Peradilan Pidana
I.PUTUSAN NOMOR VII/S/Pid/1980/V/PN.Jak.Sel
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap dr. Anida Safrii dan dr. Yusman
Iskandar.
Posisi Kasus
Terdakwa dr. Anida Safril ahli THT telah dituduh melanggar Pasal 359
KUHP jo KUHP. Yaitu karena kurang hati-hati ataupun karena kecerobohannya
dalam melakukan operasi amandel terhadap seorang anak yang bernama Erni
Handayani, sehingga anak tersebut meninggal dunia karena pendarahan. Dalam
melakukan operasi amndel dr. Aninda Safril dibantu oleh dr. Susman Iskandar
selaku dokter bius atau anestesi. Operasi dilakukan di tempat praktek tertuduh
yang izin prakteknya telah berakhir pada bulan Juli 1975.
1
sebelumnya, dan dalam kasus ini Intensive Care Unit (ICU) Fakultas Kedokteran
UI/RSCM ternyata juga tidak mengatasi.
Posisi Kasus
2
pasien sesuai dengan standar profesi. Dengan demikian , salah satu unsur
kealpaan yang dikehendaki oleh Pasal 359 KUHP tidak terbukti.
Peradilan Perdata
Posisi Kasus
Tulang lengan kiri penggugat patah dan dioperasi di Rumah Sakit Husada
oleh dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd. Setelah penggugat pulang ke rumah, lengan
yang dioperasi membengkak. Penggugat akhirnya kembali ke rumah sakit untuk
bertemu dengan dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd. Setelah diperiksa, dokter
memerintahkan untuk mengoperasi kembali karena ‘pelat’ yang digunakan untuk
menyambung lengan tulang kiri terlepas, sehingga penggugat kembali dioperasi.
Setelah operasi selesai dilakukan pemeriksaan foto rontgen, dan dokter
menunjukan hasil foto tersebut sambil menjelaskan bahwa operasi perbaikannya
sudah berjalan dengan baik. Tetapi setelah dioperasi yang kedua lengan kiri
penggugat terasa sakit luar biasa,membengkak,dan mengeluarkan darah. Maka
penggugat menghubungin dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd. Setelah melihat tangan
kiri penggugat , dokter menyarankan agar lengan kiri di gips saja, tetapi
penggugat menolak karena menurut pengguat dengan di gips rasa sakitnya tidak
berarti akan hilang. Akhirnya penggugat memutuskan untuk berkonsultasi dan
berobat kepada dokter lain, untuk itu penggugat minta izizn keluar dari rumah
sakit. Lalu penggugat datang ke rumah sakit Saint Carolus untuk berobat
kepada Prof. dr. Soelarto Reksoprodjo dokter spesialis bedah orthopedi, yang
akhirnya menyarankan untuk dioperasi kembali di Rumah Sakit Setia Mitra.
Setelah dioperasi yang ketiga, tergugat terkejut ketika diberitahu bahwa dilengan
kirinya ada patahan mata bor berdiameter 3mm dan panjangnya 3cm. Padahal
menurut penggugat hal tersebut telah diketahui oleh dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd
melalui foto rontgen tetapi tidak dijelaskan kepada penggugat maupun
3
keluarganya. Penggugat menganggapnya bahwa tertinggalnya patahan mata bor
di lengan kirinya akibat dari kelalaian dr. H. Kartadinata, Fks, Cicd.
Posisi Kasus
13.15 WIB suhu badan pasien mnaik menjadi 39⁰C. Kenaikan suhu badan
tersebut sudah diperkirakan oleh dokter, sehingga perawat diberikan intruksi
apabila suhu badan pasien meningkat di atas 39⁰C perawat harus memberikan
suntikan iv, Novalgin 0,5 cc, Ceftum 5 mg dan Stesolid rectal 5 mg dengan
catatan kalau perlu. Namun, intruksi tersebut diberikan per-telepon . pada suhu
4
bandan pasien 39,2⁰C, perawat memberikan suntikan -suntikan sesuai perintah
dokter. Tetapi setelah itu pasien mengalami keadaan kritis, dan baru diketahui
oleh perawat 3,5 jam setelah pemberian sunt8ikan. Dalam keaadan pasien sesak
nafas dan kritis, perawat telah melaporkan kondisi pasien kepada dokter
sekaligus meminta petunjuk. Dokter akhirnya memerintahkan agar pasien
dimasukan kle ruang ICU melalui telepon. Selama di ruang ICU tidak ada dokter
anak, sehingga pasien akhirnya meninggal dunia pukul 20.50 WIB. Oleh karena
it7u penggugat mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi
terhadap transaksi terapeutik, yaitu tidak memenuhi standar profesi dokter dan
standar perawatan Rumah Sakit yang mengakibatkan meninggalnya pasien.
Setelah dilakukan serangkaian pemerikasaan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, para pihak akhirnya sepakat mengakhiri sengketa mereka dengan jalan
damai dan membuat perjanjian perdamaian.
Posisi Kasus
5
Pengugat mendalilkan bahwa para tergugat telzh melakukan perbuatan
melawan hukum, karena :
Posisi Kasus
6
berisi air di daerah pergelangan tangan ke bawah. Penggugat menelpon dokter
untuk menanyakan kondisi lengan nya dan menanyakan apa yang harus
dilakukan terhadap lengan tersebut. Dokter menyarankan untuk melonggarkan
perbannya. Setelah perban dilonggarkan keaadan lengan tetatap masih
bernanah . akhirnya penggugat datang ke RSCM untuk menanyakan kondisinya
pada dokter tetapi penggugat tifdak mendapatkan penjelasan yang lengkap dari
dokter. Bahkan orang tua penggugat diminta agar penggugat di rawat Rumah
Sakit, tetapi menurut pengguat tidak perlu.
Putusan di atas didasarkan atas bukti berupa surat perjanjian yang berisi
pilihan hukum bila terjadi sengketa, yaitu melalui kepaniteraan Perdata
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sedangkan Kuasa Hukum penggugat
melakukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
7
Kasus Yang Diselesaikan Atau Selesai Secara
Nonlitigasi
Posisi Kasus
Ibu A (34 tahun) datang ke rumah sikt dengan keluhan sakit perut dua
hari. Diagnosis kehamilan di luar kandungan dan dilakukan operasi. Tiga hari
pascaoperasi Ibu A bicara pelo dan delapan hari pascaoperasi menjadi lumpuh.
Audit medic dilakukan dan diberikan penjelasan kepada keluarga. Dua bulan
pascakerugian yang dialami oleh Ibu A, anak Ibu A melalui pengacara
mengajukan gugatan ke pengadilan dengan total tuntutan Rp.150 miliar. Satu
bulan kemudian perkara gugur. Empat bulan dirawat di rumah sakit, ibu A sudah
di izinkan pulang. Suami Ibu A melalui pengacara melakukan somasi sebanyak
tiga kali kepada rumah sakit. Rumah sakit Mengundang suami Ibu A unuk
konsultasi sebanya tiga kali. Undangan tidak diindahkan. Rumah Sakit
mengundang kepala desa untuk membantu menyelesaikan masalah. Tiga bulan
kemudian suami ibu A bersedia menbawa pulang Ibu A dengan menandatangani
berita acara serah terima pasienyang diberikan Rumah Sakit. Kompensasi yang
diberikan Rumah Sakit : pembebasan biaya selama pembiayan sembilan bulan
dan dipersilahkan fisioterapi tanpan batas waktu dan tanpa biaya. Setelah ibu A
pulahng , tidak sekalipun datang kontrol ke rumah sakit. Satu tahun setelah
pulang, Ibu A meninggal dunia.
Kasus ibu A adalah kasus terumit yang dialami sebuah Rumah Sakit.
Proses penyelesainnya memakan waktu yang cukup panjang. Menurut penulis,
Hal ini disebabkan karena kerugian yang dialami oleh pasien berupa kecacatan.
Dengan kecacatan yang dialami berdampak pada ketidakpastian. Apakah
kecacatan ini akan segera pulih? Kapan? Berapa lama? Berapa lama perlu
dirawat? Bagaimana dengan biaya biaya yang dibutuhkan?dan lain-lain
pertanyaan yang sulit dijawab dan menunjukan adanya ketidakpastian.
8
Dua bulan setelah kerugian yang dialami oleh pasien, anak ibu A
mengajukan gugatan melalui pengacara ke Pengadilan Negeri. Gugatan ini
sebenarnya bukanlah keinginan murni dari keluarga ibu A, tetapi muncul setelah
dipertemukan oleh teman keluarga dengan sebuah LSM Hukum dan di iming-
imingi akan mendapat ganti rugi sebesar (Rp. 150 miliar). Gugatan yang
didaftarkan di Pengadilan Negeri ditujukan kepada Menkes, Kepala
Pemerintahan Daerah Kabupaten, Kepala RS, Dinkes, Komite Medik RS. Atas
gugatan ini, pihak RS melakukan koordinasi dengan pemerintah Daerah sebagai
pemilik rumah sakit untuk menghadapi gugatan. Satu bulan setelah gugatan
didaftarkan, anak Ibu A menarik kembali kuasa yang diberikan kepada kuasa
hukum, dengan alasan ketidakmampuan membayar biaya – biaya yang timbul
akibat pemberian kuasa tersebut dan ingin menyelesaikan sendiri masalah yang
dihadapi dengan pihak rumah sakit.
Empat Bulan setelah Ibu A dirawat di rumah sakit, pihak rumah sakit
mengizinkan Ibu A pulang walaupun kecacatan masih dialami berupa bicara pelo
dan lumpuh. Alasan diizinkannya Ibu A boleh meninggalkan rumah sakit adalah
tidak ada lagi terapi khsusus yang bisa dilakukan selain fisioterapi, dan ini bisa
dilakukan dengan rawat jalan. Atas anjuran pemulangan Ibu A, keluarga tidak
bisa menerima dan suami Ibu A melalui kuasa hukum yang lain melakukan
somasi ke pihak rumah sakit. Berdasarkan pengalaman sebelumnya ketika pihak
keluarga Ibu A menarik kembali kuasa hukum yang telah diberikan untuk
memperkarakan ke Pengadilan, maka pihak rumah sakit tidak mau menanggapi
somasi melalui pengacara tersebut tetapi mengundang langsung pihak keluarga
untuk melakukan konsultasi. Undangn terhadap pihak keluarga tidak ditanggapi,
9
tetapi disis lain somasi yang dilakukan oleh kuasa hukum juga tidak ada
kelanjutannya.
10
Dalam posisi tawar menawar, keluarga pasien dalam posisi lemah karena tidak
punya keberanian langsung dengan Rumah sakit, sementara kuasa yang
diberikan ke pengacara untuk melakukan somasi tidak dilanjutkan karena
ketidaan dana membayar pengacara.
11
tertentu dan orang-orang tertentu yang dihormati dan dituakan untuk didengar
arahannya. Rumah sakit memintan bantuan kepala desa dan alim ulama
berdasarkan alasan kapasitas yang dimiliki oleh kepala desa dan alim ulama
sebagai orang yang dituakan dan dihormati dalam lingkungan masyarakat
tempat keluarga ibu A tinggal.
Kompensasi yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit kepada keluarga Ibu
A adalah pembebasan semua biaya perawatan selama di rumah sakit dan
mempersilahkan Ibu A untuk fisioterapi di Rumah Sakit tanpa pembatasan
jangka waktu dan tidak dipungut biaya. Sayang sekali, pihak keluarga tidak
menggunakan kesempatan ini. Ibu A tidak pernah datang fisioterapi. Ibu A hanya
di rawat seasdanya dirumah. Setahun kemudian Ibu A meninggal dunia.
Bagi pihak Rumah Sakit, sengketa medik ini dianggap selesai dengan
ditandatanganinya berita acara serah terima pasien dan belum tentu dianggap
selesai oleh pihak keluarga pasien. Menurut penulis, seharusnya penyelesaiaan
sengketa medis ini dituangkan dengan kesepakatan dalam kesepakatan
perdamaian antara kedua belah pihak yang mempunyai kontribusi sama yang
menentukan apa saja yang disepakati, dan bukan berita acara serah terima
pasien yang dibuat secara sepihak oleh Rumah sakit. Dengan tidak adanya
kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak, tidak tertutup kasus ini
dapat dibuka lagi dikemudian hari.
Posisi Kasus
12
pembebasan semua biaya perawatan, pemberian uang duka, dan pendampingan
oleh warois selam tahlilan.
Kasus Anak B tidak serumit kasus Ibu A. Menurut penulis, hal ini
dikarenakan kerugian yang dialami pasien adalah kematian. Walaupun kematian
adalah sesuatu yang tidak diharapkan dan menyakitkan, tetapi kematian adalah
sesuatu yang pasti. Tiga hari setelah kematian anak B , rumah sakit melakukan
pertemuan dengan keluarga. Pada pertemuan ini, rumah sakit menjelaskan
kronologis masalah berdasarkan audit medis yang telah dilakukan. Pihak
keluarga sulit menerima penjelasan dan mengungkapkan kemarahan mereka.
Hal ini dapat dipahami, karena keluarga pasien dengan keawaman dan
kesenjangan pengetahuan yang cukup jauh, sulit memahami tehnik medis yang
disampaikan pihak Rumah sakit. Bagi keluarga pasien, anak B dalam keadan
sehat pada saat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan, tetapi
pulang menjadi mayat bukan hal mudah untuk diterima akal sehat. Dalam
pertemuan tersebut, keluarga anak B dengan jelas mengungkapkan bahwa
mereka tidak akan membawa masalah ini ke jalur litigasi, tetapi mempertanyakan
tindakan moril apa yang akan dilakukan Rumah sakit atas kejadian ini dan
meminta kejujuran dan pertanggung jawaban Rumah Sakit. Atas tuntutan ini
maka pihak Rumah sakit membebaskan biaya perawatan. Rumah sakit juga
mengutus seorang warois( perawat rohani islam), yang juga dari berasal dari
suku yang sama dengan orang tua Anak B, untuk ikut dalam tahlilan keluarga
selama kurang lebih dua minggu dan selama itu juga memberi pendampingan
secara rohani. Selain itu, rumah sakit juga memberikan uang duka sebagai tanda
empati, dan tidak ada lagi kelanjutan atas sengketa ini.
13
Menurut penulis, dapat dikatakan bentuk sengketa ini adalah negoisasi,
walaupun dalam bentuk sederhana. Hal ini disebabkan para pihak saling bertemu
langsung, pihak keluaga anak B dengan jelas menyatakan tuntutannya.
Walaupun tidak dilakukan dialog atau tawar menawar atas tuntutan yang
diajukan, tetapi pihak rumah sakit merespons tuntutan yang disampaikan.
Pada dasarnya minimal ada lima kendala utama yang sering dialami oleh
negosiator, yakni reaksi, emosi, ketidakpuasan dan kekuatan. Bila diaplikasikan
dalam kasus Anak B, ,maka pihak keluarga anak B dengan jelas memperlihatkan
reaksi, emosi, posisi,dan ketidakpuasan mereka, sementara pihak Rumah sakit
memperhatikan reaksi, emosi, posisi, dan ketidakpuasan itu dan tidak membalas
dengan reaksi atau emosi negatif. Pihak rumah sakit justru memenuhi tuntutan
keluarga Anak B dengan memberikan kompensasi berupa pembebasan biaya
perawatan dan pemberian uang duka. Disamping itu, juga memberikan
pendampingan secara spiritual oleh warois selam tahlilan. Penyelesaian
sengketa dianggap selesai oleh pihak Rumah Sakitkarena tidak ada lagi
kelanjutan dari sengketa ini.
Posisi Kasus
Anak C (10 tahun) datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut
kanan bawah selama satu minggu, muntah-muntah,dan panas tiga hari.
Diagnosis dokter usus buntu,dilakukan operasi. Satu hari pasca operasi keadan
anak memburuk, dan akhirnya meninggal. Audit medik dilakukan dan diberikan
penjelasan pada keluarga pasien. Lewat media massa keluarga menyatakan
kekecewaannya karena tidak dibebaskan dari biaya perawatan dan tidak
diberikan uang duka. Awalnya ada niat membawa kasus lewat jalur hukum, tetapi
setelah konsultasi dengan aparat kepolisian dengan segala konsekuensi yang
akan timbul, keluarga mengurungkan ini.
14
Pada kasus anak C, polemik hanya terjadi di media massa. Keberatan
keluarga Anak C atas kerugian yang dialami anak C dan tuntutannya tidak
disampaikan langsung kepada rumah sakit, tetapi disampaikan melalui media
massa. Keluarga Anak C berharap pihak rumah sakit bertanggung jawab dan
memberikan empati berupa uang duka. Namun, sayangnya hal ini hanya
disampaikan melalui media massa. Di pihak lain, Rumah sakit sudah
mempersiapkan diri bila ada tuntutan dari keluarga pasien. Ada keinginanan dari
keluarga Anak C untuk melanjutkan sengketa ini melalui jalur litigasi, tetapi
setelah berkonsultasi dengan pihak kepolisian dan mempertimbangkan
konsekuensi yang akan dialami, keluarga mengurungkan niat tersebut. Bagi
pihak rumah sakit, sengketa ini dianggap selesai karena tidak ada lagi
kelanjutannya.
15