Anda di halaman 1dari 10

By Ferryal Basbeth

Tulang lengan kiri penggugat patah dan dioperasi di


RS Husada oleh Dr.H.Kartadinata Fics, Cicd. Setelah
penggugat pulang ke rumah lengan yang dioperasi
membengkak, penggugat akhirnya kembali ke
rumah sakit untuk bertemu dengan dr. Kartadinata.
Setelah diperiksa, dokter memerintahkan untuk
dioperasi kembali karena plat yang digunakan
untuk menyambung lengan tulang kiri terlepas,
sehingga penggugat dioperasi kembali. Setelah
operasi selesai dilakukan pemeriksaan rontgen, dan
dokternya menunjukkan hasil foto tersebut sambil
menjelaskan bahwa operasi perbaikannya sudah
berjalan dengan baik. Tetapi setelah operasi yang
kedua tangan kiri penggugat terasa sakit luar biasa,
membengkak dan mengeluarkan darah.

Maka penggugat menghubungi dr. Kartadinata,


setelah melihat keadaan lengan kiri penggugat,
dokter menyarankan agar lengan kirinya di gips
saja, tetapi penggugat menolak karena menurut
penggugat dengan gips rasa sakitnya tidak berarti
akan hilang. Akhirnya penggugat memutuskan
untuk berkonsultasi dan berobat kepada dokter lain,
untuk itu penggugat minta ijin keluar dari rumah
sakit. Lalu penggugat datang ke RS St Carolus
untuk berobat kepada Prof. Dr. Soelarto Reksoprojo
dokter spc bedah orthopedi, yang akhirnya
menyarankan untuk dioperasi kembali di RS Mitra
Setia. Setelah operasi yang ketiga tergugat terkejut
ketika diberitahu bagwa dilengan kirinya terdapat
patahan mata bor yang berdiameter 3 cm.

Padahal menurut penggugat hal tersebut telah


diketahui oleh dr H Kartadinata melalui foto
rontgen. Tetapi tidak dijelaskan kepada
penggugat maupun keluarganya. Penggugat
menganggap bahwa tertinggalnya patahan bor
dilengan kirinya akibat kelalaian dr. Kartadinata.
Isi putusan hakin adalah menolak gugatan
penggugat. Majelis hakim dalam putusannya
mendasarkan pada rekomendasi MKEK yang
mengatakan bahwa dr. H kartadinata tidak
melanggar etik dan prosedur tindakan medis,
sedangkan patahan bor yang tertinggal dapat
dibenarkan.

Penggugat membawa anak laki-lakinya yang berumur


1 thn yang Won Ha berobat ke RS Pondok Indah dan
ditangani dr Harry Purwanto, menurut dokter pasien
mengalami diare dan dehidrasi sehingga perlu di
rawat di RS Pondok Indah.
Menurut catatan medik, ketika dibawa ke RS, suhu
badannya 37C dan tidak dalam keadaan kritis.
Setelah pasien mengalami rawat inap, jam 13.15 WIB,
suhu badan pasien naik menjadi 39C, kenaikan suhu
badan tersebut sudah diperkorakan oleh dokter
sehingga perawat diberikan instruksi apabila suhu
badan pasien meningkat diatas 39C perawat harus
memberikan suntikan iv Novalgin 0.5 cc, Ceftum 5 mg
dan Stesolid rectal 5 mg dengan catatan kalau perlu.
Namun instruksi itu diberikan via telpon

Pada saat suhu pasien 39.2C, perawat


memberikan suntikan-suntikan sesuai dengan
perintah dokter tetapi setelah itu, pasien
mengalami keadaan kritis, dan baru diketahui
perawat 3.5 jam setelah pemberian suntikan.
Dalam keadaan pasien sesak nafas dan kritis,
perawat telah melaporkan kondisi pasien kepada
dokter sekaligus meminta petunjuk, dokter
akhirnya memerintahkan agar pasien dimasukkan
kedalam ruang ICU melalui telepon. Selama di
ruang ICU dokter tidak datang, padahal di ruang
ICU tidak ada dokter anak sehingga akhirnya
pasien meninggal dunia jam 20.50 WIB

Oleh

karena itu penggugat mendalilkan


bahwa para tergugat telah melakukan
wanprestasi terhadap transaksi terapetik
yaitu tidak memenuhi standar profesi
dokter dan standar perawatan rumah sakit
yang mengakibatkan matinya pasien.
Setelah dilakukan serangkaian
pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan para pihak akhirnya sepakat
mengakhiri sengketa antara mereka
dengan jalan damai dan membuat
perjanjian perdamaian

Anak dari para tergugat di rawat di RS Pusat


Pertamina yang ditangani oleh para tergugat,
karena terdapat masa tumor, kemudian dilakukan
biopsi dengan menggunakan endoskopi. Setelah di
biopsi, pasien mengalami pembengkakan di langitlangit dan pendengaran berkurang, mata kanan
menonjol keluar dan buta. Akhirnya pasien tidak
sadarkan diri.
Pihak penggugat meminta untuk dilakukan operasi
terhadap kemoterapi dan radioterapi. Pihak
penggugat mendatangi dr Bambang Sukmadi Sp
THT untuk menanyakan kemungkinan dilakukan
tindakkan operasi terhadap masa, dan dijawab oleh
dokter tersebut dengan Apa saya harus potong
kepalanya, buang-buang waktu dan tenaga,
percuma saja

Pihak

penggugat meminta hsil scanning


dan hasil-hasil pemeriksaan yang lain
serta terapi yang dilakukan (rekam medik)
tetapi tidak diijinkan juga. Keluarga pasien
meminta dilakukan tindakkan pertolongan
tapi dijawab dengan kata-kata yang
menyinggung perasaan, sampai akhirnya
pasien meninggal.
Penggugat mendalilkan para tergugat
telah melakukan perbuatan melawan
hukum

Melakukan radioterapi dan kemoterapi karena


pihak pasien operasi
Mengeluarkan kata-kata yang menyinggung
perasaan Penggugat
Menolak memberikan penjelasan tentang hasilhasil dan terapi yang telah dilakukan
Tidak memberikan pertolongan secara maximal
terhadap pasien dengan mengeluarkan kata-kata
yang menyinggung perasaan
Rumah sakit pertamina sebagai turut tergugat
karena tempat dimana para dokter bekerja dan
penyedia fasilitas pemeriksaan dan perawatan
pasien
Seperti kasus kedua, setelah dilakukan rangkaian
pemeriksaan terhadap para pihak dipengadilan
perdata, para pihak sepakat untuk melakukan
upaya damai

Anda mungkin juga menyukai