Anda di halaman 1dari 1

Undangan pernikahan sudah kuterima, walaupun bukan kau sendiri yang

mengirimkan surat undangan itu. Datang nya surat undangan darimu, Adalah
pertanda datang nya sebuah kehancuran bagiku dan hilang nya pengharapan yang
sudah lama kubangan. berserta surat undangan ini, kunyatakan kekalahanku.
Kurobohkan pondasi harapan yang kubangun untuk meraihmu. Kurelakan
perasaanku hilang, semoga aku bisa menemukan orang lain yang melihatku seperti
matamu melihat segala kekurangan dan kelebihanku.

Dan Jika ditanya siapa yang paling terluka hari itu, maka aku akan mengangkat
tangan paling tinggi dan maju di barisan pertama sendiri. Ya, itu aku. Seorang
pecundang yang saat itu berdiri di bawah Terop dan didepan pelaminanmu.

Hari itu panas sekali, tak ada hujan. Hingga pasti acara pernikahanmu akan
berjalan lancar. Dengan rasa gerah, sesak, getir yang tak bisa dijelaskan ini aku
ingin menyampaikan beberapa hal.

terimakasih telah membuatku semakin yakin. Teramat yakin bila tak perlu lagi
semestinya aku menaruh harap yang berlebihan dan percaya pada seorang pun.
Ucap dan janjimu tak ubahnya berakhir dusta dan khianat. Dalam rentang waktu
yang kupersiapkan demi memantaskan diri, kau hadiahi kabar yang mencambuk
telak perasaanku.
Sebelum meninggalkan tempat itu, aku melihat kembali ke arahmu dari jarak yang
sudah begitu jauh. Begitu berat rasanya, tapi tampaknya mau tidak mau kalimat itu
harus kuucap juga,
"Silakan bahagia duluan. Aku entah kapan."

kukembangkan senyuman terbaikku, aku yakin kau akan bahagia dengannya.


Akupun akan bahagia nantinya, entah kapan dan dengan siapa. Bersama sesak
yang tak bisa dijelaskan ini, aku berdoa untuk kebaikan kalian.

Aku ikhlas, kau pergi bersama pria itu. Berbahagialah, lupakan sajalah segala
tentang kita yg lalu. Berpura-puralah bahwa tak pernah ada yg namanya kita itu.
Selamat menempuh kehidupan barumu. Selamat menjadi wanita yg seutuhnya.
Cukup. Aku benar - benar pergi kali ini.

Anda mungkin juga menyukai