Anda di halaman 1dari 31

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi dukungan penelitian ini seperti

penelitian yang dilakukan oleh: Magdayanti Sembiring (2011), telah meneliti:

Pengaruh Budaya Kerja Terhadap Komitmen Kerja Karyawan Pada PT. Tiffa Mitra.

Telah menemukan bahwa budaya kerja berpengaruh terhadap komitmen kerja

karyawan. Hal ini bermakna bahwa budaya kerja yang baik akan dapat memperbaiki

komitmen kerja. Maksudnya bahwa apabila pegawai bekerja cerdas, bekerja ikhlas,

bekerja keras dan bekerja tuntas maka akan dapat meningkatkan komitmen kerjanya.

Selanjutnya Sandra Febri Yanti (2008), telah meneliti Pengaruh Budaya Kerja

Terhadap Komitmen Kerja Karyawan PT.Pertamina (Persero) Jawa Tengah. Telah

menemukan bahwa budaya kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap

komitmen kerja karyawan. Masuknya sikap terhadap pekerjaan dan perilaku pada

waktu bekerja yang baik, akan dapat memperbaiki komitmen kerja karyawan.

Ravikumar (2013) dengan judul penelitian “A Study on Impact of Team Work,

Work Culture, Leadership and Compensation on Engagement Level of Emfloyees in

MSMES in India”. Keterlibatan pegawai muncul sebagai pendorong penting dari

kesuksesan bisnis dipasar yang kompetitif saat ini. Selanjutnya, keterlibatan pegawai

dapat menjadi faktor penentu dalam keberhasilan organisasi. Tidak hanya keterlibatan

memiliki potensi untuk mempengaruhi secara signifikan retensi pegawai,


11

produktivitas dan loyalitas, juga link kunci untuk kepuasan pelanggan, reputasi

perusahaan dan nilai pemangku kepentingan keseluruhan. Dengan demikian, untuk

mendapatkan keunggulan kompetitif, organisasi yang beralih ke SDM untuk

mengatur agenda untuk keterlibatan dan komitmen pegawai. Tantangan saat ini tidak

hanya mempertahankan orang-orang berbakat, tetapi sepenuhnya melibatkan mereka.

Ada banyak variabel yaitu kerja tim, kepemimpinan, kompensasi, budaya kerja,

komitmen dll yang mempengaruhi tingkat keterlibatan pegawai dalam suatu

organisasi. Artikel ini membuat upaya untuk mempelajari tentang dampak kerja tim,

budaya kerja, kepemimpinan, dan kompensasi pada tingkat keterlibatan pegawai di

usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di India.

Ahmad (2012) dengan judul penelitian “Impact of Organizational Culture on

Performance Management Practices in Pakistan”. Kinerja manajemen adalah proses

penyampaian kesuksesan yang berkelanjutan bagi organisasi sebagai faktor

kontekstual signifikan dalam manajemen kinerja hampir dipelajari. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk memperluas basis pengetahuan dan empiris menguji

hubungan antara komponen budaya dan manajemen kinerja praktek organisasi.

Metodologi Penelitian: Penelitian ini mengadopsi penelitian eksplorasi untuk

mengeksplorasi dampak. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner dari 60

pegawai di COMSATS Institut Teknologi Informasi. Samapel terdiri dari laki-laki

dan perempuan anggota fakultas. Regresi dan Korelasi analisis yang digunakan untuk

analisis statistik. Temuan: Hasil statistik menunjukkan keterlibatan yang sangat

berhubungan dengan konsistensi dan kemampuan beradaptasi. Demikian pula,


12

dimensi lain dari budaya organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan

dengan praktek manajemen kinerja. Implikasi: Penelitian ini memilih sampel dari

beberapa kota di Pakistan. Penelitian selanjutnya dapat memilih kota-kota lain dan

membandingkan hasilnya dengan kota sampel yang dipilih. Penelitian ini

menggunakan prosedur pengambilan sampel acak, yang merupakan batasan utama

dari penelitian ini. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan prosedur stratified

random sampling dengan jumlah sampel yang lebih. Implikasi praktis: Diharapkan

bahwa temuan studi ini akan membantu sumber daya manausia manajer, praktisi dan

pembuat stategi untuk lebih memahami praktik kinerja organisasi. Value Added:

Nilai tambah dari makalah ini adalah untuk menghubungkan teori dan praktek, dan

menjelajahi dampak dimensi budaya organisasi terhadap praktik manajemen kinerja.

Beberapa penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun dibawah perspektif ini di

Pakistan. Kata Kunci: Manajemen kinerja, budaya organisasi, keterlibatan,

konsistensi, kemampuan beradaptasi.

Lestari Julianti (2012), telah meneliti Pengaruh Budaya Kerja Terhadap

Komitmen Kerja Pegawai Pada Pabrik Kelapa Sawit. Telah menemukan bahwa

terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara budaya kerja terhadap komitmen

kerja pegawai pada Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Rambutan. Halini bermakna bahwa

budaya kerja yang baik dapat memperbaiki komitmen kerja. Artinya, pegawai yang

memiliki perilaku disiplin, jujur serta perilaku tegas dan percaya diri akan dapat

meningkatkan komitmen kerja pegawai.


13

Putri Pratiwi (2012), telah meneliti Pengaruh Budaya Kerja terhadap

Komitmen Kerja pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Telah

menemukan bahwa budaya kerja berpengaruh signifikan terhadap komitmen kerja

Artinya, pegawai yang membudayakan sifat jujur, tegas dan percaya diri dalam

bekerja akan dapat meningkatkan komitmen kerjanya.

Nur Syamsu Kukuh Maulana dalam jurnal (2011), telah meneliti Pengaruh

Budaya Kerja terhadap Komitmen Kerja Pegawai Pada PT. Koperasi Simpan Pinjam

"Jasa" di Pekalongan. Telah menemukan bahwa budaya kerja berpengaruh terhadap

komitmen kerja pegawai. Artinya, adanya budaya kerja yang baik dalam hal

memberikan jabatan yang lebih tinggi kepada pegawai yang telah memiliki syarat

akan dapat meningkatkan komitmen kerjanya.

Ezekiel (2012), telah meneliti The Influence of Corporate Cultureon

Employee Comitment to the Organization. Result of this research corporate culture

toward to work comitment. (Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya kerja

berpengaruh terhadap komitmen kerja).

Mariatni (2007) meneliti tentang budaya organisasi terhadap disiplin kerja dan

hasil temuan dari penelitiannya adalah budaya organisasi secara signifikan

berpengaruh langsung dan tidak langsung melalui disiplin kerja.

Lintang Cahya (2010) telah meneliti Pengaruh Kemampuan Kerja Terhadap

Komitmen Pegawai PT. Bukit Asam (Persero) Tbk Kantor Perwakilan Jakarta.

Telah menemukan bahwa kemampuan kerja berpengaruh terhadap komitmen

pegawai.
14

Lyun Mcparlane Sbore (2007) telah meneliti The Influence to Work Ability

toward work comitment. Result of this research work ability to ward to work

comitment, (Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan kerja berpengaruh

terhadap komitmen kerja).

Widyo Yudo (2009), telah meneliti Pengaruh Kemampuan Kerja Terhadap

Komitmen Pegawai Negeri Sipil di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi

Jawa Timur. Telah menemukan bahwa kemampuan berpengaruh signifikan terhadap

komitmen kerja.

Xiaomeng dan Kathryn (2010), dalam penelitiannya yang berjudul the effect

of accupation job to job commitment with job ability as mediation dan hasil

penelitiannya menyatakan bahwa budaya kerja yang memiliki power berpengaruh

terhadap komitmen kerja dengan kemampuan kerja sebagai variabel mediasi

John dan Gregory (2012), hasil penelitiannya menyatakan budaya kerja

berperan penting dalam kemampuan kerja, serta kemampuan kerja berdampak pada

komitmen kerja. Demikian pula Anne et al. (2008), dimana hasil penelitiannya

menyatakan bahwa budaya kerja berpengaruh signifikan terhadap kemampuan kerja.

2.2. Kajian Teori

2.2.1.Konsep Budaya Kerja

a. Pengertian Budaya Kerja

Budaya kerja merupakan sistem nilai, persepsi, perilaku dan keyakinan yang

dianut oleh setiap bawahan tentang makna kerja dan refleksinya dalam kegiatan

mencapai tujuan organisasi dan individu. Sebenarnya budaya kerja sudah lama
15

dikenal manusia, namun belum disadari bahwa sebuah keberhasilan kerja berakar

pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Nilai-nilai

tersebut bermula dari adat-istiadat, agama, norma dan kaidah yang menjadi keyakinan

pada diri pelaku kerja atau organisasi. Nilai-nilai yang menjadi kebiasaan tersebut

dinamakan budaya kerja (Triguno,2009:31).

Setiap fungsi atau proses kerja harus mempunyai perbedaan dalam cara

bekerjanya yang mengakibatkan perbedaan nilai-nilai yang diambil dalam kerangka

kerja organisasi. Hal tersebut seperti nilai-nilai apa saja yang patut dimiliki, kerja

organisasi. Hal tersebut seperti nilai-nilai apa saja yang patut dimiliki, bagaimana

perilaku setiap orang akan dapat mempengaruhi kerja mereka, kemudian falsafah

yang dianutnya. Proses yang panjang yang terus menerus disempurnakan sesuai

dengan tuntutan dan kemampuan sumber daya manusia itu sendiri sesuai dengan

prinsip pedoman yang diakui (Triguno,2009:31).

Budaya kerja adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai

dalam suatu organisasi, pelanggaran dalam sangsi ini memang tidak ada yang tegas,

namun dari pelaku organisasi secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan

tersebut merupakan kebiasaan yang harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan

untuk mencapai tujuan (Nawawi,2008:18).

Budaya kerja terbentuk begitu satuan kerja atau organisasi itu berdiri.

Pembentukan budaya kerja itu terjadi takkala lingkungan kerja atau organisasi belajar

menghadapi masalah, baik yang menyangkut perubahan-perubahan eksternal maupun

intemal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi. Diperlukan waktu yang
16

cukup lama untuk membentuk budaya kerja. Pembentukan budaya kerja diawali oleh

para pendiri (founders) atau pimpinan paling atas (top management) atau pejabat

yang ditunjuk dimana besamya pengaruh yang dimilikinya akan menentukan suatu

cara tersendiri yang dijalankan dalam satuan kerja yang dipimpinnya.

Budaya kerja diartikan sebagai sistem atau pola nilai-nilai, kepercayaan-

kepercayaan, asumsi-asumsi, sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan seseorang atau

kelompok orang yang mempengaruhi perilaku kerja dan cara kerja yang dipengaruhi

budaya masyarakat setempat dan budaya kerja perusahaan tempat mereka bekerja.

Budaya kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai

nilai- nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan

dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita,

pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja (Triguno, 2009:8).

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa

budaya kerja merupakan sikap dan perilaku individu dari kelompok anggota

organisasi dalam bekerja. Kesadaran dalam melakukan aktifitas pekerjaan tersebut

didasari atas nilai-nilai yang diyakini oleh para anggota organisasi tentang

kebenarannya dan hal tersebut menjadi sifat serta kebiasaan para anggota organisasi

dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Manfaat utama dari budaya

kerja berakibat pada meningkatnya produktifitas kerja atau kinerja pegawai. Hal ini

dapat disebabkan karena penerapan budaya kerja yang ada diorganisasi sudah sesuai

dengan tujuan, visi dan misi yang ada diorganisasi. Jika hal tersebut terjadi maka hal
17

tersebut akan memudahkan para pegawai untuk menerapkan budaya kerja yang

berimplementasi pada produktifitas kerja organisasi.

-Program budaya kerja akan menjadi kenyataan melalui proses panjang,

karena perubahan nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai baru akan memakan waktu

untuk menjadi kebiasaan dan tak henti-hentinya terus melakukan penyempumaan

dan perbaikan. Warna budaya kerja adalah produktivitas yang berupa perilaku kerja

yang dapat diukur antara lain: kerja keras, ulet, disiplin, produktif, tanggung

jawab, motivasi, manfaat, kreatif, dinamik, konsekuen, konsisten, responsif,

mandiri, makin lebih baik dan lain-lain (Triguno, 2009:4).

Budaya kerja yang dibangun dan dipertahankan ditunjukkan dari filsafat

pendiri atau pimpinannya. Selanjutnya budaya itu sangat dipengaruhi oleh

kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan pegawai. Tindakan pimpinan

akan sangat berpengaruh terhadap perilaku yang dapat diterima atau tidak. Namun

secara perlahan nilai-nilai tersebut dengan sendirinya akan terseleksi dan terjadi

perubahan yang akhirnya akan muncul budaya kerja yang diinginkan. Dengan uraian

tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan dalam budaya kerja itu sangat penting,

karena masalah budaya kerja terletak pada diri kita masing-masing dan musuh budaya

kerja adalah diri kita sendiri (Triguno,2009:29).

Unsur dasar budaya kerja adalah mata rantai proses, dimana tiap kegiatan

berkaitan dengan proses lainnya atau suatu hasil pekerjaan merupakan suatu masukan

bagi proses pekerjaan lainnya. Dalam suatu organisasi bekerja melalui serangkaian

proses yang saling berkaitan, yang terjadi melalui dan melewati batas-batas birokrasi.
18

Setiap organisasi memiliki banyak dan aneka ragam proses kegiatan baik yang

bersifat administratif maupun yang manufaktur. Orang dapat bekerja secara individu

maupun kerjasama dengan yang lainnya dalam setiap tahapan proses sepeti mengetik

surat, menjalankan mesin, menyusun kebijaksanaan, menerima tamu. Semua

berbeda, tetapi mempunyai kesamaan. Setiap proses mempunyai sifat peran sebagai

pelanggan dan pemasok atau saling melayani.

Tujuan fundamental budaya kerja untuk membangun sumber daya manusia

seutuhnya agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat
I

peran sebagai pelanggan pemasok dalam komunikasi dengan orang lain secara efektif

dan efisien serta menggembirakan. Oleh karena itu budaya kerja berupaya merubah

budaya komunikasi tradisional menjadi perilaku manajemen modern, sehingga

tertanam kepercayaan dan semangat kerjasama yang tinggi serta disiplin

(Triguno,2009:5-6).

Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat dalam, karena akan

merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja

yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan. Manfaat yang didapat

antara lain menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik, membuka seluruh

jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan,

menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki, cepat menyesuaikan diri dari

perkembagan dari luar (faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi

dan lain-lain).
19

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku

sumber daya manusia yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja

untuk menghadapi berbagai tantangan dimasa yang akan datang. Adapun manfaat

nyata dari penerapan suatu budaya kerja yang baik dalam suatu lingkungan

organiasasi adalah meningkatkan jiwa gotong royong, meningkatkan kebersamaan,

saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan rasa

kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan produktivitas

kerja (Triguno, 2009:21).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka budaya kerja memiliki manfaat:

a. Orang yang terlatih melalui kelompok budaya kerja akan menyukai kebebasan,

pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam

usahanya untuk mencari kebenaran, mencocokan apa yang ada padanya dengan

keinsyafan dan daya imajinasi seteliti mungkin dan sesubyektif mungkin.

b. Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan memecahkan

pemasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode

ilmu pengetahuan, dibangkitkan oleh pemikiran yang kritis kreatif, tidak

menghargai penyimpangan akal bulus dan pertentangan.

c. Orang yang terdidik melalui kelompok budaya kerja berusaha menyesuaikan diri

antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan sosialnya, baik nilai-nilai spiritual

maupun standar-standar etika yang fundamental untuk menyerasikan kepribadian

dan moral karaktemya.


20

d. Orang yang terdidik melalui kelompok budaya kerja mempersiapkan dirinya

dengan pengetahuan umum dan keahlian-keahlian khusus dalam mengelola tugas

atau kewajibannya dalam bidangnya, demikian pula dalam hal berproduksi dan

pemenuhan kebutuhan hidupnya.

e. Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan memahami dan

menghargai lingkungannya seperti alam, ekonomi, sosial, politik, budaya dan

menjaga kelestarian sumber-sumber alam, memelihara stabilitas dan kontinuitas

masyarakat yang bebas sebagai suatu kondisi yang harus ada,

f. Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan berpastisipasi dengan

loyal kepada kehidupan rumah tangganya, sekolah, masyarakat dan bangsanya

penuh tanggungjawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi

kemerdekaannya serta memberi tempat secara berdampingan kepada oposisi

yang bereaksi dengan yang memegang kekuasaan sebaik mungkin (Triguno,

2009:9).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya kerja

adalah kebiasaan kerja yang dianut bersama-sama oleh beberapa orang yang terlibat

didalam satu organisasi. Oleh karena itu maka dalam konteks penelitian ini, budaya

kerja adalah persepsi definisi operasional bersama yang dianut oleh pegawai

pada Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Konawe.

b. lndikator Budaya Kerja

Beberapa perilaku dan sikap budaya yang sering terjadi adalah perilaku tidak

disiplin dan tidak jujur serta perilaku tidak tegas dan tidak percaya diri.
21

1. Perilaku tidak disiplin dan tidak jujur

Hampir semua bagian lapisan masyarakat pada berbagai kasus dan intensitas

yang berbeda melakukan tindakan tidak disiplin dan tidak jujur,

melakukan pelanggaran hukum/peraturan pemerintah maupun terhadap tugas

atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Perilaku tidak disiplin dan

tidak jujur yang dilakukan tersebut akan mempengaruhi kinerja dan

berdampak merugikan bangsa dan masyarakat.

2. Perilaku tidak tegas dan tidak percaya diri

Perilaku yang tidak tegas dan tidak percaya diri juga merupakan faktor yang

mempengaruhi kinerja seseorang. Orang yang tidak tegas akan selalu berbasa-

basi, ragu-ragu dalam mengambil keputusan sehingga akan berakibat buruk

bagi keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tidak percaya

diri membuat seseorang tidak mampu berfikir yang berdampak tidak dapat

mengoperasikan pekerjaannya/melaksanakan tugasnya secara maksimal

dan sebagai implikasinya tujuan organisasi tidak tercapai (Suyadi, 2005:151).

Umam (2010:151) mengemukakan bahwa budaya kerja terdiri dari dua

indikator, yaitu:

1. Sikap terhadap pekerjaan

Sikap terhadap pekerjaan yaitu kesukaan terhadap kerja dibandingkan dengan

kegiatan lain seperti bersantai atau semata-mata memperoleh kepuasan dari

kesibukan pekerjaannya sendiri atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya

untuk kelangsungan hidupnya.


22

2. Perilaku pada waktu bekerja

Seperti rajin, berdedikasi, bertanggungjawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan

yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama

rekan kerja atau sebaliknya (Umam, 2010:151).

Berdasarkan uraian tersebut maka budaya kerja dapat diamati dari

indikator sikap terhadap pekerjaan dan perilaku pada waktu bekerja Dimana dalam

penelitian ini, keduanya dijadikan sebagai indikator dalam mengukur budaya kerja.

2.2.2. Konsep Kemampuan Kerja

a. Pengertian Kemampuan Kerja

Faktor yang mempengaruhi kemampuan pegawai adalah faktor pengetahuan

dan keterampilan. Kemampuan adalah pendidikan disertai keterampilan. Secara

psikologis, kemampuan pegawai terdiri dari kemampuan potensi dan kemampuan

nyata, artinya pegawai yang memiliki kemampuan diatas rata-rata dengan pendidikan

atau pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari, maka ia

akan lebih mudah mencapai prestasi kerja (prestasi) yang diharapkan. Oleh karena

itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the

right man on the right job). Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kemampuan kerja

seorang pegawai dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dalam

melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya (Riduwan,2007:34).

Poedjawijatna (2009:14) mengemukakan bahwa orang yang tahu disebut

mempunyai pengetahuan. Sejalan dengan pendapat tersebut Moeliono (2007:84)

mengemukakan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui.


23

Selanjutnya Hadi (2006:123) mengemukakan bahwa pengetahuan adalah keyakinan

mengenai suatu obyek yang telah dibuktikan kebenarannya.

Menurut Robbins (2006) kemampuan adalah kepastian seseorang individu

untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Sementara itu Gibson et.al

(2006). menyatakan bahwa, perbedaan dalam kemampuan ini akan berpengaruh

terhadap kepuasan kerja serta kinerja individu. Selanjutnya dikatakan bahwa

kemampuan merupakan sifat (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang

melakukan pekerjaan baik mental maupun fisik sedangkan keterampilan adalah

komposisi yang berhubungan dengan pekerjaan.

Davis & Newstroom (2000), menyatakan bahwa kemampuan merupakan

pengetahuan seseorang serta keterampilannya dalam menerapkan pengetahuan.

Dengan kata lain bahwa kemampuan merupakan fungsi dari pengetahuan

(knowledge) dan keterampilan (skill), sehingga formulanya adalah: A=f (K.S).

Sedangkan menurut Norman dalam Al-Hussami (2008), Kemampuan kerja meliputi

kecerdasan, kepribadian, pengalaman, pelatihan, perhatian/ketertarikan dan daya

berfikir. Setiap jenis pekerjaan menurut pengetahuan, keterampilan, dan sikap

tertentu agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik. England dalam

Swasto (1996) menyatakan bahwa pengetahuan, keterampilan dan sikap yang

dimiliki oleh seseorang karyawan akan menentukan kesiapannya untuk melakukan

suatu pekerjaan.

Swasto (1996) menjelaskan bahwa kemampuan secara luas mencakup segala

hal yang pernah diketahui tentang sesuatu obyek tertentu. Pengetahuan adalah
24

terminology generic yang mencakup segenap cabang pengetahuan berdasarkan

kemampuannya selaku makhluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Kemampuan

keterampilan adalah kemampuan psikomotorik dan teknik pelaksanaan kerja tertentu,

sedangkan kemampuan sikap adalah kesiagaan mental yang diorganisasikan lewat

pengalaman yang mempunyai pengaruh tertentu kepada tanggapan seseorang

terhadap orang-orang, obyek dan situasi yang berhubungan dengannya.

Notoadmojo (2008:130) mengemukakan bahwa pengetahuan dicakup didalam

Domain kognitif, mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Kata kerja untuk mengukur bahwa orang itu tahu tentang apa yang dipelajari

antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan

sebagainya,

2. Memahami (Comprehensive)

Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya

terhadap obyek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenamya). Aplikasi di sini dapat
25

diartikan menggunakan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya

dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi dan

masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari

penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan (membuat bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya dapat menyusun,

merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu

teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atas pemikiran terhadap

suatu materi atau obyek

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan kerja

adalah kemampuan potensi, pengetahuan dan keterampilan seseorang yang memadai

dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari dalam suatu organisasi untuk mencapai

prestasi kerja yang diharapkan.


26

b. Indikator Kemampuan Kerja

Steers (2005) mengemukakan bahwa kemampuan kerja terdiri atas 4 (empat)

indikator yaitu:

1. Kemampuan Intelektual

Kompetensi intelektual adalah karakter sikap dan perilaku atau

kemampuan dan kemampuan individu (dapat berupa pengetahuan, keterampilan,

pemahaman profesional, pemahaman konsektual, dan lain-lain) yang bersifat

relatif stabil· ketika menghadapi permasalahan di tempat kerja, yang dibentuk

dari sinergi watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan

konsektual. Kompetensi intelektual ini terintemalisasi dalam bentuk Sembilan

kompetensi (Steers,2005) sebagai berikut:

a. Berprestasi

b. Kepastiankerja

c. Inisiatif

d. Penguasaan informasi

e. Berpikir analitik

f. Berpikir konseptual

g. Keahlian praktikal

h. Kemampuan linguistik

1. Kemampuan naratif

2. Kemampuan Emosional
27

Kompetensi emosional adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan

dan kemampuan untuk menguasai diri dan memahami lingkungan secara objektif

dan moralis sehingga pola emosinya relatif stabil ketika menghadapi

permasalahan di tempat kerja yang terbentuk melalui sinergi watak, konsep diri,

motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan mental/emosional. Marshall (2008)

kecerdasan emosional adalah berkaitan dengan kesadaran diri sendiri dan

perasaan dengan orang lain yang menjadi dasar agar kecerdasan intelektual dapat

digunakan secara efektif. Kompetensi emosional individu terinternalisasi dalam

bentuk enam tingkat kemauan dan kemampuan (Steer, 2005) sebagai berikut:

a. Sensitifitas atau saling pengertian

b. Kepedulian terhadap kepuasan pelanggan internal dan eksternal

c. Pengendalian diri

d. Kemampuan beradaptasi

e. Komitmen pada organisasi

3. Kemampuan Sosial

Kompetensi sosial adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan

kemapuan untuk membangun simpul-simpul kerja sama dengan orang lain yang

relatif stabil ketika menghadapi permasalahan di tempat kerja yang terbentuk

melalui sinergi watak, konsep diri, motivasi internal serta kapasitas pengetahuan

sosial. Steers (2005), mengatakan bahwa kompetensi sosial dipandang sebagi

kemampuan untuk mencapai tujuan pribadi dalam interaksi sosial sekaligus

senantiasa memelihara hubungan sosial dengan orang lain, bahwa kompetensi


28

sosial dipandang sebagi kemampuan untuk mencapai tujuan pribadi dalam

interaksi sosial sekaligus senantiasa memelihara hubungan sosial dengan orang

lain dalam berbagai situasi.

Kompetensi sosial individu terinternalisasi dalam bentuk tujuh tingkat

kemauan (Steers, 2005) sebagai berikut:

a. Pengaruh dan dampak

b. Kesadaran berorganisasi

c. Membangun hubungan kerja

d. Mengembangkan orang lain

e. Mengarahkan bawahan

f. Keda tim

g. Kepemimpinan kelompok

4. Kemampuan Spiritual

Kompetensi spiritual adalah karakter sikap dan sikap yang merupakan

bagian dari kesadaran yang paling dalam pada seseorang yang berhubungan

dengan sadar yang tidak hanya mengakui keberadaan nilai tetapi juga

mengungkapkan bahwa kesadaran spiritual adalah kemampuan untuk mencari dan

menemukan makna tertinggi dengan bantuan kecerdasan intelektual dan

emosional serta kemampuan atau memahami sistem nilai yang berlaku pada orang

atau sekelompok orang.

Menurut Steers (2005), ada Sembilan ciri pengembangan kompetensi

spiritual yang tinggi, yaitu:


29

a. Kemampuan bersikap fleksibel atau adaptif

b. Tingkat kesadaran diri yang tinggi

c. Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi penderitaan

d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit

e. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai

f. Keenganan untuk membuat kerugian yang tidak perlu

g. Kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara hilistik

h. Kecenderungan untuk selalu bertanya mengapa

i. Memiliki kemudahan untuk melawan konvensi

2.2.3. Konsep Komitmen Kerja

a. Pengertian Komitmen Kerja

Steers (2005:34) menyatakan bahwa komitmen sebagai sifat hubungan

seorang individu dengan organisasi yang memungkinkan seseorang yang

mempunyai komitmen yang tinggi memperlihatkan: keinginan kuat untuk tetap

menjadi anggota organisasi yang bersangkutan, kesediaan untuk berusaha sebaik

mungkin demi kepentingan organisasi tersebut, kepercayaan akan penerimaan kuat

terhadap nilai- nilai dan tujuan organisasi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka komitmen merupakan sifat hubungan

suatu organisasi dengan konsumen yang memungkinkan suatu organisasi mempunyai

perjanjian keterikatan untuk melayani konsumennya, kesediaan untuk sebaik

mungkin demi kepentingan konsumen,dan organisasi dapat mempertahankan


30

kepercayaan yang diberikan oleh konsumen. Pada intinya pegawai yang berkomitmen

tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggungjawab yang lebih,

dalam membantu keberhasilan organisasi di tempat kerjanya.

Jewell dan Siegall mendefinisikan komitmen kerja sebagai derajat persepsi

individu dalam memandang dirinya sendiri dengan pekerjaannya dalam suatu unit

kerja atau organisasi kerja tertentu. Menurut batasan ini, komitmen kerja merupakan

sikap evaluative seseorang tertentu apa yang diharapkan atau dipersepsikan mengenai

kerja atau pekerjaan, Artinya jika seseorang mempersepsikan bahwa kerja adalah

sesuatu yang sangat bermakna bagi dirinya, makna besar kemungkinan ia akan

memiliki komitmen tinggi atas pekerjaannya (Jewell,2008:518).

Blanchard mengatakan bahwa komitmen kerja dapat pula diartikan sebagai

kombinasi antara motivasi dan kepercayaan diri untuk melaksanakan pekerjaan.

Motivasi dalam pengertian ini dapat berupa minat dan antusiasme, perhatian, usaha

dan berbagai ekspresi lainnya yang dapat mencerminkan suatu keinginan kuat untuk

menyatu dengan pekerjaan atau organisasinya (Blanchard,2006:24).

Setiawati mengatakan bahwa secara umum komitmen kerja melibatkan

keterikatan individu terhadap pekerjaannya, Komitmen kerja merupakan sebuah

variable yang mencerminkan derajat hubungan yang dianggap dimiliki oleh individu

terhadap pekerjaan tertentu dalam organisasi (Setiawati,2007:85).

Amilin mengemukakan bahwa komitmen organisasional adalah loyalitas

pegawai terhadap organisasi melalui penerimaan sasaran-sasaran, nilai-nilai

organisasi ,kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi,
31

serta keinginan untuk bertahan di dalam organisasi (Amilin, 2008:95). Setiawati

mengemukakan bahwa komitmen kerja merefleksikan tingkat identifikasi dan

keterlibatan individu dalam pekerjaannya dan ketidaksediaannya untuk meninggalkan

pekerjaan tersebut (Setiawati,2007:90).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, jelas bahwa komitmen merupakan

bagian yang terkait dengan kinerja pegawai dalam hubungannya dengan

pekerjaannya. Dalam sebuah komitmen juga memiliki unsur atau komponen yang

saling berhubungan. Ketika semua komponen terpenuhi maka semakin besar

komitmen pegawai dalam pekerjaannya.

b. Indikator Komitmen Kerja

Luthans (2007) menjelaskan bahwa komitmen kerja dapat diamati melalui

indikator berikut:

1. Memiliki rasa kepemilikan atas pekerjaannya, karena ia sadar bahwa

pekerjaannya memiliki makna baik bagi dirinya maupun bagi organisasinya. Rasa

kepemilikan atas pekerjaan adalah sikap merasa memiliki pekerjaan yang

tercermin pada kesadaran bahwa pekerjaan memiliki makna bagi dirinya,

kesadaran bahwa pekerjaan memiliki makna bagi organisasinya dan kesadaran

bahwa pekerjaan adalah milik pribadinya.

2. Memiliki tingkat keterlibatan tinggi, baik terhadap pekerjaannya maupun terhadap

pekerjaan keseluruhan dalam organisasinya.


32

Keterlibatan kerja adalah derajat keinginan dan usaha seseorang untuk

bekerja atau menyelesaikan suatu pekerjaan (Price,2007:162). Seseorang yang

memiliki keinginan kuat untuk bekerja keras dapat dikatakan bahwa ia memiliki

tingkat keterlibatan tinggi terhadap pekerjaan. Sebaliknya, seseorang dapat

dikatakan memiliki keterlibatan rendah apabila orang itu tidak memiliki

keinginan untuk bekerja keras. Dengan demikian salah satu ciri dari tinggi

rendahnya tingkat keterlibatan seseorang adalah keinginan untuk bekerja keras.

Tingkat keterlibatan seseorang dalam pekerjannya pada dasarnya tidak

hanya melibatkan fisik, tetapi juga mental. Tingginya tingkat keterlibatan

seseorang dalam pekerjaan karena adanya keinginan untuk mengaktualkan segala

potensi kemampuan yang dimilikinya, dan ia meyakini bahwa kerja adalah

sesuatu yang bermakna bagi dirinya.

3. Memiliki kepercayaan diri yang kuat atas kemampuannya dalam menyelesaikan

dan bertanggung jawab atas pekerjaannya

Kepercayaan diri adalah kemampuan dalam menyelesaikan dan

bertanggung jawab atas pekerjaan yang tercermin pada kemampuan

melaksanakan pekerjaan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan secara tepat dan

tanggung jawab atas pekerjaan.

4. Memiliki tingkat absensi dan bolos kerja atau keterlambatan masuk kerja yang

disengaja yang rendah.

Masalah absensi bukan lagi sesuatu yang unik, dimana hal ini merupakan

salah satu masalah utama disemua organisasi, baik organisasi pemerintahan


33

maupun swasta. Dalam hubungan ini, Fitz-Enz menyatakan "Employee absence is

more than a nuisance, it is costly. If left unattended, absence can become a

significant expence". Karena itu, absensi pegawai tidak hanya sekedar

menyusahkan, akan tetapi memiliki nilai biaya yang tinggi jika tidak diantisipasi.

Biaya dimaksud antara lain berupa opportunity cost atas keterlambatan pekerjaan

dan menurunnya produktivitas organisasi (Fitz-Enz,2005:163).

Menurut Price, "absenteeism is defined as the non-attendance of

employees for scheduled work". Jadi absensi adalah keadaan dimana seseorang

tidak masuk kerja sesuai hari kerja yang ditetapkan (Price,2007:46). Pengertian

yang sama dikemukakan pula oleh Jones dalam Price bahwa "the absenteeism is

defined asuncheduled time away from work". Jadi absensi adalah kondisi dimana

seseorang tidak masuk kerja (Price,2007:49).

Soeling mendefinisikan absensi sebagai setiap kegagalan pegawai untuk

melapor dan tetap bekerja sebagaimana yang telah dijadwalkan, terlepas dari

alasan-alasan yang diberikan. Masalah absensi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

(1) motivasi pegawai untuk datang bekerja, dan (2) kemampuan untuk datang

ditempat kerjanya (Soeling,2007:143-144). Kemampuan untuk hadir antara lain

ditentukan oleh sakit, kecelakaan, masalah tanggungjawab terhadap keluarga dan

masalah transportasi. Sedangkan faktor motivasi untuk hadir, antara lain

kebijakan organisasi, kepuasan kerja dan sebagainya (Jones,2007:25).


34

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka penyebab absensi atau

ketidakhadiran seseorang pegawai ditempat kerjanya dipengaruhi oleh dua hal,

yakni:

1. Faktor kondisional yang sulit untuk dihindari, misalnya karena sakit, urusan

atau masalah keluarga yang tidak diduga sebelumnya, atau karena masalah

transportasi, sehingga hal ini merupakan sebab absensi yang tidak dapat

dihindari atau tidak di sengaja.

2. Karena faktor reaksional atas ketidakpuasan yang dialami seseorang dalam

tugas/pekerjaan itu sendiri, misalnya tidak adanya otoritas dan otonomi dalam

melaksanakan tugas, merasaterisolasi dari tugas karena ia tidak dilibatkan

dalam proses keputusan yang berkaitan dengan tugas/pekerjaannya, dan lain-

lain, sehingga faktor-faktor ini disebut juga sebagai faktor penyebab absensi

pegawai yang disengaja (Pilbeam,2007:835).

Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Jewell dan Siegel, yang

menyatakan bahwa absensi adalah salah satu kriteria perilaku yang paling sering

digunakan dalam penelitian psikologi organisasi, yang menekankan pada

pandangan bahwa absen adalah tanggapan untuk mengurangi rasa sakit para

pekerja atas pengalaman kerjanya. Oleh karena itu, absensi yang disengaja dapat

merupakan sikap kerja yang ditampilkan oleh seseorang karena ketidakpuasan

atas berbagai faktor yang berkaitan dengan apa yang ia rasakan dalam

melaksanakan tugas/pekerjaannya. Keterlambatan masuk kerja juga merupakan

fenomena yang selalu terjadi pada setiap organisasi. Keterlambatan masuk kerja
35

diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak masuk kerja tepat pada

waktunya pada hari yang bersangkutan (Jewell,2008:499).

Faktor-faktor penyebab seorang pegawai datang terlambat ditempat

kerjanya, Soeling menyatakan bahwa hambatan seseorang pegawai untuk masuk

kerja tepat pada waktunya, antara lain kondisi ekonomi, sistem insentif yang tidak

mendukung, etika kerja pribadi dan karena komitmen terhadap organisasi yang

rendah. Sebab-sebab yang bersumber dari situasi kerja antara lain level pekerjaan,

stress, gaya pemimpin, relasi antar pegawai dan kesempatan untuk berkembang.

Besar kecilnya keluarga (dimana semakin banyak anggota keluarga) ada

kecenderungan sulitnya seseorang pegawai untuk datang tepat waktunya karena

urusan rumah tangga, demikian juga masalah transportasi. Dengan kata lain,

tanggung jawab dalam keluarga dan masalah transportasi merupakan kenyataan

sehari-hari yang sedikit banyak .akan mempengaruhi kemampuan pekerja untuk

datang ditempat kerjanya secara tepat waktu (Soeling,2007:51).

Atas dasar ini, maka keterlambatan masuk kerja dapat digolongkan dalam

dua kategori, yaitu keterlambatan yang tidak disengaja atau tidak dapat dihindari

dan keterlambatan masuk kerja yang disengaja atau dapat dihindari.

Keterlambatan masuk kerja yang tidak dapat dihindari, dapat disebabkan karena

jarak antara tempat tinggal dengan kantor yang berjauhan, kemacetan lalulintas,

mengurus anggota keluarga yang sakit sebelum kekantor dan sebab-sebab lain

yang tidak diduga sebelumnya. Sedangkan keterlambatan masuk kerja yang dapat

dihindari atau disengaja, yaitu merupakan reaksi atas berbagai ketidakpuasan


36

terhadap berbagai faktor yang terkait dalam menjalankan tugas/pekerjaan

(Pilbeam,2007:835).

Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk mengukur komitmen kerja dapat

digunakan indikator rasa kepemilikan atas pekerjaan, tingkat keterlibatan kerja,

kepercayaan diri serta absensi.

2.3. Hubungan Antar Variabel Penelitian

2.3.1. Pengaruh Budaya Kerja Terhadap Komitmen Kerja Pegawai

Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup

sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong,

membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian

tercemin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan

tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.

Komitmen kerja berkaitan dengan keterkaitan antara individu

dengan organisasinya sehingga individu yang bersangkutan harus melaksanakan

dengan sebaik-baiknya semua ketentuan yang berlaku didalam organisasi tersebut.

Apabila individu memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi tempat ia

bekerja maka organisasi akan mencapai tujuannya dengan baik sebagai cerminan

dari baiknya kinerja setiap individu yang ada di dalam organisasi

tersebut. Setiawati mengemukakan bahwa komitmen kerja merefleksikan

tingkat identifikasi dan keterlibatan individu dalam pekerjaannya dan

ketidaksediaannya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut (Magdayanti, 2011:69).


37

Budaya kerja merupakan suatu sistem nilai yang diperoleh dan

dikembangkan oleh organisasi dan pola kebiasaan dan falsafah dasar pendirinya,

yang terbentuk menjadi aturan yang digunakan sebagai pedoman dalam berfikir dan

bertindak dalam mencapai tujuan organisasi. Budaya kuat merupakan budaya

dimana nilai inti organisasi itu dipegang secara mendalam dan dianut bersama

secara meluas (Robbin,2006:23). Selain itu Robbin (2006:23) berpendapat budaya

kerja adalah suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang

membedakan organisasi itu dan organisasi-organisasi lain. Sedangkan menurut

Fumham dan Gunter dalam Sunarto (2005:34) budaya kerja sebagai keyakinan, sikap

dan nilai yang umumnya dimiliki, yang timbul dalam suatu organisasi.

Berdasarkan pengertian tersebut jelas bahwa budaya kerja merupakan

bagian yang terkait dengan komitmen kerja dalam hubungannya dengan pegawai.

Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa budaya kerja memiliki keterkaitan

yang erat dengan komitmen pegawai dalam suatu organisasi.

2.2.2 Pengaruh Budaya Kerja Terhadap Kemampuan kerja

Robbins (2001) memberikan penekanan bahwa seharusnya tidak melewatkan

pengaruh sosialisasi budaya kerja pada kemampuan kerja pegawai, karena

kemampuan kerja pegawai tergantung pada tingkat pengetahuannya akan apa yang

harus dan tidak harus dikerjakan. Secara sistematis hubungan budaya kerja terhadap

kemampuan kerja mempresepsikan bahwa budaya kerja berpengaruh pada tinggi

rendahnya peningkatan kemampuan kerja pegawai, lebih lanjut, Ancok (2002:24)


38

menyatakan bahwa dampak budaya kerja terhadap kemampuan kerja bias dilihat dari

definisi budaya kerja adalah sebagai perangkat yang penting dalam meningkatkan

kemampuan kerja pegawai dan majunya kemampuan kerja pegawai didorong oleh

budaya kerja.

Luthans (2003:122) menyatakan bahwa adanya suatu budaya kerja membuat

para pegawai mengetahui apa yang harus dikerjakan, bagaimana cara

mengerjakannya dan mengapa harus dikerjakan. Sehingga pegawai lebih yakin dalam

bertindak. Prismono dalam Syarwani dan Priyohadi (2001:11) mengemukakan bahwa

ada banyak keuntunga bila perusahaan memiliki budaya kerja yang kuat, adaptif dan

kompetitif antara lainmeningkatkan produktivitas dan kreatifitas, mengembangkan

kualitas barang dan jasa serta memotivasi karyawan untuk mencapai prestasi kerja

yang tinggi.

Tujuan fundamental budaya kerja untuk membangun sumber daya manusia

seutuhnya agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat
I

peran sebagai pelanggan pemasok dalam komunikasi dengan orang lain secara efektif

dan efisien serta menggembirakan. Oleh karena itu budaya kerja berupaya merubah

budaya komunikasi tradisional menjadi perilaku manajemen modern, sehingga

tertanam kepercayaan dan semangat kerjasama yang tinggi serta disiplin

(Triguno,2009:5-6).

Budaya kerja adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai

dalam suatu organisasi, pelanggaran dalam sangsi ini memang tidak ada yang tegas,
39

namun dari pelaku organisasi secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan

tersebut merupakan kebiasaan yang harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan

untuk mencapai tujuan (Nawawi,2008:18).

2.3.2. Pengaruh Kemampuan Kerja Terhadap Komitmen Kerja Pegawai

Kemampuan kerja adalah kemampuan potensi, pengetahuan dan

keterampilan seseorang yang memadai dalam melaksanakan pekerjaan sehari-

hari dalam suatu organisasi untuk mencapai prestasi kerja (prestasi) yang

diharapkan. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai

dengan keahliannya (the right man on the right job). Pendapat tersebut

menunjukkan bahwa kemampuan kerja seorang pegawai dipengaruhi oleh

pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dalam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya (Riduwan,2007:35).

Simanjuntak (2007:24) mengemukakan bahwa kemampuan merupakan

pengetahuan dalam kognitif berupa kemampuan untuk mengenal, memahami,

menyadari dan menghayati suatu tugas/pekerjaan. Karena itu, kemampuan seseorang

pegawai· dapat dikembangkan melalui pendidikan,baikformal maupun non formal

serta pengalaman. Lebih lanjut Simanjuntak (2007:43) menyatakan bahwa pendidikan

adalah membekali seseorang dengan dasar-dasar pengetahuan, teori, logika,

pengetahuan umum, kemampuan analisis serta pengembangan watak dan

kepribadian, yang pada akhirnya berdampak pada komitmen seseorang dalam suatu

organisasi.
40

Komponen sumber daya manusia dalam teori politik structural dalam konsep

kemampuan perkiraan kebutuhan sdm yang terpenuhi dalam konsep strategi public

reservasi jedsa setelah peramalan permintaan dan peesediaan dilakukan maka

perusahaan dapat mengetahui

Anda mungkin juga menyukai