php/id/article/view/33
Judul Penelitian : PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA
KARYAWAN MELALUI KOMITMEN ORGANISASI SEBAGAI
VARIABEL INTERVENING
Volume : Volume 16, No. 1
Nama Peneliti : Dewi Suryani Budiono (Universitas Negeri Surabaya)
Tahun : 2016
Abstrak
Pertumbuhan ekonomi yang pesat saat ini dipengaruhi oleh SDM yang tersedia. Tanpa SDM
maka perusahaan tidak dapat mencapai tujuannya. Masyarakat terdiri dari manusia dan
budaya nya. Dengan adanya budaya perusahaan akan memudahkan karyawan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan perusahaan, dan membantu karyawan untuk
mengetahui tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Faktor juga yang berpengaruh terhadap
kinerja karyawan yaitu komitmen organisasi. Komitmen memegang peranan penting apakah
seorang karyawan akan bertahan dan bekerja keras untuk organisasi. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menguji pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan melalui
komitmen organisasi sebagai variabel intervening (studi pada divisi HRD PT. Kerta Rajasa
Raya).
Pendahuluan/Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi saat ini dipengaruhi oleh SDM. SDM merupakan perencana dan
pelaku aktif dalam perusahaan. Tanpa SDM makam perusahaan tdiak dapat mencapai
tujuannya. Menurut Samsudin (2009:21) aset paling penting dalam sebuah perusahaan adalah
SDM nya. Mereka inilah yang membuat tujuan, mengadakan inovasi, dan mencapai tujuan
perusahaan.
Seorang pemimpin organisasi memiliki andil yang sangat besar dalam pencapaian tujuan
organisasi secara efektif dan efesien. Peimpinanlah yang menentukan arah kemana
organisasin akan dibawa dan bagaimana menggerakkan elemen yang ada didalam organisasi
agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk mencapainya tentu bukan perkara
yang mudah, karena ada faktor manusia didalamnya yang seringkali menciptakan masalah
yang rumit dan sulit dipecahkan.
Budaya perusahaan merupaka ciri khas dari suatu perusahaan yang mencakup sekumpulan
nilai - nilai kepercayaan yang membantu karyawan menegtahui tindakan apa yang boleh
dilakukan atau tidak boleh dilakukan yang berhubungan dengan struktur formal dan informal
dalam lingkungan perusahaan. Masyarakat terdiri dari manusia dan budaya nya. Disiplin ilmu
budaya sebenrnya bersala dari disiplin ilmu antropologi. Sekitar tahun1979 kata budaya
seringkali dikaitkan dengan organisasi.
Faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yaitu komitmen organisasi. Mowday (dalam
Sopiah, 2008:155) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen
organisasional. Komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat
digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota
organisasi. Komitmen organisasi merupakan identifikasi dan keterlibatan seorang yang relatif
kuat terhdapa organisasi. Komitmen organisasi adalah kleinginan anggota organisasi dan
bersedia berusaha keras agar tercapainya tujuan organisasi.
Budaya organisasi mengarahkan perilaku pegawai untuk meningkatkan kemampuan kerja,
komitmen dan loyalitas serta perilaku Extrarole seperti membantu rekan kerja, melindungi
properti organisasi, menghargai peraturan yang berlaku, toleransi membangun serta tidak
membuang waktu ditempat kerja. Agar perusahaan mendapatkan karyawan yang berkualitas
diperlukan adanya pedoman berupa budaya organisasi. Budaya organisasi yang dijalankan
dengan baik akan meningkatkan komitmen organisasi bagi karyawan terhadap perusahaan
tempat dia bekerja.
Selanjutnya diketahui setidaknya bahwa ada dua faktor penting yang dapat mempengaruhi
kinerja pegawai, yaitu budaya organisasi dan komitmen organisisai dari masing – masing
individu. Keterkaitan antara faktor ini diyakini akan memiliki dampak yang luas bagi upaya
perbaikan kinerja pegawai. Dengan kata lain, budaya organisasi yang tinggin dari pegawai
ditambah dengan komitmen keorganisasian yang positif dari para pegawai merupakan faktor
penting bagi perbaikan kinerja pegawai.
Teori
1. Budaya organisasi adalah suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu
organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk
menghasilkan norma – norma perilaku organisasi.
2. Komitmen organisasi adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima
tujuan - tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan
organisasi.
3. Kinerja karyawan adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seorang atau kelompok
orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing
– masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar
hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika.
Hipotesis
Pertama (H1), diduga budaya organisasi berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja
karyawan pada divisi HRD PT. Kerta Rajasa Raya
Kedua (H2), diduga komitmen organisasi berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja
karyawan pada divisi HRD PT. Kerta Rajasa Raya Ketiga
(H3), diduga budaya organisasi berpengaruh signifikan positif terhadap komitmen organisasi
pada divisi HRD PT. Kerta Rajasa Raya Keempat
(H4), diduga budaya organisasi berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja karyawan
melalui komitmen organisasi sebagai variabel intervening pada divisi HRD PT. Kerta Rajasa
Raya
Sampel
Karyawan PT. Kerta Rajasa Raya
Metode Pengambilan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik SEM berbasis
komponen atau varian
Metode Analisis Data
Dengan menggunakan PLS (Partial Least Square). Teknik ini dipilih karena perangkat ini
banyak diapakai untuk analisis kausal-prediktif yang rumit dan merupakan teknik yang sesuai
digunakan dalam aplikasi prediksi.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa outer loading dari budaya organisasi, komitmen
organisasi dan kinerja karyawan lebih besar dari 0,50. Hal tersebut menunjukkan bahwa
dimensi dari masing – masing variabel dinyatakan valid atau dapat mengukur variabel
tersebut dengan tepat.
Hasil estimasi Inner Weight untukpengaruh budaya organisasi terhadap kinerja
karyawan menunjukkan hasil t-Statistik sebesar 2,7609 lebih besar dari 1,96. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan pada variabel budaya organisasi
terhadap kinerja karyawan.
Dalam pengujian Hipotesis, dilakukan untuk menjawab permasalahan penelitian.
Pengujian hipotesis yang diajukan dapat dilihat dari besarnya nilai t-Statistik. Batas
untuk menolak dan menerima hipotesis yang diajukan adalah 1,96 signifikan untuk
pengujian hipotesis pada Alpha ( tingkat kesalahan penelitian ), sebesar 5%.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut, peneliti mendapatkan bahwa pengaruh budaya
organisasi terhadap kinerja karyawan berpengaruh signifikan dan positif, sehingga hipotesis 1
dapat diterima. Hasilnya menunjukkan bahwa budaya organisasi berada pada level tertinggi
apabila kinerja karyawan juga berada pada level tertinggi.
Budaya organisasi terhadap kinerja karyawan dengan komitmen organisasi sebagai
variabel intervening tidak berpengaruh signifikan. Hal ini menujuukn bahwa tidak ada
pengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja karyawan. Maka hal ini dinyatakan
jika pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan melalui komitmen
organisasi lebih kecil dari pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan
sehingga hipotesis dapat ditolak.
Komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan berpengaruh terhadap kinerja
karyawan sehingga menunjukkan hasil yang tidak signifikan dan postif, sehingga
hipotesis 2 ditolak. Untuk meningkatkan kuantitas pekerjaan maka karyawan harus
merasa bahwa berkomitmen merupakan idenya sendiri. Dengan demikian
tinggi/rendahnya komitmen organsasi terhadap kinerja karyawan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Terdapat pengaruh yang signifikan dari budaya organisasi terhadap kinerja karyawan
pada PT. Kerta Rajasa Raya.
2. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari komitmen organisasi terhadap kinerja
karyawan pada PT. Kerta Rajasa Raya.
3. Terdapat pengaruh yang signifikan dari budaya organisasi terhadap komitmen
organisasi pada PT. Kerta Rajasa Raya.
4. Budaya organisasi tidak berpengaruh signifikan postif terhadap kinerja karyawan
apabila komitmen organisasi menjadi variabel Intervening.
Pendahuluan
Kerangka dasar perilaku organisasi didukung dua komponen dasar, yaitu individuindividu
yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari perilaku itu sendiri (Thoha,
2002:170). Duncan (1980) menandaskan bahwa determinan utama pentingnya perilaku
organisasi adalah bagaimana perilaku manusia itu mempengaruhi usaha pencapaian tujuan-
tujuan organisasi.
Perilaku birokrasi timbul sebagai akibat interaksi antara karakteristik individu dengan
karakteristik birokrasi. Karakteristik individual mencakup persepsi, pengambilan keputusan
pribadi, pembelajaran dan motivasi (Robbins, 2003:31). Menurut Thoha (2002) bahwa
karakteristik individual meliputi kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan
pengharapan. Perbedaan karakteristik individu tersebut menyebabkan perbedaan perilaku
mereka. Setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda. Mereka mempunyai nilai,
kepercayaan, motivasi, dan kemampuan yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan
perbedaan perilaku mereka. Namun demikian ikatan utama yang menyatukan perilaku
mereka adalah tujuan organisasi. Hal ini penting mengingat perilaku mengarah kepada tujuan
organisasi.
Salah satu fungsi birokrasi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan
umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik
yang efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk
mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik, maka organisasi birokrasi harus
profesional, tanggap, dan aspiratif terhadap berbagai tuntutan dan kebutuhan akan pelayanan
kepada masyarakat.
Perilaku birokrasi Pemerintah Kabupaten/ Kota di Sulawesi Selatan masih berorientasi
internal, lebih dominan memperhatikan kepentingan internal organisasi, kurang fokus
pencapaian kinerja yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu untuk fokus
pembahasan perilaku birokrasi pemerintah daerah, pada penelitian ini diarahkan pada
birokrasi yang menjalankan tugas umum pemerintahan, yaitu fungsi pengaturan dan
pelayanan administratif yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat umumnya dan
koordinasi perumusan kebijakan dalam rangka menciptakan keteraturan, ketertiban dan
keserasian dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah.
Temuan penelitian selama ini menjelaskan bahwa perilaku birokrasi yang mementingkan diri
dan kekuasaan serta orientasi jabatan struktural dipengaruhi penerapan nilai-nilai budaya Siri’
yang lemah (Munadah, 2005). Nilai patron-klien mempengaruhi perilaku pejabat public yang
menyimpang (Kausar, 2006). Kajian lain menjelaskan, kepuasan kerja, desain pekerjaan
berpengaruh terhadap kinerja pegawai yang rendah sehingga membentuk perilaku birokrasi
tradisional (Parhusip, 2006).
Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa alasan mengapa penelitian ini penting; (1) kinerja
birokrasi dalam pengelolaan sektor publik belum optimal, dimana kritik dan komplain
masyarakat terhadap birokrasi masih cukup signifikan pada pemerintah kabupaten/kota di
Sulawesi Selatan; (2) Peran birokrasi masih menonjol dan dominan dalam pengelolaan sektor
publik. Oleh karena itu, ekspektasi masyarakat terhadap kinerja birokrasi cukup tinggi; (3)
Salah satu aspek yang sangat menentukan kinerja birokrasi adalah aspek perilaku yang
mempengaruhi baik dan buruknya penampilan birokrasi.
Saat ini perilaku birokrasi lebih dikesankan sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas
dan fungsi birokrasi sebagai perumusan kebijakan, pemberdayaan dan pelayanan kepada
masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan: “perilaku birokrasi pemerintah daerah belum berorientasi pada perilaku
birokrasi yang berkinerja tinggi”
Terdapat empat pola perilaku birokrasi, Davis (1985), yaitu perilaku otokratik, perilaku
kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. Perilaku otokratik dan perilaku kustodial
termasuk kategori perilaku yang tradisional dimana setiap birokrat hanya berorientasi
kekuasaan, otoritas, dan kewenangan, pemenuhan kebutuhan pokok serta mengeksplorasi
sumber daya ekonomi organisasi untuk diri dan kelompoknya. Perilaku suportif dan kolegial
termasuk kategori perilaku birokrasi modern dimana setiap individu memberi dukungan yang
tinggi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, serta organisasi memberi
penghargaan yang tinggi pula terhadap kinerja birokrat. Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan hubungan budaya organisasi terhadap perilaku birokrasi.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rekomendasi
kebijakan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka
mengembangkan perilaku birokrasi Pemerintah yang berorientasi pelayanan kepada
masyarakat. Model perilaku birokrasi yang berorientasi pelayanan adalah model suportif dan
pola perilaku kolegial. Untuk membangun perilaku suportif dan kolegial, maka dibutuhkan
strategi dalam desain budaya organisasi, sehingga mampu mengungkit atau bahkan
mengakselerasi terbentuknya perilaku birokrasi suportif dan kolegial. Budaya organisasi yang
demikian dapat memberi konstribusi terjadinya proses perubahan perilaku yang diharapkan
dalam rangka peningkatan kinerja birokrat secara bertahap dan berkelanjutan.
Teori
Konsep Budaya Birokrasi
Konsep Budaya Organisasi Kreitner & Kinicki (2005:79) melihat budaya organisasi sebagai
nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi. Adapun Robbins
(2003:305) mengamati bahwa budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama
yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan
organisasiorganisasi lain.
Konsep dan Model Perilaku Birokrasi
Perilaku birokrasi pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara individuindividu dengan
organisasinya Thoha (2002:185). Individu membawa ke dalam tatanan birokrasi kemampuan,
kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan dan pengalamannya. Sedangkan birokrasi
sebagai sistem untuk merasionalkan tindakan manusia dengan adanya keteraturan yang baku,
pembagian kerja, tugas jabatan, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian serta
sistem pengendalian.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, penelitian menyimpulkan bahwa budaya organisasi
berhubungan terhadap perilaku otokratik dan perilaku kustodial, perilaku suportif dan
perilaku kolegial. Berdasarkan konstribusinya, faktor budaya komunal memiliki konstribusi
yang sangat kuat terhadap terbentuknya perilaku suportif dan perilaku kolegial. Hasil analisis
pada daerah penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki hubungan terhadap
empat pola perilaku, yaitu perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan
perilaku kolegial. Selain itu, perilaku birokrasi 20 pemerintah daerah bersifat transisional,
yaitu masih tradisional dengan menampilkan perilaku otokratik dan kustodial, dan
berorientasi modern dengan menampilkan perilaku suportif dan kolegial.
7. LINK JURNAL :
file:///C:/Users/firma/Downloads/admin,+177-Article+Text-638-1-11-20200210.pdf
Judul Penelitian : PERUBAHAN NILAI DALAM MASYARAKAT SERTA
PENGARUHNYA TERHADAP MORAL BIROKRASI DALAM
MEMBERIKAN PELAYANAN PUBLIK.
Nama Peneliti : Dera Izhar Hasanah
Volume : Volume 3 No. 3 2019
Tahun : 2019
Abstrak
Pada zaman era reformasi sekarang ini, persaingan untuk mendapatkan pelayanan yang baik
semakin ketat, begitupun dalam lingkup birokrasi, pelayanan publik harus lebih baik
sehingga dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, dengan seperti itu publik
akan lebih merasakan adanya peran serta pemerintah yang dengan eksistensinya dapat
menjalankan tugas sebagaimana mestinya khususnya dalam melayani publik. Pelayanan
publik yang terdapat di Indonesia baru pada tahapan tersusunnya perundang-undangan atau
peraturan-peraturan instansi terkait secara parsial dan belum menyentuh pada aspek
kepemimpinan serta budaya melayani yang kongrkit dan komprehensif. Masyarakat menuntut
untuk diterapkannya manajemen yang baik dan transparan. Sebagai konsekuensinya,
pemerintah harus meningkatkan kinerja dalam fungsi pelayanan publik agar lebih efektif,
efisien dan transparan demi terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good governance).
Strategi yang dilakukan untuk mengatasi beberapa persoalan birokrasi melalui reformasi.
Reformasi birokrasi berupaya untuk mengurangi masalah dengan perubahan, penyegaran dan
pembaharuan khususnya dalam hal moral dan nilai-nilai guna memenuhi pelayanan publik
yang dapat mengimbangi dinamika dan kebutuhan masyarakat.
PENDAHULUAN
Pelayanan publik adalah representasi dan eksistensi dari birokrasi pemerintah yang
memangku fungsi sebagai pemberi layanan terhadap masyarakat. Oleh karena itu, kualitas
layanan yang diberikan merupakan cerminan dari kualitas birokrasi pemerintah. Paradigma
pelayanan publik pada masa lalu, memberikan peran yang lebih terhadap pemerintah sebagai
sole provider. Masyarakat atau penerima layanan sebagai pihak luar tidak memiliki tempat
atau termarjinalkan. Masyarakat hanya memiliki sedikit sekali dalam memberikan warna
dalam proses pelayanan publik.
Dalam perspektif pelayanan publik, pemimpin harus mampu membawa organisasi publik
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tangkilisan (2005:35) mengatakan bahwa:
organisasi publik dikatakan efektif apabila dalam realita pelaksanaannya birokrasi dapat
berfungsi melayani sesuai dengan kebutuhan masyarakat, artinya tidak ada hambatan yang
terjadi dalam pelayanan tersebut, cepat dan tepat dalam memberikan pelayanan, serta mampu
memecahkan fenomena yang menonjol akibat adanya perubahan sosial yang sangat cepat dari
faktor eksternal.
Efektivitas organisasi publik tersebut merupakan produk dari sebuah sistem yang salah.
Sistem (unsur) adalah sumber daya manusia aparatur. Faktor kedua yang mempengaruhi
reformasi pelayanan publik adalah budaya yang diciptakan untuk menjadi pembeda yang
jelas antar satu organisasi dan organisasi lainnya yang sekaligus sebagai identitas bagi
anggota organisasi (Robbin, 1996:294). Menurut Schein (1992), pola dasar yang diterima
organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah. Membentuk karyawan yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.
Lebih lanjut, budaya organisasi memliki tiga tingkatan yaitu tingkatan pertama adalah artifak,
dimana budaya bersifat kasat mata, tetapi seringkali tidak dapat diartikan. Tingkat yang
kedua adalah nilai yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi dari artifak. Dan yang ketiga
adalah asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja yang bersifat tidak kasat mata dan
tidak disadari.
Dalam perkembangannya, reformasi pelayanan publik di Indonesia baru pada tahapan
tersusunnya perundang-undangan atau peraturan-peraturan instansi terkait secara parsial dan
belum menyentuh pada aspek kepemimpinan serta budaya melayani yang kongkit dan
komprehensif. Kualitas layanan masih dinilai oleh internal organisasi pemberi layanan hanya
sebagai alat dari sebuah penilaian kerja organisasi, dan belum menjadi sebuah keniscayaan
akan tugas dari organisasi terhadap publik sehingga sering terlihat kecenderungan pemimpin
organisasi pemberi layanan publik dalam mengimplementasikan kebijakannya belum mampu
menyentuh esensi dari pelayanan publik itu sendiri yang bisa dipahami oleh karyawannya
sehingga terjadi kesenjangan. Persepsi yang cukup besar antara persepsi pimpinan dan hasil
pelayanan yang diberikan oleh karyawan terhadap publik. Begitu pula kebudayaan yang
diimplementasikan kini dimashyarakat oleh para pihak pelayanan publik yang seakan
membeda-bedakan, dimana mereka harus kerja secara professional dalam pelayanan terhadap
publik dan dimana mereka tidak perlu untuk memperhatikan dan melayani masyarakat yang
membutuhkan pelayanan tersebut, seakan sudah menjadi tradisi bagi mereka untuk
mentradisikan hal tersebut. Begitu elok sesungguhnya pelayanan terhadap publik jika nilai-
nilai budaya yang didalamnya di implementasikan secara baik dan sungguh-sungguh,
Sehingga moral para birokrat dalam menjalankan tugas serta fungsinya yaitu melayani
masyarakat dapat di implementasikan dengan baik dan tujuan organisasi pemerintahpun dapat
tercapai dengan efektif dan akan jauh dari penyimpangan-penyimpangan yang tidak
diharapkan.
PEMBAHASAN
Di negara berkembang seperti Indonesia, buruknya birokrasi tetap menjadi problem terbesar.
Birokrasi selalu dikaitkan dengan prosedur kerja yang berbelit-belit dan lamban. Birokrasi
yang memiliki sifat patron-klien yang kental, hierarkhis dan impersonal telah memberikan
dampak antara lain mematikan inisiatif masyarakat dan kualitas pelayanan masyarakat yang
tidak efisien. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan umum di instansi pemerintah
selama ini lamban, ruwet, tidak efisien bahkan menjengkelkan karena banyak calo yang
berkeliaran. Di samsat, di loket stasiun misalnya, calo yang ada tidak pernah bisa diberantas,
malah dilindungi karena mendatangkan fulus. Hal ini memberi kesan bahwa birokrasi kita
adalah ibarat 'benang kusut', akibatnya masyarakat enggan berhadapan dengan birokrasi.
Inilah sebuah paradoks birokrasi kita yang justru tidak mendinamisasi masyarakat.
Dekadensi moral yang terjadi dikalangan birokrat membuat masyarakat tidak percaya lagi
akan kinerja yang baik. Banyak contoh kasus yang terjadi dalam pemerintah, salah satunya
KKN yang makin tumbuh subur di Indonesia ini, belum permasalahan Ketenagakerjaan
Indonesia (TKI), termasuk pelayanan pada masyarakat yang kurang optimal, dan masih
banyak lagi permasalahan-permasalahan diakibatkan dari moral para birokrat yang tidak
patuh terhadap peraturan yang berlaku di negeri ini.
Kekuasaan yang berlimpah baik yang bersifat otoritas formal, keuangan, informasi maupun
skill menjadikan posisi birokrasi kuat dan memungkinkan birokrasi untuk memaksakan
kehendaknya tanpa ada kemampuan masyarakat menolaknya. Dengan keadaan seperti itu,
birokrasi yang semula dipandang sebagai organisasi yang dapat secara efektif dan efisien
melayani kebutuhan masyarakat kemudian mengalami penurunan kepercayaan di mata
masyarakat bahkan menumbuhkan resistensi yang tinggi dari masyarakat.
Seiring dengan proses reformasi yang terjadi di negara kita, tuntutan masyarakat terhadap
birokrasi juga menguat. Birokrasi dituntut untuk menjadi publik servant. Artinya tugas
birokrasi adalah melayani masyarakat, bukan sebaliknya masyarakat yang melayani birokrat.
Masyarakat menuntut untuk diterapkannya manajemen yang baik dan transparan. Sebagai
konsekuensinya, pemerintah harus meningkatkan kinerja dalam fungsi pelayanan publik agar
lebih efektif, efisien dan transparan demi terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good
governance).
Strategi yang dilakukan untuk mengatasi beberapa persoalan birokrasi tersebut adalah melalui
reformasi. Reformasi birokrasi adalah upaya untuk mengatasi berbagai masalah internal
birokrasi seperti tumpang tindih tugas dan kesemrawutan fungsi organisasi di berbagai
tingkatan, persoalan etos dan budaya kerja, belum adanya standar pelayanan publik,
penggunaan anggaran yang belum berorientasi pada hasil dan standar kinerja, monitoring
serta evaluasi masih sering terjadi. Reformasi birokrasi berupaya untuk mengurangi masalah
tersebut dengan perubahan, penyegaran dan pembaharuan guna memenuhi pelayanan publik
yang dapat mengimbangi dinamika dan kebutuhan masyarakat.
Sistem nilai budaya merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok
manusia/individu yang sangat berpengaruh terhadap budaya kerja apaaratur negara. hal
tersebut disebabkan secara praktis budaya kerja mengandung beberapa pengertian. budaya
berkaitan erat dengan persepsi tehadap nilainilai dan lingkungannya yang melahirkan makna
dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja di
dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan
(interdependensi) baik sosial maupun lingkungan sosial.
Pada hakikatnya, bekerja merupakan bentuk atau cara manusia mengaktualisasikan dirinya,
disamping itu bekerja juga merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai, keyakinan yang
dianutnya, dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam
pencapaian tujuan. permasalahan dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya
nilainilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan sehingga melemahkan
disiplin, etos kerja, dan produktivitas kerja.
Secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi pemerintahan belumlah efektif dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, kegemukan, berjalan lambat, belum proporsional dan
profesional. dilihat dari ketatalaksanaan. dan pelayanan publik, terjadi sistem prosedur
pelayanan yang belum transparan, berbelit-belit, dan terjadi praktik kkn. oleh karena itu
komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindak lanjuti dalam hal
pengawaasan dan akuntabilitas aparatur, masih terjadi pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1. Masih banyaknya terjadi praktik KKN, antara lain doisebabkan masih banyak
peraturan perundang-undangan yang member peluang terjadinya praktik KKN dan
perlu ditinjau kembali.
2. Budaya minta dilayani menjadi budaya melayani masyarakat memerlukan waktu
untuk diubah.
3. Rendahnya tingkat disiplin masyarakat dan tingkat disiplin aparatur, dan keempat,
belum berfungsinya secara baik aparat pengawas fungsional pemerintah termasuk
aparat pengawas fungsional pemerintah termasuk aparat penegak hukum.
Suatu cara untuk menciptakan pelayanan terhadap publik menjadi baik, ialah:
1. Proses Sosialisasi
Peningkatan kinerja aparatur baik secara individu dan secara nasional akan dapat
berdayaguna bila nilai-nilai dasar budaya kerja dapat diterapkan melalui proses
sosialisasi, intrernalisasi, dan institusionalisasi dengan cara penerapan nilai-nilai
budaya kerja untuk pengembangan jati diri, sikap, dan perilaku aparatur negara
sebagai pelayanan masyarakat; penerapan nilai-nilai budaya kerja melalui
pengembangan kerjasama dan dinamika kelompok; untuk memperbaiki kebijakan
publik; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaaan
manajemen dan pelayanan masyarakat; penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk
memperbaiki pengawasan, evaluasi kinerja, dan penegakan hukum rhenti sebagai
wacana, melainkan benar-benar bisa terwujud sebagai standard secara konsisten.
budaya kerja ini diharapkan tidak te operating procedure. karena itu dua pendekatan
dapat ditempuh secara stategis, yaitu sosialisasi dari dalam aparatur sendiri dipadukan
dengan sosialisasi kepada masyarakat. sosialisasi kepada masyarakat sangat strategis,
karena dapat membentuk opini publik yang diharapkan dapat berdampak positif
terhadap perubahan lingkungan sosial yang mampu “memaksa” perubahan sikap dari
perilaku setiap aparatur Negara.
2. Etika Kebijakan.
Dalam pengembangan budaya kerja aparatur, telah disusun pedoman pelaksanaan
pengembangan budaya kerja aparatur negara beserta teknis dan mekanisme
pelaksanaannya, sosialisasi penerapan nilainilai budaya kerja aparatur, dan di tunjang
dengan pelaksanaan pelatihan untuk “mindsetting and value” di lingkungan aparatur
pemerintah, peumusan ruu tentang etika apartur negara (RUU perilaku aparat negara)
sebagai acuan kode etik bagi apparat negara dalam penyelenggaraan kepemerintahan.
Kondisi budaya kerja yang di harapkan “terbangunnya kultur birokrasi pemerintah”
untuk mewujudkan kondisi tersebut, antara lain terciptanya iklim kerja yang
berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi melalui pengembangan
budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja.
dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi, terbentuk sikap, perilaku, dan
budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup
sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan, dan teladan, serta
mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Dalam reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud birokrasi yang handal dan
profesional, efektif dan efisien, serta mampu mengantisipasi dinamika perubahan
global yang merupakan landasn kokoh bagi indonesia menuju civil society yang
demokratis, maju dan mandiri, berdaya saing, serta bersih dalam penyelenggaraan
negara.
Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus di tindak lanjuti
dengan beberapa strategi, antara lain:
1. Perampingan birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah
disetiap tingkat, rasionalisasi organisasi, rasionalisasipegawai, desentralisasi, dan
privatisasi; pengembangan sistem dan metode kerja aparatur;
2. penerapan sistem merit dalam manajemen PNS; penerapan sitem remunerasi PNS
yang layak dan adil;
3. pencegahan dan pemberantasan KKN; penyempurnaan sistem dan peningkatan
pelayanan publik yang berkualitas.
Strategi tersebut selanjutnya diikuti dengan langkah-langkah praktis dan rasional yang
memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien diantaranya:
1. Penataan peran dan kelembagaan pemerintah dengan sasaran terwujudnya organisasi
pemerintah yang ramping, efektif, dan efisien yang dapat mendukung peran serta
masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan yang berdaya saing tinggi ditingkat
nasional dan global.
2. Pengaturan tata laksana pemerintah dengan sasaran terbentuknya mekanisme,
prosedur, hubungan, metode dan tata kerja aparatur Negara yang tertib dan efektif.
3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dengan sasaran hadirnya pegawai negeri
sipil yang proporsional, netral dan dapat mempertanggungjawabkan keputusan serta
tindakannya.
4. Pemberantasan kkn dengan sasaran tampilnya aparatur negara yang bebas kkn dan
kinerjua instansi pemerintah yang accountable.
5. Peningkatan kualitas pelayanan publik dengan sasaran terwujudnya pelayanan publik
yang sederhana transparan, tepat, terjangkau, lengkap, wajar serta adil.
Diharapkan dengan strategi dan langkah-langkah konkrit yang dimaksud dapat meningkatkan
kepercayaan dan kepuasan publik terhadap performance, baik instansi maupun pejabat publik
pada gilirannya dapat mendekatkan pemerintah, dengan masyarakat serta terjalin aliansi atau
linkage antara institusi negara, masyarakat, dan sektor swasta.
Aliansi antara ketiga pilar tersebut (pemerintah, masyarakat, dan kalangan swasta) diperlukan
untuk menghindari sikap perilaku aparat pemerintah terjebak dalam pola birokrasi yang kaku
eksklusif dan kebebasan berkreasi. semangat reformasi birokrasi yang menjadi harapan
masyarakat seyogyanya memotivasi setiap pengambil kebijakan pada instansi pemerintah
manapun, baik dipusat maupun di daerah agar memiliki kemauan dan keberanian secara
moral dan politik, untuk memproduksi kebijakankebijakan yang berorientasi pada
terwujudnya good governance yang dapat mendukung kelancaran dan keterpaduan tugas dan
fungsi penyelenggaraan pemerintah secara demokratis.
Komitmen untuk memperkuat kebijakan pemerintah dalam mewujdkan birokrasi profesional
yang telah menjadi agenda nasional, seiring dengan tuntutan demokratisasi dan globalisasi,
sangat memerlukan konsisten dan kontinuitas perjuangan baik oleh pemerintah, masyarakat,
dan kalangan dunia usaha tanpa tergantung kepada siapa yang memegang kendali
pemerintah.
Karena itu sosialisasi dan impementasi tata pemerintahan yang baik perlu terus ditingkatkan
sehingga resonansi dan gerakan bersih, transparan, dan profesional dapat menjadi agenda
semua pihak dan perlu di canangkan di segala bidang kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
KESIMPULAN
Menegakkan etika publik dalam kebijakan publik sejatinya dapat dilakukan dengan mudah
oleh institusi publik seandainya mereka mau ‘belajar’ dari sektor privat yang relatif mampu
melakukannya (layanan jasa/barang) dengan berstandar karena mengedepankan standar etika
kesenangan atau kepuasan pelanggan (publik). Kebijakan publik yang berhubungan
pelayanan publik seperti untuk perijinan, permohonan akta, dan layanan administrasi
kependudukan sudah saatnya didesentralisasikan (dipencarkan) kepada satuan unit kerja yang
berhadapan langsung dengan masyarakat ditingkat grass roots sehingga etika publik tentang
mudah, murah, cepat, dan terjangkau tidak hanya merupakan bahasa basa-basi.
Jabatan publik di birokrasi publik harus berbasis kompetensi yang dilakukan melalui uji
kompetensi (fit and proper test) oleh lembaga jasa independen serta tidak menutup diri
terhadap kemungkinan masuknya kalangan professional. Yang dipastikan memiliki
keunggulan kinerja dalam jabatan publik dengan sistem kontrak karya. Etika publik berupa
kepastian standar kualitas SDM aparatur harus dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan
publik.
Birokrasi publik seyogyanya tidak asyik sendiri disibukkan dengan penataan struktur
organisasi publik yang tambun dan inefisien karena hanya alasan mengikuti suatu Peraturan
Pemerintah tanpa memerhitungkan kepemilikan sumberdaya yang terbatas; etika publik
berupa efisiensi dan efektivitas sudah saatnya menjadi komitmen untuk direalisasikan.