Langkah/tahapan Buat kesepakatan perdamaian singkat dari hasil roleplay 1. Tn. A/19 th, datang ke UGD setelah jatuh dari permainan trampoline di arena bermain dengan diantar teman- temannya. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter jaga UGD didapatkan patah tulang lengan kanan dan harus dilakukan operasi oleh dokter spesialis ortopedi. Dokter jaga UGD melakukan konsultasi pada dokter ortopedi, dan rencana dilakukan tindakan segera. Pasien menghubungi orang tuanya (ibu) melalui telepon, dan ibu sempat berbicara dengan dokter UGD per telepon. Ibu pasien memaksa untuk minta nomor telepon dokter ortopedi karena akan berkonsultasi sendiri secara langsung, namun dokter UGD tidak mau memberikan nomor telpon tsb, dengan alasan kebijakan RS untuk tidak memberikan nomor telpon dokter pada pasien. Ibu pasien marah, dan keesokan harinya datang ke RS mengatakan bahwa ia bersedia anaknya dioperasi di RS tsb tetapi tidak terima dengan sikap dokter UGD dan meskipun operasi berjalan baik dan pasien sembuh ibu tsb tetap bersikeras untuk menuntut dokter UGD karena merasa diperlakukan tidak baik. 2. Ny.B/80 th, dibawa oleh keluarganya ke UGD dalam keadaan tidak sadar setelah mendadak pingsan dirumah. Saat datang ke UGD dinyatakan sudah meninggal oleh dokter jaga UGD (death on arrival). Pasien dilakukan pijat jantung/resusitasi dan sebelum dilakukan DC shock anting-anting/giwang pasien dilepas oleh salah seorang perawat dan diserahkan kepada seseorang di sekitar pasien yang saat ditanya “mengaku” sebagai keluarga pasien. Kebetulan di bed samping pasien tsb ada juga pasien lain dan keluarganya, hanya dibatasi kelambu. Dua hari kemudian setelah pasien dimakamkan, keluarga pasien datang ke RS untuk menanyakan giwang pasien. Dan karena perawat yang telah menyerahkan giwang tsb pada orang yang mengaku sebagai keluarga pasien tsb sedang bertugas juga di UGD, maka dia menyatakan sudah menyerahkan pada “keluarga” pasien saat itu. Keluarga pasien tsb tidak terima, karena merasa/mengaku bahwa tidak ada keluarganya yang sesuai dengan ciri orang yang diberi giwang oleh perawat tsb. Selain itu karena giwang tersebut adalah berlian yang merupakan warisan turun-temurun di keluarga mereka. Keluarga pasien minta ganti rugi sebesar 10 juta. 3. Pasangan Tn dan Ny.C/35 th, datang ke RS poliklinik kandungan untuk melepas IUD Ny.C, dan diperiksa oleh spesialis kandungan dr.X. Ternyata IUD yang dipasang tidak dapat dilepas di poli karena benang dan ujung IUD tidak ketemu serta mengalami perlengketan, dan dinyatakan harus dilepas di kamar operasi dengan bius total. Tn/Ny.C tidak terima dengan keputusan dokter, sebab 5 tahun lalu di RS yang sama oleh dokter kandungan yg lain yaitu dr.Y yang saat ini sudah tidak praktik disana dinyatakan bahwa IUD dapat dilepas dengan tindakan di poli dengan biaya Rp 500.000,- saja. Pasangan tsb menuntut dibebaskan dari biaya2 operasi karena mereka merasa dijanjikan oleh dr.Y 5 tahun lalu ttg prosedur dan biaya tindakan, dan menganggap hal itu adalah kesalahan dr.Y yang harus ditanggung oleh RS bukan oleh pasien. Selain itu mereka tidak terima karena pada nota tagihan RS ada biaya rawat inap 1 hari, padahal mereka dijelaskan bahwa tindakan operasi itu tanpa rawat inap/one day care. 4. Ny.D/30 th, datang ke RS setelah dilakukan tindakan operasi laparoskopi apendektomi (angkat usus buntu) 1 minggu sebelumnya karena dia merasa tidak dijelaskan tentang selisih biaya yang harus dibayarkan. Pasien mempunyai BPJS, dan dia merasa dijebak/dipaksa oleh pihak RS untuk naik kelas menjadi VIP dan juga untuk dilakukan operasi laparoskopi sehingga harus membayar selisih biaya sangat banyak. Meskipun pasien dan keluarga sudah menandatangani pernyataan kesediaan untuk naik kelas dan untuk operasi laparoskopi beberapa lembar tetapi dia merasa tidak paham dengan penjelasan dokter dan RS sehingga dia minta untuk dibebaskan dari selisih biaya tersebut dan dia juga melaporkan RS pada pihak BPJS dan Dinas Kesehatan.