Anda di halaman 1dari 14

REVITALISASI NILAI KARAKTER BANGSA MELALUI OPTIMALISASI

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA PEMBELAJARAN


PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN

Nikmalia Maulina, Dyah Pangestika Wulan Safitri dan Ihya Tsimaar Ariih
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Email: nikmaliao6@gmail.com

ABSTRAK
Masyarakat Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan, serta
memiliki wilayah yang sangat luas. Tidak bisa dimungkiri, konflik horizontal, kekerasan
SARA serta diskriminasi yang terjadi akhir-akhir ini, berpotensi untuk membawa bangsa
Indonesia menuju jurang kehancurannya. Penilitian dengan metode kualitatif ini mencoba
menguraikan maksud dari revitalisasi nilai karakter bangsa melalui optimalisasi pendidikan
multikultural dalam pembelajaran Pendidikan dan Kewarganegaraan. Dunia pendidikan
merupakan the starting point untuk melakukan rekonstruksi budaya multikultur dalam
masyarakat yang demokratis. Multikulturalisme merupakan landasan budaya (cultural
basis) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan. Melalui pendidikan
multikultural inilah sebenarnya nilai-nilai karakter bangsa ditransformasikan dari generasi
ke generasi. Di dalam kegiatan pembelajaran, guru mengembangkan iklim yang
multiculture-oriented yang mengedepankan keadilan sosial dan budaya bagi murid-
muridnya. Pendidikan Multikultural berpusat pada karakter ke Indonesiaan, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran Multikultural ini dilakukan dengan pembentukan pola
pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan sehingga muncullah kesadaran nasional yang
berkarakter. Optimalisasi pendidikan multikultural pada pendidikan kewarganegaraan di
setiap jenjang pendidikan diharapkan anak mampu menerima dan memahami perbedaan
budaya yang berdampak pada perbedaan cara-cara, kebiasaan, tata kelakukan dan adat
istiadat seseorang.

Kata kunci: Karakter bangsa, Pendidikan multikultural, Pendidikan dan


Kewarganegaraan.

ABSTRACT
Indonesian society is a country that has many cultures, and has a very wide area. It
is undeniable, horizontal conflicts, racial and racial violence and discrimination that have
occurred recently, have the potential to bring the Indonesian nation to the brink of
destruction. This qualitative research method tries to describe the purpose of revitalizing
the values of the nation's character through optimizing multicultural education in Civics
learning. The world of education is the starting point for reconstructing multicultural
culture in a democratic society. Multiculturalism is the cultural basis for citizenship,
citizenship, and education. Through this multicultural education, the values of the nation's
character are actually transformed from generation to generation. In learning activities,
teachers develop a multicultural-oriented climate that prioritizes social and cultural
justice for their students. Multicultural education is centered on Indonesian character, it
can be concluded that multicultural learning is carried out by forming patterns of thought,
attitude and action. Optimizing multicultural education in civic education at every level of
education is expected that children are able to accept and understand cultural differences
that have an impact on differences in one's usage, folkways, mores, customs.

1
Keywords: National character, multicultural education, education and citizenship

PENDAHULUAN
Kehidupan multikultural dapat kita jumpai pada masyarakat Indonesia. Masyarakat
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan, serta memiliki wilayah
yang sangat luas. Hal ini menjadi salah satu penyebab interaksi dan integrasi ekonomi sulit
merata, sehingga terdapat tummpang tindih kesejahteraan masyarakat. Ini sangat rentan
sebagai awal rasa ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik. Kekayaan suku
Indonesia yang berperan sebagai sebuah entitas, multikultur merupakan sebuah
keniscayaan, sebabnya adalah setiap manusia pasti mempunyai perbedaan yang mencirikan
antara manusia satu dengan lainnya. Menurut Najmina (2018:52) perbedaan suku, agama,
RAS, dan antargolongan (SARA) sebagai kondisi nyata yang diwarisi turun temurun, yang
merupakan unsur-unsur kekayaan yang mewarnai khasanah budaya bangsa, menjadi
momok yang menakutkan, sekaligus ancaman potensial bagi eksistensi bangsa dan
menipisnya rasa nasionalisme.
Realita bangsa Indonesia yang multikultural merupakan anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa, sehingga tidak bisa diganggu gugat. Perbedaan akan semakin menambah variasi
sehingga kehidupan manusia semakin bermakna, dinamis, dan dapat berkembang dengan
baik. Jadi masyarakat multikultural merupakan realitas yang harus diterima oleh setiap
bangsa. Nanggala (2020) berpendapat bahwa negara yang ada dunia ini hampir tidak ada
yang terdiri dari masyarakat monokultural, bahkan sejarah telah mencatat bahwa setiap
upaya untuk menciptakan monokultural dengan berbagai macam bentuk telah gagal karena
pada hakekatnya masyarakat multikultural merupakan sunatullah. Tentu fakta
kemajemukan bangsa tersebut, perlu menjadi ketahanan bahkan kekuatan nasional
Indonesia, dalam upaya untuk menjadi negara maju serta menjadi bangsa yang disegani.
Tidak bisa dimungkiri, konflik horizontal, kekerasan SARA serta diskriminasi yang
terjadi akhir-akhir ini, berpotensi untuk membawa bangsa Indonesia menuju jurang
kehancurannya. Oleh karenanya, dengan jumlah etnis yang begitu banyak, benturan, intrik,
dan perselisihan yang didasarkan pada etnis, agama, dan identitas kultural lainnya sangat
potensial terjadi di negara ini. Ketika interaksi sosial antar kelompok yang berbeda tersebut
dihinggapi sengan semangat superioritas dan primordialisme sempit, yaitu semangat yang
menilai kelompoknya adalah yang paling benar, paling baik, dan paling unggul sedangkan

2
kelompok lain sebagai pelengkap saja, maka sebenarnya benih-benih perpecahan dan
keretakan dari bangun negara bangsa segera dimulai.
Gelombang arus globalisasi akan mendorong terjadinya kontak budaya (cultural
contact) yang semakin bebas (Arifin, 2012). Setiap orang tidak bisa melepaskan dirinya
untuk berhubungan dengan negara, budaya, bahasa, etnis, dan agama lain. Kerusuhan di
Sambas, Lampung, Poso, dan beberapa tempat lain merupakan cermin dari kegagalan
pemerintah negeri ini dalam mengelola keberagaman. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja
maka kita akan menghadapi permasalahan yang lebih besar yang mengancam stabilitas dan
integritas nasional. Dalam hal ini, pendidikan multikultural harus bisa menjembatani
keanekaragaman tersebut. Jangan sampai arus globalisasi akan melahirkan disintegrasi,
pertikaian, dan peperangan antar daerah, suku, bahkan negara. Munculnya konflik sering
disebabkan karena perbedaan suku/etnis, budaya, agama, dan lain-lain.
Permasalahannya menjadi sedemikian pelik karena tampaknya tidak usaha dari
pemerintah untuk menanamkan kesadaran multikulturalisme. Hal ini tampak dari
penanganan yang terkesan tidak serius terhadap konflik SARA. Pemerintah juga tidak
serius untuk melakukan usaha preventif agar konflik horisontal tidak terulang kembali.
Yang biasa dilakukan adalah usaha politis-militeristik yang menganggap konflik horisontal
sebagai gejala politik, ekonomi, dan peristiwa hukum. Konflik selalu dimaknai sebagai
peristiwa hukum yang menyeret pelaku ke meja hijau untuk kemudian dikenakan hukuman
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menurut Thomas Lickona (1992), ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang
menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu: 1) Meningkatnya kekerasan di
kalangan remaja, 2) Ketidakjujuran yang membudaya, 3) Semakin tingginya rasa tidak
hormat kepada orangtua, guru dan pemimpin, 4) Pengaruh peergroup terhadap tindak
kekerasan, 5) Meningkatnya kecurigaan dan kebencian, 6) Penggunaan bahasa yang
memburuk, 7) Penurunan etos kerja, 8) Menurunnya rasa tanggung jawab sosial individu
dan warga negara, 9) Meningginya perilaku merusak diri, 10) Semakin hilangnya pedoman
moral. Dari sepulah yang disebutkan diatas, sebenarnya sudah terlihat dan terjadi di
Indonesia.
Misalnya saja perkelahian pelajar dan mahasiswa masih banyak orangtua, guru dan
para pemimpin yang melakukan tindakan tidak terpuji dan menghilangkan rasa hormat
anak pada mereka dan masih banyak lagi masala yang terjadi di negara ini. Problem dan
permasalahan yang kompleks itu memerlukan jalan keluar dan tindakan yang nyata.
Karakter bangsa yang terpuji, kecerdasan warga yang prima, nasionalisme Indonesia yang

3
kuat, kemampuan hidup dalam masyarakat dan budaya yang multikultural, sangat perlu
menjadi fokus pengembangan pribadi setiap warga bangsa. Hal tersebut dapat dicapai
melalui proses pendidikan, pembudayaan dan pelatihan baik secara formal melalui
lembaga sekolah maupun secara informal melalui lembaga kemasyarakatan, kelompok-
kelompok kerja, organisasi-organisasi masyarakat dan dimulai sejak usia dini sampai
dewasa ini bahkan sampai tua, antara lain melalui pendidikan multikulutral.
Pendidikan bisa menjadi starting point untuk mengurai benang kusut yang dihadapi
oleh bangsa kita. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan konflik
yang sudah terjadi secara masif di masyarakat. Minimal pendidikan harus mampu
memberikan penyadaran (conciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukanlah hal
yang baik untuk dibudayakan. Pendidikan sudah selayaknya memberikan tawaran yang
mencerdaskan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dalam
kaitan dengan hal tersebut pendidikan harus dapat berperan sebagai media transformasi
sosial, budaya, dan multikulturalisme (Choirul Mahfud, 2010). Dalam pandangan Zamroni
(2007) pendidikan juga harus dapat berperan sebagai social reconstruction yaitu
pendidikan yang mampu memahami struktur sosial masyarakat dan melakukan perubahan
yang diperlukan. Pandangan Paulo Freire yang dikutip oleh Firdaus (2007:1) menyatakan
bahwa pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia
menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai
kepada ketertinggalan. Manusia sebagai pusat pendidikan harus menjadikan pendidikan
sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia menjadi makhluk yang bermartabat.
Dalam proses ini pendidikan dimaknai sebagai proses pembentukan kepribadian dan
pengembangan seseorang sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan makhluk yang
beragama. Kesemuanya menghendaki manusia menjadi makhluk yang seimbang sehingga
diharapkan pendidikan dapat menyediakan proses untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengembangan manusia sebagai makhluk sosial dan susila menyiratkan sebuah titah
pembudayaan manusia untuk hidup berdampingan dengan orang lain dalam
mengembangkan suasana kehidupan bermasyarakat yang kondusif, adil, dan terbuka.
Masyarakat Indonesia yang multikultur memerlukan kehidupan yang demikian itu. Lebih
jauh lagi masyakarakat pelu didorong untuk memahami dan menerima perbedaan yang
dimiliki oleh setiap kelompok.

METODE PENELITIAN

4
Menurut Purnama (2013:20) metode penelitian secara umum digolongkan menjadi
tiga yakni metode kuantitatif, metode kualitatif dan metode R&D (Research and
Development). Metode yang digunakan dalam penenlitian ini adalah metode kualitatif.
Menurut Sugiyono (2007: 1), metode penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data
bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada
generalisasi.
Terdapat beberapa dasar teoritis dalam penelitian kualitatif diantaranya pendekatan
fenomenologis, pendekatan interaksi simbolik, pendekatan kebudayaan dan pendekatan
etnometodelogi. Melalui pendekatan kebudayaan diharapkan dapat menjabarkan mengenai
pentingnya revitalisasi dalam pendidikan multikultural dalam lingkup pendidikan guna
membentuk nilai karakter bangsa yang sesuai dengan Indonesia. Sumber data yang ada
diolah dalam bentuk deskriptif dan dianalisis. Penelitian kualitatif ini menggunakan
metode trianggulasi metode dan sumber data. Analisis dilakukan induktif untuk
memperoleh sebuah kesimpulan yang bersifat umum. Pengumpulan data dilakukan melalui
metode dokumen dan Focus Group Discussion (FGD). Dokumen yang dimaksud dapat
berasal dari buku, surat, catatan harian dan lain sebagainya, sedangkan Focus Group
Discussion (FGD) adalah teknik pengumpuan data dengan tujuan menemukan makna
sebuah tema melalui diskusi (Rahmat, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tujuan penelitian ini merupakan menganalisis revitalisasi nilai karakter bangsa
melalui optimalisasi pendidikan multikultural pada pembelajaran pendidikan dan
kewarganegaraan. Memelihara pluralitas akan tercapai kehidupan yang ramah dan
menciptakan kedamaian. Pluralitas kebudayaan adalah interaksi sosial dan politik antara
orang-orang yang berbeda cara hidup dan berpikirnya dalam suatu masyarakat. Secara
ideal, pluralisme kebudayaan multikulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan,
purbasangka, rasialisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang
ada.
Sikap saling menerima, menghargai nilai- nilai, keyakinan, budaya, cara pandang
yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri
seseorang ada kecenderungan untuk berharap orang lain menjadi seperti dirinya (Ibrahim,
2008). Sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan,

5
dididikkan, dibudayakan agar menginternalisasi/ terhayati dan ditindakkan pada generasi
muda penerus bangsa. Dengan pendidikan dan pembudayaan, sikap penghargaan terhadap
perbedaan direncanakan dengan baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan
pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan dilatihkan dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga setelah dewasa mereka sudah punya sikap dan perilaku
tersebut.
Pendidikan karenanya mendorong seseorang menjadi diri sendiri. Wuryanano (2011)
menyatakan bahwa karakter dapat dibentuk melalui tahapan pembentukan pola pikir, sikap,
tindakan, dan pembiasaan. Karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi perilaku
manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum atau konstitusi, adat istiadat, dan
estetika. Jika dikaitkan dengan pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang
terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-
nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Rumusan lain dapat
didefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
perilaku atau karakter kepada warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang
Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan
kamil. Definisi tersebut mengamanatkan bahwa dengan segala perbedaan bangsa
Indonesia, pendidikan di Indonesia bertujuan menjadikan warga belajar memiliki empat
karakter pokok: manusia beragama, manusia sebagai pribadi, manusia sosial, dan manusia
sebagai warga bangsa.

A. Urgensi Kesadaran Multikulturalisme


Bangsa yang multikultur seperti Indonesia membutuhkan penanaman kesadaran
mengenai multikultur. Multikulturalisme adalah respon terhadap realitas, dimana
masyarakat selalu menjadi plural (jamak) dan tidak monolitik. Keanekaragaman membawa
perbedaan dan dapat berujung pada konflik. Namun bukan berarti konflik selalu
disebabkan oleh perbedaan. Dari sudut pandang agama, keragaman keyakinan, budaya, dan
pandangan hidup penting untuk diangkat kembali mengingat penganut agama-agama di
Indonesia masih awam, sehingga sangat rawan dengan konflik dan kekerasan.
Menurut Mahfud (2010:91) multikulturalisme merupakan sebuah konsep dimana
sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan
dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama. Konsep ini memberikan
pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi

6
dengan budaya-budaya yang beragam. Lebih jauh dikemukakan oleh Mahfud (2010:94)
bahwa ada lima macam multikulturalisme yaitu:
1. Multikulturalisme isolasionis yang mengacu pada masyarakat dimana berbagai
kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi
yang minimal.
2. Multikultualisme akomodatif dimana masyarakat dengan kultur yang dominan
membuat penyesuaian dan akomodasi bagi kaum minoritas.
3. Multikulturalisme otonomis dimana kelompok-kelompok kultural utama
berusaha mewujudkan kesetaraan dan menginginkan otonomi dalam kerangka
politik yang dapat diterima secara kolektif.
4. Multikulturalisme kritikal yaitu kelompok tidak peduli dengan kehidupan otonom
tetapi menciptakan kultur kolektif.
5. Multikulturalisme kosmopolitan paham yang berusaha menghapus batas kultural
dan menciptakan sebuah masyarakat yang tidak terikat dengan budaya tertentu.

Kultur Indonesia sebagian besar merupakan isolated culture dimana jarang terjadi
persentuhan antarkultur. Sedangkan kultur lainnya adalah accomodative culture dengan
membuka toleransi bagi kultur lain (Amirin, 2012). Konsep multikulturalisme dalam
konteks ini tidak hanya sebatas pada konsep keanekaragaman suku bangsa atau
kebudayaan masyarakat yang plural, namun menekankan pada keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan
Dalam konteks ini, multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai kepercayaan
pada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini
dapat merupakan titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan berkeadaban (Azra, 2019).
Disini, multikulturalisme merupakan landasan budaya (cultural basis) bagi kewargaan,
kewarganegaraan, dan pendidikan. Multikulturalisme sebagai landasan budaya, lebih jauh
lagi, terkait erat dengan pencapaian civility (keadaban) yang sangat esensial bagi
demokrasi berkeadaban dan keadaban demokratis (democratic civility). Dalam upaya
penumbuhan democratic civility, civil society (CS atau masyarakat madani/masyarakat
kewargaan/masyarakat sipil) dan pendidikan menduduki peran sangat instrumental.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu
menjadi tepat untuk menggambarkan realitas ke Indonesiaan itu. Ungkapan tersebut
mengisyaratkan kemauan kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di
kalangan rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu.
Sekalipun terdapat unsur-unsur yang berbeda namun kemauan untuk mempersatukan
bangsa sesungguhnya mengatasi keanekaragaman itu tanpa menghapuskannya atau
mengingkarinya. Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan
memahaminya sebagai realitas kehidupan menjadi potensi kesadaran pluralisme dan

7
multikulturalisme di Indonesia. Hal tersebut dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa
depan yang bertumpu pada kesadaran akan kemajemukan.

B. Relevansi Pendidikan Multikultural dan Karakter Bangsa


Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada
dalam posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap
lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Anggapan bahwa kebudayaan tertentu
lebih tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan fasisme, nativisme dan
chauvinism. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan
(Suneki&Haryono, 2019). Sehingga nantinya perbedaan tersebut tidak menjadi sumber
konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah yang akan menjadikan keberagaman
yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk
dilestarikan.
Sebagai wacana baru terminologi pendidikan multikultur sesungguhnya belum
begitu jelas dan masih terdapat perdebatan diantara para pakar. Hilda Hernandez (Mahfud,
2010) menyatakan pendidikan multikultur sebagai perspektif yang mengakui realitas
politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan
manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya,
ras, seksualitas, gender, agama, status sosial ekonomi, dan pengecualian-pengecualian
dalam proses pendidikan. Dalam pandangan ini pendidikan semestinya memberikan ruang
untuk proses transformasi pengetahuan dan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara
menciptakan penghormatan terhadap realitas yang beragam dari peserta didik.
Menurut pendapat James A. Bank yang dikutip oleh Sudrajat (2014) menyatakan
bahwa pendidikan multikultural setidaknya meliputi tiga hal yaitu: ide atau konsep, sebuah
gerakan reformasi dalam bidang pendidikan, dan sebuah proses. Selanjutnya James juga
menyakini bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of
beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan
etnis di dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan
pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Secara umum pendidikan
multikultural dipahami sebagai reformasi pendidikan yang mengedepankan keadilan sosial
bagi semua kelompok di dalam masyarakat tanpa memandang identitas dan latar belakang
siswa yang beragam agar tercapai tujuan pendidikan secara optimal.
Melalui pendidikan multikultural inilah sebenarnya nilai-nilai karakter bangsa
ditransformasikan dari generasi ke generasi. Kemudian pendidikan multikultural

8
diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang
mereka miliki. Memiliki sikap positif terhadap perbedaan (SARA) sehingga mampu
membawa individu-individu ke dalam komunitas dan membawa komunitas ke dalam
masyarakat dunia yang lebih luas. Membentuk kerangka dasar untuk menciptakan
organisasi sosial yang harus menyadari bahwa semua adalah bagian dari suprastuktur. Satu
sama lain saling berkaitan dan harus selalu bekerja sama berdasarkan prinsip gotong-
royong dan kekeluargaan. Inilah yang disebut sebagai karakter bangsa, prinsip gotong-
royong dan kekeluargaan sebagai sebuah identitas nasional. Pada akhirnya, output yang
dihasilkan oleh pendidikan model ini diharapkan akan mampu memberikan kekuatan
dalam memulai dan membangun sebuah bangsa yang bersumber pada sejarah sebagai
sumber pembelajaran, kebudayaan sebagai, nilai dan penerapan iptek dalam menghadapi
tantangan masa depan.
Pendidikan diharapkan mampu mentransformasikan peserta didik dari belum
dewasa mejadi dewasa. Ciri manusia dewasa adalah manusia yang memiliki karakter.
Karena itu setiap orang dewasa memiliki karakter sebagaimana dirinya sendiri. Pendidikan
karenanya mendorong seseorang menjadi diri sendiri. Wuryanano (2011) menyatakan
bahwa karakter dapat dibentuk melalui tahapan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan,
dan pembiasaan.
Karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan
norma agama, kebudayaan, hukum atau konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika
dikaitkan dengan pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk
menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga
peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Dalam rumusan lain dapat didefinisikan
bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku atau
karakter kepada warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Definisi tersebut
mengamanatkan bahwa dengan segala perbedaan bangsa Indonesia, pendidikan di
Indonesia bertujuan menjadikan warga belajar memiliki empat karakter pokok: manusia
beragama, manusia sebagai pribadi, manusia sosial, dan manusia sebagai warga bangsa.

C. Optimalisasi Pendidikan Multikultural melalui Pembelajaran Pendidikan dan


Kewarganegaraan

9
Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai
hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan
yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor
geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu
munculnya problem pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan
multikultural di Indonesia secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu:
problem kemasyarakatan pendidikan multikultural dan problem pembelajaran pendidikan
multikultural.
Pendidikan multikultural sudah selayaknya mendapat perhatian dari semua
kalangan yang terkait dengan dunia pendidikan. Dukungan dan komitmen dari semua
pihak merupakan langkah awal untuk mewujudkan pendidikan yang pluralis dan
demokratis yang dapat berimplikasi pada terbentuknya masyarakat yang plural demokratis
juga. Pendidikan multikultural sangat baik diimplementasikan untuk persekolahan dalam
masyarakat yang demokratis, karena memungkinkan seluruh warga negara berkontribusi
dalam transformasi sosial yang membuat demokrasi semakin berkembang.
Salah satu elemen yang paling diperhatikan dalam mengimplementasikan
pendidikan multikultural adalah guru, karena mereka merupakan aktor yang berhadapan
langsung dengan peserta didik. Untuk itu guru harus mempunyai pemahaman yang
memadai mengenai konsep dan paradigma pendidikan multikultural. Perlu ditekankan
kepada guru bahwa pendidikan multikultural tidak hanya memperkenalkan kultur lain
kepada peserta didik, akan tetapi juga perlu menciptakan iklim yang multicultural oriented
yang mengedepankan keadilan sosial bagi peserta didik. Tujuannya adalah untuk
mempersiapkan warga negara di masa depan untuk melakukan rekonstruksi masyarakat
yang dapat melayani semua kebutuhan kelompok khususnya kelompok yang berbeda dari
kulit berwarna, miskin, wanita, dan penyandang cacat (Banks, 2005).
Upaya guru untuk mempersiapkan diri sebagai pengajar pendidikan multikultural
adalah dengan melakukan transformasi diri dalam rangka menjadi pribadi yang
multikultur. Guru dapat memulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
identitas diri-nya, dan bagaimakah sikapnya terhadap siswa-siswanya yang beragam dalam
etnis, agama, latar belakang sosial-ekonomi dan kemampuannya. Dalam tahap ini guru
harus menemukan sebuah jawaban dan meneguhkan komitmen untuk memperlakukan
siswa secara adil tanpa memandang etnis, agama, latar belakang yang berbeda-beda. Guru
dalam rangka transformasi diri menurut Lisa A Jones (2004:17) adalah: (1) mengambil
peran sebagai agen perubahan, dan (2) menjadi model yang bertanggungjawab dalam

10
melayani masyarakat. Dalam fungsinya sebagai pelayan masyarakat yang multikultur, guru
harus dapat menunjukkan sikap yang adil dan menghilangkan prasangka terhadap
kelompok lain. Hal ini penting mengingat peserta didik berangkat dari latar belakang yang
berbeda. Mereka datang dari kelompok sosial ekonomi yang berbeda, etnis, agama, dan
kultur yang berbeda pula.
Pendidikan multikultural pada intinya adalah pendidikan yang memberikan
penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan
toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan
tingkat pluralitas yang tinggi. Dengan model pendidikan ini, diharapkan masyarakat
Indonesia mampu menerima, menolerir, dan menghargai keragaman, humanism dan
pluralisme yang ada di Indonesia. Pendidikan multikultural diharapkan mampu menjawab
tantangan zaman di masa globalisasi ini. Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dan
standar mengenai seberapa jauh suatu negara mampu bersaing di dunia internasional.
Semakin baik mutu pendidikan suatu negara, maka negara itu semakin siap dalam
menghadapi persaingan global
Kendala yang dihadapi untuk mengimplementasikan pendidikan multikultur terletak
pada lemahnya kemauan dan komitmen para pemangku kepentingan, kepala sekolah,
kepala dinas, bupati/walikota, dan gubernur/kepala daerah. Kepala daerah dan kepala dinas
pendidikan belum menjadikan pendidikan sebagai solusi untuk mengeliminasi konflik dan
mempromosikan keadilan sosial. Kendala lainnya orientasi pembelajaran yang mengarah
pada kognitif juga menjadi penghambat yang cukup serius. Oleh karenanya tidak
mengherankan apabila tawuran antarpelajar, bahkan antarfakultas di perguruan tinggi
sering terjadi bahkan menjadi budaya dalam masyarakat kita.
Rohidi (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural
sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang
kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes,
bertahap, dan tidak indoktriner menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah.
Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu
wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan,
maupun perilaku harian yang mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif,
dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan
dengan pendekatan multikulural.
Integrasi pendidikan multikultur pada muaranya akan menciptakan kultur yang sehat
dalam sekolah. Interaksi sosial antara siswa menjadi semakin kondusif, demikian juga

11
interaksi antara guru siswa menjadi lebih baik. Guru dapat memperlakukan siswa secara
adil, berlaku demokratis, dan berkembang suasana yang fair sehingga dapat memacu
kreativitas siswa. Suasana pembelajaran akan menjadi lebih kondusif, berkembang daya
pikir kritis dan mengembangkan daya imajinasi siswa. Hasil penelitian yang pernah
dilakukan (Sudrajat, 2011) menunjukkan bahwa implementasi berbasis multikultural dapat
meningkatkan motivasi belajar karena siswa merasa mempunyai teman yang
menyenangkan di sekolah. Mereka juga merasa diperhatikan oleh gurunya sehingga
memotivasi mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
Melalui optimalisasi pendidikan multikultural pada pendidikan kewarganegaraan di
setiap jenjang pendidikan diharapkan anak mampu menerima dan memahami perbedaan
budaya yang berdampak pada perbedaan usage (cara-cara), folkways (kebiasaan), mores
(tata kelakukan), customs (adat istiadat) seseorang. Dengan pendidikan multikultural
seseorang sejak dini mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati,
toleransi pada sesama tanpa memandang status, kelas sosial, golongan, gender, etnis,
agama maupun kemampuan akademik (Hanum, 2005). Pendidikan multikultural inilah
sebenarnya nilai-nilai ditransformasikan dari generasi ke generasi, kemudian pendidikan
multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan
budaya yang mereka miliki.

KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara multikultur dengan jumlah etnis, kultur, bahasa, agama,
dan latar belakang yang sangat beragam. Namun sayangnya kesadaran akan
multikulturalisme dalam masyarakat kita belum berkembang dengan semestinya. Oleh
karenanya tidak mengherankan apabila konflik antaretnis serta antaragama sering terjadi di
republik ini. Pendidikan merupakan solusi untuk mengurai benang kusut konflik
berkepanjangan berkat peranannya sebagai social reconstruction. Implementasi pendidikan
multikultur yang menekankan pada pentingnya kesadaran terhadap adanya perbedaan
memerlukan komitmen dari semua elemen masyarakat karena memerlukan reformasi
paradigma pendidikan.
Pendekatan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan
karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam
penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner menyesuaikan dengan situasi
dan kondisi sekolah. Melalui optimalisasi pendidikan multikultural pada pendidikan

12
kewarganegaraan di setiap jenjang pendidikan diharapkan anak mampu menerima dan
memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage (cara-cara), folkways
(kebiasaan), mores (tata kelakukan), customs (adat istiadat) seseorang. Revitalisasi karakter
bangsa pada diri peserta didik melalui pendidikan multikultural dalam pembelajaran PPKn
menjadi salah satu upaya mempersiapkan anak bangsa yang dapat menyikapi perbedaan.
Pemangku kepentingan khususnya dalam dunia pendidikan harus mempunyai
komitmen yang kuat serta kesadaran yang tinggi untuk mendukung implementasi
pendidikan multikultur. Lebih jauh lagi guru harus bersedia melakukan transformasi diri
dan restropeksi diri untuk mempersiapkan dirinya mengawal dan mengajar dengan basis
multikultural. Guru harus mendapat bimbingan dan arahan agar dapat berperan secara
maksimal sehingga pendidikan multikultural dapat diimplementasikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual
Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi
dan Aplikasi, Vol. 1, No. 1, 2013. Diakses pada Selasa, 15 Juni 2021 pukul 13.15
WIB.
Arifin, Zainal. 2012. Pendidikan Multikulltural Religius untuk Mewujudkan Karakter
Peserta Didik yang Humanis Religius. Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1.
Diakses pada Selasa, 15 Juni 2021 pukul 14.32 WIB.
Azra, Azyumardi. 2019. Revitalisasi Wawasan Kebangsaan melalui Pendidikan
Multikultural. Jurnal Ledalero, Vol. 18, No. 2. Diakses pada Senin, 14 Juni 2021
pukul 11.35 WIB.
Fakh, Elfan Fanhas dan Mukhlis, Gina Nurazizah. 2017. Pendidikan Karakter untuk Anak
Usia Dini menurut Q.S Lukman 13-19. Jurnal Anak Usia Sini dan Pendidikan Anak
Usia Dini, Vol. 3, No. 3. Diakses pada hari Jum’at 23 April 2021 pukul 06.12 WIB.
Firdaus, M. Yunus. 2007. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial: YB Mangunwijaya-Paulo
Freire. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Hanum, Farida. 2012. Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa. Yogyakarta:
Lemlit UNY.
Ibrahim, Rusdi. 2008. Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era
Pluralitas Agama. El-Tarbawi Vol. 1, No. 1, 2008. Diakses pada Selasa, 15 Juni 2021
pukul 15.03 WIB.
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. 2003. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional
Mahfud, Choirul. 2010. Pendidikan multicultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Malik, Hatta Abdul. 2013. Pemberdayaan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Alhusna
Pasadena Semarang. Vol. 13, No. 2. Diakses pada hari Rabu 21 April 2021 Pukul 18.
30 WIB.
Munir, dkk. 2016. Pembelajaran Pancasila. Malang: Madani Media.
13
Mustari Muhammad. 2014. Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Najmina, Nana. 2018. Pendidikan Multikultural dalam membentuk Karakter Bangsa
Indonesia. Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Vol. 10, No. 1, Juni 2018. Diakses
pada Selasa, 15 Juni 2021 pukul 12.06 WIB.
Nanggala, Agil. 2020. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Multikultural.
Jurnal Soshum Insentif Vol. 3, No. 2, Oktober 2020. Diakses pada Selasa, 15 Juni
2021 pukul 14.25 WIB.
Nanisanti, N. N. K. 2014. Pengembangan Kepribadian Religius Siswa Lewat Aktivitas
Ekstrakulikuler Muhadhoroh Di pondok Modern MTs Darul Hikmah Tawangsari
Tulungagung. Skripsi. Tulungagung: Fakultas Tarrbiyah serta Ilmu Pendidikan-
Intitut Agama Islam Negara Tulungagung. Diakses pada hari Jum’at 23 April 2021
Pukul 05.33 WIB.
Purnama, Sigit. 2013. Metode Penelitian dan Pengembangan (Pengenalan untuk
Mengembangkan Produk Pembelajaran Bahasa Arab). Literasi, Vol. IV, No. 1 Juni
2013. Diakses pada Senin, 14 Juni 2021 pukul 13.15 WIB.
Rahmat, Pupu Saeful. Penelitian Kualitatif. Equilibrium, Vol. 5, No. 9, Januari-Juni 2009:
1-8. Diakses pada Senin, 14 Juni 2021 pukul 12.45 WIB.
Ratnasari, Lisa dkk. 2019. Penguatan Kedudukan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ),
selaku Pembelajaran Kepribadian Religius. Jurnal Solma Vol. 8, No. 1. Diakses pada
hari Rabu 22 April 2021 Pukul 11.30 WIB.
Rohidi, Tjetjep Rohendi.2002. Pendidikan seni multikultural. Harian Kompas
Soekanto, Soerjono. 2002. Teori Peranan. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan (Kuantitatif, Kualitatlf, Kombinasi, R&D
dan Penelitian Pendidikan). Bandung: C.V Alfabeta.
Suneki, Sri&Haryono. 2019. Revitalisasi Pendidikan Multikurtural dalam Mengan-tisipasi
Konflik Sosial. Seminar Nasional Keindonesiaan (FPIPSKR).
http://conference.upgris.ac.id/index.php/snk/article/view/598. Diakses pada tanggal
14 Juni 2021 pukul 09.45 WIB.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Zamron. 2011. Pendidikan untuk demokrasi: Tantangan menuju civil society. Yogyakarta:
Bigraf publishing

14

Anda mungkin juga menyukai