasi Lutung....................................................................................14
3. Identifikasi umur Lutung.........................................................................................15

xi
4. Identifikasi habitat Lutung......................................................................................15

D. Analisis Data .................................................................................................................. 17


1. Populasi lutung jawa .............................................................................................. 17
2. Habitat lutung jawa ................................................................................................ 18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 19
A. Hasil .............................................................................................................................. 19
1. Populasi lutung ....................................................................................................... 19
a. Ukuran populasi..................................................................................................18
b. Struktur umur.....................................................................................................18

c. Nisbah kelamin...................................................................................................19

2. Habitat lutung..........................................................................................................20
a. Kerapatan............................................................................................................20

b. Kerapatan relatif.................................................................................................20

c. Frekuensi............................................................................................................21

d. Frekuensi relatif..................................................................................................21

e. Dominansi..........................................................................................................22

f. Dominansi relatif................................................................................................22

g. Indeks Nilai Penting...........................................................................................23

B. Pembahasan .................................................................................................................... 24
1. populasi ................................................................................................................ 214
Ukuran populasi .................................................................................................. 214
Struktur populasi....................................................................................................26

Nisbah kelamin.......................................................................................................27

2. Habitat .................................................................................................................. 229


Struktur vegetasi dan komposisi............................................................................29
V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................... 32
A. Simpulan ........................................................................................................................ 32
B. Saran ............................................................................................................................... 32

xii
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 33
LAMPIRAN............................................................................................................................ 39
RIWAYAT HIDUP..................................................................................................................45

xiii
DAFTAR TABEL

No. .......................................................................................................... Halaman


1. Penggunaan lahan Desa Pantai Bahagia......................................................12
2. Alat dan Bahan Penelitian............................................................................12
3. Ukuran populasi............................................................................................18
4. struktur umur lutung jawa berdasarkan rata-rata tahunan........................... 19
5. Nilai kerapatan tingkat pohon......................................................................20
6. Nilai kerapatan tingkat pancang...................................................................20
7. Nilai kerapatan relatif tingkat pohon............................................................21
8. Nilai kerapatan relatif tingkat pancang.........................................................21
9. Nilai frekuensi tingkat pohon.......................................................................21
10. Nilai frekuensi tingkat pancang..................................................................22
11. Nilai frekuensi relatif tingkat pohon..........................................................22
12. Nilai frekuensi relatif tingkat pancang.......................................................22
13. Nilai dominansi tingkat pohon...................................................................23
14. Nilai dominansi relatif tingkat pohon.........................................................23
15. Nilai INP tingkat pohon.............................................................................24
16. Nilai INP tingkat pohon.............................................................................24

xiv
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Kerangka Pemikiran..................................................................................5
2. Peta muara Gembong...............................................................................11
3. Analisis Vegetasi.....................................................................................15
4. Piramida kelas umur Lutung...................................................................19

xv
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Lampiran 1 hasil perhitungan INP pohon pidada ..........................................39
2. Lampiran 2 hasil perhitungan INP pohon api-api marina...............................40
3. Lampiran 3 hasil perhitungan INP pohon api-api lanata.................................41
4. Lampiran 4 hasil perhitungan INP pohon keseluruhan...................................42
5. lampiran 5 hasil pengamatan lutung................................................................43
6. lampiran 6 foto kegiatan penelitian.................................................................44

xvi
1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekosistem hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia, yang


tumbuh berkembang pada lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh pasang surut
yang menggenangi pada aliran sungai yang terdapat di sepanjang pesisir pantai
(Tarigan, 2008). Ekosistem hutan mangrove tersusun oleh tumbuhan yang termasuk
dalam kelompok Sonneratia alba, Rhizophora Mucronata, sedangkan zona yang
mengarah ke darat ditumbuhi oleh jenis Bruguiera spp. Dan Xylocarpus sp
(Kusmana, 2002).
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang berada di daerah pantai berair
tenang dan terlindung dari pengaruh ombak besar, yang digenangi oleh aliran air laut
dan aliran air tawar dari darat. Ekosistem mangrove tumbuh dan berkembang terus
serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Fungsi
fisik ekosistem mangrove, antara lain menjaga garis pantai dan tebing sungai dari
erosi/abrasi agar tetap stabil, mengendalikan intrusi air laut, melindungi daerah di
belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang. Fungsi biologis
yaitu tempat mencari makan (feeding ground). tempat memijah (spawing ground) dan
tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan
biota laut lainya. Fungsi ekonomi mangrove berupa non kayu, hasil hutan bakau kayu
seperti madu, obat-obatan, minuman, makanan dan lain-lain (Kusmana, 1995).
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) adalah hewan diurnal dan arboreal. Satwa
ini melompat dari satu cabang pohon menuju pohon lain yang sangat tinggi dan jarak
lompatnya mencapai 3 meter (Rowe, 1996). Lutung jawa hidup di hutan dataran
rendah hingga dataran tinggi, baik di hutan primer maupun sekunder. Mereka juga
mendiami daerah perkebunan dan hutan bakau (Supriyatna dan Wahyono, 2000).

1
Lutung jawa (Trachyphitecus auratus) adalah satwa endemik Pulau Jawa, dan
tersebar di Pulau Bali dan Lombok (Brandon-Jones 1995; Nijman, 2000)
menggambarkan sebuah sub spesies baru mungkin dari Indocina. Para lutung jawa
ditemukan agak umum di Gunung Prahu, Indonesia (Nijman dan van Balen, 1998).
Spesies ini telah ditemukan di hutan primer dan sekunder, baik di pedalaman dan di
tepi hutan (Ecotone) (Nijman dan van Balen, 1998;. Gurmaya et al., 1994). Di Taman
Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat, spesies ini ditemukan di semua tingkat strata
hutan kecuali tanah (Gurmaya et al.,1994). Akibat pengurangan habitat untuk
berbagai keperluan manusia, maka semenjak tanggal 22 September 1999, lutung jawa
telah dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa liar, Juga berdasarkan SK. Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang jenis
tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Menurut CITES, lutung jawa termasuk dalam
kategori Appendix II (Satwa yang tidak boleh di perdagangkan karena keberadaannya
terancam punah) dantahun 2020 oleh IUCN masih diketegorikan sebagai primata
yang rentan (vulnerable) terhadap gangguan habitat karena terus terdesak oleh
kepentingan manusia (Supriatna dan Wahyono, 2000).
Primata merupakan salah satu komponen ekosistem yang memiliki nilai penting
bagi kelangsungan dan keberadaan hutan dan kehidupan manusia. Peran primata bagi
kelestarian ekosistem hutan antara lain sebagai pemencar biji vegetasi hutan,
mediator penyerbukan dan penambah volume humus untuk kesuburan tanah.
Berdasarkan anatomi, primata memiliki kemiripan dengan manusia, sehingga sering
digunakan sebagai bahan penelitian biomedis (Wijaya 2006). Lutung memiliki arti
penting sebagai indikator kelestarian lingkungan, karena lutung tidak dapat hidup
pada hutan yang sudah rusak (Apriadi 2018).
Saat ini Lutung Jawa mengalami ancaman kepunahan karena populasinya
cenderung terus menurun akibat dari perburuan dan degradasi habitat. Populasi lutung
jawa terus mengalami penurunan sejak 36 tahun terakhir selama tiga generasi
populasinya menurun hingga lebih dari 30 persen. Hal ini akibat penangkapan untuk
perdagangan satwa peliharaan secara ilegal, perburuan dan hilangnya habitat

2
(Nijman, et. al., 2008), penurunan populasi dan perubahan distribusi spasial yang
disebabkan oleh kegiatan manusia dan fragmentasi habitat menyebabkan lutung jawa
hidup dalam isolasi (Sulistyadi, 2013), hal ini tidak saja terjadi di Pulau Jawa namun
juga terjadi di Bali (Leca, et al., 2013).
Tingginya degradasi dan fragmentasi habitat hutan memunculkan kekuatiran
mengenai kelestarian populasi lutung jawa yang hidup pada fragmen- fragmen habitat
di Jawa dan Bali. Khususnya pada daerah Muara Gembong karena aktifitas
pembukaan tambak ikan yang mengakibatkan hutan bakau sebagai habitat lutung
jawa semakin berkurang. Penelitian mengenai studi populasi lutung jawa perlu
dilakukan, hal ini terkait belum adanya data terkini tentang populasi lutung jawa di
daerah Muara Gembong sebagai acuan pengelolaan pelestarian pada habitat
alaminya. Ini akan menjadikan penelitian ini sebagai penelitian pertama di Muara
Bendera mengenai studi populasi lutung jawa.

B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan masalah di atas timbul beberapa pertanyaan yang merupakan
ruang lingkup kajian dalam penelitian yaitu: berapa jumlah individu, struktur umur,
dan nisbah kelamin populasi serta kondisi habitat lutung jawa di Muara Bendera, desa
pantai Bahagia, Muara Gembong pada saat ini?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui jumlah individu, struktur umur,nisbah kelamin populasi
2. Mengetahui kondisi terkini habitat Lutung jawa yang ada diMuara Bendera
desa Pantai Bahagia, Muara Gembong.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat
1. Bagi Pemerintah, data ini dapat dijadikan data inventarisasi lutung jawayang ada
di BKPH Ujung Krawang RPH Muara Gembong dan dapatmengetahui langkah
apa yang akan diambil kedepannya dalam usahamelestarikan lutung jawa.
2. Bagi masyarakat Muara Gembong diharapkan akan sadar tentang manfaatlutung
jawa terhadap ekosistem dan mau terlibat dalam menjaga lutungjawa.

3
E. Batasan Penelitian
Penelitian ini difokuskan dan dibatasi pada populasi lutung jawa yang adadi Muara
Bendera Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong (petak 1.A2 RPH Muara Gembong,
BKPH Ujung Krawang, KPH Bogor).

F. Kerangka Pemikiran
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) merupakan salah satu jenis lutung endemik
Indonesia. Satwa yang satu ini termasuk satwa yang sangat rentan turun populasinya
menurut IUCN. Hal ini diantara lain disebabkan oleh perburuan liar, perdagangan
liar, dan perusakan habitat alaminya oleh manusia. Akibat dari perusakan habitat
alami tersebut adalah kurangnya ketersediaan pakan dan ruang habitat bagi lutung
jawa ini (Nursal, 2001). Dengan kurangnya pakan dan ruang habitat ini dapat
mengakibatkan kepunahan lokal lutung jawa atau kadang membuat lutung keluar dari
habitatnya ke daerah-daerah dekat pemukiman warga, sehingga membuat mereka
rentan ditangkap untuk di jual bahkan dalam kasus lain lutung jawa dibunuh karena
dianggap hama pengganggu.
Untuk mengetahui bagaimana keadaan habitat Lutung jawa di Desa Pantai
Bahagia Muara Gembong saat ini diperlukan data mengenai jenis tumbuhan,
keragaman, kerapatan, dan ancaman di habitat tersebut. Salah satu cara yang
digunakan untuk mengetahui bagaimana keadaan habitat ini adalah dengan
menganalisis vegetasi habitatnya, sehingga nantinya dapat diketahui jenis tumbuhan
yangada di habitat tersebut (Soerianegara dan Indrawan, 1978).
Selain itu juga diperlukan data mengenai populasi lutung jawa tersebut baik
ukuran, kepadatan, struktur umur dan sex ratio. Salah satu cara yang dilakukan untuk
mengetahui populasi Lutung jawa ini adalah dengan menggunakan metode
pengamatan terkonsentrasi. Data mengenai populasi dan karakteristik habitatLutung
jawa ini akan digunakan sebagai data dasar bagi kita bersama terutama pihak-pihak
terkait dalam upaya bagaimana melestarikan Lutung jawa yang ada di Desa Pantai
Bahagia Muara Gembong.

4
Lutung Jawa
DiHutan manggorve
Muara Gembong

Status Lutung jawa :


 Sk Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No.P20/MENLHK
/SETJEN/KUM.1/6/2018 : Satwa dilindungi
 CITIES : Appendix II
 IUCN : Vulnerable

Kelestarian lutung Jawa


Populasi : Habitat :

 Ukuran  Kerapatan
 Kepadatan  Keragaman
 Struktur umur  Ancaman
 Sex ratio

Pengamatan Analisis Vegetasi


Terkonsentrasi

Populasi dan Karakteristik


Habitat Lutung Jawa

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Taksonomi dan morfologi lutung
Lutung dalam bahasa lain disebut Langur tergolong ke dalam
genusTrachypithecus. Lutung merupakan salah satu primata endemik pulau
Jawa(Supriatna dan Wahyono, 2000). Klasifikasi Lutung Jawa menurut Grove
(2001)adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Kelas : Mammalia

Ordo : Primata

Famili : Cercopithecidae

Sub famili : Colobinae

Genus : Trachypithecus

Spesies : Trachypithecus auratus (Geoffroy 1812)

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), lutung jawa mempunyai panjangtubuh


dari ujung kepala hingga tungging, jantan dan betina dewasa rata-rata 517 mm, dan
panjang ekornya rata-rata 742 mm. Sedangkan berat tubuhnya rata-rata 6,3 kg. Warna
rambut hitam, diselingi dengan warna keperak-perakan. Bagian ventral, berwarna
kelabu pucat dan kepala mempunyai jambul. Anak Lutung jawa yang baru lahir
berwarna kuning jingga dan tidak berjambul. Setelah meningkat dewasa warnanya
berubah menjadi hitam kelabu.
Perbedaan antara lutung jawa jantan dan betina secara morfologi terletakpada
perkembangan alat kelamin sekunder, sedangkan untuk kelompok umur padaLutung
jawa dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan aktivitas hariannya. Padajantan
dewasa mempunyai ukuran tubuh relatif besar sedangkan pada betinadewasa
memiliki ukuran tubuh lebih kecil atau hampir sama dengan ukuran jantandewasa.
Pada lutung jawa betina rambut bagian punggung lebih hitam dari padawarna
punggung Lutung Jawa jantan (Nugraha, 2011).

6
Terbentuknya kelompok pada satwa diawali dari kebutuhan individu satwa untuk
hidup, kebutuhan tersebut diantaranya adalah kebutuhan dasar yang meliputi makan,
minum, bereproduksi, bergerak, bermain.Besar kecilnya ukuran kelompok sangat
dipengaruhi beberapa hal diantaranya sumberdaya yang ada, penggunaan energi dan
keberadaan predator.jenis primata cenderung berkelompok pada habitat terbuka dan
di daerah kering. Dalam setiap kelompok, terdapat lutung jantan yang bertindak
sebagai pimpinan kelompok dan jumlah kelompok lutung betina dalam kelompok
umumnya lebih banyak dibanding jumlah jantan (Nijman 2000; Febriyanti 2008;
Hendratmoko 2009).

B. Populasi
Alikodra (2002) memberikan definisi populasi sebagai kelompokorganisme
yangterdiri atas individu-individu satu spesies yang mampumenghasilkan keturunan
yang sama dengan tetuanya. Populasi ini dapatmenempati wilayah yang sempit
sampai dengan luas, tergantung pada spesiessatwa dan kondisi daya dukung
habitatnya. Tarumingkeng (1994) mendefinisikanpopulasi sebagai sehimpunan
individu atau kelompok individu suatu jenismakhluk hidup yang tergolong dalam satu
spesies (atau kelompok lain yang dapatmelangsungkan interaksi genetik dengan
individu yang bersangkutan), danmenghuni suatu wilayah atau ruang tertentu pada
waktu tertentu.

C. Metode inventarisasi mamalia


Menurut Kurniawan (2009) metode sampling untuk menginventarisasimamilia
diantaranya sebagai berikut:
1. Metode Transek Jalur (Strip Transect)
Metode ini merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam
pengumpulan data jenis dan jumlah individu satwa liar. Panjang dan lebar jalur
yang digunakan disesuaikan dengan kondisi topografi dan kerapatan tegakan pada
lokasi pengamatan. Data yang dikumpulkan berdasarkan pada perjumpaan
langsung dengan satwa mamalia yang berada pada lebar jalur pengamatan.

7
2. Transek Garis (Line transect)
Pada dasarnya metode transek garis hampir sama dengan transek jalur. Langkah
yang dilakukan juga sama dengan metode transek jalur. Perbedaan yang paling
mendasar diantaranya:
1. metode transek garis tidak ditentukan jarak ke kanan dan ke kiri
2. metode transek garis harus ditentukan jarak antar satwaliar dan pengamat
3. metode transek garis harus ditentukan sudut kontak antara posisi satwa
yang terdeteksi dengan jalur pengamatan
3. Penggunaan perangkap (Trapping)
Metode ini digunakan untuk menginventarisasi mamalia kecil di lantai hutan,
seperti tikus. Perangkat dipasang secara purposive pada habitat tertentu yang
diduga merupakan habitat utama bagi berbagai mamalia kecil, misalnya cerukan
gua, lubang di pohon, bekas lubang di tanah, bekas sampah dan sejenisnya. Hal ini
dimaksudkan agar peluang penangkapan semakin besar perangkap yang digunakan
adalah life trap sehingga satwa yang tertangkap tidak akan mati.
4. Pengamatan terkonsentrasi (Concentration count)
Pengamatan dilakukan terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga sebagai
tempat dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat tersedianya
pakan, air untuk kinum dan sebagainya. Pengamatan dapat dilakuakan pada tempat
yang tersembunyi sehingga tidak mengganggu aktifitas satwa. Data yang diambil
meliputi nama jenis, jumlah individu, struktur sosial (jika ada), jenis kelamin (jika
diketahui), dan luasan lokasi pengamatan untuk menduga kepadatan populasi.
5. Pengamatan cepat (Rapid Assesment)
Metode ini digunakan untuk mengetahui jenis2 mamalia yang terdpat di lokasi
pengamatan. Pengamatan tidak harus dilakukan pada suatu jalur khusus atau lokasi
khusus. Pengamat cukup mencatat jenis-jenis mamlia yang ditemukan misalnya
pada saat melakukan survei lokasi, berjalan diluar waktu pengamatan, dan
sebagainya. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui jeni-jenis mamalia
yang berada dilokasi pengamatan, tetapi tidak dapat digunakan untuk menghitung
pendugaan populasi.

8
D. Habitat
Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuahkawasan
yangterdiri atas komponen fisik maupunbiotik yang merupakan satukesatuan
dandipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwaliar,
habitatsuatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksiantar
komponenfisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liaryang hidup
di dalamnya untuk mendukung kehidupannya, karena habitatmempunyai fungsi
menyediakan makanan, air dan pelindung.
Terdapat keragaman jenis dan struktur fisik hutan sebagai habitat, secaraterpisah
dan bersama-sama menyediakan berbagai relung (niche) yang potensialdalam sebaran
satwa (Bismark, 1994).Struktur fisik hutan sebagai habitat yangterbentuk oleh adanya
perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur, maupun sifattumbuhnya membentuk
statifikasi yang menciptakan relung ekologi tertentuseperti adanya perbedaan
ketinggian makan primata pada pohon (Oates, 1977).
Pada lingkungan dengan kondisi fisik yang ekstrim, aktivitas biologirelatif
kurangberkembang. Sedangkan pada lingkungan yang kondisi fisiknyasesuai,
interaksidalam ekosistem dan habitat secara efektif akan membatasipertumbuhan
populasi satwaliar. Suatu habitat yang digemari oleh suatu jenissatwa belum tentu
sesuai untuk kehidupan jenis satwa yang lain karena padadasarnya setiap jenis satwa
memiliki preferensi habitat yang berbeda-beda.Berkurangnya habitat disebabkan
karena beberapa faktor. Ada tiga faktor utamayang dinilai sangat mempengaruhi
terhadap perubahan habitat, yaitu: aktivitasmanusia, satwa liar dan bencana alam
seperti gunung meletus (Irwanto 2006).
Penggunaan habitat oleh primata tergantung kepada banyaknya pakanyang
tersedia, penyebaran sumber pakan, dan interval musim, jumlah pakan yangtersedia
berpengaruh secara langsung terhadap besarnya kelompok (Fitriani,2006).Pada
habitat alaminya, Lutung mumpunyai jalur-jalur tertentu dalammenempuh perjalanan
harian, mencari makan dan tempat tidurnya.Pemilihanhabitat dan distribusi suatu
individu cenderung dipengaruhi oleh perilaku individutersebut (Krebs, 1985). Lutung

9
mulai tersebar dari rendah hingga daratan tinggi,baik hutan primer maupun sekunder,
daerah perkebunan, pesisir maupun hutanmangrove (Supriatna dan Wahyono., 2000)

E. Hutan mangrove
Hutan mangrove merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyaifungsi
ekologis dan sosial ekonomi.Hutan mangrove termasuk kedalamsumberdaya yang
dapat dipulihkan (renewable resources) yang menyediakanberbagai jenis manfaat
yaitu manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung.Mangrove secara langsung
mendukung perikanan lokal dan perikanan komersial.Hutan mangrove ini juga
menyediakan jasa ekosistem yang bermanfaat bagimasyarakat pesisir, seperti
stabilisasi pantai dan perlindungan badai (Waltersetal., 2008).
Manfaat hutan mangrove akan tetap berkelanjutan apabila
keberadaanhutanmangrove dapat dipertahankan dan dilestarikan. Kecamatan Muara
Gembong merupakan salah satu daerah di Indonesia yang telah mengalamidegradasi
hutan mangrove di wilayah pesisirnya akibat konversi lahan. Menurutdata Perum
Perhutani (2012), luas awal hutan mangrove di Kecamatan MuaraGembong 104,81
ha dan saat ini hanya tersisa seluas 103,75 ha. Penurunan luasanhutan mangrove
disebabkan karena konversi lahan mangrove menjadi tambak.Hal yang sama juga
terdapat di Teluk California, bahwa terjadi peningkatantekanan konversi hutan
mangrove menjadi tambak dan pembangunan pariwisata(Aburto, et al., 2008).
Sedangkan di Nigeria, menurunnya luasan hutan mangrovedisebabkan oleh
penebangan kayu mangrove yang dilakukan oleh masyarakatuntuk kebutuhan lokal
(Mmom dan Arokoyu, 2010).
Keuntungan mengkonversi hutan mangrove hanya bersifat sementara, saatini
berbagai dampak buruk bermunculan di Kecamatan Muara Gembong sepertidua desa
yang hilang terkena abrasi pantai, pemukiman penduduk dan tambak-tambak ikan
pun hilang menjadi lautan.Dampak kerusakan hutan mangrove jugaterjadi di pantai
Teluk Benggala Bangladesh, akibat dari penebangan hutanmangrove menjadi lahan
tambak menyebabkan hilangnya habitat pesisir dan erosipantai, sehingga masyarakat
pesisir sangat rentan terhadap bencana alam (Sarker,2010).

10
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini, secara administratif berada di Petak 1 A.2, Resor Pemangku
Hutan (RPH) Muara Gembong, (BKPH) Ujung Krawang, (KPH) Bogor, Desa Pantai
Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2020.

Gambar 2 Peta Muara Gembong (Sumber : Arcgis)

Secara astronomis Desa Pantai Bahagia terletak pada 106˚58ʾ 52,45”-


107˚02’59,72” BT dan 5˚54’25,83”-5˚57’22,52” LS. Luas Desa Pantai Bahagia
sebesar 1.820,310 Ha, yang terdiri dari lima perkampungan, yaitu
Beting,Blukbuk,Muara Hati, Muara Pecah, dan Muara Bendera. Adapun batas-batas
Desa Pantai Bahagia yaitu sebelah utara Laut jawa, sebelah selatan Desa Pantai
Sederhana, sebelah barat Teluk jakarta, dan sebelah timur Pantai Bakti. Hutan
mangrove yang ada disekitar pemukiman penduduk secara administratif masuk
kedalam wilayah Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Luas wilayah
hutan mangrove di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong 70 Ha yaitu
0,37 % dari luas hutan mangrove Jawa Barat.

11
Topografi Desa Pantai Bahagia relatif datar dengan elevasinnya berkisar 02 mdpl
Jenis tanah alluvial, material lahannya dominan lumpur dan dijumpai sedimentasi di
sekitar Sungai Citarum. Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong masuk ke
wilayah Kabupaten Bekasi. Berdasarakanhasil penelitian Arifah (2016), wilayah
Kabupaten Bekasi menurut klasifikasi iklim Oldemen memiliki tipe iklim B, dengan
suhu udara rata-rata 28°C dan curah hujan rata-rata 2.096mm/ tahun.
Pola penggunaan lahan di Desa Pantai Bahagia digunakan sebagai
tambak/empang, pemukiman penduduk, sawah dan pemakaman.Sebagian besar lahan
digunakan sebagai tambak/empang.Luasan masing-masing penggunaan lahan adalah
pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 1. Penggunaan lahan masyarakat

No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Peresentase


1 Tambak/ empang 2.619 86,7
2 Pemukiman Penduduk 247 8,2
3 Sawah 151 5
4 Pemakaman 3 0,1
Total Luas (Ha) 3.020
Sumber Profil Desa Pantai Bahagia tahun 2019

B. Alat dan Bahan Penelitian


Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian
No. Alat dan Bahan Kegunaan
Alat
1 Alat tulis Mencatat data
2 Kamera Mendokumentasikan
3 Leptop Menyusun dan mengolah data
4 Meteran Mengukur jarak
5 Kompas Menentukan arah
6 Pita ukur Mengukur diameter pohon
Bahan
1 Tally Sheet Panduan pengambilan data
2 Peta kawasan Panduan menuju lokasi

12
C. Metode Penelitian
1. Menentukan lokasi pengamatan Lutung
Metode yang digunakan untuk menentukan lokasi pengamatan lutung
adalah dengan menggunakan metode “Pengamatan Terkonsentrasi”. Menurut
Alikodra (1990), metode terkonsentrasi dilakukan dengan cara menetapkan
lokasi-lokasi yang sesuai dengan pergerakan dan kondisi lingkungan. Metode
area terkonsentrasi dilaksanakan terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga
sebagai tempat dengan peluang perjumpaan satwa tinggi, misalnya tempat
ketersediaan pakan, air untuk minum dan lokasi tidurnya. Pengamatan dapat
dilakukan pada tempat yang tersembunyi sehingga tidak mengganggu
aktivitas satwa (Bismark,2011).
Tahapan yang dilakukan meliputi:
1. Menentukan titik-titik pengamatan dengan melakukan observasi
lapangan atau menanyakan kepada petugas tentang Lutung jawa yang
seringkali dijumpai, berkumpul disuatu tempat dan letak berkumpulnya
(padang rumput dan sumber air atau yang disebut feeding ground).
Pada saat menentuan titik pengamatan ini, peneliti mewawancarai pak
Daman selaku orang yang dikenal sebagai pawang lutung di Muara
bendera bahwasannya titik yang sering di jumpai lutung yaitu lokasi
dengan kordinat 5.937968 S, 106.991825 E (tempat minum lutung),
lokasi dengan kordinat 5.938 S, 106.9907 E (tempat istirahat) dan lokasi
dengan kordinat 5.9382 S, 106.9921 E (tempat tidur). Maka tiga titik
inilah yang menjadi fokus tempat atau lokasi pengamatan peniliti.
2. Menentukan waktu dimulai dan berakhirnya pengamatan. Pengamatan
dilakukan pada saat jam aktif lutung yakni dari pukul 06.00 (pagi hari)
sampai 18.00 (sore hari), masing-masing kelompok diamati sebanyak 2
kali pengulangan (Surya, 2010).
3. Menentukan luas cakupan areal konsentrasi (home range) untuk
menduga rata-rata daya tampung areal. Dalam menentukan luas
cakupan areal terkonsentrasi ini, peneliti melakukan wawancara terhadap

13
pak Daman (pawang Lutung) dan pak Narto (Polhut Perhutani) dan
diperoleh bahwa areal jelajah Lutung di kawasan Muara Bendera seluas 4
ha, dimana dalam 4 ha ini didalamnya terdapat tiga titik pengamatan tadi.
4. Mencatat Lutung jawa yang dijumpai. Parameternya yaitu jumlah
kelompok, jumlah individu, jenis kelamin dan tingkat umur dalam tally
sheet
5. Mencatat kondisi umum areal konsentrasi, seperti vegetasi,sumber air,
sumber pakan dan sebagainya
2. Identifikasi populasi Lutung
Dalam Identifikasi populasi lutung ada beberapa parameter yang diamati
oleh peneliti yaitu diantaranya jenis kelamin Lutung, jumlah kelompok
Lutung serta jumlah individu perkelompok. Untuk menentukan jenis kelamin
Lutung peneliti menggunakan bantuan alat yaitu teropong atau kamera yang
memiliki jarak zoom yang jauh sehingga jenis kelamin lutung dapat di liat
secara jelas. Untuk menentukan kelompok Lutung sekaligus dengan jumlah
individu perkelompok harus dilakukan dengan teliti dan jeli agar
meminimalisir peluang overcounting saat penghitungan jumlah individu dan
jumlah kelompok Lutung. Peneliti membedakan kelompok satu dengan
lainnya yaitu dengan cara mengamati saat Lutung turun dan berjalan menuju
titik tempat minum. Pada saat itu akan terlihat ada jarak antara satu kelompok
Lutung dengan kelompok lainnya. Kemudian peneliti juga mengamati pada
saat Lutung berada di pohon istarahat, pada saat di pohon istirahat ini akan
terlihat jelas kelompok Lutung dimana akan ada pembagian cabang pohon
antara kelompok Lutung yang satu dengan lainnya. Contohnya kelompok satu
berada di cabang pohon sebelah kanan, kelompok dua berada di cabang pohon
sebelah kiri, dan kelompok ketiga berada di cabang pohon yang lebih
diatasnya. Pada saat inilah peneliti sekalian menghitung jumlah individu
perkelompok.

14
3. Identifikasi umur Lutung
Adapun dasar penetapan kelompok umur pada setiap kelompok, peneliti
merujuk pada Ruhiyat 1983 yaitu sebagai berikut:
1. Bayi (0-2 tahun): tubuhnya berwarna jingga dengan ukuran tubuh
lebih kecil dari umur anakan, menyusui pada induk, sering terlihat
dalam gendongan dan selalu bersama induknya.
2. Anak (2-4 tahun): warna tubuh sudah menyerupai dewasa, ukuran
tubuh kurang dari 50% panjang dewasa, warna sudah mulai
menghitam seluruhnya dan tidak menyususi lagi, sering menjelajah
sendiri dan memeperlihatkan prilaku bermain, ekor relatif lebih
pendek serta tubuh terlihat kecil.
3. Remaja (4-8 tahun): lebih kecil dari dewasa, alat kelamin tampak jelas,
ukuran tubuh 50% panjang tubuh dewasa, sudah memasuki minimum
breeding age dan prilaku makan mendominasi.
4. Dewasa (8-20 tahun): pertumbuhan penuh,alat kelamin tampak jelas,
panjang rata-rata 50 cm, terlihat menggendong bayi bagi dewasa
betina dan mengawasi anak. Jantan dewasa tampak memisahkan diri
dan dicirkan dengan prilaku mengawasi kelompoknya.

4. Identifikasi habitat Lutung


Analisis vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan metoda kombinasi
antara metoda jalur dan metoda garis berpetak (Gambar 3) dengan panjang
jalur tergantung kondisi di lapangan. Pada penelitian ini penentuan lokasi
didasarkan pada habitat. Habitat yang dimaksud di penelitian ini adalah
struktur dan komposisi vegetasi hutan mangrove yang sering dijumpai adanya
Lutung. untuk menentukan plot sample analisis vegetasi didasarkan pada jalur
dimana Lutung sering melakukan aktivitas. dimana arah plot berawal dari
daerah tepian sungai Citarum menuju arah utara ke pesisir pantai dengan
jumlah plot sebanyak sembilan plot. Di dalam metoda ini risalah pohon
dilakukan dengan metoda jalur dan permudaan dengan metoda garis berpetak

15
(Onrizal & Kusmana, 2005). Dimana data yang diambil adalah sebagai
berikut:

Ukuran permudaan yang digunakan dalam kegiatan analisis vegetasi hutan


mangrove adalah sebagai berikut (Onrizal, 2008) :

a. Pohon : Pohon berdiameter 10 cm atau lebih.


b. Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan
berdiameter kurang dari 10 cm.
c. Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan
setinggi kurang dari 1,5 m.
d. Tumbuhan bawah : Tumbuhan selain permudaan pohon, misal rumput,
herba dan semak belukar.

Selanjutnya ukuran sub-petak untuk setiap tingkat permudaan adalah


sebagai berikut:
a. Semai dan tumbuhan bawah : 2 x 2 m.
b. Pancang : 5 x 5 m.
c. Pohon : 10 x 10 m.

20
20
m
20

5
2
5
10
00
0

Gambar 3.Desain Kombinasi Metode Jalur dan Metode Garis Berpetak

16
D. Analisis Data

1. Populasi lutung jawa


Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif untuk menghitung ukuran dan
kepadatan populasi, struktur umur dan seks rasio lutung jawa. Ukurandan kepadatan
populasi dihitung menurut persamaan sebagai berikut (Santosa,2014):
Ukuran populasi= ∑ xi ....................(I)
Keterangan:
Σxi : jumlah individu ke-i (ekor)

Kepadatan populasi= ∑𝑥𝑖/𝐴 ...................(II)


Keterangan:
Σxi : jumlah individu ke-i (ekor)
A : luas total area pengamatan (ha)

Struktur umur dihitung berdasarkan persentase jumlah individu tiap kelasumur (1)
dan berdasarkan komposisi struktur umur tahunan (2) sebagaimanapersamaan berikut
(Santosa et. al., 2008; 2014):
Struktur umur = ∑𝑥𝑖/𝑛𝑥 100% (1) ........(III)
Keterangan:
Σxi : jumlah individu ke-i (ekor)
nx : jumlah total individu ke-x atau

Struktur umur= ∑𝑥𝑖/∆𝑡 (2) ....................(IV)


Keterangan:
Σxi : jumlah individu ke-i (ekor)
Δt : selang umur (tahun)

Seks rasio dihitung dengan menggunakan persamaan :


Seks rasio = 𝐽𝑖:𝐵𝑖 ........................(V)
Keterangan :
Ji : jumlah jantan (ekor)
Bi : jumlah betina (ekor)

17
2. Analisis Vegetasi
Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan kedudukan ekologis suatujenis dalam
komunitas dengan kata lain INP digunakan untuk menetapkandominasi suatu jenis
terhadap jenis lainnya. Soerianegara dan Indrawan (2005) menjelaskan mengenai INP
yang dihitung berdasarkan penjumlahan nilaiKerapatan Relatif (KR), Frekuensi
Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


Kerapatan (batang/ha) = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ ...................................(VI)

𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


Kerapatan relatif (%) = kerapatan seluruh jenis X 100%...........................(VII)

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑝𝑙𝑜𝑡𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Frekuensi = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑝𝑙𝑜𝑡𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑢𝑛𝑖𝑡𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ ............(VIII)

𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Frekuensi relatif (%) = jumlah frekuensi seluruh jenisX 100%..............(IX)

𝑙𝑢𝑎𝑠𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Dominansi (m²/ha) = 𝑙𝑢𝑎𝑠𝑢𝑛𝑖𝑡𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ ................................(X)

dominansi tiap jenis


Dominansi relatif (%) =jumlah dominansi seluruh jenisaX100%........................(XI)

Indeks Nilai Penting = KR+FR+DR (pohon) ..............................(XII)

Indeks Nilai Penting = KR+FR (tiang,pancang).........................(XIII)

1
LBDS = 4 𝜋𝑑2 ..........................................................(XIV)

Keterangan:
D = Diameter
KR = Kerapatan Relatif
FR = Frekuensi Relatif
DR = Dominansi Relatif
π = phi = 3,14

18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

1. Populasi Lutung

a. Ukuran populasi
Berdasarkan hasil analisis data lapangan, diperoleh populasi lutung jawa
adalah 48 ekor yang terbagi dalam 3 kelompok , yaitu Kelompok 1 dengan
jumlah 18 individu, Kelompok 2 dengan jumlah 15 individu dan Kelompok
3 dengan jumlah 15 individu (Tabel.3). Ukuran populasi tertinggi adalah
pada kelompok 1 yaitu 18 ekor. Sedangkan kepadatan populasinya adalah 12
individu per hektar dan 0,75 kelompok per hektar (hasil pengamatan dapat
dilihat pada Lampiran 5).

Tabel 3. Ukuran populasi kelompok lutung di Muara Bendera

No Kelompok dewasa Remaja Anakan Bayi Jumlah


Jantan betina (ekor)
1 Kelompok 1 1 8 5 3 1 18
2 Kelompok 2 1 6 5 2 1 15
3 Kelompok 3 1 6 5 3 - 15
Total individu 3 20 15 8 2 48

b. Struktur umur
Pada semua kelompok jumlah betina dewasa lebih banyak dibandingkan
jumlah jantan karena sistem kelompok sosial pada lutung adalah uni-male
group, dimana dalam satu kelompok hanya terdapat satu jantan dewasa,
beberapa individu betina dewasa, beberapa individu anak usia remaja, usia
anak dan bayi. Bayi lutung ditemukan pada 2 kelompok dengan kisaran
umur kurang dari 6 bulan (warna orange) 2 ekor.Tiga kelompok tersebut
masing-masing mempunyai komposisi struktur umur yang lengkap yaitu
dewasa jantan dan betina, remaja dan anak. Berdasarkan data lapangan,
persentase terbesar jumlah individu populasi adalah pada umur dewasa, yaitu
47,92% (Gambar.4).

19
Dewasa
47,92

Remaja
31,25

Anakan
20,84

Gambar 4. Piramida kelas umur lutung jawa

Tabel 4. Perhitungan struktur umur lutung jawa berdasarkan rata-rata


tahunan (Pasaribu 2019)

Kelas Kisaran umur Selang Jumlah Rata-rata


umur (tahun) umur individu tahunan
Dewasa 8-20 12 23 1.9
Remaja 3-8 5 15 3
Anakan 0-3 3 10 3.3

c. Nisbah kelamin
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa lutung di
Muara Bendera, Pantai Bahagia memiliki ratio nisbah kelamin jantan dan
betina 1:7. Ratio nisbah kelamin ini sesuai dengan tipe pada kelompok
lutung yaitu uni-group (one male dan multi-female), yaitu jumlah jantan
hanya ada satu ditiap kelompok.

20
2. Habitat Lutung
Analisis vegetasi dilakukan dengan membuat plot yaitu sebanyak sembilan
plot dengan jarak antar plot berjarak 10 m. Dengan arah plot dari tepian sungai
menuju pesisir pantai. Analisis vegetasi dilakukan pada tingkat pohon,pancang,
semai dan tumbuhan bawah untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur
vegetasi yang menjadi potensi cover sebagai daya dukung terhadap kebutuhan
Lutung Jawa sehari-hari. Adapun hasil analisis vegetasi adalah sebagai berikut
(untuk perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1-4):

a. Kerapatan (K)
Kerapatan suatu jenis dalam komunitas adalah jumlah individu atau
jenis per luas contoh. Nilai kerapatan tertinggi pada tingkat pohon adalah
Avicennia lanata sebanyak 88,89 individu/ha, kemudian jenis Avicennia
marina sebanyak 86,11 individu/ha, dan Sonneratia caseolaris sebanyak
33,33 individu/ha. pada tingkat pancang kerapatan tertinggi jenis Avicennia
lanata yaitu 322,22 dan terendah jenis Avicennia marina yaitu 36,11.

Tabel 5.Nilai kerapatan tingkat pohon

No Jenis Kerapatan (batang/Ha)


1 Avicennia lanata 88,89
2 Avicennia marina 86,11
3 Sonneratia caseolaris 33,33

Tabel 6.Nilai kerapatan tingkat pancang

No Jenis Kerapatan (batang/Ha)


1 Avicennia lanata 322,22
2 Avicennia marina 36,11

b. Kerapatan Relatif (KR)


Kerapatan suatu jenis dalam komunitas adalah jumlah individu atau
jenis per luas contoh. Sebaliknya kerapatan relatif merupakan cara untuk
mengetahui kerapatan jenis terhadap keseluruhan jenis berdasarkan

21
presentase suatu jenis. jenis yang mempunyai nilai kerapatan relatif
tertinggi pada tingkat pohon adalah jenis Avicennia lanata yaitu 42,67%,
Avicennia marina yaitu 41,33% kemudian jenis Sonneratia caseolaris yaitu
16%. Sedangkan pada tingkat pancang KR tertinggi jenis Avicennia lanata
yaitu 89,92% dan terendah jenis Avicennia marina yaitu10,08%.

Tabel 7.Nilai kerapatan relatif tingkat pohon

No Jenis Kerapatan relatif (%)


1 Avicennia lanata 42,67
2 Avicennia marina 41,33
3 Sonneratia caseolaris 16

Tabel 8.Nilai kerapatan relatif tingkat pancang

No Jenis Kerapatan relatif (%)


1 Avicennia lanata 89,92
2 Avicennia marina 10,08

c. Frekuensi (F)
Nilai frekuensi pada tingkat pohon yang paling tinggi terdapat dua jenis
yang mempunyai nilai yang sama yaitu jenis Sonneratia caseolaris dan
Avicennia lanata dengan frekuensi 0,56 disusul oleh frekuensi yang paling
rendah yaitu Avicennia marina sebanyak 0,44. Pada tingkat pancang
frekuensi tertinggi yaitu Avicennia lanata 0,55 dan terendah Avicennia
marina 0,11.

Tabel 9.Nilai frekuensi tingkat pohon

No Jenis Frekuensi
1 Sonneratia caseolaris 0,56
2 Avicennia lanata 0,56
3 Avicennia marina 0,44

22
Tabel 10.Nilai frekuensi tingkat pancang

No Jenis Frekuensi
1 Avicennia lanata 0,55
2 Avicennia marina 0,11

d. Frekuensi Relatif (FR)


Soegianto (1994) menyatakan bahwa frekuensi digunakan untuk
mengetahui proporsi antara jumlah contoh yang berisi atau jenis tertentu
dengan jumlah total contoh. Frekuensi relatif adalah frekuensi dari suatu
jenis dibagi dengan jumlah frekuensi dari semua jenis dalam komunitas.
Frekuensi jenis digunakan untuk mengetahui jumlah jenis yang ditentukan
dalam satu petak contoh. Semakin menyebar suatu jenis, maka semakin
tinggi nilai tingkat frekuensi jenis.

Nilai frekuensi relatif tertinggi pada tingkat pohon terdapat dua jenis
yaitu Sonneratia caseolaris dan Avicennia lanata degan masing-masing
memiliki frekuensi relatif sebesar 35,71% dan Nilai FR yang terendah
adalah Avicennia marina yaitu 28,57%. Pada tingkat pancang FR tertinggi
yaitu Avicennia lanata 83,33% dan terendah yaitu Avicennia marina
16,67%
Tabel 11.Nilai frekuensi relatif tingkat pohon
No Jenis Frekuensi relatif
1 Sonneratia caseolaris 35,71
2 Avicennia lanata 35,71
3 Avicennia marina 28,57

Tabel 12.Nilai frekuensi relatif tingkat pancang

No Jenis Frekuensi relatif


1 Avicennia lanata 83,33
2 Avicennia marina 16,67

23
e. Dominasi (D)
Nilai dominasi yang tertinggi pada tingkat pohon adalah jenis Avicennia
marinayaitu 1,89 kemudian disusul jenisSonneratia caseolaris yaitu 1,34
sedangkan dominasi yang paling rendah adalah jenis Avicennia lanata
yaitu 1,27.

Tabel 13. Nilai dominansi tingkat pohon

No Jenis Dominansi (m²/Ha)


1 Avicennia marina 1,89
2 Sonneratia caseolaris 1,34
3 Avicennia lanata 1,27

f. Dominasi Relatif (DR)


Suatu jenis dalam suatu kelompok yang menentukan atau
mengendalikan jenis lain disebut dominan atau dapat pula disebut jenis
yang merajai, Dominasi merupakan perbandingan antara luas bidang dasar
dengan luas petak contoh, dominasi relatif merupakan dominasi suatu jenis
dari seluruh dominasi jenis. Nilai dominasi relatif tertinggi pada tingkat
pohon adalah jenis Avicennia marina yaitu 41,98%, kemudian disusul oleh
jenis Sonneratia caseolaris yaitu 29,81%, dan Nilai DR yang terendah
adalah Avicennia lanatayaitu 28,20%.

Tabel 14. Nilai dominansi relatif tingkat pohon

No Jenis Dominansi relatif (%)


1 Avicennia marina 41,98
2 Sonneratia caseolaris 29,81
3 Avicennia lanata 28,20

24
g. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks nilai penting merupakan penjumlahan dari KR, FR dan DR. Jenis
yang mempunyai INP yang tertinggi pada tingkat pohon adalah Avicennia
marina 111,88 dari berbagai petak keseluruhan. Kemudian jenis Avicennia
lanata yaitu 106,58 dan jenis yang mempunyai nilai INP terendah adalah
jenis Sonneratia caseolaris yaitu 81,53. Pada tingkat pancang INP tertinggi
adalah Avicennia lanata 173,25 dan terendah adalah Avicennia marina
26,74

Tabel 15. Nilai INP tingkat pohon

No Jenis INP
1 Avicennia marina 111,88
2 Avicennia lanata 106,58
3 Sonneratia caseolaris 81,53

Tabel 16. Nilai INP tingkat pancang

No Jenis INP
1 Avicennia marina 26,74
2 Avicennia lanata 173,25

25
B. PEMBAHASAN
1. Populasi

a. Ukuran populasi

Berdasarkan hasil pengamatan populasi Lutung Jawa yang ada di hutan mangrove
Muara Bendera Desa Pantai Bahagia adalah 48 individu dengan rincian terdiri dari
tiga kelompok. Hal ini berbeda jauh dibandingkan dengan ukuran populasi lutung
budeng di CA. Leuweung Sancang yang lebih besar yaitu 227 individu dengan
rincian terdiri dari 19 kelompok (Pasaribu 2019). Namun lebih besar jika
dibandingkan dengan ukuran populasi yang ada di CA Pananjung Pangandaran yaitu
13 individu dengan rincian terdiri dari 3 kelompok (Leksono,2014). Perbedaan hasil
penelitian di tiga lokasi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu waktu
penelitian, luas areal sampling, dan kondisi ekologis habitat serta tekanan gangguan
habitat. Di hutan mangrove Muara bendera, kondisi habitatnya sudah terdegradasi
yang disebabkan adanya pemanfaatan lahan sebagai tambak. Di CA Leuweung
Sancang habitatnya berupa hutan pantai dan hutan dataran rendah yang kondisinya
masih cukup baik, dan di CA Pananjung Pangandaran berupa hutan hujan dataran
rendah.
Lutung di Muara Bendera berdasarkan pengamatan membentuk kelompok besar
sehingga menyulitkan untuk membagi mereka dalam kelompok-kelompok kecil. Hal
ini berbeda dengan daerah yang lain dimana lutung biasanya terbagi atas kelompok-
kelompok yang sangat jelas. Menurut Henzi et al. (1997) fusion merupakan invers
dari makna fission dalam grup satwa liar yaitu adalah penggabungan beberapa
kelompok kecil satwa menjadi satu kelompok besar dikarenakan adanya suatu
kepentingan bersama yang menguntungkan apabila menjadi satu kelompok besar.
Mekanisme penggabungan kelompok seperti ini banyak terjadi pada saat satwa
melakukan aktivitas mencari makan/foraging (King et al. 2008, Grove 2012).
Beberapa kelompok satwa melakukan mekanisme seperti ini untuk meningkatkan
asupan makanan (Price dan Stoinski 2007, Asensio et al. 2008, Bowler dan Bodmer
2009) serta mengurangi terjadinya konflik di dalam kelompok (Lehmann et al. 2006)

26
yang tergantung pada kondisi lingkungan yang menjadi habitat dari satwa tersebut
(Smith et al. 2008), meskipun di alam fenomena seperti ini jarang terjadi (Young dan
Isbell 1994, Sueur et al. 2010). Konflik dalam kelompok monyet ekor panjang
(MEP), mungkin terjadi karena satwa ini hidup dengan sistem multi male-multi
female (Broom et al. 2004). Fenomena fusion ini mungkin terjadi dalam waktu
singkat/temporary (Kappeler dan van Schaik 2002) ataupun bisa dalam jangka waktu
yang lama/permanent, tergantung kepada bagaimana lingkungan habitat dari satwa
tersebut (Sueur et al. 2010).
Berdasarkan parameter populasi yang telah diketahui di atas, dapat diketahui
kepadatan populasi lutung jawa dengan luasan areal berhutan yang menjadi habitat
lutung. Luas areal berhutan sebesar 4 ha, sehingga kepadatan populasi lutung jawa
sebesar 12 individu/hektar. Kepadatan populasi di lokasi penelitian yang besar ini
disebabkan oleh keberadaan pohon pakan, pohon tidur, dan vegetasi lainnya yang
mendukung aktivitas hariannya, terbatas dan sempit di satu daerah saja sehingga
membuat populasinya terkonsentrasi pada areal 4 ha ini. Selain itu, faktor kemarau yg
terjadi saat penelitian berlangsung juga mempengaruhi mengapa lutung terkonsentrasi
di satu lokasi, karena sumber air sebagai tempat minum hanya tersisa satu. Selain itu,
aktifitas manusia juga ikut berpengaruh, karena spesies ini dikenal sebagai primata
pemalu yang menghindari kontak langsung dengan manusia. Sehingga lutung akan
mencari lokasi dengan tingkat perjumpaan dengan manusia yang paling kecil.
Populasi lutung jawa di Muara Bendera juga tidak tertutup kemungkinan untuk
terjadi penurunan, dari jumlah populasi yang sekarang. Mengingat adanya
penangkapan lutung jawa secara illegal untuk dijual. Manusia merupakan predator
lutung jawa paling utama. Konflik antara manusia dan lutung jawa dapat menjadi
ancaman bagi perlindungan terhadap kelestarian spesies ini, baik itu berupa ancaman
kematian ataupun berpindah mencari habitat yang lebih mendukung. Predator alami
lutung jawa adalah biawak. Selama pengamatan tidak ditemukan adanya perburuan
oleh manusia, namun adanya aktifitas yang disengaja untuk mengusir lutung Jawa
yaitu dengan menembakkan petasan ke arah Lutung Jawa serta terdapat predator
alami yaitu Biawak.

27
b. Struktur umur

Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangbiakan


satwa liar (Alikodra, 2002). Struktur umur lutung jawa didominasi oleh struktur umur
dewasa. Persentase anakan paling rendah , kemudian diikuti oleh persentase remaja.
Struktur umur ini seperti membentuk piramida terbalik dengan pengertian persentase
rendah untuk individu-individu muda, dan semakin besar proporsinya ketika dewasa.
Struktur umur pada populasi lutung jawa di Muara Bendera menunjukkan keadaan
populasi yang kurang berkembang, karena identik dengan bentuk grafik piramida
terbalik. Hal ini dicirikan dengan jumlah bayi dan anak atau kelas umur anakan yang
jumlahnya lebih sedikit (20,84%), dibandingkan dengan kelas umur remaja (31,25%)
dan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kelas umur dewasa (47,92%) hal ini
cenderung sama halnya dengan populasi di CA Pananjung Pangandaran, dimana
persentase struktur umur anak (17%) jauh lebih sedikit dibandingkan dengan struktur
umur dewasa (65%) (Leksono 2014). Namun hal ini bukan berarti populasi yang ada
kurang baik perkembangannya, karena hal itu bisa terjadi apabila kita merujuk pada
Yusril (1999) bahwa laju kematian (Mortality Rate) pada kelas umur muda lebih
banyak disebabkan oleh persaingan dalam memperebutkan status sosial dalam
kelompok, persaingan untuk mendapatkan makanan, air dan ruang. Sedangkan
kematian pada kelas umur anak dan bayi, umumnya disebabkan oleh kecelakaan atau
pemangsaan predator (Priyono 1998). Dengan demikian, perkembangan populasi
lutung jawa di Muara Bendera ini dapat dianggap cukup normal.
Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata tahunan, perbandingan struktur umur
dewasa : remaja : anakan adalah 1,9:3:3,3. Semiadi (2006) menerangkan bahwa
semakin banyak jumlah individu pada kelas umur yang lebih muda mengindikasikan
bahwa populasinya akan meningkat dengan asumsi kematian pada setiap selang
waktu adalah konstan. Struktur umur ini dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
perkembangbiakan satwa serta menduga prospek kelestarian kedepannya (Alikodra
2002).

28
c. Nisbah Kelamin

Seks ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah individu jumlah dan
betina yang dinyatakan sebagai jumlah jantan dalam 100 betina (Alikodra, 2002).
Lutung jawa hidup berkelompok dengan satu jantan dewasa dan beberapa jantan
remaja, betina dan anak-anak (Bennerr and Davies, 1994 dalam Nijman, 2000).
Perbandingan jumlah jantan dan betina hanya dilakukan pada struktur umur dewasa
saja, karena pada struktur umur remaja dan anak sangat sulit membedakan jenis
kelaminnya.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa lutung (T.auratus)
di muara bendera pantai bahagia memiliki perbandingan 1:7 (jantan : betina). Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Hidayatullah (2015) di Resort
Tamanjaya, Taman Nasional Ujung Kulon, yaitu 1:1. Perbedaan ini dapat terjadi
karena sejumlah individu jantan remaja sudah beranjak dewasa dan mulai membentuk
kelompoknya sendiri. Leksono (2014) menjelaskan bahwa Lutung Jawa remaja jantan
akan membentuk kelompok baru apabila sudah mendekati struktur umur dewasa.
Rowe (1996) menjelaskan bahwa lutung jawa merupakan primata yang hidup
berkelompok dengan komposisi satu jantan dan banyak betina (one male,
multifemale). Jumlah individu jantan memang mengalami penurunan dari tahun 2002
sampai tahun 2004. Pada tahun 2002, nisbah kelamin lutung jawa dewasa produktif
adalah 1: 4.3 yang menurun menjadi 1:1.8 pada tahun 2004 (Megantara 2004). Hal ini
bisa terjadi karena terbentuknya kelompok baru. Karena jantan remaja sudah menjadi
dewasa dan membentuk kelompok baru. Selama pengamatan pernah ditemukan
lutung jantan remaja hidup terpisah dari kelompoknya atau soliter. Lutung jawa
remaja jantan tersebut akan membentuk kelompok baru karena sudah mendekati
struktur umur dewasa. Hal ini didukung dengan pernyataan Rowe (1996) yang
menyebutkan bahwa jantan remaja yang meninggalkan kelompoknya sebelum
beranjak dewasa dan akan hidup soliter atau bergabung dengan kelompok yang hanya
terdiri dari individu-individu jantan.

29
2. Habitat Lutung

Struktur vegetasi dan komposisi

Keberadaan Lutung Jawa di hutan mangrove Muara Bendera didukung dengan


vegetasi yang terdapat di dalamnya. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui
komposisi jenis dan dominasi suatu jenis vegetasi pada tingkat tumbuhan bawah,
semai, pancang, tiang, dan pohon sebagai daya dukung terhadap kebutuhan lutung
jawa dalam melakukan aktivitas dan wilayah jelajah sehari-hari di Muara bendera,
selain berfungsi sebagai sumber makanan juga berfungsi sebagai pelindung
(Muntasib dan Pakpahan 1992). Indeks Nilai Penting merupakan parameter
kuantitatif yang biasanya dipakai untuk menunjukan tingkat dominasi suatu jenis
tumbuhan dalam suatu komunitas tumbuhan (Indriyanto 2006). Jenis tumbuhan
dengan INP tertinggi merupakan jenis tumbuhan yang paling dominan pada suatu
komunitas tumbuhan. Farida dan Harun (2000) menjelaskan untuk mempertahankan
keberadaan primata di habitat alaminya, perlu dilakukan identifikasi terhadap
keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada karena tumbuhan-tumbuhan ini adalah
sumber pakan bagi primata yang hidup di habitat tersebut. Berdasarkan hasil analisis
vegetasi pada daerah yang digunakan lutung Jawa, diketahui bahwa jenis yang
memiliki nilai INP terbesar adalah api-api (avicennia marina) dengan nilai 111,88
dan INP terendah adalah pidada (Sonneratia caseolaris) dengan nilai sebesar 81,53.
Hasil analisis vegetasi yang dilakukan di lokasi penelitian, terdapat beberapa
vegetasi yang dimanfaatkan sebagai pakan lutung jawa. Pakan lutung jawa terdiri dari
tiga jenis pohon, yaitu pidada (Sonneratia caseolaris), dan dua jenis api-api yaitu
avicennia marinadan Avicennia lanata, dan jenis tumbuhan bawah yaitu jeruju
(Achantus ifolius) dan warakas (Acrostichum aureum). Jenis-jenis tersebut terdapat
hampir semua lokasi wilayah kelompok lutung jawa. Menurut Bailey (1984) jumlah
dan kualitas pakan yang dibutuhkan oleh individu satwaliar bervariasi, dipengaruhi
oleh faktor jenis kelamin, kelas umur, dan fisiologi pencernaan.

30
Ketersediaan pakan lutung Jawa pada lokasi sudah mulai berkurang terutama
pidada dan jeruju sebagai pakan favorit yang sering dimakan lutung. Jenis api-api
ketersediaanya masih cukup baik untung saat ini. Bagian tumbuhan yang dikonsumsi
oleh lutung bervariasi. Lutung mengkonsumsi dua bagian yaitu daun muda dan buah
pidada, sedangkan tumbuhan api-api, warakas, dan jeruju lutung memakan bagian
daun mudanya. Lima jenis sumber pakan ini menyebar dari daerah tepi sungai
Citarum sampai pertengahan hutan mangrove menuju arah pantai.
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa dari tiga jenis pohon yang teridentifikasi,
pohon pidada yang dijadikan sebagai cover. Alikodra (2002) menyatakan struktur
vegetasi sangat menentukan peranannya sebagai pelindung, terutama ditentukan oleh
bentuk tajuk dan percabangan. Lutung jawa membutuhkan tajuk pohon maupun tiang
yang saling berhimpitan agar dapat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya dan
berlindung. Keberadaan pohon dengan kanopi bersambung merupakan kondisi ideal
sebagai habitat lutung jawa untuk keselamatan dan untuk menghindari predator darat
dan udara (Garber 1992 diacu dalam Ayunin 2013).
Identifikasi jenis tumbuhan diperlukan untuk diketahui tingkat
keanekaragamannya. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan (H’) pada habitat
lutung jawa di Muara Bendera yaitu 1,6 atau termasuk dalam kategori sedang
(Magurran 1988). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat jenis-jenis tumbuhan yang
mendominansi. Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan adanya persaingan
dalam suatu masyarakat hutan menyebabkan jenis tertentu lebih berkuasa daripada
jenis lainnya. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) disamping dapat
menggambarkan keanekaragaman jenis, juga dapat menggambarkan produktivitas
ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem. Semakin tinggi nilai
indeks H’ maka semakin tinggi pula keanekaragaman jenis, produktivitas ekosistem,
tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat keragaman jenis tumbuhan habitat lutung jawa di Muara Bendera
termasuk sedang. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas di habitat lutung cukup,
kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang.

31
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Kepadatan populasi Lutung Jawa di hutan mangrove Muara Bendera, Pantai
Bahagia, kecamatan Muara Gembong, yang terletak pada petak 1 A.2, RPH
Muara Gembong, relatif tinggi, yaitu sebesar 12 ind/ha, terbagi tiga
kelompok. Kelompok satu terdiri dari 18 ekor, kelompok dua 15 ekor dan
kelompok tiga 15 ekor. Jadi total Lutung pada wilayah ini berjumlah 48 ekor.
Struktur umur dewasa mendominasi dengan persentasi 47,92%, kemudian
remaja 31,25% dan anakan 20,84%. Nisbah kelamin (sex ratio) antara
individu jantan dan betina dewasa adalah 1:7.
2. Jenis tumbuhan paling dominan adalah api-api (Avicennia marina) dengan
INP mencapai 111,88% dan kerapatan 86,11 batang/ha, kemudian api-api
(Avicennia lanata) dengan INP 106,58% dan kerapatan 88,89 batang/ha, serta
pidada (Sonneratia caseolaris) dengan INP 81,52% dan kerapatan 33,33
batang/ha. Pohon-pohon dengan morfologi besar khusunya pidada
(Sonneratia caseolaris) dijadikan sebagai tempat berlindung (shelter/cover)
bagi lutung jawa. Gambaran habitat lutung jawa terkini semakin
mengkhawatirkan, dimana selain abrasi sebagai faktor utama berkurangnya
habitat lutung, ditambah lagi faktor manusia yang melakukan perambahan
untuk tambak dan pembuatan pemukiman di sekitar habitat menyebabkan area
jelajah Lutung semakin kecil.

B. Saran
1. Untuk melestarikan populasi lutung jawa di kawasan hutan mangrove di
wilayah kerja RPH Muara Gembong, BKPH Ujung Krawang, KPH Bogor,
maka perlu dilakukan kegiatan pengamanan hutan, restorasi habitat Lutung
Jawa dengan menanam jenis-jenis tumbuhan yang menjadi kebutuhan hidup
Lutung Jawa. Kegiatan restorasi habitat Lutung Jawa tersebut dapat dilakukan
dengan melibatkan berbagai berbagai pihak, seperti Perum Perhutani sebagai
pemangku kepentingan, serta masyarakat sekitar.
2. Untuk mengetahui pertumbuhan populasi Lutung Jawa di kawasan hutan
mangrove Muara Bendera, perlu dilakukan pemantauan tahunan yang
berkesinambungan oleh lembaga yang kompeten, seperti BKSDA dan
perguruan tinggi. Pemantauan populasi minimal dilakukan dua kali dalam satu
tahun.

32
DAFTAR PUSTAKA

Aburto, O., Ezcurra, E., Danemann, G., Valdez, V., Murray, J., Sala, E. 2008.
Mangroves in the Gulf of California increase fishery yields. The National
Academy of Sciences of the USA Vol. 105 No. 30.
Alikodra, H. 1990. Pengelolaan Satwa Liar.Jilid 1.Departemen Pendidikan
danKebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat
AntarUniversitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Asensio N, Korstjens AH, Schaffner CM, Aureli F. 2008. Intragroup aggression,
fission-fusion dynamics and feeding competition in spider monkeys.
Behaviour 145:983-1001
Ayunin Q. 2013. Seleksi habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus cristatus) di
Taman Nasional Gunung Merapi [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah
Mada.
Bailey J. 1984. Principle of Wildlife Management. Colorado (US): John Wailey and
Sons.
Bismark,1994. Ekologi Makan dan Perilaku Bekatan (Nesalis Larvatus Wurmb)Di
Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur.Disertasi.Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bismark, M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) Untuk Survei KeragamanJenis
Pada Kawasan Konservasi.Pusat Penelitian dan PengembanganPerubahan
Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan PengembanganKehutanan. Bogor.
Brandon - Jones D. 1995. A revision of the Asian pied leaf-monkeys
(Mammalia:Cercopithecidae: superspecies Semnopithecus auratus), with a
descriptionof a new subspecies. Raffles Bulletin of Zoology.
Broom M, Borries C, Koenig A. 2004. Infanticide and infant defence by males-
modeling the conditions in primate multi-male groups. J of Theoretical Biol.
231:261-270. doi:10.1016/j.jtbi.2004.07.001.
Carissa, R.A. 2014. Populasi dan Distribusi Lutung Jawa (Trachypithecus
auratusGeoffrroy, 1812) di Hutan Alam dan Hutan Produksi Perum
PerhutaniRPH Cijendil, BKPH Cianjur, Jawa Barat.Skripsi.
UniversitasPadjadjaran.
Dewi,S.J.T, 2005. Pendugaan Parameter Demografi dan Penyebaran PopulasiLutung
Hitam (Trachypithecus cristatus Reichenbach, 1862) di KawasanUnocal
Geothermal of Indonesia, LTD. Gunung Salak, Jawa Barat.Skripsi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

33
Farida WR, Harun. 2000. Keragaman Jenis Tumbuhan sebagai Sumber Pakan bagi
Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), dan Lutung
(Trachypithecus auratus) di Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal
Primatologi Indonesia 3 (2): 55-61.
Fitriani, Y. 2006. Populasi, Distribusi Dan Habitat Lutung Jawa
(Trachypithecusauratus sondaicus Robinson & Kloss 1919) Di Kawah Putih
Dan HutanGunung Patuha Ciwidey, Jawa Barat. Skripsi. Universitas
Padjadjaran.
Groves, C. P. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press.Washington
DC.
Grove M. 2012. Space, time, and group size: a model of constraints on primate social
foraging. Anim. Behav. 83:411-419. doi:10.1016/j.anbehav.2011.11.011.
Hasnawati. 2006. Analisis populasi dan habitat sebagai dasar pengelolaan rusa totol
(Axis axis Erxl.) di Taman Monas Jakarta [tesis]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Henzi SP, Lycett JE, Piper SE. 1997. Fission and troop size in a mountain baboon
population. Anim. Behav. (53): 525-535.
Hendratmoko, Yohan. 2009. Studi Kohabitasi Monyet Ekor Panjang Dengan
Lutung di Cagar Alam Pangandaran Jawa Barat. Tesis Sekolah Paska
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Hidayatullah RR. 2015. Parameter Demografi dan Penggunaan Ruang Vertikal
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus E. Geoffroy) di Resort Tamanjaya
Taman Nasional Ujung Kulon [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara. IUCN. 2014. The IUCN
Red List of Threatened Species: Trachypithecus auratus. Download at
http://www.iucnredlist.org.
Irwanto.2006. Perencanaan Perbaikan Habitat Satwaliar Burung Pasca BencanaAlam
Gunung Meletus. Available URL : Http/www.google.com (diaksesMaret
2020).
IUCN.2020. IUCN Red List of ThreatenedSpecies.
http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/22034/0.Diakses desember
2020
Kappeler PM, van Schaik CP. 2002. Evolution of primates social systems.
International Journal of Primatology 23(4): 707-740. doi: 0164-
0291/02/0800-0707/0.
King AJ, Douglas CMS, Huchard E, Isaac NJB, Cowlishaw G. 2008. Dominance and
affiliation mediate despotism in a social primate. Current Biology 18:1833-
1838. DOI 10.1016/j.cub.2008.10.048

34
Krebs, C. J, 1985. Ecology, The Expremintal Analysis Of Distribution AndAbudance.
Third Edition. Harper Colling Pusblisher: New York.
Kurniawan. 2009. Metode Inventarisasi Mamalia. Kelompok Pemerhati Mamalia.
Himpunan Mahasiswa Konservasi. Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutnan. IPB
Kusmana, C, 2002, Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan
danBerbasis Masyarakat Makalah disampaikan pada Lokakarya
NasionalPengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, Jakarta.
Kusmana, C, 1995, ‘Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia,
’ProceedingSimposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi, Jakarta
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai Pasca
Tsunami di NAD dan Nias.Makalah Dalam Lokakarya Hutan Mangrove
PascaTsunami. Medan. April 2005.
Leca, J.B., Gunst, N., Rompis, A., Soma, G., Putra, I.G.A., Wandia, I.N.
(2013).Population density and abundance of ebony leaf
mongkeys(Trachypithecus auratus) in West Bali National Park, Indonesia.
PrimateConservation Journal (26) 133-144.
Lehmann J, Korstjens AH, Dunbar R. 2006. Fission-fusion social systems as a
strategy for coping with ecological constraints: a primate case. Evol Ecol
2006. DOI 10.1007/s10682-006-9141-9.
Leksono NP. 2014. Studi populasi dan habitat lutung jawa (trachypithecus auratus
sondaicus) di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Jawa Barat [skripsi].
Bogor (ID): DKSHE, Fakultas Kehutanan, IPB.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey (US):
Princetown University Press.
Megantara EN. 2004. Penyebaran dan populasi lutung (Trachypithecus auratus
sondaicus) di Cagar Alam/Taman Wisata Pangandaran. Jurnal Bionatura 6 (3):
260-271.
Mmom, P., Arokoyu, S. 2010. Mangrove Forest Depletion, Biodiversity Loss
andTraditional Resources Management Practices in the Niger Delta,
Nigeria.Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology
2(1):28-34.
Muntasib EKSH, Pakpahan AM. 1992. Habitat Satwa Liar. Bogor: Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor.
Nijman, V. 2000. Geographic distribution of ebony leaf monkey
TrachypithecusAuratus (E. GeoffroySaint-Hilaire,1812) (Mammalia:
Primates: Cercopithecidae). Contribution to Zoology, 69(3) 157-177
(2000).

35
Nijman, V., Supriatna. J. 2008. "Trachypithecus auratus" (On-line).2008 IUCNRed
List of Threatened Species.diunduh 28 Oktober 2016
padahttp://www.iucnredlist.org/details/22034.
Nijman,V., Balen, S.van. 1998.A faunal survey of the Dieng Mountains, CentralJava,
Indonesia: distribution and conservation of endemic primate
taxa.http://www.iucnredlist.org/details/22034.Diakses 19 September 2012
Nugraha, Ramdan. 2011. Aktivitas Harian Lutung Jawa
(Trachypithecusauratussondaicus) di Kebun Binatang Tamansari
Bandung.Skripsi.Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam NegeriBandung.
Leksono, N.P. (2014). Studi Populasi Dan Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus
auratus sondaicus) di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Jawa Barat.
Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Nursal, W.I. (2001).Aktivitas Harian Lutung Jawa (Trachypithecus auratus,Geoffroy
1812) di Pos Selabintana Taman Nasional Gunung GedePangrango Jawa
Barat.Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor
Oates, J.F. 1977. The Guereza And Its Food. In: Ekologi Makan Dan
PerilakuBekatan (Nesalis Larvatus Wurmb) Di Hutan Bakau Taman
NasionalKutai,Kalimantan Timur, M. Bismark, Disertasi, Institut Pertanian
Bogor.
Onrizal. 2005. Adaptasi Tumbuhan Mangrove Pada Lingkungan Salin dan Jenuh air.
USU Press. Medan.
Onrizal. 2008. Panduan Pengenalan dan Analisis Vegetasi Hutan Mangrove. USU
Press. Medan.
Pasaribu,A.F. (2019). Habitat, Populasi Dan Jenis Pakan Lutung Jawa
(Trachypithecus auratus E. Geoffroy 1812) Di Cagar Alam Leuweung
Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor
Perhutani, 2012. Rekapitulasi Kawasan Hutan Lindung UjungKrawang.
Priyono A. 1998. Penentuan Ukuran Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis Raffles) dalam Penangkaran dengan Sistem Pemeliharaan di Alam
Bebas: Studi kasus di PT Musi Hutan Persada. [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Ruhiyat, Y. 1983. Socio-ecological study of Presbytis aygula in West Java. J.Prim.24:
344-359.

36
Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. Pogonias Press:
EastHampton, New York.
Santoso, Y., Kartono, PA., Rahman, AD., Wulan, C. 2014.Panduan
InventarisasiSatwa Liar.Kerjasama Kementerian Kehutanan dan Fakultas
KehutananIPB.Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta.
Sarker, S., Kuri, K., Chowdhury, S., Toufiqur Rahman, M. 2010. Mangrove:
ALivelihood Option For Coastal Community Of Bangladesh. Bangladesh
ResearchPublications Journal ISSN: 1998-2003, Volume: 3, Issue: 4,Page:
1187-1192.
Semiadi G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Smith JE, Kolowski JM, Graham KE, Dawes SE, Holekamp KE. 2008. Social and
ecological determinants of fission-fusion dynamics in the spotted hyaena.
Anim Behav 76:619-636. doi:10.1016/j.anbehav.2008.05.001.
Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas.
Jakarta (ID): Penerbit Usaha Nasional.
Soerianegara, I, dan A. Indrawan, 1978.Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Soerianegara I, Indrawan A. 2005.Ekologi Hutan Indonesia. Bogor
(ID):Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Institut
PertanianBogor.
Sueur C, Petit O, Deneubourg JL. 2010. Short-term group fission processes in
macaques: a social networking approach. The Journal of Experimental
Biology 213: 1338-1346. doi:10.1242/jeb.039016.
Sulistyadi, E., Kartono, PA., Maryanto I. 2013.Pergerakan Lutung
JawaTrachypithecus auratus (E. Geoffroy 1812) Pada Fragmen
HabitatTerisolasiDiTaman Wisata Alam Gunung Pancar (Twagp)
Bogor.JurnalBerita Biologi 12(3).
Supriatna, Jatna dan Wahyono, Edy H. 2000.Panduan Lapangan PrimataIndonesia.
Yayasan Obor. Jakarta.
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018
Surya, R.A. 2010. Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari Monyet
EkorPanjang Macaca Fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi
(StudiKasusDi Provinsi Lampung).Tesis.IPB.
Tarigan, MS, 2008, ‘Sebaran dan Luas Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir
TelukPising Utara Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara.’ Makara,
Sainsvol 12 no 2, hal 108-112
Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Populasi: Kajian ekologi kuantitatif.
PustakaSinar Harapan. Jakarta

37
Walters, B., Ronnback, P., Konvacs, J., Crona, B., Hussain, S., Badola, R.,Primavera,
J., Barbier, E., Dahdouh- Guebas, F. 2008. Ethnobiology,socio-economics and
management of mangrove forests: A review. AquaticBotany 89:220–236
Yusril. 1999. Pendugaan Beberapa Parameter Demografi Populasi Beruk (Macaca
nemestrina Linnaeus, 1766) di Hutan Konservasi HTI PT. Musi Hutan
Persada Provinsi Dati I Sumatera Selatan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor

38
LAMPIRAN

39
Lampiran 1. hasil perhitungan INP pohon Pidada (Sonneratia caseolaris)

No Plot Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Diameter TT LBDs Jumlah Jml petak K KR % F FR % LBDs D DR (%) INP
1 1 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 25,47 509,2459 12 5 33,33333 16 0,555556 35,71429 4826,704 1,340751 29,81236 81,52664
2 1 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 22,29 390,0226
3 1 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 25,47 509,2459
4 1 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 25,47 509,2459
5 1 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 28,66 644,7955
6 1 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 28,66 644,7955
7 2 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 12,73 127,2115
8 2 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 14,33 161,1989
9 2 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 25,47 509,2459
10 3 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 19,1 286,3759
11 4 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 20,7 336,3647
12 5 pidada Sonneratia caseolaris Lythraceae 15,92 198,9554

40
Lampiran 2. Hasil perhitungan INP pohon Api-api (Avicennia marina)

No Plot Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Diameter TT LBDs Jumlah Jml petakK KR % F FR % LBDs D DR (%) INP

1 1 api-api Avicennia marina Acanthaceae 23,88 447,6497 31 4 86,11111 41,33333 0,444444 28,57143 6797,272 1,888131 41,98366 111,8884
2 1 api-api Avicennia marina Acanthaceae 23,88 447,6497
3 1 api-api Avicennia marina Acanthaceae 23,88 447,6497
4 2 api-api Avicennia marina Acanthaceae 23,88 447,6497
5 2 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
6 2 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
7 2 api-api Avicennia marina Acanthaceae 12,73 127,2115
8 2 api-api Avicennia marina Acanthaceae 19,1 286,3759
9 3 api-api Avicennia marina Acanthaceae 17,51 240,6811
10 3 api-api Avicennia marina Acanthaceae 12,73 127,2115
11 3 api-api Avicennia marina Acanthaceae 17,51 240,6811
12 3 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
13 3 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
14 3 api-api Avicennia marina Acanthaceae 12,73 127,2115
15 3 api-api Avicennia marina Acanthaceae 12,73 127,2115
16 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
17 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
18 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
19 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 17,51 240,6811
20 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
21 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
22 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
23 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 12,73 127,2115
24 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
25 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 14,33 161,1989
26 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
27 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 12,73 127,2115
28 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 14,33 161,1989
29 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 12,73 127,2115
30 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554
31 4 api-api Avicennia marina Acanthaceae 15,92 198,9554

41
Lampiran 3. Hasil perhitungan INP pohon Api-api (Avicennia lanata)

No Plot Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Diameter TT LBDs Jumlah Jml petakK KR % F FR % LBDs D DR (%) INP

1 2 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 25,47 509,2459 32 5 88,88889 42,66667 0,555556 35,71429 4566,304 1,268418 28,20398 106,5849
2 2 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 14,33 161,1989
3 4 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
4 4 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 15,92 198,9554
5 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
6 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
7 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 17,51 240,6811
8 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 14,33 161,1989
9 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
10 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
11 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
12 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
13 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
14 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 14,33 161,1989
15 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 15,92 198,9554
16 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
17 5 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 17,51 240,6811
18 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,73 127,2115
19 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,14 97,41819
20 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,78 108,9332
21 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,14 97,41819
22 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,1 114,9319
23 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,14 97,41819
24 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 12,1 114,9319
25 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,46 103,0953
26 6 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,14 97,41819
27 7 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,14 97,41819
28 7 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,78 108,9332
29 7 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,14 97,41819
30 7 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,14 97,41819
31 7 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 10,82 91,90183
32 7 api-api Avicennia lanata Acanthaceae 11,14 97,41819

42
Lampiran 4. Hasil perhitungan INP pohon keseluruhun

Juml
Nama Nama Jumla ah
No Diameter LBDs K KR F FR LBDs D DR INP
lokal ilmiah h peta
k
1 Pidada Sonneratia 25,47 509,245 12 5 33,33 16 0, 35,71 4826,70 1,34 29,81 81,53
caseolaris 56
2 Api-api Avicennia 23,88 447,649 31 4 86,11 41, 0, 28,57 6797,27 1,88 41,98 111,88
marina 33 44
3 Api-api Avicennia 25,47 509,245 32 5 88,89 42, 0, 35,71 4566,30 1,26 28,20 106,58
lanata 67 56
Total 208,3 10 1, 100 4,49 100 300
3 0 56

Jumlah petak = 9
Luas petak = 180x20= 3600 m= 0,36 Ha

43
Lampiran 5. hasil pengamatan Lutung

No Hari/Tanggal Waktu JD BD RM AN BY Total


1 Rabu/ 22 Juli 2020 06.00-18.00 1 10 6 3 1 21
2 Kamis/ 23 Juli 2020 06.00-18.00 3 19 11 6 2 41
3 Jumat/ 24 Juli 2020 06.00-18.00 2 16 8 4 - 30
4 Sabtu/ 25 Juli 2020 06.00-18.00 2 15 10 3 2 32
5 Minggu/ 26 Juli 2020 06.00-18.00 1 7 1 3 - 12
6 Senin/ 27 Juli 2020 06.00-18.00 2 19 10 5 2 38
7 Selasa/ 28 Juli 2020 06.00-18.00 3 19 11 6 2 41
8 Rabu/ 29 Juli 2020 06.00-18.00 3 18 15 7 2 45
9 Kamis/30 juli 2020 06.00-18.00 1 16 5 3 1 26
10 Jumat/31 juli 2020 06.00-18.00 2 15 6 4 2 29
11 Sabtu/ 01 aug 2020 06.00-18.00 3 14 10 7 2 36
12 Minggu/ 02 aug 2020 06.00-18.00 3 18 15 8 2 45
13 Senin/ 03 aug 2020 06.00-18.00 3 18 12 7 2 42
14 Selasa/ 04 aug 2020 06.00-18.00 2 20 8 7 2 39

Keterangan :
JD = Jantan dewasa
BD = Betina dewasa
RM = Remaja
AN = Anakan
BY = Bayi

44
Lampiran 6 foto kegiatan penelitian

Jenis gangguan terhadap lutung

Analisis vegetasi

Lutung di Muara Bendera

45
RIWAYAT HIDUP

Ahmad Ansharuddin dengan panggilan Anshar atau Ahmad


adalah nama penulis. Penulis dilahirkan di Desa Wayamli,
Kec. Maba Tengah, Kab. Halmahera Timur, Provinsi
Maluku Utara pada 06 November 1995 dari pasangan
bapak Sahran Uat dan ibu Yuliana Budin dan merupakan
putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan yang
ditempuh oleh penulis yaitu dimulai dari Pendidikan
Sekolah Dasar (SD) di dua sekolah yaitu di SD Inpres
Teluk Buli, Beringin Lamo sampai kelas 3 kemudian
pindah dan melanjutkan ke SD Inpres Maba, dimana waktu menyelesaikan
pendidikan di kedua SD tersebut dari tahun 2002-2007. Penulis melanjutkan
pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang dilalui di SMP
Negeri 3Maba dari tahun 2007-2010. Setelah itu penulis melanjutkan jenjang Sekolah
Menengah Atas (SMA) yang dilalui di SMA Negeri 5 Kota Maba pada tahun 2010-
2013. Lulus dari bangku SMA, penulis melanjutkan pendidikan perkuliahan pada
jenjang Strata 1 di kota Yogyakarta di kampus Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan
(STTL) jurusan teknik sipil dan lingkungan, namun belum sempat mulai perkuliahan,
penulis di pindah karena lulus Beasiswa Utusan Daerah (BUD) PT. Antam Tbk
mewakili SMA melalui seleksi nilai buku rapot ke kampus IPB Bogor, Fakultas
Kehutanan, jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Namun pada
proses perkuliahan penulis lalai dan tidak mau melanjutkan lagi di kampus IPB,
akhirnya pada 2017 penulis memutuskan pindah ke Fakultas Kehutanan, Universitas
Nusa Bangsa. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Cibeber 2, Kab.
Bogor pada pertengahan tahun 2019, melaksanakan Praktek Kerja Lapang saat masih
di IPBkeBalai Taman Nasional Gunung Rinjani Lombok pada pertengahan tahun
2016 dan melaksanakan Penelitian Skripsi di hutan Mangrove Muara Bendera, Desa
Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi pada pertengahan
2020.

46
47

Anda mungkin juga menyukai