1 Anatomi Lensa
2.1.1 Struktur Lensa
Lensa merupakan salah satu media refraksi yang penting. Lensa adalah struktur
bikonveks yang bersifat transparan, elastis dan tidak memiliki suplai darah atau
persarafan setelah perkembangan janin. Lensa sepenuhnya bergantung pada aqueous
humor untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dan membuang kotorannya. Lensa
terletak di bagian posterior iris dan di bagian anterior ke tubuh vitreous (Gambar 3).
Sebanyak 65% bagian dari lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein (kandungan protein
tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral yang biasa ada
di jaringan tubuh lainnya.1
Posisi lensa didukung oleh zonula Zinii, yang terdiri dari serat halus kuat yang
menopang dan menempelkannya ke badan siliaris. Lensa terdiri dari kapsul, epitel
lensa, korteks, dan nucleus. Bagian kutub anterior dan posterior lensa dihubungkan oleh
garis imajiner yang disebut sumbu optik (optic axis), yang melewatinya. Garis-garis di
permukaan yang berpindah dari satu kutub ke kutub lainnya disebut sebagai meridian.
Ekuator lensa adalah keliling terbesarnya.1,4
Gambar 2. Struktur Lensa yang Normal.1
Lensa dapat merefraksikan cahaya karena indeks refraksinya sekitar 1,4 di bagian
tengah dan 1,36 di bagian tepi - berbeda dengan yang di aqueous dan vitreous. Lensa terus
berkembang sepanjang hidup. Saat lahir, ukurannya sekitar 6,4 mm ekuator dan 3,5 mm
anteroposterior dan beratnya sekitar 90 mg. Lensa dewasa biasanya berukuran 9 mm ekuator
dan 5 mm anteroposterior dan beratnya sekitar 255 mg. Seiring bertambahnya usia,
ketebalan relatif korteks meningkat; lensa juga mengadopsi bentuk yang semakin
melengkung sehingga lensa yang lebih tua memiliki daya refraksi yang lebih besar. Namun,
indeks refraksi menurun seiring bertambahnya usia, kemungkinan akibat dari bertambahnya
partikel protein yang tidak larut. Dengan demikian, mata dapat menjadi lebih rabun seiring
bertambahnya usia.1,4
Kapsul lensa adalah membran basal yang elastis dan transparan yang terdiri dari
kolagen tipe IV. Kapsul berisi bahan lensa dan mampu membentuknya selama perubahan
akomodatif. Lapisan luar kapsul lensa dan lamella zonular, juga berfungsi sebagai titik
perlekatan serat zonular. Kapsul lensa paling tebal di zona praquatorial anterior dan
posterior dan paling tipis di daerah kutub posterior sentral, di mana bisa setipis 2-4 µm.
Kapsul lensa anterior jauh lebih tebal daripada kapsul posterior saat lahir, dan ketebalannya
meningkat sepanjang hidup. Lensa didukung oleh serat zonular (juga disebut sebagai zonula
Zinn) yang terdiri dari mikrofibril yang tersusun dari jaringan elastis.1,4
Tepat di belakang kapsul lensa anterior adalah satu lapisan sel epitel. Sel-sel ini aktif
secara metabolik dan melakukan semua aktivitas sel termasuk biosintesis DNA, RNA,
protein, dan lipid. Mereka juga menghasilkan adenosin trifosfat untuk memenuhi kebutuhan
energi lensa. Sel epitel bersifat mitosis, dengan aktivitas sintesis DNA premitotik (replikatif,
atau fase S) terbesar terjadi di cincin di sekitar lensa anterior yang dikenal sebagai zona
germinative.1
Apabila serat baru terbentuk, serat tersebut terletak secara padat pada serat yang
terbentuk sebelumnya, dengan lapisan yang lebih tua terletak di tengah. Serat terluar adalah
yang paling baru terbentuk dan menyusun korteks lensa. Tidak ada perbedaan morfologis
antara korteks dan nukleus selain transisi antar wilayah yang berlangsung secara bertahap.1,4
Fungsi fisiologis lensa adalah untuk menjaga transparansi lensa, untuk refraksi
cahaya, lensa merupakan media refraksi mata yang penting, berfungsi untuk memfokuskan
cahaya yang masuk ke retina melalui refraksi, menyediakan akomodasi yang dicapai melalui
kontraksi terkoordinasi dan relaksasi otot zonula dan siliaris; dan penyerapan sinar
ultraviolet, lensa dapat melindungi retina dari kerusakan sinar ultraviolet.4
Lensa, bersama dengan kornea, merupakan bagian utama dari sistem refraksi mata
orang dewasa. Lensa manusia adalah struktur bikonveks asimetris, dan rata- rata
kelengkungan permukaan anterior dan posterior masing-masing adalah 10 mm dan 6 mm.
Pada teori akomodasi lensa, teori Helmholtz menyatakan bahwa perubahan bentuk lensa
yang disebabkan oleh ketegangan dari otot siliaris merupakan kontributor utama akomodasi
lensa. Ketika otot siliaris berkontraksi, serat-serat zonular mengendur dan ketegangan
kapsular berkurang. Lensa menjadi lebih tebal dengan bertambahnya lengkungan dan
bergerak ke depan, sehingga meningkatkan daya refraksi lensa. Sebaliknya, relaksasi otot
siliaris meningkatkan ketegangan serat zonular, meratakan lensa dan, dengan demikian,
mengurangi kekuatan refraksi.1,4
Dengan demikian, efek dari ketegangan otot siliaris pada zonula mungkin dicapai
melalui perubahan tegangan permukaan seluruh badan siliaris dan diameter cincin siliaris.
Ketegangan yang ditransmisikan dari zonula ke kapsul lensa akhirnya menyebabkan
perubahan bentuk lensa, berkontribusi pada fungsi akomodatif mata. Kesimpulannya,
selama akomodasi, diameter transversal lensa berkurang, dan ketebalannya meningkat,
dengan peningkatan kelengkungan permukaan anterior. Pada saat yang sama, kutub lensa
anterior bergerak maju sementara kutub posterior bergerak mundur, dan seluruh lensa
menjadi lebih bulat.1,4
Lensa menyerap sebagian besar cahaya tampak dalam rentang panjang gelombang
380-400 nm, dan hanya sejumlah kecil sinar ultraviolet yang mencapai retina. Kapasitas
lensa untuk menyerap cahaya meningkat seiring bertambahnya usia, sehingga dapat
melindungi retina dari kerusakan akibat cahaya tampak.4
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan
cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi keduanya. 5,6 Katarak berasal dari Yunani
yaitu katarrhakies atau bahasa latinnya cataracta yang berarti air terjun akibat lensa yang
keruh. Kekeruhan pada katarak biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif
ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama. Katarak senilis adalah
katarak yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia diatas 50 tahun.5
2.2.2 Epidemiologi
Menurut WHO, sepertiga dari 45 juta orang di dunia dan setengah dari 1,5 juta
kebutaan anak berada di Asia Tenggara.5 Kebutaan tersebut sering menyebabkan kesedihan
dan hilangnya hak-hak yang ada. Tiga lembaga survei nasional di India menyatakan bahwa
katarak akan mencapai 8,25 juta pada tahun 2020.5 Saat ini sekitar 3 juta operasi katarak
dilakukan setiap tahun di Amerika Serikat, menjadikan prosedur ini operaasi yang paling
umum dilakukan berdasarkan rawat jalan. Biaya medis langsung terkait dengan perawatan
katarak di Amerika Serikat, termasuk operasi, kunjungan kantor, dan resep, sekitar $ 6,8
miliar per tahun. Tingkat operasi katarak di negara maju mencapai 10.000 per juta populasi
per tahun.7 Berbagai studi potong lintang melaporkan prevalensi katarak pada individu
berusia 65-74 tahun adalah sebanyak 50%; prevalensi ini meningkat hingga 70% pada
individu diatas 75 tahun.6
2.2.4 Patofisiologi
a. Katarak kapsular, adalah katarak yang melibatkan kapsul lensa, dapat berupa
katarak kapsular anterior dan katarak kapsular posterior. Katarak kapsular dapat
disebabkan oleh usia, uveitis yang berhubungan dengan sinekia posterior, obat-
obatan, radiasi, dan trauma.
c. Katarak kortikal, adalah katarak yang melibatkan korteks lensa dan merupakan
katarak yang paling sering terjadi. Katarak kortikal disebabkan oleh usia dan
diabetes. Lapisan kortikal kurang padat dibandingkan nukleus sehingga lebih
mudah menjadi sangat terhidrasi akibat ketidakseimbangan elektrolit, yang
secepatnya akan mengarah ke kerusakan serat korteks lensa.
f. Katarak polar, adalah katarak yang melibatkan kapsul lensa dan superfisial
korteks lensa hanya di regio polar, dapat berupa katarak polar anterior dan
katarak polar posterior. Katarak polar biasanya terdapat pada katarak kongenital
atau karena trauma sekunder.
g. Katarak campuran, adalah keadaan di mana lebih dari satu tipe katarak muncul
bersamaan. Pada awalnya katarak biasanya muncul sebagai satu tipe saja tetapi
akan dapat menjadi katarak gabungan ketika bagian lensa yang lain juga
mengalami degenerasi. Katarak gabungan mengindikasikan katarak telah lanjut
dan perkembangannya harus lebih diperhatikan. Pasien dengan katarak gabungan
akan memiliki gejala penurunan visus
a. Katarak kongenital, adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah
lahir dan bayi berusia kurang dari satu tahun. Katarak kongenital sering ditemukan
pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita penyakit rubella,
galaktosemia, homosisteinuri, diabetes mellitus, hipoparatirodisme, toksoplasmosis,
inklusi sitomegalik, dan histopalsmosis. Penyakit lain yang menyertai katarak
kongenital biasanya merupakan penyakit-penyakit herediter seperti mikroftalmus,
aniridia, koloboma iris, keratokonus, iris heterokrimia, lensa ektopik, displasia
retina, dan megalo kornea. Katarak kongenital disebabkan kelainan pada
pembentukan lensa sebelum proses kelahiran. Katarak kongenital digolongkan
dalam katarak kapsulolentikular di yaitu katarak kapsular dan polaris atau katarak
lentikular yaitu katarak kortikal atau katarak nuklear.
b. Katarak juvenil, adalah katarak yang mulai terbentuk pada usia kurang dari
sembilan tahun dan lebih dari tiga bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan
penyulit penyakit sistemik ataupun metabolik dan penyakit lainnya seperti:
e. Katarak traumatic
f. Katarak komplikata
g. Kelainan kongenital dan herediter (siklopia, koloboma, mikroftalmia, aniridia,
pembuluh hialoid persisten, heterokromia iridis).
h. Katarak degeneratif (dengan miopia dan distrofi vitreoretinal), seperti Wagner dan
retinitis pigmentosa, dan neoplasma).
j. Katarak senilis, adalah katarak semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia
lanjut, yaitu usia diatas 50 tahun. Tipe utama pada katarak senilis adalah katarak
kortikal, katarak nuklear, dan katarak subkapsular posterior. Walaupn katarak sering
diawali oleh tipe yang murni tersebut, mereka akan matang menjadi katarak
campuran. Selanjutnya akan dibahas lebih mendetail mengenai katarak senilis.1
DAFTAR PUSTAKA
3. Lam D, Rao SK, Ratra V, Liu Y, Mitchell P, King J, et al. Cataract. Nat Rev Dis Prim
[Internet]. 2015 Dec 17;1(1):15014. Available from:
http://www.nature.com/articles/nrdp201514
5. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
6. Riordan-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 19th ed.
New York: McGraw-Hill Education; 2018.
7. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007.