Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Buton dalam kehidupannya terikat kuat oleh tradisi lisan.

Tradisi lisan tersebut berupa tuturan yang memberi ciri khas terhadap individu

atau kelompok penuturnya. Salah satu bentuk tradisi lisan yang memberi ciri khas

terhadap penuturnya adalah sastra lisan.

Sastra lisan masyarakat Buton yang ditemukan di antaranya cerita, kisah,

nasihat, petuah, hukum adat, ungkapan, peribahasa yang tumbuh dan berkembang

secara lisan yang disampaikan dari orang tua ke anak, dari nenek ke cucu, paman

ke kemenakan, dan hubungan sosial di lingkungannya. Sehubungan dengan

pengungkapan kisah atau cerita lisan ini, Junus (1993:2) berpendapat bahwa

cerita ialah perjalanan peristiwa yang dialami seseorang, ada yang memulakan dan

mengakhiri dan ada yang menyebabkan terjadinya. Salah satu sastra lisan

masyarakat Buton adalah cerita Wandiudiu.

Cerita Wandiudiu merupakan salah satu sastra lisan masyarakat Buton,

yang disampaikan melalui cerita yang selalu menyajikan kisah-kisah

pembelajaran tentang kehidupan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wellek dan

Warren (1993:109) bahwa sastra menyajikan “kehidupan” dan “kehidupan”

sebagian besar merupakan kenyataan sosial.

Wandiudiu diceritakan dengan bahasa daerah Buton yang penuh kiasan

dan sarat dengan sindiran yang mengatakan kebenaran berupa petuah atau

nasihat. Dalam cerita Wandiudiu, juga diungkap mengenai pendidikan baik


2

langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan sikap, tingkah laku,

pola pikir, dan moral masyarakat.

Persoalan pendidikan moral atau budi pekerti (dalam ajaran Islam lebih

dikenal sebagai akhlak) sampai saat ini masih menjadi fokus pembicaraan yang

menarik untuk dikaji. Dalam kehidupan berbangsa di negara kita ini masih

dihadapkan pada berbagai permasalahan moral, begitu pula dengan masyarakat

Buton. Masyarakat Buton mengalami masalah dengan moral. Hal ini dapat

dilihat dari masih tingginya kasus tindakan kekerasan, yang terjadi diantara para

pelajar, antarmahasiswa, antarmasyarakat, dalam keluarga, maupun yang

dilakukan oleh preman, bahkan oleh oknum penguasa. Tindak kriminalitas

lainnya pun terjadi, seperti perampokan , disertai pemerkosaan dan pembunuhan,

serta dekadensi moral, etika, sopan santun yang dilakukan oleh para pelajar.

Dekadensi moral para pelajar dapat dilihat dengan meningkatnya

ketidakjujuran pelajar, seperti, menyontek, suka membolos, suka mengambil

barang milik orang lain. Di samping itu, berkurangnya rasa hormat terhadap orang

tua, guru, dan figur yang seharusnya dihormati. Fakta lain adalah adanya

gelombang perilaku yang merusak diri sendiri, seperti perilaku seks bebas,

penyalahgunaan narkoba, dan perilaku bunuh diri. Di samping itu, sikap saling

menghormati dan rasa kasih sayang di antara manusia semakin luntur dan

semakin meningkatnya sifat kejam dan bengis terhadap sesama. Hal lainnya

adalah korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai persoalan lainnya yang

mengarah pada terjadinya dekadensi moral bangsa semakin banyak terjadi.


3

Trend meningkatnya kekerasan dan kriminalitas tidak hanya pada aspek

kuantitasnya, tetapi juga pada aspek kualitasnya. Hal ini terlihat dari jumlah angka

kriminalitas dan peristiwa kekerasan yang semakin bertambah intensitasnya dari

tahun ke tahun dengan berbagai modus operandi yang semakin kompleks dan

canggih. Tidak hanya itu saja, subjek dan objek kekerasan juga semakin ekstensif,

tidak hanya terbatas pada orang dewasa, tetapi juga mengorbankan anak-anak.

Media massa memberitakan peristiwa-peristiwa pembunuhan, perkosaan,

pelecehan seksual, pemukulan terhadap teman sejawat, bahkan tindakan bunuh

diri menjadi fenomena yang cukup mengkhawatirkan bagi dunia anak-anak.

Realitas di atas menyentak kesadaran bersama sebagai bangsa Indonesia

yang memiliki kekayaan nilai, baik yang bersifat tradisional, maupun religius. Hal

itu sebenarnya mampu dijadikan pedoman secara struktural dan kultural yang

dapat mencegah munculnya perilaku-perilaku menyimpang tersebut. Namun,

realitas yang terjadi justru sebaliknya, yaitu nilai-nilai moralitas yang ada ternyata

belum memiliki efektivitas yang maksimal dan mampu mencegah timbulnya

tindakan-tindakan menyimpang yang kini justru telah menjadi bagian dari

kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara das sein

(realitas) dengan das sollen (idealitas).

Berbagai argumentasi muncul terkait dengan adanya gap yang tajam

antara idealitas dengan realitas. Misalnya, sistem pendidikan yang belum efektif

menginternalisasikan nilai-nilai dalam kesadaran anak didik, pendidikan dalam

keluarga yang kurang maksimal, sistem dakwah yang belum menyentuh

kesadaran masyarakat, media yang tidak memihak kepentingan masyarakat, dan


4

sebagainya. Beberapa alasan tersebut perlu dikaji secara lebih mendalam sehingga

diketahui faktor-faktor yang memberikan kontribusi munculnya peristiwa

kekerasan dalam masyarakat dan keluarga.

Semua pihak berharap pembangunan nasional dapat menciptakan jati diri

bangsa yang disiplin, jujur, beretos kerja tinggi, dan berakhlak mulia, tetapi

kenyataannya belum dapat diwujudkan bahkan cenderung menurun. Orang mulai

menyadari pentingnya moral dan karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur.

Namun, dalam kurikulum pendidikan nasional, pendidikan budi pekerti secara

spesifik belum menjadi mata pelajaran tunggal yang mandiri, tetapi secara

eksplisif merupakan bagian integral dari pendidikan agama dan kewarganegaraan

dan inklusif pada mata pelajaran sastra Indonesia.

Tabel 1.1 Alokasi Waktu Pendidikan Agama dan Kewarganegaraa pada KTSP di
Sekolah-Sekolah di Sulawesi Tenggara
Jenis Mata Pelajaran Alokasi Waktu (Jam Pelajaran/JP)
SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA
Pendikan Agama 3 JP 2 JP 2 JP
Pendidikan Kewarganegaraan 2 JP 2 JP 2 JP
Sumber: Pengolahan Data Lapangan

Tujuan pendidikan nasional yang terkandung dalam Undang-undang No.

20, Tahun 2003 Pasal 3 adalah sebagai berikut:

“Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta


didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Sehubungan dengan itu melalui pendidikan budi pekerti yang terintegrasi dalam

pendidikan agama, sastra Indonesia dan kewarganegaraan, pendidik dapat


5

berkreasi menggunakan bahan ajar dari nilai-nilai luhur berupa kearifan lokal

yang terdapat dalam cerita rakyat (folklore) baik lisan maupun tulisan. Namun

demikian harapan dan cita-cita dari undang-undang ini belum tercapai.

Ada tiga asumsi yang menyebabkan gagalnya pendidikan moral/budi

pekerti ke dalam sikap dan perilaku siswa. Pertama, adanya anggapan bahwa

persoalan pendidikan moral adalah persoalan klasik yang penanganannya adalah

tanggung jawab guru saja. Kedua, rendahnya pengetahuan dan kemampuan guru

dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek-aspek moral/budi pekerti ke

dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan. Ketiga, proses pembelajaran mata

pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama

cenderung bersifat transfer of knowledge dan kurang diberikan dalam bentuk

latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari.

Akhir-akhir ini banyak pihak mulai mengintensifkan tentang perlunya

pendidikan moral, watak atau budi pekerti diajarkan di sekolah-sekolah.

Kurikulum pada saat ini menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai

pendidikan yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran.

Namun, sebagaimana dinyatakan dalam asumsi kegagalan pendidikan budi

pekerti terdahulu bahwa pengintegrasian suatu muatan pembelajaran ternyata

bukan pekerjaan mudah bagi sebagian guru. Oleh karena itu, diperlukan strategi

tertentu agar pembelajaran pendidikan budi pekerti berjalan secara efektif.

Cerita Wandiudiu yang telah melekat pada masyarakat Buton diasumsikan

sampai dapat digunakan sebagai bagian dari sarana pembelajaran pendidikan budi

pekerti, sekaligus sebagai solusi dari banyaknya tindakan kekerasan yang masih
6

terus berkembang. Dalam cerita Wandiudiu terungkap budi pekerti diajarkan dan

diterapkan, akibat dari tidak adanya budi pekerti yang baik, kasih sayang, dan hal

lainnya. Secara ringkas cerita Wandiudiu menceritakan tentang seorang

perempuan malang yang rela menerima siksa dari lelaki pilihannya sendiri. Kasih

sayang yang besar pada anak-anaknya menyebabkan ia rela diperlakukan kasar

oleh lelaki yang seharusnya mengasihinya. Wandiudiu tidak tega melihat anaknya

menjadi sasaran perlakuan kasar dari suaminya. Wandiudiu selalu melindungi

anak-anaknya dalam rengkuh dekap pelukannya dari pukulan dan tendangan yang

tidak lain adalah ayah mereka. Wandiudiu perempuan sabar bernasib tragis yang

diikat takdir dalam kemiskinan yang memiriskan hati, dalam derita berbungkus

cinta yang perih dari lelaki pembual.

Sejatinya, persoalan pendidikan tidak hanya dapat diselesaikan dengan

mengedepankan pembelajaran yang didapat oleh anak didik di sekolah, tetapi

seharusnya bisa diselesaikan oleh keluarga dan masyarakat dengan mengambil

pelajaran berupa amanat cerita Wandiudiu. Dalam hal ini Widja (2012:10)

menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pendidikan dari segi budaya

hakikatnya sama saja dengan menempatkan posisi pendidikan sebagai bagian dari

jaringan praktik kehidupan sosial budaya yang kompleks dari satu masyarakat.

Hal ini berarti bahwa proses pendidikan tidak hanya harus dibatasi pada praktik-

praktik pembelajaran di sekolah, tetapi merupakan konstruksi dari budaya

setempat.

Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti akan mengungkapkan

praktik pemaknaan terhadap cerita Wandiudiu. Hasil pemaknaan cerita tersebut


7

dapat menjadi sarana pendidikan dan pembelajaran budi pekerti. Hal ini

dimaksudkan agar siswa yang akan terjun ke masyarakat memiliki moral yang

baik.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dibahas di dalam penelitian terhadap cerita Wandiudiu ini

adalah sebagai berikut.

1) Bagaimanakah bentuk wacana otoritarian ayah pada anak yang dijabarkan

dalam cerita Wandiudiu.

2) Bagaimanakah fungsi wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita

Wandiudiu bagi masyarakat Buton?

3) Apakah makna wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu

dalam masyarakat Buton?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, dan memahami,

dan mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna wacana otoritarian ayah pada

anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton Sulawesi Tenggara. Selain

itu penelitian ini mendalami kaitan berbagai latar belakang sosial dan budaya

yang telah tumbuh dalam kehidupan sehari-hari di Buton dengan teks dan wacana

otoritarian ayah terhadap anak.


8

1.3.2 Tujuan Khusus

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka secara

khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

1) Untuk mengetahui bentuk wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita

Wandiudiu pada masyarakat Buton

2) Untuk mengetahui fungsi wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita

Wandiudiu pada masyarakat Buton.

3) Untuk menginterpretasi makna wacana otoritarian ayah pada anak dalam

cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dibedakan atas dua, yakni

manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu

pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat lokal

Buton. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pengembangan

wawasan keilmuan karya sastra, khususnya dalam pengkajian wacana sastra yang

ada di Nusantara yang kini mulai terlupakan oleh masyarakat.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut.

1) Pemerintah, khususnya pemerintah daerah dapat menentukan dan menetapkan

kebijakan yang tepat dalam upaya pelestarian budaya-budaya lokal yang


9

dimiliki masyarakat yang memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat

Buton pada khususnya.

2) Pihak-pihak yang peduli dengan pelestarian budaya-budaya lokal terutama

yang berkaitan dengan cerita Wandiudiu oleh masyarakat yang semakin

punah.

3) Penelitian khusus tentang kebudayaan masyarakat Buton atau yang mengkaji

kearifan lokal secara umum. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi, menambah pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang arti

penting menggali dan memaknai cerita Wandiudiu sebagai bagian dari masa

lalu.

Anda mungkin juga menyukai