Dosen Pengampu :
DISUSUN OLEH
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes
DISUSUN OLEH
Febriani Suci Priadi (PO7120119034)
ABSTRAK
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO (2015) menyatakan, paling tidak
ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.Perilaku kekerasan merupakan salah
satu penyakit jiwa yang ada di Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya
mencapai 2 juta orang, terutama dengan gejala perilaku agresif dan bila tidak tertangani dengan baik
maka akan menimbulkan dampak yang buruk kepada klien serta lingkungannya, sehingga perlunya
suatu tindakan keperawatan yang secara mandiri diberikan untuk menangani perilaku agresif itu
sendiri yaitu dengan Terapi Ration Emotive Behavior. Jenis penelitian adalah dengan pendekatan
studi kasu (Studi kasus).Pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dokumentasi,
dan bahan audio visual.Pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling, dengan 6
klien perilaku kekerasan di RSKD Maluku.Penelitian dilakukan bulan Maret sampai dengan Oktober
2019.Jenis pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara dan lembar observasi klien.Lokasi
penelitian RSKD Maluku.Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk mengontrol
perilaku agresif dengan penerapan rational emotive behavior therapy dan SP yang telah diterapka,
peneliti hanya menyusun intervensi terfokus pada masalah halusinasi pendengaran karena semua
tindakan untuk mengontrol perilaku kekerasan juga dapat meminimalkan semua masalah keperawatan
yang ada pada klien perilaku kekerasan.
ABSTRACT
One type of mental disorder WHO states, at least one in four people in the world who fix mental
problems. In Indonesia, and to date it is estimated that the number of sufferers reaches 2 million, most
of the above mentioned are complex challenges and if not handled properly will cause problems for
the client and his environment, so action is needed. Independent care is provided for Rational Therapy
itself, namely Ration Emotive Behavior Therapy. This type of research is a case study study (case
study). Data collection through collection, interview, collection, and audio-visual material.Sampling
using purposive sampling, with 6 clients practicing violence in Maluku Regional General Hospital.
This research was conducted from March to October 2019. Types of data collection were done by
interview and client observation sheets. Research location of Maluku Regional Public Hospital. In
accordance with the issues raised by researchers, namely for those who are related to therapy using
emotive rational behavior therapy and SP that has been applied, researchers can only focus on
interventions on the issue of delegation hallucinations to help change existing clients to overcome
these problems.
PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO (2015) menyatakan, paling tidak
ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.WHO memperkirakan ada
sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat
0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira- kira
2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2014 dalam Carolina, 2015). Data
WHO tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen
mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa
di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2016).
Menurut hasil survey Kesehatan Mental 2016 ditemukan 185 per 1000 penduduk di Indonesia
menunjukan adanya gejala gangguan jiwa. Hal ini didukung data dari Depkes RI yang melaporkan
bahwa di Indonesia jumlah penderita penyakit jiwa berat sekitar 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari
total penduduk Indonesia. Perilaku kekerasan merupakan salah satu penyakit jiwa yang ada di
Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya mencapai 2 juta orang.Prevalensi
pada pasien Perilaku Kekerasan di RSKD Maluku, selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2015
(43,75%),
2016 (43,75%), 2017 (12,5%). Hal ini
menunjukkan adanya penurunan angka kejadin perilaku kekerasan. Secara umum seseorang akan
marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman. Beberapa
faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut, rasa frustasi, kekerasan dalam rumah
tangga, masa lalu yang tidak menyenangkan, kehilangan orang yang berarti, kehidupan yang penuh
dengan agresif (Kusumawati et al, 2013).Berikut ini yang merupakan tanda dan gejala perilaku
kekerasan diantarnya mata melotot, pandangan tajam, berbicara dengan nada keras, menyerang orang
lain, wajah memerah dan tegang (Fitria, 2012).
Istilah marah (anger), agresif (aggression), dan perilaku kekerasan (violence) sering digunakan
bergantian dalam menguraikan perilaku yang terkait dengan kekerasan (Rawlins, et, al 1993).Perilaku
kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk
melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia,
2015). Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu dari memperlihatkan
permusuhan pada tingkat rendah sampai pada melukai dalam tingkat serius dan membahayakan
(Stuart & Laraia, 2001;2005; 2009). Proses perkembangan perilaku kekerasan, masih menjadi
perdebatan antara nature vs nurture , dibawa sejak lahir atau diperoleh selama perkembangan.
Menurut teori biopsikososial disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor biologik,
psikologik dan sosiokultural (Kneisl; Wilson & Trigoboff, 2014). Dari uraian diatas dapat dikatakan
bahwa perilaku kekerasan adalah respon kemarahan yang maladaptif dalam bentuk perilaku
menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya secara verbal maupun nonverbal mulai
dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.
Klien dengan perilaku kekerasan, individu merupakan orang yang ambigue, selalu dalam kecemasan,
mempunyai penilaian yang negatif terhadap diri dan orang lain, ketidakmampuan untuk
menyelesaikan masalah dengan baik sehingga perilaku kekerasan merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah. Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang
menjadi alasan bagi keluarga untuk merawat klien di rumah sakit jiwa karena berisiko membahayakan
dirinya dan orang lain (Keliat, 2013). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan adalah perilaku yang menakutkan dan membahayakan bagi dirinya, keluarga dan
masyarakat sehingga mereka berusaha mencari pertolongan dengan membawa klien ke rumah sakit
dan berharap selama mendapat pengobatan dan perawatan di rumah sakit perilaku klien berkurang
atau berubah.
Intervensi secara umum yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif / perilaku kekerasan
bervariasi yang berada dalam rentang preventive strategies, Anticipatory Strategies, dan Containment
Strategies (Stuart & Laraia, 2015). Strategi pencegahan (preventive strategies), meliputi kesadaran
diri, psikoedukasi pada klien, dan latihan asertif. Strategi antisipasi (Anticipatory Strategies) meliputi
komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan psikofarmaka. Kemarahan yang dapat mengancam
keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (kegawat daruratan psikiatri) yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi psikofarmaka maka perlu dilakukan strategi penahanan (containment
Strategies) yang meliputi manajemen krisis, pembatasan gerak, dan pengikatan.
Klien dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan respon kognitif berupa gangguan proses pikir
yaitu gangguan dalam mempersepsikan sesuatu serta tidak mampu membuat alasan (Boyd & Nihart,
1996). Respon kognitif merupakan hasil penilaian terhadap kejadian yang menekan, pilihan koping
yang digunakan, reaksi emosional, fisiologis, perilaku dan sosial individu (Stuart & Laraia, 2005).
Setelah terjadi penilaian kognitif terhadap situasi , individu akan menampilkan respon afektif yang
dimunculkan dengan emosi berupa marah, gembira, sedih, menerima, antisipasi atau respon emosi
lainnya (Stuart & Laraia, 2005). Pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pada klien
dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan pada respon kognitif yang nantinya akan
berpengaruh terhadap respon afektif yang dimunculkan dalam bentuk emosi seperti kemarahan. Hal
ini menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan juga perlu
mengacu kepada emosi selain kognitif dan perilaku.
Berdasarkan teori tersebut maka perlu adanya intervensi pada klien dengan perilaku kekerasan yang
mengarah kepada fisik, afektif (emosi), kognitif,fisiologis, perilaku, dan sosial. Terapi Asssertiveness
Trainning, terapi Musik dan terapi Perilaku Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara
langsung kepada emosi klien dengan perilaku kekerasan. Untuk itu agar intervensi untuk klien dengan
perilaku kekerasan lebih optimal maka perlu adanya suatu terapi yang juga mengarah pada emosi.
Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah Rational Emotive Behaviour Therapy( REBT).
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, merupakan suatu
pendekatan pemecahan masalah yang rasional, yang diarahkan untuk masalah perilaku individu. Elis
berkeyakinan bahwa mempelajari kecemasan yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam
memori manusia dari pada dihilangkan. Oleh karena itu beliau
memutuskan untuk mengajarkan kliennya merubah pikiran yang tidak rasional (irrasional) dan
memberikan penjelasan rasional untuk masalah perilakunya (Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006).
Berdasarkan teori REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara spesifik dapat menurunkan
perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi keyakinan irrasional dan
menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan dewasa yang marah dan agresif.
Hasil wawancara yang didapatkan di RSKD bahwa intervensi yang diberikan kepada pasien dengan
perilaku kekerasannya hanya sebatas mengontrol amarah dengan melakukan kegiatan sehari-hari,
untuk Rational Emotive Behavior Therapy tidak perna dilakukan oleh perawat. Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, merupakan suatu pendekatan pemecahan
masalah yang rasional, yang diarahkan untuk masalah perilaku individu. Elis berkeyakinan bahwa
mempelajari kecemasan yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam memori manusia dari pada
dihilangkan. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk mengajarkan kliennya merubah pikiran yang
tidak rasional (irrasional) dan memberikan penjelasan rasional untuk masalah perilakunya (Ellis, 1962
dalam Adomeh, 2006). Berdasarkan teori REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara
spesifik dapat menurunkan perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi
keyakinan irrasional dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan dewasa
yang marah dan agresif.
METODE
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini hanya menggunakan pendekatan studi kasus.Metode
pengumpulan datanya memakai observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan bahan
dokumentasi perilaku (lembar obesrvasi) yang dilakukan pada bulan maret sampai dengan oktober
2019. Teknik samplingnya menggunakan purposive sampling, dengan subyek pnelitiannya 6 pasien
dengan perilaku kekerasanyang dirawat di RSKD Maluku.
HASIL
Hasil asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan perilaku
kekerasan dengan resiko perilaku kekerasan pendengaran dalam upaya mengontrol perilaku agresif
dengan pemberian terapi rational emotive behavior therapy berfokus pada masalah perilaku kekerasan
yang diderita klien, semua tindakan dalam penatalaksanaan yang sudah dibahas pada konsep teori
dasar keperawatan jiwa Keliat, 2013 mengarah pada masalah halusinasi. Maka bagian ini peneliti akan
membahas tentang kesenjangan antara teori yang ada dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil
pelaksanaan studi kasus yang mengacuh pada tahap-tahap prosese keperawatan. Beberapa
kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut :
Sumber data yang diperoleh pada pengkajian yaitu didapat dari klien dan juga tambahan dari tim
medis yaitu perawat. Peneliti tidak mendapatkan masalah yang berarti dalam hal pengkajian dalam
mendapatkan data tentang masalah perilaku kekerasan. Pada pengkajian, data-data yang diperoleh
khusus menyangkut masalah perilaku kekerasan adalah data hasil wawancar dan informasi dari status
klien, informasi dari tim medis yang mendukung peneliti dalam pelaksanaan penelitian. Dilihat dari
teori dan hasil pengkajian, semua tanda dan gejala dari masalah perilaku kekerasan yang ada pada
teori ditemukan pada Klien perilaku kekerasan.Jadi temukan adannya kesenjangan antara teori dan
kondisi klien pada saat pengkajian.
Diagnosa keperawatan yang muncul yaitu : Resiko perilaku kekerasan, Gangguan konsep diri : Harga
Diri Rendah, Mekanisme koping individu dan keluarga inefektif. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, peneliti hanya memfokuskan pada satu masalah yaitu perilaku kekerasan. Karena sesuai
dengan masalah yang peneliti angkat yaitu mengenai bagaimana terapi okupaasi pemberian rational
emotive behavior therapy untuk mengontrol perilaku agresif dan juga tidak mengabaikan diagnose
yang lain terkait dengan kondisi klien saat pengkajian, semua tindakan dalam upaya mengatasi
perilaku kekerasan klien ada pada tindakan keperawatan (SP klien dan SP Terapi) dalam diagnose
halusinasi, sehingga peneliti hanya memfokuskan pada masalah (diagnose keperawatan) halusinasi
pendengaran.
PEMBAHASAN
Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk bagaimana klien dapat mengontrol halusinasi
yang dirasakan dengan penerapan terapi rational emotive behavior therapy, maka sesuai dengan hasil
penelitian, peneliti hanya menysusun intervensi terfokuskan pada masalah perilaku kekerasan karena
semua tindakan untuk meningkatkan akitivitas klien agar perilaku kekerasan yang dirasakan dapat
diminimalkan, bahkan perilaku agresifnya menghilang ada pada teori dan tindakan keperawatan
dalam diagnose perilaku kekerasan namun peneliti juga tidak mengabaikan perencanaan tindakan
keperawatan untuk masalah (diagnose keperawatan) lain yang ada pada klien.
Penelitian lain terkait efektifitas rational emotive behavior therapy yaitu penelitian yang pernah
dilakukan David, Szentagotai, Lupu, Cosman (2008) menyatakan bahwa rational emotive behavior
therapy mampu menurunkan tingkat depresi pasien. Penelitian Warren (2010) juga menjelaskan
bahwa rational emotive behavior therapy tampaknya memberikan kerangka kerja yang mendukung
untuk meningkatkan kemanjuran guru dan potensi prestasi siswa.
SIMPULAN
Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk mengontrol perilaku agresif dengan
penerapan terapi rational emotive behavior therapy dan SP yang telah diterapka, peneliti hanya
menyusun intervensi terfokus pada masalah halusinasi pendengaran karena semua tindakan untuk
mengontrol perilaku kekerasan juga dapat meminimalkan semua masalah keperawatan yang ada pada
klien perilaku kekerasan
Sesuai dengan hasil evaluasi yang didapatkan adanya hasil yaitu dengan di masukkan jadwal
meminum obat pada klien sesuai dengan ketentuan yang telah di tentukan, dan adanya peningkatan
interaksi klien dengan orang lain. Dengan demikikan klien dengan perilaku kekerasan menunjukan
tercapainya criteria intrevensi yang diaharapkan, yaitu berkurangnya dan dapat dikontrolnya perilaku
kekerasan yang dirasakan klien.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Rameez. (2007). Application of REBT with Muslim clients.The Rational EmotiveBehaviour
Therapist.Vol 12 No. 1. 3-8
Andrews, Bonta & Wormith.(2004). Resilience and youth criminality.(Online). Tersedia: http:
//www.p publicsafety.gc.ca (diakses: 24-10-
2019).
Baron, A.E. Byrne D., & Brascombe, R.N. 2006.Social Psychology (7thed). USA: Reason Education
Inc.
Campbell, J. D. (1953). Manic Depressive Disease: Clinical and Psychiatric Significance. Oxford,
England: Lippincott
Cresweell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (edisi
ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
David, D., Szentagotai, A., Lupu, V., & Cosman, D. (2008). Rational emotive behavior therapy,
cognitive therapy, and medication in the treatment of major depressive disorder: a randomized clinical
trial, posttreatment outcomes, and six‐month follow‐up. Journal of clinical psychology, 64(6), 728-
746.
Davidof, Linda, L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Davison, Gerald C, John M. Neale, dan Ann
M. Kring. 2012. Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Depok: PT Rajagrafindo Persada
Dryden, W. & Branch, R. (2008). The Fundamentals of Rational Emotive Behaviour Therapy: A
Training Handbook. 2nd Ed. West Sussex: John Wiley & Sons Inc.
Ellis, Albert & Dryden, Windy. 1973. The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy. New York
:Springer Publishing
Ellis, Albert Ph.D. 2007. Terapi REB: Agar Hidup Bebas Derita. Terjemahan Ikramullah Mahyuddin.
Yogyakarta: Penerbit B-First
Faizal, E.B. (2012).Psychiatrist links depression and heart disease.
(http://www.thejakartapost.com/news/ 2012/10/06/psychiatrist-links-
depression-andheart-disease.html, diakses 20 Oktober 2019)
Gilbert, P. (2001). Overcoming Depression: A Step-By-Step Approach To Gaining Control Over
Depression. 2 nd Edition.Oxford University Press.
Hakim, M Arief. 2009. Bahaya Narkoba Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi dan Melawan.
Bandung: Nuansa
Saleebey, Dennis 2005. The Strengths Perspective in Social Work Practice.
*E-mail: msubuo61@uottawa.ca
Abstrak
Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang-
orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari
keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam
hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan
data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan
metode Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang lain. Dampak stigmatisasi
dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan
aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku
kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma
dengan perilaku kekerasan.
Abstract
Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of stigmatization of mental
illness is violent behavior conducted by patients toward other people around them including families, nurses and
communities. Conversely, patients experienced violence conducted by families, communities and nursing professionals.
This study aims to understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate
violent behavior committed by sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods
of data collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé.
Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and health
professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of stigmatization is manifested by
violent behavior committed by patients, families, staff, community and authorities. Findings are relevant to psychiatric
nurses who provide care to the patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of
families, communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A.,
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann. J.J.(2003).
Suicide attempts in schizophrenia: The roleof
pemerintah memandang stigma terkait perilaku
command auditory hallucinations for suicide.
kekerasan pada ODGJ. Program kampanye anti- Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.
stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif
stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke- Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga Measuring health in cost effective manner. Health
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma Policy and Planning, 18 (3), 344.
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a Landy, H. (2005). Violence and aggression: How
grounded theory approach: A comparison of Glaser nurses perceive their own and their colleagues risk.
and Strauss. International Journal of Nursing Emergency Nurse, 13, 12–15.
Studies, 41 (2), 141–150.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2004). The prevalence ofvictimization and violent
(2012). Introduction (re) thinking violence in health behaviour in the seriously mentally ill (Theses,
care settings: A critical approach. In Holmes, D., University of Adelaide). Department of Psychiatry,
Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re) Thinking violence University of Adelaide, Adelaide, Australia.
in health care settings: A critical approach. Surrey:
Ashgate Publishing, Ltd.
Paillé, P. (1994). L’analyse par théorisation ancrée.
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I., Cahiers de recherche sociologique, 23, 147–
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons 181.
with severe mental illness in Taiwan. Aealand
Journal of Psychiatry, 460–466. Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in
qualitative research. Advances in Nursing Science, 8
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., (3), 27–37.
& Okamura, H. (2006). Psychological impact of
verbal abuse and violence by patients on nurses Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C.,
working in psychiatric departments. Psychiatry and Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36. &Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood
and the appraisal of personal safety in people with
Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic schizophrenia: Results from the European
psychiatry: nurse-patient interactions in a secure Schizophrenia Cohort (EuroSC). Psychological
environment. Doctoral Dissertation School of Medicine, 38 (4), 591–597.
Nursing University of Ottawa, Canada:
Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J.
Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s (2005). Family violence amongadults with severe
stigmatizing attitudes towards people with mental mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1),
disorders: how important are biomedical 40–54.
conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321. Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre,
L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M. (2007). Cross-
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, national differences in relationships of work
Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental illness demands, job satisfaction and turnover intentions
- stigma anddiscrimination in Zambia. African with work–family conflict. Personnel Psychology,
Journal of Psychiatry, 13, 192–203. 60, 805–835.
Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare
Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K ., papers, 5(2), 100–111.
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely
mentally ill in Greece: The extent of the problem. Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., &
International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide ideation
706–715. and behaviour in recent onset schizophrenia. Social
Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 39, 927–
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan 937.
dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., &
Kesehatan RI. Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in adults
with severe mental illness. Archives of general
psychiatry, 62, 911–921.
1
Ju
rn
2
Nofrida Saswati
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Harapan Ibu Jambi E-mail:
nofridasaswati@gmail.com
Abstrak
Tujuan: Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk Mengetahui pengaruh penerapan standar asuhan
keperawatan klien skizofrenia dalam meningkatkan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian pre experimental, pretest
dan posttest. Populasi penelitian ini sebanyak 53 orang dengan jumlah sampel sebanyak 34 responden
yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 17 responden kelompok intervensi dan 17 kelompok kontrol.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok intervensi setelah perlakuan rata-rata mengontrol
perilaku kekerasan sebesar 6,88 dan pada kelompok kontrol 3,55 dengan nilai p-value 0.000.
Simpulan: Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan berpengaruh terhadap kemampuan mengontrol perilaku kekerasan. Untuk itu diharapkan bagi
perawat ruangan dapat lebih meningkatkan lagi penerapan standar asuhan keperawatan pada klien
dengan perilaku kekerasan.
Abstract
Aim: The purpose of this study is to know the effect of the application of nursing care standards
schizophrenia clients in improving the ability to control violent behavior.
Method: This study is a quantitative research design pre-experimental pre-test and post test. Population of
this study were 53 people, with a total sample of 34 respondents were divided into 2 groups: 17
respondents intervention group and 17 control group.
Result: The results showed the treatment group average intervention group after control the violent
behavior of 6.88 and 3.55 in the control group, with p-value 0.000.
Conclusion: Based on the results of the study showed that the application of standards of nursing care
violent behavior affect the ability to control violent behavior. For nurses can further enhance the
implementation of standards of nursing care in the client's violent behavior.
Ju
rn
PENDAHULUAN klien rawat inap seluruh penyakit skizofrenia
selalu meningkat dari tahun ke tahun, pada
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat tahun 2012 sebanyak 432 0rang, tahun 2013
emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat sebanyak 526 dan tahun 2014 sebanyak 1122
dari hubungan interpersonal yang orang.8Berdasarkan data penderita perilaku
memuaskan, perilaku dan koping yang kekerasan yang didapat dari Rumah Sakit
efektif, konsep diri yang positif, dan Jiwa Provinsi Jambi tiga tahun terakhir dari
kestabilan yang emosional.1 tahun 2013 sampai Oktober tahun2015.Pada
tahun 2013 penderita perilaku kekerasan
Seseorang dikatakan sehat jiwa bila mampu sebanyak 133 klien, pada tahun 2014
menyesuaikan diri secara harmonis, selaras penderita perilaku kekerasan sebanyak 266
terhadap tuntutan kehidupan.Sebaliknya bila dan pada tahun 2015 untuk kasus perilaku
seseorang tidak mampu menyesuaikan diri kekerasan sebanyak 386 klien.
terhadap tuntutan hidup ini berarti orang
tersebut mengalami gangguan jiwa. Tujuan penelitian untuk mengetahui Pengaruh
Gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus Penerapan Standar Asuhan Keperawatan
dihadapi oleh seseorang karena hubungan Perilaku Kekerasan Terhadap Kemampuan
dengan orang lain. Kesulitan karena Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Klien
persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya Skizofrenia dengan perilaku kekerasan di
terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang ruang PICU Rumah Sakit Jiwa Daerah
lain, yang ditandai dengan kecemasan yang Provinsi Jambi Tahun 2016.
berlebihan, tidak puas dengan kenyataan yang
sebenarnya dan ketidakmampuan berfungsi METODE PENELITIAN
secara efektif di dalam menghadapi
masalah.Gangguan jiwa merupakan suatu Berdasarkan permasalahan yang di teliti,
penyakit yang disebabkan karena adanya penelitian ini menggunakan desain quasi
kekecauan pikiran, persepsi dan tingkah laku eksperiment pretest and posttest two group.
di mana individu tidak mampu menyesuaikan Penelitian ini dilaksanakan di RSJD Provinsi
diri dengan diri sendri, orang lain, Jambi pada tanggal 24 Desember 2015-18
masyarakat, dan lingkungan. Penegertian Januari 2016. Populasi dalam penelitian ini
seseorang tentang penyakit gangguan jiwa adalah klien yang terdiagnosa perilaku
berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor kekerasan di RSJD Provinsi Jambi yang
penyebabnya yang berhubungan dengan berjumlah 53 responden, penentuan jumlah
biopsikososial.2 sampel sesuai dengan kriteria:
Asumsi peneliti sebelum penerapan standar Penelitian yang dilakukan oleh Hasmiati4, yang
asuhan keperawatan pada klien skizofrenia dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan
klien belum mampu untuk mengontol mengenai kemampuan klien dalam mengontrol
perilaku kekerasannya dimana pada klien perilaku kekerasan dengan penerapan asuhan
skizofrenia terjadi gangguan pada system keperawatan terhadap 18 responden, terdapat
saraf diotak yang mempengaruhi daya fikir 83,3% responden mampu mengontrol perilaku
klien. Selain itu juga klien belum mengerti kekerasan setelah mendapatkan standar asuhan
tentang bagaimana cara mengontrol perilaku keperawatan dan 16,7% respon den tidak mampu
kekerasan terhadap pengaruh penerapan mengontrol perilaku kekerasan.
standar asuhan keperawatan hal ini
Gejala yang muncul pada klien dengan
Skizofrenia diantaranya prilaku kekerasan,
Halusinasi, Waham, Ekopraksia, Flight of ideas,
Perseverasi, Asosiasi longgar, Gagasan rujukan,
Ambivalensi. Untuk
penatalaksanaan dapat menggunakan
Hospitalisasi, Antipsikotik, Psikososial (Terapi
Perilaku, Terapi Keluarga, Terapi Suportif).
Dengan demikian klien dapat belajar untuk
memahami
mengontrol penyakit dan untuk minum obat yang dapat dilakukan oleh perawat melalui
secara teratur serta mengatur stress yang proses keperawatan.5
dapat memperburuk penyakit. Selain terapi
diatas pada klien gangguan jiwa dapat juga Asumsi peneliti tentang pengaruh
digunakan penerapan asuhan keperawatan. penerapan standar asuhan keperawatan
Standar asuhan keperawatan berhubungan pada klien skizofrenia kelompok intervensi
dengan aktivitas keperawatan profesional sudah optimal hal ini dikarenakan klien
berperan aktif untuk mempelajari kekerasan dengan P-value 0,136 namun
bagaimana cara hasilnya belum optimal.
mengontrol perilaku kekerasan hal ini dapat
dilihat dari tingginya persentase klien yang Penelitian yang dilakukan oleh Elyani6,
mampu mengontrol perilaku kekerasan yaitu yang dilakukan di RSJD Provinsi Sumatra
(82,3%) dan pada kelompok kontrol dilihat utara mengenai kemampuan klien dalam
dari mean mengalami sedikit peningkatan hal mengontrol perilaku kekerasan dengan
itu dipengaruhi oleh pemberian terapi obat, penerapan asuhan keperawatan didapatkan
namun hasil yang diperoleh belum optimal hasil p value= 0,000 maka dapat
karna pemberian obat hanya mampu disimpulkan adanya pengaruh
memberikan efek tenang pada klien penerapan asuhan
skizofrenia. keperawatan dengan kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan.6
Perbedaan Kemampuan Klien
Mengontrol Perilaku Kekerasan Strategi pelaksanaan merupakan proses
sebelum dan Sesudah Intervensi yang sangat khusus dan berarti dalam
hubungan antar manusia. Kemampuan
Berdasarkan hasil penelitian terlihat masing- penerapan strategi pelaksanaan tidak
masing responden mengalami peningkatan dapat dipisahkan dari tingkah laku
kemampuan mengontrol perilakukekerasan seseorang yang melibatkan aktivitas fisik,
sesudah dilakukan penerapan asuhan mental, disamping itu juga dipengaruhi
keperawatan perilaku kekerasan pada latar belakang sosial, pengalaman, usia,
kelompok intervensi, hal ini dapat dilihat dari pendidikan dan tujuan yang akan dicapai.
P-value= 0,000 maka dapat disimpulkan Kegagalan sering terjadi pada seorang
adanya peningkatan yang signifikan rata-rata perawat dalam mendapatkan data
mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan khususnya pada klien gangguan jiwa, Hal
sesudah penerapan dan pada kelompok ini disebabkan karena seorang perawat
kontrol mengalami sedikit peningkatan dalam belum mampu atau kurang dalam
mengontrol perilaku menjalankan strategi pelaksanaan
sehingga tidak
terbentuknya hubungan saling percaya
antar klien dengan perawat, dan akhirnya
asuhan keperawatan yang diharapkan
tidaklah efektif dan kurang terbentuknya
hubungan interpersonal antar perawat dan
klien.
Setelah dilaksanakan standar asuhan keperawatan pada klien perilaku kekerasan terdapat
perubahan, maka dari itu diharapkan pihak manajemen rumah sakit jiwa dapat menetapkan
peraturan untuk menerapkan standar asuhan keperawatan yang telah ditetapkan dengan baik
disemua ruangan rawat inap dan nmengadakan pelatihan kepada perawat sehingga perawat
semakin baik dalam memberikan asuhan keperawatan.
Simpulan
Tidak terdapatnya kemampuanklien mengontrol perilaku kekerasansebelum Intervensi Penerapan
Standar Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia Pada Kelompok
Intervensi dan Kontrol di ruang PICU Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi Tahun 2016.
Kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia mengalami peningkatan sesudah
mendapatkan penerapan standar asuhan keperawatan dari pada yang tidak mendapatkan standar
asuhan keperawatan.
Ada perbedaan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia sebelum dan
sesudah diberikan intervensi pada kelompok intervensi.
Saran
Peneliti mengharapkan bagi pihak Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi supaya melakukan kebijakan dalam pembuatan prosedur dalam
merawat klien perilaku kekerasan dengan menggunakan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan agar klien mampu dalam mengontrol dalam mengatasi masalahnya, dan bagi perawat
ruangan agar lebih meningkatkan lagi dalam melaksanakan standar asuhan keperawatan pada klien
perilaku kekerasan.
REFERENSI
Videbeck, S. L. (2008), Psychiatric Mental Health. Jakarta: EGC.
Stuart G. W.,& Sandra J. Sundeen., Alih bahasa. Akhir Yani Hamid (2013). Buku saku
keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.
Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan RI. Azizah. (2011).
Aplikasi Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hasmiati. (2013). Kemampuan klien dalam mengontrol prilaku kekerasan dengan penerapan
asuhan keperawatan dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan.
Stuart and Sundeen, Alih bahasa. Ramona, Kapoh, Egi (2006).
Sembiring, E. (2011), Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan dengan penerapan
asuhan keperawatan dilakukan di RSJD Provinsi Sumatra utara.
Kusumawati. (2010). Keperawatan kesehatan jiwa. Surabaya: Airlangga.
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. (2013-2015). Laporan tahunan rumah sakit jiwa
daerah provinsi jambi. Jambi.
Yosep, I. (2009). Buku AjarKeperawatan Jiwa. Bandun: PT Refika Aditama.
Oleh:
Abstrak
The background : Health is a point in human life and to get it requires more
effort for example with regular exercise,always take care himself,environment,eat
and drink nutritious. The human said to be healthy if the soul and physique is not
impaired or injury resulting in health declined.The research health (RISKESDAS)
the prevalence of severe mental disorders in Indonesia’s population 1,7 per
mile,and mental impaired emotional on Indonesia’s populations of 6 percent.The
disturbance of severe mental in Yogyakarta, Aceh,South Sulawesi, and Centre
java. Proportion the home which had the members of the household severe
mental disorders,3 percent and most in people who live in rural areas
(18,2%),and at the group of the populations with kuintil the ownership of the
lowest (19,5%). Behavior the violence is a state where a person who doing an act
of violence,physical or verbal instructionthat it can harm yourself or
others.Assertive training is a therapeutic modality the nurse in the form of therapy
to behaviour,clients learn to express feelings of anger is appropriate or assertive
as to be able to get in touch with other people, were able to declare : what you
want, what you likes, what are you trying to do, and the ability to make a person
feel uncomfortable talking about himself.
Objectives :In order to reduce the risk of behavioral violence after a series of
assertive verbally.
Methods : The writer used descriptive methods with a case study for 3 x 24 hours
Results : The client is able to know and can practice efforts the decrease the risk
of behavioural violence after a series of assertive verbally.
Conclusion : The client are able to build a trusting relationship to mention the
cause ,a sign of symptoms due to what happens when angry,practice the
techniques of breath in and hit the pillow. Client can also mention medicine are
consumed and if don’t drink it on a regular basis. Client also able to control
anger by expressing,asked,refused to be a good,and control the angry with
spiritual, client to routinely prayers five times, remembrance and pray.
Menurut Purnama, Yani, & Titin (2016) mengatakan gangguan jiwa adalah
seseorang yang terganggu dari segi mental dan tidak bisa menggunakan
pikirannya secara normal. Skizofrenia adalah kerusakan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kognitif, aktif, bahasa, gangguan memandang terhadap realitas,
dan hubungan interpersonal, dan mempunyai perubahan perilaku seperti perilaku
agisitas dan agresif atau disebut dengan perilaku kekerasan (Erwina, 2012).
Sebagian besar pasien dengan skizofrenia dan gangguan mental tidak dengan
kekerasan. Meskipun demikian, risiko kekerasan pada pasien dengan gangguan ini
lebih besar dari pada populasi umum. Risiko ini sangat tinggi di skizofrenia dan
gangguan mental dengan gangguan penggunaan zat adiktif, ketergantungan
alkohol, depresi, dan gangguan kepribadian, bahkan tanpa hal tersebut (Volavka,
2013). Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien skizofrenia adalah
perilaku kekerasan. Kondisi ini harus segera ditangani karena perilaku kekerasan
yang terjadi dapat membahayakan diri pasien, orang lain dan lingkungan (Saseno
& Kriswoyo, 2013).
Assertives training menurut Stuart dan Laraia dalam Suryanta & Murti W
(2015) adalah intervensi tindakan keperawatan pasien perilaku kekerasan dalam
tahap preventif. Latihan asertif bertujuan agar pasien mampu berperilaku asertif
dalam mengekspresikan kemarahannya. Assertives training adalah suatu terapi
modalitas keperawatan dalam bentuk terapi tingkah laku, klien belajar
mengungkapkan perasaan marah secara tepat atau asertif sehingga mampu
berhubungan dengan orang lain, mampu menyatakan : apa yang diinginkan, apa
yang disukai, apa yang ingin dikerjakan, dan kemampuan untuk membuat
seseorang merasa tidak risih berbicara tentang dirinya sendiri. (Suryanta & Murti
W, 2015)
2. METODE
Merode yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah metode deskriptif
dengan study kasus. Pengambilan kasus dilakukan selama 3 x 24 jam kepada
salah satu klien di rumah sakit klolaan melalui wawancara dan observasi secara
langsung. Pelaksanaannya penulis membina hubungan saling percaya kepada
klien untuk mendapatkan informasi, setelah mendapatkan informasi yang
diperlukan kemudian penulis melakukan perencanaan tindakan yang akan
dilakukan, melakukan rencana tindakan yang telah dibuat, dan mengevaluasi
tindakan yang telah dilakukan. Proses keperawatan adalah motode
pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan keperawatan pada
individu, kelompok, dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan
pemecahan masalah dari respons pasien terhadap penyakitnya (Tarwoto &
Wartonah, 2015).
Data psikososial geneogram klien anak terakhir dari 5 bersaudara, dari semua
keluarganya tidak ada yang mempunyai penyakit jiwa. Konsep diri pada citra
tubuh didapatkan hasil klien mengatakan menyukai semua angota tubuhnya dan
mensyukurinya, karena semua itu pemberian dari Alah AWT. Identitas, klien
mengatakan bahwa klien adalah seorang kepala rumah tangga dan seorang bapak
dari ketiga anaknya. Harga diri, klien mengatakan bahwa seorang laki-laki lebih
tinggi derajadnya dari seorang perempuan, maka istrinya harus selalu menuruti
keinginannya. Hubungan sosial, klien mengatakan orang yang dekat dengannya
adalah ibunya, klien mengatakan jarang mengikuti kegiatan masyarakat, dan klien
mengatakan tidak suka berhubungan dengan orang lain yang belum akrab.
Pada tanggal 21 Februari 2017 pukul 09.30 WIB tindakan yang diberikan
kepada klien evaluasi tindakan sebelumnya (SP1) dan memantapkan SP1,
kemudian melakukan strategi pelaksanaan yang kedua melatih mengontrol marah
dengan cara meminum obat dengan benar. Tindakan tersebut didapatkan data
subjektif pasien mengatakan masih jengkel, dan lupa dengan apa yang telah
diajarkan kemarin. Data objektif tatapan mata pasien masih tajam, dan masih
gelisah. Evaluasi tindakan pada tanggal 21 Februari 2017 subjektif klien
mengatak lupa cara melakuka teknik nafas dalam, dan memukul-mukul bantal.
Objektif klien kooperatif, mampu melakukan kembali teknik nafas dalam, dan
memukul-mukul bantal, klien juga mampu menyebutkan obat yang
dikonsumsinya ada tiga berwarna kuning, putih kecil dan besar. Assesment RPK+.
Plan evaluasi kegiatan, mantapkan SP1 dan SP2, lakukan strategi pelaksanaan
ketiga latih klien melatih mengontrol marah dengan bercakap-cakap
mengungkapkan, meminta dan menolak dengan baik.
Pada tanggal yang sama pukul 11.00 WIB tindakan yang diberikan kepada
klien mengevaluasi tindakan yang sebelumnya (SP1, dan SP2), dilanjutkan
dengan strategi pelaksanaan yang ketiga melatih mengontrol marah dengan
bercakap-cakap mengungkapkan, meminta dan menolak dengan baik, didapatkan
data klien mengatakan ingin cepat pulang. Data objektif tatapan mata klien sudah
lebih rileks namun pasien masih gelisah. Evaluasi tindakan pada tanggal 21
Februari 2017 subjektif klien mengatak klein sudah melakuka teknik nafas dalam,
dan memukul-mukul bantal, kemudian teratur minum obat. Objektif klien
kooperatif, tatapan mata rileks, masih gelisah, dan mampu mempraktikkan
mengungkapkan, meminta dan menolak rasa marah. Assesment RPK -. Plan
evaluas kegiatan, mantapkan SP1, SP2 dan SP3, lakukan strategi pelaksanaan
keempat latih klien melatih mengontrol marah dengan spiritual : berdzkir, berdoa,
dan sholat.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat pada kasus tersebut, pengkajian dilakukan pada
tanggal 20 Februari 2016 jam 10.00 WIB di bangsal rumah sakit diperoleh data
pasien bernama Tn. S berumur 48 tahun, penanggung jawab klien adalah istrinya.
Alasan masuk klien mengamuk dan mencekik orang lain, keluhan utama klien
mengatakan jengkel karena tidak boleh pulang.
4.2 Saran
Bagi penulis, meskipun karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan teliti dan dapat memanfaatkan waktu
seoptimal mungkin dalam memberikan asuhan keperawtan kepada klien.
Bagi klien, lebih ditekankan lagi dan lebih giat lagi dalam melakukan strategi
pelaksanaan yang telah diajarkan, sehingga klien dapat segera pulang kerumah.
Bagi rumah sakit, perawat hendaklah menggunakan komunikasi terapeutik dalam
melakukan asuhan keperawatan kepada klien sehingga klien mampu membina
hubungan saling percaya dengan perawat.
PERSANT UN AN
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
segala hidayah, dan kemudahan kepada penulis sehingga Publikasi Ilmiah yang
penulis tulis dengan judul “UPAYA PENURUNAN RISIKO PERILAKU
KEKERASAN PADA KIEN DENGAN MELATIH ASERTIF SECARA
Penulis menyadari bahwa Publikasi Ilmiah ini tidak dapat terselesaikan tanpa
bantuan dan bimbingan dari pihak-pihak yang terkait. Sehingga penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepeda :
Dinkes, Jateng. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah, 74.
Erwina, I. (2012). Aplikasi Model Adaptasi Roy pada Klien Resiko Perilaku
Kekerasan dengan Penerapan Asertiveness Training di RS Dr. H. Marzoeki
Hermawan, A., & Direja, S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Negi, S., Kaur, H., Singh, G., & Pugazhendi, S. (2017). Quality of nurse patient
therapeutic communication and overall patient satisfaction during their
hospitalization stay. International Journal of Medical Science and Public
Health, 6(4), 679. https://doi.org/10.5455/ijmsph.2017.0211522112016
Purnama, G., Yani, D. I., & Titin, S. (2016). Gambaran Stigma Masyarakat
Terhadap Klien Gangguan Jiwa di RW 09 Desa Cileles Sumedang. Jurnal
Pendidikan Keperawatan Indonesia, 2(1), 30. Retrieved from
http://ejournal.upi.edu/index.php/JPKI
Surakarta.
PENELITIAN
PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN
GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Token
Ekonomi adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan
pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di LKS-ODK Kemiling Bandar
Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini adalah quasy experimental dengan
rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak 20 orang, dipilih dengan purposive
sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil yang didapat adalah rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi token adalah 20,05, dan rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi token adalah 36,20. Hasil uji dependen
sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan setelah
dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi
pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan
menerapkan terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara terprogram dan terstruktur.
Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi gangguan jiwa (WHO, 2015). Gangguan
jiwa ditemukan di semua negara, terjadi
LATAR BELAKANG pada semua tahap kehidupan, termasuk
orang dewasa dan
Gangguan jiwa menurut American
Psychiatric Assosiation dalam Diagnostic
and Statistic Manual of Mental (DSM) IV-
TR (2000 dalam Townsend, 2009) adalah
sindroma perilaku yang secara klinik
bermakna atau sindroma psikologis atau
pola yang dihubungkan dengan kejadian
distres pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan secara
signifikan resiko untuk kematian, sakit,
ketidakmampuan atau hilang rasa bebas.
Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit
secara keseluruhan dan ke kemungkinan
akan berkembang menjadi 25% di tahun
2030, gangguan jiwa juga berhubungan
dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu
juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat
Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa
gangguan jiwa mencapai 1,7% meningkat
cenderung terjadi peningkatan gangguan jiwa. dari tahun 2007 sebesar 0,46%. Wilayah
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk paling banyak dengan kasus gangguan jiwa
perilaku yang bertujuan untuk melukai adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh,
seseorang secara fisik maupun psikologis bisa Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah
dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri (Kemenkes RI. 2014). Berdasarkan
sendiri, orang lain dan lingkungan. wawancara dengan perawat ruangan pada
Ketidakmampuan yang terjadi pada klien tanggal 7 Mei 2016, didapatkan data bahwa
gangguan jiwa dikaitkan dengan disabilitas jumlah pasien rawat inap ada 70 pasien
akibat gangguan jiwa berat yang dialami. gangguan jiwa dan didapatkan 80%
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar mempunyai riwayat
perilaku kekerasan atau sekitar 56 pasien Variabel independen dalam penelitian ini
yang memiliki riwayat perilaku kekerasan. adalah penelitian ini adalah kemampuan
Salah satu terapi yang dapat dilakukan mengontrol perilaku terapi token. Variabel
perawat untuk mengontrol perilaku dependen dalam kekerasan. Analisis
kekerasan adalah dengan diberikan terapi univariat dilakukan untuk mengetahui
kognitif, terapi keluarga, terapi perilaku : kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
token ekonomi (Susana, 2012). Perilaku ini klien menggunakan analisis yaitu mean,
dipilih peneliti sebagai pendamping terapi median, standar deviasi. Analisa bivariat
psikofarmaka untuk meningkatkan perilaku dilakukan untuk membuktikan hipotesis
dalam mengontrol perilaku kekerasan. penelitian menggunakan uji dependen
Terapi token ekonomi dianggap efektif sample t-test.
dalam merubah tingkah laku klien, terapi ini
dengan memberikan klien imbalan atas
perilaku yang diharapkan dari klien dan HASIL
mampu dilakukannya. Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan memberi token (permen, Analisis Univariat
uang, atau makanan) bila klien sukses
mengubah perilakunya. Responden dalam penelitian ini berjumlah
Berdasarkan uraian diatas, maka perilaku 20 orang dengan karakteristik usia sebagian
kekerasan merupakan gangguan jiwa yang besar berusia 31-40 tahun (65%) dan berusia
membutuhkan perawatan intensif karena 19-30 tahun (35%). Berdasaekan jenis
dapat menciderai diri, oranglain dan kelamin sebagian besar responden berjenis
lingkungan. Salah satu terapi yang dapat kelamin laki-laki (70%). Sedangkan
digunakan adalah terapi perilaku token berdasarkan lama rawat responden sebagian
ekonomi yang dianggap efektif dalam besar dirawat dalam kurun waktu 11-25
merubah tingkah laku klien, terapi ini tahun (60%).
dengan memberikan klien imbalan atas
perilaku yang diharapkan dari klien dan Tabel 1: Distribusi Responden Berdasar-
mampu dilakukannya. kan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasan Sebelum dan Sesudah Terapi
Token
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-
ODK Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
TANDA GEJALA DAN KEMAMPUAN MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN
DENGAN TERAPI MUSIK DAN RATIONAL EMOTIVE COGNITIF BEHAVIOR THERAPY
(Sign and Symptom and Ability to Control Violent Behaviour with Music Therapy and Rational
Emotive Cognitive Behaviour Therapy)
*Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan Kekhusussan Keperawatan Jiwa Kampus FIK UI, Jl.
Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
**Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Email: herirsjs09@yahoo.com
ABSTRAK
Pendahuluan: Angka perilaku kekerasan cukup tinggi pada klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa.
Dampak perilaku kekerasan dapat berakibat mencederai orang lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi
musik dan rational emotive cognitive behaviour therapy (RECBT) terhadap perubahan tanda gejala dan kemampuan klien
mengontrol perilaku kekerasan. Metode: Desain penelitian quasi eksperimental, jumlah sampel 64 responden dengan
purposive sampling. Hasil: penelitian menunjukkan penurunan tanda gejala perilaku kekerasan dan peningkatan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan lebih besar pada kelompok yang mendapatkan terapi daripada yang tidak
mendapatkan. Diskusi: Terapi Musik dan RECBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku
kekerasan.
Kata kunci: kemampuan, perilaku kekerasan, tanda gejala, terapi musik, RECBT
ABSTRACT
Introduction: Prevalence of violence is highly occur in mental disorders clients at psychiatric hospitals. The impact is
injure to others. This research aims to examine the effectiveness of music therapy and RECBT to sign and symptom and
ability to control violent behaviour. Methods: Quasi-experimental research design with a sample of 64 respondents.
Results: The study found a decrease symptoms of violent behaviour, ability to control violent behavior include relaxation,
change negative thingking, irational belief, and negative behavior have increased significantly than the clients that did not
receiving therapy. Discussions: Music therapy and RECBT is recommended as a therapeutic nursing at the client’s violent
behaviour.
234
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri
235
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:
pikiran dan perilaku negatif. Latihan melawan Karakteristik klien berdasarkan riwayat putus
keyakinan irasional terhadap kejadian yang obat menunjukkan sebagian besar
pertama. Pertemuan kedua: Terapi musik, mengalami putus obat yaitu sebanyak 48 orang
diskusi dan latihan melawan keyakinan (75%). Berdasarkan usia rata-rata klien berusia
irasional terhadap kejadian yang kedua. 32,26 tahun, Analisis mengenai frekuensi
Pertemuan ketiga: Terapi musik, diskusi dan dirawat klien dengan perilaku kekerasan rata-
latihan melawan pikiran negatif yang pertama. rata klien dirawat sebanyak 3,21 kali, rata-
Pertemuan keempat: Terapi Musik, diskusi dan rata klien mengalami gangguan jiwa selama
latihan melawan pikiran negatif yang kedua. 2,53 tahun.
Pertemuan kelima: terapi musik, diskusi dan Perubahan tanda gejala perilaku kekerasan
mengubah perilaku negatif yang pertama. pada kelompok intervensi yang mendapat
Pertemuan keenam: terapi musik, diskusi dan Terapi Musik dan RECBT yang mendapat
mengubah perilaku negatif yang kedua. terapi musik dan RECBT dengan kelompok
Analisis data menggunakan komputer, analisis kontrol yang tidak mendapat terapi musik dan
univariat digunakan untuk menganalisis RECBT dapat dilihat dari tabel 1.
variabel-variabel yang ada secara deskriptif Hasil penelitian menunjukkan bahwa total
dengan menghitung distribusi frekuensinya rata-rata komposit tanda gejala perilaku
untuk data kategori dan tendensi sentral untuk kekerasan pada kelompok intervensi yang
data numerik. Analisis bivariat adalah analisis mendapat Terapi Musik dan RECBT sebelum
untuk menguji hubungan antara dua variabel. dilakukan terapi Musik dan RECBT adalah
Uji yang digunakan adalah chi square untuk 100,84 (67,32%) dan setelah dilakukan sebesar
analisis kesetaraan pada data kategori dan 46,06 (30,71%) sehingga diketahui selisih
data kategori, independent t test pada data komposit tanda gejala perilaku kekerasan
numerik dan data numerik, independent t test sebesar 54,78 (36,52%). Hasil uji statistik
pada uji hipotesis skala numerik dan korelasi menunjukkan ada perubahan yang bermakna
pearson untuk mengetahui hubungan antara tanda gejala kognitif sebelum dan sesudah
skala numerik. diberikan Terapi Musik dan RECBT (p value
< 0,05). Sedangkan pada kelompok kontrol
diketahui bahwa total rata-rata komposit
HASIL
tanda gejala klien perilaku kekerasan pada
Karakteristik klien dengan perilaku kelompok kontrol sebelum dilakukan terapi
kekerasan dalam penelitian ini lebih musik dan RECBT pada kelompok intervensi
banyak laki-laki 49 orang (76,6%). Pada yang mendapat terapi musik dan RECBT
jenjang pendidikan, sebagian besar jenjang adalah 98,72 (65,81%) dan setelah dilakukan
pendidikannya adalah SMA 38 orang (59,4%). sebesar 70,75 (47,17%) sehingga diketahui
Pada status pekerjaan, sebagian besar tidak selisih komposit tanda gejala sebesar 27,97
bekerja 44 orang (68,8%). Pada status (18,14%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
pernikahan klien menunjukkan sebagian perubahan yang bermakna komposit tanda
besar sudah menikah 30 orang (46,9%). Pada gejala pada kelompok kontrol sebelum dan
pemberian terapi medis yang diberikan saat sesudah kelompok intervensi yang mendapat
ini, sebagian besar adalah golongan typikal 25 terapi musik dan RECBT diberikan terapi
orang (39,1%). musik dan RECBT (p value < 0,05).
Berdasarkan riwayat anggota keluarga yang Perubahan kemampuan mengontrol perilaku
mengalami gangguan jiwa sebagian besar 56 kekerasan pada kelompok intervensi dan
(87,5%) orang tidak ada riwayat anggota kelompok kontrol yang mendapat terapi
keluarga yang mengalami gangguan jiwa 56 musik dan RECBT2, didapatkan data bahwa
orang (87,5%). Karakteristik berdasarkan total rata-rata komposit kemampuan
keberhasilan pengobatan sebelumnya sebagian mengontrol perilaku kekerasan sebelum
besar tidak berhasil yaitu sebesar 41 orang dilakukan terapi musik dan RECBT adalah
(64,1%). 53,20 (28,91%) dan setelah dilakukan sebesar
236
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri
139,94 (73,33%) sehingga diketahui selisih hanya pemberian terapi musik atau RECBT.
komposit kemampuan mengontrol perilaku Terdapat perbedaan dalam tindakan pada
kekerasan sebesar 86,84 (44,42%). Hasil uji penelitian pemberian terapi musik yang
statistik menunjukkan ada perubahan yang dilakukan di RSJD Soerakarta di mana terapi
bermakna komposit kemampuan mengontrol musik yang dilakukan terdiri dari 4 sesi,
perilaku kekerasan sebelum dan sesudah perubahan tanda gejala yang diukur yaitu
diberikan terapi musik dan RECBT (p value kognitif, perilaku, sosial dan fisik, penelitian
< 0,05). Total rata-rata komposit kemampuan dilakukan di ruang akut sampai dengan
mengontrol perilaku kekerasan pada kelompok maintenance (Sulistyowati, Keliat, Hastono,
kontrol sebelum dilakukan terapi musik dan 2009). Pada penelitian tersebut belum ada suatu
RECBT pada kelompok intervensi yang proses untuk melatih klien mengubah pikiran
mendapat terapi musik dan RECBT adalah negatif, dan keyakinan irasional pada klien
52,33 (34,89%) dan setelah dilakukan sebesar yang terjadi pada klien. Sedangkan penelitian
80,06 (53.37%) sehingga diketahui selisih yang dilakukan mengenai efektivitas CBT
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dan REBT di RSJ Marzoeki Mahdi Bogor,
sebesar 27,78 (18,48%). Hasil uji statistik diberikan latihan untuk mengubah pikiran
menunjukkan ada perubahan yang bermakna negatif, keyakinan irasional dan perilaku
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan negatif, penelitian dilakukan di ruangan
pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah maintenance (Lelono, Keliat, & Besral, 2011).
diberikan Terapi Musik dan RECBT pada Pada penelitian tersebut tidak diberikan
kelompok intervensi yang mendapat Terapi terapi musik yang dapat memberikan manfaat
Musik dan RECBT (p value < 0,05). terutama pada tanda gejala fisiologis klien
Hubu ngan ant a ra kemam pua n perilaku kekerasan.
mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda Pada penelitian ini pemberian terapi
gejala perilaku kekerasan di RSJ Prof Dr musik dilakukan terlebih dahulu kemudian
Soerojo Magelang tahun 2015 menunjukkan dilanjutkan dengan RECBT. Kombinasi
bahwa ada hubungan yang kuat antara terapi musik dan RECBT akan memberikan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dampak yang lebih luas pada tanda gejala yang
dengan tanda gejala perilaku (p value < 0,05) dialami oleh klien perilaku kekerasan. Terapi
semakin tinggi kemampuan maka tanda gejala musik memberikan kenyamanan pada klien
perilaku kekerasan semakin menurun tanda ketika dilakukan RECBT, klien mengalami
gejala perilaku kekerasan (r= –0,908). proses relaksasi selama pemberian RECBT.
Terapi musik juga dapat menurunkan stimulus
yang mengakibatkan tanda gejala perilaku
PEMBAHASAN
kekerasan masih muncul (Dunn, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan untuk Terapi musik yang dikombinasikan dengan
mengetahui efektivitas terapi musik psikoterapi efektif untuk meningkatkan hasil
berpengaruh terhadap tanda gejala perilaku dari psikoterapi yang dilakukan.
kekerasan, terjadi penurunan tanda gejala Terapi musik dan RECBT memberikan efek
kognitif 34,15%, perilaku 13,5%, sosial yang saling mendukung untuk menurunkan
13,5%, fisiologis 25,8% (Sulistyowati, Keliat, tanda gejala kognitif, afektif, fisiologis dan
Hastono, 2009). Sedangkan hasil penelitian perilaku. Dampak pada tanda gejala sosial
yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas adalah dampak sekunder dari pemberian terapi
RECBT terhadap tanda gejala perilaku musik dan RECBT, apabila klien mempunyai
kekerasan, terjadi penurunan tanda gejala kemampuan menurunkan tanda gejala dengan
tanda gejala kognitif: 30,00% emosi 28,12%, relaksasi, mengubah pikiran negatif, keyakinan
perilaku 28,33%, sosial 34,28%, fisiologis. irasional dan perilaku negatif, maka akan
30,00% (Lelono, Keliat, & Besral, 2011). Hasil berdampak pula pada kemampuan dalam
penelitian menunjukkan pengaruh terapi musik hal sosialisasi dengan orang lain dengan
dan RECBT lebih besar dibandingkan dengan menunjukkan perilaku yang positif.
237
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:
238
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri
irasional diawali dengan menuliskan peristiwa sesuai dengan pikiran negatif yang muncul
yang tidak menyenangkan dan perasaan yang atau perasaan negatif yang muncul, sehingga
muncul. Terdapat satu klien menolak untuk muncul perilaku yang negatif pada individu.
menuliskan mengenai peristiwa yang tidak Dalam meningkatkan kemampuan
menyenangkan dan terjadi perubahan emosi mengubah perilaku negatif, peneliti
pada klien. menerapkan prinsip-prinsip teori perilaku
Kemampuan klien dalam mengubah dengan memberikan penguatan (reinforcement)
keyakinan irasional menggunakan prinsip positif terhadap perilaku positif yang
ABC, A-Activating Event: persepsi individu dilakukan klien dan memberikan umpan
dan membuat kesimpulan dari peristiwa yang balik negatif terhadap perilaku yang tidak
berdampak pada individu. B-Beliefs: keyakinan diinginkan. Videbeck (2008) menyatakan
rasional dan irasional pada individu yang modifikasi perilaku merupakan suatu metode
yang menunjang pada peristiwa yang aktif, C- yang dapat digunakan untuk menguatkan
Consequence, Emotional and behavior perilaku atau respons yang diinginkan
consequence, konsekuensi emosi dan perilaku melalui pemberian umpan balik baik positif
yang diakibatkan oleh peristiwa yang terjadi maupun negatif. Peneliti juga menerapkan
(Ellis, 2000). prinsip tocen economy berupa memberikan
Kemampuan mengubah pikiran negatif, hadiah sesuai dengan keinginan klien, jika
tindakan keperawatan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dilakukan oleh
kemampuan berfokus pada masalah klien, klien setelah mengumpulkan minimal 50%
berorientasi pada tujuan dan aktual saat ini. poin bintang selama 3 hari. Hal tersebut dapat
Fokus dari tindakan untuk memberikan meningkatkan motivasi klien untuk mengubah
kemampuan berpikir adalah pendidikan dan perilaku yang negatif, dan pada kontrak awal
membangun keterampilan klien. Hubungan klien dan perawat membuat kesepakatan
yang terapeutik klien dan perawat sangat bahwa reinforcement yang diberikan tidak
penting untuk meningkatkan efektivitas dari selamanya didapatkan oleh klien. Klien akan
tindakan keperawatan yang dilakukan (Stuart, tetap mengubah perilaku negatif walaupun
2013). sudah tidak diberikan reinforcement.
Klien menuliskan pikiran otomatis negatif Analisis hubungan antara kemampuan
yang muncul. Klien juga menuliskan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
mengubah pikiran dan perilaku negatif gejala perilaku kekerasan menunjukkan
menjadi pikiran dan perilaku positif. Latihan bahwa koefisien korelasi antara kemampuan
mandiri yang dilakukan oleh klien dan mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
dituliskan dalam buku kerja akan gejala perilaku kekerasan adalah – 0,908
meningkatkan kemampuan mengontrol Uji statistik menggunakan korelasi Pearson
perilaku kekerasan. Dengan mengubah status menghasilkan nilai sebesar 0,003 (p value
pikiran dan perasaannya, klien diharapkan < 0,05) yang menunjukkan adanya hubungan
dapat mengubah perilaku negatif menjadi yang bermakna dan negatif antara kemampuan
positif (Oemarjoedi, 2003). Buku kerja mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
dijadikan sebagai alat untuk melatih klien gejala perilaku kekerasan. Nilai r menunjukkan
dalam kemampuan mengubah pikiran negatif negatif artinya semakin tinggi kemampuan
klien menjadi sebuah pembudayaan atau maka tanda gejala perilaku kekerasan semakin
kebiasaan. menurun, dengan keeratan hubungan yang
Kemampuan yang keempat adalah kuat (r > 0,5).
kemampuan dalam mengubah perilaku negatif, Hasil penelitian menunjukkan adanya
banyak perilaku yang digunakan sebagai perubahan tanda gejala komposit yang lebih
koping pada saat muncul perasaan atau pikiran tinggi pada kelompok intervensi yang mendapat
yang negatif yang membuat individu merasa terapi musik dan RECBT dibandingkan
lebih baik dalam waktu jangka pendek (Stuart, dengan kelompok kontrol, di mana rata rata
2013). Perilaku yang ditunjukan seringkali kemampuan dalam mengontrol perilaku
239
kekerasan yang dimiliki oleh kelompok yang SIMPULAN DAN SARAN
diberikan terapi musik dan RECBT lebih Simpulan
tinggi dibandingkan dengan kelompok yang
tidak diberikan terapi musik dan RECBT. Terapi Musik dan RECBT efektif
Ketika klien mempunyai kemampuan yang meningkatkan kemampuan mengontrol
lebih tinggi dalam mengontrol perilaku perilaku kekerasan (relaksasi, mengubah
kekerasan, tanda gejala perilaku kekerasan pikiran negatif, keyakinan irasional dan
lebih minimal. perilaku negatif) sebesar 73,33%.
Terapi musik dan RECBT merupakan suatu Analisis hubungan antara kemampuan
bentuk psikoterapi. Psikoterapi adalah mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
interaksi yang sistemik antara klien dan terapis gejala perilaku kekerasan menunjukkan bahwa
yang menerapkan prinsip untuk membantu adanya hubungan yang bermakna dan negatif
klien ketika mengalami perubahan pada antara kemampuan mengontrol perilaku
perilaku, perasaan dan pikiran. Teknik yang kekerasan dengan tanda gejala perilaku
digunakan pada RECBT dengan memberikan kekerasan. Nilai r menunjukkan negatif artinya
homework tujuannya adalah memampukan semakin tinggi kemampuan maka tanda gejala
klien dalam kemampuan mengontrol perilaku perilaku kekerasan semakin menurun, dengan
kekerasan (Stuart, 2013). Dalam proses keeratan hubungan yang kuat (r > 0,5).
psikoterapi terdapat proses pembelajaran
terhadap keterampilan yang baru dalam hal SARAN
ini relaksasi, mengubah pikiran negatif,
keyakinan irasional dan perilaku negatif. Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu
Tujuan dari tindakan terapi musik dan RECBT memotivasi klien dan mengevaluasi
adalah terciptanya perilaku yang baru dalam kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari
hal mengontrol perilaku kekerasan. dan dimiliki oleh klien sehingga latihan
Perbedaan pemberian psikofarmaka yang diberikan membudaya. Apabila terjadi
dan psikoterapi adalah pada psikofarmaka kemunduran pada klien hendaknya perawat
berfokus pada penurunan tanda gejala saja, ruangan mengkonsultasikan perkembangan
tanpa memperhatikan mengenai kemampuan kliennya yang telah mendapat terapi spesialis
yang dimiliki oleh klien ketika muncul stressor kepada perawat spesialis yang dimiliki rumah
yang dihadapi yang mengakibatkan perubahan sakit.
dalam pikiran, perasaan, perilaku, sosial dan Hasil penelitian ini hendaknya
fisiologis. digunakan sebagai evidence based dalam
Fokus tindakan pada terapi musik dan RECBT mengembangkan Terapi Musik dan RECBT
adalah self control di mana klien baik pada individu maupun kelompok,
membangun sendiri keterampilan dalam sehingga menjadi modalitas terapi keperawatan
mengontrol perilaku kekerasan. Respons jiwa yang efektif dalam mengatasi masalah
maladaptif yang muncul disebabkan karena kesehatan jiwa dan meningkatkan derajat
terjadinya perubahan dalam pikiran, perasaan kesehatan jiwa.
dan perilaku (Stuart, 2013). Ketika pikiran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada
yang negatif, perasaan yang irasional dan klien dengan perilaku kekerasan dengan
perilaku negatif dapat dikontrol secara mandiri cohort untuk melihat pencapaian kemampuan
oleh klien maka perilaku kekerasan akan dapat dalam menurunkan gejala dan meningkatkan
terkontrol dan tidak muncul lagi. kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
(relaksasi, mengubah pikiran negatif,
keyakinan irasional dan perilaku negatif).
Perlunya dilak ukan penelitian lanjutan yang melihat pengaruh peningkatan kemampuan klien setelah
terapi Musik dan RECBT terhadap penurunan tanda gejala perilaku kekerasan pada klien skizofrenia.
Perlu dilakukan penelitian mengenai kombinasi psikoterapi individu dengan psikoterapi yang diberikan
pada keluarga.
KEPUSTAKAAN
Ahmed, AO. et al. 2014. Cognition and Other Targets for the Treatment of Aggression in People with
Schizophrenia. Scimed central.
Balitbang Depkes R.I 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, Jakarta: Depkes RI.
Balitbang Depkes RI. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta: Depkes RI.
Chanda, ML and Levitin, DJ. 2013. The neurochemistry of music. Trends in Cognitive Sciences
April 2013, Vol. 17,
No. 4.
Chlan, L, 2011. Music helps reduce stress and anxiety. Ventilator living assisted journal vol. 25.
Dunn, B. 2010. Psychotherapy and music therapy. Reprinted from victory review magazine.
Ellaine, JS, et al, 2005. Schizophrenia: etiology and course. A journal annualreviews. org.
Ellis, A. 2000. Rational emotive behavioral approaches to childhood disorders theory, practice and
research. Springer Science+Business Media, Inc.
Fazel, S, et al. 2009. Schizophrenia and Violence: Systematic Review and Meta- Analysis. Plos
Medicine.
Fontaine, Kareen Lee. 2009. Mental Health Nursing 6th edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Jensen, 2010. Evaluating the ABC models of rational emotive behaviour therapy
theory: an analysis of the relationship between irrational thinking an guilt, Thesis of Science in
Psychology. The Faculty of Department Psychology Villanova University. United State. ProQuest LLC.
Lelono, SK, Keliat, BA dan Besral. 2011. Pengaruh cognitif behaviour therapy dan rational
emotive behaviour therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan, halusinasi dan isolasi sosial
di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, Tesis tidak dipublikasikan, Tahun 2011.
Mozzler K, et al. 2013. Music therapy for people with schizophrenia and schizophrenia-like disorders
(Review). Wiley.
Oemarjoedi, A,K,. 2003. Pendekatan Cognitive Behavioral dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Sulistyowati, Keliat, Hastono dan Susanti. 2011. Pengaruh terapi musik terhadap klien perilaku
kekerasan di RSJD Surakarta. Tesis tidak dipublikasikan. FIK. UI.
Swanson, et al., 2006. A National Study of Violent Behavior in Persons With Schizophrenia. Arch
Gen Psychiatry/ Vol. 63, May 2006.
Stuart, GW. 2013. Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby.
Videback, SL. 2008. Buku Saku Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta.
Volavka, J., 2012. Violence in schizophrenia and bipolar disorder. Psychiatria danubina, 2013; vol. 25,
no. 1, pp. 2
4–33.
Volavka, J & Citrome, L. 2011. Pathways to Aggression in Schizophrenia Affect Results of Treatment.
Oxford Journal.
World Health Organization. 2015. Improving health systems and services for mental health (Mental
health policy and service guidance package), Geneva 27, Switzerland: WHO Press.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Muhith,
Volume 5, No. 2, Agustus
Fardiansyah, © 2018
Mawaddah, Mulyatin, Hubungan Perilaku Jurnal Ners
Kekerasan dan Kebidanan
Pasien... 137
2018 DOI: 10.26699/jnk.v5i2.ART.p137–143
sa/4.0/)
Abstract: Psychiatric intensive care unit nurses are in a limited environment that allows nurses close to
patients to be able to observe the client’s condition and evaluate the treatment and medical actions taken. If
the nurse is not prepared with this condition, it can cause tension to the nurse which results in stress. One of
the tasks of mental nurses is the handling of violent behavior (aggressive), the poor perception of nurses
makes work stress (Muhith, 2015) This study aims to the relationship between Patient Violence Behavior with
Stress on nurses in Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. This
research design use cross sectional approach. The population of this study is 40 people, with a sample of 28
people, is simple random sampling. The independent variable is Patient’s Violence Behavior, while the
dependent variable is Stress the questioner. Data analysis using Spearman correlation test. Spearman
correlation test results obtained r= 0.738 p = 0.000 (p <0,05), it can be concluded that there is a significant
relationship between the behavior of patient’s hardness with stress on the nurses in Intensive Psychiatry Care
Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Based on these results it is concluded that patient’s
violence behavior in Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang most of
is high category, whereas most nurses experi- ence moderate stress.Thus the hospital can create a
comfortable and safe atmosphere for patients and nurses who work, so that stressful events can be minimized
and well managed.
Abstrak: Perawat psikiatri intensive care unit berada dalam lingkungan yang terbatas yang memungkinkan
perawat dekat dengan pasien untuk dapat mengobservasi kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan
maupun tindakan medis yang dilakukan. Jika perawat tidak siap dengan kondisi tersebut akan dapat
menimbulkan ketegangan pada perawat yang berakibat stres. Salah satu tugas perawat jiwa adalah
penanganan perilaku kekerasan (agresif), persepsi yang buruk perawat menjadikan stres kerja (Muhith,
2015). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres pada
perawat di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Desain
penelitian cross sectional. Populasi sejumlah 40 orang dengan sampel sebanyak 28 orang. Teknik
pengambilan sampel simple random sampling. Variabel bebasnya adalah Perilaku Kekerasan Pasien,
sedangkan variabel tergantungnya adalah Stres. Alat ukur menggunakan kuesoner. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Mei – Juni 2018. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. hasil uji Korelasi Spearman
didapatkan hasil r = 0,738 p = 0,000 (p < 0,05), maka dapat diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang
bermakna antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres pada perawat di Intensive Psychiatry Care Unit
137
(IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Perilaku kekerasan
pasien di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang sebagian besar
dalam kategori tinggi, sedangkan sebagian besar Perawat mengalami stress yang sedang. Dengan demikian
diharapkan pihak rumah sakit dapat menciptakan suasana yang nyaman dan aman baik bagi pasien maupun
perawat yang bekerja, sehingga kejadian stres bisa diminimalkan dan dikelola dengan baik.
176
Aggression Scale (POPAS) Questionnaire. https:/
/www.researchgate. net/profile/Nico_ Oud/ p u b l i c a t i o n / 2 7 0 1 5 9 8 4 9 _ T h e _ P e r c e p
t i o n _ o f _ P r e v a l e n c e _ o f _ Aggression_Scale_POPAS_Questionnaire/links/
54a177900cf256bf8baf71c1/The-Perception-of- Prevalence- of- Aggression- Scale- POPAS-
Questionnaire.pdf, diunduh pada 2 Februari 2018.
Psychology Foundation of Australia . (2014). Depression Anxiety Stress Scales (DASS). HYPERLINK http:/
/www2.psy.unsw.edu.au/dass/http://www2. psy.unsw.edu.au/dass/ diunduh pada 2 Februari 2018.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2014. Baku Ajar Kepera- watan Jiwa Dan Advance Mental Health Nursing.
Bandung: PT Refika Aditama.
177
PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL MARAH PADA PASIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI RSJD
DR. AMINO GONDOHUTOMO PROVINSI JAWA TENGAH
ABSTRAK
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang ditunjukkan oleh pasien yang menyebabkan
distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas kehidupan. Hal ini mencerminkan disfungsi psikologis dan
bukan sebagai akibat dari penyimpangan social atau konflik dengan masyarakat. Perilaku kekerasan
merupakan respon maladaptif dari marah. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pasien untuk
mengontrol marah salah satunya adalah relaksasi otot progresif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada pasien
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Rancangan penelitian ini menggunakan
Quasi Eksperiment dengan metode penelitian One Group Pre Post test design. Jumlah sampel dalam
penelitian ini sebanyak 53 responden dengan teknik pengambilan sampel purpose sampling. Uji
statistik yang digunakan adalah Paired T–Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh
relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada
pasien RPK dengan 0.000 sedangkan nilai thitung 10.90 dan ttabel 1.67 (thitung > ttabel). Hal ini
dikarenakan relaksasi otot progresif dapat meningkatkan keterampilan dasar relaksasi untuk mengontrol
marah dan memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres. Rekomendasi dari penelitian ini adalah
perawat dapat menggunakan relaksasi otot progresif sebagai alternatif untuk membantu mengontrol
marah pada pasien resiko perilaku kekerasan.
ABSTRACT
Mental disturbance is a psychological behavior pattern that cause distress, dysfunction, and life
quality decline. Mental disturbance reflects psychological dysfunction. It is not a result of social
distortion or conflict with society. Violent behavior is a maladaptive respond of anger. Nursing
treatment for anger management that can be given to the patients is progressive muscle relaxation. The
research is intended to determine the influence of progressive muscle relaxation toward anger
management in patients with risk of violent behavior at Amino Gondohutomo Mental Hospital Central
Java Province. The research is designed using quasi experiment with One Group Pre Post test design
as its research method. The sample is collected by purpose sampling technique. There are 53
respondents in this research. It uses Paired T – Test as statistic test. The result shows that there is the
influence of progressive muscle relaxation toward anger management in patients with risk of
violent behavior with 0.000. While tvalue 10.90 and ttable 1.67 (tvalue > ttable). It is because progressive
muscle relaxation can increase the basic skill of relaxation in anger management and improve the ability in
handling stress. The research recommends that the nurse can use progressive muscle relaxation as an
alternative to help patients with risk of violent behavior in controlling their anger.
Karakteristik Jumlah
Responden N
%
Usia/Umur
Remaja 3 5.7
Dewasa Awal 43 81.1
Dewasa Madya 7 13.2
Jenis Kelamin
Laki-laki 32 60.4
Perempuan 21 39.6
Pekerjaan
180
Bekerja 51 96.2
Tidak Bekerja 2 3.8
Arimbi, Brotojoyo, Citroanggodo,
Gatutkaca, dan Srikandi.
Berdasarkan tabel 5.1 menggambarkan karakteristik 3. Uji normalitas
responden berdasarkan jenis kelamin, umur/usia, dan
pekerjaan pasien RPK. Didapatkan
Tabel 5.3
Uji Normalitas Responden
bahwa dari 53 pasien sebagian pasien berjenis Uji Standa p-
kelamin laki-laki sebanyak 32 Normalitas Statistik r Eror value
responden (60.4%). Pada variabel
umur/usia diketahui bahwa responden terbanyak Skor 0.2
berada pada kategori dewasa awal yaitu 43 sebelum intervensi
responden (81.1%). Sedangkan pada variabel Mean 52.00 1.45
pekerjaan responden yang bekerja sebanyak 51 Skewness 0.36 0.33
responden (96.2%).
Skor 0.2
2. Gambaran skor kemampuan mengontrol setelah intervensi
marah pada responden sebelum dan setelah Mean 60.23 1.71
diberikan relaksasi otot progresif Skewness -0.28 0.33
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Skor Kemampuan
Mengontrol Marah Sebelum Dan Setelah Diberikan Hasil uji normalitas yang dilakukan oleh peneliti,
Terapi Relaksasi Otot Progresif Pada Pasien RPK di didapatkan nilai statistik mean sebelum
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa intervensi adalah 52.00 dan mean setelah
Tengah bulan April 2016 (n=53 responden) intervensi adalah
60.23. Nilai skewness pada saat sebelum
Variabel Mean SD intervensi adalah 0.36
sedangkan nilai skewness setelah intervensi
-0.28. Untuk nilai p-value sebelum dan setelah
intervesi adalah ρ:
Skor sebelum intervensi 52.00 10.5 0.2 (ρ > 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
Berdasarkan Skor
tabel setelah
5.2 menunjukkan
intervensi bahwa
60.23skor rata-
12.5 data berdistribusi normal.
rata (mean) kemampuan mengontrol marah
responden sebelum diberikan terapi relaksasi otot
progresif adalah 52.0 (rendah), setelah diberikan
intervensi rata-rata menjadi 60.23 (sedang)
sedangkan standar deviasi sebelum intervensi adalah
10.5 dan standar deviasi setelah intervensi menjadi
12.5
4. Analisis pengaruh relaksasi otot progresif terhadap Skor
52.0 10.6
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK. 0.000
Tabel 5.4 pre test
Analisis Skor Kemampuan Mengontrol Marah Sebelum Skor 52 10.90
60.2 12.5
Dan Setelah Diberikan Terapi Relaksasi Otot Progresif post test
Pada Pasien RPK di RPK di RSJD dr. Amino
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah bulan April 2016 Hasil uji statistik dengan menggunakan Paired
(n=53) T–Test (Dependent T-Test) pada tabel 5.4
ρ- didapatkan bahwa dengan responden sebanyak
Variabel df t Mean SD 53 orang, terlihat ada perubahan dari
value
kemampuan mengontrol marah pada pasien
181
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa PEMBAHASAN
Tengah. Terbukti dari Usia
nilai thitung 10.90 lebih besar dari ttabel pada tingkat Hasil penelitian ini diperoleh jumlah
signifikansi 5% yaitu 1.67 sehingga 10.90 > 1.67 responden terbanyak adalah kelompok usia
(thitung > ttabel) dan nilai signifikansi (ρ-value ) = 22-40 tahun. Rentang usia tersebut dapat
dikategorikan pada kelompok usia dewasa
0.000
awal. Jumlah responden pada kelompok
< 0.05. Hal ini membuktikan bahwa ada
dewasa dalam penelitian ini sebesar 43
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan
responden (81.1%).
mengontrol marah pada pasien RPK di RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Dari nilai
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
mean dan standar deviasi terlihat bahwa terjadi
yang dilakukan oleh
peningkatan kemampuan mengontrol marah, dimana
Wibowo (2012) yang berjudul
mean dan standar deviasi sebelum dilakukan
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok:
intervensi adalah
Stimulasi Persepsi Sesi I-III Terhadap
52.00 dan 10.6 menjadi 6.2 dan 12.5. Hal ini
Kemampuan Mengenal dan
menunjukkan adanya
Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Pasien
peningkatan kemampuan mengontrol Perilaku Kekerasan yang
marah setelah dilakukan relaksasi otot progresif. menyatakan bahwa responden usia 22- 40
tahun sebanyak 31 orang (77.5%).
183
Yosep, I. dan Sutini T (2014, hlm. Setelah dilakukan intervensi relaksasi otot
154) bahwa pasien akan berespon dengan marah progresif pada pasien RPK, terlihat ada
apabila terancam. Ancaman (stresor) dapat berasal perubahan dari kemampuan mengontrol marah
dari eksternal (lingkungan). Stimulus yang pada pasien RPK di RSJD Dr. Amino
menimbulkan ketegangan diterima oleh organ Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.
sensorik, amigdala dan prefrontal cortex Terbukti dari nilai thitung dan ttabel yaitu 10.90
mengirimkan sinyal bahaya ke divisi simpatetik dari > 1.67 (thitung > ttabel) dan nilai signifikansi (
saraf otonom yang selanjutnya memberi perintah -value ) = 0.000 <
kepada kelenjar adrenalin untuk menghasilkan Ini membuktikan bahwa ada
neurotransmitter, salah satu yang berperan dalam pengaruh relaksasi otot progresif terhadap
marah adalah serotonin. Ketika seseorang kemampuan mengontrol marah pada pasien
kekurangan serotonin, maka akan terjadi RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo
ketidakseimbangan Provinsi Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan
neurotransmiter, yang kemudian akan mengganggu penelitian yang dilakukan oleh Resti (2014)
pengontrolan emosi. Kekurangan serotonin ini menyebutkan bahwa relaksasi otot progresif
mengakibatkan perilaku cepat marah, mudah juga dapat memberikan efek psikologis.
tersinggung, dan kesal (Videbeck, 2008, hlm.24). Setelah melaksanakan relaksasi otot progresif
responden menjadi lebih tenang dalam berfikir
Analisis Bivariat dan dapat mengelola rasa marah dan
Hasil penelitian skor kemampuan marah sebelum pernafasannya. Responden yang telah
dilakukan intervensi adalah 52.0 (sedang), sedangkan melakukan relaksasi otot progresif tubuh
setelah intervensi menjadi 60.2 (sedang). menjadi rileks dan pikiran menjadi tenang.
Selain itu setelah relaksasi otot progresif gejala
RPK adalah suatu keadaan dimana seseorang emosi seperti mudah marah dan tersinggung
melakukan tindakan yang dapat membahayakan dapat berkurang.
secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah Relaksasi otot progresif dapat meningkatkan
yang tak terkontrol kemampuan
(Kusumawati & Hartono, 2010, mengontrol marah, hal ini dinyatakan oleh
hlm.78). Pengendalian marah adalah suatu tindakan Purwanto (2013, hlm.35) bahwa manfaat
untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu amarah relaksasi otot progresif antara lain
dengan cara yang tepat dan positif serta dapat meningkatkan keterampilan dasar relaksasi
diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah untuk mengontrol marah dan memperbaiki
sesuatu yang buruk atau merugikan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatasi stres. Selain itu
orang lain. Apabila pasien memberikan makna positif relaksasi otot progresif bermanfaat untuk
saat marah maka pasien dapat melakukan kegiatan meningkatkan produksi serotonin. Serotonin
secara positif dan terapai perasaan lega. Selain itu ini berkaitan dengan mood. Bersantai
kemarahan yang diekspresikan secara konstruktif melakukan relaksasi otot progresif dapat
dapat menyelesaikan membantu tubuh mengurangi ketegangan otot
masalah. dan saraf dan meningkatkan kemampuan
dasar relaksasi (Alam & Hadibroto, 2007,
hlm.102).
Pengendalian marah yang relaksasi yang harus
cukup baik berarti pasien dimiliki oleh pasien
dapat mengendalikan atau RPK. Dengan
mengurangi marah memperhatikan manfaat
dengan melakukan tersebut didukung
relaksasi. Pemberian dengan lingkungan yang
relaksasi otot progresif tenang, posisi yang
memiliki manfaat untuk nyaman, dan keadaan
meningkatkan teknik responden yang
kooperatif dapat (96.2%).
(thitung>ttabel). Maka Sebagai pembelajaran
memaksimalkan manfaat Tingkat
dapat diartikan bahwa pentingnya
dari intervensi tersebut. kemampuan
Ha diterima. Hal ini mengontrol emosi dan
Sehingga relaksasi otot mengontrol
menunjukkan bahwa melakukan intervensi
progresif dapat dijadikan marah sebelum
ada pengaruh relaksasi relaksasi otot progresif
pilihan dalam memberikan diberikan
otot rogresif terhadap pada pasien RPK,
terapi modalitas yang intervensi kemampuan serta menjadi bukti
digunakan oleh pasien relaksasi otot mengontrol marah pada ilmiah dalam
RPK sebagai salah satu progresif pada pasien RPK pendidikan khususnya
intervensi untuk responden yang
untuk profesi
mengontrol marah. mengalami
SARAN keperawatan jiwa.
RPK dengan Bagi Peneliti Selanjutnya
SIMPULAN skor rata-rata Bagi Rumah Sakit Pada penelitian
52.0 (rendah) Pihak RSJD Dr.
Berdasarkan selanjutnya intervensi
dan standar Amino Gondohutomo dapat digunakan pada
deviasi 10.5 Provinsi Jawa Tengah pasien lain di
hasil Tingkat dapat memberikan komunitas
kemampuan pelatihan relaksasi otot
penelitian mengontrol progresif kepada ataupun
marah setelah
perawat yang belum
yang dilakukan tentang diberikan
memiliki spesialisasi panti dan
pengaruh relaksasi otot intervensi
dalam hal tersebut menambahkan
progresif relaksasi otot
sehingga perawat variabel-variabel yang
progresif pada
mampu dan layak banyak
terhadap responden yang
mengalami untuk melakukan
RPK dengan relaksasi otot progresif. berpengaruh
kemampuan mengontrol
skor rata-rata Sedangkan untuk
marah pada pasien RPK di
60.23 (sedang) perawat RSJD Dr. terhadap kemampuan
RSJD Dr. Amino
dan standar Amino Gondohutomo mengontrol marah
Gondohutomo Provinsi
deviasi 10.5 Provinsi Jawa Tengah pada RPK.
Jawa Tengah sehingga
Berdasarkan uji dapat menggunakan
dapat disimpulkan sebagai
statistik Pairedhasil penelitian ini Peneliti
berikut:
T- Test sebagai salah satu
Karakteristik
diperoleh hasil intervensi alternatif selanjutnya
responden
ρ-value untuk membantu
kategori jenis
sebesar 0.000 dan nilai mengontrol marah dapat menggunakan
kelamin paling
thitung 10.90 pada pasien RPK kelompok kontrol agar
banyak laki-laki
dan ttabel 1.67 sehingga Bagi Institusi hasilnya lebih akurat.
32 responden
60.4%, kategori 10.90 > 1.67 DAFTAR PUSTAKA diagnosa keperawatan
jiwa
usia paling
Alam, S. & Hadibroto, I. berat bagi Program
banyak usia
(2007). Gagal ginjal. S!
dewasa awal (22 Jakarta: Gramedia Keperawatan. Jakarta:
- 40) sebanyak Pustaka Utama Salemba Medika
43 responden
81.1%, kategori Fitria, N. (2009). Prinsip Keliat, B.A.. & Pasaribu,
pekerjaan yang dan aplikasi penulisan J. (2013). Prinsip dan
laporan pendahuluan dan praktik keperawatan
paling banyak
strategi kesehatan jiwa stuart
responden yang edisi Indonesia.
pelaksanaan tindakan
bekerja keperawatan (LP dan SP) Singapore: Elsevier
sebanyak 51
responden Kholid. B. (2015).
Pengaruh terapi musik Potter & Perry. (2005). Pengaruh terapi
tradisional terhadap Buku fundamental aktivitas
kemampuan mengontrol keperawatan, konsep, kelompok:
marah pada pasien resiko proses dan praktik persepsi
perilaku Kekerasan. edisi 4. Jakarta: EGC I-III
Semarang: Universitas mengenal
Islam Sultan Agung Purwanto. (2013). perilaku kekerasan
Herbal dan pada pasien perilaku
Kozier, et al., (2010). keperawatan kekerasan. Semarang:
Buku fundamental komplementer teori, STIKES
keperawatan konsep, praktik, hukum dalam TELOGOREJO
proses dan praktik volume asuhan keperawatan.
1. Jakarta: EGC Jakarta: Nuha Medika Yanuar, R. (2011).
Analisis faktor yang
Kusumawati, F., & Resti, I.B. (2014). berhubungan dengan
Hartono, Y. (2010). Buku Teknik relaksasi otot kejadian gangguan
ajar keperawatan jiwa. progresif untuk jiwa di Desa Paringan
Jakarta: Salemba Medika mengurangi stres Kecamatan Jenangan
pada penderita asma. Kabupaten Ponorogo.
Notoatmodjo, S. (2012). Malang:Universitas http://journal.unair.ac.
Metodologi penelitian Muhammadiyah id/ diunduh pada
kesehatan. Jakarta: Rineka Malang tanggal 4 Januari 2016
Cipta pukul 20.50 WIB
Saputri, L.D. (2015).
Nursalam. (2014). Pengaruh terapi Yosep, I.,& Sutini, T.
Metodologi penelitian spiritual (2014). Buku ajar
ilmu keperawatan mendengarkan ayat keperawatan jiwa.
pendekatan praktis edisi suci al quran terhadap Bandung: PT.Refika
3. Jakarta: Salemba kemampuan Aditama
Medika mengontrol emosi
pada pasien resiko
Pontoh, D.D., Bawong, J. perilaku kekerasan.
& Rottie, J. (2013). Semarang: STIKES
Gambaran ungkapan TELOGOREJO
marah terhadap
kemampuan mengontrol Sudiatmika, I.K.
perilaku kekerasan pada (2011). Efektivitas
pasien skizofrenia di cognitive behaviour
ruangan Warane Rumah therapy dan rational
Sakit Jiwa Prof. Dr. emotive behaviour
V.lratumbuysang Propinsi terhadap klien dengan
Sulawesi Utara. http: perilaku kekerasan dan
//ejournal.unsrat.ac.id/, halusinasi di Rumah
diperoleh pada tanggal 5 Sakit Dr. H. Marzoeki
Januari 2015 pukul Mahdi Bogor. Depok:
11.50 WIB FKUI
Videbeck,
S.L.
(2008).
Buku
Wibowo, F. (2012).
Yuhanda, D. (2014). Tentang efektifitas terapi relaksasi nafas
dalam dan tertawa dalam mengotrol perilaku kekerasan pada
pasien resiko perilaku kekerasan. Semarang: STIKES
TELOGOREJO
185 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol. III No. 3, Juni 2018 117-196
Tand
a
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA
MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT
MARZOEKI MAHDI BOGOR
ABSTRAK
Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah satu
manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga dapat
menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian adalah
mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan tehnik purposive sampling terhadap
103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara beban dengan kemampuan
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat
pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.
ABSTRACT
Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation of
schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of family to care
for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and the family ability to
care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi Hospital of Bogor. This study
used analitical design and collected 103 samples using the purposive sampling technique. This study result
indicated a significant relationship between family’s burden and family ability to care for patient with violent
behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to increase family capability in caring for patient with
abusive behavior in order to lower the burden perceived by the family.
METODE
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini Etika pengambilan data pada penelitian ini menggunakan
adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis prinsip manfaat, prinsip menghargai martabat manusia,
univariat dalam melakukan uji statistik prinsip
menggunakan uji distribusi dan proporsi. Analisis
bivariat pada penelitian ini menggunakan uji Chi
Tand
a
signifikan. Pada variabel pengetahuan memiliki kemampuan tidak baik.
keluarga menunjukkan mayoritas responden
memiliki pengetahuan sedang 69 responden Tabel 2
dan tinggi 34 responden. Variabel sikap Hubungan antara Beban dengan Pengetahuan
keluarga menunjukkan 75 responden memiliki Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
sikap tidak baik. Sedangkan variabel di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013
(n=103)
kemampuan keluarga terdapat 51 responden
Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga value
(95%
Sedang Tinggi CI)
HASIL n % n %
Tabel 1
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Keluarga Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor, Tahun 2013 Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
(n=103) Jumlah 69 67 34 33
Peresentase
Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien perilaku
Beban Sedang 35 34,0 kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan tidak
Beban Ringan 36 35,0 ada hubungan antara beban dengan pengetahuan
Tanpa Beban 14 13,6 keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
Jumlah 103 100 P value>0,05.
Variabel Dependen
Pengetahuan Tabel3
Keluarga Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan Sikap
Sedang 69 67,0 KeluargaDalam MerawatPasien Perilaku
Tinggi 34 33,0 Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor
Jumlah 103 100 Tahun 2013 (n=103)
Sikap Keluarga
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR (95%
Jumlah 103 100 Beban
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik value CI)
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 Beban Berat 16 88,9 2 11,1 0,188
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 0,3100,016
Beban Ringan 30 60 20 40
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat, Jumlah 75 72,8 28 27,2
jumlah tersebut cukup
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 responden Tabel 4
mengalami beban berat dan memiliki sikap tidak Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan Kemampuan
baik dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Uji Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di
analisis menunjukkan adanya hubungan antara Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103)
beban dengan sikap keluarga dalam merawat pasien
perilaku kekerasan P Value<0,05.
Tand
a
000,- dan rata-rata penghasilan responden dari enam dimensi beban keluarga dengan
adalah Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut skizofrenia, skor finansial memiliki rata- rata yang
merupakan nominal yang sangat jauh paling tinggi. Oleh karena itu apabila keluarga
dibawah standar UMR Bogor tahun 2013 tidak memiliki sumber dana yang cukup atau
yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan jaminan kesehatan, maka akan menjadi beban yang
penelitian Gururaj, Bada, Reddy sangat berat bagi keluarga.
dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
Kemampuan Keluarga
OR (95% Pengetahuan Keluarga dalam merawat pasien
Beban Perilaku Kekerasan.
P
Keluarga value CI) Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
Sedang Tinggi mayoritas responden memiliki pengetahuan
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,105
Beban Sedang 21 60,0 14 40,0 0,182 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini (2011)
Beban Ringan 14 38,9 22 61,1 0,010 0,429 mendukung penelitian ini yang
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan
Jumlah 69 67 34 33 pada keluarga pasien skizofrenia sebagian
besar adalah tinggi (55,6%). Hal ini
Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13 responden dimungkinkan dari kriteria keluarga yang
yang mengalami beban berat dan memiliki ambil dalam penelitian ini adalah keluarga
kemampuan tidak baik dalam merawat pasien pasien yang pernah dirawat minimal satu
perilaku kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan kali, yang sering mendapatkan informasi
adanya hubungan yang signifikan antara beban maupun pendidikan kesehatan tentang cara
dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien merawat pasien perilaku kekerasan dari
perilaku kekerasan P value <0,05. petugas kesehatan.
Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang
PEMBAHASAN diperoleh baik dari pendidikan formal
maupun non formal dapat memberikan
Beban Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku pengaruh jangka pendek sehingga
Kekerasan menghasilkan perubahan atau peningkatan
Pada analisis beban keluarga terdapat 17,5% atau 18 pengetahuan. Pendidikan non formal tersebut
responden yang memiliki beban berat. Nuraenah, dapat mempengaruhi pengetahuan keluarga
Mustikasari, & Putri (2012) mendukung penelitian tentang cara merawat pasien perilaku
ini bahwa beban keluarga dalam merawat anggota kekerasan menjadi tinggi. Dapat disimpulkan
dengan riwayat perilaku kekerasan yaitu 95%. bahwa jika pengetahuan keluarga tinggi
Beban berat yang dialami keluarga bisa dipengaruhi maka akan meningkatkan kemampuan
oleh berbagai hal diantaranya adalah faktor sosial keluarga dalam memberikan perawatan pada
ekonomi. Dalam hasil penelitian ini masih banyak pasien perilaku kekerasan yang hasilnya pun
keluarga yang merawat anggota keluarganya yang akan menjadi optimal.
mengalami perilaku kekerasan memiliki penghasilan
rendah, yaitu penghasilan terendah adalah Rp 150 Sikap Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
bahwa mayoritas responden memiliki sikap
tidak baik terhadap pasien sebanyak 75
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha & Faktor lain adalah perilaku kekerasan yang dilakukan
Gayatri (2012) didapatkan hasil responden dengan pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat (2003) Perilaku
sikap negative lebih banyak yaitu sebesar 53,6%. kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain, diri
Bagi pasien jiwa yang mengalami perilaku sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan ancaman
kekerasan dan kronis membutuhkan waktu secara verbal.Muesser & Gingerich (2006) juga
perawatan bertahun-tahu, yang dapat menjadikan menjelaskanbahwa anggota keluarga sering menjadi
keluarga mengalami kejenuhan dalam memberikan korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita
perawatan pada pasien sehingga bersikap tidak baik. skizofrenia.
Tand
a
gangguan jiwa sering melanda keluarga karena
Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku kekerasan berkurangnya stress tolerance.
yang dilakukan pasien terhadap keluarga sangat
merugikan keluarga dan mempengaruhi sikap Peneliti berpendapat bahwa
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan. ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan karena
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar bahkan keluarga mengalami kelelahan secara fisik maupun
sampai memukul terhadap keluarga, berkata-kata mental selama merawat anggota keluarganya yang
yang menyakitkan, merusak barang-barang keluarga, mengalami perilaku kekerasan. Dampak yang di
merusak dan mengganggu lingkungan. Dampak dari rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan yang
perilaku tersebut memungkinkan keluarga menjadi dilakukan pasien sangat mempengaruhi sikap
bersikap tidak baik terhadap anggota keluarganya keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan,
yang mengalami perilaku kekerasan. sehingga kemampuan keluarga menjadi tidak baik.
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Hubungan Antara Beban dengan Pengetahuan
Perilaku Kekerasan. Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku
Kemampuan keluarga merupakan gabungan dari Kekerasan
pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga dengan
pasien perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini beban berat memiliki pengetahuan sedang
didapatkan bahwa responden yang memiliki sebanyak 26 orang dan pengetahuan tinggi
kemampuan tidak baik sebanyak 51 orang. sebanyak 5 orang. Simatupang (2010) mendukung
Penelitian ini didukung oleh Hernawaty (2009) penelitian ini yang menyebutkan bahwa mayoritas
bahwa rerata kemampuan kognitif keluarga dalam responden (90%) memiliki pengetahuan yang baik
merawat klien gangguan jiwa sebesar 32,15, dan tentang perilaku kekerasan termasuk definisi,
kemampuan psikomotor 32,55. Fontaine (2003) tanda, dan gejala pasien dengan perilaku kekerasan.
menyatakan bahwa kemampuan keluarga ditentukan
oleh kemampuan untuk manajemen stres yang Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan dalam
produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama merawat pasien perilaku kekerasan sudah dipahami
merawat anggota keluarga dengan oleh keluarga. Hal ini dikarenakan bahwa keluarga
pasien yang pernah di rawat di Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor telah mendapatkan
pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan. Yang
menarik dari hasil penelitian ini adalah keluarga
mengalami beban berat meskipun memiliki
pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa dikarenakan
beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain
faktor sosial ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
keluarga dengan pendidikan yang rendah. Hal ini
Sesuai dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
finansial memiliki rata-rata yang paling tinggi.
Oleh karena itu meskipun
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika kondisi ringan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu sosial
finansial rendah maka beban keluarga akan menjadi ekonomi yang memadai, adanya sistem pendukung yang
berat. cukup dan keluarga memiliki konsep spiritual yang tinggi
sehingga mampu beradaptasi untuk menerima penyakit
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap yang diderita anggota keluarganya. Sesuai dengan konsep
Keluarga Dalam merawat Pasien Perilaku Potter & Perry (2005) yang menjelaskan bahwa
Kekerasan spiritualitas secara signifikan membantu klien dan
Hasil penelitian ini terdapat responden yang pemberi layanan untuk beradaptasi terhadap perubahan
mengalami beban ringan memiliki sikap tidak baik yang diakibatkan oleh penyakit kronis.
sebanyak 30 orang. Keluarga yang mengalami beban
Tand
a
Jika keluarga mengalami beban ringan maka sikap keluarga tidak bekerja, dan pendidikan yang
keluarga terhadap pasien perilaku kekerasan rendah. Beban tersebut termasuk dalam kategori
seyogyanya akan menjadi baik. Yang menarik dari beban obyektif. Nadya (2009) menjelaskan beban
penelitian ini adalah terdapat 30 responden obyektif adalah berbagai beban dan hambatan yang
mengalami beban ringan namun memiliki sikap dijumpai dalam kehidupan keluarga yang berkaitan
yang tidak baik terhadap anggota keluarganya. Hal dengan perawatan penderita gangguan jiwa,
ini dimungkinkan karena dampak yang diterima oleh diataranya adalah beban biaya finansial yang
keluarga dari sikap pasien perilaku kekerasan. dikeluarkan untuk merawat penderita. Sesuai
Sesuai dengan konsep Muesser & Gingerich (2006) dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
bahwa anggota keluarga sering menjadi korban Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
skizofrenia. Pasien yang mengalami perilaku finansial memiliki rata- rata yang paling tinggi.
kekerasan memberi dampak yang merugikan bagi Peneliti berpendapat jika kondisi sosial ekonomi
keluarga sehingga keluarga bersikap tidak baik tidak memadai maka beban yang dirasakan
terhadap dirinya. keluarga menjadi berat.
Hubungan Antara Beban dengan Kemampuan Fontaine (2003) menjelaskan bahwa kemampuan
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku keluarga ditentukan oleh kemampuan untuk
Kekerasan. manajemen stres yang produktif. Kelelahan fisik
dan emosi selama merawat anggota keluarga
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga dengan gangguan jiwa sering melanda keluarga
dengan beban berat memiliki kemampuan tidak baik karena berkurangnya stress tolerance. Teschinsky
yaitu 13 orang. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor (2000) juga menjelaskan bahwa keluarga yang
sosial ekonomi antara lain kesulitan finansial, merawat anggota keluarga dengan perilaku
kekerasan akan mengalami reaksi emosi terhadap
gangguan dan stigma sosial yang ditimbulkan
karena perilaku kekerasan dengan dampak lainnya.
Dapat dimungkinkan hal inilah yang menyebabkan
keluarga memiliki kemampuan tidak baik dalam
merawat pasien perilaku kekerasan
Tand
a
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei 2013.
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam pemberian
perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi
1
Stuart.G.W. (2007) Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Alih bahasa Kapoh.R.P
&Komarayuda.E.Jakarta: EGC.
Teschinky, U. (2000). Living with schizophrenia: the family illness experience.Online J Issues
Nurs. Diakses 8 mei 2013.
2
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN RATIONAL
EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP GEJALA
DAN KEMAMPUAN MENGONTROL EMOSI PADA
KLIEN PERILAKU KEKERASAN
*) Perawat Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Jl Dr. Sumeru No 114 Bogor, Bogor 16111, Indonesia
**) Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Jakarta 10430, Indonesia
***) Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Jakarta 10430, Indonesia
Email : ikt.mika@yahoo.com
Abstrak
Perilaku kekerasan merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat mengontrol perilaku marahnya sehingga
dieksprresikan dalam bentuk perilaku agresif fisik dan atau verbal yang dapat mencederai diri sendiri, orang lain
dan merusak lingkungan sehingga membutuhkan tindakan keperawatan yang efektif dan tepat. Tindakan
keperawatan spesialis yang dapat diberikan pada klien perilaku kekerasan adalah cognitive behaviour therapy dan
rational emotive behaviour therapy. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas cognitive behaviour therapy
(CBT) dan rational emotive behaviour therapy (REBT) terhadap perubahan gejala dan kemampuan klien perilaku
kekerasan di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian quasi eksperimental dengan jumlah
sampel 60 responden. Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan lebih besar pada klien yang
mendapatkan daripada yang tidak mendapatkan CBT dan REBT (p value < 0.05). Kemampuan kognitif, afektif
dan perilaku klien yang mendapatkan CBT dan REBT meningkat secara bermakna (p value < 0.05). CBT dan
REBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku kekerasan dan halusinasi.
Kata kunci: perilaku kekerasan, kemampuan kognitif, afektif dan perilaku, cognitive behaviour therapy, rational
emotive behaviour therapy.
PENDAHULUAN Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kasus
Penduduk di seluruh dunia diperkirakan gangguan jiwa yang ada di negara- negara
mengalami gangguan mental sekitar 450 juta berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara
orang, sekitar 10% orang dewasa mengalami berkembang berdasarkan hasil riset kesehatan
gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk dasar (Ris.Kes.Das, 2008) yang dilakukan oleh
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan
pada usia tertentu selama hidupnya (WHO, Departemen Kesehatan, menunjukkan prevalensi
2009). Gangguan jiwa mencapai 13% dari gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4.6
penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan permil, artinya dari 1000 penduduk Indonesia,
akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. maka empat sampai lima orang diantaranya
National Institute of Mental Health (NIMH) menderita gangguan jiwa berat.
berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika
Serikat tahun 2004, memperkirakan 26,2 % Skizofrenia merupakan salah satu jenis
penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih gangguan jiwa berat yang paling banyak
mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). ditemukan. Stuart (2009) menyebutkan di
3
Amerika Serikat sekitar 1 dari 100 orang mengalami skizofrenia. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (2003)
mencatat bahwa 70% gangguan jiwa terbesar
di Indonesia adalah Skizofrenia. Kelompok
American Association
Psychiatric (APA) menyebutkan beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa skizofrenia
mempunyai insiden lebih tinggi untuk
mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000
dalam Sadino, 2007). Wahyuningsih (2009)
menyatakan bahwa klien skizofrenia memiliki
riwayat kekerasan baik sebagai pelaku,
korban, atau saksi sebanyak 62,5%.
4
Therapy (CBT) dan Rational Emotive sebagian besar tidak kawin 45 orang (75.0%),
Behaviour Therapy (REBT). Teknik adanya riwayat gangguan jiwa 35 orang
pengambilan sampel menggunakan Purposive (58.3%) dan frekuensi dirawat di rumah sakit
Sampling. Penelitian ini dilakukan untuk 2 kali atau lebih 45 orang (75.0%).
mengetahui efektivitas Cognitive Behaviour Perubahan gejala perilaku kekerasan sebelum
Therapy dan Rational Emotive Behaviour dan sesudah pelaksanaan cognitive behaviour
Therapy terhadap perubahan gejala dan therapy dan rational emotive behaviour
kemampuan kognitif, afektif dan perilaku therapy.
klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat
8070,97
di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. H. 70
60 59,03
Marzoeki Mahdi Bogor. 71,5
50
Responden berjumlah 60 orang yang terdiri 40 50
30 Intervensi
atas 30 orang menjadi kelompok kontrol dan 20 Kontrol
5
250 terutama klien yang menikah. Penelitian tidak
Kognitif
200 198,8
menemukan karakteristik yang berpengaruh
150
Afektif
terhadap peningkatan kemampuan kognitif dan
100101,5
50
afektif klien.
Perilaku
0
SebelumSesudah PEMBAHASAN
Cognitive behaviour therapy dan rational
Kemampuan kognitif klien
behaviour therapy menurunkan gejala perilaku
meningkat secara bermakna
kekerasan baik secara kognitif, emosi, perilaku,
mencapai 65.87 (74%), afektif
sosial, dan fisik mencapai 77% secara bermakna
66.03 (76%), dan perilaku 66.90 (77%)
dari tingkat yang sedang ke tingkat rendah.
dengan p value < 0.05.
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
Komposit kemampuan kognitif,
kognitif mencapai 86%, sedangkan klien yang
afektif dan perilaku meningkat
tidak diberikan CBT dan REBT mencapai 76%.
mencapai 198.80 (75%) dengan p
Kelompok klien yang tidak mendapatkan CBT dan
value < 0.05.
REBT juga mengalami penurunan gejala perilaku
Efektifitas CBT dan REBT dalam
kekerasan secara kognitif, namun penurunan
meningkatkan kemampuan
gejala yang terjadi masih dalam tingkat sedang.
kognitif, afektif dan perilaku pada
Penurunan gejala perilaku kekerasan pada
klien perilaku kekerasan adalah:
kelompok yang tidak mendapatkan terapi
CBT dan REBT terjadi karena kelompok
E = 41 % 198.80-101.50 x 100% =
240 klien tersebut mendapatkan terapi generalis yang
sesuai dengan standar asuhan keperawatan (SAK).
Rieckert (2000)
Penelitian ini tidak
menemukan menyatakan bahwa terapi REBT secara
karakteristik klien yang berpengaruh terhadap signifikan dapat mengurangi kemarahan,
penurunan gejala perilaku kekerasan. perasaan bersalah dan harga diri yang rendah.
Karakteristik yang berpengaruh Aaron T. Beck tahun 1960an menemukan bahwa
terhadap peningkatan kemampuan kognisi klien memiliki dampak yang luar biasa
perilaku klien adalah usia terutama terhadap perasaan dan perilakunya. Beck
32 tahun dan status perkawinan menyatakan kesulitan emosional dan perilaku
seseorang
6
CBT dan REBT mencapai 82%. Penelitian Perbedaan terlihat signifikan dimana klien
sebelumnya yang dilakukan oleh Putri (2010) yang mendapatkan CBT dan REBT gejalanya
yang memberikan terapi REBT kepada 28 turun pada tingkat rendah, sedangkan klien
klien dengan perilaku kekerasan didapatkan yang tidak mendapatkan CBT dan REBT
respon emosi klien menurun secara bermakna gejala perilaku turun masih dalam tingkat
mencapai 43%. Penurunan gejala perilaku sedang. Putri (2010) juga menemukan bahwa
kekerasan secara emosi pada penelitian ini klien dengan perilaku kekerasan setelah
mencapai hasil yang lebih tinggi daripada diberikan terapi REBT maka respon
penelitian sebelumnya karena dilakukan perilakunya menurun mencapai 47%.
dengan memadukan dua terapi yang Penurunan gejala perilaku terjadi secara
sebelumnya hanya dilakukan satu terapi. signifikan karena klien selama terapi telah
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara diajarkan mengubah keyakinan irasional yang
emosi setelah diberikan CBT dan REBT pada selama ini dipertahankan klien sehingga
kelompok yang mendapatkan dengan mencetuskan perilaku marah menjadi pikiran
kelompok yang tidak mendapatkan CBT dan yang sesuai dengan kenyataan. Albert Ellis
REBT menunjukkan perbedaan yang (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic,
bermakna dimana pada kelompok yang 2003) juga mengemukakan bahwa yang perlu
mendapatkan CBT dan REBT mengalami dirubah oleh individu untuk mengatasi
penurunan respon emosi lebih tinggi (berada masalah emosi maupun perilakunya adalah
dalam tingkat yang rendah). adanya keyakinan irasional yang
dikembangkan oleh dirinya.
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
perilaku lebih tinggi pada kelompok yang Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
mendapatkan CBT dan REBT mencapai 77%. sosial pada klien yang diberikan CBT dan
Klien yang tidak mendapat CBT dan REBT REBT mencapai 73% lebih tinggi daripada
juga mengalami penurunan gejala perilaku klien yang tidak mendapatkan terapi CBT dan
mencapai 64% . REBT yang mencapai 63%. Putri (2010)
menemukan respon sosial klien meningkat
mencapai 47% setelah diberikan terapi REBT.
Penelitian ini menitik beratkan pada gejala
sosial yang terganggu ketika klien mengalami
kemarahan. Gejala sosial pada klien perilaku
kekerasan adalah menarik
diri dari hubungan sosial, mengasingkan diri, kekerasan kepada orang lain, mengejek, humor,
menolak kehadiran orang lain, melakukan serta mengabaikan hak orang lain (Keliat, 1996;
7
Nihart, 1998; Stuart, 2009). Pemberian CBT perubahan interpretasi klien terhadap kejadian
dan REBT dapat mengajarkan klien berpikir atau peristiwa. Interpretasi yang tidak sesuai
positif terhadap lingkungan sosialnya dengan kenyataan akan menyebabkan
sehingga hubungan interpersonalnya dengan perubahan emosi dan perilaku seseorang ke
orang lain meningkat. arah maladaptif. Frogatt (2005) juga
menegaskan bahwa REBT berdasar pada
Gejala fisik menurun mencapai 85%, konsep bahwa emosi dan perilaku merupakan
sedangkan klien yang tidak mendapatkan CBT hasil dari proses pikir.
dan REBT penurunan gejala fisik mencapai
71%. Penelitian Putri (2010) juga Cognitive behaviour therapy dan rational
menemukan penurunan gejala fisik setelah emotive behaviour therapy meningkatkan
klien diberikan terapi REBT mencapai 76%. kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku
Penurunan gejala fisik terjadi paling besar klien secara bermakna dari tingkat yang
dibandingkan gejala yang lainnya karena rendah ke tinggi. Kemampuan kognitif klien
seluruh klien mendapatkan terapi meningkat mencapai 74%, afektif 76%, dan
psikofarmaka berupa obat antipsikotik yang perilaku 77%. Penelitian yang
bekerja efektif terhadap penurunan gejala fisik dilakukan Fauziah (2009) terhadap 13 klien
klien. Stuart (2009) menyatakan perilaku dengan perilaku kekerasan yang menunjukkan
kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, bahwa CBT dapat meningkatkan kemampuan
tidak bisa diam, mengepalkan atau kognitif dan perilaku masing-masing
memukulkan tangan, rahang mengencang, mencapai 66%. Penelitian Putri (2010)
peningkatan pernafasan, dan kadang tiba- tiba terhadap 28 klien dengan perilaku kekerasan
seperti kataton. juga menunjukkan dengan pemberian REBT
respon kognitif klien meningkat 9.6% dan
Stuart (2009) menyatakan terapi CBT kemampuan sosial 47%.
bertujuan mengubah keyakinan yang tidak
rasional, kesalahan penalaran dan pernyataan Bloom (1956 dalam Kasan, 2005)
negatif tentang keberadaan individu. REBT mengklasifikasikan tujuan pemberian
lebih memfokuskan pada pendidikan kedalam tiga domain, yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor. Teori bloom
melandasi penilain terhadap kemampuan klien
dalam penelitian ini. Kemampuan kognitif
mencakup aspek
intelektual seperti pengetahuan dan menekankan pada aspek perasaan dan emosi.
ketrampilan berpikir, kemampuan afektif Kemampuan yang terakhir yaitu perilaku
8
menekankan pada aspek motorik yang dilihat dengan perilaku kekerasan salah satunya
dari kemampuan klien melaksanakan CBT adalah dengan token economy.
dan REBT seperti menuliskannya di buku
kerja dan jadwal kegiatan sehari-hari. Token economy dalam proses pelaksanaan
CBT dan REBT merupakan salah satu tipe
Peningkatan kemampuan yang signifikan pada dari contingency contracting dimana
kelompok klien yang diberikan terapi CBT penguatan diberikan sesuai dengan perilaku
dan REBT karena selama proses pelaksanaan yang diinginkan (Townsend, 2009).
terapi klien selalu dimotivasi untuk Pemberian token economy dan reinforcement
melakukan latihan secara mandiri yang ini memotivasi klien dalam melaksanakan
menjadi tugas rumah (home work) yang perilaku positif yang diinginkan sehingga
dievaluasi secara terus menerus dengan akhirnya kemampuan kognitif, afektif dan
menggunakan jadwal kegiatan harian, buku perilaku klien setelah diberikan terapi CBT
kerja, dan raport perkembangan klien. Peneliti dan REBT meningkat yang nantinya
menerapkan prinsip-prinsip teori perilaku diharapkan membudaya pada kehidupan klien
dengan memberikan penguatan walaupun token sudah tidak diberikan.
(reinforcement) positif terhadap perilaku
positif yang dilakukan klien dan memberikan Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
umpan balik negatif terhadap perilaku yang kontribusi karakteristik klien seperti usia, jenis
tidak diinginkan. Videbeck (2008) kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
menyatakan modifikasi perilaku merupakan perkawinan, frekuensi dirawat, dan riwayat
suatu metode yang dapat digunakan untuk gangguan jiwa terhadap penurunan gejala
menguatkan perilaku yang diinginkan melalui perilaku kekerasan dan halusinasi. Penelitian
pemberian umpan balik baik positif maupun yang dilakukan Putri (2010) juga tidak
negatif. Peneliti menerapkan prinsip token ditemukan adanya kontribusi karakteristik
economy sesuai yang dikemukakan Stuart dan klien dalam perubahan respon perilaku
Laraia (2005) bahwa tindakan keperawatan kekerasan klien dengan skizofrenia.
spesialis yang dapat diberikan pada klien
Rata-rata klien berusia 32 tahun dengan usia Hasil ini menunjukkan bahwa klien yang berusia
termuda 18 tahun dan usia tertua 55 tahun. 32 tahun memiliki kontribusi dalam peningkatan
9
kemampuan perilaku terhadap cognitive Status perkawinan berkontribusi dalam
behaviour therapy dan rational emotive peningkatan kemampuan perilaku klien. Klien
behaviour therapy. Usia yang menikah peningkatan kemampuan
32 tahun tergolong usia dewasa yang memiliki perilaku terhadap cognitive behaviour therapy
tugas-tugas perkembangan yang spesifik. dan rational emotive behaviour therapy lebih
besar daripada yang tidak menikah setelah
Jean Peaget (1980 dalam Fontaine, 2003) dikontrol oleh usia. Individu yang sudah
dengan teori kognitifnya menyatakan bahwa menikah memiliki tuntutan untuk bertanggung
individu membangun kemampuan kognitif terhadap keluarganya. Tanggung jawab
melalui tindakan yang termotivasi dengan tersebut dapat memotivasi mereka untuk
sendirinya terhadap lingkungan. Usia dewasa meningkatkan hubungan dengan orang lain
dalam perkembangannya termasuk periode termasuk mengerjakan sesuatu untuk
operasional formal. Karakteristik periode ini mencapai kesejahteraan keluarga. Terapi CBT
adalah diperolehnya kemampuan untuk dan REBT salah satu cara bagi mereka untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, kembali melaksanakan perannya dalam
dan menarik kesimpulan dari informasi yang keluarga sehingga kewajiban tersebut dapat
tersedia. Kemampuan pada periode dilaksanakan kembali.
perkembangan ini yang membuat klien lebih
memahami dan termotivasi dalam SIMPULAN
melaksanakan terapi CBT dan REBT. Klien Karakterisitik klien yang menjadi responden
pada tahap perkembangan tersebut mampu dalam penelitian ini rata-rata berusia 32 tahun
menganalisis bahwa terapi CBT dan REBT dengan usia termuda 18 tahun dan tertua 55
yang diberikan jika dilaksanakan dengan baik tahun, jenis kelamin lebih banyak laki-laki
dalam kehidupan sehari-hari akan membantu (85.9%), sebagian besar tidak bekerja
dirinya dalam menghadapi setiap stresor yang (53.3%), memiliki jenjang pendidikan SMA
dialami. dan Perguruan Tinggi (60.0%), sebagian besar
tidak kawin (75.0%), adanya riwayat
gangguan jiwa (58.3%) dan frekuensi dirawat
di rumah sakit 2 kali atau lebih (75.0%) .
Cognitive behaviour therapy dan rational
behaviour therapy efektif dalam menurunkan
gejala perilaku kekerasan dari
10
berpengaruh terhadap kekerasan setelah dilakukan terapi CBT dan
peningkatan kemampuan perilaku klien REBT.
dengan perilaku kekerasan dan halusinasi.
DAFTAR PUSTAKA
11
Stuart, G.WT (2009). Principles and practice of
psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby.
*E-mail: msubuo61@uottawa.ca
Abstrak
Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang-
orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari
keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam
hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan
data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan
metode Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang lain. Dampak stigmatisasi
dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan
aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku
kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma
dengan perilaku kekerasan.
Abstract
Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of stigmatization of mental
illness is violent behavior conducted by patients toward other people around them including families, nurses and
communities. Conversely, patients experienced violence conducted by families, communities and nursing professionals.
This study aims to understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate
violent behavior committed by sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods
of data collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé.
Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and health
professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of stigmatization is manifested by
violent behavior committed by patients, families, staff, community and authorities. Findings are relevant to psychiatric
nurses who provide care to the patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of
families, communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes
DISUSUN OLEH
Fholsen Frohansen (PO7120119036)
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes
DISUSUN OLEH
Fitria Oktaviani (PO7120119037)
Keywords: psikoreligius therapy, violent behavior in patients with schizophrenia, decline in violent
behavior
Kata Kunci: terapi psikoreligius, perilaku kekerasan pada pasien schizofrenia, penurunan perilaku kekerasan
Untuk mendapatkan kesehatan mental yang Nurjanah (2004). Selanjutnya kondisi ini
prima, tidaklah mungkin terjadi begitu saja. dapat me- nyebabkan timbulnya gangguan
Selain menye- diakan lingkungan yang baik jiwa dalam tingkat ringan maupun berat yang
untuk pengembangan potensi, dari individu memerlukan penanganan di rumah sakit baik
sendiri dituntut untuk melakukan berbagai di rumah sakit jiwa atau di unit perawatan
usaha menggunakan berbagai kesempatan jiwa di rumah sakit umum, salah satunya
yang ada untuk mengembangkan dirinya. adalah penderita schizophrenia (Nurjanah,
Kondisi kritis ini membawa dampak 2004).
terhadap peningkatan kualitas maupun Schizofrenia merupakan suatu sindrome
kuantitas penyakit mental-emosional manusia klinis atau proses penyakit yang
Hidayati (2000) dalam mempengaruhi kognisi, persepsi, emosi,
perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
72
schizofrenia mempengaruhi setiap individu Perilaku kekerasan dianggap sebagai
dengan cara yang berbeda. Derajat gangguan suatu akibat yang ekstrim dari rasa marah
pada fase akut atau fase psikotik dan fase atau ketakutan yang mal adaptif (panik).
kronis atau fase jangka panjang sangat Perilaku agresif dan peri- laku kekerasan itu
bervariasi diantara individu (Videbeck, 2008). sendiri sering dipandang sebagai suatu dimana
agresif verbal di suatu sisi dan perilaku
Menurut Isaac (2004), 1% populasi
kekerasan (violence) di sisi yang lain.
penduduk dunia mengalami schizofrenia dalam
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di
hidupnya, 95% penderita schizofrenia
mana seseorang melakukan tindakan yang
mengidap penyakit ini seumur hidup, penderita
dapat membahayakan
schizofrenia menempati 25% tem- pat tidur
rawat inap rumah sakit. Kurang lebih 33%–
50% tunawisma di Amerika serikat
menderita Schizofrenia. Lebih dari 50%
penderita schizofrenia bermasalah dengan
alkohol atau obat-obatan yang mungkin
berusaha mengatasi sendiri gejala-gejala
stressnya. Di seluruh Asia, diperkirakan 2–10
dari setiap 1000 penduduk mengalami
schizofrenia, dan 10% diantaranya perlu
diobati dan dirawat intensif karena telah
sampai pada taraf yang mengkhawatir- kan.
Prevalensi penderita schizofrenia di
Indonesia adalah 0,3–1%. Apabila penduduk
Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka
diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita
schizofrenia. Schizofrenia adalah gang- guan
mental yang sangat luas dialami di Indonesia,
dimana sekitar 99% Rumah Sakit Jiwa di
Indonesia adalah penderita schizofrenia
(Sosrosumihardjo, 2007).
Permasalahan utama yang sering terjadi
pada pasien Schizofrenia adalah perilaku
kekerasan. Hal ini sesuai dengan diagnosa
keperawatan NANDA yang biasa ditegakkan
berdasarkan pengkajian gejala psikotik atau
tanda positif. Kondisi ini harus segera
ditangani karena perilaku kekerasan yang
terjadi akan membahayakan diri pasien, orang
lain, dan lingkungan. Hal ini yang menjadi
alasan utama pasien Schizofrenia dibawa ke
rumah sakit.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
di mana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sen- diri, orang lain, maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen,
2006).
secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun terapi ini sudah dilaksanakan, hanya
orang lain, sering disebut juga gaduh gelisah pelaksanaannya belum optimal. Dengan
atau amuk dimana seseorang marah berespon demikian dampak dari psikoreligi terhadap
terhadap suatu stressor dengan gerakan penurunan perilaku kekerasan belum terlihat
motorik yang tidak terkon- trol (Stuart dan secara nyata. Berdasarkan latar belakang
Laraia, 2005), sedangkan kema- rahan diatas penulis tertarik untuk meneliti tentang
adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai Pengaruh penggunaan psikoreligius terhadap
respon terhadap kecemasan yang dirasakan penurunan perilaku kekerasan
sebagai ancaman (Keliat, 1996).
Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa
terda- pat hubungan yang sangat signifikan
antara komit- men agama dan kesehatan.
Orang yang sangat reli- gius dan taat
menjalankan ajaran agamanya relatif lebih
sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan
penyakitnya sehingga proses penyembuhan
penyakit lebih cepat (Zainul Z, 2007). Saat
ini perkembangan terapi di dunia kesehatan
sudah berkembang ke arah pendekatan
keagamaan (psikoreligius). Dari berba- gai
penelitian yang telah dilakukan ternyata
tingkat keimanan seseorang erat hubungannya
dengan ke- kebalan dan daya tahan dalam
menghadapi berbagai problem kehidupan
yang merupakan stresor psiko- sosial.
Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan
kese- hatan sebagai keadaan lengkap dari
kesejahteraan fisik, mental, sosial dan bukan
semata-mata katiada- an penyakit atau
kesakitan. Definisi kesehatan ini merupakan
pemicu dan pemacu penelitian dan prak- tik
di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi
kese- hatan mulai berkembang pesat sejak
saat itu, jika dikaitkan dengan faktor-faktor
psikologis yang mem- pengaruhi kesehatan
seseorang yang bertujuan untuk memperoleh
kesehatan dalam arti yang sesuai dengan
pengertian WHO di atas (Hasan, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada tanggal 4 Februari 2014,
dengan melihat catatan medik Rumah Sakit
Jiwa daerah Surakarta, jumlah pasien rawat
inap adalah sebanyak 116 pasien, dari jumlah
tersebut 90 pasien (77,5%) dirawat dengan
diagnosa Schizofrenia. Dari 90 pasien
schizofrenia yang masuk rawat inap dengan
riwayat perilaku kekerasan adalah sebanyak
98,8% atau 89 pasien (sumber: Instalasi
Rekam Medis RSJD Surakart, 2011). Rumah
Sakit Jiwa daerah Surakarta belum
mempunyai Standar Asuhan Keperawatan
(SAP) tentang terai psikoreligius, tetapi
pada pasien Skizofrenia di UGD dan ruang ada perbedaan respon perilaku setelah
rawat Intensif di RSJD Surakarta. dilakukan intervensi antara kelompok
perlakuan dengan ke- lompok kontrol berarti
pemberian psikoreligi berpe- ngaruh terhadap
METODE PENELITIAN penurunan respon perilaku. Seperti yang
disajikan dalam tabel 2 berikut ini:
Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen
dengan design penelitian menggunakan Pre and Tabel 2. Perbandingan Rerata Nilai Respon
Post test Control Group Design. Pengambilan Perilaku pada Pretest dan Posttest dalam
sampel dengan menggunakan teknik non Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
probability sampling dengan cara purposive
sampling untuk mencari pengaruh pemberian
psikoreligi terhadap penurunan perilaku kekerasan Variabel
Kelompok
Nilai p
pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Perlakuan Kontrol
Analisa dengan uji t test untuk membedakan nilai Pretest 3,95 3 ,9 0,901
pretest - postest antara kelompok perlakuan dan Posttest 0,15 2 ,55 0,000
kelompok kontrol.
DAFTAR RUJUKAN
Isaac, A. 2006. Panduan Belajar: Keperawatan
Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik, E/3. Alih
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA
MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT
MARZOEKI MAHDI BOGOR
ABSTRAK
Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah
satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga
dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian
adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku
kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan
tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P
value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar
beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.
ABSTRACT
Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation
of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of
family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and
the family ability to care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi
Hospital of Bogor. This study used analitical design and collected 103 samples using the purposive
sampling technique. This study result indicated a significant relationship between family’s burden and
family ability to care for patient with violent behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to
increase family capability in caring for patient with abusive behavior in order to lower the burden
perceived by the family.
P
Keluarga valu CI) Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
e
mayoritas responden memiliki pengetahuan
Sedang Tinggi
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,105
Beban Sedang 21 60,0 14 40,0 0,182 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini
Beban Ringan 14 38,9 22 61,1 0,010 0,429 (2011) mendukung penelitian ini yang
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 kekerasan memiliki penghasilan
Jumlah 69 67 34 33 rendah, yaitu penghasilan terendah
adalah Rp 150
Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13
responden yang mengalami beban berat dan
memiliki kemampuan tidak baik dalam
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil
uji analisis menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara beban dengan
kemampuan keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan P value <0,05.
PEMBAHASAN
jersey.Pearson Education.Inc.
Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,
&Ch andrashekar.,C.R.(2008)
Family burden, quality of life and
disabilityin obsesive compulsive
disorder;in Indian perspective.J
Postgradmed, 91-97.
Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi
suportif keluarga terhadap
kemampuan keluarga merawat
klien gangguan jiwa di kelurahan
Bubulak Bogor Barat. Depok.
Tesis. FIK UI
Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan
klien dan keluarga dalam
perawatan klien skizofrenia dengan
perilaku kekerasan di RSJP Bogor.
Disertasi. Jakarta.
Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The
complete family guide to
schizophrenia. New York: Guilford
press.
Nadya.R.(2009) Gambaran
kebahagiaan dan karakteristik
positif wanita dewasa madya yang
menjadi caregiver informal
penderita skizofrenia. Depok:
Fakultas psikologi UI.
Notoatmodjo.(2010)Ilmu
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes
DISUSUN OLEH
Indah Wahyuni (PO7120119043)
yufina_lucky@ymail.com
Abstract
Verbal abuse in children is all forms of greeting parents to children who are threatening, scaring, and insulting.
This happens every day at home should be the safest place and refuge for children. Economic, social, employment,
lack of knowledge to educate children and parents lack understanding of religion contributing cause parents do
violence on their children. Parents commit verbal violence as a way to educate children is naughty and not
obedient, so it is necessary to study in order to know the factors related to the behavior of parents in verbal
violence against children pre-school age. Quantitative research methods with descriptive analytic approach. The
research sample 76 people, with a proportionate random sampling technique. Instrument questionnaire. The
research variables include variables such as age, education, economics, attitudes, knowledge, experience,
environment, and the dependent variable is the verbal violent behavior. The analysis of univariate and bivariate
data using chi square test. Results of this study there was no correlation with the behavior of a parent education
did verbally abuse her son (p = .767), there is no economic relationship with the parents' behavior on their verbal
violence (p = .248), there is a correlation between age of knowledge, attitude, experience and the environment
there is a relationship with the parents' behavior on their verbal violence (p < 0,001).
Abstrak
Kekerasan verbal pada anak merupakan semua bentuk ucapan orang tua kepada anak yang bersifat mengancam,
menakuti, dan menghina. Hal ini terjadi setiap harinya di rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman dan
berlindung bagi anak. Ekonomi, lingkungan sosial, pekerjaan, kurangnya pengetahuan mendidik anak serta
pemahaman agama orang tua kurang yang turut berperan menjadi penyebab orang tua melakukan kekerasan pada
anaknya. Orang tua melakukan kekerasan verbal sebagai cara mendidik anak yang nakal dan tidak manut,
sehingga perlu dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
orang tua dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah. Metode penelitian kuantitatif dengan
pendekatan deskriptif analitik. Sampel penelitian 76 orang, dengan tekhnik proportionate random sampling. Alat
instrumen kuesioner. Variabel penelitian meliputi variabel bebas yaitu umur, pendidikan, ekonomi, sikap,
pengetahuan, pengalaman, lingkungan, dan variabel terikat yaitu perilaku kekerasan verbal. Analisa data secara
univariat dan bivariat menggunakan uji chi square. Hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan pendidikan
dengan perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya (p = 0,767), tidak terdapat hubungan
ekonomi dengan perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya (p = 0,248), terdapat hubungan
umur pengetahuan, sikap, pengalaman dan lingkungan terdapat hubungan dengan perilaku orang tua melakukan
kekerasan verbal pada anaknya (p < 0,001).
peka dengan perasaan orang lain, anak-anak yang agresif, yang pada
menganggu perkembangan, anak menjadi gilirannya akan menjadi orang dewasa
agresif, gangguan emosi, hubungan sosial yang agresif pula. Gangguan mental
terganggu, kepribadian sociopath atau (mental disorder) ada hubungannya
antisocial personality disosder, dengan perlakuan buruk yang diterima
menciptakan lingkaran setan dalam manusia ketika dia masih kecil.
keluarga, dan bunuh diri Faktor Ekstern
Faktor ekonomi
Beberapa faktor yang mempengaruhi orang Sebagian besar kekerasan rumah tangga
tua melakukan verbal abuse, diantaranya dipicu faktor kemiskinan, dan tekanan
(Soetjiningsih, 2002) : hidup atau ekonomi. Pengangguran,
Faktor Intern PHK, dan beban hidup lain kian
Faktor pengetahuan orang tua memperparah kondisi itu. Faktor
Kebanyakan orang tua tidak begitu kemiskinan dan tekanan hidup yang
mengetahui atau mengenal selalu meningkat, disertai dengan
informasi mengenai kebutuhan kemarahan atau kekecewaan pada
perkembangan anak, misalnya pasangan karena ketidakberda- yaan
anak belum dalam mengatasi masalah ekonomi
memungkinkan untuk melakukan menyebabkan orang tua mudah sekali
sesuatu tetapi karena sempitnya melimpahkan emosi kepada orang
pengetahuan orang tua anak sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah,
dipaksa melakukan dan ketika rentan, dan dianggap sepenuhnya milik
memang belum bisa orang tua, sehingga menjadikan anak
dilakukan orang tua paling mudah menjadi sasaran dalam
menjadi marah, membentak meluapkan kema- rahannya. Kemiskinan
dan mencaci anak. sangat berhubungan dengan penyebab
Orang tua yang kekerasan pada anak karena
mempunyai harapan-harapan yang bertambahnya jumlah krisis dalam
tidak realistik terhadap perilaku hidupnya dan disebabkan mereka
anak berperan memperbesar mempunyai jalan yang terbatas dalam
tindakan kekerasan mencari sumber ekonomi.
pada anak. Serta Faktor lingkungan
kurangnya pengetahuan orang tua Faktor lingkungan juga mem- pengaruhi
tentang pendidikan anak dan tindakan kekerasan pada anak.
minimnya pengetahuan agama Lingkungan hidup dapat meningkatkan
orang tua melatarbelakangi beban pera- watan pada anak. Dan juga
kekerasan pada anak. munculnya masalah lingkungan yang
Faktor pengalaman orang tua mendadak juga turut ber- peran untuk
Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat timbulnya kekerasan verbal. Telivisi
perlakuan salah merupakan situasi pencetus sebagai suatu media yang paling efektif
terjadinya kekerasan pada anak. Semua dalam menyampaikan berbagai pesan-
tindakan kepada anak akan direkam dalam
alam bawah sadar mereka dan akan dibawa
sampai kepada masa dewasa. Anak yang
mendapat perilaku kejam dari orang tuanya
akan menjadi agresif dan setelah menjadi
orang tua akan berlaku kejam pada anaknya.
Orang tua yang agresif akan melahirkan
127 kasus. Peringkat kedua berada di Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk
Kabupaten Sleman (123 kasus), disusul mengetahui faktor-faktor yang ber-
Kabupaten Bantul (60 kasus), lalu hubungan dengan perilaku orang tua
Kabupaten Gunungkidul (48 kasus) dan melakukan kekerasan verbal pada anak usia
terakhir Kabupaten Kulonprogo (36 kasus). pra sekolah, maka tujuan khusus penelitian
Jumlah tersebut menurun dibanding 2010 ini adalah hubungan umur, pendidikan,
dengan 191 kasus di Kota Yogyakarta, pendapatan, pengalaman, lingkungan dan
Kabupaten Sleman (184 kasus), Bantul (92 sikap orang tua dengan perilaku orang tua
kasus), Gunungkidul (87 kasus) dan terakhir melakukan kekerasan verbal pada anak usia
Kulonprogo (60 kasus). Meski terjadi pra sekolah. Hipotesis dalam penelitian ini
penurunan angka, tidak berarti kasus yaitu terdapat hubungan umur, pendidikan,
kekerasan terhadap anak juga telah ekonomi, pengalaman, lingkungan dan sikap
berkurang (Sujatmiko, 2013). orang tua dengan perilaku orang tua
melakukan kekerasan verbal pada anak usia
Penelitian ini akan dilakukan di Dusun pra sekolah.
Sawahan Kelurahan Pendowoharjo
Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul
METODE PENELITIAN
karena berdasarkan wawancara langsung
yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan Penelitian ini merupakan jenis penelitian
bahwa 16 dari 25 anak di daerah ini setiap kuantitatif dengan menggunakan metode
harinya medapatkan kata-kata yang tidak pendekatan deskriptif analitik. Populasi
pantas dari orang tua mereka maupun dalam penelitian ini adalah seluruh orang
kalimat yang bersifat mengancam dari orang tua yang memiliki anak usia prasekolah
tua. Orang tua menganggap hal yang biasa yaitu anak usia 3 sampai 6 tahun di Dusun
jika memarahi anak-anaknya dengan kata- Sawahan Kelurahan Pendowoharjo
kata yang tidak pantas. Selain alasan Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul yaitu
tersebut diatas, peneliti juga sebanyak 93 responden. Cara pengambilan
mempertimbangkan keadaan masyarakat di sampel yang telah dilakukan dalam
dusun Sawahan dimana orang tua terutama penelitian ini adalah proportionate random
ibu yang mayoritas memiliki latar belakang sampling, yaitu 76 responden. yaitu teknik
pendidikan yang masih rendah yaitu tamat pengambilan sampel tiap RT di Dusun
SMP dan 50 % sebagai ibu rumah tangga. Sawahan, Kelurahan Pendowoharjo,
Hal itu mengakibatkan stress yang Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul.
disebabkan himpitan ekonomi yang akan Selanjutnya jumlah responden tiap RT di
membuat orang tua mudah sekali Dusun Sawahan dipilih secara simple
meluapkan emosi, kekecewaan, kemarahan, random.
dan ketidakmampuannya kepada orang
terdekatnya, yaitu anak mereka. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu
perilaku orang tua terhadap kekerasan
Berdasarkan latar belakang, maka verbal pada anak pra sekolah, sedangkan
perumusan masalah dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah umur, pendidikan,
adalah “bagaimanakah faktor-faktor yang pendapatan, pengetahuan, sikap, lingkungan
berhubungan dengan perilaku orang tua dan pengalaman. Penelitian ini
melakukan kekerasan verbal pada anak usia menggunakan kuesioner sebagai alat
pra sekolah”. pengumpulan data. Instrumen penelitian
dikatakan berkualitas dan dapat
Umur adalah lama hidup individu terhitung Tingkat pendidikan merupakan jenjang
saat mulai dilahirkan sampai berulang tahun pendidikan terakhir yang ditempuh
(Notoatmojo, 2003). Hasil penelitian ini seseorang tingkat pendidikan merupakan
berbeda dengan teori (Notoatmojo, 2003) suatu wahana untuk mendasari seseorang
dimana semakin cukup umur, tingkat berprilaku secara ilmiah. Tingkat
kematangan seseorang akan lebih matang pendidikan yang rendah akan susah
dalam berfikir dan bekerja. Dari hasil mencerna pesan atau informasi yang
penelitian mengindikasikan bahwa dengan disampaikan (Notoatmodjo, 2003).
bertambahnya umur seseorang belum tentu
kematangan dalam berpikir semakin baik, Pendidikan diperoleh melalui proses belajar
dimana umur seseorang akan termotivasi yang khusus diselenggarakan dalam waktu
untuk tidak melakukan kekerasan verbal tertentu, tempat tertentu dan kurikulum
pada anak pra-sekolah. tertentu, namun dapat diperoleh dari
bimbingan yang diselenggarakan sewaktu-
Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap waktu dengan maksud memper- tinggi
dan pola pikir seseorang, semakin kemampuan atau ketrampilan khusus.
bertambah usia akan semakin berkembang Dalam garis besar ada tiga tingkatan
pula daya tangkap dan pola pikirnya, pendidikan yaitu pendidikan rendah,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya pendidikan menengah, dan tinggi.
Masing-masing tingkat pendidikan tersebut seseorang mencerna apa yang menjadi isi
memberikan tingkat pengetahuan tertentu pesan dari informasi khususnya dalam hal
yang sesuai dengan tingkat pendidikan. kerasan yang dilakukan orang tua terhadap
anak pra sekolah.
Pendidikan tentang perilaku orangtua dalam
melakukan kekerasan verbal terhadap anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
pra sekolah yang positif merupakan suatu ada hubungan antara pendapatan responden
proses mengubah kepribadian, sikap, dan dengan perilaku orang tua melakukan
pengertian tentang perilaku yang selama ini kekerasan verbal pada anak usia pra-sekolah
negatif sehingga tercipta pola perilaku yang di Dusun Pendowoharjo Kecamatan Sewon
baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Kabupaten Bantul. Pendapatan keluarga
Berpedoman pada tujuan pendidikan seringkali dikaitkan dengan status
diperkirakan bahwa semakin meningkatnya kemapanan ekonomi suatu keluarga.
pendidikan yang dicapai sebagian besar
penduduk, semakin membantu kemudahan Masalah keuangan seringkali mendorong
pembinaan akan pentingnya perilaku yang timbulnya stress pada orangtua. Aspek
positif dalam menghadapi kekerasan verbal keuangan dapat berupa tingkat penghasilan
pada anak pra sekolah. Dengan demikian keluarga yang rendah dandhadapkan pada
pendidikan pada dasarnya merupakan usaha tuntutan kebutuhan yang tinggi (Munawati,
dan tindakan yang bertujuan untuk 2011). Status ekonomi sangat berpengaruh
mengubah pengetahuan, sikap dan pada perkembangan hubungan orang tua
keterampilan manusia. Tingkat pendidikan dengan anak. Penelitian yang dilakukan
yang cukup merupakan dasar dalam Nugroho Akbar (2009) menyebutkan bahwa
pengembangan daya nalar serta sarana income yang diperoleh orangtua
untuk menerima pengetahuan. Kemam- berpengaruh terhadap tingkat perilaku
puan menerima seseorang akan lebih cepat pengasuhan orangtua. Orangtua dengan
jika orang tersebut memiliki latar belakang penghasilan rendah memiliki tingkat
pendidikan yang cukup. Pengertian tersebut perilaku yang lebih tinggi dalam melakukan
menggambarkan pendidikan bukan hanya kekerasan kepada anak dibandingkan
mempersiapkan masa depan agar lebih dengan orangtua yang memiliki penghasilan
cerah saja, melainkan untuk membantu tinggi.
setiap individu mengem- bangkan faktor
psikisnya menuju tingkat kedewasaan. Sejak Tingkat kepuasan orangtua terletak pada
dini pendidikan harus sudah diberlakukan seberapa baik orangtua mereka merasa
pada setiap individu agar menjadikan mampu memenuhi kebutuhan anak-
manusia berkualitas dan tidak menimbulkan anaknya. Orangtua yang kekurangan sumber
dampak yang negatif pada dirinya sendiri daya untuk merawat anak akan mengalami
atau orang lain khususnya. peningkatan perilaku negatif dalam
memenuhi tantangan kehidupan sehari-hari.
Diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat Ketika mengalami kesulitan ekonomi,
pendidikan seseorang maka semakin mampu orangtua akan menjadi mudah marah,
mengetahui, memahami ataupun tertekan dan frustasi, serta tekanan
menganalisis apa yang disampaikan psikologis mereka akan menurunkan
demikian sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan pengasuhan yang akan
pendidikan yang dimiliki maka semakin berpengaruh pada kekerasan (Stuart &
rendah atau tidak tahu pula Sundeen, 2006).
Humanika, Solihin, Lianny (2004) dari pengalaman yang berasal dari berbagai
berpendapat bahwa orangtua yang memiliki macam sumber seperti, media poster,
ketidakmatangan emosi berisiko melakukan kerabat dekat, media massa, media
kekerasan terhadap anak. Berdasarkan elektronik, buku petunjuk, petugas
analisis tambahan, kesehatan, dan sebagainya. Pengetahuan
kemampuan mengendalikan frrustasi yang dapat membentuk keyakinan tertentu,
menjadi salah satu aspek kematangan emosi sehingga seseorang berperilaku sesuai
berkorelasi positif dengan perilaku dengan keyakinannya tersebut (Nugroho,
kekerasan pada anak yang dilakukan 2009).
orangtua. Didukung oleh penelitian
Khusmas, Asniar. Hastarjo, Wimbarti. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa
(1997) yang menyatakan bahwa orangtua pengetahuan atau kognitif merupakan
yang melakukan kekerasan fisik dilaporkan domain yang sangat penting untuk
mempunyai perasaan negatif yang lebih terbentuknya tindakan seseorang (overt
besar (seperti marah, depresi, bingung dan behavior), dan Rogers (dalam Notoatmodjo,
jengkel) dibandingkan dengan orangtua 2003) menyimpulkan bahwa pengadopsian
yang tidak melakukan kekerasan fisik pada perilaku didasari oleh pengetahuan,
anaknya. kesadaran yang positif, maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa lasting) namun sebaliknya jika perilaku itu
pendapatan yang rendah seorang orangtua tidak didasari oleh pengetahuan dan
akan mengalami peningkatan perilaku yang kesadaran, maka perilaku tersebut bersifat
negatif dimana orangtua akan mudah marah, sementara atau tidak akan berlangsung lama
tertekan dan frustasi yang akan berujung (Notoatmodjo, 2003).
pada kekerasan verbal pada anak pra
sekolah. Kebanyakan orang tua tidak begitu
mengetahui atau mengenal informasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada mengenai kebutuhan perkembangan anak,
hubungan antara pengetahuan responden misalnya anak belum memungkinkan untuk
dengan perilaku orang tua melakukan melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya
kekerasan verbal pada anak usia pra- pengetahuan orang tua anak dipaksa
sekolah di Dusun Pendowoharjo Kecamatan melakukan dan ketika memang belum bisa
Sewon Kabupaten Bantul. Pengetahuan dilakukan orang tua menjadi marah,
adalah segala sesuatu yang ada dikepala membentak dan mencaci anak. Orang tua
kita. Kita dapat mengetahui sesuatu yang mempunyai harapan- harapan yang
berdasarkan pengalaman yang kita miliki. tidak realistik terhadap perilaku anak
Selain pengalaman, kita juga menjadi tahu berperan memperbesar tindakan kekerasan
karena kita diberitahu oleh orang lain. pada anak. Serta kurangnya pengetahuan
Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi orang tua tentang pendidikan anak dan
(Nugroho, 2009). minimnya pengetahuan agama orang tua
melatarbelakangi kekerasan pada anak.
Pengetahuan (knowledge) adalah suatu
proses dengan menggunakan pancaindra Pandangan yang keliru tentang posisi anak
yang dilakukan seseorang terhadap objek dalam keluarga. Orang tua menganggap
tertentu dapat menghasilkan pengetahuan bahwa anak adalah seseorang yang tidak
dan keterampilan (Notoatmojo, 2003). tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh
apapun berhak dilakukan oleh orang tua setuju dengan sikap yang di ekspresikan
(Shocib, 2000). mereka. Oleh karena itu, peneguhan yang
dilakukan orangtua sejak dini bisa
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa membentuk sikap yang di baca sampai besar
pengetahuan sangat berpengaruh kepada nanti, termasuk di antaranya tindak
perilaku seseorang, dimana bila seseorang kekerasan verbal yang dilakukan orangtua
mempunyai pengetahuan yang baik tidak terhadap anaknya.
menutup kemungkinan mempunyai peri-
laku yang positif yaitu orang tua tidak akan Semakin kuat satu sikap dalam pemikiran
melakukan kekerasan verbal pada anaknya, seseorang maka makin besar pengaruhnya
begitu pula sebaliknya apabila seseorang terhadap perilaku. Penelitian yang telah
mempunyai pengetahuan yang kurang tidak dilakukan menunjukkan bahwa sikap yang
menutup kemungkinan mempunyai perilaku dibentuk melalui pengalaman pribadi akan
yang negatif yaitu orang tua akan semakin kuat daripada sikap yang dibentuk
melakukan kekerasan verbal pada anaknya. berdasarkan informasi kedua atau sumber
Hasil penelitian yang dilakukan pada yang tidak langsung. Secara spesifik,
orangtua di dusun Sawahan Kelurahan sepertinya orang tidak hanya bisa
Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, menggunakan sikap sebagai dasar perilaku,
bahwa orangtua yang mempunyai penge- kita juga bisa membentuk sikap berdasarkan
tahuan baik sebagian besar mempunyai perilaku kita. Menurut Sarwono karena
perilaku yang positif, sedangkan orangtua pembentukan sikap yang paling efektif
yang mempunyai pengetahuan kurang adalah melalui pengalaman sendiri maka
sebagian besar mempunyai perilaku yang para pakar berusaha mengetahui sampai
negatif. seberapa jauh perilaku dapat mempengaruhi
terbentuknya sikap. Sebagaimana sikap
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dapat berpengaruh pada perilaku, sebaliknya
bahwa Ada hubungan antara sikap perilaku pun juga dapat membentuk sikap
responden dengan perilaku orang tua karena perilaku adalah pengalaman yang
melakukan kekerasan verbal pada anak usia paling langsung pada diri seseorang
pra-sekolah di Dusun Pendowoharjo (Nugroho, 2009).
Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul.
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa
merupakan reaksi atau respon yang masih hubungan antara sikap orangtua yang positif
tertutup dari seseorang terhadap suatu akan membawa perilaku orangtua untuk
stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak melakukan kekerasan verbal terhadap
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya anaknya, begitu pula sebaliknya apabila
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari orangtua mempunyai sikap yang negatif
perilaku yang tertutup. Sikap merupakan akan mempengaruhi perilakunya dalam
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek melakukan kekerasan verbal pada anaknya.
dilingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa Ada hubungan antara lingkungan
Orang tua dan anggota keluarga adalah responden dengan perilaku orang tua
orang pertama yang memberikan peneguhan melakukan kekerasan verbal pada anak usia
terhadap sikap seseorang. Kita biasanya pra-sekolah. Lingkungan juga
akan cenderung untuk menerima mempengaruhi tindakan kekerasan pada
penghargaan, seperti pujian, hadiah, dan
pengauan dari anggota keluarga kalau kita
anak. Lingkungan hidup dapat mening- tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman
katkan beban perawatan pada anak. Dan merupakan sumber pengetahuan, atau
juga munculnya masalah lingkungan yang pengalaman itu merupakan suatu cara untuk
mendadak juga turut berperan untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan.
timbulnya kekerasan verbal. Televisi Oleh sebab itu pengalaman pribadi dapat
sebagai suatu media yang paling efektif pula dijadikan sebagai upaya untuk
dalam menyampaikan berbagai pesan- pesan memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan
pada masyarakat luas yang merupakan dengan cara mengulang kembali
berpotensial paling tinggi untuk pengetahuan yang diperoleh dalam
mempengaruhi perilaku kekerasan orang tua memecahkan persoalan yang dihadapi pada
pada anak. masa lalu (Notoatmodjo, 2003).
Orang tua menjadi memiliki masalah berat Perilaku yang didasari oleh pengetahuan
dalam hubungannya dengan anak-anak akan lebih baik dibandingkan perilaku yang
mereka. Orang tua menjadi memiliki tidak didasari oleh pengetahuan karena
konsep-konsep yang kuat dan kaku didasari oleh kesadaran, rasa tertarik, dan
mengenai apa yang benar dan apa yang adanya pertimbangan dan sikap positif.
salah bagi anak-anak mereka. Semakin Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat
yakin orang tua atas kebenaran dan nilai- perlakuan salah merupakan situasi pencetus
nilai keyakinannya, semakin cenderung terjadinya kekerasan pada anak. Semua
orang tuamemaksakan kepada anaknya tindakan kepada anak akan direkam dalam
(Stuart dan Sundeen, 2006). alam bawah sdar mereka dan akan dibawa
sampai kepada masa dewasa. Anak yang
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa mendapat perilaku kejam dari orangtuanya
lingkungan berpengaruh besar terhadap akan menjadi agresif dan setelah menjadi
perilaku orangtua dalam melakukan orang tua akan berlaku ejam pada anaknya.
kekerasan verbal terhadap anak pra sekolah, Orangtua yang agresif akan melahirkan
hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang anak-anak yang agresif, yang pada
dilakukan di dusun Sawahan Kelurahan gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, agresif pula. Khusmas, Asniar, Hastarjo, &
yang diketahui orang tua yang mempunyai Wimbarti (1997).
lingkungan baik mempunyai perilaku yang
cenderung tidak melakukan kekerasan Dari hasil penelitian diketahui bahwa
verbal pada anaknya, tetapi sebaliknya pengalaman orangtua berpengaruh besar
orang tua yang mempunyai lingkungan terhadap perilaku orangtua dalam mela-
buruk cenderung melakukan kekerasan kukan kekerasan verbal terhadap anak pra-
verbal terhadap anaknya. Berdasarkan hasil sekolah. Orang tua yang mempunyai
penelitian didapatkan bahwa ada hubungan pengalaman baik mempunyai perilaku yang
antara lingkungan responden dengan cenderung tidak melakukan kekerasan
perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya, tetapi sebaliknya
verbal pada anak usia pra-sekolah di Dusun orang tua yang mempunyai pengalaman
Pendowoharjo Kecamatan Sewon buruk cenderung melakukan kekerasan
Kabupaten Bantul. verbal terhadap anaknya.
KESIMPULAN http://www.yogyakarta.bpk.go.id/wp.
content/upload/20114/08/pergub-34- th-
Pada akhir penelitian ini, maka dapat
2013-pdf
disimpulkan sebagai berikut :
Terdapat hubungan antara umur dengan
Choirunnisa. (18 Maret 2008). Dampak
perilaku orang tua melakukan kekerasan
kekerasan verbal pada anak. Diambil dari
verbal pada anaknya (x2 = 8,330, p = 0,016).
okezone online. Diakses dari
Tidak terdapat hubungan antara pendidikan
http://m.okezone.com
dengan perilaku orang tua melakukan
kekerasan verbal pada anaknya (x2 = 2,532,
Humanika, Solihin, Lianny. (2004).
p = 0,767).
Tindakan Kekerasan pada Anak dalam
Tidak terdapat hubungan antara pendapatan
Keluarga..Jurnal Pendidikan Penabur -
dengan perilaku orang tua melakukan
No.03 / Th.III / Desember 2004
kekerasan verbal pada anaknya (x2 = 2,792,
p = 0,248).
Irwanto.(2000). Tindak kekerasan terhadap
Terdapat hubungan antara
anak. Surabaya: PT Lutftansa Mediatama.
pengetahuan dengan perilaku orang tua
melakukan kekerasan verbal pada anaknya
Khusmas, Asniar, Hastarjo, T. D, Wimbarti,
(x2 = 44,239, p = 0,000).
S. (1997). Peran Fantasi agresif tentang
Terdapat hubungan sikap dengan perilaku
perilaku agresif anak- anak. Jurnal
orang tua melakukan kekerasan verbal pada
Psikologi. No 1 , 21-29
anaknya (x2 = 18,698, p = 0,000).
Terdapat hubungan pengalaman dengan
Munawati. (2011). Hubungan Verbal Abuse
perilaku orang tua melakukan kekerasan
dengan Perkembangan Kognitif pada Anak
verbal pada anaknya. (x2 = 20,476, p =
Usia Prasekolah di RW 04 Kelurahan
0,000)
Rangkapan Jaya Baru Depok .Jakarta:
Terdapat hubungan lingkungan dengan
Skripsi. Jakarta. Fakultas Ilmu-ilmu
perilaku orang tua melakukan kekerasan
Kesehatan Program Studi Ilmu
verbal pada anaknya (x2 = 16,631, p =
Keperawatan: Universitas Pembangunan
0,000)
Nasional “Veteran”
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, A (2009). Faktor-faktor yang
Undang-undang Republik Indonesia mempengaruhi orang tua melakukan verbal
Nomor 23 Tahun 2002. Diambil online. abuse pada anak usia prasekolah. Skripsi.
Retrieved from (tidak diterbitkan). Semarang. Universitas
http://www.kpai.go.id?hukum/Undan g- Muhammadiyah Semarang
undang-UU-RI-no-23-tahun-2002- tentang-
perlindungan- anak/ditayangkan oleh admin Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi
KPAI- 10-09-2013 penelitian kesehatan. Edisi revisi.
Jakarta: Rineka Cipta
Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun
2013 tentang Rencana Aksi Daerah Notoatmojo, S. (2003). Ilmu kesehatan
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban masyarakat: prinsip-prinsip dasar.
Kekerasan Tahun 2013-2017. Diambil Jakarta: Rineka Cipta. 2003
online. Diakses dari
Abstract: Psikoreligius Therapy, Violent Behavior in Patients with Schizophrenia, Decline in Violent
Behavior. Schizophrenia is a clinical syndrome or disease processes that affect, perception, emotion,
behavior, and social functioning. The main problem that often occurs in patients with schizophrenia are
violent behavior. Violent behavior is a condition where a person perform actions that can physically harm
either to yourself, others, and the environment. In the management of violent behavior are three strategies,
namely: strategy deep breath, hit the pillow, chatting with others, Spiritual and psikoreligius obat.Sedangkan
utilization is part of the spiritual strategy. The purpose of this study was to determine the effect Psikoreligius
to decrease violent behavior in patients with schizophrenia. Research Methods. The research is a Quasi-
experimental, research design using One Group Pre and Post Test Design. Sampling using non-probability
sampling technique with purposive sampling. Analysis of the data used is paired t test.
Keywords: psikoreligius therapy, violent behavior in patients with schizophrenia, decline in violent behavior
Abstrak: Terapi Psikoreligius, Perilaku Kekerasan pada Pasien Schizofrenia, Penurunan Perilaku
Kekerasan. Schizofrenia merupakan suatu syndrome klinis atau proses penyakit yang mempengaruh,
persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial. Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien Schizofrenia
adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Dalam manajemen
perilaku kekerasan terdapat 3 strategi yaitu: strategi nafas dalam, pukul bantal, bercakap-cakap dengan orang
lain, spiritual dan pemanfaatan obat. Sedangkan psikoreligius merupakan bagian dari strategi spiri- tual.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Psikoreligius terhadap penurunan perilaku
kekerasan pada pasien Schizofrenia. Metode Penelitian. Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen, desain
penelitian menggunakan One Group Pre and Post test Design. Pengambilan sampel dengan meng- gunakan
teknik non probability sampling dengan cara purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah uji
paired t test.
Kata Kunci: terapi psikoreligius, perilaku kekerasan pada pasien schizofrenia, penurunan perilaku kekerasan
Untuk mendapatkan kesehatan mental yang prima, Nurjanah (2004). Selanjutnya kondisi ini dapat me-
tidaklah mungkin terjadi begitu saja. Selain menye- nyebabkan timbulnya gangguan jiwa dalam tingkat
diakan lingkungan yang baik untuk pengembangan ringan maupun berat yang memerlukan penanganan
potensi, dari individu sendiri dituntut untuk di rumah sakit baik di rumah sakit jiwa atau di unit
melakukan berbagai usaha menggunakan berbagai perawatan jiwa di rumah sakit umum, salah
kesempatan yang ada untuk mengembangkan satunya adalah penderita schizophrenia (Nurjanah,
dirinya. 2004).
Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap Schizofrenia merupakan suatu sindrome klinis atau
peningkatan kualitas maupun kuantitas penyakit proses penyakit yang mempengaruhi kognisi,
mental-emosional manusia Hidayati (2000) dalam persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
72
schizofrenia mempengaruhi setiap individu dengan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang
cara yang berbeda. Derajat gangguan pada fase lain, sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk
akut atau fase psikotik dan fase kronis atau fase dimana seseorang marah berespon terhadap suatu
jangka panjang sangat bervariasi diantara individu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkon-
(Videbeck, 2008). trol (Stuart dan Laraia, 2005), sedangkan kema-
Menurut Isaac (2004), 1% populasi penduduk rahan adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai
dunia mengalami schizofrenia dalam hidupnya, 95% respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai
penderita schizofrenia mengidap penyakit ini seumur ancaman (Keliat, 1996).
hidup, penderita schizofrenia menempati 25% tem- Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terda- pat
pat tidur rawat inap rumah sakit. Kurang lebih hubungan yang sangat signifikan antara komit- men
33%– 50% tunawisma di Amerika serikat agama dan kesehatan. Orang yang sangat reli- gius
menderita Schizofrenia. Lebih dari 50% penderita dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih
schizofrenia bermasalah dengan alkohol atau obat- sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan
obatan yang mungkin berusaha mengatasi sendiri penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakit
gejala-gejala stressnya. Di seluruh Asia, lebih cepat (Zainul Z, 2007). Saat ini perkembangan
diperkirakan 2–10 dari setiap 1000 penduduk terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah
mengalami schizofrenia, dan 10% diantaranya perlu pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berba-
diobati dan dirawat intensif karena telah sampai gai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat
pada taraf yang mengkhawatir- kan. keimanan seseorang erat hubungannya dengan ke-
Prevalensi penderita schizofrenia di Indonesia kebalan dan daya tahan dalam menghadapi
adalah 0,3–1%. Apabila penduduk Indonesia sekitar berbagai problem kehidupan yang merupakan
200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa stresor psiko- sosial.
menderita schizofrenia. Schizofrenia adalah gang- Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan kese- hatan
guan mental yang sangat luas dialami di Indonesia, sebagai keadaan lengkap dari kesejahteraan fisik,
dimana sekitar 99% Rumah Sakit Jiwa di Indonesia mental, sosial dan bukan semata-mata katiada- an
adalah penderita schizofrenia (Sosrosumihardjo, penyakit atau kesakitan. Definisi kesehatan ini
2007). merupakan pemicu dan pemacu penelitian dan prak-
Permasalahan utama yang sering terjadi pada tik di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi kese-
pasien Schizofrenia adalah perilaku kekerasan. Hal hatan mulai berkembang pesat sejak saat itu, jika
ini sesuai dengan diagnosa keperawatan NANDA dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis yang mem-
yang biasa ditegakkan berdasarkan pengkajian pengaruhi kesehatan seseorang yang bertujuan
gejala psikotik atau tanda positif. Kondisi ini harus untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang sesuai
segera ditangani karena perilaku kekerasan yang dengan pengertian WHO di atas (Hasan, 2008).
terjadi akan membahayakan diri pasien, orang lain, Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada
dan lingkungan. Hal ini yang menjadi alasan utama tanggal 4 Februari 2014, dengan melihat catatan
pasien Schizofrenia dibawa ke rumah sakit. medik Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta, jumlah
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana pasien rawat inap adalah sebanyak 116 pasien, dari
seseorang melakukan tindakan yang dapat jumlah tersebut 90 pasien (77,5%) dirawat dengan
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sen- diagnosa Schizofrenia. Dari 90 pasien schizofrenia
diri, orang lain, maupun lingkungan. Hal tersebut yang masuk rawat inap dengan riwayat perilaku
dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal kekerasan adalah sebanyak 98,8% atau 89 pasien
atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan (sumber: Instalasi Rekam Medis RSJD Surakart,
Sundeen, 2006). 2011). Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta belum
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat mempunyai Standar Asuhan Keperawatan (SAP)
yang ekstrim dari rasa marah atau ketakutan yang tentang terai psikoreligius, tetapi terapi ini sudah
mal adaptif (panik). Perilaku agresif dan peri- laku dilaksanakan, hanya pelaksanaannya belum optimal.
kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai Dengan demikian dampak dari psikoreligi terhadap
suatu dimana agresif verbal di suatu sisi dan penurunan perilaku kekerasan belum terlihat secara
perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain. nyata. Berdasarkan latar belakang diatas penulis
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh penggunaan
seseorang melakukan tindakan yang dapat psikoreligius terhadap penurunan perilaku kekerasan
membahayakan
pada pasien Skizofrenia di UGD dan ruang rawat ada perbedaan respon perilaku setelah dilakukan
Intensif di RSJD Surakarta. intervensi antara kelompok perlakuan dengan ke-
lompok kontrol berarti pemberian psikoreligi berpe-
METODE PENELITIAN ngaruh terhadap penurunan respon perilaku. Seperti
Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen dengan yang disajikan dalam tabel 2 berikut ini:
design penelitian menggunakan Pre and Post test
Control Group Design. Pengambilan sampel Tabel 2. Perbandingan Rerata Nilai Respon Perilaku
pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan
dengan menggunakan teknik non probability
dan Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di
sampling dengan cara purposive sampling untuk RSJD Surakarta
mencari pengaruh pemberian psikoreligi terhadap Kelompok
penurunan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia Variabel Nilai p
Perlakuan Kontrol
di RSJD Surakarta. Analisa dengan uji t test untuk Pretest 3,95 3 ,9 0,901
membedakan nilai pretest - postest antara kelompok Posttest 0,15 2 ,55 0,000
perlakuan dan kelompok kontrol.
Sedangkan penurunan respon perilaku antara
HASIL PENELITIAN pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
Responden penelitian ini adalah pasien
yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
Skizofrennia yang dirawat di RSJD Surakarta Seperti yang terlihat pada tabel 3 berikut ini:
tahun 2014. Jumlah responden dalam penelitian ini
sebanyak 40 responden, dengan pembagian 20 res- Tabel 3. Perbandingan Penurunan Respon Perilaku
ponden menjadi kelompok perlakuan, dimana pada Pretest dan Postest Kelompok Perlakuan dan
responden diberikan terapi psikoreligi, sedangkan Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD
20 responden menjadi kelompok kontrol yang tidak Surakarta
diberikan terapi psikoreligi. Rerata Nilai Respon Perilaku Pretest
Kelompok PostestNilai p
Kondisi awal rerata respon perilaku adalah 3,95.
Perlakuan 3,95 0,15 0,000
Rerata nilai respon verbal adalah 3,35. Rerata nilai Kontrol 3,90 2,55 0,01
respon emosi adalah 4,15 dan rerata nilai respon
fisik adalah 2,42. Hasil uji t test nilai rerata respon verbal antara
Dari hasil analisis statistik untuk pretest, dapat pretest dan post test dalam kelompok perlakuan
diketahui bahwa respon perilaku, respon verbal, dan kelompok kontrol menunjukan ada perbedaan
respon emosi, dan respon fisik antara kelompok yang bermakna (p < 0,05). Keadan ini menunjukan
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan bahwa bahwa ada perbedaan respon verbal setelah
tidak ada perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 ), dilakukan inter- vensi antara kelompok perlakuan
sehingga dapat dikatakan bahwa antara kedua dengan kelompok kontrol. Seperti yang disajikan
kelompok homogen . Seperti dalam tabel berikut ini dalam tabel 4 berikut ini:
1:
Tabel 1.Rerata Nilai Respon Responden menurut Tabel 4. Perbandingan Rerata Nilai Respon Perilaku
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan
Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta dan Kelompok Control pada Pasien Skizofrennia di
RSJD Surakarta
Variabel Rerata Kelompok Nilai Perlakuan
Nilai
Kelompok Nilai Perlakuan
p Variabel
Kontrol Kontrol p
Respon perilaku 3,925 3,95 3,9 0,901 Pretest 3,4 3,3 0,714
Respon verbal 3,35 3,4 3,3 0,714 Post test 0,9 2,25 0,001
Respon eEmosi 4,15 4,3 4 0,138
Sedangkan penurunan respon perilaku antara
Respon fisik 2,425 2,45 2,4 0,711pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
Hasil uji t test nilai rerata respon perilaku antara yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
pretest dan post test dalam kelompok perlakuan Seperti yang terlihat pada tabel 5 berikut ini:
dan kelompok kontrol menunjukkan ada yang ber-
makna (p < 0,05). Keadan ini menunjukan bahwa
Tabel 5. Perbandingan Penurunan Respon Verbal Pre- Tabel 8. Perbandingan Rerata Nilai Respon Fisik pada
test dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan dan
Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD
Surakarta
Rerata Nilai Respon Perilaku
Pretest Postest Nilai Kelompo k
Kelompok Variabel Perlakuan Kontrol Nilai p
p
Perlakuan 3,4 0,9 0,000 Pretest Posttest 2,45 2,4 0,7 11
Kontrol 3,3 2,25 0,037 0,15 1,2 0,0 00
ABSTRAK
Perilaku kekerasan pada penderita Skizofrenia merupakan salah satu proses marah yang diekspresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Pengalaman keluarga
mengenai perilaku kekerasan digunakan sebagai arah dalam memberikan bimbingan dalam
meningkatkan kemampuan keluarga dalam perawatan penderita Skizofrenia dirumah. Penelitian
bertujuan menguraikan pengalaman keluarga dalam merawat penderita skizofrenia dengan masalah
utama perilaku kekerasan. Desain penelitian dengan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan
fenomenologi deskriptif. Partisipan penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang menderita perilaku kekerasan yang sedang dirawat di RSJ Jakarta, sejumlah 6 orang. Data
didapatkan dengan teknik wawancara mendalam dilengkapi catatan lapangan. Wawancara direkam
selanjutnya dibuat transkrip wawancara. Selanjutnya hasil wawancara dianalisa menggunakan teknik
analisa data Collaizi. Hasil penelitian menemukan lima tema yang berhubungan dengan pengalaman
keluarga yang merawat penderita perilaku kekerasan yakni : pengetahuan keluarga mengenai penyakit,
upaya pengobatan, fungsi keluarga, dukungan sosial, dan penerimaan keluarga mengenai kesiapan
merawat. Hasil penelitian memberikan informasi paparan tentang kondisi yang dialami keluarga
tentang pengalaman keluarga dalam merawat penderita Skizofrenia, khususnya dengan masalah utama
perilaku kekerasan. Paparan tersebut dapat dipergunakan sebagai landasan dalam merancang
intervensi keperawatan pada keluarga yang sesuai. Diharapkan adanya peningkatan program
pelayanan kesehatan jiwa keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam
memaksimalkan fungsi perawatan dirumah.
ABSTRACT
Violent behavior in schizophrenics is one of the angry processes expressed by carrying out threats,
injuring others, and damaging the environment. Family experience regarding violent behavior is used
as a direction in providing guidance in improving the family's ability to care for schizophrenics at
home. The study aims to describe family experience in treating schizophrenics with the main problem
of violent behavior. Research design with qualitative research methods through descriptive
phenomenological approach. The participants of this study were families who had family members
who were suffering from violent behavior who were being treated in Jakarta Hospital, a total of 6
people. Data obtained by in-depth interview techniques equipped with field notes. Recorded
interviews are then made interview transcripts. Furthermore, the results of the interviews were
analyzed using Collaizi data analysis techniques. The results of the study found five themes related to
family experiences that care for sufferers of violent behavior, namely: family knowledge about illness,
treatment efforts, family functions, social support, and family acceptance regarding caring readiness.
The results of the study provide exposure information about conditions experienced by families about
family experiences in treating schizophrenia sufferers, especially with the main problem of violent
behavior. The exposure can be used as a basis for designing nursing interventions in the appropriate
family. It is expected that there will be an increase in family and community mental health service
programs to improve the ability of families to maximize the function of home care.
Odien Rosidin
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa odienrosidin@untirta.ac.id
John Pahamzah
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa jpahamzah@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi mendalam tentang dampak pajanan sinetron remaja di televisi
swasta nasional terhadap perilaku kekerasan verbal oleh siswa Sekolah Menengah Pertama
Negeri 3 Kota Serang. Penelitian ini memiliki karakteristik yang relevan dengan penelitian
kualitatif. Berdasarkan tujuan dan data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan metode
deskriptif. Penyediaan data dilakukan dengan menerapkan metode simak. Peneliti menyimak
tuturan-tuturan dalam dialog sinetron remaja yang ditayangkan SCTV, RCTI, MNC TV, dan
Indosiar. Metode simak dilakukan dengan menerapkan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik
lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat. Responden penelitian ini
sebanyak 30 orang siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Kota Serang. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan metode analisis kontekstual. Bentuk-bentuk kekerasan verbal
yang ditemukan dalam sinetron remaja di televisi swasta nasional yang ditonton oleh para siswa
adalah kutukan, menghina, memarahi, menampar, berteriak, memaksa, mengancam, dan
menuduh. Sebagian besar responden menyadari bahwa pertunjukan sinetron mengandung konten
kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Sebagian besar responden mengakui bahwa mereka suka
meniru adegan kekerasan verbal, baik ketika di lingkungan sekolah maupun di rumah.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita, kehadiran media massa sudah bukan hal yang asing. Alat komunikasi,
seperti televisi, radio, koran, dan film adalah hal yang biasa (Tulasi, 2012:137). Hari ini nyaris
tidak ada anak yang tidak dapat mengakses media, baik media cetak, elektro- nik, maupun
internet. Semua jenis media tersedia dengan bebasnya. Penekanan khusus di sini dapat diberikan
kepada media elektro- nik televisi karena anak-anak lebih mengge- marinya. Ditambah
kenyataan hampir tidak ada rumah di Indonesia hari ini yang tidak memiliki televisi kecuali
karena sebab khusus (Muzayyad, 2011:5).
Menurut Andina (2014:119), kekerasan seakan menjadi bagian keseharian kita. Masya- rakat
diberi tayangan dan informasi kekerasan dari berbagai penjuru: televisi, media sosial, tempat
kerja, sekolah, jalanan, bahkan orang- orang terdekat. Selanjutnya, Sitompul (2016:
31) menyatakan bahwa hampir semua tayang- an di televisi memuat adegan kekerasan di
dalamnya, mulai dari program informasi kri- minal, berita, film, sinetron, reality show, iklan,
dan bahkan film kartun pun yang merupakan tayangan anak-anak memuat adegan kekerasan.
Kekerasan adalah hal yang paling banyak mewarnai acara-acara televisi saat ini, baik lokal
maupun impor. Kekerasan terdapat dalam tayangan berita ataupun hiburan, seperti sinetron,
movie, sinema, kartun bahkan dalam tayangan acara anak-anak. Kekerasan telah menjadi
fenomona umum yang tersaji mulai dalam acara berita hingga humor sebagai tontonan hiburan
(Amelia dan Fitriyani, 2016: 194). Menurut Bushman dan Anderson (2012), keterpaparan
terhadap kekerasan media menyebabkan peningkatan agresi yang signifikan. Dalam konteks itu,
dampak dari menonton tayangan televisi adalah adanya kecenderungan perilaku meniru setiap
adegan. Berkait dengan paparan tersebut, Har- yatmoko (2007:110) menyatakan bahwa dalam
kekerasan terkandung dominasi terhadap pihak lain dalam pelbagai bentuknya: fisik, verbal,
moral, atau melalui gambar. Penggunaan ke- kuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak
benar, pengondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan
ungkapan nyata kekerasan. Selan- jutnya, Poerwandari (2004:13) berpendapat bahwa kekerasan
dapat dibatasi sebagai tin- dakan yang sengaja (intensional) untuk me- maksa, menaklukkan,
mendominasi, mengen- dalikan, menguasai, menghancurkan, melalui cara-cara fisik, psikologis,
deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya dalam beragam bentuknya. Atau, tindakan yang
mungkin tidak disengaja, bukan intensional, tetapi didasari oleh ketidaktahuan (ignorancy),
kekurang- pedulian, atau alasan-alasan lain, yang menye- babkan subjek secara langsung atau
tidak lang- sung terlibat dalam upaya pemaksaan, penak- lukan, penghancuran, dominasi, dan
peren- dahan manusia lain.
Simpen (2011:450) menguraikan bahwa
selama ini istilah kekerasan hanya dimaksudkan sebagai kekerasan fisik. Misalnya, pemukulan,
penganiayaan, atau pembunuhan. Dengan demikian, tindakan seseorang atau kelompok yang
dianggap melakukan kekerasan hanyalah mencakup: pemukulan, penganiayaan, pem- bunuhan,
dan atau perusakan terhadap barang atau bangunan orang lain. Kekerasan tidak di-
sangkutpautkan dengan dampak mental, seperti penghinaan, fitnah, menyindir, meng- ancam,
membentak, menghardik, dan mencaci maki.
Penelitian yang berkaitan dengan feno- mena kekerasan verbal dengan segala bentuk
perwujudannya telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu dengan tujuan dan metode
yang berbeda-beda, antara lain (1) Elga Andina (2014) yang melakukan penelitian berjudul
“Anime dan Persepsi Budaya Keke- rasan pada Anak Usia Sekolah”; (2) Rahim Sitompul (2016)
yang melakukan penelitian berjudul “Pengaruh Tayangan Kekerasan di Televisi terhadap
Perilaku Agresif Siswa Kelas IV SD Negeri 020275 Binjai Timur”; dan (3) Riski Amelia dan
Ruri Fitriyani (2016) yang
bungan intensitas menonton tayangan keke- rasan di televisi dengan perilaku agresif yang
dilakukan anak usia sekolah di Madrasah Diniyah Nurul Huda Pajar Bulan. Semakin tinggi
intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi, semakin tinggi perilaku agresif. Subjek yang
diteliti sebanyak 70 orang siswa kelas III dan IV yang berumur 10—12 tahun. Pengumpulan data
dilakukan dengan meng- gunakan dua skala, yaitu skala intensitas menonton tayangan kekerasan
di televisi dan skala perilaku agresif. Metode analisis data yang digunakan untuk menguji
hipotesis adalah dengan analisis regresi sederhana. Hasil analisis yang diperoleh adalah
koefisien korelasi sebesar R=0,807 dengan p = 0,000 (p< 0, 01), artinya hipotesis diterima.
Dari hasil peninjauan terhadap penelitian tersebut, diperoleh gambaran bahwa peneliti- an
tentang kekerasan verbal yang terdapat di dalam tayangan sinetron remaja di televisi swasta
nasional dan dampaknya terhadap perilaku kekerasan verbal siswa sekolah me- nengah pertama
belum dilakukan oleh peneliti lain. Selain itu, penelitian-penelitian tersebut tidak ada yang
menghasilkan temuan terkait dengan rumusan perilaku kekerasan verbal di lingkungan sekolah
yang terjadi sebagai dam- pak pajanan tayangan kekerasan di televisi. Dengan demikian, temuan
dan hasil yang di- capai penelitian ini berbeda dengan penelitian- penelitian sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang masalah ter- sebut, penelitian ini merupakan studi men- dalam
terhadap dampak sinetron remaja di televisi swasta nasional terhadap perilaku keke- rasan verbal
yang dilakukan siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang. Sinetron remaja di televisi
nasional dibatasi dalam pe- nelitian ini sebagai sinetron yang mengangkat tema seputar kisah
kehidupan anak muda atau remaja dengan segala problematikanya yang ditayangkan di stasiun
televisi swasta serta populer di masyarakat sehingga memiliki ra- ting tinggi. Stasiun televisi
swasta tersebut dipilih karena memiliki program tayangan
sinetron yang cukup banyak dan variatif. Si- netron yang dipilih untuk diteliti adalah sinet- ron
yang tayang sore hari sampai malam hari dengan pertimbangan ditonton oleh anak sekolah,
termasuk siswa sekolah menengah pertama (SMP) karena mereka sudah pulang dari sekolah.
Penelitian ini dianggap memiliki relevansi dengan kajian semantik dan pragmatik, khu- susnya
telaah dengan objek sinetron remaja yang selama ini jarang dibicarakan dalam kon- teks
pembahasan semantik atau pragmatik. Pemahaman secara menyeluruh dan men- dalam terhadap
kekerasan verbal diharapkan dapat memperkaya wawasan sekaligus me- mecahkan
permasalahan yang terkait dengan perilaku kekerasan verbal, khususnya yang dilakukan siswa di
lingkungan sekolah.
KAJIAN PUSTAKA
Kekerasan verbal adalah kekerasan yang menggunakan bahasa, yaitu kekerasan yang
menggunakan kata-kata, kalimat, dan unsur- unsur bahasa lainnya. Diungkapkan oleh Bar- yadi
(2012:36) bahwa kekerasan verbal ter- wujud dalam tindak tutur yang dapat disebut sebagai
tindak tutur kekerasan. Tindak tutur kekerasan, selain ditandai oleh intonasi yang tinggi, juga
ditandai kelugasan pengungkapan serta kata-kata yang menyakitkan hati, misal- nya kata-kata
jorok atau kata-kata makian yang merendahkan pihak lain.
Menurut Simpen (2011:454), kekerasan verbal merupakan tindakan berbahasa yang
menyebabkan tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain,
kekhawatiran orang lain, dan terancamnya orang lain. Dalam penjelasan berikutnya, Simpen
(2011:465) menyatakan bahwa ber- tolak dari pengertian kekerasan, dapat dibuat klasifikasi
mengenai jenis-jenis tindakan ber- bahasa yang dianggap merupakan kekerasan verbal.
Kekerasan verbal, antara lain menyin- dir, memfitnah, menuduh, mengejek, me- nakut-nakuti,
mencaci maki, dan mengancam.
Baryadi (2012:37—38) memaparkan bahwa tindak tutur kekerasan dapat dibeda- kan menjadi
empat jenis, yaitu (a) tindak tutur kekerasan tidak langsung; (b) tindak tutur kekerasan langsung;
(c) tindak tutur kekerasan represif; dan (d) tindak tutur kekerasan alie- natif. Tindak tutur
kekerasan tidak langsung adalah kekerasan verbal yang tidak seketika itu juga mengenai korban,
tetapi melalui me- dia atau proses berantai. Tindak tutur keke- rasan tidak langsung, misalnya
terwujud dalam fitnah, stigmasi, dan penstereotipan (stereotyp- ing). Tindak tutur kekerasan
langsung adalah tindak kekerasan yang langsung menimpa pada korban pada saat komunikasi
verbal berlangsung. Tindak tutur kekerasan alienatif adalah tindak tutur yang bermaksud men-
jauhkan, mengasingkan, atau bahkan mele- nyapkan korban, dari komunitas atau masya-
rakatnya.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini memiliki karakteristik yang relevan dengan penelitian kualitatif, yakni prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
yang dapat diamati (Moleong, 2000:3). Sejalan dengan itu, Miles dan Huberman (1992:15)
menyatakan bahwa salah satu hal yang terdapat di dalam penelitian kualitatif adalah data yang
muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Ber- dasarkan tujuan dan data yang
diperoleh, pe- nelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni bertujuan membuat gambaran,
lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data sifat-sifat, serta hubungan
fenomena- fenomena yang diteliti untuk mencapai kepa- daan eksplanatif (explanative
adequacy).
Penyediaan data penelitian ini dilakukan dengan mengimplementasikan metode simak. Peneliti
menyimak seluruh tuturan di dalam sinetron remaja yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI,
Indosiar, dan MNC setiap hari dari pukul 16.00 s.d. 23.00 masing-masing selama
satu Minggu, yakni Minggu ke-2 Oktober 2019. Penyimakan dilakukan untuk menemu- kan
tuturan yang mengekspresikan kekerasan verbal. Jenis metode simak yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah simak bebas libat cakap (SBLC) sebab peneliti hanya menyimak tuturan di
dalam sinetron remaja yang dita- yangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC. Metode simak
dilakukan dengan me- nerapkan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik itu dilakukan terhadap
tuturan di dalam sinetron remaja yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC yang
me- representasikan kekerasan verbal.
Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat. Teknik ini digunakan
untuk menjaring data dengan cara mencatat hasil penyimakan dan penyadapan. Pencatatan data
disesuaikan dengan identifi- kasi masalah penelitian dan disertai interpretasi yang diperlukan,
yakni penafsiran dan argu- mentasi terhadap semua data yang ditemu- kan dari sumber data.
Untuk mengumpulkan data tindak tutur yang merepresentasikan kekerasan verbal dalam
tayangan sinetron digunakan perekam- an atau pencatatan dengan menggunakan lembar
pengamatan. Adapun data kekerasan verbal yang dilakukan oleh siswa yang dipe- ngaruhi
intensitas menonton tayangan sinetron dijaring dengan menggunakan instrumen berupa
kuesioner, yang disusun dan dibagikan kepada responden untuk mendapatkan data terpancing.
Responden penelitian ini adalah siswa SMPN 3 Kota Serang. Peneliti ini menetapkan jumlah
responden dengan menggunakan tek- nik pengambilan sampel atau contoh dengan teknik
purposive sampling. Dalam hal ini, siswa yang dipilih sebagai responden adalah siswa kelas VII,
VIII, dan IX sebanyak 30 orang. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa setiap jenjang
kelas akan terwakili se- hingga sifat atau karakter siswa sekolah me- nengah pertama dapat
tergambarkan secara representatif.
Dalam penelitian ini, analisis data dilaku- kan dengan menggunakan metode analisis
kontekstual, yakni analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhi- tungkan,
dan mengaitkan identitas konteks- konteks yang ada. Pada tahap analisis, data yang sudah
terkumpul melalui kuesioner se- lanjutnya dipilah-pilah dengan teknik iden- tifikasi. Dengan
teknik ini, data dapat diklasi- fikasi berdasarkan jenis data. Setelah data dikla- sifikasikan, data
yang tersedia dideskripsikan, dinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka teori yang
dijadikan landasan. Data intensitas menonton sinetron remaja dan keke- rasan verbal yang
diperoleh melalui jawaban kuesioner, selanjutnya dianalisis secara kualita- tif untuk memperoleh
temuan bentuk keke- rasan verbal yang dipengaruhi oleh tayangan kekerasan dalam sinetron
yang ditonton. Data yang telah diklasifikasikan oleh peneliti se- lanjutnya dideskripsikan sesuai
dengan teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini.
ANALISIS DATA
DAN HASIL PENELITIAN
Berdasarkan tanyaan kuesioner terhadap 30 orang responden, diperoleh jawaban bahwa siswa
memiliki kebiasaan menonton televisi dengan durasi dan frekuensi yang ber- beda-beda. Namun,
temuan yang menarik adalah terdapat dua orang responden yang menjawab bahwa mereka
menonton televisi lebih dari dua jam setiap hari. Jawaban res- ponden tersebut menggambarkan
fakta bahwa setiap hari, siswa tidak pernah luput atau tertinggal menonton acara-acara di
televisi.
Berdasarkan jawaban responden, tam- pak bahwa acara yang paling banyak digemari adalah
sinetron dan film. Hal ini menunjukkan kedua jenis tayangan televisi tersebut merupa- kan acara
yang digandrungi oleh sebagian anak sekolah atau remaja. Beberapa alasan yang di- kemukakan
oleh responden terkait dengan sinetron sebagai acara yang digemari adalah
(1) sinetron menghibur dan tidak membosan-
kan; (2) sinetron itu menarik dan mengasyik- kan; (3) sinetron itu menampilkan pemain atau
bintang yang menarik; (4) sinetron itu seru untuk ditonton; (5) sinetron ada pelajarannya atau
hikmahnya untuk remaja; (6) menonton sinetron itu sangat cocok dengan jiwa remaja; dan (7)
sinetron menceritakan hal yang me- narik sehingga tidak membosankan.
Judul sinetron yang paling banyak dipilih sebagai sinetron yang digemari oleh respon- den
adalah (1) Cinta Karena Cinta, (2) Cinta Anak Muda, (3) Anak Langit, dan (3) Azab. Dari
keempat judul yang paling banyak dipilih oleh responden, terdapat satu sinetron, yakni Azab
yang segmentasinya tidak secara khusus membidik kaum remaja. Artinya, sinetron ini adalah
sinetron yang ditujukan kepada umum. Hal itu berbeda dengan judul-judul sinetron lainnya yang
langsung membidik segmentasi penonton anak muda, termasuk remaja. Dalam konteks itu,
sinetron-sinetron tersebut secara spesifik bertema percintaan dengan segala pernak-perniknya.
Stasiun televisi SCTV merupakan stasiun televisi yang dipilih oleh 20 responden. Hal itu
menunjukkan bahwa stasiun ini memiliki tayangan sinetron yang lebih banyak atau do- minan
dibandingkan stasiun televisi lain. Dengan demikian, tidak mengherankan bila SCTV banyak
disukai kalangan penonton remaja, termasuk siswa sekolah menengah pertama (SMP). Sinetron
di stasiun televisi ini memiliki jam tayang yang cukup banyak di- bandingkan mata acara
lainnya.
Berdasarkan jawaban responden, diketa- hui bahwa hampir setiap hari, di televisi dita- yangkan
acara sinetron dengan jam tayang yang berbeda-beda. Selain itu, berdasarkan jawaban
responden, diketahui bahwa siswa menonton sinetron hampir setiap hari, yakni ada yang
menonton siang hari, sore hari, atau- pun malam hari. Hal itu sejalan dengan waktu luang yang
mereka miliki, yakni sepulang sekolah sampai sebelum tidur bila tidak ada aktivitas lain.
Responden menganggap sinet- ron remaja di televisi memberi manfaat selain
hanya bersifat hiburan. Dalam konteks itu, responden beralasan bahwa sinetron tidak selamanya
menampilkan atau menyajikan hal- hal yang tidak berguna. Dengan demikian, bagi mereka,
kesukaan menonton sinetron tidak berdampak kerugian.
Sebagian besar responden tahu dan me- nyadari bahwa dalam tayangan sinetron di televisi
terdapat konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Untuk mengetahui jenis tindak kekerasan
verbal yang dilihat responden ketika menonton tayangan sinetron, respon- den diminta untuk
menyebutkan contoh- contoh kekerasan verbal yang mereka ketahui. Berikut ini adalah jawaban
yang dikemukakan oleh responden.
Jawaban responden tersebut menunjuk- kan bahwa sebenarnya mereka menyadari bahwa dalam
tayangan televisi terdapat ujaran yang merepresentasikan tindakan kekerasan verbal. Tindakan
tersebut menjadi bagian dari dialog yang dilakukan oleh para tokoh peme- ran. Meskipun
tayangan sinetron remaja yang ditonton oleh responden bermuatan konten kekerasan verbal,
ternyata berdasarkan jawab- an responden, sebagian besar menyatakan bahwa mereka menonton
sinetron tanpa di- dampingi oleh orang dewasa, baik orang tua maupun saudara. Alasan yang
dikemukakan
oleh responden yang menjawab tidak didam- pingi oleh orang tua saat menonton sinetron adalah
sebagai berikut: (1) orang tua mereka sibuk kerja/berwira usaha; (2) malu; (3) me- rasa lebih
nyaman atau enak menonton sendiri;
(4) orang tua tidak mengharuskan; dan (5) sinet- ron yang ditonton bukan acara yang mencon-
tohkan bahaya atau hal yang tidak pantas.
Sebenarnya, risiko bahaya yang akan muncul sebagai dampak menonton sajian konten kekerasan
di dalam sinetron diketahui oleh para responden. Hal itu tampak dari jawaban responden yang
sebagian besar mengungkapkan bahwa mereka menyadari risiko atau bahaya terlalu banyak
menonton tayangan sinetron yang mengandung konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal.
Meski- pun demikian, terdapat responden yang men- jawab bahwa mereka tidak mengetahui
risiko atau bahaya menonton sinetron. Bahkan, ter- dapat satu orang responden yang menjawab
tidak memedulikannya.
Dampak yang secara riil terjadi sebagai
akibat paparan tayangan kekerasan verbal dari sinetron yang ditonton tampak terjadi se-
bagaimana diakui responden. Hal itu tampak dari jawaban sebagai berikut.
Berdasarkan jawaban tersebut, diketahui bahwa perilaku dan ucapan tokoh dalam sinetron
banyak ditiru untuk diperagakan, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah.
Peniruan itu dilakukan, baik untuk
sekadar bercanda atau main-main maupun untuk tujuan menyakiti orang lain.
PENUTUP
Intensitas siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang dalam menonton sinetron remaja di
televisi swasta nasional diketahui dengan menganalisis jawaban responden. Ber- dasarkan
jawaban responden, diketahui bahwa sebagian besar menonton televisi setiap hari dengan durasi
tidak tentu; sebagian menjawab kurang dari dua jam; dan sebagian menjawab lebih dari dua jam.
Program yang paling banyak digemari oleh responden adalah sinet- ron dan film. Bentuk
kekerasan verbal yang ditemukan di dalam tayangan sinetron remaja di televisi swasta nasional
yang ditonton siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang yang menjadi responden
penelitian adalah memaki, menghina, memarahi, mengusir, membentak, memaksa, mengancam,
dan menuduh.
Dampak menonton sinetron remaja di televisi swasta nasional terhadap perilaku ke- kerasan
verbal yang dilakukan siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang diketahui dengan
menganalisis jawaban responden. Se- bagian besar responden menyadari bahwa tayangan
sinetron mengandung konten keke- rasan, termasuk kekerasan verbal. Sejalan dengan itu,
sebagian besar responden juga menyadari bahaya atau risiko terpapar tayang- an kekerasan.
Sebagian besar responden mengakui suka meniru adegan kekerasan ver- bal dari tayangan
sinetron, baik ketika di ling- kungan sekolah maupun lingkungan rumah. Meskipun tayangan
sinetron mengandung ke- kerasan, responden sebagian besar mengakui bahwa mereka tidak
didampingi orang de- wasa atau orang tua saat menonton sinetron dengan pelbagai alasan.
DAFTAR PUSTAKA
Andina, Elga. 2014. “Anime dan Persepsi Budaya Kekerasan pada Anak Usia Sekolah”.
Aspirasi Volume 5, Nomor 2, Desember
2014, 119—130.
Amelia, Riski dan Fitriyani, Ruri. 2016. “Hu- bungan Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan
di Televisi dengan Perilaku Agresif yang Dilakukan Anak Usia Seko- lah di Madrasah Diniyah
Awaliyah Nurul Huda Pjar Bulan”. PSIKIS-Junal Psikologi Islam Volume 2, Nomor 2, 195—
202.
Baryadi, I. Praptomo. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda- karya.
Muzayyad, Idy. 2011. “Literasi Media Mulai dari Kita” Dalam Dadang Rahmat Hida- yat dkk.
(eds.), Panduan Sosialisasi Literasi Media Televisi.Jakarta: KPI:, 1—22.
ABSTRAK
Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia.
Salah satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang
dirasakan keluarga dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku
kekerasan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan
keluarga merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.
Desain penelitian adalah analitikdengan tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga
dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga
merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar beban yang dirasakan keluarga menjadi
berkurang.
ABSTRACT
Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical
manifestation of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could
lower the ability of family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the
relationship of family’s burden and the family ability to care for patient with violent behavior at
the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi Hospital of Bogor. This study used analitical design and
collected 103 samples using the purposive sampling technique. This study result indicated a
significant relationship between family’s burden and family ability to care for patient with violent
behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to increase family capability in caring for
patient with abusive behavior in order to lower the burden perceived by the family.
METODE
PEMBAHASAN
Meri Natalia Simare Mare1, Dirman Laia2, Hikmah Sukitiro3, Fanny Fadillah4, Icca
Cerahwati5 , Reynhad Daniel Manurung6
Merrysimaremare122@gmail.com
Abstrak
Terapi modalitas yang tepat untuk mengatasi Risiko prilaku kekerasan yaitu
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan sensori, untuk memusatkan perhatian, kesegaran
jasmani dan mengespresikan perasaan.Terapi ini dilakukan menggunakan
aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dalam kehidupan
untuk mendiskusikan dalam kelompok. Dengan aktifitas kelompok ini, maka
akan memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, meningkatkan
pengobatan, dan pemulihan kesehatan (Pratiwi., 2020).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan ini Pasien dapat lebih menerapkan stategi
pelaksanaan Risiko Perilaku Kekerasan secara fisik dan sosial dalam
mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan.
1. Ny. Tiurma
2. Ny. Rebecca
3. Ny. Juli
4. Tn.Budi Harsono
5. Tn.Aseng
6. Tn. Acong
Observer
P P
Fasilitator Fasilitator
P P
P P
Fasilitator
Keterangan Gambar:
L :Leader
CL :Co Leader
F :Fasilitator
O : Observer
2.7.2 Co.Leader :
1. Mendampingi Leader
2. Menjelaskan aturan permaian
3. Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader tentang aktivitas
Pasien
4. Mengingatkan leader jika kegiatan menyimpang dari perencanaan
yang telah di buat
5. Mengambil alih posisi leader jika leader mengalami blocking
dalam proses terapi
2.7.3 Fasilitator :
1. Menyediakan fasilitas selama kegiatan berlangsung ikut serta
dalam kegiatan kelompok
2. Memfasilitasi dan memberikan stimulus dan motivator pada
anggota kelompok untuk aktif mengikuti jalannya terapi
2.7.4 Observer :
1. Mengobservasi jalannya proses kegitan
2. Mengamati serta mencatat perilaku verbal dan non verbal pasien
selama kegiatanberlangsung (dicatat pada format yang tersedia)
3. Mengawasi jalannya aktivitas kelompok dari mulai persiapan,
proses , hingga penutupan
4. Memberikan hadiah (reward) bagi pasien yang menang dalam
permainan.
2. Evaluasi/Vasilidasi
Leader menanyakan perasaan dan keadaan Pasien saat ini.
3. Kontrak
a. Menjelaskan tujuan kegiatan
b. Menjelaskan aturan main yaitu :
1) Berkenalan dengan anggota kelompok
2) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus
minta izin pada pemimpin TAK
3) Lama Kegiatan 45 menit
4) Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
2.10.5 Evaluasi
1. Pasien mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir kegiatan
2. Kerja sama Pasien dalam kegiatan
3. Pasien merasa senang selama mengikuti kegiatan
d. Kemampuan Spritual
Pasien mengatakan setiap bangun tidur atau melakukan kegiatan selalu
diawali dengan doa. Pasien selalu mengikuti kegiatan ibadah di
Yayasan pemenang jiwa sumatera.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dwijayanti, D. A., Lestari, R. T. R., Lestari, N. K. Y., Wati, N. M. N., & Masta, I.
Makhruzah, S., Putri, V. S., & Yanti, R. D. (2021). Pengaruh Penerapan Strategi
Pelaksanaan Perilaku Kekerasan terhadap Tanda Gejala Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. Jurnal
Akademika Baiturrahim Jambi, 10(1), 39-46.
http://dx.doi.org/10.36565/jab.v10i1.268
Pardede, J. A., & Ramadia, A. (2021). The Ability to Interact With Schizophrenic
Patients through Socialization Group Activity Therapy. International
Journal of Health Science and Medical Research, 1(1), 06-10.
http://ijhsmr.com/index.php/ijhsmr/article/view/6
14.http://114.7.97.221/index.php/NERS/article/view/1005
Pardede, J. A., & Laia, B. (2020). Decreasing Symptoms of Risk of Violent
Behavior in Schizophrenia Patients Through Group Activity
Therapy. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(3), 291-
300.http://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/621/338
431.http://dx.doi.org/10.33087/jiubj.v19i2.690
ABSTRACT
The violence behavior on children is often performed by the closest people of them, such as parents,
family, and school environment. There are four categories of violence acts on children: negligence, physical
assault, psychological and emotional harassment, and sexual harassment. This paper explores the
counseling or the supporting towards the children experiencing the violence behaviors. Furthermore,
those behaviors include the types of abuse acts, the causes of violence acts, and the counseling given to
the children and family that encounter the violence behaviors.
PENDAHULUAN
Anak merupakan dambaan setiap pasangan yang telah menikah. Bagi pasangan yang
tidak bisa atau belum dikarunia anak, pasti akan sangat berharap hadirnya seorang anak
dalam kehidupan mereka. Melalui berbagai cara dan usaha dilakukan untuk memperoleh
anak. Berbeda dengan pasangan yang telah memiliki anak, berbagai cara memperlakukan
anak, ada yang otoriter dengan alasan sangat menyanyangi anak-anak mereka, ada yang
tipe otoritatif anak diperlakukan bebas, terbatas dan bertanggungjawab, ada lagi tipe
yang selain kedua di atas yaitu tipe permisif. Tipe ini biasanya membiarkan anak-anak
mereka mengatur hidup mereka sendiri, mungkin karena kesibukan orangtua atau tidak
mengetahui cara mengasuh anak. Anak adalah amanah atau titipan Allah SWT kepada
kita. Untuk itu diperlukan ilmu dan kesabaran dalam mengasuh, mendidik dan merawat
anak.
Keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak (Mansur: 2005). Berawal
dari keluarga, anak belajar berbagai hal. Namun, terkadang melalui keluarga dan orang-
orang terdekat, anak memperoleh perilaku kekerasan. Kekerasan terhadap anak(menurut
Wikipedia:2015) adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional,
atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau
serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang
dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman
yang berbahaya kepada anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah
anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau
organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap
anak yaitu: pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan
seksual anak.Beberapa kasus yang memiliki kategori kekerasanpada anak antara lain:
kasus yang dialami DA (10) anak yang disetrika oleh ibu tirinya berinisial S (33) hingga
mengakibatkan luka melepuh di bagian pipi. (23 Maret 2015); Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menganggap kalau sekolah kini bukan tempat yang aman bagi
anak. Sekolah yang seharusnya memberikan perlindungan dan pengetahuan berganti
menjadi tempat yang menakutkan bagi anak."Fenomena punishment bermuatan kekerasan
masih terjadi. Masa orientasi
siswa baru belum steril dari kekerasan," kata Susanto komisioner KPAI bidang pendidikan
kepada wartawan. Masalah bullying, lanjut Susanto masih jadi tradisi dibeberapa sekolah.
Perbuatan senior yang melakukan penindasan kepada junior dianggap biasa. "Ini diabaikan oleh
sekolah. Seolah ada pembenaran terkait muatan kekerasan itu," tambahnya. Titik-titik rawan
kejahatan seksual, lanjut Susanto di sekolah antara lain laboratorium komputer, toilet, lokasi
sekolah yang tak terekam oleh CCTV, kolam renang. "Jadi tetap harus berhati-hati saat berada
di sekolah. Bagi sekolah harus selalu evaluasi sejauh mana bisa bertindak tanpa kekerasan
dalam proses belajar mengajar," tutup Susanto. (Metro sindonws: 2015)
Selain itu, pengaduan tindak kriminal anak dan perempuan Kota Depok meningkat dibanding
tahun lalu. Pada tahun 2014 tercatat ada 113 kasus, tahun ini bertambah menjadi 204 kasus.
Anggota Komisi D DPRD Kota Depok Rezky M. Noor mengaku miris dengan meningkatnya
kasus kekerasan anak dan perempuan. Peningkatan tersebut dipicu pula oleh tingginya
kesadaran masyarakat untuk melapor ketika menjadi korban kekerasan. "Adanya peningkatan
laporan kasus ini kami rasa bukan karena tindakan kriminal melainkan karena para korban dan
warga berani melaporkan kejadian kepada pihak kepolisian," kata Rezky usai pertemuan
dengan pihak kepolisian Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Polresta Kota Depok. (Metro
Sindonews:2015)
Data pengaduan kejahatan terhadap anak yang diterima oleh Polresta Depok kekerasan
terhadap anak mencapai 36 kasus, persetubuhan terhadap anak 40 kasus, pencabulan terhadap
anak 32 kasus. "Dari temu wicara kami dengan aparat Kepolisian setiap harinya mendapatkan
sekitar 15 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan," katanya. Sebelumnya, seorang anak
tunarungu menjadi korban perkosaan tetangganya sendiri. DR, siswi kelas V sebuah SLB di
Depok diduga diperkosa ketika pulang sekolah. Saat itu korban baru saja turun dari jemputan
dan jalan kaki menuju rumahnya seorang diri. Korban kemudian ditarik pelaku ke lahan kosong
dan diduga disetubuhi.
Demikianlah beberapa kasus perilaku kekerasan pada anak yang secara kuantitas tiap tahun
menunjukkan peningkatan dan secara kualitas menunjukkan kekerasan yang parah dan
memberikan luka yang mendalam baik secara fisik maupun psikis. Masalah ini tidak dapat
dipungkiri akan berdampak yang luar biasa bagi anak baik dimasa sekarang maupun masa akan
datang. Tulisan selanjutnya akan menguraikan jenis-jenis perilaku kekerasan, penyebab
perilaku kekerasan dan bantuan konseling yang dapat diberikan bagi anak dan keluarga yang
mengalami perilaku kekerasan.
Pertemuan ke 2 dan seterusnya dilakukan konselor sebagai proses konseling yang terdiri,
pengungkapan masalah dari anak dan keluarga, melakukan proses treatment, penyadaran diri
anak, aktualisasi diri dan sampai akhirnya St perlahan-lahan mengubah perilakunya yang kaku
seperti robot. Dia berhenti sakit dan sering menangis. Akhirnya, dia diterima oleh anak-anak
teman sebayanya dalam kelas dan mereka mulai bermain catur bersama-sama. Pada puncak
kesembuhannya, St menemukan bahwa lebih nyaman menjadi anak laki-laki daripada tetap
menjadi makhluk planet/robot.
PENUTUP
Demikianlah uraian tentang konseling terhadap perilaku kekersan pada anak dan salah satu
contoh kasus anak dengan perilaku keras atau sikap otoriter orangtua. Melalui proses konseling
yang berkali-kali dan cukup lama, serta peran serta orangtua dan keluarga, anak dapat
mengalami perubahan dan penyembuhan. Namun kesembuhan anak yang terjadi tidak berarti
anak sehat 100%, akan tetapi harus terus dibarengi dengan mengkondisikan hubungan dan
lingkungan yang sehat, tetap memberikan perhatian dan kasih sayang yang optimal. (*)
REFERENSI
*E-mail: msubuo61@uottawa.ca
Abstrak
Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
penderita terhadap orang- orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat.
Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari keluarga, masyarakat dan profesional
keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam hubungannya
dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan
yang dilakukan oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist
Grounded Theory. Metode pengumpulan data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen
reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan metode Paillé. Perilaku
kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang
lain. Dampak stigmatisasi dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan aparat. Hasil temuan ini relevan untuk
para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku kekerasan.
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah
terkait stigma dengan perilaku kekerasan.
Pendahuluan
Para ahli memperkirakan 15% populasi global akan memiliki masalah gangguan jiwa tahun
2020 (Harpham, et al., 2003). Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya mengala- mi
dampak akibat gejala dan penyakit, tetapi juga stigmatisasi (Kapungwe, 2010). Prevalen-
si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7 per 1000 dan ODGJ ringan sekitar 6% dari total
populasi (Kemenkes, 2013). Tujuh puluh lima persen ODGJ mengalami stigma dari masyara-
kat, pemerintah, petugas kesehatan dan media (Hawari, 2001). Perilaku kekerasan ODGJ
menjadi penyebab utama stigmatisasi di ma- syarakat dan tenaga kesehatan.
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan & Watson, 2005). Profesional dalam pelaya-
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien dalam
keperawatan jiwa yang lebih tinggi (Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku kekerasan
merupakan kejadian umum di RS (Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se- bagian besar
perawat, beresiko menjadi korban kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- Pierre, 2012).
ODGJ menghadapi stigmatisasi yang menyebabkan mereka rentan terhadap perilaku kekerasan
orang. ODGJ lebih sering menjadi korban daripada pelaku kekerasan (Stuart, 2004), menjadi
korban fisik dan seksual (Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor- ban kejahatan dan diskriminasi
(Katsikidou, et al., 2012). Sepu-luh persen penderita adalah korban kekerasan (Schomerus, et
al., 2008).
Suatu penelitian di Australia mengungkapkan bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah mengalami serangan fisik dan 57% setelah
mengalami kekerasan seksual (McFarlane, Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke- kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke- luarga
dan bukan orang asing. Mereka sering dipukul atau diancam oleh anggota keluarga mereka
(Katsikidou, et al., 2012; Solomon, Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur intensif
mengungkapkan bahwa penelitian tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum fokus pada
dampaknya terhadap perilaku ke- kerasan pada ODGJ. Penelitian ini mem- berikan analisis
mendalam untuk memahami hubungan antara stigmatisasi dengan perilaku kekerasan pada
ODGJ.
Metode
Penelitian ini memberikan pemahaman subs- tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan
Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem- puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak 30
partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk memastikan saturasi data (Charmaz, 2006). Para
partisipan hanya yang memiliki kemam- puan membaca dan menulis, berusia 18 tahun atau
lebih, mengalami gangguan jiwa dan stigma.
Pengumpulan data melalui wawancara semi- berstruktur yang direkam menggunakan digital
audio. Telaah dokumen juga digunakan seba- gai triangulasi data untuk meningkatkan pro-
babilitas kredibilitas interpretasi data (Lincoln & Guba, 1985). Dokumen tersebut berupa
hardcopy dan elektronik seperti laporan, log perawat, pre dan post konferensi, moto, visi dan
misi RS. Memo digunakan untuk mendo- kumentasikan pengalaman dalam laporan ker- tas
yang menjelaskan proses berpikir peneliti. Catatan lapangan dari observasi dan refleksi data,
merupakan bagian dari pendekatan ref- leksif proses analitis data (Charmaz, 2006).
Analisis data menggunakan metode Paille (1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
menghubungkan kategori, integrasi, konsep- tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan Cowley
(2004) terdapat tiga tahapan analisis yaitu koding awal, fase menengah, dan
pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi (koding awal), menghubungkan kategori dan
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi dan teorisasi (pengembangan akhir). Tahap
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam bentuk
kode secara terorganisir (proses pembentukan kode). Tujuannya adalah mem- beri nama,
mengungkap, meringkas dan mem- beri label, baris demi baris, dari data trans- kripsi.
Kodifikasi ini membantu mengidenti- fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal dan
pembentukan kategori. Tahap kategorisasi adalah untuk menggambarkan fenomena se- cara
umum atau peristiwa yang muncul dari data yang kemudian dibuat daftar kategori. Tahap ini
adalah untuk menentukan kategori dengan mengidentifikasi variasi dalam data dapat
dijelaskan dengan kategori lain. Tahap integrasi adalah menentukan fenomena- fenomena yang
telah diamati secara empiris. Dengan mengintegrasikan hubungan antara kategori, peneliti
mengidentifikasi kongruensi tertentu yang muncul antara data dan arah penelitian yang
diambil selama analisis. Tahap konseptualisasi adalah proses pengembangan dan klarifikasi
konsep-konsep yang muncul dan menjelaskan konsep tersebut dengan kata- kata dan untuk
memberikan definisi konsep- tual secara verbal. Proses ini memungkinkan peneliti untuk
memahami fenomena penelitian dan kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori- sasi merupakan
proses konstruksi untuk me- nguatkan teori atau pemahaman susbstantif. Tidak semua
penelitian grounded theory menghasilkan teori; akan tapi pemahaman yang mendalam dan
substantif merupakan hasil akhir dari sebuah penelitian dengan grounded theory Charmaz
(2006).
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran,
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data dari berbagai
sumber diantaranya melalui wawancara, cata- tan lapangan, dan memo. Koding data dengan
kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng- gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
pengalaman partisipan terkait stigma dengan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan kata-
kata partisipan yang sebenarnya untuk menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti- kulasikan
dengan asumsi, posisi epistemologis dan teoritis yang memengaruhi proses peneli- tian.
Dilakukan evaluasi diri sebagai instrumen dan melihat efek peneliti yang dilakukan melalui
refleksi diri dan memoyang ditulis dalam jurnal.
Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
dengan jelas proses berpikir peneliti (Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini, auditabilitas
dilakukan dengan kriteria untuk merumuskan pemikiran, bagaimana dan mengapa para
partisipan dalam penelitian ini dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu- nakan kerangka
yang disajikan oleh Paille (1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang- kah dalam analisis data
dan memastikan bah- wa pembaca dapat memahami bagaimana data itu didapatkan atau
dibentuk oleh partisipan dan peneliti.
Fittingness atau transferabilitas berarti hasil penelitian memiliki arti yang sama pada situasi
serupa (Chiovitti & Piran, 2003). Dalam penelitian ini, selama proses koding, semua data yang
dibuat kode telah diperiksa oleh seorang pakar lain untuk melakukan cek eksternal yang terkait
dengan hasil penelitian.
Hasil
Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri. Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja menyakiti
diri sendiri. Seorang pasien meng- gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial menyebabkan
ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri. Rasa takut terhadap orang lain juga menjadi
pencetus ide bunuh diri.
“...kadang saya tidak bisa mengendalikan diri sampai saya berkeinginan bunuh diri. Saya
mencoba bunuh diri tiga kali dengan
minum racun tapi saya tidak mati ... Dengan penyakit jiwa, kepercayaan diri saya rendah. Saya
merasa bingung; dengan orang lain, saya takut. Saya takut melihat orang lain.“ (P1).
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain dan Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah
melakukan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga atau kerabat.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga dan saya menjadi beban keluarga saya. Karena
kesulitan dalam hidup, saya harus berada di sini (RSJ). Otak saya punya banyak masalah. Jadi,
saya marah dan melakukan kekerasan di rumah dan selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” (P1).
Pasien yang melakukan kekerasan sering disembunyikan oleh keluarga, sehingga mereka
terisolasi di masyarakat.
“L [teman] punya keluarga dengan penyakit jiwa; jika [pasien] melakukan kekerasan, ia
menghancurkan atap, rumah, dll. Jadi keluarga merahasiakan dan menyembunyikannya.
Mereka [pasien dan keluarga] jarang diundang oleh masyarakat. Jadi, mereka terisolasi.
Mereka terpinggirkan... stigmakan?” (P11).
Pasien juga melakukan kekerasan terhadap fasilitas umum, dan menghancurkan barang-
barang.
“Saya melemparkan asbak. Ceritanya, saya kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar dengan angsuran.
Seratus, lima puluh, uang saya dari BJB lebih banyak... Saya marah; Saya tidak bisa
mengendalikan diri. Saya jadi marah, seperti itu. Kemudian, saya dibawa ke sini (RSJ).” (P13).
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi. Pasung dan seklusi masih digunakan untuk menangani
penderita gangguan jiwa. Beberapa perawat menunjukkan bahwa ada pasien diikat, dirantai,
atau dimasukkan ke dalam
balok kayu.
“Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ. Banyak sekali kita menerima pasien yang telah
dipasung, terikat, dirantai, dimasuk- kan ke dalam balok kayu; tapi, ada juga pasung, seperti
menempatkan penderita di ruangan kecil dan dikasih makanan sekali sehari. Beberapa pasien
tidak bisa ber- jalan, kurus dan kurang gizi. Mereka tidak dapat berbicara. Keluarga mereka
kaya; jika mereka ingin membawa pasien ke RS, saya yakin mereka mampu” (P13).
Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga mengakui
beberapa pasien yang memiliki riwayat pasung di rumah karena mereka melakukan kekerasan,
mereka menggang- gu masyarakat. Mungkin [mereka] tidak tahu cara merawat orang dengan
penyakit jiwa. Hal ini masuk akal juga, kan? Mungkin lebih baik bagi mereka untuk
menyelamatkan orang-orang daripada merawat ODGJ.” (P9).
Perawat lain mengatakan bahwa beberapa pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar negeri.
Mereka dikurung oleh keluarga saat mereka kembali.
“Mereka dikait di pilar besar. Ada yang diletakkan di kandang kambing atau ayam. Mereka
dikurung seperti kambing. [Pasien] buang air besar, makan disitu, seperti binatang. Ini bukan
cerita tapi saya melihatnya langsung; Saya itu saksi kondisi ini. Enam pasien telah dibawa ke
RS. Ya, beberapa dari daerah ini mengirimkan banyak pekerja di Jawa Barat. Jadi mereka stres
karena mereka bekerja di Arab Saudi. Mereka stres, dan kembali ke Indonesia dikurung oleh
keluarganya.” (P15).
Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah penyakit jiwa (P1).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ,
melanggar hak-hak seseorang.
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang-orang
melakukan kejahatan terha- dap mereka, seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. Saya
dipasung karena apa? Saya dipasung bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung untuk
membuat saya "gila." Hal ini lebih menyakitkan benar.” (P14).
Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah satu pasien menceritakan pengalamannya ditahanan
di kantor polisi. Pasien lain diborgol oleh polisi karena perilaku kekerasannya.
“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol saya. Ibu saya meminta bantuan polisi untuk
memborgol saya. Tapi belenggu borgol rusak. Lihat ini [bekas luka di tangannya].” (P15).
Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik terhadap
pasien. Metode pengikatan, pengeka- ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan
perawat.
“Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal). Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).
Pasien dengan perilaku kekerasan yang membahayakan akan diisolasi sebagai metode
pengendalian.
“Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber bahaya… mereka nganggap orang gila itu
benar-benar gila, bukan manusia; harus dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang, dan
ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi, saya
seperti babi diseret.” (P9).
Seringkali petugas keamanan dan perawat bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
kekerasan.
“Semuanya dihancurkan, TV rusak. Teman saya di S (bangsal) telah meng- hancurkan TV.
Sekarang, dia ada di sini, di bangsal K. Pasien dengan kasar diseret oleh petugas keamanan.
"Ayo kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa. "Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
diperlakukan seperti itu.” (P2).
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika penderita di rumah,
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar penderita mengganggu masyarakat. Umumnya,
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan anggota keluarga merasa ga nyaman dengan
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan lagi” (P11).
Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ dengan riwayat perilaku kekerasan membuat takut
masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan diisolasi oleh teman dan masyarakat.
“Teman-teman merasa takut. Mereka
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan saya karena saya orang sakit jiwa. Ya, argumen
saya tidak diterima; tidak dipahami oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara benar, mereka
harus nurutin saya ” (P5).
Pembahasan
Hubungan antara gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan adalah penyebab utama
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- sien
melakukan kekerasan di keluarga dan komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5
kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
(Wehring & Carpenter, 2011).
Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke- rasan mandiri meliputi ide atau percobaan bunuh
diri, sengaja melukai diri, serta bunuh diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ melakukan
percobaan bunuh diri (Harkavy- Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004). Risiko menyakiti
diri sendiri meningkat terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat adalah profesi yang paling rentan menjadi
target kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al., 2006), sebagian besar perawat mengalami
kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al., 2006; Landy, 2005).
Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi- laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al., 2012).
Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk., 2009).
Interaksi antara polisi dan ODGJ kadang-kadang terkait dengan perilaku keke- rasan (Cotton
& Coleman, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
hubungan erat antara perilaku kekerasan yang dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men- ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje & Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian
Medical Association, 2008). Banyak yang menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an- caman
bagi keselamatan umum (Jorm & Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami perawat dapat
memengaruhi hubungan pera- wat dengan pasien, yang menghambat pem- berian asuhan
keperawatan (Jacob, 2010).
Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat dipengaruhi oleh media massa yang berperan
membentuk opini masyarakat. Penggambaran ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, 2003).
Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa perilaku kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada- lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan para perawat. Hasil penelitian memberikan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya- nan keperawatan jiwa di Indonesia.
Sangat penting memasukkan materi stigma- tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen-
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan akan menghadapi risiko perilaku kekerasan dari
pasien jika bekerja di area keperawatan jiwa. Keperawatan jiwa merupakan area yang bersiko
mendapatkan ancaman dan kekerasan sehingga seringkali membenarkan beberapa jenis
intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau pengasingan yang merugikan hubungan pera- wat
dengan pasien.
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat
pemerintah memandang stigma terkait perilaku kekerasan pada ODGJ. Program kampanye
anti-stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke-
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga dapat
mengurangi akibat negatif dari stigma gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Referensi
Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the link between discrimination, mental health
outcomes, and life chances among Latinos. Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28 (2),
245–266.
Canadian Medical Association (2008). 8th Annual national report card on health care. Ottawa
ON: Canadian Medical Association.
Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and grounded theory research. Journal of Advanced
Nursing, 44 (4), 427–435.
Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings from the national comorbidity survey on the
frequency of violent behavior in individuals with psychiatric disorders. Psychiatry Research,
136, 153–162.
Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian police agencies and their interactions with
persons with a mental illness: A systems approach. Police Practice and Research, 11 (4), 301–
314.
Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A., Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann.
J.J.(2003). Suicide attempts in schizophrenia: The roleof command auditory hallucinations for
suicide. Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.
Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas, E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M.
(2003). Measuring health in cost effective manner. Health Policy and Planning, 18 (3), 344.
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a grounded theory approach: A comparison of
Glaser and Strauss. International Journal of Nursing Studies, 41 (2), 141–150.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2012). Introduction (re) thinking violence
in health care settings: A critical approach. In Holmes, D., Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re)
Thinking violence in health care settings: A critical approach. Surrey: Ashgate Publishing, Ltd.
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I.,
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons with severe mental illness in Taiwan.
Aealand Journal of Psychiatry, 460–466.
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., & Okamura, H. (2006). Psychological
impact of verbal abuse and violence by patients on nurses working in psychiatric departments.
Psychiatry and Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36.
Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic psychiatry: nurse-patient interactions in a
secure environment. Doctoral Dissertation School of Nursing University of Ottawa, Canada:
Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s stigmatizing attitudes towards people with
mental disorders: how important are biomedical conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321.
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental
illness - stigma anddiscrimination in Zambia. African Journal of Psychiatry, 13, 192–203.
Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K .,
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely mentally ill in Greece: The extent of the
problem. International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), 706–715.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Landy, H. (2005). Violence and aggression: How nurses perceive their own and their
colleagues risk. Emergency Nurse, 13, 12–15.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C. (2004). The prevalence ofvictimization and
violent behaviour in the seriously mentally ill (Theses, University of Adelaide). Department of
Psychiatry, University of Adelaide, Adelaide, Australia.
Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C., Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
&Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood and the appraisal of personal safety in
people with schizophrenia: Results from the European Schizophrenia Cohort (EuroSC).
Psychological Medicine, 38 (4), 591–597.
Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J. (2005). Family violence amongadults with
severe mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1), 40–54.
Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre, L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M.
(2007). Cross-national differences in relationships of work demands, job satisfaction and
turnover intentions with work–family conflict. Personnel Psychology, 60, 805–835.
Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., & Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide
ideation and behaviour in recent onset schizophrenia. Social Psychiatry and Psychiatric
Epidemiology, 39, 927–937.
Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., & Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in
adults with severe mental illness. Archives of general psychiatry, 62, 911–921.
Wehring, H.J., & Carpenter, W.T (2011). Violence and schizophrenia.Schizophrenia Bulletin,
37 (5), 877–778.
Development. Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill, Inc. Sri Esti W.D (2005) Konseling
dan Terapi dengan Anak dan Orangtua, Jakarta: Grasindo.
Mansur, (2005). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/balita/psikologi/contoh.kasus.kekerasan.terhadap.anak.da
n.dampaknya/001/007/430/1/1 1 april 2015
http://metro.sindonews.com/read/980860/170/bocah-10-tahun-disetrika-ahok-ibu-tiri-lebih-
kejam-dari-ibu-kota-1427199973 24 maret 2015 di ambil 1 april 2015
http://metro.sindonews.com/read/936149/31/kasus-kekerasan-anak-di-depok-meningkat-
1418307744
http://yosephineyohana.blogspot.com/2013/09/penyebab-kekerasan-terhadap-anak-pi-gw.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak
PENELITIAN
PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN
GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Token Ekonomi adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang
diinginkan dan pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di
LKS-ODK Kemiling Bandar Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini
adalah quasy experimental dengan rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak
20 orang, dipilih dengan purposive sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil
yang didapat adalah rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi
token adalah 20,05, dan rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi
token adalah 36,20. Hasil uji dependen sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan sebelum dan setelah dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas
kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan
jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan menerapkan terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara
terprogram dan terstruktur.
Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi kehidupan, termasuk orang dewasa dan
LATAR BELAKANG
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang Kemenkes
RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-ODK
Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
BAB I PENDAHULUAN
manusia (Undang Undang Kesehatan Jiwa No.36, 2014). Hambatan yang dialami
oleh klien gangguan jiwa akan mempengaruhi kualitas hidupnya, sehingga menjadi
perhatian khusus karena dampak yang diakibatkan tidak hanya pada klientetapi
juga berdampak pada keluarga dan masyarakat. Hal tersebut di atas menunjukan
masalah gangguan jiwa di dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat
Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2013 mencapai 450 juta jiwa
diseluruh dunia, dalam satu tahun sesuai jenis kelamin sebanyak 1,1 wanita, pada
pria sebanyak 0,9 sementara jumlah yang mengalami gangguan jiwa seumur hidup
sebanyak 1,7 wanita dan 1,2 pria. Menurut National Institute of Mental Health
1
Data Riskesdas tahun 2007 menunjukan Prevalensi Nasional Gangguan
Jiwa Berat yaitu Skizofrenia sebesar 0,46%, atau sekitar 1,1 juta orang atau
pada penduduk Indonesia 1,7 per mil atau 1-2 orang dari 1.000 warga di
orang.
Data statistik dari direktorat kesehatan jiwa, masalah kesehatan jiwa dengan
ini ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab. Selain itu
dalam penampilan.
melakukan tindakan kekerasan, dan 16% dari perilaku kekerasan pada klien
penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta yang terdiri dari
Penelitian yang lain menunjukan bahwa data klien perilaku kekerasan pada
mulai dari unit akut, unit forensik dan pada bangsal dengan tipe yang
berbeda beda. Penelitian dilakukan dengan jumlah total 69.249 klien dengan
rata rata sampel 581,9 klien (Bowers, et al, 2011). Angka tersebut tergolong
cukup tinggi di berbagai negara di dunia.
Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi
oleh seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan baik pada diri
sendiri atau orang lain dan lingkungan baik secara verbal maupun non
bentuk perilaku amuk yang melukai fisik baik diri sendiri, orang lain dan
respons yang muncul didasari oleh keyakinan emosi yang tidak rasional
(marah, bermusuhan), respons pada fisiologis merupakan responsyang dapat
x/i, nadi meningkat >80 x/i, produksi keringat meningkat, pandangan mata
tajam, pandangan tertuju pada satu objek, muka merah) (Stuart, 2013).
secara verbal maupun non verbal (klien adalah mondar mandir, tidak
penekanan, didasari dengan waham atau isi pikiran paranoid) (Stuart, 2013).
Akibat perilaku kekerasan bisa melukai atau menciderai diri sendiri atau
perilakunya dan sebagai suatu kondisi yang dapat terjadi karena perasaan
pada fase akut gangguan jiwa (Stuart, 2013). Tindakan keperawatan yang
spesialis kepada keluarga yaitu dilatih cara merawat dan memotivasi klien
terdekat, misalnya pada bulan pertama: 2 kali per bulan, bulan kedua: 2 kali
perbulan, bulan ketiga: 2 kali per bulan dan selanjutnya 1 kali perbulan
(Keliat, 1996).
cara fisik yaitu tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal, mengontrol
kedalam jadwal kegaiatan harian (Keliat & Akemat, 2010). Dan tindakan
kekerasan.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan pada klien perilaku kekerasan salah
mempunyai koping yang positif terhadap stress dan beban yang dialaminya
psikologis (Wiyati, 2010). Manfaat dari terapi psikoedukasi bagi klien dan
karena merawat klien dan yang kedua bagi klien yaitu mendapatkan
penelitian (Keliat, dkk, 2009) menunjukkan bahwa klien dan keluarga yang
lebih panjang secara bermakna pada klien dan keluarga yang mendapat
mempunyai koping yang kuat agar tidak terjadi masalah pada hubungan
ansietas dan beban. Hasil akhir yang diharapkan yaitu keluarga mampu
dan keluarga itu belum maksimal, baik itu dirumah sakit maupun di
perilaku kekerasan.
Faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa yaitu
menurut (Humris dan Pleyte, 2004) yaitu penderita tidak minum obat dan
cemas dan stress sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah
klien juga akan berdampak pada keluarga (Fantaine, 2009). Hal ini
Dalam sebuah penelitian yang ditulis dalam The Hongkong Medical Diary
tahun setelah klien masuk rumah sakit pertama kali dan masing-masing
memiliki potensi kekambuhan 21%, 33%, dan 40% pada tahun pertama,
kedua, dan ketiga yang kembali dirawat inap. Secara global angka
kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92%
kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga 5-10%. Seperti yang
kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada
tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena mendapatkan perlakuan
yang salah selama di rumah atau di masyarakat. Jadi peran keluarga sangat
penting dalam proses kesembuhan klien dirumah setelah pulang dari rumah
terus meningkat, pada tahun 2012 adalah 24.575, 2013 adalah 25.570 dan
urutan pertama untuk diagnosa medis baik untuk rawat jalan maupun rawat
inap pada tahun 2015 sebanyak 20188 orang dengan angka klien lama yang
dirawat kembali diruang rawat inap RSJ. Prof. HB. Saanin Padang.
padang pada tahun 2014 jumlah kunjungan rawat jalan pada pasien
orang) dan data kunjungan pada tahun 2015 sebanyak : 666 orang pasien (L
dan P), data ini merupakan data kunjungan terbanyak pada puskesmas
sakit jiwa Prof. HB. Saanin Padang, bahwa pada saat klien perilaku
yang terdekat.
dan keluarga itu tidak dilaksanakan dikarenakan beban kerja perawat jiwa
poliklinik yang lain seperti: BP umum, pelayanan lansia dan IGD, untuk
pelayanan keperawatan jiwa kepada klien dan keluarga hanya untuk kontrol
berobat dan pemberian obat rutin apabila obat yang dikomsumsi sudah
habis, setelah itu perawat tidak ada melakukan kunjungan kepada keluarga
dan anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang berada diwilayah kerja
puskesmas dan juga di beberapa puskesmas untuk poliklinik jiwa itu sendiri
pada klien gangguan jiwa, yang dibuktikan dengan sudah ada tenaga
dan keluarga tidak dilaksanakan dikarenakan beban kerja perawat jiwa tidak
umum dan IGD, untuk pelayanan keperawatan jiwa kepada klien dan
keluarga hanya untuk kontrol berobat dan pemberian obat rutin apabila obat
yang dikomsumsi sudah habis, setelah itu perawat tidak ada melakukan
yang berada diwilayah kerja puskesmas. Oleh sebab itu angka kekambuhan
Survey awal yang peneliti lakukan pada tanggal 16 April 2016 di wilayah
keras), sosial (menarik diri, bicara kasar, keras dan mengasingkan diri) dan
keluarga mengatakan belum bisa merawat klien saat dirumah karena belum
klien hanya dibiarkan saja, minum obat tergantung klien, banyak biaya
habis obat.
Sedangkan 6 orang klien dan keluarga mengatakan pada saat klien dirawat
dirumah, begitu juga dipuskesmas klien dan keluarga hanya kontrol berobat
keluarga.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti memfokuskan penelitian pada
Penelitian ini dilakukan pada klien yang pulang dari RS jiwa yaitu:
padang
padang
Padang.
kelompok kontrol.
1.4.3.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
1.4.3.2 Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence based untuk mengembangkan
kekerasan.
1.4.3.2 Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai data dasar bagi
*E-mail: msubuo61@uottawa.ca
Abstrak
Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita
terhadap orang- orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita
mengalami kekerasan dari keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan
memahami dampak stigmatisasi dalam hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita;
serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian
ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan data termasuk wawancara
semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan metode
Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan
terhadap keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang
lain. Dampak stigmatisasi dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita,
keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa
yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan
untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma dengan perilaku
kekerasan.
Abstract
Pierre, 2012). ODGJ menghadapi stigmatisasi tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain uang saya dari BJB lebih banyak... Saya
dan Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah marah; Saya tidak bisa mengendalikan
melakukan perilaku kekerasan terhadap
anggota keluarga atau kerabat. diri. Saya jadi marah, seperti itu.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga Kemudian, saya dibawa ke sini (RSJ).”
dan saya menjadi beban keluarga (P13).
saya. Karena kesulitan dalam hidup, saya
harus berada di sini (RSJ). Otak saya
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi.
punya banyak masalah. Jadi, saya marah
Pasung dan seklusi masih digunakan untuk
dan melakukan kekerasan di rumah dan
menangani penderita gangguan jiwa. Beberapa
selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” (P1).
perawat menunjukkan bahwa ada pasien
diikat, dirantai, atau dimasukkan ke dalam
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa tidak sehat, saya tidak lebih baik.” (P2).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk saya. Ibu saya meminta bantuan polisi
penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, untuk memborgol saya. Tapi belenggu
[bangsal). Kepalaku dipukul kursi lipat. sangat mudah marah, beberapa pasien ini
Ya, tangan dan kaki diikat karena terikat; ada pula yang diborgol. Jika
melakukan kekerasan. Saya tidak pasien datang dengan kurang atau tidak
melakukan kesalahan tapi diborgol. marah, mereka tidak terikat. Jadi, jika
Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga pasien berada dalam kondisi marah
diborgol oleh staf bangsal K.” (P2). ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika
mereka tidak benar-benar marah, mereka
tidak diikat oleh orang lain. Mereka
Pasien dengan perilaku kekerasan yang
dibawa oleh keluarga atau polisi kesini.
membahayakan akan diisolasi sebagai metode
Ya, polisi. Seperti itu. Jika pasien baru,
pengendalian.
sebagian besar mereka datang dengan
“Staf (RSJ) menganggap orang gila itu terikat.” (P6).
sumber bahaya… mereka nganggap
orang gila itu benar-benar gila, bukan
manusia; harus dihapuskan, harus diba-
kar, harus ditendang, dan ditekan, dan
harus ditempatkan di ruangan gelap
seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
saya seperti babi diseret.” (P9).
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di jika saya berbicara benar, mereka harus
Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
public and self-stigma to seeking mental E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
health services. Journal of Mental Health Measuring health in cost effective manner.
Counseling, 33 (2), 161–176. Health Policy and Planning, 18 (3), 344.
safety in people with schizophrenia: Results Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in
from the European Schizophrenia Cohort adults with severe mental illness. Archives of
general psychiatry, 62, 911–921.
Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi dari satu juta kasus bunuh diri setiap
tahunnya akibat gangguan jiwa
rata skor kemampuan mengontrol dengan persentase 65% dan usia 19-30
token menjadi sebesar 36,20 dengan dengan konsep Niven (2002) bahwa
standar deviasi sebesar 11,23. Skor seseorang yang memiliki usia muda
terendah 16 dan tertinggi 50. lebih patuh daripada usia tua. Hal ini
memungkinkan karena usia muda
memiliki kapasitas dan fungsi memori
yang lebih baik untuk menerima
PEMBAHASAN informasi tentang pengobatan. Struat
dan Laraia (2009) menyatakan usia
berhubungan dengan pengalaman klien dengan jenis kelamin laki-laki.
Hal
seseorang dalam menghadapi
ini sejalan dengan teori Al-saffar dan
berbagai macam stresor, kemampuan
Saeed (2007), mengatakan bahwa
memanfaatkan sumber dukungan dan
laki-laki lebih sering di diagnosis
keterampilan dalam mekanisme
sebagai gangguan jiwa dibanding
koping. Dapat disimpulkan bahwa
perempuan. Pada umumnya laki-laki
usia berhubungan dengan individu
dan perempuan mempunyai resiko
dan kemampuan mengambil
yang sama untuk menderita gangguan
keputusan dalam menyelesaikan
jiwa berat namun, derajat keparahan
setiap masalah yang datang.
gangguan jiwa berat lebih besar pada
laki-laki. Jenis kelamin
mempengaruhi kemampuan
mengontrol diri, dikatakan pria lebih
temperamental dari pada wanita yang
dikatakan lebih sabar dalam
mengontrol perilakunya.
melaksanakan dan mereka mendapatkan manfaat yang baik dari perubahan itu, ditambah lagi
mendapat respon atau pujian yang baik dari teman dan pasien, maka motivasi itu
berkembang menjadi motivasi instrinsik karena responden mendapatkan langsung hadiahnya
yaitu menjadi orang yang lebih baik dan direspon baik dari orang sekelilingnya. Perolehan
tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengajarkan
untuk memelihara tingkah laku yang baru yang diyakini dan dilakukannya.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Hemodialisis (cuci darah) merupakan suatu tindakan terapi pengganti ginjal yang telah rusak.
Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami masalah psikologis salah satunya yaitu ansietas.
Ansietas terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
gambaran tingkat ansietas, pasien dan keluarga pasien hemodialisis di RS Kendal. Metode
penelitian menggunakan survey deskriptif kuantitatif.Alat ukur menggunakan 14 pertanyaan terkait
ansietas pada kuesioner DASS (Depression Anxiety Stress Scale).Sampel penelitian berjumlah 60
pasien dan 60 keluarga pasien.Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien dan keluarga
pasien mengalami ansietas pada tingkat berat. Hasil penelitian ini direkomendasikan kepada
peneliti selanjutnya agar dapat memberikan intervensi yang efektif untuk mengatasi ansietas pasien
dan keluarga pasien hemodialisis.
ABSTRACT
Hemodialysis (dialysis) is an action therapy for kidney replacement that has been damaged. Patients who
undergo hemodialysis experience psychological problems, one of which is anxiety. Anxiety occurs due
to lack of knowledge. The study aims to describe the level of anxiety, patients and families of hemodialysis
patients in Kendal Hospital. The research method used a quantitative descriptive survey. Measuring
instruments used 14 questions related to anxiety on the DASS questionnaire (Depression Anxiety Stress
Scale). The research samples were 60 patients and 60 patient families. The results showed that the majority
of patients and families of patients experienced anxiety at a severe level. The results of this study were
recommended to future researchers in order to be able to provide effective interventions to overcome the
anxiety of patients and families of hemodialysis patients.
34,7% perempuan. Sedangkan pada bulan Pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid dan
Januari sampaiJuli 2016 sebanyak gangguan psikotik dengan gejala curiga
2294 orang, berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan.
Gejala ini merupakan tanda dari pasien yang
diantaranya 1162 halusinasi (50,65%),
mengalami perilaku kekerasan (Medikal
menarik
Record, 2009). Masalah yang sering muncul
diri 462 orang (20,13%), harga diri rendah
374 pada klien gangguan jiwa khususnya dengan
orang (5,66%), perilaku kekerasan 128 kasus perilaku kekerasan salah satunya adalah
orang
tindakan marah. Tindakan yang dilakukan
(5,58%), defisit perawatan diri 21 orang
(0,91%), perawat dalam mengurangi resiko perilaku
kerusakan komunikasi verbal 16 orang kekerasan salah satunya adalah dengan
(0,70%),
menggunakan strategi pelaksanaan (SP). SP
percobaan bunuh diri 1 orang (0,40%).
merupakan pendekatan yang bersifat membina
hubungan saling percaya antara klien dengan keempat SP yang digunakan untuk
perawat, dan dampak apabila tidak diberikan mengontrol perilaku kekerasan, peneliti ingin
SP akan membahayakan diri sendiri maupun mengetahui SP nomor berapa yang paling
lingkungannya. Dari hasil observasi yang efektif digunakan pada pasien perilaku
telah dilakukan oleh perawat, kami tertarik kekerasan.
untuk melakukan studi kasus mengenai
penerapan stategi pelaksanaan (SP) perilaku
kekerasan yang paling efektif di ruang rawat METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
inap laki laki RSJD Dr. Amino
kualititatif, penelitian yang menghasilkan
Gondohuttomo Semarang.
data deskriptif berupa kata-kata tertulis
maupun lisan dari orang-orang dan perilaku
Strategi pelaksanaan (SP) yang dilakukan yang diamati (Meloang, 2007). Penelitian ini
oleh klien dengan perilaku kekerasan adalah dilakukan untuk mengetahui SP perilaku
diskusi mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan yang paling efektif menurut
kekerasan secara fisik, obat, verbal, dan pendapat responden. Populasi dalam
spiritual. Mengontrol perilaku kekerasan penelitian ini adalah semua pasien dengan
secara fisik dapat dilakukan dengan cara masalah resiko perilaku kekerasan di ruang
nafas dalm, dan pukul bantal atau kasur. Rawat Inap Laki laki RSJD Dr. Amino
Mengontrol secara verbal yaitu dengan cara Gondhutomo Semarang. Adapun kriteria
menolak dengan baik, meminta dengan baik, inklusi dari penelitian ini antara lain pasein
dan mengungkapkan dengan baik. sehat secara fisik, pasien dengan resiko
Mengontrol perilaku kekerasan secara perilaku kekerasan, mampu berkomunikasi
spiritual dengan cara shalat dan berdoa. Serta dengan baik, pasien kooperatif dan dapat
mengontrol perilaku kekerasan dengan mengungkapkan perasannya secara verbal
minum obat secara teraturdengan prinsip lima dengan baik. Teknik pengambilan sampel
benar (benar klien, benar nama obat, benar dalam penelitian ini menggunakan teknik
cara minum obat, benar waktu minum obat, purposive sampling (judgment sampling).
dan benar dosis obat). Dari Peneliti mengkaji faktor predisposisi, kondisi
fisik dan status mental klien dengan resiko
perilaku kekerasan dan menetapkan sampel
berdasarkan kriteria inklusi. Jumlah sampel
yang digunakan pada penelitian ini sebanyak
6 penderita skizofrenia dengan resiko
perilaku kekerasan di ruang rawat inap
laki laki RSJD Dr. Amino Gondohutomo.
Alat penelitian yang digunakan meliputi,
lembar observasi, kertas dan recorder. Cara
pengumpulan data pada penelitian dilakukan
dengan melakukan kontrak waktu,
melakukan indeept interview, menvalidasi
dan menyimpulkan jawaban informan
informan, mendokumentasikan respon
informan, dan mengakhiri dengan penutupan
serta salam.
HASIL
Hasil penelitian berupa transkip wawancara
yang telah peneliti buat kemudian
dikategorikan sesuai dengan kata kunci
yang telah disajikan dalam tabel dan skema
berikut :
Tabel 1. Kategori dan kata kunci
dilakukan
Secara fisik :berkelahi, membanting barang, membakar barang
ketika marah
Marah berhenti jika Secara verbal : ketika dimarahin orang lain, ketika lelah sendiri
Secara tindakan : ketika merasa uas dengan tindakan yang dilakukan seperti
membacok, menghancurkan barang
Efektivitas SP Nafas
dalam
Pukul
bantal
Verbal dengan menolak dan meminta sesuatu secara
baik Spiritual : berdoa, dzikir, calming teknique,
Obat
Kuantitas
Jarang sehari
: 2x Kadang : 1x sehari
Tidak pernah : 0
Tabel 2.
Tema, Sub tema dan Kategori
Tema Sub Kateg
tema ori
1. Tindakan : mengamuk
2. Verbal : marah-marah
Penyebab masuk RSJ
3. Tindakan : memukul
4. Tindakan : merusak barang
1. Orang lain : Tersinggung
2. Orang lain : Tidak diperhatikan
Penyebab mengamuk
3. Diri sendiri : Curiga
4. Orang lain : Dikhianati
1. Fisik : Berkelahi
2. Fisik : Membanting barang-barang
Yang dilakukan ketika
3. Verbal : Bicara kasar
marah
4. Fisik : Membakar
Marah berhenti, jika 1. Tindakan : membacok
Pengetahuan melakukan 2. Verbal : dimarahin
pasien tentang 3. Verbal : ketika klien merasa lelah
perilaku 4. Tindakan : menghancurkan barang
kekerasan Diajarkan mengontr 1. Sudah : SP1-SP 4
ol 2. Sudah : SP1-SP 4
cara Perilaku 3. Sudah : SP1-SP 4
Kekerasan 4. Sudah : SP1-SP 4
1. Spiritual : Berdoa dan ikhlas
Paling mengontr 2. Napas dalam dan berdoa / shalat
ol 3. Nafas dalam
efektif marah 4. Nafas dalam dan Pukul bantal
Perasaan setelah 1. Lega
melakukan cara 2. Tenang
mengontrol marah 3. Tenang
4. Lega
Melakukan SP secara mandiri 1. Mandiri
atau diingatkan 2. Mandiri
3. Mandiri
4. Mandiri
Kuantitas 1. Kadang-kadang : 1x sehari
2. Kadang-kadang : 1x sehari
3. Kadang-kadang : 1x sehari
4. Kadang-kadang : 1x sehari
Masing-masing tema yang didapat dari hasil 3) Memukul : 2 dari 6 informan menyatakan
dibawa RSJ karena memukul orang
penelitian akan dijelaskan sebagai berikut :
tentang pengaruh tehnik relaksasi nafas dalam pengaruh yang signifikan antara tehnik
terhadap tingkat emosi klien perilaku relaksasi nafas dalam terhadap tingkat emosi
kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. klien perilaku kekerasan. Selain itu penelitian
Amino Gondohutomo yang menyatakan ada lain menyebutkan bahwa, ada pengaruh
pemberian tehnik relaksasi nafas dalam kekerasan yang paling efektif menurut pasien
perilaku kekerasan di ruang rawat inap laki laki
terhadap kemampuan pasien mengendalikan RSJD Dr. Amino Gondohuttomo
perilaku kekerasan di Ruang Bratasena RSJ Semarangadalah dengan cara Spiritual dan
Napas Dalam.
Provinsi Bali. 2. Penerapan strategi pelaksanaan (SP) spiritual
yang paling efektif tersebut menurut menurut
pasien perilaku kekerasan di ruang rawat inap
laki laki RSJD Dr. Amino Gondohuttomo
Melihat hasil diatas dengan dilakukannya Semarang karena memberikan ketenangan dan
rasa lega.
pendekatan Spiritual dan
Saran
Perawat dapat lebih melatih kemampuan
Napas Dalama dapat memberikan efek
pasien perilaku kekerasan mengotrol perilaku
menenangkan dan merelaksasi pikiran ,
kekerasan dengan mengajari Relaksasi Napas
sehingga klien dapat mengontrol emosiny,
Dalam dan cara spiritual seperti sholat,
bahkan 5 informan menyatakan lega setelah
mengaji dan berdzikir.
melakukan cara mengontrol emosi yang
dilakukannya sedangkan
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Sulistyowati, D & Prihantini. 2015. Pengaruh
Diagnosa Keperawatan. Editor Monica terapi psikoreligi terhadap penurunan
Ester. EGC : Jakarta. perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta. Jurnal terpadu ilmu
Dossey, M. 2008. Holistic nursing: a
kesehatan, Vol 4, No. 1, Hal: 72-77.
handbook for practice. Janes & Bartlitt
Kementrian kesehatan politeknik
publisher, Canada: Missisauga.
kesehatan Surakarta jurusan
keperawatan.
Keliat, B.A. 1998. Proses Keperawatan
Jiwa.
Sumirta, Nengah I, Githa, Wayan I &
Jakarta: EGC
Sariasih, Nengah Ni. 2013. Relaksasi
Nafas Dalam Terhadap Marah Klien
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Dengan Perilaku Kekerasan. Denpasar
Penelitian Kualitatif, Penerbit PT
Remaja Rosdakarya Offset, Bandung
Townsend, C.M. 2005. Essentials of
psychiatric mental health nursing.
Padma,Sri & Dwidiyanti, Meidiana. 2014. Philadelphia: F.A Davis Company.
Studi kasus: mindfulness dengan
pendekatan spiritual pada pasien
skizofrenia dengan resiko perilaku
kekerasan. Program studi ilmu
keperawatan, fakultas kedokteran
Universitas Diponegoro. Konas Jiwa
XI Riau: Hal 290-294.
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
Varcarolis, E.M. 2006. Psychiatric nursing clinical assament tools and diagnosis. Philadelphia: W.B
Sounders Co.
Zelianti. 2011. Pengaruh Tehnik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Emosi Klien
Perilaku Kekerasan di RSJD Dr Amino Gondohutomo Semrang
Radinova.hulu@gmail.com
BAB I
PENDAHULUA
N
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat berat dan
kronis yang menyerang 20 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2019).
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, parah, dan melumpuhkan,
gangguan otak yang di tandai dengan pikiran kacau, waham, delusi,
halusinasi, dan perilaku aneh atau katatonik (Pardede & Laia, 2020).
Privalensi ganguan jiwa di Indonesia berdasarkan Kemenkes 2019 di
urutan pertama Provinsi Bali 11,1% dan nomor dua disusul oleh Provinsi
DI Yogyakarta 10,4%, NTB 9,6%, Provinsi Sumatera Barat 9,1%, Provinsi
Sulawesi Selatan 8,8%, Provinsi Aceh 8,7%, Provinsi Jawa Tengah 8,7%,
Provinsi Sulawesi Tengah 8,2%, Provinsi Sumatera Selatan 8%, Provinsi
Kalimantan Barat 7,9%. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara berada pada
posisi ke 21 dengan privalensi 6,3% (Kemenkes, 2019).
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang dapat berakhir dengan hilanngya
dengan nyawa seseorang. Dalam penanganan penyakit ini karena jiwa yang
tergangangu maka di butuhkan adalah terapi, rehabilitasi serta dengan
konseling. Upaya terbesar untuk penanganan penyakit gangguan jiwa
terletak pada keluarga dan masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah
bentuk dukungan keluarga dalam mencegah kambuhnya penyakit
skizofrenia (Pitayanti, & Hartono, 2020). Tanda dan gejala yang timbul
akibat skizofrenia berupa gejala positif dan negatif seperti perilaku
kekerasan. Resiko perilaku kekerasan merupakan salah satu respon
marah
yang diespresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri
maupun orang lain. Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut nadi
dan pernapasan meningkat, marah, mudah tersinggung, mengamuk dan bisa
mencederai diri sendiri. Perubahan pada fungsi kognitif, fisiologis, afektif,
hingga perilaku dan sosial hingga menyebabkan resiko perilaku kekerasan.
Berdasarkan data tahun 2017 dengan resiko perilaku kekerasan sekitar 0,8%
atau dari 10.000 orang menunjukkan resiko perilaku kekerasan sangatlah
tinggi (Pardede, Siregar & Hulu, 2020).).
Risiko perilaku kekerasan timbul akibat rasa tidak nyaman dan panik yang
terjadi akibat stressor dari dalam dan luar lingkungan. Perilaku kekerasan
yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak
berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Azis, Sukamto
& Hidayat, 2018).
1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan secara holistik
dan komprehensif kepada Tn. A dengan gangguan resiko perilaku
kekerasan di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.
2. Institusi Pendidikan
2.1.1 Pengertian
Subjektif
a. Mengungkapkan perasaan kesal atau marah.
b. Keinginan untuk melukai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
c. Klien suka membentak dan menyerang orang lain.
Objektif
a. Mata melotot/pandangn tajam.
b. Tangan mengepal dan Rahang mengatup.
c. Wajah memerah.
d. Postur tubuh kaku.
e. Mengancam dan Mengumpat dengan kata-kata kotor.
f. Suara keras.
g. Bicara kasar, ketus.
h. Menyerang orang lain dan Melukai diri sendiri/orang lain.
i. Merusak lingkungan.
j. Amuk/agresif.
2.1.3 Etiologi
3. Faktor biologis
Neurotransmeiter yang sering dikaaitkan perilaku
agresif dimana faktor pendukunya adalah masa kadan-
kanak yang tidak menyengkan, sering mengalami
kegagalan, kehidupan yang penuh tindakan agresif
dan lingkungan yang tidak kondusif.
4. Perilaku
Reinfocemnt yang terima pada saat melakukan
kekerasan dan sering mengobservasi kekerasan di
rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
2.1.4 Penatalaksanaan
2.2.1 Pengkajian
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi berdasarkan Modul Keperawtan Jiwa (Nurhalima, 2016) :
ASUHAN KEPERAWATAN
Inisial : Tn. A
Umur : 56 Tahun
3.4 Fisik
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien, pasien tidak memiliki
pemeriksaan fisik, didapat hasil
TD : 120/80 mmHg
N : 83x/Menit
S : 36,50C
RR : 20x/Menit
TB : 171 cm
BB : 68 Kg
3.5 Psikososial
3.5.1 Genogram
Pasein merupakan anak keempat dari 6 bersaudara, pasien memiliki 2 orang
abang, 1 orang kakak, dan 2 orang adik perempuan dimana semua sudah
berkeluarga, ayahnya telah meninggal dunia dan ibunya masih hidup.
Ket :
Meninggal Dunia
Tinggal Bersama
Keluarga
3.5.4 Spritual
b. Pembicaraan
Pasien berbicara lambat mengenggam.
Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.
c. Aktivitas motorik
Pasien mengatakan bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
d. Alam perasaan
Pasien tidak mampu megespresikan perasaan sesuai kondisi
pada saat emosi.
e. Afek
Pasien merespon saat di panggil tetapi pandangan tajam.
Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.
g. Persepsi
Pasien megatakan sekali-kali mendengarka suara yang
memicu amarahnya dan ingin memukul orang di sekitarnya.
Halusinasi
h. Proses Pikir
Pasien mampu berbicara sesuai topik pembicaraan dan dapat
merespon umpan balik dan dapat mengulang hal penting yang
disampaikan perawat.
i. Isi Pikir
Pasien mengatakan ingin ke Israel karean didalam Alkitab
bangsa yang di berkati Tuhan adalah Israel.
j. Tingkat Kesadaran
Pasien tidak mengalami gangguan orientasi, pasien mengenali,
waktu, orang dan tempat.
k. Memori
Klien mampu mengingat kejadian-kejadian saat melakukan
pemukulan kepada ibu dan adiknya.
Masalah
N Identifikasi Data
Keperawat
o
an
1 Ds : Risiko
. Perilaku
Pasien mengatakan bahwa alasan ayahnya dulu
Kekerasan
mengantarnya ke Yayasan Kolam Bethesda
karena sudah memukul ibu dan adiknya.
Setelah 2 tahun di YKB di pindahkan oleh
ayahnya lagi ke Yayasan Pemenang Jiwa,
higga saat ini belum di jemput untuk pulang
oleh keluarganya. Pasien Juga mengatakan
mungkin keluarganya masih takut kepadanya.
Do :
Pandangan tajam/melotot serta postur tubuh
kaku.
2 Ds : Halusina
. si
Pasein mengatakan sekali-kali mendengarkan
Pendengar
suara-suara yang membuatnya dapat emosi
an
untuk memukul orang yang tidak dia senangi.
Do :
Pasien komat kamit.
3 Ds : Gangguan
. Pola Pikir :
Pasien mengatakan bahwa dia akan ke Israel,
Waham
karena bangsa Israel adalah bangsa Tuhan
Agama
Yesus dan pasien inggin menjadi orang yang
pertama menjabat tangan Yesus.
Do :
Pasien memandang keatas dan menghunjuk
arah depannya bahwa Israel itu seakan-akan
berada di sebelah pagar yayasan.
4 Ds : Harga
. Diri
Pasien megatakan sadar dirinya mengalami
Renda
gangguan jiwa, namun pasien menggikarinya.
h
Pasien juga mengatakan bahwa tidak ada
orang dilingkugannya yang dapat menerima
dia sepulang dari yayasan.
Do :
Pasien cemas secara sosial dan tampak
sedih
hingga gelisah.
Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawat
an
Risiko Pasien Ketika di 1. Membina
Perilaku dapat evaluasi pasien hubungan
Kekeras membina mampu saling percaya
an. hubungan membalas dengan cara
saling salam, menjelaskan
percaya. tersenyum, ada maksud
kontak mata
dan tujuan
serta
interaksi,
menyediakan
jelaskan
waktu tentang
untuk
kunjung kontrak yang
an akan di buat,
berikutn beri rasa aman
ya. dan sikap
empati.
2. Diskusi
bersama pasien
tentang perilaku
kekerasan,
penyebab,
tanda
dan
gejala
perilaku
yang
muncul
dan
akibat
dari perilaku
tersebut.
Pasien Pasien mampu Sp1 :
dapat menyebutan Latihan
mengendal dan Melakukan cara
ik an menrekomenda mengontrol
mengendal sik an amarah :
ik an a. Anjurkan
cara
teknik
perilaku mengontrol
relaksasi nafas
kekerasan perilaku
dalam.
dengan kekerasan
b. Pukul bantal.
cara dengan cara
relaksi
nafas relaksasi nafas
dalam dalam dan
dan pukul bantal.
pukul
bantal/kasur
.
Pasien Pasien Sp2 :
dapat a. Bantu
mampu
mengendal
mengendalikan pasien
ik an
perilaku mengotrol
perilaku kekerasan perilaku
kekerasan dengan minum kekerasan
dengan dengan
obat
minum
Risperidon minum
obat
(RSP) obar secara
secara teratu
dengan teratur.
teratur. 2x1 hari.
Pasien Pasien paham Sp3 :
paham dan mampu Bantu
dan menyampaikan pasien
mampu amarah mengontrol
mengendal risiko
dengan
ik an perilaku
cara
risiko kekerasan dengan
berbicara
perilaku menganjurkan
dengan baik.
kekerasan pasien berbicara
dengan yang baik bila
sedang marah,
cara
dengan tiga cara :
berbicara
b. Meminta
dengan
sesuatu dengan
baik.
baik tanpa
marah.
c. Menolak
sesuatu dengan
baik.
Mengungkapkan
perasaan kesal.
Pasien Pasien paham Sp4 :
paham dan mamu Pasien
dan mengendalikan
risiko perilaku
mampu risiko
kekerasan :
mengendal
perilaku Diskusikan
ik an
kekerasan bersama pasien
risiko dengna cara
cara
perilaku
beribadah mengendalikan
kekerasan
sesuai agama perilaku
dengan
yang di anut
pasien.
cara kekerasan dengan
memprakti
cara
ka n
beribadah.
cara
spritual.
3.16 Implementasi dan Evaluasi
Ha Implementasi Evalu
ri/ asi
T
gl
Kami 1. Data : S : Antusias dan Bersemangat.
s,
Tanda dan gejala : mudah
26
marah- marah, mudah O:
feb
tersinggung, tatapan sinis, suka - Pasien mampu melakukan
2021.
menyendiri merasa tidak di latihan tarik nafas dalam
10.30
hargai. dengan mendiri.
Wib.
- Pasien mampu pukul bantal
2. Diagnosa Keperawatan dengan mandiri.
a. Risiko perilaku kekerasan.
b. Perilaku kekerasan. A : Risiko perilaku kekerasan (+).
PEMBAHASAN
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku
Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam
Samarinda. http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/797
Hastuti, R. Y., Agustina, N., & Widiyatmoko, W. (2019). Pengaruh restrain
terhadap penurunan skore panss EC pada pasien skizofrenia dengan
perilaku kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 135-144.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/4907/pdf
Kio, A. L., Wardana, G. H., & Arimbawa, A. G. R. (2020). Hubungan Dukungan
Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Klien dengan Resiko
Perilaku Kekerasan. Caring: Jurnal Keperawatan, 9(1), 69-72.
http://ejournal.poltekkesjogja.ac.id/index.php/caring/article/view/5
92
Kemenkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta: Kemenkes
RI.https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/08/persebar
an-prevalensi-skizofreniapsikosis-di-indonesia#
Musmini, S. (2019). Karya Ilmiah Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan Terintergrasi Dengan Keluarga Di Wilayah
Kerja Puskesmas Sempaja Samarinda. http://repository.poltekkes-
kaltim.ac.id/419/1/Siti%20Musmini.pdf
Muhith, A. (2015). Pendidikan keperawatan jiwa: Teori dan aplikasi. Penerbit
Andi.
Nurhalimah, Ns. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Jakarta.
Abstrak
Dukungan Keluarga adalah proses yang terjadi sepanjang hidup dimana sumber
dan jenis dukungan sangat berpengaruh terhadap tahap lingkungan kehidupan
keluarga. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan dukungan
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan dengan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasannya di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota
Medan Tahun 2019. Dimana dukungan keluarga mempunyai 4 jenis yaitu dukungan
penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan dukungan emosional.
Desain penelitian yang digunakan adalah pendekatan cross sectional,dan
menggunakan jenis penelitian analitik kuantitatif dengan populasi dalam penelitian ini
adalah anggota keluarga pasien dan jumlah responden sebanyak 34 orang. Dukungan
penilaian diberikan dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 22
orang (64,7%), dukungan instrumental diberikan dan pasien mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 20 orang (58,8%), dukungan informasional diberikan
dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 19 orang (55,9%), dan
dukungan emosional diberikan dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan
sebanyak 13 orang (38,2%). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah semua
memberikan dukungan keluarga (penilaian, instrumental, informasional) kecuali
dukungan keluarga emosional karena keluarga kurang memberikan kenyamanan
untuk pasien dan tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien dan juga masih ada
pasien yang tidak mampu mengontrol perilaku kekerasannya. Untuk itu disarankan
kepada responden agar lebih menambah dan meningkatkan perannya terhadap pasien
perilaku kekerasan dalam memberikan setiap dukungan kepada pasien perilaku
kekerasan seperti dukungan penilaian, instrumental, informasional dan dukungan
emosional.
Abstract
Family Support is a process that occurs throughout life where the source and type of support greatly
influences the stage of family life. The purpose of this study was to determine the relationship of
family support in treating patients with violent behavior with the ability to control their violent
behavior At Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan Mental Hospital In 2019.Where family support
has 4 types, namely assessment support, instrumental support, informational support, and emotional
support. The research design used was a cross sectional approach, and
1
using a type of quantitative analytical research with the population in this study were
members of the patient's family and the number of respondents was 34 people. Assessment
support was given and patients were able to control violent behavior by 22 people (84.6%),
instrumental support was given and patients were able to control violent behavior by 19
people (86.4%), informational support was given and patients were able to control violent
behavior by 19 people (90.0%), and emotional support was given and patients were able to
control violent behavior by 20 people (90.9%). The conclusion in this study is that all
provide family support but there are still patients who are unable to control their violent
behavior. And it is recommended that respondents increase their role in patients with violent
behavior in giving each patient support for violent behavior such as assessment support,
instrumental, informational and emotional support
METODE PENELITIAN
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien yang mampu mengontrol perilaku
2
kekerasannya adalah sebanyak 25 orang (73,5%), dan 10 orang (26,5%) tidak mampu
mengontrol perilaku kekerasannya.
Analisa Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen yaitu
dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional,
dengan variabel dependen yaitu kemampuan mengontrol. Pengujian analisis bivariat dilakukan
dengan menggunakan uji Chi Square. Analisis ini dikatakan bermakna (signifikan) bila hasil
analisis menunjukkan adanya hubungan bermakna secara statistik antara variabel, yaitu
dengan nilai p < 0,05.
Hubungan Dukungan Penilaian dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya
Tabel 3 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Penilaian Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
Tabel 4 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Instrumental Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
Tabel 5 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Informasional Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan
Dukungan
No
Informasional Mampu Tidak Mampu
P
n % n % To %
tal
value
1 Memberi 1 55 2 5, 21 61,8
9 ,9 9
0.004
2 Tidak Memberi 6 17 7 20 13 38,2
,6 ,6
Total 2 73 9 2 34 100
5 ,5 6,
5
Tabel 6 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Emosional Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
,2 8 ,1 6
Tidak Memberi 12 35 6 17 18 52
,3 ,6 ,9
Kesimpulan
Saran
Terhadap Kekambuhan
Halusinasi Pada Pasien
Skizofrenia Di Poliklik Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2017”. KTI.
Poltekkes Kemenkes Medan.
Rumus
Slovin,
http://www.statistiakian.com