Anda di halaman 1dari 7

UPAYA PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI BAHASA DAN BUDAYA

PENDAHULUAN
Pendidikan adalah hal yang penting sepanjang hidup manusia karena pendidikan dapat
menghasilkan manusia yang handal dan bermartabat. Pendidikan juga menentukan nasib dan
masa depan suatu bangsa. Oleh sebab itu, sistem pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Mengingat peran pendidikan yang sangat strategis, terlebih di era global
sekarang ini, sudah seyogyanya segenap potensi bangsa turut serta berupaya meningkatkan
kualitas pendidikan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat. Dampaknya
dapat kita rasakan dalam berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Perkembangan tersebut di satu sisi berdampak positif, tetapi di sisi lain berdampak negatif.
Dampak positif dapat kita rasakan dalam hal kemudahan mendapatkan bernagai informasi
melalui kehadiran dunia maya. Begitu dampak negatifnya sekaligus dapat kita rasakan dalam
kehidupan sehari-hari antara lain perubahan tata nilai dan norma yang terjadi di masyarakat.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
mengarah kepada peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencapaian amanat ini secara
teoretis dapat dicermati secara komprehensif melalui peningkatan kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan manusia secara operasional dapat
digambarkan melalui tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif.
Melaluipengembangan kognitif, kapasitas berpikir manusia harus berkembang. Melalui
pengembangan psikomotorik, kecakapan hidup manusia harus tumbuh. Melalui pengembangan
afektif, kapasitas sikap manusia harus mulia. Hal ini sejalan dengan dasar pendidikan Indonesia,
yakni mencerdaskan bangsa yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia.
Saat ini, pendidikan karakter menjadi isu utama pendidikan nasional. Hal ini tampak pada
peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini (2 Mei 2011) yang memilih tema “Pendidikan
Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa; Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”. Bahkan
dalam sambutan memperingati Hardiknas tersebut, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh
menegaskan bahwa mulai tahun ajaran 2011/2012, pendidikan berbasis karakter akan dijadikan
sebagai gerakan nasional, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan
Perguruan Tinggi, termasuk di dalamnya pendidikan nonformal dan informal. Karakter yang
hendak dibangun, menurut Mendiknas, bukan hanya karakter berbasis kemuliaan diri semata,
akan tetapi secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa.
Sebelumnya, wacana tentang pentingnya pendidikan karakter telah banyak disuarakan
para pemerhati pendidikan, khususnya dalam forum-forum ilmiah. dapat dikatakan bahwa
karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk
cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Atau karakter dapat pula dinyatakan sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik
dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Bahasa menjadi media yang dapat dimanfaatkan dalam mengenalkan budaya bangsa
melalui bahasa tulis. Pembelajaran sastra lebih mengenalkan budaya bangsa yang terkandung di
dalam karya sastra melalui bahasa tulis. Bahasa bagaian dari budaya yang perlu dipelajarai.
Belajar bahasa secara tidak langsung akan belajar tentang budaya. Bahasa dan budaya
mempunyai keterkaitan. Bahasa hadir dalam kehidupan manusia karena manusia
membutuhkanya untuk berkomunikasi(Nurgiyantoro, 2014, 19).
Komunikasi antar bangsa dapat dengan budaya sebagai media penyampaian pesan.
Budaya tepatnya adalah sebuah kata benda kolektif yang digunakan untuk mendefinisikan ranah
dan lingkungan umat manusia yang menandai ontologinya secara jelas dan terpisah dari
lingkungan yang bersifat semata-mata fisik alamiah (Jenks, 2013:4). Budaya berkembang di
dalam masyarakat sebagai wujud perilaku yang membentuk suatu kebiasaan.
Pembelajaran melalui bahasa dan budaya memberikan pengetahuan tentang bahasa
sekaligus mengenal budaya bangsa. Pada sastra mengandung pendidikan karakater yang
membentuk masayarakat dengan pengetehauan yang berakar kearifan. Pembelajaran sastra
bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif,
nilai keagaman dan nilai sosial secara sendiri-sendiri ataugabungan dari keseluruhan itu, sebagai
cerminan dalam karya sastra (abiding, 2013:213). Artinya pembelajaran sastra mengajarkan
pendidikan karakter yang menjadi dasar dari watak masnusia. Nilai dan norma-norma
masyarakat yang terbentuk dari budaya sebagai aturan yang perlu ajarkan di dalam pendidikan
karakter.
Pendidikan karakter melalui bahasa dan budaya dapat meningkatkan karakter
kebangsaan yang memajukan bangsa dan negara di era milenial. Budaya bagaian dari perilaku
manusia yang dilakukan secara terus menurus. Karakter merupakan keperibadian yang dimiliki
seseorang yang menjadi anggotan masyarakat. Pendidikan karakter perlu ditingkatkan untuk
mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri dengan pembelajaran sastra melalui bahasa dan
budaya di era milenial.

GAGASAN
Temuan Ismail (2003) menunjukkan bahwa peserta didik tidak membaca karya sastra
alias nol judul per tahun. Padahal, mereka diwajibakan untuk membacanya sebanyak 15 judul
buku karya sastra. Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa membaca sudah dikuasai
selepas masa kanak-kanak yang ditandai dengan dapat mengenali huruf-huruf tertulis.
Pandangan ini berdampak negatif bagi pengembangan budaya masyarakat. Mereka tidak perlu
lagi belajar membaca melalui kegiatan membaca berbagai karya sastra. Sebagian besar keluarga
pun tidak menyediakan buku dan mengondisikan anak-anaknya untuk membaca selepas tamat
sekolah dasar. Pandangan ini terus berlanjut pada generasi berikutnya. Bahkan, pandangan ini
terus dianut oleh para pendidik, termasuk pendidik bahasa Indonesia.
Bahasa dan budaya mempunyai hubungan yang saling keterkaitan. Pada sastra
terkandung unsur budaya memalui media bahasa tulis. Budaya pada sastra tercermin malalui
bahasa yang menjadi bagian dari budaya. Bahasa merupakan salah satu aset budaya yang tidak
ternilai (Nurgiyantoro, 2014:6). Aset budaya tidak hanya berupa artifak atau benda-benda
bersejarah. Bahasa menjadi salah satu cara untuk mengenal budaya suatu bangsa. Di era milenial
yang berbagai negara saling bersaing untuk memajukan bangsa dari berbagai bidang. Bahasa
menjadi penting di era milenial sebagai alat komunikasi antarbangsa. Sastra yang menggunakan
bahasa tulis mengandung unsur budaya yang akan bentuk masyarakat yang berbudaya. Budaya
adalah cermina dari kehidupan masyarakat yang dituangkan di dalam sastra oleh pengarang
dalam bentuk bahasa berdasarkan pengalaman.
Bahasa mempunyai peranan penting di dalam pengenalan budaya di era milenial.
Berbagai bangsa akan memperkenalkan budaya sebagai identitas bangsa. Bahasa menjadi alat
rekam gagasan dan ide-ide yang dilakukan oleh orang terdahulu. Bentuk bahasa yang menjadi
alat rekam menjadikan bahasa sebagai budaya yang dapat dipelajari sampai saat ini. Sastra
menjadi salah satu wadah dalam menuangkan ide dan gagasan yang akan direkam menjadi
bahasa tulis yang nantinya dibaca dan dipelajari sebagai budaya bangsa. Belajar sastra, bahasa
dan budaya membangun cara berpikir yang lebih kritis terhadap lingkungan sekitar dan mampu
bersosialisasi. Hal ini dibutuhkan dalam era milenial yang harus mampu berpikir kritis dan
mampu mamanfaatkan peluang yang ada.
Diakui atau tidak, fakta memperlihatkan bahwa dalam duapuluh tahun terakhir ini
perilaku warga masyarakat banyak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur. Misalnya, sikap
mementingkan diri sendiri; menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, termasuk dengan
cara-cara yang melanggar hukum seperti korupsi dan memeras warga masyarakat; budaya
memilih jalan pintas; budaya konflik dan saling curiga; saling mencela/menjatuhkan; budaya
mengerahkan otot (massa); dan budaya tidak tahu malu. Khusus dunia pendidikan, perilaku
menyimpang di kalangan pemuda/- pelajar semakin meningkat. Misalnya, banyak dari mereka
yang terjerat narkoba, pergaulan bebas, tawuran dan premanisme. Di samping itu, sejak
kebijakan ujian nasional diterapkan sebagai standar kelulusan, perilaku tidak jujur/ngrepek saat
ujian telah dilakukan secara berjamaah oleh guru, siswa dan pihak terkait. Demikian pula,
penyelewengan dan penyimpangan penggunaan anggaran pendidikan di tingkat satuan
pendidikan menjadi berita yang menghiasi media setiap saat.
Pendidikan karakter di dalam lingkungan sekolah terintergarasi ke dalam semua mata
pelajaran termasuk dalam pembejaran bahasa Indonesia yang mencakup pembelajaran sastra.
Pendidkan karakter sebagai betuk pembelakan generasi muda untuk mampu menghadapi
perkembangan jaman yang membutuhkan nilai-nilai moral, budi pekerti dan watak. Pendidikan
karakter sebagi dasar dalam membangun bangsa yang lebih kritis dalam menanggapi berbagi isu
dan permasalah bangsa. Pendidikan karakter perlu untuk diajarkan di dalam lingkungan sekolah
sebagai bekal dalam mengahadapi perkembangan jaman. Di era milenial pendidkan karakter
sebagai modal awal dalam mengadapi persaingan global. Di era milenial menuntut masayarak
yang mempunyai jiwa yang tanggung jawab, berani, jujur dan siap mengadapai berbagai
permasalah serta mampu mengambil keputusan.
Proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa harus dilakukan melalui
setiap mata pelajaran, dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler, dan melalui budaya
sekolah. Dengan demikian, dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponenkomponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah. Kriteria pencapaian pendidikan karakter di tingkat satuan pendidikan adalah
terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol
yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah yang berlandaskan
nilai-nilai yang dikembangkan.
Materi sastra di dalam kurikulum dapat dikenali melalui standar isi (SI) yang
dikembangkan oleh BSNP (Permendiknas No. 22 Th. 2006). Di di dalam SI terdapat standar
kompetensi (SK) mata pelajaran Bahasa Indonesia yang merupakan kualifikasi kemampuan
minimal peserta didik yang digambarkan melalui penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Kegiatan bersastra itu serempak dilakukan
dalam kegiatan lain, baik kegiatan jasmani maupun kegiatan rohani. Kegiatan bersastra
dilakukan se rempak dengan kegiatan menggunakan tangan, kaki, kepala, pancaindra, dan
sebagainya. Kegiatan bersastra pun dilakukan serempak dengan kegiatan merasa, berpikir,
berimajinasi, dan sebagainya. Kegiatan bersastra serta kegiatan berbuat itu terjadi dalam konteks,
berupa tempat, waktu, dan suasana. Di dalamnya terdapat tanah, air, udara, cahaya, tumbuhan,
binatang; manusia dengan masyarakat dan budayanya, serta Tuhan dan alam ciptan-Nya. Bagian-
bagian yang ada di dalam pembelajaran bersastra itulah yang dimaksud dengan konteks-konteks
belajar.
kegiatan bersastra yang efektif adalah kegiatan yang mengarah pada berapresiasi secara
luas, bukan sebatas bahasan yang sifatnya kognitif. Hal ini sejalan dengan batasan menurut
Effendi (1982:70) bahwa berapresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan
sungguh-sungguh sampai menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan
kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Dengan demikian, tujuan pembelajaran
bersastra adalah tumbuhnya pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap cipta sastra pada diri peserta didik. Kegiatanberapresiasimeliputi
membaca beragam karya sastra, mempelajari teori sastra, mempelajari esei dan kritik sastra, serta
mempelajari sejarah sastra.
Pendidikan karakter harus diajarkan secara sistematis dan holistik dengan menggunakan
metode knowing the good, loving the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah
diajarkan sebab hanya bersifat pengetahuan atau kognitif. Setelah knowing the good harus
ditumbuhkan loving the good, yakni bagaimana seseorang merasakan dan mencintai kebajikan
yang diajarkan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa seseorang mau melakukan kebajikan karena
dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah tumbuh rasa cinta dan kemauan melakukan
kebajikan, maka akan tumbuh acting the good, kebiasaan melakukan kebajikan secara spontan.
Inilah tujuan akhir pendidikan karakter, yakni terbentuknya pribadi yang secara spontan mampu
melakukan kebajikan sesuai nilai-nilai yang diajarkan. Ini pula yang oleh para filosof muslim
disebut akhlak, yaitu kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan tanpa
pemikiran dan pemaksaan.

KESIMPULAN
Pembentukan karakter bangsa bukan hal yang mudah, ia harus ditumbuhkembangkan
sejak dini dan berkelanjutan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah hingga lingkungan
masyarakat luas. Karena itu, dibutuhkan komitmen bersama semua pihak untuk mewujudkan
generasi yang berkarakter. Pendidikan karakter di sekolah harus melibatkan semua komponen
(stakeholders) termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pembelajaran bersastra yang relevan untuk pengembangan karakter peserta didik adalah
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik tumbuh kesadaran untuk membaca dan menulis
karya sastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia
dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan
sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya watak dan kepribadian
DAFTAR PUSTAKA
Arifa Ainun Rondiyah, Nugraheni Eko Wardani, Kundharu Saddhono, 2017. Pembelajaran
Sastra Melalui Bahasa Dan Budaya Untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter
Kebangsaan Di Era Mea (Masayarakat Ekonomi ASEAN). Lampung, Center for
International Language Development of Unissula.
HIDAYAH, N., 2015. Penanaman Nilai-Nilai Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, 2(2).
Kosim, M., 2011. Urgensi Pendidikan Karakter. Karsa, IXI(1).
Luneto, A. P. &. B., 2014. Pendidikan Karakter Dan Bahasa. Al.-Ulum, 14(1), pp. 153-170.
Sulistiyowati, E., 2013. Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Edukasia:
Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 8(2).
Suryaman, M. Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Sastra, Yogyakarta: FBS Universitas
Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai