Anda di halaman 1dari 384

 JURNAL KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :

Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes


Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

Disusun Oleh : kelompok 2


Tingkat 2A

Fanisa Amalia Safitri (PO7120119032)


Febriani Suci Priadi (PO7120119034)
Fholsen Frohansen (PO7120119036)
Fitria Oktaviani (PO7120119037)
Indah Wahyuni (PO7120119043)

POLTEKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

JURNAL KEPERAWATAN JIWA


PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH

Fanisa Amalia Safitri (PO7120119032)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH
Febriani Suci Priadi (PO7120119034)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 1, Hal 27 - 32, Februari 2020 p-ISSN2338-2090
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah e-ISSN
2655-8106

UPAYA MENGONTROL PERILAKU AGRESIF PADA PERILAKU KEKERASAN DENGAN


PEMBERIAN RATIONAL EMOTIVE
BEHAVIOR THERAPY
Moomina Siauta1* Hani Tuasikal2, Selpina Embuai1
1Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Kristen Indonesia Maluku, Jln Ot Pattimaipauw, Talake
Kecamatan, Nusaniwe, Kel Wainitu, Nusaniwe, Kota Ambon, Maluku, Indonesia 97115.
2Akper Rumkit TK III Dr. J. A. Latumeten Ambon, Jalan Dr. Tamaela No.2, Kel Silale, Nusaniwe,
Kota Ambon, Maluku, Indonesia 97111
*moominasiauta@gmail.com

ABSTRAK
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO (2015) menyatakan, paling tidak
ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.Perilaku kekerasan merupakan salah
satu penyakit jiwa yang ada di Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya
mencapai 2 juta orang, terutama dengan gejala perilaku agresif dan bila tidak tertangani dengan baik
maka akan menimbulkan dampak yang buruk kepada klien serta lingkungannya, sehingga perlunya
suatu tindakan keperawatan yang secara mandiri diberikan untuk menangani perilaku agresif itu
sendiri yaitu dengan Terapi Ration Emotive Behavior. Jenis penelitian adalah dengan pendekatan
studi kasu (Studi kasus).Pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dokumentasi,
dan bahan audio visual.Pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling, dengan 6
klien perilaku kekerasan di RSKD Maluku.Penelitian dilakukan bulan Maret sampai dengan Oktober
2019.Jenis pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara dan lembar observasi klien.Lokasi
penelitian RSKD Maluku.Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk mengontrol
perilaku agresif dengan penerapan rational emotive behavior therapy dan SP yang telah diterapka,
peneliti hanya menyusun intervensi terfokus pada masalah halusinasi pendengaran karena semua
tindakan untuk mengontrol perilaku kekerasan juga dapat meminimalkan semua masalah keperawatan
yang ada pada klien perilaku kekerasan.

Kata kunci: perilaku agresif, rational emotive behavior therapy

EFFORTS TO CONTROL AGGRESSIVE BEHAVIOR IN VIOLENCE BEHAVIOR WITH


RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY

ABSTRACT
One type of mental disorder WHO states, at least one in four people in the world who fix mental
problems. In Indonesia, and to date it is estimated that the number of sufferers reaches 2 million, most
of the above mentioned are complex challenges and if not handled properly will cause problems for
the client and his environment, so action is needed. Independent care is provided for Rational Therapy
itself, namely Ration Emotive Behavior Therapy. This type of research is a case study study (case
study). Data collection through collection, interview, collection, and audio-visual material.Sampling
using purposive sampling, with 6 clients practicing violence in Maluku Regional General Hospital.
This research was conducted from March to October 2019. Types of data collection were done by
interview and client observation sheets. Research location of Maluku Regional Public Hospital. In
accordance with the issues raised by researchers, namely for those who are related to therapy using
emotive rational behavior therapy and SP that has been applied, researchers can only focus on
interventions on the issue of delegation hallucinations to help change existing clients to overcome
these problems.

Keywords: aggressive behavior, rational emotional behavior therap

PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO (2015) menyatakan, paling tidak
ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.WHO memperkirakan ada
sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat
0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira- kira
2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2014 dalam Carolina, 2015). Data
WHO tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen
mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa
di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2016).

Menurut hasil survey Kesehatan Mental 2016 ditemukan 185 per 1000 penduduk di Indonesia
menunjukan adanya gejala gangguan jiwa. Hal ini didukung data dari Depkes RI yang melaporkan
bahwa di Indonesia jumlah penderita penyakit jiwa berat sekitar 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari
total penduduk Indonesia. Perilaku kekerasan merupakan salah satu penyakit jiwa yang ada di
Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya mencapai 2 juta orang.Prevalensi
pada pasien Perilaku Kekerasan di RSKD Maluku, selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2015
(43,75%),
2016 (43,75%), 2017 (12,5%). Hal ini
menunjukkan adanya penurunan angka kejadin perilaku kekerasan. Secara umum seseorang akan
marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman. Beberapa
faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut, rasa frustasi, kekerasan dalam rumah
tangga, masa lalu yang tidak menyenangkan, kehilangan orang yang berarti, kehidupan yang penuh
dengan agresif (Kusumawati et al, 2013).Berikut ini yang merupakan tanda dan gejala perilaku
kekerasan diantarnya mata melotot, pandangan tajam, berbicara dengan nada keras, menyerang orang
lain, wajah memerah dan tegang (Fitria, 2012).

Istilah marah (anger), agresif (aggression), dan perilaku kekerasan (violence) sering digunakan
bergantian dalam menguraikan perilaku yang terkait dengan kekerasan (Rawlins, et, al 1993).Perilaku
kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk

melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia,
2015). Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu dari memperlihatkan
permusuhan pada tingkat rendah sampai pada melukai dalam tingkat serius dan membahayakan
(Stuart & Laraia, 2001;2005; 2009). Proses perkembangan perilaku kekerasan, masih menjadi
perdebatan antara nature vs nurture , dibawa sejak lahir atau diperoleh selama perkembangan.
Menurut teori biopsikososial disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor biologik,
psikologik dan sosiokultural (Kneisl; Wilson & Trigoboff, 2014). Dari uraian diatas dapat dikatakan
bahwa perilaku kekerasan adalah respon kemarahan yang maladaptif dalam bentuk perilaku
menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya secara verbal maupun nonverbal mulai
dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.

Klien dengan perilaku kekerasan, individu merupakan orang yang ambigue, selalu dalam kecemasan,
mempunyai penilaian yang negatif terhadap diri dan orang lain, ketidakmampuan untuk
menyelesaikan masalah dengan baik sehingga perilaku kekerasan merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah. Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang
menjadi alasan bagi keluarga untuk merawat klien di rumah sakit jiwa karena berisiko membahayakan
dirinya dan orang lain (Keliat, 2013). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan adalah perilaku yang menakutkan dan membahayakan bagi dirinya, keluarga dan
masyarakat sehingga mereka berusaha mencari pertolongan dengan membawa klien ke rumah sakit
dan berharap selama mendapat pengobatan dan perawatan di rumah sakit perilaku klien berkurang
atau berubah.

Intervensi secara umum yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif / perilaku kekerasan
bervariasi yang berada dalam rentang preventive strategies, Anticipatory Strategies, dan Containment
Strategies (Stuart & Laraia, 2015). Strategi pencegahan (preventive strategies), meliputi kesadaran
diri, psikoedukasi pada klien, dan latihan asertif. Strategi antisipasi (Anticipatory Strategies) meliputi
komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan psikofarmaka. Kemarahan yang dapat mengancam

keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (kegawat daruratan psikiatri) yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi psikofarmaka maka perlu dilakukan strategi penahanan (containment
Strategies) yang meliputi manajemen krisis, pembatasan gerak, dan pengikatan.

Klien dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan respon kognitif berupa gangguan proses pikir
yaitu gangguan dalam mempersepsikan sesuatu serta tidak mampu membuat alasan (Boyd & Nihart,
1996). Respon kognitif merupakan hasil penilaian terhadap kejadian yang menekan, pilihan koping
yang digunakan, reaksi emosional, fisiologis, perilaku dan sosial individu (Stuart & Laraia, 2005).
Setelah terjadi penilaian kognitif terhadap situasi , individu akan menampilkan respon afektif yang
dimunculkan dengan emosi berupa marah, gembira, sedih, menerima, antisipasi atau respon emosi
lainnya (Stuart & Laraia, 2005). Pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pada klien
dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan pada respon kognitif yang nantinya akan
berpengaruh terhadap respon afektif yang dimunculkan dalam bentuk emosi seperti kemarahan. Hal
ini menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan juga perlu
mengacu kepada emosi selain kognitif dan perilaku.
Berdasarkan teori tersebut maka perlu adanya intervensi pada klien dengan perilaku kekerasan yang
mengarah kepada fisik, afektif (emosi), kognitif,fisiologis, perilaku, dan sosial. Terapi Asssertiveness
Trainning, terapi Musik dan terapi Perilaku Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara
langsung kepada emosi klien dengan perilaku kekerasan. Untuk itu agar intervensi untuk klien dengan
perilaku kekerasan lebih optimal maka perlu adanya suatu terapi yang juga mengarah pada emosi.
Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah Rational Emotive Behaviour Therapy( REBT).

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, merupakan suatu
pendekatan pemecahan masalah yang rasional, yang diarahkan untuk masalah perilaku individu. Elis
berkeyakinan bahwa mempelajari kecemasan yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam
memori manusia dari pada dihilangkan. Oleh karena itu beliau

memutuskan untuk mengajarkan kliennya merubah pikiran yang tidak rasional (irrasional) dan
memberikan penjelasan rasional untuk masalah perilakunya (Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006).
Berdasarkan teori REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara spesifik dapat menurunkan
perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi keyakinan irrasional dan
menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan dewasa yang marah dan agresif.

Hasil wawancara yang didapatkan di RSKD bahwa intervensi yang diberikan kepada pasien dengan
perilaku kekerasannya hanya sebatas mengontrol amarah dengan melakukan kegiatan sehari-hari,
untuk Rational Emotive Behavior Therapy tidak perna dilakukan oleh perawat. Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, merupakan suatu pendekatan pemecahan
masalah yang rasional, yang diarahkan untuk masalah perilaku individu. Elis berkeyakinan bahwa
mempelajari kecemasan yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam memori manusia dari pada
dihilangkan. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk mengajarkan kliennya merubah pikiran yang
tidak rasional (irrasional) dan memberikan penjelasan rasional untuk masalah perilakunya (Ellis, 1962
dalam Adomeh, 2006). Berdasarkan teori REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara
spesifik dapat menurunkan perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi
keyakinan irrasional dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan dewasa
yang marah dan agresif.

METODE
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini hanya menggunakan pendekatan studi kasus.Metode
pengumpulan datanya memakai observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan bahan
dokumentasi perilaku (lembar obesrvasi) yang dilakukan pada bulan maret sampai dengan oktober
2019. Teknik samplingnya menggunakan purposive sampling, dengan subyek pnelitiannya 6 pasien
dengan perilaku kekerasanyang dirawat di RSKD Maluku.

HASIL
Hasil asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan perilaku
kekerasan dengan resiko perilaku kekerasan pendengaran dalam upaya mengontrol perilaku agresif
dengan pemberian terapi rational emotive behavior therapy berfokus pada masalah perilaku kekerasan
yang diderita klien, semua tindakan dalam penatalaksanaan yang sudah dibahas pada konsep teori
dasar keperawatan jiwa Keliat, 2013 mengarah pada masalah halusinasi. Maka bagian ini peneliti akan
membahas tentang kesenjangan antara teori yang ada dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil
pelaksanaan studi kasus yang mengacuh pada tahap-tahap prosese keperawatan. Beberapa
kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut :

Sumber data yang diperoleh pada pengkajian yaitu didapat dari klien dan juga tambahan dari tim
medis yaitu perawat. Peneliti tidak mendapatkan masalah yang berarti dalam hal pengkajian dalam
mendapatkan data tentang masalah perilaku kekerasan. Pada pengkajian, data-data yang diperoleh
khusus menyangkut masalah perilaku kekerasan adalah data hasil wawancar dan informasi dari status
klien, informasi dari tim medis yang mendukung peneliti dalam pelaksanaan penelitian. Dilihat dari
teori dan hasil pengkajian, semua tanda dan gejala dari masalah perilaku kekerasan yang ada pada
teori ditemukan pada Klien perilaku kekerasan.Jadi temukan adannya kesenjangan antara teori dan
kondisi klien pada saat pengkajian.

Diagnosa keperawatan yang muncul yaitu : Resiko perilaku kekerasan, Gangguan konsep diri : Harga
Diri Rendah, Mekanisme koping individu dan keluarga inefektif. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, peneliti hanya memfokuskan pada satu masalah yaitu perilaku kekerasan. Karena sesuai
dengan masalah yang peneliti angkat yaitu mengenai bagaimana terapi okupaasi pemberian rational
emotive behavior therapy untuk mengontrol perilaku agresif dan juga tidak mengabaikan diagnose
yang lain terkait dengan kondisi klien saat pengkajian, semua tindakan dalam upaya mengatasi
perilaku kekerasan klien ada pada tindakan keperawatan (SP klien dan SP Terapi) dalam diagnose
halusinasi, sehingga peneliti hanya memfokuskan pada masalah (diagnose keperawatan) halusinasi
pendengaran.

PEMBAHASAN
Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk bagaimana klien dapat mengontrol halusinasi
yang dirasakan dengan penerapan terapi rational emotive behavior therapy, maka sesuai dengan hasil
penelitian, peneliti hanya menysusun intervensi terfokuskan pada masalah perilaku kekerasan karena
semua tindakan untuk meningkatkan akitivitas klien agar perilaku kekerasan yang dirasakan dapat
diminimalkan, bahkan perilaku agresifnya menghilang ada pada teori dan tindakan keperawatan
dalam diagnose perilaku kekerasan namun peneliti juga tidak mengabaikan perencanaan tindakan
keperawatan untuk masalah (diagnose keperawatan) lain yang ada pada klien.

Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan, peneliti menggunkan strategi pelaksanaan (SP/Terapi)


yang berfokus penerapan terapi rational emotive behavior therapy untuk mengontrol perilaku
agresifnya yang dirasakan oleh klien, serta mengevaluasi jadwal kegiatan klien selama 3 hari dalam
mengisi aktifitas luang dengan terapi rational emotive behavior therapy. Serta tidak mengabaikan SP
yang lain, yaitu mengajarkan klien tentang cara berkenalan dengan orang lain, serta memasukkannya
ke dalam jadwal kegiatan harian klien. Secara teoritis, tindakan yang dilakukan dalam upaya
mengontrol perilaku agresif dengan penerapan terapi rational emotive behavior therapy, serta tindakan
strategi lainnya yaitu penerapan strategi pelaksanaan (SP 1) bina hubungan saling percaya dengan
klien, berjabat tangan dan duduk bersama, mengajarkan klien tentang cara berkenalan dengan orang
lain, menjelaskan tentang kerugian dan keuntungan berinteraksi dengan orang lain, dan mengajurkan
klien untuk memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya sehingga tercapainya SP I . Dilanjutkan
pada SP II klien dapat berkenalan dengan orang lain dan menunjukan tercapainya SP II tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, upaya mengontrol perilaku kekerasan yaitu perilaku agresif dengan
terapi rational emotive behavior therapy, semuanya dilakukan berdasarkan teori yang ada, jadi
terdapat kesenjangan antara teori dan hasil pelaksanaan pada penelitian.
Sesuai dengan hasil evaluasi yang didapatkan upaya untuk mengontrol perilaku agresifnya dengan
terapi rational emotive behavior
therapy pada klien perilaku kekerasan menunjukan adanya kemajuan dalam hal ini adalah semua
jadwal telah di diisi dengan rational emotive behavior therapy sesuai dengan kesepakatan antara klien
dengan peneliti, serta juga sudah tidak lagi terlihat berbicara sendiri, dank lien juga dapat berinteraksi
serta meningkatan ketrampilan pada klien dengan peneran SP tersebut. Ini adalah hasil yang
didapatkan peneliti saat melakukan penelitian pada klien perilaku kekerasan. Dengan demikian, antara
teori dan hasil penelitian ditemukan adanya kesenjangan.

Penelitian lain terkait efektifitas rational emotive behavior therapy yaitu penelitian yang pernah
dilakukan David, Szentagotai, Lupu, Cosman (2008) menyatakan bahwa rational emotive behavior
therapy mampu menurunkan tingkat depresi pasien. Penelitian Warren (2010) juga menjelaskan
bahwa rational emotive behavior therapy tampaknya memberikan kerangka kerja yang mendukung
untuk meningkatkan kemanjuran guru dan potensi prestasi siswa.

SIMPULAN
Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk mengontrol perilaku agresif dengan
penerapan terapi rational emotive behavior therapy dan SP yang telah diterapka, peneliti hanya
menyusun intervensi terfokus pada masalah halusinasi pendengaran karena semua tindakan untuk
mengontrol perilaku kekerasan juga dapat meminimalkan semua masalah keperawatan yang ada pada
klien perilaku kekerasan

Sesuai dengan hasil evaluasi yang didapatkan adanya hasil yaitu dengan di masukkan jadwal
meminum obat pada klien sesuai dengan ketentuan yang telah di tentukan, dan adanya peningkatan
interaksi klien dengan orang lain. Dengan demikikan klien dengan perilaku kekerasan menunjukan
tercapainya criteria intrevensi yang diaharapkan, yaitu berkurangnya dan dapat dikontrolnya perilaku
kekerasan yang dirasakan klien.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Rameez. (2007). Application of REBT with Muslim clients.The Rational EmotiveBehaviour
Therapist.Vol 12 No. 1. 3-8
Andrews, Bonta & Wormith.(2004). Resilience and youth criminality.(Online). Tersedia: http:
//www.p publicsafety.gc.ca (diakses: 24-10-
2019).
Baron, A.E. Byrne D., & Brascombe, R.N. 2006.Social Psychology (7thed). USA: Reason Education
Inc.
Campbell, J. D. (1953). Manic Depressive Disease: Clinical and Psychiatric Significance. Oxford,
England: Lippincott
Cresweell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (edisi
ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
David, D., Szentagotai, A., Lupu, V., & Cosman, D. (2008). Rational emotive behavior therapy,
cognitive therapy, and medication in the treatment of major depressive disorder: a randomized clinical
trial, posttreatment outcomes, and six‐month follow‐up. Journal of clinical psychology, 64(6), 728-
746.
Davidof, Linda, L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Davison, Gerald C, John M. Neale, dan Ann
M. Kring. 2012. Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Depok: PT Rajagrafindo Persada
Dryden, W. & Branch, R. (2008). The Fundamentals of Rational Emotive Behaviour Therapy: A
Training Handbook. 2nd Ed. West Sussex: John Wiley & Sons Inc.
Ellis, Albert & Dryden, Windy. 1973. The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy. New York
:Springer Publishing
Ellis, Albert Ph.D. 2007. Terapi REB: Agar Hidup Bebas Derita. Terjemahan Ikramullah Mahyuddin.
Yogyakarta: Penerbit B-First
Faizal, E.B. (2012).Psychiatrist links depression and heart disease.
(http://www.thejakartapost.com/news/ 2012/10/06/psychiatrist-links-
depression-andheart-disease.html, diakses 20 Oktober 2019)
Gilbert, P. (2001). Overcoming Depression: A Step-By-Step Approach To Gaining Control Over
Depression. 2 nd Edition.Oxford University Press.
Hakim, M Arief. 2009. Bahaya Narkoba Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi dan Melawan.
Bandung: Nuansa
Saleebey, Dennis 2005. The Strengths Perspective in Social Work Practice.

(4thed.). New York: Addison Wesley Longmans Publiser


Undang-Undang R.I Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropi
Warren, J. M. (2010). The Impact of Rational Emotive Behavior Therapy on Teacher Efficacy and
Student Achievement. Journal of School Counseling, 8(11), n11.
Zamzami, A. 2007.Agresivitas Siswa SMK DKI Jakarta. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun
ke-13, Nomor 069
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.3, November 2016, hal 191-199 pISSN 1410-4490,
eISSN 2354-9203
DOI : 10.7454/jki.v19i3.481

STIGMATISASI DAN PERILAKU KEKERASAN PADA ORANG DENGAN


GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI INDONESIA

Muhammad Arsyad Subu1*, Dave Holmes1, Jayne Elliot1

1. STIKes Binawan, Jakarta 13630, Indonesia

*E-mail: msubuo61@uottawa.ca

Abstrak

Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang-
orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari
keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam
hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan
data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan
metode Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang lain. Dampak stigmatisasi
dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan
aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku
kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma
dengan perilaku kekerasan.

Kata kunci: gangguan jiwa, perilaku kekerasan, stigma, stigmatisasi

Abstract

Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of stigmatization of mental
illness is violent behavior conducted by patients toward other people around them including families, nurses and
communities. Conversely, patients experienced violence conducted by families, communities and nursing professionals.
This study aims to understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate
violent behavior committed by sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods
of data collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé.
Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and health
professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of stigmatization is manifested by
violent behavior committed by patients, families, staff, community and authorities. Findings are relevant to psychiatric
nurses who provide care to the patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of
families, communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.

Keywords: Mental Illness, violent behavior, stigma, stigmatization

Pendahuluan si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7 per 1000


dan ODGJ ringan sekitar 6% dari total populasi
Para ahli memperkirakan 15% populasi global (Kemenkes, 2013). Tujuh puluh lima persen
akan memiliki masalah gangguan jiwa tahun ODGJ mengalami stigma dari masyara- kat,
2020 (Harpham, et al., 2003). Orang dengan pemerintah, petugas kesehatan dan media
gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya mengala- (Hawari, 2001). Perilaku kekerasan ODGJ
mi dampak akibat gejala dan penyakit, tetapi menjadi penyebab utama stigmatisasi di ma-
juga stigmatisasi (Kapungwe, 2010). Prevalen- syarakat dan tenaga kesehatan.
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi perilaku kekerasan di kalangan ODGJ dewasa
serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih Indonesia dengan menggunakan Constructivist
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan Grounded Theory (CGT). CGT diperkenalkan
& Watson, 2005). Profesional dalam pelaya- pertama kali oleh Kathy Charmaz. CGT kon-
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan sisten dengan epistemologi dan ontologi
tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan ‘konstruktivisme’ yang memprioritaskan pada
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). fenomena penelitian dan melihat data dan
Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien analisisnya sebagai hal yang dibuat dari
dalam keperawatan jiwa yang lebih tinggi pengalaman bersama peneliti dengan partisi-
(Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku pan dan sumber lainnya" (Charmaz 2006,
kekerasan merupakan kejadian umum di RS p.330). Desain penelitian ini lebih pada pen-
(Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se- dekatan objektivis, dan peran peneliti adalah
bagian besar perawat, beresiko menjadi korban menemukan kebenaran yang ada di dalam objek
kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- penelitian dan meminimalisasi ‘keku- atan’
Pierre, 2012). ODGJ menghadapi stigmatisasi (Charmaz, 2006, p. 331).
yang menyebabkan mereka rentan terhadap
perilaku kekerasan orang. ODGJ lebih sering Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di
menjadi korban daripada pelaku kekerasan Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
(Stuart, 2004), menjadi korban fisik dan seksual skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem-
(Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor- ban puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak 30
kejahatan dan diskriminasi (Katsikidou, et al., partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk
2012). Sepu-luh persen penderita adalah korban memastikan saturasi data (Charmaz, 2006). Para
kekerasan (Schomerus, et al., 2008). partisipan hanya yang memiliki kemam- puan
membaca dan menulis, berusia 18 tahun atau
Suatu penelitian di Australia mengungkapkan lebih, mengalami gangguan jiwa dan stigma.
bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah Pengumpulan data melalui wawancara semi-
mengalami serangan fisik dan 57% setelah berstruktur yang direkam menggunakan digital
mengalami kekerasan seksual (McFarlane, audio. Telaah dokumen juga digunakan seba-
Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain gai triangulasi data untuk meningkatkan pro-
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke- babilitas kredibilitas interpretasi data (Lincoln
kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke- & Guba, 1985). Dokumen tersebut berupa
luarga dan bukan orang asing. Mereka sering hardcopy dan elektronik seperti laporan, log
dipukul atau diancam oleh anggota keluarga perawat, pre dan post konferensi, moto, visi dan
mereka (Katsikidou, et al., 2012; Solomon, misi RS. Memo digunakan untuk mendo-
Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur kumentasikan pengalaman dalam laporan ker-
intensif mengungkapkan bahwa penelitian tas yang menjelaskan proses berpikir peneliti.
tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum fokus Catatan lapangan dari observasi dan refleksi
pada dampaknya terhadap perilaku ke- kerasan data, merupakan bagian dari pendekatan ref-
pada ODGJ. Penelitian ini mem- berikan leksif proses analitis data (Charmaz, 2006).
analisis mendalam untuk memahami hubungan
antara stigmatisasi dengan perilaku kekerasan Analisis data menggunakan metode Paille
pada ODGJ. (1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
menghubungkan kategori, integrasi, konsep-
Metode tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan
Cowley (2004) terdapat tiga tahapan analisis
Penelitian ini memberikan pemahaman subs- yaitu koding awal, fase menengah, dan
tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan
pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng-
data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi pengalaman partisipan terkait stigma dengan
(koding awal), menghubungkan kategori dan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi dan kata-kata partisipan yang sebenarnya untuk
teorisasi (pengembangan akhir). Tahap menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti-
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur kulasikan dengan asumsi, posisi epistemologis
kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam dan teoritis yang memengaruhi proses peneli-
bentuk kode secara terorganisir (proses tian. Dilakukan evaluasi diri sebagai instrumen
pembentukan kode). Tujuannya adalah mem- dan melihat efek peneliti yang dilakukan
beri nama, mengungkap, meringkas dan mem- melalui refleksi diri dan memoyang ditulis
beri label, baris demi baris, dari data trans- dalam jurnal.
kripsi. Kodifikasi ini membantu mengidenti-
fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi
dan pembentukan kategori. Tahap kategorisasi temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
adalah untuk menggambarkan fenomena se- dengan jelas proses berpikir peneliti
cara umum atau peristiwa yang muncul dari (Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini,
data yang kemudian dibuat daftar kategori. auditabilitas dilakukan dengan kriteria untuk
Tahap ini adalah untuk menentukan kategori merumuskan pemikiran, bagaimana dan
dengan mengidentifikasi variasi dalam data mengapa para partisipan dalam penelitian ini
dapat dijelaskan dengan kategori lain. Tahap dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu-
integrasi adalah menentukan fenomena- nakan kerangka yang disajikan oleh Paille
fenomena yang telah diamati secara empiris. (1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang-
Dengan mengintegrasikan hubungan antara kah dalam analisis data dan memastikan bah-
kategori, peneliti mengidentifikasi kongruensi wa pembaca dapat memahami bagaimana data
tertentu yang muncul antara data dan arah itu didapatkan atau dibentuk oleh partisipan dan
penelitian yang diambil selama analisis. Tahap peneliti.
konseptualisasi adalah proses pengembangan
dan klarifikasi konsep-konsep yang muncul dan Fittingness atau transferabilitas berarti hasil
menjelaskan konsep tersebut dengan kata- kata penelitian memiliki arti yang sama pada situasi
dan untuk memberikan definisi konsep- tual serupa (Chiovitti & Piran, 2003). Dalam
secara verbal. Proses ini memungkinkan peneliti penelitian ini, selama proses koding, semua data
untuk memahami fenomena penelitian dan yang dibuat kode telah diperiksa oleh seorang
kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori- sasi pakar lain untuk melakukan cek eksternal yang
merupakan proses konstruksi untuk me- terkait dengan hasil penelitian.
nguatkan teori atau pemahaman susbstantif.
Tidak semua penelitian grounded theory
menghasilkan teori; akan tapi pemahaman yang
Hasil
mendalam dan substantif merupakan hasil akhir Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri.
dari sebuah penelitian dengan grounded theory Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja
Charmaz (2006). menyakiti diri sendiri. Seorang pasien meng-
gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria menyebabkan ide bunuh diri atau menyakiti diri
pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran, sendiri. Rasa takut terhadap orang lain juga
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah menjadi pencetus ide bunuh diri.
dengan mengumpulkan data dari berbagai “...kadang saya tidak bisa mengendalikan diri
sumber diantaranya melalui wawancara, cata- sampai saya berkeinginan bunuh diri. Saya
tan lapangan, dan memo. Koding data dengan mencoba bunuh diri tiga kali dengan
minum racun tapi saya tidak mati ... Dengan balok kayu.
penyakit jiwa, kepercayaan diri saya rendah. “Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ.
Saya merasa bingung; dengan orang lain, saya Banyak sekali kita menerima pasien yang telah
takut. Saya takut melihat orang lain.“ (P1). dipasung, terikat, dirantai, dimasuk- kan ke
dalam balok kayu; tapi, ada juga pasung,
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain dan seperti menempatkan penderita di ruangan
Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah kecil dan dikasih makanan sekali sehari.
melakukan perilaku kekerasan terhadap anggota Beberapa pasien tidak bisa ber- jalan, kurus
keluarga atau kerabat. dan kurang gizi. Mereka tidak dapat berbicara.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga dan Keluarga mereka kaya; jika mereka ingin
saya menjadi beban keluarga saya. Karena membawa pasien ke RS, saya yakin mereka
kesulitan dalam hidup, saya harus berada di mampu” (P13).
sini (RSJ). Otak saya punya banyak masalah.
Jadi, saya marah dan melakukan kekerasan di Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi
rumah dan selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
(P1). kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan
Pasien yang melakukan kekerasan sering pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga
disembunyikan oleh keluarga, sehingga mereka mengakui beberapa pasien yang memiliki
terisolasi di masyarakat. riwayat pasung di rumah karena mereka
“L [teman] punya keluarga dengan penyakit melakukan kekerasan, mereka menggang- gu
jiwa; jika [pasien] melakukan kekerasan, ia masyarakat. Mungkin [mereka] tidak tahu cara
menghancurkan atap, rumah, dll. Jadi keluarga merawat orang dengan penyakit jiwa. Hal ini
merahasiakan dan menyembunyikannya. masuk akal juga, kan? Mungkin lebih baik bagi
Mereka [pasien dan keluarga] jarang diundang mereka untuk menyelamatkan orang-orang
oleh masyarakat. Jadi, mereka terisolasi. daripada merawat ODGJ.” (P9).
Mereka terpinggirkan... stigmakan?” (P11).
Perawat lain mengatakan bahwa beberapa
Pasien juga melakukan kekerasan terhadap pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar
fasilitas umum, dan menghancurkan barang- negeri. Mereka dikurung oleh keluarga saat
barang. mereka kembali.
“Saya melemparkan asbak. Ceritanya, saya “Mereka dikait di pilar besar. Ada yang
kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar dengan diletakkan di kandang kambing atau ayam.
angsuran. Seratus, lima puluh, uang saya dari Mereka dikurung seperti kambing. [Pasien]
BJB lebih banyak... Saya marah; Saya tidak buang air besar, makan disitu, seperti binatang.
bisa mengendalikan diri. Saya jadi marah, Ini bukan cerita tapi saya melihatnya langsung;
seperti itu. Kemudian, saya dibawa ke sini Saya itu saksi kondisi ini. Enam pasien telah
(RSJ).” (P13). dibawa ke RS. Ya, beberapa dari daerah ini
mengirimkan banyak pekerja di Jawa Barat.
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi. Jadi mereka stres karena mereka bekerja di
Pasung dan seklusi masih digunakan untuk Arab Saudi. Mereka stres, dan kembali ke
menangani penderita gangguan jiwa. Beberapa Indonesia dikurung oleh keluarganya.” (P15).
perawat menunjukkan bahwa ada pasien diikat,
dirantai, atau dimasukkan ke dalam Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami
kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa perawat.
orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di “Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal).
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
penyakit jiwa (P1). Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga
diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk
penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, Pasien dengan perilaku kekerasan yang
melanggar hak-hak seseorang. membahayakan akan diisolasi sebagai metode
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada pengendalian.
dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang- “Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber
orang melakukan kejahatan terha- dap mereka, bahaya… mereka nganggap orang gila itu
seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. benar-benar gila, bukan manusia; harus
Saya dipasung karena apa? Saya dipasung dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang,
bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung dan ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan
untuk membuat saya "gila." Hal ini lebih gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
menyakitkan benar.” (P14). saya seperti babi diseret.” (P9).

Kekerasan oleh Pengobatan Tradisional. Seringkali petugas keamanan dan perawat


Banyak ODGJ yang mendapatkan pengobatan bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
tradisional mengalami kekerasan dari terapis. kekerasan.
Pasien mengalami terapi alternatif yang ber- “Semuanya dihancurkan, TV rusak. Teman
sifat abuse, seperti ditenggelamkan, dicambuk, saya di S (bangsal) telah meng- hancurkan TV.
atau dimandikan paksa. Sekarang, dia ada di sini, di bangsal K. Pasien
“Ya, saya dimandikan tengah malam. Dukun dengan kasar diseret oleh petugas keamanan.
menggunakan ilmu sihir...[tidak jelas], "Ayo kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa.
memukuli saya. Saya dimandikan jam satu "Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
malam. Saya tidak tidur. Badan saya dikocok diperlakukan seperti itu.” (P2).
kocok seperti kambing. Saya disana satu
setengah bulan, namun saya tidak sehat, saya Seorang perawat mengatakan bahwa umumnya
tidak lebih baik.” (P2). pasien baru di RSJ diikat.
“Jika pasien datang ke rumah sakit sangat
Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah mudah marah, beberapa pasien ini terikat; ada
satu pasien menceritakan pengalamannya pula yang diborgol. Jika pasien datang dengan
ditahanan di kantor polisi. Pasien lain diborgol kurang atau tidak marah, mereka tidak terikat.
oleh polisi karena perilaku kekerasannya. Jadi, jika pasien berada dalam kondisi marah
“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol saya. ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika
Ibu saya meminta bantuan polisi untuk mereka tidak benar-benar marah, mereka tidak
memborgol saya. Tapi belenggu borgol rusak. diikat oleh orang lain. Mereka dibawa oleh
Lihat ini [bekas luka di tangannya].” (P15). keluarga atau polisi kesini. Ya, polisi. Seperti
itu. Jika pasien baru, sebagian besar mereka
Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf datang dengan terikat.” (P6).
rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik
terhadap pasien. Metode pengikatan, pengeka-
ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan
Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan
dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
akibat kekerasan dari terapi dan pengobatan dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang
alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
telah dibawa ke dukun mengungkapkan: (Wehring & Carpenter, 2011).
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di daerah
terpencil di Jawa, dan tempatnya sangat gelap. Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri
Saya takut. Dia itu mantan pasien sakit jiwa. sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
Dia mengatakan: "Ini penyakit gila. Ini untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke-
psikopat". Saya ingin melarikan diri. Saya takut rasan mandiri meliputi ide atau percobaan
benar melihat kapaknya. Saya sangat stres, itu bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh
pengo- batan yang aneh.” (P3). diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy-
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
keluarga yang mengalami gangguan jiwa Risiko menyakiti diri sendiri meningkat
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.
akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ
penderita di rumah, juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat
penderita mengganggu masyarakat. Umumnya, adalah profesi yang paling rentan menjadi target
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al.,
anggota keluarga merasa ga nyaman dengan 2006), sebagian besar perawat mengalami
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al.,
kekerasan lagi” (P11). 2006; Landy, 2005).

Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi-


dengan riwayat perilaku kekerasan membuat laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
takut masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering
diisolasi oleh teman dan masyarakat. menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al.,
“Teman-teman merasa takut. Mereka 2012). Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk.,
saya karena saya orang sakit jiwa. Ya, 2009). Interaksi antara polisi dan ODGJ
argumen saya tidak diterima; tidak dipahami kadang-kadang terkait dengan perilaku keke-
oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara rasan (Cotton & Coleman, 2010).
benar, mereka harus nurutin saya. ” (P5).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga
Pembahasan takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal
Hubungan antara gangguan jiwa dengan ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
perilaku kekerasan adalah penyebab utama hubungan erat antara perilaku kekerasan yang
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men-
sien melakukan kekerasan di keluarga dan ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5 berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje &
Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian
Medical Association, 2008). Banyak yang Referensi
menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an-
caman bagi keselamatan umum (Jorm & Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the
Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami link between discrimination, mental health
perawat dapat memengaruhi hubungan pera- outcomes, and life chances among Latinos.
wat dengan pasien, yang menghambat pem- Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28 (2), 245–
berian asuhan keperawatan (Jacob, 2010). 266.

Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat Arboleda-Florez, J. (2003). Considerations on the


stigma of mental illness. Canadian Journal of
dipengaruhi oleh media massa yang berperan
Psychiatry, 48 (10), 645–650.
membentuk opini masyarakat. Penggambaran
ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, public and self-stigma to seeking mental health
2003). services. Journal of Mental Health Counseling, 33
(2), 161–176.
Kesimpulan
Canadian Medical Association (2008). 8th Annual
Penelitian ini menemukan bahwa perilaku national report card on health care. Ottawa ON:
Canadian Medical Association.
kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada- Charmaz, K. (2006). Constructing grounded theory:
lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ. A practical guide through qualitative analysis.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan London: Sage Publications.
para perawat. Hasil penelitian memberikan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya- Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and
nan keperawatan jiwa di Indonesia. grounded theory research. Journal of Advanced
Nursing, 44 (4), 427–435.
Sangat penting memasukkan materi stigma-
tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen- Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan from the national comorbidity survey on the
frequency of violent behavior in individuals with
akan menghadapi risiko perilaku kekerasan dari
psychiatric disorders. Psychiatry Research, 136,
pasien jika bekerja di area keperawatan jiwa. 153–162.
Keperawatan jiwa merupakan area yang bersiko
mendapatkan ancaman dan kekerasan sehingga Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian police
seringkali membenarkan beberapa jenis agencies and their interactions with persons with a
intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau mental illness: A systems approach. Police Practice
pengasingan yang merugikan hubungan pera- and Research, 11 (4), 301–
wat dengan pasien. 314.

Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A.,
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann. J.J.(2003).
Suicide attempts in schizophrenia: The roleof
pemerintah memandang stigma terkait perilaku
command auditory hallucinations for suicide.
kekerasan pada ODGJ. Program kampanye anti- Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.
stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif
stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke- Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga Measuring health in cost effective manner. Health
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma Policy and Planning, 18 (3), 344.
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a Landy, H. (2005). Violence and aggression: How
grounded theory approach: A comparison of Glaser nurses perceive their own and their colleagues risk.
and Strauss. International Journal of Nursing Emergency Nurse, 13, 12–15.
Studies, 41 (2), 141–150.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2004). The prevalence ofvictimization and violent
(2012). Introduction (re) thinking violence in health behaviour in the seriously mentally ill (Theses,
care settings: A critical approach. In Holmes, D., University of Adelaide). Department of Psychiatry,
Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re) Thinking violence University of Adelaide, Adelaide, Australia.
in health care settings: A critical approach. Surrey:
Ashgate Publishing, Ltd.
Paillé, P. (1994). L’analyse par théorisation ancrée.
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I., Cahiers de recherche sociologique, 23, 147–
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons 181.
with severe mental illness in Taiwan. Aealand
Journal of Psychiatry, 460–466. Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in
qualitative research. Advances in Nursing Science, 8
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., (3), 27–37.
& Okamura, H. (2006). Psychological impact of
verbal abuse and violence by patients on nurses Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C.,
working in psychiatric departments. Psychiatry and Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36. &Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood
and the appraisal of personal safety in people with
Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic schizophrenia: Results from the European
psychiatry: nurse-patient interactions in a secure Schizophrenia Cohort (EuroSC). Psychological
environment. Doctoral Dissertation School of Medicine, 38 (4), 591–597.
Nursing University of Ottawa, Canada:
Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J.
Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s (2005). Family violence amongadults with severe
stigmatizing attitudes towards people with mental mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1),
disorders: how important are biomedical 40–54.
conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321. Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre,
L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M. (2007). Cross-
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, national differences in relationships of work
Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental illness demands, job satisfaction and turnover intentions
- stigma anddiscrimination in Zambia. African with work–family conflict. Personnel Psychology,
Journal of Psychiatry, 13, 192–203. 60, 805–835.

Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare
Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K ., papers, 5(2), 100–111.
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely
mentally ill in Greece: The extent of the problem. Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., &
International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide ideation
706–715. and behaviour in recent onset schizophrenia. Social
Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 39, 927–
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan 937.
dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., &
Kesehatan RI. Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in adults
with severe mental illness. Archives of general
psychiatry, 62, 911–921.
1

Wehring, H.J., & Carpenter, W.T (2011).


Violence and schizophrenia.Schizophrenia
Bulletin, 37 (5), 877–778.

Ju
rn
2

PENGARUH PENERAPAN STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN


PERILAKU KEKERASAN

Nofrida Saswati
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Harapan Ibu Jambi E-mail:
nofridasaswati@gmail.com

Abstrak
Tujuan: Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk Mengetahui pengaruh penerapan standar asuhan
keperawatan klien skizofrenia dalam meningkatkan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian pre experimental, pretest
dan posttest. Populasi penelitian ini sebanyak 53 orang dengan jumlah sampel sebanyak 34 responden
yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 17 responden kelompok intervensi dan 17 kelompok kontrol.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok intervensi setelah perlakuan rata-rata mengontrol
perilaku kekerasan sebesar 6,88 dan pada kelompok kontrol 3,55 dengan nilai p-value 0.000.

Simpulan: Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan berpengaruh terhadap kemampuan mengontrol perilaku kekerasan. Untuk itu diharapkan bagi
perawat ruangan dapat lebih meningkatkan lagi penerapan standar asuhan keperawatan pada klien
dengan perilaku kekerasan.

Kata kunci: Perilaku kekerasan, standar asuhan keperawatan.

Abstract
Aim: The purpose of this study is to know the effect of the application of nursing care standards
schizophrenia clients in improving the ability to control violent behavior.

Method: This study is a quantitative research design pre-experimental pre-test and post test. Population of
this study were 53 people, with a total sample of 34 respondents were divided into 2 groups: 17
respondents intervention group and 17 control group.

Result: The results showed the treatment group average intervention group after control the violent
behavior of 6.88 and 3.55 in the control group, with p-value 0.000.

Conclusion: Based on the results of the study showed that the application of standards of nursing care
violent behavior affect the ability to control violent behavior. For nurses can further enhance the
implementation of standards of nursing care in the client's violent behavior.

Keyword: Violent Behavior, Nursing Care Standards

Ju
rn
PENDAHULUAN klien rawat inap seluruh penyakit skizofrenia
selalu meningkat dari tahun ke tahun, pada
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat tahun 2012 sebanyak 432 0rang, tahun 2013
emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat sebanyak 526 dan tahun 2014 sebanyak 1122
dari hubungan interpersonal yang orang.8Berdasarkan data penderita perilaku
memuaskan, perilaku dan koping yang kekerasan yang didapat dari Rumah Sakit
efektif, konsep diri yang positif, dan Jiwa Provinsi Jambi tiga tahun terakhir dari
kestabilan yang emosional.1 tahun 2013 sampai Oktober tahun2015.Pada
tahun 2013 penderita perilaku kekerasan
Seseorang dikatakan sehat jiwa bila mampu sebanyak 133 klien, pada tahun 2014
menyesuaikan diri secara harmonis, selaras penderita perilaku kekerasan sebanyak 266
terhadap tuntutan kehidupan.Sebaliknya bila dan pada tahun 2015 untuk kasus perilaku
seseorang tidak mampu menyesuaikan diri kekerasan sebanyak 386 klien.
terhadap tuntutan hidup ini berarti orang
tersebut mengalami gangguan jiwa. Tujuan penelitian untuk mengetahui Pengaruh
Gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus Penerapan Standar Asuhan Keperawatan
dihadapi oleh seseorang karena hubungan Perilaku Kekerasan Terhadap Kemampuan
dengan orang lain. Kesulitan karena Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Klien
persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya Skizofrenia dengan perilaku kekerasan di
terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang ruang PICU Rumah Sakit Jiwa Daerah
lain, yang ditandai dengan kecemasan yang Provinsi Jambi Tahun 2016.
berlebihan, tidak puas dengan kenyataan yang
sebenarnya dan ketidakmampuan berfungsi METODE PENELITIAN
secara efektif di dalam menghadapi
masalah.Gangguan jiwa merupakan suatu Berdasarkan permasalahan yang di teliti,
penyakit yang disebabkan karena adanya penelitian ini menggunakan desain quasi
kekecauan pikiran, persepsi dan tingkah laku eksperiment pretest and posttest two group.
di mana individu tidak mampu menyesuaikan Penelitian ini dilaksanakan di RSJD Provinsi
diri dengan diri sendri, orang lain, Jambi pada tanggal 24 Desember 2015-18
masyarakat, dan lingkungan. Penegertian Januari 2016. Populasi dalam penelitian ini
seseorang tentang penyakit gangguan jiwa adalah klien yang terdiagnosa perilaku
berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor kekerasan di RSJD Provinsi Jambi yang
penyebabnya yang berhubungan dengan berjumlah 53 responden, penentuan jumlah
biopsikososial.2 sampel sesuai dengan kriteria:

Berdasarkan data status kesehatan jiwa di Kriteria Inklusi


Indonesia dapat dilihat dari hasil riset Semua klien skizofrenia yang
kesehatan dasar3 yang dilakukan oleh Badan sedangdirawat inap dengan perilaku
Penelitian Pengembangan Kesehatan kekerasan yang tercatat pada 3 bulan
Dapertemen Kesehatan yang menunjukan terakhir (Oktober-Desember) di
prevelensi penderita sekizofrenia di Indonesia Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi
sebesar 1,7 permil. Sedangkan di Provinsi 2015.
Jambi menurut data RISKESDAS tahun 2013 Sudah tidak terlalu gelisah, agresif,
sebanyak 0,9 permil. Berdasarkan data yangdi sehingga dapat kooperatif dan tidak
ambil dari Rekam Medik RSJD Propinsi mengganggu jalannya atau
Jambi didapatkan data berlangsungnya terapi individu.
Bersedia menjadi responden. independen.
Analisa Bivariat
Kriteria Ekslusi Analisa bivariat bertujuan untuk mengetahui
Klien perilaku kekerasan yang pengaruh penerapan standar asuhan
tercatat pada bulan Oktober- keperawatan perilaku kekerasan terhadap
Desember 2015, tetapi pada saat kemampuan mengontrol perilaku kekerasan,
penelitian telah pulang atau rawat analisis menggunakan UjiPaired t-testdengan
jalan. menggunakan derajat kepercayaan 95%
Klien yang sudah pernah sehingga bila nilai p < 0,00 berarti ada
diterapkannya strategi pelaksanaan pengaruh yang signifikan pada penerapan
perilaku kekerasan dan telah mampu setandar asuhan keperawatan.
dalam melaksanakan tindakan yang
di ajarkan.
Klien yang diagnosanya berubah HASIL PENELITIAN
(tidak lagi berdiagnosa perilaku
kekerasan). HasilAnalisisUnivariat
Tidak bersedia menjadi responden. Rata-rata hasil penerapan standar asuhan
keperawatan Perilaku Kekerasan Sebelum
Instrumen atau alat pengumpulan data yang intervensi kemampuan mengontrol perilaku
digunakan dalam penelitian ini berupa buku kekerasan adalah 3,12, dengan nilai terendah
panduan observasi berisikan pertanyaan 1 dan tertinggi 6. Uji homogenitas didapat
tentang kemampuan klien mengontrol nilai p-value 0,777 (p>0,05) artinya kedua
perilaku kekerasan. kelompok homogen atau setara.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur
AnalisisBivariat
klien mengontrol perilaku kekerasan terdiri
Kemampuan Mengontrol Perilaku
dari pertanyaan tentankemampuan klien
kekerasan Sebelum dan Sesudah
mengontrol perilaku kekerasan.penilaian
Intervensi.
kemampuan ini dilakukan dengan cara lembar
Rata-rata hasil Kemampuan mengontrol
observasi dan wawancara dengan mengajukan
Perilaku kekerasan Sebelum dan Sesudah
10 pertanyaan terkait kemampuan mengontrol
intervensi pada kelompok intervensi terjadi
perilaku kekerasan. Yaitu; mengontrol dengan
perubahan nilai rata- rata kemampuan
fisik ke-1 dan fisik ke-2, mengontrol dengan
mengontrol perilaku kekerasan antara pretest
obat, mengontrol dengan sosial/verbal dan
dan posttest.
mengontrol dengan spiritual. Pilihan jawaban
terdiri dari 2 kemampuan yaitu mampu dan
Nilai selisih rata- rata sebesar 3,70 hal itu
tidak mampu, bila mampu diberi bobot: 1 dan
menunjukan bahwa ada peningkatan
tidakmampu:0 dan skor 10.
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
Analisa data yang dilakukan untuk pengujian pada kelompok intervensi dibandingkan
hipotesis adalah sebagai berikut: sebelum mendapatkan terapi nilai P-value
Analisa Univariat lebih kecil dari alpha (0.000<0,05), hasil
Analisis dilakukan untuk mengetahui diskripsi
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
atau proporsi masing- masing variabel yang
diteliti, baik variabel dependen maupun
variabel
tersebut menunjukan bahwa terdapat Adapun tanda dan gejala yang ditemui pada
perbedaan sebelum dan sesudah intervensi, klien melalui observasi atau wawancara tentang
dan pada kelompok kontrol terjadi sedikit perilaku kekerasan selama pretest adalah
perubahan nilai rata-rata kemampuan sebagai berikut: muka merah dan tegang,
mengontrol perilaku kekerasan antara pre dan pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan
post. Nilai selisih rata-rata0,29 hal itu kuat, mengepal tangan, jalan mondar mandir,
menunjukan bahwa ada peningkatan bicara kasar, suara tinggi menjerit atau
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan berteriak, dan tidak memiliki kemampuan
pada kelompok kontrol. Dimana p-value mencegah atau mengendalikan perilaku
0,136 hasil tersebut menunjukkan tidak ada kekerasan.
perbedaan yang signifikan.
Perbedaan Kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan sebelum
Perbedaan Kemampuan Intervensi
Mengontrol Perilaku Kekerasan
Sesudah Intervensi Berdasarkan hasil penelitian pada klien
Skizofrenia sebelum dilakukan penerapan
Rata-rata hasil Kemampuan Mengontrol standar asuhan keperawatan perilaku kekerasan
Perilaku Kekerasan Sesudah Intervensi dari pada kelompok intervensi memiliki kemampuan
34 responden ada perbedaan yang signifikan mengontrol perilaku kekerasan yang masih
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan rendah bahkan ada yang tidak mampu
pada kelompok intervensi dengan rata- rata mengontrol perilaku
6,88 dan kelompok kontrol dengan rata- rata kekerasannya, dengan demikian dapat membuat
3,35 dengan nilai p-value 0,000 maka dapat klien tetap pada kondisi perilaku kekerasan, hal
disimpulkan adanya peningkatan yang ini banyak terjadi pada klien yang baru
signifikan rata- rata mengontrol perilaku mengalami perawatan.
kekerasan sesudah penerapan asuhan
keperawatan perilaku kekerasan. Dari hasil penelitian pada klien intervensi 17
responden pada kelompok intervensi sebelum
diberikan perlakuan terdapat 76,5% yang masih
PEMBAHASAN kurang mampu mengontrol perilaku
kekerasannya dan 23,6% yang mampu
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan mengontrol perilaku kekerasannya, sedangkan
emosi yang merupakan campuran perasaan pada 17 responden pada kelompok kontrol
frustasi dan benci atau marah.Hal ini didasari terdapat 82,3% yang kurang mampu dan 17,7%
keadaan emosi secara mendalam dari setiap yang mampu mengontrol perilaku kekerasanya.
orang sebagai bagian penting dari keadaan
emosional kita yang dapatdiproyeksikan Penelitian yang dilakukan oleh Hasmiati 4, yang
kelingkungan, kedalam diri atau secara dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan
destruktif.5 mengenai
kemampuan klien dalam mengontrol perilaku
kekerasan dengan penerapan asuhan Adapun tanda dan gejala yang ditemui pada klien
keperawatan terhadap 18 responden, secara melalui observasi atau wawancara tentang perilaku
keseluruhan (100%) klien tidak mampu untuk kekerasan selama pre test adalah sebagai berikut :
mengontrol perilaku kekerasan6. muka merah dan tegang, pandangan tajam,
mengatupkan rahang dengan kuat, mengepal dapat dilihat bahwa tingginya persentase klien
tangan, jalan mondar mandir, bicara kasar, yang tidak mampu.
suara tinggi menjerit atau berteriak, dan tidak
memiliki kemampuan mencegah atau Perbedaan Kemampuan Klien
mengendalikan perilaku kekerasan. Untuk Mengontrol Perilaku Kekerasan
mencegah timbulnya gejala perilaku Sesudah Intervensi
kekerasan atau mencegah terjadinya perilaku
kekerasan pada seseorang maka harus Berdasarkan hasil penelitian pada klien
diperhatikan, diberikan asuhan keperawatan Skizofrenia sesudah dilakukan penerapan standar
dan diterapi sehingga mengurangi terjadinya asuhan keperawatan perilaku kekerasan pada
tindakan perilaku kekerasan. kelompok intervensi mengalami peningkatan
yang signifikan dalam mengontrol perilaku
Tindakan yang diberikan Pada klien perilaku kekerasan. Dengan demikian dapat membuat
kekerasan berupa klien tetap pada keadaan tenang dan rilek disaat
Psikofarmakologi, dan Standar asuhan klien kambuh ulang. Pada kelompok kontrol
keperawatan, asuhan keperawatan yang dapat mengalami sedikit peningkatan setelah
diberikan kepada klien perilaku kekerasan mendapatkan terapi obat dari ruangan namun
dapat berupa strategi pelaksanaan perilaku belum optimal dalam mengontrol perilaku
kekerasan(Azizah. 2011). kekerasannya.

Asumsi peneliti sebelum penerapan standar Penelitian yang dilakukan oleh Hasmiati4, yang
asuhan keperawatan pada klien skizofrenia dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan
klien belum mampu untuk mengontol mengenai kemampuan klien dalam mengontrol
perilaku kekerasannya dimana pada klien perilaku kekerasan dengan penerapan asuhan
skizofrenia terjadi gangguan pada system keperawatan terhadap 18 responden, terdapat
saraf diotak yang mempengaruhi daya fikir 83,3% responden mampu mengontrol perilaku
klien. Selain itu juga klien belum mengerti kekerasan setelah mendapatkan standar asuhan
tentang bagaimana cara mengontrol perilaku keperawatan dan 16,7% respon den tidak mampu
kekerasan terhadap pengaruh penerapan mengontrol perilaku kekerasan.
standar asuhan keperawatan hal ini
Gejala yang muncul pada klien dengan
Skizofrenia diantaranya prilaku kekerasan,
Halusinasi, Waham, Ekopraksia, Flight of ideas,
Perseverasi, Asosiasi longgar, Gagasan rujukan,
Ambivalensi. Untuk
penatalaksanaan dapat menggunakan
Hospitalisasi, Antipsikotik, Psikososial (Terapi
Perilaku, Terapi Keluarga, Terapi Suportif).
Dengan demikian klien dapat belajar untuk
memahami
mengontrol penyakit dan untuk minum obat yang dapat dilakukan oleh perawat melalui
secara teratur serta mengatur stress yang proses keperawatan.5
dapat memperburuk penyakit. Selain terapi
diatas pada klien gangguan jiwa dapat juga Asumsi peneliti tentang pengaruh
digunakan penerapan asuhan keperawatan. penerapan standar asuhan keperawatan
Standar asuhan keperawatan berhubungan pada klien skizofrenia kelompok intervensi
dengan aktivitas keperawatan profesional sudah optimal hal ini dikarenakan klien
berperan aktif untuk mempelajari kekerasan dengan P-value 0,136 namun
bagaimana cara hasilnya belum optimal.
mengontrol perilaku kekerasan hal ini dapat
dilihat dari tingginya persentase klien yang Penelitian yang dilakukan oleh Elyani6,
mampu mengontrol perilaku kekerasan yaitu yang dilakukan di RSJD Provinsi Sumatra
(82,3%) dan pada kelompok kontrol dilihat utara mengenai kemampuan klien dalam
dari mean mengalami sedikit peningkatan hal mengontrol perilaku kekerasan dengan
itu dipengaruhi oleh pemberian terapi obat, penerapan asuhan keperawatan didapatkan
namun hasil yang diperoleh belum optimal hasil p value= 0,000 maka dapat
karna pemberian obat hanya mampu disimpulkan adanya pengaruh
memberikan efek tenang pada klien penerapan asuhan
skizofrenia. keperawatan dengan kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan.6
Perbedaan Kemampuan Klien
Mengontrol Perilaku Kekerasan Strategi pelaksanaan merupakan proses
sebelum dan Sesudah Intervensi yang sangat khusus dan berarti dalam
hubungan antar manusia. Kemampuan
Berdasarkan hasil penelitian terlihat masing- penerapan strategi pelaksanaan tidak
masing responden mengalami peningkatan dapat dipisahkan dari tingkah laku
kemampuan mengontrol perilakukekerasan seseorang yang melibatkan aktivitas fisik,
sesudah dilakukan penerapan asuhan mental, disamping itu juga dipengaruhi
keperawatan perilaku kekerasan pada latar belakang sosial, pengalaman, usia,
kelompok intervensi, hal ini dapat dilihat dari pendidikan dan tujuan yang akan dicapai.
P-value= 0,000 maka dapat disimpulkan Kegagalan sering terjadi pada seorang
adanya peningkatan yang signifikan rata-rata perawat dalam mendapatkan data
mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan khususnya pada klien gangguan jiwa, Hal
sesudah penerapan dan pada kelompok ini disebabkan karena seorang perawat
kontrol mengalami sedikit peningkatan dalam belum mampu atau kurang dalam
mengontrol perilaku menjalankan strategi pelaksanaan
sehingga tidak
terbentuknya hubungan saling percaya
antar klien dengan perawat, dan akhirnya
asuhan keperawatan yang diharapkan
tidaklah efektif dan kurang terbentuknya
hubungan interpersonal antar perawat dan
klien.

Asumsi peneliti tentang pengaruh


penerapan standar asuhan keperawatan
pada kelompok intervensi dan control
sebelum dilakukan asuhan keperawatan
hasil yang diperoleh belum optimal,
Namun setelah dilakukannya asuhan
keperawatan pada kelompok intervensi
mengalami peningkatan yang signifikan
dan memperoleh hasil yang optimal dan
pada kelompok kontrol mengalami sedikit perubahan hal itu dipengaruhi oleh pemberian terapi
obat, namun hasil yang diperoleh belum optimal.

Setelah dilaksanakan standar asuhan keperawatan pada klien perilaku kekerasan terdapat
perubahan, maka dari itu diharapkan pihak manajemen rumah sakit jiwa dapat menetapkan
peraturan untuk menerapkan standar asuhan keperawatan yang telah ditetapkan dengan baik
disemua ruangan rawat inap dan nmengadakan pelatihan kepada perawat sehingga perawat
semakin baik dalam memberikan asuhan keperawatan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Tidak terdapatnya kemampuanklien mengontrol perilaku kekerasansebelum Intervensi Penerapan
Standar Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia Pada Kelompok
Intervensi dan Kontrol di ruang PICU Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi Tahun 2016.
Kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia mengalami peningkatan sesudah
mendapatkan penerapan standar asuhan keperawatan dari pada yang tidak mendapatkan standar
asuhan keperawatan.
Ada perbedaan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia sebelum dan
sesudah diberikan intervensi pada kelompok intervensi.

Saran
Peneliti mengharapkan bagi pihak Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi supaya melakukan kebijakan dalam pembuatan prosedur dalam
merawat klien perilaku kekerasan dengan menggunakan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan agar klien mampu dalam mengontrol dalam mengatasi masalahnya, dan bagi perawat
ruangan agar lebih meningkatkan lagi dalam melaksanakan standar asuhan keperawatan pada klien
perilaku kekerasan.

REFERENSI
Videbeck, S. L. (2008), Psychiatric Mental Health. Jakarta: EGC.
Stuart G. W.,& Sandra J. Sundeen., Alih bahasa. Akhir Yani Hamid (2013). Buku saku
keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.
Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan RI. Azizah. (2011).
Aplikasi Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hasmiati. (2013). Kemampuan klien dalam mengontrol prilaku kekerasan dengan penerapan
asuhan keperawatan dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan.
Stuart and Sundeen, Alih bahasa. Ramona, Kapoh, Egi (2006).
Sembiring, E. (2011), Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan dengan penerapan
asuhan keperawatan dilakukan di RSJD Provinsi Sumatra utara.
Kusumawati. (2010). Keperawatan kesehatan jiwa. Surabaya: Airlangga.
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. (2013-2015). Laporan tahunan rumah sakit jiwa
daerah provinsi jambi. Jambi.
Yosep, I. (2009). Buku AjarKeperawatan Jiwa. Bandun: PT Refika Aditama.

UPAYA PENURUNAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN PADA DENGAN MELATIH


ASERTIF
SECARA VERBAL
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III pada
jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh:

FATHUL HABBI YULSAR RAHMAN J 200


140 070
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017
UPAYA PENURUNAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN PADA KLIEN
DENGAN MELATIH ASERTIF SECARA VERBAL

Abstrak

Latar Belakang: Kesehatan merupakan point utama dalam kehidupan manusia


dan untuk mendapatkannya membutuhkan usaha yang lebih misalnya dengan
olahraga teratur, selalu menjaga keberihan diri, lingkungan dan makan minum
yang bergizi. Manusia dikatakan sehat apabila jiwa dan fisiknya tidak mengalami
gangguan atau cidera yang mengakibatkan kesehatan menurun. Hasil dari Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk
Indonesia 1,7 per mil, dan gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia
6 persen. Gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan,
Bali, dan Jawa Tengah. Rumah tangga yang pernah memasung anggota rumah
tangga gangguan jiwa berat sebesar 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk
yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil
indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
dimana seorang yang melakukan suatu tindakan kekerasan secara fisik maupun
verbal yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Assertives
training adalah suatu terapi modalitas keperawatan dalam bentuk terapi tingkah
laku, klien belajar mengungkapkan perasaan marah secara tepat atau asertif
sehingga mampu berhubungan dengan orang lain, mampu menyatakan : apa yang
diinginkan, apa yang disukai, apa yang ingin dikerjakan, dan kemampuan untuk
membuat seseorang merasa tidak risih berbicara tentang dirinya sendiri.

Tujuan: Agar dapat menurunkan risiko perilaku kekerasan setelah dilakukan


latihan asertif
Metode: Penulis menggunakan metode diskriptif dengan studi kasus selama 3x24
jam
Hasil: Klien mampu mengetahui dan mempraktikan upaya penurunan risiko
perilaku kekerasan dengan melakukan latihan asertif secara verbal.
Kesimpulan: Klien mampu membina hubungan saling percaya, mampu
menyebutkan penyebab, tanda gejala akibat yang terjadi ketika marah, mampu
mempraktikkan teknik nafas dalam dan memukul-mukul bantal. Klien juga dapat
menyebutkan obat apa saja yang dikonsumsi dan akibat jika tidak meminumnya
secara teratur. Klien juga mampu ngontrol marah dengan mengungkapkan,
meminta, menolak yang baik, dan mengontrol marah dengan spiritual, klien rutin
melakukan sholat 5 waktu, berdzkir, dan berdoa.

Kata kunci : Gangguan Jiwa, Perilaku Kekerasan, Melatih Asertif


Abstract

The background : Health is a point in human life and to get it requires more
effort for example with regular exercise,always take care himself,environment,eat
and drink nutritious. The human said to be healthy if the soul and physique is not
impaired or injury resulting in health declined.The research health (RISKESDAS)
the prevalence of severe mental disorders in Indonesia’s population 1,7 per
mile,and mental impaired emotional on Indonesia’s populations of 6 percent.The
disturbance of severe mental in Yogyakarta, Aceh,South Sulawesi, and Centre
java. Proportion the home which had the members of the household severe
mental disorders,3 percent and most in people who live in rural areas
(18,2%),and at the group of the populations with kuintil the ownership of the
lowest (19,5%). Behavior the violence is a state where a person who doing an act
of violence,physical or verbal instructionthat it can harm yourself or
others.Assertive training is a therapeutic modality the nurse in the form of therapy
to behaviour,clients learn to express feelings of anger is appropriate or assertive
as to be able to get in touch with other people, were able to declare : what you
want, what you likes, what are you trying to do, and the ability to make a person
feel uncomfortable talking about himself.
Objectives :In order to reduce the risk of behavioral violence after a series of
assertive verbally.
Methods : The writer used descriptive methods with a case study for 3 x 24 hours
Results : The client is able to know and can practice efforts the decrease the risk
of behavioural violence after a series of assertive verbally.
Conclusion : The client are able to build a trusting relationship to mention the
cause ,a sign of symptoms due to what happens when angry,practice the
techniques of breath in and hit the pillow. Client can also mention medicine are
consumed and if don’t drink it on a regular basis. Client also able to control
anger by expressing,asked,refused to be a good,and control the angry with
spiritual, client to routinely prayers five times, remembrance and pray.

Keyword : Mental Disorder, Violence, Assertive Train.


1. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan point utama dalam kehidupan manusia dan untuk
mendapatkannya membutuhkan usaha yang lebih misalnya dengan olahraga
teratur, selalu menjaga keberihan diri, lingkungan, makan dan minum yang
bergizi. Manusia dikatakan sehat apabila jiwa dan fisiknya tidak mengalami
gangguan atau cidera yang mengakibatkan kesehatan menurun. Menurut undang-
udang kesehatan jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Bab 1 pasal 1 ayat 1 kesehatan jiwa
adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampiannya sendiri,
dapt mengatasi tekenan, bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk kelompoknya.

Menurut Purnama, Yani, & Titin (2016) mengatakan gangguan jiwa adalah
seseorang yang terganggu dari segi mental dan tidak bisa menggunakan
pikirannya secara normal. Skizofrenia adalah kerusakan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kognitif, aktif, bahasa, gangguan memandang terhadap realitas,
dan hubungan interpersonal, dan mempunyai perubahan perilaku seperti perilaku
agisitas dan agresif atau disebut dengan perilaku kekerasan (Erwina, 2012).

Hasil dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) prevalensi gangguan jiwa


berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil, dan gangguan mental emosional pada
penduduk Indonesia 6 persen. Gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta,
Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi rumah tangga yang
pernah memasung anggota rumah tangga gangguan jiwa berat 14,3 persen dan
terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok
penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Provinsi dengan
prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Kemenkes RI, 2013)
Jumlah kunjungan gangguan jiwa tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah
sebanyak 121.962. Sebagian besar kunjungan gangguan jiwa adalah di rumah
sakit (67,29%), sedangkan 32,71% lainnya di Puskesmas dan sarana kesehatan
lain (Dinkes Jateng, 2013). Berdasarkan data yang diterima dari rumah sakit
kelolaan pada bulan September 2016 sampai Januari 2017 pasien
yang
terdiagnosa resiko perilaku kekrasan ada 9.984 klien, harga diri rendah 664 klien,
isolasi sosial 3016 klien, halusinasi 18.305 klien, dan defisit perawaan diri 2.385
klien. Resiko perilaku kekerasan berada pada urutan nomor dua terbanyak dari
semua kasus di rawat inap rumah sakit kelolaan (Rekam Medik, 2017)

Sebagian besar pasien dengan skizofrenia dan gangguan mental tidak dengan
kekerasan. Meskipun demikian, risiko kekerasan pada pasien dengan gangguan ini
lebih besar dari pada populasi umum. Risiko ini sangat tinggi di skizofrenia dan
gangguan mental dengan gangguan penggunaan zat adiktif, ketergantungan
alkohol, depresi, dan gangguan kepribadian, bahkan tanpa hal tersebut (Volavka,
2013). Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien skizofrenia adalah
perilaku kekerasan. Kondisi ini harus segera ditangani karena perilaku kekerasan
yang terjadi dapat membahayakan diri pasien, orang lain dan lingkungan (Saseno
& Kriswoyo, 2013).

Assertives training menurut Stuart dan Laraia dalam Suryanta & Murti W
(2015) adalah intervensi tindakan keperawatan pasien perilaku kekerasan dalam
tahap preventif. Latihan asertif bertujuan agar pasien mampu berperilaku asertif
dalam mengekspresikan kemarahannya. Assertives training adalah suatu terapi
modalitas keperawatan dalam bentuk terapi tingkah laku, klien belajar
mengungkapkan perasaan marah secara tepat atau asertif sehingga mampu
berhubungan dengan orang lain, mampu menyatakan : apa yang diinginkan, apa
yang disukai, apa yang ingin dikerjakan, dan kemampuan untuk membuat
seseorang merasa tidak risih berbicara tentang dirinya sendiri. (Suryanta & Murti
W, 2015)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain (Afnuhazi, 2015). Menurut Erwina (2012) perilaku kekerasan adalah
merupakan bentuk kekerasan dan pemaksaan secara fisik maupun verbal
ditunjukkan kepada diri sendiri maupun orang lain. Perilaku kekerasan adalah
salah satu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologi (Keliat et al., 2011).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seorang yang melakukan suatu tindakan kekerasan
secara fisik maupun verbal yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang
lain. Respon perilaku yang diperlihatkan oleh klien berbeda-beda tergantung
bagaiman keadaan klien, dari respons adaptif sampai respons maladaptif. Respons
adaptif adalah respon normal klien yang masih terkontrol terhadap masalah,
sedangkan respons maladaptif adalah respon klien yang berlebihan atau tidak
normal terhadap masalah.

Gambar 1. Rentan Respons

Respons Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekrasan

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekrasan


Memp Gagal Tidak Men Perasa
u dapat geks an
pres
meng mencapai mengungk ikan marah
ungka a seca ,
pka ra
n tujuan pkan fisik, permu
marah tapi suhan
tanpa
meny kepuasan perasaan, masi yang
alahk saat h kuat,
an
orang marah dan tidak terko hilang
lain ntrol kontro
Sumber : Yosep (2010)

Tujuan umum publikasi ilmiah adalah penulis mampu melakukan upaya


menurunkan perilaku kekerasan dengan melatih asertif secara verbal pada klien
risiko perilaku kekerasa di bangsal rumah sakit kelolaan. Sedangkan tujuan
khususnya penulis dapat melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa,
merencanakan tindakan, mengimplementasikan rencana tindakan, dan
mengevaluasi tindakan keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik mengangkat masalah risiko perilaku
kekerasan menjadi masalah utama dalam penulisan publikasi ilmiah ini, dengan
judul “Upaya Penurunan Risiko Perilaku Kekerasan Pada Klien dengan Melatih
Asertif Secara Verbal”.

2. METODE
Merode yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah metode deskriptif
dengan study kasus. Pengambilan kasus dilakukan selama 3 x 24 jam kepada
salah satu klien di rumah sakit klolaan melalui wawancara dan observasi secara
langsung. Pelaksanaannya penulis membina hubungan saling percaya kepada
klien untuk mendapatkan informasi, setelah mendapatkan informasi yang
diperlukan kemudian penulis melakukan perencanaan tindakan yang akan
dilakukan, melakukan rencana tindakan yang telah dibuat, dan mengevaluasi
tindakan yang telah dilakukan. Proses keperawatan adalah motode
pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan keperawatan pada
individu, kelompok, dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan
pemecahan masalah dari respons pasien terhadap penyakitnya (Tarwoto &
Wartonah, 2015).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengkajian dilakukan pada tanggal 20 Februari 2017 pukul 10`.00 WIB di
bangsal rumah sakit kelolan. Pengkajian dilakukan kepada klien berumur 48
tahun, jenis kelamin laki-laki, pekerjaan petani, beragama Islam, dan status kawin.
Penanggung jawab istri klien berumur 49 tahun, jenis kelamin perempuan,
pekerjaan petani. Alasan klien masuk rumah sakit adalah sebelumnya klien
mengamuk dan mencekik orang lain. Keluhan utama klien mengatakan jengkel
karena belum boleh pulang. Hal tersebut sesuai dengan teori (Afnuhazi, 2015)
perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang
lain. Perilaku kekerasan adalah salah satu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologi (Keliat et al., 2011). Teori
Hermawan & Direja (2011) mengatakan tanda gejala perilaku kekerasan
diantaranya perasaan jengkel, merasa terganggu tatapan mata tajam, menyerang
orang lain, menarik diri, dan melarikan diri. Sehingga teori tersebut sesuai dengan
data yang ditemukan dari hasil pengkajian.

Faktor predisposisi, klien mengatakan melakukan rawat jalam di rumah sakit


kurang lebih 2 tahun yang lalu dengan keluhan yang sama mengamuk.
Pengobatan sebelumnya kurang berhasil karena klien terkadang tidak meminum
obat secara rutin dan berhenti melakukan rawat jalan. Tindaakan kriminal klien
pernah melakukan pemukulan terhadap tetangganya yang menuduhnya mencuri
dan istrinya karena tidak dibelikan rokok. Keluarga klein tidak ada yang
mengalami sakit jiwa. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan klein
pernah dituduh mencuri oleh tetangganya. Faktor presipitasi yang dialami oleh
klien yang terakhir sebelum dibawa kerumah sakit adalah memukul dan mencekik
tetangganya karena dituduh mencuri. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa
faktor predisposisi adalah berbagai pengalaman yang dialami setiap orang bisa
terjadi atau tidak terjadi perilaku kekerasan, dan faktor presipitasi seseorang akan
mengeluarkan respon marah apabila dirinya terancam, ancaman tersebut dapat
berupa luka psikis terhadap dirinya (Muhith, 2015)

Data psikososial geneogram klien anak terakhir dari 5 bersaudara, dari semua
keluarganya tidak ada yang mempunyai penyakit jiwa. Konsep diri pada citra
tubuh didapatkan hasil klien mengatakan menyukai semua angota tubuhnya dan
mensyukurinya, karena semua itu pemberian dari Alah AWT. Identitas, klien
mengatakan bahwa klien adalah seorang kepala rumah tangga dan seorang bapak
dari ketiga anaknya. Harga diri, klien mengatakan bahwa seorang laki-laki lebih
tinggi derajadnya dari seorang perempuan, maka istrinya harus selalu menuruti
keinginannya. Hubungan sosial, klien mengatakan orang yang dekat dengannya
adalah ibunya, klien mengatakan jarang mengikuti kegiatan masyarakat, dan klien
mengatakan tidak suka berhubungan dengan orang lain yang belum akrab.

Status mental pada penampilan didapatkan data penampilan klien rapi,


menggunakan baju rumah sakit, memakai celana panjang milik sendiri, dan
memakai kopyah. Pembicaraan, klien saat berbicara biasa namun berbelit-belit.
Pada data pembicaraan tidak sesuai dengan teori dari Yosep (2010) yang
mengatakan pada data verbal klen bicara kasar, suara tinggi, membentak,
berteriak, mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, dan ketus. Aktivitas
motorik, ketika berbincang-bincang klien tidak mendengar suara perawat, klein
akan mendekatkan diri. Afek, terjadi perubahan emosi dari klien ketika diberikan
banyak pertanyaan, terkadang klien pergi menjauh dan menggerutu, hal tersebut
sesuai yang diutrakn oleh (Yusuf, Fitryasari, & Nihatati, 2014) respons marah
dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2)
menekan, dan (3) menantang. Namun pada teori Yosep (2010) data tersebut tidak
sesuai, yang dimana pada data afek klien marah, permusuhan, kecemasan yang
ekstrim, mudah terangsang, dan afek labil.

Interaksi selama wawancara, klien kooperatif namun kontak mata kurang


kepada lawan bicara. Proses pikir, klien saat diberikan pertanyaan langsung
menjawab namun berbelit-belit dan tidak menuju pada pertanyaan. Tingkat
kesadaran klien mengalami disorientasi waktu dan tempat, karena melakukan
sholat azhar pada waktu dzhuru, dan tidak megetahui dengan tepat dirumah sakit
mana klien berada sekarang. Sesuai dengan teori Yosep (2010) yang mengataka
bahwa dalam tingkat kesadaran klien bingung, status mental berubah tiba-tiba,
dan disorientasi.

Memori, pada jangka panjang klien mampu menginagat struktur keluarganya,


dan jangkan pendek klein tidak mampu mengingat nama perawat yang
mengantarnya kemari, dan berapa lama dia dirumah sakit. Tingkat konsentrasi
klein mampu melakukan perhitungan satu sampai sepuluh dengan benar. Tingkat
kemapuan saat bertani hal pertama yang dilakuakn adalah mencangkulnya. Daya
tilik diri pasien mengatakan berada dirumah sakit. Mekanisme koping adaptif,
ketika dirumah merasa jengkel atau marah klien terkadang menghindar, dan
maladaptif klein memukul orang lain ketika marah. Aspek medik diagnosa medik
F20.0, dan terapi medik yang diberikan Resperidon 2 x 2 mg, Chlorpromazine 2 x
100 mg, dan Trihexyphenidyl 3 x 2 mg.
Analisa data yang pertama pada hasil pengkajian diatas adalah data subjektif
klien mengatakan jegkel karena tidak boleh pulang, klien pernah memukul istri
dan tetangga yang menuduhnya mencuri. Data objektif klien terjadi perubahan
emosi ketika diberikan banyak pertanyan, terkadang menjauh, dan pasien sering
menggerutu, gelisah, dan meminta pulang. Data tersebut penulis mengangkat
diagnosa risiko perilaku kekerasan. Analisa data yang kedua, data subjektif pasien
mengatakan jarang mengikuti kegiatan masyarakat, tidak suka berbicara kepada
orang lain yang belum akrab. Data objektif, klien jarang berkomunikasi dengan
teman-teman di ruangan, dan lebih suka menyendiri dan tidur. Dari data tersebut
didapatkan diagnosa isolasi sosial : menarik diri. Data yang didapat sesuai dengan
teori Hermawan & Direja (2011) mengatak tanda gejala perilaku kekerasan
diantaranya perasaan jengkel, merasa terganggu, tatapan mata tajam, menyerang
orang lain, menarik diri, dan melarikan diri.

Berdasarkan analisa data tersebut dapat ditegakkan diagnosa keperawatan


yang pertama risiko perilaku kekerasan dan yang kedua isolasi sosial : menarik
diri. Sehubungan dengan diagnosa yang ada pada kasus tersebut penulis hanya
memprioritaskan pada diagnosa keperawaran risiko perilaku kekerasan
dikarenakan data fokus pada klien lebih cenderung pada diagnosa tersebut.
Berdasarkan pengkajian pada Tn. S dimana data subjektif klien jengkel karena
tidak dibolehkan pulang, pasien pernah memukul istri dan tetangga yang
menuduhnya mencuri, dan data objektifnya klien terjadi perubahan emosi ketika
diberikan banyak pertanyan, terkadang menjauh, dan pasien sering menggerutu,
gelisah, dan meminta pulang.

Perencanaan tindakan pada klein adalah melakukan strategi pelaksanaan (SP)


satu sampai dengan empat. Setrategi pelaksanaan pertama bina hubungan saling
percaya kepada klien, identifikasi penyebab, tanda gejala, dan akibat perilaku
kekerasan, latih cara fisik tarik nafas dalam dan pukul-pukul bantal, kemudian
masukkan ke dalam jadwal harian. Strategi pelaksanaan kedua evaluasi kegiatan
yang lalu (SP1), menjelaskan macam-macam, fungsi, waktu, dan cara meminim
obat, menjelaskan akibat tidak minum obat, latih cara meminum obat, dan
masukkan ke dalam jadwal harian. Selanjutnya setrategi pelaksanaan ketiga
evaluasi kegiatan yang lalu (SP1, SP2), latih secara verbal atau latihan asertif
mengungkapkan, meminta, dan menolak dengan baik kemudian masukkan ke
dalam jadwal harian. Dan setrategi pelaksanaan yang terakhir atau yang keempat
(SP4) evaluasi kegiatan yang lalu (SP1, SP2, SP3), latih secara spiritual berdoa,
berdzikir, dan sholat untuk mengurangi rasa marah, kemudian masukkan kedalam
jadwal harian.

Implementasi dilakukan pada tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.00 WIB


dengan tindakan melakukan strategi pelaksanaan yang pertama dimulai dengan
membina hubungan saling percaya dengan komunikasi terapeutik kepada klien,
selanjutnya mengidentifikasi penyebab, tanda gejala, dan akibat yang terjadi jika
marah, dan yang terakhir melatih teknik nafas dalam dan pukul-pukul bantal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Negi et al, (2017) bahwa kualitas
perawat dengan komunikasi terapeutik dapat meningkatkan tingkat kepuasan
pasien. Dari tindakan tersebut penulis mendapatkan data subjektif klien
mengatakan jengkel karena tidal boleh pulang, dan data objektif klien terlihat
gelisah, marah dan tatapan mata tajam. Evaluasi tindakan pada tanggal 20
Februari 2017 subjektif klien mampu menyebutkan penyebab marah karena
jengkel tidak boleh pulang dan dituduh mencuri oleh tetangganya, tanda gejalanya
tubuh tegang, mata melotot tajam, gelisah, dan berdebar-debar, akibat yang timbul
karena marah dapat melukai orang lain. Objektif klien mampu melakukan teknik
nafas dalam dan memukul bantal lalu mempraktikkannya, dan klien juga
kooperatif. Assesment RPK+. Plan evaluasi, mantapkan SP1, dan lakukan strategi
pelaksanaan ke dua latih klien minum obat.

Pada tanggal 21 Februari 2017 pukul 09.30 WIB tindakan yang diberikan
kepada klien evaluasi tindakan sebelumnya (SP1) dan memantapkan SP1,
kemudian melakukan strategi pelaksanaan yang kedua melatih mengontrol marah
dengan cara meminum obat dengan benar. Tindakan tersebut didapatkan data
subjektif pasien mengatakan masih jengkel, dan lupa dengan apa yang telah
diajarkan kemarin. Data objektif tatapan mata pasien masih tajam, dan masih
gelisah. Evaluasi tindakan pada tanggal 21 Februari 2017 subjektif klien
mengatak lupa cara melakuka teknik nafas dalam, dan memukul-mukul bantal.
Objektif klien kooperatif, mampu melakukan kembali teknik nafas dalam, dan
memukul-mukul bantal, klien juga mampu menyebutkan obat yang
dikonsumsinya ada tiga berwarna kuning, putih kecil dan besar. Assesment RPK+.
Plan evaluasi kegiatan, mantapkan SP1 dan SP2, lakukan strategi pelaksanaan
ketiga latih klien melatih mengontrol marah dengan bercakap-cakap
mengungkapkan, meminta dan menolak dengan baik.

Pada tanggal yang sama pukul 11.00 WIB tindakan yang diberikan kepada
klien mengevaluasi tindakan yang sebelumnya (SP1, dan SP2), dilanjutkan
dengan strategi pelaksanaan yang ketiga melatih mengontrol marah dengan
bercakap-cakap mengungkapkan, meminta dan menolak dengan baik, didapatkan
data klien mengatakan ingin cepat pulang. Data objektif tatapan mata klien sudah
lebih rileks namun pasien masih gelisah. Evaluasi tindakan pada tanggal 21
Februari 2017 subjektif klien mengatak klein sudah melakuka teknik nafas dalam,
dan memukul-mukul bantal, kemudian teratur minum obat. Objektif klien
kooperatif, tatapan mata rileks, masih gelisah, dan mampu mempraktikkan
mengungkapkan, meminta dan menolak rasa marah. Assesment RPK -. Plan
evaluas kegiatan, mantapkan SP1, SP2 dan SP3, lakukan strategi pelaksanaan
keempat latih klien melatih mengontrol marah dengan spiritual : berdzkir, berdoa,
dan sholat.

Pada tanggal 22 Februari 2017 tindakan yang dulakukan mengevaluasi


kegiatan yang sebelumnya (SP1, SP2, dan SP3), kemudian dilanjutkan dengan
strategi pelaksanaan yang keempat dan yang terakhir melatih mengontrol marah
dengan cara spiritual : berdzikir, berdoa, dan sholat. Evaluasi tindakan pada
tanggal 23 Februari 2017 subjektif klien mengatakan sudah tidak marah lagi,
pasien mengatakan selalu sholat 5 waktu, berdoa, dan berdzikir rutin setiap hari.
Objektif tatapan mata klien normal, pasien sudah tidak gelisah, klein mampu
mempraktikkan cara berdzikir, bedoa, dan sholat secara mandiri. Assesment
RPK -. Plan evaluasi kegiatan, mantapkan SP1, SP2, SP3,dan SP4.

Pada strategi pelaksanaan keluarga tidak dapat dilaksanakan karena keluarga


klien tidak datang menjenguk kerumah sakit, dan rumah keluarga klien jauh dari
rumah sakit sehingga tidak memungkinkan untuk dilaksanaan. Pada teori Yusuf et
al (2014) mengatakan setrategi pelaksanaan keluarga bertujuan untuk keluarga
mampu mengenal masalah merawat, menjelaskan perilaku kekerasan, merawat
klien mengenal tanda-tanda gejala kekambuhan, dan memanfaatkan fasilitas
kesehatan pada klien saat berada dirumah.

4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat pada kasus tersebut, pengkajian dilakukan pada
tanggal 20 Februari 2016 jam 10.00 WIB di bangsal rumah sakit diperoleh data
pasien bernama Tn. S berumur 48 tahun, penanggung jawab klien adalah istrinya.
Alasan masuk klien mengamuk dan mencekik orang lain, keluhan utama klien
mengatakan jengkel karena tidak boleh pulang.

Prioritas diagnosa keperawatan adalah risiko perilaku kekerasan. Tindakan


keperawatan dilakukan selama 3 x 24 jam, pada tanggal 20 Februari sampai
dengan 23 Februari 2017. Tindakan dimulai dari setrategi pelaksanaan pertama
sampai dengan strategi pelaksanaan keempat. Evaluasi yang dilakukan terhadap
klien mendapatkan hasil klien mampu membina hubungan saling percaya pada
hari kedua, mampu menyebutkan penyebab, tanda gejala akibat yang terjadi
ketika marah, mampu mempraktikkan teknik nafas dalam dan memukul-mukul
bantal. Klien juga dapat menyebutkan obat apa saja yang dikonsumsin dan akibat
jika tidak meminumnya secara teratur. Klien juga mampu ngontrol marah dengan
mengungkapkan, meminta, menolak yang baik, dan mengontrol marah dengan
spiritual, klien rutin melakukan sholat 5 waktu, berdzkir, dan berdoa. Namun pada
strategi pelaksanaan keluarga tidak dapat terlaksana karena terkendala keluarga
tidak datang menjenguk, dan rumah keluarga klien jauh dari rumah sakit.

4.2 Saran
Bagi penulis, meskipun karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan teliti dan dapat memanfaatkan waktu
seoptimal mungkin dalam memberikan asuhan keperawtan kepada klien.
Bagi klien, lebih ditekankan lagi dan lebih giat lagi dalam melakukan strategi
pelaksanaan yang telah diajarkan, sehingga klien dapat segera pulang kerumah.
Bagi rumah sakit, perawat hendaklah menggunakan komunikasi terapeutik dalam
melakukan asuhan keperawatan kepada klien sehingga klien mampu membina
hubungan saling percaya dengan perawat.

PERSANT UN AN

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
segala hidayah, dan kemudahan kepada penulis sehingga Publikasi Ilmiah yang
penulis tulis dengan judul “UPAYA PENURUNAN RISIKO PERILAKU
KEKERASAN PADA KIEN DENGAN MELATIH ASERTIF SECARA

VERBA” dapat terselesaikan tanpa ada halangan suatu apa pun.

Penulis menyadari bahwa Publikasi Ilmiah ini tidak dapat terselesaikan tanpa
bantuan dan bimbingan dari pihak-pihak yang terkait. Sehingga penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepeda :

1. Prof. Drs. Bambang Setiaji selaku Rektor Universitas Muhammadiyah


Surakarta.
2. Dr. Suwaji, M. Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
3. Okti Sri P S. Kep,. M. Kes., Ns., Sp. Kep.M.B selaku ketua Program Studi
Diploma III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Arina Malia, S. Kep., Ns., M. Kes selaku sekretaris Program Studi
Diploma III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
5. Arif Widodo, A. Kep., M. Kep selaku Pembimbing Publikasi Ilmiah dan
Pembimbing Akademik.
6. Kartinah, S.Kep selaku Penguji dalam Pembuatan Publikasi Ilmiah.
7. Kepala ruang Bangsal Sena Rumah Sakit Jiwa yang telah membimbing saat
dirumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, R. (2015). Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa (Marni).

Yogyakarta: Gosyem Publishing.

Ambarwati, F. R., & Nasution, N. (2012). Buku Pintar Asuhan Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu.

Dinkes, Jateng. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah, 74.
Erwina, I. (2012). Aplikasi Model Adaptasi Roy pada Klien Resiko Perilaku
Kekerasan dengan Penerapan Asertiveness Training di RS Dr. H. Marzoeki

Mahdi Bogor. NURS JURNAL KEPERAWATAN, 8(1), 66.

Hermawan, A., & Direja, S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.

Yogyakarta: Nuha Mediaka.

Keliat, B. A., et.al (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHM


Basic Cours. Jakarta: EGC.

Kemenkes, RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Laporan


Nasional 2013, xi. https://doi.org/1 Desember 2013
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi.

Yogyakarta: Andi Offset.

Negi, S., Kaur, H., Singh, G., & Pugazhendi, S. (2017). Quality of nurse patient
therapeutic communication and overall patient satisfaction during their
hospitalization stay. International Journal of Medical Science and Public
Health, 6(4), 679. https://doi.org/10.5455/ijmsph.2017.0211522112016
Purnama, G., Yani, D. I., & Titin, S. (2016). Gambaran Stigma Masyarakat
Terhadap Klien Gangguan Jiwa di RW 09 Desa Cileles Sumedang. Jurnal
Pendidikan Keperawatan Indonesia, 2(1), 30. Retrieved from
http://ejournal.upi.edu/index.php/JPKI

Rekam, Medik. (2017). Laporan Kegiatan Bulanan Instalasi Rawat Inap.

Surakarta.

Saseno, & Kriswoyo, P. G. (2013). Pengaruh Tindakan Restrain Fisik Dengan


Manset Terhadap Schizophrenia is a hard mental illness and influence the
way of think , mood , emotion and behavior , especially to the violent
behavior . Violent behavior is a condition when someone is doing someth.
Jurnal Keperawatan Mersi, 4(2), 2.

Suryanta, & Murti W, D. A. (2015). Pengaruh Assertive Training Terhadap


Kemampuan Mengekspresikan Marah Pasien Skizofrenia Dengan Riwayat
Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Grhasia Diy. Jurnal Kebidanan, VII(01),
2, 7.

Tarwoto, & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Volavka, J. (2013). Violence in schizophrenia and bipolar disorder. Psychiatria


Danubina, 25(1), 30. Retrieved
from http://www.embase.com/search/results?
subaction=viewrecord&from=export
&id=L368595138\nhttp://www.hdbp.org/psychiatria_danubina/pdf/dnb_vol2
5_no1/dnb_vol25_no1_24.pdf\nhttp://sfx.library.uu.nl/utrecht?sid=EMBASE
&issn=03535053&id=doi:&atitle=Violence+in+schi

Yosep, I. (2010). Keperawatan Jiwa Edisi Revisi Ke 3. Bandung: Refika Aditama.


Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihatati, H. E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba Medika.

PENELITIAN
PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN
GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Token
Ekonomi adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan
pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di LKS-ODK Kemiling Bandar
Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini adalah quasy experimental dengan
rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak 20 orang, dipilih dengan purposive
sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil yang didapat adalah rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi token adalah 20,05, dan rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi token adalah 36,20. Hasil uji dependen
sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan setelah
dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi
pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan
menerapkan terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara terprogram dan terstruktur.

Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi gangguan jiwa (WHO, 2015). Gangguan
jiwa ditemukan di semua negara, terjadi
LATAR BELAKANG pada semua tahap kehidupan, termasuk
orang dewasa dan
Gangguan jiwa menurut American
Psychiatric Assosiation dalam Diagnostic
and Statistic Manual of Mental (DSM) IV-
TR (2000 dalam Townsend, 2009) adalah
sindroma perilaku yang secara klinik
bermakna atau sindroma psikologis atau
pola yang dihubungkan dengan kejadian
distres pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan secara
signifikan resiko untuk kematian, sakit,
ketidakmampuan atau hilang rasa bebas.
Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit
secara keseluruhan dan ke kemungkinan
akan berkembang menjadi 25% di tahun
2030, gangguan jiwa juga berhubungan
dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu
juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat
Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa
gangguan jiwa mencapai 1,7% meningkat
cenderung terjadi peningkatan gangguan jiwa. dari tahun 2007 sebesar 0,46%. Wilayah
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk paling banyak dengan kasus gangguan jiwa
perilaku yang bertujuan untuk melukai adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh,
seseorang secara fisik maupun psikologis bisa Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah
dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri (Kemenkes RI. 2014). Berdasarkan
sendiri, orang lain dan lingkungan. wawancara dengan perawat ruangan pada
Ketidakmampuan yang terjadi pada klien tanggal 7 Mei 2016, didapatkan data bahwa
gangguan jiwa dikaitkan dengan disabilitas jumlah pasien rawat inap ada 70 pasien
akibat gangguan jiwa berat yang dialami. gangguan jiwa dan didapatkan 80%
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar mempunyai riwayat
perilaku kekerasan atau sekitar 56 pasien Variabel independen dalam penelitian ini
yang memiliki riwayat perilaku kekerasan. adalah penelitian ini adalah kemampuan
Salah satu terapi yang dapat dilakukan mengontrol perilaku terapi token. Variabel
perawat untuk mengontrol perilaku dependen dalam kekerasan. Analisis
kekerasan adalah dengan diberikan terapi univariat dilakukan untuk mengetahui
kognitif, terapi keluarga, terapi perilaku : kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
token ekonomi (Susana, 2012). Perilaku ini klien menggunakan analisis yaitu mean,
dipilih peneliti sebagai pendamping terapi median, standar deviasi. Analisa bivariat
psikofarmaka untuk meningkatkan perilaku dilakukan untuk membuktikan hipotesis
dalam mengontrol perilaku kekerasan. penelitian menggunakan uji dependen
Terapi token ekonomi dianggap efektif sample t-test.
dalam merubah tingkah laku klien, terapi ini
dengan memberikan klien imbalan atas
perilaku yang diharapkan dari klien dan HASIL
mampu dilakukannya. Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan memberi token (permen, Analisis Univariat
uang, atau makanan) bila klien sukses
mengubah perilakunya. Responden dalam penelitian ini berjumlah
Berdasarkan uraian diatas, maka perilaku 20 orang dengan karakteristik usia sebagian
kekerasan merupakan gangguan jiwa yang besar berusia 31-40 tahun (65%) dan berusia
membutuhkan perawatan intensif karena 19-30 tahun (35%). Berdasaekan jenis
dapat menciderai diri, oranglain dan kelamin sebagian besar responden berjenis
lingkungan. Salah satu terapi yang dapat kelamin laki-laki (70%). Sedangkan
digunakan adalah terapi perilaku token berdasarkan lama rawat responden sebagian
ekonomi yang dianggap efektif dalam besar dirawat dalam kurun waktu 11-25
merubah tingkah laku klien, terapi ini tahun (60%).
dengan memberikan klien imbalan atas
perilaku yang diharapkan dari klien dan Tabel 1: Distribusi Responden Berdasar-
mampu dilakukannya. kan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasan Sebelum dan Sesudah Terapi
Token

METODE Kemampuan mengontrol Pre test Post test


perilaku kekerasan f % f %
Desain yang digunakan dalam penelitian ini token. Sampel penelitian yang diteliti adalah
adalah quasy experimentaldengan klien yang dirawat inap dengan perilaku
rancangan pretest- posttest one group kekerasan dengan memperhatikan kriteria
design. Ciri dari desain penelitian ini inklusi sebanyak
dengan memberikan intervensi kepada 20 orang dipilih dengan purposive sampling.
responden yang akan dilakukan terapi InstrumenVyang digunakan berupa lembar
observasi. Tidak mampu mengontrol 13 35 6 30
Waktu penelitian dilakukan pada tanggal Mampu mengontrol 7 65 14 70
20-30 Juli 2016. Tempat penelitian ini Jumlah 20 100 20 100
dilaksanakan di LKS-ODK Ekspsikotik
Kemiling Bandar Lampung. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa
distribusi frekuensi kemampuan dalam
mengontrol perilaku kekerasan sebelum
dilakukan terapi 7
respondenmampu mengontrl dan setelah
dilakukan terapi token kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan meningkat
menjadi 14 responden mampu mengontrol
perilaku kekerasan.
Tabel 2: Distribusi Rata-rata Kemampuan Berdasarkan dari jenis kelamin, didapatkan
Mengontrol Perilaku Kekerasan Sebelum bahwa distribusi frekuensi jenis kelamin
dan Sesudah Terapi Token pada pasien perilaku kekerasan lebih
banyak pada katagori laki-laki sebanyak 14
dengan persentase 70%. Hal
Kemampuan ini menunjukkan bahwa terjadinya perilaku
Min-
mengontrol Mean Median SD kekeasan lebih banyak dilakukan oleh
Maks
perilaku kekerasan
Sebelum dilakukan kapasitas dan fungsi memori yang lebih baik
20,05 18,00 7,02 12-32 untuk menerima informasi tentang
terapi token
pengobatan. Struat dan Laraia (2009)
Sesudah dilakukan menyatakan usia berhubungan dengan
36,20 39,50 11,23 16-50
terapi token pengalaman seseorang dalam menghadapi
berbagai macam stresor, kemampuan
memanfaatkan sumber dukungan dan
Berdasarkan tabel di atas rata-rata skor keterampilan dalam mekanisme koping.
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan Dapat disimpulkan bahwa usia berhubungan
sebelum dilakukan terapi token sebesar dengan individu dan kemampuan mengambil
20,05 dengan standar deviasi sebesar 7,02. keputusan dalam menyelesaikan setiap
Skor terendah 12 dan teringgi 32. masalah yang datang.
Sedangkan sesudah dilakukan terapi token
menjadi sebesar 36,20 dengan standar
deviasi sebesar 11,23. Skor terendah 16 dan
tertinggi 50.

PEMBAHASAN

Jika dilihat dari segi usia, berdasarkan hasil


penelitian, distribusi frekuensi umur pasien
perilaku kekerasan lebih banyak pada
kategori usia 31-40 tahun sebanyak 13
orang dengan persentase 65% dan usia 19-
30 tahun sebanyak 7 orang dengan
persentase (35,0%).Data ini menunjukkan
klien yang mengalami perilaku kekerasan
lebih banyak pada klien usia produktif. Hal
inisejalan dengan konsep Niven (2002)
bahwa seseorang yang memiliki usia muda
lebih patuh daripada usia tua. Hal ini
memungkinkan karena usia muda memiliki
klien dengan jenis kelamin laki-laki. Hal makasemakin banyak pasien tersebut
ini sejalan dengan teori Al-saffar dan Saeed mendapatkan terapi pengobatan dan
(2007), mengatakan bahwa laki-laki lebih perawatan. Sehingga dapat disimpulkan
sering di diagnosis sebagai gangguan jiwa bahwa pasien yang sudah lama dirawat
dibanding perempuan. Pada umumnya laki- maka kemampuan dalam mengontrol
laki dan perempuan mempunyai resiko perilaku kekerasan dirinya maka semakin
yang sama untuk menderita gangguan jiwa baik.
berat namun, derajat keparahan gangguan Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui
jiwa berat lebih besar pada laki-laki. Jenis bahwa rata-rata skore kemampuan
kelamin mempengaruhi kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum
mengontrol diri, dikatakan pria lebih dilakukan TAK dan terapi token sebesar
temperamental dari pada wanita yang 20,05 dan rata-rata skore kemampuan
dikatakan lebih sabar dalam mengontrol mengontrol perilaku kekerasan setelah
perilakunya. dilakukan TAK dan terapi token sebesar
Berdasarkan lama dirawat, Berdasarkan 36,20. Dari hasil uji paired sample t-test di
hasil penelitian di dapat bahwa distribusi peroleh p value 0,00<0,05, artinya Ho
frekuensi lama di rawat pada pasien ditolak dan Ha diterima, ada pengaruh
perilaku kekerasan diketahui lebih banyak terapi token ekonomi terhadap kemampuan
pada 11-25 tahun sebesar (60%). Menurut mengontrol perilaku kekerasan pada pasien
teori Noviadi (2008) yang dikutip oleh rawat inap di LKS-ODK Ekspsikotik
Aristina Haalwa (2014) yang menyatakan Kemiling Bandar Lampung Tahun 2016.
bahwa semakin lama pasien dirawat
Menurut Parendrawati (2009) bahwa perilaku kekerasan pre test dengan post test
metode pemberian reward atau pada kelompok perlakuan sebelum dan
reinforcementpositif memiliki pengaruh sesudah mendapatkan terapi token (p value
berarti terhadap peningkatan perilaku. <0,05).
Menurut Stuart & Laraia, (2009) untuk Terapi token ekonomi dianggap efektif
meningkatkan pengetahuan dan perilaku dalam merubah tingkah laku klien, terapi ini
seseorang dapat dilakukan dengan dengan memberikan klien imbalan atas
memberikan dasar pengetahuan yang kuat perilaku yang diharapkan dari klien dan
dan pemberian reinforcement positif atau mampu dilakukannya. Kegiatan ini dapat
pemberian reward. Strategi lain untuk dilakukan dengan memberi token (permen,
mengubah perilaku secara efektif adalah uang, atau makanan) bila klien sukses
dengan token ekonomi. Hasil penelitian mengubah perilakunya.
yang didapat juga didukung oleh teori Nasir Adanya pengaruh terapi perilaku token
dan Muhith (2011) salah satu terapi perilaku ekonomi terhadap kemampuan mengontrol
untuk merubah perilaku adalah dengan perilaku kekerasan disebabkan karena pada
pemberian token ekonomi yaitu saat pelaksanaan terapi perilaku token
reinforcement positif yang sering digunakan sebanyak 4 sesi, dimana disetiap sesi ini
pada klien psikiatri. Terapi perilaku token klien mendapatkan berbagai informasi
ekonomi merupakan suatu wujud modifikasi mengenai kemampuan mengontrol perilaku
perilaku yang dirancang untuk kekerasan secara fisik, diantaranya klien
meningkatkan perilaku yang diinginkan dan diajarkan cara
pengurangan perilaku yang tidak
diinginkan.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Suardika (2012), dengan
judul penelitian “Pengaruh Terapi Token
Ekonomi terhadap Kemampuan Mengontrol
Perilaku Kekerasan Pada Klien Gangguan
Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Bali”.Hasil penelitian ini membuktikan ada
perbedaan kemampuan klien mengontrol
menarik nafas dalam dan pukul bantal.
Secara verbal, bagaimana cara meminta
dengan baik, menolak dengan baik,
menerima dengan baik, dan permintaan
maaf. Secara spiritual, sholat dan berdoa
tanpa harus menyalahkan Tuhan dengan
keadaan yang seperti ini. Dan patuh
minum obat, apa manfaat patuh minum
obat bagi klien, cara minum obat dengan
prinsip 5 benar. Informasi yang sudah
diberikan ini untuk merubah perilaku klien
selain pemberian informasi terapi perilaku
token juga diperkuat dengan pemberian
reward yang berupa hadiah, yang
didapatkan ketika responden mampu
menunjukan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan. Pemberian token
(hadiah) ini dilakukan segera setelah klien
mampu mengontrol perilaku kekerasan dan
memiliki nilai tertinggi, dengan hadiah
yang telah disediakan peneliti, hal ini
menyebabkan klien merasa dihargai atas
perilaku yang mereka lakukan sehingga
klien akan mengulangi perilaku tersebut
sehingga terjadi perubahan perilaku yaitu
klien menjadi mampu dalam mengontrol
perilaku kekerasannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan setelah
dilakukan terapi perilaku token ekonomi,
kepatuhan minum obat pada klien
skizofrenia mengalami peningkatan.
Terjadinya perubahan perilaku menjadi
patuh minum obat setelah diberikan terapi
perilaku token ekonomi karena pada saat
pelaksanaan terapi perilaku token ekonomi
ini klien diarahkan dan diajarkan terlebih
dahulu perilaku yang akan dirubah, dan
klien akan diberikan reward
(reinforcement positif) berbentuk tanda
bintang dan tandabintang ini akan
ditukarkan dengan hadiah yang sudah
disediakan oleh peneliti jika klien mampu
merubah perilakunya. Reinforcement
positif yang berbentuk tanda bintang ini
merupakan salah satu bentuk motivsai
ekstrinsik yang dapat merubah perilaku
klien, dan diharapkan perilaku yang
muncul akan cukup mengajarkan untuk
memelihara tingkah laku yang baru.
Motivasi ekstrinsik pada penelitian ini
adalah mendapatkan reward dari nilai
tertinggi, tetapi karena mereka
melaksanakan dan mereka mendapatkan manfaat yang baik dari perubahan itu, ditambah lagi
mendapat respon atau pujian yang baik dari teman dan pasien, maka motivasi itu
berkembang menjadi motivasi instrinsik karena responden mendapatkan langsung hadiahnya
yaitu menjadi orang yang lebih baik dan direspon baik dari orang sekelilingnya. Perolehan
tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengajarkan
untuk memelihara tingkah laku yang baru yang diyakini dan dilakukannya.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku


kekerasan pada pasien rawat inap sebelum dilakukan terapi token sebesar 20,05 dan setelah
dilakukan terapi token menjadi sebesar 36,02, hal ini berarti terjadi peningkatan.
Berdasarkan hasil analisis statistik, maka disimpulkan bawha ada perbedaan kemampuan
mengontrol kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi token (p value = 0,00 < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh terapi token terhadap
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.
Berdasarkan kesimpulan penulis menyarankan agar pusat layanan pasien ekspsikotik
mampu meningkatkan mutu pelayanan dengan menerapkan terapi- terapi aktivitas kelompok
dan psikoterapi kepada pasien gangguan jiwa secara terprogram dan terstruktur.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-
ODK Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
TANDA GEJALA DAN KEMAMPUAN MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN
DENGAN TERAPI MUSIK DAN RATIONAL EMOTIVE COGNITIF BEHAVIOR THERAPY
(Sign and Symptom and Ability to Control Violent Behaviour with Music Therapy and Rational
Emotive Cognitive Behaviour Therapy)

Heri Setiawan*, Budi Anna Keliat** Ice


, Yulia Wardani
**

*Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan Kekhusussan Keperawatan Jiwa Kampus FIK UI, Jl.
Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
**Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Email: herirsjs09@yahoo.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Angka perilaku kekerasan cukup tinggi pada klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa.
Dampak perilaku kekerasan dapat berakibat mencederai orang lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi
musik dan rational emotive cognitive behaviour therapy (RECBT) terhadap perubahan tanda gejala dan kemampuan klien
mengontrol perilaku kekerasan. Metode: Desain penelitian quasi eksperimental, jumlah sampel 64 responden dengan
purposive sampling. Hasil: penelitian menunjukkan penurunan tanda gejala perilaku kekerasan dan peningkatan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan lebih besar pada kelompok yang mendapatkan terapi daripada yang tidak
mendapatkan. Diskusi: Terapi Musik dan RECBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku
kekerasan.

Kata kunci: kemampuan, perilaku kekerasan, tanda gejala, terapi musik, RECBT

ABSTRACT
Introduction: Prevalence of violence is highly occur in mental disorders clients at psychiatric hospitals. The impact is
injure to others. This research aims to examine the effectiveness of music therapy and RECBT to sign and symptom and
ability to control violent behaviour. Methods: Quasi-experimental research design with a sample of 64 respondents.
Results: The study found a decrease symptoms of violent behaviour, ability to control violent behavior include relaxation,
change negative thingking, irational belief, and negative behavior have increased significantly than the clients that did not
receiving therapy. Discussions: Music therapy and RECBT is recommended as a therapeutic nursing at the client’s violent
behaviour.

Keywords: violent, sign and simptom, ability, music therapy, RECBT

PENDAHULUAN prevalensi gangguan jiwa berat nasional


Data yang didapatkan dari WHO (2015) sebesar 1,7 per mill, sedangkan gangguan jiwa
menunjukkan jumlah orang yang mengalami berat di provinsi jawa tengah yaitu 2,3 per mill.
Skizofrenia di seluruh dunia adalah 7 dari Jumlah rasio penderita Skizofrenia dengan
1000 penduduk di dunia yaitu sebesar 21 jumlah penduduk di Indonesia masih di bawah
juta orang, tiga dari empat kasus gejala yang jumlah rasio penderita skizofrenia di dunia,
muncul terjadi pada usia 15 dan 34 tahun akan tetapi masih tergolong cukup tinggi.
(Stuart, 2013). Data RISKESDAS tahun 2007 Sebagian kasus skizofrenia terjadi antara
20–25 tahun, di mana tahap kehidupan.
menunjukkan prevalensi nasional gangguan
Se se or a ng me nca pai ke m a ndi r ian,
jiwa berat yaitu skizofrenia sebesar 0,46%,
mengembang kan hubu ngan dengan
atau sekitar 1,1 juta orang atau 5,2% dari
pasangan, mulai mengejar karir atau tujuan
jumlah penderita skizofrenia di seluruh dunia.
hidup akan berdampak pada keberhasilan
Prevalensi skizofrenia di Provinsi Jawa Tengah
sosial dan pekerjaan sehingga dapat
yaitu 0,33% penduduk, masih di bawah
menghancurkan kehid upan ( Elaine,
prevalensi skizofrenia di Indonesia. Data riset
kesehatan dasar (2013) dengan responden yang et al, 2005). Prevalensi Skizofrenia cukup
diteliti adalah 1.027.763 ART menunjukkan tinggi dan terjadi pada usia produktif.
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:

Penelitian yang telah dilakukan menimbulkan penilaian bahwa gangguan jiwa


menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara identik dengan perilaku kekerasan. Orang
penderita skizofrenia dengan perilaku lain menganggap bahwa klien gangguan
kekerasan, meskipun tidak semua skizofrenia jiwa berbahaya sehingga tidak mau untuk
melakukan perilaku kekerasan. Sistematik mendekati klien gangguan jiwa yang pernah
review untuk melihat adanya risiko perilaku melakukan tindakan perilaku kekerasan.
kekerasan pada penyakit psikotik yaitu Upaya yang dilak u kan unt u k
terdapat 20 studi termasuk 18.423 individu menurunkan tanda gejala dan peningkatan
dengan gangguan skizofrenia menunjukkan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
peningkatan risiko perilaku kekerasan, adalah dengan terapi musik dan RECBT.
perilaku kekerasan yang dilakukan oleh klien Kombinasi terapi musik dan RECBT akan
dengan skizofrenia adalah 13,2% dibandingkan memberikan dampak yang lebih luas pada
dengan populasi pada umumnya yaitu sebesar tanda gejala yang dialami oleh klien perilaku
5,3% (Fazel, et al., 2009). Prevalensi perilaku kekerasan. Terapi musik memberikan
kekerasan yang dilakukan oleh orang dengan kenyamanan pada klien dan mengalami
skizofrenia adalah 19,1% (Swanson, 2006). proses relaksasi. Terapi musik juga dapat
Penelitian lain menunjukkan bahwa Data menurunkan stimulus yang mengakibatkan
klien perilaku kekerasan pada berbagai seting, tanda gejala perilaku kekerasan masih muncul
menunjukkan adanya perbedaan dari tiap (Chlan, 2011). Terapi musik dan RECBT
negara. Australia 36,85%, Kanada 32,61%, memberikan efek yang saling mendukung
Jerman 16,06%, Italia 20,28%, Belanda untuk menurunkan tanda gejala kognitif,
24,99%, Norwegia 22,37%, Kanada 32,61%, afektif, fisiologis dan perilaku. Dampak pada
Swedia 42,90%, Amerika Serikat 31,92% dan tanda gejala sosial adalah dampak sekunder
Inggris 41,73%. Studi dilakukan di berbagai dari pemberian terapi musik dan RECBT,
setting mulai dari unit akut, unit forensik dan apabila klien mempunyai kemampuan
pada bangsal dengan tipe yang berbeda beda. menurunkan tanda gejala dengan relaksasi,
Penelitian dilakukan dengan jumlah total mengubah pikiran negatif, keyakinan irasional
69.249 klien dengan rata-rata sampel 581,9 dan perilaku negatif, maka akan berdampak
klien (Bowers, et al., 2011). Angka tersebut pada kemampuan dalam hal sosialisasi dengan
tergolong cukup tinggi di berbagai negara di orang lain dengan menunjukkan perilaku yang
dunia. positif.
Perilaku kekerasan dilakukan karena Penelitian dilakukan di RSJ Prof Dr
ketidakmampuan dalam melakukan koping Soerojo Magelang. Rumah sakit ini merupakan
terhadap stres, ketidakpahaman terhadap situasi rumah sakit vertikal tipe A kementerian
sosial, tidak mampu untuk mengidentifikasi kesehatan yang khusus merawat klien dengan
stimulus yang dihadapi, dan tidak mampu gangguan jiwa dan NAPZA sebagai salah
mengontrol dorongan untuk melakukan satu pusat rujukan klien gangguan jiwa di
perilaku kekerasan (Volavka & Citrome, Indonesia. Kapasitas tempat tidur yang
2011). Dampak dari perilaku kekerasan yang tersedia adalah 720 dan 680 tempat tidur
muncul pada skizofrenia dapat mencederai diantaranya untuk klien dengan gangguan
atau bahkan menimbulkan kematian, pada jiwa. Jumlah klien yang dirawat di RSJ Prof
akhirnya dapat memengaruhi stigma pada Dr Soerojo Magelang bulan September 2104
klien skizofrenia (Volavka, 2012). Stigma yang yaitu 249 klien, bulan Oktober yaitu 231 klien,
berkembang di masyarakat dan penolakan bulan November 2014 yaitu 224 klien dan
terhadap orang dengan skizofrenia dan bulan Desember 2014 yaitu 306 klien, dengan
gangguan mental lainnya menjadi penghalang rata-rata BOR 40,5%. Nilai BOR menurun
dalam proses pemulihan, integrasi di dalam dikarenakan kebijakan lama rawat yang lebih
masyarakat, dan peningkatan kualitas hidup singkat yaitu 35 hari. Studi pendahuluan yang
klien gangguan jiwa (Ahmed, et al.,2014). dilakukan pada 51 dokumen menunjukkan
Stigma yang berkembang di masyarakat klien skizofrenia sebanyak 80,34% dengan

234
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri

diagnosa keperawatan perilaku kekerasan Pengukuran perilaku kekerasan


sebanyak 46,34% (19 klien). Selama bulan menggunakan kuesioner B dan lembar
Januari, rata-rata klien masuk dengan perilaku observasi. Kuesioner B untuk mengukur
kekerasan 2-3 klien di bangsal putra dan 1–2 perubahan gejala perilaku kekerasan pada
klien di bangsal putri. Angka tersebut cukup klien yang meliputi kognitif, emosi, perilaku,
tinggi. Upaya yang dilakukan di RSJ Prof Dr fisiologis dan sosial. Pengukuran perilaku
Soerojo Magelang adalah pemberian terapi kekerasan menggunakan instrument yang
generalis, REBT dan assertiveness training dapat mengukur perubahan perilaku pada
dan hasilnya belum optimal. klien (responden) yang meliputi kognitif,
Berdasarkan latar belakang di atas maka afektif (emosi), perilaku, fisiologis dan sosial.
peneliti tertarik untuk meneliti tentang Instrumen yang digunakan untuk mengukur
pengaruh efektivitas terapi musik dan RECBT perubahan tanda gejala perilaku kekerasan
terhadap tanda gejala dan kemampuan yaitu Kuesioner B yang terdiri dari respons
mengontrol perilaku kekerasan. kognitif, emosi, sosial dan perilakunya.
Instrumen yang digunakan adalah Kuesioner
Pengungkapan Kemarahan yang digunakan
BAHAN DAN METODE
terdiri atas 8 pernyataan untuk respons
Desain penelitian yang digunakan pada kognitif, 12 pernyataan untuk respons emosi, 7
penelitian ini adalah quasi experiment with pernyataan untuk respons sosial, 6 pernyataan
control group dengan perbandingan satu untuk respons perilaku klien terhadap situasi
kelompok intevensi dan satu kelompok kontrol. yang dihadapinya, dan 6 pernyataan untuk
Dua kelompok intervensi yang mendapat respons fisiologis.
Terapi Musik dan RECBT tersebut antara lain: Instrumen ini menggunakan skala
kelompok yang diberikan terapi kombinasi Likert yaitu 4: Selalu; 3: Sering; 2: Jarang; 1:
terapi musik dan RECBT, dan kelompok Tidak Pernah. Instrumen ini akan diisi oleh
kontrol yang tidak mendapat terapi musik responden langsung dan bila ada yang tidak
dan RECBT. Metode pengambilan sampel dimengerti maka peneliti akan menjelaskannya
dengan teknik purposive sampling. Penelitian (Putri, Keliat, Nasution & Susanti, 2010). Uji
dilakukan untuk membandingkan perbedaan validitas 26 item pernyataan valid yaitu r hasil
penurunan tanda dan gejala perilaku kekerasan > r table (0,413). Uji reliabilitas: instrumen
serta kemampuan mengontrol perilaku dinyatakan reliabel jika koefisien Alpha
kekerasan (relaksasi, mengubah pikiran Cronbach lebih besar dari nilai standar 0,6
negatif, keyakinan irasional, dan perilaku (Alpha = 0,6). Hasil uji ditemukan nilai r Alpha
negatif) pada kelompok intervensi yang (0,765) lebih besar dibandingkan dengan nilai
mendapat terapi musik dan RECBT dengan 0,6 maka 26 pernyataan dinyatakan reliable.
kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan kemudian
Pengukuran terdiri dari Data demografi dikembangkan menjadi 36 item pertanyaan,
responden merupakan kuesioner untuk item kuesioner tambahan pada respons
mendapatkan gambaran faktor-faktor yang kognitif 2 item, respons emosi/ afektif 5 item,
memengaruhi perilaku kekerasan pada klien respons sosial 2 item, dan respons perilaku 1
yang terdiri dari usia, pendidikan, jenis item, dan aspek (Fontaine, 2009; Stuart, 2013).
kelamin, pekerjaan, status perkawinan, Tambahan item pada instrumen penelitian
riwayat gangguan jiwa, frekuensi dirawat, akan lebih memberikan gambaran tanda gejala
terapi medik, anggota keluarga dengan yang muncul pada klien perilaku kekerasan.
gangguan jiwa, pengobatan sebelumnya dan Pelaksanaan terapi musik dan RECBT adalah
putus obat < 6 bulan. Pengambilan data ini sebagai berikut pertemuan pertama: terapi
menggunakan lembar kuesioner A yang terdiri musik, identifikasi kejadian dan respons
dari 11 pertanyaan dengan cara mengisi pada terhadap kejadian: perasaan yang muncul,
pilihan jawaban yang tersedia terkait dengan mengukur perasaan dg menggunakan
karakteristik responden. termometer perasaan, mengidentifikasi

235
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:

pikiran dan perilaku negatif. Latihan melawan Karakteristik klien berdasarkan riwayat putus
keyakinan irasional terhadap kejadian yang obat menunjukkan sebagian besar
pertama. Pertemuan kedua: Terapi musik, mengalami putus obat yaitu sebanyak 48 orang
diskusi dan latihan melawan keyakinan (75%). Berdasarkan usia rata-rata klien berusia
irasional terhadap kejadian yang kedua. 32,26 tahun, Analisis mengenai frekuensi
Pertemuan ketiga: Terapi musik, diskusi dan dirawat klien dengan perilaku kekerasan rata-
latihan melawan pikiran negatif yang pertama. rata klien dirawat sebanyak 3,21 kali, rata-
Pertemuan keempat: Terapi Musik, diskusi dan rata klien mengalami gangguan jiwa selama
latihan melawan pikiran negatif yang kedua. 2,53 tahun.
Pertemuan kelima: terapi musik, diskusi dan Perubahan tanda gejala perilaku kekerasan
mengubah perilaku negatif yang pertama. pada kelompok intervensi yang mendapat
Pertemuan keenam: terapi musik, diskusi dan Terapi Musik dan RECBT yang mendapat
mengubah perilaku negatif yang kedua. terapi musik dan RECBT dengan kelompok
Analisis data menggunakan komputer, analisis kontrol yang tidak mendapat terapi musik dan
univariat digunakan untuk menganalisis RECBT dapat dilihat dari tabel 1.
variabel-variabel yang ada secara deskriptif Hasil penelitian menunjukkan bahwa total
dengan menghitung distribusi frekuensinya rata-rata komposit tanda gejala perilaku
untuk data kategori dan tendensi sentral untuk kekerasan pada kelompok intervensi yang
data numerik. Analisis bivariat adalah analisis mendapat Terapi Musik dan RECBT sebelum
untuk menguji hubungan antara dua variabel. dilakukan terapi Musik dan RECBT adalah
Uji yang digunakan adalah chi square untuk 100,84 (67,32%) dan setelah dilakukan sebesar
analisis kesetaraan pada data kategori dan 46,06 (30,71%) sehingga diketahui selisih
data kategori, independent t test pada data komposit tanda gejala perilaku kekerasan
numerik dan data numerik, independent t test sebesar 54,78 (36,52%). Hasil uji statistik
pada uji hipotesis skala numerik dan korelasi menunjukkan ada perubahan yang bermakna
pearson untuk mengetahui hubungan antara tanda gejala kognitif sebelum dan sesudah
skala numerik. diberikan Terapi Musik dan RECBT (p value
< 0,05). Sedangkan pada kelompok kontrol
diketahui bahwa total rata-rata komposit
HASIL
tanda gejala klien perilaku kekerasan pada
Karakteristik klien dengan perilaku kelompok kontrol sebelum dilakukan terapi
kekerasan dalam penelitian ini lebih musik dan RECBT pada kelompok intervensi
banyak laki-laki 49 orang (76,6%). Pada yang mendapat terapi musik dan RECBT
jenjang pendidikan, sebagian besar jenjang adalah 98,72 (65,81%) dan setelah dilakukan
pendidikannya adalah SMA 38 orang (59,4%). sebesar 70,75 (47,17%) sehingga diketahui
Pada status pekerjaan, sebagian besar tidak selisih komposit tanda gejala sebesar 27,97
bekerja 44 orang (68,8%). Pada status (18,14%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
pernikahan klien menunjukkan sebagian perubahan yang bermakna komposit tanda
besar sudah menikah 30 orang (46,9%). Pada gejala pada kelompok kontrol sebelum dan
pemberian terapi medis yang diberikan saat sesudah kelompok intervensi yang mendapat
ini, sebagian besar adalah golongan typikal 25 terapi musik dan RECBT diberikan terapi
orang (39,1%). musik dan RECBT (p value < 0,05).
Berdasarkan riwayat anggota keluarga yang Perubahan kemampuan mengontrol perilaku
mengalami gangguan jiwa sebagian besar 56 kekerasan pada kelompok intervensi dan
(87,5%) orang tidak ada riwayat anggota kelompok kontrol yang mendapat terapi
keluarga yang mengalami gangguan jiwa 56 musik dan RECBT2, didapatkan data bahwa
orang (87,5%). Karakteristik berdasarkan total rata-rata komposit kemampuan
keberhasilan pengobatan sebelumnya sebagian mengontrol perilaku kekerasan sebelum
besar tidak berhasil yaitu sebesar 41 orang dilakukan terapi musik dan RECBT adalah
(64,1%). 53,20 (28,91%) dan setelah dilakukan sebesar

236
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri

139,94 (73,33%) sehingga diketahui selisih hanya pemberian terapi musik atau RECBT.
komposit kemampuan mengontrol perilaku Terdapat perbedaan dalam tindakan pada
kekerasan sebesar 86,84 (44,42%). Hasil uji penelitian pemberian terapi musik yang
statistik menunjukkan ada perubahan yang dilakukan di RSJD Soerakarta di mana terapi
bermakna komposit kemampuan mengontrol musik yang dilakukan terdiri dari 4 sesi,
perilaku kekerasan sebelum dan sesudah perubahan tanda gejala yang diukur yaitu
diberikan terapi musik dan RECBT (p value kognitif, perilaku, sosial dan fisik, penelitian
< 0,05). Total rata-rata komposit kemampuan dilakukan di ruang akut sampai dengan
mengontrol perilaku kekerasan pada kelompok maintenance (Sulistyowati, Keliat, Hastono,
kontrol sebelum dilakukan terapi musik dan 2009). Pada penelitian tersebut belum ada suatu
RECBT pada kelompok intervensi yang proses untuk melatih klien mengubah pikiran
mendapat terapi musik dan RECBT adalah negatif, dan keyakinan irasional pada klien
52,33 (34,89%) dan setelah dilakukan sebesar yang terjadi pada klien. Sedangkan penelitian
80,06 (53.37%) sehingga diketahui selisih yang dilakukan mengenai efektivitas CBT
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dan REBT di RSJ Marzoeki Mahdi Bogor,
sebesar 27,78 (18,48%). Hasil uji statistik diberikan latihan untuk mengubah pikiran
menunjukkan ada perubahan yang bermakna negatif, keyakinan irasional dan perilaku
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan negatif, penelitian dilakukan di ruangan
pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah maintenance (Lelono, Keliat, & Besral, 2011).
diberikan Terapi Musik dan RECBT pada Pada penelitian tersebut tidak diberikan
kelompok intervensi yang mendapat Terapi terapi musik yang dapat memberikan manfaat
Musik dan RECBT (p value < 0,05). terutama pada tanda gejala fisiologis klien
Hubu ngan ant a ra kemam pua n perilaku kekerasan.
mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda Pada penelitian ini pemberian terapi
gejala perilaku kekerasan di RSJ Prof Dr musik dilakukan terlebih dahulu kemudian
Soerojo Magelang tahun 2015 menunjukkan dilanjutkan dengan RECBT. Kombinasi
bahwa ada hubungan yang kuat antara terapi musik dan RECBT akan memberikan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dampak yang lebih luas pada tanda gejala yang
dengan tanda gejala perilaku (p value < 0,05) dialami oleh klien perilaku kekerasan. Terapi
semakin tinggi kemampuan maka tanda gejala musik memberikan kenyamanan pada klien
perilaku kekerasan semakin menurun tanda ketika dilakukan RECBT, klien mengalami
gejala perilaku kekerasan (r= –0,908). proses relaksasi selama pemberian RECBT.
Terapi musik juga dapat menurunkan stimulus
yang mengakibatkan tanda gejala perilaku
PEMBAHASAN
kekerasan masih muncul (Dunn, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan untuk Terapi musik yang dikombinasikan dengan
mengetahui efektivitas terapi musik psikoterapi efektif untuk meningkatkan hasil
berpengaruh terhadap tanda gejala perilaku dari psikoterapi yang dilakukan.
kekerasan, terjadi penurunan tanda gejala Terapi musik dan RECBT memberikan efek
kognitif 34,15%, perilaku 13,5%, sosial yang saling mendukung untuk menurunkan
13,5%, fisiologis 25,8% (Sulistyowati, Keliat, tanda gejala kognitif, afektif, fisiologis dan
Hastono, 2009). Sedangkan hasil penelitian perilaku. Dampak pada tanda gejala sosial
yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas adalah dampak sekunder dari pemberian terapi
RECBT terhadap tanda gejala perilaku musik dan RECBT, apabila klien mempunyai
kekerasan, terjadi penurunan tanda gejala kemampuan menurunkan tanda gejala dengan
tanda gejala kognitif: 30,00% emosi 28,12%, relaksasi, mengubah pikiran negatif, keyakinan
perilaku 28,33%, sosial 34,28%, fisiologis. irasional dan perilaku negatif, maka akan
30,00% (Lelono, Keliat, & Besral, 2011). Hasil berdampak pula pada kemampuan dalam
penelitian menunjukkan pengaruh terapi musik hal sosialisasi dengan orang lain dengan
dan RECBT lebih besar dibandingkan dengan menunjukkan perilaku yang positif.

237
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:

Terapi Musik pada akhirnya akan Latihan adalah penyempurnaan potensi


berdampak pada kondisi relaksasi pada klien, tenaga-tenaga yang ada dengan mengulang-
sedangkan RECBT berdampak pada kognitif, ulang aktivitas tertentu. Latihan merupakan
emosi, dan perilaku klien. Terapi musik adalah kegiatan yang nantinya diharapkan menjadi
metode terapeutik dengan menggunakan musik suatu pembiasaan atau pembudayaan
yang membantu seseorang dengan gangguan (Notoatmojo, 2003). Pembudayaan akan
jiwa berat untuk membangun suatu hubungan. membuat klien menjadi mandiri ketika
Aspek dari skizofrenia yang berkaitan dengan menghadapi kejadian atau peristiwa yang tidak
kehilangan untuk mengembalikan kreativitas, menyenangkan termasuk kejadian yang dapat
ekspresi emosi, hubungan sosial dan motivasi mencetuskan perilaku kekerasan. Buku kerja
mungkin menjadi penting ketika dihubungkan yang diberikan kepada klien dapat berguna
dengan terapi musik. (Gold, 2009 dalam untuk mengevaluasi kemampuan klien dalam
Mossler, 2013). Sedangkan RECBT secara mengatasi masalahnya.
signifikan dapat mengurangi kemarahan, Pada kemampuan relaksasi, klien mampu
perasaan bersalah dan harga diri yang rendah. relaks ketika mendengarkan musik yang
Aaron T. Beck pada tahun 1960an juga sudah disiapkan oleh peneliti dan mampu
menemukan bahwa kognisi klien memiliki menceritakan mengenai apa yang dirasakan
dampak yang luar biasa terhadap perasaan setelah mendengarkan musik, dampak pada
dan perilakunya. Beck menyatakan bahwa fisiologis, kognitif, emosi, perilaku dan sosial.
kesulitan emosional dan perilaku yang dialami Musik berpengaruh pada impuls yang berada
seseorang dalam hidupnya disebabkan oleh di otak dan dapat meningkatkan status relaks
cara mereka menginterpretasikan berbagai pada klien (Chlan, 2011). Diketahui bahwa
peristiwa yang dialami. Sehingga terapi aktifitas mental dan emosi dipengaruhi
musik dan RECBT berdampak pada relaksasi, oleh sistem syaraf autonom, sistem syaraf
mengubah keyakinan irasional, pikiran negatif autonom berdampak pada kardiovaskuler,
dan perilaku negatif pada klien perilaku neuroendokrin dan sistem imun. Imunosupresi
kekerasan. memengaruhi emosi yang negatif seperti
Hasil penelitian menunjuk kan kemarahan.
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan Musik dapat memengaruhi mood dan
pada kelompok intervensi yang mendapat status emosional seseorang, di mana akan
terapi musik dan RECBT sebesar 74,15% terjadi perubahan pada sistem imun dan
sedangkan pengaruh tindakan keperawatan hormonal. Pada kondisi relaks terjadi
sesuai dengan SAK Rumah Sakit dalam penurunan tekanan darah, nadi, dan ketegangan
meningkatkan kemampuan mengontrol otot. Tanda tanda kenaikan tekanan darah,
perilaku kekerasan pada kelompok kontrol nadi, dan ketegangan otot merupakan tanda
sebesar 10,32%. Kemampuan klien dalam gejala fisiologis pada klien perilaku kekerasan
mengontrol perilaku kekerasan pada (Chanda & Levitin, 2013). Kondisi relaks dapat
kelompok yang diberikan terapi musik dan meningkatkan kenyamanan pada seseorang.
RECBT lebih tinggi dibandingkan dengan Pada kemampuan mengubah keyakinan
kelompok kontrol. Kemampuan klien dalam irasional, klien mencatat kejadian yang tidak
relaksasi dilakukan selama sesi berlangsung menyenangkan dan perasaan yang muncul
sedangkan kemampuan mengubah pikiran dari kejadian tersebut, keyakinan yang
negatif, keyakinan irasional, dan perilaku tidak rasional akan membawa individu pada
negatif selama proses pelaksanaan terapi selalu emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat
dimotivasi untuk melakukan latihan secara seperti perilaku amuk (agresif) dan rasa
mandiri yang menjadi tugas rumah (home bersalah (Jensen, 2010). Dari hasil penelitian
work) yang dievaluasi secara terus menerus menunjukkan kemampuan yang dimiliki oleh
dengan menggunakan jadwal kegiatan harian klien dalam mengubah keyakinan irasional
dan buku kerja. Latihan merupakan hal yang dapat menurunkan tingkat perasaan klien.
sangat penting dalam proses pembelajaran. Pada kemampuan mengubah keyakinan

238
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri

irasional diawali dengan menuliskan peristiwa sesuai dengan pikiran negatif yang muncul
yang tidak menyenangkan dan perasaan yang atau perasaan negatif yang muncul, sehingga
muncul. Terdapat satu klien menolak untuk muncul perilaku yang negatif pada individu.
menuliskan mengenai peristiwa yang tidak Dalam meningkatkan kemampuan
menyenangkan dan terjadi perubahan emosi mengubah perilaku negatif, peneliti
pada klien. menerapkan prinsip-prinsip teori perilaku
Kemampuan klien dalam mengubah dengan memberikan penguatan (reinforcement)
keyakinan irasional menggunakan prinsip positif terhadap perilaku positif yang
ABC, A-Activating Event: persepsi individu dilakukan klien dan memberikan umpan
dan membuat kesimpulan dari peristiwa yang balik negatif terhadap perilaku yang tidak
berdampak pada individu. B-Beliefs: keyakinan diinginkan. Videbeck (2008) menyatakan
rasional dan irasional pada individu yang modifikasi perilaku merupakan suatu metode
yang menunjang pada peristiwa yang aktif, C- yang dapat digunakan untuk menguatkan
Consequence, Emotional and behavior perilaku atau respons yang diinginkan
consequence, konsekuensi emosi dan perilaku melalui pemberian umpan balik baik positif
yang diakibatkan oleh peristiwa yang terjadi maupun negatif. Peneliti juga menerapkan
(Ellis, 2000). prinsip tocen economy berupa memberikan
Kemampuan mengubah pikiran negatif, hadiah sesuai dengan keinginan klien, jika
tindakan keperawatan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dilakukan oleh
kemampuan berfokus pada masalah klien, klien setelah mengumpulkan minimal 50%
berorientasi pada tujuan dan aktual saat ini. poin bintang selama 3 hari. Hal tersebut dapat
Fokus dari tindakan untuk memberikan meningkatkan motivasi klien untuk mengubah
kemampuan berpikir adalah pendidikan dan perilaku yang negatif, dan pada kontrak awal
membangun keterampilan klien. Hubungan klien dan perawat membuat kesepakatan
yang terapeutik klien dan perawat sangat bahwa reinforcement yang diberikan tidak
penting untuk meningkatkan efektivitas dari selamanya didapatkan oleh klien. Klien akan
tindakan keperawatan yang dilakukan (Stuart, tetap mengubah perilaku negatif walaupun
2013). sudah tidak diberikan reinforcement.
Klien menuliskan pikiran otomatis negatif Analisis hubungan antara kemampuan
yang muncul. Klien juga menuliskan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
mengubah pikiran dan perilaku negatif gejala perilaku kekerasan menunjukkan
menjadi pikiran dan perilaku positif. Latihan bahwa koefisien korelasi antara kemampuan
mandiri yang dilakukan oleh klien dan mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
dituliskan dalam buku kerja akan gejala perilaku kekerasan adalah – 0,908
meningkatkan kemampuan mengontrol Uji statistik menggunakan korelasi Pearson
perilaku kekerasan. Dengan mengubah status menghasilkan nilai sebesar 0,003 (p value
pikiran dan perasaannya, klien diharapkan < 0,05) yang menunjukkan adanya hubungan
dapat mengubah perilaku negatif menjadi yang bermakna dan negatif antara kemampuan
positif (Oemarjoedi, 2003). Buku kerja mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
dijadikan sebagai alat untuk melatih klien gejala perilaku kekerasan. Nilai r menunjukkan
dalam kemampuan mengubah pikiran negatif negatif artinya semakin tinggi kemampuan
klien menjadi sebuah pembudayaan atau maka tanda gejala perilaku kekerasan semakin
kebiasaan. menurun, dengan keeratan hubungan yang
Kemampuan yang keempat adalah kuat (r > 0,5).
kemampuan dalam mengubah perilaku negatif, Hasil penelitian menunjukkan adanya
banyak perilaku yang digunakan sebagai perubahan tanda gejala komposit yang lebih
koping pada saat muncul perasaan atau pikiran tinggi pada kelompok intervensi yang mendapat
yang negatif yang membuat individu merasa terapi musik dan RECBT dibandingkan
lebih baik dalam waktu jangka pendek (Stuart, dengan kelompok kontrol, di mana rata rata
2013). Perilaku yang ditunjukan seringkali kemampuan dalam mengontrol perilaku

239
kekerasan yang dimiliki oleh kelompok yang SIMPULAN DAN SARAN
diberikan terapi musik dan RECBT lebih Simpulan
tinggi dibandingkan dengan kelompok yang
tidak diberikan terapi musik dan RECBT. Terapi Musik dan RECBT efektif
Ketika klien mempunyai kemampuan yang meningkatkan kemampuan mengontrol
lebih tinggi dalam mengontrol perilaku perilaku kekerasan (relaksasi, mengubah
kekerasan, tanda gejala perilaku kekerasan pikiran negatif, keyakinan irasional dan
lebih minimal. perilaku negatif) sebesar 73,33%.
Terapi musik dan RECBT merupakan suatu Analisis hubungan antara kemampuan
bentuk psikoterapi. Psikoterapi adalah mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
interaksi yang sistemik antara klien dan terapis gejala perilaku kekerasan menunjukkan bahwa
yang menerapkan prinsip untuk membantu adanya hubungan yang bermakna dan negatif
klien ketika mengalami perubahan pada antara kemampuan mengontrol perilaku
perilaku, perasaan dan pikiran. Teknik yang kekerasan dengan tanda gejala perilaku
digunakan pada RECBT dengan memberikan kekerasan. Nilai r menunjukkan negatif artinya
homework tujuannya adalah memampukan semakin tinggi kemampuan maka tanda gejala
klien dalam kemampuan mengontrol perilaku perilaku kekerasan semakin menurun, dengan
kekerasan (Stuart, 2013). Dalam proses keeratan hubungan yang kuat (r > 0,5).
psikoterapi terdapat proses pembelajaran
terhadap keterampilan yang baru dalam hal SARAN
ini relaksasi, mengubah pikiran negatif,
keyakinan irasional dan perilaku negatif. Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu
Tujuan dari tindakan terapi musik dan RECBT memotivasi klien dan mengevaluasi
adalah terciptanya perilaku yang baru dalam kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari
hal mengontrol perilaku kekerasan. dan dimiliki oleh klien sehingga latihan
Perbedaan pemberian psikofarmaka yang diberikan membudaya. Apabila terjadi
dan psikoterapi adalah pada psikofarmaka kemunduran pada klien hendaknya perawat
berfokus pada penurunan tanda gejala saja, ruangan mengkonsultasikan perkembangan
tanpa memperhatikan mengenai kemampuan kliennya yang telah mendapat terapi spesialis
yang dimiliki oleh klien ketika muncul stressor kepada perawat spesialis yang dimiliki rumah
yang dihadapi yang mengakibatkan perubahan sakit.
dalam pikiran, perasaan, perilaku, sosial dan Hasil penelitian ini hendaknya
fisiologis. digunakan sebagai evidence based dalam
Fokus tindakan pada terapi musik dan RECBT mengembangkan Terapi Musik dan RECBT
adalah self control di mana klien baik pada individu maupun kelompok,
membangun sendiri keterampilan dalam sehingga menjadi modalitas terapi keperawatan
mengontrol perilaku kekerasan. Respons jiwa yang efektif dalam mengatasi masalah
maladaptif yang muncul disebabkan karena kesehatan jiwa dan meningkatkan derajat
terjadinya perubahan dalam pikiran, perasaan kesehatan jiwa.
dan perilaku (Stuart, 2013). Ketika pikiran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada
yang negatif, perasaan yang irasional dan klien dengan perilaku kekerasan dengan
perilaku negatif dapat dikontrol secara mandiri cohort untuk melihat pencapaian kemampuan
oleh klien maka perilaku kekerasan akan dapat dalam menurunkan gejala dan meningkatkan
terkontrol dan tidak muncul lagi. kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
(relaksasi, mengubah pikiran negatif,
keyakinan irasional dan perilaku negatif).
Perlunya dilak ukan penelitian lanjutan yang melihat pengaruh peningkatan kemampuan klien setelah
terapi Musik dan RECBT terhadap penurunan tanda gejala perilaku kekerasan pada klien skizofrenia.
Perlu dilakukan penelitian mengenai kombinasi psikoterapi individu dengan psikoterapi yang diberikan
pada keluarga.

KEPUSTAKAAN
Ahmed, AO. et al. 2014. Cognition and Other Targets for the Treatment of Aggression in People with
Schizophrenia. Scimed central.
Balitbang Depkes R.I 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, Jakarta: Depkes RI.
Balitbang Depkes RI. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta: Depkes RI.
Chanda, ML and Levitin, DJ. 2013. The neurochemistry of music. Trends in Cognitive Sciences
April 2013, Vol. 17,
No. 4.
Chlan, L, 2011. Music helps reduce stress and anxiety. Ventilator living assisted journal vol. 25.
Dunn, B. 2010. Psychotherapy and music therapy. Reprinted from victory review magazine.
Ellaine, JS, et al, 2005. Schizophrenia: etiology and course. A journal annualreviews. org.
Ellis, A. 2000. Rational emotive behavioral approaches to childhood disorders theory, practice and
research. Springer Science+Business Media, Inc.
Fazel, S, et al. 2009. Schizophrenia and Violence: Systematic Review and Meta- Analysis. Plos
Medicine.
Fontaine, Kareen Lee. 2009. Mental Health Nursing 6th edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Jensen, 2010. Evaluating the ABC models of rational emotive behaviour therapy
theory: an analysis of the relationship between irrational thinking an guilt, Thesis of Science in
Psychology. The Faculty of Department Psychology Villanova University. United State. ProQuest LLC.
Lelono, SK, Keliat, BA dan Besral. 2011. Pengaruh cognitif behaviour therapy dan rational
emotive behaviour therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan, halusinasi dan isolasi sosial
di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, Tesis tidak dipublikasikan, Tahun 2011.
Mozzler K, et al. 2013. Music therapy for people with schizophrenia and schizophrenia-like disorders
(Review). Wiley.
Oemarjoedi, A,K,. 2003. Pendekatan Cognitive Behavioral dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Sulistyowati, Keliat, Hastono dan Susanti. 2011. Pengaruh terapi musik terhadap klien perilaku
kekerasan di RSJD Surakarta. Tesis tidak dipublikasikan. FIK. UI.
Swanson, et al., 2006. A National Study of Violent Behavior in Persons With Schizophrenia. Arch
Gen Psychiatry/ Vol. 63, May 2006.
Stuart, GW. 2013. Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby.
Videback, SL. 2008. Buku Saku Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta.
Volavka, J., 2012. Violence in schizophrenia and bipolar disorder. Psychiatria danubina, 2013; vol. 25,
no. 1, pp. 2
4–33.
Volavka, J & Citrome, L. 2011. Pathways to Aggression in Schizophrenia Affect Results of Treatment.
Oxford Journal.
World Health Organization. 2015. Improving health systems and services for mental health (Mental
health policy and service guidance package), Geneva 27, Switzerland: WHO Press.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Muhith,
Volume 5, No. 2, Agustus
Fardiansyah, © 2018
Mawaddah, Mulyatin, Hubungan Perilaku Jurnal Ners
Kekerasan dan Kebidanan
Pasien... 137
2018 DOI: 10.26699/jnk.v5i2.ART.p137–143
sa/4.0/)

HUBUNGAN PERILAKU KEKERASAN PASIEN DENGAN


STRES PERAWAT DI INSTALASI IPCU RSJ. DR.
RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG
(Relationship Between The Violence Of Patient Violence And
Nurse Stress in RSJ IPCU Installation. Dr. Radjiman
Wediodiningrat Lawang)

Abdul Muhith1, Arief Fardiansyah2, Nurul Mawaddah3, Mulyatin4


123
STIKes Majapahit Mojokerto
4
RSJ. DR. Radjiman Wediodiningrat Lawang email:
abdulmuhith1979@gmail.com

Abstract: Psychiatric intensive care unit nurses are in a limited environment that allows nurses close to
patients to be able to observe the client’s condition and evaluate the treatment and medical actions taken. If
the nurse is not prepared with this condition, it can cause tension to the nurse which results in stress. One of
the tasks of mental nurses is the handling of violent behavior (aggressive), the poor perception of nurses
makes work stress (Muhith, 2015) This study aims to the relationship between Patient Violence Behavior with
Stress on nurses in Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. This
research design use cross sectional approach. The population of this study is 40 people, with a sample of 28
people, is simple random sampling. The independent variable is Patient’s Violence Behavior, while the
dependent variable is Stress the questioner. Data analysis using Spearman correlation test. Spearman
correlation test results obtained r= 0.738 p = 0.000 (p <0,05), it can be concluded that there is a significant
relationship between the behavior of patient’s hardness with stress on the nurses in Intensive Psychiatry Care
Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Based on these results it is concluded that patient’s
violence behavior in Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang most of
is high category, whereas most nurses experi- ence moderate stress.Thus the hospital can create a
comfortable and safe atmosphere for patients and nurses who work, so that stressful events can be minimized
and well managed.

Keywords: patient’s violence behavior, nurse stress

Abstrak: Perawat psikiatri intensive care unit berada dalam lingkungan yang terbatas yang memungkinkan
perawat dekat dengan pasien untuk dapat mengobservasi kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan
maupun tindakan medis yang dilakukan. Jika perawat tidak siap dengan kondisi tersebut akan dapat
menimbulkan ketegangan pada perawat yang berakibat stres. Salah satu tugas perawat jiwa adalah
penanganan perilaku kekerasan (agresif), persepsi yang buruk perawat menjadikan stres kerja (Muhith,
2015). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres pada
perawat di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Desain
penelitian cross sectional. Populasi sejumlah 40 orang dengan sampel sebanyak 28 orang. Teknik
pengambilan sampel simple random sampling. Variabel bebasnya adalah Perilaku Kekerasan Pasien,
sedangkan variabel tergantungnya adalah Stres. Alat ukur menggunakan kuesoner. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Mei – Juni 2018. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. hasil uji Korelasi Spearman
didapatkan hasil r = 0,738 p = 0,000 (p < 0,05), maka dapat diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang
bermakna antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres pada perawat di Intensive Psychiatry Care Unit

137
(IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Perilaku kekerasan
pasien di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang sebagian besar
dalam kategori tinggi, sedangkan sebagian besar Perawat mengalami stress yang sedang. Dengan demikian
diharapkan pihak rumah sakit dapat menciptakan suasana yang nyaman dan aman baik bagi pasien maupun
perawat yang bekerja, sehingga kejadian stres bisa diminimalkan dan dikelola dengan baik.

Kata kunci: Perilaku Kekerasan Pasien, Stres Perawat

PENDAHULUAN dapkan pada situasi dan kondisi pasien yang tidak


Tantangan terbesar perawat psikiatri dalam mendukung, mulai dari pasien yang tidak kooperatif
penangganan perilaku kekerasan pasien dan kondisi hingga ancaman perilaku agresi secara fisik yang
ini dapat menyebabkan terjadinya stres pada pera- diberikan oleh pasien. Perawat diharuskan mampu
wat sendiri apa bila pemahaman dan koping individu mempersiapkan segala sesuatu dengan baik guna
perawat tidak bagus. Stres dapat memberi stimulus keberlangsungan proses keperawatan. Situasi yang
terhadap perubahan dan pertumbuhan, yang dikata- tidak kondusif seperti perilaku agresi harus segera
kan sebagai stres yang positif, namun terlalu banyak diatasi agar tidak berakibat buruk bagi pasien dan
stres dapat mengakibatkan penyesuaian yang buruk, perawat itu sendiri, bila situasi yang menekan ini
penyakit fisik dan ketidakmampuan mengatasi tidak segera diatasi, tidak menutup kemungkinan
masalah. Perawat psikiatri intensive care unit berada perawat akan terjebak dalam konflik dan stres yang
dalam lingkungan yang terbatas yang memungkin- mana akan mempengaruhi kinerja secara langsung
kan perawat dekat dengan pasien untuk dapat (Muhith, 2015).
mengobservasi kondisi klien dan mengevaluasi Terdapat empat faktor penyebab stres perawat
tindakan perawatan maupun tindakan medis yang yaitu aktivitas dalam merawat pasien, peran atasan,
dilakukan. Jika perawat tidak siap dengan kondisi hubungan interpersonal, dan masalah yang berhu-
tersebut akan dapat menimbulkan ketegangan pada bungan dengan organisasi. Dari ke empat faktor
perawat yang berakibat stres. Salah satu tugas pe- tersebut, aktivitas dalam merawat pasien dan masa-
rawat jiwa adalah penanganan perilaku kekerasan lah yang berhubungan dengan organisasi menjadi
(agresif), persepsi yang buruk perawat menjadikan penyebab stres perawat dengan tingkat stres
stres kerja (Muhith, 2015). sedang, sedangkan faktor lainnya menyebabkan
Pasien skizofrenia jenis paranoid, hebefrenik, stres ringan. Aktivitas dalam merawat pasien men-
residual, dan akut biasanya memperlihatkan perilaku jadi penyebab stres pada perawat karena perilaku
kekerasan. Pasien dapat melakukan kekerasan kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasien terhadap
kepada orang lain, lingkungan maupun terhadap perawat. (Muhith, A., Nasir 2011).
dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena pada jenis ini Berdasarkan permasalahan dan penelitian ter-
pasien seolah mendapat ancaman, tekanan psiko- dahulu diketahui bahwa perilaku agresif atau keke-
logis, dan menganggap orang lain sebagai musuh. rasan pasien mampu memicu terjadinya stres bagi
Masalah perilaku kekerasan pasien hampir selalu perawat, maka solusi yang ada adalah dengan mene-
terjadi di ruang perawatan jiwa. Penelitian yang rapkan standar keperawatan yang ada, kemudian
dilakukan The Nasional Alliance For The melakukan intervensi untuk mengurangi tingkat
Mentality III (NAMI) dalam menyatakan bahwa agresif pasien baik dengan terapi farmako, maupun
10,6% pasien dengan gangguan mental serius dengan terapi kelompok atau menerapkan strategi
seperti skizofrenia paranoid melukai orang lain, dan pertemuan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
12,2% mengancam mencederai orang lain (Muhith, Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
A., Nasir 2011). melalui studi pendahuluan kepada 8 orang perawat
di instalasi IPCU RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat
Keperawatan adalah bentuk profesi, aktivitas dan
Lawang menunjukkan 3 orang perawat mengalami
hubungan interpersonal yang kerap kali meye-
stress sedang dan 4 orang perawat lainnya me-
babkan stress. Merawat klien dengan tingkat kece-
ngalami stress ringan. Berdasarkan kondisi realita
masan yang tinggi dapat menjadi aktivitas yang
tersebut diatas peneliti tertarik untuk melakukan
sangat memancing stress bagi perawat. Perawat
penelitian tentang hubungan perilaku kekerasan
jiwa atau psychiatric nurse tidak hanya dituntut
pasien dengan stress perawat di instalasi IPCU RSJ
untuk memberikan usaha yang lebih namun juga
Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang.
diha-
BAHAN DAN METODE Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa dari 28 orang
Desain penelitian pendekatan cross sectional responden, sebagian besar merasakan Perila- ku
populasi seluruh perawat yang bertugas di Instalasi Kekerasan Pasien dalam kategori Tinggi yaitu
IPCU RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang sebanyak 17 orang (60,7%).
sebanyak 40 orang. Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan probability Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
sampling dengan jenis simple random sampling hal Stres
ini berarti setiap anggota populasi ini mempunyai
kesempatan yang sama untuk diambil sebagai Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan
sampel (Nasir & Muhith, 2011). Stresdi Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RSJ
Berdasarkan rumus di atas, maka besar sampel Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang Tahun 2018
pada penelitian ini adalah:
2
N.Z .p.q
1 / 2
nd 
2
(N 1)  Z 2
Stresf%
1 / .p.q Normal 3 10,7
2 Ringan 9 32,1
40.(1,96) 2 .0,50.0,50 Sedang 13 46,4
n Berat 3 10,7
(0,1) (40  1)  (1,96) .0,50.0,50
2 2
Jumlah 100 100
38,416 Sumber: Data Primer diolah
n  28,238
1,360
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari 28
Jadi sampel yang diambil adalah sebanyak 28 orang responden, sebagian besar memiliki Stres
orang. Alat ukur yang digunakan adalah questioner. dalam kategori Sedang yaitu sebanyak 13 orang
Lokasi penelitian yang digunakan adalah di Instalasi (46,4%).
IPCU Ruang Camar, Ruang Mawar dan Ruang
Perkutut RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Analisis untuk menguji hubungan antara
dengan waktu penelitian mulai bulan Mei sampai Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres di RSJ
dengan Juni 2018. Analisis bivariat dilakukan Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang dengan
dengan uji korelasi spearman untuk mengetahui hasil sebagai berikut
hubungan yang signifikan antara masing-masing
Hasil analisis hubungan antara Perilaku Keke-
variabel be- bas dengan variabel terikat (Nasir &
rasan Pasien dengan Stres perawat pada Tabel 3.
Muhith, 2011).
diperoleh hasil dari 17 responden yang menilai Pe-
rilaku Kekerasan Pasien dalam kategori Tinggi
HASIL PENELITIAN
menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki Stres
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan dalam kategori Sedang yaitu sebanyak 12 responden
Perilaku Kekerasan Pasien (70,6%). Dilihat dari hasil uji Korelasi Spearman
didapatkan hasil r = 0,738p = 0,000 (p < 0,05),
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
Perilaku Kekerasan Pasiendi Intensive Psy- chiatry yang bermakna antara Perilaku Kekerasan Pasien
Care Unit (IPCU) RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat dengan stres pada perawat di Intensive Psychiatry
LawangTahun 2018
Care Unit (IPCU) RSJ Dr. Radjiman Wediodi-
Perilaku Kekerasan Pasien f % ningrat Lawang.
Rendah 11 39,3
Tinggi 17 60,7
Jumlah 28 100
Sumber: Data Primer diolah
Tabel 3 Distribusi Silang Frekuensi Responden berdasarkan Perilaku Kekerasan Pasiendengan Stres di Inten-
sive Psychiatry Care Unit (IPCU) RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang Tahun 2018

Perilaku Stres Perawat


Kekerasan Normal Ringan Sedang Berat Total
Pasien n % n % n % n % n %
Rendah 3 27,3 7 63,6 1 9,1 0 0 11 100
Tinggi 0 0 2 11,8 12 70,6 3 17,6 17 100
Jumlah 3 10,7 9 32,1 13 46,4 3 10,7 28 100
r = 0,738p = 0,000 (p < 0,05)
Sumber: Data Primer diolah

PEMBAHASAN kondisi sesorang. Masalah ini perlu mendapat per-


Perilaku Kekerasan Pasien hatian bahwa perawat di psikiatri intensive care
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa dari 28 orang unit di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS
responden, sebagian besar merasakan Perila- ku Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang sebagian
Kekerasan Pasien dalam kategori Tinggi yaitu besar mengalami resiko tinggi terhadap perilaku
sebanyak 17 orang (60,7%), hal ini menunjukkan agresif.
bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh Jadi berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan
pasien di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) bahwa perawat di Intensive Psychiatry Care Unit
RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. (IPCU) RS Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang
Gejala positif pasien skizofrenia salah satunya memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap perilaku
adalah perilaku kekerasan, yaitu respon dan perilaku kekerasan dari pasien, sebab perawat di ruang psi-
manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai kiatri akut berada dalam lingkungan yang terbatas
agresi fisik yang dilakukan seseorang terhadap (small space), yang memungkinkan ia dekat dengan
orang lain atau sesuatu. Perilaku kekerasan atau pasien untuk dapat mengobservasi secara intensif
agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang ber- kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan
tujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun maupun tindakan medis yang dilakukan. Kondisi
psikologis, dimana perilaku kekerasan dapat dibagi tersebut yang menyebabkan perawat rawan menda-
dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan patkan perlakukan agresif dari pasien.
fisik (Muhith, 2015).
Menurut Muhith (2015), data perilaku keke- rasan Stres
dapat diperoleh melalui observasi atau wa- wancara Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari 28 orang
tentang perilaku berikut ini: muka merah dan responden, sebagian besar memiliki Stres dalam
tegang pandangan tajam, mengatupkan rahang kategori Sedang yaitu sebanyak 13 orang (46,4%).
dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar- Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi stres
mandir, bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau ber- perawat yang bekerja di Intensive Psychiatry Care
teriak, mengancam secara verbal atau fisik, melem- Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat
par atau memukul benda/orang lain, merusak barang Lawang memiliki stres dalam kategori sedang.
atau benda dan tidak mempunyai kemampuan men- Stres dapat diartikan sebagai suatu stimulus yang
cegah/mengontrol perilaku kekerasan (Muhith, mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi fisiologi
2015). dan psikologis. Stres adalah pola reaksi
Perawat di Psikiatri intensive care unit memiliki menghadapi stressor yang berasal dari dalam indi-
intensitas tinggi terhadap perilaku kekerasan pasien. vidu maupun dari lingkungannya (Muhith A., 2015).
Menurut Muhith (2015) hal ini bisa disebabkan Menurut Selye (dalam Hawari, 2011), yang dimak-
karena semakin lama terpapar stressor ini sangat sud dengan stres adalah respons tubuh yang sifatnya
berpengaruh pada persepsi seseorang terhadap ma- non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya.
salah. Serta deprivasional stres bisa memperburuk Misalnya bagaimana respons tubuh seseorang
manakala yang bersangkutan mengalami beban artinya kondisi stres tersebut masih dalam kondisi
pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup meng- yang wajar sehingga tidak sampai mengganggu
atasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi aktivitasnya dalam bekerja.
organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan
tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ter- Hubungan Perilaku Kekerasan Pasien dengan
nyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih Stres
organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi
dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan Hasil analisis hubungan antara Perilaku Keke-
baik, maka ia disebut mengalami distres. rasan Pasien dengan Stres perawat pada Tabel 3.
Menurut Muhith, A., Nasir (2011), stres adalah diperoleh hasil dari 17 responden yang menilai
pengalaman emosi negatif yang oleh perubahan Perilaku Kekerasan Pasien dalam kategori Tinggi
yang dapat diperkirakan dalamhal biokimia, fisiologis, menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki Stres
kognitif, behavorial, yang tujuannya untuk mengubah dalam kategori Sedang yaitu sebanyak 12 responden
peristiwa stressful atau mengakomodasi akibatnya. (70,6%). Berdasrkan dari hasil uji Korelasi
Stres membuat tubuh untuk memproduksi hormone Spearman didapatkan hasil r = 0,738 p = 0,000 (p
adrenaline yang berfungsi untuk mempertahankan < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
diri. Stress merupakan bagian dari kehidupan ma- hubungan yang bermakna antara Perilaku Keke-
nusia. Stress yang ringan berguna dan dapat memacu rasan Pasien dengan Stres pada perawat di
seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih berpikir Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.
dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat Radjiman Wediodiningrat Lawang, artinya perilaku
menjawab tantangan hidup sehari-hari. Stres ringan kekerasan yang dilakukan oleh pasien di Intensive
bisa merangsang dan memberikan rasa lebih ber- Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman
gairah dalam kehidupan yang biasanya membo- Wediodiningrat Lawang berpengaruh terhadap
sankan dan rutin. Tetapi stres yang terlalu banyak tingkat stres perawat.
dan berkelanjutan, bila tidak ditanggulangi, akan Menurut Muhith, A., Nasir (2011), ada empat faktor
berbahaya bagi kesehatan. penyebab stres perawat yaitu aktivitas dalam
Menurut Hartono (2011), jika tekanan stres ter- merawat pasien, peran atasan, hubungan inter-
lampau besar hingga melampaui daya tahan individu, personal, dan masalah yang berhubungan dengan
maka akan timbul gejala-gejala seperti sakit kepala, organisasi. Dari ke empat faktor tersebut, aktivitas
gampang marah, tidak bisa tidur; gejala-gejala itu dalam merawat pasien dan masalah yang berhu-
merupakan reaksi non-spesifik pertahanan diri, dan bungan dengan organisasi menjadi penyebab stres
ketegangan jiwa itu akan merangsang kelenjar anak perawat. Aktivitas dalam merawat pasien menjadi
ginjal (corfex) untuk melepaskan hormon adrenalin penyebab stres pada perawat adalah perilaku
dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasien terhadap
lebih kuat, sehingga tekanan darah menjadi naik dan perawat. (Muhith, A., Nasir (2011),
aliran darah ke otak, paru-paru, dan otot perifer, Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang
meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh dikemukakan Muhith, A., Nasir (2011), pasien
akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga dengan kondisi kedaruratanpsikiatri dapat melaku-
timbul perubahan patologis. Gejala-gejala patologis kan perbuatan yang beresiko membahayakan diri,
yang muncul dapat berupa hipertensi, serangan berkeinginan bunuh diri atau penelantaran diri sendiri
jantung, borok lambung, asma, eksim, kanker, dan hingga keadaan yang menimbulkan resiko pada
sebagainya. Jika sudah timbul hipertensi, stres tetap orang lain.Beberapa pasien bahkan dapat bertindak
berlangsung, sehingga bertambahlah risiko kom- agresif, mengancam atau bertindak kejam, serta
plikasi serangan jantung (infark) atau stroke otak melakukan perilaku yang dapat menimbulkan cedera
yang dapat berakibat fatal (kelumpuhan atau bahkan fisik atau psikologis pada orang lain atau menim-
dapat meninggal dunia). bulkan kerusakan harta benda. Situasi ini dapat
Berdasarkan fakta dan konsep teori tersebut dapat menyebabkan stressor Hal ini terjadi karena faktor
dikatakan bahwa kondisi stres yang dialami keadaan lingkungan, dimana Intensive Psychiatry
perawat yang bekerja di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU)ditempati oleh pasien dengan
Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat karakteristik pasien psikiatri akut. Pada beberapa
Lawang memiliki stres dalam kategori sedang keadaan, pasien dengan perilaku kekerasan tidak
dapat diajak berkomunikasi, pasien kadang-kadang
berteriak mengancam, dan mengejek atau menghina melakukan rotasi dikarenakan tingginya beban kerja
menggunakan kata kasar kepada perawat dan di ruang akut ini.
pasien lainnya. (Muhith, A., 2018). Bagi perawat, hasil penelitian mengenai perilaku
Kondisi pasien yang labil membuat perawat harus agresif pasien menunjukan hasil yang tinggi. Meng-
ekstra sabar karena karakteristik pasien agresif, ingat hal ini merupakan sumber stresor perawat
antara lain sulit diajak komunikasi, menarik diri,alangkah baiknya perawat jiwa memiliki persepsi
atau justru agresif. Seorang perawat ketika yang positif,serta senantiasa meningkatkan kemam-
mempunyai sikap positif terhadap pasien,maka ia puan personal. Sehingga mampu mengatasi stresor.
akan cenderung menyenangi dan peduli dengan Sebagian besar perawat berada pada kategori stress
keadaan pasien. Sebaliknya, ketika seorang pera- sedang, namun secara keseluruhan hampir merata
wat sikap yang negatif terhadap pasien, maka ia pada setiap kategori stress. Diharap perawat selalu
cenderung akan membenci dan menjauhinya. Jadi mampu menjadikan stress ini menjadi positif
dapat disimpulkan bahwa hubungan yang bermakna sehingga mampu meningkatkan nilai individu
antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres perawat sendiri.
pada perawat di Intensive Psychiatry Care Unit Bagi institusi pendidikan keperawatan, diharap- kan
(IPCU) RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, penelitian ini dapat di jadikan salah satu bahan
artinya semakin tinggi resiko terjadinya perilaku referensi pada mata kuliah Jiwa, sehingga dapat
kekerasan oleh pasien maka akan membuat stres lebih memberikan gambaran nyata tentang kondisi
perawat menjadi meningkat, sehingga hipotesis yanglahan yang sebenarnaya. Dijadikan acuan untuk
diajukan diterima. mempersiapkan para peserta didik yang nantinya
akan terjun ke lahan.
SIMPULAN DAN SARAN Bagi penelitian keperawatan, setelah menge- tahui
Simpulan nilai hubungan pada penelitian ini, hendaknya
Perilaku kekerasan pasien di Intensive Psychiatry melakukan penelitian berkelanjutan untuk menge-
Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman tahui lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
Wediodiningrat Lawang sebagian besar dalam menyebabkan perilaku agresif pasien dengan stres
kategori tinggi. perawat dipsikiatri intensive care unit.
Stres Perawat di Intensive Psychiatry Care Unit
(IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang DAFTAR RUJUKAN
sebagian besar dalam kategori sedang. Dermawan, D. & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa:
Ada hubungan yang bermakna antara Perilaku Konsep Dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan
kekerasan pasien dengan Stres pada perawatdi Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr. Hartono, LA. 2011. Stres & Stroke. Yogyakarta : Penerbit
Kanisius
Radjiman Wediodiningrat Lawang. Semakin tinggi
Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stress, Cemas dan
tingkat perilaku kekerasan pasien pada perawat
Depresi. Jakarta : FKUI.
yang bekerja di Intensive Psychiatry Care Unit Lukluk, Zuyina A. & Siti Bandiyah. 2011. Psikologi
(IPCU), maka tingkat stres yang dirasakan juga Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika
akan semakin meningkat, demikian juga sebaliknya Muhith Abdul, Nasir & Ideputri. 2011. Metodologi
jika tingkat perilaku kekerasan pasien rendah maka Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mulia Medika
tingkat stres juga semakin rendah. Jadi hipotesis Muhith abdul., Nasir. 2011. Dasar-dasar Keperawatan
diterima jiwa,. Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.
Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori
Saran dan Aplikasi). Yogyakarta: cv. Andi.
Muhith, A. 2018. Aplikasi Komunikasi terapeutik
Bagi rumah sakit, rumah sakit harus selalu Nursing & Health Yogyakarta: Andi.
meningkatkan kualitas lingkungan ruang akut seperti Muhith, A., Nasir. 2011. Buku Ajar Metodologi Penelitian
pemberian sekat, menciptakan lingkungan yang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
nyaman bagi pasien, kelengkapan alat-alat pence- Muhith, A., Saputra, M.H., Fardiansyah A., 2018. Risk
gahan perilaku kekerasan sampai emergency tool factor of rheumatoid arthritis among Eldely in UPT
guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Panti Werdha Mojopahit Mojokerto distric Indo- nesia.
melakukan pelatihan penanganan pasien krisis, Indian Journal of Public health Research
& Development, Volume.9 Number, 6 June 2018, ISSN 0978-0245 (print), ISSN 0976-5506
(Electronic). Medicine: Public health, Eviron- mental and Occupational Health. Indian Journal of Public
health Research & Development.
Nabila, Hanifa. 2016. Pengukuran Hars dan Dass https:/
/ www. scr ibd. com/ docum en t / 334065153 / Pengukuran-Hars-Dan-Dass, diunduh pada 2 Februari 2018.
Nijman, Henk, Len Bowers, Nico Oud & Gerard Jansen. 2005. Psychiatric Nurses Experiences with
Inpatient Aggression.
Nijman, Henk, Len Bowers, Nico Oud & Gerard Jansen. 2005. Psychiatric Nurses Experiences with
Inpatient Aggression.
Oud, N.E. 2000. The Perception of Prevalence of

176
Aggression Scale (POPAS) Questionnaire. https:/
/www.researchgate. net/profile/Nico_ Oud/ p u b l i c a t i o n / 2 7 0 1 5 9 8 4 9 _ T h e _ P e r c e p
t i o n _ o f _ P r e v a l e n c e _ o f _ Aggression_Scale_POPAS_Questionnaire/links/
54a177900cf256bf8baf71c1/The-Perception-of- Prevalence- of- Aggression- Scale- POPAS-
Questionnaire.pdf, diunduh pada 2 Februari 2018.
Psychology Foundation of Australia . (2014). Depression Anxiety Stress Scales (DASS). HYPERLINK http:/
/www2.psy.unsw.edu.au/dass/http://www2. psy.unsw.edu.au/dass/ diunduh pada 2 Februari 2018.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2014. Baku Ajar Kepera- watan Jiwa Dan Advance Mental Health Nursing.
Bandung: PT Refika Aditama.

177
PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL MARAH PADA PASIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI RSJD
DR. AMINO GONDOHUTOMO PROVINSI JAWA TENGAH

Armelia Tri Pangestika*), Dwi Heppy Rochmawati **) Purnomo ***)

*) Alumni Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang


**) Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang
***) Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang

ABSTRAK
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang ditunjukkan oleh pasien yang menyebabkan
distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas kehidupan. Hal ini mencerminkan disfungsi psikologis dan
bukan sebagai akibat dari penyimpangan social atau konflik dengan masyarakat. Perilaku kekerasan
merupakan respon maladaptif dari marah. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pasien untuk
mengontrol marah salah satunya adalah relaksasi otot progresif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada pasien
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Rancangan penelitian ini menggunakan
Quasi Eksperiment dengan metode penelitian One Group Pre Post test design. Jumlah sampel dalam
penelitian ini sebanyak 53 responden dengan teknik pengambilan sampel purpose sampling. Uji
statistik yang digunakan adalah Paired T–Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh
relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada
pasien RPK dengan 0.000 sedangkan nilai thitung 10.90 dan ttabel 1.67 (thitung > ttabel). Hal ini
dikarenakan relaksasi otot progresif dapat meningkatkan keterampilan dasar relaksasi untuk mengontrol
marah dan memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres. Rekomendasi dari penelitian ini adalah
perawat dapat menggunakan relaksasi otot progresif sebagai alternatif untuk membantu mengontrol
marah pada pasien resiko perilaku kekerasan.

Kata Kunci : resiko perilaku kekerasan, relaksasi otot progresif, marah

ABSTRACT
Mental disturbance is a psychological behavior pattern that cause distress, dysfunction, and life
quality decline. Mental disturbance reflects psychological dysfunction. It is not a result of social
distortion or conflict with society. Violent behavior is a maladaptive respond of anger. Nursing
treatment for anger management that can be given to the patients is progressive muscle relaxation. The
research is intended to determine the influence of progressive muscle relaxation toward anger
management in patients with risk of violent behavior at Amino Gondohutomo Mental Hospital Central
Java Province. The research is designed using quasi experiment with One Group Pre Post test design
as its research method. The sample is collected by purpose sampling technique. There are 53
respondents in this research. It uses Paired T – Test as statistic test. The result shows that there is the
influence of progressive muscle relaxation toward anger management in patients with risk of
violent behavior with 0.000. While tvalue 10.90 and ttable 1.67 (tvalue > ttable). It is because progressive
muscle relaxation can increase the basic skill of relaxation in anger management and improve the ability in
handling stress. The research recommends that the nurse can use progressive muscle relaxation as an
alternative to help patients with risk of violent behavior in controlling their anger.

Key Words : risk of violent behavior, progressive muscle relaxation, anger


PENDAHULUAN psikologis dan bukan sebagai akibat dari
penyimpangan social atau konflik dengan
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis masyarakat (Keliat & Pasaribu, 2013, hlm.45).
yang ditunjukkan oleh pasien yang menyebabkan Faktor yang berhubungan dengan kejadian
distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas gangguan jiwa antara lain: faktor genetik dan
kehidupan. Hal ini mencerminkan disfungsi
178
kepribadian dan konsep diri, sedangkan tingkat Pontoh (2013, hlm.1) menyatakan perilaku
pendidikan, jenis pekerjaan, nominal penghasilan, kekerasan merupakan respon maladaptif dari
dan dukungan keluarga terhadap pasien yang marah. Apabila diungkapkan secara tidak tepat
mengalami gangguan jiwa tidak menjadi penyebab dapat menimbulkan permusuhan dan agresi yang
terjadinya gangguan jiwa (Yanuar, 2011, hlm.12). tidak mampu diungkapkan secara asertif, dapat
memanjang hingga respon yang paling
Data dari WHO dalam Yosep dan Sutini (2014, maladaptif. Bila kondisi tersebut tidak diatasi,
hlm.34), ada sekitar 450 juta orang di dunia yang maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri
mengalami gangguan jiwa. Data dari Balitbangkes sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain.
(2008) data dari 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang ada Bila kemampuan bergaul dengan orang lain
di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini terganggu akibatnya memunculkan
jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 halusinasi yang
juta orang. Menurut data Departemen Kesehatan membahayakan secara fisik, baik pada dirinya
tahun 2009, jumlah penderita gangguan jiwa di sendiri maupun orang lain (Fitria, 2009,
Indonesia saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang, hlm.145).
dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 % dan
0,46 % menderita gangguan jiwa berat. Menurut Data Mengekspresikan perasaan marah dengan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) jumlah perilaku agresif dan menentang dapat
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk menimbulkan tingkah laku yang destruktif.
Apabila pasien
Indonesia 1,7 permil. Gangguan jiwa berat terbanyak
mengekspresikan marah dengan cara asertif akan
di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan
memberikan ketenangan pada pasien. Tindakan
Jawa Tengah. Prevalensi gangguan mental emosional
keperawatan yang dapat dilakukan pasien untuk
pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi
mengontrol marah antara lain: berbicara positif
dengan prevalensi ganguan mental emosional
tentang diri sendiri, merubah lingkungan,
tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
menuliskan perasaan klien, mendengarkan
Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara
musik, medikasi dan latihan relaksasi (Keliat &
Timur. Pasaribu, 2013, hlm.489).

Relaksasi otot progresif merupakan teknik


relaksasi yang dilakukan dengan cara pasien
menegangkan dan melemaskan otot secara
berurutan dan memfokuskan perhatian pada
perbedaan perasaan yang dialami antara saat otot
rileks dan saat otot tersebut tegang (Kozier, et
al., 2010, hlm.314). Perubahan yang diakibatkan
oleh relaksasi otot progresif yaitu dapat
mengurangi ketegangan otot, menurunkan laju
metabolisme, meningkatkan rasa kebugaran, dan
konsentrasi, serta memperbaiki kemampan untuk
mengatasi stressor (Potter & Perry, 2005,
hlm.491).
METODE PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di Metode penelitian ini menggunakan Quasi
atas, maka dapat dirumuskan masalah Eksperiment yaitu jenis penelitian yang
penelitian “Apakah Ada menggunakan satu kelompok dilakukan intervensi
Pengaruh Relaksasi Otot Progresif sedangkan kelompok lainnya dilakukan seperti
Terhadap Kemampuan Mengontrol Marah Pasien biasanya (Nursalam, 2014, hlm.160). Penelitian ini
RPK di RSJD Dr. Amino menilai pengaruh terapi relaksasi otot progresif
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah?”. terhadap kemampuan mengontrol marah pasien
risiko perilaku kekerasan (RPK) dengan
menggunakan metode One Group Pre Post test
179
design (Notoatmodjo, 2012, hlm.57). Untuk Alat pengumpulan data yang digunakan pada
mengetahui kemampuan mengontrol marah pasien penelitian ini adalah lembar kuesioner. Pasien
RPK sebelum dan sesudah diberikan intervensi yang melakukan relaksasi otot progresif dapat
keperawatan relaksasi otot progresif. dinilai dengan melihat lembar prosedur relaksasi
otot progresif yang telah dibakukan oleh Setyoadi
Data yang diperoleh dari RSJD Dr. Amino dan Kushariyadi (2011,
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah pada bulan hlm.108). Sedangkan kemampuan
Januari sampai September 2015 populasi pasien yang mengontrol marah pada pasien dinilai dengan cara
mengalami RPK sebanyak 2258 pasien, sehingga kuesioner dan sesuai check list. Kuesioner
rata-rata tiap bulan sebanyak 251 pasien. Jumlah ini merupakan skala
sampel pada penelitian ini menggunakan rumus pengungkapan marah yang digunakan oleh
pengambilan sampel menurut Nursalam (2014, Sudiatmika (2011).
hlm.171) dengan hasil yang didapatkan adalah 53
responden. Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu
dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov karena jumlah responden
Penelitian dilakukan di RSJD Dr. Amino 53 orang (>50orang). kemudian didapatkan data
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Penelitian berdistribusi normal dengan ρ-value 0.2 maka
dilakukan pada bulan November 2015 sampai bulan dilakukan uji beda sampel berpasangan (Paired
Juni 2016. Sedangkan untuk pengambilan data T–Test (Dependent T-Test)).
penelitian dilakukan pada tanggal 11 April sampai 1
Mei 2016. Penelitian dilakukan di beberapa ruang
HASIL PENELITIAN
rawat inap, yaitu ruang
1. Data Karakteristik Responden
Tabel 5.1
Gambaran Karakteristik Responden Pada Pasien
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Jawa Tengah

Karakteristik Jumlah
Responden N
%
Usia/Umur
Remaja 3 5.7
Dewasa Awal 43 81.1
Dewasa Madya 7 13.2

Jenis Kelamin
Laki-laki 32 60.4
Perempuan 21 39.6

Pekerjaan

180
Bekerja 51 96.2
Tidak Bekerja 2 3.8
Arimbi, Brotojoyo, Citroanggodo,
Gatutkaca, dan Srikandi.
Berdasarkan tabel 5.1 menggambarkan karakteristik 3. Uji normalitas
responden berdasarkan jenis kelamin, umur/usia, dan
pekerjaan pasien RPK. Didapatkan
Tabel 5.3
Uji Normalitas Responden
bahwa dari 53 pasien sebagian pasien berjenis Uji Standa p-
kelamin laki-laki sebanyak 32 Normalitas Statistik r Eror value
responden (60.4%). Pada variabel
umur/usia diketahui bahwa responden terbanyak Skor 0.2
berada pada kategori dewasa awal yaitu 43 sebelum intervensi
responden (81.1%). Sedangkan pada variabel Mean 52.00 1.45
pekerjaan responden yang bekerja sebanyak 51 Skewness 0.36 0.33
responden (96.2%).
Skor 0.2
2. Gambaran skor kemampuan mengontrol setelah intervensi
marah pada responden sebelum dan setelah Mean 60.23 1.71
diberikan relaksasi otot progresif Skewness -0.28 0.33
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Skor Kemampuan
Mengontrol Marah Sebelum Dan Setelah Diberikan Hasil uji normalitas yang dilakukan oleh peneliti,
Terapi Relaksasi Otot Progresif Pada Pasien RPK di didapatkan nilai statistik mean sebelum
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa intervensi adalah 52.00 dan mean setelah
Tengah bulan April 2016 (n=53 responden) intervensi adalah
60.23. Nilai skewness pada saat sebelum
Variabel Mean SD intervensi adalah 0.36
sedangkan nilai skewness setelah intervensi
-0.28. Untuk nilai p-value sebelum dan setelah
intervesi adalah ρ:
Skor sebelum intervensi 52.00 10.5 0.2 (ρ > 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
Berdasarkan Skor
tabel setelah
5.2 menunjukkan
intervensi bahwa
60.23skor rata-
12.5 data berdistribusi normal.
rata (mean) kemampuan mengontrol marah
responden sebelum diberikan terapi relaksasi otot
progresif adalah 52.0 (rendah), setelah diberikan
intervensi rata-rata menjadi 60.23 (sedang)
sedangkan standar deviasi sebelum intervensi adalah
10.5 dan standar deviasi setelah intervensi menjadi
12.5
4. Analisis pengaruh relaksasi otot progresif terhadap Skor
52.0 10.6
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK. 0.000
Tabel 5.4 pre test
Analisis Skor Kemampuan Mengontrol Marah Sebelum Skor 52 10.90
60.2 12.5
Dan Setelah Diberikan Terapi Relaksasi Otot Progresif post test
Pada Pasien RPK di RPK di RSJD dr. Amino
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah bulan April 2016 Hasil uji statistik dengan menggunakan Paired
(n=53) T–Test (Dependent T-Test) pada tabel 5.4
ρ- didapatkan bahwa dengan responden sebanyak
Variabel df t Mean SD 53 orang, terlihat ada perubahan dari
value
kemampuan mengontrol marah pada pasien
181
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa PEMBAHASAN
Tengah. Terbukti dari Usia
nilai thitung 10.90 lebih besar dari ttabel pada tingkat Hasil penelitian ini diperoleh jumlah
signifikansi 5% yaitu 1.67 sehingga 10.90 > 1.67 responden terbanyak adalah kelompok usia
(thitung > ttabel) dan nilai signifikansi (ρ-value ) = 22-40 tahun. Rentang usia tersebut dapat
dikategorikan pada kelompok usia dewasa
0.000
awal. Jumlah responden pada kelompok
< 0.05. Hal ini membuktikan bahwa ada
dewasa dalam penelitian ini sebesar 43
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan
responden (81.1%).
mengontrol marah pada pasien RPK di RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Dari nilai
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
mean dan standar deviasi terlihat bahwa terjadi
yang dilakukan oleh
peningkatan kemampuan mengontrol marah, dimana
Wibowo (2012) yang berjudul
mean dan standar deviasi sebelum dilakukan
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok:
intervensi adalah
Stimulasi Persepsi Sesi I-III Terhadap
52.00 dan 10.6 menjadi 6.2 dan 12.5. Hal ini
Kemampuan Mengenal dan
menunjukkan adanya
Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Pasien
peningkatan kemampuan mengontrol Perilaku Kekerasan yang
marah setelah dilakukan relaksasi otot progresif. menyatakan bahwa responden usia 22- 40
tahun sebanyak 31 orang (77.5%).

Pasien di usia dewasa muda mudah


mengalami gangguan mengontrol marah yang
berhubungan dengan persoalan-persoalan
yang dialaminya seperti persoalan jabatan,
perkawinan, keuangan dan sebagainya.
Ketegangan emosional seringkali
dinampakkan dalam ketakutan-ketakutan atau
kekhawatiran-kekhawatiran melalui marah
dan ketidakmampuan mengontrol marah.
Pengendalian marah seharusnya dapat
dikelola dengan baik seiring dengan
bertambahnya usia karena dengan
bertambahnya usia kematangan emosional
seseorangpun berubah ke arah yang lebih baik
atau sempurna. Pada masa dewasa awal
seharusnya bisa mengendalikan marah dengan
lebih baik karena mereka semestinya sudah
lebih dewasa dan matang dalam bertindak.
Jenis kelamin dari responden perempuan, responden laki- laki
Hasil penelitian ini jumlah responden laki-laki lebih dengan jumlah 62 responden atau (79,5%).
banyak yaitu 32 responden (60.4%), sedangkan
responden perempuan 21 responden (39.6%). Perbedaan dalam pengekspresian marah
dihubungkan dengan perbedaan dalam tujuan laki-
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh laki dan perempuan mengontrol marahnya.
Yuhanda (2014) tentang efektifitas terapi relaksasi Perempuan lebih mengekspresikan marah untuk
nafas dalam dan tertawa dalam mengotrol perilaku menjaga hubungan interpersonal. Sedangkan
kekerasan pada pasien resiko perilaku kekerasan di laki-laki
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang yang lebih mengekspresikan
menyatakan bahwa responden laki-laki lebih banyak marah dan bangga untuk mempertahankan
182
dan menunjukkan Seorang laki-laki yang kehilangan pekerjaannya
dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa banyak mengalami perubahan peran sebagai laki-
wanita lebih dapat mengontrol marahnya laki dan bisa membuat seseorang kehilangan
dibandingkan laki-laki. harga dirinya di dalam kehidupan,
perekonomian, pergaulan, perasaan malu dan
Pekerjaan rasa bersalah karena tidak dapat memenuhi
Hasil penelitian diperoleh sebagian besar responden kebutuhan ekonomi hidup, sehingga laki-laki
memiliki pekerjaan dengan presentase 96.2%. Hasil akan mudah marah karena dirinya mempunyai
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang tanggng jawab yang besar untuk menghidupi
dilakukan oleh Kholid (2015) yang berjudul keluarga dan dirinya sendiri. Sehingga jika itu
Pengaruh terapi musik tradisional terhadap tidak terpenuh laki-laki akan merasa dirinya tdak
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK. sempurna sebagai laki-laki (Saputri, 2015,
Responden terbanyak dari penelitian tersebut adalah hlm.60).
bekerja, sebanyak 10 responden (66.7%).
Individu yang memiliki pengalaman kerja lebih
lama, cenderung lebih rentan terhadap tekanan-
tekanan dalam pekerjaan daripada individu
dengan sedikit pengalaman. Tekanan-tekanan
tersebut akan mempengaruhi emosi pasien dan
kemampuan mengontrol marah pasien.

Kemampuan mengontrol marah


sebelum dan setelah diberikan relaksasi otot
progresif

Hasil penelitian rata-rata (mean) skor


kemampuan mengontrol marah sebelum
dilakukan intervensi adalah
52.0 (rendah), setelah diberikan intervensi rata-
rata menjadi 60.23 (sedang) sedangkan standar
deviasi sebelum intervensi adalah 10.5 dan
standar deviasi setelah intervensi menjadi 12.5.

Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian


didapatkan data bahwa pasien yang mengalami
RPK merasa dalam situasi yang tidak nyaman
dan sering tidak menyenangkan akibat stresor
eksternal yaitu lingkungan sekitar. Hal ini sesuai
dengan faktor presipitasi yang dikemukakan oleh

183
Yosep, I. dan Sutini T (2014, hlm. Setelah dilakukan intervensi relaksasi otot
154) bahwa pasien akan berespon dengan marah progresif pada pasien RPK, terlihat ada
apabila terancam. Ancaman (stresor) dapat berasal perubahan dari kemampuan mengontrol marah
dari eksternal (lingkungan). Stimulus yang pada pasien RPK di RSJD Dr. Amino
menimbulkan ketegangan diterima oleh organ Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.
sensorik, amigdala dan prefrontal cortex Terbukti dari nilai thitung dan ttabel yaitu 10.90
mengirimkan sinyal bahaya ke divisi simpatetik dari > 1.67 (thitung > ttabel) dan nilai signifikansi (
saraf otonom yang selanjutnya memberi perintah -value ) = 0.000 <
kepada kelenjar adrenalin untuk menghasilkan Ini membuktikan bahwa ada
neurotransmitter, salah satu yang berperan dalam pengaruh relaksasi otot progresif terhadap
marah adalah serotonin. Ketika seseorang kemampuan mengontrol marah pada pasien
kekurangan serotonin, maka akan terjadi RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo
ketidakseimbangan Provinsi Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan
neurotransmiter, yang kemudian akan mengganggu penelitian yang dilakukan oleh Resti (2014)
pengontrolan emosi. Kekurangan serotonin ini menyebutkan bahwa relaksasi otot progresif
mengakibatkan perilaku cepat marah, mudah juga dapat memberikan efek psikologis.
tersinggung, dan kesal (Videbeck, 2008, hlm.24). Setelah melaksanakan relaksasi otot progresif
responden menjadi lebih tenang dalam berfikir
Analisis Bivariat dan dapat mengelola rasa marah dan
Hasil penelitian skor kemampuan marah sebelum pernafasannya. Responden yang telah
dilakukan intervensi adalah 52.0 (sedang), sedangkan melakukan relaksasi otot progresif tubuh
setelah intervensi menjadi 60.2 (sedang). menjadi rileks dan pikiran menjadi tenang.
Selain itu setelah relaksasi otot progresif gejala
RPK adalah suatu keadaan dimana seseorang emosi seperti mudah marah dan tersinggung
melakukan tindakan yang dapat membahayakan dapat berkurang.
secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah Relaksasi otot progresif dapat meningkatkan
yang tak terkontrol kemampuan
(Kusumawati & Hartono, 2010, mengontrol marah, hal ini dinyatakan oleh
hlm.78). Pengendalian marah adalah suatu tindakan Purwanto (2013, hlm.35) bahwa manfaat
untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu amarah relaksasi otot progresif antara lain
dengan cara yang tepat dan positif serta dapat meningkatkan keterampilan dasar relaksasi
diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah untuk mengontrol marah dan memperbaiki
sesuatu yang buruk atau merugikan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatasi stres. Selain itu
orang lain. Apabila pasien memberikan makna positif relaksasi otot progresif bermanfaat untuk
saat marah maka pasien dapat melakukan kegiatan meningkatkan produksi serotonin. Serotonin
secara positif dan terapai perasaan lega. Selain itu ini berkaitan dengan mood. Bersantai
kemarahan yang diekspresikan secara konstruktif melakukan relaksasi otot progresif dapat
dapat menyelesaikan membantu tubuh mengurangi ketegangan otot
masalah. dan saraf dan meningkatkan kemampuan
dasar relaksasi (Alam & Hadibroto, 2007,
hlm.102).
Pengendalian marah yang relaksasi yang harus
cukup baik berarti pasien dimiliki oleh pasien
dapat mengendalikan atau RPK. Dengan
mengurangi marah memperhatikan manfaat
dengan melakukan tersebut didukung
relaksasi. Pemberian dengan lingkungan yang
relaksasi otot progresif tenang, posisi yang
memiliki manfaat untuk nyaman, dan keadaan
meningkatkan teknik responden yang
kooperatif dapat (96.2%).
(thitung>ttabel). Maka Sebagai pembelajaran
memaksimalkan manfaat Tingkat
dapat diartikan bahwa pentingnya
dari intervensi tersebut. kemampuan
Ha diterima. Hal ini mengontrol emosi dan
Sehingga relaksasi otot mengontrol
menunjukkan bahwa melakukan intervensi
progresif dapat dijadikan marah sebelum
ada pengaruh relaksasi relaksasi otot progresif
pilihan dalam memberikan diberikan
otot rogresif terhadap pada pasien RPK,
terapi modalitas yang intervensi kemampuan serta menjadi bukti
digunakan oleh pasien relaksasi otot mengontrol marah pada ilmiah dalam
RPK sebagai salah satu progresif pada pasien RPK pendidikan khususnya
intervensi untuk responden yang
untuk profesi
mengontrol marah. mengalami
SARAN keperawatan jiwa.
RPK dengan Bagi Peneliti Selanjutnya
SIMPULAN skor rata-rata Bagi Rumah Sakit Pada penelitian
52.0 (rendah) Pihak RSJD Dr.
Berdasarkan selanjutnya intervensi
dan standar Amino Gondohutomo dapat digunakan pada
deviasi 10.5 Provinsi Jawa Tengah pasien lain di
hasil Tingkat dapat memberikan komunitas
kemampuan pelatihan relaksasi otot
penelitian mengontrol progresif kepada ataupun
marah setelah
perawat yang belum
yang dilakukan tentang diberikan
memiliki spesialisasi panti dan
pengaruh relaksasi otot intervensi
dalam hal tersebut menambahkan
progresif relaksasi otot
sehingga perawat variabel-variabel yang
progresif pada
mampu dan layak banyak
terhadap responden yang
mengalami untuk melakukan
RPK dengan relaksasi otot progresif. berpengaruh
kemampuan mengontrol
skor rata-rata Sedangkan untuk
marah pada pasien RPK di
60.23 (sedang) perawat RSJD Dr. terhadap kemampuan
RSJD Dr. Amino
dan standar Amino Gondohutomo mengontrol marah
Gondohutomo Provinsi
deviasi 10.5 Provinsi Jawa Tengah pada RPK.
Jawa Tengah sehingga
Berdasarkan uji dapat menggunakan
dapat disimpulkan sebagai
statistik Pairedhasil penelitian ini Peneliti
berikut:
T- Test sebagai salah satu
Karakteristik
diperoleh hasil intervensi alternatif selanjutnya
responden
ρ-value untuk membantu
kategori jenis
sebesar 0.000 dan nilai mengontrol marah dapat menggunakan
kelamin paling
thitung 10.90 pada pasien RPK kelompok kontrol agar
banyak laki-laki
dan ttabel 1.67 sehingga Bagi Institusi hasilnya lebih akurat.
32 responden
60.4%, kategori 10.90 > 1.67 DAFTAR PUSTAKA diagnosa keperawatan
jiwa
usia paling
Alam, S. & Hadibroto, I. berat bagi Program
banyak usia
(2007). Gagal ginjal. S!
dewasa awal (22 Jakarta: Gramedia Keperawatan. Jakarta:
- 40) sebanyak Pustaka Utama Salemba Medika
43 responden
81.1%, kategori Fitria, N. (2009). Prinsip Keliat, B.A.. & Pasaribu,
pekerjaan yang dan aplikasi penulisan J. (2013). Prinsip dan
laporan pendahuluan dan praktik keperawatan
paling banyak
strategi kesehatan jiwa stuart
responden yang edisi Indonesia.
pelaksanaan tindakan
bekerja keperawatan (LP dan SP) Singapore: Elsevier
sebanyak 51
responden Kholid. B. (2015).
Pengaruh terapi musik Potter & Perry. (2005). Pengaruh terapi
tradisional terhadap Buku fundamental aktivitas
kemampuan mengontrol keperawatan, konsep, kelompok:
marah pada pasien resiko proses dan praktik persepsi
perilaku Kekerasan. edisi 4. Jakarta: EGC I-III
Semarang: Universitas mengenal
Islam Sultan Agung Purwanto. (2013). perilaku kekerasan
Herbal dan pada pasien perilaku
Kozier, et al., (2010). keperawatan kekerasan. Semarang:
Buku fundamental komplementer teori, STIKES
keperawatan konsep, praktik, hukum dalam TELOGOREJO
proses dan praktik volume asuhan keperawatan.
1. Jakarta: EGC Jakarta: Nuha Medika Yanuar, R. (2011).
Analisis faktor yang
Kusumawati, F., & Resti, I.B. (2014). berhubungan dengan
Hartono, Y. (2010). Buku Teknik relaksasi otot kejadian gangguan
ajar keperawatan jiwa. progresif untuk jiwa di Desa Paringan
Jakarta: Salemba Medika mengurangi stres Kecamatan Jenangan
pada penderita asma. Kabupaten Ponorogo.
Notoatmodjo, S. (2012). Malang:Universitas http://journal.unair.ac.
Metodologi penelitian Muhammadiyah id/ diunduh pada
kesehatan. Jakarta: Rineka Malang tanggal 4 Januari 2016
Cipta pukul 20.50 WIB
Saputri, L.D. (2015).
Nursalam. (2014). Pengaruh terapi Yosep, I.,& Sutini, T.
Metodologi penelitian spiritual (2014). Buku ajar
ilmu keperawatan mendengarkan ayat keperawatan jiwa.
pendekatan praktis edisi suci al quran terhadap Bandung: PT.Refika
3. Jakarta: Salemba kemampuan Aditama
Medika mengontrol emosi
pada pasien resiko
Pontoh, D.D., Bawong, J. perilaku kekerasan.
& Rottie, J. (2013). Semarang: STIKES
Gambaran ungkapan TELOGOREJO
marah terhadap
kemampuan mengontrol Sudiatmika, I.K.
perilaku kekerasan pada (2011). Efektivitas
pasien skizofrenia di cognitive behaviour
ruangan Warane Rumah therapy dan rational
Sakit Jiwa Prof. Dr. emotive behaviour
V.lratumbuysang Propinsi terhadap klien dengan
Sulawesi Utara. http: perilaku kekerasan dan
//ejournal.unsrat.ac.id/, halusinasi di Rumah
diperoleh pada tanggal 5 Sakit Dr. H. Marzoeki
Januari 2015 pukul Mahdi Bogor. Depok:
11.50 WIB FKUI

Videbeck,

S.L.

(2008).

Buku

ajar keperawatan jiwa.


Jakarta: EGC

Wibowo, F. (2012).
Yuhanda, D. (2014). Tentang efektifitas terapi relaksasi nafas
dalam dan tertawa dalam mengotrol perilaku kekerasan pada
pasien resiko perilaku kekerasan. Semarang: STIKES
TELOGOREJO

185 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol. III No. 3, Juni 2018 117-196
Tand
a
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA
MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT
MARZOEKI MAHDI BOGOR

Sri Suryaningrum1, Ice Yulia Wardani2


Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder
Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder
Djohan, Depok, Jawa Barat-16424 Email: srisuryaningrum@ymail.com

ABSTRAK

Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah satu
manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga dapat
menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian adalah
mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan tehnik purposive sampling terhadap
103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara beban dengan kemampuan
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat
pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.

Kata kunci:Beban,Kemampuan, Keluarga,Perilaku kekerasan, Skizofrenia.

ABSTRACT

Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation of
schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of family to care
for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and the family ability to
care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi Hospital of Bogor. This study
used analitical design and collected 103 samples using the purposive sampling technique. This study result
indicated a significant relationship between family’s burden and family ability to care for patient with violent
behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to increase family capability in caring for patient with
abusive behavior in order to lower the burden perceived by the family.

Key words: Burden, Ability, Family, Violent Behavior, Schizophrenia.


PENDAHULUAN Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di dapat dari
bagian rekam medis pada tahun 2010 pasien skizofrenia
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari 10 yang dirawat inap berjumlah 9952 orang dan pasien rawat
penyakit terbesaryang membebankan di seluruh jalan berjumlah 1217 orang, sedangkan tahun 2011
dunia. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan pasien yang dirawat inap berjumlah 1549 orang dan yang
yang diberikan keluarga dan terkait kejahatan rawat jalan berjumlah 15770 orang. Hal ini menunjukkan
serta terkait kesejahteraan akibat skizofrenia bahwa terjadi peningkatan jumlah pasien skizofrenia
yang menjalani pengobatan rawat inap dan rawat jalan di
sebesar 33 miliar dolar setiap tahunnya di RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu tahun terakhir.
Amerika Serikat (Stuart, 2007).
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan bahwa Pasien skizofrenia terutama yang mengalami
prevalensi gangguan jiwa di Indonesia adalah perilaku kekerasan membutuhkan dukungan
4,6 0/00. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi keluarga yang mampu memberikan perawatan secara
DKI Jakarta (20,3 0/00) yang kemudian secara optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem pendukung
berturut-turut diikuti oleh Provinsi Nangro Aceh utama sering mengalami beban yang tidak ringan
Darussalam (18,5 0/00), Sumatera Barat (16,7 dalam memberikan perawatan selama pasien dirawat
0
/00), Nusa Tenggara Barat (9,9 0/00), Sumatera di rumah sakit maupun setelah kembali ke rumah.
Selatan (9,2 0/00). Prevalensi terendah terdapat di
Maluku (0,9 0/00). Beban tersebut yaitu beban finansial dalam biaya
Tand
a
perawatan, beban mental dalam menghadapi perilaku pasien, dan beban
sosial terutama menghadapi stigma dari
masyarakat tentang anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa. Dampak dari beban
yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi
kemampuan keluarga dalam merawat pasien.
Jika keluarga terbebani kemungkinan keluarga
tidak mampu merawat pasien dengan baik.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka
dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
“Apakah ada hubungan antara beban keluarga
dengan kemampuan keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS
Marzoeki Mahdi Bogor?”

METODE

Desain penelitian ini adalah desain analitik


kategorik berpasangan, yaitu metode untuk
mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
beban keluarga dengan kemampuan keluarga
merawat pasien perilaku kekerasan.

Sampel yang diambil dalam penelitian ini


ditentukan dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel purposive sampling, yaitu
dengan terlebih dahulu menentukan kriteria.
Kriteria yang dipakai adalah inklusi. Kriteria
inklusi dalam penelitian ini yaitu keluarga pasien
yang anggota keluarganya mengalami skizofrenia
dengan perilaku kekerasan dan pernah dirawat
lebih dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu
berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal
serumah dengan pasien

Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner The


Zarith Burden Interview versi bahasa indonesia,
merupakan instrumen untuk variabel independen
yaitu beban yang dirasakan keluarga. Kuesioner
pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan merupakan instrument
untuk variable dependen. Pengolahan data sesuai
dengan langkah-langkah edit data (editing),
memberikan kode (coding),
memasukkan data dalam tabel (entry), dan Square karena variabel yang diteliti berjenis kategorik
membersihkan data (cleaning). dan kategorik.

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini Etika pengambilan data pada penelitian ini menggunakan
adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis prinsip manfaat, prinsip menghargai martabat manusia,
univariat dalam melakukan uji statistik prinsip
menggunakan uji distribusi dan proporsi. Analisis
bivariat pada penelitian ini menggunakan uji Chi
Tand
a
signifikan. Pada variabel pengetahuan memiliki kemampuan tidak baik.
keluarga menunjukkan mayoritas responden
memiliki pengetahuan sedang 69 responden Tabel 2
dan tinggi 34 responden. Variabel sikap Hubungan antara Beban dengan Pengetahuan
keluarga menunjukkan 75 responden memiliki Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
sikap tidak baik. Sedangkan variabel di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013
(n=103)
kemampuan keluarga terdapat 51 responden
Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga value
(95%
Sedang Tinggi CI)
HASIL n % n %
Tabel 1
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Keluarga Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor, Tahun 2013 Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
(n=103) Jumlah 69 67 34 33
Peresentase
Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien perilaku
Beban Sedang 35 34,0 kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan tidak
Beban Ringan 36 35,0 ada hubungan antara beban dengan pengetahuan
Tanpa Beban 14 13,6 keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
Jumlah 103 100 P value>0,05.
Variabel Dependen
Pengetahuan Tabel3
Keluarga Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan Sikap
Sedang 69 67,0 KeluargaDalam MerawatPasien Perilaku
Tinggi 34 33,0 Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor
Jumlah 103 100 Tahun 2013 (n=103)
Sikap Keluarga
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR (95%
Jumlah 103 100 Beban
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik value CI)
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 Beban Berat 16 88,9 2 11,1 0,188
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 0,3100,016
Beban Ringan 30 60 20 40
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat, Jumlah 75 72,8 28 27,2
jumlah tersebut cukup
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 responden Tabel 4
mengalami beban berat dan memiliki sikap tidak Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan Kemampuan
baik dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Uji Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di
analisis menunjukkan adanya hubungan antara Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103)
beban dengan sikap keluarga dalam merawat pasien
perilaku kekerasan P Value<0,05.

Tand
a
000,- dan rata-rata penghasilan responden dari enam dimensi beban keluarga dengan
adalah Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut skizofrenia, skor finansial memiliki rata- rata yang
merupakan nominal yang sangat jauh paling tinggi. Oleh karena itu apabila keluarga
dibawah standar UMR Bogor tahun 2013 tidak memiliki sumber dana yang cukup atau
yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan jaminan kesehatan, maka akan menjadi beban yang
penelitian Gururaj, Bada, Reddy sangat berat bagi keluarga.
dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa

Kemampuan Keluarga
OR (95% Pengetahuan Keluarga dalam merawat pasien
Beban Perilaku Kekerasan.
P
Keluarga value CI) Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
Sedang Tinggi mayoritas responden memiliki pengetahuan
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,105
Beban Sedang 21 60,0 14 40,0 0,182 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini (2011)
Beban Ringan 14 38,9 22 61,1 0,010 0,429 mendukung penelitian ini yang
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan
Jumlah 69 67 34 33 pada keluarga pasien skizofrenia sebagian
besar adalah tinggi (55,6%). Hal ini
Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13 responden dimungkinkan dari kriteria keluarga yang
yang mengalami beban berat dan memiliki ambil dalam penelitian ini adalah keluarga
kemampuan tidak baik dalam merawat pasien pasien yang pernah dirawat minimal satu
perilaku kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan kali, yang sering mendapatkan informasi
adanya hubungan yang signifikan antara beban maupun pendidikan kesehatan tentang cara
dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien merawat pasien perilaku kekerasan dari
perilaku kekerasan P value <0,05. petugas kesehatan.
Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang
PEMBAHASAN diperoleh baik dari pendidikan formal
maupun non formal dapat memberikan
Beban Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku pengaruh jangka pendek sehingga
Kekerasan menghasilkan perubahan atau peningkatan
Pada analisis beban keluarga terdapat 17,5% atau 18 pengetahuan. Pendidikan non formal tersebut
responden yang memiliki beban berat. Nuraenah, dapat mempengaruhi pengetahuan keluarga
Mustikasari, & Putri (2012) mendukung penelitian tentang cara merawat pasien perilaku
ini bahwa beban keluarga dalam merawat anggota kekerasan menjadi tinggi. Dapat disimpulkan
dengan riwayat perilaku kekerasan yaitu 95%. bahwa jika pengetahuan keluarga tinggi
Beban berat yang dialami keluarga bisa dipengaruhi maka akan meningkatkan kemampuan
oleh berbagai hal diantaranya adalah faktor sosial keluarga dalam memberikan perawatan pada
ekonomi. Dalam hasil penelitian ini masih banyak pasien perilaku kekerasan yang hasilnya pun
keluarga yang merawat anggota keluarganya yang akan menjadi optimal.
mengalami perilaku kekerasan memiliki penghasilan
rendah, yaitu penghasilan terendah adalah Rp 150 Sikap Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
bahwa mayoritas responden memiliki sikap
tidak baik terhadap pasien sebanyak 75
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha & Faktor lain adalah perilaku kekerasan yang dilakukan
Gayatri (2012) didapatkan hasil responden dengan pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat (2003) Perilaku
sikap negative lebih banyak yaitu sebesar 53,6%. kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain, diri
Bagi pasien jiwa yang mengalami perilaku sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan ancaman
kekerasan dan kronis membutuhkan waktu secara verbal.Muesser & Gingerich (2006) juga
perawatan bertahun-tahu, yang dapat menjadikan menjelaskanbahwa anggota keluarga sering menjadi
keluarga mengalami kejenuhan dalam memberikan korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita
perawatan pada pasien sehingga bersikap tidak baik. skizofrenia.
Tand
a
gangguan jiwa sering melanda keluarga karena
Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku kekerasan berkurangnya stress tolerance.
yang dilakukan pasien terhadap keluarga sangat
merugikan keluarga dan mempengaruhi sikap Peneliti berpendapat bahwa
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan. ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan karena
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar bahkan keluarga mengalami kelelahan secara fisik maupun
sampai memukul terhadap keluarga, berkata-kata mental selama merawat anggota keluarganya yang
yang menyakitkan, merusak barang-barang keluarga, mengalami perilaku kekerasan. Dampak yang di
merusak dan mengganggu lingkungan. Dampak dari rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan yang
perilaku tersebut memungkinkan keluarga menjadi dilakukan pasien sangat mempengaruhi sikap
bersikap tidak baik terhadap anggota keluarganya keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan,
yang mengalami perilaku kekerasan. sehingga kemampuan keluarga menjadi tidak baik.

Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Hubungan Antara Beban dengan Pengetahuan
Perilaku Kekerasan. Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku
Kemampuan keluarga merupakan gabungan dari Kekerasan
pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga dengan
pasien perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini beban berat memiliki pengetahuan sedang
didapatkan bahwa responden yang memiliki sebanyak 26 orang dan pengetahuan tinggi
kemampuan tidak baik sebanyak 51 orang. sebanyak 5 orang. Simatupang (2010) mendukung
Penelitian ini didukung oleh Hernawaty (2009) penelitian ini yang menyebutkan bahwa mayoritas
bahwa rerata kemampuan kognitif keluarga dalam responden (90%) memiliki pengetahuan yang baik
merawat klien gangguan jiwa sebesar 32,15, dan tentang perilaku kekerasan termasuk definisi,
kemampuan psikomotor 32,55. Fontaine (2003) tanda, dan gejala pasien dengan perilaku kekerasan.
menyatakan bahwa kemampuan keluarga ditentukan
oleh kemampuan untuk manajemen stres yang Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan dalam
produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama merawat pasien perilaku kekerasan sudah dipahami
merawat anggota keluarga dengan oleh keluarga. Hal ini dikarenakan bahwa keluarga
pasien yang pernah di rawat di Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor telah mendapatkan
pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan. Yang
menarik dari hasil penelitian ini adalah keluarga
mengalami beban berat meskipun memiliki
pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa dikarenakan
beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain
faktor sosial ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
keluarga dengan pendidikan yang rendah. Hal ini
Sesuai dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
finansial memiliki rata-rata yang paling tinggi.
Oleh karena itu meskipun
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika kondisi ringan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu sosial
finansial rendah maka beban keluarga akan menjadi ekonomi yang memadai, adanya sistem pendukung yang
berat. cukup dan keluarga memiliki konsep spiritual yang tinggi
sehingga mampu beradaptasi untuk menerima penyakit
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap yang diderita anggota keluarganya. Sesuai dengan konsep
Keluarga Dalam merawat Pasien Perilaku Potter & Perry (2005) yang menjelaskan bahwa
Kekerasan spiritualitas secara signifikan membantu klien dan
Hasil penelitian ini terdapat responden yang pemberi layanan untuk beradaptasi terhadap perubahan
mengalami beban ringan memiliki sikap tidak baik yang diakibatkan oleh penyakit kronis.
sebanyak 30 orang. Keluarga yang mengalami beban
Tand
a
Jika keluarga mengalami beban ringan maka sikap keluarga tidak bekerja, dan pendidikan yang
keluarga terhadap pasien perilaku kekerasan rendah. Beban tersebut termasuk dalam kategori
seyogyanya akan menjadi baik. Yang menarik dari beban obyektif. Nadya (2009) menjelaskan beban
penelitian ini adalah terdapat 30 responden obyektif adalah berbagai beban dan hambatan yang
mengalami beban ringan namun memiliki sikap dijumpai dalam kehidupan keluarga yang berkaitan
yang tidak baik terhadap anggota keluarganya. Hal dengan perawatan penderita gangguan jiwa,
ini dimungkinkan karena dampak yang diterima oleh diataranya adalah beban biaya finansial yang
keluarga dari sikap pasien perilaku kekerasan. dikeluarkan untuk merawat penderita. Sesuai
Sesuai dengan konsep Muesser & Gingerich (2006) dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
bahwa anggota keluarga sering menjadi korban Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
skizofrenia. Pasien yang mengalami perilaku finansial memiliki rata- rata yang paling tinggi.
kekerasan memberi dampak yang merugikan bagi Peneliti berpendapat jika kondisi sosial ekonomi
keluarga sehingga keluarga bersikap tidak baik tidak memadai maka beban yang dirasakan
terhadap dirinya. keluarga menjadi berat.

Hubungan Antara Beban dengan Kemampuan Fontaine (2003) menjelaskan bahwa kemampuan
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku keluarga ditentukan oleh kemampuan untuk
Kekerasan. manajemen stres yang produktif. Kelelahan fisik
dan emosi selama merawat anggota keluarga
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga dengan gangguan jiwa sering melanda keluarga
dengan beban berat memiliki kemampuan tidak baik karena berkurangnya stress tolerance. Teschinsky
yaitu 13 orang. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor (2000) juga menjelaskan bahwa keluarga yang
sosial ekonomi antara lain kesulitan finansial, merawat anggota keluarga dengan perilaku
kekerasan akan mengalami reaksi emosi terhadap
gangguan dan stigma sosial yang ditimbulkan
karena perilaku kekerasan dengan dampak lainnya.
Dapat dimungkinkan hal inilah yang menyebabkan
keluarga memiliki kemampuan tidak baik dalam
merawat pasien perilaku kekerasan

Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku


kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain,
diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan
ancaman secara verbal. Muesser & Gingerich
(2006) juga menjelaskan bahwa anggota keluarga
sering menjadi korban tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal ini dapat
diartikan bahwa Perilaku kekerasan yang dilakukan
pasien terhadap keluarga sangat merugikan
keluarga dan mempengaruhi sikap keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan menjadi tidak
baik.
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan adanya KESIMPULAN
hubungan yang signifikan antara beban dengan Berdasarkan data demografi di Poliklinik RS Marzoeki
kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku Mahdi Bogor yaitu responden penelitian sebanyak 103
kekerasan (P Value<0,05). Hal ini dimungkinkan orang dengan kelompok usia rata-rata responden adalah
bahwa beban keluarga sangat mempengaruhi 50,46 tahun. Jenis kelamin responden mayoritas
kemampuan keluarga dalam merawat pasien Perempuan. Tingkat pendidikan responden mayoritas
perilaku kekerasan. Jika keluarga terbebani maka Sekolah. Pekerjaan responden mayoritas tidak bekerja.
keluarga tidak mampu merawat pasien perilaku Penghasilan responden rata-rata Rp 1.178.640,-.
kekerasan secara baik. Hubungan dengan pasien mayoritas adalah ibu.
Karakteristik pasien berdasarkan usia didapatkan hasil
Tand
a
bahwa rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. Jenis dalam merawat pasien perilaku kekerasan P value >
kelamin pasien mayoritas laki-laki. Pendidikan 0,05.
pasien mayoritas SD dan SMU. Jenis pekerjaan
pasien mayoritas tidak bekerja atau IRT. DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden
mayoritas dengan beban keluarga ringan dan sedang. Depkes.(2007).Riset kesehatan
Responden mayoritas memiliki pengetahuan sedang dasar.Jakarta: Balitbangkes Depkes.RI.
dan sikap tidak baik.Kemampuan responden dalam Fontaine,K.L.(2003) Mental health nursing.New
merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS jersey.Pearson
Marzoeki Mahdi Bogormemiliki kemampuan baik Education.Inc.
lebih tinggi dari pada kemampuan tidak baik, tetapi Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,&Ch
jumlah kemampuan tidak baik cukup signifikan. andrashekar.,C.R.(2008) Family burden, quality of
Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa tidak ada life and disabilityin obsesive compulsive
hubungan yang bermakna antara beban dengan disorder;in Indian perspective.J Postgradmed, 91-
tingkat pengetahuan keluarga dalam merawat pasien 97.
perilaku kekerasan, nilai P value > 0.05. Ada Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi suportif
hubungan yang signifikan antara beban dengan sikap keluarga terhadap kemampuan keluarga merawat
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan P klien gangguan jiwa di kelurahan Bubulak Bogor
value < 0,05, dan ada hubungan yang signifikan Barat. Depok. Tesis. FIK UI
antara beban keluarga dengan kemampuan keluarga Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan klien dan
keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor.
Disertasi. Jakarta.
Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The complete
family guide to schizophrenia. New York: Guilford
press.
Nadya.R.(2009) Gambaran kebahagiaan dan
karakteristik positif wanita dewasa madya yang
menjadi caregiver informal penderita skizofrenia.
Depok: Fakultas psikologi UI.
Notoatmodjo.(2010)Ilmu perilaku
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E (2012)
Hubungan dukungan keluarga dan beban keluarga
dalam merawat anggota dengan riwayat perilaku
kekerasan di RS Jiwa Islam klender jakarta Timur.
Depok.FIK.UI .Tesis.
Potter & Perry (2005) Fundamental of nursing;
Concept process and practice four edition.
Philadelphia: Mosby Year Book. Inc.
Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat i.W.
(2011).Faktor-faktoryang berhubungan dengan
kekambuhan pada pasien skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Amino Gondoutomo Semarang.
Simatupang.(2010). Hubungan tingkat pengetahuan
keluarga tentang perilaku kekerasan dengan
kesiapan keluarga

Tand
a
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei 2013.
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam pemberian
perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi

1
Stuart.G.W. (2007) Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Alih bahasa Kapoh.R.P
&Komarayuda.E.Jakarta: EGC.
Teschinky, U. (2000). Living with schizophrenia: the family illness experience.Online J Issues
Nurs. Diakses 8 mei 2013.

2
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN RATIONAL
EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP GEJALA
DAN KEMAMPUAN MENGONTROL EMOSI PADA
KLIEN PERILAKU KEKERASAN

I Ketut Sudiatmika*), Budi Anna Keliat**), dan Ice Yulia Wardani***)

*) Perawat Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Jl Dr. Sumeru No 114 Bogor, Bogor 16111, Indonesia
**) Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Jakarta 10430, Indonesia
***) Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Jakarta 10430, Indonesia
Email : ikt.mika@yahoo.com

Abstrak
Perilaku kekerasan merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat mengontrol perilaku marahnya sehingga
dieksprresikan dalam bentuk perilaku agresif fisik dan atau verbal yang dapat mencederai diri sendiri, orang lain
dan merusak lingkungan sehingga membutuhkan tindakan keperawatan yang efektif dan tepat. Tindakan
keperawatan spesialis yang dapat diberikan pada klien perilaku kekerasan adalah cognitive behaviour therapy dan
rational emotive behaviour therapy. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas cognitive behaviour therapy
(CBT) dan rational emotive behaviour therapy (REBT) terhadap perubahan gejala dan kemampuan klien perilaku
kekerasan di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian quasi eksperimental dengan jumlah
sampel 60 responden. Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan lebih besar pada klien yang
mendapatkan daripada yang tidak mendapatkan CBT dan REBT (p value < 0.05). Kemampuan kognitif, afektif
dan perilaku klien yang mendapatkan CBT dan REBT meningkat secara bermakna (p value < 0.05). CBT dan
REBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku kekerasan dan halusinasi.

Kata kunci: perilaku kekerasan, kemampuan kognitif, afektif dan perilaku, cognitive behaviour therapy, rational
emotive behaviour therapy.
PENDAHULUAN Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kasus
Penduduk di seluruh dunia diperkirakan gangguan jiwa yang ada di negara- negara
mengalami gangguan mental sekitar 450 juta berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara
orang, sekitar 10% orang dewasa mengalami berkembang berdasarkan hasil riset kesehatan
gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk dasar (Ris.Kes.Das, 2008) yang dilakukan oleh
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan
pada usia tertentu selama hidupnya (WHO, Departemen Kesehatan, menunjukkan prevalensi
2009). Gangguan jiwa mencapai 13% dari gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4.6
penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan permil, artinya dari 1000 penduduk Indonesia,
akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. maka empat sampai lima orang diantaranya
National Institute of Mental Health (NIMH) menderita gangguan jiwa berat.
berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika
Serikat tahun 2004, memperkirakan 26,2 % Skizofrenia merupakan salah satu jenis
penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih gangguan jiwa berat yang paling banyak
mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). ditemukan. Stuart (2009) menyebutkan di

3
Amerika Serikat sekitar 1 dari 100 orang mengalami skizofrenia. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (2003)
mencatat bahwa 70% gangguan jiwa terbesar
di Indonesia adalah Skizofrenia. Kelompok
American Association
Psychiatric (APA) menyebutkan beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa skizofrenia
mempunyai insiden lebih tinggi untuk
mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000
dalam Sadino, 2007). Wahyuningsih (2009)
menyatakan bahwa klien skizofrenia memiliki
riwayat kekerasan baik sebagai pelaku,
korban, atau saksi sebanyak 62,5%.

Fauziah (2009) meneliti 13 orang klien


skizofrenia yang mengalami perilaku
kekerasan dan didapatkan kemampuan
kognitif dan perilaku klien meningkat setelah
diberikan cognitive behaviour therapy.
Kemampuan kognitif klien meningkat secara
bermakna sebesar 66% dan perilaku 66%.
Putri (2010) dalam penelitiannya terhadap 28
klien skizofrenia yang mengalami perilaku
kekerasan menyatakan bahwa terapi Rational
Emotif Behaviour Therapy (REBT) mampu
meningkatkan kemampuan kognitif sebesar
9.6% dan sosial 47%. REBT juga mampu
menurunkan respon emosi 43%, fisiologis
76%, dan perilaku 47%. Penurunan gejala
perilaku kekerasan masih bisa dioptimalkan
jika dipadukan dengan tindakan keperawatan
spesialis.

METODOLOGI dengan menggunakan desain penelitian “Quasi


Penelitian ini adalah penelitian quasi Experimental Pre-Post Test with Control
experimental dengan metode kuantitatif Group” dengan intervensi Cognitive Behaviour

4
Therapy (CBT) dan Rational Emotive sebagian besar tidak kawin 45 orang (75.0%),
Behaviour Therapy (REBT). Teknik adanya riwayat gangguan jiwa 35 orang
pengambilan sampel menggunakan Purposive (58.3%) dan frekuensi dirawat di rumah sakit
Sampling. Penelitian ini dilakukan untuk 2 kali atau lebih 45 orang (75.0%).
mengetahui efektivitas Cognitive Behaviour Perubahan gejala perilaku kekerasan sebelum
Therapy dan Rational Emotive Behaviour dan sesudah pelaksanaan cognitive behaviour
Therapy terhadap perubahan gejala dan therapy dan rational emotive behaviour
kemampuan kognitif, afektif dan perilaku therapy.
klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat
8070,97
di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. H. 70
60 59,03
Marzoeki Mahdi Bogor. 71,5
50
Responden berjumlah 60 orang yang terdiri 40 50
30 Intervensi
atas 30 orang menjadi kelompok kontrol dan 20 Kontrol

30 orang kelompok intervensi. Analisis 10


0
statistik yang digunakan adalah univariat,
Sebelum Sesudah
bivariat dan multivariat dengan analisis
dependen dan independent sample t-Test, Chi- Penurunan gejala perilaku kekerasan
square serta regresi linier ganda dengan pada klien yang mendapatkan CBT
tampilan dalam bentuk tabel dan distribusi dan REBT lebih besar mencapai
frekuensi. rata-rata 50.00 (77%) dalam katagori
HASIL PENELITIAN rendah daripada klien yang tidak
Berikut akan dijabarkan hasil penelitian : mendapatkan CBT dan REBT
mencapai 59.03 (66%) dalam
katagori sedang.
Efektifitas CBT dan REBT dalam
menurunkan gejala perilaku
kekerasan adalah:

Karakteristik klien dengan perilaku


E= 21.50-11.93 x100%= 45
kekerasan dalam penelitian ini lebih banyak 21.50
%
laki-laki 51 orang (85.0%),
sebagian besar tidak bekerja 32 orang Perubahan kemampuan kognitif,
(53.3%), memiliki jenjang pendidikan SMA afektif dan perilaku klien dengan
dan PT 36 orang (60.0%), perilaku kekerasan sebelum dan

sesudah pelaksanaan cognitive behaviour therapy.


therapy dan rational emotive behaviour

5
250 terutama klien yang menikah. Penelitian tidak
Kognitif
200 198,8
menemukan karakteristik yang berpengaruh
150
Afektif
terhadap peningkatan kemampuan kognitif dan
100101,5
50
afektif klien.
Perilaku

0
SebelumSesudah PEMBAHASAN
Cognitive behaviour therapy dan rational
Kemampuan kognitif klien
behaviour therapy menurunkan gejala perilaku
meningkat secara bermakna
kekerasan baik secara kognitif, emosi, perilaku,
mencapai 65.87 (74%), afektif
sosial, dan fisik mencapai 77% secara bermakna
66.03 (76%), dan perilaku 66.90 (77%)
dari tingkat yang sedang ke tingkat rendah.
dengan p value < 0.05.
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
Komposit kemampuan kognitif,
kognitif mencapai 86%, sedangkan klien yang
afektif dan perilaku meningkat
tidak diberikan CBT dan REBT mencapai 76%.
mencapai 198.80 (75%) dengan p
Kelompok klien yang tidak mendapatkan CBT dan
value < 0.05.
REBT juga mengalami penurunan gejala perilaku
Efektifitas CBT dan REBT dalam
kekerasan secara kognitif, namun penurunan
meningkatkan kemampuan
gejala yang terjadi masih dalam tingkat sedang.
kognitif, afektif dan perilaku pada
Penurunan gejala perilaku kekerasan pada
klien perilaku kekerasan adalah:
kelompok yang tidak mendapatkan terapi
CBT dan REBT terjadi karena kelompok
E = 41 % 198.80-101.50 x 100% =
240 klien tersebut mendapatkan terapi generalis yang
sesuai dengan standar asuhan keperawatan (SAK).
Rieckert (2000)
Penelitian ini tidak
menemukan menyatakan bahwa terapi REBT secara
karakteristik klien yang berpengaruh terhadap signifikan dapat mengurangi kemarahan,
penurunan gejala perilaku kekerasan. perasaan bersalah dan harga diri yang rendah.
Karakteristik yang berpengaruh Aaron T. Beck tahun 1960an menemukan bahwa
terhadap peningkatan kemampuan kognisi klien memiliki dampak yang luar biasa
perilaku klien adalah usia terutama terhadap perasaan dan perilakunya. Beck
32 tahun dan status perkawinan menyatakan kesulitan emosional dan perilaku
seseorang

dalam hidupnya disebabkan cara mereka


menginterpretasikan berbagai peristiwa yang Gejala perilaku kekerasan secara emosi menurun
dialami. lebih baik pada klien yang mendapatkan terapi

6
CBT dan REBT mencapai 82%. Penelitian Perbedaan terlihat signifikan dimana klien
sebelumnya yang dilakukan oleh Putri (2010) yang mendapatkan CBT dan REBT gejalanya
yang memberikan terapi REBT kepada 28 turun pada tingkat rendah, sedangkan klien
klien dengan perilaku kekerasan didapatkan yang tidak mendapatkan CBT dan REBT
respon emosi klien menurun secara bermakna gejala perilaku turun masih dalam tingkat
mencapai 43%. Penurunan gejala perilaku sedang. Putri (2010) juga menemukan bahwa
kekerasan secara emosi pada penelitian ini klien dengan perilaku kekerasan setelah
mencapai hasil yang lebih tinggi daripada diberikan terapi REBT maka respon
penelitian sebelumnya karena dilakukan perilakunya menurun mencapai 47%.
dengan memadukan dua terapi yang Penurunan gejala perilaku terjadi secara
sebelumnya hanya dilakukan satu terapi. signifikan karena klien selama terapi telah
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara diajarkan mengubah keyakinan irasional yang
emosi setelah diberikan CBT dan REBT pada selama ini dipertahankan klien sehingga
kelompok yang mendapatkan dengan mencetuskan perilaku marah menjadi pikiran
kelompok yang tidak mendapatkan CBT dan yang sesuai dengan kenyataan. Albert Ellis
REBT menunjukkan perbedaan yang (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic,
bermakna dimana pada kelompok yang 2003) juga mengemukakan bahwa yang perlu
mendapatkan CBT dan REBT mengalami dirubah oleh individu untuk mengatasi
penurunan respon emosi lebih tinggi (berada masalah emosi maupun perilakunya adalah
dalam tingkat yang rendah). adanya keyakinan irasional yang
dikembangkan oleh dirinya.
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
perilaku lebih tinggi pada kelompok yang Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
mendapatkan CBT dan REBT mencapai 77%. sosial pada klien yang diberikan CBT dan
Klien yang tidak mendapat CBT dan REBT REBT mencapai 73% lebih tinggi daripada
juga mengalami penurunan gejala perilaku klien yang tidak mendapatkan terapi CBT dan
mencapai 64% . REBT yang mencapai 63%. Putri (2010)
menemukan respon sosial klien meningkat
mencapai 47% setelah diberikan terapi REBT.
Penelitian ini menitik beratkan pada gejala
sosial yang terganggu ketika klien mengalami
kemarahan. Gejala sosial pada klien perilaku
kekerasan adalah menarik

diri dari hubungan sosial, mengasingkan diri, kekerasan kepada orang lain, mengejek, humor,
menolak kehadiran orang lain, melakukan serta mengabaikan hak orang lain (Keliat, 1996;

7
Nihart, 1998; Stuart, 2009). Pemberian CBT perubahan interpretasi klien terhadap kejadian
dan REBT dapat mengajarkan klien berpikir atau peristiwa. Interpretasi yang tidak sesuai
positif terhadap lingkungan sosialnya dengan kenyataan akan menyebabkan
sehingga hubungan interpersonalnya dengan perubahan emosi dan perilaku seseorang ke
orang lain meningkat. arah maladaptif. Frogatt (2005) juga
menegaskan bahwa REBT berdasar pada
Gejala fisik menurun mencapai 85%, konsep bahwa emosi dan perilaku merupakan
sedangkan klien yang tidak mendapatkan CBT hasil dari proses pikir.
dan REBT penurunan gejala fisik mencapai
71%. Penelitian Putri (2010) juga Cognitive behaviour therapy dan rational
menemukan penurunan gejala fisik setelah emotive behaviour therapy meningkatkan
klien diberikan terapi REBT mencapai 76%. kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku
Penurunan gejala fisik terjadi paling besar klien secara bermakna dari tingkat yang
dibandingkan gejala yang lainnya karena rendah ke tinggi. Kemampuan kognitif klien
seluruh klien mendapatkan terapi meningkat mencapai 74%, afektif 76%, dan
psikofarmaka berupa obat antipsikotik yang perilaku 77%. Penelitian yang
bekerja efektif terhadap penurunan gejala fisik dilakukan Fauziah (2009) terhadap 13 klien
klien. Stuart (2009) menyatakan perilaku dengan perilaku kekerasan yang menunjukkan
kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, bahwa CBT dapat meningkatkan kemampuan
tidak bisa diam, mengepalkan atau kognitif dan perilaku masing-masing
memukulkan tangan, rahang mengencang, mencapai 66%. Penelitian Putri (2010)
peningkatan pernafasan, dan kadang tiba- tiba terhadap 28 klien dengan perilaku kekerasan
seperti kataton. juga menunjukkan dengan pemberian REBT
respon kognitif klien meningkat 9.6% dan
Stuart (2009) menyatakan terapi CBT kemampuan sosial 47%.
bertujuan mengubah keyakinan yang tidak
rasional, kesalahan penalaran dan pernyataan Bloom (1956 dalam Kasan, 2005)
negatif tentang keberadaan individu. REBT mengklasifikasikan tujuan pemberian
lebih memfokuskan pada pendidikan kedalam tiga domain, yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor. Teori bloom
melandasi penilain terhadap kemampuan klien
dalam penelitian ini. Kemampuan kognitif
mencakup aspek

intelektual seperti pengetahuan dan menekankan pada aspek perasaan dan emosi.
ketrampilan berpikir, kemampuan afektif Kemampuan yang terakhir yaitu perilaku

8
menekankan pada aspek motorik yang dilihat dengan perilaku kekerasan salah satunya
dari kemampuan klien melaksanakan CBT adalah dengan token economy.
dan REBT seperti menuliskannya di buku
kerja dan jadwal kegiatan sehari-hari. Token economy dalam proses pelaksanaan
CBT dan REBT merupakan salah satu tipe
Peningkatan kemampuan yang signifikan pada dari contingency contracting dimana
kelompok klien yang diberikan terapi CBT penguatan diberikan sesuai dengan perilaku
dan REBT karena selama proses pelaksanaan yang diinginkan (Townsend, 2009).
terapi klien selalu dimotivasi untuk Pemberian token economy dan reinforcement
melakukan latihan secara mandiri yang ini memotivasi klien dalam melaksanakan
menjadi tugas rumah (home work) yang perilaku positif yang diinginkan sehingga
dievaluasi secara terus menerus dengan akhirnya kemampuan kognitif, afektif dan
menggunakan jadwal kegiatan harian, buku perilaku klien setelah diberikan terapi CBT
kerja, dan raport perkembangan klien. Peneliti dan REBT meningkat yang nantinya
menerapkan prinsip-prinsip teori perilaku diharapkan membudaya pada kehidupan klien
dengan memberikan penguatan walaupun token sudah tidak diberikan.
(reinforcement) positif terhadap perilaku
positif yang dilakukan klien dan memberikan Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
umpan balik negatif terhadap perilaku yang kontribusi karakteristik klien seperti usia, jenis
tidak diinginkan. Videbeck (2008) kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
menyatakan modifikasi perilaku merupakan perkawinan, frekuensi dirawat, dan riwayat
suatu metode yang dapat digunakan untuk gangguan jiwa terhadap penurunan gejala
menguatkan perilaku yang diinginkan melalui perilaku kekerasan dan halusinasi. Penelitian
pemberian umpan balik baik positif maupun yang dilakukan Putri (2010) juga tidak
negatif. Peneliti menerapkan prinsip token ditemukan adanya kontribusi karakteristik
economy sesuai yang dikemukakan Stuart dan klien dalam perubahan respon perilaku
Laraia (2005) bahwa tindakan keperawatan kekerasan klien dengan skizofrenia.
spesialis yang dapat diberikan pada klien

Karakteristik klien perilaku kekerasan tidak


berhubungan dengan peningkatan kemampuan
kognitif dan afektif klien. Usia klien
berhubungan dengan peningkatan kemampuan
perilaku klien.

Rata-rata klien berusia 32 tahun dengan usia Hasil ini menunjukkan bahwa klien yang berusia
termuda 18 tahun dan usia tertua 55 tahun. 32 tahun memiliki kontribusi dalam peningkatan

9
kemampuan perilaku terhadap cognitive Status perkawinan berkontribusi dalam
behaviour therapy dan rational emotive peningkatan kemampuan perilaku klien. Klien
behaviour therapy. Usia yang menikah peningkatan kemampuan
32 tahun tergolong usia dewasa yang memiliki perilaku terhadap cognitive behaviour therapy
tugas-tugas perkembangan yang spesifik. dan rational emotive behaviour therapy lebih
besar daripada yang tidak menikah setelah
Jean Peaget (1980 dalam Fontaine, 2003) dikontrol oleh usia. Individu yang sudah
dengan teori kognitifnya menyatakan bahwa menikah memiliki tuntutan untuk bertanggung
individu membangun kemampuan kognitif terhadap keluarganya. Tanggung jawab
melalui tindakan yang termotivasi dengan tersebut dapat memotivasi mereka untuk
sendirinya terhadap lingkungan. Usia dewasa meningkatkan hubungan dengan orang lain
dalam perkembangannya termasuk periode termasuk mengerjakan sesuatu untuk
operasional formal. Karakteristik periode ini mencapai kesejahteraan keluarga. Terapi CBT
adalah diperolehnya kemampuan untuk dan REBT salah satu cara bagi mereka untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, kembali melaksanakan perannya dalam
dan menarik kesimpulan dari informasi yang keluarga sehingga kewajiban tersebut dapat
tersedia. Kemampuan pada periode dilaksanakan kembali.
perkembangan ini yang membuat klien lebih
memahami dan termotivasi dalam SIMPULAN
melaksanakan terapi CBT dan REBT. Klien Karakterisitik klien yang menjadi responden
pada tahap perkembangan tersebut mampu dalam penelitian ini rata-rata berusia 32 tahun
menganalisis bahwa terapi CBT dan REBT dengan usia termuda 18 tahun dan tertua 55
yang diberikan jika dilaksanakan dengan baik tahun, jenis kelamin lebih banyak laki-laki
dalam kehidupan sehari-hari akan membantu (85.9%), sebagian besar tidak bekerja
dirinya dalam menghadapi setiap stresor yang (53.3%), memiliki jenjang pendidikan SMA
dialami. dan Perguruan Tinggi (60.0%), sebagian besar
tidak kawin (75.0%), adanya riwayat
gangguan jiwa (58.3%) dan frekuensi dirawat
di rumah sakit 2 kali atau lebih (75.0%) .
Cognitive behaviour therapy dan rational
behaviour therapy efektif dalam menurunkan
gejala perilaku kekerasan dari

tingkat sedang ke rendah. Cognitive meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan


behaviour therapy dan rational emotive perilaku klien dari tingkat rendah ke tingkat
behaviour therapy efektif dalam yang tinggi. Usia 32 tahun dan menikah

10
berpengaruh terhadap kekerasan setelah dilakukan terapi CBT dan
peningkatan kemampuan perilaku klien REBT.
dengan perilaku kekerasan dan halusinasi.
DAFTAR PUSTAKA

SARAN Fauziah (2009). Pengaruh terapi perilaku


kognitif pada klien skizoprenia dengan
Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu
perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI.
memotivasi klien dan mengevaluasi Tidak dipublikasikan.
kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari Fontaine, K.L. (2003). Mental health nursing.
dan dimiliki oleh klien sehingga latihan yang new jersey. Pearson Education. Inc.
diberikan membudaya. Apabila terjadi Froggatt, W (2005). A brief introduction to
kemunduran pada klien hendaknya perawat rational emotive behaviour therapy, journal
of rational emotive behaviour therapy,
ruangan version Feb 2005
mengkonsultasikan perkembangan
Kasan. (2005). Dasar-dasar pendidikan.
kliennya yang telah mendapat terapi spesialis Jakarta: Studia Press.
kepada perawat spesialis yang ada di rumah
Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan klien dan
sakit. Hasil penelitian ini hendaknya keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor.
digunakan sebagai evidence based dalam
Disertasi. Jakarta. FKM UI. tidak
mengembangkan terapi CBT yang dipadukan dipublikasikan.
dengan REBT baik pada individu maupun NIMH. (2011). The numbers count mental
kelompok, sehingga menjadi modalitas terapi disorders in America
http://www.nimh.nih.gov/health/public
keperawatan jiwa yang efektif dalam ations/index.shtml, diperoleh tanggal 20-02-
mengatasi masalah kesehatan jiwa dan 2011.
meningkatkan derajat kesehatan jiwa. Pusat Penelitian dan Perkembangan Depkes
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada RI. (2008). Riset kesehatan dasar 2007.
www.litbang.go.id,
klien perilaku kekerasan dengan metode diperoleh tanggal 10 Februari 2011.
cohort untuk melihat pencapaian kemampuan
Putri, E.D. (2010). Pengaruh rational emotive
dalam menurunkan gejala dan meningkatkan behaviour therapy pada klien dengan perilaku
kekerasan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
kemampuan mengontrol perilaku
Bogor. Tesis. Tidak dipublikasikan.

Rieckert & Moller (2000). Rational – emotive


behaviour therapy in the treatment of adult
victims of childhood sexual abuse, Journal of
Rational Emotive & Cognitif - Behaviour
Therapy, Vol 18, No. 2, Summer.

11
Stuart, G.WT (2009). Principles and practice of
psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby.

Wahyuningsih, D. (2009). Pengaruh assertive


trainning terhadap perilaku kekerasan pada klien
skizoprenia, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan.

WHO. (2009). Improving health systems and


services for mental health (Mental health policy and
service guidance package). Geneva 27,
Switzerland : WHO Press.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.3, November 2016, hal 191-199 pISSN 1410-4490,
eISSN 2354-9203
DOI : 10.7454/jki.v19i3.481

STIGMATISASI DAN PERILAKU KEKERASAN PADA ORANG DENGAN


GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI INDONESIA

Muhammad Arsyad Subu1*, Dave Holmes1, Jayne Elliot1

1. STIKes Binawan, Jakarta 13630, Indonesia

*E-mail: msubuo61@uottawa.ca

Abstrak

Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang-
orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari
keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam
hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan
data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan
metode Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang lain. Dampak stigmatisasi
dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan
aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku
kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma
dengan perilaku kekerasan.

Kata kunci: gangguan jiwa, perilaku kekerasan, stigma, stigmatisasi

Abstract

Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of stigmatization of mental
illness is violent behavior conducted by patients toward other people around them including families, nurses and
communities. Conversely, patients experienced violence conducted by families, communities and nursing professionals.
This study aims to understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate
violent behavior committed by sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods
of data collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé.
Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and health
professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of stigmatization is manifested by
violent behavior committed by patients, families, staff, community and authorities. Findings are relevant to psychiatric
nurses who provide care to the patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of
families, communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.

Keywords: Mental Illness, violent behavior, stigma, stigmatization

Pendahuluan si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7 per 1000


dan ODGJ ringan sekitar 6% dari total populasi
Para ahli memperkirakan 15% populasi global (Kemenkes, 2013). Tujuh puluh lima persen
akan memiliki masalah gangguan jiwa tahun ODGJ mengalami stigma dari masyara- kat,
2020 (Harpham, et al., 2003). Orang dengan pemerintah, petugas kesehatan dan media
gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya mengala- (Hawari, 2001). Perilaku kekerasan ODGJ
mi dampak akibat gejala dan penyakit, tetapi menjadi penyebab utama stigmatisasi di ma-
juga stigmatisasi (Kapungwe, 2010). Prevalen- syarakat dan tenaga kesehatan.
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi perilaku kekerasan di kalangan ODGJ dewasa
serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih Indonesia dengan menggunakan Constructivist
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan Grounded Theory (CGT). CGT diperkenalkan
& Watson, 2005). Profesional dalam pelaya- pertama kali oleh Kathy Charmaz. CGT kon-
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan sisten dengan epistemologi dan ontologi
tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan ‘konstruktivisme’ yang memprioritaskan pada
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). fenomena penelitian dan melihat data dan
Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien analisisnya sebagai hal yang dibuat dari
dalam keperawatan jiwa yang lebih tinggi pengalaman bersama peneliti dengan partisi-
(Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku pan dan sumber lainnya" (Charmaz 2006,
kekerasan merupakan kejadian umum di RS p.330). Desain penelitian ini lebih pada pen-
(Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se- dekatan objektivis, dan peran peneliti adalah
bagian besar perawat, beresiko menjadi korban menemukan kebenaran yang ada di dalam objek
kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- penelitian dan meminimalisasi ‘keku- atan’
Pierre, 2012). ODGJ menghadapi stigmatisasi (Charmaz, 2006, p. 331).
yang menyebabkan mereka rentan terhadap
perilaku kekerasan orang. ODGJ lebih sering Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di
menjadi korban daripada pelaku kekerasan Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
(Stuart, 2004), menjadi korban fisik dan seksual skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem-
(Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor- ban puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak 30
kejahatan dan diskriminasi (Katsikidou, et al., partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk
2012). Sepu-luh persen penderita adalah korban memastikan saturasi data (Charmaz, 2006). Para
kekerasan (Schomerus, et al., 2008). partisipan hanya yang memiliki kemam- puan
membaca dan menulis, berusia 18 tahun atau
Suatu penelitian di Australia mengungkapkan lebih, mengalami gangguan jiwa dan stigma.
bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah Pengumpulan data melalui wawancara semi-
mengalami serangan fisik dan 57% setelah berstruktur yang direkam menggunakan digital
mengalami kekerasan seksual (McFarlane, audio. Telaah dokumen juga digunakan seba-
Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain gai triangulasi data untuk meningkatkan pro-
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke- babilitas kredibilitas interpretasi data (Lincoln
kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke- & Guba, 1985). Dokumen tersebut berupa
luarga dan bukan orang asing. Mereka sering hardcopy dan elektronik seperti laporan, log
dipukul atau diancam oleh anggota keluarga perawat, pre dan post konferensi, moto, visi dan
mereka (Katsikidou, et al., 2012; Solomon, misi RS. Memo digunakan untuk mendo-
Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur kumentasikan pengalaman dalam laporan ker-
intensif mengungkapkan bahwa penelitian tas yang menjelaskan proses berpikir peneliti.
tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum fokus Catatan lapangan dari observasi dan refleksi
pada dampaknya terhadap perilaku ke- kerasan data, merupakan bagian dari pendekatan ref-
pada ODGJ. Penelitian ini mem- berikan leksif proses analitis data (Charmaz, 2006).
analisis mendalam untuk memahami hubungan
antara stigmatisasi dengan perilaku kekerasan Analisis data menggunakan metode Paille
pada ODGJ. (1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
menghubungkan kategori, integrasi, konsep-
Metode tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan
Cowley (2004) terdapat tiga tahapan analisis
Penelitian ini memberikan pemahaman subs- yaitu koding awal, fase menengah, dan
tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan
pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng-
data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi pengalaman partisipan terkait stigma dengan
(koding awal), menghubungkan kategori dan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi dan kata-kata partisipan yang sebenarnya untuk
teorisasi (pengembangan akhir). Tahap menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti-
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur kulasikan dengan asumsi, posisi epistemologis
kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam dan teoritis yang memengaruhi proses peneli-
bentuk kode secara terorganisir (proses tian. Dilakukan evaluasi diri sebagai instrumen
pembentukan kode). Tujuannya adalah mem- dan melihat efek peneliti yang dilakukan
beri nama, mengungkap, meringkas dan mem- melalui refleksi diri dan memoyang ditulis
beri label, baris demi baris, dari data trans- dalam jurnal.
kripsi. Kodifikasi ini membantu mengidenti-
fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi
dan pembentukan kategori. Tahap kategorisasi temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
adalah untuk menggambarkan fenomena se- dengan jelas proses berpikir peneliti
cara umum atau peristiwa yang muncul dari (Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini,
data yang kemudian dibuat daftar kategori. auditabilitas dilakukan dengan kriteria untuk
Tahap ini adalah untuk menentukan kategori merumuskan pemikiran, bagaimana dan
dengan mengidentifikasi variasi dalam data mengapa para partisipan dalam penelitian ini
dapat dijelaskan dengan kategori lain. Tahap dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu-
integrasi adalah menentukan fenomena- nakan kerangka yang disajikan oleh Paille
fenomena yang telah diamati secara empiris. (1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang-
Dengan mengintegrasikan hubungan antara kah dalam analisis data dan memastikan bah-
kategori, peneliti mengidentifikasi kongruensi wa pembaca dapat memahami bagaimana data
tertentu yang muncul antara data dan arah itu didapatkan atau dibentuk oleh partisipan dan
penelitian yang diambil selama analisis. Tahap peneliti.
konseptualisasi adalah proses pengembangan
dan klarifikasi konsep-konsep yang muncul dan Fittingness atau transferabilitas berarti hasil
menjelaskan konsep tersebut dengan kata- kata penelitian memiliki arti yang sama pada situasi
dan untuk memberikan definisi konsep- tual serupa (Chiovitti & Piran, 2003). Dalam
secara verbal. Proses ini memungkinkan peneliti penelitian ini, selama proses koding, semua data
untuk memahami fenomena penelitian dan yang dibuat kode telah diperiksa oleh seorang
kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori- sasi pakar lain untuk melakukan cek eksternal yang
merupakan proses konstruksi untuk me- terkait dengan hasil penelitian.
nguatkan teori atau pemahaman susbstantif.
Tidak semua penelitian grounded theory Hasil
menghasilkan teori; akan tapi pemahaman yang
mendalam dan substantif merupakan hasil akhir Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri.
dari sebuah penelitian dengan grounded theory Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja
Charmaz (2006). menyakiti diri sendiri. Seorang pasien meng-
gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria menyebabkan ide bunuh diri atau menyakiti diri
pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran, sendiri. Rasa takut terhadap orang lain juga
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah menjadi pencetus ide bunuh diri.
dengan mengumpulkan data dari berbagai “...kadang saya tidak bisa mengendalikan diri
sumber diantaranya melalui wawancara, cata- sampai saya berkeinginan bunuh diri. Saya
tan lapangan, dan memo. Koding data dengan mencoba bunuh diri tiga kali dengan
minum racun tapi saya tidak mati ... Dengan balok kayu.
penyakit jiwa, kepercayaan diri saya rendah. “Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ.
Saya merasa bingung; dengan orang lain, saya Banyak sekali kita menerima pasien yang telah
takut. Saya takut melihat orang lain.“ (P1). dipasung, terikat, dirantai, dimasuk- kan ke
dalam balok kayu; tapi, ada juga pasung,
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain dan seperti menempatkan penderita di ruangan
Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah kecil dan dikasih makanan sekali sehari.
melakukan perilaku kekerasan terhadap anggota Beberapa pasien tidak bisa ber- jalan, kurus
keluarga atau kerabat. dan kurang gizi. Mereka tidak dapat berbicara.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga dan Keluarga mereka kaya; jika mereka ingin
saya menjadi beban keluarga saya. Karena membawa pasien ke RS, saya yakin mereka
kesulitan dalam hidup, saya harus berada di mampu” (P13).
sini (RSJ). Otak saya punya banyak masalah.
Jadi, saya marah dan melakukan kekerasan di Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi
rumah dan selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
(P1). kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan
Pasien yang melakukan kekerasan sering pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga
disembunyikan oleh keluarga, sehingga mereka mengakui beberapa pasien yang memiliki
terisolasi di masyarakat. riwayat pasung di rumah karena mereka
“L [teman] punya keluarga dengan penyakit melakukan kekerasan, mereka menggang- gu
jiwa; jika [pasien] melakukan kekerasan, ia masyarakat. Mungkin [mereka] tidak tahu cara
menghancurkan atap, rumah, dll. Jadi keluarga merawat orang dengan penyakit jiwa. Hal ini
merahasiakan dan menyembunyikannya. masuk akal juga, kan? Mungkin lebih baik bagi
Mereka [pasien dan keluarga] jarang diundang mereka untuk menyelamatkan orang-orang
oleh masyarakat. Jadi, mereka terisolasi. daripada merawat ODGJ.” (P9).
Mereka terpinggirkan... stigmakan?” (P11).
Perawat lain mengatakan bahwa beberapa
Pasien juga melakukan kekerasan terhadap pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar
fasilitas umum, dan menghancurkan barang- negeri. Mereka dikurung oleh keluarga saat
barang. mereka kembali.
“Saya melemparkan asbak. Ceritanya, saya “Mereka dikait di pilar besar. Ada yang
kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar dengan diletakkan di kandang kambing atau ayam.
angsuran. Seratus, lima puluh, uang saya dari Mereka dikurung seperti kambing. [Pasien]
BJB lebih banyak... Saya marah; Saya tidak buang air besar, makan disitu, seperti binatang.
bisa mengendalikan diri. Saya jadi marah, Ini bukan cerita tapi saya melihatnya langsung;
seperti itu. Kemudian, saya dibawa ke sini Saya itu saksi kondisi ini. Enam pasien telah
(RSJ).” (P13). dibawa ke RS. Ya, beberapa dari daerah ini
mengirimkan banyak pekerja di Jawa Barat.
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi. Jadi mereka stres karena mereka bekerja di
Pasung dan seklusi masih digunakan untuk Arab Saudi. Mereka stres, dan kembali ke
menangani penderita gangguan jiwa. Beberapa Indonesia dikurung oleh keluarganya.” (P15).
perawat menunjukkan bahwa ada pasien diikat,
dirantai, atau dimasukkan ke dalam Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami
kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa perawat.
orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di “Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal).
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
penyakit jiwa (P1). Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga
diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk
penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, Pasien dengan perilaku kekerasan yang
melanggar hak-hak seseorang. membahayakan akan diisolasi sebagai metode
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada pengendalian.
dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang- “Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber
orang melakukan kejahatan terha- dap mereka, bahaya… mereka nganggap orang gila itu
seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. benar-benar gila, bukan manusia; harus
Saya dipasung karena apa? Saya dipasung dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang,
bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung dan ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan
untuk membuat saya "gila." Hal ini lebih gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
menyakitkan benar.” (P14). saya seperti babi diseret.” (P9).

Kekerasan oleh Pengobatan Tradisional. Seringkali petugas keamanan dan perawat


Banyak ODGJ yang mendapatkan pengobatan bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
tradisional mengalami kekerasan dari terapis. kekerasan.
Pasien mengalami terapi alternatif yang ber- “Semuanya dihancurkan, TV rusak. Teman
sifat abuse, seperti ditenggelamkan, dicambuk, saya di S (bangsal) telah meng- hancurkan TV.
atau dimandikan paksa. Sekarang, dia ada di sini, di bangsal K. Pasien
“Ya, saya dimandikan tengah malam. Dukun dengan kasar diseret oleh petugas keamanan.
menggunakan ilmu sihir...[tidak jelas], "Ayo kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa.
memukuli saya. Saya dimandikan jam satu "Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
malam. Saya tidak tidur. Badan saya dikocok diperlakukan seperti itu.” (P2).
kocok seperti kambing. Saya disana satu
setengah bulan, namun saya tidak sehat, saya Seorang perawat mengatakan bahwa umumnya
tidak lebih baik.” (P2). pasien baru di RSJ diikat.
“Jika pasien datang ke rumah sakit sangat
Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah mudah marah, beberapa pasien ini terikat; ada
satu pasien menceritakan pengalamannya pula yang diborgol. Jika pasien datang dengan
ditahanan di kantor polisi. Pasien lain diborgol kurang atau tidak marah, mereka tidak terikat.
oleh polisi karena perilaku kekerasannya. Jadi, jika pasien berada dalam kondisi marah
“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol saya. ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika
Ibu saya meminta bantuan polisi untuk mereka tidak benar-benar marah, mereka tidak
memborgol saya. Tapi belenggu borgol rusak. diikat oleh orang lain. Mereka dibawa oleh
Lihat ini [bekas luka di tangannya].” (P15). keluarga atau polisi kesini. Ya, polisi. Seperti
itu. Jika pasien baru, sebagian besar mereka
Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf datang dengan terikat.” (P6).
rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik
terhadap pasien. Metode pengikatan, pengeka-
ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan
Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan
dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
akibat kekerasan dari terapi dan pengobatan dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang
alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
telah dibawa ke dukun mengungkapkan: (Wehring & Carpenter, 2011).
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di daerah
terpencil di Jawa, dan tempatnya sangat gelap. Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri
Saya takut. Dia itu mantan pasien sakit jiwa. sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
Dia mengatakan: "Ini penyakit gila. Ini untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke-
psikopat". Saya ingin melarikan diri. Saya takut rasan mandiri meliputi ide atau percobaan
benar melihat kapaknya. Saya sangat stres, itu bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh
pengo- batan yang aneh.” (P3). diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy-
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
keluarga yang mengalami gangguan jiwa Risiko menyakiti diri sendiri meningkat
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.
akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ
penderita di rumah, juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat
penderita mengganggu masyarakat. Umumnya, adalah profesi yang paling rentan menjadi target
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al.,
anggota keluarga merasa ga nyaman dengan 2006), sebagian besar perawat mengalami
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al.,
kekerasan lagi” (P11). 2006; Landy, 2005).
Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi-
dengan riwayat perilaku kekerasan membuat laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
takut masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering
diisolasi oleh teman dan masyarakat. menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al.,
“Teman-teman merasa takut. Mereka 2012). Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk.,
saya karena saya orang sakit jiwa. Ya, 2009). Interaksi antara polisi dan ODGJ
argumen saya tidak diterima; tidak dipahami kadang-kadang terkait dengan perilaku keke-
oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara rasan (Cotton & Coleman, 2010).
benar, mereka harus nurutin saya ” (P5).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga
Pembahasan takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal
Hubungan antara gangguan jiwa dengan ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
perilaku kekerasan adalah penyebab utama hubungan erat antara perilaku kekerasan yang
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men-
sien melakukan kekerasan di keluarga dan ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5 berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje &
Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian
Medical Association, 2008). Banyak yang Referensi
menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an-
caman bagi keselamatan umum (Jorm & Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the
Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami link between discrimination, mental health
perawat dapat memengaruhi hubungan pera- outcomes, and life chances among Latinos.
wat dengan pasien, yang menghambat pem- Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28 (2), 245–
berian asuhan keperawatan (Jacob, 2010). 266.

Arboleda-Florez, J. (2003). Considerations on the


Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat stigma of mental illness. Canadian Journal of
dipengaruhi oleh media massa yang berperan Psychiatry, 48 (10), 645–650.
membentuk opini masyarakat. Penggambaran
ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, public and self-stigma to seeking mental health
2003). services. Journal of Mental Health Counseling, 33
(2), 161–176.
Kesimpulan Canadian Medical Association (2008). 8th Annual
national report card on health care. Ottawa ON:
Penelitian ini menemukan bahwa perilaku Canadian Medical Association.
kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada- Charmaz, K. (2006). Constructing grounded theory:
lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ. A practical guide through qualitative analysis.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan London: Sage Publications.
para perawat. Hasil penelitian memberikan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya- Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and
nan keperawatan jiwa di Indonesia. grounded theory research. Journal of Advanced
Nursing, 44 (4), 427–435.
Sangat penting memasukkan materi stigma-
Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings
tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen-
from the national comorbidity survey on the
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan frequency of violent behavior in individuals with
akan menghadapi risiko perilaku kekerasan dari psychiatric disorders. Psychiatry Research, 136,
pasien jika bekerja di area keperawatan jiwa. 153–162.
Keperawatan jiwa merupakan area yang bersiko
mendapatkan ancaman dan kekerasan sehingga Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian police
seringkali membenarkan beberapa jenis agencies and their interactions with persons with a
intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau mental illness: A systems approach. Police Practice
pengasingan yang merugikan hubungan pera- and Research, 11 (4), 301–
wat dengan pasien. 314.

Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A.,


Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat
Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann. J.J.(2003).
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat Suicide attempts in schizophrenia: The roleof
pemerintah memandang stigma terkait perilaku command auditory hallucinations for suicide.
kekerasan pada ODGJ. Program kampanye anti- Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.
stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif
stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke- Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga Measuring health in cost effective manner. Health
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma Policy and Planning, 18 (3), 344.
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a Landy, H. (2005). Violence and aggression: How
grounded theory approach: A comparison of Glaser nurses perceive their own and their colleagues risk.
and Strauss. International Journal of Nursing Emergency Nurse, 13, 12–15.
Studies, 41 (2), 141–150.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2004). The prevalence ofvictimization and violent
(2012). Introduction (re) thinking violence in health behaviour in the seriously mentally ill (Theses,
care settings: A critical approach. In Holmes, D., University of Adelaide). Department of Psychiatry,
Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re) Thinking violence University of Adelaide, Adelaide, Australia.
in health care settings: A critical approach. Surrey:
Ashgate Publishing, Ltd.
Paillé, P. (1994). L’analyse par théorisation ancrée.
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I., Cahiers de recherche sociologique, 23, 147–
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons 181.
with severe mental illness in Taiwan. Aealand
Journal of Psychiatry, 460–466. Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in
qualitative research. Advances in Nursing Science, 8
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., (3), 27–37.
& Okamura, H. (2006). Psychological impact of
verbal abuse and violence by patients on nurses Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C.,
working in psychiatric departments. Psychiatry and Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36. &Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood
and the appraisal of personal safety in people with
Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic schizophrenia: Results from the European
psychiatry: nurse-patient interactions in a secure Schizophrenia Cohort (EuroSC). Psychological
environment. Doctoral Dissertation School of Medicine, 38 (4), 591–597.
Nursing University of Ottawa, Canada:
Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J.
Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s (2005). Family violence amongadults with severe
stigmatizing attitudes towards people with mental mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1),
disorders: how important are biomedical 40–54.
conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321. Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre,
L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M. (2007). Cross-
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, national differences in relationships of work
Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental illness demands, job satisfaction and turnover intentions
- stigma anddiscrimination in Zambia. African with work–family conflict. Personnel Psychology,
Journal of Psychiatry, 13, 192–203. 60, 805–835.
Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare
Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K ., papers, 5(2), 100–111.
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely
mentally ill in Greece: The extent of the problem. Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., &
International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide ideation
706–715. and behaviour in recent onset schizophrenia. Social
Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 39, 927–
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan 937.
dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., &
Kesehatan RI. Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in adults
with severe mental illness. Archives of general
psychiatry, 62, 911–921.
Wehring, H.J., & Carpenter, W.T (2011).
Violence and schizophrenia.Schizophrenia
Bulletin, 37 (5), 877–778.
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH
Fholsen Frohansen (PO7120119036)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH
Fitria Oktaviani (PO7120119037)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
72 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 4, Nomor 1, Mei
2015, hlm. 72–77

PENGARUH TERAPI PSIKORELIGI TERHADAP PENURUNAN PERILAKU


KEKERASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA
DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

Dwi Ariani Sulistyowati, E. Prihantini

Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Keperawatan

Abstract: Psikoreligius Therapy, Violent Behavior in Patients with Schizophrenia, Decline in


Violent Behavior. Schizophrenia is a clinical syndrome or disease processes that affect, perception,
emotion, behavior, and social functioning. The main problem that often occurs in patients with
schizophrenia are violent behavior. Violent behavior is a condition where a person perform actions that
can physically harm either to yourself, others, and the environment. In the management of violent
behavior are three strategies, namely: strategy deep breath, hit the pillow, chatting with others,
Spiritual and psikoreligius obat.Sedangkan utilization is part of the spiritual strategy. The purpose of
this study was to determine the effect Psikoreligius to decrease violent behavior in patients with
schizophrenia. Research Methods. The research is a Quasi-experimental, research design using One
Group Pre and Post Test Design. Sampling using non-probability sampling technique with purposive
sampling. Analysis of the data used is paired t test.

Keywords: psikoreligius therapy, violent behavior in patients with schizophrenia, decline in violent
behavior

Abstrak: Terapi Psikoreligius, Perilaku Kekerasan pada Pasien Schizofrenia, Penurunan


Perilaku Kekerasan. Schizofrenia merupakan suatu syndrome klinis atau proses penyakit yang
mempengaruh, persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial. Permasalahan utama yang sering terjadi pada
pasien Schizofrenia adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan. Dalam manajemen perilaku kekerasan terdapat 3 strategi yaitu: strategi nafas dalam, pukul
bantal, bercakap-cakap dengan orang lain, spiritual dan pemanfaatan obat. Sedangkan psikoreligius
merupakan bagian dari strategi spiri- tual. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
Psikoreligius terhadap penurunan perilaku kekerasan pada pasien Schizofrenia. Metode Penelitian. Jenis
penelitian ini adalah Quasi eksperimen, desain penelitian menggunakan One Group Pre and Post test
Design. Pengambilan sampel dengan meng- gunakan teknik non probability sampling dengan cara
purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah uji paired t test.

Kata Kunci: terapi psikoreligius, perilaku kekerasan pada pasien schizofrenia, penurunan perilaku kekerasan
Untuk mendapatkan kesehatan mental yang Nurjanah (2004). Selanjutnya kondisi ini
prima, tidaklah mungkin terjadi begitu saja. dapat me- nyebabkan timbulnya gangguan
Selain menye- diakan lingkungan yang baik jiwa dalam tingkat ringan maupun berat yang
untuk pengembangan potensi, dari individu memerlukan penanganan di rumah sakit baik
sendiri dituntut untuk melakukan berbagai di rumah sakit jiwa atau di unit perawatan
usaha menggunakan berbagai kesempatan jiwa di rumah sakit umum, salah satunya
yang ada untuk mengembangkan dirinya. adalah penderita schizophrenia (Nurjanah,
Kondisi kritis ini membawa dampak 2004).
terhadap peningkatan kualitas maupun Schizofrenia merupakan suatu sindrome
kuantitas penyakit mental-emosional manusia klinis atau proses penyakit yang
Hidayati (2000) dalam mempengaruhi kognisi, persepsi, emosi,
perilaku, dan fungsi sosial, tetapi

72
schizofrenia mempengaruhi setiap individu Perilaku kekerasan dianggap sebagai
dengan cara yang berbeda. Derajat gangguan suatu akibat yang ekstrim dari rasa marah
pada fase akut atau fase psikotik dan fase atau ketakutan yang mal adaptif (panik).
kronis atau fase jangka panjang sangat Perilaku agresif dan peri- laku kekerasan itu
bervariasi diantara individu (Videbeck, 2008). sendiri sering dipandang sebagai suatu dimana
agresif verbal di suatu sisi dan perilaku
Menurut Isaac (2004), 1% populasi
kekerasan (violence) di sisi yang lain.
penduduk dunia mengalami schizofrenia dalam
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di
hidupnya, 95% penderita schizofrenia
mana seseorang melakukan tindakan yang
mengidap penyakit ini seumur hidup, penderita
dapat membahayakan
schizofrenia menempati 25% tem- pat tidur
rawat inap rumah sakit. Kurang lebih 33%–
50% tunawisma di Amerika serikat
menderita Schizofrenia. Lebih dari 50%
penderita schizofrenia bermasalah dengan
alkohol atau obat-obatan yang mungkin
berusaha mengatasi sendiri gejala-gejala
stressnya. Di seluruh Asia, diperkirakan 2–10
dari setiap 1000 penduduk mengalami
schizofrenia, dan 10% diantaranya perlu
diobati dan dirawat intensif karena telah
sampai pada taraf yang mengkhawatir- kan.
Prevalensi penderita schizofrenia di
Indonesia adalah 0,3–1%. Apabila penduduk
Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka
diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita
schizofrenia. Schizofrenia adalah gang- guan
mental yang sangat luas dialami di Indonesia,
dimana sekitar 99% Rumah Sakit Jiwa di
Indonesia adalah penderita schizofrenia
(Sosrosumihardjo, 2007).
Permasalahan utama yang sering terjadi
pada pasien Schizofrenia adalah perilaku
kekerasan. Hal ini sesuai dengan diagnosa
keperawatan NANDA yang biasa ditegakkan
berdasarkan pengkajian gejala psikotik atau
tanda positif. Kondisi ini harus segera
ditangani karena perilaku kekerasan yang
terjadi akan membahayakan diri pasien, orang
lain, dan lingkungan. Hal ini yang menjadi
alasan utama pasien Schizofrenia dibawa ke
rumah sakit.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
di mana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sen- diri, orang lain, maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen,
2006).
secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun terapi ini sudah dilaksanakan, hanya
orang lain, sering disebut juga gaduh gelisah pelaksanaannya belum optimal. Dengan
atau amuk dimana seseorang marah berespon demikian dampak dari psikoreligi terhadap
terhadap suatu stressor dengan gerakan penurunan perilaku kekerasan belum terlihat
motorik yang tidak terkon- trol (Stuart dan secara nyata. Berdasarkan latar belakang
Laraia, 2005), sedangkan kema- rahan diatas penulis tertarik untuk meneliti tentang
adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai Pengaruh penggunaan psikoreligius terhadap
respon terhadap kecemasan yang dirasakan penurunan perilaku kekerasan
sebagai ancaman (Keliat, 1996).
Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa
terda- pat hubungan yang sangat signifikan
antara komit- men agama dan kesehatan.
Orang yang sangat reli- gius dan taat
menjalankan ajaran agamanya relatif lebih
sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan
penyakitnya sehingga proses penyembuhan
penyakit lebih cepat (Zainul Z, 2007). Saat
ini perkembangan terapi di dunia kesehatan
sudah berkembang ke arah pendekatan
keagamaan (psikoreligius). Dari berba- gai
penelitian yang telah dilakukan ternyata
tingkat keimanan seseorang erat hubungannya
dengan ke- kebalan dan daya tahan dalam
menghadapi berbagai problem kehidupan
yang merupakan stresor psiko- sosial.
Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan
kese- hatan sebagai keadaan lengkap dari
kesejahteraan fisik, mental, sosial dan bukan
semata-mata katiada- an penyakit atau
kesakitan. Definisi kesehatan ini merupakan
pemicu dan pemacu penelitian dan prak- tik
di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi
kese- hatan mulai berkembang pesat sejak
saat itu, jika dikaitkan dengan faktor-faktor
psikologis yang mem- pengaruhi kesehatan
seseorang yang bertujuan untuk memperoleh
kesehatan dalam arti yang sesuai dengan
pengertian WHO di atas (Hasan, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada tanggal 4 Februari 2014,
dengan melihat catatan medik Rumah Sakit
Jiwa daerah Surakarta, jumlah pasien rawat
inap adalah sebanyak 116 pasien, dari jumlah
tersebut 90 pasien (77,5%) dirawat dengan
diagnosa Schizofrenia. Dari 90 pasien
schizofrenia yang masuk rawat inap dengan
riwayat perilaku kekerasan adalah sebanyak
98,8% atau 89 pasien (sumber: Instalasi
Rekam Medis RSJD Surakart, 2011). Rumah
Sakit Jiwa daerah Surakarta belum
mempunyai Standar Asuhan Keperawatan
(SAP) tentang terai psikoreligius, tetapi
pada pasien Skizofrenia di UGD dan ruang ada perbedaan respon perilaku setelah
rawat Intensif di RSJD Surakarta. dilakukan intervensi antara kelompok
perlakuan dengan ke- lompok kontrol berarti
pemberian psikoreligi berpe- ngaruh terhadap
METODE PENELITIAN penurunan respon perilaku. Seperti yang
disajikan dalam tabel 2 berikut ini:
Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen
dengan design penelitian menggunakan Pre and Tabel 2. Perbandingan Rerata Nilai Respon
Post test Control Group Design. Pengambilan Perilaku pada Pretest dan Posttest dalam
sampel dengan menggunakan teknik non Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
probability sampling dengan cara purposive
sampling untuk mencari pengaruh pemberian
psikoreligi terhadap penurunan perilaku kekerasan Variabel
Kelompok
Nilai p
pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Perlakuan Kontrol
Analisa dengan uji t test untuk membedakan nilai Pretest 3,95 3 ,9 0,901
pretest - postest antara kelompok perlakuan dan Posttest 0,15 2 ,55 0,000
kelompok kontrol.

Sedangkan penurunan respon perilaku


HASIL PENELITIAN antara pretest dan postest pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
Responden penelitian ini adalah adanya penurunan yang lebih signifikan pada
pasien Skizofrennia yang dirawat di RSJD kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
Surakarta tahun 2014. Jumlah responden pada tabel 3 berikut ini:
dalam penelitian ini sebanyak 40 responden,
dengan pembagian 20 res- ponden menjadi Tabel 3. Perbandingan Penurunan Respon Perilaku
Pretest dan Postest Kelompok Perlakuan
kelompok perlakuan, dimana pada responden dan Kelompok Kontrol pada Pasien
diberikan terapi psikoreligi, sedangkan 20 Skizofrennia di RSJD Surakarta
responden menjadi kelompok kontrol yang
tidak diberikan terapi psikoreligi.
Rerata Nilai Respon Perilaku
Kelompok Pretest Postest Nilai p
Kondisi awal rerata respon perilaku
adalah 3,95. Rerata nilai respon verbal adalah Perlakuan 3,95 0,15
3,35. Rerata nilai respon emosi adalah 4,15 0,000
dan rerata nilai respon fisik adalah 2,42. Kontrol 3,90 2,55
0,01
Dari hasil analisis statistik untuk pretest,
dapat diketahui bahwa respon perilaku,
respon verbal, respon emosi, dan respon fisik Hasil uji t test nilai rerata respon verbal
antara kelompok perlakuan dan kelompok antara pretest dan post test dalam kelompok
kontrol menunjukan bahwa tidak ada perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 ), ada perbedaan yang bermakna (p < 0,05).
sehingga dapat dikatakan bahwa antara Keadan ini menunjukan bahwa ada perbedaan
kedua kelompok homogen . Seperti dalam respon verbal setelah dilakukan inter- vensi
tabel berikut ini 1: antara kelompok perlakuan dengan kelompok
Tabel 1.Rerata Nilai Respon Responden menurut kontrol. Seperti yang disajikan dalam tabel 4
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol berikut ini:
pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta

Tabel 4. Perbandingan Rerata Nilai Respon


Perilaku pada Pretest dan Posttest dalam
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Control
pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
Variabel Rerata Kelompok Nilai
Nilai
Kelompok Nilai
p
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol p
Variabel
Respon perilaku 3,925 3,95 3,9 0,901 Pretest 3,4 3,3 0,714
Respon verbal 3,35 3,4 3,3 0,714 Post test 0,9 2,25 0,001

Respon eEmosi 4,15 4,3 4 0,138

Respon fisik 2,425 2,45 2,4 0,711


Sedangkan penurunan respon perilaku
antara pretest dan postest pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
adanya penurunan yang lebih signifikan pada
kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
Hasil uji t test nilai rerata respon perilaku pada tabel 5 berikut ini:
antara pretest dan post test dalam kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan
ada yang ber- makna (p < 0,05). Keadan ini
menunjukan bahwa
Tabel 5. Perbandingan Penurunan Respon Verbal Tabel 8. Perbandingan Rerata Nilai Respon Fisik
Pre- test dan Posttest Kelompok Perlakuan pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok
dan Kelompok Kontrol pada Pasien Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada Pasien
Skizofrennia di RSJD Surakarta Skizofrennia di RSJD Surakarta

Rerata Nilai Respon Perilaku


Pretest Postest Nilai Kelompo k
Kelompok Variabel Perlakuan Kontrol Nilai p
p
Perlakuan 3,4 0,9 0,000 Pretest 2,45 2,4 0,7 11
Kontrol 3,3 2,25 0,037 Posttest 0,15 1,2 0,0 00

Hasil uji t test nilai rerata respon emosi


Sedangkan penurunan respon emosi
antara pretest dan post test dalam kelompok
antara pretest dan postest pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
ada perbedaan yang bermakna (p<0,05).
adanya penurunan yang lebih signifikan pada
Keadan ini menunjukan bahwa ada perbedaan
kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
respon emosi setelah dilakukan inter- vensi
pada tabel 9 berikut ini:
antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol. Seperti yang disajikan dalam tabel 6
berikut ini:
Tabel 9. Perbandingan Penurunan Respon Fisik
Pretest dan Posttest Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol pada Pasien
Tabel 6. Perbandingan Rerata Nilai Respon Emosi Skizofrennia di RSJD Surakarta
pada Pretest dan Postest dalam Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada
PasienSkizofrennia di RSJD Surakarta Rerata Nilai Respon
Nilai
Kelompok Perilaku
p
Pretest Postest
Kelompok Nilai Perlakuan 3 ,4 0,9 0,000
Variabel Perlakuan Kontrol p Kontrol 3 ,3 2,25 0,003

Hasil uji t test nilai rerata respon fiik


Pretest 4,3 4 0,138 antara pretest dan post test dalam kelompok
Posttest 0,9 3,15 0,000
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
ada perbedaan yang bermakna (p<0,05).
Sedangkan penurunan respon emosi antara
Keadan ini menunjukan bahwa ada perbedaan
pretest dan postest pada kelompok perlakuan
respon fisik setelah dilakukan intervensi
dan kelompok kontrol menunjukan adanya
antara kelompok perlakuan dengan kelompok
penurunan yang lebih signifikan pada
kontrol. Seperti yang disajikan dalam table 8
kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
berikut ini:
pada tabel 7 berikut ini:
Tabel 7. Perbandingan Penurunan Respon Emosi Pre-
test dan Posttest Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia
di RSJD Surakarta

Rerata Nilai Respon


Kelompok Perilaku Nilai p
Pretest Postest
Perlakuan 3,4 0,9 0,000
Kontrol 3,3 2,25 0,057
PEMBAHASAN

Schizofrenia merupakan suatu sindrome


klinis atau proses penyakit yang
mempengaruhi kognisi, persepsi, emosi,
perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
schizofrenia mempengaruhi setiap individu
dengan cara yang berbeda. Derajat gangguan
pada fase akut atau fase psikotik dan fase
kronis atau fase jangka panjang sangat
bervariasi diantara individu (Videbeck, 2008).
Masalah keperawatan yang sering muncul
pada penderita schizofrenia adalah perilaku
kekerasan. Menurut Stuart dan Laraia (2005)
ada 3 strategi dalam manajemen perilaku
kekerasan, yaitu strategi pencegahan,
antisipasi, dan penge- kangan. Terapi
Psikoreligi merupakan bagian dari latihan
assertive, sehingga terapi Psikoreligi masuk
dalam strategi pencegahan. (Marlindawani,
2009). Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan kita
diwajibkan untuk berbakti kepadaNya, tapi
terkadang kita tidak menjalankan secara
maksimal atau khusuk karena lemahnya
keimanan, keterbatasan waktu dan situasi
yang tidak mendukung. Dengan terapi
Psikoreligi jika dilaksanakan secara lebih
maksimal atau khusuk akan menjadi tindakan
yang efektif menurunkan perilaku kekerasan
pada pasien skhizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa (RSJ).
Penelitian tentang pengaruh psikoreligi meng- ikuti perubahan kognitif pada klien
terhadap penurunan perilaku kekerasan di perilaku keke- rasan (Boyd & Nihart, 1998).
RSJD Surakarta 2014. Hasil penelitian dan Berdasarkan model adaptasi Stuart
interprestasinya adalah sebagai berikut: menjelaskan bahwa penilaian sese- orang
terhadap stressor memberikan makna dan
dampak dari suartu situasi yang menekan dan
Pengaruh Psikoreligi terhadap ditun- jukkan dengan respon kognitif, afektif,
respon fisik, respon perilaku dan social (Stuart
Penurunan Perilaku Kekerasan
& laraia, 2005). Pendekatan keagamaan dalam
Respon perilaku kekerasan yang praktek kedokteran dan keperawatan dalam
dilakukan observasi meliputi respon perilaku, dunia kesehatan, bukan
respon fisik, respon emosi dan respon verbal.
Menurut tabel 4. 9 bahwa terapi psikoreligi
berpengaruh menurunkan perilaku kekerasan
pada pasien Skizofrenia di RSJD Surakarta.
Penurunan ini meliputi penurunan pada
respon fisik. Didalam ajaran agama manapun
bahwa sesorang yang akan melakukan Doa,
Dzikir dan mengikuti ceramah agama
disunahkan untuk men- sucikan diri, khusus
dalam ajaran islam (berwudhlu). Menurut H.R
Buchori Muslim bahwa air wudhlu dapat
merangsang syaraf yang ada pada tubuh kita.
Dengan demikian aliran darah yang ada pada
tubuh kita menjadi lancar, sehingga tubuh kita
akan menjadi rilek dan akan menurunkan
ketegangan. Dimana kalau kondisi tegang
tidak segera dinetralisir akan berdampak
kemarahan. Kemarahan merupakan salah
satu tanda dari perilaku kekerasan. Hal ini
juga didukung oleh pendapat Ilham 2008,
bahwa terapi psikoreligi yang meliputi doa-
doa, dzikir, cera- mah keagamaan, dan lain-
lain dapat meningkatkan kekebalan dan daya
tahan dalam menghadapi berba- gai problem
kehidupan yang merupakan stressor
psikososial guna peningkatan integrasi
kesehatan jiwa. Dari sudut ilmu kedokteran
jiwa atau kepera- watan jiwa atau kesehatan
jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi)
merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih
tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham,
2008)
Dengan demikian orang yang mengikuti
terapi psikoreligi akan membatasi geraknya
karena dia ber- fokus pada kegiatanya
sehingga dapat mengurangi agresif fisik klien
(Videbecck, 2008). Respon fisik akan
mempengaruhi respon emosi (Boyd & Nihart,
1998). Respon fisik merupakan respon yang
untuk tujuan mengubah keimanan seseorang bahasa: Dean Praty Rahayuningsih, Editor edisi
terha- dap agama yang sudah diyakininya, Bahasa indonesia : Sari Kurnianingsih, S.Kp,
Copy Edi- tor: Lia astika Sari. Jakarta: EGC.
melainkan untuk membangkitkan kekuatan Keliat, B.A., dan Akemat. 1996. Proses Keperawatan
spiritual dalam mengha- dapi penyakit Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
merupakan terapi psikoreligius (Yosep, 2009). Marlindawani, J. 2009. Penggunaan Restrain pada
Dengan terapi psikoreligi akan melakukan Pasien Amuk/Perilaku Kekerasan Ditinjau dari
kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi Sudut Pandang Etik. http://www.library. upnvj.
ac.id/pdf/2s1keperawatan, diunduh tanggal 26
proses fikir serta ketegangan otot (Stuart& Juni 2012.
Laraia, 2005) Hal ini dibuktikan oleh hasil
penelitian, bahwa setelah diberi terapi
psikoreligi ada perubahan signifikan
dibandingkan pasien yang tidak diberi terapi
psiko- religi, hal ini bisa dilihat pada table 3,
5, 7 dan 9 di atas. Dengan demikian terapi
Psikoreligi mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan perila- ku
kekerasan pada pasien Skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Surakarta (Videbecck, 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa


Terapi Psikoreligius berpengaruh terhadap
penurunan perilaku kekerasan pada pasien
Skizofrenia di RSJD Surakarta, Ada
perbedaan penurunan perilaku keke- rasan
pada respon perilaku pada pasien yang diberi
terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
terapi psiko- religius, Ada perbedaan
penurunan perilaku keke- rasan pada respon
verbal pada pasien yang diberi terapi
psikoreligi dan yang tidak diberi terapi psiko-
religius, Ada perbedaan penurunan perilaku
keke- rasan pada respon emosi pada pasien
yang diberi terapi psikoreligius dan yang
tidak diberi terapi psikoreligius, Ada
perbedaan penurunan perilaku kekerasan
pada respon fisik pada pasien yang diberi
terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
terapi psiko- religius. Saran hasil penelitian
adalah hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan masukan bidang perawatan
agar lebih efektif membimbing/melaku- kan
terapi psikoreligius dalam merawat pasien
schizofrenia dengan perilaku kekerasan.

DAFTAR RUJUKAN
Isaac, A. 2006. Panduan Belajar: Keperawatan
Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik, E/3. Alih
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA
MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT
MARZOEKI MAHDI BOGOR

Sri Suryaningrum1, Ice Yulia Wardani2


1. Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof.
Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
2. Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder
Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
Email: srisuryaningrum@ymail.com

ABSTRAK

Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah
satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga
dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian
adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku
kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan
tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P
value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar
beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.

Kata kunci:Beban,Kemampuan, Keluarga,Perilaku kekerasan, Skizofrenia.

ABSTRACT

Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation
of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of
family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and
the family ability to care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi
Hospital of Bogor. This study used analitical design and collected 103 samples using the purposive
sampling technique. This study result indicated a significant relationship between family’s burden and
family ability to care for patient with violent behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to
increase family capability in caring for patient with abusive behavior in order to lower the burden
perceived by the family.

Key words: Burden, Ability, Family, Violent Behavior, Schizophrenia.


PENDAHULUAN tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta
(20,3 0/00) yang kemudian secara berturut-
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari turut diikuti oleh Provinsi Nangro Aceh
10 penyakit terbesaryang membebankan Darussalam (18,5 0/00), Sumatera Barat (16,7
di seluruh dunia. Biaya yang 0
/00), Nusa Tenggara Barat (9,9 0/00),
dikeluarkan untuk perawatan yang Sumatera Selatan (9,2 0/00). Prevalensi
diberikan keluarga dan terkait kejahatan terendah terdapat di Maluku (0,9 0/00).
serta terkait kesejahteraan akibat Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di
skizofrenia sebesar 33 miliar dolar dapat dari bagian rekam medis pada tahun 2010
setiap tahunnya di Amerika Serikat pasien skizofrenia yang dirawat inap berjumlah
(Stuart, 2007). 9952 orang dan pasien rawat jalan berjumlah
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan 1217 orang, sedangkan tahun 2011 pasien yang
bahwa prevalensi gangguan jiwa di dirawat inap berjumlah 1549 orang dan yang
rawat jalan berjumlah 15770 orang. Hal ini
Indonesia adalah 4,6 0/00. Prevalensi
148
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dalam menghadapi perilaku pasien, dan
jumlah pasien skizofrenia yang menjalani beban sosial terutama menghadapi
pengobatan rawat inap dan rawat jalan di
stigma dari masyarakat tentang anggota
RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu
tahun terakhir. keluarganya yang mengalami gangguan
jiwa. Dampak dari beban yang
Pasien skizofrenia terutama yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi
mengalami perilaku kekerasan kemampuan keluarga dalam merawat
membutuhkan dukungan keluarga yang pasien. Jika keluarga terbebani
mampu memberikan perawatan secara kemungkinan keluarga tidak mampu
optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem merawat pasien dengan baik.
pendukung utama sering mengalami Berdasarkan latar belakang tersebut
beban yang tidak ringan dalam maka dapat dirumuskan masalah
memberikan perawatan selama pasien penelitian yaitu “Apakah ada hubungan
dirawat di rumah sakit maupun setelah antara beban keluarga dengan
kembali ke rumah. kemampuan keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
Beban tersebut yaitu beban finansial RS Marzoeki Mahdi Bogor?”
dalam biaya perawatan, beban mental
METODE

Desain penelitian ini adalah desain analitik


kategorik berpasangan, yaitu metode untuk
mengetahui ada atau tidaknya hubungan
antara beban keluarga dengan kemampuan
keluarga merawat pasien perilaku
kekerasan.

Sampel yang diambil dalam penelitian ini


ditentukan dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel purposive sampling,
yaitu dengan terlebih dahulu menentukan
kriteria. Kriteria yang dipakai adalah
inklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
yaitu keluarga pasien yang anggota
keluarganya mengalami skizofrenia dengan
perilaku kekerasan dan pernah dirawat lebih
dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu
berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal
serumah dengan pasien

Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner


The Zarith Burden Interview versi bahasa
indonesia, merupakan instrumen untuk
variabel independen yaitu beban yang
dirasakan keluarga. Kuesioner pengetahuan
dan sikap keluarga dalam merawat pasien
perilaku kekerasan merupakan instrument
untuk variable dependen. Pengolahan data
sesuai dengan langkah-langkah edit data
(editing), memberikan kode (coding),
memasukkan data dalam tabel (entry), dan
membersihkan data (cleaning). Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
149
adalah analisis univariat dan bivariat. signifikan. Pada variabel pengetahuan
Analisis univariat dalam melakukan uji keluarga menunjukkan mayoritas responden
statistik menggunakan uji distribusi dan memiliki pengetahuan sedang 69 responden
proporsi. Analisis bivariat pada penelitian dan tinggi 34 responden. Variabel sikap
ini menggunakan uji Chi Square karena keluarga menunjukkan 75 responden
variabel yang diteliti berjenis kategorik dan memiliki sikap tidak baik. Sedangkan
kategorik. variabel kemampuan keluarga terdapat 51
responden memiliki kemampuan tidak baik.
Etika pengambilan data pada penelitian ini
menggunakan prinsip manfaat, prinsip Tabel 2
menghargai martabat manusia, prinsip Hubungan antara Beban dengan
Pengetahuan Keluarga dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103)
Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga valu
(95%
Sedang Tinggi CI)
e
HASIL n % n %
Tabel 1 Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Jumlah 69 67 34 33
Bogor, Tahun 2013 (n=103)
Peresentase Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien
Beban Sedang 35 34,0 perilaku kekerasan. Hasil uji analisis
Beban Ringan 36 35,0 menunjukkan tidak ada hubungan antara
Tanpa Beban 14 13,6 beban dengan pengetahuan keluarga dalam
Jumlah 103 100 merawat pasien perilaku kekerasan P
Variabel Dependen value>0,05.
Pengetahuan
Keluarga Tabel3
Sedang 69 67,0 Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan
Tinggi 34 33,0 Sikap KeluargaDalam MerawatPasien
Jumlah 103 100 Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
Sikap Keluarga Marzoeki Mahdi Bogor
Tahun 2013 (n=103)
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR
Jumlah 103 100 Beban
(95%
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik valu CI)
e
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 jumlah tersebut cukup Beban Berat 16
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 88,9
0,016 2
Beban Ringan 30 60 20 40 11,1
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat,
150
Jumlah 75 72,8 28 27,2 0,188 0,310
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 000,- dan rata-rata penghasilan responden
responden mengalami beban berat dan adalah Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut
memiliki sikap tidak baik dalam merawat merupakan nominal yang sangat jauh
pasien perilaku kekerasan. Uji analisis dibawah standar UMR Bogor tahun 2013
menunjukkan adanya hubungan antara yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan
beban dengan sikap keluarga dalam penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
merawat pasien perilaku kekerasan P Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
Value<0,05. dari enam dimensi beban keluarga dengan
skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
Tabel 4 rata yang paling tinggi. Oleh karena itu
Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan apabila keluarga tidak memiliki sumber
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
dana yang cukup atau jaminan kesehatan,
Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103) maka akan menjadi beban yang sangat berat
bagi keluarga.

Kemampuan Pengetahuan Keluarga dalam merawat


OR
Beban Keluarga pasien Perilaku Kekerasan.
(95%

P
Keluarga valu CI) Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
e
mayoritas responden memiliki pengetahuan
Sedang Tinggi
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,105
Beban Sedang 21 60,0 14 40,0 0,182 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini
Beban Ringan 14 38,9 22 61,1 0,010 0,429 (2011) mendukung penelitian ini yang
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 kekerasan memiliki penghasilan
Jumlah 69 67 34 33 rendah, yaitu penghasilan terendah
adalah Rp 150
Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13
responden yang mengalami beban berat dan
memiliki kemampuan tidak baik dalam
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil
uji analisis menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara beban dengan
kemampuan keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan P value <0,05.

PEMBAHASAN

Beban Keluarga dalam Merawat Pasien


Perilaku Kekerasan
Pada analisis beban keluarga terdapat
17,5% atau 18 responden yang memiliki
beban berat. Nuraenah, Mustikasari, &
Putri (2012) mendukung penelitian ini
bahwa beban keluarga dalam merawat
anggota dengan riwayat perilaku kekerasan
yaitu 95%. Beban berat yang dialami
keluarga bisa dipengaruhi oleh berbagai hal
diantaranya adalah faktor sosial ekonomi.
Dalam hasil penelitian ini masih banyak
keluarga yang merawat anggota
keluarganya yang mengalami perilaku
151
menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan pada formal tersebut dapat mempengaruhi
keluarga pasien skizofrenia sebagian besar pengetahuan keluarga tentang cara merawat
adalah tinggi (55,6%). Hal ini dimungkinkan pasien perilaku kekerasan menjadi tinggi.
dari kriteria keluarga yang ambil dalam Dapat disimpulkan bahwa jika pengetahuan
penelitian ini adalah keluarga pasien yang keluarga tinggi maka akan meningkatkan
pernah dirawat minimal satu kali, yang sering kemampuan keluarga dalam memberikan
mendapatkan informasi maupun pendidikan perawatan pada pasien perilaku kekerasan
kesehatan tentang cara merawat pasien perilaku yang hasilnya pun akan menjadi optimal.
kekerasan dari petugas kesehatan.
Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang Sikap Keluarga dalam Merawat Pasien
diperoleh baik dari pendidikan formal maupun Perilaku Kekerasan.
non formal dapat memberikan pengaruh jangka Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
pendek sehingga menghasilkan perubahan atau bahwa mayoritas responden memiliki sikap
peningkatan pengetahuan. Pendidikan non tidak baik terhadap pasien sebanyak 75
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha penelitian ini didapatkan bahwa responden yang
& Gayatri (2012) didapatkan hasil memiliki kemampuan tidak baik sebanyak 51
responden dengan sikap negative lebih orang. Penelitian ini didukung oleh Hernawaty
banyak yaitu sebesar 53,6%. Bagi pasien (2009) bahwa rerata kemampuan kognitif
jiwa yang mengalami perilaku kekerasan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa
dan kronis membutuhkan waktu perawatan sebesar 32,15, dan kemampuan psikomotor
bertahun-tahu, yang dapat menjadikan 32,55. Fontaine (2003) menyatakan bahwa
keluarga mengalami kejenuhan dalam kemampuan keluarga ditentukan oleh
memberikan perawatan pada pasien kemampuan untuk manajemen stres yang
sehingga bersikap tidak baik. Faktor lain produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama
adalah perilaku kekerasan yang dilakukan merawat anggota keluarga dengan
pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat
(2003) Perilaku kekerasan adalah tindakan
menciderai orang lain, diri sendiri, merusak
harta benda (lingkungan), dan ancaman
secara verbal.Muesser & Gingerich (2006)
juga menjelaskanbahwa anggota keluarga
sering menjadi korban tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh penderita skizofrenia.

Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku


kekerasan yang dilakukan pasien terhadap
keluarga sangat merugikan keluarga dan
mempengaruhi sikap keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan.
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar
bahkan sampai memukul terhadap keluarga,
berkata-kata yang menyakitkan, merusak
barang-barang keluarga, merusak dan
mengganggu lingkungan. Dampak dari
perilaku tersebut memungkinkan keluarga
menjadi bersikap tidak baik terhadap
anggota keluarganya yang mengalami
perilaku kekerasan.

Kemampuan Keluarga Dalam Merawat


Pasien Perilaku Kekerasan.
Kemampuan keluarga merupakan gabungan
dari pengetahuan dan sikap keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil
152
gangguan jiwa sering melanda menyebutkan bahwa mayoritas responden
keluarga karena berkurangnya stress (90%) memiliki pengetahuan yang baik
tolerance. tentang perilaku kekerasan termasuk
definisi, tanda, dan gejala pasien dengan
Peneliti berpendapat perilaku kekerasan.
bahwa
ketidakmampuan keluarga bisa Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan
disebabkan karena keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
mengalami kelelahan secara fisik sudah dipahami oleh keluarga. Hal ini
maupun mental selama merawat dikarenakan bahwa keluarga pasien yang
anggota keluarganya yang mengalami pernah di rawat di Rumah Sakit Marzoeki
perilaku kekerasan. Dampak yang di Mahdi Bogor telah mendapatkan
rasakan keluarga akibat perilaku pendidikan kesehatan dari petugas
kekerasan yang dilakukan pasien kesehatan. Yang menarik dari hasil
sangat mempengaruhi sikap keluarga penelitian ini adalah keluarga mengalami
dalam merawat pasien perilaku beban berat meskipun memiliki
kekerasan, sehingga kemampuan pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa
keluarga menjadi tidak baik. dikarenakan beberapa faktor yang
mempengaruhi antara lain faktor sosial
Hubungan Antara Beban dengan ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
Pengetahuan Keluarga Dalam memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
Merawat Pasien Perilaku Kekerasan keluarga dengan pendidikan yang rendah.
Hasil penelitian didapatkan bahwa Hal ini Sesuai dengan penelitian Gururaj,
keluarga dengan beban berat memiliki Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008)
pengetahuan sedang sebanyak 26 menemukan bahwa dari enam dimensi
orang dan pengetahuan tinggi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
sebanyak 5 orang. Simatupang (2010) finansial memiliki rata-rata yang paling
mendukung penelitian ini yang tinggi. Oleh karena itu meskipun
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika perilaku kekerasan seyogyanya akan menjadi
kondisi finansial rendah maka beban baik. Yang menarik dari penelitian ini adalah
keluarga akan menjadi berat. terdapat 30 responden mengalami beban ringan
namun memiliki sikap yang tidak baik terhadap
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap anggota keluarganya. Hal ini dimungkinkan
Keluarga Dalam merawat Pasien karena dampak yang diterima oleh keluarga dari
Perilaku Kekerasan sikap pasien perilaku kekerasan. Sesuai dengan
Hasil penelitian ini terdapat responden yang konsep Muesser & Gingerich (2006) bahwa
mengalami beban ringan memiliki sikap anggota keluarga sering menjadi korban
tidak baik sebanyak 30 orang. Keluarga tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
yang mengalami beban ringan dipengaruhi penderita skizofrenia. Pasien yang mengalami
oleh beberapa hal yaitu sosial ekonomi perilaku kekerasan memberi dampak yang
yang memadai, adanya sistem pendukung merugikan bagi keluarga sehingga keluarga
yang cukup dan keluarga memiliki konsep bersikap tidak baik terhadap dirinya.
spiritual yang tinggi sehingga mampu
beradaptasi untuk menerima penyakit yang Hubungan Antara Beban dengan
diderita anggota keluarganya. Sesuai Kemampuan Keluarga Dalam Merawat
dengan konsep Potter & Perry (2005) yang Pasien Perilaku Kekerasan.
menjelaskan bahwa spiritualitas secara
signifikan membantu klien dan pemberi Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga
layanan untuk beradaptasi terhadap dengan beban berat memiliki kemampuan tidak
perubahan yang diakibatkan oleh penyakit baik yaitu 13 orang. Hal ini bisa disebabkan oleh
kronis. faktor sosial ekonomi antara lain kesulitan
finansial,
Jika keluarga mengalami beban ringan
maka sikap keluarga terhadap pasien
153
keluarga tidak bekerja, dan melanda keluarga karena berkurangnya
pendidikan yang rendah. Beban stress tolerance. Teschinsky (2000) juga
tersebut termasuk dalam kategori menjelaskan bahwa keluarga yang merawat
beban obyektif. Nadya (2009) anggota keluarga dengan perilaku kekerasan
menjelaskan beban obyektif adalah akan mengalami reaksi emosi terhadap
berbagai beban dan hambatan yang gangguan dan stigma sosial yang
dijumpai dalam kehidupan keluarga ditimbulkan karena perilaku kekerasan
yang berkaitan dengan perawatan dengan dampak lainnya. Dapat
penderita gangguan jiwa, diataranya dimungkinkan hal inilah yang
adalah beban biaya finansial yang menyebabkan keluarga memiliki
dikeluarkan untuk merawat penderita. kemampuan tidak baik dalam merawat
Sesuai dengan penelitian Gururaj, pasien perilaku kekerasan
Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008)
menemukan bahwa dari enam dimensi Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku
beban keluarga dengan skizofrenia, kekerasan adalah tindakan menciderai
skor finansial memiliki rata- rata yang orang lain, diri sendiri, merusak harta benda
paling tinggi. Peneliti berpendapat jika (lingkungan), dan ancaman secara verbal.
kondisi sosial ekonomi tidak memadai Muesser & Gingerich (2006) juga
maka beban yang dirasakan keluarga menjelaskan bahwa anggota keluarga sering
menjadi berat. menjadi korban tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal
Fontaine (2003) menjelaskan bahwa ini dapat diartikan bahwa Perilaku
kemampuan keluarga ditentukan oleh kekerasan yang dilakukan pasien terhadap
kemampuan untuk manajemen stres keluarga sangat merugikan keluarga dan
yang produktif. Kelelahan fisik dan mempengaruhi sikap keluarga dalam
emosi selama merawat anggota merawat pasien perilaku kekerasan menjadi
keluarga dengan gangguan jiwa sering tidak baik.
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan Pendidikan pasien mayoritas SD dan SMU. Jenis
adanya hubungan yang signifikan antara pekerjaan pasien mayoritas tidak bekerja atau
beban dengan kemampuan keluarga dalam IRT.
merawat pasien perilaku kekerasan (P Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden
Value<0,05). Hal ini dimungkinkan bahwa mayoritas dengan beban keluarga ringan dan
beban keluarga sangat mempengaruhi sedang. Responden mayoritas memiliki
kemampuan keluarga dalam merawat pengetahuan sedang dan sikap tidak
pasien perilaku kekerasan. Jika keluarga baik.Kemampuan responden dalam merawat
terbebani maka keluarga tidak mampu pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS
merawat pasien perilaku kekerasan secara Marzoeki Mahdi Bogormemiliki kemampuan
baik. baik lebih tinggi dari pada kemampuan tidak
baik, tetapi jumlah kemampuan tidak baik cukup
KESIMPULAN signifikan.
Berdasarkan data demografi di Poliklinik Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa tidak
RS Marzoeki Mahdi Bogor yaitu responden ada hubungan yang bermakna antara beban
penelitian sebanyak 103 orang dengan dengan tingkat pengetahuan keluarga dalam
kelompok usia rata-rata responden adalah merawat pasien perilaku kekerasan, nilai P value
50,46 tahun. Jenis kelamin responden > 0.05. Ada hubungan yang signifikan antara
mayoritas Perempuan. Tingkat pendidikan beban dengan sikap keluarga dalam merawat
responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan pasien perilaku kekerasan P value < 0,05, dan
responden mayoritas tidak bekerja. ada hubungan yang signifikan antara beban
Penghasilan responden rata-rata Rp keluarga dengan kemampuan keluarga
1.178.640,-. Hubungan dengan pasien
mayoritas adalah ibu. Karakteristik pasien
berdasarkan usia didapatkan hasil bahwa
rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. Jenis
kelamin pasien mayoritas laki-laki.
154
dalam merawat pasien perilaku Mosby Year Book. Inc.
kekerasan P value > 0,05. Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat
i.W.(2011).Faktor-faktoryang
DAFTAR PUSTAKA berhubungan dengan kekambuhan pada
pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Depkes.(2007).Riset Amino Gondoutomo Semarang.
Simatupang.(2010). Hubungan tingkat
kesehatan dasar.Jakarta: pengetahuan keluarga tentang perilaku
Balitbangkes Depkes.RI. kekerasan dengan kesiapan keluarga
Fontaine,K.L.(2003) Mental health
nursing.New

jersey.Pearson Education.Inc.
Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,
&Ch andrashekar.,C.R.(2008)
Family burden, quality of life and
disabilityin obsesive compulsive
disorder;in Indian perspective.J
Postgradmed, 91-97.
Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi
suportif keluarga terhadap
kemampuan keluarga merawat
klien gangguan jiwa di kelurahan
Bubulak Bogor Barat. Depok.
Tesis. FIK UI
Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan
klien dan keluarga dalam
perawatan klien skizofrenia dengan
perilaku kekerasan di RSJP Bogor.
Disertasi. Jakarta.
Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The
complete family guide to
schizophrenia. New York: Guilford
press.
Nadya.R.(2009) Gambaran
kebahagiaan dan karakteristik
positif wanita dewasa madya yang
menjadi caregiver informal
penderita skizofrenia. Depok:
Fakultas psikologi UI.
Notoatmodjo.(2010)Ilmu

perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta.
Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E
(2012) Hubungan dukungan
keluarga dan beban keluarga
dalam merawat anggota dengan
riwayat perilaku kekerasan di RS
Jiwa Islam klender jakarta Timur.
Depok.FIK.UI .Tesis.
Potter & Perry (2005) Fundamental of
nursing; Concept process and
practice four edition. Philadelphia:
155
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei
2013.
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam
pemberian perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH
Indah Wahyuni (PO7120119043)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU ORANG
TUA DALAM MELAKUKAN KEKERASAN VERBAL TERHADAP ANAK
USIA PRA-SEKOLAH

Yuni Fitriana, Kurniasari Pratiwi, Andina Vita Sutanto

Prodi Kebidanan Akademi Kebidanan Yogyakarta Jl. Parangtritis KM.6 Sewon


Bantul

yufina_lucky@ymail.com

Abstract
Verbal abuse in children is all forms of greeting parents to children who are threatening, scaring, and insulting.
This happens every day at home should be the safest place and refuge for children. Economic, social, employment,
lack of knowledge to educate children and parents lack understanding of religion contributing cause parents do
violence on their children. Parents commit verbal violence as a way to educate children is naughty and not
obedient, so it is necessary to study in order to know the factors related to the behavior of parents in verbal
violence against children pre-school age. Quantitative research methods with descriptive analytic approach. The
research sample 76 people, with a proportionate random sampling technique. Instrument questionnaire. The
research variables include variables such as age, education, economics, attitudes, knowledge, experience,
environment, and the dependent variable is the verbal violent behavior. The analysis of univariate and bivariate
data using chi square test. Results of this study there was no correlation with the behavior of a parent education
did verbally abuse her son (p = .767), there is no economic relationship with the parents' behavior on their verbal
violence (p = .248), there is a correlation between age of knowledge, attitude, experience and the environment
there is a relationship with the parents' behavior on their verbal violence (p < 0,001).

Keywords: verbal violence, parents, children pre-school age

Abstrak
Kekerasan verbal pada anak merupakan semua bentuk ucapan orang tua kepada anak yang bersifat mengancam,
menakuti, dan menghina. Hal ini terjadi setiap harinya di rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman dan
berlindung bagi anak. Ekonomi, lingkungan sosial, pekerjaan, kurangnya pengetahuan mendidik anak serta
pemahaman agama orang tua kurang yang turut berperan menjadi penyebab orang tua melakukan kekerasan pada
anaknya. Orang tua melakukan kekerasan verbal sebagai cara mendidik anak yang nakal dan tidak manut,
sehingga perlu dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
orang tua dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah. Metode penelitian kuantitatif dengan
pendekatan deskriptif analitik. Sampel penelitian 76 orang, dengan tekhnik proportionate random sampling. Alat
instrumen kuesioner. Variabel penelitian meliputi variabel bebas yaitu umur, pendidikan, ekonomi, sikap,
pengetahuan, pengalaman, lingkungan, dan variabel terikat yaitu perilaku kekerasan verbal. Analisa data secara
univariat dan bivariat menggunakan uji chi square. Hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan pendidikan
dengan perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya (p = 0,767), tidak terdapat hubungan
ekonomi dengan perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya (p = 0,248), terdapat hubungan
umur pengetahuan, sikap, pengalaman dan lingkungan terdapat hubungan dengan perilaku orang tua melakukan
kekerasan verbal pada anaknya (p < 0,001).

Kata Kunci : kekerasan verbal, orang tua, anak usia pra-sekolah

PENDAHULUAN dilakukan lewat kata-kata yang


Tanpa disadari, orang tua pernah melakukan menyakitkan. Kata-kata yang menyakitkan
kekerasan terhadap anak. Salah satu bentuk tersebut biasanya bermakna melecehkan
kekerasan tersebut adalah kekerasan verbal kemampuan anak, menganggap anak
atau kekerasan yang sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti
82 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

si anak, memberikan julukan negatif kepada Tidak sayang dan dingin


anak, dan memberikan kesan bahwa anak Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa
tidak diharapkan akan memiliki dampak misalnya : menunjukan sedikit atau tidak
jangka panjang terhadap perasaan anak dan sama sekali rasa sayang kepada anak
dapat mempengaruhi citra diri mereka (seperti pelukan), kata-kata sayang.
(Choirunnisa, 2008). Intimidasi
Tindakan intimidasi bisa berupa : berteriak,
Berbagai bentuk ucapan yang bertujuan menjerit, mengancam anak, dan mengertak
menyakiti anak akan berpengaruh anak.
kepadanya. Baik dalam kehidupan saat ini Mengecilkan atau mempermalukan anak
maupun di masa yang akan datang. Tindakan mengecilkan atau
Kekerasan verbal terhadap anak akan mempermalukan anak dapat berupa seperti :
menumbuhkan sakit hati hingga membuat merendahkan anak, mencela nama,
mereka berpikir seperti yang kerap membuat perbedaan negatif antar anak,
diucapkan oleh orangtuanya. Jika orangtua menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak
bilang anak bodoh atau jelek, maka dia akan berharga, jelek atau sesuatu yang didapat
menganggap dirinya demikian. Meski dari kesalahan.
dampaknya tidak terjadi secara langsung, Kebiasaan mencela anak
namun melalui proses (Choirunnisa, 2008). Tindakan mencela anak bisa dicontohkan
seperti : mengatakan bahwa semua yang
Ucapan-ucapan bernada menghina dan terjadi adalah kesalahan anak.
merendahkan itu akan direkam dalam pita Mengindahkan atau menolak anak Tindakan
memori anak. Semakin lama, maka akan tidak mengindahkan atau
bertambah berat dan membuat anak menolak anak bisa berupa : tidak
memiliki citra negatif. Anak yang sering memperhatikan anak, memberi respon
mengalami kekerasan verbal di kemudian dingin, tidak peduli dengan anak.
hari akan hilang rasa percaya dirinya. Hukuman ekstrim
Bahkan hingga memicu kemarahannya, Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa:
merencanakan untuk melakukan aksi balas mengurung anak dalam kamar mandi,
dendam, dan berpengaruh terhadap caranya mengurung dalam kamar gelap. Mengikat
bergaul (Irwanto, 2000). anak di kursi untuk waktu lama dan
meneror.
Verbal abuse atau biasa disebut emotional
child abuse adalah tindakan lisan atau Kekerasan yang dialami oleh anak dapat
perilaku yang menimbulkan konsekuensi berdampak pada fisik maupun psikologis.
emosional yang merugikan. Verbal abuse Verbal abuse biasanya tidak berdampak
terjadi ketika orang tua menyuruh anak secara fisik kepada anak, tetapi dapat
untuk diam atau jangan menangis. Jika anak merusak anak beberapa tahun kedepan.
mulai bicara, ibu terus menerus Verbal abuse yang dilakukan orang tua
menggunakan kekerasan verbal seperti menimbulkan luka lebih dalam pada
“kamu bodoh”. “kamu cerewet”, “kamu kehidupan dan perasaan anak melebihi
kurang ajar”. Anak akan mengingat itu perkosaan (Soetjiningsih, 2002). Berikut
semua kekerasan verbal jika semua dampak-dampak psikologis akibat kekerasan
kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu verbal pada anak (Ria, 2008; Widyastuti,
periode. 2006) : Anak menjadi tidak

Bentuk dari verbal abuse adalah sebagai


berikut:

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 83
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

peka dengan perasaan orang lain, anak-anak yang agresif, yang pada
menganggu perkembangan, anak menjadi gilirannya akan menjadi orang dewasa
agresif, gangguan emosi, hubungan sosial yang agresif pula. Gangguan mental
terganggu, kepribadian sociopath atau (mental disorder) ada hubungannya
antisocial personality disosder, dengan perlakuan buruk yang diterima
menciptakan lingkaran setan dalam manusia ketika dia masih kecil.
keluarga, dan bunuh diri Faktor Ekstern
Faktor ekonomi
Beberapa faktor yang mempengaruhi orang Sebagian besar kekerasan rumah tangga
tua melakukan verbal abuse, diantaranya dipicu faktor kemiskinan, dan tekanan
(Soetjiningsih, 2002) : hidup atau ekonomi. Pengangguran,
Faktor Intern PHK, dan beban hidup lain kian
Faktor pengetahuan orang tua memperparah kondisi itu. Faktor
Kebanyakan orang tua tidak begitu kemiskinan dan tekanan hidup yang
mengetahui atau mengenal selalu meningkat, disertai dengan
informasi mengenai kebutuhan kemarahan atau kekecewaan pada
perkembangan anak, misalnya pasangan karena ketidakberda- yaan
anak belum dalam mengatasi masalah ekonomi
memungkinkan untuk melakukan menyebabkan orang tua mudah sekali
sesuatu tetapi karena sempitnya melimpahkan emosi kepada orang
pengetahuan orang tua anak sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah,
dipaksa melakukan dan ketika rentan, dan dianggap sepenuhnya milik
memang belum bisa orang tua, sehingga menjadikan anak
dilakukan orang tua paling mudah menjadi sasaran dalam
menjadi marah, membentak meluapkan kema- rahannya. Kemiskinan
dan mencaci anak. sangat berhubungan dengan penyebab
Orang tua yang kekerasan pada anak karena
mempunyai harapan-harapan yang bertambahnya jumlah krisis dalam
tidak realistik terhadap perilaku hidupnya dan disebabkan mereka
anak berperan memperbesar mempunyai jalan yang terbatas dalam
tindakan kekerasan mencari sumber ekonomi.
pada anak. Serta Faktor lingkungan
kurangnya pengetahuan orang tua Faktor lingkungan juga mem- pengaruhi
tentang pendidikan anak dan tindakan kekerasan pada anak.
minimnya pengetahuan agama Lingkungan hidup dapat meningkatkan
orang tua melatarbelakangi beban pera- watan pada anak. Dan juga
kekerasan pada anak. munculnya masalah lingkungan yang
Faktor pengalaman orang tua mendadak juga turut ber- peran untuk
Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat timbulnya kekerasan verbal. Telivisi
perlakuan salah merupakan situasi pencetus sebagai suatu media yang paling efektif
terjadinya kekerasan pada anak. Semua dalam menyampaikan berbagai pesan-
tindakan kepada anak akan direkam dalam
alam bawah sadar mereka dan akan dibawa
sampai kepada masa dewasa. Anak yang
mendapat perilaku kejam dari orang tuanya
akan menjadi agresif dan setelah menjadi
orang tua akan berlaku kejam pada anaknya.
Orang tua yang agresif akan melahirkan

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


84 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

pesan pada masyarakat luas yang Setiap anak berhak mendapatkan


merupakan berpotensial paling tinggi untuk perlindungan dari tindakan kekerasan,
mempengaruhi perilaku kekerasan orang tua kebanyakan dari orang tua tidak mengetahui
pada anak. bahwa anak juga mempunyai hak dan
kewajiban sesuai yang tercantum dalam
Verbal abuse dapat terjadi setiap harinya di Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang
rumah, rumah yang seharusnya tempat Perlindungan Anak Pasal 13 dan
teraman dan tempat berlindung bagi anak 69 mengatakan bahwa ada perlindungan
tidak lagi menjadi nyaman. Adanya hukum bagi anak terhadap kekerasan. Pasal
pengertian yang salah dalam memandang 78 dan 80 juga mengatakan bahwa ada
anak, dimana anak masih saja dipandang sanksi hukum bagi para pelaku tindak
sebagai objek yang wajib menurut kepada kekerasan pada anak, termasuk didalamnya
orang tua. Padahal belum tentu orang tua kekerasan verbal. Berdasarkan Peraturan
selamanya benar. Kebanyakan orang tua Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
terlalu berharap pada anak dan cenderung Nomor 34 Tahun 2013 tentang Rencana
memaksa agar anak mau menuruti sepe- Aksi Daerah Perlindungan Perempuan dan
nuhnya keinginan mereka, jika tidak maka Anak Korban Kekerasan Tahun 2013- 2017,
anak akan mendapat hukuman. Hal inilah pasal 4, 5 dan 14 yang menyatakan bahwa
yang menjadikan alasan bagi orang tua pemerintah Yogyakarta melindungi anak-
sering melakukan kekerasan pada anak. anak dari kekerasan yang dilakukan oleh
Disamping itu, bisa juga dikarenakan orang tua.
riwayat orang tua yang dulunya dibesarkan
dalam kekerasan sehingga cenderung Kekerasan terhadap anak Indonesia
meniru pola asuh yang telah mereka tampaknya masih menghantui di tahun 2013
dapatkan sebelumnya. Stress, kemiskinan, ini. Komisi Nasional Perlindungan Anak
isolasi sosial, lingkungan yang mengalami (Komnas PAI) mencatat dalam semester I di
krisis ekonomi, tidak bekerja, kurangnya tahun 2013 atau mulai Januari sampai akhir
pengetahuan orang tua tentang pendidikan Juni 2013 ada 1032 kasus kekerasan anak
anak serta minimnya pengetahuan agama yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah itu
orang tua yang turut berperan menjadi kekerasan fisik tercatat ada 294 kasus atau
penyebab orang tua melakukan kekerasan 28 %, kekerasan psikis 203 kasus atau 20 %
pada anaknya (Soetjiningsih, 2002). dan kekerasan seksual 535 kasus atau 52 %.
Data 1032 kasus kekerasan anak di tahun
Verbal abuse dianggap sebagai sesuatu yang 2013 ini sebenarnya masih lebih baik
lazim, namun dibalik itu semua sebenarnya dibanding tahun 2012 lalu yaitu 2.637 kasus
verbal abuse memiliki dampak yang sangat kekerasan. Dari 2637 anak itu, sebanyak
negatif bagi anak, diantaranya: anak kurang 1657 adalah anak perempuan dan 980
peka terhadap perasaan orang lain, adalah anak laki-laki. Jumlah ini meningkat
perkembangan terganggu, agresif, gangguan dibanding tahun sebelumnya yakni tahun
emosi, kepercayaan diri akan turun, menjadi 2011 dimana tercatat ada 2509 kasus
penyebab bunuh diri dan menciptakan kekerasan anak (Sujatmiko,2013)
lingkaran setan kekerasan verbal dalam
keluarga. Bahkan semakin tinggi kekerasan Berdasarkan data dari Forum Perlindungan
yang diterima dapat menyebabkan ingatan Korban Kekerasan (FPKK) Daerah
berkurang (Soetjiningsih, 2002). Istimewa Yogyakarta (DIY) di tahun 2011,
korban kekerasan terhadap anak paling
tinggi berada di Kota Yogyakarta dengan

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 85
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

127 kasus. Peringkat kedua berada di Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk
Kabupaten Sleman (123 kasus), disusul mengetahui faktor-faktor yang ber-
Kabupaten Bantul (60 kasus), lalu hubungan dengan perilaku orang tua
Kabupaten Gunungkidul (48 kasus) dan melakukan kekerasan verbal pada anak usia
terakhir Kabupaten Kulonprogo (36 kasus). pra sekolah, maka tujuan khusus penelitian
Jumlah tersebut menurun dibanding 2010 ini adalah hubungan umur, pendidikan,
dengan 191 kasus di Kota Yogyakarta, pendapatan, pengalaman, lingkungan dan
Kabupaten Sleman (184 kasus), Bantul (92 sikap orang tua dengan perilaku orang tua
kasus), Gunungkidul (87 kasus) dan terakhir melakukan kekerasan verbal pada anak usia
Kulonprogo (60 kasus). Meski terjadi pra sekolah. Hipotesis dalam penelitian ini
penurunan angka, tidak berarti kasus yaitu terdapat hubungan umur, pendidikan,
kekerasan terhadap anak juga telah ekonomi, pengalaman, lingkungan dan sikap
berkurang (Sujatmiko, 2013). orang tua dengan perilaku orang tua
melakukan kekerasan verbal pada anak usia
Penelitian ini akan dilakukan di Dusun pra sekolah.
Sawahan Kelurahan Pendowoharjo
Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul
METODE PENELITIAN
karena berdasarkan wawancara langsung
yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan Penelitian ini merupakan jenis penelitian
bahwa 16 dari 25 anak di daerah ini setiap kuantitatif dengan menggunakan metode
harinya medapatkan kata-kata yang tidak pendekatan deskriptif analitik. Populasi
pantas dari orang tua mereka maupun dalam penelitian ini adalah seluruh orang
kalimat yang bersifat mengancam dari orang tua yang memiliki anak usia prasekolah
tua. Orang tua menganggap hal yang biasa yaitu anak usia 3 sampai 6 tahun di Dusun
jika memarahi anak-anaknya dengan kata- Sawahan Kelurahan Pendowoharjo
kata yang tidak pantas. Selain alasan Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul yaitu
tersebut diatas, peneliti juga sebanyak 93 responden. Cara pengambilan
mempertimbangkan keadaan masyarakat di sampel yang telah dilakukan dalam
dusun Sawahan dimana orang tua terutama penelitian ini adalah proportionate random
ibu yang mayoritas memiliki latar belakang sampling, yaitu 76 responden. yaitu teknik
pendidikan yang masih rendah yaitu tamat pengambilan sampel tiap RT di Dusun
SMP dan 50 % sebagai ibu rumah tangga. Sawahan, Kelurahan Pendowoharjo,
Hal itu mengakibatkan stress yang Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul.
disebabkan himpitan ekonomi yang akan Selanjutnya jumlah responden tiap RT di
membuat orang tua mudah sekali Dusun Sawahan dipilih secara simple
meluapkan emosi, kekecewaan, kemarahan, random.
dan ketidakmampuannya kepada orang
terdekatnya, yaitu anak mereka. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu
perilaku orang tua terhadap kekerasan
Berdasarkan latar belakang, maka verbal pada anak pra sekolah, sedangkan
perumusan masalah dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah umur, pendidikan,
adalah “bagaimanakah faktor-faktor yang pendapatan, pengetahuan, sikap, lingkungan
berhubungan dengan perilaku orang tua dan pengalaman. Penelitian ini
melakukan kekerasan verbal pada anak usia menggunakan kuesioner sebagai alat
pra sekolah”. pengumpulan data. Instrumen penelitian
dikatakan berkualitas dan dapat

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


86 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

dipertanggungjawabkan penggunaannya didapatkan berupa kekerasan verbal seperti


apabila sudah terbukti validitas dan pengalaman dibentak, dihina dan melihat
reliabilitas. Uji validitas dilakukan analisis perilaku kekerasan verbal contoh
dengan pearson product moment pertanyaannya “Saya pernah melihat orang
(Notoadmodjo, 2003). Pertanyaan dalam tua bertengkar dengan kata-kata kasar? Pada
kuesioner ini valid karena nilai r hitung saat saya masih kecil ditakut-takuti oleh
lebih besar daripada r tabel yaitu (0,632). orang tua saya kalau saya tidak mau
Uji reliabilitas pada penelitian ini mandi?”. Sedangkan pertanyaan tentang
menggunakan teknik alfa cronbach, dengan lingkungan berkaitan tentang lingkungan
hasil analisis yaitu seluruh instrumen sama sosial dan tempat tinggal sebagai contoh
dengan atau lebih dari 0,6. “Orang dilingkungan tempat tinggal anda
mempunyai kebiasaan berbicara dengan
Kuesioner digunakan untuk mengukur nada bicara keras? Tetangga anda sering
pengetahuan, sikap, lingkungan, penga- memanggil anaknya dengan sebutan yang
laman dan perilaku orang tua tentang tidak baik, misal “cungkring”?”
kekerasan verbal terhadap anak usia pra-
sekolah. Pertanyaan dalam kuesioner untuk Metode pengolahan data dengan langkah
mengukur pengetahuan terdiri dari 7 item editing, coding, tabulasi data dan entry data.
pertanyaan berkaitan pengertian, bentuk, Pengolahan data tersebut menggunakan
macam-macam dan dampak kekerasan bantuan komputer dengan program SPSS
verbal. Dalam mengukur sikap ada 8 item for Windows Release 16,0. Analisa data
pertanyaan dan perilaku ada 12 item tersebut meliputi analisis univariat dan
menggunakan dengan skala likert, dengan analisis bivariat yaitu uji chi square (x2).
pilihan Sering (S), Kadang (K), Jarang (J), Nilai Chi Square hitung lebih kecil dari
dan Tidak Pernah (TP). Pertanyaan pada tabel, maka hipotesa nol diterima, dan
sikap dan perilaku terdiri dari hal-hal apabila lebih besar atau sama dengan harga
berkaitan ucapan, tindakan dan cara tabel maka hipotesa nol ditolak dan hipotesa
mendidik orang tua yang mengarah alternatif gagal untuk ditolak (Sugiyono,
kekerasan verbal seperti contoh pertanyaan 2002).
mengukur sikap yaitu “Pada saat anda
menyuruh anak anda untuk tidak bermain
HASIL DAN PEMBAHASAN
handpone/tablet/game. Tapi anak anda tidak
mau menuruti anda menyikapinya dengan Penelitian dilakukan di Dusun
Langsung mengambil handpone/ Pendowoharjo yang merupakan wilayah
tablet/game”, sedangkan contoh per- administrasi di bawah Kecamatan Sewon
tanyaan mengukur perilaku yaitu “Pada Kabupaten Bantul. Secara geografis Dusun
suatu hari, anak anda menangis karena tidak Pendowoharjo memiliki karakteristik berada
mau berangkat sekolah. Maka yang akan di dataran rendah. Kecamatan Sewon
anda ucapkan adalah Mau jadi anak bodoh beriklim seperti layaknya daerah dataran
gak sekolah, kalau gak mau sekolah, angon rendah di daerah tropis dengan dengan
wedhus wae” . cuaca panas sebagai ciri khasnya.

Kuesioner untuk mengukur pengalaman ada Secara kependudukan bahwa masyarakat


8 item dan lingkungan ada 10 item Dusun Pendowoharjo masuk di wilayah
pertanyaan dengan skala guttman dengan Kecamatan sewon yang memiliki jumlah
pilihan ya dan tidak. Pada pertanyaan keseluruhan 75.327 orang dengan jumlah
berkaitan tentang pengalaman yaitu penduduk laki-laki 37.795 orang dan
kejadian yang pernah dialami atau penduduk perempuan 37.532 orang.

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 87
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan semakin membaik. Pada usia madya,


Sewon adalah 2766 jiwa/km2. Sebagian individu akan lebih berperan aktif dalam
besar penduduk Kecamatan Sewon adalah masyarakat dan kehidupan social serta lebih
buruh. banyak melakukan persiapan demi
suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju
Tabel 1. usia tua, selain itu orang usia madya akan
Hubungan faktor-faktor yang berhubungan lebih banyak menggunakan waktu untuk
dengan Perilaku Orang Tua Melakukan
Kekerasan Verbal Pada Anak Usia Pra-Sekolah
membaca. Kemampuan intelektual,
pemecahan masalah dan kemampuan verbal
Perilaku Orang Tua hampir tidak ada pada penurunan usia ini.
Variabel P
x2
Umur 8,330 0,016
Pendidikan 2,532 0,767 Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa
Pendapatan 2,792 0,248 semakin bertambah umurnya belum tentu
Pengetahuan 44,239 0.000 semakin bijaksana, hal ini yang ditemukan
Sikap 18,698 0.000 oleh peneliti di dusun Sawahan Kelurahan
Pengalaman 20,476 0.000 Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, Bantul
Lingkungan 16,631 0.000 dimana umur responden semakin bertambah
menunjukkan perilaku yang semakin
Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel negatif.
1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara
umur responden dengan perilaku orang tua Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
melakukan kekerasan verbal pada anak usia ada hubungan antara pendidikan responden
pra-sekolah di Dusun Pendowoharjo dengan perilaku orang tua melakukan
Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul. kekerasan verbal pada anak usia pra-
Analisis data dengan menggunakan uji chi sekolah di Dusun Pendowoharjo Kecamatan
square di dapatkan x2= 8,330 (p = 0,016). Sewon Kabupaten Bantul.

Umur adalah lama hidup individu terhitung Tingkat pendidikan merupakan jenjang
saat mulai dilahirkan sampai berulang tahun pendidikan terakhir yang ditempuh
(Notoatmojo, 2003). Hasil penelitian ini seseorang tingkat pendidikan merupakan
berbeda dengan teori (Notoatmojo, 2003) suatu wahana untuk mendasari seseorang
dimana semakin cukup umur, tingkat berprilaku secara ilmiah. Tingkat
kematangan seseorang akan lebih matang pendidikan yang rendah akan susah
dalam berfikir dan bekerja. Dari hasil mencerna pesan atau informasi yang
penelitian mengindikasikan bahwa dengan disampaikan (Notoatmodjo, 2003).
bertambahnya umur seseorang belum tentu
kematangan dalam berpikir semakin baik, Pendidikan diperoleh melalui proses belajar
dimana umur seseorang akan termotivasi yang khusus diselenggarakan dalam waktu
untuk tidak melakukan kekerasan verbal tertentu, tempat tertentu dan kurikulum
pada anak pra-sekolah. tertentu, namun dapat diperoleh dari
bimbingan yang diselenggarakan sewaktu-
Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap waktu dengan maksud memper- tinggi
dan pola pikir seseorang, semakin kemampuan atau ketrampilan khusus.
bertambah usia akan semakin berkembang Dalam garis besar ada tiga tingkatan
pula daya tangkap dan pola pikirnya, pendidikan yaitu pendidikan rendah,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya pendidikan menengah, dan tinggi.

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


88 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

Masing-masing tingkat pendidikan tersebut seseorang mencerna apa yang menjadi isi
memberikan tingkat pengetahuan tertentu pesan dari informasi khususnya dalam hal
yang sesuai dengan tingkat pendidikan. kerasan yang dilakukan orang tua terhadap
anak pra sekolah.
Pendidikan tentang perilaku orangtua dalam
melakukan kekerasan verbal terhadap anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
pra sekolah yang positif merupakan suatu ada hubungan antara pendapatan responden
proses mengubah kepribadian, sikap, dan dengan perilaku orang tua melakukan
pengertian tentang perilaku yang selama ini kekerasan verbal pada anak usia pra-sekolah
negatif sehingga tercipta pola perilaku yang di Dusun Pendowoharjo Kecamatan Sewon
baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Kabupaten Bantul. Pendapatan keluarga
Berpedoman pada tujuan pendidikan seringkali dikaitkan dengan status
diperkirakan bahwa semakin meningkatnya kemapanan ekonomi suatu keluarga.
pendidikan yang dicapai sebagian besar
penduduk, semakin membantu kemudahan Masalah keuangan seringkali mendorong
pembinaan akan pentingnya perilaku yang timbulnya stress pada orangtua. Aspek
positif dalam menghadapi kekerasan verbal keuangan dapat berupa tingkat penghasilan
pada anak pra sekolah. Dengan demikian keluarga yang rendah dandhadapkan pada
pendidikan pada dasarnya merupakan usaha tuntutan kebutuhan yang tinggi (Munawati,
dan tindakan yang bertujuan untuk 2011). Status ekonomi sangat berpengaruh
mengubah pengetahuan, sikap dan pada perkembangan hubungan orang tua
keterampilan manusia. Tingkat pendidikan dengan anak. Penelitian yang dilakukan
yang cukup merupakan dasar dalam Nugroho Akbar (2009) menyebutkan bahwa
pengembangan daya nalar serta sarana income yang diperoleh orangtua
untuk menerima pengetahuan. Kemam- berpengaruh terhadap tingkat perilaku
puan menerima seseorang akan lebih cepat pengasuhan orangtua. Orangtua dengan
jika orang tersebut memiliki latar belakang penghasilan rendah memiliki tingkat
pendidikan yang cukup. Pengertian tersebut perilaku yang lebih tinggi dalam melakukan
menggambarkan pendidikan bukan hanya kekerasan kepada anak dibandingkan
mempersiapkan masa depan agar lebih dengan orangtua yang memiliki penghasilan
cerah saja, melainkan untuk membantu tinggi.
setiap individu mengem- bangkan faktor
psikisnya menuju tingkat kedewasaan. Sejak Tingkat kepuasan orangtua terletak pada
dini pendidikan harus sudah diberlakukan seberapa baik orangtua mereka merasa
pada setiap individu agar menjadikan mampu memenuhi kebutuhan anak-
manusia berkualitas dan tidak menimbulkan anaknya. Orangtua yang kekurangan sumber
dampak yang negatif pada dirinya sendiri daya untuk merawat anak akan mengalami
atau orang lain khususnya. peningkatan perilaku negatif dalam
memenuhi tantangan kehidupan sehari-hari.
Diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat Ketika mengalami kesulitan ekonomi,
pendidikan seseorang maka semakin mampu orangtua akan menjadi mudah marah,
mengetahui, memahami ataupun tertekan dan frustasi, serta tekanan
menganalisis apa yang disampaikan psikologis mereka akan menurunkan
demikian sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan pengasuhan yang akan
pendidikan yang dimiliki maka semakin berpengaruh pada kekerasan (Stuart &
rendah atau tidak tahu pula Sundeen, 2006).

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 89
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

Humanika, Solihin, Lianny (2004) dari pengalaman yang berasal dari berbagai
berpendapat bahwa orangtua yang memiliki macam sumber seperti, media poster,
ketidakmatangan emosi berisiko melakukan kerabat dekat, media massa, media
kekerasan terhadap anak. Berdasarkan elektronik, buku petunjuk, petugas
analisis tambahan, kesehatan, dan sebagainya. Pengetahuan
kemampuan mengendalikan frrustasi yang dapat membentuk keyakinan tertentu,
menjadi salah satu aspek kematangan emosi sehingga seseorang berperilaku sesuai
berkorelasi positif dengan perilaku dengan keyakinannya tersebut (Nugroho,
kekerasan pada anak yang dilakukan 2009).
orangtua. Didukung oleh penelitian
Khusmas, Asniar. Hastarjo, Wimbarti. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa
(1997) yang menyatakan bahwa orangtua pengetahuan atau kognitif merupakan
yang melakukan kekerasan fisik dilaporkan domain yang sangat penting untuk
mempunyai perasaan negatif yang lebih terbentuknya tindakan seseorang (overt
besar (seperti marah, depresi, bingung dan behavior), dan Rogers (dalam Notoatmodjo,
jengkel) dibandingkan dengan orangtua 2003) menyimpulkan bahwa pengadopsian
yang tidak melakukan kekerasan fisik pada perilaku didasari oleh pengetahuan,
anaknya. kesadaran yang positif, maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa lasting) namun sebaliknya jika perilaku itu
pendapatan yang rendah seorang orangtua tidak didasari oleh pengetahuan dan
akan mengalami peningkatan perilaku yang kesadaran, maka perilaku tersebut bersifat
negatif dimana orangtua akan mudah marah, sementara atau tidak akan berlangsung lama
tertekan dan frustasi yang akan berujung (Notoatmodjo, 2003).
pada kekerasan verbal pada anak pra
sekolah. Kebanyakan orang tua tidak begitu
mengetahui atau mengenal informasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada mengenai kebutuhan perkembangan anak,
hubungan antara pengetahuan responden misalnya anak belum memungkinkan untuk
dengan perilaku orang tua melakukan melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya
kekerasan verbal pada anak usia pra- pengetahuan orang tua anak dipaksa
sekolah di Dusun Pendowoharjo Kecamatan melakukan dan ketika memang belum bisa
Sewon Kabupaten Bantul. Pengetahuan dilakukan orang tua menjadi marah,
adalah segala sesuatu yang ada dikepala membentak dan mencaci anak. Orang tua
kita. Kita dapat mengetahui sesuatu yang mempunyai harapan- harapan yang
berdasarkan pengalaman yang kita miliki. tidak realistik terhadap perilaku anak
Selain pengalaman, kita juga menjadi tahu berperan memperbesar tindakan kekerasan
karena kita diberitahu oleh orang lain. pada anak. Serta kurangnya pengetahuan
Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi orang tua tentang pendidikan anak dan
(Nugroho, 2009). minimnya pengetahuan agama orang tua
melatarbelakangi kekerasan pada anak.
Pengetahuan (knowledge) adalah suatu
proses dengan menggunakan pancaindra Pandangan yang keliru tentang posisi anak
yang dilakukan seseorang terhadap objek dalam keluarga. Orang tua menganggap
tertentu dapat menghasilkan pengetahuan bahwa anak adalah seseorang yang tidak
dan keterampilan (Notoatmojo, 2003). tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


90 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

apapun berhak dilakukan oleh orang tua setuju dengan sikap yang di ekspresikan
(Shocib, 2000). mereka. Oleh karena itu, peneguhan yang
dilakukan orangtua sejak dini bisa
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa membentuk sikap yang di baca sampai besar
pengetahuan sangat berpengaruh kepada nanti, termasuk di antaranya tindak
perilaku seseorang, dimana bila seseorang kekerasan verbal yang dilakukan orangtua
mempunyai pengetahuan yang baik tidak terhadap anaknya.
menutup kemungkinan mempunyai peri-
laku yang positif yaitu orang tua tidak akan Semakin kuat satu sikap dalam pemikiran
melakukan kekerasan verbal pada anaknya, seseorang maka makin besar pengaruhnya
begitu pula sebaliknya apabila seseorang terhadap perilaku. Penelitian yang telah
mempunyai pengetahuan yang kurang tidak dilakukan menunjukkan bahwa sikap yang
menutup kemungkinan mempunyai perilaku dibentuk melalui pengalaman pribadi akan
yang negatif yaitu orang tua akan semakin kuat daripada sikap yang dibentuk
melakukan kekerasan verbal pada anaknya. berdasarkan informasi kedua atau sumber
Hasil penelitian yang dilakukan pada yang tidak langsung. Secara spesifik,
orangtua di dusun Sawahan Kelurahan sepertinya orang tidak hanya bisa
Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, menggunakan sikap sebagai dasar perilaku,
bahwa orangtua yang mempunyai penge- kita juga bisa membentuk sikap berdasarkan
tahuan baik sebagian besar mempunyai perilaku kita. Menurut Sarwono karena
perilaku yang positif, sedangkan orangtua pembentukan sikap yang paling efektif
yang mempunyai pengetahuan kurang adalah melalui pengalaman sendiri maka
sebagian besar mempunyai perilaku yang para pakar berusaha mengetahui sampai
negatif. seberapa jauh perilaku dapat mempengaruhi
terbentuknya sikap. Sebagaimana sikap
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dapat berpengaruh pada perilaku, sebaliknya
bahwa Ada hubungan antara sikap perilaku pun juga dapat membentuk sikap
responden dengan perilaku orang tua karena perilaku adalah pengalaman yang
melakukan kekerasan verbal pada anak usia paling langsung pada diri seseorang
pra-sekolah di Dusun Pendowoharjo (Nugroho, 2009).
Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul.
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa
merupakan reaksi atau respon yang masih hubungan antara sikap orangtua yang positif
tertutup dari seseorang terhadap suatu akan membawa perilaku orangtua untuk
stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak melakukan kekerasan verbal terhadap
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya anaknya, begitu pula sebaliknya apabila
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari orangtua mempunyai sikap yang negatif
perilaku yang tertutup. Sikap merupakan akan mempengaruhi perilakunya dalam
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek melakukan kekerasan verbal pada anaknya.
dilingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa Ada hubungan antara lingkungan
Orang tua dan anggota keluarga adalah responden dengan perilaku orang tua
orang pertama yang memberikan peneguhan melakukan kekerasan verbal pada anak usia
terhadap sikap seseorang. Kita biasanya pra-sekolah. Lingkungan juga
akan cenderung untuk menerima mempengaruhi tindakan kekerasan pada
penghargaan, seperti pujian, hadiah, dan
pengauan dari anggota keluarga kalau kita

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 91
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

anak. Lingkungan hidup dapat mening- tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman
katkan beban perawatan pada anak. Dan merupakan sumber pengetahuan, atau
juga munculnya masalah lingkungan yang pengalaman itu merupakan suatu cara untuk
mendadak juga turut berperan untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan.
timbulnya kekerasan verbal. Televisi Oleh sebab itu pengalaman pribadi dapat
sebagai suatu media yang paling efektif pula dijadikan sebagai upaya untuk
dalam menyampaikan berbagai pesan- pesan memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan
pada masyarakat luas yang merupakan dengan cara mengulang kembali
berpotensial paling tinggi untuk pengetahuan yang diperoleh dalam
mempengaruhi perilaku kekerasan orang tua memecahkan persoalan yang dihadapi pada
pada anak. masa lalu (Notoatmodjo, 2003).

Orang tua menjadi memiliki masalah berat Perilaku yang didasari oleh pengetahuan
dalam hubungannya dengan anak-anak akan lebih baik dibandingkan perilaku yang
mereka. Orang tua menjadi memiliki tidak didasari oleh pengetahuan karena
konsep-konsep yang kuat dan kaku didasari oleh kesadaran, rasa tertarik, dan
mengenai apa yang benar dan apa yang adanya pertimbangan dan sikap positif.
salah bagi anak-anak mereka. Semakin Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat
yakin orang tua atas kebenaran dan nilai- perlakuan salah merupakan situasi pencetus
nilai keyakinannya, semakin cenderung terjadinya kekerasan pada anak. Semua
orang tuamemaksakan kepada anaknya tindakan kepada anak akan direkam dalam
(Stuart dan Sundeen, 2006). alam bawah sdar mereka dan akan dibawa
sampai kepada masa dewasa. Anak yang
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa mendapat perilaku kejam dari orangtuanya
lingkungan berpengaruh besar terhadap akan menjadi agresif dan setelah menjadi
perilaku orangtua dalam melakukan orang tua akan berlaku ejam pada anaknya.
kekerasan verbal terhadap anak pra sekolah, Orangtua yang agresif akan melahirkan
hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang anak-anak yang agresif, yang pada
dilakukan di dusun Sawahan Kelurahan gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, agresif pula. Khusmas, Asniar, Hastarjo, &
yang diketahui orang tua yang mempunyai Wimbarti (1997).
lingkungan baik mempunyai perilaku yang
cenderung tidak melakukan kekerasan Dari hasil penelitian diketahui bahwa
verbal pada anaknya, tetapi sebaliknya pengalaman orangtua berpengaruh besar
orang tua yang mempunyai lingkungan terhadap perilaku orangtua dalam mela-
buruk cenderung melakukan kekerasan kukan kekerasan verbal terhadap anak pra-
verbal terhadap anaknya. Berdasarkan hasil sekolah. Orang tua yang mempunyai
penelitian didapatkan bahwa ada hubungan pengalaman baik mempunyai perilaku yang
antara lingkungan responden dengan cenderung tidak melakukan kekerasan
perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya, tetapi sebaliknya
verbal pada anak usia pra-sekolah di Dusun orang tua yang mempunyai pengalaman
Pendowoharjo Kecamatan Sewon buruk cenderung melakukan kekerasan
Kabupaten Bantul. verbal terhadap anaknya.

Pengalaman merupakan guru yang terbaik


(experient is the best teacher), pepatah

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


92 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

KESIMPULAN http://www.yogyakarta.bpk.go.id/wp.
content/upload/20114/08/pergub-34- th-
Pada akhir penelitian ini, maka dapat
2013-pdf
disimpulkan sebagai berikut :
Terdapat hubungan antara umur dengan
Choirunnisa. (18 Maret 2008). Dampak
perilaku orang tua melakukan kekerasan
kekerasan verbal pada anak. Diambil dari
verbal pada anaknya (x2 = 8,330, p = 0,016).
okezone online. Diakses dari
Tidak terdapat hubungan antara pendidikan
http://m.okezone.com
dengan perilaku orang tua melakukan
kekerasan verbal pada anaknya (x2 = 2,532,
Humanika, Solihin, Lianny. (2004).
p = 0,767).
Tindakan Kekerasan pada Anak dalam
Tidak terdapat hubungan antara pendapatan
Keluarga..Jurnal Pendidikan Penabur -
dengan perilaku orang tua melakukan
No.03 / Th.III / Desember 2004
kekerasan verbal pada anaknya (x2 = 2,792,
p = 0,248).
Irwanto.(2000). Tindak kekerasan terhadap
Terdapat hubungan antara
anak. Surabaya: PT Lutftansa Mediatama.
pengetahuan dengan perilaku orang tua
melakukan kekerasan verbal pada anaknya
Khusmas, Asniar, Hastarjo, T. D, Wimbarti,
(x2 = 44,239, p = 0,000).
S. (1997). Peran Fantasi agresif tentang
Terdapat hubungan sikap dengan perilaku
perilaku agresif anak- anak. Jurnal
orang tua melakukan kekerasan verbal pada
Psikologi. No 1 , 21-29
anaknya (x2 = 18,698, p = 0,000).
Terdapat hubungan pengalaman dengan
Munawati. (2011). Hubungan Verbal Abuse
perilaku orang tua melakukan kekerasan
dengan Perkembangan Kognitif pada Anak
verbal pada anaknya. (x2 = 20,476, p =
Usia Prasekolah di RW 04 Kelurahan
0,000)
Rangkapan Jaya Baru Depok .Jakarta:
Terdapat hubungan lingkungan dengan
Skripsi. Jakarta. Fakultas Ilmu-ilmu
perilaku orang tua melakukan kekerasan
Kesehatan Program Studi Ilmu
verbal pada anaknya (x2 = 16,631, p =
Keperawatan: Universitas Pembangunan
0,000)
Nasional “Veteran”
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, A (2009). Faktor-faktor yang
Undang-undang Republik Indonesia mempengaruhi orang tua melakukan verbal
Nomor 23 Tahun 2002. Diambil online. abuse pada anak usia prasekolah. Skripsi.
Retrieved from (tidak diterbitkan). Semarang. Universitas
http://www.kpai.go.id?hukum/Undan g- Muhammadiyah Semarang
undang-UU-RI-no-23-tahun-2002- tentang-
perlindungan- anak/ditayangkan oleh admin Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi
KPAI- 10-09-2013 penelitian kesehatan. Edisi revisi.
Jakarta: Rineka Cipta
Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun
2013 tentang Rencana Aksi Daerah Notoatmojo, S. (2003). Ilmu kesehatan
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban masyarakat: prinsip-prinsip dasar.
Kekerasan Tahun 2013-2017. Diambil Jakarta: Rineka Cipta. 2003
online. Diakses dari

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

Soetjiningsih. (2002). Tumbuh kembang tertinggi. Diambil dari kedaulatan rakyat.


anak. Jakarta: EGC Online. Rerieved from
http://krjogja.com/read/166403/kasus
Stuart,. & Sundeen. (2006). Buku saku -kekerasan-anak-kota-jogja-tertinggi
keperawatan jiwa, ed 3. Jakarta : EGC
Shocib, M. (2000). Pola asuh orang tua.
Sugiyono. (2002). Statistika untuk Jakarta: Rineka Cipta
penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. 2002
Widyastuti, N. (12 April 2006). Sikap
Sujatmiko, T. (26 Maret 2013). Kasus Orang Tua Tentukan Perilaku Anak.
kekerasan anak Kota Yogyakarta Diakses dari http://www.pikiran-
rakyat.com
72 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 4, Nomor 1, Mei 2015, hlm. 72–77

PENGARUH TERAPI PSIKORELIGI TERHADAP PENURUNAN


PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA
DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

Dwi Ariani Sulistyowati, E. Prihantini


Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Keperawatan

Abstract: Psikoreligius Therapy, Violent Behavior in Patients with Schizophrenia, Decline in Violent
Behavior. Schizophrenia is a clinical syndrome or disease processes that affect, perception, emotion,
behavior, and social functioning. The main problem that often occurs in patients with schizophrenia are
violent behavior. Violent behavior is a condition where a person perform actions that can physically harm
either to yourself, others, and the environment. In the management of violent behavior are three strategies,
namely: strategy deep breath, hit the pillow, chatting with others, Spiritual and psikoreligius obat.Sedangkan
utilization is part of the spiritual strategy. The purpose of this study was to determine the effect Psikoreligius
to decrease violent behavior in patients with schizophrenia. Research Methods. The research is a Quasi-
experimental, research design using One Group Pre and Post Test Design. Sampling using non-probability
sampling technique with purposive sampling. Analysis of the data used is paired t test.

Keywords: psikoreligius therapy, violent behavior in patients with schizophrenia, decline in violent behavior

Abstrak: Terapi Psikoreligius, Perilaku Kekerasan pada Pasien Schizofrenia, Penurunan Perilaku
Kekerasan. Schizofrenia merupakan suatu syndrome klinis atau proses penyakit yang mempengaruh,
persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial. Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien Schizofrenia
adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Dalam manajemen
perilaku kekerasan terdapat 3 strategi yaitu: strategi nafas dalam, pukul bantal, bercakap-cakap dengan orang
lain, spiritual dan pemanfaatan obat. Sedangkan psikoreligius merupakan bagian dari strategi spiri- tual.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Psikoreligius terhadap penurunan perilaku
kekerasan pada pasien Schizofrenia. Metode Penelitian. Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen, desain
penelitian menggunakan One Group Pre and Post test Design. Pengambilan sampel dengan meng- gunakan
teknik non probability sampling dengan cara purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah uji
paired t test.

Kata Kunci: terapi psikoreligius, perilaku kekerasan pada pasien schizofrenia, penurunan perilaku kekerasan

Untuk mendapatkan kesehatan mental yang prima, Nurjanah (2004). Selanjutnya kondisi ini dapat me-
tidaklah mungkin terjadi begitu saja. Selain menye- nyebabkan timbulnya gangguan jiwa dalam tingkat
diakan lingkungan yang baik untuk pengembangan ringan maupun berat yang memerlukan penanganan
potensi, dari individu sendiri dituntut untuk di rumah sakit baik di rumah sakit jiwa atau di unit
melakukan berbagai usaha menggunakan berbagai perawatan jiwa di rumah sakit umum, salah
kesempatan yang ada untuk mengembangkan satunya adalah penderita schizophrenia (Nurjanah,
dirinya. 2004).
Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap Schizofrenia merupakan suatu sindrome klinis atau
peningkatan kualitas maupun kuantitas penyakit proses penyakit yang mempengaruhi kognisi,
mental-emosional manusia Hidayati (2000) dalam persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial, tetapi

72
schizofrenia mempengaruhi setiap individu dengan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang
cara yang berbeda. Derajat gangguan pada fase lain, sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk
akut atau fase psikotik dan fase kronis atau fase dimana seseorang marah berespon terhadap suatu
jangka panjang sangat bervariasi diantara individu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkon-
(Videbeck, 2008). trol (Stuart dan Laraia, 2005), sedangkan kema-
Menurut Isaac (2004), 1% populasi penduduk rahan adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai
dunia mengalami schizofrenia dalam hidupnya, 95% respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai
penderita schizofrenia mengidap penyakit ini seumur ancaman (Keliat, 1996).
hidup, penderita schizofrenia menempati 25% tem- Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terda- pat
pat tidur rawat inap rumah sakit. Kurang lebih hubungan yang sangat signifikan antara komit- men
33%– 50% tunawisma di Amerika serikat agama dan kesehatan. Orang yang sangat reli- gius
menderita Schizofrenia. Lebih dari 50% penderita dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih
schizofrenia bermasalah dengan alkohol atau obat- sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan
obatan yang mungkin berusaha mengatasi sendiri penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakit
gejala-gejala stressnya. Di seluruh Asia, lebih cepat (Zainul Z, 2007). Saat ini perkembangan
diperkirakan 2–10 dari setiap 1000 penduduk terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah
mengalami schizofrenia, dan 10% diantaranya perlu pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berba-
diobati dan dirawat intensif karena telah sampai gai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat
pada taraf yang mengkhawatir- kan. keimanan seseorang erat hubungannya dengan ke-
Prevalensi penderita schizofrenia di Indonesia kebalan dan daya tahan dalam menghadapi
adalah 0,3–1%. Apabila penduduk Indonesia sekitar berbagai problem kehidupan yang merupakan
200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa stresor psiko- sosial.
menderita schizofrenia. Schizofrenia adalah gang- Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan kese- hatan
guan mental yang sangat luas dialami di Indonesia, sebagai keadaan lengkap dari kesejahteraan fisik,
dimana sekitar 99% Rumah Sakit Jiwa di Indonesia mental, sosial dan bukan semata-mata katiada- an
adalah penderita schizofrenia (Sosrosumihardjo, penyakit atau kesakitan. Definisi kesehatan ini
2007). merupakan pemicu dan pemacu penelitian dan prak-
Permasalahan utama yang sering terjadi pada tik di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi kese-
pasien Schizofrenia adalah perilaku kekerasan. Hal hatan mulai berkembang pesat sejak saat itu, jika
ini sesuai dengan diagnosa keperawatan NANDA dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis yang mem-
yang biasa ditegakkan berdasarkan pengkajian pengaruhi kesehatan seseorang yang bertujuan
gejala psikotik atau tanda positif. Kondisi ini harus untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang sesuai
segera ditangani karena perilaku kekerasan yang dengan pengertian WHO di atas (Hasan, 2008).
terjadi akan membahayakan diri pasien, orang lain, Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada
dan lingkungan. Hal ini yang menjadi alasan utama tanggal 4 Februari 2014, dengan melihat catatan
pasien Schizofrenia dibawa ke rumah sakit. medik Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta, jumlah
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana pasien rawat inap adalah sebanyak 116 pasien, dari
seseorang melakukan tindakan yang dapat jumlah tersebut 90 pasien (77,5%) dirawat dengan
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sen- diagnosa Schizofrenia. Dari 90 pasien schizofrenia
diri, orang lain, maupun lingkungan. Hal tersebut yang masuk rawat inap dengan riwayat perilaku
dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal kekerasan adalah sebanyak 98,8% atau 89 pasien
atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan (sumber: Instalasi Rekam Medis RSJD Surakart,
Sundeen, 2006). 2011). Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta belum
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat mempunyai Standar Asuhan Keperawatan (SAP)
yang ekstrim dari rasa marah atau ketakutan yang tentang terai psikoreligius, tetapi terapi ini sudah
mal adaptif (panik). Perilaku agresif dan peri- laku dilaksanakan, hanya pelaksanaannya belum optimal.
kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai Dengan demikian dampak dari psikoreligi terhadap
suatu dimana agresif verbal di suatu sisi dan penurunan perilaku kekerasan belum terlihat secara
perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain. nyata. Berdasarkan latar belakang diatas penulis
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh penggunaan
seseorang melakukan tindakan yang dapat psikoreligius terhadap penurunan perilaku kekerasan
membahayakan
pada pasien Skizofrenia di UGD dan ruang rawat ada perbedaan respon perilaku setelah dilakukan
Intensif di RSJD Surakarta. intervensi antara kelompok perlakuan dengan ke-
lompok kontrol berarti pemberian psikoreligi berpe-
METODE PENELITIAN ngaruh terhadap penurunan respon perilaku. Seperti
Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen dengan yang disajikan dalam tabel 2 berikut ini:
design penelitian menggunakan Pre and Post test
Control Group Design. Pengambilan sampel Tabel 2. Perbandingan Rerata Nilai Respon Perilaku
pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan
dengan menggunakan teknik non probability
dan Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di
sampling dengan cara purposive sampling untuk RSJD Surakarta
mencari pengaruh pemberian psikoreligi terhadap Kelompok
penurunan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia Variabel Nilai p
Perlakuan Kontrol
di RSJD Surakarta. Analisa dengan uji t test untuk Pretest 3,95 3 ,9 0,901
membedakan nilai pretest - postest antara kelompok Posttest 0,15 2 ,55 0,000
perlakuan dan kelompok kontrol.
Sedangkan penurunan respon perilaku antara
HASIL PENELITIAN pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
Responden penelitian ini adalah pasien
yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
Skizofrennia yang dirawat di RSJD Surakarta Seperti yang terlihat pada tabel 3 berikut ini:
tahun 2014. Jumlah responden dalam penelitian ini
sebanyak 40 responden, dengan pembagian 20 res- Tabel 3. Perbandingan Penurunan Respon Perilaku
ponden menjadi kelompok perlakuan, dimana pada Pretest dan Postest Kelompok Perlakuan dan
responden diberikan terapi psikoreligi, sedangkan Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD
20 responden menjadi kelompok kontrol yang tidak Surakarta
diberikan terapi psikoreligi. Rerata Nilai Respon Perilaku Pretest
Kelompok PostestNilai p
Kondisi awal rerata respon perilaku adalah 3,95.
Perlakuan 3,95 0,15 0,000
Rerata nilai respon verbal adalah 3,35. Rerata nilai Kontrol 3,90 2,55 0,01
respon emosi adalah 4,15 dan rerata nilai respon
fisik adalah 2,42. Hasil uji t test nilai rerata respon verbal antara
Dari hasil analisis statistik untuk pretest, dapat pretest dan post test dalam kelompok perlakuan
diketahui bahwa respon perilaku, respon verbal, dan kelompok kontrol menunjukan ada perbedaan
respon emosi, dan respon fisik antara kelompok yang bermakna (p < 0,05). Keadan ini menunjukan
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan bahwa bahwa ada perbedaan respon verbal setelah
tidak ada perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 ), dilakukan inter- vensi antara kelompok perlakuan
sehingga dapat dikatakan bahwa antara kedua dengan kelompok kontrol. Seperti yang disajikan
kelompok homogen . Seperti dalam tabel berikut ini dalam tabel 4 berikut ini:
1:
Tabel 1.Rerata Nilai Respon Responden menurut Tabel 4. Perbandingan Rerata Nilai Respon Perilaku
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan
Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta dan Kelompok Control pada Pasien Skizofrennia di
RSJD Surakarta
Variabel Rerata Kelompok Nilai Perlakuan
Nilai
Kelompok Nilai Perlakuan
p Variabel
Kontrol Kontrol p
Respon perilaku 3,925 3,95 3,9 0,901 Pretest 3,4 3,3 0,714
Respon verbal 3,35 3,4 3,3 0,714 Post test 0,9 2,25 0,001
Respon eEmosi 4,15 4,3 4 0,138
Sedangkan penurunan respon perilaku antara
Respon fisik 2,425 2,45 2,4 0,711pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
Hasil uji t test nilai rerata respon perilaku antara yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
pretest dan post test dalam kelompok perlakuan Seperti yang terlihat pada tabel 5 berikut ini:
dan kelompok kontrol menunjukkan ada yang ber-
makna (p < 0,05). Keadan ini menunjukan bahwa
Tabel 5. Perbandingan Penurunan Respon Verbal Pre- Tabel 8. Perbandingan Rerata Nilai Respon Fisik pada
test dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan dan
Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD
Surakarta
Rerata Nilai Respon Perilaku
Pretest Postest Nilai Kelompo k
Kelompok Variabel Perlakuan Kontrol Nilai p
p
Perlakuan 3,4 0,9 0,000 Pretest Posttest 2,45 2,4 0,7 11
Kontrol 3,3 2,25 0,037 0,15 1,2 0,0 00

Hasil uji t test nilai rerata respon emosi antara


pretest dan post test dalam kelompok perlakuan Sedangkan penurunan respon emosi antara pretest
dan kelompok kontrol menunjukan ada perbedaan dan postest pada kelompok perlakuan dan
yang bermakna (p<0,05). Keadan ini menunjukan kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
bahwa ada perbedaan respon emosi setelah yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
dilakukan inter- vensi antara kelompok perlakuan Seperti yang terlihat pada tabel 9 berikut ini:
dengan kelompok kontrol. Seperti yang disajikan
Tabel 9. Perbandingan Penurunan Respon Fisik Pretest
dalam tabel 6 berikut ini: dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok
Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
Tabel 6. Perbandingan Rerata Nilai Respon Emosi
pada Pretest dan Postest dalam Kelompok Perlakuan Rerata Nilai Respon Kelompok Nilai
dan Kelompok Kontrol pada PasienSkizofrennia di RSJD Perilaku
p
Surakarta Pretest Postest
Kelompok Nilai Perlakuan 3 ,4 0,9 0,000
Variabel Perlakuan Kontrol p
Pretest 4,3 4 0,138 Kontrol 3 ,3 2,25 0,003
Posttest 0,9 3,15 0,000
PEMBAHASAN
Sedangkan penurunan respon emosi antara pretest Schizofrenia merupakan suatu sindrome klinis atau
dan postest pada kelompok perlakuan dan proses penyakit yang mempengaruhi kognisi,
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan. schizofrenia mempengaruhi setiap individu dengan
Seperti yang terlihat pada tabel 7 berikut ini: cara yang berbeda. Derajat gangguan pada fase
akut atau fase psikotik dan fase kronis atau fase
Tabel 7. Perbandingan Penurunan Respon Emosi Pre- jangka panjang sangat bervariasi diantara individu
test dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok (Videbeck, 2008). Masalah keperawatan yang sering
Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta muncul pada penderita schizofrenia adalah perilaku
Rerata Nilai Respon Kelompok Perilaku kekerasan. Menurut Stuart dan Laraia (2005) ada 3
Nilai p strategi dalam manajemen perilaku kekerasan,
Pretest Postest
yaitu strategi pencegahan, antisipasi, dan penge-
Perlakuan 3,4 0,9 0,000
Kontrol 3,3 2,25 0,057 kangan. Terapi Psikoreligi merupakan bagian dari
latihan assertive, sehingga terapi Psikoreligi masuk
Hasil uji t test nilai rerata respon fiik antara pretest dalam strategi pencegahan. (Marlindawani, 2009).
dan post test dalam kelompok perlakuan dan Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan kita diwajibkan
kelompok kontrol menunjukan ada perbedaan yang untuk berbakti kepadaNya, tapi terkadang kita tidak
bermakna (p<0,05). Keadan ini menunjukan bahwa menjalankan secara maksimal atau khusuk karena
ada perbedaan respon fisik setelah dilakukan lemahnya keimanan, keterbatasan waktu dan situasi
intervensi antara kelompok perlakuan dengan yang tidak mendukung. Dengan terapi Psikoreligi
kelompok kontrol. Seperti yang disajikan dalam table jika dilaksanakan secara lebih maksimal atau khusuk
8 berikut ini: akan menjadi tindakan yang efektif menurunkan
perilaku kekerasan pada pasien skhizofrenia di
Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Penelitian tentang pengaruh psikoreligi terhadap untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terha-
penurunan perilaku kekerasan di RSJD Surakarta dap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk
2014. Hasil penelitian dan interprestasinya adalah membangkitkan kekuatan spiritual dalam mengha-
sebagai berikut: dapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep,
2009). Dengan terapi psikoreligi akan melakukan
Pengaruh Psikoreligi terhadap Penurunan kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi proses
Perilaku Kekerasan fikir serta ketegangan otot (Stuart& Laraia, 2005)
Respon perilaku kekerasan yang dilakukan Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian, bahwa
observasi meliputi respon perilaku, respon fisik, setelah diberi terapi psikoreligi ada perubahan
respon emosi dan respon verbal. Menurut tabel 4. 9 signifikan dibandingkan pasien yang tidak diberi
bahwa terapi psikoreligi berpengaruh menurunkan terapi psiko- religi, hal ini bisa dilihat pada table 3,
perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di RSJD 5, 7 dan 9 di atas. Dengan demikian terapi
Surakarta. Penurunan ini meliputi penurunan pada Psikoreligi mempunyai pengaruh yang signifikan
respon fisik. Didalam ajaran agama manapun bahwa terhadap penurunan perila- ku kekerasan pada
sesorang yang akan melakukan Doa, Dzikir dan pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Surakarta
mengikuti ceramah agama disunahkan untuk men- (Videbecck, 2008).
sucikan diri, khusus dalam ajaran islam (berwudhlu).
Menurut H.R Buchori Muslim bahwa air wudhlu KESIMPULAN DAN SARAN
dapat merangsang syaraf yang ada pada tubuh kita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terapi
Dengan demikian aliran darah yang ada pada tubuh Psikoreligius berpengaruh terhadap penurunan
kita menjadi lancar, sehingga tubuh kita akan perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di RSJD
menjadi rilek dan akan menurunkan ketegangan. Surakarta, Ada perbedaan penurunan perilaku keke-
Dimana kalau kondisi tegang tidak segera rasan pada respon perilaku pada pasien yang diberi
dinetralisir akan berdampak kemarahan. terapi psikoreligius dan yang tidak diberi terapi
Kemarahan merupakan salah satu tanda dari psiko- religius, Ada perbedaan penurunan perilaku
perilaku kekerasan. Hal ini juga didukung oleh keke- rasan pada respon verbal pada pasien yang
pendapat Ilham 2008, bahwa terapi psikoreligi yang diberi terapi psikoreligi dan yang tidak diberi terapi
meliputi doa-doa, dzikir, cera- mah keagamaan, dan psiko- religius, Ada perbedaan penurunan perilaku
lain-lain dapat meningkatkan kekebalan dan daya keke- rasan pada respon emosi pada pasien yang
tahan dalam menghadapi berba- gai problem diberi terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
kehidupan yang merupakan stressor psikososial terapi psikoreligius, Ada perbedaan penurunan
guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa. Dari perilaku kekerasan pada respon fisik pada pasien
sudut ilmu kedokteran jiwa atau kepera- watan jiwa yang diberi terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
atau kesehatan jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi psiko- religius. Saran hasil penelitian adalah
terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham, 2008) masukan bidang perawatan agar lebih efektif
Dengan demikian orang yang mengikuti terapi membimbing/melaku- kan terapi psikoreligius
psikoreligi akan membatasi geraknya karena dia ber- dalam merawat pasien schizofrenia dengan
fokus pada kegiatanya sehingga dapat mengurangi perilaku kekerasan.
agresif fisik klien (Videbecck, 2008). Respon fisik
akan mempengaruhi respon emosi (Boyd & Nihart, DAFTAR RUJUKAN
1998). Respon fisik merupakan respon yang meng-
ikuti perubahan kognitif pada klien perilaku keke- Isaac, A. 2006. Panduan Belajar: Keperawatan
Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik, E/3. Alih bahasa: Dean
rasan (Boyd & Nihart, 1998). Berdasarkan model
Praty Rahayuningsih, Editor edisi Bahasa indonesia :
adaptasi Stuart menjelaskan bahwa penilaian sese- Sari Kurnianingsih, S.Kp, Copy Edi- tor: Lia astika Sari.
orang terhadap stressor memberikan makna dan Jakarta: EGC.
dampak dari suartu situasi yang menekan dan ditun- Keliat, B.A., dan Akemat. 1996. Proses Keperawatan
jukkan dengan respon kognitif, afektif, respon fisik, Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
respon perilaku dan social (Stuart & laraia, 2005). Marlindawani, J. 2009. Penggunaan Restrain pada
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran Pasien Amuk/Perilaku Kekerasan Ditinjau dari Sudut
dan keperawatan dalam dunia kesehatan, bukan Pandang Etik. http://www.library. upnvj.
ac.id/pdf/2s1keperawatan, diunduh tanggal 26 Juni 201
diperoleh nilai thitung > ttabel (1,759 > 1,697), dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara pendidikan seks terhadap perilaku kekerasan
seksual.

Pengaruh Pendidikan Seksual ABSTRACT


dalam PembelajaranIPA
Terhadap Perilaku Kekerasan This study aims to determine whether there is an
Seksual influence of sex education in learning to the sexual
violence behavior of students in 6th grade at SDN Utan
Kayu Selatan 23 Pagi, East Jakarta. This research
includes quantitative research. The population of this
research is 30 students of 6th grade. The sample of this
1,2,Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA study were taken using a saturated sampling technique.
Data collected by questionnaire. The data were
analyzed using product moment correlation test and
significance test. Through product moment correlation
ARTICLEINFO test obtained r value of 0.29. It can be stated that the
relationship between sex education and the sexual
Article history: violence behavior of students has a positive but low
Article history: relation. The coefficient of determination obtained from
Received 15 February 2018 Received in revised form the calculation is r2 = 29%. This shows that sex
6 March 2018 education variable contributes 29% to sexual violence
Accepted 19 April 2018 Available online 29 May 2018 behavior in 6th grade students of SDN Utan Kayu
Selatan 23 East Jakarta, while 71% is contribution from
Kata Kunci: other factors such as home environment. From the
Pendidikan seksual, perilaku kekerasan seksual, calculation of significance test coefficient obtained
sekolah dasar tcount> ttable (1.759 > 1.697), it can be concluded that
there is a significant influence between sex education
Keywords: on sexual violence behavior..
Sex education, sexual violence behavior, elementary
school Copyright © Universitas Pendidikan Ganesha. All
rights reserved.
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya


pengaruh pendidikan seks di pembelajaran terhadap
perilaku kekerasan seksual siswa kelas VI di SDN Corresponding author.
Utan Kayu Selatan 23 Pagi Jakarta Timur. Penelitian E-mail addresses: deayu2196@gmail.com (Mimin
ini termasuk penelitian kuantitatif. Populasi penelitian Ninawati)
ini adalah 30 siswa kelas VI. Sampel penelitian ini
diambil dengan menggunakan teknik sampling jenuh
dimana seluruh populasi dijadikan sampel. Data
dikumpulkan dengan menggunakan angket. Data
1. Pendahuluan
dianalisis menggunakan uji korelasi product moment
kemudian dilakukan uji signifikansi. Melalui uji
Penelitian tentang kekerasan seksual anak di Indonesia
korelasi product moment diperoleh nilai r sebesar 0,29.
telah banyak dilakukan baik di sekolah maupun di luar
Dapat dinyatakan bahwa hubungan antara pendidikan
sekolah. (Hidayangsih, Tjandrarini, Mubasyiroh, &
seks dan perilaku kekerasan seksual siswa memiliki
Supanni, 20011) dalam penelitiannya menyatakan
hubungan positif meskipun tergolong rendah. Nilai
bahwa remaja laki-laki cenderung berperilaku beresiko
koefisien determinasi yang diperoleh dari hasil
dibanding remaja perempuan. Perilaku pencegahan
perhitungan adalah r2 = 29%. Hal ini menunjukan
perilaku kekerasan seksual oleh orang tua pada anak
bahwa variabel pendidikan seks memberikan
usia sekolah menghasilkan paparan adanya hubungan
sumbangan sebesar 29% terhadap perilaku kekerasan
antara pengetahuan ibu dan sikap ibu dengan perilaku
seksual pada siswa kelas VI SDN Utan Kayu Selatan
pencegahan perilaku kekerasan seksual (Nuari, 2016).
23 Pagi Jakarta Timur, sedangkan 71% merupakan
Dikatakan bahwa perilaku pencegahan perilaku
kontribusi dari faktor-faktor lain seperti lingkungan di
kekerasan seksual dipengaruhi oleh faktor usia anak,
rumah. Dari perhitungan uji signifikansi koefisien
jenis kelamin anak, usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan
ibu, dan pendapatan keluarga. (Nuari, 2016) Penelitian tentang pemberian pendidikan seks saat usia
menyarankan adanya pengembangan pendidikan seks dini yang dilihat dari aspek perilaku ibu, diperoleh
dini melalui kegiatan di masyarakat dalam mencegah beberapa simpulan yaitu (1) terdapat ibu yang sudah
perilaku kekerasan seksual. Hal ini memberi informasi menerapkan pendidikan seks kepada anak tetapi masih
bahwa dibutuhkan pengetahuan tentang pendidikan sederhana terkait jenis kelamin anak, perbedaan laki-
seks termasuk dalam dunia pendidikan untuk laki dan perempuan, dan fungsi organ, (2) perhatian ibu
mencegah perilaku kekerasan seksual. terhadap penanaman pendidikan seks kepada anak lebih
Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui banyak diberikan kepada anak perempuan dibandingkan
fungsi organ reproduksinya sejak dini sehingga anak anak laki-laki, dan (3) pengetahuan ibu terkait
dapat terhindar dari perilaku penyimpangan seksual pendidikan seks masih kurang (Aprilia, 2015). Sekolah
sejak dini (Maryuni & Anggraeni, 2016). Menurut harus berperan aktif terhadap pendidikan seksual,
Wati (2017) Pendidikan seksualitas pada anak dapat sekolah harus memiliki paradigma yang persis terbalik
melindungi anak dari kekerasan dan pelecehan seksual. dengan pandangan negatif pendidikan seks oleh
Pendidikan seks diperlukan untuk menjembatani antara masyarakat umum (Hastuti, 2014). Paradigma
rasa keingintahuan anak tentang hal itu dan berbagai pentingnya pendidikan seks itu penting dan perlu
tawaran informasi yang vulgar, dengan cara pemberian diberikan sedini mungkin harus dimiliki oleh sekolah.
informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, Pendidikan seks untuk jenjang SD dapat dilakukan oleh
lengkap, yang disesuaikan dengan kematangan usianya guru kelas dengan menyisipkan materi pendidikan
(Panjaitan, 2015). Seperti yang dikatakan oleh Septian seksual dalam materi pelajaran yang relevan.
(2014), anak Remaja yang tidak mendapat pendidikan (Wathoni, 2016) meneliti tentang persepsi guru
seks dari keluarga, mayoritas mereka yang memiliki terhadap pendidikan seks bagi anak. Dinyatakan bahwa
rasa ingin tahu yang besar menjadikan teman guru MI berpendapat pendidikan seks bagi anak
pergaulannya sebagai tempat berguru. Di samping itu merupakan hal penting dan harus diajarkan ke anak.
mereka juga mencari-cari informasi sendiri misalnya Terdapat dua faktor yang menjadi alasan pentingnya
dengan menyewa DVD porno atau membeli majalah pendidikan seks bagi anak yaitu ketidakfahaman anak
dewasa. Ketidaktahuan anak tentang seksualitas tanpa tentang pendidikan seks sehingga anak merasa tidak
adanya bimbingan orang tua inilah yang cenderung bertanggung jawab dengan seks atau kesehatan
menyesatkan dan menimbulkan masalah di kemudian reproduksinya dan peran lingkungan dan media yang
hari. menyajikan seks sebagai
Diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara pendidikan dengan tingkat
pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks secara JISD. P-ISSN: 2579-3276 E-ISSN : 2549-6174
dini. Dinyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan
orang tua akan mempermudah orang tua menerima
informasi terkait pendidikan seks dan cenderung
memiliki pola asuh tentang pendidikan seks anak usia komoditi memicu terjadi hal-hal negatif seperti
dini yang baik. Penelitian (Fatmawati & Maulana, hubungan seks di luar nikah, penularan virus HIV, dan
2016) memperoleh hasil pengaruh signifikan lain-lain. Guru memiliki persepsi terkait pembelajaran
pendidikan kekerasan seksual terhadap tindakan mengenai pendidikan seks harus masuk kurikulum
tentang pencegahan perilaku kekerasan seksual pada dengan diintegrasikan pada mata pelajaran yang sesuai
anak. Peran orang tua dan pengawasan serta dukungan misal IPA tentang reproduksi. (Panjaitan, Djuanda, &
kepala sekolah dan guru untuk mempertahankan Hanifah, 2015) Guru harus mampu berperan sebagai
penanaman pendidikan tentang kekerasan seksual model atau contoh bagi anak dan guru berperan sebagai
kepada anak agar anak terhindar dari kekerasan pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar.
seksual. Orang tua memiliki peran penting dalam Menurut Sugijokanto (2014), kekerasan seksual adalah
mendidik anak terkait pendidikan seks anak usia dini suatu kondisi yang merampas hak anak hingga
(Achmad, Sulfasyah, & Nawir, 2016). Terdapat membahayakan nyawanya. Umumnya kekerasan seks
kendala yang dihadapi dalam penanaman pendidikan pada anak dilakukan oleh orang terdekat atau orang
seks anak usia dini yaitu bahasa yang digunakan dalam yang sudah dikenal pelaku. Tapi dapat juga pelaku
mengkomunikasikan pendidikan seks dari orang tua adalah orang yang tidak dikenal sama sekali. Contoh
kepada anak terlalu tinggi untuk dipahami anak dan kekerasan seksual yaitu mempertontonkan anak ke hal
kurangnya perhatian anak kepada orang tua dalam yang pornografi, mempertontonkan anak kepada
menerima pengajaran pendidikan seks dari orang tua. aktivitas seksual, berhubungan seks dengan anak,
Penelitian menyebutkan bahwa 33,4% perilaku ibu meraba-raba organ vital anak, melakukan sodomi
dalam memberikan pendidikan seks dipengaruhi oleh kepada anak, mengintip anak ketika sedang mandi,
faktor pengetahuan. Dipaparkan bahwa pendidikan memandikan anak diatas usia 5 tahun sehingga anak
seks yang tidak diberikan di usia dini mengakibatkan tidak mempunyai rasa malu, memaksa anak meraba
tingginya kekerasan seksual pada anak. Orang tua kelamin pelaku, dan semua tindakan yang bertujuan
dianggap sebagai gerbang perlindungan pertama bagi mengeksploitasi anak secara seksual. Tanda-tanda anak
anak agar dapat terhindar dari kekerasan seksual pada mengalami kekerasan seksual meliputi: mempunyai
anak. Disimpulkan bahwa pendidikan seks sangatlah minat atau pengetahuan yang tidak biasa tentang
penting bagi anak sebagai upaya pencegahan perilaku seksual, mengeluh kesakitan saat buang air
kekerasan seksual. (Sulistianingsih & Widayati, 2016)
besar maupun kecil, memiliki perubahan pola perilaku ini berupa uji normalitas, uji korelasi dan uji
dan emosi, membuat gambar seksual yang tidak pantas signifikansi korelasi. Uji normalitas digunakan untuk
untuk usia mereka, dan anak membenci teman. mengetahui data hasil angket terdistribusi normal atau
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kekerasan tidak. Uji korelasi product moment digunakan untuk
seksual menurut Madani (2014), meliputi faktor menganalisis hubungan antara variabel pendidikan seks
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik, antara dan perilaku kekerasan seksual. Uji signifikansi korelasi
lain: (a) sifat orang tua, biasanya orang tua membawa menggunakan uji t.
sifat-sifat yang berkaitan dengan akhlak, temperamen,
dan kecerdasan yang terkadang turun temurun dari 3. Hasil dan Pembahasan
generasi ke generasi; (b) penyusuan, menyusui anak
memberi andil terhadap munculnya penyimpangan dan Data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan uji
beragam keadaan lain yang akan dialami anak di masa normalitas untuk mengetahui data terdistribusi normal
mendatang; dan (c) hubungan seksual, satu tetes atau tidak. Uji normalitas variabel pendidikan seks dan
sperma berpengaruh terhadap pertumbuhan karakter perilaku kekerasan seksual menggunakan uji liliefors.
dan penerimaan unsur genetik seseorang. Faktor Hasil perhitungan uji liliefors untuk variabe pendidikan
lingkungan, antara lain: (a) ketidaktahuan ayah akan seks (X) dan perilaku kekerasan seksual (Y) dapat
pendidikan seks, kelemahan ayah dalam enguasai dilihat pada Tabel 1 berikut.
kaidah-kaidah tentang perilaku seksual dalam
perkembangannya akan menyebabkan berbagai
penyimpangan seksual anak, (b) rangsang seksual
dalam keluarga, akibat dari kebodohan orang dewasa Mimin Ninawati/ Pengaruh Pendidikan Seksual dalam
terhadap hukum-hukum islam mengenai aturan-aturan Pembelajaran IPA Terhadap Perilaku Kekerasan
tentang seksual hal itu karna meraka selalu Seksual
memberikan stimulus-stimulus secara tidak sengaja
yang merusak pandangan anak tentang perilaku seks
khususnya di dalam rumah, (c) anak tidak terlatih
untuk meminta izin, tidak adanya pelatihan anak untuk Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Data
selalu meminta izin ketika masuk keruangan
orangtuanya menjadi sumber terbuakanya rahasianya Variabel N Lhitung Ltabel Kesimpulan
hubungan seksual suami istri dan jika terlihat oleh X (Pendidikan Seks) 30 0,155 0,161
anak ingatan tentang perilaku sekual akan membekas Data terdistribusi normal
pada diri anak tersebut, (d) tempat tidur yang Y (Perilaku Kekerasan Seksual) 30 0,141
berdekatan, ada sejumlah orangtua yang membiarkan 0,161 Data terdistribusi
anaknya tidur dalam satu ranjang yang terkadang normal
mereka melakukan permainan seksual walaupun tanpa
dibarengi dengan emosi, (e) peniru perilaku seksual, (f) Tabel 1 menunjukkan hasil uji normalitas kedua data
melarang anak bertanya tentang seks, (g) perhiasan penelitian ini. Disimpulkan bahwa baik data variabel
perempuan, (h) berciuman dan menyentuh organ pendidikan seks (X) dan variabel perilaku kekerasan
seksual, (i) keluarga mengabaikan pengawasan seksual (Y) sama-sama terdistribusi normal. Hal ini
terhadap media informasi, (j) teman berakhlak buruk diperoleh dari hasil Lhitung (0,155) lebih kecil dari
(k) perilaku kekerasan seksual, munculnya perilaku Ltabel (0,161) pada variabel pendidikan seks. Untuk
kekerasan seksual karena pendidikan dan pemahaman variabel perilaku kekerasan seksual diperoleh Lhitung
seks yang salah pada anak. Tujuan dari penelitian ini sebesar 0,141 lebih kecil dari Ltabel sebesar 0,161.
bertujuan untuk mengetahui terdapat atau tidaknya Selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan
pengaruh pendidikan seks dalam pembelajaran IPA korelasi product moment. Hasil uji korelasi product
terhadap perilaku kekerasan seksual pada siswa di moment antara variabel pendidikan seks dan perilaku
kelas VI SDN Utan Kayu Selatan 23 Pagi Jakarta kekerasan seksual dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Timur.
Tabel 2. Hasil Uji Korelasi Product Moment
2. Metode
Sumber variasi Nilai
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berupa X 2169
korelasi.. Metode ini dipilih karna sesuai dengan tujuan X2 157527
yang ingin dicapai, yaitu untuk mengetahui seberapa Y 2091
besar pengaruh antara variabel X (pendidikan seks) Y2 145915
dengan variabel Y (perilaku kekerasan seksual). XY 151214
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh n 30
siswa/siswi kelas VI SDN Utan Kayu Selatan 23 Pagi rxy 0,29
Jakarta Timur yang berjumlah 30 siswa. Pengambilan kriteria rendah
sampel dilakukan dengan teknik sampel jenuh. Sampel
yang diambil pada penelitian ini sebanyak 30 siswa.
Tabel 2 memberikan informasi bahwa besarnya nlai
Data pada penelitian ini menggunakan teknik angket.
korelasi antara variabel pendidikan seks dan perilaku
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian
kekerasan seksual sebesar 0,29 dan berkategori rendah. pendidikan seks ini mulai dari media, buku, dan
Berdasarkan infromasi tersebut dapat dikatakan bahwa kosakata yang tepat untuk mengajar, sehingga siswa
adanya pendidikan seks memberi pengaruh yang dapat memahami apa dan tujuan dari pendidikan seks
tergolong rendah terhadap perilaku kekerasan seksual tersebut, yang salah satunya adalah untuk mencegah
siswa. Berdasarkan nilai r hitung yang diperoleh dari semua tindakan pelecehan seksual. Penelitian ini
sebesar 0,29 maka dapat diperoleh koefisien memberikan informasi bahwa guru SDN Utan Kayu
determinasi sebesar 29%. Selanjutnya dilakukan uji Selatan 23 Pagi Jakarta Timur memiliki pemikiran
signifikansi koefisien korelasi dengan menggunakan bahwa pendidikan seks adalah pendidikan bersifat non
uji t. Hasil uji signifikansi dapat dilihat pada Tabel 3 akademik yang artinya pendidikan yang diberikan harus
berikut. efektif pada setiap pembelajaran di kelas dan
lingkungan sekolah. Meskipun prosentase tidak terlalu
Tabel 3. Hasil Uji Signifikansi Koefisien Korelasi besar, namun penelitian ini memberikan gambaran
bahwa variabel pendidikan seks ini memberikan
Sumber variasi Nilai kontribusi positif pada perilaku kekerasan seksual
r 0,29 siswa. Berdasarkan analisis penelitian dapat ditarik
n 30 kesimpulan bahwa pendidikan seks merupakan faktor
t hitung 1,759 yang dibutukan oleh seseorang untuk memahami dan
dk 28 tahu betul apa itu pendidikan seks agar dapat
α 0,05 menghindari dari hal-hal menyimpang dari pendidikan
t tabel 1,697 seks itu sendiri sedangkan perilaku kekerasan seksual
suatu bentuk kejahatan yang harus dihindari dengan
Berdasarkan data pada Tabel 3, diperoleh informasi cara mempelajari pendidikan seks. Sejalan dengan
bahwa nilai t hitung sebesar 1,759 dan nilai t tabel penelitian (Maryuni & Anggraeni, 2016) menyatakan
sebesar 1,697. Karena nilai t hitung lebih besar bahwa pendidikan seks diperlukan agar anak
dibandingkan t tabel (1,759 > 1,697) maka mengetahui fungsi organ reproduksinya sejak dini
disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Hal sehingga anak dapat terhindar dari perilaku
ini berarti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan penyimpangan seksual sejak dini. Hasil penelitian ini
antara pendidikan seks dengan perilaku kekerasan dapat memberikan kontribusi bagi guru untuk
seksual siswa. membudayakan pendidikan seks melalui proses
Pada perhitungan uji t, di peroleh t hitung= 1,759 dan t pembelajaran di sekolah tersebut. Budaya keterlibatan
tabel = 1,679, pada taraf signifikansi 0,005, dan dk 28 pendidikan seks sejak dini di sekolah dapat diterapkan
terlihat bahwa hasil yang diperoleh t hitung lebih besar sehingga mampu mengurangi resiko perilaku kekerasan
dari pada t tabel, (1,759 > 1,697 seksual anak SD. Senada dengan (Hastuti, 2014)
= ttabel). Hasil ini menyebabkan Ho yang menyatakan menyebutkan bahwa sekolah harus berperan aktif
tidak ada pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku terhadap pendidikan seksual, sekolah harus memiliki
kekerasan seksual ditolak, sedangkan Ha diterima. paradigma yang terbalik dengan pandangan negatif
Diterimanya Ha dapat disimpulkan bahwa terdapat pendidikan seks oleh masyarakat umum.
pengaruh antara pendidikan seks terhadap perilaku Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka terbukti
kekerasan seksual. bahwa terdapat hubungan antara pendidikan seks
Dari perhitungan koefisien determinasi (KD) didapat dengan perilaku kekerasan seksual pendidikan seks
hasil 0,29% maka variabel pendidikan seks adalah memberikan pengetahuan yang benar kepada
memberikan sumbangan sebesar 29% terhadap anak yang menyiapkannya untuk bradaptasi secara baik
perilaku kekerasan seksual pada siswa kelas VI SDN dengan sikap-sikap seksual dimasa depan
Utan Kayu Selatan 23 Pagi Jakarta Timur, sedangkan kehidupannya, dan pemberian pengetahuan ini
71% merupakan kontribusi dari faktor-faktor lain menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis
sepeti yang benar terhadap masalah-masalah seksual dan
reproduksi. Kekerasan seksual adalah suatu kondisi
yang merampas hak anak hingga membahayakan
JISD. P-ISSN: 2579-3276 E-ISSN : 2549-6174 nyawanya (Sugijokanto, 2014). Dengan demikian
penelitian ini berimplikasi bahwa pemberian pendidikan
seks kepada siswa dapat memberi pengaruh positif
seperti halnya siswa akan memiliki kepribadian dan
lingkungan di rumah yaitu pola asuh orang tua, moral yang baik, maka hal ini berpengaruh juka untuk
lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, menghindari para perilaku kekerasan seksual.
pengaruh perubahan zaman, pengaruh budaya, teman Memberikan pendidikan seks kepada anak tidak mudah.
sebaya, dan lain-lain. Masih banyak orang tua yang merasa bingung dan tidak
Pendidikan seks dapat diberikan dengan memberikan mengerti kapan dan bangai mana harus memulainya,
penegasan dan pengajaran yang tepat tentang betapa bahkan sebagian diantaranya masih beranggapan bahwa
pentingnya mempelajari pendidikan seks dimulai dari membicarakan masalah seks, apalagi kepada anak,
seorang pendidik yaitu guru. Sebelum mengajar adalah suatu yang kotor dan tidak pantas. Pendidikan
tentang pendidikan seks seorang guru harus memahami seks kepada anak-anak bukan mengajarkan cara
betul tentang segala macam pengajaran untuk berhubungan seks semata, melainkan lebih kepada
uapaya memberikan pemahaman anak sesuai dengan
usianya, mengenai fungsi- fungsi alat seksual dan seks ini perlu dimasukan kedalam kurikulum
masalah naluri alamiah yang mulai timbul. Bimbingan pendidikan di sekolah menengah untuk mengatahui,
mengenai penting menjaga dan melihat organ intim mengantisipasi dan menghindari pergaulan bebas
mereka, di samping juga memberikan pemahaman dikalangan pelajar atau remaja, serta untuk mengurangi
tentang perilaku pergaulan yang sehat serta resiko- dampak negatif lainnya dari minimnya pengetahuan
resiko yang terjadi sangat penting bagi kaula muda dan remaja tentang seks. Materi yang disampaikan harus
anak-anak usia remaja. disertai pengarahan yang benar dan sesuai aturan, agar
Beberapa hal yang menjadi faktor pentingnya informasi yang mereka dapatkan bisa dipahami dan
pengetahuan tentang pendidikan seks: Pertama, dimana tidak disalah gunakan.
anak-anak tumbuh menjadi remaja dan mereka belum Dengan diterapkannya kurikulum tentang pendidikan
mengetahui pendidikan seks yang sesungguhnya. seks di sekolah-sekolah menengah ini tentu tidak
Orang tua mereka masih menganggap itu sebagai hal terlepas dari pro dan kontra baik dikalangan wali murid
yang tabu dan belum tepat untuk disampaikan kepada maupun lingkungan sekitarnya. Diantara hal-hal yang
anak-anak mereka, sehingga dengan ketidakpahaman membuat pihak sekolah, wali murid dan masyarakat
mereka, mereka tidak mengetahui seberapa penting menyetujui atas diterapkannya kurikulum pendidikan
kesehatan organ reproduksinya dan tidak bertanggung seks adalah sebagai berikut : (1) Pendidikan seks di
jawab terhadap organ reproduksinya tersebut. Faktor sekolah-sekolah dapat membantu anak memahami
kedua, karena ketidakpahaman para anak tentang seks dampak dari seks dalam kehidupan mereka, sehingga
dan kesehatan organ reproduksinya. Di lingkungan hubungan seks bebas dikalangan remaja dapat diatasi
sosial mereka, banyak sekali media-media yang dengan memberi dan memeperluas pengetahuan mereka
menyajikan dan menawarkan informasi-informasi yang tentang bahayanya; (2) Pendidikan seks juga menjawab
bersifat pornografi, seperti surat kabar, televisi, semua pertanyaan yang ada dibenak mereka seiring
internet, majalah dan sebagainya. Pengetahuan yang dengan perubahan yang terjadi pada tubuh mereka; (3)
mereka dapatkan tentang seks hanya sebatas Pelecehan seks saat ini semakin marak terjadi di seluruh
pengetahuan yang mereka dapatkan dari media-media dunia, sehingga pendidikan seks ini dapat berperan aktif
tersebut, sehingga saat ini marak terjadi pergaulan dalam menangani masalah penganiayaan dan pelecehan
bebas, hubungan seks diluar nikah dan kehamilan yang seksual ini. Pengetahuan seks yang mereka dapat dari
tidak diinginkan sebagai akibat dari ketidakpahaman sekolah akan jauh lebih baik ketimbang harus
para remaja terhadap seks. membiarkan mereka mencari sendiri informasi tentang
Ada beberapa kelebihan hal yang menjadi faktor materi seks dan pornografi dari internet. Terkadang
pentingnya pengetahuan tentang pendidikan seks. informasi yang mereka dapat dari internet itu hanya
Faktor Pertama, dimana anak-anak tumbuh menjadi akan menyesatkan mereka dan menimbulkan
remaja dan mereka belum mengetahui pendidikan seks pemahaman yang salah.
yang sesungguhnya. Orang tua mereka menganggap itu
sebagai hal yang tabu dan belum tepat untuk 4. Simpulan dan Saran
disampaikan kepada anak-anak mereka, sehingga
dengan ketidakfahaman mereka, mereka tidak Melalui uji korelasi product moment diperoleh nilai r
mengetahui seberapa penting kesehatan organ sebesar 0,29. Dapat dinyatakan bahwa hubungan antara
reproduksinya dan tidak bertanggung jawab terhadap pendidikan seks dan perilaku kekerasan seksual siswa
organ reproduksinya tersebut. Faktor kedua, karena memiliki hubungan positif meskipun tergolong rendah.
ketidakfahaman para anak tentang seks dan Nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari hasil
perhitungan adalah r2 = 29%. Hal ini menunjukan
bahwa variabel pendidikan memberikan sumbangan
sebesar 29% terhadap perilaku kekerasan seksual pada
Mimin Ninawati/ Pengaruh Pendidikan Seksual dalam siswa kelas VI SDN Utan Kayu Selatan 23 Pagi Jakarta
Pembelajaran IPA Terhadap Perilaku Kekerasan Timur, sedangkan 71% merupakan kontribusi dari
Seksual faktor-faktor lain seperti lingkungan di rumah. Dari
perhitungan uji signifikansi koefisien diperoleh nilai
thitung > ttabel (1,759>1,697), dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara
kesehatan organ reproduksinya. Di lingkungan sosial pendidikan seks terhadap perilaku kekerasan seksual.
mereka, banyak sekali media-media yang menyajikan
dan menawarkan informasi-informasi yang bersifat Daftar Rujukan
pornografi, seperti surat kabar, televisi, internet,
majalah dan sebagainya. Pengetahuan yang mereka Achmad, A. N. A., Sulfasyah, & Nawir, M. (2016).
dapatkan tentang seks hanya sebatas penhetahuan yang Peran Orang Tua Terhadap Pengetahuan Seks Pada
mereka dapatkan dari media-media tersebut, sehingga Anak Usia Dini. Jurnal Wquilibrium Pendidikan
saat ini marak terjadi pergaulan bebas, hubungan seks Sosiologi, IV(2), 223–232.
diluar nikah dan kehamilan yang tidak diinginkan
sebagai akibat dari ketidakfahaman para remaja Aprilia, A. (Fakultas K. M. U. D. (2015). Perilaku Ibu
terhadap seks. dalam Memberikan Pendidikan Seks Usia Dini pada
Sebagian besar orang berpendapat bahwa pendidikan Anak Pra Sekolah (Studi Deskriptif Eksploratif di TK
IT Bina Insani Kota Semarang). Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 3(1), 619–628.
Wati, Linda Ratna, Rismaina Putri, Dewi Ariani, Nurul
Fatmawati, L., & Maulana, D. (2016). Pengaruh Hidayah, Subandi Reksohusodo, Yulia Silvani. 2017.
Pendidikan Kekerasan Seksual Terhadap Perilaku Factors Related to the Need of Sexuality Education in
Orang Tua dalam Mencegah Kekerasan Seksual pada Primary School in Gondanglegi Sub-District, Malang
Anak. Journals of Ners Community, 7(2), 188–200. Regency. Journal of Issues in Midwifery, Vol. 1 No. 1,
1-18.
Hastuti, S. (2014). Makalah ini disampaikan dalam
Seminar Sanata Dharma Berbagi ”Pendidikan Seksual
Anak di Masa Sekolah Awal”, Yogyakarta, 8
September 2014 Page 1. In Pendidikan Seksual Anak
di Masa Sekolah Awal (pp. 1–11).

Hidayangsih, P. S., Tjandrarini, D. H., Mubasyiroh, R.,


& Supanni. (20011). Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Perilaku Berisiko Remaja di Kota Makassar
Tahun 2009. Bul. Penelit. Kesehatan, 39(2), 88– 98.

Madani, Y. (2014). Pendidikan Seks Usia Dini Bagi


Anak Muslim. Jakarta: Zahra Publishing House

Maryuni, & Anggraeni, L. (2016). Faktor yang


Berhubungan dengan Tingkat Pengetahuan Orangtua t

JISD. P-ISSN: 2579-3276 E-ISSN : 2549-6174

entang Pendidikan Seks s ecara Dini pada Anak


Sekolah Dasar ( SD ). Jurnal Ners Dan Kebidanan
Indonesia, 4(3), 135–140.
http://doi.org/http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(3)
.135-14

Nuari, N. A. (2016). Analisis Peilaku Pencegahan


Child Sexual Abuse oleh Orang Tua Pada Anak Usia
Sekolah (Analysis Of Child Sexual Abuse Prevention
Behavior By Parents In School Age Children). Jurnal
Ilmu Kesehatan, 5(1), 1–8.

Panjaitan, R. L., Djuanda, D., & Hanifah, N. (2015).


Persepsi Guru Mengenai Sex Education di Sekolah
Dasar Kelas VI. Mimbar Sekolah Dasar, 2(2), 224–
233. http://doi.org/10.17509/mimbar-sd.v2i2.1332.
Mimin Ninawati/ Pengaruh Pendidikan Seksual dalam
Septiawan, Muhammad Haris, Berchah Pitoewas, Dan Pembelajaran IPA Terhadap Perilaku Kekerasan Seksu
Hermi Yanzi. 2014. The Influence Of Sex Education
In The Familyof Children’s Moral Development.
Jurnal Kultur Demokrasi Volume 2 Nomor 8.

Sulistianingsih, A., & Widayati, W. (2016). Hubungan


Pengetahuan dengan Perilaku Ibu Memberikan
Pendidikan Seks Pada Anak. Jurnal Ilmiah Kebidanan,
7(2), 34–43.

Sugijokanto, S. (2014). Cegah Kekerasan Pada Anak.


Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Wathoni, K. (2016). Persepsi Guru Madrasah


Ibtidaiyah Tentang Pendidikan Seks Bagi Anak.
Kodifikasia, 10(1), 2013–227.
Jurnal Keperawatan Volume 10 No 2, Hal 106 - 113, September 2018 ISSN 2085-1049 (Cetak)
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal ISSN 2549-8118 (Online)
Jurnal Keperawatan Volume 10 No 2, Hal 106 - 113, Maret 2018 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kendal
PENGALAMAN KELUARGA MERAWAT PENDERITA SKIZOFRENIA DENGAN
MASALAH UTAMA PERILAKU KEKERASAN
Raphita Diorarta1, Jesika Pasaribu2
RS Sint Carolus. Jl. Salemba Raya No.41.10440. Jakarta-Indonesia
STIK Sint Carolus, Jl. Salemba Raya No.41.10440. Jakarta-
Indonesia jesika@stik-sintcarolus.ac.id

ABSTRAK
Perilaku kekerasan pada penderita Skizofrenia merupakan salah satu proses marah yang diekspresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Pengalaman keluarga
mengenai perilaku kekerasan digunakan sebagai arah dalam memberikan bimbingan dalam
meningkatkan kemampuan keluarga dalam perawatan penderita Skizofrenia dirumah. Penelitian
bertujuan menguraikan pengalaman keluarga dalam merawat penderita skizofrenia dengan masalah
utama perilaku kekerasan. Desain penelitian dengan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan
fenomenologi deskriptif. Partisipan penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang menderita perilaku kekerasan yang sedang dirawat di RSJ Jakarta, sejumlah 6 orang. Data
didapatkan dengan teknik wawancara mendalam dilengkapi catatan lapangan. Wawancara direkam
selanjutnya dibuat transkrip wawancara. Selanjutnya hasil wawancara dianalisa menggunakan teknik
analisa data Collaizi. Hasil penelitian menemukan lima tema yang berhubungan dengan pengalaman
keluarga yang merawat penderita perilaku kekerasan yakni : pengetahuan keluarga mengenai penyakit,
upaya pengobatan, fungsi keluarga, dukungan sosial, dan penerimaan keluarga mengenai kesiapan
merawat. Hasil penelitian memberikan informasi paparan tentang kondisi yang dialami keluarga
tentang pengalaman keluarga dalam merawat penderita Skizofrenia, khususnya dengan masalah utama
perilaku kekerasan. Paparan tersebut dapat dipergunakan sebagai landasan dalam merancang
intervensi keperawatan pada keluarga yang sesuai. Diharapkan adanya peningkatan program
pelayanan kesehatan jiwa keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam
memaksimalkan fungsi perawatan dirumah.

Kata Kunci: Skizofrenia, Perilaku Kekerasan,Pengetahuan Keluarga, Kesiapan Keluarga

THE EXPERIENCES OF FAMILY IN CARING SCHIZOPHRENIC PATIENTS


WITH VIOLENT BEHAVIOR

ABSTRACT
Violent behavior in schizophrenics is one of the angry processes expressed by carrying out threats,
injuring others, and damaging the environment. Family experience regarding violent behavior is used
as a direction in providing guidance in improving the family's ability to care for schizophrenics at
home. The study aims to describe family experience in treating schizophrenics with the main problem
of violent behavior. Research design with qualitative research methods through descriptive
phenomenological approach. The participants of this study were families who had family members
who were suffering from violent behavior who were being treated in Jakarta Hospital, a total of 6
people. Data obtained by in-depth interview techniques equipped with field notes. Recorded
interviews are then made interview transcripts. Furthermore, the results of the interviews were
analyzed using Collaizi data analysis techniques. The results of the study found five themes related to
family experiences that care for sufferers of violent behavior, namely: family knowledge about illness,
treatment efforts, family functions, social support, and family acceptance regarding caring readiness.
The results of the study provide exposure information about conditions experienced by families about
family experiences in treating schizophrenia sufferers, especially with the main problem of violent
behavior. The exposure can be used as a basis for designing nursing interventions in the appropriate
family. It is expected that there will be an increase in family and community mental health service
programs to improve the ability of families to maximize the function of home care.

Keywords: Schizophrenia, Violence Behavior, Family Knowledge, Family Readiness


106
PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan-salah satu gejala positif Jakarta pada tahun 2016. Partisipan penelitian
Skizofrenia, merupakan masalah utama ini berjumlah 6 orang yang merupakan
penyebab penderita dibawa ke RS untuk keluarga yang memiliki hubungan darah yang
mendapat penanganan medis, baik pada onset merawat pasien secara penuh (caregiver) yang
pertama maupun pada kondisi awitan akibat memiliki anggota keluarga penderita
kekambuhan. Gejala ini berpotensi besar untuk Skizofrenia dengan perilaku kekerasan yang
melukai diri sendiri, lingkungan dan dan orang sedang dirawat. Partisipan dipilih berdasarkan
lain. Individu dengan skizofrenia biasanya kriteria yang ada dengan cara Purposive
memiliki masalah emosi. Emosi yang Sampling. Alat pengumpulan data pada
dihasilkan adalah dari interaksi aktivitas saraf penelitian ini yaitu peneliti sendiri dengan
antara hipotalamus, struktur limbik (amygdala menggunakan pedoman wawancara semi –
dan hyppocampus), dan pusat – pusat korteks structured interviews yang menyiapkan
yang lebih tinggi. Kerusakan atau tidak pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk
berfungsi dengan baiknya amygdala dijadikan panduan utama ketika melakukan
tersebutlah yang dapat mengakibatkan wawancara serta dan menggunakan catatan
terjadinya perilaku kekerasan (Stuart, 2016). lapangan. Peneliti mewawancarai partisipan
Selain itu peningkatan aktivitas dopamin juga rata-rata selama 30 menit dan didapatkan telah
berkaitan dengan peningkatan perilaku didapatkan saturasi data pada ke-6 partisipan.
kekerasan. Semakin tingginya kejadian Penelitian dimulai dengan menjelaskan tujuan
skizofrenia kemungkinan akan meningkatkan penelitian lalu membuat kontrak terlebih
kejadian perilaku kekerasan. dahulu dengan calon partisipan yang setuju.
DSM V mengkategorikan bahwa perilaku Data dianalisis menggunakan model Collaizi
kekerasan ini merupakan salah satu tindakan dengan menggunakan aplikasi NVivo untuk
gawat darurat psikiatri yang harus segera membantu proses analisis data dengan cara
ditangani. Keluarga, merupakan kelompok berikut : Peneliti membaca seluruh deskripsi
orang terdekat yang terkena dampak saat fenomena yang telah disampaikan oleh semua
pasien perilaku kekerasan sedang berlangsung. partisipan, membaca berulang kali transkrip
Keluarga memiliki peran penting dalam hasil wawancara dan mengutip pernyataan
pencegahan tindak kekerasan penderita yang dinilai bermakna. Selanjutnya memilih
selanjutnya dan juga peran dalam perawatan pernyataan dalam tranksrip sesuai dengan
pasien. Semakin tinggi pengetahuan keluarga tujuan khusus penelitian. Langkah selanjutnya
tentang kesehatan jiwa akan menilai menentukan kata kunci untuk membentuk
kesanggupan atau kesiapan keluarga dalam kategori dan dirumuskan ke dalam kelompok
melaksanakan perawatan kesehatan penderita sub tema dan tema. Peneliti merangkai tema
perilaku kekerasan. Keluarga merupakan orang yang dirumuskan dari proses analisis data.
yang sangat dekat dengan penderita sehingga Member check/validitas dilakukan dengan
dianggap paling banyak memberikan pengaruh menunjukkan kembali transkrip dan deskripsi
pada kehidupan individu penderita. Sesuai tema yang telah disusun kepada para partisipan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Stover, untuk memastikan bahwa transkrip sesuai
Dahrianis, & Sri (2014) mengatakan bahwa dengan pengalaman keluarga (Polit & Beck,
adanya hubungan antara pengetahuan dan 2012). Peneliti lembali menggabungkan data
kesiapan keluarga dalam merawat penderita hasil validasi ke dalam deskripsi hasil analisis.
perilaku kekerasan di wilayah kerja Peskesmas
Tamanlarea Makasar. Penelitian ini bertujuan Wawancara dilakukan di tempat yang
untuk menguraikan pengalaman keluarga disediakan di RSJ saat keluarga sedang datang
dalam merawat penderita skizofrenia dengan membesuk. Wawancara direkam atas seizin
masalah utama perilaku kekerasan berdasarkan dan sepengetahuan partisipan dengan
di RSJ. Dr. Soeharto Heerdjan. menggunakan alat perekam suara, yakni tape
recorder dan aplikasi perekam. Tidak ada
METODE keluarga yang menolak menjadi informan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Peneliti menerapkan etika penelitian yakni
metode penelitian kualitatif melalui kemanfaatan, menghargai martabat manusia,
pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian keadilan, kerahasiaan, tanpa nama.
ini dilakukan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan-
107
HASIL Tema 2 : Upaya Pengobatan
Latar Belakang Partisipan. Usia partisipan Peneliti menemukan 2 (dua) upaya pengobatan
berada pada rentang 55-65 tahun, sedangkan yang sudah dilakukan keluarga dalam
usia anggota keluarga yang sedang dirawat mencapai kesembuhan. Keluarga sudah
berkisar antara 21-37 tahun. Anggota keluarga berupaya untuk mencoba pengobatan alternatif
yang dirawat sudah pernah dirawat dan pelayanan kesehatan. Semua partisipan
sebelumnya di RSJ, 1 orang baru dirawat 1 menjelaskan bahwa mereka telah mencoba
kali, sementara yang lain berkisar 3-10 kali. pergi ke dukun untuk mendapatkan
Hanya 1 orang partisipan yang berperan kesembuhan. “.....hmm dibawalah kami ke
sebagai ayah sedang 5 partisipan lainnya dukun mana itu di Karawang. ” (K1)
merupakan ibu dari pasien. Peneliti mendapat “Saya sebagai ayah saya sampai 28 orang-
lima tema untuk memaparkan berbagai orang pintar saya sudah kunjungi, benar mbak
berbagai pengalaman keluarga dalam merawat serius. Karena anak saya ini dari pondok
penderita skizofrenia dengan masalah utama pesantren.” (K2)
perilaku kekerasan. Tema-tema tersebut “Bawa ke orang pintar, kemarin di Bogor ada
dihasilkan berdasarkan identifikasi hasil teman yang kasihan sama saya” (K6)
wawancara serta catatan lapangan yang
dilakukan saat wawancara. Setelah keluarga merasa tidak mendapatkan
kesembuhan dari pelayanan alternatif, barulah
Tema 1: Pengetahuan Keluarga mengenai keluarga menempuh cara lain dalam
Penyakit pengobatan yaitu memanfaatkan pelayanan
Peneliti mendapatkan dua sub tema yaitu tanda kesehatan. Keluarga mengambil keputusan
dan gejala sesudah terjadinya perilaku untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
kekerasan atau selama berlangsungnya “Sudah kita tau didekat sini diteleponlah,
perilaku kekerasan dan tanda dan gejalanya kebetulan dekat rumah, dia lah yang terus
sebelum terjadinya perilaku kekerasan atau menjemput ini, kita telepon “jemput pak”
perubahan perilaku yang disadari oleh dijemput, bayar berapa aja yang penting
keluarga.Tanda dan gejala sesudah terjadinya dibawa, (K1)
perilaku kekerasan atau selama “Saya berusaha gimana caranya biar anak
berlangsungnya perilaku kekerasan saya sembuh, jadi ini di luar kemampuan
diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut: saya, karena saya waktu itu mencari kemana –
“Terakhir- terakhir kita pelajari yah kalo mana,” (K2) –K2 mengatakan dengan
wajahnya itu udah mulai sangar diam aja gitu menangis
kan, tangannya suka gini aja enggak mengepal
itu tiba- tiba dia” (K1) - sambil mengepalkan Tema 3 : Pelaksanaan Fungsi Keluarga
tangan. “Yah gitu kalo dia mau marah tuh Seluruh partisipan berusaha memenuhi
matanya merah, udah ketauan. Pandangannya melaksanakan fungsi sebagai keluarga dalam
laen, kalo dia mau kumat” (K4) memenuhi kebutuhan keluarga dalam bidang
kesehatan. Menurut hasil wawancara, partispan
Keluarga juga menyebutkan tanda dan gejala sudah menjalankan fungsi afektif dan fungsi
sebelum terjadinya perilaku kekerasan dilihat perawatan keluarga seperti berikut ini:
dari perubahan perilaku pada pasien perilaku “Jadi pokoknya dia kalo merasa tersinggung
kekerasan, hal ini diungkapkan oleh partisipan apalagi dicela apalagi dikasarin, nah udah.
sebagai berikut : “dia kan rajin ibadah, “ayok Jadi intinya dia dalam posisi standar, jangan
ibadah ayok mak” ambil Alkitab dikasih satu sampai dicela, dihina. ” (K2)
saya satu dia, trus pertama berdoa udah
berdoa mari kita mulai ibadah kita udah gitu Keluarga juga mempertahankan suasana rumah
nyanyi udah nyanyi saya disuruh bikin doa” yang menyenangkan dan menguntungkan
(K1)“awalnya P itu anaknya kalem, untuk menjaga perkembangan kesehatan
alim , kenapa saya juga bingung gitu penderita perilaku kekerasan dengan
loh memberikan motivasi kepada anggota keluarga
mbak kan gak biasanya anak saya kan biasa yang menderita perilaku kekerasan. Fungsi ini
nya kalem alim, rajin ibadah..taat ibadah, masuk ke dalam fungsi afektif keluarga.
tiba “Kasih nasehat dikasih duit sama abang-
– tiba error luar biasa” (K2)
abangnya, semua, mpoknya. “udah bae
jangan
main sama temen-temen R lagi yah, he eh yah, kesembuhan, yang ketiga adanya kita tetap
disini diobatin yah, disuntik yah, makannya tabah dan mencari solusi ikhtiar” (K2)
enak, ya? Besok emak dateng yah, emak “Minta sama yang kuasa ini jalannya dari
bawain kue yah, udah yah. Udah disini yah, Dia kan, kan Dia semua yang ngatur kita kan
pokoknya emak nanti dateng yah” (K3) – K3 minta sama yang kuasa.” (K6)
mengatakan dengan suara terbata-bata hampir
menangis. Tema 5 : Penerimaan Keluarga Mengenai
Kesiapan
Tema 4 : Dukungan Sosial Kesiapan keluarga dalam merawat anggota
Partisipan dalam penelitian ini mendapat peran keluarga dengan perilaku kekerasan
masyarakat (dukungan lingkungan) sekitar dinyatakan oleh seluruh partisipan bahwa
yang menciptakan lingkungan yang penuh mereka memiliki kesiapan dalam merawat
dengan kekeluargaan dan adanya peran perilaku kekerasan di rumah jika dokter telah
masyarakat yang merangkul keluarga dalam mengizinkan anggota keluarga pulang.
merawat penderita perilaku kekerasan sebagai “Jadi begini mbak memang tentunya kita
berikut: apapun harus siap. Yang namanya anak
“Pada kasihan lingkungan saya mah sama apapun itu harus kita rawat. Itu kan amanah”
dia, pada kasih nasihat dia “R lo jangan galak (K2)
sama emak lu, emak lu cape cuci gosok, buat Dalam menghadapi persoalan dan kesulitan
jajan elu kok lu galak sama emak lu” (K3). dalam merawat penderita perilaku kekerasan,
“baik sih, udah tau semua anak saya begini. pada umumnya keluarga akan berserah pada
Udah ngerti semua, kalo dia marah – marah Sang Pencipta. Hubungan dengan Sang
sudah pada tau pada diem.” (K4) Pencipta ini akan memberikan kekuatan pada
keluarga dan kepasrahan kepada Tuhan.
Dukungan informasi sangat penting bagi “Tuhan itu akhirnya menguatkan iman kita
keluarga dalam mempersiapkan keluarga untuk juga, lama-lama kita jadi sabar, sabar berdoa
merawat dan membantu keluarga. Dukungan doa kita didengar Tuhan” (K1)
informasi diungkapkan partisipan sebagai
berikut: Pada penelitian ini ditemukan bahwa partisipan
“Jadi kan saya punya banyak teman, saya mengalami kelelahan fisik selama merawat
punya banyak sodara, jadi karena apa karena anggota keluarga yang menderita perilaku
saya juga minta ini, kan saya ingin gimana sih kekerasan. Hal ini terlihat dari hasil
supaya anak saya bisa sembuh.” (K2) wawancara, sebagai berikut: “..Ini bocahnya
“Tetangga saya juga bilang “bawa aja ke jalan terus, waduh jujur saya suka nyari, kalo
Grogol situ kan pusatnya” tapi bagusnya malam orang tua was-was sampai jam 4 pagi
memang disini, cocok.” (K4) di pinggir jalan, saya tungguin kemana anak
saya kan HP dia gak pegang,” (K2)
Dukungan spiritual dengan kepercayaan
terhadap Tuhan dan berdoa diidentifikasikan
PEMBAHASAN
oleh anggota keluarga sebagai cara yang paling
Pengetahuan Keluarga mengenai Penyakit
penting bagi keluarga untuk mengatasi stresor
Partisipan mengenal beberapa tanda dan gejala
yang berkaitan dengan kesehatan.
karena partisipan mengakui bahwa mereka
“Kadang aku nyari tempat beribadah itu yah
sering memperhatikan tanda dan gejala
kharismatik Katolik kemana kalo ada yang
penderita perilaku kekerasan seperti wajah
ajak kita doa disana yok, tempat mana yang
memerah, tangan mengepal, dan mata melotot.
diberkati Tuhan nanti, dimanalah yang
Sejalan dengan penelitian Wuryaningsih,
dijawab Tuhan doaku ini gitu paling tidak
Hamid, & Helena (2013) yang mengatakan
banyak untungnya kan, lama-lama kita dengar
bahwa partisipan pada penelitian ini mengingat
firman Tuhan itu orang-orang yang percaya
dengan rinci perilaku kekerasan yang
Tuhan” (K1) – K1 mengatakan dengan
dilakukan pasien sebelumnya. Namun bukan
menangis.
berarti mutlak bahwa keluarga cukup mengerti
“Pertama saya istigfar itu agama saya, kedua
tentang kondisi yang dialami pasien. Penelitian
saya bermohon sama Alloh semoga dapat
Marimbe, Cowan, Kajawu, Muchirahondo &
pertolongan agar anak saya dapat
Lund (2016) menemukan tema kebutuhan
keluarga dalam perawatan anggota keluarga
dengan Skizofrenia, salah satunya adalah membawa ke pelayanan medis. Pengikut
pelatihan. Pelatihan yang dimaksud sistem kepercayaan akan kesehatan mistis
dimaksudkan agar keluarga mengetahui religius percaya bahwa daya supranatural
kondisi yang dialami pasien melalui pemberian mempengaruhi kesehatan dan penyakit (Young
informasi secara lisan atau tertulis. Pemberian & Koopsen, 2007). Pengetahuan keluarga yang
pengetahuan ini diharapkan meningkatkan terbatas tentang penyakit pasien dan keyakinan
kemampuan keluarga dalam pengasuhan tertentu membuat keluarga membawa pasien
anggota keluarga dirumah. ke pengobatan alternatif.
Peningkatan kemampuan keluarga dapat Disaat kondisi tidak kunjung membaik,
membantu keluarga dalam memperbaiki serta keluarga akhirnya berupaya mencari informasi
mempertahankan cara perawatan yang baik mengenai pelayanan kesehatan. Proses
dalam pencegahan kekambuhan pada anggota pengambilan keputusan untuk memilih
keluarga yang menderita perilaku kekerasan. sumber pengobatan dimulai dengan
Salah satu cara dalam mencegah kekambuhan menerima informasi, memproses berbagai
dengan cara minum obat teratur sesuai dosis kemungkinan dan dampaknya, kemudian
yang diberikan. Menurut penelitian Suwarsi mengambil keputusan (Supardi dan Susyanty,
(2010), ketika pasien menunjukkan tanda- 2010). Keluarga menempuh berbagai cara
tanda kekambuhan maka keluarga hanya untuk meningkatkan kesehatan mental anggota
menyuruh pasien untuk minum obat. Kepekaan keluarga yang menderita perilaku kekerasan.
mengenai tanda dan gejala tersebut dapat Keluarga mulai memanfaatkan pelayanan
membantu keluarga dalam mencegah fasilitas kesehatan.
terjadinya perilaku kekerasan dan dampak
perilaku kekerasan selanjutnya.
Pelaksanaan Fungsi Keluarga
Keluarga diharapkan dapat lebih mengerti, Keluarga dapat meningkatkan atau
mengetahui dan memahami yang pada mempertahankan suasana rumah yang
akhirnya dapat berperan secara aktif sebagai menyenangkan demi untuk menjaga
pendukung utama bagi penderita yang juga perkembangan kesehatan keluarga yang
akan meningkatkan kemampuan penyesuaian merupakan salah satu dari tugas keluarga.
dirinya serta tidak rentan lagi terhadap Penelitian Perera, Short, dan Fernbacher
pengaruh stresor psikososial (Wulansih & (2014) diperoleh data bahwa posisi sebagai
Widodo, 2008). Keluarga dapat beperan aktif seorang ibu merupakan peran yang sangat
dalam memberikan obat kepada penderita sentral dan membawa dampak yang berarti
perilaku kekerasan dengan mengenal tanda dan pada kehidupan pasien. Ungkapan para ibu
gejala dari perilaku kekerasan tersebut. yang menyatakan bahwa menjadi ibu seorang
Keluarga yang memahami tanda dan gejala penderita Skizofrenia merupakan tantangan
perilaku kekerasan dapat mengontrol obat yang pada hubungan ibu dan anak. Namun kondisi
sudah bekerja dengan baik pada penderita tersebut tidak membuat seorang ibu menyerah
perilaku kekerasan. Keluarga dapat melihat yang tetap bertahan dalam setiap perasaan
kemajuan dari obat yang diberikan dokter dan bersalah dan rasa sayang yang muncul silih
dapat mendiskusikan tentang dosis obat berganti. Sejalan dengan penelitian
dengan dokter pada saat kontrol rutin yang Wuryaningsih, Hamid, & Helena (2013)
juga merupakan salah satu cara mencegah bahwa kepedulian keluarga dilakukan dengan
kekambuhan dan membuat keluarga semakin memotivasi, menjadi pendengar yang baik,
siap dalam merawat. membuat senang, memberi kesempatan
rekreasi, memberikan tanggung jawab, dan
Upaya Pengobatan. kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi
Penelitian ini menemukan fakta unik pada asuhan.
keluarga dimana keluarga membawa anggota
keluarga yang sakit ke dukun (pengobatan Temuan menarik selanjutnya dari studi
alternatif). Namun, saat anggota keluarga yang Aldersey dan Whitley (2015) yang melakukan
tak kunjung mendapatkan perbaikan, maka penelitian pada penderita Skizofrenia yang
keluarga berusaha mencari cara lain untuk yang tidak sedang menjadi pasien. Diketahui
mendapatkan kesembuhan yakni dengan bahwa pasien menganggap sikap mencintai
dan mendukung dari keluarga menjadi menekan stressor yang dialami oleh keluarga
motivasi mereka dalam proses pemulihan. dalam merawat perilaku kekerasan karena
Namun sebaliknya, responden juga informasi yang diberikan dapat mengurangi
mengungkapkan proses penyembuhan menjadi ketakutan keluarga dan menambah
lambat saat keluarga menjadi sumber stres, pengetahuan keluarga dalam merawat.
adanya stigma dan pemaksaan untuk dirawat.
Motivasi dan semangat dari keluarga dapat Dukungan spiritual yang juga menjadi faktor
membantu perilaku kekerasan dalam kesiapan keluarga dalam merawat anggota
meningkatkan status kesehatannya dan keluarganya yang menderita perilaku
diharapkan dapat memberikan perubahan pada kekerasan untuk mengatasi stressor sebagai
perilakunya karena dapat membuat penderita sumber koping yang dihadapi oleh keluarga.
merasa dicintai, tidak dikucilkan dan Sejalan dengan penelitian Hernandez dan
diperhatikan oleh keluarganya. Dukungan Barrio (2015) yang menyatakan ada kala
moral dari keluarga, keluarga yang selalu ada keluarga merasa khawatir namun kepercayaan
membawa dampak positif dalam pemulihan. dan keyakinan spiritual membantu bertahan
dalam menghadapi menghadapi penyakit
Keluarga dapat menjalankan fungsi perawatan anggota keluarga yang dicintai. Dukungan
keluarga karena keluarga mengetahui spiritual yang dialami keluarga mencerminkan
bagaimana cara perawatan perilaku kekerasan penerimaan positif yang berarti kesiapan
di rumah. Pengetahuan keluarga didapatkan merawat kembali di rumah meskipun keluarga
dari pendidikan kesehatan atau psikoedukasi memiliki kelelahan fisik dan perasaan yang
yang diberikan oleh tim medis. Sesuai dengan kurang menyenangkan dalam merawat anggota
yang dikatakan Stuart (2016), bahwa keluarganya yang menderita perilaku
psikoedukasi dirancang terutama untuk kekerasan. Penelitian ini sejalan dengan
pendidikan dan dukungan. Sejalan dengan penelitian Gitasari & Savira (2015), bahwa
penelitian Suryaningrum dan Wardani (2013) faktor yang membuat caregiver tetap mau
yang menyatakan keluarga memiliki merawat yaitu kepasrahan pada Tuhan yang
pengetahuan yang baik karena sering diwujudkan dengan meminta pertolongan pada
mendapatkan informasi maupun pendidikan Tuhan agar mendapat kemudahan dalam
kesehatan tentang cara merawat pasien merawat anak penderita Skizofrenia.
perilaku kekerasan dari petugas kesehatan.
Penerimaan Keluarga Mengenai Kesiapan
Dukungan Sosial Merawat anggota keluarga dengan perilaku
Keluarga mendapatkan dukungan informasi, kekerasan merupakan hal yang tidak mudah
dukungan spiritual, dan dukungan lingkungan dan perjalanan yang panjang terutama bagi
untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai mereka yang menjadi caregiver, walaupun
tujuan. Sesuai dengan penelitian Ngadiran demikian seluruh partisipan menjelaskan
(2010) kebutuhan yang dibutuhkan keluarga bahwa mereka siap merawat kembali anggota
untuk mencapai tujuan dalam merawat keluarga dengan perilaku kekerasan jika sudah
penderita gangguan jiwa adalah dukungan dibolehkan pulang kerumah. Partisipan
keluarga, dukungan informasi, dan dukungan menerima perannya sebagai caregiver karena
lingkungan. Dukungan lingkungan sangat ada ikatan keluarga yaitu orang tua dan anak
diperlukan keluarga dalam merawat anggota menjadikan keluarga siap dalam merawat
keluarga dengan perilaku kekerasan. Perhatian anggota keluarganya kembali. Sirait (2008)
dan dukungan dari lingkungan dapat mengatakan, ikatan keluarga yang kuat
mengurangi stres keluarga dan membuat seseorang mau membantu ketika
mengembangkan strategi koping yang efektif. anggota keluarganya mengalami masalah,
karena ia tahu bahwa anggota keluarganya
Dukungan informasi juga merupakan tersebut sangat membutuhkan pertolongan.
dukungan yang penting dalam mempersiapkan
keluarga untuk merawat penderita perilaku Penelitian ini sejalan dengan penelitian
kekerasan. Pada penelitian ini, dukungan Gitasari & Savira (2015) yang mengatakan
informasi yang diterima memberikan informasi bahwa partisipan menerima perannya sebagai
mengenai pelayanan kesehatan, dan cara caregiver bagi anggota keluarga mereka
merawat. Dukungan informasi juga dapat dengan skizofrenia. Proses penerimaan yang
dialami oleh keluarga mengenai penyakit Saran
skizofrenia bukanlah hal yang mudah. Pada Pengetahuan kelaurga tentang cara perawatan
penelitian ini seluruh partisipan sudah dirumah seperti pengenalan tanda dan gejala
menerima anggota keluarga dengan perilaku perilaku marah dan gejala kekambuhan perlu
kekerasan dengan utuh, hal ini terlihat dari ditingkatkan melalui kegiatan edukasi keluarga
keluarga yang menerima semua sebagai yang berkelanjutan.
amanah atau ujian yang diberikan Tuhan
kepada mereka dan tetap menjalankan
DAFTAR PUSTAKA
perawatan untuk memperoleh kesembuhan.
Aldersey, H. M., & Whitley, R. (2015). Family
Penelitian Richardson, Cobham, Mcdermott,
influence in recovery from severe
dan Murray (2013) memengungkapkan
mental illness. Community Mental
tantangan pada keluarga seperti kehilangan
Health Journal, 51(4), 467-476.
kepercayaan dari orang lain, kehilangan
http://dx.doi.org/10.1007/s10597-014-
keluarga dan mengalami proses berduka
9783-y Retrieved from
keluarga. Penderitaan yang dialami keluarga
https://search.proquest.com/docview/16
tidak menyurutkan kesiapan keluarga dalam
80392703?accountid=25704
merawat. Keluarga tetap memenuhi kebutuhan
atas pengobatan dan kebutuhan lainnya.
Gitasari, N., & Savira, S. I. (2015).
Pengalaman Family Caregiver Orang
Seirama dengan penelitian Wardhani &
Dengan Skizofrenia. Jurnal Psikologi,
Asyanti (2015) bahwa keluarga yang mempu
Fakultas Ilmu Pendidikan, 1 - 8.
menerima pasien skizofrenia seutuhnya
tercermin dari sikap tindakan memasrahkan
Hernandez, M., & Barrio, C. (2015).
kepada Alloh SWT dan mengupayakan
Perceptions of subjective burden among
perawatan pasien agar mencapai kesembuhan.
latino families caring for a loved one
Dukungan orang tua dan anggota keluarga juga
with schizophrenia. Community Mental
diharapkan diberikan kepada pasien. Penelitian
Health Journal, 51(8), 939-948.
Seeman (2013) menunjukkan bukti bahwa
http://dx.doi.org/10.1007/s10597-015-
saudara(sibling) juga menyatakan kesediaan
9881-5 Retrieved from
dalam merawat pasien, terutama saat orang
https://search.proquest.com/docview/17
tuanya sudah tidak dapat lagi merawat pasien.
25368266?accountid=25704
Penerimaan positif seluruh anggota keluarga
dengan kesiapan merawat pasien akan Marimbe, B. D., Cowan, F., Kajawu, L.,
membantu keluarga menghadapi masalah Muchirahondo, F., & Lund, C. (2016).
dengan lebih konstruktif dan mempercepat Perceived burden of care and reported
pemulihan pasien. coping strategies and needs for family
caregivers of people with mental
SIMPULAN DAN SARAN disorders in zimbabwe. African Journal
Simpulan of Disability, 5(1), 1-9.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh lima tema http://dx.doi.org/10.4102/ajod.v5i1.209
yang mengungkapkan pengalaman keluarga, Retrieved from
antara lain pengetahuan keluarga mengenai https://search.proquest.com/docview/18
penyakit,upaya pengobatan, fungsi keluarga, 22085514?accountid=25704
dukungan sosial dan penerimaan keluarga Ngadiran, A. (2010). Pengalaman Keluarga
mengenai kesiapan merawat. Penelitian ini Tentang Beban Dan Sumber Dukungan
memberikan pemahaman tentang pengalaman Dalam Merawat Pasien Dengan
keluarga dalam merawat penderita skizofrenia Halusinasi. Thesis Universitas
dengan masalah utama perilaku kekerasan. Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Penerimaan keluarga untuk menghadapi Perera, D. N., Short, L., & Fernbacher, S.
kesiapan merawat kembali di rumah (2014). There is a lot to it: Being a
dipengaruhi oleh pengetahuan dan dukungan- mother and living with a mental
dukungan sosial yang diterima. illness. Advances in Mental
Health, 12(3), 167-181. Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/16
44454849?accountid=25704
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2012). Nursing Reasearch; Generating And Assesing Evidence For Nursing
Practice. China:
J.B. Lippincott Company.
Richardson, M., Cobham, V., Mcdermott, B., & Murray, J. (2013). Youth mental illness and the
family: Parents' loss and grief. Journal of Child and Family Studies, 22(5), 719-736.
http://dx.doi.org/10.1007/s10826-012- 9625-x Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/13 66514129?accountid=25704
Seeman, M. V. (2013). Spotlight on sibling involvement in schizophrenia treatment. Psychiatry,
76(4), 311-22.
http://dx.doi.org/101521psyc201376431
1 Retrieved from https://search.proquest.com/docview/14 66279931?
accountid=25704
Sirait, A. (2008). Pengaruh Koping Keluarga terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi
Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tesis Universitas Sumatera
Utara, 82 - 100.
Stover, E. Y., Dahrianis, & Sri , P. R. (2014). Hubungan Pengetahuan Terhadap Kesiapan Keluarga
Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tamanlarea Makasar.
Jurnal Stikes Nani Hasanuddin Makasar, 1 - 5.
Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Elsevier: Singapura.
Editor : Budi Anna Keliat dan Jesika Pasaribu
Supardi, S., & Susyanty, A. L. (2010). Penggunaan Obat Tradisional Dalam Upaya Pengobatan Sendiri
Dl Indonesia
(Analisis Data Susenas Tahun 2007) . Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Dan
Kebijakan Kesehatan Jakarta, 1 - 10.
Suryaningrum, S., & Wardani, I. Y. (2013). Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan
Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1 - 8.
Suwarsi. (2010). Hubungan Peran Serta Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien
Skizofrenia Di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan I Bantul. 1 - 12.
Wardhani, R. S., & Asyanti , S. (2015). Penerimaan Keluarga Pasien Skizofrenia Yang Menjalani
Rawat Inap Di Rsj . Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta , 1 - 9.
Wulansih, S., & Widodo, A. (2008). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluarga
Dengan Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Di RSJ di Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan, 3
- 6.
Wuryaningsih, E. W., Hamid, A. Y., & Helena, N. (2013). Studi Fenomenologi: Pengalaman
Keluarga Mencegah Kekambuhan Perilaku Kekerasan Pasien Pasca Hospitalisasi RSJ. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 6 - 8.
Young, C., & Koopsen, C. (2007). Spiritual, Kesehatan, Dan Penyembuhan. Medan: Bina Media
Perintis.
PERILAKU KEKERASAN VERBAL SEBAGAI DAMPAK PAJANAN TAYANGAN
KEKERASAN DALAM SINETRON STUDI KASUS TERHADAP SISWA SMPN 3 KOTA
SERANG

Dase Erwin Juansyah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Daseerwin77@untirta.ac.id

Odien Rosidin
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa odienrosidin@untirta.ac.id

John Pahamzah
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa jpahamzah@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini merupakan studi mendalam tentang dampak pajanan sinetron remaja di televisi
swasta nasional terhadap perilaku kekerasan verbal oleh siswa Sekolah Menengah Pertama
Negeri 3 Kota Serang. Penelitian ini memiliki karakteristik yang relevan dengan penelitian
kualitatif. Berdasarkan tujuan dan data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan metode
deskriptif. Penyediaan data dilakukan dengan menerapkan metode simak. Peneliti menyimak
tuturan-tuturan dalam dialog sinetron remaja yang ditayangkan SCTV, RCTI, MNC TV, dan
Indosiar. Metode simak dilakukan dengan menerapkan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik
lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat. Responden penelitian ini
sebanyak 30 orang siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Kota Serang. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan metode analisis kontekstual. Bentuk-bentuk kekerasan verbal
yang ditemukan dalam sinetron remaja di televisi swasta nasional yang ditonton oleh para siswa
adalah kutukan, menghina, memarahi, menampar, berteriak, memaksa, mengancam, dan
menuduh. Sebagian besar responden menyadari bahwa pertunjukan sinetron mengandung konten
kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Sebagian besar responden mengakui bahwa mereka suka
meniru adegan kekerasan verbal, baik ketika di lingkungan sekolah maupun di rumah.

Kata Kunci: Kekerasan Verbal, Sinetron Remaja, dan Televisi.

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita, kehadiran media massa sudah bukan hal yang asing. Alat komunikasi,
seperti televisi, radio, koran, dan film adalah hal yang biasa (Tulasi, 2012:137). Hari ini nyaris
tidak ada anak yang tidak dapat mengakses media, baik media cetak, elektro- nik, maupun
internet. Semua jenis media tersedia dengan bebasnya. Penekanan khusus di sini dapat diberikan
kepada media elektro- nik televisi karena anak-anak lebih mengge- marinya. Ditambah
kenyataan hampir tidak ada rumah di Indonesia hari ini yang tidak memiliki televisi kecuali
karena sebab khusus (Muzayyad, 2011:5).
Menurut Andina (2014:119), kekerasan seakan menjadi bagian keseharian kita. Masya- rakat
diberi tayangan dan informasi kekerasan dari berbagai penjuru: televisi, media sosial, tempat
kerja, sekolah, jalanan, bahkan orang- orang terdekat. Selanjutnya, Sitompul (2016:
31) menyatakan bahwa hampir semua tayang- an di televisi memuat adegan kekerasan di
dalamnya, mulai dari program informasi kri- minal, berita, film, sinetron, reality show, iklan,
dan bahkan film kartun pun yang merupakan tayangan anak-anak memuat adegan kekerasan.
Kekerasan adalah hal yang paling banyak mewarnai acara-acara televisi saat ini, baik lokal
maupun impor. Kekerasan terdapat dalam tayangan berita ataupun hiburan, seperti sinetron,
movie, sinema, kartun bahkan dalam tayangan acara anak-anak. Kekerasan telah menjadi
fenomona umum yang tersaji mulai dalam acara berita hingga humor sebagai tontonan hiburan
(Amelia dan Fitriyani, 2016: 194). Menurut Bushman dan Anderson (2012), keterpaparan
terhadap kekerasan media menyebabkan peningkatan agresi yang signifikan. Dalam konteks itu,
dampak dari menonton tayangan televisi adalah adanya kecenderungan perilaku meniru setiap
adegan. Berkait dengan paparan tersebut, Har- yatmoko (2007:110) menyatakan bahwa dalam
kekerasan terkandung dominasi terhadap pihak lain dalam pelbagai bentuknya: fisik, verbal,

moral, atau melalui gambar. Penggunaan ke- kuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak
benar, pengondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan
ungkapan nyata kekerasan. Selan- jutnya, Poerwandari (2004:13) berpendapat bahwa kekerasan
dapat dibatasi sebagai tin- dakan yang sengaja (intensional) untuk me- maksa, menaklukkan,
mendominasi, mengen- dalikan, menguasai, menghancurkan, melalui cara-cara fisik, psikologis,
deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya dalam beragam bentuknya. Atau, tindakan yang
mungkin tidak disengaja, bukan intensional, tetapi didasari oleh ketidaktahuan (ignorancy),
kekurang- pedulian, atau alasan-alasan lain, yang menye- babkan subjek secara langsung atau
tidak lang- sung terlibat dalam upaya pemaksaan, penak- lukan, penghancuran, dominasi, dan
peren- dahan manusia lain.
Simpen (2011:450) menguraikan bahwa
selama ini istilah kekerasan hanya dimaksudkan sebagai kekerasan fisik. Misalnya, pemukulan,
penganiayaan, atau pembunuhan. Dengan demikian, tindakan seseorang atau kelompok yang
dianggap melakukan kekerasan hanyalah mencakup: pemukulan, penganiayaan, pem- bunuhan,
dan atau perusakan terhadap barang atau bangunan orang lain. Kekerasan tidak di-
sangkutpautkan dengan dampak mental, seperti penghinaan, fitnah, menyindir, meng- ancam,
membentak, menghardik, dan mencaci maki.
Penelitian yang berkaitan dengan feno- mena kekerasan verbal dengan segala bentuk
perwujudannya telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu dengan tujuan dan metode
yang berbeda-beda, antara lain (1) Elga Andina (2014) yang melakukan penelitian berjudul
“Anime dan Persepsi Budaya Keke- rasan pada Anak Usia Sekolah”; (2) Rahim Sitompul (2016)
yang melakukan penelitian berjudul “Pengaruh Tayangan Kekerasan di Televisi terhadap
Perilaku Agresif Siswa Kelas IV SD Negeri 020275 Binjai Timur”; dan (3) Riski Amelia dan
Ruri Fitriyani (2016) yang

melakukan penelitian berjudul “Hubungan Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan di Televisi


dengan Perilaku Agresif yang Dilaku- kan Anak Usia Sekolah di Madrasah Diniyah Awaliyah
Nurul Huda Pajar Bulan”.
Penelitian Elga Andina (2014) dilatar- belakangi oleh meningkatnya kasus kekerasan dan
bullying sesama murid sekolah yang me- nimbulkan kekhawatiran. Ada pihak yang menganggap
terpaparnya anak-anak usia sekolah dengan tayangan kekerasan seperti anime yang menjadi
penyebab. Akan tetapi, anime tidak saja menampilkan adegan agresi, tetapi menyisipkan nilai-
nilai positif yang perlu ditiru anak-anak. Berdasarkan data yang di- kumpulkan dari forum
anime, ditemukan ide- ide seperti kerja keras, pantang menyerah, senang membantu, dan setia
kawan merupa- kan hal yang menonjol dari anime. Oleh karena itu, perilaku kekerasan anak usia
sekolah dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Penelitian Rahim Sitompul (2016) dilaku-
kan untuk mengetahui pengaruh tayangan ke- kerasan di televisi terhadap perilaku agresif siswa
kelas IV SD Negeri 020275 Binjai Timur dengan populasi sebanyak 25 orang dan sam- pel
dengan 25 responden. Penelitian ini berjenis eksperimen dengan menggunakan regresi linear
sederhana. Berdasarkan perhitungan, variabel tayangan kekerasan di televisi berada pada
kategori sering memiliki rata-rata sebesar 40, 68. Sementara itu, variabel perilaku agresif pada
kategori sering memiliki rata-rata sebesar 80, 08. Hasil statistik uji linear antara kedua variabel
diperoleh f hitung < f tabel, yaitu 1,107 <4, 28. Berdasarkan temuan itu disim- pulkan bahwa
hipotesis Ha yang dirumuskan, yakni tayangan kekerasan verbal di televisi berpengaruh terhadap
peri-laku agresif siswa. Penelitian Riski Amelia dan Ruri Fitriyani (2016) dilakukan dengan
tujuan mengetahui hubungan intensitas menonton tayangan ke- kerasan di televisi dengan
perilaku agresif yang dilakukan anak usia sekolah di Madrasah Di- niyah Nurul Huda Pajar
Bulan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hu-

bungan intensitas menonton tayangan keke- rasan di televisi dengan perilaku agresif yang
dilakukan anak usia sekolah di Madrasah Diniyah Nurul Huda Pajar Bulan. Semakin tinggi
intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi, semakin tinggi perilaku agresif. Subjek yang
diteliti sebanyak 70 orang siswa kelas III dan IV yang berumur 10—12 tahun. Pengumpulan data
dilakukan dengan meng- gunakan dua skala, yaitu skala intensitas menonton tayangan kekerasan
di televisi dan skala perilaku agresif. Metode analisis data yang digunakan untuk menguji
hipotesis adalah dengan analisis regresi sederhana. Hasil analisis yang diperoleh adalah
koefisien korelasi sebesar R=0,807 dengan p = 0,000 (p< 0, 01), artinya hipotesis diterima.
Dari hasil peninjauan terhadap penelitian tersebut, diperoleh gambaran bahwa peneliti- an
tentang kekerasan verbal yang terdapat di dalam tayangan sinetron remaja di televisi swasta
nasional dan dampaknya terhadap perilaku kekerasan verbal siswa sekolah me- nengah pertama
belum dilakukan oleh peneliti lain. Selain itu, penelitian-penelitian tersebut tidak ada yang
menghasilkan temuan terkait dengan rumusan perilaku kekerasan verbal di lingkungan sekolah
yang terjadi sebagai dam- pak pajanan tayangan kekerasan di televisi. Dengan demikian, temuan
dan hasil yang di- capai penelitian ini berbeda dengan penelitian- penelitian sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang masalah ter- sebut, penelitian ini merupakan studi men- dalam
terhadap dampak sinetron remaja di televisi swasta nasional terhadap perilaku keke- rasan verbal
yang dilakukan siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang. Sinetron remaja di televisi
nasional dibatasi dalam pe- nelitian ini sebagai sinetron yang mengangkat tema seputar kisah
kehidupan anak muda atau remaja dengan segala problematikanya yang ditayangkan di stasiun
televisi swasta serta populer di masyarakat sehingga memiliki ra- ting tinggi. Stasiun televisi
swasta tersebut dipilih karena memiliki program tayangan

sinetron yang cukup banyak dan variatif. Si- netron yang dipilih untuk diteliti adalah sinet- ron
yang tayang sore hari sampai malam hari dengan pertimbangan ditonton oleh anak sekolah,
termasuk siswa sekolah menengah pertama (SMP) karena mereka sudah pulang dari sekolah.
Penelitian ini dianggap memiliki relevansi dengan kajian semantik dan pragmatik, khu- susnya
telaah dengan objek sinetron remaja yang selama ini jarang dibicarakan dalam kon- teks
pembahasan semantik atau pragmatik. Pemahaman secara menyeluruh dan men- dalam terhadap
kekerasan verbal diharapkan dapat memperkaya wawasan sekaligus me- mecahkan
permasalahan yang terkait dengan perilaku kekerasan verbal, khususnya yang dilakukan siswa di
lingkungan sekolah.

KAJIAN PUSTAKA
Kekerasan verbal adalah kekerasan yang menggunakan bahasa, yaitu kekerasan yang
menggunakan kata-kata, kalimat, dan unsur- unsur bahasa lainnya. Diungkapkan oleh Bar- yadi
(2012:36) bahwa kekerasan verbal ter- wujud dalam tindak tutur yang dapat disebut sebagai
tindak tutur kekerasan. Tindak tutur kekerasan, selain ditandai oleh intonasi yang tinggi, juga
ditandai kelugasan pengungkapan serta kata-kata yang menyakitkan hati, misal- nya kata-kata
jorok atau kata-kata makian yang merendahkan pihak lain.
Menurut Simpen (2011:454), kekerasan verbal merupakan tindakan berbahasa yang
menyebabkan tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain,
kekhawatiran orang lain, dan terancamnya orang lain. Dalam penjelasan berikutnya, Simpen
(2011:465) menyatakan bahwa ber- tolak dari pengertian kekerasan, dapat dibuat klasifikasi
mengenai jenis-jenis tindakan ber- bahasa yang dianggap merupakan kekerasan verbal.
Kekerasan verbal, antara lain menyin- dir, memfitnah, menuduh, mengejek, me- nakut-nakuti,
mencaci maki, dan mengancam.

Baryadi (2012:37—38) memaparkan bahwa tindak tutur kekerasan dapat dibeda- kan menjadi
empat jenis, yaitu (a) tindak tutur kekerasan tidak langsung; (b) tindak tutur kekerasan langsung;
(c) tindak tutur kekerasan represif; dan (d) tindak tutur kekerasan alie- natif. Tindak tutur
kekerasan tidak langsung adalah kekerasan verbal yang tidak seketika itu juga mengenai korban,
tetapi melalui me- dia atau proses berantai. Tindak tutur keke- rasan tidak langsung, misalnya
terwujud dalam fitnah, stigmasi, dan penstereotipan (stereotyp- ing). Tindak tutur kekerasan
langsung adalah tindak kekerasan yang langsung menimpa pada korban pada saat komunikasi
verbal berlangsung. Tindak tutur kekerasan alienatif adalah tindak tutur yang bermaksud men-
jauhkan, mengasingkan, atau bahkan mele- nyapkan korban, dari komunitas atau masya-
rakatnya.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini memiliki karakteristik yang relevan dengan penelitian kualitatif, yakni prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
yang dapat diamati (Moleong, 2000:3). Sejalan dengan itu, Miles dan Huberman (1992:15)
menyatakan bahwa salah satu hal yang terdapat di dalam penelitian kualitatif adalah data yang
muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Ber- dasarkan tujuan dan data yang
diperoleh, pe- nelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni bertujuan membuat gambaran,
lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data sifat-sifat, serta hubungan
fenomena- fenomena yang diteliti untuk mencapai kepa- daan eksplanatif (explanative
adequacy).
Penyediaan data penelitian ini dilakukan dengan mengimplementasikan metode simak. Peneliti
menyimak seluruh tuturan di dalam sinetron remaja yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI,
Indosiar, dan MNC setiap hari dari pukul 16.00 s.d. 23.00 masing-masing selama

satu Minggu, yakni Minggu ke-2 Oktober 2019. Penyimakan dilakukan untuk menemu- kan
tuturan yang mengekspresikan kekerasan verbal. Jenis metode simak yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah simak bebas libat cakap (SBLC) sebab peneliti hanya menyimak tuturan di
dalam sinetron remaja yang dita- yangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC. Metode simak
dilakukan dengan me- nerapkan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik itu dilakukan terhadap
tuturan di dalam sinetron remaja yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC yang
me- representasikan kekerasan verbal.
Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat. Teknik ini digunakan
untuk menjaring data dengan cara mencatat hasil penyimakan dan penyadapan. Pencatatan data
disesuaikan dengan identifi- kasi masalah penelitian dan disertai interpretasi yang diperlukan,
yakni penafsiran dan argu- mentasi terhadap semua data yang ditemu- kan dari sumber data.
Untuk mengumpulkan data tindak tutur yang merepresentasikan kekerasan verbal dalam
tayangan sinetron digunakan perekam- an atau pencatatan dengan menggunakan lembar
pengamatan. Adapun data kekerasan verbal yang dilakukan oleh siswa yang dipe- ngaruhi
intensitas menonton tayangan sinetron dijaring dengan menggunakan instrumen berupa
kuesioner, yang disusun dan dibagikan kepada responden untuk mendapatkan data terpancing.
Responden penelitian ini adalah siswa SMPN 3 Kota Serang. Peneliti ini menetapkan jumlah
responden dengan menggunakan tek- nik pengambilan sampel atau contoh dengan teknik
purposive sampling. Dalam hal ini, siswa yang dipilih sebagai responden adalah siswa kelas VII,
VIII, dan IX sebanyak 30 orang. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa setiap jenjang
kelas akan terwakili se- hingga sifat atau karakter siswa sekolah me- nengah pertama dapat
tergambarkan secara representatif.

Dalam penelitian ini, analisis data dilaku- kan dengan menggunakan metode analisis
kontekstual, yakni analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhi- tungkan,
dan mengaitkan identitas konteks- konteks yang ada. Pada tahap analisis, data yang sudah
terkumpul melalui kuesioner se- lanjutnya dipilah-pilah dengan teknik iden- tifikasi. Dengan
teknik ini, data dapat diklasi- fikasi berdasarkan jenis data. Setelah data dikla- sifikasikan, data
yang tersedia dideskripsikan, dinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka teori yang
dijadikan landasan. Data intensitas menonton sinetron remaja dan keke- rasan verbal yang
diperoleh melalui jawaban kuesioner, selanjutnya dianalisis secara kualita- tif untuk memperoleh
temuan bentuk keke- rasan verbal yang dipengaruhi oleh tayangan kekerasan dalam sinetron
yang ditonton. Data yang telah diklasifikasikan oleh peneliti se- lanjutnya dideskripsikan sesuai
dengan teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini.

ANALISIS DATA
DAN HASIL PENELITIAN
Berdasarkan tanyaan kuesioner terhadap 30 orang responden, diperoleh jawaban bahwa siswa
memiliki kebiasaan menonton televisi dengan durasi dan frekuensi yang ber- beda-beda. Namun,
temuan yang menarik adalah terdapat dua orang responden yang menjawab bahwa mereka
menonton televisi lebih dari dua jam setiap hari. Jawaban res- ponden tersebut menggambarkan
fakta bahwa setiap hari, siswa tidak pernah luput atau tertinggal menonton acara-acara di
televisi.
Berdasarkan jawaban responden, tam- pak bahwa acara yang paling banyak digemari adalah
sinetron dan film. Hal ini menunjukkan kedua jenis tayangan televisi tersebut merupa- kan acara
yang digandrungi oleh sebagian anak sekolah atau remaja. Beberapa alasan yang di- kemukakan
oleh responden terkait dengan sinetron sebagai acara yang digemari adalah
(1) sinetron menghibur dan tidak membosan-

kan; (2) sinetron itu menarik dan mengasyik- kan; (3) sinetron itu menampilkan pemain atau
bintang yang menarik; (4) sinetron itu seru untuk ditonton; (5) sinetron ada pelajarannya atau
hikmahnya untuk remaja; (6) menonton sinetron itu sangat cocok dengan jiwa remaja; dan (7)
sinetron menceritakan hal yang me- narik sehingga tidak membosankan.
Judul sinetron yang paling banyak dipilih sebagai sinetron yang digemari oleh respon- den
adalah (1) Cinta Karena Cinta, (2) Cinta Anak Muda, (3) Anak Langit, dan (3) Azab. Dari
keempat judul yang paling banyak dipilih oleh responden, terdapat satu sinetron, yakni Azab
yang segmentasinya tidak secara khusus membidik kaum remaja. Artinya, sinetron ini adalah
sinetron yang ditujukan kepada umum. Hal itu berbeda dengan judul-judul sinetron lainnya yang
langsung membidik segmentasi penonton anak muda, termasuk remaja. Dalam konteks itu,
sinetron-sinetron tersebut secara spesifik bertema percintaan dengan segala pernak-perniknya.
Stasiun televisi SCTV merupakan stasiun televisi yang dipilih oleh 20 responden. Hal itu
menunjukkan bahwa stasiun ini memiliki tayangan sinetron yang lebih banyak atau do- minan
dibandingkan stasiun televisi lain. Dengan demikian, tidak mengherankan bila SCTV banyak
disukai kalangan penonton remaja, termasuk siswa sekolah menengah pertama (SMP). Sinetron
di stasiun televisi ini memiliki jam tayang yang cukup banyak di- bandingkan mata acara
lainnya.
Berdasarkan jawaban responden, diketa- hui bahwa hampir setiap hari, di televisi dita- yangkan
acara sinetron dengan jam tayang yang berbeda-beda. Selain itu, berdasarkan jawaban
responden, diketahui bahwa siswa menonton sinetron hampir setiap hari, yakni ada yang
menonton siang hari, sore hari, atau- pun malam hari. Hal itu sejalan dengan waktu luang yang
mereka miliki, yakni sepulang sekolah sampai sebelum tidur bila tidak ada aktivitas lain.
Responden menganggap sinet- ron remaja di televisi memberi manfaat selain

hanya bersifat hiburan. Dalam konteks itu, responden beralasan bahwa sinetron tidak selamanya
menampilkan atau menyajikan hal- hal yang tidak berguna. Dengan demikian, bagi mereka,
kesukaan menonton sinetron tidak berdampak kerugian.
Sebagian besar responden tahu dan me- nyadari bahwa dalam tayangan sinetron di televisi
terdapat konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Untuk mengetahui jenis tindak kekerasan
verbal yang dilihat responden ketika menonton tayangan sinetron, respon- den diminta untuk
menyebutkan contoh- contoh kekerasan verbal yang mereka ketahui. Berikut ini adalah jawaban
yang dikemukakan oleh responden.

No. Tindakan Kekerasan Verbal yang Ditemukan dalam Sinetron


1. mengusir ibu sendiri
2. membuli/merisak
3. memfitnah
4. mencaci maki
5. menggertak orang tua
6. memaki dengan kata kasar
7. memarahi
8. menghina
9. meremehkan
10. mengejek
11. merendahkan
12. menyinggung perasaan
13. menuduh/menuding
14. memarahi
15. membentak
16. menghardik
17. mengusir
18. mengancam
19. menakut-nakuti
20. menantang
21. mencela

Jawaban responden tersebut menunjuk- kan bahwa sebenarnya mereka menyadari bahwa dalam
tayangan televisi terdapat ujaran yang merepresentasikan tindakan kekerasan verbal. Tindakan
tersebut menjadi bagian dari dialog yang dilakukan oleh para tokoh peme- ran. Meskipun
tayangan sinetron remaja yang ditonton oleh responden bermuatan konten kekerasan verbal,
ternyata berdasarkan jawab- an responden, sebagian besar menyatakan bahwa mereka menonton
sinetron tanpa di- dampingi oleh orang dewasa, baik orang tua maupun saudara. Alasan yang
dikemukakan

oleh responden yang menjawab tidak didam- pingi oleh orang tua saat menonton sinetron adalah
sebagai berikut: (1) orang tua mereka sibuk kerja/berwira usaha; (2) malu; (3) me- rasa lebih
nyaman atau enak menonton sendiri;
(4) orang tua tidak mengharuskan; dan (5) sinet- ron yang ditonton bukan acara yang mencon-
tohkan bahaya atau hal yang tidak pantas.
Sebenarnya, risiko bahaya yang akan muncul sebagai dampak menonton sajian konten kekerasan
di dalam sinetron diketahui oleh para responden. Hal itu tampak dari jawaban responden yang
sebagian besar mengungkapkan bahwa mereka menyadari risiko atau bahaya terlalu banyak
menonton tayangan sinetron yang mengandung konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal.
Meski- pun demikian, terdapat responden yang men- jawab bahwa mereka tidak mengetahui
risiko atau bahaya menonton sinetron. Bahkan, ter- dapat satu orang responden yang menjawab
tidak memedulikannya.
Dampak yang secara riil terjadi sebagai
akibat paparan tayangan kekerasan verbal dari sinetron yang ditonton tampak terjadi se-
bagaimana diakui responden. Hal itu tampak dari jawaban sebagai berikut.

No Contoh Adegan yang Ditiru/ Diperagakan


1. di rumah, berpukul-pukulan dengan adik
saat bercanda
2. mengejek atau mengolok-olek nama orang tua teman sekolah
3. memarahi teman dengan meniru kata- kata dalam sinetron
4. memaki teman dengan meniru ucapan tokoh sinetron
5. mengancam teman
6. menghina teman dengan menggunakan kata-kata kasar
7. menirukan adegan sambil meniru kata-
kata kasar yang diucapkan tokoh sinetron
8. melecehkan teman atau adik
9. merendahkan orang lain
10. mengancam teman atau orang lain

Berdasarkan jawaban tersebut, diketahui bahwa perilaku dan ucapan tokoh dalam sinetron
banyak ditiru untuk diperagakan, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah.
Peniruan itu dilakukan, baik untuk

sekadar bercanda atau main-main maupun untuk tujuan menyakiti orang lain.

PENUTUP
Intensitas siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang dalam menonton sinetron remaja di
televisi swasta nasional diketahui dengan menganalisis jawaban responden. Ber- dasarkan
jawaban responden, diketahui bahwa sebagian besar menonton televisi setiap hari dengan durasi
tidak tentu; sebagian menjawab kurang dari dua jam; dan sebagian menjawab lebih dari dua jam.
Program yang paling banyak digemari oleh responden adalah sinet- ron dan film. Bentuk
kekerasan verbal yang ditemukan di dalam tayangan sinetron remaja di televisi swasta nasional
yang ditonton siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang yang menjadi responden
penelitian adalah memaki, menghina, memarahi, mengusir, membentak, memaksa, mengancam,
dan menuduh.
Dampak menonton sinetron remaja di televisi swasta nasional terhadap perilaku ke- kerasan
verbal yang dilakukan siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang diketahui dengan
menganalisis jawaban responden. Se- bagian besar responden menyadari bahwa tayangan
sinetron mengandung konten keke- rasan, termasuk kekerasan verbal. Sejalan dengan itu,
sebagian besar responden juga menyadari bahaya atau risiko terpapar tayang- an kekerasan.
Sebagian besar responden mengakui suka meniru adegan kekerasan ver- bal dari tayangan
sinetron, baik ketika di ling- kungan sekolah maupun lingkungan rumah. Meskipun tayangan
sinetron mengandung ke- kerasan, responden sebagian besar mengakui bahwa mereka tidak
didampingi orang de- wasa atau orang tua saat menonton sinetron dengan pelbagai alasan.

DAFTAR PUSTAKA
Andina, Elga. 2014. “Anime dan Persepsi Budaya Kekerasan pada Anak Usia Sekolah”.
Aspirasi Volume 5, Nomor 2, Desember
2014, 119—130.

Amelia, Riski dan Fitriyani, Ruri. 2016. “Hu- bungan Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan
di Televisi dengan Perilaku Agresif yang Dilakukan Anak Usia Seko- lah di Madrasah Diniyah
Awaliyah Nurul Huda Pjar Bulan”. PSIKIS-Junal Psikologi Islam Volume 2, Nomor 2, 195—
202.
Baryadi, I. Praptomo. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda- karya.
Muzayyad, Idy. 2011. “Literasi Media Mulai dari Kita” Dalam Dadang Rahmat Hida- yat dkk.
(eds.), Panduan Sosialisasi Literasi Media Televisi.Jakarta: KPI:, 1—22.

Poerwandari, E. Kristi. 2004. Mengungkap Selubung Kekerasan Telaah Filsafat Manusia.


Bandung: Yayasan Eja Insani.
Simpen, I Wayan. 2011. “Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat”. Dalam
Wayan Windia dkk. (eds.), Pemi- kiran Kritis Guru Besar Udayana Bidang Sastra dan Budaya.
Bali: Udayana Univer- sity Press, 449—481.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tulasi, Dominikus. 2012. “Terpaan Media Massa dan Turbulensi Budaya Lokal”. Humaniora
Volume 3, Nomor 1 April
2012, 135—144.
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN
KELUARGA MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI
POLIKLINIK RUMAH SAKIT MARZOEKI MAHDI BOGOR

Sri Suryaningrum1, Ice Yulia


Wardani2
1. Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI,
Jl. Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
2. Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder
Djohan, Depok, Jawa
Barat-16424 Email:
srisuryaningrum@ymail.com

ABSTRAK

Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia.
Salah satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang
dirasakan keluarga dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku
kekerasan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan
keluarga merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.
Desain penelitian adalah analitikdengan tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga
dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga
merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar beban yang dirasakan keluarga menjadi
berkurang.

Kata kunci:Beban,Kemampuan, Keluarga,Perilaku kekerasan, Skizofrenia.

ABSTRACT

Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical
manifestation of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could
lower the ability of family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the
relationship of family’s burden and the family ability to care for patient with violent behavior at
the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi Hospital of Bogor. This study used analitical design and
collected 103 samples using the purposive sampling technique. This study result indicated a
significant relationship between family’s burden and family ability to care for patient with violent
behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to increase family capability in caring for
patient with abusive behavior in order to lower the burden perceived by the family.

Key words: Burden, Ability, Family, Violent Behavior, Schizophrenia.


PENDAHULUAN tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta
(20,3 0/00) yang kemudian secara berturut-
Skizofrenia menduduki peringkat 4 turut diikuti oleh Provinsi Nangro Aceh
dari 10 penyakit terbesaryang Darussalam (18,5 0/00), Sumatera Barat
membebankan di seluruh dunia. (16,7 0/00), Nusa Tenggara Barat (9,9 0/00),
Biaya yang dikeluarkan untuk Sumatera Selatan (9,2 0/00). Prevalensi
perawatan yang diberikan keluarga terendah terdapat di Maluku (0,9 0/00).
dan terkait kejahatan serta terkait Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di
kesejahteraan akibat skizofrenia dapat dari bagian rekam medis pada tahun
sebesar 33 miliar dolar setiap 2010 pasien skizofrenia yang dirawat inap
tahunnya di Amerika Serikat (Stuart, berjumlah 9952 orang dan pasien rawat jalan
2007). berjumlah 1217 orang, sedangkan tahun 2011
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan pasien yang dirawat inap berjumlah 1549
orang dan yang rawat jalan berjumlah 15770
bahwa prevalensi gangguan jiwa di
orang. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
Indonesia adalah 4,6 0/00. Prevalensi peningkatan jumlah pasien skizofrenia yang
menjalani pengobatan rawat inap dan dalam menghadapi perilaku pasien,
rawat jalan di RS Marzoeki Mahdi dan beban sosial terutama
Bogor dalam satu tahun terakhir.
menghadapi stigma dari masyarakat
tentang anggota keluarganya yang
Pasien skizofrenia terutama yang
mengalami gangguan jiwa. Dampak
mengalami perilaku kekerasan
dari beban yang dirasakan keluarga
membutuhkan dukungan keluarga
akan mempengaruhi kemampuan
yang mampu memberikan perawatan
keluarga dalam merawat pasien. Jika
secara optimal. Tetapi keluarga
keluarga terbebani kemungkinan
sebagai sistem pendukung utama
keluarga tidak mampu merawat
sering mengalami beban yang tidak
pasien dengan baik.
ringan dalam memberikan perawatan
Berdasarkan latar belakang tersebut
selama pasien dirawat di rumah sakit
maka dapat dirumuskan masalah
maupun setelah kembali ke rumah.
penelitian yaitu “Apakah ada
hubungan antara beban keluarga
Beban tersebut yaitu beban finansial
dengan kemampuan keluarga dalam
dalam biaya perawatan, beban mental
merawat pasien perilaku kekerasan di
Poliklinik RS Marzoeki Mahdi
Bogor?”

METODE

Desain penelitian ini adalah desain


analitik kategorik berpasangan, yaitu
metode untuk mengetahui ada atau
tidaknya hubungan antara beban
keluarga dengan kemampuan keluarga
merawat pasien perilaku kekerasan.

Sampel yang diambil dalam penelitian


ini ditentukan dengan menggunakan
teknik pengambilan sampel purposive
sampling, yaitu dengan terlebih dahulu
menentukan kriteria. Kriteria yang
dipakai adalah inklusi. Kriteria inklusi
dalam penelitian ini yaitu keluarga
pasien yang anggota keluarganya
mengalami skizofrenia dengan perilaku
kekerasan dan pernah dirawat lebih dari
1 kali, keluarga bersedia dan mampu
berpartisipasi dalam penelitian, serta
tinggal serumah dengan pasien

Alat pengumpulan data ini adalah


kuesioner The Zarith Burden Interview
versi bahasa indonesia, merupakan
instrumen untuk variabel independen
yaitu beban yang dirasakan keluarga.
Kuesioner pengetahuan dan sikap
keluarga dalam merawat pasien perilaku
kekerasan merupakan instrument untuk
variable dependen. Pengolahan data
sesuai dengan langkah-langkah edit data
(editing), memberikan kode (coding),
memasukkan data dalam tabel (entry), signifikan. Pada variabel pengetahuan
dan membersihkan data (cleaning). keluarga menunjukkan mayoritas
responden memiliki pengetahuan sedang
Analisa data yang digunakan dalam 69 responden dan tinggi 34 responden.
penelitian ini adalah analisis univariat Variabel sikap keluarga menunjukkan 75
dan bivariat. Analisis univariat dalam responden memiliki sikap tidak baik.
melakukan uji statistik menggunakan uji Sedangkan variabel kemampuan
distribusi dan proporsi. Analisis bivariat keluarga terdapat 51 responden memiliki
pada penelitian ini menggunakan uji Chi kemampuan tidak baik.
Square karena variabel yang diteliti
berjenis kategorik dan kategorik. Tabel 2
Hubungan antara Beban dengan
Etika pengambilan data pada penelitian Pengetahuan Keluarga dalam Merawat
ini menggunakan prinsip manfaat, Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik
prinsip menghargai martabat manusia, RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013
prinsip (n=103)
Pengetah
uan OR
keadilan dan prisip anonymity Beba Keluarga P
n
Confidentiali Keluarga valu
(95
ty. Sedang %
e
CI)
Tinggi
HASI n % n %
L Tabel
1 Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Distribusi Responden Berdasarkan Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Beban, Pengetahuan, Sikap dan Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik Jumlah 69 67 34 33
RS Marzoeki Mahdi Bogor, Tahun 2013
(n=103)
Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Peresentase
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah
(%
Beban Keluarga ) memiliki pengetahuan
tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien
Beban Sedang 35 34,0 perilaku kekerasan. Hasil uji analisis
Beban Ringan 36 35,0 menunjukkan tidak ada hubungan antara
Tanpa Beban 14 13,6 beban dengan pengetahuan keluarga
Jumlah 103 100 dalam merawat pasien perilaku
Variabel Dependen kekerasan P value>0,05.
Pengetah
uan Tabel3
Keluarga Distribusi Hubungan Antara Beban
Sedang 69 67,0 Dengan Sikap KeluargaDalam
Tinggi 34 33,0 MerawatPasien Perilaku Kekerasan di
Jumlah 103 100 Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor
Sikap Keluarga Tahun 2013 (n=103)
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 Sikap Keluarga
OR
72,8 Beban
(95
Jumlah 103 100
%
Kemampu Keluar Tida Bai valu CI)
an ga k k e
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 N % N %
49,5
Baik 52 50,5 Beban Berat 16 88,9 2 0,188
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 11,1
82,9 6 17,1 0,016 0,310
Beban Ringan 30 60 20 40
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban
keluarga terdapat 18 responden dengan beban
berat, jumlah tersebut cukup Jumlah 75 72,8 28
27,2
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 000,- dan rata-rata penghasilan
16 responden mengalami beban berat responden adalah Rp 1.178.640,-.
dan memiliki sikap tidak baik dalam Jumlah tersebut merupakan nominal
merawat pasien perilaku kekerasan. Uji yang sangat jauh
analisis menunjukkan adanya hubungan dibawah standar UMR Bogor tahun
antara beban dengan sikap keluarga 2013 yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai
dalam merawat pasien perilaku dengan penelitian Gururaj,
kekerasan P Value<0,05. Bada, Reddy dan
Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
Tab dari enam dimensi beban keluarga
el 4 dengan skizofrenia, skor finansial
Distribusi Hubungan Antara Beban
Dengan Kemampuan Keluarga Dalam
memiliki rata- rata yang paling tinggi.
Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Oleh karena itu apabila keluarga tidak
Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor memiliki sumber dana yang cukup atau
Tahun 2013 (n=103) jaminan kesehatan, maka akan menjadi
beban yang sangat berat bagi keluarga.

Kemampuan Pengetahuan Keluarga dalam merawat


OR
Beba Keluarga P pasien Perilaku Kekerasan.
(95
n
%
Keluarga valu CI Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
Sedang Tinggi e mayoritas responden memiliki pengetahuan
)
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 0,10
27,8 5 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini
0,01 0,18 (2011) mendukung penelitian ini yang
Beban Sedang 21 60,0 14
0 2
40,0
Beban Ringan 14 38,9 22 0,42
61,1 9
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 bahwa beban keluarga dalam
Jumlah 69 67 34 33 merawat anggota dengan riwayat
perilaku kekerasan yaitu 95%.
Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat Beban berat yang dialami keluarga
13 responden yang mengalami beban bisa dipengaruhi oleh berbagai hal
berat dan memiliki kemampuan tidak diantaranya adalah faktor sosial
baik dalam merawat pasien perilaku ekonomi. Dalam hasil penelitian ini
kekerasan. Hasil uji analisis masih banyak keluarga yang
menunjukkan adanya hubungan yang merawat anggota keluarganya yang
signifikan antara beban dengan mengalami perilaku kekerasan
kemampuan keluarga dalam merawat memiliki penghasilan rendah, yaitu
pasien perilaku kekerasan P value <0,05. penghasilan terendah adalah Rp 150

PEMBAHASAN

Beban Keluarga dalam Merawat


Pasien Perilaku Kekerasan
Pada analisis beban keluarga terdapat
17,5% atau 18 responden yang memiliki
beban berat. Nuraenah, Mustikasari, &
Putri (2012) mendukung penelitian ini
menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi pengetahuan
pada keluarga pasien skizofrenia sebagian keluarga tentang cara merawat pasien
besar adalah tinggi (55,6%). Hal ini perilaku kekerasan menjadi tinggi. Dapat
dimungkinkan dari kriteria keluarga yang disimpulkan bahwa jika pengetahuan
ambil dalam penelitian ini adalah keluarga keluarga tinggi maka akan meningkatkan
pasien yang pernah dirawat minimal satu kemampuan keluarga dalam memberikan
kali, yang sering mendapatkan informasi perawatan pada pasien perilaku
maupun pendidikan kesehatan tentang cara kekerasan yang hasilnya pun akan
merawat pasien perilaku kekerasan dari menjadi optimal.
petugas kesehatan.
Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang Sikap Keluarga dalam Merawat
diperoleh baik dari pendidikan formal Pasien Perilaku Kekerasan.
maupun non formal dapat memberikan Berdasarkan hasil penelitian ini
pengaruh jangka pendek sehingga didapatkan bahwa mayoritas responden
menghasilkan perubahan atau peningkatan memiliki sikap tidak baik terhadap
pengetahuan. Pendidikan non formal tersebut pasien sebanyak 75
orang. Penelitian ini didukung oleh Merawat Pasien Perilaku Kekerasan.
Sonatha & Gayatri (2012) didapatkan Kemampuan keluarga merupakan gabungan
hasil responden dengan sikap negative dari pengetahuan dan sikap keluarga dalam
lebih banyak yaitu sebesar 53,6%. Bagi merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil
pasien jiwa yang mengalami perilaku penelitian ini didapatkan bahwa responden
kekerasan dan kronis membutuhkan yang memiliki kemampuan tidak baik
waktu perawatan bertahun-tahu, yang sebanyak 51 orang. Penelitian ini didukung
dapat menjadikan keluarga mengalami oleh Hernawaty (2009) bahwa rerata
kejenuhan dalam memberikan perawatan kemampuan kognitif keluarga dalam merawat
pada pasien sehingga bersikap tidak klien gangguan jiwa sebesar 32,15, dan
baik. Faktor lain adalah perilaku kemampuan psikomotor 32,55. Fontaine
kekerasan yang dilakukan pasien (2003) menyatakan bahwa kemampuan
terhadap keluarga.Menurut Keliat (2003) keluarga ditentukan oleh kemampuan untuk
Perilaku kekerasan adalah tindakan manajemen stres yang produktif. Kelelahan
menciderai orang lain, diri sendiri, fisik dan emosi selama merawat anggota
merusak harta benda (lingkungan), dan keluarga dengan
ancaman secara verbal.Muesser &
Gingerich (2006) juga
menjelaskanbahwa anggota keluarga
sering menjadi korban tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh penderita
skizofrenia.

Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku


kekerasan yang dilakukan pasien
terhadap keluarga sangat merugikan
keluarga dan mempengaruhi sikap
keluarga dalam merawat pasien perilaku
kekerasan. Perilaku tersebut yaitu pasien
sering kasar bahkan sampai memukul
terhadap keluarga, berkata-kata yang
menyakitkan, merusak barang-barang
keluarga, merusak dan mengganggu
lingkungan. Dampak dari perilaku
tersebut memungkinkan keluarga
menjadi bersikap tidak baik terhadap
anggota keluarganya yang mengalami
perilaku kekerasan.

Kemampuan Keluarga Dalam


gangguan jiwa sering melanda penelitian ini yang menyebutkan bahwa
keluarga karena berkurangnya mayoritas responden (90%) memiliki
stress tolerance. pengetahuan yang baik tentang perilaku
kekerasan termasuk definisi, tanda, dan
Peneliti berpendapatbahwa gejala pasien dengan perilaku kekerasan.
ketidakmampuan keluarga bisa
disebabkan karena keluarga Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan
mengalami kelelahan secara fisik dalam merawat pasien perilaku
maupun mental selama merawat kekerasan sudah dipahami oleh keluarga.
anggota keluarganya yang Hal ini dikarenakan bahwa keluarga
mengalami perilaku kekerasan. pasien yang pernah di rawat di Rumah
Dampak yang di rasakan keluarga Sakit Marzoeki Mahdi Bogor telah
akibat perilaku kekerasan yang mendapatkan pendidikan kesehatan dari
dilakukan pasien sangat petugas kesehatan. Yang menarik dari
mempengaruhi sikap keluarga hasil penelitian ini adalah keluarga
dalam merawat pasien perilaku mengalami beban berat meskipun
kekerasan, sehingga kemampuan memiliki pengetahuan yang tinggi. Hal
keluarga menjadi tidak baik. ini bisa dikarenakan beberapa faktor
yang mempengaruhi antara lain faktor
Hubungan Antara Beban dengan sosial ekonomi yaitu pendapatan yang
Pengetahuan Keluarga Dalam tidak memadai, keluarga yang tidak
Merawat Pasien Perilaku bekerja, dan keluarga dengan pendidikan
Kekerasan yang rendah. Hal ini Sesuai dengan
Hasil penelitian didapatkan bahwa penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
keluarga dengan beban berat Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
memiliki pengetahuan sedang dari enam dimensi beban keluarga
sebanyak 26 orang dan pengetahuan dengan skizofrenia, skor finansial
tinggi sebanyak 5 orang. memiliki rata-rata yang paling tinggi.
Simatupang (2010) mendukung Oleh karena itu meskipun
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika perilaku kekerasan seyogyanya akan menjadi
kondisi finansial rendah maka beban baik. Yang menarik dari penelitian ini adalah
keluarga akan menjadi berat. terdapat 30 responden mengalami beban
ringan namun memiliki sikap yang tidak baik
Hubungan Antara Beban Dengan terhadap anggota keluarganya. Hal ini
Sikap Keluarga Dalam merawat dimungkinkan karena dampak yang diterima
Pasien Perilaku Kekerasan oleh keluarga dari sikap pasien perilaku
Hasil penelitian ini terdapat responden kekerasan. Sesuai dengan konsep Muesser &
yang mengalami beban ringan memiliki Gingerich (2006) bahwa anggota keluarga
sikap tidak baik sebanyak 30 orang. sering menjadi korban tindakan kekerasan
Keluarga yang mengalami beban ringan yang dilakukan oleh penderita skizofrenia.
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu Pasien yang mengalami perilaku kekerasan
sosial ekonomi yang memadai, adanya memberi dampak yang merugikan bagi
sistem pendukung yang cukup dan keluarga sehingga keluarga bersikap tidak
keluarga memiliki konsep spiritual yang baik terhadap dirinya.
tinggi sehingga mampu beradaptasi
untuk menerima penyakit yang diderita Hubungan Antara Beban dengan
anggota keluarganya. Sesuai dengan Kemampuan Keluarga Dalam Merawat
konsep Potter & Perry (2005) yang Pasien Perilaku Kekerasan.
menjelaskan bahwa spiritualitas secara
signifikan membantu klien dan pemberi Pada hasil penelitian didapatkan bahwa
layanan untuk beradaptasi terhadap keluarga dengan beban berat memiliki
perubahan yang diakibatkan oleh kemampuan tidak baik yaitu 13 orang. Hal ini
penyakit kronis. bisa disebabkan oleh faktor sosial ekonomi
antara lain kesulitan finansial,
Jika keluarga mengalami beban ringan
maka sikap keluarga terhadap pasien
keluarga tidak bekerja, dan sering melanda keluarga karena
pendidikan yang rendah. Beban berkurangnya stress tolerance.
tersebut termasuk dalam kategori Teschinsky (2000) juga menjelaskan
beban obyektif. Nadya (2009) bahwa keluarga yang merawat anggota
menjelaskan beban obyektif adalah keluarga dengan perilaku kekerasan akan
berbagai beban dan hambatan yang mengalami reaksi emosi terhadap
dijumpai dalam kehidupan keluarga gangguan dan stigma sosial yang
yang berkaitan dengan perawatan ditimbulkan karena perilaku kekerasan
penderita gangguan jiwa, diataranya dengan dampak lainnya. Dapat
adalah beban biaya finansial yang dimungkinkan hal inilah yang
dikeluarkan untuk merawat menyebabkan keluarga memiliki
penderita. Sesuai dengan penelitian kemampuan tidak baik dalam merawat
Gururaj, Bada, Reddy dan pasien perilaku kekerasan
Chandrashkar (2008) menemukan
bahwa dari enam dimensi beban Keliat (2003) menjelaskan bahwa
keluarga dengan skizofrenia, skor perilaku kekerasan adalah tindakan
finansial memiliki rata- rata yang menciderai orang lain, diri sendiri,
paling tinggi. Peneliti berpendapat merusak harta benda (lingkungan), dan
jika kondisi sosial ekonomi tidak ancaman secara verbal. Muesser &
memadai maka beban yang Gingerich (2006) juga menjelaskan
dirasakan keluarga menjadi berat. bahwa anggota keluarga sering menjadi
korban tindakan kekerasan yang
Fontaine (2003) menjelaskan bahwa dilakukan oleh penderita skizofrenia.
kemampuan keluarga ditentukan Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku
oleh kemampuan untuk manajemen kekerasan yang dilakukan pasien
stres yang produktif. Kelelahan fisik terhadap keluarga sangat merugikan
dan emosi selama merawat anggota keluarga dan mempengaruhi sikap
keluarga dengan gangguan jiwa keluarga dalam merawat pasien perilaku
kekerasan menjadi tidak baik.
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan tahun. Jenis kelamin pasien mayoritas laki-
adanya hubungan yang signifikan antara laki. Pendidikan pasien mayoritas SD dan
beban dengan kemampuan keluarga SMU. Jenis pekerjaan pasien mayoritas tidak
dalam merawat pasien perilaku bekerja atau IRT.
kekerasan (P Value<0,05). Hal ini Berdasarkan hasil penelitian bahwa
dimungkinkan bahwa beban keluarga responden mayoritas dengan beban keluarga
sangat mempengaruhi kemampuan ringan dan sedang. Responden mayoritas
keluarga dalam merawat pasien perilaku memiliki pengetahuan sedang dan sikap tidak
kekerasan. Jika keluarga terbebani maka baik.Kemampuan responden dalam merawat
keluarga tidak mampu merawat pasien pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS
perilaku kekerasan secara baik. Marzoeki Mahdi Bogormemiliki kemampuan
baik lebih tinggi dari pada kemampuan tidak
KESIMPULAN baik, tetapi jumlah kemampuan tidak baik
Berdasarkan data demografi di Poliklinik cukup signifikan.
RS Marzoeki Mahdi Bogor yaitu Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa
responden penelitian sebanyak 103 orang tidak ada hubungan yang bermakna antara
dengan kelompok usia rata-rata beban dengan tingkat pengetahuan keluarga
responden adalah 50,46 tahun. Jenis dalam merawat pasien perilaku kekerasan,
kelamin responden mayoritas nilai P value > 0.05. Ada hubungan yang
Perempuan. Tingkat pendidikan signifikan antara beban dengan sikap keluarga
responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan dalam merawat pasien perilaku kekerasan P
responden mayoritas tidak bekerja. value < 0,05, dan ada hubungan yang
Penghasilan responden rata-rata Rp signifikan antara beban keluarga dengan
1.178.640,-. Hubungan dengan pasien kemampuan keluarga
mayoritas adalah ibu. Karakteristik
pasien berdasarkan usia didapatkan hasil
bahwa rata-rata usia pasien adalah 34
dalam merawat pasien perilaku The complete family guide to
kekerasan P value > 0,05. schizophrenia. New York: Guilford
press.
DAFTAR PUSTAKA Nadya.R.(2009) Gambaran
kebahagiaan dan karakteristik positif
Depkes.(2007).Riset wanita dewasa madya yang menjadi
caregiver informal penderita
kesehatan dasar.Jakarta: skizofrenia. Depok: Fakultas
Balitbangkes Depkes.RI. psikologi UI.
Fontaine,K.L.(2003) Mental health Notoatmodjo.(2010)Ilmu
nursing.New
perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka
jersey.Pearson Education.Inc. Cipta.
Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y. Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E
C.,&Ch andrashekar.,C.R.(2008) (2012) Hubungan dukungan keluarga
Family burden, quality of life dan beban keluarga dalam merawat
and disabilityin obsesive anggota dengan riwayat perilaku
compulsive disorder;in Indian kekerasan di RS Jiwa Islam klender
perspective.J Postgradmed, 91- jakarta Timur. Depok.FIK.UI .Tesis.
97. Potter & Perry (2005) Fundamental of
Hernawati.T.(2009) pengaruh nursing; Concept process and
terapi suportif keluarga practice four edition. Philadelphia:
terhadap kemampuan keluarga Mosby Year Book. Inc.
merawat klien gangguan jiwa di Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meika
kelurahan Bubulak Bogor Barat. wat i.W.(2011).Faktor-faktoryang
Depok. Tesis. FIK UI berhubungan dengan kekambuhan
Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan pada pasien skizofrenia di Rumah
klien dan keluarga dalam Sakit Jiwa Amino Gondoutomo
perawatan klien skizofrenia Semarang.
dengan perilaku kekerasan di Simatupang.(2010). Hubungan tingkat
RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta. pengetahuan keluarga tentang
Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) perilaku kekerasan dengan kesiapan
keluarga
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei
2013.
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam
pemberian perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi
Stuart.G.W. (2007) Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Alih bahasa Kapoh.R.P
&Komarayuda.E.Jakarta: EGC.
Teschinky, U. (2000). Living with schizophrenia: the family illness experience.Online J
Issues Nurs. Diakses 8 mei 2013.
Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Pada
Pasien Risiko Perilaku Kekerasan

Meri Natalia Simare Mare1, Dirman Laia2, Hikmah Sukitiro3, Fanny Fadillah4, Icca
Cerahwati5 , Reynhad Daniel Manurung6

Merrysimaremare122@gmail.com

Abstrak

Pasien skizoprenia sering dikaitkan dengan perilaku kekerasan yang dapat


membahayakan diri sendiri maupun orang lain ataupun berisiko juga dengan lingkungan
sekitarnya, baik secara fisik, emosional, seksual, dan verbal. Risiko perilaku kekerasan
merupakan gejala dari pasien skizofrenia yang dapat dikontrol melalui terapi Aktivitas
Kelompok.Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok
pasien bersama-sama dengan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh
perawat spesialis jiwa atau perawat jiwa yang telah terlatih. Dalam pelaksanaan TAK
jumlah Pasien terdiri dari 6 orang, dimana pesertanya 2 Laki-laki dan 4 Perempuan.
Hasil dari kegiatan TAK Pasien mampu memperagakan/ mengekspresikan SP Risiko
Perilaku Kekerasan, dan mampu mengamati dengan baik jalan nya kegiatan TAK.
Setelah mendapatkan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi, pasien di Yayasan
pemenang jiwa sumatera terjadi peningkatan pengetahuan, pemahaman tentang cara
mengontrol emosi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia merupakan sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan


perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku. Skizofrenia
merupakan suatu kondisi gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran, emosi dan perilaku yang terganggu, dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang
keliru (Makhruzah, Putri, & Yanti, 2021). Prevalensi yang menderita
skizofrenia atau psikosis sebesar 7 % per 1000 dengan cakupan pengobatan
84, 9 % dan gangguan prevalensi mental emosional yang di tunjukan pada
usia 15 tahun keatas mencapai 9,8 % dari jumlah penduduk (Riskesdas,
2018).

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dapat berakhir dengan hilanngya


nyawa seseorang. Dalam penanganan penyakit ini karena jiwa yang
tergangangu maka di butuhkan adalah terapi, rehabilitasi serta dengan
konseling. Upaya terbesar untuk penangan penyakit gangguan jiwa terletak
pada keluarga dan masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah bentuk
dukungan keluarga dalam mencegah kambuhnya penyakit skizofrenia
(Pitayanti, & Hartono, 2020).

Skizofrenia menimbulkan distorsi pikiran, distorsi persepsi, emosi, dan


tingkah laku sehingga pasien dengan skizofrenia memiliki Risiko lebih tinggi
berperilaku agresif dimana perubahan perilaku secara dramatis terjadi dalam
beberapa hari atau minggu. Pasien skizoprenia sering dikaitkan dengan
perilaku kekerasan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain
ataupun berisiko juga dengan lingkungan sekitarnya, baik secara fisik,
emosional, seksual, dan verbal. Berdasarkan data tahun 2017 dengan Risiko
perilaku kekerasan sekitar 0,8% atau dari 10.000 orang menunjukkan Risiko
perilaku kekerasan sanggatlah tinggi (Pardede, Siregar & Hulu, 2020).
Faktor psikologis yang dapat menyebabkan pasien mengalami Risiko prilaku
kekerasan yaitu : Kepribadian yang tertutup, kehilangan, aniaya seksual,
kekerasan dalam keluarga. Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut
nadi dan pernapasan meningkat, mudah tersinggung, marah, amuk serta dapat
mencederai diri sendiri maupun orang lain. Adapun dampak yang
ditimbulkan oleh pasien yang mengalami perilaku kekerasan yaitu kehilangan
kontrol akan dirinya, dimana pasien akan dikuasi oleh rasa amarahnya
sehingga pasien dapat melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, bila
tidak ditangani dengan baik maka perilaku kekerasan dapat mengakibatkan
kehilangan kontrol, risiko kekerasan terhadap diri sendiri, orang lain serta
lingkungan (Sepalanita & Khairani, 2019)

Risiko perilaku kekerasan merupakan gejala dari pasien skizofrenia yang


dapat dikontrol melalui terapi Aktivitas Kelompok.Terapi kelompok
merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-
sama dengan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh
perawat spesialis jiwa atau perawat jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok
adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan
stimulasi bagi Pasien dengan gangguan interpersonal. Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan setelah dilakukan Terapi Aktivitas kelompok stimulasi
persepsi adalah konsentrasi dan adanya ketertarikan responden terhadap
Terapi Aktivitas Kelompok yang dilaksanakan, sehingga setelah
dilaksanannya TAK ini, kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku
kekerasan dapat mengalami peningkatan (Pardede & Laia., 2020).

Terapi modalitas yang tepat untuk mengatasi Risiko prilaku kekerasan yaitu
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan sensori, untuk memusatkan perhatian, kesegaran
jasmani dan mengespresikan perasaan.Terapi ini dilakukan menggunakan
aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dalam kehidupan
untuk mendiskusikan dalam kelompok. Dengan aktifitas kelompok ini, maka
akan memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, meningkatkan
pengobatan, dan pemulihan kesehatan (Pratiwi., 2020).

Berdasarkan survey yang dilakukan di Yayasan pemenang jiwa, didapatkan


jumlah pasien sebesar 70 pasien, dimana pasien dengan diagnosa risiko
perilaku kekerasan menjadi diagnosa paling lazim di yayasan pemenang jiwa,
sehinggan kelompok tertarik mengangkat diagnosa risiko perilaku kekerasan
untuk dijadikan terapi aktivitas kelompok sebagai stimulasi persepsi pasien.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan ini Pasien dapat lebih menerapkan stategi
pelaksanaan Risiko Perilaku Kekerasan secara fisik dan sosial dalam
mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Pasien dapat mengekspresikan perasaannya lewat cerita
2. Pasien dapat mengetahui cara mengendalikan Risiko Perilaku
Kekerasan dengan SP
3. Pasien dapat melakukan aktivitas kognitif dengan mendengarkan,
bersosialisasi, menebak ekspresi wajah, mempraktikkan SP Risiko
Perilaku Kekerasan
4. Pasien dapat melakukan aktivitas motorik dengan bekerja sama
dengan melatih kekompakan dalam kelompok.
5. Pasien dapat melatih konsentrasi melalui permainan.
BAB 2
STANDAR PELAKSANAAN TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK
STIMULASI PERSEPSI

2.1 Metode Terapi aktifitas kelompok (TAK)


Metode yang digunakan pada terapi aktifitas kelompok ini adalah metode:

2.1.1 Perkenalan diri pada seluruh perawat


2.1.2 Menanyakan perasaan Pasien pada saat terapi berjalan

2.2 Waktu dan Tempat


Hari/tanggal : 16 Maret 2021
Jam : 10:00 WIB

Tempat : Yayasan Pemenang Jiwa

2.3 Pasien dan Ruangan Pasien


Pasien yang mengikuti kegiatan berjumlah 6 orang dari Yayasan pemenang
jiwa terdiri dari:

1. Ny. Tiurma
2. Ny. Rebecca
3. Ny. Juli
4. Tn.Budi Harsono
5. Tn.Aseng
6. Tn. Acong

2.4 Setting tempat


1. Terapis dan Pasien duduk bersama dalam lingkaran
2. Ruangan yang nyaman dan tenang
Leader Co.Leader

Observer
P P

Fasilitator Fasilitator

P P

P P

Fasilitator

Keterangan Gambar:
L :Leader

CL :Co Leader

F :Fasilitator

O : Observer

2.5 Media dan Alat


1. Handphone
2. Speaker
3. Music/lagu
4. Buku catatan dan pulpen
5. Jadwal kegiatan pasien
6. Bola
7. Gambar ekpresi wajah emoji
2.6 Susunan Pelaksanaan
Yang bertugas dalam TAK kali ini di sesuaikan dengan petugas setiap sesi
yang telah disepakati sebagai berikut :

1. Leader : Meri Natalia Simare Mare


2. Co.Leader : Reynhard Daniel Manurung
3. Fasilitator 1 : Icca Cerahwati
4. Fasilitator 2 : Hikmah Sukitiro
5. Fasilitator 3 : Fanny Fadillah
6. Observer 2 : Dirman Laia

2.7 Uraian Tugas Pelaksana


2.7.1 Leader :
1. Menyampaikan tujuan dan peraturan kegiatan terapi aktivitas
kelompok menyiapkan proposal kegiatan TAK
2. Mampu memotivasi anggota untuk aktif dalam kelompok dan
memperkenalkan dirinya
3. Mampu memimpin terapi aktivitas kelompok dengan baik dan
tertib Menetralisir bila ada masalah yang timbul dalam kelompok

2.7.2 Co.Leader :
1. Mendampingi Leader
2. Menjelaskan aturan permaian
3. Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader tentang aktivitas
Pasien
4. Mengingatkan leader jika kegiatan menyimpang dari perencanaan
yang telah di buat
5. Mengambil alih posisi leader jika leader mengalami blocking
dalam proses terapi

2.7.3 Fasilitator :
1. Menyediakan fasilitas selama kegiatan berlangsung ikut serta
dalam kegiatan kelompok
2. Memfasilitasi dan memberikan stimulus dan motivator pada
anggota kelompok untuk aktif mengikuti jalannya terapi

2.7.4 Observer :
1. Mengobservasi jalannya proses kegitan
2. Mengamati serta mencatat perilaku verbal dan non verbal pasien
selama kegiatanberlangsung (dicatat pada format yang tersedia)
3. Mengawasi jalannya aktivitas kelompok dari mulai persiapan,
proses , hingga penutupan
4. Memberikan hadiah (reward) bagi pasien yang menang dalam
permainan.

2.8 Kriteria Pasien


1. Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan yang sudah kooperatif
2. Pasien yang tidak mengalami gangguan komunikasi verbal
3. Pasien bisa tulis dan baca
4. Pasien yang bersedia mengikuti TAK

2.9 Antisipasi masalah


1. Sebelum kegiatan dilaksanakan, perawat memberi kesempatan kepada
setiap peserta untuk BAB dan BAK
2. Fasilitator memotivasi peserta yang tidak berpartisipasi
3. Menjaga pintu keluar unuk mengantisipasi Pasien melarikan diri dari
tempat kegiatan

2.10 Langkah-langkah Kegiatan


2.10.1 Persiapan
1. Membuat kontrak dengan anggota kelompok
2. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuaan
2.10.2 Orientasi
1. Salam teraupetik
Salam dari leader kepada Pasien. Leader/Co Leader
memperkenalkan diri dan tim terapis lainnya.

2. Evaluasi/Vasilidasi
Leader menanyakan perasaan dan keadaan Pasien saat ini.

3. Kontrak
a. Menjelaskan tujuan kegiatan
b. Menjelaskan aturan main yaitu :
1) Berkenalan dengan anggota kelompok
2) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus
minta izin pada pemimpin TAK
3) Lama Kegiatan 45 menit
4) Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir

2.10.3 Tahap Kerja


1. Seluruh Pasien dibuat berbentuk lingkaran
2. Hidupkan music dan edarkan bola berlawanan dengan arah jarum
jam
3. Pada saat tape dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola,
mendapat giliran untuk perkenalan dengan anggota kelompok yang
ada di sebelah kanan dengan cara:
a. Memberi salam
b. Menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobby.
c. Menanyakan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobby
d. Dimulai oleh terapis sebagai contoh.
4. Setelah memperkenalkan diri Pasien menebak ekspresi wajah dan
mengambil gulungan kertas yang ada di mangkuk yang berisi SP
Risiko Perilaku Kekerasan, kemudian pasien diharuskan
memperagakan SP yang didapat
5. Ulangi musik kembali, dan Pasien kembali melempar bola, ketika
musik berhenti, Pasien yang memegang bola, kembali
memperagakan point c dan d.
2.10.4 Tahap Terminasi
1. Leader atau Co.Leader memberikan pujian atas keberhasilan dan
kerjasama kelompok
2. Leader atau Co.Leader menanyakan perasaan Pasien setelah
mengikuti kegiatan TAK
3. Fasilitator membagikan Snack
4. Leader atau Co.Leader menganjurkan Pasien untuk sering
bersosialisasi, selalu bekerjasama, dan memasukkan kegiatan
mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan ke dalam kegiatan harian
sebanyak 2x1.
5. Observer mengumumkan pemenang
6. Fasilitator membagikan hadiah kepada pemenang

2.10.5 Evaluasi
1. Pasien mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir kegiatan
2. Kerja sama Pasien dalam kegiatan
3. Pasien merasa senang selama mengikuti kegiatan

2.11 Tata tertib dan Antisipasi Masalah


2.11.1 Tata tertib pelaksanaan TAK Risiko Perilaku Kekerasan
1. Peserta bersedia mengikuti kegiatan TAK Risiko Perilaku
Kekerasan sampai dengan selesai
2. Peserta wajib hadir 5 menit sebelum acara TAK Risiko Perilaku
Kekerasan dimulai
3. Peserta berpakaian rapi, bersih, dan sudah mandi
4. Peserta tidak diperkenankan makan, minum, merokok selama
kegiatan TAK berlangsung
5. Jika ingin mengajukan/menjawab pertanyaan, peserta
mengangkat tangan kanan dan berbicara setelah dipersilahkan
oleh pemimpin
6. Peserta yang mengacaukan jalannya acara akan dikeluarkan dari
permainan
7. Peserta dilarang meninggalkan tempat sebelum acara TAK
selesai
8. Apabila waktu yang ditentukan untuk melaksanakan TAK telah
habis, sedangkan permainan belum selesai, maka pemimpin
akan meminta persetujuan anggota untuk memperpanjang
waktu TAK

2.11.2 Antisipasi kejadian yang tidak diinginkan pada proses TAK


1. Penanganan Pasien yang tidak efektif saat aktifitas kelompok
a. Memanggil Pasien
b. Memberi kesempatan kepada Pasien tersebut untuk menjawab
sapaan perawat atau Pasienyang lain
2. Bila Pasien meninggalkan permainan tanpa pamit:
a. Panggil nama Pasien
b. Tanya alasan Pasien meninggalkan permainan
c. Berikan penjelasan tentang tujuan permainan dan berikan
penjelasan pada Pasien bahwaPasien dapat melaksanakan
keperluannya setelah itu Pasien boleh kembali lagi
3. Bila ada Pasien lain ingin ikut
a. Berikan penjelasan bahwa permainan ini ditujukan pada Pasien
yang telah dipilih
b. Katakan pada Pasien lain bahwa ada permainan lain yang
mungkin dapat diikuti oleh Pasien tersebut
c. Jika Pasien memaksa, beri kesempatan untuk masuk dengan
tidak memberi peran pada permainan tersebut.
BAB 3
EVALUASI

3.1 Hasil Pelaksanaan Kegiatan TAK


Kegiatan TAK dilaksanakan pada 16 Maret 2021 jam 10.00 WIB. Kegiatan
dilakukan di dalam ruang tamu pemanang jiwa. Dalam pelaksanaan TAK,
jumlah Pasien berjumlah 6 orang, peserta Laki-laki 2 orang dan perempuan
4 orang sesuai dengan proposal yang telah diajukan. Dalam terapi aktivitas
kelompok perawat melakukan kontrak kepada pasien sehari sebelum TAK
dilakukan. Mempersiapkan alat dan menyeting tempat dilakukan sebelum
pasien datang di tempat pelaksanaan TAK. Suasana kegiatan TAK mulai
dari awal hingga akhir acara berlangsung aman dan nyaman, Pasien sangat
bersemangat. Pasien mampu memperagakan /mengekspresikan SP Risiko
Perilaku Kekerasan, dan Pasien mampu mengamati dengan baik jalan nya
kegiatan TAK.

Sebelum TAK dilaksanakan, leader memperkenalkan diri kepada pasien dan


leader memberikan kesempatan untuk co-leader, fasilitator dan observer
untuk memperkenalkan diri kepada pasien dan memberikan pasien
kesempatan untuk memperkenalkan dirinya masing-masing. Leader dan co-
leader saling bergantian menjelaskan peraturan terapi aktivitas kelompok,
seperti bagiamana peraturan yang di buat saat terapi aktivitas kelompok
dilaksanakan, durasi berjalannya terapi aktivitas kelompok dan memberikan
infromasi kepada pasien bahwa perawat yang berada disebelah pasien
sebagai fasilitator untuk membantu pasien selama berjalannya terapi
aktivitas kelompok.

Dalam terapi aktivitas kelompok, leader dan co-leader sudah melakukan


tugasnya untuk menjelaskan jalannya terapi aktivitas kelompok dan
memimpin jalannya terapi. Fasilitator sudah melakukan tugasnya untuk
membantu pasien selama berjalannya terapi aktivitas kelompok. Observer
telah melakukan tugasnya dengan mengamati jalannya terapi aktivitas
kelompok apakah pasien mampu melakukan SP yang sudah ditentukan
terapis.
3.1.1 Evaluasi Kemampuan Verbal

No Nama Menanyakan Menanyakan Menanyakan Menanyakan


Pasien nama Pasien nama panggilan ruangan hobby
1 Tn. A   X X
2 Tn. A    
3 Ny. Y    
4 Ny. R    
5 Ny. M    
6 Ny. Y    

No Aspek penilaian Tn.A Tn.A Ny. Ny. Ny. Ny.Y


Y R M
1 Dapat mengikuti      
kegiatan dengan
aktif dari awal
sampai akhir
2 Dapat      
meningkatkan
komunikasi non
verbal bergerak
mengikuti instruksi,
ekspresi wajah
cerah dan berani
kontak mata
3 Dapat      
meningkatkan
komunikasi verbal
(menyapa Pasien
lain atau perawat )
4 Dapat      
meningkatkan
kemampuan akan
kegiatan kelompok,
mengikuti kegiatan
dari awal sampai
akhir
5 Mampu melakukan      
hubungan social
dengan
lingkungannya
(mau berinteraksi
dengan
perawat/Pasien
lain).

3.1.2 Kemampuan Verbal : menyampaikan pribadi

No Aspek penilaian Tn.A Tn.A Ny. Ny.R Ny.M Ny.


Y Y
1 Menyampaikan X     
topic dengan jelas
2 Menyampaikan X     
topic secara
ringkas
3 Menyampaikan X     
topic yang relevan
4 Menyampaikan X     
topic secara
spontan

3.1.3 Kemampuan Verbal : memberikan pendapat tetang masalah


yang dipaparkan
No Aspek penilaian Tn.A Tn.A Ny. Ny. Ny. Ny.
Y R M Y
1 Memberi pendapat X     
dengan jelas
2 Mampu menebak X    X 
ekspresi wajah
3 Mampu X    X 
menjelaskan
ekspresi wajah
4 Mampu X   X X 
menjelaskan SP
resiko perilaku
kekerasan
5 Mampu X     
memperagakan SP
resiko perilaku
kekerasan

3.1.4 Kemampuan Non Verbal

No Aspek penilaian Tn. Tn.A Ny. y Ny. Ny. Ny.


A R M R
1 Kontak Mata X     
2 Gerakan Tubuh      
3 Menggunakan      
bahasa tubuh yang
sesuai
4 Mengikuti kegiatan      
dari awal sampai
akhir
3.2 Respon Pasien
Respon pasien saat diberikan terapi aktivitas kelompok yaitu :

a. Kemampuan Mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan


Pasien mengatakan mampu mengontrol emosi dengan cara tarik nafas
dalam dan pukul kasur bantal ketika sedang marah.

b. Kemampuan Patuh Minum Obat


Pasien mengatakan minum obat 2x/hari. Pasien dapat mengatakan
keuntungan dengan minum obat yaitu untuk menenangkan pikiran dan
pasien bisa tidur dengan nyenyak.

c. Kemampuan Berkomunikasi Secara Verbal


Pasien mengatakan mampu menyelesaikan masalah dengan cara
berbicara baik-baik tidak dengan amarah.

d. Kemampuan Spritual
Pasien mengatakan setiap bangun tidur atau melakukan kegiatan selalu
diawali dengan doa. Pasien selalu mengikuti kegiatan ibadah di
Yayasan pemenang jiwa sumatera.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dapat berakhir dengan hilanngya


nyawa seseorang. Dalam penanganan penyakit ini karena jiwa yang
tergangangu maka di butuhkan adalah terapi, rehabilitasi serta dengan
konseling. Upaya terbesar untuk penangan penyakit gangguan jiwa terletak
pada keluarga dan masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah bentuk
dukungan keluarga dalam mencegah kambuhnya penyakit skizofrenia
(Pitayanti, & Hartono, 2020).

Risiko perilaku kekerasan merupakan gejala dari pasien skizofrenia yang


dapat dikontrol melalui terapi Aktivitas Kelompok. Terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi merupakan terapi yang diberikan dengan menstimulus
semua panca indra pada pasien sehingga terjadi perubahan perilaku dan
memberikan respon yang adekuat. Kemampuan persepsi Pasien akan di
evaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesinya (Arisandy & Sunarmi, 2018).

Salah satu terapi modalitas yang dapat membantu membangun hubungan


pasien dengan orang lain adalah Terapi Aktivitas Kelompok, dengan terapi
aktivitas kelompok, pasien dapat bersosialisasi, mengetahui konteks
kenyataan, menyalurkan energi, dan meningkatkan harga diri, sehingga
pasien dapat mengontrol emosi (Pardede & Ramadia, 2021).

Setelah mendapatkan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi, pasien di


Yayasan pemenang jiwa sumatera terjadi peningkatan pengetahuan,
pemahaman tentang cara mengontrol emosi dan setelah mendapatkan terapi
aktivitas kelompok pasien mampu mengingat SP 1-4 dan .tahu bagaimana
cara melakukannya.
4.2 Saran
Diharapkan bagi tenaga perawat menjadikan Terapi Aktivitas Kelompok
stimulasi persepsi sebagai tindakan keperawatan untuk setiap pasien dengan
masalah gangguan jiwa khusunya pasien Risiko Prilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sepalanita & Khairani
(2019), Stimulasi persepsi yang diberikan pada Pasien Risiko Perilaku
Kekerasan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan
mengenal dan mengontrol prilaku kekerasan baik secara fisik maupun secara
sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Arisandy, W., & Sunarmi, S. (2018).Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi


Persepsi Berhubungan Dengan Kemampuan Pasien Dalam Mengontrol
Perilaku Kekerasan. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan
Aisyiyah, 14(1), 83-90.https://doi.org/10.31101/jkk.553

Dwijayanti, D. A., Lestari, R. T. R., Lestari, N. K. Y., Wati, N. M. N., & Masta, I.

G. J. (2020). Peningkatan Derajat Kesehatan Mental melalui Terapi


Aktivitas Kelompok dalam Posyandu Jiwa. Jurnal Empathy Pengabdian
Kepada Masyarakat, 1(1), 18-25.
https://doi.org/10.37341/jurnalempathy.v1i1.3

Makhruzah, S., Putri, V. S., & Yanti, R. D. (2021). Pengaruh Penerapan Strategi
Pelaksanaan Perilaku Kekerasan terhadap Tanda Gejala Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. Jurnal
Akademika Baiturrahim Jambi, 10(1), 39-46.

http://dx.doi.org/10.36565/jab.v10i1.268

Pardede, J. A., & Ramadia, A. (2021). The Ability to Interact With Schizophrenic
Patients through Socialization Group Activity Therapy. International
Journal of Health Science and Medical Research, 1(1), 06-10.
http://ijhsmr.com/index.php/ijhsmr/article/view/6

Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Hulu, E. P. (2020). Efektivitas Behaviour


Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan. Jurnal
Mutiara Ners, 3(1), 8-

14.http://114.7.97.221/index.php/NERS/article/view/1005
Pardede, J. A., & Laia, B. (2020). Decreasing Symptoms of Risk of Violent
Behavior in Schizophrenia Patients Through Group Activity
Therapy. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(3), 291-

300.http://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/621/338

Pitayanti, A., & Hartono, A. (2020).Sosialisasi Penyakit Skizofrenia Dalam


Rangka Mengurangi Stigma Negatif Warga di Desa Tambakmas
Kebonsari-Madiun. Journal of Community Engagement in
Health, 3(2).https://jceh.org/index.php/JCEH/article/view/83/78

Pratiwi, I. (2020). Gambaran Asuhan Keperawatan Pemberian Terapi Aktivitas


Kelompok Stimulasi Persepsi Sesi V: Mencegah Perilaku Kekerasan
Dengan Patuh Mengonsumsi Obat Pada Pasien Skizofrenia Tahun
2020 (Doctoral Dissertation, Poltekkes Denpasar Jurusan
Keperawatan).Http://Repository.PoltekkesDenpasar.Ac.Id/Id/Eprint/2
196

Riskesdas (2018) Hasil Utama riskesdas 2018 Kementrian Kesehatan Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Sepalanita, W., & Khairani, W. (2019). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok


dengan Stimulasi Persepsi terhadap Kemampuan Mengontrol perilaku
kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi, 19(2), 426-

431.http://dx.doi.org/10.33087/jiubj.v19i2.690

Sudiasih, N. N. A. (2020). Gambaran Asuhan Keperawtan Pemberian Terapi


Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Sensori I: Mengenal Perilaku
Kekerasan Untuk Mengatasi Resiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien
Skizofrenia. Kearya tulis ilmiah, Poltekkes Denpasar Jurusan
Keperawatan. http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/id/eprint/4983
KONSELING BAGI ANAK
YANG MENGALAMI PERILAKU KEKERASAN
Hesty Nurrahmi
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Pontianak Email: es4ty@yahoo.com

ABSTRACT
The violence behavior on children is often performed by the closest people of them, such as parents,
family, and school environment. There are four categories of violence acts on children: negligence, physical
assault, psychological and emotional harassment, and sexual harassment. This paper explores the
counseling or the supporting towards the children experiencing the violence behaviors. Furthermore,
those behaviors include the types of abuse acts, the causes of violence acts, and the counseling given to
the children and family that encounter the violence behaviors.

Keywords: Counseling, Children, Violence acts

PENDAHULUAN
Anak merupakan dambaan setiap pasangan yang telah menikah. Bagi pasangan yang
tidak bisa atau belum dikarunia anak, pasti akan sangat berharap hadirnya seorang anak
dalam kehidupan mereka. Melalui berbagai cara dan usaha dilakukan untuk memperoleh
anak. Berbeda dengan pasangan yang telah memiliki anak, berbagai cara memperlakukan
anak, ada yang otoriter dengan alasan sangat menyanyangi anak-anak mereka, ada yang
tipe otoritatif anak diperlakukan bebas, terbatas dan bertanggungjawab, ada lagi tipe
yang selain kedua di atas yaitu tipe permisif. Tipe ini biasanya membiarkan anak-anak
mereka mengatur hidup mereka sendiri, mungkin karena kesibukan orangtua atau tidak
mengetahui cara mengasuh anak. Anak adalah amanah atau titipan Allah SWT kepada
kita. Untuk itu diperlukan ilmu dan kesabaran dalam mengasuh, mendidik dan merawat
anak.
Keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak (Mansur: 2005). Berawal
dari keluarga, anak belajar berbagai hal. Namun, terkadang melalui keluarga dan orang-
orang terdekat, anak memperoleh perilaku kekerasan. Kekerasan terhadap anak(menurut
Wikipedia:2015) adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional,
atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau
serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang
dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman
yang berbahaya kepada anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah
anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau
organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap
anak yaitu: pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan
seksual anak.Beberapa kasus yang memiliki kategori kekerasanpada anak antara lain:
kasus yang dialami DA (10) anak yang disetrika oleh ibu tirinya berinisial S (33) hingga
mengakibatkan luka melepuh di bagian pipi. (23 Maret 2015); Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menganggap kalau sekolah kini bukan tempat yang aman bagi
anak. Sekolah yang seharusnya memberikan perlindungan dan pengetahuan berganti
menjadi tempat yang menakutkan bagi anak."Fenomena punishment bermuatan kekerasan
masih terjadi. Masa orientasi
siswa baru belum steril dari kekerasan," kata Susanto komisioner KPAI bidang pendidikan
kepada wartawan. Masalah bullying, lanjut Susanto masih jadi tradisi dibeberapa sekolah.
Perbuatan senior yang melakukan penindasan kepada junior dianggap biasa. "Ini diabaikan oleh
sekolah. Seolah ada pembenaran terkait muatan kekerasan itu," tambahnya. Titik-titik rawan
kejahatan seksual, lanjut Susanto di sekolah antara lain laboratorium komputer, toilet, lokasi
sekolah yang tak terekam oleh CCTV, kolam renang. "Jadi tetap harus berhati-hati saat berada
di sekolah. Bagi sekolah harus selalu evaluasi sejauh mana bisa bertindak tanpa kekerasan
dalam proses belajar mengajar," tutup Susanto. (Metro sindonws: 2015)
Selain itu, pengaduan tindak kriminal anak dan perempuan Kota Depok meningkat dibanding
tahun lalu. Pada tahun 2014 tercatat ada 113 kasus, tahun ini bertambah menjadi 204 kasus.
Anggota Komisi D DPRD Kota Depok Rezky M. Noor mengaku miris dengan meningkatnya
kasus kekerasan anak dan perempuan. Peningkatan tersebut dipicu pula oleh tingginya
kesadaran masyarakat untuk melapor ketika menjadi korban kekerasan. "Adanya peningkatan
laporan kasus ini kami rasa bukan karena tindakan kriminal melainkan karena para korban dan
warga berani melaporkan kejadian kepada pihak kepolisian," kata Rezky usai pertemuan
dengan pihak kepolisian Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Polresta Kota Depok. (Metro
Sindonews:2015)
Data pengaduan kejahatan terhadap anak yang diterima oleh Polresta Depok kekerasan
terhadap anak mencapai 36 kasus, persetubuhan terhadap anak 40 kasus, pencabulan terhadap
anak 32 kasus. "Dari temu wicara kami dengan aparat Kepolisian setiap harinya mendapatkan
sekitar 15 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan," katanya. Sebelumnya, seorang anak
tunarungu menjadi korban perkosaan tetangganya sendiri. DR, siswi kelas V sebuah SLB di
Depok diduga diperkosa ketika pulang sekolah. Saat itu korban baru saja turun dari jemputan
dan jalan kaki menuju rumahnya seorang diri. Korban kemudian ditarik pelaku ke lahan kosong
dan diduga disetubuhi.
Demikianlah beberapa kasus perilaku kekerasan pada anak yang secara kuantitas tiap tahun
menunjukkan peningkatan dan secara kualitas menunjukkan kekerasan yang parah dan
memberikan luka yang mendalam baik secara fisik maupun psikis. Masalah ini tidak dapat
dipungkiri akan berdampak yang luar biasa bagi anak baik dimasa sekarang maupun masa akan
datang. Tulisan selanjutnya akan menguraikan jenis-jenis perilaku kekerasan, penyebab
perilaku kekerasan dan bantuan konseling yang dapat diberikan bagi anak dan keluarga yang
mengalami perilaku kekerasan.

JENIS PERILAKU KEKERASAN


Beberapa penelitian, perilaku kekerasan dapat dirumuskan dalam bentuk pengabaian,
penyiksaan fisik, penyiksaan emosi dan pelecehan seksual.
1. Pengabaian, contoh kasus: Vira (24 th), punya anak tak lama setelah menikah. Ia merasa
menjadi tawaan yang tidak bebas lagi berkumpul dengan teman-teman. “Real life tak
seperti romantisme yang saya bayangkan. Kebebasan saya terampas,” ujarnya. Maka
pengasuhan bayi sepenuhnya diserahkan pada baby-sitter. Vira sendiri selalu pulang tepat
sebelum suaminya tiba di rumah, seolah seharian mengurus anak. Padahal, “Tidur, mandi,
makan, susu, bahkan uang belanja harian dan bulanan, saya serahkan sepenuhnya pada
baby-sitter. Saya tak mau tertawan.”
Pengabaian bermakna membiarkan anak tanpa memberikan pengasuhan, penjagaan dan
perhatian secara baik dan benar. Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara
pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial.
Pengabaian anak banyak dilaporkan sebagai kasus terbesar dalam kasus penganiayaan
terhadap anak dalam keluarga. Dampak fisik yang dapat dirasakan anak seperti kurangnya
asupan gizi, tidak terurusnya anak dalam segi kebersihan pakaian, dan kebersihan badan.
Sedangkan dampak emosi seperti mudah cemas, depresi, sulit percaya pada orang lain dan
merasa tidak aman; penelitian Dante Cicchetti, ahli psikopatologi dari University of Minessota
(AS) menyebut, 80% bayi yang ditelantarkan menunjukkan perilaku kelekatan yang tidak
jelas; di usia muda anak menolak dan melawan pengasuhnya, bingung, gelisah, atau cemas.
Di usia 6 tahun, anak tidak bertingkah laku layaknya anak, ia ingin mendapat perhatian
dengan cara melayani orangtuanya. Secara rinci jenis-jenis pengabaian anak:
a. Pengabaian fisik, misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang
kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
b. Pengabaian pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang
sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini
dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.
c. Pengabaian secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orangtua tidak menyadari
kehadiran anak ketika ´ribut´ dengan pasangannya. Atau orangtua memberikan
perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-anaknya.
d. Pengabaian fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orangtua gagal menyediakan layanan
medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orangtua
memberi pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali
ke layanan dokter.

Efek Pengabaian Anak


Pengaruh yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua
terhadap anak. Bayi yang dipisahkan dari orangtuanya dan tidak memperoleh pengganti
pengasuh yang memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman, gagal
mengembangkan perilaku akrab (Hurlock, 1990), dan selanjutnya akan mengalami masalah
penyesuaian diri pada masa yang akan datang. Faktor-faktor lain yang menjadi dialami anak:
a. Faktor usia anak. Semakin muda usia anak maka akan menimbulkan akibat yang lebih
fatal.
b. Siapa yang terlibat. Jika yang melakukan penganiayaan adalah orang tua, ayah atau
ibu tiri, atau anggota keluarga maka dampaknya akan lebih parah daripada yang
melakukannya orang yang tidak dikenal.
c. Seberapa parah. Semakin sering dan semakin buruk perlakuan yang diterima anak
akan memperburuk kondisi anak.
d. Berapa lama terjadi. Semakin lama kejadian berlangsung akan semakin meninggalkan
trauma yang membekas pada diri anak.
e. Jika anak mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya, dan menerima dukungan
dari orang lain atau anggota keluarga yang dapat mencintai, mengasihi dan
memperhatikannya maka kejadiannya tidak menjadi lebih parah sebagaimana jika
anak justru tidak dipercaya atau disalahkan.
f. Tingkatan sosial ekonomi. Anak pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
cenderung lebih merasakan dampak negatif dari penganiayaan anak.
2. Penyiksaan Fisik, Segala bentuk penyiksaan fisik terjadi ketika orangtua frustrasi atau
marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupa cubitan,
pukulan, tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakan-tindakan lain yang
dapat membahayakan anak. Sangat sulit dibayangkan bagaimana orangtua dapat melukai
anaknya. Sering kali penyiksaan fisik adalah hasil dari hukuman fisik yang bertujuan
menegakkan disiplin, yang tidak sesuai dengan usia anak. Banyak orangtua ingin menjadi
orangtua yang baik, tapi lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak. Efek dari
penyiksaan fisik:Penyiksaan yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan cedera serius terhadap anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun
psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust
kepada orang lain, perilaku merusak, dan lain-lain. Dan bila kejadian berulang ini terjadi
maka proses recoverynya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.
3. Penyiksaan Emosi, adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain.
Jika
hal ini menjadi pola perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya.
Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk
dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam atau ditolak
akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari penderitaan fisik. Bayi yang
menderita deprivasi (kekurangan) kebutuhan dasar emosional, meskipun secara fisik terpelihara
dengan baik, biasanya tidak bisa bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan
menjadikan bayi tumbuh dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat
perkembangannya, atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah.
Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah:
a. Penolakan, Orangtua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir
anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak
menjadi kambing hitam segala problem yang ada dalam keluarga.
b. Tidak diperhatikan, Orangtua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak
dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orangtua jenis ini mengalami problem
kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar
memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak
orangtua yang secara fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali
tidak memenuhi kebutuhan emosional anak.
c. Ancaman, Orangtua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam
jangka panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau
bahkan terancam kematian.
d. Isolasi, Bentuknya dapat berupa orangtua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan
bersama teman sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang
mendapat stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu
sampai waktu tertentu.
e. Pembiaran, Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku
kejam terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan
seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil,
membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk
juga dalam kategori penyiksaan emosi.

Efek dari Penyiksaan Emosi


Penyiksaan emosi sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang
nyata seperti penyiksaan fisik. Dengan begitu, usaha untuk menghentikannya juga tidak mudah.
Jenis penyiksaan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam
beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan,
perilaku merusak seperti tiba-tiba membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang,
beberapa melakukan agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun
kecenderungan bunuh diri.
4. Pelecehan seksual, Sampai saat ini tidaklah mudah membicarakan hal ini, atau untuk
menyadarkan masyarakat bahwa pelecehan seksual pada setiap usia – termasuk bayi -
mempunyai angka yang sangat tinggi. Bahkan Hopper (2004) mengemukakan bahwa hal
ini terjadi setiap hari di Amerika Serikat.Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi
dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan
tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang
diterimanya.Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk
dalam kategori ini:
a. Pelecehan seksual tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi,
atau
exhibitionisme, dsb.
b. Pelecehan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ seksual
orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Atau adanya penetrasi ke dalam vagina
atau anak dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis.
c. Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam
tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno.
Ada beberapa indikasi yang patut kita perhatikan berkaitan dengan pelecehan seksual yang
mungkin menimpa anak seperti keluhan sakit atau gatal pada vagina anak, kesulitan duduk atau
berjalan, atau menunjukkan gejala kelainan seksual.

Efek Pelecehan Seksual


Banyak sekali pengaruh buruk yang ditimbulkan dari pelecehan seksual. Pada anak yang masih
kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan
pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya
masalah kulit, dan lain-lain. Pada remaja, mungkin secara tidak diduga menyulut api, mencuri,
melarikan diri dari rumah, mandi terus menerus, menarik diri dan menjadi pasif, menjadi
agresif dengan teman kelompoknya, prestasi belajar menurun, terlibat kejahatan,
penyalahgunaan obat atau alkohol, dan sebagainya.

PENYEBAB PERILAKU KEKERASAN


Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan terhadap anak antara lain
immaturitas/ketidakmatangan orangtua, kurangnya pengetahuan bagaimana menjadi orangtua,
harapan yang tidak realistis terhadap kemampuan dan perilaku anak, pengalaman negatif masa
kecil dari orangtua, isolasi sosial, problem rumah tangga, serta problem obat-obat terlarang dan
alkohol. Ada juga orangtua yang tidak menyukai peran sebagai orangtua sehingga terlibat
pertentangan dengan pasangan dan tanpa menyadari bayi/anak menjadi sasaran amarah dan
kebencian.
Menurut Gelles Richard J. (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child
abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:
a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violence).
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari oran tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa
mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan
diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30%
anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada
anak anaknya.
Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang
memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan
kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orang
tua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang
dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap
anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment),
penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari
rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang
cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian
besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang
hidup dalam kemiskinan.
Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi
tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung
terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu
organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau
kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan
kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu,
keluarga keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan
penting, seperti : di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana
mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap
anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga keluarga yang suami istri sama sama
bertanggungjawab atas keputusan keputusan tersebut.

BANTUAN KONSELING BAGI ANAK YANG MENGALAMI PERILAKU


KEKERASAN
1. Periksa anak ke dokter/psikolog/psikiater untuk mengetahui tumbuh-kembangnya serta
status gizinya.
2. Penuhi kebutuhan anak untuk menumbuhkan rasa percaya dan rasa aman.
3. Ajak anak bermain dan penuhi kebutuhan emosinya seperti diajak bicara atau dibelai,
namun tetap mempertahankan sikap konsisten, tidak cepat marah dan tidak memberi
penilaian negatif pada sikap anak.
4. Untuk kasus tertentu, perlu penanganan mendalam, misalnya anak yang mengalami trauma
fisik dan psikis. Berbagai terapi atau treatment yang dapat digunakan sesuai perilaku
kekerasan yang di alami anak.
5. Untuk kasus pengabaian anak dan penyiksaan emosi, konseling yang diberikan antara lain
memberikan perhatian dan kasih sayang yang ekstra, memperbaiki komunikasi orangtua-
anak. Untuk kasus ini peran orang tua sangat penting. Konselor atau terapis hanya bersifat
mengarahkan.
6. Untuk kasus penyiksaan fisik dan pelecehan seksual, konseling yang diberikan perlu
beberapa kali konseling atau treatment, tergantung tingkat keparahan yang dialami anak.
Bagi anak-anak teknik konseling yang dapat digunakan, dapat berupa terapi bermain,
menggambar atau bercerita tergantung identifikasi kasus dan kebutuhan anak. Metode yang
dapat digunakan dapat melalui konseling kelompok maupun individual.
7. Tujuan dari teknik yang digunakan: membantu anak mengembangkan kekuatan yang
berpusat dan mengaktualisasikan diri mereka sehingga mereka dapat menghadapi dengan
lebih sukses dengan diri mereka dan lingkungannya.
Contoh kasus, dengan bantuan konseling individual:
Latar belakang informasi. St umur 10 tahun, anak tengah dari 5 bersaudara, memiliki 2 saudara
perempuan dan 2 saudara laki-laki. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan aktif dalam kegiatan
masyarakat. Ibu St mempunyai sifat yang otoriter dan disiplin yang percaya bahwa orangtua
harus “keras” dengan anak-anaknya. Orangtua St mengalami kesulitan berhubungan dengan
anak-anak mereka dan memilih untuk memperlakukan mereka sebagai miniature orang dewasa.
Semua anak mengalami masalah dalam hubungan pribadi. Anak yang besar mempunyai
masalah emosi dan sedang dalam proses penyembuhan.
Penyampaian masalah. St dikirim ke konseling karena dia berjalan kaku, gerak tubuh dan bicaranya
seperti robot, dan mengatakan bahwa teman sekelasnya adalah anak-anak dari luar angkasa.
Tingkahlakunya menjadikan St menjadi bahan tertawaan teman-teman sebayanya. St sangat
pendiam dan mengasingkan diri, dan menurut hasil sosiogram dia tidak mempunyai teman
dalam kelasnya. Gurunya hari ini menyampaikan: Hari ini St bersembunyi di belakang selama
40 menit meskipun dia harus ke kelas matematika. Tidak ada penjelasan-hanya menangis.

Pertemuan ke I (Awal): Mengembangkan Hubungan


Pertemuan awal dengan St. Selama awal pertemuan St tampak rapuh, nervous, dan sangat pucat.
Dia berbicara seperti robot untuk menunjukkan hidupnya secara detail pada planet lain. St
menyampaikan dia telah bermimpi dan dia menulis kepada orang-orang planet dan akan
mengirimnya kepada konselor. St diminta untuk menggambar. St menggambar sebuah keluarga
dengan wajah robot dengan wajah kaku, satu sama lain tidak berinteraksi. Dia menggambar
seorang tukang sihir dengan wajah yang buruk yang dia identifikasikan sebagai (Jn) anak
tertua.

Konselor menggunakan pertemuan pertama dengan memulai hubungan kerjasama dengan


orangtua anak. Ditambah dengan membentuk rapportdan mengembangkan hubungan
kerjasama
dengan anak, pertemuan awal konselor memberikan kesempatan kepada orangtua untuk
mengungkapkan masalah mereka dan mereka merasa dihargai dan dimengerti. Pada pertemuan
awal ini, konselor mendapatkan informasi tentang gaya hidup orangtua dan interaksi orangtua
dan anak. Dalam mengeksplorasi hubungan orangtua anak, konselor menemukan sebagian
besar gangguan hubungan antara orang tua dan anak.

Pertemuan ke 2 dan seterusnya dilakukan konselor sebagai proses konseling yang terdiri,
pengungkapan masalah dari anak dan keluarga, melakukan proses treatment, penyadaran diri
anak, aktualisasi diri dan sampai akhirnya St perlahan-lahan mengubah perilakunya yang kaku
seperti robot. Dia berhenti sakit dan sering menangis. Akhirnya, dia diterima oleh anak-anak
teman sebayanya dalam kelas dan mereka mulai bermain catur bersama-sama. Pada puncak
kesembuhannya, St menemukan bahwa lebih nyaman menjadi anak laki-laki daripada tetap
menjadi makhluk planet/robot.

PENUTUP
Demikianlah uraian tentang konseling terhadap perilaku kekersan pada anak dan salah satu
contoh kasus anak dengan perilaku keras atau sikap otoriter orangtua. Melalui proses konseling
yang berkali-kali dan cukup lama, serta peran serta orangtua dan keluarga, anak dapat
mengalami perubahan dan penyembuhan. Namun kesembuhan anak yang terjadi tidak berarti
anak sehat 100%, akan tetapi harus terus dibarengi dengan mengkondisikan hubungan dan
lingkungan yang sehat, tetap memberikan perhatian dan kasih sayang yang optimal. (*)

REFERENSI

Elizabeth Hurlock (1990), Child


Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.3, November 2016, hal 191-199 pISSN 1410-
4490, eISSN 2354-9203
DOI : 10.7454/jki.v19i3.481

STIGMATISASI DAN PERILAKU KEKERASAN PADA ORANG DENGAN


GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI INDONESIA

Muhammad Arsyad Subu1*, Dave Holmes1, Jayne Elliot1

1. STIKes Binawan, Jakarta 13630, Indonesia

*E-mail: msubuo61@uottawa.ca

Abstrak

Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
penderita terhadap orang- orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat.
Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari keluarga, masyarakat dan profesional
keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam hubungannya
dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan
yang dilakukan oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist
Grounded Theory. Metode pengumpulan data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen
reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan metode Paillé. Perilaku
kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang
lain. Dampak stigmatisasi dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan aparat. Hasil temuan ini relevan untuk
para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku kekerasan.
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah
terkait stigma dengan perilaku kekerasan.

Kata kunci: gangguan jiwa, perilaku kekerasan, stigma, stigmatisasi


Abstract

Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of


stigmatization of mental illness is violent behavior conducted by patients toward other people
around them including families, nurses and communities. Conversely, patients experienced
violence conducted by families, communities and nursing professionals. This study aims to
understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to
investigate violent behavior committed by sufferers against other people. This study used
Constructivist Grounded Theory. Methods of data collection are semi-structured interviews,
document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé. Violent behavior is the
effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and
health professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of
stigmatization is manifested by violent behavior committed by patients, families, staff,
community and authorities. Findings are relevant to psychiatric nurses who provide care to the
patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of families,
communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.

Keywords: Mental Illness, violent behavior, stigma, stigmatization

Pendahuluan
Para ahli memperkirakan 15% populasi global akan memiliki masalah gangguan jiwa tahun
2020 (Harpham, et al., 2003). Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya mengala- mi
dampak akibat gejala dan penyakit, tetapi juga stigmatisasi (Kapungwe, 2010). Prevalen-

si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7 per 1000 dan ODGJ ringan sekitar 6% dari total
populasi (Kemenkes, 2013). Tujuh puluh lima persen ODGJ mengalami stigma dari masyara-
kat, pemerintah, petugas kesehatan dan media (Hawari, 2001). Perilaku kekerasan ODGJ
menjadi penyebab utama stigmatisasi di ma- syarakat dan tenaga kesehatan.
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan & Watson, 2005). Profesional dalam pelaya-
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien dalam
keperawatan jiwa yang lebih tinggi (Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku kekerasan
merupakan kejadian umum di RS (Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se- bagian besar
perawat, beresiko menjadi korban kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- Pierre, 2012).
ODGJ menghadapi stigmatisasi yang menyebabkan mereka rentan terhadap perilaku kekerasan
orang. ODGJ lebih sering menjadi korban daripada pelaku kekerasan (Stuart, 2004), menjadi
korban fisik dan seksual (Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor- ban kejahatan dan diskriminasi
(Katsikidou, et al., 2012). Sepu-luh persen penderita adalah korban kekerasan (Schomerus, et
al., 2008).

Suatu penelitian di Australia mengungkapkan bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah mengalami serangan fisik dan 57% setelah
mengalami kekerasan seksual (McFarlane, Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke- kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke- luarga
dan bukan orang asing. Mereka sering dipukul atau diancam oleh anggota keluarga mereka
(Katsikidou, et al., 2012; Solomon, Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur intensif
mengungkapkan bahwa penelitian tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum fokus pada
dampaknya terhadap perilaku ke- kerasan pada ODGJ. Penelitian ini mem- berikan analisis
mendalam untuk memahami hubungan antara stigmatisasi dengan perilaku kekerasan pada
ODGJ.

Metode
Penelitian ini memberikan pemahaman subs- tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan

perilaku kekerasan di kalangan ODGJ dewasa Indonesia dengan menggunakan Constructivist


Grounded Theory (CGT). CGT diperkenalkan pertama kali oleh Kathy Charmaz. CGT kon-
sisten dengan epistemologi dan ontologi ‘konstruktivisme’ yang memprioritaskan pada
fenomena penelitian dan melihat data dan analisisnya sebagai hal yang dibuat dari pengalaman
bersama peneliti dengan partisi- pan dan sumber lainnya" (Charmaz 2006, p.330). Desain
penelitian ini lebih pada pen- dekatan objektivis, dan peran peneliti adalah menemukan
kebenaran yang ada di dalam objek penelitian dan meminimalisasi ‘keku- atan’ (Charmaz,
2006, p. 331).

Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem- puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak 30
partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk memastikan saturasi data (Charmaz, 2006). Para
partisipan hanya yang memiliki kemam- puan membaca dan menulis, berusia 18 tahun atau
lebih, mengalami gangguan jiwa dan stigma.

Pengumpulan data melalui wawancara semi- berstruktur yang direkam menggunakan digital
audio. Telaah dokumen juga digunakan seba- gai triangulasi data untuk meningkatkan pro-
babilitas kredibilitas interpretasi data (Lincoln & Guba, 1985). Dokumen tersebut berupa
hardcopy dan elektronik seperti laporan, log perawat, pre dan post konferensi, moto, visi dan
misi RS. Memo digunakan untuk mendo- kumentasikan pengalaman dalam laporan ker- tas
yang menjelaskan proses berpikir peneliti. Catatan lapangan dari observasi dan refleksi data,
merupakan bagian dari pendekatan ref- leksif proses analitis data (Charmaz, 2006).

Analisis data menggunakan metode Paille (1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
menghubungkan kategori, integrasi, konsep- tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan Cowley
(2004) terdapat tiga tahapan analisis yaitu koding awal, fase menengah, dan

pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi (koding awal), menghubungkan kategori dan
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi dan teorisasi (pengembangan akhir). Tahap
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam bentuk
kode secara terorganisir (proses pembentukan kode). Tujuannya adalah mem- beri nama,
mengungkap, meringkas dan mem- beri label, baris demi baris, dari data trans- kripsi.
Kodifikasi ini membantu mengidenti- fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal dan
pembentukan kategori. Tahap kategorisasi adalah untuk menggambarkan fenomena se- cara
umum atau peristiwa yang muncul dari data yang kemudian dibuat daftar kategori. Tahap ini
adalah untuk menentukan kategori dengan mengidentifikasi variasi dalam data dapat
dijelaskan dengan kategori lain. Tahap integrasi adalah menentukan fenomena- fenomena yang
telah diamati secara empiris. Dengan mengintegrasikan hubungan antara kategori, peneliti
mengidentifikasi kongruensi tertentu yang muncul antara data dan arah penelitian yang
diambil selama analisis. Tahap konseptualisasi adalah proses pengembangan dan klarifikasi
konsep-konsep yang muncul dan menjelaskan konsep tersebut dengan kata- kata dan untuk
memberikan definisi konsep- tual secara verbal. Proses ini memungkinkan peneliti untuk
memahami fenomena penelitian dan kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori- sasi merupakan
proses konstruksi untuk me- nguatkan teori atau pemahaman susbstantif. Tidak semua
penelitian grounded theory menghasilkan teori; akan tapi pemahaman yang mendalam dan
substantif merupakan hasil akhir dari sebuah penelitian dengan grounded theory Charmaz
(2006).

Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran,
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data dari berbagai
sumber diantaranya melalui wawancara, cata- tan lapangan, dan memo. Koding data dengan

kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng- gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
pengalaman partisipan terkait stigma dengan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan kata-
kata partisipan yang sebenarnya untuk menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti- kulasikan
dengan asumsi, posisi epistemologis dan teoritis yang memengaruhi proses peneli- tian.
Dilakukan evaluasi diri sebagai instrumen dan melihat efek peneliti yang dilakukan melalui
refleksi diri dan memoyang ditulis dalam jurnal.

Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
dengan jelas proses berpikir peneliti (Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini, auditabilitas
dilakukan dengan kriteria untuk merumuskan pemikiran, bagaimana dan mengapa para
partisipan dalam penelitian ini dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu- nakan kerangka
yang disajikan oleh Paille (1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang- kah dalam analisis data
dan memastikan bah- wa pembaca dapat memahami bagaimana data itu didapatkan atau
dibentuk oleh partisipan dan peneliti.

Fittingness atau transferabilitas berarti hasil penelitian memiliki arti yang sama pada situasi
serupa (Chiovitti & Piran, 2003). Dalam penelitian ini, selama proses koding, semua data yang
dibuat kode telah diperiksa oleh seorang pakar lain untuk melakukan cek eksternal yang terkait
dengan hasil penelitian.

Hasil
Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri. Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja menyakiti
diri sendiri. Seorang pasien meng- gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial menyebabkan
ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri. Rasa takut terhadap orang lain juga menjadi
pencetus ide bunuh diri.
“...kadang saya tidak bisa mengendalikan diri sampai saya berkeinginan bunuh diri. Saya
mencoba bunuh diri tiga kali dengan

minum racun tapi saya tidak mati ... Dengan penyakit jiwa, kepercayaan diri saya rendah. Saya
merasa bingung; dengan orang lain, saya takut. Saya takut melihat orang lain.“ (P1).

Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain dan Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah
melakukan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga atau kerabat.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga dan saya menjadi beban keluarga saya. Karena
kesulitan dalam hidup, saya harus berada di sini (RSJ). Otak saya punya banyak masalah. Jadi,
saya marah dan melakukan kekerasan di rumah dan selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” (P1).

Pasien yang melakukan kekerasan sering disembunyikan oleh keluarga, sehingga mereka
terisolasi di masyarakat.
“L [teman] punya keluarga dengan penyakit jiwa; jika [pasien] melakukan kekerasan, ia
menghancurkan atap, rumah, dll. Jadi keluarga merahasiakan dan menyembunyikannya.
Mereka [pasien dan keluarga] jarang diundang oleh masyarakat. Jadi, mereka terisolasi.
Mereka terpinggirkan... stigmakan?” (P11).

Pasien juga melakukan kekerasan terhadap fasilitas umum, dan menghancurkan barang-
barang.
“Saya melemparkan asbak. Ceritanya, saya kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar dengan angsuran.
Seratus, lima puluh, uang saya dari BJB lebih banyak... Saya marah; Saya tidak bisa
mengendalikan diri. Saya jadi marah, seperti itu. Kemudian, saya dibawa ke sini (RSJ).” (P13).

Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi. Pasung dan seklusi masih digunakan untuk menangani
penderita gangguan jiwa. Beberapa perawat menunjukkan bahwa ada pasien diikat, dirantai,
atau dimasukkan ke dalam

balok kayu.
“Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ. Banyak sekali kita menerima pasien yang telah
dipasung, terikat, dirantai, dimasuk- kan ke dalam balok kayu; tapi, ada juga pasung, seperti
menempatkan penderita di ruangan kecil dan dikasih makanan sekali sehari. Beberapa pasien
tidak bisa ber- jalan, kurus dan kurang gizi. Mereka tidak dapat berbicara. Keluarga mereka
kaya; jika mereka ingin membawa pasien ke RS, saya yakin mereka mampu” (P13).

Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga mengakui
beberapa pasien yang memiliki riwayat pasung di rumah karena mereka melakukan kekerasan,
mereka menggang- gu masyarakat. Mungkin [mereka] tidak tahu cara merawat orang dengan
penyakit jiwa. Hal ini masuk akal juga, kan? Mungkin lebih baik bagi mereka untuk
menyelamatkan orang-orang daripada merawat ODGJ.” (P9).

Perawat lain mengatakan bahwa beberapa pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar negeri.
Mereka dikurung oleh keluarga saat mereka kembali.
“Mereka dikait di pilar besar. Ada yang diletakkan di kandang kambing atau ayam. Mereka
dikurung seperti kambing. [Pasien] buang air besar, makan disitu, seperti binatang. Ini bukan
cerita tapi saya melihatnya langsung; Saya itu saksi kondisi ini. Enam pasien telah dibawa ke
RS. Ya, beberapa dari daerah ini mengirimkan banyak pekerja di Jawa Barat. Jadi mereka stres
karena mereka bekerja di Arab Saudi. Mereka stres, dan kembali ke Indonesia dikurung oleh
keluarganya.” (P15).

Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh

orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah penyakit jiwa (P1).

Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ,
melanggar hak-hak seseorang.
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang-orang
melakukan kejahatan terha- dap mereka, seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. Saya
dipasung karena apa? Saya dipasung bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung untuk
membuat saya "gila." Hal ini lebih menyakitkan benar.” (P14).

Kekerasan oleh Pengobatan Tradisional. Banyak ODGJ yang mendapatkan pengobatan


tradisional mengalami kekerasan dari terapis. Pasien mengalami terapi alternatif yang ber- sifat
abuse, seperti ditenggelamkan, dicambuk, atau dimandikan paksa.
“Ya, saya dimandikan tengah malam. Dukun menggunakan ilmu sihir...[tidak jelas], memukuli
saya. Saya dimandikan jam satu malam. Saya tidak tidur. Badan saya dikocok kocok seperti
kambing. Saya disana satu setengah bulan, namun saya tidak sehat, saya tidak lebih baik.”
(P2).

Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah satu pasien menceritakan pengalamannya ditahanan
di kantor polisi. Pasien lain diborgol oleh polisi karena perilaku kekerasannya.
“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol saya. Ibu saya meminta bantuan polisi untuk
memborgol saya. Tapi belenggu borgol rusak. Lihat ini [bekas luka di tangannya].” (P15).

Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik terhadap
pasien. Metode pengikatan, pengeka- ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan

perawat.
“Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal). Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).

Pasien dengan perilaku kekerasan yang membahayakan akan diisolasi sebagai metode
pengendalian.
“Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber bahaya… mereka nganggap orang gila itu
benar-benar gila, bukan manusia; harus dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang, dan
ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi, saya
seperti babi diseret.” (P9).

Seringkali petugas keamanan dan perawat bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
kekerasan.
“Semuanya dihancurkan, TV rusak. Teman saya di S (bangsal) telah meng- hancurkan TV.
Sekarang, dia ada di sini, di bangsal K. Pasien dengan kasar diseret oleh petugas keamanan.
"Ayo kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa. "Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
diperlakukan seperti itu.” (P2).

Seorang perawat mengatakan bahwa umumnya pasien baru di RSJ diikat.


“Jika pasien datang ke rumah sakit sangat mudah marah, beberapa pasien ini terikat; ada pula
yang diborgol. Jika pasien datang dengan kurang atau tidak marah, mereka tidak terikat. Jadi,
jika pasien berada dalam kondisi marah ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika mereka tidak
benar-benar marah, mereka tidak diikat oleh orang lain. Mereka dibawa oleh keluarga atau
polisi kesini. Ya, polisi. Seperti itu. Jika pasien baru, sebagian besar mereka datang dengan
terikat.” (P6).
Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan akibat
kekerasan dari terapi dan pengobatan alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang telah
dibawa ke dukun mengungkapkan:
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di daerah terpencil di Jawa, dan tempatnya sangat gelap.
Saya takut. Dia itu mantan pasien sakit jiwa. Dia mengatakan: "Ini penyakit gila. Ini psikopat".
Saya ingin melarikan diri. Saya takut benar melihat kapaknya. Saya sangat stres, itu pengo-
batan yang aneh.” (P3).

Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika penderita di rumah,
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar penderita mengganggu masyarakat. Umumnya,
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan anggota keluarga merasa ga nyaman dengan
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan lagi” (P11).

Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ dengan riwayat perilaku kekerasan membuat takut
masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan diisolasi oleh teman dan masyarakat.
“Teman-teman merasa takut. Mereka
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan saya karena saya orang sakit jiwa. Ya, argumen
saya tidak diterima; tidak dipahami oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara benar, mereka
harus nurutin saya ” (P5).

Pembahasan
Hubungan antara gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan adalah penyebab utama
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- sien
melakukan kekerasan di keluarga dan komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5

kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
(Wehring & Carpenter, 2011).

Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke- rasan mandiri meliputi ide atau percobaan bunuh
diri, sengaja melukai diri, serta bunuh diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ melakukan
percobaan bunuh diri (Harkavy- Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004). Risiko menyakiti
diri sendiri meningkat terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat adalah profesi yang paling rentan menjadi
target kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al., 2006), sebagian besar perawat mengalami
kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al., 2006; Landy, 2005).

Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi- laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al., 2012).
Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk., 2009).
Interaksi antara polisi dan ODGJ kadang-kadang terkait dengan perilaku keke- rasan (Cotton
& Coleman, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
hubungan erat antara perilaku kekerasan yang dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men- ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje & Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian

Medical Association, 2008). Banyak yang menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an- caman
bagi keselamatan umum (Jorm & Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami perawat dapat
memengaruhi hubungan pera- wat dengan pasien, yang menghambat pem- berian asuhan
keperawatan (Jacob, 2010).

Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat dipengaruhi oleh media massa yang berperan
membentuk opini masyarakat. Penggambaran ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, 2003).

Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa perilaku kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada- lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan para perawat. Hasil penelitian memberikan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya- nan keperawatan jiwa di Indonesia.

Sangat penting memasukkan materi stigma- tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen-
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan akan menghadapi risiko perilaku kekerasan dari
pasien jika bekerja di area keperawatan jiwa. Keperawatan jiwa merupakan area yang bersiko
mendapatkan ancaman dan kekerasan sehingga seringkali membenarkan beberapa jenis
intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau pengasingan yang merugikan hubungan pera- wat
dengan pasien.

Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat
pemerintah memandang stigma terkait perilaku kekerasan pada ODGJ. Program kampanye
anti-stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke-
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga dapat
mengurangi akibat negatif dari stigma gangguan jiwa (SH, INR, PN).

Referensi
Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the link between discrimination, mental health
outcomes, and life chances among Latinos. Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28 (2),
245–266.

Arboleda-Florez, J. (2003). Considerations on the stigma of mental illness. Canadian Journal


of Psychiatry, 48 (10), 645–650.
Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of public and self-stigma to seeking mental
health services. Journal of Mental Health Counseling, 33 (2), 161–176.

Canadian Medical Association (2008). 8th Annual national report card on health care. Ottawa
ON: Canadian Medical Association.

Charmaz, K. (2006). Constructing grounded theory: A practical guide through qualitative


analysis. London: Sage Publications.

Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and grounded theory research. Journal of Advanced
Nursing, 44 (4), 427–435.

Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings from the national comorbidity survey on the
frequency of violent behavior in individuals with psychiatric disorders. Psychiatry Research,
136, 153–162.

Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian police agencies and their interactions with
persons with a mental illness: A systems approach. Police Practice and Research, 11 (4), 301–
314.

Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A., Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann.
J.J.(2003). Suicide attempts in schizophrenia: The roleof command auditory hallucinations for
suicide. Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.

Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas, E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M.
(2003). Measuring health in cost effective manner. Health Policy and Planning, 18 (3), 344.

Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a grounded theory approach: A comparison of
Glaser and Strauss. International Journal of Nursing Studies, 41 (2), 141–150.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2012). Introduction (re) thinking violence
in health care settings: A critical approach. In Holmes, D., Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re)
Thinking violence in health care settings: A critical approach. Surrey: Ashgate Publishing, Ltd.

Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I.,
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons with severe mental illness in Taiwan.
Aealand Journal of Psychiatry, 460–466.

Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., & Okamura, H. (2006). Psychological
impact of verbal abuse and violence by patients on nurses working in psychiatric departments.
Psychiatry and Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36.

Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic psychiatry: nurse-patient interactions in a
secure environment. Doctoral Dissertation School of Nursing University of Ottawa, Canada:

Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s stigmatizing attitudes towards people with
mental disorders: how important are biomedical conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321.

Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental
illness - stigma anddiscrimination in Zambia. African Journal of Psychiatry, 13, 192–203.

Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K .,
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely mentally ill in Greece: The extent of the
problem. International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), 706–715.

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Landy, H. (2005). Violence and aggression: How nurses perceive their own and their
colleagues risk. Emergency Nurse, 13, 12–15.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C. (2004). The prevalence ofvictimization and
violent behaviour in the seriously mentally ill (Theses, University of Adelaide). Department of
Psychiatry, University of Adelaide, Adelaide, Australia.

Paillé, P. (1994). L’analyse par théorisation ancrée.


Cahiers de recherche sociologique, 23, 147–
181.

Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in qualitative research. Advances in Nursing


Science, 8 (3), 27–37.

Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C., Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
&Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood and the appraisal of personal safety in
people with schizophrenia: Results from the European Schizophrenia Cohort (EuroSC).
Psychological Medicine, 38 (4), 591–597.

Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J. (2005). Family violence amongadults with
severe mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1), 40–54.

Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre, L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M.
(2007). Cross-national differences in relationships of work demands, job satisfaction and
turnover intentions with work–family conflict. Personnel Psychology, 60, 805–835.

Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare papers, 5(2), 100–111.

Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., & Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide
ideation and behaviour in recent onset schizophrenia. Social Psychiatry and Psychiatric
Epidemiology, 39, 927–937.

Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., & Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in
adults with severe mental illness. Archives of general psychiatry, 62, 911–921.
Wehring, H.J., & Carpenter, W.T (2011). Violence and schizophrenia.Schizophrenia Bulletin,
37 (5), 877–778.
Development. Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill, Inc. Sri Esti W.D (2005) Konseling
dan Terapi dengan Anak dan Orangtua, Jakarta: Grasindo.

Mansur, (2005). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/balita/psikologi/contoh.kasus.kekerasan.terhadap.anak.da
n.dampaknya/001/007/430/1/1 1 april 2015

http://www.smallcrab.com/anak-anak/550-beberapa-jenis-kekerasan-pada-anak 1 april 2015

http://metro.sindonews.com/read/980860/170/bocah-10-tahun-disetrika-ahok-ibu-tiri-lebih-
kejam-dari-ibu-kota-1427199973 24 maret 2015 di ambil 1 april 2015

http://metro.sindonews.com/read/936149/31/kasus-kekerasan-anak-di-depok-meningkat-
1418307744
http://yosephineyohana.blogspot.com/2013/09/penyebab-kekerasan-terhadap-anak-pi-gw.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak
PENELITIAN
PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN
GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Token Ekonomi adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang
diinginkan dan pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di
LKS-ODK Kemiling Bandar Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini
adalah quasy experimental dengan rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak
20 orang, dipilih dengan purposive sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil
yang didapat adalah rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi
token adalah 20,05, dan rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi
token adalah 36,20. Hasil uji dependen sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan sebelum dan setelah dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas
kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan
jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan menerapkan terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara
terprogram dan terstruktur.

Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi kehidupan, termasuk orang dewasa dan
LATAR BELAKANG

Gangguan jiwa menurut American


Psychiatric Assosiation dalam Diagnostic
and Statistic Manual of Mental (DSM) IV-
TR (2000 dalam Townsend, 2009) adalah
sindroma perilaku yang secara klinik
bermakna atau sindroma psikologis atau
pola yang dihubungkan dengan kejadian
distres pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan secara
signifikan resiko untuk kematian, sakit,
ketidakmampuan atau hilang rasa bebas.
Gangguan jiwa mencapai 13% dari
penyakit secara keseluruhan dan ke
kemungkinan akan berkembang menjadi
25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga
berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari
90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap
tahunnya akibat gangguan jiwa (WHO,
2015). Gangguan jiwa ditemukan di semua
negara, terjadi pada semua tahap
Dasar Tahun 2013 yang menyebutkan
bahwa gangguan jiwa mencapai 1,7%
cenderung terjadi peningkatan gangguan meningkat dari tahun 2007 sebesar 0,46%.
jiwa. Wilayah paling banyak dengan kasus
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk gangguan jiwa adalah Daerah Istimewa
perilaku yang bertujuan untuk melukai Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali,
seseorang secara fisik maupun psikologis dan Jawa Tengah (Kemenkes RI. 2014).
bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada Berdasarkan wawancara dengan perawat
diri sendiri, orang lain dan lingkungan. ruangan pada tanggal 7 Mei 2016,
Ketidakmampuan yang terjadi pada didapatkan data bahwa jumlah pasien rawat
klien gangguan jiwa dikaitkan dengan inap ada 70 pasien gangguan jiwa dan
disabilitas akibat gangguan jiwa berat yang didapatkan 80% mempunyai riwayat
dialami. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
perilaku kekerasan atau sekitar 56 pasien Variabel independen dalam penelitian
yang memiliki riwayat perilaku kekerasan. ini adalah penelitian ini adalah kemampuan
Salah satu terapi yang dapat mengontrol perilaku terapi token. Variabel
dilakukan perawat untuk mengontrol dependen dalam kekerasan. Analisis
perilaku kekerasan adalah dengan univariat dilakukan untuk mengetahui
diberikan terapi kognitif, terapi keluarga, kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
terapi perilaku : token ekonomi (Susana, klien menggunakan analisis yaitu mean,
2012). Perilaku ini dipilih peneliti sebagai median, standar deviasi. Analisa bivariat
pendamping terapi psikofarmaka untuk dilakukan untuk membuktikan hipotesis
meningkatkan perilaku dalam mengontrol penelitian menggunakan uji dependen
perilaku kekerasan. sample t-test.
Terapi token ekonomi dianggap
efektif dalam merubah tingkah laku klien,
terapi ini dengan memberikan klien HASIL
imbalan atas perilaku yang diharapkan dari
klien dan mampu dilakukannya. Kegiatan Analisis Univariat
ini dapat dilakukan dengan memberi token
(permen, uang, atau makanan) bila klien Responden dalam penelitian ini
sukses mengubah perilakunya. berjumlah 20 orang dengan karakteristik
Berdasarkan uraian diatas, maka usia sebagian besar berusia 31-40 tahun
perilaku kekerasan merupakan gangguan (65%) dan berusia 19-30 tahun (35%).
jiwa yang membutuhkan perawatan Berdasaekan jenis kelamin sebagian besar
intensif karena dapat menciderai diri, responden berjenis kelamin laki-laki
oranglain dan lingkungan. Salah satu terapi (70%). Sedangkan berdasarkan lama rawat
yang dapat digunakan adalah terapi responden sebagian besar dirawat dalam
perilaku token ekonomi yang dianggap kurun waktu 11-25 tahun (60%).
efektif dalam merubah tingkah laku klien,
terapi ini dengan memberikan klien Tabel 1: Distribusi Responden Berdasar-
imbalan atas perilaku yang diharapkan dari kan Kemampuan Mengontrol
klien dan mampu dilakukannya. Perilaku Kekerasan Sebelum dan
Sesudah Terapi Token

METODE Kemampuan mengontrol Pre test Post test


perilaku kekerasan f % f %
Desain yang digunakan dalam posttest one group design. Ciri dari desain
penelitian ini adalah quasy penelitian ini dengan memberikan
experimentaldengan rancangan pretest- intervensi kepada responden yang akan
dilakukan terapi token. Sampel penelitian Tidak mampu mengontrol 13 35 6 30
yang diteliti adalah klien yang dirawat inap Mampu mengontrol 7 65 14 70
dengan perilaku kekerasan dengan Jumlah 20 100 20 100
memperhatikan kriteria inklusi sebanyak
20 orang dipilih dengan purposive Berdasarkan tabel di atas diketahui
sampling. InstrumenVyang digunakan bahwa distribusi frekuensi kemampuan
berupa lembar observasi. dalam mengontrol perilaku kekerasan
Waktu penelitian dilakukan pada sebelum dilakukan terapi 7
tanggal 20-30 Juli 2016. Tempat penelitian respondenmampu mengontrl dan setelah
ini dilaksanakan di LKS-ODK Ekspsikotik dilakukan terapi token kemampuan
Kemiling Bandar Lampung. mengontrol perilaku kekerasan meningkat
menjadi 14 responden mampu mengontrol
perilaku kekerasan.
Tabel 2: Distribusi Rata-rata Kemampuan Berdasarkan dari jenis kelamin,
Mengontrol Perilaku Kekerasan didapatkan bahwa distribusi frekuensi jenis
Sebelum dan Sesudah Terapi kelamin pada pasien perilaku kekerasan
Token lebih banyak pada katagori laki-laki
sebanyak 14 dengan persentase 70%. Hal
Kemampuan ini menunjukkan bahwa terjadinya perilaku
Min-
mengontrol Mean Median SD kekeasan lebih banyak dilakukan oleh
Maks
perilaku kekerasan
Sebelum dilakukan lebih patuh daripada usia tua. Hal ini
20,05 18,00 7,02 12-32 memungkinkan karena usia muda memiliki
terapi token
Sesudah dilakukan kapasitas dan fungsi memori yang lebih
36,20 39,50 11,23 16-50
terapi token baik untuk menerima informasi tentang
pengobatan. Struat dan Laraia (2009)
Berdasarkan tabel di atas rata-rata menyatakan usia berhubungan dengan
skor kemampuan mengontrol perilaku pengalaman seseorang dalam menghadapi
kekerasan sebelum dilakukan terapi token berbagai macam stresor, kemampuan
sebesar 20,05 dengan standar deviasi memanfaatkan sumber dukungan dan
sebesar 7,02. Skor terendah 12 dan keterampilan dalam mekanisme koping.
teringgi 32. Sedangkan sesudah dilakukan Dapat disimpulkan bahwa usia berhubungan
terapi token menjadi sebesar 36,20 dengan dengan individu dan kemampuan
standar deviasi sebesar 11,23. Skor mengambil keputusan dalam menyelesaikan
terendah 16 dan tertinggi 50. setiap masalah yang datang.

PEMBAHASAN

Jika dilihat dari segi usia,


berdasarkan hasil penelitian, distribusi
frekuensi umur pasien perilaku kekerasan
lebih banyak pada kategori usia 31-40
tahun sebanyak 13 orang dengan
persentase 65% dan usia 19-30 tahun
sebanyak 7 orang dengan persentase
(35,0%).Data ini menunjukkan klien yang
mengalami perilaku kekerasan lebih
banyak pada klien usia produktif. Hal
inisejalan dengan konsep Niven (2002)
bahwa seseorang yang memiliki usia muda
klien dengan jenis kelamin laki-laki. Hal dirawat makasemakin banyak pasien
ini sejalan dengan teori Al-saffar dan tersebut mendapatkan terapi pengobatan
Saeed (2007), mengatakan bahwa laki-laki dan perawatan. Sehingga dapat
lebih sering di diagnosis sebagai gangguan disimpulkan bahwa pasien yang sudah
jiwa dibanding perempuan. Pada lama dirawat maka kemampuan dalam
umumnya laki-laki dan perempuan mengontrol perilaku kekerasan dirinya
mempunyai resiko yang sama untuk maka semakin baik.
menderita gangguan jiwa berat namun, Berdasarkan hasil penelitian dapat
derajat keparahan gangguan jiwa berat diketahui bahwa rata-rata skore
lebih besar pada laki-laki. Jenis kelamin kemampuan mengontrol perilaku
mempengaruhi kemampuan mengontrol kekerasan sebelum dilakukan TAK dan
diri, dikatakan pria lebih temperamental terapi token sebesar 20,05 dan rata-rata
dari pada wanita yang dikatakan lebih skore kemampuan mengontrol perilaku
sabar dalam mengontrol perilakunya. kekerasan setelah dilakukan TAK dan
Berdasarkan lama dirawat, terapi token sebesar 36,20. Dari hasil uji
Berdasarkan hasil penelitian di dapat paired sample t-test di peroleh p value
bahwa distribusi frekuensi lama di rawat 0,00<0,05, artinya Ho ditolak dan Ha
pada pasien perilaku kekerasan diketahui diterima, ada pengaruh terapi token
lebih banyak pada 11-25 tahun sebesar ekonomi terhadap kemampuan mengontrol
(60%). Menurut teori Noviadi (2008) yang perilaku kekerasan pada pasien rawat inap
dikutip oleh Aristina Haalwa (2014) yang di LKS-ODK Ekspsikotik Kemiling Bandar
menyatakan bahwa semakin lama pasien Lampung Tahun 2016.
Menurut Parendrawati (2009) bahwa Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa
metode pemberian reward atau Provinsi Bali”.Hasil penelitian ini
reinforcementpositif memiliki pengaruh membuktikan ada perbedaan kemampuan
berarti terhadap peningkatan perilaku. klien mengontrol perilaku kekerasan pre
Menurut Stuart & Laraia, (2009) untuk test dengan post test pada kelompok
meningkatkan pengetahuan dan perilaku perlakuan sebelum dan sesudah
seseorang dapat dilakukan dengan mendapatkan terapi token (p value <0,05).
memberikan dasar pengetahuan yang kuat Terapi token ekonomi dianggap
dan pemberian reinforcement positif atau efektif dalam merubah tingkah laku klien,
pemberian reward. Strategi lain untuk terapi ini dengan memberikan klien imbalan
mengubah perilaku secara efektif adalah atas perilaku yang diharapkan dari klien dan
dengan token ekonomi. Hasil penelitian mampu dilakukannya. Kegiatan ini dapat
yang didapat juga didukung oleh teori dilakukan dengan memberi token (permen,
Nasir dan Muhith (2011) salah satu terapi uang, atau makanan) bila klien sukses
perilaku untuk merubah perilaku adalah mengubah perilakunya.
dengan pemberian token ekonomi yaitu Adanya pengaruh terapi perilaku
reinforcement positif yang sering token ekonomi terhadap kemampuan
digunakan pada klien psikiatri. Terapi mengontrol perilaku kekerasan disebabkan
perilaku token ekonomi merupakan suatu karena pada saat pelaksanaan terapi
wujud modifikasi perilaku yang dirancang perilaku token sebanyak 4 sesi, dimana
untuk meningkatkan perilaku yang disetiap sesi ini klien mendapatkan berbagai
diinginkan dan pengurangan perilaku yang informasi mengenai kemampuan
tidak diinginkan. mengontrol perilaku kekerasan secara fisik,
Hasil ini sejalan dengan penelitian diantaranya klien diajarkan cara
yang dilakukan oleh Suardika (2012),
dengan judul penelitian “Pengaruh Terapi
Token Ekonomi terhadap Kemampuan
Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Klien
menarik nafas dalam dan pukul bantal. mengontrol perilaku kekerasannya.
Secara verbal, bagaimana cara meminta Hasil penelitian ini menunjukkan
dengan baik, menolak dengan baik, setelah dilakukan terapi perilaku token
menerima dengan baik, dan permintaan ekonomi, kepatuhan minum obat pada klien
maaf. Secara spiritual, sholat dan berdoa skizofrenia mengalami peningkatan.
tanpa harus menyalahkan Tuhan dengan Terjadinya perubahan perilaku menjadi
keadaan yang seperti ini. Dan patuh patuh minum obat setelah diberikan terapi
minum obat, apa manfaat patuh minum perilaku token ekonomi karena pada saat
obat bagi klien, cara minum obat dengan pelaksanaan terapi perilaku token ekonomi
prinsip 5 benar. Informasi yang sudah ini klien diarahkan dan diajarkan terlebih
diberikan ini untuk merubah perilaku klien dahulu perilaku yang akan dirubah, dan
selain pemberian informasi terapi perilaku klien akan diberikan reward
token juga diperkuat dengan pemberian (reinforcement positif) berbentuk tanda
reward yang berupa hadiah, yang bintang dan tandabintang ini akan
didapatkan ketika responden mampu ditukarkan dengan hadiah yang sudah
menunjukan kemampuan mengontrol disediakan oleh peneliti jika klien mampu
perilaku kekerasan. Pemberian token merubah perilakunya. Reinforcement
(hadiah) ini dilakukan segera setelah klien positif yang berbentuk tanda bintang ini
mampu mengontrol perilaku kekerasan merupakan salah satu bentuk motivsai
dan memiliki nilai tertinggi, dengan ekstrinsik yang dapat merubah perilaku
hadiah yang telah disediakan peneliti, hal klien, dan diharapkan perilaku yang
ini menyebabkan klien merasa dihargai muncul akan cukup mengajarkan untuk
atas perilaku yang mereka lakukan memelihara tingkah laku yang baru.
sehingga klien akan mengulangi perilaku Motivasi ekstrinsik pada penelitian
tersebut sehingga terjadi perubahan ini adalah mendapatkan reward dari nilai
perilaku yaitu klien menjadi mampu dalam tertinggi, tetapi karena mereka
melaksanakan dan mereka mendapatkan manfaat yang baik dari perubahan itu, ditambah lagi
mendapat respon atau pujian yang baik dari teman dan pasien, maka motivasi itu berkembang
menjadi motivasi instrinsik karena responden mendapatkan langsung hadiahnya yaitu menjadi
orang yang lebih baik dan direspon baik dari orang sekelilingnya. Perolehan tingkah laku yang
diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengajarkan untuk memelihara
tingkah laku yang baru yang diyakini dan dilakukannya.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku


kekerasan pada pasien rawat inap sebelum dilakukan terapi token sebesar 20,05 dan setelah
dilakukan terapi token menjadi sebesar 36,02, hal ini berarti terjadi peningkatan. Berdasarkan
hasil analisis statistik, maka disimpulkan bawha ada perbedaan kemampuan mengontrol
kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi token (p value = 0,00 < 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan ada pengaruh terapi token terhadap
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.
Berdasarkan kesimpulan penulis menyarankan agar pusat layanan pasien ekspsikotik
mampu meningkatkan mutu pelayanan dengan menerapkan terapi- terapi aktivitas kelompok
dan psikoterapi kepada pasien gangguan jiwa secara terprogram dan terstruktur.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang Kemenkes
RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-ODK
Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Orang Dengan Gangguan Jiwa yang disingkat dengan ODGJ adalah orang yang

mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi

dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna,serta

dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai

manusia (Undang Undang Kesehatan Jiwa No.36, 2014). Hambatan yang dialami

oleh klien gangguan jiwa akan mempengaruhi kualitas hidupnya, sehingga menjadi

perhatian khusus karena dampak yang diakibatkan tidak hanya pada klientetapi

juga berdampak pada keluarga dan masyarakat. Hal tersebut di atas menunjukan

masalah gangguan jiwa di dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat

serius dan menjadi masalah kesehatan global.

Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2013 mencapai 450 juta jiwa

diseluruh dunia, dalam satu tahun sesuai jenis kelamin sebanyak 1,1 wanita, pada

pria sebanyak 0,9 sementara jumlah yang mengalami gangguan jiwa seumur hidup

sebanyak 1,7 wanita dan 1,2 pria. Menurut National Institute of Mental Health

(NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004,

diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih mengalami

gangguan jiwa NIMH, (2011) dalam Trigoboff, (2013).Prevalensi gangguan jiwa

cukup tinggi dan terjadi pada usia produktif.

1
Data Riskesdas tahun 2007 menunjukan Prevalensi Nasional Gangguan

Jiwa Berat yaitu Skizofrenia sebesar 0,46%, atau sekitar 1,1 juta orang atau

5,2% dari jumlah penderita Skizofrenia di seluruh dunia sedangkan data

RiskesdasTahun 2013 Prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis/ skizofrenia)

pada penduduk Indonesia 1,7 per mil atau 1-2 orang dari 1.000 warga di

indonesia yang mengalami gangguan jiwa berat yang berjumlah 1.728

orang.

Data statistik dari direktorat kesehatan jiwa, masalah kesehatan jiwa dengan

klien gangguan jiwa terbesar (70%) adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah

sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi fungsi individu antara lain

fungsi berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterprestasikan

realita, merasakan dan menunjukkan emosi serta berperilaku (Stuart

&Laraia, 2013). Skizofrenia diakibatkan karena ada gangguan pada struktur

otak yang mengakibatkan perubahan kemampuan berpikir, bahasa, emosi,

perilaku sosial dan kemampuan berhadapan dengan realita secara tepat

(Varcarolis & Halter, 2010).Berdasarkan hal tersebut klien dengan

skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sehari-hari, hal

ini ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab. Selain itu

pasien cenderung apatis, menghindari kegiatan dan mengalami gangguan

dalam penampilan.

Menurut Videbeck (2008) klien dengan skizofrenia memiliki karakteristik

gejala positif yaitu meliputi adanya waham, halusinasi, disorganisasi


pikiran, bicara dan perilaku yang tidak teratur yaitu berupa perilaku

kekerasan. Berdasarkan gejala positif tersebut yang menyita perhatian cukup

besar pada masalah keperawatan jiwa adalah masalah perilaku kekerasan.

Prevalensi klien perilaku kekerasan diseluruh dunia di derita kira-kira 24

juta orang. Lebih dari 50 % klien perilaku kekerasan tidak mendapatkan

penanganan. Di Amerika Serikat terdapat 300 ribu pasien skizofrenia akibat

perilaku kekerasan yang mengalami episode akut setiap tahun. Menurut

penelitian di Finlandia di University of Helsinki dan University Helsinki

Central Hospital Psychiatry Centre, dari 32% penderita Skizofrenia

melakukan tindakan kekerasan, dan 16% dari perilaku kekerasan pada klien

mengakibatkan kematian, dari 1.210 klien (Virkkunen, 2009). Dan menurut

data Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, jumlah

penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta yang terdiri dari

pasien perilaku kekerasan. Diperkirakan sekitar 60% menderita perilaku

kekerasan di Indonesia (Wirnata, 2012).

Penelitian yang lain menunjukan bahwa data klien perilaku kekerasan pada

berbagai setting, menunjukan adanya perbedaan dari tiap-tiap negara,

Australia 36,85%, Kanada 32,61%, Jerman 16,06%, Italia 20,28%, Belanda

24,99%, Norwegia 22,37%, Kanada 32,61%, Swedia 42,90%, Amerika

Serikat 31,92% dan Inggris 41,73%. Studi dilakukan di berbagai setting

mulai dari unit akut, unit forensik dan pada bangsal dengan tipe yang

berbeda beda. Penelitian dilakukan dengan jumlah total 69.249 klien dengan

rata rata sampel 581,9 klien (Bowers, et al, 2011). Angka tersebut tergolong
cukup tinggi di berbagai negara di dunia.

Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi

oleh seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan baik pada diri

sendiri atau orang lain dan lingkungan baik secara verbal maupun non

verbal (Stuart &Laraia, 2009). Menurut Varcarolis (2006) perilaku

kekerasan adalah sikap atau perilaku kekerasan yang menggambarkan

perilaku amuk, bermusuhan berpotensi untuk merusak secara fisik atau

dengan kata-kata. Jadi kesimpulannya perilaku kekerasan merupakan suatu

bentuk perilaku amuk yang melukai fisik baik diri sendiri, orang lain dan

lingkungan maupun secara verbal atau non verbal.

Perilaku kekerasan dilakukan karena ketidakmampuan dalam melakukan

koping terhadap stres, ketidakpahaman terhadap situasi sosial, tidak mampu

untuk mengidentifikasi stimulus yang dihadapi, dan tidak mampu

mengontrol dorongan untuk melakukan perilaku kekerasan (Volavka &

Citrome, 2011). Perilaku kekerasan yang muncul pada klien Skizofrenia

dikarenakan ketidakmampuan dalam menghadapi stresor, dan melakukan

tindakan perilaku kekerasan sebagai koping dalam menghadapai stresor.

Respons perilaku kekerasan berupa respons kognitif, respons afektif,

respons fisiologis, respons perilaku, respons sosial. Respons kognitif

merupakan respons yang pertama kali muncul yang mendasari perilaku

kekerasan (status mental tiba tiba berubah/ labil), responsafektif merupakan

respons yang muncul didasari oleh keyakinan emosi yang tidak rasional
(marah, bermusuhan), respons pada fisiologis merupakan responsyang dapat

dilakukan observasi terkait dengan perubahan (pernafasan meningkat di >20

x/i, nadi meningkat >80 x/i, produksi keringat meningkat, pandangan mata

tajam, pandangan tertuju pada satu objek, muka merah) (Stuart, 2013).

Responsperilaku merupakan respons yang dapat diamati melalui observasi

secara verbal maupun non verbal (klien adalah mondar mandir, tidak

mampu duduk dengan tenang, mengepalkan tangan atau posisi meninju,

rahang mengatup, tiba tiba berhenti dari aktifitas motorik), responssosial

merupakan respon yang dialami oleh klien perilaku kekerasan karena

kurangnya dukungan sosial sehingga tidak memiliki sumber koping yang

adekuat (verbal mengancam pada objek nyata, berbicara keras dengan

penekanan, didasari dengan waham atau isi pikiran paranoid) (Stuart, 2013).

Akibat perilaku kekerasan bisa melukai atau menciderai diri sendiri atau

orang lain, bahkan akan menimbulkan kematian yang dilakukan oleh

perilakunya dan sebagai suatu kondisi yang dapat terjadi karena perasaan

marah, cemas, tegang, bersalah, frustasi dan permusuhan (Videbeck, 2006).

Berdasarkan respon tersebut bahwa pasien perilaku kekerasan memiliki

respons yang sangat spesifik apabila perilaku kekerasannya kambuh.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah dengan

pemberian psikofarmaka, psikoterapi dan modifikasi lingkungan.

Psikofarmaka yang diberikan pada klien perilaku kekerasan berupa

pemberian obat antipsikotik baik typical, atypical, maupun kombinasi


typical dan atypikal. Antipsikotik atipikal bekerja memblok efek dopamin

dan serotonin pada post sinap reseptor. Antipsikotik atypikal mengatasi

gejala positif maupun gejala negatif Skizofrenia. Antipsikotik atypikal juga

dapat mengatasi gejala mood, perilaku kekerasan, perilaku bunuh diri,

kesulitan dalam sosialisasi, dan gangguan kognitif pada Skizofrenia. Obat

antipsikotik typikal adalah antagonis dopamin yang berfungsi untuk

menurunkan gejala posif Skizofrenia Rueve dan Welton (2008) dalam

Volavka (2012). Pemberian psikofarmaka antipsikotik tersebut berfungsi

menurunkan gejala perilaku kekerasan pada klien Skizofrenia.

Tindakan keperawatan yang dilakukan dalam bentuk asuhan keperawatan

kesehatan jiwa yang diberikan kepada individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat pada keadaan sehat, resiko dan gangguan jiwa dengan

melakukan strategi preventif, strategi antisipasi dan strategi pengekangan.

Strategi tersebut dilakukan sebagai upaya untuk pencegahan perilaku

kekerasan, untuk mencegah terulangnya perilaku kekerasan dan dilakukan

pada fase akut gangguan jiwa (Stuart, 2013). Tindakan keperawatan yang

dilakukan kepada klien berupa tindakan keperawatan generalis (Keliat dan

Akemat, 2010) dan tindakan keperawatan lanjut atau tindakan keperawatan

spesialis kepada keluarga yaitu dilatih cara merawat dan memotivasi klien

dalam mengendalikan perilaku kekerasannya.Tindakan keluarga yang

sangat penting adalah setelah klien pulang ke rumah, keluarga menemani

klien melakukan perawatan lanjutan pada puskemas atau rumah sakit

terdekat, misalnya pada bulan pertama: 2 kali per bulan, bulan kedua: 2 kali
perbulan, bulan ketiga: 2 kali per bulan dan selanjutnya 1 kali perbulan

(Keliat, 1996).

Tindakan keperawatan generalis pada klien perilaku kekerasan dilakukan

dalam 4 macam jenis tindakan yaitu: mengontrol perilaku kekerasan dengan

cara fisik yaitu tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal, mengontrol

perilaku kekerasan dengan cara minum obat secara teratur, mengontrol

perilaku kekerasan dengan cara verbal yaitu: menceritakan perilak

kekerasan, bicara baik (meminta, menolak dan mengungkapkan perasaan),

mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spritual, pada setiap pertemuan

klien memasukkan kegiatan yang telah dilatih untuk mengatasi masalah

kedalam jadwal kegaiatan harian (Keliat & Akemat, 2010). Dan tindakan

keperawatan spesialis yang dapat dilakukan adalah: terapi individu, keluarga

dan kelompok, bentuk terapinya seperti Assertive Training, Cognitive

Behavior Therapy, Psychoterapi Individu, Family Psychoeducation,

Supportive Therapy dan Self-Help Groups Townsend (2008). Semua upaya

tersebut dapat dilakukan untuk mengatasi perilaku kekerasan termasuk ke

dalam upaya preventif dan antisipasi mencegah terulangnya perilaku

kekerasan.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan pada klien perilaku kekerasan salah

satunya adalah terapi psikoedukasi. Terapi psikoedukasi membahas masalah

pribadi dan masalah dalam merawat anggota keluarga dengan perilaku

kekerasan, cara perawatan, manajemen stres keluarga, manajemen beban

keluarga serta pemberdayaan komunitas dalam membantu keluarga.


Berdasarkan evidance based practice psikoedukasi keluarga adalah terapi

yang digunakan untuk memberikan informasi pada keluarga untuk

meningkatkan keterampilan mereka dalam merawat anggota keluarga

mereka yang mengalami gangguan jiwa, sehingga diharapkan keluarga akan

mempunyai koping yang positif terhadap stress dan beban yang dialaminya

(Goldenberg & Goldengerg, 2004). Dengan melakukan psikoedukasi maka

seorang perawat akan dapat langsung memberikan pelayanan yang

efektif dan efisien untuk menyelesaikan masalah kepada keluarga dengan

anggota keluarga perilaku kekerasan.

Psikoedukasi ini akan mudah terlaksana apabila keluarga mendukung

penyembuhan dan pemulihan anggota keluarga yang mengalami gangguan

psikologis (Wiyati, 2010). Manfaat dari terapi psikoedukasi bagi klien dan

keluarga dalah yang pertama bagi keluarga yaitu dapat memiliki

kemampuan untuk merawat klien dan mengatasi masalah yang timbul

karena merawat klien dan yang kedua bagi klien yaitu mendapatkan

perawatan yang optimal yang diberikan oleh keluarga.

Penelitian psikoedukasi keluarga yang dilakukan oleh Wiyati, dkk (2010)

terhadap klienisolasi sosial yang menunjukkan ada peningkatan kemampuan

kognitif dan psikomotorik keluarga secara bermakna (p<0,05). Hasil

penelitian (Keliat, dkk, 2009) menunjukkan bahwa klien dan keluarga yang

diberdayakan mempunyai rata-rata lama rawat di rumah sakit lebih pendek

secara bermakna dibandingkan dengan klien yang tidak mendapatkannya.


Demikian pula lama tinggal di rumah (lama kambuh dan dirawat kembali)

lebih panjang secara bermakna pada klien dan keluarga yang mendapat

pemberdayaan dibandingkan dengan yang tidak mendapatkannya.

Terapi ini terbukti efektif karena dapat memberikan informasi terhadap

kemampuan keluarga yang mengalami distres, memberikan pendidikan

kepada mereka untuk meningkatkan kemampuan agar dapat memahami dan

mempunyai koping yang kuat agar tidak terjadi masalah pada hubungan

keluarga.Nurbani (2009), juga menyampaikan bahwa psikoedukasi yang

diberikan pada keluarga dapat menurunkan ansietas secara bermakna

dimana psikoedukasi dapat digunakan sebagai terapi yang dilakukan untuk

mengatasi masalah psikososial di rumah sakit umumnya dalam menurunkan

ansietas dan beban. Hasil akhir yang diharapkan yaitu keluarga mampu

merawat klien dengan perilaku kekerasan yang ditandai dengan: mengenal

masalah perilaku kekerasan, kemampuan merawat klien, kemampuan

merawat diri sendiri, kemampuan manajemen beban, kemampuan

memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Keefektifan pelaksanaan asuhan keperawatan yang didapatkan oleh klien

dan keluarga itu belum maksimal, baik itu dirumah sakit maupun di

puskesmas pada saat klien pulang.Penatalaksanaan yang tidak efektif akan

berakibat munculnya gejala-gejala perilaku kekerasan dan timbul

kekambuhan. Kekambuhan adalah timbulnya gejala yang sebelumnya sudah

memperoleh kemajuan (Stuard & Laraia, 2006). Tanda dan gejala

kekambuhan yang sebaiknya diketahui oleh keluarga dalam menjalankan


perannya sebagai perawatan kesehatan yang meliputi tanda kogitif,

psikologis dan gejala perilaku klien dengan perilaku kekerasan.

Kekambuhan yang sering terjadi dapat memperburuk kondisi klien dengan

perilaku kekerasan.

Faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa yaitu

klien, dokter, penanggung jawab dan keluarga (Keliat, 2011), sedangkan

menurut (Humris dan Pleyte, 2004) yaitu penderita tidak minum obat dan

tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri tanpa

persetujuan dokter, kurangnya dukungan perawatan dari keluarga dan

masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat

cemas dan stress sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah

sakit, dikucilkan oleh lingkungan dan perekonomian keluarga yang tidak

memadai untuk pengobatan. Kekambuhan tersebut selain berdampak pada

klien juga akan berdampak pada keluarga (Fantaine, 2009). Hal ini

disebabkan karena keluarga adalah pendukung dan tempat rehabilitasi bagi

pasien perilaku kekerasan. Kekambuhan klien gangguan jiwa berdampak

pada beban caregiver yang berpengaruh pada individu yang mengalami,

keluarga dan masyarakat karena masih terdapat penolakan sosial dari

masyarakat akibat ketidaktahuan masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa.

Dampak kekambuhan klien gangguan jiwa khususnya perilaku kekerasan

jika tidak dicegah dapat mengakibatkan perawatan berulang, resisten

terhadap obat, kerusakan struktur otak secara progresif, distres personal,

kesulitan dalam proses rehabilitasi klien, cemas, ketidakpatuhan terhadap


pengobatan karena kurangnya pengetahuan dan efek samping dari

pengobatan (Kazadi et al, 2008). Sedangkan dampak yang dilakukan pada

keluarga dan masyarakat yaitu klien dapat merusak benda-benda di rumah,

mencederai diri sendiri, mengancam dan bahkan sampai membunuh orang

disekitarnya, termasuk tetangga, keluarga dan orang tua. Kondisi tersebut

disebabkan rangkaian proses maladaptif, seperti gangguan isi pikir,

gangguan proses pikir, dan gangguan persepsi. Penanganan intensif

berbagai tenaga kesehatan diperlukan untuk menangani klien gangguan

jiwa, khususnya yang berada dalam keluarga.

Dalam sebuah penelitian yang ditulis dalam The Hongkong Medical Diary

bahwa studi naturalistik telah menemukan tingkat kekambuhan pada klien

skizofrenia khususnya perilaku kekerasan adalah 70%-82% hingga lima

tahun setelah klien masuk rumah sakit pertama kali dan masing-masing

memiliki potensi kekambuhan 21%, 33%, dan 40% pada tahun pertama,

kedua, dan ketiga yang kembali dirawat inap. Secara global angka

kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92%

yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena

kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan dengan

meningkatnya stress (Sheewangisaw, 2012). Dari pernyataan tersebut diatas

dapat disimpulkan bahwa angka kekambuhan pada klien skizofrenia secara

global memiliki persentase tertinggi.

Menurut penelitian Keliat (2006) ditemukan bahwa angka kekambuhan


pada klien tanpa terapi keluarga sebesar 25-50% sedangkan angka

kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga 5-10%. Seperti yang

disampaikan oleh Iyus (2007) dalam seminar tentang kesehatan jiwa

masyarakat bahwa klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan

kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada

tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena mendapatkan perlakuan

yang salah selama di rumah atau di masyarakat. Jadi peran keluarga sangat

penting dalam proses kesembuhan klien dirumah setelah pulang dari rumah

sakit jiwa, berdasarkan penelitian tersebut tindakan yang dilakukan kepada

keluarga mengurangi angka kekambuhan pada klien untuk dirawat kembali.

Berdasarkan data rekam medik angka kunjungan ke instalasi rawat jalan

terus meningkat, pada tahun 2012 adalah 24.575, 2013 adalah 25.570 dan

pada tahun 2014 adalah 26.970. Sedangkan untuk skizofrenia menempati

urutan pertama untuk diagnosa medis baik untuk rawat jalan maupun rawat

inap pada tahun 2015 sebanyak 20188 orang dengan angka klien lama yang

berkunjung kembali (kambuh) sebanyak 18.313 orang.Ditemukan sebanyak

52.5% pasien gangguan perilaku kekerasan merupakan pasien kambuh yang

dirawat kembali diruang rawat inap RSJ. Prof. HB. Saanin Padang.

Menurut data kunjungan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan kota

padang pada tahun 2014 jumlah kunjungan rawat jalan pada pasien

skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lainnya (L:403, P: 183 = 585

orang) dan data kunjungan pada tahun 2015 sebanyak : 666 orang pasien (L
dan P), data ini merupakan data kunjungan terbanyak pada puskesmas

Nanggalo kota padang pada tahun 2015.

Berdasarkan hasil wawancara kepada tenaga perawat yang ada dirumah

sakit jiwa Prof. HB. Saanin Padang, bahwa pada saat klien perilaku

kekerasan dirawat dirumah sakit asuhan yang didapatkan adalah asuhan

keperawatan generalis (intervensi) yaitu fisik, obat, sosial dan spiritual

sedangkan untuk asuhan keperawatan kepada keluarga itu belum dijalankan

secara maksimal dikarenakan keluarga berkunjung ke rumah sakit hanya

sesekali, dan perawat hanya mempertemukan keluarga dengan klien, setelah

pasien pulang perawatan klien dirumah dilakukan dipelayanan kesehatan

yang terdekat.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan perawat jiwa di beberapa

puskesmas didapatkan yaitu pelaksanaan asuhan keperawatan untuk klien

dan keluarga itu tidak dilaksanakan dikarenakan beban kerja perawat jiwa

tidak hanya pada bagian jiwa saja, melainkan perawat ditugaskan di

poliklinik yang lain seperti: BP umum, pelayanan lansia dan IGD, untuk

pelayanan keperawatan jiwa kepada klien dan keluarga hanya untuk kontrol

berobat dan pemberian obat rutin apabila obat yang dikomsumsi sudah

habis, setelah itu perawat tidak ada melakukan kunjungan kepada keluarga

dan anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang berada diwilayah kerja

puskesmas dan juga di beberapa puskesmas untuk poliklinik jiwa itu sendiri

tidak ada (gabung dengan poliklinik umum).


Penelitian akan dilakukan kepada klien yang pulang dari RS Jiwa HB.

Saanin Padang yaitu di puskesmas Nanggalo. Puskesmas

Nanggalomerupakan salah satu puskesmas yang ada dikota Padang dibawah

naungan dinas kesehatan kota yang bertujuan untuk pertolongan pertama

pada klien gangguan jiwa, yang dibuktikan dengan sudah ada tenaga

keperawatan yang dilatih dalam program Community Mental Health

Nursing (CMHN) yaitu kesehatan jiwa dimasyarakat dan pelayanan pada

klien gangguan jiwa di puskesmas.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan perawat jiwa di puskesmas

Nanggalo Padang yaitu untuk pelaksanaan asuhan keperawatan kepada klien

dan keluarga tidak dilaksanakan dikarenakan beban kerja perawat jiwa tidak

hanya pada bagian poliklinik jiwa saja, melainkan perawat ditugaskan di BP

umum dan IGD, untuk pelayanan keperawatan jiwa kepada klien dan

keluarga hanya untuk kontrol berobat dan pemberian obat rutin apabila obat

yang dikomsumsi sudah habis, setelah itu perawat tidak ada melakukan

kunjungan kepada keluarga dan anggota keluarga dengan gangguan jiwa

yang berada diwilayah kerja puskesmas. Oleh sebab itu angka kekambuhan

tinggi di puskesmas Nanggalo dikarenakan belum adanya rujukan dari

rumah sakit jiwa ke puskesmas untuk menindaklanjuti kemampuan klien

yang telah didapatkan selama dirawat dirumah sakit.

Survey awal yang peneliti lakukan pada tanggal 16 April 2016 di wilayah

kerja puskesmas Nanggalo Padang yang dilakukan wawancara terhadap 10


klien dan keluarga dengan respon klien dankemampuan keluarga pada

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yaitu 6 orang keluarga

mengatakan masih terdapat respon klien dengan perilaku kekerasan yaitu

kognitif (rusuh, pemarah, bawel, gangguan bicara, mengancam, berkata

kotor), afektif (mudah tersinggung, wajah tegang, dendam dan suka

menyalahkan), fisilogis (kalau marah rahang dikatu, tangan dikepal, tubuh

kaku), perilaku (menyerang orang lain, merusak lingkungan, nada suara

keras), sosial (menarik diri, bicara kasar, keras dan mengasingkan diri) dan

keluarga mengatakan belum bisa merawat klien saat dirumah karena belum

adanya kemampuan yang dilakukan kepada anggota keluarganya yaitu:

klien hanya dibiarkan saja, minum obat tergantung klien, banyak biaya

untuk berobat sedangkan uang tidak ada untuk pergi kepelayanan

kesehatan.Sedangkan 4 orang keluarga hanya merawat klien dirumah yaitu

disuruh beraktivitas sesuai kemauan, diperhatikan dalam minum obat dan

habis obat.

Sedangkan 6 orang klien dan keluarga mengatakan pada saat klien dirawat

hanya mendapatkan tindakan keperawatan generalis oleh perawat dan

mahasiswa dan keluarga tidak ada mendapatkan pendidikan dan asuhan

keperawatan oleh perawat dirumah sakit untuk persiapan pasien pulang

dirumah, begitu juga dipuskesmas klien dan keluarga hanya kontrol berobat

tidak ada mendapatkan asuhan keperawatan jiwa baik klien maupun

keluarga.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti memfokuskan penelitian pada

pemberian psikoedukasi keluarga terhadap klien dan kemampuan klien

perilaku kekerasan dan kemampuan keluarga dalam merawat di rumah,

dengan demikian diharapkan dengan memberikan tindakan keperawatan

generalis kepadaklien perilaku kekerasan dan kemampuan klien perilaku

kekerasan dan terapi psikoedukasi kepada keluarga dapat meningkatkan

kemampuan keluarga dalam merawat dirumah. Dan tidak menganggap

bahwa kehadiran klien dengan perilaku kekerasan dalam keluarga dapat

memicu masalah bagi keluarga sehingga menyebakan pemberian perawatan

pada klien tidak maksimal, mengingat bahwa keluarga merupakan pemberi

perawatan utama yang dekat dan sering berinteraksi dengan klien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti menyusun

serangkaian rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1.2.1 Asuhan keperawatan pada klien perilaku kekerasan di rumah sakit

telah diberikan dan belum dilanjutkan ke puskesmas

1.2.2 Edukasi keluarga di rumah sakit dan di puskesmas belum

dilaksanakan secara maksimal

1.2.3 Masih tingginya angka kekambuhan pada klien gangguan jiwa

Penelitian ini dilakukan pada klien yang pulang dari RS jiwa yaitu:

mengecek kondisi perilaku kekerasan klien, melakukan tindakan

keperawatan generalis untuk klien perilaku kekerasan, dan akan melakukan

psikoedukasi kepada keluarga dengan anggota keluarga perilaku kekerasan


dengan mengingat kurang adanya pendidikan kesehatan jangka panjang

pada klien perilaku kekerasan dan keluarga. Adapun pertanyaan dalam

penelitian ini adalah:

1.2.1 Apakah ada pengaruh tindakan keperawatan generalis pada klien

perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas nanggalo padang

1.2.2 Apakah ada pengaruh tindakan keperawatan terhadap kemampuan

klien perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas nanggalo

padang

1.2.3 Apakah ada pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan

keluarga dalam merawat dirumah dengan anggota keluarga perilaku

kekerasan di wilayah kerja puskesmas nanggalo padang

1.2.4 Apakah ada hubungan psikoedukasi keluarga terhadap klien dan

kemampuan klien perilaku kekerasan dan kemampuan keluarga

dalam merawat dirumah di wilayah kerja puskesmas nanggalo

padang

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umun

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguraikan “Bagaimana

Pengaruh Psikoedukasi Keluarga terhadap Klien dan Kemampuan Klien

Perilaku Kekerasan dan Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Dirumah”.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Diketahuinya karakteristik (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

pekerjaan, lama klien pulang dari rumah sakit, frekuensi kekambuhan)

pada klien dengan perilaku kekerasan di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo dan Kuranji Padang.

1.3.2.2 Diketahuinya karakteristik (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan

pekerjaan) pada keluarga dengan perilaku kekerasan di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo dan Kuranji Padang.

1.3.2.3 Diketahuinya perilaku kekerasan pada klien di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo dan Kuranji Padang.

1.3.2.4 Diketahuinya kemampuan pada klien perilaku kekerasan di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo dan Kuranji Padang.

1.3.2.5 Diketahuinya kemampuan pada keluarga dengan anggota keluarga

perilaku kekerasan di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo dan Kuranji

Padang.

1.3.2.6 Diketahuinya pengaruh psikoedukasi keluarga pada klien perilaku

kekerasan, kemampuan klien perilaku kekerasandan kemampuan keluarga

dalam merawat dirumah di rumah pada kelompok intervensi dan kontrol.

1.3.2.7 Diketahuinya pengaruh psikoedukasi keluarga pada klien perilaku

kekerasan, kemampuan klien perilaku kekerasan dan kemampuan


keluargadalam merawat dirumah antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Aplikatif


1.4.3.1 Menambah wawasan dan pengetahuan perawat khususnya perawat

spesialis jiwa dalam menerapkan psikoedukasi keluarga yang harus

dilakukan oleh seorang spesialis jiwa.

1.4.3.2 Meningkatkan kemampuan klien terhadap respon perilaku kekerasan dan

kemampuan keluarga dalam merawat.

1.4.3.3 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa kepada klien dengan

terapi generalis melihat respon dan keluarga dalam merawat anggota

keluarga dengan perilaku kekerasan.

1.4.2 Manfaat Keilmuan

1.4.3.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

kompetensi perawat spesialis jiwa dalam melakukan asuhan keperawatan

1.4.3.2 Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence based untuk mengembangkan

teori tentang psikoedukasi keluarga yang memiliki anggota keluarga

dengan gangguan perilaku kekerasan.

1.4.3 Manfaat Metodologi

1.4.3.1 Secara metodologi penelitian ini dapat memberikan manfaat

untuk mengaplikasikan teori dan terapi yang terbaik dalam

meningkatkan kesehatan jiwa khususnya pada klien dan keluarga

yang memiliki anggota keluarga dengan dengan perilaku

kekerasan.

1.4.3.2 Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai data dasar bagi

penelitian selanjutnya untuk kemampuan keluarga dalam merawat

anggota keluarga dengan gangguan jiwa lainnya.


STIGMATISASI DAN PERILAKU KEKERASAN PADA ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI INDONESIA

Muhammad Arsyad Subu1*, Dave Holmes1, Jayne


Elliot1

1. STIKes Binawan, Jakarta 13630, Indonesia

*E-mail: msubuo61@uottawa.ca

Abstrak

Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita
terhadap orang- orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita
mengalami kekerasan dari keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan
memahami dampak stigmatisasi dalam hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita;
serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian
ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan data termasuk wawancara
semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan metode
Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan
terhadap keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang
lain. Dampak stigmatisasi dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita,
keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa
yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan
untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma dengan perilaku
kekerasan.

Kata kunci: gangguan jiwa, perilaku kekerasan, stigma, stigmatisasi

Abstract

Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of


stigmatization of mental illness is violent behavior conducted by patients toward other people around
them including families, nurses and communities. Conversely, patients experienced violence conducted
by families, communities and nursing professionals. This study aims to understand the effects of
stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate violent behavior committed by
sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods of data
collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used
Paillé. Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families,
communities and health professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The
impact of stigmatization is manifested by violent behavior committed by patients, families, staff,
community and authorities. Findings are relevant to psychiatric nurses who provide care to the patients
with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of families, communities and
government to understand stigma in relation to violent behavior.

Keywords: Mental Illness, violent behavior, stigma, stigmatization

Pendahuluan si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7


Para ahli memperkirakan 15% populasi per 1000 dan ODGJ ringan sekitar 6%
global akan memiliki masalah gangguan dari total populasi (Kemenkes, 2013).
jiwa tahun 2020 (Harpham, et al., 2003). Tujuh puluh lima persen ODGJ
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mengalami stigma dari masyara- kat,
tidak hanya mengala- mi dampak akibat pemerintah, petugas kesehatan dan
gejala dan penyakit, tetapi juga media (Hawari, 2001). Perilaku
stigmatisasi (Kapungwe, 2010). kekerasan ODGJ menjadi penyebab
Prevalen- utama stigmatisasi di ma- syarakat dan
tenaga kesehatan.
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi dipukul atau diancam oleh anggota keluarga
serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih mereka (Katsikidou, et al., 2012; Solomon,
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur
& Watson, 2005). Profesional dalam pelaya- intensif mengungkapkan bahwa penelitian
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum
tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan fokus pada dampaknya terhadap perilaku ke-
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). kerasan pada ODGJ. Penelitian ini mem-
Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien berikan analisis mendalam untuk memahami
dalam keperawatan jiwa yang lebih tinggi hubungan antara stigmatisasi dengan perilaku
(Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku kekerasan pada ODGJ.
kekerasan merupakan kejadian umum di RS
(Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se-
Metode
bagian besar perawat, beresiko menjadi korban
kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- Penelitian ini memberikan pemahaman subs-

Pierre, 2012). ODGJ menghadapi stigmatisasi tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan

yang menyebabkan mereka rentan terhadap


perilaku kekerasan orang. ODGJ lebih sering
menjadi korban daripada pelaku kekerasan
(Stuart, 2004), menjadi korban fisik dan
seksual (Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor-
ban kejahatan dan diskriminasi (Katsikidou, et
al., 2012). Sepu-luh persen penderita adalah
korban kekerasan (Schomerus, et al., 2008).

Suatu penelitian di Australia mengungkapkan


bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah
mengalami serangan fisik dan 57% setelah
mengalami kekerasan seksual (McFarlane,
Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke-
kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke-
luarga dan bukan orang asing. Mereka sering
perilaku kekerasan di kalangan ODGJ dewasa moto, visi dan misi RS. Memo digunakan
Indonesia dengan menggunakan untuk mendo- kumentasikan pengalaman
Constructivist Grounded Theory (CGT). CGT dalam laporan ker- tas yang menjelaskan
diperkenalkan pertama kali oleh Kathy proses berpikir peneliti. Catatan lapangan dari
Charmaz. CGT kon- sisten dengan observasi dan refleksi data, merupakan bagian
epistemologi dan ontologi ‘konstruktivisme’ dari pendekatan ref- leksif proses analitis data
yang memprioritaskan pada fenomena (Charmaz, 2006).
penelitian dan melihat data dan analisisnya
sebagai hal yang dibuat dari pengalaman
Analisis data menggunakan metode Paille
bersama peneliti dengan partisi- pan dan
(1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
sumber lainnya" (Charmaz 2006, p.330).
menghubungkan kategori, integrasi, konsep-
Desain penelitian ini lebih pada pen- dekatan
tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan
objektivis, dan peran peneliti adalah
Cowley (2004) terdapat tiga tahapan analisis
menemukan kebenaran yang ada di dalam
yaitu koding awal, fase menengah, dan
objek penelitian dan meminimalisasi ‘keku-
atan’ (Charmaz, 2006, p. 331).

Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di


Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem-
puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak
30 partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk
memastikan saturasi data (Charmaz, 2006).
Para partisipan hanya yang memiliki kemam-
puan membaca dan menulis, berusia 18 tahun
atau lebih, mengalami gangguan jiwa dan
stigma.

Pengumpulan data melalui wawancara semi-


berstruktur yang direkam menggunakan
digital audio. Telaah dokumen juga digunakan
seba- gai triangulasi data untuk meningkatkan
pro- babilitas kredibilitas interpretasi data
(Lincoln & Guba, 1985). Dokumen tersebut
berupa hardcopy dan elektronik seperti
laporan, log perawat, pre dan post konferensi,
pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, sasi merupakan proses konstruksi untuk me-
data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi nguatkan teori atau pemahaman susbstantif.
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi Tidak semua penelitian grounded theory
(koding awal), menghubungkan kategori dan menghasilkan teori; akan tapi pemahaman
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi yang mendalam dan substantif merupakan
dan teorisasi (pengembangan akhir). Tahap hasil akhir dari sebuah penelitian dengan
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur grounded theory Charmaz (2006).
kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam
bentuk kode secara terorganisir (proses
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria
pembentukan kode). Tujuannya adalah mem-
pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran,
beri nama, mengungkap, meringkas dan mem-
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah
beri label, baris demi baris, dari data trans-
dengan mengumpulkan data dari berbagai
kripsi. Kodifikasi ini membantu mengidenti-
sumber diantaranya melalui wawancara, cata-
fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal
tan lapangan, dan memo. Koding data dengan
dan pembentukan kategori. Tahap kategorisasi
adalah untuk menggambarkan fenomena se-
cara umum atau peristiwa yang muncul dari
data yang kemudian dibuat daftar kategori.
Tahap ini adalah untuk menentukan kategori
dengan mengidentifikasi variasi dalam data
dapat dijelaskan dengan kategori lain. Tahap
integrasi adalah menentukan fenomena-
fenomena yang telah diamati secara empiris.
Dengan mengintegrasikan hubungan antara
kategori, peneliti mengidentifikasi kongruensi
tertentu yang muncul antara data dan arah
penelitian yang diambil selama analisis. Tahap
konseptualisasi adalah proses pengembangan
dan klarifikasi konsep-konsep yang muncul
dan menjelaskan konsep tersebut dengan kata-
kata dan untuk memberikan definisi konsep-
tual secara verbal. Proses ini memungkinkan
peneliti untuk memahami fenomena penelitian
dan kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori-
kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng-
gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
Hasil
pengalaman partisipan terkait stigma dengan
Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri.
gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan
Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja
kata-kata partisipan yang sebenarnya untuk
menyakiti diri sendiri. Seorang pasien meng-
menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti-
gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial
kulasikan dengan asumsi, posisi
menyebabkan ide bunuh diri atau menyakiti
epistemologis dan teoritis yang memengaruhi
diri sendiri. Rasa takut terhadap orang lain
proses peneli- tian. Dilakukan evaluasi diri
juga menjadi pencetus ide bunuh diri.
sebagai instrumen dan melihat efek peneliti
yang dilakukan melalui refleksi diri dan “...kadang saya tidak bisa mengendalikan
memoyang ditulis dalam jurnal. diri sampai saya berkeinginan bunuh diri.
Saya mencoba bunuh diri tiga kali
dengan
Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi
temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
dengan jelas proses berpikir peneliti
(Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini,
auditabilitas dilakukan dengan kriteria untuk
merumuskan pemikiran, bagaimana dan
mengapa para partisipan dalam penelitian ini
dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu-
nakan kerangka yang disajikan oleh Paille
(1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang-
kah dalam analisis data dan memastikan bah-
wa pembaca dapat memahami bagaimana data
itu didapatkan atau dibentuk oleh partisipan
dan peneliti.

Fittingness atau transferabilitas berarti hasil


penelitian memiliki arti yang sama pada
situasi serupa (Chiovitti & Piran, 2003).
Dalam penelitian ini, selama proses koding,
semua data yang dibuat kode telah diperiksa
oleh seorang pakar lain untuk melakukan cek
eksternal yang terkait dengan hasil penelitian.
minum racun tapi saya tidak mati ... Pasien juga melakukan kekerasan terhadap
Dengan penyakit jiwa, kepercayaan diri fasilitas umum, dan menghancurkan barang-
saya rendah. Saya merasa bingung; barang.
dengan orang lain, saya takut. Saya takut “Saya melemparkan asbak. Ceritanya,
melihat orang lain.“ (P1). saya kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar
dengan angsuran. Seratus, lima puluh,

Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain uang saya dari BJB lebih banyak... Saya
dan Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah marah; Saya tidak bisa mengendalikan
melakukan perilaku kekerasan terhadap
anggota keluarga atau kerabat. diri. Saya jadi marah, seperti itu.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga Kemudian, saya dibawa ke sini (RSJ).”
dan saya menjadi beban keluarga (P13).
saya. Karena kesulitan dalam hidup, saya
harus berada di sini (RSJ). Otak saya
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi.
punya banyak masalah. Jadi, saya marah
Pasung dan seklusi masih digunakan untuk
dan melakukan kekerasan di rumah dan
menangani penderita gangguan jiwa. Beberapa
selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” (P1).
perawat menunjukkan bahwa ada pasien
diikat, dirantai, atau dimasukkan ke dalam

Pasien yang melakukan kekerasan sering


disembunyikan oleh keluarga, sehingga
mereka terisolasi di masyarakat.

“L [teman] punya keluarga dengan


penyakit jiwa; jika [pasien] melakukan
kekerasan, ia menghancurkan atap,
rumah, dll. Jadi keluarga merahasiakan
dan menyembunyikannya. Mereka [pasien
dan keluarga] jarang diundang oleh
masyarakat. Jadi, mereka terisolasi.
Mereka terpinggirkan... stigmakan?”
(P11).
balok kayu. ayam. Mereka dikurung seperti kambing.
[Pasien] buang air besar, makan disitu,
“Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ.
seperti binatang. Ini bukan cerita tapi
Banyak sekali kita menerima pasien yang
saya melihatnya langsung; Saya itu saksi
telah dipasung, terikat, dirantai, dimasuk-
kondisi ini. Enam pasien telah dibawa ke
kan ke dalam balok kayu; tapi, ada juga
RS. Ya, beberapa dari daerah ini
pasung, seperti menempatkan penderita
mengirimkan banyak pekerja di Jawa
di ruangan kecil dan dikasih makanan
Barat. Jadi mereka stres karena mereka
sekali sehari. Beberapa pasien tidak bisa
bekerja di Arab Saudi. Mereka stres, dan
ber- jalan, kurus dan kurang gizi.
kembali ke Indonesia dikurung oleh
Mereka tidak dapat berbicara. Keluarga
keluarganya.” (P15).
mereka kaya; jika mereka ingin
membawa pasien ke RS, saya yakin
mereka mampu” (P13). Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami
kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh

Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi


yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
kurangnya pengetahuan masyarakat.

“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan


pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga
mengakui beberapa pasien yang memiliki
riwayat pasung di rumah karena mereka
melakukan kekerasan, mereka menggang-
gu masyarakat. Mungkin [mereka] tidak
tahu cara merawat orang dengan
penyakit jiwa. Hal ini masuk akal juga,
kan? Mungkin lebih baik bagi mereka
untuk menyelamatkan orang-orang
daripada merawat ODGJ.” (P9).

Perawat lain mengatakan bahwa beberapa


pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar
negeri. Mereka dikurung oleh keluarga saat
mereka kembali.

“Mereka dikait di pilar besar. Ada yang


diletakkan di kandang kambing atau
disana satu setengah bulan, namun saya

orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa tidak sehat, saya tidak lebih baik.” (P2).

orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di


masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah
Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi satu pasien menceritakan pengalamannya
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah ditahanan di kantor polisi. Pasien lain diborgol
penyakit jiwa (P1). oleh polisi karena perilaku kekerasannya.

“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol

Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk saya. Ibu saya meminta bantuan polisi

penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, untuk memborgol saya. Tapi belenggu

melanggar hak-hak seseorang. borgol rusak. Lihat ini [bekas luka di


tangannya].” (P15).
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada
dasarnya, mereka tidak jahat. Namun,
orang-orang melakukan kejahatan terha- Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf
dap mereka, seperti pasung. Mereka rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik
mengambil hak saya. Saya dipasung terhadap pasien. Metode pengikatan, pengeka-
karena apa? Saya dipasung bukan untuk ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan
pemulihan. Tapi, saya dipasung untuk
membuat saya "gila." Hal ini lebih
menyakitkan benar.” (P14).

Kekerasan oleh Pengobatan Tradisional.


Banyak ODGJ yang mendapatkan pengobatan
tradisional mengalami kekerasan dari terapis.
Pasien mengalami terapi alternatif yang ber-
sifat abuse, seperti ditenggelamkan, dicambuk,
atau dimandikan paksa.

“Ya, saya dimandikan tengah malam.


Dukun menggunakan ilmu sihir...[tidak
jelas], memukuli saya. Saya dimandikan
jam satu malam. Saya tidak tidur. Badan
saya dikocok kocok seperti kambing. Saya
Seorang perawat mengatakan bahwa umumnya

perawat. pasien baru di RSJ diikat.

“Saya ngamuk. Saya dipukulin di K “Jika pasien datang ke rumah sakit

[bangsal). Kepalaku dipukul kursi lipat. sangat mudah marah, beberapa pasien ini

Ya, tangan dan kaki diikat karena terikat; ada pula yang diborgol. Jika

melakukan kekerasan. Saya tidak pasien datang dengan kurang atau tidak

melakukan kesalahan tapi diborgol. marah, mereka tidak terikat. Jadi, jika

Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga pasien berada dalam kondisi marah

diborgol oleh staf bangsal K.” (P2). ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika
mereka tidak benar-benar marah, mereka
tidak diikat oleh orang lain. Mereka
Pasien dengan perilaku kekerasan yang
dibawa oleh keluarga atau polisi kesini.
membahayakan akan diisolasi sebagai metode
Ya, polisi. Seperti itu. Jika pasien baru,
pengendalian.
sebagian besar mereka datang dengan
“Staf (RSJ) menganggap orang gila itu terikat.” (P6).
sumber bahaya… mereka nganggap
orang gila itu benar-benar gila, bukan
manusia; harus dihapuskan, harus diba-
kar, harus ditendang, dan ditekan, dan
harus ditempatkan di ruangan gelap
seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
saya seperti babi diseret.” (P9).

Seringkali petugas keamanan dan perawat


bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
kekerasan.

“Semuanya dihancurkan, TV rusak.


Teman saya di S (bangsal) telah meng-
hancurkan TV. Sekarang, dia ada di sini,
di bangsal K. Pasien dengan kasar
diseret oleh petugas keamanan. "Ayo
kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa.
"Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
diperlakukan seperti itu.” (P2).
Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan “Teman-teman merasa takut. Mereka
dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan takut pada saya. Mereka takut berdebat
akibat kekerasan dari terapi dan pengobatan dengan saya karena saya orang sakit
alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang jiwa. Ya, argumen saya tidak diterima;
telah dibawa ke dukun mengungkapkan: tidak dipahami oleh mereka. Misalnya,

“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di jika saya berbicara benar, mereka harus

daerah terpencil di Jawa, dan tempatnya nurutin saya. ” (P5).

sangat gelap. Saya takut. Dia itu mantan


pasien sakit jiwa. Dia mengatakan: "Ini Pembahasan
penyakit gila. Ini psikopat". Saya ingin
Hubungan antara gangguan jiwa dengan
melarikan diri. Saya takut benar melihat
perilaku kekerasan adalah penyebab utama
kapaknya. Saya sangat stres, itu pengo-
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini
batan yang aneh.” (P3).
menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa-
sien melakukan kekerasan di keluarga dan
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5
keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan
akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika
penderita di rumah,

“Ya, karena malu juga, karena sebagian


besar penderita mengganggu masyarakat.
Umumnya, pasien laki-laki mengganggu
komunitas dan anggota keluarga merasa
ga nyaman dengan tetangga. Mereka
takut jika pasien melakukan kekerasan
lagi” (P11).

Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ


dengan riwayat perilaku kekerasan membuat
takut masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan
diisolasi oleh teman dan masyarakat.
kali lebih banyak dari populasi umum kadang-kadang terkait dengan perilaku keke-
(Corrigan & Watson, 2005). Seringkali, rasan (Cotton & Coleman, 2010).
kekerasan yang dilakukan ODGJ diarahkan
pada orang yang mereka kenal, terutama
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga
anggota keluarga (Wehring & Carpenter,
takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
2011).
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal
ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri hubungan erat antara perilaku kekerasan yang
sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke- Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men-
rasan mandiri meliputi ide atau percobaan ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje &
diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy- takut berada di sekitar ODGJ (Canadian
Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
Risiko menyakiti diri sendiri meningkat
terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa


ODGJ juga melakukan kekerasan terhadap
perawat. Hasil ini didukung oleh beberapa
studi. Perawat adalah profesi yang paling
rentan menjadi target kekerasan (Holmes, et
al., 2004; Inoue, et al., 2006), sebagian besar
perawat mengalami kekerasan selama karir
mereka (Inoue, et al., 2006; Landy, 2005).

Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi-


laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering
menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al.,
2012). Di Taiwan, abuse terhadap pasien
ODGJ lebih tinggi dari pada populasi (Hsu
dkk., 2009). Interaksi antara polisi dan ODGJ
Medical Association, 2008). Banyak yang bersiko mendapatkan ancaman dan kekerasan
menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an- sehingga seringkali membenarkan beberapa
caman bagi keselamatan umum (Jorm & jenis intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau
Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami pengasingan yang merugikan hubungan pera-
perawat dapat memengaruhi hubungan pera- wat dengan pasien.
wat dengan pasien, yang menghambat pem-
berian asuhan keperawatan (Jacob, 2010).
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat
Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat pemerintah memandang stigma terkait perilaku
dipengaruhi oleh media massa yang berperan kekerasan pada ODGJ. Program kampanye
membentuk opini masyarakat. Penggambaran anti-stigma akan mengurangi konsekuensi ne-
ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan gatif stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke-
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, kerasan di Indonesia. Program ini perlu di-
2003). sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Kesimpulan

Penelitian ini menemukan bahwa perilaku


kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada-
lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan
para perawat. Hasil penelitian memberikan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya-
nan keperawatan jiwa di Indonesia.

Sangat penting memasukkan materi stigma-


tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen-
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan
akan menghadapi risiko perilaku kekerasan
dari pasien jika bekerja di area keperawatan
jiwa. Keperawatan jiwa merupakan area yang
Referensi approach. Police Practice and Research, 11

Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding (4), 301–

the link between discrimination, mental health 314.

outcomes, and life chances among Latinos.


Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28
Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A.,
(2), 245–266.
Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann. J.J.
(2003). Suicide attempts in schizophrenia: The
Arboleda-Florez, J. (2003). Considerations on the roleof command auditory hallucinations for
stigma of mental illness. Canadian Journal of suicide. Journal of Clinical Psychiatry, 64,
Psychiatry, 48 (10), 645–650. 871–874.

Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
public and self-stigma to seeking mental E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
health services. Journal of Mental Health Measuring health in cost effective manner.
Counseling, 33 (2), 161–176. Health Policy and Planning, 18 (3), 344.

Canadian Medical Association (2008). 8th Annual


national report card on health care. Ottawa
ON: Canadian Medical Association.

Charmaz, K. (2006). Constructing grounded


theory: A practical guide through qualitative
analysis. London: Sage Publications.

Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and


grounded theory research. Journal of
Advanced Nursing, 44 (4), 427–435.

Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings


from the national comorbidity survey on the
frequency of violent behavior in individuals
with psychiatric disorders. Psychiatry
Research, 136, 153–162.

Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian


police agencies and their interactions with
persons with a mental illness: A systems
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a biomedical conceptualizations? Acta
grounded theory approach: A comparison of Psychiatrica Scandinavica, 118 (4), 315–321.
Glaser and Strauss. International Journal of
Nursing Studies, 41 (2), 141–150.
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape,
Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. illness - stigma anddiscrimination in Zambia.
(2012). Introduction (re) thinking violence in African Journal of Psychiatry, 13, 192–203.
health care settings: A critical approach. In
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re)
Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M.,
Thinking violence in health care settings: A
Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K .,
critical approach. Surrey: Ashgate Publishing,
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the
Ltd.
severely mentally ill in Greece: The extent of
the problem. International Journal of Social
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I., Psychiatry, 59 (7), 706–715.
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of
persons with severe mental illness in Taiwan.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset
Aealand Journal of Psychiatry, 460–466.
kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., Kementerian Kesehatan RI.
& Okamura, H. (2006). Psychological impact
of verbal abuse and violence by patients on
nurses working in psychiatric departments.
Psychiatry and Clinical Neurosciences, 60(1),
29–36.

Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic


psychiatry: nurse-patient interactions in a
secure environment. Doctoral Dissertation
School of Nursing University of Ottawa,
Canada:

Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s


stigmatizing attitudes towards people with
mental disorders: how important are
Landy, H. (2005). Violence and aggression: How (EuroSC). Psychological Medicine, 38 (4),
nurses perceive their own and their colleagues 591–597.
risk. Emergency Nurse, 13, 12–15.

Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J.


(2005). Family violence amongadults with
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C.
severe mental illnesses. Trauma, Violence and
(2004). The prevalence ofvictimization and
Abuse, 6 (1), 40–54.
violent behaviour in the seriously mentally ill
(Theses, University of Adelaide). Department
of Psychiatry, University of Adelaide, Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre,
Adelaide, Australia. L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M. (2007).
Cross-national differences in relationships of
work demands, job satisfaction and turnover
intentions with work–family conflict.
Paillé, P. (1994). L’analyse par
Personnel Psychology, 60, 805–835.
théorisation ancrée.
Cahiers de recherche sociologique, 23,
147–
181. Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare
papers, 5(2), 100–111.

Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in


qualitative research. Advances in Nursing Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., &

Science, 8 (3), 27–37. Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide


ideation and behaviour in recent onset
schizophrenia. Social Psychiatry and
Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C.,
Psychiatric Epidemiology, 39, 927–937.
Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
&Toumi, M. (2008). Urban residence,
victimhood and the appraisal of personal Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., &

safety in people with schizophrenia: Results Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in

from the European Schizophrenia Cohort adults with severe mental illness. Archives of
general psychiatry, 62, 911–921.

PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP


KEMAMPUAN MENGONTROL PERILAKU
KEKERASAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Token Ekonomi
adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan pengurangan
perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di LKS-ODK Kemiling Bandar
Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini adalah quasy experimental dengan
rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak 20 orang, dipilih dengan purposive
sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil yang didapat adalah rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi token adalah 20,05, dan rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi token adalah 36,20. Hasil uji dependen
sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan setelah
dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi
pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan menerapkan
terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara terprogram dan terstruktur.

Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi dari satu juta kasus bunuh diri setiap
tahunnya akibat gangguan jiwa

LATAR BELAKANG (WHO, 2015). Gangguan jiwa


ditemukan di semua negara, terjadi
Gangguan jiwa menurut pada semua tahap kehidupan,
American Psychiatric Assosiation termasuk orang dewasa dan
dalam Diagnostic and Statistic
Manual of Mental (DSM) IV- TR
(2000 dalam Townsend, 2009) adalah
sindroma perilaku yang secara klinik
bermakna atau sindroma psikologis
atau pola yang dihubungkan dengan
kejadian distres pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan
secara signifikan resiko untuk
kematian, sakit, ketidakmampuan atau
hilang rasa bebas.

Gangguan jiwa mencapai 13%


dari penyakit secara keseluruhan dan
ke kemungkinan akan berkembang
menjadi 25% di tahun 2030,
gangguan jiwa juga berhubungan
dengan bunuh diri, lebih dari 90%
berat yang dialami. Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013
yang menyebutkan bahwa gangguan
cenderung terjadi peningkatan
jiwa mencapai 1,7% meningkat dari
gangguan jiwa.
tahun 2007 sebesar 0,46%. Wilayah
Perilaku kekerasan adalah suatu paling banyak dengan kasus gangguan
bentuk perilaku yang bertujuan untuk jiwa adalah Daerah Istimewa
melukai seseorang secara fisik maupun Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan,
psikologis bisa dilakukan secara verbal, Bali, dan Jawa Tengah (Kemenkes RI.
diarahkan pada diri sendiri, orang lain 2014). Berdasarkan wawancara
dan lingkungan. dengan perawat ruangan pada tanggal
Ketidakmampuan yang terjadi 7 Mei 2016, didapatkan data bahwa
pada klien gangguan jiwa dikaitkan jumlah pasien rawat inap ada 70
dengan disabilitas akibat gangguan jiwa pasien gangguan jiwa dan didapatkan
80% mempunyai riwayat

perilaku kekerasan atau sekitar 56 (permen, uang, atau makanan) bila


pasien yang memiliki riwayat perilaku klien sukses mengubah perilakunya.
kekerasan. Berdasarkan uraian diatas, maka
Salah satu terapi yang dapat perilaku kekerasan merupakan
dilakukan perawat untuk mengontrol gangguan jiwa yang membutuhkan
perilaku kekerasan adalah dengan perawatan intensif karena dapat
diberikan terapi kognitif, terapi menciderai diri, oranglain dan
keluarga, terapi perilaku : token lingkungan. Salah satu terapi yang
ekonomi (Susana, 2012). Perilaku ini dapat digunakan adalah terapi perilaku
dipilih peneliti sebagai pendamping token ekonomi yang dianggap efektif
terapi psikofarmaka untuk dalam merubah tingkah laku klien,
meningkatkan perilaku dalam terapi ini dengan memberikan klien
mengontrol perilaku kekerasan. imbalan atas perilaku yang diharapkan
dari klien dan mampu dilakukannya.
Terapi token ekonomi dianggap
efektif dalam merubah tingkah laku
klien, terapi ini dengan memberikan
klien imbalan atas perilaku yang
diharapkan dari klien dan mampu
dilakukannya. Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan memberi token
Variabel independen dalam Analisis Univariat
penelitian ini adalah penelitian ini
adalah kemampuan mengontrol Responden dalam penelitian ini
perilaku terapi token. Variabel berjumlah 20 orang dengan
dependen dalam kekerasan. Analisis karakteristik usia sebagian besar
univariat dilakukan untuk berusia 31-40 tahun (65%) dan
mengetahui kemampuan mengontrol berusia 19-30 tahun (35%).
perilaku kekerasan klien Berdasaekan jenis kelamin sebagian
menggunakan analisis yaitu mean, besar responden berjenis kelamin
median, standar deviasi. Analisa laki-laki (70%). Sedangkan
bivariat dilakukan untuk berdasarkan lama rawat responden
membuktikan hipotesis penelitian sebagian besar dirawat dalam kurun
menggunakan uji dependen sample t- waktu 11-25 tahun (60%).
test.

Tabel 1: Distribusi Responden Berdasar- kan


Kemampuan Mengontrol Perilaku
HASIL Kekerasan Sebelum dan Sesudah
Terapi Token

METODE Kemampuan mengontrol Pre test Post test


perilaku kekerasan
f % f %
Desain yang digunakan dalam 20 orang dipilih dengan purposive
penelitian ini adalah quasy sampling. InstrumenVyang digunakan
experimentaldengan rancangan berupa lembar observasi.
pretest- posttest one group design. Waktu penelitian dilakukan pada
Ciri dari desain penelitian ini dengan tanggal 20-30 Juli 2016. Tempat
memberikan intervensi kepada penelitian ini dilaksanakan di LKS-
responden yang akan dilakukan terapi ODK Ekspsikotik Kemiling Bandar
token. Sampel penelitian yang diteliti Lampung.
adalah klien yang dirawat inap dengan
perilaku kekerasan dengan
memperhatikan kriteria inklusi
sebanyak
perilaku kekerasan sebelum
Tidak mampu mengontrol 13 35 6 30
dilakukan terapi 7
Mampu mengontrol 7 65 14 70
respondenmampu mengontrl dan
Jumlah 20 100 20 100
setelah dilakukan terapi token
Berdasarkan tabel di atas kemampuan mengontrol perilaku
diketahui bahwa distribusi frekuensi kekerasan meningkat menjadi 14
kemampuan dalam mengontrol responden mampu mengontrol
perilaku kekerasan.

Tabel 2: Distribusi Rata-rata Kemampuan Berdasarkan dari jenis kelamin,


Mengontrol Perilaku Kekerasan didapatkan bahwa distribusi frekuensi
Sebelum dan Sesudah Terapi Token jenis kelamin pada pasien perilaku
kekerasan lebih banyak pada katagori
laki-laki sebanyak 14 dengan
persentase 70%. Hal

Kemampuan Min- ini menunjukkan bahwa terjadinya perilaku


mengontrol Maks
Mean Median SD kekeasan lebih banyak dilakukan oleh
perilaku kekerasan Jika dilihat dari segi usia,
Sebelum dilakukan
20,05 18,00 7,02 12-32 terapi
token berdasarkan hasil penelitian, distribusi
Sesudah dilakukan
36,20 39,50 11,23 16-50 terapi
token frekuensi umur pasien perilaku
kekerasan lebih banyak pada kategori

Berdasarkan tabel di atas rata- usia 31-40 tahun sebanyak 13 orang

rata skor kemampuan mengontrol dengan persentase 65% dan usia 19-30

perilaku kekerasan sebelum dilakukan tahun sebanyak 7 orang dengan

terapi token sebesar 20,05 dengan persentase (35,0%).Data ini

standar deviasi sebesar 7,02. Skor menunjukkan klien yang mengalami

terendah 12 dan teringgi 32. perilaku kekerasan lebih banyak pada

Sedangkan sesudah dilakukan terapi klien usia produktif. Hal inisejalan

token menjadi sebesar 36,20 dengan dengan konsep Niven (2002) bahwa

standar deviasi sebesar 11,23. Skor seseorang yang memiliki usia muda

terendah 16 dan tertinggi 50. lebih patuh daripada usia tua. Hal ini
memungkinkan karena usia muda
memiliki kapasitas dan fungsi memori
yang lebih baik untuk menerima
PEMBAHASAN informasi tentang pengobatan. Struat
dan Laraia (2009) menyatakan usia
berhubungan dengan pengalaman klien dengan jenis kelamin laki-laki.
Hal
seseorang dalam menghadapi
ini sejalan dengan teori Al-saffar dan
berbagai macam stresor, kemampuan
Saeed (2007), mengatakan bahwa
memanfaatkan sumber dukungan dan
laki-laki lebih sering di diagnosis
keterampilan dalam mekanisme
sebagai gangguan jiwa dibanding
koping. Dapat disimpulkan bahwa
perempuan. Pada umumnya laki-laki
usia berhubungan dengan individu
dan perempuan mempunyai resiko
dan kemampuan mengambil
yang sama untuk menderita gangguan
keputusan dalam menyelesaikan
jiwa berat namun, derajat keparahan
setiap masalah yang datang.
gangguan jiwa berat lebih besar pada
laki-laki. Jenis kelamin
mempengaruhi kemampuan
mengontrol diri, dikatakan pria lebih
temperamental dari pada wanita yang
dikatakan lebih sabar dalam
mengontrol perilakunya.

Berdasarkan lama dirawat,


Berdasarkan hasil penelitian di dapat
bahwa distribusi frekuensi lama di
rawat pada pasien perilaku kekerasan
diketahui lebih banyak pada 11-25
tahun sebesar (60%). Menurut teori
Noviadi (2008) yang dikutip oleh
Aristina Haalwa (2014) yang
menyatakan bahwa semakin lama
pasien dirawat makasemakin banyak
pasien tersebut mendapatkan terapi
pengobatan dan perawatan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pasien yang
sudah lama dirawat maka kemampuan
dalam mengontrol perilaku kekerasan
dirinya maka semakin baik.

Berdasarkan hasil penelitian


dapat diketahui bahwa rata-rata skore
kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan sebelum dilakukan TAK
dan terapi token sebesar 20,05 dan dan Ha diterima, ada pengaruh terapi
rata-rata skore kemampuan token ekonomi terhadap kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan mengontrol perilaku kekerasan pada
setelah dilakukan TAK dan terapi pasien rawat inap di LKS-ODK
token sebesar 36,20. Dari hasil uji Ekspsikotik Kemiling Bandar
paired sample t-test di peroleh p Lampung Tahun 2016.
value 0,00<0,05, artinya Ho ditolak

Menurut Parendrawati (2009) penelitian “Pengaruh Terapi Token


bahwa metode pemberian reward atau Ekonomi terhadap Kemampuan
reinforcementpositif memiliki Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada
pengaruh berarti terhadap peningkatan Klien Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit
perilaku. Menurut Stuart & Laraia, Jiwa Provinsi Bali”.Hasil penelitian ini
(2009) untuk meningkatkan membuktikan ada perbedaan
pengetahuan dan perilaku seseorang kemampuan klien mengontrol perilaku
dapat dilakukan dengan memberikan kekerasan pre test dengan post test
dasar pengetahuan yang kuat dan pada kelompok perlakuan sebelum dan
pemberian reinforcement positif atau sesudah mendapatkan terapi token (p
pemberian reward. Strategi lain untuk value <0,05).
mengubah perilaku secara efektif Terapi token ekonomi dianggap
adalah dengan token ekonomi. Hasil efektif dalam merubah tingkah laku
penelitian yang didapat juga didukung klien, terapi ini dengan memberikan
oleh teori Nasir dan Muhith (2011) klien imbalan atas perilaku yang
salah satu terapi perilaku untuk diharapkan dari klien dan mampu
merubah perilaku adalah dengan dilakukannya. Kegiatan ini dapat
pemberian token ekonomi yaitu dilakukan dengan memberi token
reinforcement positif yang sering (permen, uang, atau makanan) bila
digunakan pada klien psikiatri. Terapi klien sukses mengubah perilakunya.
perilaku token ekonomi merupakan
Adanya pengaruh terapi perilaku
suatu wujud modifikasi perilaku yang
token ekonomi terhadap kemampuan
dirancang untuk meningkatkan
mengontrol perilaku kekerasan
perilaku yang diinginkan dan
disebabkan karena pada saat
pengurangan perilaku yang tidak
pelaksanaan terapi perilaku token
diinginkan.
sebanyak 4 sesi, dimana disetiap sesi
Hasil ini sejalan dengan ini klien mendapatkan berbagai
penelitian yang dilakukan oleh informasi mengenai kemampuan
Suardika (2012), dengan judul
mengontrol perilaku kekerasan secara menarik nafas dalam dan pukul
fisik, diantaranya klien diajarkan cara bantal. Secara verbal, bagaimana cara
meminta dengan baik, menolak
dengan baik, menerima dengan baik,
dan permintaan maaf. Secara spiritual,
sholat dan berdoa tanpa harus
menyalahkan Tuhan dengan keadaan
yang seperti ini. Dan patuh minum
obat, apa manfaat patuh minum obat
bagi klien, cara minum obat dengan
prinsip 5 benar. Informasi yang sudah
diberikan ini untuk merubah perilaku
klien selain pemberian informasi
terapi perilaku token juga diperkuat
dengan pemberian reward yang
berupa hadiah, yang didapatkan ketika
responden mampu menunjukan
kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan. Pemberian token (hadiah)
ini dilakukan segera setelah klien
mampu mengontrol perilaku
kekerasan dan memiliki nilai
tertinggi, dengan hadiah yang telah
disediakan peneliti, hal ini
menyebabkan klien merasa dihargai
atas perilaku yang mereka lakukan
sehingga klien akan mengulangi
perilaku tersebut sehingga terjadi
perubahan perilaku yaitu klien
menjadi mampu dalam mengontrol
perilaku kekerasannya.

Hasil penelitian ini


menunjukkan setelah dilakukan terapi
perilaku token ekonomi, kepatuhan
minum obat pada klien skizofrenia
mengalami peningkatan. Terjadinya
perubahan perilaku menjadi patuh klien mampu merubah perilakunya.
minum obat setelah diberikan terapi Reinforcement positif yang berbentuk
perilaku token ekonomi karena pada tanda bintang ini merupakan salah
saat pelaksanaan terapi perilaku satu bentuk motivsai ekstrinsik yang
token ekonomi ini klien diarahkan dapat merubah perilaku klien, dan
dan diajarkan terlebih dahulu diharapkan perilaku yang muncul
perilaku yang akan dirubah, dan klien akan cukup mengajarkan untuk
akan diberikan reward memelihara tingkah laku yang baru.
(reinforcement positif) berbentuk Motivasi ekstrinsik pada
tanda bintang dan tandabintang ini penelitian ini adalah mendapatkan
akan ditukarkan dengan hadiah yang reward dari nilai tertinggi, tetapi
sudah disediakan oleh peneliti jika karena mereka

melaksanakan dan mereka mendapatkan manfaat yang baik dari perubahan itu, ditambah lagi
mendapat respon atau pujian yang baik dari teman dan pasien, maka motivasi itu
berkembang menjadi motivasi instrinsik karena responden mendapatkan langsung hadiahnya
yaitu menjadi orang yang lebih baik dan direspon baik dari orang sekelilingnya. Perolehan
tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengajarkan
untuk memelihara tingkah laku yang baru yang diyakini dan dilakukannya.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku


kekerasan pada pasien rawat inap sebelum dilakukan terapi token sebesar 20,05 dan setelah
dilakukan terapi token menjadi sebesar 36,02, hal ini berarti terjadi peningkatan.
Berdasarkan hasil analisis statistik, maka disimpulkan bawha ada perbedaan kemampuan
mengontrol kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi token (p value = 0,00 < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh terapi token terhadap
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.

Berdasarkan kesimpulan penulis menyarankan agar pusat layanan pasien ekspsikotik


mampu meningkatkan mutu pelayanan dengan menerapkan terapi- terapi aktivitas
kelompok dan psikoterapi kepada pasien gangguan jiwa secara terprogram dan terstruktur.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.


Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-ODK
Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
STUDI FENOMENOLOGI : STRATEGI PELAKSANAAN YANG EFEKTIF UNTUK
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN MENURUT PASIEN
DI RUANG RAWAT INAP LAKI
LAKI

Sujarwo1, Livana PH2


1
RSJD Dr Amino Gondhohutomo Semarang
2
Program studi Ners, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kendal jarfafafin@gmail.com

ABSTRAK
Hemodialisis (cuci darah) merupakan suatu tindakan terapi pengganti ginjal yang telah rusak.
Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami masalah psikologis salah satunya yaitu ansietas.
Ansietas terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
gambaran tingkat ansietas, pasien dan keluarga pasien hemodialisis di RS Kendal. Metode
penelitian menggunakan survey deskriptif kuantitatif.Alat ukur menggunakan 14 pertanyaan terkait
ansietas pada kuesioner DASS (Depression Anxiety Stress Scale).Sampel penelitian berjumlah 60
pasien dan 60 keluarga pasien.Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien dan keluarga
pasien mengalami ansietas pada tingkat berat. Hasil penelitian ini direkomendasikan kepada
peneliti selanjutnya agar dapat memberikan intervensi yang efektif untuk mengatasi ansietas pasien
dan keluarga pasien hemodialisis.

Kata kunci: Ansietas, Pasien dan Keluarga pasien hemodialisis

DESCRIPTION OF PATIENT ANSIETAS LEVELS AND FAMILY OF


HEMODIALYSIS PATIENTS

ABSTRACT
Hemodialysis (dialysis) is an action therapy for kidney replacement that has been damaged. Patients who
undergo hemodialysis experience psychological problems, one of which is anxiety. Anxiety occurs due
to lack of knowledge. The study aims to describe the level of anxiety, patients and families of hemodialysis
patients in Kendal Hospital. The research method used a quantitative descriptive survey. Measuring
instruments used 14 questions related to anxiety on the DASS questionnaire (Depression Anxiety Stress
Scale). The research samples were 60 patients and 60 patient families. The results showed that the majority
of patients and families of patients experienced anxiety at a severe level. The results of this study were
recommended to future researchers in order to be able to provide effective interventions to overcome the
anxiety of patients and families of hemodialysis patients.

Keywords: Anxiety, Patients and Families of hemodialysis patients

PENDAHULUAN individu. Salah satu gangguan jiwa yang


Gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau
menjadi penyebab penderita dibawa ke rumah
pola psikologis atau perilaku yang penting
sakit adalah perilaku kekerasan. Peilaku
secara klinis yang terjadi pada seseorang dan
kekerasan (PK) adalah suatu bentuk perilaku
dikaitkan dengan adanya distress atau
agresi atau kekerasan yang ditunjukkan
disabilitas disertai peningkatan resiko
secara verbal, fisik, atau keduanyakepada
kematian yang menyakitkan, nyeri,
suatu subyek, orang atau diri sendiri yang
disabilitas, atau kehilangan kebebasan
mengarah pada potensial untuk destruktif atau
(American Psychiatric Association 2000
secara aktif menyebabkan kesakitan, bahaya,
dalam Varcarolis, 2006). Menurut
dan penderitaan (Bernstein & Saladino,
(Townsend, 2005) mengungkapkan gangguan
2007).
jiwa adalah respon maladaptive terhadap
stressor dari lingkungan internal dan eksternal
yang ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, Menurut rekam medic RSJD Dr. Amino
tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma Gondohutomo Semarang tahun 2015 ,
local dan budaya setempat, dan mengganggu presentase penderita gangguan jiwa selama
fungsi sosial, pekerja, dan fisik tahun 2014 yaitu klien rawat inap laki-laki
sebanyak 65,3% dan

34,7% perempuan. Sedangkan pada bulan Pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid dan
Januari sampaiJuli 2016 sebanyak gangguan psikotik dengan gejala curiga
2294 orang, berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan.
Gejala ini merupakan tanda dari pasien yang
diantaranya 1162 halusinasi (50,65%),
mengalami perilaku kekerasan (Medikal
menarik
Record, 2009). Masalah yang sering muncul
diri 462 orang (20,13%), harga diri rendah
374 pada klien gangguan jiwa khususnya dengan
orang (5,66%), perilaku kekerasan 128 kasus perilaku kekerasan salah satunya adalah
orang
tindakan marah. Tindakan yang dilakukan
(5,58%), defisit perawatan diri 21 orang
(0,91%), perawat dalam mengurangi resiko perilaku
kerusakan komunikasi verbal 16 orang kekerasan salah satunya adalah dengan
(0,70%),
menggunakan strategi pelaksanaan (SP). SP
percobaan bunuh diri 1 orang (0,40%).
merupakan pendekatan yang bersifat membina
hubungan saling percaya antara klien dengan keempat SP yang digunakan untuk
perawat, dan dampak apabila tidak diberikan mengontrol perilaku kekerasan, peneliti ingin
SP akan membahayakan diri sendiri maupun mengetahui SP nomor berapa yang paling
lingkungannya. Dari hasil observasi yang efektif digunakan pada pasien perilaku
telah dilakukan oleh perawat, kami tertarik kekerasan.
untuk melakukan studi kasus mengenai
penerapan stategi pelaksanaan (SP) perilaku
kekerasan yang paling efektif di ruang rawat METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
inap laki laki RSJD Dr. Amino
kualititatif, penelitian yang menghasilkan
Gondohuttomo Semarang.
data deskriptif berupa kata-kata tertulis
maupun lisan dari orang-orang dan perilaku
Strategi pelaksanaan (SP) yang dilakukan yang diamati (Meloang, 2007). Penelitian ini
oleh klien dengan perilaku kekerasan adalah dilakukan untuk mengetahui SP perilaku
diskusi mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan yang paling efektif menurut
kekerasan secara fisik, obat, verbal, dan pendapat responden. Populasi dalam
spiritual. Mengontrol perilaku kekerasan penelitian ini adalah semua pasien dengan
secara fisik dapat dilakukan dengan cara masalah resiko perilaku kekerasan di ruang
nafas dalm, dan pukul bantal atau kasur. Rawat Inap Laki laki RSJD Dr. Amino
Mengontrol secara verbal yaitu dengan cara Gondhutomo Semarang. Adapun kriteria
menolak dengan baik, meminta dengan baik, inklusi dari penelitian ini antara lain pasein
dan mengungkapkan dengan baik. sehat secara fisik, pasien dengan resiko
Mengontrol perilaku kekerasan secara perilaku kekerasan, mampu berkomunikasi
spiritual dengan cara shalat dan berdoa. Serta dengan baik, pasien kooperatif dan dapat
mengontrol perilaku kekerasan dengan mengungkapkan perasannya secara verbal
minum obat secara teraturdengan prinsip lima dengan baik. Teknik pengambilan sampel
benar (benar klien, benar nama obat, benar dalam penelitian ini menggunakan teknik
cara minum obat, benar waktu minum obat, purposive sampling (judgment sampling).
dan benar dosis obat). Dari Peneliti mengkaji faktor predisposisi, kondisi
fisik dan status mental klien dengan resiko
perilaku kekerasan dan menetapkan sampel
berdasarkan kriteria inklusi. Jumlah sampel
yang digunakan pada penelitian ini sebanyak
6 penderita skizofrenia dengan resiko
perilaku kekerasan di ruang rawat inap
laki laki RSJD Dr. Amino Gondohutomo.
Alat penelitian yang digunakan meliputi,
lembar observasi, kertas dan recorder. Cara
pengumpulan data pada penelitian dilakukan
dengan melakukan kontrak waktu,
melakukan indeept interview, menvalidasi
dan menyimpulkan jawaban informan
informan, mendokumentasikan respon
informan, dan mengakhiri dengan penutupan
serta salam.

HASIL
Hasil penelitian berupa transkip wawancara
yang telah peneliti buat kemudian
dikategorikan sesuai dengan kata kunci
yang telah disajikan dalam tabel dan skema
berikut :
Tabel 1. Kategori dan kata kunci

Kategori Kata Kunci

Marah Marah secara verbal seperti berbicara kasar dan keras

Marah secara tindakan seperti mengamuk, memukul, merusak


barang Penyebab marah Diri sendiri : merasa curiga ada yang ingin jahat pada
dirinya
Orang lain : kata-kata yang menyinggung dan membuat marah, diacuhkan
dan diabaikan orang lain, dikhianati

Yang Secara verbal : berbicara kasar dan ngomel-ngomel

dilakukan
Secara fisik :berkelahi, membanting barang, membakar barang
ketika marah

Kategori Kata Kunci

Marah berhenti jika Secara verbal : ketika dimarahin orang lain, ketika lelah sendiri

Secara tindakan : ketika merasa uas dengan tindakan yang dilakukan seperti
membacok, menghancurkan barang

Mengontrol PK Sudah : sudah pernah diajarkan SP minimal SP 1

Belum : belum diajarkan SP sama sekali

Efektivitas SP Nafas
dalam
Pukul
bantal
Verbal dengan menolak dan meminta sesuatu secara
baik Spiritual : berdoa, dzikir, calming teknique,
Obat

Perassaan Lega : tidak ada beban didalam


hati Tenang : hati adem
Pelaksanaan SP Mandiri : dilakukan secara mandiri
Diingatkan : harus ada orang yang mengingatkan saat pelaksanaan SP
Selalu : >3x sehari

Kuantitas
Jarang sehari
: 2x Kadang : 1x sehari
Tidak pernah : 0
Tabel 2.
Tema, Sub tema dan Kategori
Tema Sub Kateg
tema ori
1. Tindakan : mengamuk
2. Verbal : marah-marah
Penyebab masuk RSJ
3. Tindakan : memukul
4. Tindakan : merusak barang
1. Orang lain : Tersinggung
2. Orang lain : Tidak diperhatikan
Penyebab mengamuk
3. Diri sendiri : Curiga
4. Orang lain : Dikhianati
1. Fisik : Berkelahi
2. Fisik : Membanting barang-barang
Yang dilakukan ketika
3. Verbal : Bicara kasar
marah
4. Fisik : Membakar
Marah berhenti, jika 1. Tindakan : membacok
Pengetahuan melakukan 2. Verbal : dimarahin
pasien tentang 3. Verbal : ketika klien merasa lelah
perilaku 4. Tindakan : menghancurkan barang
kekerasan Diajarkan mengontr 1. Sudah : SP1-SP 4
ol 2. Sudah : SP1-SP 4
cara Perilaku 3. Sudah : SP1-SP 4
Kekerasan 4. Sudah : SP1-SP 4
1. Spiritual : Berdoa dan ikhlas
Paling mengontr 2. Napas dalam dan berdoa / shalat
ol 3. Nafas dalam
efektif marah 4. Nafas dalam dan Pukul bantal
Perasaan setelah 1. Lega
melakukan cara 2. Tenang
mengontrol marah 3. Tenang
4. Lega
Melakukan SP secara mandiri 1. Mandiri
atau diingatkan 2. Mandiri
3. Mandiri
4. Mandiri
Kuantitas 1. Kadang-kadang : 1x sehari
2. Kadang-kadang : 1x sehari
3. Kadang-kadang : 1x sehari
4. Kadang-kadang : 1x sehari
Masing-masing tema yang didapat dari hasil 3) Memukul : 2 dari 6 informan menyatakan
dibawa RSJ karena memukul orang
penelitian akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Pengetahuan pasien tentang perilaku kekerasan


Tema ini terdari dari sub tema antara lain :
a. Penyebab masuk RSJ
1) Marah : 5 dari 6 informan
menyatakan dibawa ke RSJ karena marah-
marah
“Marah-marah”
2) Mengamuk : 4 dari 6 informan menyatakan
dibawa ke RSJ karena mengamuk.
“Mengamuk”
Saya dibawa kesini karena suka ngamuk-
ngamuk mbak, suka marah juga sama mukul-
mukul orang”
4) Merusak barang : 1 dari 6 informan dibawa
ke RSJ karena merusak barang
“Saya dibawa kesini karena suka ngamuk-
ngamuk mbak, suka mukul kaca jendela juga.
Ya kaca jendelanya sampai pecah gitu.”

b. Penyebab prilaku kekerasan


1) Tersinggung : 5 dari 6 informan
menyatakan mengamuk karena tersinggung
“Biasanya karena saya nggak tidur, terus
pusing terus ada yang menyinggung atau
membuat saya marah, itu saya langsung yang paling efektif mengontrol marah adalah
dengan nafas dalam
ngamuk”
“Kadang juga nafas dalam sambil istigfar”
3) Pukul bantal : 2 dari 6 informan mengatakan
2) Tidak diperhatikan : 4 dari 6 informan
yang paling efektif mengontrol marah adalah
mengatakan mengamuk karena tidak
dengan pukul bantal
diperhatikan keluarganya
“Saya sering melakukan pukul bantal mba.
“Soalnya saya kesel sama ibu saya, yang ga
Saya latihan pukul bantal 10-15 menit.”
merhatiin saya”
3) Curiga : 2 dari 6 informan mengatakan
mengamuk karena curiga terhadap orang yag
berniat jahat padanya
“Saya merasa ada orang yang ingin jahat
kepada saya, yang akan membunuh saya”
4)Dikhianati / tidak dihargai : 4 dari 6
informan mengatakan mengamuk karena telah
dikhianati “Saya ngamuk kayak gini gara-
gara diselingkuhi istri mbak. Dia selingkuh
coba dengan teman kerjanya”

c. Yang dilakukan ketika marah


1) Berkelahi : 2 dari 6 informan mengatakan
ketika marah akan berperang (bertengkar).
“Perang, tawuran sama orang kecamatan
lain, bacok-bacokan”
2) Membanting barang-barang :
3 dari 6 informan mengatkan ketika marah
akan membanting barang-barang
“Kadang mbanting barang juga.”, saya
membakar sepeda”
3)Berbicara kasar : 5 dari 6 informan
mengatakan ketika marah bicara kasar
“Ya saya biasanya ngomel gitu mbak,”

d.Diajarkan cara mengontrol marah


1) Sudah : Semua informan menyatakan sudah
pernah diajari cara mengontrol marah
“Sholat dan berdoa, iklas menerima”

e.Paling efektif mengontrol marah


1) Berdoa dan iklas menerima kenyataan : 5
dari 6 informan mengatakan yang paling
efektif mengontrol marah adalah dengan
berdoa atau sholat dan menerima semuanya
dengan iklas
“Sholat dan berdoa, iklas menerima”

2) Nafas dalam : 5 dari 6 informan mengatakan


f. Perasaan setelah melakukan cara mengontrol marah adalah : dengan
mengontrol marah berdoa dan ikhlas menerima kenyataan yang

1) Lega : 5 dari 6 informan mengatakan


sudah terjadi 5. Hal ini sesuai dengan
merasa lega setelah melakukan cara penelitian sebelumnya yang mengatakan
mengontrol marah
“Ya perasaan saya sedikit lega, soalnya bisa bahwa mengontrol marah dapat dilakukan
marah tanpa melukai orang lain. saya kalau dengan menggunakan pendekatan spiritual
ngontrol PK itu sendiri mbak” melalui calming technique
2) Tenang : 3 dari 6 informan mengatakan dan saling memaafkan pada pasien
merasa tenang setelah melakukan cara
mengontrol marah skizofrenia dengan resiko perilaku kekerasan
“Ya perasaan saya lebih tenang mba setelah
(Padma,S & Dwidiyanti, M,
nafas dalam. Jadi lebih adem aja hatinya.
2014).Selain itu penelitian psikiatrik
membuktikan bahwa ada hubungan yang
PEMBAHASAN signifikan antara komitmen agama dan
Hasil penelitian diatas didapatkan dari 6
kesehatan, yaitu seseorang yang taat
informan menyatakan melakukan Prilaku
menjalankan ajaran agama relatif lebih sehat
kekerasan karena tersinggung 5, karena tidak
dan mampu mengatasi penyakitnya sehingga
dihargai / diperhatikan 4, dan hanya 2
proses penyembuhan penyakit lebih cepat
informan curiga terhadap orang yag berniat
(Zainul, 2007). Menurut (Sulistyowati &
jahat padanya. Faktor pencetus terjadinya
Prihantini, 2015) menunjukkan bahwa adanya
perilaku kekerasan terbagi dua yaitu dari
pengaruh terapi psikoreligius terhadap
dalam diri klien sendiri dan dari lingkungan.
penurunan perilaku kekerasan pada pasien
Faktor di dalam diri seperti kelemahan fisik,
skizofrenia di RSJD Surakarta.
keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kurang
percaya diri. Selain itu faktor lingkungan
yang menjadi penyebab perilaku kekerasan Hasil penelitian juga menunjukkan 5
seperti kehilangan orang atau objek yang informan menyatakan yang paling efektif
berharga dan konflik interaksi sosial (Yosep, untuk mengontrol perilaku kekerasan adalah
2007). dengan nafas dalam. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Zelianti (2011)
Hasil penelitian diatas menunjukkan dari 6
informan menyatakan yang paling efektif

tentang pengaruh tehnik relaksasi nafas dalam pengaruh yang signifikan antara tehnik
terhadap tingkat emosi klien perilaku relaksasi nafas dalam terhadap tingkat emosi
kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. klien perilaku kekerasan. Selain itu penelitian
Amino Gondohutomo yang menyatakan ada lain menyebutkan bahwa, ada pengaruh
pemberian tehnik relaksasi nafas dalam kekerasan yang paling efektif menurut pasien
perilaku kekerasan di ruang rawat inap laki laki
terhadap kemampuan pasien mengendalikan RSJD Dr. Amino Gondohuttomo
perilaku kekerasan di Ruang Bratasena RSJ Semarangadalah dengan cara Spiritual dan
Napas Dalam.
Provinsi Bali. 2. Penerapan strategi pelaksanaan (SP) spiritual
yang paling efektif tersebut menurut menurut
pasien perilaku kekerasan di ruang rawat inap
laki laki RSJD Dr. Amino Gondohuttomo
Melihat hasil diatas dengan dilakukannya Semarang karena memberikan ketenangan dan
rasa lega.
pendekatan Spiritual dan
Saran
Perawat dapat lebih melatih kemampuan
Napas Dalama dapat memberikan efek
pasien perilaku kekerasan mengotrol perilaku
menenangkan dan merelaksasi pikiran ,
kekerasan dengan mengajari Relaksasi Napas
sehingga klien dapat mengontrol emosiny,
Dalam dan cara spiritual seperti sholat,
bahkan 5 informan menyatakan lega setelah
mengaji dan berdzikir.
melakukan cara mengontrol emosi yang
dilakukannya sedangkan

3 lainnya menyatakan merasa lega dan tenang


setelah mengontrol emosinya.

Cara mengontrol perilaku kekerasan yang


menurut informan efektif adalah pukul
bantal. Beberapa penelitian tentang aktivitas
fisik dan terapi olahraga terhadap gangguan
kejiwaan membuktikan, bahwa aktivitas fisik
tersebut dapat meningkatkan kepercayaan
pasien terhadap orang lain (Campbell &
Foxcroft, 2008), dan juga membantu
mengontrol kemarahan pasien (Hassmen,
Koivula & Uutela, 2000). Oleh karena itu
klien perlu dilatih mengontrol amarahnya
dengan melakukan kegiatan fisik sehingga
dapat berperilaku lebih adaptif dalam situasi-
situasi dalam hidupnya berikutnya.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Penerapan stategi pelaksanaan (SP) perilaku
DAFTAR PUSTAKA Pramudaningsih I, Soekarno C, Susilowati Y.
Bernstein, K.S & Saladino, J.P. 2007.
Pemberian Strategi pelaksanaan pada
Clinical assessment and management
klien gangguan jiwa dengan perilaku
of psychiatric patient’s violent and
kekerasan di ruang citro anggodo RSJD
aggressive behaviors in general
Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
hospital. Medsurg, 16 (5), 301-9,
2014. Jurnal profesi keperawatan: vol 1
331. PMID: 18072668. no.1, hal 1-116, ISSN 2355-8040

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Sulistyowati, D & Prihantini. 2015. Pengaruh
Diagnosa Keperawatan. Editor Monica terapi psikoreligi terhadap penurunan
Ester. EGC : Jakarta. perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta. Jurnal terpadu ilmu
Dossey, M. 2008. Holistic nursing: a
kesehatan, Vol 4, No. 1, Hal: 72-77.
handbook for practice. Janes & Bartlitt
Kementrian kesehatan politeknik
publisher, Canada: Missisauga.
kesehatan Surakarta jurusan
keperawatan.
Keliat, B.A. 1998. Proses Keperawatan
Jiwa.
Sumirta, Nengah I, Githa, Wayan I &
Jakarta: EGC
Sariasih, Nengah Ni. 2013. Relaksasi
Nafas Dalam Terhadap Marah Klien
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Dengan Perilaku Kekerasan. Denpasar
Penelitian Kualitatif, Penerbit PT
Remaja Rosdakarya Offset, Bandung
Townsend, C.M. 2005. Essentials of
psychiatric mental health nursing.
Padma,Sri & Dwidiyanti, Meidiana. 2014. Philadelphia: F.A Davis Company.
Studi kasus: mindfulness dengan
pendekatan spiritual pada pasien
skizofrenia dengan resiko perilaku
kekerasan. Program studi ilmu
keperawatan, fakultas kedokteran
Universitas Diponegoro. Konas Jiwa
XI Riau: Hal 290-294.
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018

FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

Varcarolis, E.M. 2006. Psychiatric nursing clinical assament tools and diagnosis. Philadelphia: W.B
Sounders Co.

Zelianti. 2011. Pengaruh Tehnik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Emosi Klien
Perilaku Kekerasan di RSJD Dr Amino Gondohutomo Semrang

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Tn. A DENGAN


RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI YAYASAN
PEMENANG JIWA SUMATERA

RADINOVA KHRISTIAN HULU, S. Kep

Radinova.hulu@gmail.com

BAB I
PENDAHULUA
N

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat berat dan
kronis yang menyerang 20 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2019).
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, parah, dan melumpuhkan,
gangguan otak yang di tandai dengan pikiran kacau, waham, delusi,
halusinasi, dan perilaku aneh atau katatonik (Pardede & Laia, 2020).
Privalensi ganguan jiwa di Indonesia berdasarkan Kemenkes 2019 di
urutan pertama Provinsi Bali 11,1% dan nomor dua disusul oleh Provinsi
DI Yogyakarta 10,4%, NTB 9,6%, Provinsi Sumatera Barat 9,1%, Provinsi
Sulawesi Selatan 8,8%, Provinsi Aceh 8,7%, Provinsi Jawa Tengah 8,7%,
Provinsi Sulawesi Tengah 8,2%, Provinsi Sumatera Selatan 8%, Provinsi
Kalimantan Barat 7,9%. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara berada pada
posisi ke 21 dengan privalensi 6,3% (Kemenkes, 2019).
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang dapat berakhir dengan hilanngya
dengan nyawa seseorang. Dalam penanganan penyakit ini karena jiwa yang
tergangangu maka di butuhkan adalah terapi, rehabilitasi serta dengan
konseling. Upaya terbesar untuk penanganan penyakit gangguan jiwa
terletak pada keluarga dan masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah
bentuk dukungan keluarga dalam mencegah kambuhnya penyakit
skizofrenia (Pitayanti, & Hartono, 2020). Tanda dan gejala yang timbul
akibat skizofrenia berupa gejala positif dan negatif seperti perilaku
kekerasan. Resiko perilaku kekerasan merupakan salah satu respon
marah
yang diespresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri
maupun orang lain. Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut nadi
dan pernapasan meningkat, marah, mudah tersinggung, mengamuk dan bisa
mencederai diri sendiri. Perubahan pada fungsi kognitif, fisiologis, afektif,
hingga perilaku dan sosial hingga menyebabkan resiko perilaku kekerasan.
Berdasarkan data tahun 2017 dengan resiko perilaku kekerasan sekitar 0,8%
atau dari 10.000 orang menunjukkan resiko perilaku kekerasan sangatlah
tinggi (Pardede, Siregar & Hulu, 2020).).

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang


dihadapi oleh seseorang, respon ini dapat menimbulkan kerugian baik
kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Seseorang yang
mengalami perilaku kekerasan sering menunjukan perubahan perilaku
seperti mengancam, gaduh, tidak bisa diam, mondar-mandir, gelisah,
intonasi suara keras, ekspresi tegang, bicara dengan semangat, agresif, nada
suara tinggi dan bergembira secara berlebihan. Pada seseorang yang
mengalami resiko perilaku kekerasan mengalami perubahan adanya
penurunan kemampuan dalam memecahkan masalah, orientasi terhadap
waktu, tempat dan orang serta gelisah (Pardede, Siregar & Halawa, 2020).

Risiko perilaku kekerasan timbul akibat rasa tidak nyaman dan panik yang
terjadi akibat stressor dari dalam dan luar lingkungan. Perilaku kekerasan
yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak
berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Azis, Sukamto
& Hidayat, 2018).

Risiko mencederai merupakan suatu tindakan yang memungkinkan dapat


melukai atau membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
sehingga masalah yang terjadi pada pasien parilaku kekerasan akan
melibatkan keluarga (Suryeti 2017). Survei awal pada pembuatan askep
pada skizofrenia ini dilakukan di Yayasan Pemenag Jiwa Sumatera dengan
jumlah pasien 70 orang tetapi yang menjadi subjek di dalam pembuatan
askep ini berjumlah 1 orang dengan pasien resiko perilaku kekerasan atas
nama inisial Tn. A. Penyebabnya Tn. A di jadikan sebagai subjek
dikarenakan pasien belum bisa mengatasi emosinya selain meminum obat.
Maka tujuan asuhan keperawatan yang akan di lakukan ialah untuk
mengajarkan standar pelaksanaan resiko perilaku kekerasan/perilaku
kekerasan pada saat Tn. A mengalami ke amukan.
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah di paparkan pada latar belakang maka


rumusan masalah dalam askep ini yaitu Asuhan Keperawatan Resiko
Perilaku Kekerasan Tn. A di Yasasan Pemenang Jiwa Sumatera.

1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan secara holistik
dan komprehensif kepada Tn. A dengan gangguan resiko perilaku
kekerasan di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mahasiswa mampu memahami pengertian, tanda dan gejala,
etiologi, penatalaksanaan medis dan keperawatan resiko perilaku
kekerasan.
b. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dengan
gangguan resiko perilaku kekerasan.
c. Mahasiswa mampu melakukan menegakkan diagnosa pada Tn. A
dengan gangguan resiko perilaku kekerasan.
d. Mahasiswa mampu melakukan menetapkan perencanaan pada Tn.
A dengan gangguan resiko perilaku kekerasan.
e. Mahasiswa mampu melakukan implementasi pada Tn. A dengan
gangguan resiko perilaku kekerasan.
f. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada Tn. A dengan
gangguan resiko perilaku kekerasan.
g. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang diberikan pada
Tn. A dengan gangguan resiko perilaku kekerasan.
1.4. Manfaat
1. Responden

Diharapkan tindakan yang telah di ajakarkan dapat di terapkan secara


mandiri untuk mengontrol emosi dan untuk mendukung kelangsungan
kesehatan pasien.

2. Institusi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan diharapkan untuk menjadi acuan dalam dalam


melakukan kegiatan kemahasiswaan dalam bidang keperawatan jiwa.

3. Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.

Diharapkan dapat menjadi acuan dalam menanganin atau dalam


memberikan pelayanan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan
perilaku kekerasan di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Resiko Perilaku Kekerasan

2.1.1 Pengertian

Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari kemarahan,


hasil dari kemarahan yang ekstrim ataupun panik. Perilaku kekerasan
yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan
tidak berharga, takut,dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu
akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan oran lain
(Pardede, Keliat & Yulia, 2015).

Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang


dihadapi oleh seseorang yang di tunjukan dengan perilaku kekerasan
baik pada diri sediri maupun orang lain dan lingkungan baik secara
verbal maupun non-verbal. Bentuk perilaku kekerasan yang
dilakukan bisa amuk, bermusuhan yang berpotensi melukai, merusak
baik fisik maupun kata-kata (Kio, Wardana & Arimbawa, 2020).

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan


melukai seseorang secara fisik maupun psikologis dapat terjai dalam
dua bentuk yaitu saat berlangsung kekerasan atau riwayat perilaku
kekerasan. Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari
marah akibat tidak mampu klien untuk mengatasi strssor lingkungan
yang dialaminya (Wulansari & Sholiha 2021).

2.1.2 Tanda dan Gejala

Tanda dan gerjala perilaku kekerasan adalah muka merah, tegang,


mata melotot/pandangan tajam, bicara kasar, nada suara tinggi,
membentak, kata-kata kotor, ketus, memukul benda/orang lain,
menyerang orang lain, merusk lingkungan, amuk/agresif, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
cerewet,kasar, berdebat, menyinggung perasaan orang lain, tidak
peduli, kasar, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran (Wulansari
& Sholiha 2021).

Tanda dan gejala perilaku kekerasan berdasarkan standar asuhan


keperawatan jiwa dengan masalah resiko perilaku kekerasan,
(Pardede, 2020) :

Subjektif
a. Mengungkapkan perasaan kesal atau marah.
b. Keinginan untuk melukai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
c. Klien suka membentak dan menyerang orang lain.
Objektif
a. Mata melotot/pandangn tajam.
b. Tangan mengepal dan Rahang mengatup.
c. Wajah memerah.
d. Postur tubuh kaku.
e. Mengancam dan Mengumpat dengan kata-kata kotor.
f. Suara keras.
g. Bicara kasar, ketus.
h. Menyerang orang lain dan Melukai diri sendiri/orang lain.
i. Merusak lingkungan.
j. Amuk/agresif.

2.1.3 Etiologi

Penyebab dari perilaku kekerasan bukan terdiri cuman satu faktor


tetapi termasuk juga faktor keluarga, media, teman, lingkungan,
biologis. Perilaku kekerasan dapat menimbulkan dampak seperti
gangguan psikologis, merasa tidak aman, tertutup, kurng percaya
diri, resiko bunuh diri, depresi, harga diri rendah, ketidak berdayaan,
isolasi sosial (Putri, Arif & Renidayati 2020).
Faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya skizofrenia
meliputi biologis, psikologis, dan sosialkultural, dimana faktor
biologis yang mendukung terjadinya skizofrenia adalah genenitk,
neuroanotomi, neurokimia, dan imunovirologi. Faktor presipitasi
merupakan faktor stressor yang menjadikan klien mengalami
sikizofrenia yang terdiri dari faktor biologi, psikologi, dan
sosiokultural yang mampu menyebabkan risiko perilaku kekerasan,
halusinasi, dan harga diri rendah (Pardede, 2013).

Penyebab pasien beresiko untuk melakukan perilaku kekerasan


disebabkan oleh cemas secara terus menerus, untuk itu dibutuhkan
strategi preventif untuk mencegah perilaku kekerasan yang salah
satunya adalah dengan melakukan teknik relaksasi. Terknik relaksasi
merupakan salah satu yang sering digunakan untuk menghilangkan
stress ialah Muscle Relaxation Therapy (PMRT). Terapi ini mudah di
pelajari dan tidak terbatas, dampaknya bisa menggurangi kecemasan
dan depresi, peningkatan perasaan kontrol diri dan peningkatan
kemampuan koping dalam situasi stress (Pardede, Simanjuntak, &
Laia, 2020). Faktor psikologis yang menyebabkan pasien mengalami
perilaku kekerasan antara lain yaitu : Keperibadian yang tertutup,
kehilangan, aniaya seksual, kekerasan dalam keluarga (Pardede &
Laia, 2020).

2.1.3.1 Faktor Predisposisi


1. Faktor Psikologis

Psyschoanalytical Theory : Teori ini mendukung


bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari
instinctual drives. Pandangan psikologi mengenai
perilaku agresif mendukung pentingnya peran dari
perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup.
Beberapa contoh dari pengalaman hidup tersebut :
a. Kerusakan otak organik dan retardasi mental
sehingga tidak mampu menyelesaikan secara
efektif.

b. Rejeksi yang berlebihan saat anak-anak.

c. Terpapar kekerasan selama masa perkembangan.

2. Faktor Sosial Budaya


Sosial Learning Theory, ini merupakan bahwa agresif
tidak berbeda dengan respon-respon yang lain,
kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan.

3. Faktor biologis
Neurotransmeiter yang sering dikaaitkan perilaku
agresif dimana faktor pendukunya adalah masa kadan-
kanak yang tidak menyengkan, sering mengalami
kegagalan, kehidupan yang penuh tindakan agresif
dan lingkungan yang tidak kondusif.

4. Perilaku
Reinfocemnt yang terima pada saat melakukan
kekerasan dan sering mengobservasi kekerasan di
rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.

2.2.3.2 Faktor Presitipasi

Ketika seseorang merasa terancam terkadang tidak


menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahannya. Tetapi secara umum, seseorang akan
mengerluarkan respon marah apabila merasa dirinya
terancam. Faktor presipitasi bersumber dari klien,
lingkungan, atau interaksi dengan orang lain. Faktor yang
mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua,
yaitu (Parwati, Dewi & Saputra 2018) :

a. Klien : Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak


berdayaan, kurang percaya diri.

b. Lingkungan : Ribut, kehilangan orang atau objek yang


berharga, konflik interaksi sosial.

2.1.4 Penatalaksanaan

Penatalaksaan perilaku kekerasan bisa juga dengan melakukan terapi


restrain. Restrain adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada
individu, tanpa injin individu tersebut, untuk mengatasi kebebasan
gerak, terapi ini melibatkan penggunaan alat mekanis atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik pasien. Terapi restrain dapat
diindikasikan untuk melindungi pasien atau orang lain dari cidera
pada saat pasien lagi marah ataupun amuk (Hastuti, Agustina, &
Widiyatmoko 2019).

Penanganan yang dilakukan untuk mengontrol perilaku kekerasan


yaitu dengan cara medis dan non medis. Terapi medis yang dapat di
berikan seperti obat antipsikotik adalah Chlorpoazine (CPZ),
Risperidon (RSP) Haloperidol (HLP), Clozapin dan Trifluoerazine
(TFP). Untuk terapi non medis seperti terapi generalis,untuk
mengenal masalah perilaku kekerasan serta mengajarkan
pengendalian amarah kekerasan secara fisik : nafas dalam dan pukul
bantal, minum obat secara teratur, berkomunikasi verbal dengan
baik-baik, spiritual : beribadah sesuai keyakinan pasien dan terapi
aktivitas kelompk (Wulansari & Sholiha 2021).

2.1.4.1 Terapi Medis


Fsikomarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan
tujuan untuk mengurangi atau menghilanggan gejala
gannguan jiwa. Dengan demiakian kepatutan mium obat
adalah mengonsumsi obat yang direspkan oleh dokter
pada waktu dan dosis yang tepat karena pengobatan hanya
akan efektif apabila penderita memenuhi aturan dalam
penggunaan obat (Pardede, Keliat & Yulia, 2015).

2.1.4.2 Tindakan Keperawatan

Mengajarkan stimulasi persepsi perilaku kekerasan


berdasarkan standar pelaksanaan untuk mengenal
penyebab perilaku kekerasan dengan latihan fisik seperti :
Tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal, meminum obat
dengan teratur, berbicara secara baik-baik seperti meminta
sesuatu dan mengajarkan spritual sesuai kepercayaan
pasien (Pardede & Laia, 2020).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.


Pada tahap pengkajian inilah yang menentukan tahap berikutnya
untuk di lanjutkan. Data skunder dan data primer dari
pasien/keluarga didapat pada saat melakukan yang namanya
pengkajian. Didalam pelaksanaan pengkajian melakukan
pendekatan dan saling membangun kepercayaan dengan pasien,
keluarga, orang terdekat pasien, teman serta orang lain yang tahu
tentang kesehatan pasien. Pada saat pengkajian pada pasien dengan
Risiko Perilaku Kekerasan yaitu pada data subyektif pasien
mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, mengatakan
dendam dan jengkel, serta menyalahkan dan menuntut. Pada data
objektif pasien menunjukan tanda-tanda mata melotot dan
pandangan tajam, tanggan mengepal, rahang mengatup, wajah dan
tegang, postur tubuh kaku dan suara keras (Musmini, 2019).
2.2.2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ialah identifikasi atau penilaian terhadap
pola respon pasien baik secara actual maupun potensial dan
merupakan dasar pemilihan intervensi dalam mecapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh perawat yang bertangguang jawab (Muhith,
2015).

2.2.3 Intervensi Keperawatan


Berdasarkan diagnosa yang telah ditemukan selanjutnya dilakukan
dengan perencanaan keperawtan yang akan diberikan kepada
pasien seperti menggurangi respons kongnitif, afektif, fisiologi,
perilaku, sosial pada pasien risiko perilaku kekerasan. Rencana
keperawatan juga dapat di berikan Sp1 : Tarik napas dalam, pukul
bantal/kasur, untuk mengontrol Risiko Perilaku Kekeraasan, Sp2 :
Minum obat secara teratur Sp3 : Berbicara secara baik-baik/verbal,
Sp4 : Spritual (Suerni, & Livana, 2019).

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi berdasarkan Modul Keperawtan Jiwa (Nurhalima,


2016) : Tindakan keperawatan untuk mengatasi risiko perilaku
kekerasan, dilakukan terhadap pasien dan keluarga. Saat
melakukan pelayanan di Puskesmas dan kunjungan rumah,,
perawat menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui
pasien. Bersama keluarga, perawat mengidentifikasi masalah yang
dialami pasien dan keluarga. Setelah itu, perawat menemui pasien
untuk melakukan pengkajian, mengevaluasi dan melatih satu cara
lagi untuk mengatasi masalah yang dialami pasien. Jika pasien
telah mendapatkan terapi psikofarmaka (obat), maka hal pertama
yang harus dilatih perawat adalah pentingnya kepatuhan minum
obat. Setelah perawat selesai melatih pasien, perawat menemui
keluarga untuk melatih cara merawat pasien. Selanjutnya perawat
menyampaikan hasil tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien
dan tugas yang perlu keluarga yaitu untuk mengingatkan pasien
melatih kemampuan mengatasi masalah yang telah diajarkan oleh
perawat.

1. Membina hubungan saling percaya Tindakan yang harus


dilakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya
adalah:
a. Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
b. Perkenalkan diri : nama, nama panggilan yang Perawat
sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien yang
disukai.
c. Tanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
d. Buat kontrak asuhan : apa yang Perawat akan lakukan
bersama pasien, berapa lama akan dikerjakan dan tempatnya
dimana.
e. Jelaskan bahwa Perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi.
f. Tunjukkan sikap empati.
g. Penuhi kebutuhan dasar pasien.
2. Diskusikan bersama pasien penyebab rasa marah/perilaku
kekerasan saat ini dan yang lalu.
3. Diskusikan tanda-tanda pada pasien jika terjadi perilaku
kekerasan.
a. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
b. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis.
c. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
sosial.
d. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
spiritual.
e. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual.
4. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara: Verbal.
a. Terhadap orang lain.
b. Terhadap diri sendiri.
c. Terhadap lingkungan.
5. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
6. Latih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a. Patuh minum obat.
b. Fisik:tarik nafas dalam, pukul kasur dan batal.
c. Sosial/verbal: bicara yang baik: mengungkapkan, menolak
dan meminta rasa marahnya.
d. Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien.
Tindakan keperawatan terhadap pasien dapat dilakukan minimal
empat kali pertemuan dan dilanjutkan sampai pasien dan keluarga
dapat mengontrol/mengendalikan perilaku kekerasan.

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi berdasarkan Modul Keperawtan Jiwa (Nurhalima, 2016) :

1. Evaluasi kemampuan pasien mengatasi risiko perilaku


kekerasan berhasil apabila pasien dapat:

a. Menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku


kekerasan, perilaku kekerasan yangbiasadilakukan, dan
akibat dari perilaku kekerasan.

b. Mengontrol perilaku kekerasan secara teratur sesuai jadwal:


a) secara fisik: tarik nafas dalam dan pukul
bantal/kasur.
b) secara sosial/verbal: meminta, menolak, dan
mengungkapkan perasaan dengan cara baik.
c) secara spiritual.
d) terapi psikofarmaka.
c. Mengidentifikasi manfaat latihan yang dilakukan dalam
mencegah perilaku kekerasan.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Identitas Klien

Inisial : Tn. A

Alamat : Jln. Anggrek Simpang selanyan no 76


Tanggal Pengkajian : 25 Februari 2021

Umur : 56 Tahun

Agama : Kristen Protestan

Status : Tidak Menikah

Infoment : Status pasien dan komunikasi dengan pasien

3.2 Keluhan Utama


Pasien mengatakan mengeluh karna tidak suka meminum obat di karenakan
tidak sembuh-sembuh dari semenjak masuk ke yayasan hingga saat ini.
Pasien mengatakan suka marah jika diberikan obat disebabkan karena tidak
kunjung pulang kerumah. Klien juga mengatakan jika tidak di awasi untuk
minum obat maka obatnya dibuangnya, karane klien tidak percaya jika
minum obat akan menyembuhkannya di sebabkan pasien mengatakan
bahwa pasien percaya hanya Tuhanlah yang dapat menyembuhkan
penyakitnya.

3.3 Faktor Predisposisi


1. Pasien sebelumnya pernah mengalami gangguan jiwa dan dirawat di
Yayasan Kolam Bethesda selama 2 tahun dan tidak sembuh hingga di
pindahkan oleh keluarga ke Yayasan Pemenang Jiwa. Pasien tidak
pernah pulang kerumah semenjak pertama kali di antar ke Yayasan
Kolam Bethesda hingga sampai saat ini pasien berada di Yayasan
Pemenang jiwa. Pengobatan pasien sebelumnya kurang berhasil di
sebabkan karena tidak teratur minum obat. Maka dari itu pihak
keluarga memindahkanya ke Yayasan Pemenag Jiwa. Tn. A
pertama kali di antar ke Yayasan Kolam Bethesda pada tahun 2015 di
dengan keluhan marah-marah, pandangan tajam hingga pernah
memukuli ibu dan adinya sendiri. Hingga saat ini pasien sudah 3 tahun
berada di Yayasan Pemenang Jiwa. Pasien Juga megatakan tidak ada
riwayat keluarga mengalami penyakit yang di deritanya.

Masalah Keperatan : Risiko Perilaku Kekerasan.

3.4 Fisik
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien, pasien tidak memiliki
pemeriksaan fisik, didapat hasil

TD : 120/80 mmHg
N : 83x/Menit

S : 36,50C

RR : 20x/Menit
TB : 171 cm
BB : 68 Kg

3.5 Psikososial

3.5.1 Genogram
Pasein merupakan anak keempat dari 6 bersaudara, pasien memiliki 2 orang
abang, 1 orang kakak, dan 2 orang adik perempuan dimana semua sudah
berkeluarga, ayahnya telah meninggal dunia dan ibunya masih hidup.
Ket :

Laki-Laki Pasien Pasien


Perempuan Meninggal Dunia

Meninggal Dunia
Tinggal Bersama
Keluarga

Pasien Tinggal di Yayasan Kemenagan Jiwa

Penjelasan : Pasien tinggal di Yayasan Pemenang Jiwa sudah 3 tahun


dengan alasan keluarga mengantar karena melakukan perilaku
kekerasan di rumah.

Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan

3.5.2 Konsep Diri

a. Gambaran diri : Pasien mengatakan menyukai seluruh


tubuhnya dan tidak ada yang cacat.

b. Identitas : Pasien mengatakan hanya lulusan SMA


tetapi sempat kuliah di salah satu universitas
yang berada di medan, tetapi tidak
menyelesaikannya.

c. Peran : Pasien mengatakan anak keempat dari enam


bersaudara.

d. Ideal diri : Pasien mengatakan menyadari sakitnya dan


ingin cepat sembuh.

e. Harga diri : Pasien mengatakan merasa dirinya di buang


oleh keluarga dan ibunya pilih kasih terhadap
anak-anaknya.
Masalah Keperawatan : Harga Diri Rendah.
3.5.3 Hubungan Sosial

a. Orang yang berarti :

Pasien mengatakan bahwa keluarganya adalah orang yang


sangat berarti baginya terutama ibunya, pasien juga
mengatakan menyesal telah memukul ibunya.

b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat :

Pasien mengatakan tidak mengikuti kegiatan di masyarakat


tetapi mengikuti kegiatan kelompok seperti beribadah bersama
di dalam Yayasan.

c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain :

Pasien mengatakan susah berinteraksi di luar lingkungan


yayasan karena diawasi sangat ketat. Tetapi untuk berinteraksi
di dalam yayasan pasien mengatakan tidak memiliki hambatan.

3.5.4 Spritual

a. Nilai dan Keyakinan : Pasien beragama kristen protestan dan


yakin dengan agamanya.

b. Kegiatan Ibadah : Selama dirawat di yayasan pemenang


jiwa pasien selalu ikut beribadah
terjadwal setiap harinya.

3.5.5 Status Mental


a. Penampilan
Penampilan pasien rapi seperti berpakaian biasa pada
umumnya.

b. Pembicaraan
Pasien berbicara lambat mengenggam.
Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.

c. Aktivitas motorik
Pasien mengatakan bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
d. Alam perasaan
Pasien tidak mampu megespresikan perasaan sesuai kondisi
pada saat emosi.

Masalah keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasa

e. Afek
Pasien merespon saat di panggil tetapi pandangan tajam.
Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.

f. Interaksi selama wawancara.


Selama diwawancara pasien bersifat koperatif.

g. Persepsi
Pasien megatakan sekali-kali mendengarka suara yang
memicu amarahnya dan ingin memukul orang di sekitarnya.

Masalah Keperawatan : Gangguan Presepsi Sensori :

Halusinasi

h. Proses Pikir
Pasien mampu berbicara sesuai topik pembicaraan dan dapat
merespon umpan balik dan dapat mengulang hal penting yang
disampaikan perawat.

i. Isi Pikir
Pasien mengatakan ingin ke Israel karean didalam Alkitab
bangsa yang di berkati Tuhan adalah Israel.

Masalah Keperawatan : Waham Agama

j. Tingkat Kesadaran
Pasien tidak mengalami gangguan orientasi, pasien mengenali,
waktu, orang dan tempat.

k. Memori
Klien mampu mengingat kejadian-kejadian saat melakukan
pemukulan kepada ibu dan adiknya.

l. Tingkat Konsentrasi dan berhitung


Pasien mampu menjawab pertanyaan hitungan sederhana.
m. Kemampuan penilaian
Pasien dapa membedana tempat yang bersih dan kotor.
n. Daya tilik diri
Pasien mengatakan sadar dirinya mengalami gangguan jiwa,
namun pasien menggikarinya.

Masalah Keperawatan : Harga Diri Rendah.

3.6 Kebutuhan Persiapan Pulang


1. Makan, Minum, BAB/BAK
Pasien dapat mengambil makan dan minum dan dapat kekamar mandi
untuk BAB/BAK.

2. Mandi, Berpakaian /berhias


Pasien megatakan dapat mandi dan berpakaian secara mandiri.

3. Istrahat dan tidur


Tidur Siang lama 13.00 wib s/d 16.30 wib, tidur malam lama 22.00
wib s/d 05.00 wib, kegiatansebelum/sesudah : Berubadah.

3.7 Mekanisme Koping


Pasien mengaktakan jika pada saat pasien emosi selalu menumbuk beton
kamarnya.

Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekeran

3.8 Masalah Psikososial Dan Lingkungan


Pasien megatakan dukungan psikososial dan lingkungan di yayasan sangat
baik.

3.9 Pengetahuan Kurang Tentang


Pasien mengatakan jika sedang emosi akan melampiaskannya pada dinding
kamar.

Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.

3.10 Aspek Medis


Diagnosa Medik :
a. Risiko Perilaku Kekerasan b. Perilaku kekerasan
Terapi Medik : 1. Pemberian/minum obat kepada pasien secara teratur.

a. Risperidon (RSP) tablet 2 mg 2x1.


3.11 Analisa Data

Masalah
N Identifikasi Data
Keperawat
o
an
1 Ds : Risiko
. Perilaku
Pasien mengatakan bahwa alasan ayahnya dulu
Kekerasan
mengantarnya ke Yayasan Kolam Bethesda
karena sudah memukul ibu dan adiknya.
Setelah 2 tahun di YKB di pindahkan oleh
ayahnya lagi ke Yayasan Pemenang Jiwa,
higga saat ini belum di jemput untuk pulang
oleh keluarganya. Pasien Juga mengatakan
mungkin keluarganya masih takut kepadanya.
Do :
Pandangan tajam/melotot serta postur tubuh
kaku.
2 Ds : Halusina
. si
Pasein mengatakan sekali-kali mendengarkan
Pendengar
suara-suara yang membuatnya dapat emosi
an
untuk memukul orang yang tidak dia senangi.
Do :
Pasien komat kamit.
3 Ds : Gangguan
. Pola Pikir :
Pasien mengatakan bahwa dia akan ke Israel,
Waham
karena bangsa Israel adalah bangsa Tuhan
Agama
Yesus dan pasien inggin menjadi orang yang
pertama menjabat tangan Yesus.
Do :
Pasien memandang keatas dan menghunjuk
arah depannya bahwa Israel itu seakan-akan
berada di sebelah pagar yayasan.
4 Ds : Harga
. Diri
Pasien megatakan sadar dirinya mengalami
Renda
gangguan jiwa, namun pasien menggikarinya.
h
Pasien juga mengatakan bahwa tidak ada
orang dilingkugannya yang dapat menerima
dia sepulang dari yayasan.
Do :
Pasien cemas secara sosial dan tampak
sedih
hingga gelisah.

3.12 Daftar Masalah Keperawatan


1. Risiko Perilaku Kekerasan.
2. Halusinasi Pendengaran.
3. Gangguan Pola Pikir : Waham Agama.
4. Harga Diri Rendah.

3.13 Pohon Masalah


Risiko Perilaku
Kekerasan
Risiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Proses Pikir: Waham Gangguan Sensori Persepsi:


Halusinasi

Gangguan Konsep Diri


:Harga Diri Rendah Kronis

3.14 Diagnosa Prioritas


1. Risiko Perilaku Kekerasan.
3.15 Intervensi Keperawatan

Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawat
an
Risiko Pasien Ketika di 1. Membina
Perilaku dapat evaluasi pasien hubungan
Kekeras membina mampu saling percaya
an. hubungan membalas dengan cara
saling salam, menjelaskan
percaya. tersenyum, ada maksud
kontak mata
dan tujuan
serta
interaksi,
menyediakan
jelaskan
waktu tentang
untuk
kunjung kontrak yang
an akan di buat,
berikutn beri rasa aman
ya. dan sikap
empati.
2. Diskusi

bersama pasien

tentang perilaku
kekerasan,
penyebab,
tanda
dan
gejala
perilaku

yang
muncul

dan
akibat

dari perilaku
tersebut.
Pasien Pasien mampu Sp1 :
dapat menyebutan Latihan
mengendal dan Melakukan cara
ik an menrekomenda mengontrol
mengendal sik an amarah :
ik an a. Anjurkan
cara
teknik
perilaku mengontrol
relaksasi nafas
kekerasan perilaku
dalam.
dengan kekerasan
b. Pukul bantal.
cara dengan cara
relaksi
nafas relaksasi nafas
dalam dalam dan
dan pukul bantal.
pukul
bantal/kasur
.
Pasien Pasien Sp2 :
dapat a. Bantu
mampu
mengendal
mengendalikan pasien
ik an
perilaku mengotrol
perilaku kekerasan perilaku
kekerasan dengan minum kekerasan
dengan dengan
obat
minum
Risperidon minum
obat
(RSP) obar secara
secara teratu
dengan teratur.
teratur. 2x1 hari.
Pasien Pasien paham Sp3 :
paham dan mampu Bantu
dan menyampaikan pasien
mampu amarah mengontrol
mengendal risiko
dengan
ik an perilaku
cara
risiko kekerasan dengan
berbicara
perilaku menganjurkan
dengan baik.
kekerasan pasien berbicara
dengan yang baik bila
sedang marah,
cara
dengan tiga cara :
berbicara
b. Meminta
dengan
sesuatu dengan
baik.
baik tanpa
marah.
c. Menolak
sesuatu dengan
baik.
Mengungkapkan
perasaan kesal.
Pasien Pasien paham Sp4 :
paham dan mamu Pasien
dan mengendalikan
risiko perilaku
mampu risiko
kekerasan :
mengendal
perilaku Diskusikan
ik an
kekerasan bersama pasien
risiko dengna cara
cara
perilaku
beribadah mengendalikan
kekerasan
sesuai agama perilaku
dengan
yang di anut
pasien.
cara kekerasan dengan
memprakti
cara
ka n
beribadah.
cara
spritual.
3.16 Implementasi dan Evaluasi

Ha Implementasi Evalu
ri/ asi
T
gl
Kami 1. Data : S : Antusias dan Bersemangat.
s,
Tanda dan gejala : mudah
26
marah- marah, mudah O:
feb
tersinggung, tatapan sinis, suka - Pasien mampu melakukan
2021.
menyendiri merasa tidak di latihan tarik nafas dalam
10.30
hargai. dengan mendiri.
Wib.
- Pasien mampu pukul bantal
2. Diagnosa Keperawatan dengan mandiri.
a. Risiko perilaku kekerasan.
b. Perilaku kekerasan. A : Risiko perilaku kekerasan (+).

3. Tindakan Perilaku Kekerasan P : Latihan fisik :


Sp1 : Risiko perilaku kekerasan. - Tarik nafas dalam 1x/hari.
- Mengidentifikasi penyebab - Pukul kasur bantal 1x/hari.
reisko perilaku kekerasan
yaitu jika memauan klien
tidak diturutin.
- Mengidentifikasi tanda dan
gejala risiko perilaku
kekerasan yaitu pasien marah,
mengamuk tanpa alasan yang
jelas, merusak barang-barang
dan cenderung melukai orang
lain.
- Menyebutkan cara
mengontrol risiko perilaku
kekerasan dengan latihan fisik
: Tarik nafas dalam dan pukul
bantal kasur.
- Membantu pasien latihan tarik
nafas dalam dan pukul bantal.
4. RTL :
Sp2 : Risiko perilaku kekerasan.
- Mengontrol risiko perilaku
kekerasan dengan minum obat
secara teratur.
Sp3 : Risiko Perilaku Kekerasan.
- Komunikasi secara verbal :
Asertif/Bicara baik-baik
Jumat 1. Data : S : Senang dan Antusias.
,
Tanda dan gejala : mudah
27
marah- marah, mudah O:
feb
tersinggung, tatapan sinis, - Pasien mampu melakukan
2021.
merasa tidak dihargai. tarik nafas dalam dengan
11.30
Kemampuan bermain alat mandiri.
Wib.
musik gitar. - Pasien mampu pukul bantas
secara mandiri.
2. Diagnosa keperawatan - Pasien mampu mengontrol
- Risiko perilaku kekerasan amarah dengan minum obat
- Perilaku kekerasan secara teratur dengan
bantuan pengawas yayasan.
3. Tindakan keperawatan - Pasien mampu melakukan
Sp2 : Risiko Perilaku Kekerasan. komunikasi secara verbal :
a. Mengevaluasi kemampuan asertif/bicara baik-baik
pasien tarik nafas dalam dengan motivasi.
dan pukul kasur
b. Memberikan A : Risiko Perilaku Kekerasan (+).
informasi tentang
pengguanaan obat. P :
Sp3 : Risiko Perilaku Kekerasan. - Latihan tarik nafas
a. Mengevaluasi kemampuan dalam 1x/hari.
pasien untuk tarik nafas - Latihan pukul bantal 1x/hari.
dalam dan pukul bantal - Berobat
kasur.
b. Minum obat - Pasien melakukan
c. Komunikasi secara verbal : komunikasi secara verbal :
asertif/bicara baik-baik. asertif/bicara baik-baik.
4. RTL :
Sp4 : Risiko Perilaku Kekerasan.
- Spritual : Beribadah.
Sabtu 1. Data : S : Senang.
,
Tanda dan gejala : mudah
28
marah- marah, mudah O:
feb
tersinggung, tatapan sinis, - Pasien mampu melaksanakan
2021.
merasa tidak dihargai. kegiatan ibadah dengan baik,
10.00
Kemampuan yang dimiliki misalnya berdoa dan
Wib.
bermain alat musik gitar. mengikuti kegiatan ibadah di
dalam yayasan.
2. Diagnosa Keperawatan
- Risiko perilaku kekerasan. A : Perilaku Kekerasan (+).
- Perilaku kekerasan.
P:
3. Tindakan Keperawatan. - Latihan tarik nafas dalam
Sp4 : Risiko Perilaku Kekerasan. dan pukul kasur bantal
- Mengevaluasi kemampuan 2x/hari.
pasien dalam tarik nafas - Berobat.
dalam dan pukul bantal - Latihan
kasur, minum obat secara melakukan komunikasi
teratur dan berbicara baik- secara verbal :
baik. asertif/bicara baik-baik.
- Melatih pasien untuk - Latihan pasien untuk
melakukan kegiatan spritual melaksakan
yang sudah diatur. kegiatan beribada seperti
RTL : berdoa.
Risiko perilaku kekerasan :
Follow up dan evaluasi Sp 1-4
Risiko
Perilaku Kekerasan.
BAB 4

PEMBAHASAN

Setelah mahasiwa melaksanakan asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan


Risiko Perilaku Kekerasan/Perilaku Kekerasan di Yayasan Pemenang Jiwa
Sumatera, maka mahasiswa pada BAB ini akan membahas kesenjangan antara
teoritis dan tinjauan kasus. Pembahasan dimulai melalui tahapan prosess
keperatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evalusi.

4.1 Tahap Pengkajian

Selama pengkajian dilakukan pengumpulan data dari beberapa sumber yaitu


dari pasien dan pengawas yayasan. Mahasiswa mendapat sedikit kesulitan
dalam mmenyimpulkan data kerena keluarga pasien jarang mengkunjungi
pasien di yayasan pemenang jiwa. Maka mahasiwa melakukan pendekatan
pada pasien melalui komunikasi terapeutik yang lebih terbuka membantu
pasien untuk memecahkan perasaannya dan juga melakukan observasi
kepada pasien. Ada pun upaya tersebut yaitu :

a. Melakukan pendekatan dan membina hubungan saling percaya diri pada


pasien agar pasien lebih terbuka dan lebih percaya dengan menggunakan
perasaan.

b. Mengadakan pengkajian pasien dengan wawancara dan tidak


menemukan kesenjangan karena di temukan hal sama seperti diteori
bahwasanya Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari
kemarahan, hasil dari kemarahan yang ekstrim ataupun panik. Perilaku
kekerasan yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya
perasaan tidak berharga, takut,dan ditolak oleh lingkungan sehingga
individu akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan oran lain
(Pardede, Keliat & Yulia, 2015).
4.2 Tahap Perencanaan

Perencanaan dalam proses keperawatan lebih di kenal dengan asuhan


keperawatan yang merupakan tahap selanjutnya setelah pengkajian dan
penentuan diagnosa keperawatan. Pada tahap perencanaan mahasiswa hanya
menyusun rencan tindakan keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan dan
Perilaku Kekerasan. Pada tahap ini antara tinjauan teoritis dan tinjauan
kasus tidak ada kesenjangan sehingga mahasiswa dapat melaksanakan
tindakan seoptimal mungkin di dukung dengan seringnya bimbingan dengan
pembimbing. Secara teoritis digunakan secara strategi pertemua sesuai
dengan diagnosa keperawatan yang muncul saat pengkajian. Adapun upaya
yang digunakan mahasiswa ialah :

1. Risiko Perilaku Kekerasan


a. Mengidentifikasikan isi Risiko Perilaku Kekerasan.
b. Mengidentifikasikan waktu terjadi Risiko Perilaku Kekerasan.
c. Mengidentifikasikan situasi pencetus Risiko Perilaku Kekerasan.
d. Mengidentifikasikan respon terhadap Risiko Perilaku Kekerasan.
e. Membantu pasien mempraktekkan latihan cara mengontrol Risiko
Perilaku Kekerasan dengan tarik nafas dalam dan pukul bantal.
f. Menjelaskan cara mengontrol Perilaku Kekerasan dengan minum
obat secara teratur.
g. Melatih pasien mengotrol Risiko Perilaku Kekerasan dengan
berbicara baik-baik dengan orang lain dan spritual.
h. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

4.3 Tahap Implementasi

Pada tahap implementasi mahasiswa hanya mengatasi masalah keperawatan


dengan diagnosa keperawatan Risiko perilaku Kekerasan/Perilaku
Kekerasan karena masalah utama yang dialami pasien. Pada diagnosa
keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan/Perilaku Kekerasan strategi
pertemuan ialah mengidentifikasi perilaku kekerasan, mengotrol perilaku
kekerasan, dan cara tarik nafas dalam dan pukul bantal kasur. Strategi
pertemuan yang kedua ialah anjurkan minum obat secara teratur, strategi
pertemuan ketiga ialah latihan cara komunikasi secara verbal atau bicara
baik-baik dan strategi terakhir pertemuan keempat yaitu spritual.

4.4 Tahap Evaluasi

Pada tinjauan kasus evaluasi yang dihasilkan adalah :

1. Klien sudah dapat mengontrol dan mengidentifikasi Risiko Perilaku


Kekerasan.
2. Klien dapat mengendalikan Risiko Perilaku Kekerasan melalui latihan
fisik.
3. Klien dapat mengendalikan Risiko Perilaku Kekerasan dengan cara pergi
ke poli jiwa untuk mendapatkan minum obat.
4. Klien dapat mengendalikan Risiko Perilaku Kekerasan dengan berbicara
baik-baik dengan orang lain.
5. Klien dapat mengendalikan Risiko Perilaku Kekerasan dengan
melakukan spritual terjadwal.
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Setelah menguraikan tentang proses keperawatan pada Tn. A dan


disimpulkan bahwa pasien dapat mengontrol risiko perilaku kekerasan
dengan terapi yang di ajarkan oleh mahasiwa. Dimana pasien dapat
melakukan tarik nafas dalam, memukul bantal secara mandiri untuk
mengontrol amarahnya. Pasien juga minum obat secara teratur dan berbicara
secara baik-baik jika ingin meminta sesuatu atau melakukan penolakan,
hingga pasien dapat melakukan spritual sesuai ajaran agama yang dianut.

5.2 Saran

1. Diharapkan pada keluarga sering mengunjungi pasien selama waktu


perawatan karena dengan seringnya keluarga berkunjung, maka pasien
merasa berarti dan dibutuhkan dan juga setelah pulang keluarga harus
memperhatikan obat dikonsumsi serta membawa pasien kontrol secara
teratur kepelayanan kesehatan jiwa ataupun rumah sakit jiwa.

2. Bagi mahasiswa/mahasiwi agar lebih memperdalam ilmu pengetahuan


khusus tentang keperawatan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku
Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam
Samarinda. http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/797
Hastuti, R. Y., Agustina, N., & Widiyatmoko, W. (2019). Pengaruh restrain
terhadap penurunan skore panss EC pada pasien skizofrenia dengan
perilaku kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 135-144.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/4907/pdf
Kio, A. L., Wardana, G. H., & Arimbawa, A. G. R. (2020). Hubungan Dukungan
Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Klien dengan Resiko
Perilaku Kekerasan. Caring: Jurnal Keperawatan, 9(1), 69-72.
http://ejournal.poltekkesjogja.ac.id/index.php/caring/article/view/5
92
Kemenkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta: Kemenkes
RI.https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/08/persebar
an-prevalensi-skizofreniapsikosis-di-indonesia#
Musmini, S. (2019). Karya Ilmiah Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan Terintergrasi Dengan Keluarga Di Wilayah
Kerja Puskesmas Sempaja Samarinda. http://repository.poltekkes-
kaltim.ac.id/419/1/Siti%20Musmini.pdf
Muhith, A. (2015). Pendidikan keperawatan jiwa: Teori dan aplikasi. Penerbit
Andi.
Nurhalimah, Ns. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Jakarta.

Pardede, J. A. (2020, November 12). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan


Masalah Risiko Perilaku. Kekerasan.
https://doi.org/10.31219/osf.io/we7zm
Pardede, J. A., & Laia, B. (2020). Decreasing Symptoms of Risk of Violent
Behavior in Schizophrenia Patients Through Group Activity
Therapy. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(3), 291-300.
http://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/621/338
Pardede, J. A. (2013). Pengaruh Acceptance And Commitment Therapy Dan
Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat Terhadap Gejala,
Kemampuan Berkomitmen Pada Pengobatan Dasar Kepatuhan
Pasien Skizofrenia. https://www.researchgate.net/profile/Jek-
Amidos/347011273.pdf
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Halawa, M. (2020). Beban dengan Koping
Keluarga Saat Merawat Pasien Skizofrenia yang Mengalami
Perilaku Kekerasan. Jurnal Kesehatan, 11(2), 189-196.
http://dx.doi.org/10.26630/jk.v11i2.1980
Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). The Symptoms of Risk of
Violence Behavior Decline after Given Prgressive Muscle
Relaxation Therapy on Schizophrenia Patients. Jurnal Ilmu
Keperawatan Jiwa, 3(2), 91-100.
http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v3i2.534
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Hulu, E. P. (2020). Efektivitas Behaviour
Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien
Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem
Provsu Medan. Jurnal Mutiara Ners, 3(1), 8-14.
http://114.7.97.221/index.php/NERS/article/view/1005
Pardede, J. A., Keliat, B.A., & Yulia, I. (2015). Kebutuhan Dan Komitmen Klien
Skizofrenia Meningkat Setelah Diberkan Acceptance And
Commitment Therapy Dan Pendidikan Kesehatan Kepatuhan
Minum Obat. Jurnal Keperawatan Indonesia, 3(18), 157-166.
http://dx.doi.org/10.7454/jki.v18i3.419
Parwati, I. G., Dewi, P. D., & Saputra, I. M. (2018). Asuhan Keperawatan
PerilakuKesehatan.https://www.academia.edu/37678637/ASUHAN
_KEPERAWATAN_PERILAKU_KEKERASAN
Pitayanti, A., & Hartono, A. (2020). Sosialisasi Penyakit Skizofrenia Dalam
Rangka Mengurangi Stigma Negatif Warga di Desa Tambakmas
Kebonsari-Madiun. Journal of Community Engagement in
Health, 3(2), 300-303.
https://jceh.org/index.php/JCEH/article/view/83/78
Putri, M., Arif, Y., & Renidayati, R. (2020). Pengaruh Metode Student Team
Achivement Division Terhadap Pencegahan Perilaku Kekerasan.
Media Bina Ilmia,14(10), 3317-3326.
http://ejurnal.binawakya.or.id/index.php/MBI/article/view/554/pdf
Suryenti, V. (2017). Dukungan Dan Beban Keluarga Dengan Kemampuan
Keluarga Merawat Pasien Resiko Perilaku Kekerasan Di Klinik
Jiwa Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jambi Tahun 2017. Jurnal
Psikologi Jambi, 2(2), 39-46. https://www.online-
journal.unja.ac.id/jpj/article/view/4795
Suerni, T., & Livana, P. H. (2019). Respons Pasien Perilaku Kekerasan.
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 1(1), 41-46.
https://doi.org/10.37287/jppp.v1i1.16
WHO, (2019). Schizophrenia. Retrieved from. https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/%20detail/schizophrenia
Wulansari, E.M & Sholiha, M. M. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien
Dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Daerah dr Arif
ZaiZa

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN PERILAKU


KEKERASAN DENGAN KEMAMPUAN MENGONTROL PERILAKU KEKERASANNYA
DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT JIWA
PROF. DR. MUHAMMAD ILDREM KOTA MEDAN
TAHUN 2019

SOEP, SKP, M.Kes KRISTIANI


DEVA PURBA
Jurusan Keperawatan Poltekes Kemenkes Medan

Abstrak
Dukungan Keluarga adalah proses yang terjadi sepanjang hidup dimana sumber
dan jenis dukungan sangat berpengaruh terhadap tahap lingkungan kehidupan
keluarga. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan dukungan
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan dengan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasannya di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota
Medan Tahun 2019. Dimana dukungan keluarga mempunyai 4 jenis yaitu dukungan
penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan dukungan emosional.
Desain penelitian yang digunakan adalah pendekatan cross sectional,dan
menggunakan jenis penelitian analitik kuantitatif dengan populasi dalam penelitian ini
adalah anggota keluarga pasien dan jumlah responden sebanyak 34 orang. Dukungan
penilaian diberikan dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 22
orang (64,7%), dukungan instrumental diberikan dan pasien mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 20 orang (58,8%), dukungan informasional diberikan
dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 19 orang (55,9%), dan
dukungan emosional diberikan dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan
sebanyak 13 orang (38,2%). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah semua
memberikan dukungan keluarga (penilaian, instrumental, informasional) kecuali
dukungan keluarga emosional karena keluarga kurang memberikan kenyamanan
untuk pasien dan tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien dan juga masih ada
pasien yang tidak mampu mengontrol perilaku kekerasannya. Untuk itu disarankan
kepada responden agar lebih menambah dan meningkatkan perannya terhadap pasien
perilaku kekerasan dalam memberikan setiap dukungan kepada pasien perilaku
kekerasan seperti dukungan penilaian, instrumental, informasional dan dukungan
emosional.

Kata Kunci : Dukungan Keluarga, Perilaku Kekerasan

Abstract

Family Support is a process that occurs throughout life where the source and type of support greatly
influences the stage of family life. The purpose of this study was to determine the relationship of
family support in treating patients with violent behavior with the ability to control their violent
behavior At Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan Mental Hospital In 2019.Where family support
has 4 types, namely assessment support, instrumental support, informational support, and emotional
support. The research design used was a cross sectional approach, and

1
using a type of quantitative analytical research with the population in this study were
members of the patient's family and the number of respondents was 34 people. Assessment
support was given and patients were able to control violent behavior by 22 people (84.6%),
instrumental support was given and patients were able to control violent behavior by 19
people (86.4%), informational support was given and patients were able to control violent
behavior by 19 people (90.0%), and emotional support was given and patients were able to
control violent behavior by 20 people (90.9%). The conclusion in this study is that all
provide family support but there are still patients who are unable to control their violent
behavior. And it is recommended that respondents increase their role in patients with violent
behavior in giving each patient support for violent behavior such as assessment support,
instrumental, informational and emotional support

Keywords : Family Support, Violent Behavior

PENDAHULUAN kepribadian (Herman, 2015). Menurut data


WHO pada tahun 2012 angka penderita
Latar Belakang
gangguan jiwa mengkhawatirkan secara
Kesehatan Jiwa merupakan kondisi global, sekitar 450 juta orang yang
dimana seorang individu dapat berkembang menderita gangguan mental. Orang yang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial mengalami gangguan jiwa sepertiganya
sehingga individu tersebut menyadari tinggal di negara berkembang, sebanyak 8
kemampuan sendiri, dapat mengatasi dari 10 penderita gangguan mental itu tidak
tekanan, dapat bekerja secara produktif, mendapatkan perawatan (Paritas dkk,
dan mampu memberikan kontribusi untuk 2012).
komunitasnya (Undang-Undang Kesehatan
No 18 Tahun 2014). Kesehatan jiwa
merupakan kondisi dimana seseorang tidak
hanya dalam keadaan sehat jiwa tetapi juga
mencakup berbagai
karakteristik
keseimbangan jiwa dimana terjadi
perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang sesuai dengan keadaan
seseorang. Menurut WHO tahun 2012
Kesehatan jiwa adalah berbagai
karakteristik positif yang menggambarkan
keselarasan dan keseimbangan kejiwaan
yang mencerminkan kedewasaan
Gangguan jiwa adalah sindrom atau
pola perilaku yang secara klinis bermakna
yang berhubungan dengan distres
(penderitaan) dan menimbulkan hendaya
(disabilitas) pada satu atau lebih fungsi
kehidupan manusia. Fungsi jiwa yang
terganggu meliputi fungsi biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual. Secara
umum gangguan fungsi jiwa yang dialami
seorang individu dapat terlihat dari
penampilan, komunikasi, proses berfikir,
interaksi dan aktivitasnya sehari-hari
(Keliat dkk, 2012).
Berdasarkan data yang diperoleh
dari Riset kesehatan dasar (2013)
prevalensi gangguan jiwa berat pada
penduduk Indonesia 1,7 per mil.
Gangguan jiwa berat terbanyak di Aceh,
DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Bali,
dan Jawa Tengah.Prevalensi gangguan
mental emosional pada penduduk
Indonesia 6 persen. Provinsi dengan
prevalensi ganguan mental emosional
tertinggi adalah Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Jawa Barat,
Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa
berat provinsi Jambi adalah 0,9% dan
Jumlah penderita gangguan jiwa di
Sumatera Utara pada tahun 2018 adalah
0,6%.
Skizofrenia adalah suatu gangguan
jiwa yang ditandai dengan penurunan atau
ketidakmampuan berkomunikasi,
gangguan realita (halusinasi dan waham),
afek yang tidak wajar atau tumpul,
gangguan kognitif
(tidak mampu berfikir abstrak) dan Kota Medan Tahun 2019. Desain
mengalami kesukaran aktifitas sehari-hari penelitian menggunakan pendekatan
(Keliat, 2006). Skizofrenia adalah cross sectional, yaitu suatu metode yang
gangguan yang lebih kronis dan lebih merupakan rancangan penelitian yang
melemahkan daripada jenis gangguan melakukan pengukuran dan pengamatan
mental lainnya. Sekitar 50%-80% orang- pada saat bersamaan (sekali waktu).
orang yang masuk rumah sakit atas dasar
satu episode skizofrenia, akan
mendapatkan kembali perawatan di rumah
sakit untuk episode lain kehidupan mereka Populasi dan Sampel
(Wiramihardja, 2005). Yang menjadi populasi dalam
Perilaku kekerasan merupakan penelitian ini adalah keluarga pasien
salah satu perilaku skizoprenia. Perilaku skizofrenia yang ada datang membawa
kekerasan merupakan tindakan menciderai
orang lain, diri sendiri, merusak harta
benda (lingkungan), dan ancaman secara
verbal (Keliat 2013). Daerah Provinsi
Sumatera Utara menunjukkan bahwa
jumlah kasus perilaku kekerasan pada
tahun 2017 sebanyak 408 orang yang
pernah masuk IGD (Profil Kesehatan
Sumatera Utara, 2017). Upaya yang
digunakan untuk mengontrol perilaku
kekerasan yaitu penatalaksanaan medis
seperti:
farmakologi, terapi modalitas, terapi
keluarga, dan terapi kelompok (Afnuhazi
2015).

METODE PENELITIAN

Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini bersifat analitik
kuantitatif sesuai dengan tujuan penelitian
yang bersifat ingin mengetahui hubungan
dukungan keluarga dalam merawat pasien
perilaku kekerasan dengan kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan di Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem
pasien perilaku kekerasan berobat ke
Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Kota Medan. Jumlah Jenis dan Cara Pengumpulan Data
pasien perilaku kekerasan dari data rekam
Jenis data yang digunakan dalam
medic dalam 11 bulan terakhir pada tahun penelitian ini adalah data primer yang
2018 didapat data sebanyak 138 pasien diperoleh dari hasil wawancara dengan
sehingga dapat diperhitungkan pasien
perilaku kekerasan dalam sebulan
sebanyak 12 pasien.
Dalam penelitian ini yang menjadi
sampel adalah sebagian dari populasi yang
terjangkau. Adapun jumlah sampel dalam
penelitian ini sebanyak 34 orang.
Untuk memperoleh 34 orang
sampel dari 138 populasi menggunakan
dengan teknik Accidental Sampling
(Aziz Alimul Hidayat, 2013). Cara
pengambilan secara accidental sampling
ini dilakukan dengan mengambil
responden yang kebetulan ada di
poliklinik dan menjenguk sampai berobat
terpenuhi.
Adapun yang menjadi sampel
dalam penelitian ini adalah keluarga
pasien perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Muhammad Ildrem.
Dengan kriteria inklusi:
a. Keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan diagnosa perilaku kekerasan.
b. Keluarga yang datang membawa anggota
keluarga dengan diagnosa perilaku
kekerasan ke poliklinik Rumah Sakit
Prof. Dr. Muhammad Ildrem.
c. Bersedia menjadi responden

Dan kriteria Ekslusi :

a. Keluarga yang tidak memiliki anggota


keluarga dengan diagnosa perilaku
kekerasan.
b. Keluarga yang tidak datang membawa
anggota keluarga dengan diagnosa
perilaku kekerasan ke poliklinik Rumah
Sakit Prof. Dr. Muhammad Ildrem.
menggunakan kuesioner kepada keluarga umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
yang mengalami gangguan perilaku dan sebagainya. (Notoatmotjo, 2012)
kekerasan pada pasien skizofrenia. Selain
itu, juga menggunakan data sekunder yaitu b. Analisis Bivariat
data yang diperoleh dari Rekam Medik Analisa Bivariat merupakan kelanjutan
Rumah Sakit Jiwa tahun 2018. dari analisa univariat dengan cara
melakukan tabulasi silang dengan
Cara pengumpulan data dilakukan menggunakan uji statistik chi-square pada
dengan wawancara langsung kepada taraf kepercayaan 95% untuk melihat
responden dengan menggunakan kuesioner hubungan antara dukungan keluarga
sebagai alat ukur. Sebelum melakukan dengan kemampuan mengontrol perilaku
wawancara kepada responden, terlebih kekerasan, apabila nilai p value (<0,05)
dahulu peneliti memperkenalkan diri, berarti ada hubungan yang signifikan antara
menjelaskan tujuan penelitian, memberikan kedua variabel yang diteliti, Ha diterima.
surat persetujuan menjadi responden dan Apabila p value (>0,05) berarti tidak ada
memberikan kuesioner, kemudian hubungan yang signifikan antara kedua
menandatangani surat persetujuan variabel yang diteliti, Ha ditolak
responden. (Notoatmojo, 2012).

Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Analisis Univariate
Analisis yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan Analisis Hasil Penelitian
Univariate yang bertujuan untuk Analisa Univariat
menjelaskan atau mendeskripsikan Analisis univariat digunakan untuk
karakteristik setiap variable penelitian. melihat distribusi frekuensi dari masing-
Bentuk analisis univariate tergantung dari masing variabel, yaitu dukungan keluarga
jenis datanya. Pada umumnya dalam (dukungan penilaian, dukungan
analisis ini hanya menghasilkan distribusi instrumental, dukungan informasional,
frekuensi dan persentase dari tiap variabel. dukungan emosional), dan kemampuan
Misalnya distribusi frekuensi responden mengontrol.
berdasarkan:

Dukungan Keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Dukungan Penilaian, Dukungan Instrumental,


Dukungan Informasional, Dukungan Emosional Pada Responden dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan Di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem
N Dukungan Keluarga Frekue Presenta
o nsi se
1 Dukungan Penilaian
Memberi 25 73,5 %
Tidak Memberi 9 26,5 %
Total 34 100%
2 Dukungan Intrumental
Memberi 23 67,6 %
Tidak Memberi 11 32,4 %
Total 34 100 %
3 Dukungan
Informasional
Memberi 21 61,8 %
Tidak Memberi 13 38,2 %
Total 34 100 %
4 Dukungan
Emosional
Memberi 16 47,1 %
Tidak Memberi 18 52,9 %
Total 34 100 %
Berdasarkan tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memberi dukungan
penilaian yaitu sebanyak 25 orang (73,5%), mayoritas memberi dukungan instrumental yaitu
sebanyak 23 orang (67,6%), mayoritas memberi dukungan informasional yaitu sebanyak 21
orang (61,8%), dan mayoritas tidak memberi dukungan emosional yaitu sebanyak 18 orang
(52,9%).

Kemampuan Pasien Mengontrol Perilaku Kekerasannya

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kemampuan Pasien Mengontrol Perilaku


Kekerasannya Di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan Tahun 2019

No Kemampuan Mengontrol Frekuensi Presentase


1 Mampu 25 73,5 %
2 Tidak Mampu 9 26,5 %
Total 34 100%

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien yang mampu mengontrol perilaku
2
kekerasannya adalah sebanyak 25 orang (73,5%), dan 10 orang (26,5%) tidak mampu
mengontrol perilaku kekerasannya.

Analisa Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen yaitu
dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional,
dengan variabel dependen yaitu kemampuan mengontrol. Pengujian analisis bivariat dilakukan
dengan menggunakan uji Chi Square. Analisis ini dikatakan bermakna (signifikan) bila hasil
analisis menunjukkan adanya hubungan bermakna secara statistik antara variabel, yaitu
dengan nilai p < 0,05.
Hubungan Dukungan Penilaian dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya

Tabel 3 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Penilaian Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019

Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan

Mampu Tidak Mampu


Dukungan
No Penilaian
P
n % n % Tot %
al
value
Memberi 22 6 3 8, 25 73,5
Total 25 73,5 9 26,5 34 100

Berdasarkan tabel 3 di atas, ada 25 responden (73,5%) yang memberi dukungan


penilaian dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 22 orang
(64,7%) dan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 3 orang (8,8%). Hasil
analisis chi-square (person chi-square) dukungan penilaian keluarga dengan kemampuan
pasien mengontrol perilaku kekerasannya diperoleh nilai p value = 0,001 (p<0,05) dengan
tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara dukungan penilaian keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya.

Hubungan Dukungan Instrumental dengan


Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya

Tabel 4 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Instrumental Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019

Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan

Mampu Tidak Mampu


Dukungan
No Instrumental
P
n % N % Tot % val
al
ue
Memberi 20 58 3 8, 23 67 0.01
0
,8 8 ,6
Tidak 5 14 6 17 11 32

Berdasarkan table 4 di atas, ada 23 responden (67,6%) yang memberi dukungan


instrumental dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 20 orang
(58,8%) dan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 3 orang (8,8%). Hasil
analisis chi-square (person chi-square) dukungan instrumental keluarga dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya diperoleh nilai p value = 0,010
(p<0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan instrumental keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya.

Hubungan Dukungan Informasional dengan


Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya

Tabel 5 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Informasional Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan
Dukungan
No
Informasional Mampu Tidak Mampu
P
n % n % To %
tal
value
1 Memberi 1 55 2 5, 21 61,8
9 ,9 9
0.004
2 Tidak Memberi 6 17 7 20 13 38,2
,6 ,6
Total 2 73 9 2 34 100
5 ,5 6,
5

Berdasarkan tabel 5 di atas, ada 21 responden (61,8%) yang memberi dukungan


informasional dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 19 orang
(55,9%) dan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 2 orang (5,9%). Hasil
analisis chi-square (person chi-square) dukungan informasional keluarga dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya diperoleh nilai p value = 0,004
(p<0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan informasional keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya.

Hubungan Dukungan Emosional dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku


Kekerasannya

Tabel 6 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Emosional Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019

Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan

Dukungan Mampu Tidak Mampu


No Emosional
P
n % n % Tot % val
al
ue
Memberi 13 38 3 8, 16 47 0.33

,2 8 ,1 6
Tidak Memberi 12 35 6 17 18 52
,3 ,6 ,9

Berdasarkan tabel 6 di atas, ada 16 responden (47,1%) yang memberi dukungan


emosional dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 13 orang
(38,2%) dan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 3 orang (8,8%). Hasil
analisis chi-square (person chi-square) dukungan emosional keluarga dengan kemampuan
pasien mengontrol perilaku kekerasannya diperoleh nilai p value = 0,336 (p>0,05) dengan
tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara dukungan emosional keluarga dalam merawat pasien perilaku
kekerasan dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya.

Pembahasan 1. Hubungan Dukungan Penilaian


Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan dengan
Kemampuan Mengontrol Perilaku Seperti yang dikatakan dalam Friedman
Kekerasannya (2013) menyatakan bahwa dimana
Berdasarkan hasil penelitian pada dukungan penilaian ini merupakan
tabel 3 dapat diketahui bahwa ada 25 dukungan yang bertidak membimbing dan
responden (73,5%) yang memberi menengahi pemecahan masalah, sebagai
dukungan penilaian dengan kemampuan sumber dan validator identitas anggota
pasien mengontrol perilaku kekerasan keluarga di antaranya memberikan support,
sebanyak 22 orang (64,7%) dan tidak penghargaan, dan perhatian. Dukungan
mampu mengontrol perilaku kekerasan keluarga dapat membantu meningkatkan
sebanyak 3 orang (8,8%) dikarenakan strategi-strategi
masih ada pasien yang belum mengerti
bagaimana cara mengontrol perilaku
kekerasan dengan benar dan jika tidak
diberikan dukungan penilaian pada pasien
tetapi mampu mengontrol perilaku
kekerasannya itu disebabkan karena pasien
tetap mendapatkan dukungan penilaian
yaitu membina hubungan saling percaya
saat ingin diperiksa oleh perawat di
poliklinik rumah sakit.
Hasil analisis chi-square (person
chi- square) dukungan penilaian
keluarga dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasannya
diperoleh nilai p value = 0,001 (p<0,05)
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini
menunjukkan secara statistik bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
dukungan penilaian keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku
kekerasannya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Nuraenah,dkk (2012) tentang hubungan
dukungan keluarga dan beban keluarga
dalam merawat anggota dengan riwayat
perilaku kekerasan di RS. Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara dukungan penilaian
dengan beban keluarga.
alternatif berdasarkan pengalaman merawat pasien perilaku kekerasan dengan
yang berfokus pada aspek- kemampuan pasien mengontrol perilaku
aspek yang positif. kekerasannya.
Menurut asumsi peneliti dukungan Hasil penelitian ini sejalan dengan
penilaian sangat dibutuhkan oleh pasien hasil penelitian yang dilakukan oleh Devi
Perilaku Kekerasan dalam mengontrol Permata Sari (2018) tentang hubungan
perilaku kekerasan karena dalam hal ini dukungan keluarga dengan keinginan
keluarga selalu memberikan ide-ide pengguna NAPZA untuk berhenti
positif pada pasien contohnya melakukan
hal baik terhadap orang lain, memberikan
pujian ketika pasien dapat menyelesaikan
tugas yang diberikan dan membina
hubungan saling percaya terhadap pasien.

2. Hubungan Dukungan Instrumental


Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan dengan
Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya
Berdasarkan hasil penelitian dari
tabel 4 di atas, ada 23 responden (67,6%)
yang memberi dukungan instrumental
dengan kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 20 orang
(58,8%) dan tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 3 orang
(8,8%) dikarenakan masih ada pasien
belum mengerti cara mengontrol
perilaku kekerasan dan jika tidak
diberikan dukungan instrumental tetapi
mampu mengontrol perilaku
kekerasannya itu karena pasien
mendapatkan dukungan instrumental
tentang perawatan kesehatan setiap
bulannya ke poliklinik rumah sakit.
Hasil analisis chi-square (person
chi- square) dukungan instrumental
keluarga dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasannya
diperoleh nilai p value = 0,010 (p<0,05)
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini
menunjukkan secara statistik bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
dukungan instrumental keluarga dalam
menggunakan di Panti Sosial Pamardi (5,9%) dikarenakan ada pasien yang belum
Putra (PSPP) Insyaf Sumatera Utara. mengerti cara mengontrol perilaku
kekerasan dan jika sudah diberikan
Seperti yang dikatakan dalam
dukungan informasional tetapi mampu
Friedman (2013) menyatakan bahwa
mengontrol perilaku kekerasannya itu
dimana dukungan instrumental ini karena pasien tetap mendapatkan
merupakan sumber pertolongan praktis dukungan informasional tentang bagaimana
dan konkrit, diantaranya adalah dalam hal cara dan aturan minum obat yang benar
kebutuhan keuangan, makan, minum, dan yang disampaikan oleh perawat saat
istirahat, seperti saat seorang memberi berobat di poliklinik rumah sakit.
atau meminjamkan uang, membantu
pekerjaan sehari-hari, menyampaikan
pesan, menyediakan transportasi, menjaga
dan merawat saat sakit ataupun
mengalami depresi yang dapat membantu
memecahkan masalah.
Menurut asumsi peneliti semakin
tingginya dukungan instrumental yang
diberikan keluarga kepada pasien Perilaku
Kekerasan maka semakin tinggi juga
kemampuan pasien mengontrol perilaku
kekeraannya. Hal ini didasari dengan
adanya faktor pendukung seperti keluarga
yang selalu memberi dukungan yaitu
bertanggung jawab membawa pasien
berobat 1 bulan sekali, selalu
memperhatikan pasien dalam hal minum
obat, dan mempersiapkan dana kesehatan
dan perawatan bagi pasien.

3. Hubungan Dukungan Informasional


Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan dengan
Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya
Berdasarkan hasil penelitian dari
tabel 5 di atas, ada 21 responden (61,8%)
yang memberi dukungan informasional
dengan kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 19 orang
(55,9%) dan tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 2 orang
Hasil analisis chi-square (person Keluarga dalam Merawat Pasien
chi- square) dukungan informasional Perilaku Kekerasan dengan
keluarga dengan kemampuan pasien Kemampuan Mengontrol Perilaku
mengontrol perilaku kekerasannya Kekerasannya
diperoleh nilai p value = 0,004 (p<0,05) .
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini
menunjukkan secara statistik bahwa Berdasarkan hasil penelitian tabel 6
terdapat hubungan yang bermakna antara di atas, ada 16 responden (47,1%) yang
dukungan informasional keluarga dalam memberi dukungan emosional dengan
merawat pasien perilaku kekerasan kemampuan pasien mengontrol
dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku
perilaku kekerasannya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Nuraenah,dkk (2012) tentang hubungan
dukungan keluarga dan beban keluarga
dalam merawat anggota dengan riwayat
perilaku kekerasan di RS. Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara dukungan informasional
dengan beban keluarga.
Seperti yang dikatakan dalam
Friedman (2013) menyatakan bahwa
dimana dukungan informasional ini
merupakan pemberi informasi, dimana
keluarga menjelaskan tentang pemberian
saran, sugesti, informasi yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan suatu
masalah.
Menurut asumsi peneliti semakin
banyak dukungan berupa informasi
kepada pasien Perilaku Kekerasan akan
membuat pasien mampu mengontrol
perilaku kekerasannya. Dukungan yang
diberikan yaitu mengingatkan pasien
untuk minum obat secara teratur,
menyarankan pasien untuk selalu berdoa
demi kesembuhannya, dan memberikan
informasi kepada pasien apa yang
dibutuhkan selama pengobatan.

4. Hubungan Dukungan Emosional


kekerasan sebanyak 13 orang (38,2%) dan diwujudkan dalam bentuk adanya
tidak mampu mengontrol perilaku kepercayaan dan perhatian.
kekerasan sebanyak 3 orang (8,8%) Menurut asumsi peneliti semakin
dikarenakan masih ada pasien yang belum tingginya dukungan emosional yang
mengerti cara mengontrol perilaku diberikan keluarga maka akan semakin
kekerasan tetapi mampu mengontrol tinggi juga kemampuan pasien dalam
perilaku kekerasan itu karena pasien mengontrol perilaku kekerasannya.
mendapatkan perawatan yaitu dengan cara Dukungan yang diberikan contohnya seperti
menyarankan tarik nafas dalam jika dalam keluarga datang membesuk anggota
keadaan marah yang diajarkan oleh keluarga yang sakit secara rutin, berusaha
perawat saat berobat rutin setiap bulan di memberikan perasaan nyaman kepada
poliklinik rumah sakit.
Hasil analisis chi-square (person
chi- square) dukungan emosional
keluarga dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasannya
diperoleh nilai p value = 0,336 (p>0,05)
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini
menunjukkan secara statistik bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara
dukungan emosional keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku
kekerasannya.
Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rully Andika (2018) tentang hubungan
dukungan keluarga dengan kemampuan
pasien mengontrol halusinasi pada
penderita skizofrenia. Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan antara
dukungan emosional dengan kemampuan
pasien mengontrol halusinasi di Instalasi
Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu RSUD
Banyumas.
Seperti yang dikatakan dalam
Friedman (2013) menyatakan bahwa
dimana dukungan emosional ini merupakan
tempat yang nyaman dan damai untuk
istirahat serta pemulihan dan membantu
penguasaan terhadap emosi.Dukungan
emosional meliputi dukungan yang
pasien, dan memperhatikan kebutuhan dengan kemampuan pasien mengontrol
sehari-hari pasien. Tetapi dirumah perilaku kekerasan sebanyak 20 orang
maupun dirumah sakit jiwa Prof. Dr. (58,8%) dan tidak mampu mengontrol
Muhammad Ildrem Kota Medan keluarga perilaku kekerasan sebanyak 3 orang
tidak memberikan perasaan nyaman (8,8%). Dukungan instrumental keluarga
kepada pasien, dan keluarga jarang mempunyai hubungan yang signifikan
membesuk pasien di rumah sakit dengan kemampuan mengontrol perilaku
dikarenakan keluarga sudah merasa kekerasannya di RSJ Prof. Dr.
bertanggung jawab setelah memasukkan Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun
pasien ke rumah sakit jiwa dan merasa 2019.
upaya itu sudah cukup
.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang


dilakukan peneliti pada responden di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad
Ildrem Kota Medan Tahun 2019 mengenai
Hubungan Dukungan Keluarga dalam
Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, Ada 25 responden (73,5%)
yang memberi dukungan penilaian
dengan kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 22 orang
(64,7%) dan tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 3 orang
(8,8%). Dukungan penilaian keluarga
mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasannya di RSJ Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun
2019.
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, ada 23 responden (67,6%)
yang memberi dukungan instrumental
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, ada 21 responden (61,8%)
yang memberi dukungan informasional 1. Dukungan Penilaian Keluarga
dengan kemampuan pasien mengontrol Dalam memberikan dukungan
perilaku kekerasan sebanyak 19 orang penilaian keluarga diharapkan selalu
(55,9%) dan tidak mampu mengontrol memberikan ide-ide positif pada pasien
perilaku kekerasan sebanyak 2 orang seperti berbuat baik terhadap orang lain,
(5,9%). Dukungan informasional membina hubungan saling percaya
keluarga mempunyai hubungan yang terhadap pasien, dan memberikan pujian
signifikan dengan kemampuan ketika pasien dapat menyelesaikan tugas
mengontrol perilaku kekerasannya di yang diberikan.
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota 2. Dukungan Instrumental Keluarga
Medan Tahun 2019.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan,
ada 16 responden (47,1%) yang memberi
dukungan emosional dengan kemampuan
pasien mengontrol perilaku kekerasan
sebanyak 13 orang (38,2%) dan tidak
mampu mengontrol perilaku kekerasan
sebanyak 3 orang (8,8%). Dukungan
emosional keluarga mempunyai hubungan
yang tidak signifikan dengan kemampuan
mengontrol perilaku kekerasannya di RSJ
Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan
Tahun 2019.

Saran

Setelah melakukan penelitian


mengenai Hubungan Dukungan Keluarga
dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya di Rumah Sakit Jiwa Prof.
Dr. Muhammad Ildrem Medan Tahun 2019
maka penulis dapat memberikan saran
terkait dengan hasil dan pembahasan,
penelitian ini penulis tunjukan bagi:
Dalam memberikan dukungan Daftar Pustaka
instrumental keluarga disarankan tetap
bertanggung jawab membawa pasien
berobat 1 bulan sekali, selalu Afnuhazi. 2015. “Komunikasi Terapeutik
memperhatikan pasien dalam hal minum Dalam Keperawatan Jiwa.
obat, dan mempersiapkan dana kesehatan Gosyen Pubshing. Yogyakarta.
dan perawatan bagi pasien.
3. Dukungan Informasional Keluarga Davies Teifion dan TKJ Craig.
Dalam memberikan dukungan
informasional keluarga disarankan selalu 2017.
mengingatkan pasien untuk minum obat “ABC Kesehatan Mental”.
secara teratur, menyarankan pasien untuk
selalu berdoa demi kesembuhannya, dan
memberikan informasi kepada pasien apa
yang dibutuhkan selama pengobatan.
4. Dukungan Emosional Keluarga
Dalam memberikan dukungan
emosional keluarga disarankan keluarga
harus rajin datang membesuk anggota
keluarga yang sakit secara rutin, tetap
memberikan perasaan nyaman kepada
pasien, dan memperhatikan kebutuhan
sehar-hari pasien.
5. Keluarga Pasien
Keluarga diharapkan dapat lebih
menambah dan meningkatkan perannya
terhadap pasien perilaku kekerasan dalam
memberikan setiap dukungan kepada
pasien halusinasi seperti dukungan
penilaian, dukungan instrumental,
dukungan informasional, dan dukungan
emosional.
6. Pelayanan Kesehatan
Kepada Tenaga Kesehatan agar tetap
mengarahkan keluarga untuk
memberikan dukungan-dukungan positif
seperti memberikan dukungan penilaian,
instrumental,
informasional, dan dukungan emosional
kepada pasien juga supaya pasien
mampu mengontrol perilaku
kekerasannya.
Buku Kedokteran EGC. Jakarta”. Jurnal Keperawatan
Jakarta. Indonesia, Vol. 7 Nomor 2.
Notoatmodjo
Soekidjo. 2012.
Diana, A. 2016. “Gambaran Pengalaman “Metodologi Penelitian
Perawat dalam Melakukan Kesehatan”. Rineka Cipta. Jakarta.
Tindakan Restrain pada Pasien
Perilaku Kekerasan di RSJ.
Prof. HB Saanin Padang
Tahun 2016”.
http://scholar.unand.ac.id/1867
0/2/BAB%201%20HASIL.pdf.

Friedman. 2013. “Keperawatan Keluarga.


Gosyen Pubshing. Yogyakarta.

Herman Ade. 2015. “Buku Ajar Asuhan


Keperawatan Jiwa. EGC. Jakarta

Hidayat Ali Aziz Alimul. 2013. “Metode


Penelitian Keperawatan dan
Teknik Analisis Data”. Salemba
Medika. Jakarta.

Jaya Kusnadi. 2018. “Keperawatan jiwa”.


Bina Rupa Aksara. Tangerang
Selatan.

Kaplan, H.L, Sadock,BJ. 2006.


“Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis”. Bina Putra Aksara.
Jakarta.

Keliat Budi Anna, dkk. 2003. “Gambaran


Klien Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor
dan Rumah Sakit Jiwa Pusat
Nuraenah, dkk. 2014. “Hubungan
Dukungan Keluarga dan
Beban Keluarga dalam Seryowati Sri. 2008. “Asuhan
Merawat Anggota dengan Keperawatan Keluarga Konsep
Riwayat Perilaku Kekerasan dan Aplikasi Kasus”. Mitra
di RS. Jiwa Islam Klender Cendekia. Jogyakarta.
Jakarta Timur Tahun 2014”.
Jurnal Keperawatan Jiwa Vol. 2
Nomor 1, Mei 2014. Suryenti Vevi. 2017. “Dukungan dan
Beban Keluarga dengan
Kemampuan
Purba Dhita Carolin. 2017. “Dukungan
Keluarga Keluarga

Terhadap Kekambuhan
Halusinasi Pada Pasien
Skizofrenia Di Poliklik Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2017”. KTI.
Poltekkes Kemenkes Medan.

Riskesdes 2013. Prevalensi Gangguan Jiwa


Berat menurut Provinsi,
Indonesia 2013. Dari
http://www.depkes.go.id

Rumus

Slovin,
http://www.statistiakian.com

Saragih Sasmaida, dkk.


2016. “Gambaran
Tingkat
Pengetahuan dan
Sikap Keluarga tentang
Perawatan Pasien Resiko
Perilaku
Kekerasan di
Rumah”.
http://media.neliti.com/media/p
ublications/186609-ID-
gambaran-tingkat- pengetahuan-
dan-sikap-k.pdf.
Merawat Pasien Resiko Wiharjo.G. Fendy. 2014.
Perilaku Kekerasan Di Klinik “Hubungan Antara
Jiwa Rumah Sakit Jiwa Persepsi dengan Sikap
Provinsi Jambi Tahun 2017”. Masyarakat
Jurnal Psikologi Jambi Vol. 2 terhadap Penderita
Nomor 2. p-ISSN: 2528-2735, Skizofrenia di
e-ISSN: 2580-7021. Surakarta”.
http://eprints.ums.ac.id/31866/
2/04%20BAB%201.pdf.
Undang-undang N0 18 Tahun 2014.
“Kesehatan jiwa”. Dari
http://yankes.kemenkes.go.id Wiramihahardja Sutarjo. 2008.
“Pengantar Psikologi Abnormal.
Gosyen Pubshing. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai