Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN HASIL PENELITIAN

STUDI TENTANG TRADISI MITONI PADA MASYARAKAT JAWA

DITINJAU DARI PERSPEKTIF ISLAM

DOSEN PENGAMPU : Dr. H. Dwi Surya Atmaja, M.A.

DISUSUN OLEH :
Arini Hidayati (11612011)
Azizah Azmi (11612007)
Havara Mahardini (11612004)
Lilis Sriwahyuni (11612009)
Salis Hilda Yoviyani (11612005)
Fatimah Nur Wasilah (11612026)

PENDIDIKAN BAHASA ARAB (PBA)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONTIANAK

2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian yang berjudul
“Studi Tentang Tradisi Mitoni pada Masyarakat Jawa ditinjau dari Perspektif Islam”
ini dengan lancar.

Laporan ini ditulis sebagai bukti bahwa penulis telah melakukan penelitian studi
tentang tradisi mitoni pada masyarakat Jawa dan kaitannya dengan perspektif Islam. Tak lupa
kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. H. Dwi Surya Atmaja, M.A. selaku dosen
pengampu yang telah membimbing dan mengarahkan kami selama ini, dan juga kepada
teman-teman yang ikut serta dalam pembuatan laporan ini.

Akhir kata, semoga laporan ini dapat menambah wawasan pembaca semua dan dapat
bermanfaat bagi kita.

Pontianak, 15 Oktober 2017

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. 2

DAFTAR ISI ........................................................................................... 3

BAB 1 – PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 5
D. Teori Terdahulu ……………………………………………………. 5
E. Metode Penelitian ………………………………………………….. 5

BAB 2 – PEMBAHASAN
A. Asal-usul Tradisi Mitoni pada Masyarakat Jawa …........................... 10
B. Proses Ritual Mitoni pada Masyarakat Jawa ………………………. 13
C. Nilai-nilai dari Tradisi Mitoni menurut Masyarakat Jawa …...…….. 23
D. Mitoni menurut Sudut Pandang Islam ……………………………… 23

BAB 3 – PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 27
B. Saran/Kritik ........................................................................................ 28

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 29

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama adalah mustaqim dan membawa misi memustaqim-kan sesuatu yang
belum mustaqim, termasuk mensakralkan suatu nilai tradisi yang sebenarnya tidak
sakral. Ajaran islam bisa dinyatakan telah kuat, ajaran itu telah mentradisi dan
membudaya ditengah masyarakat islam. Tradisi dan budaya menjadi sangat
menentukan dalam kelangsungan syiar islam. Tradisi dan budaya merupakan darah
daging dan tubuh masyarakat, sementara merubah tradisi adalah sesuatu yang sangat
sulit. Maka suatu langkah bijak ketika tradisi dan budaya tidak diposisikan
berhadapan dengan ajaran islam.

Berbicara tentang tradisi, masyarakat Jawa adalah salah satu contoh suku yang
masih memegang erat tradisinya. Menjalani kehidupan di dunia dengan selamat,
merupakan salah satu cita-cita utama dalam pandangan hidup orang Jawa. Diantara
tradisi Jawa yang beragam itu, Mitoni termasuk bagian didalamnya. Keeksistensian
mitoni disebabkan karena mitoni berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur atas bayi
yang akan lahir ke dunia. Namun seiring berjalannya tradisi tersebut, timbul pro dan
kontra ditengah masyarakat yang menyebabkan perbedaan pendapat antara setiap
golongan.

Oleh karena itu, karya ilmiah ini akan mengulas tentang tradisi Mitoni dilihat dari
pendapat beberapa golongan dan dihubungkan dalam persepektif Islam.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut maka dalam penelitian ini akan menfokuskan
pada pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana asal-usul tradisi Mitoni pada masyarakat Jawa?
2. Bagaimana proses ritual Mitoni pada masyarakat Jawa?
3. Bagaimana nilai-nilai tradisi mitoni menurut masyarakat Jawa?
4. Bagaimana Mitoni menurut sudut pandang islam?

4
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan asal-usul tradisi Mitoni pada masyarakat Jawa
2. Menjelaskan proses ritual Mitoni pada masyarakat Jawa
3. Menjelaskan nilai-nilai tradisi mitoni menurut pandangan masyarakat Jawa
4. Menjelaskan tradisi Mitoni dalam pandangan Islam.
D. Teori Terdahulu
Kehamilan dipercaya merupakan fase dimana calon jabang bayi sudah mulai
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya melalui perantaraan sang ibu. Hubungan
psikis antara ibu dan anak pun sudah mulai terjalin erat mulai dari fase ini. Bagi
masyarakat Jawa, kehamilan adalah bagian dari siklus hidup seorang manusia. Oleh
karena itu, keberadaan si calon jabang bayi selalu dirayakan oleh masyarakat Jawa
dengan ritual yang bernama mitoni. Maksud dari perayaan mitoni “tujuh bulan” adalah
suatu permohonan kepada tuhan agar anak dalam kandungan selalu selamat dan lahir
dengan lancar serta tepat waktu. (Sutardjo, 2008: 101).
Mitoni sendiri berasal dari kata “pitu” atau tujuh. Hal ini karena mitoni diadakan
ketika usia kandungan masuk tujuh bulan. Ritual ini bertujuan agar calon bayi dan ibu
selalu mendapatkan keselamatan. Setelah melakukan serangkaian upacara, para tamu
yang hadir diajak untuk memanjatkan doa bersama-sama demi keselamatan ibu dan
calon bayinya. Sejalan dengan hal tersebut, dalam ilmu keperawatan Maternitas
dikatakan bahwa dalam masa kehamilan, seroang wanita akan mengalami berbagai
adaptasi selama kehamilannya, baik fisiologis maupun psikologis. Secara psikologis,
wanita akan mengalami adaptasi maternal. Wanita, dari remaja hingga usia sekitar
empat puluhan, menggunakan masa hamil Sembilan bulan untuk beradaptasi terhadap
peran sebagai ibu. Adaptasi ini merupakan proses sosial dan kognitif kompleks yang
bukan didasarkan pada naluri, tetapi dipelajari. (Rubin, 1967: Affonso dan Sheptak,
1989).

E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif
(qualitative reseach), terhadap masyarakat Jawa yang telah memiliki pengetahuan dan
5
pengalaman lebih dengan keunikan tersendiri. Adapun aspek-aspek yang diteliti
sebagai berikut :
No. Aspek yang Diteliti Kisi-Kisi Pertanyaan Kunci

1. Sejarah, pengertian a. Sejarah mitoni 1. Bagaimana sejarah


dan tujuan b. Latar belakang mitoni?
pelaksanaan mitoni 2. Bagaimana latar
c. Penegertian mitoni belakang proses
d. Tujuan pelaksanaan mitoni?
mitoni 3. Bagaimana dengan
pengertian mitoni?
4. apa tujuan dari
pelaksanaan mitoni?

2. Pelaksanaan a. apa saja prosesi


a. prosesi mandi
pelaksanaan saat
(siraman)
mitoni ?
b. prosesi pecahan telur
b. apakah ada tanggal
c. prosesi ganti pakaian
dan bulan tertentu
d. pemutusan lawe
saat pelaksanaan
e. pemecahan kelapa
mitoni?
f. jual rujak
c. apakah ada orang
g. amin amin
orang yang
dihususkan dalam
pelaksaan-
pelaksanaan mitoni
berlangsung?
d. adakah waktu dan
tempat tertentu
untuk pelaksanaan
mitoni?
e. apa saja
pelaksanaan saat
amin amin?

6
3 makna dari setiap Maksud dan tujuan disetiap 1. Apa makna dari tanggal
pelaksanaan pelaksanaan mitoni dan bulan tersebut?
2. Apa tujuan dari prosesi
mandi?
3. Apa maksud dari
pecahan telur?
4. Apa maksud dari ganti
pakaian?
5. Apa tujuan dari
pemutusan lawe?
6. Apa makna dari
penjualan rujak?
7. Apa maksud
diadakannya amin
amin?
8. Kenapa harus orang-
orang tertentu yang
memandikannya?
9. Apa maksud bulan dan
tanggal tanggal
tersebut?

4 Bahan saat 1. Alat alat saat tradisi 1. Apa saja bahan –


pelaksanaan pelaksanaan mitoni bahan yang diperlukan
berlangsung saat pelaksanaan
mitoni berlangsung ?

5 Makna bahan dari Memperinci dan memberi Apa makna dari setiap
setiap pelaksaan maksud dari setiap bahan saat barang tersebut?
di-mitoni

7
6 Perspektif islam a. Mitoni menurut syariat a. Bagaimana pandangan
Islam mitoni menurut sudut
pandang orang islam?
b. Bagaimana mitoni
menurut dalil-dalil
(hadis dan alquran)?

1. Teknik Pengumpulan data


a. Riset Kepustakaan
Suatu metode pengumpulan data dengan cara melakukan peninjauan
pustaka dari berbagai sumber seperti buku dan internet yang menyangkut
teori-teori yang relevan dengan masalah yang dibahas.
b. Wawancara Terstruktur
Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang sifatnya
mendasar mengenai karakteristik responden, seperti pelaksanaan, waktu
pelaksanaan, menurut syariat Islam dan lain-lain. Wawancara ini adalah
pembuka dari wawancara mendalam. Wawancara ini didasarkan pada
pertanyaan kunci sebagaimana diatas.
c. Wawancara Mendalam
Wawancara ini diupayakan untuk menggali sebanyak-banyaknya tentang
relasi baik dari sejarah, proses hingga menurut sudut pandang Islam
pelaksanaan mitoni. Wawancara mendalam adalah tindak lanjut dari temuan
dari wawancara tersruktur.
d. Dokumentasi
Data dokumenter, berupa gambar dari kutipan di media social.
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memilih masyarakat Jawa yang menetap di
Kalimantan Barat seperti didaerah: Siantan, Sungai kakap, Sungai Pinyuh dan
masyarakat Jawa asli yang bertempat tinggal di Bantul, Jogjakarta.

8
3. Informan Penelitian
Informan yang mendukung penelitian ini sebanyak 7 (lampiran) responden
dengan kriteria sebagai berikut :
a. Masyarakat-masyarakat Jawa yang telah lama menetap di Pontianak ataupun
masih menetap di pulau Jawa, yang tidak menutup kemungkinan perbedaan
pendapat akan muncul dikarenakan asal daerah Jawa yang berbeda.
b. Penelitian ini juga mempertimbangkan umur. Pilihan umur tersebut berkisar
40 – 70 tahun. Pilihan ini mengasumsikan bahwa pada usia tersebut diyakini
lebih mengetahui detail pelaksanaan mitoni dikarenakan sering menyaksikan
dari sejak kecil, mengalami sendiri, dan menjalani ritual mitoni untuk anak-
anaknya atau calon cucu sendiri, tidak menutup kemungkinan para sesepuh ini
telah mengetahui banyak maksud dan cara pelaksanaan tersebut berlangsung
dari sesepuhnya terdahulu.
c. Masyarakat yang memang asli orang Jawa dan diyakini masih menerapkan
adat-istiadat Jawa, dengan ungkapan lain keJawa-anya masih kental. Orang
Jawa diyakini sangat memegang erat tradisi-tradisi leluhur yang dilaksanakan
oleh nenek moyangnya terdahulu. Namun pada zaman modern ini, sedikit
banyak masyarakat Jawa yang berimigrasi dari pulaunya melupakan bahkan
ada yang sengaja tidak melaksanakan tradisi tersebut dengan alasan karena
tradisi tersebut hanya untuk orang-orang zaman terdahulu. Sedangkan
sebagaimana yang telah diketahui, Indonesia terkenal kaya oleh keberagaman
budaya dan tradisi.

9
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal-usul Tradisi Mitoni pada Masyarakat Jawa


a. Pandangan Hidup Orang Jawa

Suku bangsa Jawa secara kultural adalah orang yang hidup kesehariannya
menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai dialegnya secara turun temurun.
Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di pulau Jawa khususnya
Jawa Tengah dan Jawa Timur atau mereka yang berasal dari daerah tersebut. Secara
geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi Banyumas,
Keddung, Jogja, Surakarta, Madiun, Kediri, dan Malang, sedangkan diluar wilayah
tersebut dinamakan wilayah pesisir dan ujung timur.1 Dan masyarakat Jawa juga tidak
terlepas dari budi pekerti yang didalamnya merupakan perpaduan akal dan perasaan
untuk menimbang baik dan buruk. Sehubungan dengan itu, maka yang disebut budi
pekerti orang Jawa adalah tingkah laku, perangai, akhlak atau watak yang menjadi ciri
khas golongan pribumi yang tinggal di Jawa. Orang Jawa juga memiliki pandangan
yang sangat berpengaruh terhadap tata hidup dan perilaku atau budi pekerti mereka.
Yang mana pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup.
Implikasinya, pandangan hidup dibentuk oleh suatu cara berfikir dengan cara
merasakan tentang nilai-nilai, organisasi sosial, kelakuan, peristiwa-peristiwa dan
segi-segi lainnya.

Karakteristik orang Jawa diidentikkan dengan tokoh wayang semar, dan orang
Jawa sangat memuliakan tokoh tersebut. Hal ini karena semar memiliki watak
mengayomi serta membimbing semua pandawa-pandawa yang ada di perwayangan.
Sama halnya dengan orang Jawa, dimana pun ia berada, orang Jawa tidak pernah
terlibat permasalahan. Sifat mengayomi serta membimbing sangat melekat pada
kepribadian orang Jawa.

Sikap orang Jawa memandang dan memahami kehidupan mereka, sebagai suatu
keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis. Konsepsi yang satu dimensional dan
monolitis itu paralel dengan cara berfikir yang tidak mendiferensional antara isi dan
bentuk, misalnya perbedaan prinsipal di antara macam-macam kelas. Gejala seperti

1
Sutiono. Proses Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013. Hal 1.

10
objek-subjek, simbol-benda, hidup-mati, dan sebagian tidak difikirkan dan semuanya
disederhanakan sampai terjadi hubungan mitologis. Dengan demikian cara pikir orang
Jawa adalah menyatukan dan menyelaraskan semua gejala dan hal inilah yang
membuat pemikiran orang Jawa terpenjarakan, maksudnya tidak mengenal faktor-
faktok memikiran alternatif, seperti pendapat masyarakat, gagasan politik, pikiran-
pikiran yang konstruktif, dan keyakinan agama.2

Namun demikian pandangan hidup orang Jawa tetap menekankan kepada


ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap menerima terhadap segala
peristiwa yang terjadi, sambil menempatkan inidividu dibawah masyarakat serta
masyarakat di bawah alam semesta. Barang siapa yang hidup selaras dengan dirinya
sendiri dan dengan masyarakat dan juga selaras dengan Tuhan Yang Maha Esa, maka
ia akan mengalami ketenangan batin. Untuk itulah kehidupan dalam masyarakat Jawa
telah dipetakan dalam berbagai macam peraturan, seperti tata krama (kaidah dalam
etika Jawa), adat/tradisi (mengatur keselarasan masyarakat), agama (mengatur
hubungan formal dengan Tuhan), sikap narim, sabara, waspada-eling (mawas diri),
andap asor (rendah hati), dan prasaja (bersahaja).

Dari ciri-ciri yang dikemukakan diatas, masyarakat Jawa memiliki karakteristik


sebagai berikut :

1. Masyarakat Jawa identik dengan sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan


alias tidak suka to the poin.
2. Menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun
objek yang diajak berbicara. Hal ini bisa terlihat dengan adanya strata (tingkatan)
bahasa dalam suku Jawa.
3. Suku Jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik
tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga.
4. Narimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yang dianut oleh Orang Jawa.
Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan
yang ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawa memang menyakini bahwa kehidupan
ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang begitu saja.
5. Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah Gotong royong atau saling
membantu sesama orang di lingkungan hidupnya. Hal ini lebih kentara bila kita

2
Sutiono. Proses Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013. Hal 107.

11
bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap gotong royong
akan selalu terlihatdalam setiap sendi kehidupannya, baik itu suasana suka
maupun duka.
6. Sikap hidup orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai positif dalam
kehidupan. Dalam interaksi antar personal di masyarakat, mereka selalu saling
menjaga segala kata dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain. Mereka
begitu menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung
sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka tidak ingin orang lain atau dirinya
mengalami sakit hati atau tersinggung oleh perkataan dan perbuatan yang
dilakukan, sebab bagi orang Jawa, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko
busono artinya harga diri seseorang dari lidahnya (ucapannya), harga badan dari
pakaian.

Salah satu upacara Jawa yang sering dilakukan adalah Selametan. Pada dasarnya,
selamatan adalah kegiatan makan bersama, dimana makanannya telah lebih dahulu
didoakan sebelum dibagikan.Tujuan selamatan ini sendiri adalah untuk memperoleh
keselamatan, ketentraman dan untuk menjaga kelestarian kosmos (dunia-
lingkungannya). Yang berarti bahwa maksud dari Slametan itu agar mendapat
keselamatan, baik yang menyelenggarakan maupun yang diselamati. Tradisi slametan
tidak dapat terlepas dari kehidupan orang Jawa. Slametan dibagi menjadi empat
macam yaitu: Slametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, dimulai dengan
upacara tujuh bulanan/mitoni, aqiqahan, potong rambut, turun tanah, terus berputar
hingga sampai pada saat kematian orang tersebut, mulai dari upacara sedekah
surtanah, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina, sedekah matangpulung dina,
sedekah mendak pisan, dan sedekah nyewu. Selamatan yang diadakan dalam rangka
bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah memanen padi.

b. Pengertian Mitoni

Mitoni sudah menjadi bagian dari adat Jawa sejak zaman hindu budha, nama
mitoni sendiri berasal dari kata mitu yang berarti angka tujuh, dalam metologi Jawa
angka ganjil sangat dimuliakan dibanding angka genap. Kemudian, angka tujuh
sendiri dipilih dikarenakan disaat bayi berada dalam kandungan menginjak usia 7
bulan maka anggota badan atau anggota tubuh sudah lengkap dan sempurna serta
menandakan awal kehidupan bayi tersebut akan dimulai.

12
Setelah kehamilan berusia sekitar 7 (tujuh) bulan, yaitu ketika kandungan
dirasakan sudah berbobot dan berbeban, maka di adakan lagi upacara yang biasa
disebut dengan Mitoni atau tingkepan3. Mitoni sendiri ialah selamatan perempuan
yang mengalami masa kehamilan pertama pada waktu kandungan 7 bulan dengan
beberapa macam cara dan alat alat tertentu. Dalam upacara mitoni ini disamping
bertujuan bersedekah juga di isi pembacaan doa dengan harapan si bayi dalam
kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak
didunia. Namun mitoni disini sebelumnya hanya wajib dan dilaksanakan saat
kehamilan pertama, saat kehamilan yang selanjutnya, acara mitoni ini tidak sesakral
kehamilan pertama, namun tetap diadakan selamatan kecil-kecilan, seperti hajatan,
rasa bersyukur dan keselamatan.

c. Sejarah Mitoni

Menurut beberapa narasumber, ada yang mengikuti aturan Islam yang di ajarkan
oleh para walisongo, dan ada juga yang mengikuti adat istiadat nenek moyang. Di
daerah-daerah tertentu, khususnya Jawa, apabila ada adat istiadat yang telah nenek
moyang lakukan, maka anak keturunanannya wajib mengikuti adat istiadat tersebut.
Namun sebagian besar, menurut beberapa penduduk bahwasannya mitoni disini
bersumber dari nenek moyang, yang dilakukan oleh tradisi khas orang orang Jawa
sejak zaman Hindu-Budha.

B. Proses Ritual Mitoni pada Masyarakat Jawa

Dalam upacara mitoni sang ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan
dengan air kembang setaman serta disertai doa-doa khusus untuk itu. Doa tersebut
bertujuan memohon kepada Allah agar selalu memberikan rahmat-Nya sehingga bayi
yang akan dilahirkan itu selamat tanpa gangguan apapun. Cara pelaksanaan upacara
mitoni adalah:

1. Siraman dilakukan oleh para sesepuh (orang-orang yang sudah lanjut usia)
sebanyak tujuh orang, termasuk ayah dan ibu wanita hamil yang sedang di-
mitoni. Sebaiknya yang memimpin pemandian adalah orang tua yang sudah
mempunyai cucu. Adapun tujuh orang tersebut ialah :
a. Dukun

3
Afnan Chafid dan Ma’ruf Asrori. Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran, Perkawinan
danKematian. Surabaya: Khalista. 2007. Hal 8

13
b. Kedua Orang tua laki-laki
c. Kedua orang tua perempuan
d. Saudara-saudara paling tua dari mempelai laki laki
e. Saudara paling tua dari mempelai perempuan
f. Lelek “bibik dari mempelai laki laki”
g. Lelek dari mempelai perempuan.

Zaman dahulu sebelum menjalani sesi pemandian dari mitoni maka


menyalakan kemenyan terlebih dahulu.

2. Setelah upacara siraman selesai, disusul dengan upacara memasukkan telur


ayam kampung kedalam kain (sarung) calon sang ibu oleh sang suami melalui
perut sampai jatuh kemudian pecah. Hal ini sebagai simbol dan mengharapkan
semoga bayi akan lahir dengan mudah tanpa aral melintang. Biasanya bila
wanita baru pertama kali melahirkan banyak mengalami kesukaran. Oleh
karena itu perlu dipanjatkan doa selamat terutama waktu mengandung tujuh
bulan, dengan tujuan untuk keselamatan ibu dan anak yang dikandungnya
sampai bayi itu lahir. Proses ini dilakukan oleh suaminya setelah suaminya
melakukan siraman pada sang istri , sebagai tanda bahwa ia akan menjadi
suami dan ayah yang bertanggung Jawab.

3. Setelah selesai upacara siraman disusul dengan berganti pakaian dengan


tujuh kali dissertai dengan kain putih. Kain putih tersebut sebagai dasar
pakain pertama yang melambangan bahwa bayi yang akan dilahirkan
adalah suci, dan mendapatkan berkah dari Allah.

14
berganti pakain yang ketujuh kalinya setelah enam kali disetujui.

4. Setelah calon ibu selesai mengenakan kain sebanyak tujuh kali secara
bergantian, baru dilaksanakan pemutusan lawe yang dilingkarkan di
perut calon ibu, dilakukan oleh calon ayah dengan maksud agar bayi

15
yang dikandung akan lahir dengan mudah.

5. Setelah selesai putus lawe, maka calon nenek dari pihak calon ibu,
menggendong kelapa gading dengan ditemani oleh ibu besan.
Sebelumnya kelapa gading itu diteroboskan dari atas kedalam kain yang
dipakai calon ibu lewat perut terus kebawah, diterima (ditampani) oleh
calon nenek. Makna dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan
mudah tanpa kesulitan.

6. Calon ayah memecah kelapa tersebut dengan cara memilih di antara dua
buah kelapa gading yang telah digambari Kamajaya dan ratih atau
harjuna dan Wara Subadra atau Srikandi. Pemecahan kelapa ini

16
diusahakan sekali belah dengan tujuan agar sang ibu saat melahirkan
diberi kelancara sama persis seperti pemotongan kelapa tersebut. Kedua
kelapa gading tersebut dalam posisi dibalik agar sang calon ayah tidak
dapat melihat gambar tersebut. Apabila kelapa gading itu yang di
pecahkan oleh calon sang ayah bergambar Kamajaya, maka bayi akan
lahir laki-laki dan sebaliknya bila bergambar Dewi Ratih, maka bayi
akan lahir perempuan. ( hal ini sebagai penghargaan saja, belum
merupakan kesungguhan). Namun bila kita memohon dengan penuh
keyakinan maka segala sesuatunya akan terkabul.

Dalam adat mitoni masyarakat Jawa mengharapkan agar anak


yang lahir apabila perempuan seperti srikandi alasannya karena tokoh
wara’ Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan orang tuanya, yaitu
Prabudur pada dan Dewi Gandawati yang merupakan raja dari kerajaan
Cempalareja, mereka menginginkan lahirnya anak yang normal.
Adapun ciri khas dari Sri Kandi yaitu bermata jaitan, bermuka
mendongak, mempunyai hidung mancung, bersuara mendencing yang
menandakan bahwa ia adalah seorang putri. Nama Sri Kandi
disimpulkan memiliki rumbai atau jambul. Hal ini kerap dianggap
sebagai lambang feminism.

Jika laki laki diharapkan seperti Janoko karena Janoko seorang


raja yang berwatak Brahmana, berperilaku adil, bijaksana, berhati lurus
dan bersih, tampan dan lemah lembut budinya, kesatria, senantiasa
mendekatkan diri kepada sang pencipta.

17
7. Setelah upacara tersebut selesai, disusul dengan upacara memilih nasi
kuning yang terletak di dalam takir sang suami. Setelah itu dilanjutkan
dengan upacara jual “dawet” dan “rujak”. Penjualan rujak ini dibayar
dengan uang logam tiruan yang terbuat dari pecahan genteng (kreweng)
yang dibentuk bulat, seolah-olah seperti uang logam. Hasil penjualan
dikumpulkan dan dimasukkan kedalam kuali yang terbuat dari tanah
liat. Kuali yang berisi uang logam “kreweng” dipecah didepan pintu.
Makna dari upacara ini adalah agar kelak anak yang dilahirkan banyak
mendapat rejeki, dapat untuk menghidupi keluarganya serta agar banyak
membuat amal.

8. Untuk upacara mitoni biasanya disediakan hidangan-hidangan tanda


ucapan syukur kepada Allah. Macam-macam selamatan yang
diperlukan :
a. Tumpeng kuat
Makna dari tumpeng kuat ialah agar bayi yang akan dilahirkan nanti
sehat dan kuat.
Bahan yang dipergunakan ialah beras seperti yang dipergunakan.
Cara membuatnya:
- Beras dimasak didalam panci dengan terlebih dulu dikaroni,
- Setelah itu dimasukkan kedalam kukusan yang telah siap di
dandang,
- Buatlah satu yang besar dan 6 yang lainnya kecil-kecil,

18
- 6 tumpeng yang kecil-kecil itu untuk mengelilingi satu tumpeng
yang besar,
- Setelah siap, diletakkan di atas nyiru baru dengan disertai
dengan urab-uraban yang bahannya seperti membuat urab-
uraban biasa, hanya tidak perlu memakai cabe,
- Selain urab-uraban perlu dihias dengan telur ayam rebus kira-
kira 35 butir, tahu, tempe, ikan asin goring, cabe mentah yang
dibuat hiasan dan terong mentah terkupas tetapi kulitnya masih
tetap menempel.
b. Jajan pasar
Karena syaratnya harus beli dipasar, maka hal ini tidaak ada
kesulitan. Jajan pasar yang dibeli misalnya jajan apem, kue cucur,
kue mangkok, kue bolu, kue lapis, dan buah-buahan seperti nangka,
jeruk, bengkuang, mentimun, pisang, kacang tanah yang direbus dan
lain sebagainya.
c. Keleman
Kelemen yaitu semacam ubi-ubian yang perlu disediakan yaitu 7
macam misalnya : ubi jalar, ketela, gembili, kentang, wortel,
ganyong dan erut. Macam-macam kelemen ini dihidangkan dalam
satu tempat misalnya di nyiru.
d. Rujakan
Rujakan seperti biasanya terdiri dari macam-macam buah-buahan
seperti: jeruk, mentimun, blimbing, pisang biji/pisang batu dan lain
sebagainya. Kesemuanya ini dihidangkan sebaik-baiknya dengan
maksud agar rujaknya terasa sedap dan enak. Hal ini mempunyai
maksud agar anak yang dilahirkan menyenangkan keluarganya.
e. Dawet
Untuk mempermudah dawet dapat dibeli dipasar tinggal
memasak adonannya agar dawet itu menjadi enak dan menyegarkan,
dawet ini juga bisa ditambah dengan diberi es batu.
f. Sajen Mendikingan
Sajen ini dibuat untuk kelahiran setelah kelahiran anak pertama dan
seterusnya, macam-macamnya:
- Nasi kuning yang berbentuk kerucut.
19
- Nasi Loyang yaitu nasi kuning yang direndam didalam air,
kemudian dikukus kembali dan diberi kelapa yang telah diparut.
- Enten-enten yaitu kelapa yang telah diparut dicampur dengan
gula kelapa dimasak sampai kering.
- Bubur procot yaitu tepung beras, santan secukupnya, gula
kelapa dimasak secara utuh dimasukkan didalam periuk untuk
bersama-sama dimasak.

Di dalam upacara tingkeban harus ada tujuh macam bubur termasuk


bubur procot ini.

Kira-kira seperti ini perlengkapan tersebut:

Upacara mitoni Secara Kronologis dapat di uraikan sebagai berikut:

1) Hari pelaksanaan

Hari pelaksanaan upacara mitoni biasanya dicari/dipilih hari Rabu atau hari sabtu
tanggal 14-15 di pertengahan bulan menurut tanggal bulan Jawa. Hal ini menurut
kepercayaan agar bayi yang akan dilahirkan memiliki cahaya yang bersinar, dan
menjadi anak yang cerdas.

2) Waktu pelaksanaan

Waktu pelaksanaan yang paling baik adalah antara pukul 09.00 sampai dengan
pukul 11.00 calon ibu supaya mandi dan cuci rambut yang bersih. Hal ini
pencerminan kemauan yang suci dan bersih. Kira-kira pukul 15.00 – 16.00 upacara
mitoni dapat dimulai. Menurut kepercayaan pada jam-jam itulah para bidadari turun
mandi.

20
3) Pelaksana yang memandikan

Yang memandikan calon ibu adalah para ibu yang jumlahnya harus tujuh orang
yang terdiri dari para sesepuh. Juga ayah, ibu, nenek, ayah dan ibu mertua dan
keluarga terdekat. Upacara dipimpin oleh seorang ibu yang telah berpengalaman
(dukun). Sebaikanya tiga hari sebelum hari pelaksanaannya, keluarga pihak calon ibu
tersebut menghubungi orang-orang atau para sesepuh yang sekiranya bersdia ikut
memandikan.

4) Waktu undangan

Undangan untuk para tamu sebaiknya dicantumkan pukul 15.30 agar para tamu
dan pihak keluarga serta tetangga lengkap hadir pukul 16.00

5) Perlengkapan yang diperlukan

Perlengkapan yang disiapakan adalah : satu meja yang ditutup dengan kain putih
bersih. Di atasnya ditutup lagi dengan bangun tulak, kain sindur, kain lurik, yuyu
sekandang, mayang mekar atau lentrek, daun dadap srep, daun kluwih, daun alang-
alang. Bahan-bahan tersebut untuk lambaran waktu nyirami.

6) Perlengkapan lainnya
a) Bokor, tempurung, sekar setaman, borehdan kendi.
Bokor di isi dengan air kembang setaman untuk upacara siraman.
b) Batok (tempurung) dipergunakan untuk gayung siraman (ciduk).
c) Boreh dipergunakan untuk menggosok badan sebagai ganti sabunnya.
d) Kendi dipergunakan untuk memandikan paling akhir.
Siraman pertama dilakukan oleh ayah dari calon ibu yang kemudian disusul
oleh para ibu pinisepuh dan terakhir adalah ibu yang memimpin upacara
tersebut, dengan air yang telah disiapkan didalam kendi, setelah itu kendi
dipecah. Perlu pula disediakan handuk kecil dua lembar yang akan
dipergunakan satu untuk menyeka setelah kosokan dan satunya lagi untuk
mengeringkan setelah mandi.
e) Dua setengah meter kain putih yang dipergunakan untuk dikenakan setelah
selesai mengeringkan badan dan rambut. Cara mengenakan seperti
mengenakan kain biasa hanya agak longgaran

21
f) Setelah telur ayam kampong dibungkus plastik, cengkir kelapa gading dua
buah dan baki/nampan untuk tempatnya. Cengkir gading tersebut masing-
masing digambari dengan kamajaya dan ratih atau arjuna dan srikandi.
Seorang ibu yang memimpin upacara tersebut melepaskan telur ayam
kampong tadi dari dalam sarub putih, kemudian menyusul kedua cengkir
gading tersebut dengan cara melepas perlahan-lahan dan diterima dari bawah
sambil berdoa, “lahir putra juga mau, lahir putri juga mau asal ibu dan bayinya
selamat lepas dari marabahaya dan yang pokok lancar.”
g) Busana aneka ragam, dua meter lawe, baju dalam dan baki/ nampan untuk
tempat, kain batik/sampir 7 lembar dan diantaranya ada yang bercorak
truntum, stagen, baju dalam. Kesemuanya itu diatur dengan rapih. Setelah
upacara glundungan cengkir gading, maka kain yang bawah dapat dilepas,
kain putih dibelitkan seperti memakai kain biasayang diikat dengan benag
lawe setelah siap untuk memakai kain dengan baju dengan cara hanya
ditempelkan atau dilekatkan sebentar yang kemudian di susul dengan
pertanyaan-pertanyaan para ibu serta saran-saranya: ”patut dereng” (belum
pantas) . bila tidak atau belum pantas maka kain dan baju tersebut dilepas,
begitu seterusnya sampai pada saatnya kain dan baju yang paling akhir yaitu
kain truntum yang ditempelkan dan para ibu berseru “sampun dhereng” (nah,
itu cocok sekali). Setelah itu calon ibu digandeng oleh ibu yang memimpin
upacara kekamar untuk dirias, baik calon ibu maupun calon ayah, dengan
memakai kain truntum, beskap dan udeng (blangkon). Dilarang memakai
perhiasan dan rambut terurai.
7) Selamatan/Sesaji mitoni
Untuk selamatan/sesaji mitoni yang perlu disiapkan yaitu:
a) Tumpeng robyong dengan kuluban, telur ayam rebus, ikan asin yang digoreng.
b) Ingkung
c) Bubur putih satu piring
d) Bubur sengkala satu piring
e) Bubur merah satu piring
f) Penyon atau pleret satu piring
g) Ketupat lepet hanya sebagai syarat saja
h) Bermacam buah-buahan
i) Jajan pasar dan umbi-umbian (pala pendem)
22
j) Arang-arang kembang satu gelas.
k) Dawet ayu dan rujak
l) Bumbu-bumbu dapur
m) Keris untuk pembelahan kelapa

Pada waktu pengantin mitoni dirias dikamar, minuman dan kue-kue dapat
disajikan dan begitu pula selamatan mitoni (amin-amin)4, dan sebelum itu dibacakan
doa untuk keselamatan semua keluarga, setelah menikmati tumpeng dapat minum
dawet ayu yang telah disediakan, sebagai penutup.

Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah nasi kuning, rujak manis, dan bubur
procot seperti yang telah diterangkan didepan.

Alasan dari sesuatu persediaan tujuh macam hal yang dilakukan atau tujuh
macam alat alat yang dibutuhkan dalam mitoni melambangkan kelahiran yang telah
mencapai umur tujuh bulan yaitu umur umur sacral bagi perempuan kelahiran
pertama.

C. Nilai-nilai dari Tradisi Mitoni Menurut Masyarakat Jawa

Tujuan dari mitoni disini ialah dengan harapan kelahirannya lancar, melewati
perjanjian sama yang maha kuasa, menghadapi masa-masa genting, selamat, tidak ada
halangan, diberi kemudahan oleh yang maha kuasa, mengusir kejelekan kejelekan
atau gangguan dari makhluk halus dan juga mensyukuri karunia terindah yang telah
diberikan oleh Allah kepada hambanya dan ungkapan rasa bahagia dan bersyukur
keluarga besar dari mempelai perempuan maupun laki laki.

Upacara Mitoni sebagai suatu penanda kehamilan yang ketujuh bulan, mitoni
diadakan dengan berbagai ritual, serta diiringi do’a. pada usia kandungan ke-tujuh
bulan adalah masa rawan dan kritis, oleh karena itu dengan ritual mitoni ini
diharapkan bayi yang berada didalam kandungan tersebut bisa terlahir aman dan
selamat.

D. Mitoni Menurut Sudut Pandang Islam


1. Pendapat yang menyetujui

4
Amin-amin disini diisi dengan salah satunya pembacaan surah Maryam (lahirnya mudah), surah
yusuf, surah Muhammah (patuh dan taat pada orang tua, surah yasin, surah arrahman, dan surah alkahfi (agar
calon bayi cerdas) dan disusul dengan doa-doa selamat

23
Sebagaimana yang telah dibahas diatas, bahwasannya acara mitoni disini hanya
bertujuan memohon keselamatan bagi si calon bayi sehingga mengadakan bersedekah
untuk rasa bersyukur dan dan juga diisi pembacaan doa, dalam hal ini Allah ta’ala
berfirman:

‫احدَةٍ َو َج َع َل ِم ْن َها زَ ْو َج َها ِل َي ْس ُكنَ ِإلَ ْي َها‬ِ ‫۞ ُه َو الَّذِي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف ٍس َو‬


َّ ‫ت دَ َع َوا‬
َ‫َّللا‬ ْ َ‫ت ِب ِه ۖ فَلَ َّما أَثْقَل‬ْ ‫ت َح ْم اًل َخ ِفيفاا فَ َم َّر‬
ْ َ‫شاهَا َح َمل‬
َّ َ‫ۖ فَلَ َّما تَغ‬
َّ ‫صا ِل احا لَنَ ُكون ََّن ِمنَ ال‬
)189 :‫شا ِك ِرينَ (االراف‬ َ ‫َربَّ ُه َما لَئِ ْن آت َ ْيتَنَا‬
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika
Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang
bersyukur". (QS. 7, al-A’raf :189)

2. Pendapat yang kontra


Bahwa tidak adanya dasar hukum selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7
bulanan (bahasa Jawa: Mitoni). Pada acara tersebut juga disertai dengan pembacaan
diba’. Terus terang satu belum pernah membaca riwayat tentang selamatan seperti di
atas pada masa Rasulullah.
Selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan, tidak ada dalam ajaran
Islam. Itu termasuk perkara baru dalam agama, dan semua perkara baru dalam agama
adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
ٌ‫ض ًَللَة‬ ِ ‫ت ْاْل ُ ُم‬
َ ‫ور فَإ ِ َّن ُك َّل ُم ْحدَث َ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُك َّل بِ ْد َع ٍة‬ ِ ‫َو ِإيَّا ُك ْم َو ُم ْحدَثَا‬
“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam
agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.” (HR Abu Dawud, no.
4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah)
Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan
membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan
menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan

24
kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu hanya di tangan
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Allah berfirman:

َّ ‫ض ًّرا َوالَ نَ ْفعاا وهللاُ ُه َو ال‬


‫س ِمي ُع‬ ِ ‫قُ ْل أَت َ ْعبُد ُونَ ِمن د‬
َ ‫ُون هللاِ َما الَ َي ْم ِلكُ لَ ُك ْم‬
‫ْال َعل ِي ُم‬
“Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang
tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?” Dan
Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Maidah: 76)

Tradisi 4 bulan, 7 bulan dan semisalnya ketika seorang istri sedang hamil yang
biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah bukan termasuk ajaran Islam.
Maka kita wajib meninggalkannya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai imam dan panutan kita yg terbaik dan paling sempurna tidak pernah
melakukan tradisi seperti itu ketika istri beliau Khodijah radhiyallahu ‘anha hamil 4
bulan atau 7 bulan sebanyak 7 kali kehamilan.

Demikian pula Fatimah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika ia


hamil beberapa kali kehamilan, tidak pernah sekali pun melakukan ritual dan tradisi 4
bulan atau 7 bulan ketika masa kehamilannya. Dan para wanita sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam juga demikian, tidak ada seorang pun dari mereka yg
melakukan tradisi 4 bulan atau 7 bulan ketika mereka hamil.

Di dalam hadits yang shohih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫وخير الهدي هدي محمد‬


“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam.”

Selain itu, perayaan usia kehamilan ke tujuh bulan dianggap membuang-buang harta
secara berlebihan (tabdzir). Sedangkan Allah SWT sangat membenci orang-orang
yang tabdzir.

3. Pendapat Penulis
Tradisi mitoni ini hanya bertujuan untuk selamatan dan sebagai bentuk ungkapan rasa
syukur kepada Allah yang telah menitipkan anugerah berupa anak. Selain itu, tradisi

25
ini memiliki sisi hal positif yakni semakin mempererat hubungan kekeluargaan dan
mempererat tali silaturrahmi bagi orang lain karena biasanya ketika tradisi ini
dilaksanakan, banyak tetangga atau kerabat yang diundang. Sehingga bagi kami
boleh-boleh saja selama tidak menyimpang dari ajaran agama Islam. Dalam
pelaksanaannya hanya sewajarnya saja tanpa harus membuang-buang banyak harta
dan tenaga. Asalkan luruskan niatnya hanya untuk berdoa dan bersyukur kepada Allah
SWT semata.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mitoni adalah selamatan perempuan yang mengalami masa kehamilan pertama
pada waktu kandungan 7 bulan dengan beberapa macam cara dan alat alat tertentu.
Sejarah dari mitoni sendiri ada yang mengikuti aturan Islam yang di ajarkan oleh para
walisongo, dan ada juga yang mengikuti adat istiadat nenek moyang. Tujuan dari
mitoni disini ialah dengan harapan kelahirannya lancar, melewati perjanjian sama
yang maha kuasa, menghadapi masa-masa genting, selamat, tidak ada halangan, diberi
kemudahan oleh yang maha kuasa, mengusir kejelekan kejelekan atau gangguan dari
makhluk halus dan juga mensyukuri karunia terindah yang telah diberikan oleh Allah
kepada hambanya dan ungkapan rasa bahagia dan bersyukur keluarga besar dari
mempelai perempuan maupun laki laki. Tata pelaksanaan mitoni sangat banyak dan
sudah diatur sedemikian rupa sehingga tiap pelaksanaannya mengandung nilai atau
makna tertentu. Mulai dari proses siraman hingga proses terakhir yaitu slametan.
Ditinjau dari perspektif Islam, mitoni banyak menimbulkan berbagai macam
pendapat. Banyak yang memilih pro terhadap tradisi tersebut namun tidak sedikit juga
yang berpendapat bahwa mitoni itu sangat kontra dengan ajaran Islam. Kedua
pendapat ini tidak ada yang salah karena masing-masing memiliki dalil yang
menguatkan argument mereka. Penulis sendiri memilih untuk berada dipihak pro
mitoni dengan alasan niat saat pelaksanaan mitoni sangat baik yaitu berdoa memohon
keselamatan kepada Allah SWT dan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT
atas anugerah yang telah diberikan. Dan berbagai dalil yang lain.
Mitoni merupakan adat istiadat yang telah turun temurun menjadi budaya bagi
masyarakat Jawa. Sangat sulit bagi tiap masyarakat untuk mengubah sesuatu yang
telah mengakar kuat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, jika
terdapat perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya tradisi mitoni tersebut
dilaksanakan menurut pandangan Islam, sebaiknya untuk saling menghormati dan
menghargai pendapat masing-masing agar tidak timbul perpecahan dan akan merusak
kesatuan Indonesia.

27
B. Saran/Kritik
Meskipun terdapat banyak perbedaan pendapat, akan menjadi suatu langkah
bijak jika masing-masing saling menghormati dan menghargai demi kesatuan dan
persatuanIndonesia.
Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan laporan hasil penelitian ini, kami
mohon saran atau kritik yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

28
DAFTAR PUSTAKA

Bratawidjaya Tomas Wiyasa. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa.


(Jakarta: Madas Surya Grafindo. 2000)

Chafid Afnan dan Asrori Ma’ruf .Tradisi islami panduan prosesi kelahiran,
perkawinan dan kematian. (Surabaya: Khalista. 2007)

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. (Bandung:


ALFABETA. 2014)

Santosa Iman Bhudi. Spritualisme Jawa sejarah, laku, dan intisari ajaran.
(Yogyakarta: Memayu Phublishing 2012)

Suseno dan Magnis Franz. Etika Jiwa. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
1996)

Sutiono. Poros kebudayaan Jawa. (Yogyakarta: graha Ilmu 2013)

https://konsultasisyariah.com/1222-apa-hukum-mitoni-selamat. (diakses
Selasa, 10 September 2017)

Hasil wawancara oleh Abah Mawardi. 11-09-2017. 20.45 WIB

Hasil wawancara oleh mbah Ngatemi, Narmi, dkk 20-09-2017. 16.14 WIB

Hasil wawancara oleh bpk.Sutarto M.pd, 23-09-2017.12.45

Hasil wawancara oleh ibu Suyakin, bantul jogja 08-10-2017. 13. 00 WIB

Hasil wawancara oleh masyukur (sesepeu desa wringin putih) jogja 08-10-
2017. 02.40 WIB

29

Anda mungkin juga menyukai