Anda di halaman 1dari 10

PERUMUSAN PANCASILA DALAM SIDANG BPUPKI

I Dewa Gede Sarjana


Sarjana23@gmail.com

A. Sejarah Penjajahan Di Indonesia


Bagi bangsa Indonesia penjajahan merupakan pengalaman pahit dan menyakitkan, karena
silih berganti dijajah oleh bangsa asing. Bila dikalkulasikan tidak kurang dari 6 negara yang pernah
menjajah Indonesia, yaitu Portugis (1512-1595), Spanyol (1521-1692), Belanda (1602-1942),
Perancis (1808-1811), Inggris (1811-1816), dan Jepang (1942-1945). Berkaitan dengan penelitian
ini kisah penjajahan yang disinggung adalah pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Apabila
dihitung kembali, lamanya durasi bangsa Indonesia berada di bawah kolonialisme bangsa asing,
khususnya Belanda kurang lebih 350 tahun. Secara historis bangsa Indonesia tanpa mengenal lelah
dan pantang menyerah terus-menerus mengobarkan semangat perjuangannya untuk mengusir
penjajah Belanda. Kolonialisme Belanda yang tidak manusiawi dalam kurun waktu tersebut telah
membuat bangsa ini hidup penuh keperihatinan dan penderitaan. Selama itu pula keinginan untuk
melepaskan diri dari belenggu penjajahan terus berkobar. Setelah sekian lama bangsa Indonesia
berjuang, peluang untuk lepas dari cengkeraman Belanda pun mulai terbuka lebar. Diawali pada
tanggal 7 Desember 1941 Jepang membom Pear Horbour salah satu pangkalan penting Amerika
Serikat di Lautan Pasifik, yang memicu meletusnya perang pasifik. Dengan diserangnya Pearl
Harbour oleh Angkatan Udara Jepang, maka sejak tanggal 8 Desember 1941 terjadi peperangan
antara Jepang dengan Amerika Serikat serta Sekutunya. Jepang menggabungkan diri dalam front
Jerman di bawah pimpinan Hitler, dan Italia di bawah pimpinan Musolini yang bertempur
melawan negara-negara Eropa yang ditopang Amerika Serikat dan Rusia. Dalam waktu yang
relatif singkat telah jatuh jajahan Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda. Pada 8 Maret 1942
Angkatan Perang Kerajaan Belanda yang berada di Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Belanda menyerah kepada Jepang diumumkan melalui radio NIROM (Nederlands Indisch
Radio Omroep) pada hari Senin pukul 07.45, tanggal 8 Maret 1942 dengan disertai
penandatanganan piagam penyerahan tanpa syarat yang diwakili oleh Jenderal H. Ter Poorten dan
Jenderal Hitosi Imamura di Kalijati, sejak itu Indonesia resmi berada dibawah kekuasaan Kerajaan
Jepang. Pesan radio terakhir dari kawasan yang dikuasai Belanda berbunyi: Kami mengundurkan
diri. Selamat tinggal, sampai jumpa kelak disaat-saat yang lebih menyenangkan.
Setelah beberapa saat lepas dari genggaman Belanda, bangsa Indonesia justru dihadapkan
pada penjajahan yang perlakuannya jauh lebih menindas daripada penjajah sebelumnya, yaitu
masa penjajahan Jepang yang berlangsung selama 3,5 tahun. Setelah Jepang benar-benar berkuasa
atas bangsa Indonesia, yang diperoleh bukan kemerdekaan, melainkan kesengsaraan dan
kemelaratan, serta penderitaan lahir batin. Pengalaman buruk tersebut tentunya masih terbayang
dalam pikiran, sehingga sangat sulit dihapuskan atau dibenamkan dari memori kolektif bangsa
Indonesia. Secara historis-empiris perlakuan Jepang nyatanya tidak lebih baik dari Belanda ketika
menguasai bangsa Indonesia. Semua kegiatan kaum pergerakan dilarang. Organisasi politik
diilarang, kecuali badan-badan propaganda untuk membantu Jepang. Masa pendudukan Jepang di
Indonesia dianggap sebagai masa yang memperihatinkan, yang ditandai dengan adanya Romusha
dan kelaparan, kekurangan pakaian, serta pemaksaan dalam berbagai kegiatan perang. Di samping
itu, kerap kali terjadi kekerasan yang semena-mena terhadap rakyat Indonesia. Artinya tidak
berbeda jauh dengan penjajah lainnya, bahwa maksud dan tujuan kedatangan Jepang ke Indonesia
adalah untuk mengksploitasi kekayaan daerah yang dijajah. Hal tersebut selaras dengan keinginan
utama dari penjajah adalah memeras keuntungan dari suatu bangsa yang lebih rendah tingkat
kemajuannya. Adapun muara dari kolonialisme Jepang adalah menyusun dan mengarahkan
kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana-
rencananya bagi dominasi ekonomi Asia Timur dan Tenggara. Bila disegarkan kembali ingatan
kita ke belakang, bahwa mula-mula kedatangan tentara Jepang disambut dengan perasaan gembira
oleh seluruh bangsa Indonesia, karena kepandaian mereka dalam berpropaganda seperti “Asia
untuk bangsa Asia”, “Nippon Indonesia sama-sama”, sehingga bangsa Indonesia mengira
kedatangan akan membebaskan dari penjajahan. Apalagi pada awal mulanya sikap Jepang sangat
bersahabat, dengan menyampaikan janji-janji, dan berbagai macam propaganda emas, antara lain,
dalam waktu yang sangat singkat Jepang akan membebaskan rakyat terjajah di Indonesia, bebas,
dan lepas dari cengkeraman bangsa Barat. Adapun beberapa strategi politik Jepang untuk meraup
dan mendulang simpati rakyat Indonesia agar mendukung tindakan kolonialismenya, terutama
dalam memenangkan peperangan Asia Timur Raya, yaitu.
a. Jepang mempropagandakan, bahwa kedatangannya untuk menolong bangsa-bangsa
terjajah dan menyelenggarakan kemakmuran bersama dalam Asia Raya.
b. Pemimpin Indonesia yang dibuang dan ditawan Belanda dibebaskan.
c. Kedatangan Jepang disambut dengan pengibaran bendera merah putih di samping
bendera Jepang dan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya (karena dikira akan
membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan sesuai dengan ramalan Jaya Baya.
Tetapi ternyata rakyat Indonesia tertipu, karena kemudian segera keluar larangan
mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya
Pada waktu berkecamuk Perang Pasifik, Jepang berkuasa atas sebagian besar daerah-
daerah di Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia, oleh karena angkatan perangnya. Tetapi
menjelang akhir tahun 1944 itu bala tentara Jepang menderita kekalahan terus-menerus terhadap
serangan-serangan pihak tentara Sekutu. Memasuki tahun 1945 tentara Jepang dalam peperangan
di Asia Tenggara mengalami kekalahan-kekalahan dan semakin terdesak oleh negara-negara
Sekutu di Pasifik. Sekutu menyerang pertahanan Jepang di Pasifik dan hampir seluruh medan
perang tersebut dimenangkan oleh Sekutu. Sidang Parlemen Jepang atau Teikoku Ginkai di Tokyo
pada 7 September 1944 berlangsung dalam suasana yang kurang kondusif. Dai Nippon kian
terdesak oleh pasukan Sekutu akibat serentetan kekalahan di Perang Asia Timur Raya. Tindakan
darurat wajib dilakukan sesegera mungkin, termasuk terkait wilayah-wilayah pendudukan Jepang,
salah satunya Indonesia. Di tengah kondisinya yang semakin terancam dan terpojok oleh Sekutu,
Jepang pun mengumbar janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Pada 7 September 1944
Jepang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia nanti pada 24 Agustus 1945.The Japanese Empire (hereby) announce the future
independenci of all Indonesia people Janji ini diucapkan Perdana Menteri Jepang Kuniako Koiso,
yang diumumkan di depan upacara istimewa “The Imperial Diet” pada tanggal 7 September 1944.
Janji kemerdekaan Perdana Menteri Koiso diyakini sebagai langkah strategis untuk
mempertahankan pengaruh Jepang terhadap Indonesia. Singkat cerita bahwa janji ini adalah
bagian dari strategi Jepang untuk menarik simpati bangsa Indonesia, agar membantunya melawan
sekutu untuk membela Jepang. Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan
melalui dua tahap: pertama melalui BPUPK kemudian disusul dengan pendirian Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). AB Kusuma memandang rancangan tersebut sebagai upaya
Jepang untuk menghambat kemerdekaan Indonesia, sebab BPUPK hanya untuk “menyelidiki”
bahan-bahan persiapan kemerdekaan, sedangkan penyusunan UUD akan dilakukan PPKI.
A. Sidang BPUPKI.
Setelah sekian lama bercokol posisi Jepang mulai terdesak dalam peperangan Asia Timur
Raya. Jepang pun menjanjikan, bahwa akan memerdekakan Indonesia suatu hari nanti. Realisasi
janji tersebut ditandai dengan dibentuknya Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai pada tanggal 29 April
1945. Sebagai tindak lanjut dari janji tersebut, maka Panglima Tentara Jepang di Jawa, pada
tanggal 1 Maret 1945 menjanjikan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK). Ketika Jepang terdesak oleh serangan tentara Sekutu yang dipimpin oleh
Amerika Serikat, pemerintah Jepang di Jawa mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI dibentuk oleh pemerintah
penjajahan Jepang di Indonesia pada 29 April 1945. BPUPKI dibentuk bertepatan dengan hari
ulang tahun Tenno Heika (Tentyosetu). BPUPKI bagi para pemimpin perjuangan yang duduk
didalamnya diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa. Badan ini mempunyai tugas untuk
mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berkenaan dengan segi-segi politik ekonomi,
dan tata pemerintahan yang dibutuhkan dalam rangka pembentukan negara Indonesia merdeka.
Pembentukan BPUPKI merupakan langkah konkret pertama bagi terpenuhinya janji Koiso tentang
“Kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari”. Pembentukan BPUPKI pada tanggal 29 April
1945 tidak terlepas dari usaha Jepang untuk merealisasikan janjinya itu. Tanggal 28 Mei 1945
badan tersebut dilantik. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh
dua orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang Jepang).
BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada
28 Mei 1945. Adapun jumlah anggota BPUPKI yang dilantik pada waktu itu adalah 60 orang. 60
orang anggota tersebut belum termasuk Ketua dan Ketua Muda. Adapun keanggotaannya dibagi
menjadi lima golongan: golongan pergerakan, Islam, birokrat (kepala jawatan), wakil kerajaan
(kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, walikota), peranakan Tionghoa, Arab, dan
Belanda. Apabila Dipandang dari aspek legitimasi secara sederhana keseluruhan anggota BPUPKI
dapat dikatakan mewakili masyarakat atau penduduk Indonesia ketika itu.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa BPUPKI adalah badan yang akan
mempersiapkan dan merumuskan segala hal yang mendasar bagi berdirinya suatu negara dan
bangsa merdeka. BPUPKI mengadakan dua kali masa sidang, yaitu: masa sidang pertama tanggal
29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 dan masa sidang kedua tanggal 10 hingga 17 Juli 1945.BPUPK
bersidang di hari pertama dengan agenda pembahasan dasar negara. Dalam pertemuan-pertemuan
badan ini selama dua minggu pertama terjadi polarisasi dua faksi, yaitu yang ingin menjadikan
negara Indonesia merdeka berdasar Islam, dan kelompok lain yang menghendaki dasar negara
Pancasila. Sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
diawali dengan pernyataan Ketuanya Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, yang
mempertanyakan dasar didirikannya negara Indonesia yang merdeka
Dekat pada akhir bulan Mei 1945 dr. Radjiman, ketua Panitia Penyelidik Usaha-usaha
Kemerdekaan Indonesia, membuka sidang Panitia itu dengan mengemukakan pertanyaan
kepada rapat: “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?.
Kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu
akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang.
Pertanyaan ini menjadi inti pidato yang diminta untuk disiapkan dan disampaikan oleh
seluruh peserta dalam sidang selama 29 Mei-1 Juni 1945. Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat
sebagai Ketua Badan Penyelidik meminta agar sidang Dokuritsu Junbi Choosakai) mengemukakan
dasar Indonesia merdeka.Dengan begitu, dalam persidangan periode pertama, BPUPKI telah
memulai tugasnya dengan membicarakan masalah yang sangat penting, yakni tentang dasar
negara. Dalam sidang pertama BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1
Juni 1945, para pendiri negara mengungkapkan pendapatnya tentang dasar negara Indonesia
merdeka. Tetapi tidak semua peserta sidang menyampaikan pidato. Seperti yang disinggung di
atas, bahwa tidak banyak yang menjawab pertanyaan tersebut, sebab umumnya mereka kuatir
perdebatan akan berlarut-larut menjadi perdebatan filosofi. Tercatat pidato tiga tokoh bangsa
tentang dasar negara bagi Indonesia merdeka yang terekam dengan baik dalam sejarah persidangan
BPUPKI, yaitu Muhammad Yamin (29 Mei 1945), Soepomo (31 Mei 1945), dan Soekarno (1 Juni
1945).
Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945) yang memperoleh kesempatan pertama untuk
mengemukakan pidatonya dalam sidang BPUPKI. Adapun substansi pidato Muhammad Yamin
menyangkut dasar negara, yaitu.
1. Peri Kebangsaan.
2. Peri Kemanusiaan.
3. Peri Ketuhanan.
4. Peri Kerakyatan.
5. Kesejahteraan rakyat.
Di lampirkan pada pidatonya dalam rancangan UUD RI:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kebangsaan kesatuan bangsa Indonesia.
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian pada tanggal 31 Mei 1945 Soepomo menyampaikan usulan menganai dasar
negara antara lain:
1. Dasar Persatuan dan Kekeluargaan
2. Dasar Ketuhanan
3. Dasar Kerakyatan/Permuyawaratan
4. Dasar Koperasi dalam Sistem Ekonomi
5. Mengenai hubungan antar bangsa, dianjurkan supaya Negara Indonesia bersifat
sebagai Negara Asia Timur Raya, sehingga masih tampak ada keterkaitan dengan
Jepang.
Kemudian sebagai penutup, Ir. Soekarno mendapatkan kesempatan untuk
mengemukakan gagasannya tentang dasar negara bagi Indonesia merdeka. Dalam notulen Sidang
Dokuritzu Zyunbi Tyoozakai (Badan Usaha-Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
sebelum menjadi rumusan resmi, Pancasila yang dirumuskan versi Soekarno dalam Pidatonya 1
Juni 1945 adalah sebagai berikut.
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan.
3. Mufakat atau Demokrasi.
4. Kesejahteraan Sosial.
5. Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Dalam pidatonya, Soekarno menjawab permintaan Radjiman akan dasar negara Indonesia
dalam kerangka dasar falsafah atau pandangan dunia (weltanschauung) dengan penjelasan yang
runut, solid, dan koheren. Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar,
filsafat, atau jiwa) dari Indonesia merdeka. Lima prinsip di atas itulah yang diusulkan oleh Bung
Karno yang akhirnya diberi nama Pancasila. Pancasila yang diajukan Bung Karno ini mendapat
dukungan penuh dari segenap pimpinan bangsa waktu itu. Meskipun telah ada titik terang tentang
dasar negara, sayangnya dari berbagai gagasan yang muncul saat sidang BPUPKI masih
menyisakan persoalan prinsipil. Bagaimana pola hubungan antara negara dengan agama belumlah
menemukan kesepakatan diantara peserta sidang BPUPKI. Artinya riak-riak perdebatan dalam
kecil sidang itu sudah mengkristal, yaitu apakah negara kita berdasar Islam atau sekuler, yaitu
memisahkan agama dan negara. Dengan munculnya dua usulan yang berbeda itu, maka dimulailah
pergumulan pertama antara Pancasila dan Islam dalam sidang-sidang BPUPKI. Dengan begitu,
persoalan yang paling pelik pada waktu itu adalah antara golongan Islam dan golongan nasionalis
mengenai negara yang akan didirikan. Pancasila yang diuraikan Ir Soekarno sedikit tidaknya dapat
meneduhkan pertentangan yang mulai tajam. Sebelum sidang berakhir dibentuk Panitia kecil untuk
merumuskan Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada
1 Juni 1945.
Persoalan komplikatif mengenai dasar negara bagi Indonesia merdeka tidak selesai
sampai di sini, sebab sampai sidang BPUPKI pertama berakhir, belum juga ditemukan kesepakatan
bersama. Maka untuk menjembatani perbedaan pandangan dalam sidang BPUPKI, Dr. Radjiman
memutuskan membentuk sebuah panitia kecil. Panitia SembiIan ini dibentuk dalam rapat anggota
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dihadiri 38
anggota BPUPKI (Dokuritzu Zyunbi Tyoosukai) yang ada di Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang
mulai bersidang pukul 20.00. Persidangan ini disebut sebagai sidang tidak resmi dan hanya dihadiri
38 anggota. Dari Panitia kecil itu dipilih lagi Sembilan orang yang menjalankan tugas itu dan
menghasilkan rancangan pembukaan yang kemudian diberi nama Piagam Jakarta. Secara
struktural Panitia Sembilan itu diketuai oleh Ir. Soekarno. Perhatian utama dari Panitia Sembilan
adalah untuk mencari suatu modus, persetujuan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis,
yang sudah timbul dalam sidang pertama BPUPKI. Panitia Sembilan dibentuk karena kebutuhan
untuk mencari modus antara apa yang disebut “golongan Islam” dengan “golongan kebangsaan”
mengenai soal agama dan negara. Golongan nasionalis Islam menghendaki dasar negara Indonesia
adalah Islam. Tentu saja mereka harus beradu gagasan dengan kelompok nasionalis-sekuler.
Dalam perdebatan tentang dasar negara bagi Indonesia merdeka, beragam pandangan ideologis
terbelah menjadi dua kelompok utama. Kelompok nasionalis Islam, dengan para tokohnya
berpendirian, bahwa negara harus didasarkan pada Islam, karena posisi agama Islam di Indonesia
begitu mengakar. Pada sisi lain, kelompok nasionalis sekuler memberikan pandangannya, bahwa
dalam rangka menyelamatkan kesatuan bangsa, dasar negara haruslah netral dan tidak boleh
dikaitkan dengan kepercayaan agama tertentu, khususnya Islam. Dalam pandangan mereka, agama
adalah urusan hubungan manusia dengan Tuhan. Golongan nasionalis ingin menegaskan, bahwa
negara Indonesia yang hendak kita dirikan bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler.
Persoalan ini rupa-rupanya sudah timbul selama persidangan (BPUPKI) pertama, dan
mungkin jauh sebelumnya juga. Perbedaan dua kelompok tentang dasar negara tampak ketika
bunyi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dipersoalkan oleh kelompok Islam. Menurut
kelompok Islam pencantuman sila pertama tidaklah jelas, maka perlu ditambah lagi dengan kata-
kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penambahan
tujuh kata ini kemudian menimbulkan perdebatan yang alot antara kelompok nasionalis (di
dalamnya terdapat juga tokoh Kristen) dengan kelompok Islam. Hasil rumusan piagam jakarta dan
berbagai usulan yang berhasil dihimpun kemudian diberi tanggapan yang cukup tajam oleh
Latuharhary yang merangsang perdebatan “tujuh kata” beserta pasal-pasal lain, seperti agama
negara dan syarat agama seorang presiden. Sehingga muncul golongan Islam dan golongan
kebangsaan. Dalam perjalanannya, Panitia Sembilan berhasil menurunkan dan meredakan
ketegangan ideologis yang terjadi. Tim perumus tersebut pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil
merampungkan rumusan Pancasila yang terkenal dengan sebutan “Piagam Jakarta” atau “Jakarta
Charter”. Adapun rumusan Piagam Djakarta hasil kerja Panitia Sembilan, yaitu sebagai berikut:
(a) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, (b) Menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab; (c) Persatuan Indonesia; (d) Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan (e) Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam rumusan ini, sila mengenai Ketuhanan berada pada urutan pertama,
namun masih ada kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam piagam ini, Pancasila
diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila Ketuhanan
di samping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberi anak kalimat pengiring
‘dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan ini
merupakan kompromi dalam perdebatan yang cukup seru di kalangan para bapak pendiri bangsa
(founding fathers) dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945. Piagam ini merupakan
kesepakatan luhur dari kedua golongan yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa, yaitu
golongan Islam dan golongan kebangsaan.
Masa Sidang Kedua BPUPKI ini memiliki arti penting dalam membahas dan
mematangkan persiapan kemerdekaan Indonesia, karena di dalamnya membahas mengenai dasar
negara. Perumusan terakhir materi Pancasila sebagai dasar filsafat negara dilakukan pada sidang
tanggal 10 Juli 1945 sampai 16 Juli 1945 dimana telah dibahas rencana undang-undang dasar
melalui suatu Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketua oleh Ir. Soekarno. Dalam
sidang BPUPKI kedua tanggal 10 Juli 1945, Ir. Soekarno melaporkan, bahwa sidang Panitia
Sembilan (tanggal 22 Juni 1945) telah berhasil merumuskan (dasar negara) yang merupakan
persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Pada sidang kedua BPUPKI baik golongan
nasionalis maupun golongan Islam berkonsensus, bahwa masa depan Indonesia merdeka akan
didasarkan pada sila "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya". Hasil kesepakatan atau modus vivendi Panitia Sembilan dinyatakan dalam sidang II
BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Dengan demikian, diskusi dan perdebatan di dalam sidang-sidang
BPUPKI menghasilkan Piagam Jakarta.

Daftar Pustaka

Santika, I. G. N., Sujana, G., & Winaya., M. A. (2019). Membangun Kesadaran Integratif
Bangsa Indonesia Melalui Refleksi Perjalanan Historis Pancasila Dalam Perspektif Konflik
Ideologis. Jurnal Etika Demokrasi (JED). 4 (2), 89-98.
https://doi.org/10.26618/jed.v4i2.2391
Santika, I. G. N. (2020). Menelisik Akar Kegaduhan Bangsa Indonesia Pasca Disetujuinya Hasil
Revisi UU KPK Dalam Perspektif Pancasila. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial. 6 (1), 6-36.
http://dx.doi.org/10.23887/jiis.v6i1.25001
Santika, I. G. N. (2019). Presidensialisme Dan Problematika Mekanisme Impeachment Presiden
Dan/Atau Wakil Presiden Berdasarkan UUD 1945 Pasca Perubahan (Perspektif Pergulatan
Hukum Dan Politik). Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial. 5 (1), 23-34.
http://dx.doi.org/10.23887/jiis.v5i1.18777
Santika, I. G. N., Purnawijaya, I. P. E., & Sujana, I. G. (2019). Membangun Kualitas Sistem
Politik Demokrasi Indonesia Melalui Pemilu Dalam Perspektif Integrasi Bangsa Dengan
Berorientasikan Roh Ideologi Pancasila. Seminar Nasional 1 Hukum dan
Kewarganegaraan. 1 (1), 74-85.
https://eproceeding.undiksha.ac.id/index.php/semnashk/article/view/1665
Santika, I. G. N., Rindawan, I. K., & Sujana, I. G. (2019). Memperkuat Pancasila Melalui Pergub
No. 79 Tahun 2018 Dalam Menanggulangi Pengikisan Budaya Di Era Revolusi Industri
4.0. Prosiding Seminar Nasional Inobali 2019, 79, 981–990
Santika, I.G.N. (2020). Menggali dan Menemukan Roh Pancasila Secara Kontekstual. Klaten:
Lakeisha.
https://scholar.google.com/citations?user=1GBe3QMAAAAJ&hl=id&oi=ao#d=gs_md_cit
a-
d&u=%2Fcitations%3Fview_op%3Dview_citation%26hl%3Did%26user%3D1GBe3QMA
AAAJ%26citation_for_view%3D1GBe3QMAAAAJ%3ASe3iqnhoufwC%26tzom%3D-
480

Anda mungkin juga menyukai