Anda di halaman 1dari 15

CONTOH KASUS

Berikut ini beberapa kasus sengketa medik yang diselesaikan secara


litigasi (peradilan pidana,peradilan perdata) dan diselesaika atau selesai secara
nonlitigasi.

Peradilan Pidana
I.PUTUSAN NOMOR VII/S/Pid/1980/V/PN.Jak.Sel
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap dr. Anida Safrii dan dr. Yusman
Iskandar.

Posisi Kasus

Terdakwa dr. Anida Safril ahli THT telah dituduh melanggar Pasal 359
KUHP jo KUHP. Yaitu karena kurang hati-hati ataupun karena kecerobohannya
dalam melakukan operasi amandel terhadap seorang anak yang bernama Erni
Handayani, sehingga anak tersebut meninggal dunia karena pendarahan. Dalam
melakukan operasi amndel dr. Aninda Safril dibantu oleh dr. Susman Iskandar
selaku dokter bius atau anestesi. Operasi dilakukan di tempat praktek tertuduh
yang izin prakteknya telah berakhir pada bulan Juli 1975.

Terdakwa dianggap kurang hati-hati atau ceroboh oleh jaksa penuntut


umum karena kurang teliti memeriksa keshatan pasien dan tidak memmberikan
suntikan antibiotik untuk mencegah infeksi atau tidak memberikan obat
koagulansia untuk mempercepat pembekuan darah, juga kurangnya peralatan
yang tersedia dalam rangjka operasi. Terdakwa dr. Susman Iskandar dituduh
telah melakukan kelalaian dan kecerobohan memberikan obat-obatan atau
membius terhadap seorang anak yang bernama Erni Handayani pasien dari dr.
Aninda Safrildalam rangka operasi amndel. Dari pemeriksaan perkara di
pengadilan, maka hakim memberikan putusan membebaskan terdakwa dari
segala tuduhan dengan mendasarkan pertimbangan putusnya pada kesimpulan
yang diberikan oleh MKEK. Menurut MKEK terdakwa tidak melakukan kesalahan
atau kelalaian dalam melakukan tindakan medik, karena kematian pasien adalah
peristiwa yang disebut sebagai vago vagal reflex yang tidak dapat diramalkan

1
sebelumnya, dan dalam kasus ini Intensive Care Unit (ICU) Fakultas Kedokteran
UI/RSCM ternyata juga tidak mengatasi.

II.PUTUSAN NOMOR REG : 6000/Pid/1983


Putusan Mahkamh Agung yang mebebaskan dr. Setianingrum binti Siswoko , yang
diputus terbukti bersalah oleh pengadilan Negeri Pati dan dikuatkan oleh pengadilan
Tinggi Semarang.

Posisi Kasus

Dr.Setianigrum binti Siswoko didakwa melanggar Pasal 359 KUHP,


karena kealpaannya atau kurang hati-hati pada waktu mekim banding ngobati
pasien bernam Rusmini. Pasien telah diberikan suntikan sebanyak tiga kali
berturut turut, yaitu pertama suntikan bernama streptomicin 1 gr, disuntikan
melalui anggota badan bagian pantat sebelah kiri, kemudian setelah keaadan
pasien kelihatan tanda muntah selanjutnya diberikan suntikan yang kedua kali
berupa cortison 2 cc, ketiga kalinya setelah itu diberikan kopi sudah dalam
keadaan kritis , dan yang terkhir diberikan suntikan delladryl 0,5 cc pada paha
bagian kiri. Akibat suntikan yang berturut-turut, dan karena tidak tahan terhadap
suntikan tersebut, setelah diangkut ke Rumah Sakit Umum Pati, pasien
meninggal dunia.

Atas dakwaan tersebut, jaksa penuntut umum menuntut 1 tahun hukuman


penjara. Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Pati menyatakan terdakwa bersalah
serta menghukum terdakwa tiga bulan penjara dengan masa percobaab 10
bulan.

Pemeriksaan tingkat banding , majelis hakim banding menguatkan


putusan Pengadilan Negeri Pati. Tetapi pada tingkat kasasi majelis hakim kasasi
memberikan putusan bebas terhadap terdakwa, dengan pertimbangan bahwa
semua saksi ahli yang terdiri dari kalangan dokter menyatakan bahwa terdakwa
terdakwa telah melakukan upaya pengobatan dan penyelamatan terhadap

2
pasien sesuai dengan standar profesi. Dengan demikian , salah satu unsur
kealpaan yang dikehendaki oleh Pasal 359 KUHP tidak terbukti.

Peradilan Perdata

1.PUTUSAN NOMER 325/Pdt.G/1996/PN.Jkt.Pst


Putusan mengenai gugatan yang diajukan Marliana Tanadi terhadap dr. H.
Kartadinata, Fks, Cicd, ahli orthopedi, Direksi Rumah sakit Husada , dan Ikatan
Dokter Indonesia.

Posisi Kasus

Tulang lengan kiri penggugat patah dan dioperasi di Rumah Sakit Husada
oleh dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd. Setelah penggugat pulang ke rumah, lengan
yang dioperasi membengkak. Penggugat akhirnya kembali ke rumah sakit untuk
bertemu dengan dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd. Setelah diperiksa, dokter
memerintahkan untuk mengoperasi kembali karena ‘pelat’ yang digunakan untuk
menyambung lengan tulang kiri terlepas, sehingga penggugat kembali dioperasi.
Setelah operasi selesai dilakukan pemeriksaan foto rontgen, dan dokter
menunjukan hasil foto tersebut sambil menjelaskan bahwa operasi perbaikannya
sudah berjalan dengan baik. Tetapi setelah dioperasi yang kedua lengan kiri
penggugat terasa sakit luar biasa,membengkak,dan mengeluarkan darah. Maka
penggugat menghubungin dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd. Setelah melihat tangan
kiri penggugat , dokter menyarankan agar lengan kiri di gips saja, tetapi
penggugat menolak karena menurut pengguat dengan di gips rasa sakitnya tidak
berarti akan hilang. Akhirnya penggugat memutuskan untuk berkonsultasi dan
berobat kepada dokter lain, untuk itu penggugat minta izizn keluar dari rumah
sakit. Lalu penggugat datang ke rumah sakit Saint Carolus untuk berobat
kepada Prof. dr. Soelarto Reksoprodjo dokter spesialis bedah orthopedi, yang
akhirnya menyarankan untuk dioperasi kembali di Rumah Sakit Setia Mitra.
Setelah dioperasi yang ketiga, tergugat terkejut ketika diberitahu bahwa dilengan
kirinya ada patahan mata bor berdiameter 3mm dan panjangnya 3cm. Padahal
menurut penggugat hal tersebut telah diketahui oleh dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd
melalui foto rontgen tetapi tidak dijelaskan kepada penggugat maupun

3
keluarganya. Penggugat menganggapnya bahwa tertinggalnya patahan mata bor
di lengan kirinya akibat dari kelalaian dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd.

Isi putusan hakim adalah menolak gugatan penggugat Majelis Hakim


dakam putusannya mendasarkan pada rekomendasi majelis kode etik
Kedokteran Indonesia (MKEK) yang menyatakan bahwa dr. H. Kartadinata, Fks,
Cicd tidak melanggar etik dan prosedur tindakan medik, sedangkan patahan bor
yang tertinggal dapat dibenarkan.

II.PUTUSAN NOMER 57?Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst


Putusan mengenai gugatan Yang Joon terhadap direksi Rumah Sakit Pondok Indah
dan dr. Harry Purwanto, Sp.A.

Posisi Kasus

Penggugat membawa anak laki-lakinya yang berumur 1 tahun, Yang Won


Ha, berobat ke Rumah Sakit Pondok nindah dan ditangani oleh dr. Harry
Purwanto. Menurut dokter, paien mengalami diare dan dehidrasi, sehingga perlu
dirawat di Rumah Sakit Pondak Indah.

Menurut Catatan medik, ketika dibawa ke Rumah Sakit , suhu badannya


37⁰C dan tidak dalam keadan kritis. Setelah pasien menjalani rawat inap, pukul

III.PUTUSAN NOMER 165/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Sel


Putusan mengenai gugatan R. Soebandung, terhadap para tergugat :
 dr. T.D. Roestam, Sp.THT
 dr. Sukirman Soekin, Sp.THT
 dr. Bambang Sukmadi, Sp.THT
 dr. Jubelhki Sirait
 Rumah Sakit Pusat Pertamina

13.15 WIB suhu badan pasien mnaik menjadi 39⁰C. Kenaikan suhu badan
tersebut sudah diperkirakan oleh dokter, sehingga perawat diberikan intruksi
apabila suhu badan pasien meningkat di atas 39⁰C perawat harus memberikan
suntikan iv, Novalgin 0,5 cc, Ceftum 5 mg dan Stesolid rectal 5 mg dengan
catatan kalau perlu. Namun, intruksi tersebut diberikan per-telepon . pada suhu

4
bandan pasien 39,2⁰C, perawat memberikan suntikan -suntikan sesuai perintah
dokter. Tetapi setelah itu pasien mengalami keadaan kritis, dan baru diketahui
oleh perawat 3,5 jam setelah pemberian sunt8ikan. Dalam keaadan pasien sesak
nafas dan kritis, perawat telah melaporkan kondisi pasien kepada dokter
sekaligus meminta petunjuk. Dokter akhirnya memerintahkan agar pasien
dimasukan kle ruang ICU melalui telepon. Selama di ruang ICU tidak ada dokter
anak, sehingga pasien akhirnya meninggal dunia pukul 20.50 WIB. Oleh karena
it7u penggugat mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi
terhadap transaksi terapeutik, yaitu tidak memenuhi standar profesi dokter dan
standar perawatan Rumah Sakit yang mengakibatkan meninggalnya pasien.
Setelah dilakukan serangkaian pemerikasaan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, para pihak akhirnya sepakat mengakhiri sengketa mereka dengan jalan
damai dan membuat perjanjian perdamaian.

Posisi Kasus

Anak dari penggugat dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina yang


ditangani oleh para tergugat, karena terdapat massa/tumor, kemudian dilakukan
biopsi dengan menggunakan endoskopi. Setelah dibiopsi, pasien mengalami
pembengkakan di langit-langit dan pendengarannyaberkurang, mata kanan
menonjol keluar dan buta akhirnya pasien tidak sadarkan diri.

Pihak penggugat meminta untuk dilakukan operasi terhadap pasien,


tetapi dokter melakukan kemoterapi dan radioterapi. Pihak penggugat
mendatangi dr. Bambang Sukmadi, Sp.THT untuk menanyakan kemungkinan
dilakukan tindakan operasi terhadap massa, tetapi dijawab oleh dokter tersebut
dengan “Apa saya harus potong kepalannya, buang-buang tenaga dan waktu,
percuma saja.”

Pihak penggugat meminta hasil scanning dan hasil-hasil pemeriksaan


yang lain serta terapi yang dilakukan (rekam medik),tetapi tidak di izinkan juga.
Keluarga pasien meminta dilakukan tindakan pertolongan, tetapi dijawab dengan
kata-kata yang menyinggung perasaan, sampai akhirnya pasien meninggal.

5
Pengugat mendalilkan bahwa para tergugat telzh melakukan perbuatan
melawan hukum, karena :

1. Melakukan radioterapi dan kemoterapi padahal pihak pasien


menghendaki operasi.
2. Mengeluarjkan kata-katq yang menyinggung perasaan penggugat
3. Menolak memberikan tentang hasil-hasil dan tentang terapi yang
dilakukan.
4. Tidak memberikan pertolongan secara maksimal terhadap pasien dengan
megeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan.
5. Rumah sakit pusat pertamina sebagai turut tergugat, karena tempat di
mnana para dokter bekerja dan penyedia fasilitas pemeriksaan dan
perawatan pasien.

Seperti kasus kedua, setelah dilakukan rangkaian pemeriksaan terhadap


para pihak di pengadilan, para pihak sepakat untuk melakukan upaya
damai.

IV.PUTUSAN NOMER /Pdt.G/2001/PN.Jkt.Sel


Putusan mengenai gugatan Sri Ruwiyanti terhadap dr. Gwendy Aroko, Sp.Bp.

Posisi Kasus

Sri Ruwiyanti mempunyai keloid berukuran 1x1 cm di lengan kiri sebelah


atas dan 1x5 cm di lengan kiri sebelah bawah karena bekas luka bakar. Ia
datang ke RSCM di poliklinik bedah plastik dengan maksud untuk menghilangkan
keloid tersebut, dan ditangani oleh dr. Gwendy Aniko, Sp.Bp. dokter tersebut
menawarkan untuk operasi di kliniknya , dan disetujui oleh penggugat.

Setelah operasi penggugat disuruh pulang, pada waktu itu penggugat


masih dalam keadaan tidak sadar. Tergugat memberikan antibiotik dan
menyarankan untuk meletakkan posisi lengan sejajar dingan kepala.

Satu hari setelah operasi dilakukan, tangan penggugat terasa nyeri,


kesemutan, merah, bengkak,dan panas, serta timbul gelembung-gelembung

6
berisi air di daerah pergelangan tangan ke bawah. Penggugat menelpon dokter
untuk menanyakan kondisi lengan nya dan menanyakan apa yang harus
dilakukan terhadap lengan tersebut. Dokter menyarankan untuk melonggarkan
perbannya. Setelah perban dilonggarkan keaadan lengan tetatap masih
bernanah . akhirnya penggugat datang ke RSCM untuk menanyakan kondisinya
pada dokter tetapi penggugat tifdak mendapatkan penjelasan yang lengkap dari
dokter. Bahkan orang tua penggugat diminta agar penggugat di rawat Rumah
Sakit, tetapi menurut pengguat tidak perlu.

Kondisi lengan semakin parah, tetapi setelah ditanyakan lagi ke dokter


diminta bersabar saja, karena penyembuhannya memang lama.

Karena kondisi lengan makin parah, maka dilakukan operasi kembali


untuk memperbaiki keadaan tersebut. Tetapi kondisi lengan penggugat telah
berubah menjadi rusak dan tidak berfungsi setelah dilakukan beberapa kali
operasi oleh tergugat. Begitu pula keadaan di paha dan perut penggugat tempat
diambilnya kulit untuk dicangkokkan pada lika bekas operasi keloid.

Dalam gugatanya kuasa hukum penggugat mendalikan bahwa tergugat


telah melakukan malpraktek medik (perbuatan melanggar hukum) yang
menyababkan kerugian berupa cacat permanen pada penggugat.

Majelis Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan


penggugat karena:

1. Pengguagat tidak berkuasa.


2. Pengadilan tidak berwenang secara relatif mengadili perkara aquo.

Putusan di atas didasarkan atas bukti berupa surat perjanjian yang berisi
pilihan hukum bila terjadi sengketa, yaitu melalui kepaniteraan Perdata
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sedangkan Kuasa Hukum penggugat
melakukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

7
Kasus Yang Diselesaikan Atau Selesai Secara
Nonlitigasi

Posisi Kasus

Ibu A (34 tahun) datang ke rumah sikt dengan keluhan sakit perut dua
hari. Diagnosis kehamilan di luar kandungan dan dilakukan operasi. Tiga hari
pascaoperasi Ibu A bicara pelo dan delapan hari pascaoperasi menjadi lumpuh.
Audit medic dilakukan dan diberikan penjelasan kepada keluarga. Dua bulan
pascakerugian yang dialami oleh Ibu A, anak Ibu A melalui pengacara
mengajukan gugatan ke pengadilan dengan total tuntutan Rp.150 miliar. Satu
bulan kemudian perkara gugur. Empat bulan dirawat di rumah sakit, ibu A sudah
di izinkan pulang. Suami Ibu A melalui pengacara melakukan somasi sebanyak
tiga kali kepada rumah sakit. Rumah sakit Mengundang suami Ibu A unuk
konsultasi sebanya tiga kali. Undangan tidak diindahkan. Rumah Sakit
mengundang kepala desa untuk membantu menyelesaikan masalah. Tiga bulan
kemudian suami ibu A bersedia menbawa pulang Ibu A dengan menandatangani
berita acara serah terima pasienyang diberikan Rumah Sakit. Kompensasi yang
diberikan Rumah Sakit : pembebasan biaya selama pembiayan sembilan bulan
dan dipersilahkan fisioterapi tanpan batas waktu dan tanpa biaya. Setelah ibu A
pulahng , tidak sekalipun datang kontrol ke rumah sakit. Satu tahun setelah
pulang, Ibu A meninggal dunia.

Kasus ibu A adalah kasus terumit yang dialami sebuah Rumah Sakit.
Proses penyelesainnya memakan waktu yang cukup panjang. Menurut penulis,
Hal ini disebabkan karena kerugian yang dialami oleh pasien berupa kecacatan.
Dengan kecacatan yang dialami berdampak pada ketidakpastian. Apakah
kecacatan ini akan segera pulih? Kapan? Berapa lama? Berapa lama perlu
dirawat? Bagaimana dengan biaya biaya yang dibutuhkan?dan lain-lain
pertanyaan yang sulit dijawab dan menunjukan adanya ketidakpastian.

8
Dua bulan setelah kerugian yang dialami oleh pasien, anak ibu A
mengajukan gugatan melalui pengacara ke Pengadilan Negeri. Gugatan ini
sebenarnya bukanlah keinginan murni dari keluarga ibu A, tetapi muncul setelah
dipertemukan oleh teman keluarga dengan sebuah LSM Hukum dan di iming-
imingi akan mendapat ganti rugi sebesar (Rp. 150 miliar). Gugatan yang
didaftarkan di Pengadilan Negeri ditujukan kepada Menkes, Kepala
Pemerintahan Daerah Kabupaten, Kepala RS, Dinkes, Komite Medik RS. Atas
gugatan ini, pihak RS melakukan koordinasi dengan pemerintah Daerah sebagai
pemilik rumah sakit untuk menghadapi gugatan. Satu bulan setelah gugatan
didaftarkan, anak Ibu A menarik kembali kuasa yang diberikan kepada kuasa
hukum, dengan alasan ketidakmampuan membayar biaya – biaya yang timbul
akibat pemberian kuasa tersebut dan ingin menyelesaikan sendiri masalah yang
dihadapi dengan pihak rumah sakit.

Menurut penulis, keinginan keluarga Ibu A menggugat bukanlah murni


untuk mencari keadilan tetapi lebih didominasi masalah ekonomi. Hal ini dapat
dipahami karena keluarga Ibu A bukanlah keluarga yang mampu secara ekonomi
bahkan cendderung dikatakan miskin. Mereka tidak mempunyai tempat tinggal
tetap (kamar kontrakan). Pekerjaan Ibu A sebagai penjual nasi goreng di pinggir
jalan dan pekerjaan Suami Ibu A adalah penjual lontong sayur di pinggir jalan,
sementara anak – anak belum ada yang berkerja. Niat untuk menyelesaikan
sengketa melalui jalur litigasi ternyata juga harus diimbangi dengan persiapan
biaya yang tidak sedikit dan ini yang menjadi kendala bagi keluarga Ibu A.

Empat Bulan setelah Ibu A dirawat di rumah sakit, pihak rumah sakit
mengizinkan Ibu A pulang walaupun kecacatan masih dialami berupa bicara pelo
dan lumpuh. Alasan diizinkannya Ibu A boleh meninggalkan rumah sakit adalah
tidak ada lagi terapi khsusus yang bisa dilakukan selain fisioterapi, dan ini bisa
dilakukan dengan rawat jalan. Atas anjuran pemulangan Ibu A, keluarga tidak
bisa menerima dan suami Ibu A melalui kuasa hukum yang lain melakukan
somasi ke pihak rumah sakit. Berdasarkan pengalaman sebelumnya ketika pihak
keluarga Ibu A menarik kembali kuasa hukum yang telah diberikan untuk
memperkarakan ke Pengadilan, maka pihak rumah sakit tidak mau menanggapi
somasi melalui pengacara tersebut tetapi mengundang langsung pihak keluarga
untuk melakukan konsultasi. Undangn terhadap pihak keluarga tidak ditanggapi,

9
tetapi disis lain somasi yang dilakukan oleh kuasa hukum juga tidak ada
kelanjutannya.

Menurut penulis, terjadilah kebuntuan penyelesaian. Pihak keluarga tidak


mau membawa pulang Ibu A dalam keadaan masih cacat dn mengaggap bahwa
pihak rumah sakit lah yang memnyebabkan kerugian pada ibu A, sementara
mencari penyelesaiian melalui jalur litigasi ataupun somasi melalui pengacara,
keluarga mempunyai kendala dana. Sedangkan di pihak dokter dan rumah Sakit
menyatakan berdasarkan audit medik yang dilakukan oleh komite medik bahwa
segala biaya pelayanan medik yang dilakukan terhadap Ibu A telah sesuai
standar profesi dan standar operasional prosedur dan saat itu tidak ada terapi
khusus yang dapat diberikan sehingga pasien boleh pulang. Kebuntuan inilah
yang membuat proses penyelesain menjadi rumit dan panjang.

Kebuntuan ini membuat pihak Rumah sakit berinisiatif untuk mengundang


kepala desa tempat Ibu A tinggal. Tujuannya untuk berdiskusi dengan pihak
Rumah Sakit mengenai permasalahan yang sedang dihadapi dan meminta
bantuan kepala desa dan alim ulama setempat untuk melakukan pen-dekatan
kepada keluarga Ibu A agar dapat membawa pulang Ibu A dari Rumah Sakit.
Tiga bulan sosialisasi (istilah yang dipakai dalam pihak Rumah sakit), pihak
keluarga akhirnya bersedia membawa pulang Ibu A dengan menandatangani
surat serah terima pasien yang disodorkan Rumah Sakit. Dari sosialisasi yang
dilakukan oleh kepala desa dan alim ulama dapat diketahui apa yang
menyebabkan keengganan keluarga untuk mebawa ibu A pulang. Hal ini
disebabkan kebingungan keluarga tentang gimana mengurus Ibu A yang masih
dalam keadan cacat, atau dirawat dimana karena keluarga Ibu A tidak punya
rumah dan bagaimana dengan biaya-biaya yang dibutuhkan. Alternatif
Penyelesaian Sengketa memungkinkan untuk mengetahui apa sebenarnya yang
menjadi latar belakang sebuah posisi atau tuntutan, yang dalam kasus Ibu A
adalah keengganan keluarga pasien untuk membawa pulang Ibu A.

Menurut penulis,Rumah Sakit dan dokter sebagai pelaku pelayanan


medik dan keluarga Ibu A sebagai pengguna sebagai pelayanan medik tidak
berada dalam posisi seimbang atau setara bahkan dapat dikatakan dominasi
pelaku pelayanan mediklha yang tampak. Dalam hal audit medik, posisi keluaga
pasien hanyalah pasif menerima dan hasil audit medik merupakan kebenaran.

10
Dalam posisi tawar menawar, keluarga pasien dalam posisi lemah karena tidak
punya keberanian langsung dengan Rumah sakit, sementara kuasa yang
diberikan ke pengacara untuk melakukan somasi tidak dilanjutkan karena
ketidaan dana membayar pengacara.

Menganalisis proses penyelesaian sengketa medik Ibu A dan mengacu


pada kaidah-kaidah negosiasi atau mediasi sulit menentukan apakah bentuk
penyelesaian sengketa yang dilakukan. Dalam tuntutan, bila melalui tuntutan ke
pengadilan, maka tuntutannya jelas dengan ganti rugi de ngan nominal yang
jelas. Tetapi setelah pencabutan tuntutan ke pengadilan, keluarga pasien hanya
bersikap enggan menerima Ibu A dipulangkan walau[un Rumah Sakit
menyatakan bahwa Ibu A sudah boleh rawat jalan. Alasan di balik keengganan
itu baru dapat diketahui setelah dilakukan sosialisasi oleh kepala desa dan alim
ulama.

Apabila proses ini disebut sebagai proses negoisasi, maka sebenarnya


tidak pernah ada negoisasi yang dilakukan, keluarga pasien berada di posisi
lemah, tidak pernah berhadapan langsung dengan pihak Rumah sakit untuk
menyatakan langsung tuntutan atau keinginannya. Bahkan sampai pada
akhirnya keluarga psiaen hanya menandatangani surat serah terima pasien yang
disodorkan pihak Rumah Sakit. Kalaupun kepala Desa dan Alim Ulama disebut
sebagai negosiator dari pihak Rumah sakit, maka posisi mereka Pun dominan
terhadap keluarga pasien dalam kapasitas mereka sebagai tokoh masyarakat
yang dituakan dan dihormati.

Apabila proses ini disebut sebagai proses mediasi, maka sebenarnya


tidak ada juga mediasi yang dilakukan. Kepala desa dan alim ulama yang diminta
oleh pihak Rumah sakit untuk melakukan sosialisasi merupan keinginan Rumah
sakit tanpa menanyakan kepada pihak keluarga, apakah ini juga menjadi
keinginan keluarga. Tidak prnah dilakukan pertemuan antara pihak rumah sakit
dengan keluarga dengan pihak ketiga, dalam hal ini kepala desa dan alim ulama
sebagai mediator bila proses ini disebut mediasi.

Penulis lebih cenderung mengatakan bila bahwa penyelesaian sengketa


medik ibu A dengan Rumah Sakit diselesaikan secara kekeluargaan sesuai
budaya yang masih berlaku di indonesia, ketika masih ada jabatan –jabatan

11
tertentu dan orang-orang tertentu yang dihormati dan dituakan untuk didengar
arahannya. Rumah sakit memintan bantuan kepala desa dan alim ulama
berdasarkan alasan kapasitas yang dimiliki oleh kepala desa dan alim ulama
sebagai orang yang dituakan dan dihormati dalam lingkungan masyarakat
tempat keluarga ibu A tinggal.

Kompensasi yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit kepada keluarga Ibu
A adalah pembebasan semua biaya perawatan selama di rumah sakit dan
mempersilahkan Ibu A untuk fisioterapi di Rumah Sakit tanpa pembatasan
jangka waktu dan tidak dipungut biaya. Sayang sekali, pihak keluarga tidak
menggunakan kesempatan ini. Ibu A tidak pernah datang fisioterapi. Ibu A hanya
di rawat seasdanya dirumah. Setahun kemudian Ibu A meninggal dunia.

Bagi pihak Rumah Sakit, sengketa medik ini dianggap selesai dengan
ditandatanganinya berita acara serah terima pasien dan belum tentu dianggap
selesai oleh pihak keluarga pasien. Menurut penulis, seharusnya penyelesaiaan
sengketa medis ini dituangkan dengan kesepakatan dalam kesepakatan
perdamaian antara kedua belah pihak yang mempunyai kontribusi sama yang
menentukan apa saja yang disepakati, dan bukan berita acara serah terima
pasien yang dibuat secara sepihak oleh Rumah sakit. Dengan tidak adanya
kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak, tidak tertutup kasus ini
dapat dibuka lagi dikemudian hari.

Posisi Kasus

Anak B (8tahun) masuk Rumah Sakit dengan rencana dilakukan operasi


amandel. Satu hari pasca operasi anak di izinkan pulang. Sebelum pulang, anak
disuntik obat calnex untuk pemberian ke-4. Anak B tiba-tiba menjerit, badan biru,
kesadaran menurun. Esoknya anak B meninggal dunia. Audit medik dilakukan
dan keluarga diberi penjelasan. Keluarga menyatakan kemarahan dan
menyatakan tidak akan membawa kasus ini kejalur hukum tetapi meminta
kejujuran dan pertanggung jawaban rumah Sakit, tindakan moril apa yang akan
dilakukan rumah sakit. Kompensasi yang dilakukan Rumah Sakit adalah

12
pembebasan semua biaya perawatan, pemberian uang duka, dan pendampingan
oleh warois selam tahlilan.

Kasus Anak B tidak serumit kasus Ibu A. Menurut penulis, hal ini
dikarenakan kerugian yang dialami pasien adalah kematian. Walaupun kematian
adalah sesuatu yang tidak diharapkan dan menyakitkan, tetapi kematian adalah
sesuatu yang pasti. Tiga hari setelah kematian anak B , rumah sakit melakukan
pertemuan dengan keluarga. Pada pertemuan ini, rumah sakit menjelaskan
kronologis masalah berdasarkan audit medis yang telah dilakukan. Pihak
keluarga sulit menerima penjelasan dan mengungkapkan kemarahan mereka.
Hal ini dapat dipahami, karena keluarga pasien dengan keawaman dan
kesenjangan pengetahuan yang cukup jauh, sulit memahami tehnik medis yang
disampaikan pihak Rumah sakit. Bagi keluarga pasien, anak B dalam keadan
sehat pada saat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan, tetapi
pulang menjadi mayat bukan hal mudah untuk diterima akal sehat. Dalam
pertemuan tersebut, keluarga anak B dengan jelas mengungkapkan bahwa
mereka tidak akan membawa masalah ini ke jalur litigasi, tetapi mempertanyakan
tindakan moril apa yang akan dilakukan Rumah sakit atas kejadian ini dan
meminta kejujuran dan pertanggung jawaban Rumah Sakit. Atas tuntutan ini
maka pihak Rumah sakit membebaskan biaya perawatan. Rumah sakit juga
mengutus seorang warois( perawat rohani islam), yang juga dari berasal dari
suku yang sama dengan orang tua Anak B, untuk ikut dalam tahlilan keluarga
selama kurang lebih dua minggu dan selama itu juga memberi pendampingan
secara rohani. Selain itu, rumah sakit juga memberikan uang duka sebagai tanda
empati, dan tidak ada lagi kelanjutan atas sengketa ini.

Menurut penulis, posisi keluarga pasien sebagai npengguna pelayanan


medik dengan rumah sakit dan dokter sebagai pelaku pelayanan medik cukup
seimbang. Dalam hal audit medik memang tidak dapat dipungkiri adanya
dominasi rumah sakit ketika hasil audit medik merupakan suatu kebenaran yang
harus diterima oleh keluarga pasien.. dalam hal pilihan penyelesaian yang akan
diambil oleh pihak keluarga dan tuntutan, keluarga anak B berani dan tegas
mengungkapkannya, sehingga dengan mudah pihak rumah sakit dan dokter
dapoat mengambil sikap.

13
Menurut penulis, dapat dikatakan bentuk sengketa ini adalah negoisasi,
walaupun dalam bentuk sederhana. Hal ini disebabkan para pihak saling bertemu
langsung, pihak keluaga anak B dengan jelas menyatakan tuntutannya.
Walaupun tidak dilakukan dialog atau tawar menawar atas tuntutan yang
diajukan, tetapi pihak rumah sakit merespons tuntutan yang disampaikan.

Pada dasarnya minimal ada lima kendala utama yang sering dialami oleh
negosiator, yakni reaksi, emosi, ketidakpuasan dan kekuatan. Bila diaplikasikan
dalam kasus Anak B, ,maka pihak keluarga anak B dengan jelas memperlihatkan
reaksi, emosi, posisi,dan ketidakpuasan mereka, sementara pihak Rumah sakit
memperhatikan reaksi, emosi, posisi, dan ketidakpuasan itu dan tidak membalas
dengan reaksi atau emosi negatif. Pihak rumah sakit justru memenuhi tuntutan
keluarga Anak B dengan memberikan kompensasi berupa pembebasan biaya
perawatan dan pemberian uang duka. Disamping itu, juga memberikan
pendampingan secara spiritual oleh warois selam tahlilan. Penyelesaian
sengketa dianggap selesai oleh pihak Rumah Sakitkarena tidak ada lagi
kelanjutan dari sengketa ini.

Menurut penulis, tanpa danya kesepakatan perdamaian anatara para


pihak, maka tidak tertutup kemungkinan sengketa ini bisa saja dibuka kembali
dikemudian hari.

Posisi Kasus

Anak C (10 tahun) datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut
kanan bawah selama satu minggu, muntah-muntah,dan panas tiga hari.
Diagnosis dokter usus buntu,dilakukan operasi. Satu hari pasca operasi keadan
anak memburuk, dan akhirnya meninggal. Audit medik dilakukan dan diberikan
penjelasan pada keluarga pasien. Lewat media massa keluarga menyatakan
kekecewaannya karena tidak dibebaskan dari biaya perawatan dan tidak
diberikan uang duka. Awalnya ada niat membawa kasus lewat jalur hukum, tetapi
setelah konsultasi dengan aparat kepolisian dengan segala konsekuensi yang
akan timbul, keluarga mengurungkan ini.

14
Pada kasus anak C, polemik hanya terjadi di media massa. Keberatan
keluarga Anak C atas kerugian yang dialami anak C dan tuntutannya tidak
disampaikan langsung kepada rumah sakit, tetapi disampaikan melalui media
massa. Keluarga Anak C berharap pihak rumah sakit bertanggung jawab dan
memberikan empati berupa uang duka. Namun, sayangnya hal ini hanya
disampaikan melalui media massa. Di pihak lain, Rumah sakit sudah
mempersiapkan diri bila ada tuntutan dari keluarga pasien. Ada keinginanan dari
keluarga Anak C untuk melanjutkan sengketa ini melalui jalur litigasi, tetapi
setelah berkonsultasi dengan pihak kepolisian dan mempertimbangkan
konsekuensi yang akan dialami, keluarga mengurungkan niat tersebut. Bagi
pihak rumah sakit, sengketa ini dianggap selesai karena tidak ada lagi
kelanjutannya.

Menurut penulis, tampak sikap kehati-hatian rumah sakit dan dokter


menanggapi kasus yang ada, dan seharusnya hal ini dilakukan. Rumah sakit dan
dokter seharusnya pasif dan tidak bereaksi berlebihan apabila polemik hanya
terjadi di media massa. Di sisi lain, keluarga Anak C seharusnya berani
mengungkapkan tuntutan mereka secara langsung kepada Rumah sakit dan
dokter.

Para pihak tidak mempersoalkan hasil audit medik

1. Para pihak mempunyai niat yang konsisten untuk menyelesaikan


sengketa medik secara nonlitigasi
2. Para pihak mempunyai posisi yang setara dalam bernegosiasi
3. Apabila para pihak menggunakan pihak ketiga untuk mediator, mka
haruslah kesepakatan bersama
4. Penyelesaian sengketa medik harus dituangkan dalam kesepakatan
perdamaian dan para pihak mempunyai kontribusi yang sama
5. Untuk menghindari dibukanya kasus di kemudian hari, maka sebaiknya
penyelesaian sengketa medik dilakukan oleh mediator bersetifikat dan
dimintakan akta perdamaian ke pengadilan, seperti yang diatur dalam
Perma Nomor 1 Tahun 2008.

15

Anda mungkin juga menyukai