Anda di halaman 1dari 384

 JURNAL KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :

Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes


Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

Disusun Oleh : kelompok 2


Tingkat 2A

Fanisa Amalia Safitri (PO7120119032)


Febriani Suci Priadi (PO7120119034)
Fholsen Frohansen (PO7120119036)
Fitria Oktaviani (PO7120119037)
Indah Wahyuni (PO7120119043)

POLTEKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

JURNAL KEPERAWATAN JIWA


PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN
Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH

Fanisa Amalia Safitri (PO7120119032)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH
Febriani Suci Priadi (PO7120119034)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 1, Hal 27 - 32, Februari 2020 p-ISSN2338-2090
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah e-ISSN
2655-8106

UPAYA MENGONTROL PERILAKU AGRESIF PADA PERILAKU KEKERASAN DENGAN


PEMBERIAN RATIONAL EMOTIVE
BEHAVIOR THERAPY
Moomina Siauta1* Hani Tuasikal2, Selpina Embuai1
1Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Kristen Indonesia Maluku, Jln Ot Pattimaipauw, Talake
Kecamatan, Nusaniwe, Kel Wainitu, Nusaniwe, Kota Ambon, Maluku, Indonesia 97115.
2Akper Rumkit TK III Dr. J. A. Latumeten Ambon, Jalan Dr. Tamaela No.2, Kel Silale, Nusaniwe,
Kota Ambon, Maluku, Indonesia 97111
*moominasiauta@gmail.com

ABSTRAK
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO (2015) menyatakan, paling tidak
ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.Perilaku kekerasan merupakan salah
satu penyakit jiwa yang ada di Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya
mencapai 2 juta orang, terutama dengan gejala perilaku agresif dan bila tidak tertangani dengan baik
maka akan menimbulkan dampak yang buruk kepada klien serta lingkungannya, sehingga perlunya
suatu tindakan keperawatan yang secara mandiri diberikan untuk menangani perilaku agresif itu
sendiri yaitu dengan Terapi Ration Emotive Behavior. Jenis penelitian adalah dengan pendekatan
studi kasu (Studi kasus).Pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dokumentasi,
dan bahan audio visual.Pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling, dengan 6
klien perilaku kekerasan di RSKD Maluku.Penelitian dilakukan bulan Maret sampai dengan Oktober
2019.Jenis pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara dan lembar observasi klien.Lokasi
penelitian RSKD Maluku.Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk mengontrol
perilaku agresif dengan penerapan rational emotive behavior therapy dan SP yang telah diterapka,
peneliti hanya menyusun intervensi terfokus pada masalah halusinasi pendengaran karena semua
tindakan untuk mengontrol perilaku kekerasan juga dapat meminimalkan semua masalah keperawatan
yang ada pada klien perilaku kekerasan.

Kata kunci: perilaku agresif, rational emotive behavior therapy

EFFORTS TO CONTROL AGGRESSIVE BEHAVIOR IN VIOLENCE BEHAVIOR WITH


RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY

ABSTRACT
One type of mental disorder WHO states, at least one in four people in the world who fix mental
problems. In Indonesia, and to date it is estimated that the number of sufferers reaches 2 million, most
of the above mentioned are complex challenges and if not handled properly will cause problems for
the client and his environment, so action is needed. Independent care is provided for Rational Therapy
itself, namely Ration Emotive Behavior Therapy. This type of research is a case study study (case
study). Data collection through collection, interview, collection, and audio-visual material.Sampling
using purposive sampling, with 6 clients practicing violence in Maluku Regional General Hospital.
This research was conducted from March to October 2019. Types of data collection were done by
interview and client observation sheets. Research location of Maluku Regional Public Hospital. In
accordance with the issues raised by researchers, namely for those who are related to therapy using
emotive rational behavior therapy and SP that has been applied, researchers can only focus on
interventions on the issue of delegation hallucinations to help change existing clients to overcome
these problems.

Keywords: aggressive behavior, rational emotional behavior therap

PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa.WHO (2015) menyatakan, paling tidak
ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.WHO memperkirakan ada
sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat
0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira- kira
2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2014 dalam Carolina, 2015). Data
WHO tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen
mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa
di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2016).

Menurut hasil survey Kesehatan Mental 2016 ditemukan 185 per 1000 penduduk di Indonesia
menunjukan adanya gejala gangguan jiwa. Hal ini didukung data dari Depkes RI yang melaporkan
bahwa di Indonesia jumlah penderita penyakit jiwa berat sekitar 6 juta orang atau sekitar 2,5% dari
total penduduk Indonesia. Perilaku kekerasan merupakan salah satu penyakit jiwa yang ada di
Indonesia, dan hingga saat ini diperkirakan jumlah penderitanya mencapai 2 juta orang.Prevalensi
pada pasien Perilaku Kekerasan di RSKD Maluku, selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2015
(43,75%),
2016 (43,75%), 2017 (12,5%). Hal ini
menunjukkan adanya penurunan angka kejadin perilaku kekerasan. Secara umum seseorang akan
marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman. Beberapa
faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut, rasa frustasi, kekerasan dalam rumah
tangga, masa lalu yang tidak menyenangkan, kehilangan orang yang berarti, kehidupan yang penuh
dengan agresif (Kusumawati et al, 2013).Berikut ini yang merupakan tanda dan gejala perilaku
kekerasan diantarnya mata melotot, pandangan tajam, berbicara dengan nada keras, menyerang orang
lain, wajah memerah dan tegang (Fitria, 2012).

Istilah marah (anger), agresif (aggression), dan perilaku kekerasan (violence) sering digunakan
bergantian dalam menguraikan perilaku yang terkait dengan kekerasan (Rawlins, et, al 1993).Perilaku
kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk

melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia,
2015). Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu dari memperlihatkan
permusuhan pada tingkat rendah sampai pada melukai dalam tingkat serius dan membahayakan
(Stuart & Laraia, 2001;2005; 2009). Proses perkembangan perilaku kekerasan, masih menjadi
perdebatan antara nature vs nurture , dibawa sejak lahir atau diperoleh selama perkembangan.
Menurut teori biopsikososial disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor biologik,
psikologik dan sosiokultural (Kneisl; Wilson & Trigoboff, 2014). Dari uraian diatas dapat dikatakan
bahwa perilaku kekerasan adalah respon kemarahan yang maladaptif dalam bentuk perilaku
menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya secara verbal maupun nonverbal mulai
dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.

Klien dengan perilaku kekerasan, individu merupakan orang yang ambigue, selalu dalam kecemasan,
mempunyai penilaian yang negatif terhadap diri dan orang lain, ketidakmampuan untuk
menyelesaikan masalah dengan baik sehingga perilaku kekerasan merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah. Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang
menjadi alasan bagi keluarga untuk merawat klien di rumah sakit jiwa karena berisiko membahayakan
dirinya dan orang lain (Keliat, 2013). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan adalah perilaku yang menakutkan dan membahayakan bagi dirinya, keluarga dan
masyarakat sehingga mereka berusaha mencari pertolongan dengan membawa klien ke rumah sakit
dan berharap selama mendapat pengobatan dan perawatan di rumah sakit perilaku klien berkurang
atau berubah.

Intervensi secara umum yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif / perilaku kekerasan
bervariasi yang berada dalam rentang preventive strategies, Anticipatory Strategies, dan Containment
Strategies (Stuart & Laraia, 2015). Strategi pencegahan (preventive strategies), meliputi kesadaran
diri, psikoedukasi pada klien, dan latihan asertif. Strategi antisipasi (Anticipatory Strategies) meliputi
komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan psikofarmaka. Kemarahan yang dapat mengancam

keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (kegawat daruratan psikiatri) yang tidak dapat
dikontrol dengan terapi psikofarmaka maka perlu dilakukan strategi penahanan (containment
Strategies) yang meliputi manajemen krisis, pembatasan gerak, dan pengikatan.

Klien dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan respon kognitif berupa gangguan proses pikir
yaitu gangguan dalam mempersepsikan sesuatu serta tidak mampu membuat alasan (Boyd & Nihart,
1996). Respon kognitif merupakan hasil penilaian terhadap kejadian yang menekan, pilihan koping
yang digunakan, reaksi emosional, fisiologis, perilaku dan sosial individu (Stuart & Laraia, 2005).
Setelah terjadi penilaian kognitif terhadap situasi , individu akan menampilkan respon afektif yang
dimunculkan dengan emosi berupa marah, gembira, sedih, menerima, antisipasi atau respon emosi
lainnya (Stuart & Laraia, 2005). Pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pada klien
dengan perilaku kekerasan mengalami perubahan pada respon kognitif yang nantinya akan
berpengaruh terhadap respon afektif yang dimunculkan dalam bentuk emosi seperti kemarahan. Hal
ini menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan juga perlu
mengacu kepada emosi selain kognitif dan perilaku.
Berdasarkan teori tersebut maka perlu adanya intervensi pada klien dengan perilaku kekerasan yang
mengarah kepada fisik, afektif (emosi), kognitif,fisiologis, perilaku, dan sosial. Terapi Asssertiveness
Trainning, terapi Musik dan terapi Perilaku Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara
langsung kepada emosi klien dengan perilaku kekerasan. Untuk itu agar intervensi untuk klien dengan
perilaku kekerasan lebih optimal maka perlu adanya suatu terapi yang juga mengarah pada emosi.
Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah Rational Emotive Behaviour Therapy( REBT).

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, merupakan suatu
pendekatan pemecahan masalah yang rasional, yang diarahkan untuk masalah perilaku individu. Elis
berkeyakinan bahwa mempelajari kecemasan yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam
memori manusia dari pada dihilangkan. Oleh karena itu beliau

memutuskan untuk mengajarkan kliennya merubah pikiran yang tidak rasional (irrasional) dan
memberikan penjelasan rasional untuk masalah perilakunya (Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006).
Berdasarkan teori REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara spesifik dapat menurunkan
perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi keyakinan irrasional dan
menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan dewasa yang marah dan agresif.

Hasil wawancara yang didapatkan di RSKD bahwa intervensi yang diberikan kepada pasien dengan
perilaku kekerasannya hanya sebatas mengontrol amarah dengan melakukan kegiatan sehari-hari,
untuk Rational Emotive Behavior Therapy tidak perna dilakukan oleh perawat. Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) ditemukan oleh Albert Ellis, merupakan suatu pendekatan pemecahan
masalah yang rasional, yang diarahkan untuk masalah perilaku individu. Elis berkeyakinan bahwa
mempelajari kecemasan yang irrasional lebih awal akan bertahan di dalam memori manusia dari pada
dihilangkan. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk mengajarkan kliennya merubah pikiran yang
tidak rasional (irrasional) dan memberikan penjelasan rasional untuk masalah perilakunya (Ellis, 1962
dalam Adomeh, 2006). Berdasarkan teori REBT memodifikasi keyakinan yang irrasional secara
spesifik dapat menurunkan perilaku agresif. REBT dan treatmen lain bertujuan untuk mengurangi
keyakinan irrasional dan menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk anak dan dewasa
yang marah dan agresif.

METODE
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini hanya menggunakan pendekatan studi kasus.Metode
pengumpulan datanya memakai observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan bahan
dokumentasi perilaku (lembar obesrvasi) yang dilakukan pada bulan maret sampai dengan oktober
2019. Teknik samplingnya menggunakan purposive sampling, dengan subyek pnelitiannya 6 pasien
dengan perilaku kekerasanyang dirawat di RSKD Maluku.

HASIL
Hasil asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan perilaku
kekerasan dengan resiko perilaku kekerasan pendengaran dalam upaya mengontrol perilaku agresif
dengan pemberian terapi rational emotive behavior therapy berfokus pada masalah perilaku kekerasan
yang diderita klien, semua tindakan dalam penatalaksanaan yang sudah dibahas pada konsep teori
dasar keperawatan jiwa Keliat, 2013 mengarah pada masalah halusinasi. Maka bagian ini peneliti akan
membahas tentang kesenjangan antara teori yang ada dan kenyataan yang diperoleh sebagai hasil
pelaksanaan studi kasus yang mengacuh pada tahap-tahap prosese keperawatan. Beberapa
kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut :

Sumber data yang diperoleh pada pengkajian yaitu didapat dari klien dan juga tambahan dari tim
medis yaitu perawat. Peneliti tidak mendapatkan masalah yang berarti dalam hal pengkajian dalam
mendapatkan data tentang masalah perilaku kekerasan. Pada pengkajian, data-data yang diperoleh
khusus menyangkut masalah perilaku kekerasan adalah data hasil wawancar dan informasi dari status
klien, informasi dari tim medis yang mendukung peneliti dalam pelaksanaan penelitian. Dilihat dari
teori dan hasil pengkajian, semua tanda dan gejala dari masalah perilaku kekerasan yang ada pada
teori ditemukan pada Klien perilaku kekerasan.Jadi temukan adannya kesenjangan antara teori dan
kondisi klien pada saat pengkajian.

Diagnosa keperawatan yang muncul yaitu : Resiko perilaku kekerasan, Gangguan konsep diri : Harga
Diri Rendah, Mekanisme koping individu dan keluarga inefektif. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, peneliti hanya memfokuskan pada satu masalah yaitu perilaku kekerasan. Karena sesuai
dengan masalah yang peneliti angkat yaitu mengenai bagaimana terapi okupaasi pemberian rational
emotive behavior therapy untuk mengontrol perilaku agresif dan juga tidak mengabaikan diagnose
yang lain terkait dengan kondisi klien saat pengkajian, semua tindakan dalam upaya mengatasi
perilaku kekerasan klien ada pada tindakan keperawatan (SP klien dan SP Terapi) dalam diagnose
halusinasi, sehingga peneliti hanya memfokuskan pada masalah (diagnose keperawatan) halusinasi
pendengaran.

PEMBAHASAN
Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk bagaimana klien dapat mengontrol halusinasi
yang dirasakan dengan penerapan terapi rational emotive behavior therapy, maka sesuai dengan hasil
penelitian, peneliti hanya menysusun intervensi terfokuskan pada masalah perilaku kekerasan karena
semua tindakan untuk meningkatkan akitivitas klien agar perilaku kekerasan yang dirasakan dapat
diminimalkan, bahkan perilaku agresifnya menghilang ada pada teori dan tindakan keperawatan
dalam diagnose perilaku kekerasan namun peneliti juga tidak mengabaikan perencanaan tindakan
keperawatan untuk masalah (diagnose keperawatan) lain yang ada pada klien.

Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan, peneliti menggunkan strategi pelaksanaan (SP/Terapi)


yang berfokus penerapan terapi rational emotive behavior therapy untuk mengontrol perilaku
agresifnya yang dirasakan oleh klien, serta mengevaluasi jadwal kegiatan klien selama 3 hari dalam
mengisi aktifitas luang dengan terapi rational emotive behavior therapy. Serta tidak mengabaikan SP
yang lain, yaitu mengajarkan klien tentang cara berkenalan dengan orang lain, serta memasukkannya
ke dalam jadwal kegiatan harian klien. Secara teoritis, tindakan yang dilakukan dalam upaya
mengontrol perilaku agresif dengan penerapan terapi rational emotive behavior therapy, serta tindakan
strategi lainnya yaitu penerapan strategi pelaksanaan (SP 1) bina hubungan saling percaya dengan
klien, berjabat tangan dan duduk bersama, mengajarkan klien tentang cara berkenalan dengan orang
lain, menjelaskan tentang kerugian dan keuntungan berinteraksi dengan orang lain, dan mengajurkan
klien untuk memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya sehingga tercapainya SP I . Dilanjutkan
pada SP II klien dapat berkenalan dengan orang lain dan menunjukan tercapainya SP II tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, upaya mengontrol perilaku kekerasan yaitu perilaku agresif dengan
terapi rational emotive behavior therapy, semuanya dilakukan berdasarkan teori yang ada, jadi
terdapat kesenjangan antara teori dan hasil pelaksanaan pada penelitian.
Sesuai dengan hasil evaluasi yang didapatkan upaya untuk mengontrol perilaku agresifnya dengan
terapi rational emotive behavior
therapy pada klien perilaku kekerasan menunjukan adanya kemajuan dalam hal ini adalah semua
jadwal telah di diisi dengan rational emotive behavior therapy sesuai dengan kesepakatan antara klien
dengan peneliti, serta juga sudah tidak lagi terlihat berbicara sendiri, dank lien juga dapat berinteraksi
serta meningkatan ketrampilan pada klien dengan peneran SP tersebut. Ini adalah hasil yang
didapatkan peneliti saat melakukan penelitian pada klien perilaku kekerasan. Dengan demikian, antara
teori dan hasil penelitian ditemukan adanya kesenjangan.

Penelitian lain terkait efektifitas rational emotive behavior therapy yaitu penelitian yang pernah
dilakukan David, Szentagotai, Lupu, Cosman (2008) menyatakan bahwa rational emotive behavior
therapy mampu menurunkan tingkat depresi pasien. Penelitian Warren (2010) juga menjelaskan
bahwa rational emotive behavior therapy tampaknya memberikan kerangka kerja yang mendukung
untuk meningkatkan kemanjuran guru dan potensi prestasi siswa.

SIMPULAN
Sesuai dengan masalah yang peneliti angkat yaitu untuk mengontrol perilaku agresif dengan
penerapan terapi rational emotive behavior therapy dan SP yang telah diterapka, peneliti hanya
menyusun intervensi terfokus pada masalah halusinasi pendengaran karena semua tindakan untuk
mengontrol perilaku kekerasan juga dapat meminimalkan semua masalah keperawatan yang ada pada
klien perilaku kekerasan

Sesuai dengan hasil evaluasi yang didapatkan adanya hasil yaitu dengan di masukkan jadwal
meminum obat pada klien sesuai dengan ketentuan yang telah di tentukan, dan adanya peningkatan
interaksi klien dengan orang lain. Dengan demikikan klien dengan perilaku kekerasan menunjukan
tercapainya criteria intrevensi yang diaharapkan, yaitu berkurangnya dan dapat dikontrolnya perilaku
kekerasan yang dirasakan klien.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Rameez. (2007). Application of REBT with Muslim clients.The Rational EmotiveBehaviour
Therapist.Vol 12 No. 1. 3-8
Andrews, Bonta & Wormith.(2004). Resilience and youth criminality.(Online). Tersedia: http:
//www.p publicsafety.gc.ca (diakses: 24-10-
2019).
Baron, A.E. Byrne D., & Brascombe, R.N. 2006.Social Psychology (7thed). USA: Reason Education
Inc.
Campbell, J. D. (1953). Manic Depressive Disease: Clinical and Psychiatric Significance. Oxford,
England: Lippincott
Cresweell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (edisi
ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
David, D., Szentagotai, A., Lupu, V., & Cosman, D. (2008). Rational emotive behavior therapy,
cognitive therapy, and medication in the treatment of major depressive disorder: a randomized clinical
trial, posttreatment outcomes, and six‐month follow‐up. Journal of clinical psychology, 64(6), 728-
746.
Davidof, Linda, L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Davison, Gerald C, John M. Neale, dan Ann
M. Kring. 2012. Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Depok: PT Rajagrafindo Persada
Dryden, W. & Branch, R. (2008). The Fundamentals of Rational Emotive Behaviour Therapy: A
Training Handbook. 2nd Ed. West Sussex: John Wiley & Sons Inc.
Ellis, Albert & Dryden, Windy. 1973. The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy. New York
:Springer Publishing
Ellis, Albert Ph.D. 2007. Terapi REB: Agar Hidup Bebas Derita. Terjemahan Ikramullah Mahyuddin.
Yogyakarta: Penerbit B-First
Faizal, E.B. (2012).Psychiatrist links depression and heart disease.
(http://www.thejakartapost.com/news/ 2012/10/06/psychiatrist-links-
depression-andheart-disease.html, diakses 20 Oktober 2019)
Gilbert, P. (2001). Overcoming Depression: A Step-By-Step Approach To Gaining Control Over
Depression. 2 nd Edition.Oxford University Press.
Hakim, M Arief. 2009. Bahaya Narkoba Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi dan Melawan.
Bandung: Nuansa
Saleebey, Dennis 2005. The Strengths Perspective in Social Work Practice.

(4thed.). New York: Addison Wesley Longmans Publiser


Undang-Undang R.I Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropi
Warren, J. M. (2010). The Impact of Rational Emotive Behavior Therapy on Teacher Efficacy and
Student Achievement. Journal of School Counseling, 8(11), n11.
Zamzami, A. 2007.Agresivitas Siswa SMK DKI Jakarta. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun
ke-13, Nomor 069
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.3, November 2016, hal 191-199 pISSN 1410-4490,
eISSN 2354-9203
DOI : 10.7454/jki.v19i3.481

STIGMATISASI DAN PERILAKU KEKERASAN PADA ORANG DENGAN


GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI INDONESIA

Muhammad Arsyad Subu1*, Dave Holmes1, Jayne Elliot1

1. STIKes Binawan, Jakarta 13630, Indonesia

*E-mail: msubuo61@uottawa.ca

Abstrak

Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang-
orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari
keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam
hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan
data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan
metode Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang lain. Dampak stigmatisasi
dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan
aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku
kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma
dengan perilaku kekerasan.

Kata kunci: gangguan jiwa, perilaku kekerasan, stigma, stigmatisasi

Abstract

Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of stigmatization of mental
illness is violent behavior conducted by patients toward other people around them including families, nurses and
communities. Conversely, patients experienced violence conducted by families, communities and nursing professionals.
This study aims to understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate
violent behavior committed by sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods
of data collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé.
Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and health
professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of stigmatization is manifested by
violent behavior committed by patients, families, staff, community and authorities. Findings are relevant to psychiatric
nurses who provide care to the patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of
families, communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.

Keywords: Mental Illness, violent behavior, stigma, stigmatization

Pendahuluan si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7 per 1000


dan ODGJ ringan sekitar 6% dari total populasi
Para ahli memperkirakan 15% populasi global (Kemenkes, 2013). Tujuh puluh lima persen
akan memiliki masalah gangguan jiwa tahun ODGJ mengalami stigma dari masyara- kat,
2020 (Harpham, et al., 2003). Orang dengan pemerintah, petugas kesehatan dan media
gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya mengala- (Hawari, 2001). Perilaku kekerasan ODGJ
mi dampak akibat gejala dan penyakit, tetapi menjadi penyebab utama stigmatisasi di ma-
juga stigmatisasi (Kapungwe, 2010). Prevalen- syarakat dan tenaga kesehatan.
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi perilaku kekerasan di kalangan ODGJ dewasa
serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih Indonesia dengan menggunakan Constructivist
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan Grounded Theory (CGT). CGT diperkenalkan
& Watson, 2005). Profesional dalam pelaya- pertama kali oleh Kathy Charmaz. CGT kon-
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan sisten dengan epistemologi dan ontologi
tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan ‘konstruktivisme’ yang memprioritaskan pada
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). fenomena penelitian dan melihat data dan
Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien analisisnya sebagai hal yang dibuat dari
dalam keperawatan jiwa yang lebih tinggi pengalaman bersama peneliti dengan partisi-
(Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku pan dan sumber lainnya" (Charmaz 2006,
kekerasan merupakan kejadian umum di RS p.330). Desain penelitian ini lebih pada pen-
(Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se- dekatan objektivis, dan peran peneliti adalah
bagian besar perawat, beresiko menjadi korban menemukan kebenaran yang ada di dalam objek
kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- penelitian dan meminimalisasi ‘keku- atan’
Pierre, 2012). ODGJ menghadapi stigmatisasi (Charmaz, 2006, p. 331).
yang menyebabkan mereka rentan terhadap
perilaku kekerasan orang. ODGJ lebih sering Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di
menjadi korban daripada pelaku kekerasan Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
(Stuart, 2004), menjadi korban fisik dan seksual skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem-
(Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor- ban puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak 30
kejahatan dan diskriminasi (Katsikidou, et al., partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk
2012). Sepu-luh persen penderita adalah korban memastikan saturasi data (Charmaz, 2006). Para
kekerasan (Schomerus, et al., 2008). partisipan hanya yang memiliki kemam- puan
membaca dan menulis, berusia 18 tahun atau
Suatu penelitian di Australia mengungkapkan lebih, mengalami gangguan jiwa dan stigma.
bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah Pengumpulan data melalui wawancara semi-
mengalami serangan fisik dan 57% setelah berstruktur yang direkam menggunakan digital
mengalami kekerasan seksual (McFarlane, audio. Telaah dokumen juga digunakan seba-
Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain gai triangulasi data untuk meningkatkan pro-
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke- babilitas kredibilitas interpretasi data (Lincoln
kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke- & Guba, 1985). Dokumen tersebut berupa
luarga dan bukan orang asing. Mereka sering hardcopy dan elektronik seperti laporan, log
dipukul atau diancam oleh anggota keluarga perawat, pre dan post konferensi, moto, visi dan
mereka (Katsikidou, et al., 2012; Solomon, misi RS. Memo digunakan untuk mendo-
Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur kumentasikan pengalaman dalam laporan ker-
intensif mengungkapkan bahwa penelitian tas yang menjelaskan proses berpikir peneliti.
tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum fokus Catatan lapangan dari observasi dan refleksi
pada dampaknya terhadap perilaku ke- kerasan data, merupakan bagian dari pendekatan ref-
pada ODGJ. Penelitian ini mem- berikan leksif proses analitis data (Charmaz, 2006).
analisis mendalam untuk memahami hubungan
antara stigmatisasi dengan perilaku kekerasan Analisis data menggunakan metode Paille
pada ODGJ. (1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
menghubungkan kategori, integrasi, konsep-
Metode tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan
Cowley (2004) terdapat tiga tahapan analisis
Penelitian ini memberikan pemahaman subs- yaitu koding awal, fase menengah, dan
tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan
pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng-
data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi pengalaman partisipan terkait stigma dengan
(koding awal), menghubungkan kategori dan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi dan kata-kata partisipan yang sebenarnya untuk
teorisasi (pengembangan akhir). Tahap menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti-
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur kulasikan dengan asumsi, posisi epistemologis
kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam dan teoritis yang memengaruhi proses peneli-
bentuk kode secara terorganisir (proses tian. Dilakukan evaluasi diri sebagai instrumen
pembentukan kode). Tujuannya adalah mem- dan melihat efek peneliti yang dilakukan
beri nama, mengungkap, meringkas dan mem- melalui refleksi diri dan memoyang ditulis
beri label, baris demi baris, dari data trans- dalam jurnal.
kripsi. Kodifikasi ini membantu mengidenti-
fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi
dan pembentukan kategori. Tahap kategorisasi temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
adalah untuk menggambarkan fenomena se- dengan jelas proses berpikir peneliti
cara umum atau peristiwa yang muncul dari (Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini,
data yang kemudian dibuat daftar kategori. auditabilitas dilakukan dengan kriteria untuk
Tahap ini adalah untuk menentukan kategori merumuskan pemikiran, bagaimana dan
dengan mengidentifikasi variasi dalam data mengapa para partisipan dalam penelitian ini
dapat dijelaskan dengan kategori lain. Tahap dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu-
integrasi adalah menentukan fenomena- nakan kerangka yang disajikan oleh Paille
fenomena yang telah diamati secara empiris. (1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang-
Dengan mengintegrasikan hubungan antara kah dalam analisis data dan memastikan bah-
kategori, peneliti mengidentifikasi kongruensi wa pembaca dapat memahami bagaimana data
tertentu yang muncul antara data dan arah itu didapatkan atau dibentuk oleh partisipan dan
penelitian yang diambil selama analisis. Tahap peneliti.
konseptualisasi adalah proses pengembangan
dan klarifikasi konsep-konsep yang muncul dan Fittingness atau transferabilitas berarti hasil
menjelaskan konsep tersebut dengan kata- kata penelitian memiliki arti yang sama pada situasi
dan untuk memberikan definisi konsep- tual serupa (Chiovitti & Piran, 2003). Dalam
secara verbal. Proses ini memungkinkan peneliti penelitian ini, selama proses koding, semua data
untuk memahami fenomena penelitian dan yang dibuat kode telah diperiksa oleh seorang
kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori- sasi pakar lain untuk melakukan cek eksternal yang
merupakan proses konstruksi untuk me- terkait dengan hasil penelitian.
nguatkan teori atau pemahaman susbstantif.
Tidak semua penelitian grounded theory
menghasilkan teori; akan tapi pemahaman yang
Hasil
mendalam dan substantif merupakan hasil akhir Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri.
dari sebuah penelitian dengan grounded theory Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja
Charmaz (2006). menyakiti diri sendiri. Seorang pasien meng-
gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria menyebabkan ide bunuh diri atau menyakiti diri
pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran, sendiri. Rasa takut terhadap orang lain juga
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah menjadi pencetus ide bunuh diri.
dengan mengumpulkan data dari berbagai “...kadang saya tidak bisa mengendalikan diri
sumber diantaranya melalui wawancara, cata- sampai saya berkeinginan bunuh diri. Saya
tan lapangan, dan memo. Koding data dengan mencoba bunuh diri tiga kali dengan
minum racun tapi saya tidak mati ... Dengan balok kayu.
penyakit jiwa, kepercayaan diri saya rendah. “Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ.
Saya merasa bingung; dengan orang lain, saya Banyak sekali kita menerima pasien yang telah
takut. Saya takut melihat orang lain.“ (P1). dipasung, terikat, dirantai, dimasuk- kan ke
dalam balok kayu; tapi, ada juga pasung,
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain dan seperti menempatkan penderita di ruangan
Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah kecil dan dikasih makanan sekali sehari.
melakukan perilaku kekerasan terhadap anggota Beberapa pasien tidak bisa ber- jalan, kurus
keluarga atau kerabat. dan kurang gizi. Mereka tidak dapat berbicara.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga dan Keluarga mereka kaya; jika mereka ingin
saya menjadi beban keluarga saya. Karena membawa pasien ke RS, saya yakin mereka
kesulitan dalam hidup, saya harus berada di mampu” (P13).
sini (RSJ). Otak saya punya banyak masalah.
Jadi, saya marah dan melakukan kekerasan di Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi
rumah dan selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
(P1). kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan
Pasien yang melakukan kekerasan sering pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga
disembunyikan oleh keluarga, sehingga mereka mengakui beberapa pasien yang memiliki
terisolasi di masyarakat. riwayat pasung di rumah karena mereka
“L [teman] punya keluarga dengan penyakit melakukan kekerasan, mereka menggang- gu
jiwa; jika [pasien] melakukan kekerasan, ia masyarakat. Mungkin [mereka] tidak tahu cara
menghancurkan atap, rumah, dll. Jadi keluarga merawat orang dengan penyakit jiwa. Hal ini
merahasiakan dan menyembunyikannya. masuk akal juga, kan? Mungkin lebih baik bagi
Mereka [pasien dan keluarga] jarang diundang mereka untuk menyelamatkan orang-orang
oleh masyarakat. Jadi, mereka terisolasi. daripada merawat ODGJ.” (P9).
Mereka terpinggirkan... stigmakan?” (P11).
Perawat lain mengatakan bahwa beberapa
Pasien juga melakukan kekerasan terhadap pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar
fasilitas umum, dan menghancurkan barang- negeri. Mereka dikurung oleh keluarga saat
barang. mereka kembali.
“Saya melemparkan asbak. Ceritanya, saya “Mereka dikait di pilar besar. Ada yang
kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar dengan diletakkan di kandang kambing atau ayam.
angsuran. Seratus, lima puluh, uang saya dari Mereka dikurung seperti kambing. [Pasien]
BJB lebih banyak... Saya marah; Saya tidak buang air besar, makan disitu, seperti binatang.
bisa mengendalikan diri. Saya jadi marah, Ini bukan cerita tapi saya melihatnya langsung;
seperti itu. Kemudian, saya dibawa ke sini Saya itu saksi kondisi ini. Enam pasien telah
(RSJ).” (P13). dibawa ke RS. Ya, beberapa dari daerah ini
mengirimkan banyak pekerja di Jawa Barat.
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi. Jadi mereka stres karena mereka bekerja di
Pasung dan seklusi masih digunakan untuk Arab Saudi. Mereka stres, dan kembali ke
menangani penderita gangguan jiwa. Beberapa Indonesia dikurung oleh keluarganya.” (P15).
perawat menunjukkan bahwa ada pasien diikat,
dirantai, atau dimasukkan ke dalam Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami
kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa perawat.
orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di “Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal).
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
penyakit jiwa (P1). Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga
diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk
penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, Pasien dengan perilaku kekerasan yang
melanggar hak-hak seseorang. membahayakan akan diisolasi sebagai metode
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada pengendalian.
dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang- “Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber
orang melakukan kejahatan terha- dap mereka, bahaya… mereka nganggap orang gila itu
seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. benar-benar gila, bukan manusia; harus
Saya dipasung karena apa? Saya dipasung dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang,
bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung dan ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan
untuk membuat saya "gila." Hal ini lebih gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
menyakitkan benar.” (P14). saya seperti babi diseret.” (P9).

Kekerasan oleh Pengobatan Tradisional. Seringkali petugas keamanan dan perawat


Banyak ODGJ yang mendapatkan pengobatan bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
tradisional mengalami kekerasan dari terapis. kekerasan.
Pasien mengalami terapi alternatif yang ber- “Semuanya dihancurkan, TV rusak. Teman
sifat abuse, seperti ditenggelamkan, dicambuk, saya di S (bangsal) telah meng- hancurkan TV.
atau dimandikan paksa. Sekarang, dia ada di sini, di bangsal K. Pasien
“Ya, saya dimandikan tengah malam. Dukun dengan kasar diseret oleh petugas keamanan.
menggunakan ilmu sihir...[tidak jelas], "Ayo kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa.
memukuli saya. Saya dimandikan jam satu "Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
malam. Saya tidak tidur. Badan saya dikocok diperlakukan seperti itu.” (P2).
kocok seperti kambing. Saya disana satu
setengah bulan, namun saya tidak sehat, saya Seorang perawat mengatakan bahwa umumnya
tidak lebih baik.” (P2). pasien baru di RSJ diikat.
“Jika pasien datang ke rumah sakit sangat
Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah mudah marah, beberapa pasien ini terikat; ada
satu pasien menceritakan pengalamannya pula yang diborgol. Jika pasien datang dengan
ditahanan di kantor polisi. Pasien lain diborgol kurang atau tidak marah, mereka tidak terikat.
oleh polisi karena perilaku kekerasannya. Jadi, jika pasien berada dalam kondisi marah
“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol saya. ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika
Ibu saya meminta bantuan polisi untuk mereka tidak benar-benar marah, mereka tidak
memborgol saya. Tapi belenggu borgol rusak. diikat oleh orang lain. Mereka dibawa oleh
Lihat ini [bekas luka di tangannya].” (P15). keluarga atau polisi kesini. Ya, polisi. Seperti
itu. Jika pasien baru, sebagian besar mereka
Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf datang dengan terikat.” (P6).
rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik
terhadap pasien. Metode pengikatan, pengeka-
ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan
Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan
dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
akibat kekerasan dari terapi dan pengobatan dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang
alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
telah dibawa ke dukun mengungkapkan: (Wehring & Carpenter, 2011).
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di daerah
terpencil di Jawa, dan tempatnya sangat gelap. Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri
Saya takut. Dia itu mantan pasien sakit jiwa. sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
Dia mengatakan: "Ini penyakit gila. Ini untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke-
psikopat". Saya ingin melarikan diri. Saya takut rasan mandiri meliputi ide atau percobaan
benar melihat kapaknya. Saya sangat stres, itu bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh
pengo- batan yang aneh.” (P3). diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy-
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
keluarga yang mengalami gangguan jiwa Risiko menyakiti diri sendiri meningkat
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.
akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ
penderita di rumah, juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat
penderita mengganggu masyarakat. Umumnya, adalah profesi yang paling rentan menjadi target
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al.,
anggota keluarga merasa ga nyaman dengan 2006), sebagian besar perawat mengalami
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al.,
kekerasan lagi” (P11). 2006; Landy, 2005).

Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi-


dengan riwayat perilaku kekerasan membuat laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
takut masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering
diisolasi oleh teman dan masyarakat. menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al.,
“Teman-teman merasa takut. Mereka 2012). Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk.,
saya karena saya orang sakit jiwa. Ya, 2009). Interaksi antara polisi dan ODGJ
argumen saya tidak diterima; tidak dipahami kadang-kadang terkait dengan perilaku keke-
oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara rasan (Cotton & Coleman, 2010).
benar, mereka harus nurutin saya. ” (P5).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga
Pembahasan takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal
Hubungan antara gangguan jiwa dengan ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
perilaku kekerasan adalah penyebab utama hubungan erat antara perilaku kekerasan yang
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men-
sien melakukan kekerasan di keluarga dan ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5 berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje &
Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian
Medical Association, 2008). Banyak yang Referensi
menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an-
caman bagi keselamatan umum (Jorm & Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the
Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami link between discrimination, mental health
perawat dapat memengaruhi hubungan pera- outcomes, and life chances among Latinos.
wat dengan pasien, yang menghambat pem- Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28 (2), 245–
berian asuhan keperawatan (Jacob, 2010). 266.

Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat Arboleda-Florez, J. (2003). Considerations on the


stigma of mental illness. Canadian Journal of
dipengaruhi oleh media massa yang berperan
Psychiatry, 48 (10), 645–650.
membentuk opini masyarakat. Penggambaran
ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, public and self-stigma to seeking mental health
2003). services. Journal of Mental Health Counseling, 33
(2), 161–176.
Kesimpulan
Canadian Medical Association (2008). 8th Annual
Penelitian ini menemukan bahwa perilaku national report card on health care. Ottawa ON:
Canadian Medical Association.
kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada- Charmaz, K. (2006). Constructing grounded theory:
lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ. A practical guide through qualitative analysis.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan London: Sage Publications.
para perawat. Hasil penelitian memberikan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya- Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and
nan keperawatan jiwa di Indonesia. grounded theory research. Journal of Advanced
Nursing, 44 (4), 427–435.
Sangat penting memasukkan materi stigma-
tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen- Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan from the national comorbidity survey on the
frequency of violent behavior in individuals with
akan menghadapi risiko perilaku kekerasan dari
psychiatric disorders. Psychiatry Research, 136,
pasien jika bekerja di area keperawatan jiwa. 153–162.
Keperawatan jiwa merupakan area yang bersiko
mendapatkan ancaman dan kekerasan sehingga Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian police
seringkali membenarkan beberapa jenis agencies and their interactions with persons with a
intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau mental illness: A systems approach. Police Practice
pengasingan yang merugikan hubungan pera- and Research, 11 (4), 301–
wat dengan pasien. 314.

Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A.,
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann. J.J.(2003).
Suicide attempts in schizophrenia: The roleof
pemerintah memandang stigma terkait perilaku
command auditory hallucinations for suicide.
kekerasan pada ODGJ. Program kampanye anti- Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.
stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif
stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke- Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga Measuring health in cost effective manner. Health
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma Policy and Planning, 18 (3), 344.
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a Landy, H. (2005). Violence and aggression: How
grounded theory approach: A comparison of Glaser nurses perceive their own and their colleagues risk.
and Strauss. International Journal of Nursing Emergency Nurse, 13, 12–15.
Studies, 41 (2), 141–150.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2004). The prevalence ofvictimization and violent
(2012). Introduction (re) thinking violence in health behaviour in the seriously mentally ill (Theses,
care settings: A critical approach. In Holmes, D., University of Adelaide). Department of Psychiatry,
Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re) Thinking violence University of Adelaide, Adelaide, Australia.
in health care settings: A critical approach. Surrey:
Ashgate Publishing, Ltd.
Paillé, P. (1994). L’analyse par théorisation ancrée.
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I., Cahiers de recherche sociologique, 23, 147–
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons 181.
with severe mental illness in Taiwan. Aealand
Journal of Psychiatry, 460–466. Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in
qualitative research. Advances in Nursing Science, 8
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., (3), 27–37.
& Okamura, H. (2006). Psychological impact of
verbal abuse and violence by patients on nurses Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C.,
working in psychiatric departments. Psychiatry and Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36. &Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood
and the appraisal of personal safety in people with
Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic schizophrenia: Results from the European
psychiatry: nurse-patient interactions in a secure Schizophrenia Cohort (EuroSC). Psychological
environment. Doctoral Dissertation School of Medicine, 38 (4), 591–597.
Nursing University of Ottawa, Canada:
Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J.
Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s (2005). Family violence amongadults with severe
stigmatizing attitudes towards people with mental mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1),
disorders: how important are biomedical 40–54.
conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321. Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre,
L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M. (2007). Cross-
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, national differences in relationships of work
Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental illness demands, job satisfaction and turnover intentions
- stigma anddiscrimination in Zambia. African with work–family conflict. Personnel Psychology,
Journal of Psychiatry, 13, 192–203. 60, 805–835.

Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare
Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K ., papers, 5(2), 100–111.
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely
mentally ill in Greece: The extent of the problem. Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., &
International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide ideation
706–715. and behaviour in recent onset schizophrenia. Social
Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 39, 927–
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan 937.
dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., &
Kesehatan RI. Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in adults
with severe mental illness. Archives of general
psychiatry, 62, 911–921.
1

Wehring, H.J., & Carpenter, W.T (2011).


Violence and schizophrenia.Schizophrenia
Bulletin, 37 (5), 877–778.

Ju
rn
2

PENGARUH PENERAPAN STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN


PERILAKU KEKERASAN

Nofrida Saswati
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Harapan Ibu Jambi E-mail:
nofridasaswati@gmail.com

Abstrak
Tujuan: Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk Mengetahui pengaruh penerapan standar asuhan
keperawatan klien skizofrenia dalam meningkatkan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian pre experimental, pretest
dan posttest. Populasi penelitian ini sebanyak 53 orang dengan jumlah sampel sebanyak 34 responden
yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 17 responden kelompok intervensi dan 17 kelompok kontrol.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok intervensi setelah perlakuan rata-rata mengontrol
perilaku kekerasan sebesar 6,88 dan pada kelompok kontrol 3,55 dengan nilai p-value 0.000.

Simpulan: Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan berpengaruh terhadap kemampuan mengontrol perilaku kekerasan. Untuk itu diharapkan bagi
perawat ruangan dapat lebih meningkatkan lagi penerapan standar asuhan keperawatan pada klien
dengan perilaku kekerasan.

Kata kunci: Perilaku kekerasan, standar asuhan keperawatan.

Abstract
Aim: The purpose of this study is to know the effect of the application of nursing care standards
schizophrenia clients in improving the ability to control violent behavior.

Method: This study is a quantitative research design pre-experimental pre-test and post test. Population of
this study were 53 people, with a total sample of 34 respondents were divided into 2 groups: 17
respondents intervention group and 17 control group.

Result: The results showed the treatment group average intervention group after control the violent
behavior of 6.88 and 3.55 in the control group, with p-value 0.000.

Conclusion: Based on the results of the study showed that the application of standards of nursing care
violent behavior affect the ability to control violent behavior. For nurses can further enhance the
implementation of standards of nursing care in the client's violent behavior.

Keyword: Violent Behavior, Nursing Care Standards

Ju
rn
3

PENDAHULUAN klien rawat inap seluruh penyakit skizofrenia


selalu meningkat dari tahun ke tahun, pada
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat tahun 2012 sebanyak 432 0rang, tahun 2013
emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat sebanyak 526 dan tahun 2014 sebanyak 1122
dari hubungan interpersonal yang orang.8Berdasarkan data penderita perilaku
memuaskan, perilaku dan koping yang kekerasan yang didapat dari Rumah Sakit
efektif, konsep diri yang positif, dan Jiwa Provinsi Jambi tiga tahun terakhir dari
kestabilan yang emosional.1 tahun 2013 sampai Oktober tahun2015.Pada
tahun 2013 penderita perilaku kekerasan
Seseorang dikatakan sehat jiwa bila mampu sebanyak 133 klien, pada tahun 2014
menyesuaikan diri secara harmonis, selaras penderita perilaku kekerasan sebanyak 266
terhadap tuntutan kehidupan.Sebaliknya bila dan pada tahun 2015 untuk kasus perilaku
seseorang tidak mampu menyesuaikan diri kekerasan sebanyak 386 klien.
terhadap tuntutan hidup ini berarti orang
tersebut mengalami gangguan jiwa. Tujuan penelitian untuk mengetahui Pengaruh
Gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus Penerapan Standar Asuhan Keperawatan
dihadapi oleh seseorang karena hubungan Perilaku Kekerasan Terhadap Kemampuan
dengan orang lain. Kesulitan karena Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Klien
persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya Skizofrenia dengan perilaku kekerasan di
terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang ruang PICU Rumah Sakit Jiwa Daerah
lain, yang ditandai dengan kecemasan yang Provinsi Jambi Tahun 2016.
berlebihan, tidak puas dengan kenyataan yang
sebenarnya dan ketidakmampuan berfungsi METODE PENELITIAN
secara efektif di dalam menghadapi
masalah.Gangguan jiwa merupakan suatu Berdasarkan permasalahan yang di teliti,
penyakit yang disebabkan karena adanya penelitian ini menggunakan desain quasi
kekecauan pikiran, persepsi dan tingkah laku eksperiment pretest and posttest two group.
di mana individu tidak mampu menyesuaikan Penelitian ini dilaksanakan di RSJD Provinsi
diri dengan diri sendri, orang lain, Jambi pada tanggal 24 Desember 2015-18
masyarakat, dan lingkungan. Penegertian Januari 2016. Populasi dalam penelitian ini
seseorang tentang penyakit gangguan jiwa adalah klien yang terdiagnosa perilaku
berasal dari apa yang diyakini sebagai faktor kekerasan di RSJD Provinsi Jambi yang
penyebabnya yang berhubungan dengan berjumlah 53 responden, penentuan jumlah
biopsikososial.2 sampel sesuai dengan kriteria:

Berdasarkan data status kesehatan jiwa di Kriteria Inklusi


Indonesia dapat dilihat dari hasil riset Semua klien skizofrenia yang sedangdirawat
kesehatan dasar3 yang dilakukan oleh Badan inap dengan perilaku kekerasan yang tercatat
Penelitian Pengembangan Kesehatan pada 3 bulan terakhir (Oktober-Desember) di
Dapertemen Kesehatan yang menunjukan Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi 2015.
prevelensi penderita sekizofrenia di Indonesia Sudah tidak terlalu gelisah, agresif, sehingga
sebesar 1,7 permil. Sedangkan di Provinsi dapat kooperatif dan tidak mengganggu
Jambi menurut data RISKESDAS tahun 2013 jalannya atau
sebanyak 0,9 permil. Berdasarkan data yangdi berlangsungnya terapi individu.
ambil dari Rekam Medik RSJD Propinsi
Jambi didapatkan data
Ju
rn
4

Bersedia menjadi responden. independen.


Analisa Bivariat
Kriteria Ekslusi Analisa bivariat bertujuan untuk mengetahui
Klien perilaku kekerasan yang tercatat pada pengaruh penerapan standar asuhan
bulan Oktober-Desember 2015, tetapi pada keperawatan perilaku kekerasan terhadap
saat penelitian telah pulang atau rawat jalan. kemampuan mengontrol perilaku kekerasan,
Klien yang sudah pernah diterapkannya analisis menggunakan UjiPaired t-testdengan
strategi pelaksanaan perilaku kekerasan dan menggunakan derajat kepercayaan 95%
telah mampu dalam melaksanakan tindakan sehingga bila nilai p < 0,00 berarti ada
yang di ajarkan. pengaruh yang signifikan pada penerapan
Klien yang diagnosanya berubah (tidak lagi setandar asuhan keperawatan.
berdiagnosa perilaku kekerasan).
Tidak bersedia menjadi responden.
HASIL PENELITIAN
Instrumen atau alat pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa buku HasilAnalisisUnivariat
panduan observasi berisikan pertanyaan Rata-rata hasil penerapan standar asuhan
tentang kemampuan klien mengontrol keperawatan Perilaku Kekerasan Sebelum
perilaku kekerasan. intervensi kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan adalah 3,12, dengan nilai terendah
Instrumen yang digunakan untuk mengukur
1 dan tertinggi 6. Uji homogenitas didapat
klien mengontrol perilaku kekerasan terdiri
nilai p-value 0,777 (p>0,05) artinya kedua
dari pertanyaan tentankemampuan klien
kelompok homogen atau setara.
mengontrol perilaku kekerasan.penilaian
kemampuan ini dilakukan dengan cara lembar
AnalisisBivariat
observasi dan wawancara dengan mengajukan
Kemampuan Mengontrol Perilaku
10 pertanyaan terkait kemampuan mengontrol
kekerasan Sebelum dan Sesudah
perilaku kekerasan. Yaitu; mengontrol dengan
Intervensi.
fisik ke-1 dan fisik ke-2, mengontrol dengan
Rata-rata hasil Kemampuan mengontrol
obat, mengontrol dengan sosial/verbal dan
Perilaku kekerasan Sebelum dan Sesudah
mengontrol dengan spiritual. Pilihan jawaban
intervensi pada kelompok intervensi terjadi
terdiri dari 2 kemampuan yaitu mampu dan
perubahan nilai rata- rata kemampuan
tidak mampu, bila mampu diberi bobot: 1 dan
mengontrol perilaku kekerasan antara pretest
tidakmampu:0 dan skor 10.
dan posttest.
Analisa data yang dilakukan untuk pengujian
hipotesis adalah sebagai berikut: Nilai selisih rata- rata sebesar 3,70 hal itu
Analisa Univariat menunjukan bahwa ada peningkatan
Analisis dilakukan untuk mengetahui diskripsi kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada kelompok intervensi dibandingkan
atau proporsi masing- masing variabel yang sebelum mendapatkan terapi nilai P-value
diteliti, baik variabel dependen maupun lebih kecil dari alpha (0.000<0,05), hasil
variabel

Ju
rn
5

tersebut menunjukan bahwa terdapat Adapun tanda dan gejala yang ditemui pada
perbedaan sebelum dan sesudah intervensi, klien melalui observasi atau wawancara tentang
dan pada kelompok kontrol terjadi sedikit perilaku kekerasan selama pretest adalah
perubahan nilai rata-rata kemampuan sebagai berikut: muka merah dan tegang,
mengontrol perilaku kekerasan antara pre dan pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan
post. Nilai selisih rata-rata0,29 hal itu kuat, mengepal tangan, jalan mondar mandir,
menunjukan bahwa ada peningkatan bicara kasar, suara tinggi menjerit atau
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan berteriak, dan tidak memiliki kemampuan
pada kelompok kontrol. Dimana p-value mencegah atau mengendalikan perilaku
0,136 hasil tersebut menunjukkan tidak ada kekerasan.
perbedaan yang signifikan.
Perbedaan Kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan sebelum Intervensi
Perbedaan Kemampuan Mengontrol
Perilaku Kekerasan Sesudah Intervensi Berdasarkan hasil penelitian pada klien
Skizofrenia sebelum dilakukan penerapan
Rata-rata hasil Kemampuan Mengontrol standar asuhan keperawatan perilaku kekerasan
Perilaku Kekerasan Sesudah Intervensi dari pada kelompok intervensi memiliki kemampuan
34 responden ada perbedaan yang signifikan mengontrol perilaku kekerasan yang masih
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan rendah bahkan ada yang tidak mampu
pada kelompok intervensi dengan rata- rata mengontrol perilaku
6,88 dan kelompok kontrol dengan rata- rata kekerasannya, dengan demikian dapat membuat
3,35 dengan nilai p-value 0,000 maka dapat klien tetap pada kondisi perilaku kekerasan, hal
disimpulkan adanya peningkatan yang ini banyak terjadi pada klien yang baru
signifikan rata- rata mengontrol perilaku mengalami perawatan.
kekerasan sesudah penerapan asuhan
keperawatan perilaku kekerasan. Dari hasil penelitian pada klien intervensi 17
responden pada kelompok intervensi sebelum
diberikan perlakuan terdapat 76,5% yang masih
PEMBAHASAN kurang mampu mengontrol perilaku
kekerasannya dan 23,6% yang mampu
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan mengontrol perilaku kekerasannya, sedangkan
emosi yang merupakan campuran perasaan pada 17 responden pada kelompok kontrol
frustasi dan benci atau marah.Hal ini didasari terdapat 82,3% yang kurang mampu dan 17,7%
keadaan emosi secara mendalam dari setiap yang mampu mengontrol perilaku kekerasanya.
orang sebagai bagian penting dari keadaan
emosional kita yang dapatdiproyeksikan Penelitian yang dilakukan oleh Hasmiati 4, yang
kelingkungan, kedalam diri atau secara dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan
destruktif.5 mengenai

Ju
rn
6

kemampuan klien dalam mengontrol perilaku dapat dilihat bahwa tingginya persentase klien
kekerasan dengan penerapan asuhan yang tidak mampu.
keperawatan terhadap 18 responden, secara
keseluruhan (100%) klien tidak mampu untuk Perbedaan Kemampuan Klien Mengontrol
mengontrol perilaku kekerasan6. Perilaku Kekerasan Sesudah Intervensi

Adapun tanda dan gejala yang ditemui pada Berdasarkan hasil penelitian pada klien
klien melalui observasi atau wawancara Skizofrenia sesudah dilakukan penerapan standar
tentang perilaku kekerasan selama pre test asuhan keperawatan perilaku kekerasan pada
adalah sebagai berikut : muka merah dan kelompok intervensi mengalami peningkatan
tegang, pandangan tajam, mengatupkan yang signifikan dalam mengontrol perilaku
rahang dengan kuat, mengepal tangan, jalan kekerasan. Dengan demikian dapat membuat
mondar mandir, bicara kasar, suara tinggi klien tetap pada keadaan tenang dan rilek disaat
menjerit atau berteriak, dan tidak memiliki klien kambuh ulang. Pada kelompok kontrol
kemampuan mencegah atau mengendalikan mengalami sedikit peningkatan setelah
perilaku kekerasan. Untuk mencegah mendapatkan terapi obat dari ruangan namun
timbulnya gejala perilaku kekerasan atau belum optimal dalam mengontrol perilaku
mencegah terjadinya perilaku kekerasan pada kekerasannya.
seseorang maka harus diperhatikan, diberikan
asuhan keperawatan dan diterapi sehingga Penelitian yang dilakukan oleh Hasmiati4, yang
mengurangi terjadinya tindakan perilaku dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan
kekerasan. mengenai kemampuan klien dalam mengontrol
perilaku kekerasan dengan penerapan asuhan
Tindakan yang diberikan Pada klien perilaku keperawatan terhadap 18 responden, terdapat
kekerasan berupa 83,3% responden mampu mengontrol perilaku
Psikofarmakologi, dan Standar asuhan kekerasan setelah mendapatkan standar asuhan
keperawatan, asuhan keperawatan yang dapat keperawatan dan 16,7% respon den tidak mampu
diberikan kepada klien perilaku kekerasan mengontrol perilaku kekerasan.
dapat berupa strategi pelaksanaan perilaku
kekerasan(Azizah. 2011). Gejala yang muncul pada klien dengan
Skizofrenia diantaranya prilaku kekerasan,
Asumsi peneliti sebelum penerapan standar Halusinasi, Waham, Ekopraksia, Flight of ideas,
asuhan keperawatan pada klien skizofrenia Perseverasi, Asosiasi longgar, Gagasan rujukan,
klien belum mampu untuk mengontol Ambivalensi. Untuk
perilaku kekerasannya dimana pada klien penatalaksanaan dapat menggunakan
skizofrenia terjadi gangguan pada system Hospitalisasi, Antipsikotik, Psikososial (Terapi
saraf diotak yang mempengaruhi daya fikir Perilaku, Terapi Keluarga, Terapi Suportif).
klien. Selain itu juga klien belum mengerti Dengan demikian klien dapat belajar untuk
tentang bagaimana cara mengontrol perilaku memahami
kekerasan terhadap pengaruh penerapan
standar asuhan keperawatan hal ini

Ju
rn
7

mengontrol penyakit dan untuk minum obat kekerasan dengan P-value 0,136 namun
secara teratur serta mengatur stress yang hasilnya belum optimal.
dapat memperburuk penyakit. Selain terapi
diatas pada klien gangguan jiwa dapat juga Penelitian yang dilakukan oleh Elyani6,
digunakan penerapan asuhan keperawatan. yang dilakukan di RSJD Provinsi Sumatra
Standar asuhan keperawatan berhubungan utara mengenai kemampuan klien dalam
dengan aktivitas keperawatan profesional mengontrol perilaku kekerasan dengan
yang dapat dilakukan oleh perawat melalui penerapan asuhan keperawatan didapatkan
proses keperawatan.5 hasil p value= 0,000 maka dapat
disimpulkan adanya pengaruh
Asumsi peneliti tentang pengaruh penerapan penerapan asuhan
standar asuhan keperawatan pada klien keperawatan dengan kemampuan
skizofrenia kelompok intervensi sudah mengontrol perilaku kekerasan.6
optimal hal ini dikarenakan klien berperan
aktif untuk mempelajari bagaimana cara Strategi pelaksanaan merupakan proses
mengontrol perilaku kekerasan hal ini dapat yang sangat khusus dan berarti dalam
dilihat dari tingginya persentase klien yang hubungan antar manusia. Kemampuan
mampu mengontrol perilaku kekerasan yaitu penerapan strategi pelaksanaan tidak
(82,3%) dan pada kelompok kontrol dilihat dapat dipisahkan dari tingkah laku
dari mean mengalami sedikit peningkatan hal seseorang yang melibatkan aktivitas fisik,
itu dipengaruhi oleh pemberian terapi obat, mental, disamping itu juga dipengaruhi
namun hasil yang diperoleh belum optimal latar belakang sosial, pengalaman, usia,
karna pemberian obat hanya mampu pendidikan dan tujuan yang akan dicapai.
memberikan efek tenang pada klien Kegagalan sering terjadi pada seorang
skizofrenia. perawat dalam mendapatkan data
khususnya pada klien gangguan jiwa, Hal
Perbedaan Kemampuan Klien Mengontrol ini disebabkan karena seorang perawat
Perilaku Kekerasan sebelum dan Sesudah belum mampu atau kurang dalam
Intervensi menjalankan strategi pelaksanaan
sehingga tidak
Berdasarkan hasil penelitian terlihat masing- terbentuknya hubungan saling percaya
masing responden mengalami peningkatan antar klien dengan perawat, dan akhirnya
kemampuan mengontrol perilakukekerasan asuhan keperawatan yang diharapkan
sesudah dilakukan penerapan asuhan tidaklah efektif dan kurang terbentuknya
keperawatan perilaku kekerasan pada hubungan interpersonal antar perawat dan
kelompok intervensi, hal ini dapat dilihat dari klien.
P-value= 0,000 maka dapat disimpulkan
adanya peningkatan yang signifikan rata-rata Asumsi peneliti tentang pengaruh
mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan penerapan standar asuhan keperawatan
sesudah penerapan dan pada kelompok pada kelompok intervensi dan control
kontrol mengalami sedikit peningkatan dalam sebelum dilakukan asuhan keperawatan
mengontrol perilaku hasil yang diperoleh belum optimal,
Namun setelah dilakukannya asuhan
keperawatan pada kelompok intervensi
mengalami peningkatan yang signifikan
dan memperoleh hasil yang optimal dan
pada kelompok kontrol mengalami sedikit perubahan hal itu dipengaruhi oleh pemberian terapi
Ju
rn
8

obat, namun hasil yang diperoleh belum optimal.

Setelah dilaksanakan standar asuhan keperawatan pada klien perilaku kekerasan terdapat
perubahan, maka dari itu diharapkan pihak manajemen rumah sakit jiwa dapat menetapkan
peraturan untuk menerapkan standar asuhan keperawatan yang telah ditetapkan dengan baik
disemua ruangan rawat inap dan nmengadakan pelatihan kepada perawat sehingga perawat
semakin baik dalam memberikan asuhan keperawatan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Tidak terdapatnya kemampuanklien mengontrol perilaku kekerasansebelum Intervensi Penerapan
Standar Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia Pada Kelompok
Intervensi dan Kontrol di ruang PICU Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi Tahun 2016.
Kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia mengalami peningkatan sesudah
mendapatkan penerapan standar asuhan keperawatan dari pada yang tidak mendapatkan standar
asuhan keperawatan.
Ada perbedaan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan pada klien skizofrenia sebelum dan
sesudah diberikan intervensi pada kelompok intervensi.

Saran
Peneliti mengharapkan bagi pihak Rumah

Ju
rn
9

Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi supaya melakukan kebijakan dalam pembuatan prosedur dalam
merawat klien perilaku kekerasan dengan menggunakan standar asuhan keperawatan perilaku
kekerasan agar klien mampu dalam mengontrol dalam mengatasi masalahnya, dan bagi perawat
ruangan agar lebih meningkatkan lagi dalam melaksanakan standar asuhan keperawatan pada klien
perilaku kekerasan.

REFERENSI
Videbeck, S. L. (2008), Psychiatric Mental Health. Jakarta: EGC.
Stuart G. W.,& Sandra J. Sundeen., Alih bahasa. Akhir Yani Hamid (2013). Buku saku
keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.
Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan RI. Azizah. (2011).
Aplikasi Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hasmiati. (2013). Kemampuan klien dalam mengontrol prilaku kekerasan dengan penerapan
asuhan keperawatan dilakukan di RSJD Provinsi Sulawesi Selatan.
Stuart and Sundeen, Alih bahasa. Ramona, Kapoh, Egi (2006).
Sembiring, E. (2011), Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan dengan penerapan
asuhan keperawatan dilakukan di RSJD Provinsi Sumatra utara.
Kusumawati. (2010). Keperawatan kesehatan jiwa. Surabaya: Airlangga.
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. (2013-2015). Laporan tahunan rumah sakit jiwa
daerah provinsi jambi. Jambi.
Yosep, I. (2009). Buku AjarKeperawatan Jiwa. Bandun: PT Refika Aditama.

UPAYA PENURUNAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN PADA DENGAN MELATIH


ASERTIF
SECARA VERBAL

Ju
rn
10

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III pada
jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh:

FATHUL HABBI YULSAR RAHMAN J 200


140 070

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN FAKULTAS


ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

Ju
rn
11

Ju
rn
12

Ju
rn
13

Ju
rn
1

UPAYA PENURUNAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN PADA KLIEN


DENGAN MELATIH ASERTIF SECARA VERBAL

Abstrak

Latar Belakang: Kesehatan merupakan point utama dalam kehidupan manusia


dan untuk mendapatkannya membutuhkan usaha yang lebih misalnya dengan
olahraga teratur, selalu menjaga keberihan diri, lingkungan dan makan minum
yang bergizi. Manusia dikatakan sehat apabila jiwa dan fisiknya tidak mengalami
gangguan atau cidera yang mengakibatkan kesehatan menurun. Hasil dari Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk
Indonesia 1,7 per mil, dan gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia
6 persen. Gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan,
Bali, dan Jawa Tengah. Rumah tangga yang pernah memasung anggota rumah
tangga gangguan jiwa berat sebesar 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk
yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil
indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
dimana seorang yang melakukan suatu tindakan kekerasan secara fisik maupun
verbal yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Assertives
training adalah suatu terapi modalitas keperawatan dalam bentuk terapi tingkah
laku, klien belajar mengungkapkan perasaan marah secara tepat atau asertif
sehingga mampu berhubungan dengan orang lain, mampu menyatakan : apa yang
diinginkan, apa yang disukai, apa yang ingin dikerjakan, dan kemampuan untuk
membuat seseorang merasa tidak risih berbicara tentang dirinya sendiri.

Tujuan: Agar dapat menurunkan risiko perilaku kekerasan setelah dilakukan


latihan asertif
Metode: Penulis menggunakan metode diskriptif dengan studi kasus selama 3x24
jam
Hasil: Klien mampu mengetahui dan mempraktikan upaya penurunan risiko
perilaku kekerasan dengan melakukan latihan asertif secara verbal.
Kesimpulan: Klien mampu membina hubungan saling percaya, mampu
Ju
menyebutkan penyebab, tanda gejala akibat yang terjadi ketika marah, mampu rn

mempraktikkan teknik nafas dalam dan memukul-mukul bantal. Klien juga dapat
2

menyebutkan obat apa saja yang dikonsumsi dan akibat jika tidak meminumnya
secara teratur. Klien juga mampu ngontrol marah dengan mengungkapkan,
meminta, menolak yang baik, dan mengontrol marah dengan spiritual, klien rutin
melakukan sholat 5 waktu, berdzkir, dan berdoa.

Kata kunci : Gangguan Jiwa, Perilaku Kekerasan, Melatih Asertif

Ju
rn
3

Abstract

The background : Health is a point in human life and to get it requires more
effort for example with regular exercise,always take care himself,environment,eat
and drink nutritious. The human said to be healthy if the soul and physique is not
impaired or injury resulting in health declined.The research health (RISKESDAS)
the prevalence of severe mental disorders in Indonesia’s population 1,7 per
mile,and mental impaired emotional on Indonesia’s populations of 6 percent.The
disturbance of severe mental in Yogyakarta, Aceh,South Sulawesi, and Centre
java. Proportion the home which had the members of the household severe
mental disorders,3 percent and most in people who live in rural areas
(18,2%),and at the group of the populations with kuintil the ownership of the
lowest (19,5%). Behavior the violence is a state where a person who doing an act
of violence,physical or verbal instructionthat it can harm yourself or
others.Assertive training is a therapeutic modality the nurse in the form of therapy
to behaviour,clients learn to express feelings of anger is appropriate or assertive
as to be able to get in touch with other people, were able to declare : what you
want, what you likes, what are you trying to do, and the ability to make a person
feel uncomfortable talking about himself.
Objectives :In order to reduce the risk of behavioral violence after a series of
assertive verbally.
Methods : The writer used descriptive methods with a case study for 3 x 24 hours
Results : The client is able to know and can practice efforts the decrease the risk
of behavioural violence after a series of assertive verbally.
Conclusion : The client are able to build a trusting relationship to mention the
cause ,a sign of symptoms due to what happens when angry,practice the
techniques of breath in and hit the pillow. Client can also mention medicine are
consumed and if don’t drink it on a regular basis. Client also able to control
anger by expressing,asked,refused to be a good,and control the angry with
spiritual, client to routinely prayers five times, remembrance and pray.
Ju
rn
Keyword : Mental Disorder, Violence, Assertive Train.
4

1. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan point utama dalam kehidupan manusia dan untuk
mendapatkannya membutuhkan usaha yang lebih misalnya dengan olahraga
teratur, selalu menjaga keberihan diri, lingkungan, makan dan minum yang
bergizi. Manusia dikatakan sehat apabila jiwa dan fisiknya tidak mengalami
gangguan atau cidera yang mengakibatkan kesehatan menurun. Menurut undang-
udang kesehatan jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Bab 1 pasal 1 ayat 1 kesehatan jiwa
adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampiannya sendiri,
dapt mengatasi tekenan, bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk kelompoknya.

Menurut Purnama, Yani, & Titin (2016) mengatakan gangguan jiwa adalah
seseorang yang terganggu dari segi mental dan tidak bisa menggunakan
pikirannya secara normal. Skizofrenia adalah kerusakan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kognitif, aktif, bahasa, gangguan memandang terhadap realitas,
dan hubungan interpersonal, dan mempunyai perubahan perilaku seperti perilaku
agisitas dan agresif atau disebut dengan perilaku kekerasan (Erwina, 2012).

Hasil dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) prevalensi gangguan jiwa


berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil, dan gangguan mental emosional pada
penduduk Indonesia 6 persen. Gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta,
Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi rumah tangga yang
pernah memasung anggota rumah tangga gangguan jiwa berat 14,3 persen dan
terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok
penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Provinsi dengan
prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Kemenkes RI, 2013)
Jumlah kunjungan gangguan jiwa tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah
sebanyak 121.962. Sebagian besar kunjungan gangguan jiwa adalah di rumah
sakit (67,29%), sedangkan 32,71% lainnya di Puskesmas dan sarana kesehatan Ju
rn
lain (Dinkes Jateng, 2013). Berdasarkan data yang diterima dari rumah sakit
5

kelolaan pada bulan September 2016 sampai Januari 2017 pasien


yang

Ju
rn
6

terdiagnosa resiko perilaku kekrasan ada 9.984 klien, harga diri rendah 664 klien,
isolasi sosial 3016 klien, halusinasi 18.305 klien, dan defisit perawaan diri 2.385
klien. Resiko perilaku kekerasan berada pada urutan nomor dua terbanyak dari
semua kasus di rawat inap rumah sakit kelolaan (Rekam Medik, 2017)

Sebagian besar pasien dengan skizofrenia dan gangguan mental tidak dengan
kekerasan. Meskipun demikian, risiko kekerasan pada pasien dengan gangguan ini
lebih besar dari pada populasi umum. Risiko ini sangat tinggi di skizofrenia dan
gangguan mental dengan gangguan penggunaan zat adiktif, ketergantungan
alkohol, depresi, dan gangguan kepribadian, bahkan tanpa hal tersebut (Volavka,
2013). Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien skizofrenia adalah
perilaku kekerasan. Kondisi ini harus segera ditangani karena perilaku kekerasan
yang terjadi dapat membahayakan diri pasien, orang lain dan lingkungan (Saseno
& Kriswoyo, 2013).

Assertives training menurut Stuart dan Laraia dalam Suryanta & Murti W
(2015) adalah intervensi tindakan keperawatan pasien perilaku kekerasan dalam
tahap preventif. Latihan asertif bertujuan agar pasien mampu berperilaku asertif
dalam mengekspresikan kemarahannya. Assertives training adalah suatu terapi
modalitas keperawatan dalam bentuk terapi tingkah laku, klien belajar
mengungkapkan perasaan marah secara tepat atau asertif sehingga mampu
berhubungan dengan orang lain, mampu menyatakan : apa yang diinginkan, apa
yang disukai, apa yang ingin dikerjakan, dan kemampuan untuk membuat
seseorang merasa tidak risih berbicara tentang dirinya sendiri. (Suryanta & Murti
W, 2015)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain (Afnuhazi, 2015). Menurut Erwina (2012) perilaku kekerasan adalah
merupakan bentuk kekerasan dan pemaksaan secara fisik maupun verbal
ditunjukkan kepada diri sendiri maupun orang lain. Perilaku kekerasan adalah
salah satu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik Ju
rn
maupun psikologi (Keliat et al., 2011).
7

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan


adalah suatu keadaan dimana seorang yang melakukan suatu tindakan kekerasan
secara fisik maupun verbal yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang
lain. Respon perilaku yang diperlihatkan oleh klien berbeda-beda tergantung
bagaiman keadaan klien, dari respons adaptif sampai respons maladaptif. Respons
adaptif adalah respon normal klien yang masih terkontrol terhadap masalah,
sedangkan respons maladaptif adalah respon klien yang berlebihan atau tidak
normal terhadap masalah.

Gambar 1. Rentan Respons

Respons Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekrasan

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekrasan


Memp Gagal Tidak Men Perasa
u dapat geks an
pres
meng mencapai mengungk ikan marah
ungka a seca ,
pka ra
n tujuan pkan fisik, permu
marah tapi suhan
tanpa
meny kepuasan perasaan, masi yang
alahk saat h kuat,
an
orang marah dan tidak terko hilang
lain ntrol kontro

Ju
rn

Sumber : Yosep (2010)


8

Tujuan umum publikasi ilmiah adalah penulis mampu melakukan upaya


menurunkan perilaku kekerasan dengan melatih asertif secara verbal pada klien
risiko perilaku kekerasa di bangsal rumah sakit kelolaan. Sedangkan tujuan
khususnya penulis dapat melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa,
merencanakan tindakan, mengimplementasikan rencana tindakan, dan
mengevaluasi tindakan keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik mengangkat masalah risiko perilaku

Ju
rn
9

kekerasan menjadi masalah utama dalam penulisan publikasi ilmiah ini, dengan
judul “Upaya Penurunan Risiko Perilaku Kekerasan Pada Klien dengan Melatih
Asertif Secara Verbal”.

2. METODE
Merode yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah metode deskriptif
dengan study kasus. Pengambilan kasus dilakukan selama 3 x 24 jam kepada
salah satu klien di rumah sakit klolaan melalui wawancara dan observasi secara
langsung. Pelaksanaannya penulis membina hubungan saling percaya kepada
klien untuk mendapatkan informasi, setelah mendapatkan informasi yang
diperlukan kemudian penulis melakukan perencanaan tindakan yang akan
dilakukan, melakukan rencana tindakan yang telah dibuat, dan mengevaluasi
tindakan yang telah dilakukan. Proses keperawatan adalah motode
pengorganisasian yang sistematis dalam melakukan asuhan keperawatan pada
individu, kelompok, dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan
pemecahan masalah dari respons pasien terhadap penyakitnya (Tarwoto &
Wartonah, 2015).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengkajian dilakukan pada tanggal 20 Februari 2017 pukul 10`.00 WIB di
bangsal rumah sakit kelolan. Pengkajian dilakukan kepada klien berumur 48
tahun, jenis kelamin laki-laki, pekerjaan petani, beragama Islam, dan status kawin.
Penanggung jawab istri klien berumur 49 tahun, jenis kelamin perempuan,
pekerjaan petani. Alasan klien masuk rumah sakit adalah sebelumnya klien
mengamuk dan mencekik orang lain. Keluhan utama klien mengatakan jengkel
karena belum boleh pulang. Hal tersebut sesuai dengan teori (Afnuhazi, 2015)
perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
Ju
yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang rn

lain. Perilaku kekerasan adalah salah satu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
10

melukai seseorang secara fisik maupun psikologi (Keliat et al., 2011). Teori
Hermawan & Direja (2011) mengatakan tanda gejala perilaku kekerasan

Ju
rn
11

diantaranya perasaan jengkel, merasa terganggu tatapan mata tajam, menyerang


orang lain, menarik diri, dan melarikan diri. Sehingga teori tersebut sesuai dengan
data yang ditemukan dari hasil pengkajian.

Faktor predisposisi, klien mengatakan melakukan rawat jalam di rumah sakit


kurang lebih 2 tahun yang lalu dengan keluhan yang sama mengamuk.
Pengobatan sebelumnya kurang berhasil karena klien terkadang tidak meminum
obat secara rutin dan berhenti melakukan rawat jalan. Tindaakan kriminal klien
pernah melakukan pemukulan terhadap tetangganya yang menuduhnya mencuri
dan istrinya karena tidak dibelikan rokok. Keluarga klein tidak ada yang
mengalami sakit jiwa. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan klein
pernah dituduh mencuri oleh tetangganya. Faktor presipitasi yang dialami oleh
klien yang terakhir sebelum dibawa kerumah sakit adalah memukul dan mencekik
tetangganya karena dituduh mencuri. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa
faktor predisposisi adalah berbagai pengalaman yang dialami setiap orang bisa
terjadi atau tidak terjadi perilaku kekerasan, dan faktor presipitasi seseorang akan
mengeluarkan respon marah apabila dirinya terancam, ancaman tersebut dapat
berupa luka psikis terhadap dirinya (Muhith, 2015)

Data psikososial geneogram klien anak terakhir dari 5 bersaudara, dari semua
keluarganya tidak ada yang mempunyai penyakit jiwa. Konsep diri pada citra
tubuh didapatkan hasil klien mengatakan menyukai semua angota tubuhnya dan
mensyukurinya, karena semua itu pemberian dari Alah AWT. Identitas, klien
mengatakan bahwa klien adalah seorang kepala rumah tangga dan seorang bapak
dari ketiga anaknya. Harga diri, klien mengatakan bahwa seorang laki-laki lebih
tinggi derajadnya dari seorang perempuan, maka istrinya harus selalu menuruti
keinginannya. Hubungan sosial, klien mengatakan orang yang dekat dengannya
adalah ibunya, klien mengatakan jarang mengikuti kegiatan masyarakat, dan klien
mengatakan tidak suka berhubungan dengan orang lain yang belum akrab.

Status mental pada penampilan didapatkan data penampilan klien rapi,


Ju
rn
12

menggunakan baju rumah sakit, memakai celana panjang milik sendiri, dan
memakai kopyah. Pembicaraan, klien saat berbicara biasa namun berbelit-belit.
Pada data pembicaraan tidak sesuai dengan teori dari Yosep (2010) yang

Ju
rn
13

mengatakan pada data verbal klen bicara kasar, suara tinggi, membentak,
berteriak, mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, dan ketus. Aktivitas
motorik, ketika berbincang-bincang klien tidak mendengar suara perawat, klein
akan mendekatkan diri. Afek, terjadi perubahan emosi dari klien ketika diberikan
banyak pertanyaan, terkadang klien pergi menjauh dan menggerutu, hal tersebut
sesuai yang diutrakn oleh (Yusuf, Fitryasari, & Nihatati, 2014) respons marah
dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2)
menekan, dan (3) menantang. Namun pada teori Yosep (2010) data tersebut tidak
sesuai, yang dimana pada data afek klien marah, permusuhan, kecemasan yang
ekstrim, mudah terangsang, dan afek labil.

Interaksi selama wawancara, klien kooperatif namun kontak mata kurang


kepada lawan bicara. Proses pikir, klien saat diberikan pertanyaan langsung
menjawab namun berbelit-belit dan tidak menuju pada pertanyaan. Tingkat
kesadaran klien mengalami disorientasi waktu dan tempat, karena melakukan
sholat azhar pada waktu dzhuru, dan tidak megetahui dengan tepat dirumah sakit
mana klien berada sekarang. Sesuai dengan teori Yosep (2010) yang mengataka
bahwa dalam tingkat kesadaran klien bingung, status mental berubah tiba-tiba,
dan disorientasi.

Memori, pada jangka panjang klien mampu menginagat struktur keluarganya,


dan jangkan pendek klein tidak mampu mengingat nama perawat yang
mengantarnya kemari, dan berapa lama dia dirumah sakit. Tingkat konsentrasi
klein mampu melakukan perhitungan satu sampai sepuluh dengan benar. Tingkat
kemapuan saat bertani hal pertama yang dilakuakn adalah mencangkulnya. Daya
tilik diri pasien mengatakan berada dirumah sakit. Mekanisme koping adaptif,
ketika dirumah merasa jengkel atau marah klien terkadang menghindar, dan
maladaptif klein memukul orang lain ketika marah. Aspek medik diagnosa medik
F20.0, dan terapi medik yang diberikan Resperidon 2 x 2 mg, Chlorpromazine 2 x
100 mg, dan Trihexyphenidyl 3 x 2 mg.
Ju
rn
14

Analisa data yang pertama pada hasil pengkajian diatas adalah data subjektif
klien mengatakan jegkel karena tidak boleh pulang, klien pernah memukul istri
dan tetangga yang menuduhnya mencuri. Data objektif klien terjadi perubahan

Ju
rn
15

emosi ketika diberikan banyak pertanyan, terkadang menjauh, dan pasien sering
menggerutu, gelisah, dan meminta pulang. Data tersebut penulis mengangkat
diagnosa risiko perilaku kekerasan. Analisa data yang kedua, data subjektif pasien
mengatakan jarang mengikuti kegiatan masyarakat, tidak suka berbicara kepada
orang lain yang belum akrab. Data objektif, klien jarang berkomunikasi dengan
teman-teman di ruangan, dan lebih suka menyendiri dan tidur. Dari data tersebut
didapatkan diagnosa isolasi sosial : menarik diri. Data yang didapat sesuai dengan
teori Hermawan & Direja (2011) mengatak tanda gejala perilaku kekerasan
diantaranya perasaan jengkel, merasa terganggu, tatapan mata tajam, menyerang
orang lain, menarik diri, dan melarikan diri.

Berdasarkan analisa data tersebut dapat ditegakkan diagnosa keperawatan


yang pertama risiko perilaku kekerasan dan yang kedua isolasi sosial : menarik
diri. Sehubungan dengan diagnosa yang ada pada kasus tersebut penulis hanya
memprioritaskan pada diagnosa keperawaran risiko perilaku kekerasan
dikarenakan data fokus pada klien lebih cenderung pada diagnosa tersebut.
Berdasarkan pengkajian pada Tn. S dimana data subjektif klien jengkel karena
tidak dibolehkan pulang, pasien pernah memukul istri dan tetangga yang
menuduhnya mencuri, dan data objektifnya klien terjadi perubahan emosi ketika
diberikan banyak pertanyan, terkadang menjauh, dan pasien sering menggerutu,
gelisah, dan meminta pulang.

Perencanaan tindakan pada klein adalah melakukan strategi pelaksanaan (SP)


satu sampai dengan empat. Setrategi pelaksanaan pertama bina hubungan saling
percaya kepada klien, identifikasi penyebab, tanda gejala, dan akibat perilaku
kekerasan, latih cara fisik tarik nafas dalam dan pukul-pukul bantal, kemudian
masukkan ke dalam jadwal harian. Strategi pelaksanaan kedua evaluasi kegiatan
yang lalu (SP1), menjelaskan macam-macam, fungsi, waktu, dan cara meminim
obat, menjelaskan akibat tidak minum obat, latih cara meminum obat, dan
masukkan ke dalam jadwal harian. Selanjutnya setrategi pelaksanaan ketiga
evaluasi kegiatan yang lalu (SP1, SP2), latih secara verbal atau latihan asertif Ju
rn
16

mengungkapkan, meminta, dan menolak dengan baik kemudian masukkan ke


dalam jadwal harian. Dan setrategi pelaksanaan yang terakhir atau yang keempat

Ju
rn
17

(SP4) evaluasi kegiatan yang lalu (SP1, SP2, SP3), latih secara spiritual berdoa,
berdzikir, dan sholat untuk mengurangi rasa marah, kemudian masukkan kedalam
jadwal harian.

Implementasi dilakukan pada tanggal 20 Februari 2017 pukul 10.00 WIB


dengan tindakan melakukan strategi pelaksanaan yang pertama dimulai dengan
membina hubungan saling percaya dengan komunikasi terapeutik kepada klien,
selanjutnya mengidentifikasi penyebab, tanda gejala, dan akibat yang terjadi jika
marah, dan yang terakhir melatih teknik nafas dalam dan pukul-pukul bantal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Negi et al, (2017) bahwa kualitas
perawat dengan komunikasi terapeutik dapat meningkatkan tingkat kepuasan
pasien. Dari tindakan tersebut penulis mendapatkan data subjektif klien
mengatakan jengkel karena tidal boleh pulang, dan data objektif klien terlihat
gelisah, marah dan tatapan mata tajam. Evaluasi tindakan pada tanggal 20
Februari 2017 subjektif klien mampu menyebutkan penyebab marah karena
jengkel tidak boleh pulang dan dituduh mencuri oleh tetangganya, tanda gejalanya
tubuh tegang, mata melotot tajam, gelisah, dan berdebar-debar, akibat yang timbul
karena marah dapat melukai orang lain. Objektif klien mampu melakukan teknik
nafas dalam dan memukul bantal lalu mempraktikkannya, dan klien juga
kooperatif. Assesment RPK+. Plan evaluasi, mantapkan SP1, dan lakukan strategi
pelaksanaan ke dua latih klien minum obat.

Pada tanggal 21 Februari 2017 pukul 09.30 WIB tindakan yang diberikan
kepada klien evaluasi tindakan sebelumnya (SP1) dan memantapkan SP1,
kemudian melakukan strategi pelaksanaan yang kedua melatih mengontrol marah
dengan cara meminum obat dengan benar. Tindakan tersebut didapatkan data
subjektif pasien mengatakan masih jengkel, dan lupa dengan apa yang telah
diajarkan kemarin. Data objektif tatapan mata pasien masih tajam, dan masih
gelisah. Evaluasi tindakan pada tanggal 21 Februari 2017 subjektif klien
mengatak lupa cara melakuka teknik nafas dalam, dan memukul-mukul bantal.
Objektif klien kooperatif, mampu melakukan kembali teknik nafas dalam, dan Ju
rn
18

memukul-mukul bantal, klien juga mampu menyebutkan obat yang


dikonsumsinya ada tiga berwarna kuning, putih kecil dan besar. Assesment RPK+.

Ju
rn
19

Plan evaluasi kegiatan, mantapkan SP1 dan SP2, lakukan strategi pelaksanaan
ketiga latih klien melatih mengontrol marah dengan bercakap-cakap
mengungkapkan, meminta dan menolak dengan baik.

Pada tanggal yang sama pukul 11.00 WIB tindakan yang diberikan kepada
klien mengevaluasi tindakan yang sebelumnya (SP1, dan SP2), dilanjutkan
dengan strategi pelaksanaan yang ketiga melatih mengontrol marah dengan
bercakap-cakap mengungkapkan, meminta dan menolak dengan baik, didapatkan
data klien mengatakan ingin cepat pulang. Data objektif tatapan mata klien sudah
lebih rileks namun pasien masih gelisah. Evaluasi tindakan pada tanggal 21
Februari 2017 subjektif klien mengatak klein sudah melakuka teknik nafas dalam,
dan memukul-mukul bantal, kemudian teratur minum obat. Objektif klien
kooperatif, tatapan mata rileks, masih gelisah, dan mampu mempraktikkan
mengungkapkan, meminta dan menolak rasa marah. Assesment RPK -. Plan
evaluas kegiatan, mantapkan SP1, SP2 dan SP3, lakukan strategi pelaksanaan
keempat latih klien melatih mengontrol marah dengan spiritual : berdzkir, berdoa,
dan sholat.

Pada tanggal 22 Februari 2017 tindakan yang dulakukan mengevaluasi


kegiatan yang sebelumnya (SP1, SP2, dan SP3), kemudian dilanjutkan dengan
strategi pelaksanaan yang keempat dan yang terakhir melatih mengontrol marah
dengan cara spiritual : berdzikir, berdoa, dan sholat. Evaluasi tindakan pada
tanggal 23 Februari 2017 subjektif klien mengatakan sudah tidak marah lagi,
pasien mengatakan selalu sholat 5 waktu, berdoa, dan berdzikir rutin setiap hari.
Objektif tatapan mata klien normal, pasien sudah tidak gelisah, klein mampu
mempraktikkan cara berdzikir, bedoa, dan sholat secara mandiri. Assesment
RPK -. Plan evaluasi kegiatan, mantapkan SP1, SP2, SP3,dan SP4.

Pada strategi pelaksanaan keluarga tidak dapat dilaksanakan karena keluarga


klien tidak datang menjenguk kerumah sakit, dan rumah keluarga klien jauh dari
rumah sakit sehingga tidak memungkinkan untuk dilaksanaan. Pada teori Yusuf et
al (2014) mengatakan setrategi pelaksanaan keluarga bertujuan untuk keluarga Ju
rn
mampu mengenal masalah merawat, menjelaskan perilaku kekerasan, merawat
20

klien mengenal tanda-tanda gejala kekambuhan, dan memanfaatkan fasilitas


kesehatan pada klien saat berada dirumah.

4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat pada kasus tersebut, pengkajian dilakukan pada
tanggal 20 Februari 2016 jam 10.00 WIB di bangsal rumah sakit diperoleh data
pasien bernama Tn. S berumur 48 tahun, penanggung jawab klien adalah istrinya.
Alasan masuk klien mengamuk dan mencekik orang lain, keluhan utama klien
mengatakan jengkel karena tidak boleh pulang.

Prioritas diagnosa keperawatan adalah risiko perilaku kekerasan. Tindakan


keperawatan dilakukan selama 3 x 24 jam, pada tanggal 20 Februari sampai
dengan 23 Februari 2017. Tindakan dimulai dari setrategi pelaksanaan pertama
sampai dengan strategi pelaksanaan keempat. Evaluasi yang dilakukan terhadap
klien mendapatkan hasil klien mampu membina hubungan saling percaya pada
hari kedua, mampu menyebutkan penyebab, tanda gejala akibat yang terjadi
ketika marah, mampu mempraktikkan teknik nafas dalam dan memukul-mukul
bantal. Klien juga dapat menyebutkan obat apa saja yang dikonsumsin dan akibat
jika tidak meminumnya secara teratur. Klien juga mampu ngontrol marah dengan
mengungkapkan, meminta, menolak yang baik, dan mengontrol marah dengan
spiritual, klien rutin melakukan sholat 5 waktu, berdzkir, dan berdoa. Namun pada
strategi pelaksanaan keluarga tidak dapat terlaksana karena terkendala keluarga
tidak datang menjenguk, dan rumah keluarga klien jauh dari rumah sakit.

4.2 Saran
Bagi penulis, meskipun karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan teliti dan dapat memanfaatkan waktu Ju
seoptimal mungkin dalam memberikan asuhan keperawtan kepada klien. rn
21

Bagi klien, lebih ditekankan lagi dan lebih giat lagi dalam melakukan strategi
pelaksanaan yang telah diajarkan, sehingga klien dapat segera pulang kerumah.

Ju
rn
22

Bagi rumah sakit, perawat hendaklah menggunakan komunikasi terapeutik dalam


melakukan asuhan keperawatan kepada klien sehingga klien mampu membina
hubungan saling percaya dengan perawat.

PERSANT UN AN

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
segala hidayah, dan kemudahan kepada penulis sehingga Publikasi Ilmiah yang
penulis tulis dengan judul “UPAYA PENURUNAN RISIKO PERILAKU
KEKERASAN PADA KIEN DENGAN MELATIH ASERTIF SECARA

VERBA” dapat terselesaikan tanpa ada halangan suatu apa pun.

Penulis menyadari bahwa Publikasi Ilmiah ini tidak dapat terselesaikan tanpa
bantuan dan bimbingan dari pihak-pihak yang terkait. Sehingga penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepeda :

1. Prof. Drs. Bambang Setiaji selaku Rektor Universitas Muhammadiyah


Surakarta.
2. Dr. Suwaji, M. Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
3. Okti Sri P S. Kep,. M. Kes., Ns., Sp. Kep.M.B selaku ketua Program Studi
Diploma III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Arina Malia, S. Kep., Ns., M. Kes selaku sekretaris Program Studi
Diploma III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
5. Arif Widodo, A. Kep., M. Kep selaku Pembimbing Publikasi Ilmiah dan
Pembimbing Akademik.
6. Kartinah, S.Kep selaku Penguji dalam Pembuatan Publikasi Ilmiah.
Ju
7. Kepala ruang Bangsal Sena Rumah Sakit Jiwa yang telah membimbing saat rn
dirumah sakit.
23

DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, R. (2015). Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa (Marni).

Yogyakarta: Gosyem Publishing.

Ambarwati, F. R., & Nasution, N. (2012). Buku Pintar Asuhan Keperawatan


Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu.

Dinkes, Jateng. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah, 74.
Erwina, I. (2012). Aplikasi Model Adaptasi Roy pada Klien Resiko Perilaku
Kekerasan dengan Penerapan Asertiveness Training di RS Dr. H. Marzoeki

Mahdi Bogor. NURS JURNAL KEPERAWATAN, 8(1), 66.

Hermawan, A., & Direja, S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.

Yogyakarta: Nuha Mediaka.

Keliat, B. A., et.al (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHM


Basic Cours. Jakarta: EGC.

Kemenkes, RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Laporan


Ju
Nasional 2013, xi. https://doi.org/1 Desember 2013 rn
24

Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi.

Yogyakarta: Andi Offset.

Negi, S., Kaur, H., Singh, G., & Pugazhendi, S. (2017). Quality of nurse patient
therapeutic communication and overall patient satisfaction during their
hospitalization stay. International Journal of Medical Science and Public
Health, 6(4), 679. https://doi.org/10.5455/ijmsph.2017.0211522112016

Ju
rn
25

Purnama, G., Yani, D. I., & Titin, S. (2016). Gambaran Stigma Masyarakat
Terhadap Klien Gangguan Jiwa di RW 09 Desa Cileles Sumedang. Jurnal
Pendidikan Keperawatan Indonesia, 2(1), 30. Retrieved from
http://ejournal.upi.edu/index.php/JPKI

Rekam, Medik. (2017). Laporan Kegiatan Bulanan Instalasi Rawat Inap.

Surakarta.

Saseno, & Kriswoyo, P. G. (2013). Pengaruh Tindakan Restrain Fisik Dengan


Manset Terhadap Schizophrenia is a hard mental illness and influence the
way of think , mood , emotion and behavior , especially to the violent
behavior . Violent behavior is a condition when someone is doing someth.
Jurnal Keperawatan Mersi, 4(2), 2.

Suryanta, & Murti W, D. A. (2015). Pengaruh Assertive Training Terhadap


Kemampuan Mengekspresikan Marah Pasien Skizofrenia Dengan Riwayat
Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Grhasia Diy. Jurnal Kebidanan, VII(01),
2, 7.

Tarwoto, & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Volavka, J. (2013). Violence in schizophrenia and bipolar disorder. Psychiatria


Danubina, 25(1), 30. Retrieved
Ju
from http://www.embase.com/search/results? rn
subaction=viewrecord&from=export &id=L368595138\
26

nhttp://www.hdbp.org/psychiatria_danubina/pdf/dnb_vol2
5_no1/dnb_vol25_no1_24.pdf\nhttp://sfx.library.uu.nl/utrecht?sid=EMBASE
&issn=03535053&id=doi:&atitle=Violence+in+schi

Yosep, I. (2010). Keperawatan Jiwa Edisi Revisi Ke 3. Bandung: Refika Aditama.

Ju
rn
Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihatati, H. E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba Medika.

PENELITIAN
PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN
GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Token
Ekonomi adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan
pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di LKS-ODK Kemiling Bandar
Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini adalah quasy experimental dengan
rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak 20 orang, dipilih dengan purposive
sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil yang didapat adalah rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi token adalah 20,05, dan rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi token adalah 36,20. Hasil uji dependen
sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan setelah
dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi
pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan
menerapkan terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara terprogram dan terstruktur.

Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi gangguan jiwa (WHO, 2015). Gangguan
jiwa ditemukan di semua negara, terjadi
LATAR BELAKANG pada semua tahap kehidupan, termasuk
orang dewasa dan
Gangguan jiwa menurut American
Psychiatric Assosiation dalam Diagnostic
and Statistic Manual of Mental (DSM) IV-
TR (2000 dalam Townsend, 2009) adalah
sindroma perilaku yang secara klinik
bermakna atau sindroma psikologis atau
pola yang dihubungkan dengan kejadian
distres pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan secara
signifikan resiko untuk kematian, sakit,
ketidakmampuan atau hilang rasa bebas.
Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit
secara keseluruhan dan ke kemungkinan
akan berkembang menjadi 25% di tahun
2030, gangguan jiwa juga berhubungan
dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu
juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat
cenderung terjadi peningkatan gangguan jiwa.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis bisa
dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain dan lingkungan.
Ketidakmampuan yang terjadi pada klien
gangguan jiwa dikaitkan dengan disabilitas
akibat gangguan jiwa berat yang dialami.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa
gangguan jiwa mencapai 1,7% meningkat
dari tahun 2007 sebesar 0,46%. Wilayah
paling banyak dengan kasus gangguan jiwa
adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh,
Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah
(Kemenkes RI. 2014). Berdasarkan
wawancara dengan perawat ruangan pada
tanggal 7 Mei 2016, didapatkan data bahwa
jumlah pasien rawat inap ada 70 pasien
gangguan jiwa dan didapatkan 80%
mempunyai riwayat
perilaku kekerasan atau sekitar 56 pasien Variabel independen dalam penelitian ini
yang memiliki riwayat perilaku kekerasan. adalah penelitian ini adalah kemampuan
Salah satu terapi yang dapat dilakukan mengontrol perilaku terapi token. Variabel
perawat untuk mengontrol perilaku dependen dalam kekerasan. Analisis
kekerasan adalah dengan diberikan terapi univariat dilakukan untuk mengetahui
kognitif, terapi keluarga, terapi perilaku : kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
token ekonomi (Susana, 2012). Perilaku ini klien menggunakan analisis yaitu mean,
dipilih peneliti sebagai pendamping terapi median, standar deviasi. Analisa bivariat
psikofarmaka untuk meningkatkan perilaku dilakukan untuk membuktikan hipotesis
dalam mengontrol perilaku kekerasan. penelitian menggunakan uji dependen
Terapi token ekonomi dianggap efektif sample t-test.
dalam merubah tingkah laku klien, terapi ini
dengan memberikan klien imbalan atas
perilaku yang diharapkan dari klien dan HASIL
mampu dilakukannya. Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan memberi token (permen, Analisis Univariat
uang, atau makanan) bila klien sukses
mengubah perilakunya. Responden dalam penelitian ini berjumlah
Berdasarkan uraian diatas, maka perilaku 20 orang dengan karakteristik usia sebagian
kekerasan merupakan gangguan jiwa yang besar berusia 31-40 tahun (65%) dan berusia
membutuhkan perawatan intensif karena 19-30 tahun (35%). Berdasaekan jenis
dapat menciderai diri, oranglain dan kelamin sebagian besar responden berjenis
lingkungan. Salah satu terapi yang dapat kelamin laki-laki (70%). Sedangkan
digunakan adalah terapi perilaku token berdasarkan lama rawat responden sebagian
ekonomi yang dianggap efektif dalam besar dirawat dalam kurun waktu 11-25
merubah tingkah laku klien, terapi ini tahun (60%).
dengan memberikan klien imbalan atas
perilaku yang diharapkan dari klien dan Tabel 1: Distribusi Responden Berdasar-
mampu dilakukannya. kan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasan Sebelum dan Sesudah Terapi
Token

METODE Kemampuan mengontrol Pre test Post test


perilaku kekerasan f % f %
Desain yang digunakan dalam penelitian ini Tidak mampu mengontrol 13 35 6 30
adalah quasy experimentaldengan Mampu mengontrol 7 65 14 70
rancangan pretest- posttest one group Jumlah 20 100 20 100
design. Ciri dari desain penelitian ini
dengan memberikan intervensi kepada Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa
responden yang akan dilakukan terapi distribusi frekuensi kemampuan dalam
token. Sampel penelitian yang diteliti mengontrol perilaku kekerasan sebelum
adalah klien yang dirawat inap dengan dilakukan terapi 7
perilaku kekerasan dengan memperhatikan respondenmampu mengontrl dan setelah
kriteria inklusi sebanyak dilakukan terapi token kemampuan
20 orang dipilih dengan purposive mengontrol perilaku kekerasan meningkat
sampling. InstrumenVyang digunakan menjadi 14 responden mampu mengontrol
berupa lembar observasi. perilaku kekerasan.
Waktu penelitian dilakukan pada tanggal
20-30 Juli 2016. Tempat penelitian ini
dilaksanakan di LKS-ODK Ekspsikotik
Kemiling Bandar Lampung.
Tabel 2: Distribusi Rata-rata Kemampuan Berdasarkan dari jenis kelamin, didapatkan
Mengontrol Perilaku Kekerasan Sebelum bahwa distribusi frekuensi jenis kelamin
dan Sesudah Terapi Token pada pasien perilaku kekerasan lebih
banyak pada katagori laki-laki sebanyak 14
dengan persentase 70%. Hal
Kemampuan ini menunjukkan bahwa terjadinya perilaku
Min-
mengontrol Mean Median SD kekeasan lebih banyak dilakukan oleh
Maks
perilaku kekerasan klien dengan jenis kelamin laki-laki. Hal
Sebelum dilakukan
20,05 18,00 7,02 12-32 ini sejalan dengan teori Al-saffar dan Saeed
terapi token
(2007), mengatakan bahwa laki-laki lebih
Sesudah dilakukan
36,20 39,50 11,23 16-50 sering di diagnosis sebagai gangguan jiwa
terapi token
dibanding perempuan. Pada umumnya laki-
laki dan perempuan mempunyai resiko yang
Berdasarkan tabel di atas rata-rata skor sama untuk menderita gangguan jiwa berat
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan namun, derajat keparahan gangguan jiwa
sebelum dilakukan terapi token sebesar berat lebih besar pada laki-laki. Jenis
20,05 dengan standar deviasi sebesar 7,02. kelamin mempengaruhi kemampuan
Skor terendah 12 dan teringgi 32. mengontrol diri, dikatakan pria lebih
Sedangkan sesudah dilakukan terapi token temperamental dari pada wanita yang
menjadi sebesar 36,20 dengan standar dikatakan lebih sabar dalam mengontrol
deviasi sebesar 11,23. Skor terendah 16 dan perilakunya.
tertinggi 50. Berdasarkan lama dirawat, Berdasarkan
hasil penelitian di dapat bahwa distribusi
frekuensi lama di rawat pada pasien
PEMBAHASAN perilaku kekerasan diketahui lebih banyak
pada 11-25 tahun sebesar (60%). Menurut
Jika dilihat dari segi usia, berdasarkan hasil teori Noviadi (2008) yang dikutip oleh
penelitian, distribusi frekuensi umur pasien Aristina Haalwa (2014) yang menyatakan
perilaku kekerasan lebih banyak pada bahwa semakin lama pasien dirawat
kategori usia 31-40 tahun sebanyak 13 makasemakin banyak pasien tersebut
orang dengan persentase 65% dan usia 19- mendapatkan terapi pengobatan dan
30 tahun sebanyak 7 orang dengan perawatan. Sehingga dapat disimpulkan
persentase (35,0%).Data ini menunjukkan bahwa pasien yang sudah lama dirawat
klien yang mengalami perilaku kekerasan maka kemampuan dalam mengontrol
lebih banyak pada klien usia produktif. Hal perilaku kekerasan dirinya maka semakin
inisejalan dengan konsep Niven (2002) baik.
bahwa seseorang yang memiliki usia muda Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui
lebih patuh daripada usia tua. Hal ini bahwa rata-rata skore kemampuan
memungkinkan karena usia muda memiliki mengontrol perilaku kekerasan sebelum
kapasitas dan fungsi memori yang lebih dilakukan TAK dan terapi token sebesar
baik untuk menerima informasi tentang 20,05 dan rata-rata skore kemampuan
pengobatan. Struat dan Laraia (2009) mengontrol perilaku kekerasan setelah
menyatakan usia berhubungan dengan dilakukan TAK dan terapi token sebesar
pengalaman seseorang dalam menghadapi 36,20. Dari hasil uji paired sample t-test di
berbagai macam stresor, kemampuan peroleh p value 0,00<0,05, artinya Ho
memanfaatkan sumber dukungan dan ditolak dan Ha diterima, ada pengaruh
keterampilan dalam mekanisme koping. terapi token ekonomi terhadap kemampuan
Dapat disimpulkan bahwa usia berhubungan mengontrol perilaku kekerasan pada pasien
dengan individu dan kemampuan rawat inap di LKS-ODK Ekspsikotik
mengambil keputusan dalam menyelesaikan Kemiling Bandar Lampung Tahun 2016.
setiap masalah yang datang.
Menurut Parendrawati (2009) bahwa menarik nafas dalam dan pukul bantal.
metode pemberian reward atau Secara verbal, bagaimana cara meminta
reinforcementpositif memiliki pengaruh dengan baik, menolak dengan baik,
berarti terhadap peningkatan perilaku. menerima dengan baik, dan permintaan
Menurut Stuart & Laraia, (2009) untuk maaf. Secara spiritual, sholat dan berdoa
meningkatkan pengetahuan dan perilaku tanpa harus menyalahkan Tuhan dengan
seseorang dapat dilakukan dengan keadaan yang seperti ini. Dan patuh minum
memberikan dasar pengetahuan yang kuat obat, apa manfaat patuh minum obat bagi
dan pemberian reinforcement positif atau klien, cara minum obat dengan prinsip 5
pemberian reward. Strategi lain untuk benar. Informasi yang sudah diberikan ini
mengubah perilaku secara efektif adalah untuk merubah perilaku klien selain
dengan token ekonomi. Hasil penelitian pemberian informasi terapi perilaku token
yang didapat juga didukung oleh teori Nasir juga diperkuat dengan pemberian reward
dan Muhith (2011) salah satu terapi perilaku yang berupa hadiah, yang didapatkan ketika
untuk merubah perilaku adalah dengan responden mampu menunjukan kemampuan
pemberian token ekonomi yaitu mengontrol perilaku kekerasan. Pemberian
reinforcement positif yang sering digunakan token (hadiah) ini dilakukan segera setelah
pada klien psikiatri. Terapi perilaku token klien mampu mengontrol perilaku
ekonomi merupakan suatu wujud modifikasi kekerasan dan memiliki nilai tertinggi,
perilaku yang dirancang untuk dengan hadiah yang telah disediakan
meningkatkan perilaku yang diinginkan dan peneliti, hal ini menyebabkan klien merasa
pengurangan perilaku yang tidak dihargai atas perilaku yang mereka lakukan
diinginkan. sehingga klien akan mengulangi perilaku
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang tersebut sehingga terjadi perubahan perilaku
dilakukan oleh Suardika (2012), dengan yaitu klien menjadi mampu dalam
judul penelitian “Pengaruh Terapi Token mengontrol perilaku kekerasannya.
Ekonomi terhadap Kemampuan Mengontrol Hasil penelitian ini menunjukkan setelah
Perilaku Kekerasan Pada Klien Gangguan dilakukan terapi perilaku token ekonomi,
Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi kepatuhan minum obat pada klien
Bali”.Hasil penelitian ini membuktikan ada skizofrenia mengalami peningkatan.
perbedaan kemampuan klien mengontrol Terjadinya perubahan perilaku menjadi
perilaku kekerasan pre test dengan post test patuh minum obat setelah diberikan terapi
pada kelompok perlakuan sebelum dan perilaku token ekonomi karena pada saat
sesudah mendapatkan terapi token (p value pelaksanaan terapi perilaku token ekonomi
<0,05). ini klien diarahkan dan diajarkan terlebih
Terapi token ekonomi dianggap efektif dahulu perilaku yang akan dirubah, dan
dalam merubah tingkah laku klien, terapi ini klien akan diberikan reward (reinforcement
dengan memberikan klien imbalan atas positif) berbentuk tanda bintang dan
perilaku yang diharapkan dari klien dan tandabintang ini akan ditukarkan dengan
mampu dilakukannya. Kegiatan ini dapat hadiah yang sudah disediakan oleh peneliti
dilakukan dengan memberi token (permen, jika klien mampu merubah perilakunya.
uang, atau makanan) bila klien sukses Reinforcement positif yang berbentuk tanda
mengubah perilakunya. bintang ini merupakan salah satu bentuk
Adanya pengaruh terapi perilaku token motivsai ekstrinsik yang dapat merubah
ekonomi terhadap kemampuan mengontrol perilaku klien, dan diharapkan perilaku yang
perilaku kekerasan disebabkan karena pada muncul akan cukup mengajarkan untuk
saat pelaksanaan terapi perilaku token memelihara tingkah laku yang baru.
sebanyak 4 sesi, dimana disetiap sesi ini Motivasi ekstrinsik pada penelitian ini
klien mendapatkan berbagai informasi adalah mendapatkan reward dari nilai
mengenai kemampuan mengontrol perilaku tertinggi, tetapi karena mereka
kekerasan secara fisik, diantaranya klien
diajarkan cara
melaksanakan dan mereka mendapatkan manfaat yang baik dari perubahan itu, ditambah lagi
mendapat respon atau pujian yang baik dari teman dan pasien, maka motivasi itu
berkembang menjadi motivasi instrinsik karena responden mendapatkan langsung hadiahnya
yaitu menjadi orang yang lebih baik dan direspon baik dari orang sekelilingnya. Perolehan
tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengajarkan
untuk memelihara tingkah laku yang baru yang diyakini dan dilakukannya.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku


kekerasan pada pasien rawat inap sebelum dilakukan terapi token sebesar 20,05 dan setelah
dilakukan terapi token menjadi sebesar 36,02, hal ini berarti terjadi peningkatan.
Berdasarkan hasil analisis statistik, maka disimpulkan bawha ada perbedaan kemampuan
mengontrol kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi token (p value = 0,00 < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh terapi token terhadap
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.
Berdasarkan kesimpulan penulis menyarankan agar pusat layanan pasien ekspsikotik
mampu meningkatkan mutu pelayanan dengan menerapkan terapi- terapi aktivitas kelompok
dan psikoterapi kepada pasien gangguan jiwa secara terprogram dan terstruktur.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-
ODK Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
TANDA GEJALA DAN KEMAMPUAN MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN
DENGAN TERAPI MUSIK DAN RATIONAL EMOTIVE COGNITIF BEHAVIOR THERAPY
(Sign and Symptom and Ability to Control Violent Behaviour with Music Therapy and Rational
Emotive Cognitive Behaviour Therapy)

Heri Setiawan*, Budi Anna Keliat** Ice


, Yulia Wardani
**

*Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan Kekhusussan Keperawatan Jiwa Kampus FIK UI, Jl.
Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
**Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Email: herirsjs09@yahoo.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Angka perilaku kekerasan cukup tinggi pada klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa.
Dampak perilaku kekerasan dapat berakibat mencederai orang lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi
musik dan rational emotive cognitive behaviour therapy (RECBT) terhadap perubahan tanda gejala dan kemampuan klien
mengontrol perilaku kekerasan. Metode: Desain penelitian quasi eksperimental, jumlah sampel 64 responden dengan
purposive sampling. Hasil: penelitian menunjukkan penurunan tanda gejala perilaku kekerasan dan peningkatan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan lebih besar pada kelompok yang mendapatkan terapi daripada yang tidak
mendapatkan. Diskusi: Terapi Musik dan RECBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku
kekerasan.

Kata kunci: kemampuan, perilaku kekerasan, tanda gejala, terapi musik, RECBT

ABSTRACT
Introduction: Prevalence of violence is highly occur in mental disorders clients at psychiatric hospitals. The impact is
injure to others. This research aims to examine the effectiveness of music therapy and RECBT to sign and symptom and
ability to control violent behaviour. Methods: Quasi-experimental research design with a sample of 64 respondents.
Results: The study found a decrease symptoms of violent behaviour, ability to control violent behavior include relaxation,
change negative thingking, irational belief, and negative behavior have increased significantly than the clients that did not
receiving therapy. Discussions: Music therapy and RECBT is recommended as a therapeutic nursing at the client’s violent
behaviour.

Keywords: violent, sign and simptom, ability, music therapy, RECBT

PENDAHULUAN prevalensi gangguan jiwa berat nasional


Data yang didapatkan dari WHO (2015) sebesar 1,7 per mill, sedangkan gangguan jiwa
menunjukkan jumlah orang yang mengalami berat di provinsi jawa tengah yaitu 2,3 per mill.
Skizofrenia di seluruh dunia adalah 7 dari Jumlah rasio penderita Skizofrenia dengan
1000 penduduk di dunia yaitu sebesar 21 jumlah penduduk di Indonesia masih di bawah
juta orang, tiga dari empat kasus gejala yang jumlah rasio penderita skizofrenia di dunia,
muncul terjadi pada usia 15 dan 34 tahun akan tetapi masih tergolong cukup tinggi.
(Stuart, 2013). Data RISKESDAS tahun 2007 Sebagian kasus skizofrenia terjadi antara
20–25 tahun, di mana tahap kehidupan.
menunjukkan prevalensi nasional gangguan
Se se or a ng me nca pai ke m a ndi r ian,
jiwa berat yaitu skizofrenia sebesar 0,46%,
mengembang kan hubu ngan dengan
atau sekitar 1,1 juta orang atau 5,2% dari
pasangan, mulai mengejar karir atau tujuan
jumlah penderita skizofrenia di seluruh dunia.
hidup akan berdampak pada keberhasilan
Prevalensi skizofrenia di Provinsi Jawa Tengah
sosial dan pekerjaan sehingga dapat
yaitu 0,33% penduduk, masih di bawah
menghancurkan kehid upan ( Elaine,
prevalensi skizofrenia di Indonesia. Data riset
kesehatan dasar (2013) dengan responden yang et al, 2005). Prevalensi Skizofrenia cukup
diteliti adalah 1.027.763 ART menunjukkan tinggi dan terjadi pada usia produktif.
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:

Penelitian yang telah dilakukan menimbulkan penilaian bahwa gangguan jiwa


menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara identik dengan perilaku kekerasan. Orang
penderita skizofrenia dengan perilaku lain menganggap bahwa klien gangguan
kekerasan, meskipun tidak semua skizofrenia jiwa berbahaya sehingga tidak mau untuk
melakukan perilaku kekerasan. Sistematik mendekati klien gangguan jiwa yang pernah
review untuk melihat adanya risiko perilaku melakukan tindakan perilaku kekerasan.
kekerasan pada penyakit psikotik yaitu Upaya yang dilak u kan unt u k
terdapat 20 studi termasuk 18.423 individu menurunkan tanda gejala dan peningkatan
dengan gangguan skizofrenia menunjukkan kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
peningkatan risiko perilaku kekerasan, adalah dengan terapi musik dan RECBT.
perilaku kekerasan yang dilakukan oleh klien Kombinasi terapi musik dan RECBT akan
dengan skizofrenia adalah 13,2% dibandingkan memberikan dampak yang lebih luas pada
dengan populasi pada umumnya yaitu sebesar tanda gejala yang dialami oleh klien perilaku
5,3% (Fazel, et al., 2009). Prevalensi perilaku kekerasan. Terapi musik memberikan
kekerasan yang dilakukan oleh orang dengan kenyamanan pada klien dan mengalami
skizofrenia adalah 19,1% (Swanson, 2006). proses relaksasi. Terapi musik juga dapat
Penelitian lain menunjukkan bahwa Data menurunkan stimulus yang mengakibatkan
klien perilaku kekerasan pada berbagai seting, tanda gejala perilaku kekerasan masih muncul
menunjukkan adanya perbedaan dari tiap (Chlan, 2011). Terapi musik dan RECBT
negara. Australia 36,85%, Kanada 32,61%, memberikan efek yang saling mendukung
Jerman 16,06%, Italia 20,28%, Belanda untuk menurunkan tanda gejala kognitif,
24,99%, Norwegia 22,37%, Kanada 32,61%, afektif, fisiologis dan perilaku. Dampak pada
Swedia 42,90%, Amerika Serikat 31,92% dan tanda gejala sosial adalah dampak sekunder
Inggris 41,73%. Studi dilakukan di berbagai dari pemberian terapi musik dan RECBT,
setting mulai dari unit akut, unit forensik dan apabila klien mempunyai kemampuan
pada bangsal dengan tipe yang berbeda beda. menurunkan tanda gejala dengan relaksasi,
Penelitian dilakukan dengan jumlah total mengubah pikiran negatif, keyakinan irasional
69.249 klien dengan rata-rata sampel 581,9 dan perilaku negatif, maka akan berdampak
klien (Bowers, et al., 2011). Angka tersebut pada kemampuan dalam hal sosialisasi dengan
tergolong cukup tinggi di berbagai negara di orang lain dengan menunjukkan perilaku yang
dunia. positif.
Perilaku kekerasan dilakukan karena Penelitian dilakukan di RSJ Prof Dr
ketidakmampuan dalam melakukan koping Soerojo Magelang. Rumah sakit ini merupakan
terhadap stres, ketidakpahaman terhadap situasi rumah sakit vertikal tipe A kementerian
sosial, tidak mampu untuk mengidentifikasi kesehatan yang khusus merawat klien dengan
stimulus yang dihadapi, dan tidak mampu gangguan jiwa dan NAPZA sebagai salah
mengontrol dorongan untuk melakukan satu pusat rujukan klien gangguan jiwa di
perilaku kekerasan (Volavka & Citrome, Indonesia. Kapasitas tempat tidur yang
2011). Dampak dari perilaku kekerasan yang tersedia adalah 720 dan 680 tempat tidur
muncul pada skizofrenia dapat mencederai diantaranya untuk klien dengan gangguan
atau bahkan menimbulkan kematian, pada jiwa. Jumlah klien yang dirawat di RSJ Prof
akhirnya dapat memengaruhi stigma pada Dr Soerojo Magelang bulan September 2104
klien skizofrenia (Volavka, 2012). Stigma yang yaitu 249 klien, bulan Oktober yaitu 231 klien,
berkembang di masyarakat dan penolakan bulan November 2014 yaitu 224 klien dan
terhadap orang dengan skizofrenia dan bulan Desember 2014 yaitu 306 klien, dengan
gangguan mental lainnya menjadi penghalang rata-rata BOR 40,5%. Nilai BOR menurun
dalam proses pemulihan, integrasi di dalam dikarenakan kebijakan lama rawat yang lebih
masyarakat, dan peningkatan kualitas hidup singkat yaitu 35 hari. Studi pendahuluan yang
klien gangguan jiwa (Ahmed, et al.,2014). dilakukan pada 51 dokumen menunjukkan
Stigma yang berkembang di masyarakat klien skizofrenia sebanyak 80,34% dengan

234
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri

diagnosa keperawatan perilaku kekerasan Pengukuran perilaku kekerasan


sebanyak 46,34% (19 klien). Selama bulan menggunakan kuesioner B dan lembar
Januari, rata-rata klien masuk dengan perilaku observasi. Kuesioner B untuk mengukur
kekerasan 2-3 klien di bangsal putra dan 1–2 perubahan gejala perilaku kekerasan pada
klien di bangsal putri. Angka tersebut cukup klien yang meliputi kognitif, emosi, perilaku,
tinggi. Upaya yang dilakukan di RSJ Prof Dr fisiologis dan sosial. Pengukuran perilaku
Soerojo Magelang adalah pemberian terapi kekerasan menggunakan instrument yang
generalis, REBT dan assertiveness training dapat mengukur perubahan perilaku pada
dan hasilnya belum optimal. klien (responden) yang meliputi kognitif,
Berdasarkan latar belakang di atas maka afektif (emosi), perilaku, fisiologis dan sosial.
peneliti tertarik untuk meneliti tentang Instrumen yang digunakan untuk mengukur
pengaruh efektivitas terapi musik dan RECBT perubahan tanda gejala perilaku kekerasan
terhadap tanda gejala dan kemampuan yaitu Kuesioner B yang terdiri dari respons
mengontrol perilaku kekerasan. kognitif, emosi, sosial dan perilakunya.
Instrumen yang digunakan adalah Kuesioner
BAHAN DAN METODE Pengungkapan Kemarahan yang digunakan
terdiri atas 8 pernyataan untuk respons
Desain penelitian yang digunakan pada kognitif, 12 pernyataan untuk respons emosi, 7
penelitian ini adalah quasi experiment with pernyataan untuk respons sosial, 6 pernyataan
control group dengan perbandingan satu untuk respons perilaku klien terhadap situasi
kelompok intevensi dan satu kelompok kontrol. yang dihadapinya, dan 6 pernyataan untuk
Dua kelompok intervensi yang mendapat respons fisiologis.
Terapi Musik dan RECBT tersebut antara lain: Instrumen ini menggunakan skala
kelompok yang diberikan terapi kombinasi Likert yaitu 4: Selalu; 3: Sering; 2: Jarang; 1:
terapi musik dan RECBT, dan kelompok Tidak Pernah. Instrumen ini akan diisi oleh
kontrol yang tidak mendapat terapi musik responden langsung dan bila ada yang tidak
dan RECBT. Metode pengambilan sampel dimengerti maka peneliti akan menjelaskannya
dengan teknik purposive sampling. Penelitian (Putri, Keliat, Nasution & Susanti, 2010). Uji
dilakukan untuk membandingkan perbedaan validitas 26 item pernyataan valid yaitu r hasil
penurunan tanda dan gejala perilaku kekerasan > r table (0,413). Uji reliabilitas: instrumen
serta kemampuan mengontrol perilaku dinyatakan reliabel jika koefisien Alpha
kekerasan (relaksasi, mengubah pikiran Cronbach lebih besar dari nilai standar 0,6
negatif, keyakinan irasional, dan perilaku (Alpha = 0,6). Hasil uji ditemukan nilai r Alpha
negatif) pada kelompok intervensi yang (0,765) lebih besar dibandingkan dengan nilai
mendapat terapi musik dan RECBT dengan 0,6 maka 26 pernyataan dinyatakan reliable.
kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan kemudian
Pengukuran terdiri dari Data demografi dikembangkan menjadi 36 item pertanyaan,
responden merupakan kuesioner untuk item kuesioner tambahan pada respons
mendapatkan gambaran faktor-faktor yang kognitif 2 item, respons emosi/ afektif 5 item,
memengaruhi perilaku kekerasan pada klien respons sosial 2 item, dan respons perilaku 1
yang terdiri dari usia, pendidikan, jenis item, dan aspek (Fontaine, 2009; Stuart, 2013).
kelamin, pekerjaan, status perkawinan, Tambahan item pada instrumen penelitian
riwayat gangguan jiwa, frekuensi dirawat, akan lebih memberikan gambaran tanda gejala
terapi medik, anggota keluarga dengan yang muncul pada klien perilaku kekerasan.
gangguan jiwa, pengobatan sebelumnya dan Pelaksanaan terapi musik dan RECBT adalah
putus obat < 6 bulan. Pengambilan data ini sebagai berikut pertemuan pertama: terapi
menggunakan lembar kuesioner A yang terdiri musik, identifikasi kejadian dan respons
dari 11 pertanyaan dengan cara mengisi pada terhadap kejadian: perasaan yang muncul,
pilihan jawaban yang tersedia terkait dengan mengukur perasaan dg menggunakan
karakteristik responden. termometer perasaan, mengidentifikasi

235
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:

pikiran dan perilaku negatif. Latihan melawan Karakteristik klien berdasarkan riwayat putus
keyakinan irasional terhadap kejadian yang obat menunjukkan sebagian besar
pertama. Pertemuan kedua: Terapi musik, mengalami putus obat yaitu sebanyak 48 orang
diskusi dan latihan melawan keyakinan (75%). Berdasarkan usia rata-rata klien berusia
irasional terhadap kejadian yang kedua. 32,26 tahun, Analisis mengenai frekuensi
Pertemuan ketiga: Terapi musik, diskusi dan dirawat klien dengan perilaku kekerasan rata-
latihan melawan pikiran negatif yang pertama. rata klien dirawat sebanyak 3,21 kali, rata-
Pertemuan keempat: Terapi Musik, diskusi dan rata klien mengalami gangguan jiwa selama
latihan melawan pikiran negatif yang kedua. 2,53 tahun.
Pertemuan kelima: terapi musik, diskusi dan Perubahan tanda gejala perilaku kekerasan
mengubah perilaku negatif yang pertama. pada kelompok intervensi yang mendapat
Pertemuan keenam: terapi musik, diskusi dan Terapi Musik dan RECBT yang mendapat
mengubah perilaku negatif yang kedua. terapi musik dan RECBT dengan kelompok
Analisis data menggunakan komputer, analisis kontrol yang tidak mendapat terapi musik dan
univariat digunakan untuk menganalisis RECBT dapat dilihat dari tabel 1.
variabel-variabel yang ada secara deskriptif Hasil penelitian menunjukkan bahwa total
dengan menghitung distribusi frekuensinya rata-rata komposit tanda gejala perilaku
untuk data kategori dan tendensi sentral untuk kekerasan pada kelompok intervensi yang
data numerik. Analisis bivariat adalah analisis mendapat Terapi Musik dan RECBT sebelum
untuk menguji hubungan antara dua variabel. dilakukan terapi Musik dan RECBT adalah
Uji yang digunakan adalah chi square untuk 100,84 (67,32%) dan setelah dilakukan sebesar
analisis kesetaraan pada data kategori dan 46,06 (30,71%) sehingga diketahui selisih
data kategori, independent t test pada data komposit tanda gejala perilaku kekerasan
numerik dan data numerik, independent t test sebesar 54,78 (36,52%). Hasil uji statistik
pada uji hipotesis skala numerik dan korelasi menunjukkan ada perubahan yang bermakna
pearson untuk mengetahui hubungan antara tanda gejala kognitif sebelum dan sesudah
skala numerik. diberikan Terapi Musik dan RECBT (p value
< 0,05). Sedangkan pada kelompok kontrol
HASIL diketahui bahwa total rata-rata komposit
tanda gejala klien perilaku kekerasan pada
Karakteristik klien dengan perilaku kelompok kontrol sebelum dilakukan terapi
kekerasan dalam penelitian ini lebih musik dan RECBT pada kelompok intervensi
banyak laki-laki 49 orang (76,6%). Pada yang mendapat terapi musik dan RECBT
jenjang pendidikan, sebagian besar jenjang adalah 98,72 (65,81%) dan setelah dilakukan
pendidikannya adalah SMA 38 orang (59,4%). sebesar 70,75 (47,17%) sehingga diketahui
Pada status pekerjaan, sebagian besar tidak selisih komposit tanda gejala sebesar 27,97
bekerja 44 orang (68,8%). Pada status (18,14%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
pernikahan klien menunjukkan sebagian perubahan yang bermakna komposit tanda
besar sudah menikah 30 orang (46,9%). Pada gejala pada kelompok kontrol sebelum dan
pemberian terapi medis yang diberikan saat sesudah kelompok intervensi yang mendapat
ini, sebagian besar adalah golongan typikal 25 terapi musik dan RECBT diberikan terapi
orang (39,1%). musik dan RECBT (p value < 0,05).
Berdasarkan riwayat anggota keluarga yang Perubahan kemampuan mengontrol perilaku
mengalami gangguan jiwa sebagian besar 56 kekerasan pada kelompok intervensi dan
(87,5%) orang tidak ada riwayat anggota kelompok kontrol yang mendapat terapi
keluarga yang mengalami gangguan jiwa 56 musik dan RECBT2, didapatkan data bahwa
orang (87,5%). Karakteristik berdasarkan total rata-rata komposit kemampuan
keberhasilan pengobatan sebelumnya sebagian mengontrol perilaku kekerasan sebelum
besar tidak berhasil yaitu sebesar 41 orang dilakukan terapi musik dan RECBT adalah
(64,1%). 53,20 (28,91%) dan setelah dilakukan sebesar

236
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri

139,94 (73,33%) sehingga diketahui selisih hanya pemberian terapi musik atau RECBT.
komposit kemampuan mengontrol perilaku Terdapat perbedaan dalam tindakan pada
kekerasan sebesar 86,84 (44,42%). Hasil uji penelitian pemberian terapi musik yang
statistik menunjukkan ada perubahan yang dilakukan di RSJD Soerakarta di mana terapi
bermakna komposit kemampuan mengontrol musik yang dilakukan terdiri dari 4 sesi,
perilaku kekerasan sebelum dan sesudah perubahan tanda gejala yang diukur yaitu
diberikan terapi musik dan RECBT (p value kognitif, perilaku, sosial dan fisik, penelitian
< 0,05). Total rata-rata komposit kemampuan dilakukan di ruang akut sampai dengan
mengontrol perilaku kekerasan pada kelompok maintenance (Sulistyowati, Keliat, Hastono,
kontrol sebelum dilakukan terapi musik dan 2009). Pada penelitian tersebut belum ada suatu
RECBT pada kelompok intervensi yang proses untuk melatih klien mengubah pikiran
mendapat terapi musik dan RECBT adalah negatif, dan keyakinan irasional pada klien
52,33 (34,89%) dan setelah dilakukan sebesar yang terjadi pada klien. Sedangkan penelitian
80,06 (53.37%) sehingga diketahui selisih yang dilakukan mengenai efektivitas CBT
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dan REBT di RSJ Marzoeki Mahdi Bogor,
sebesar 27,78 (18,48%). Hasil uji statistik diberikan latihan untuk mengubah pikiran
menunjukkan ada perubahan yang bermakna negatif, keyakinan irasional dan perilaku
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan negatif, penelitian dilakukan di ruangan
pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah maintenance (Lelono, Keliat, & Besral, 2011).
diberikan Terapi Musik dan RECBT pada Pada penelitian tersebut tidak diberikan
kelompok intervensi yang mendapat Terapi terapi musik yang dapat memberikan manfaat
Musik dan RECBT (p value < 0,05). terutama pada tanda gejala fisiologis klien
Hubu ngan ant a ra kemam pua n perilaku kekerasan.
mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda Pada penelitian ini pemberian terapi
gejala perilaku kekerasan di RSJ Prof Dr musik dilakukan terlebih dahulu kemudian
Soerojo Magelang tahun 2015 menunjukkan dilanjutkan dengan RECBT. Kombinasi
bahwa ada hubungan yang kuat antara terapi musik dan RECBT akan memberikan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan dampak yang lebih luas pada tanda gejala yang
dengan tanda gejala perilaku (p value < 0,05) dialami oleh klien perilaku kekerasan. Terapi
semakin tinggi kemampuan maka tanda gejala musik memberikan kenyamanan pada klien
perilaku kekerasan semakin menurun tanda ketika dilakukan RECBT, klien mengalami
gejala perilaku kekerasan (r= –0,908). proses relaksasi selama pemberian RECBT.
Terapi musik juga dapat menurunkan stimulus
PEMBAHASAN yang mengakibatkan tanda gejala perilaku
kekerasan masih muncul (Dunn, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan untuk Terapi musik yang dikombinasikan dengan
mengetahui efektivitas terapi musik psikoterapi efektif untuk meningkatkan hasil
berpengaruh terhadap tanda gejala perilaku dari psikoterapi yang dilakukan.
kekerasan, terjadi penurunan tanda gejala Terapi musik dan RECBT memberikan efek
kognitif 34,15%, perilaku 13,5%, sosial yang saling mendukung untuk menurunkan
13,5%, fisiologis 25,8% (Sulistyowati, Keliat, tanda gejala kognitif, afektif, fisiologis dan
Hastono, 2009). Sedangkan hasil penelitian perilaku. Dampak pada tanda gejala sosial
yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas adalah dampak sekunder dari pemberian terapi
RECBT terhadap tanda gejala perilaku musik dan RECBT, apabila klien mempunyai
kekerasan, terjadi penurunan tanda gejala kemampuan menurunkan tanda gejala dengan
tanda gejala kognitif: 30,00% emosi 28,12%, relaksasi, mengubah pikiran negatif, keyakinan
perilaku 28,33%, sosial 34,28%, fisiologis. irasional dan perilaku negatif, maka akan
30,00% (Lelono, Keliat, & Besral, 2011). Hasil berdampak pula pada kemampuan dalam
penelitian menunjukkan pengaruh terapi musik hal sosialisasi dengan orang lain dengan
dan RECBT lebih besar dibandingkan dengan menunjukkan perilaku yang positif.

237
Jurnal Ners Vol. 10 No. 2 Oktober 2015:

Terapi Musik pada akhirnya akan Latihan adalah penyempurnaan potensi


berdampak pada kondisi relaksasi pada klien, tenaga-tenaga yang ada dengan mengulang-
sedangkan RECBT berdampak pada kognitif, ulang aktivitas tertentu. Latihan merupakan
emosi, dan perilaku klien. Terapi musik adalah kegiatan yang nantinya diharapkan menjadi
metode terapeutik dengan menggunakan musik suatu pembiasaan atau pembudayaan
yang membantu seseorang dengan gangguan (Notoatmojo, 2003). Pembudayaan akan
jiwa berat untuk membangun suatu hubungan. membuat klien menjadi mandiri ketika
Aspek dari skizofrenia yang berkaitan dengan menghadapi kejadian atau peristiwa yang tidak
kehilangan untuk mengembalikan kreativitas, menyenangkan termasuk kejadian yang dapat
ekspresi emosi, hubungan sosial dan motivasi mencetuskan perilaku kekerasan. Buku kerja
mungkin menjadi penting ketika dihubungkan yang diberikan kepada klien dapat berguna
dengan terapi musik. (Gold, 2009 dalam untuk mengevaluasi kemampuan klien dalam
Mossler, 2013). Sedangkan RECBT secara mengatasi masalahnya.
signifikan dapat mengurangi kemarahan, Pada kemampuan relaksasi, klien mampu
perasaan bersalah dan harga diri yang rendah. relaks ketika mendengarkan musik yang
Aaron T. Beck pada tahun 1960an juga sudah disiapkan oleh peneliti dan mampu
menemukan bahwa kognisi klien memiliki menceritakan mengenai apa yang dirasakan
dampak yang luar biasa terhadap perasaan setelah mendengarkan musik, dampak pada
dan perilakunya. Beck menyatakan bahwa fisiologis, kognitif, emosi, perilaku dan sosial.
kesulitan emosional dan perilaku yang dialami Musik berpengaruh pada impuls yang berada
seseorang dalam hidupnya disebabkan oleh di otak dan dapat meningkatkan status relaks
cara mereka menginterpretasikan berbagai pada klien (Chlan, 2011). Diketahui bahwa
peristiwa yang dialami. Sehingga terapi aktifitas mental dan emosi dipengaruhi
musik dan RECBT berdampak pada relaksasi, oleh sistem syaraf autonom, sistem syaraf
mengubah keyakinan irasional, pikiran negatif autonom berdampak pada kardiovaskuler,
dan perilaku negatif pada klien perilaku neuroendokrin dan sistem imun. Imunosupresi
kekerasan. memengaruhi emosi yang negatif seperti
Hasil penelitian menunjuk kan kemarahan.
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan Musik dapat memengaruhi mood dan
pada kelompok intervensi yang mendapat status emosional seseorang, di mana akan
terapi musik dan RECBT sebesar 74,15% terjadi perubahan pada sistem imun dan
sedangkan pengaruh tindakan keperawatan hormonal. Pada kondisi relaks terjadi
sesuai dengan SAK Rumah Sakit dalam penurunan tekanan darah, nadi, dan ketegangan
meningkatkan kemampuan mengontrol otot. Tanda tanda kenaikan tekanan darah,
perilaku kekerasan pada kelompok kontrol nadi, dan ketegangan otot merupakan tanda
sebesar 10,32%. Kemampuan klien dalam gejala fisiologis pada klien perilaku kekerasan
mengontrol perilaku kekerasan pada (Chanda & Levitin, 2013). Kondisi relaks dapat
kelompok yang diberikan terapi musik dan meningkatkan kenyamanan pada seseorang.
RECBT lebih tinggi dibandingkan dengan Pada kemampuan mengubah keyakinan
kelompok kontrol. Kemampuan klien dalam irasional, klien mencatat kejadian yang tidak
relaksasi dilakukan selama sesi berlangsung menyenangkan dan perasaan yang muncul
sedangkan kemampuan mengubah pikiran dari kejadian tersebut, keyakinan yang
negatif, keyakinan irasional, dan perilaku tidak rasional akan membawa individu pada
negatif selama proses pelaksanaan terapi selalu emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat
dimotivasi untuk melakukan latihan secara seperti perilaku amuk (agresif) dan rasa
mandiri yang menjadi tugas rumah (home bersalah (Jensen, 2010). Dari hasil penelitian
work) yang dievaluasi secara terus menerus menunjukkan kemampuan yang dimiliki oleh
dengan menggunakan jadwal kegiatan harian klien dalam mengubah keyakinan irasional
dan buku kerja. Latihan merupakan hal yang dapat menurunkan tingkat perasaan klien.
sangat penting dalam proses pembelajaran. Pada kemampuan mengubah keyakinan

238
Tanda Gejala dan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan (Heri

irasional diawali dengan menuliskan peristiwa sesuai dengan pikiran negatif yang muncul
yang tidak menyenangkan dan perasaan yang atau perasaan negatif yang muncul, sehingga
muncul. Terdapat satu klien menolak untuk muncul perilaku yang negatif pada individu.
menuliskan mengenai peristiwa yang tidak Dalam meningkatkan kemampuan
menyenangkan dan terjadi perubahan emosi mengubah perilaku negatif, peneliti
pada klien. menerapkan prinsip-prinsip teori perilaku
Kemampuan klien dalam mengubah dengan memberikan penguatan (reinforcement)
keyakinan irasional menggunakan prinsip positif terhadap perilaku positif yang
ABC, A-Activating Event: persepsi individu dilakukan klien dan memberikan umpan
dan membuat kesimpulan dari peristiwa yang balik negatif terhadap perilaku yang tidak
berdampak pada individu. B-Beliefs: keyakinan diinginkan. Videbeck (2008) menyatakan
rasional dan irasional pada individu yang modifikasi perilaku merupakan suatu metode
yang menunjang pada peristiwa yang aktif, C- yang dapat digunakan untuk menguatkan
Consequence, Emotional and behavior perilaku atau respons yang diinginkan
consequence, konsekuensi emosi dan perilaku melalui pemberian umpan balik baik positif
yang diakibatkan oleh peristiwa yang terjadi maupun negatif. Peneliti juga menerapkan
(Ellis, 2000). prinsip tocen economy berupa memberikan
Kemampuan mengubah pikiran negatif, hadiah sesuai dengan keinginan klien, jika
tindakan keperawatan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dilakukan oleh
kemampuan berfokus pada masalah klien, klien setelah mengumpulkan minimal 50%
berorientasi pada tujuan dan aktual saat ini. poin bintang selama 3 hari. Hal tersebut dapat
Fokus dari tindakan untuk memberikan meningkatkan motivasi klien untuk mengubah
kemampuan berpikir adalah pendidikan dan perilaku yang negatif, dan pada kontrak awal
membangun keterampilan klien. Hubungan klien dan perawat membuat kesepakatan
yang terapeutik klien dan perawat sangat bahwa reinforcement yang diberikan tidak
penting untuk meningkatkan efektivitas dari selamanya didapatkan oleh klien. Klien akan
tindakan keperawatan yang dilakukan (Stuart, tetap mengubah perilaku negatif walaupun
2013). sudah tidak diberikan reinforcement.
Klien menuliskan pikiran otomatis negatif Analisis hubungan antara kemampuan
yang muncul. Klien juga menuliskan latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
mengubah pikiran dan perilaku negatif gejala perilaku kekerasan menunjukkan
menjadi pikiran dan perilaku positif. Latihan bahwa koefisien korelasi antara kemampuan
mandiri yang dilakukan oleh klien dan mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
dituliskan dalam buku kerja akan gejala perilaku kekerasan adalah – 0,908
meningkatkan kemampuan mengontrol Uji statistik menggunakan korelasi Pearson
perilaku kekerasan. Dengan mengubah status menghasilkan nilai sebesar 0,003 (p value
pikiran dan perasaannya, klien diharapkan < 0,05) yang menunjukkan adanya hubungan
dapat mengubah perilaku negatif menjadi yang bermakna dan negatif antara kemampuan
positif (Oemarjoedi, 2003). Buku kerja mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
dijadikan sebagai alat untuk melatih klien gejala perilaku kekerasan. Nilai r menunjukkan
dalam kemampuan mengubah pikiran negatif negatif artinya semakin tinggi kemampuan
klien menjadi sebuah pembudayaan atau maka tanda gejala perilaku kekerasan semakin
kebiasaan. menurun, dengan keeratan hubungan yang
Kemampuan yang keempat adalah kuat (r > 0,5).
kemampuan dalam mengubah perilaku negatif, Hasil penelitian menunjukkan adanya
banyak perilaku yang digunakan sebagai perubahan tanda gejala komposit yang lebih
koping pada saat muncul perasaan atau pikiran tinggi pada kelompok intervensi yang mendapat
yang negatif yang membuat individu merasa terapi musik dan RECBT dibandingkan
lebih baik dalam waktu jangka pendek (Stuart, dengan kelompok kontrol, di mana rata rata
2013). Perilaku yang ditunjukan seringkali kemampuan dalam mengontrol perilaku

239
kekerasan yang dimiliki oleh kelompok yang SIMPULAN DAN SARAN
diberikan terapi musik dan RECBT lebih
Simpulan
tinggi dibandingkan dengan kelompok yang
tidak diberikan terapi musik dan RECBT. Terapi Musik dan RECBT efektif
Ketika klien mempunyai kemampuan yang meningkatkan kemampuan mengontrol
lebih tinggi dalam mengontrol perilaku perilaku kekerasan (relaksasi, mengubah
kekerasan, tanda gejala perilaku kekerasan pikiran negatif, keyakinan irasional dan
lebih minimal. perilaku negatif) sebesar 73,33%.
Terapi musik dan RECBT merupakan suatu Analisis hubungan antara kemampuan
bentuk psikoterapi. Psikoterapi adalah mengontrol perilaku kekerasan dengan tanda
interaksi yang sistemik antara klien dan terapis gejala perilaku kekerasan menunjukkan bahwa
yang menerapkan prinsip untuk membantu adanya hubungan yang bermakna dan negatif
klien ketika mengalami perubahan pada antara kemampuan mengontrol perilaku
perilaku, perasaan dan pikiran. Teknik yang kekerasan dengan tanda gejala perilaku
digunakan pada RECBT dengan memberikan kekerasan. Nilai r menunjukkan negatif artinya
homework tujuannya adalah memampukan semakin tinggi kemampuan maka tanda gejala
klien dalam kemampuan mengontrol perilaku perilaku kekerasan semakin menurun, dengan
kekerasan (Stuart, 2013). Dalam proses keeratan hubungan yang kuat (r > 0,5).
psikoterapi terdapat proses pembelajaran
terhadap keterampilan yang baru dalam hal
SARAN
ini relaksasi, mengubah pikiran negatif,
keyakinan irasional dan perilaku negatif. Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu
Tujuan dari tindakan terapi musik dan RECBT memotivasi klien dan mengevaluasi
adalah terciptanya perilaku yang baru dalam kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari
hal mengontrol perilaku kekerasan. dan dimiliki oleh klien sehingga latihan
Perbedaan pemberian psikofarmaka yang diberikan membudaya. Apabila terjadi
dan psikoterapi adalah pada psikofarmaka kemunduran pada klien hendaknya perawat
berfokus pada penurunan tanda gejala saja, ruangan mengkonsultasikan perkembangan
tanpa memperhatikan mengenai kemampuan kliennya yang telah mendapat terapi spesialis
yang dimiliki oleh klien ketika muncul stressor kepada perawat spesialis yang dimiliki rumah
yang dihadapi yang mengakibatkan perubahan sakit.
dalam pikiran, perasaan, perilaku, sosial dan Hasil penelitian ini hendaknya
fisiologis. digunakan sebagai evidence based dalam
Fokus tindakan pada terapi musik dan RECBT mengembangkan Terapi Musik dan RECBT
adalah self control di mana klien baik pada individu maupun kelompok,
membangun sendiri keterampilan dalam sehingga menjadi modalitas terapi keperawatan
mengontrol perilaku kekerasan. Respons jiwa yang efektif dalam mengatasi masalah
maladaptif yang muncul disebabkan karena kesehatan jiwa dan meningkatkan derajat
terjadinya perubahan dalam pikiran, perasaan kesehatan jiwa.
dan perilaku (Stuart, 2013). Ketika pikiran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada
yang negatif, perasaan yang irasional dan klien dengan perilaku kekerasan dengan
perilaku negatif dapat dikontrol secara mandiri cohort untuk melihat pencapaian kemampuan
oleh klien maka perilaku kekerasan akan dapat dalam menurunkan gejala dan meningkatkan
terkontrol dan tidak muncul lagi. kemampuan mengontrol perilaku kekerasan
(relaksasi, mengubah pikiran negatif,
keyakinan irasional dan perilaku negatif).
Perlunya dilak ukan penelitian lanjutan yang melihat pengaruh peningkatan kemampuan klien setelah
terapi Musik dan RECBT terhadap penurunan tanda gejala perilaku kekerasan pada klien skizofrenia.
Perlu dilakukan penelitian mengenai kombinasi psikoterapi individu dengan psikoterapi yang diberikan
pada keluarga.

KEPUSTAKAAN
Ahmed, AO. et al. 2014. Cognition and Other Targets for the Treatment of Aggression in People with
Schizophrenia. Scimed central.
Balitbang Depkes R.I 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, Jakarta: Depkes RI.
Balitbang Depkes RI. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta: Depkes RI.
Chanda, ML and Levitin, DJ. 2013. The neurochemistry of music. Trends in Cognitive Sciences
April 2013, Vol. 17,
No. 4.
Chlan, L, 2011. Music helps reduce stress and anxiety. Ventilator living assisted journal vol. 25.
Dunn, B. 2010. Psychotherapy and music therapy. Reprinted from victory review magazine.
Ellaine, JS, et al, 2005. Schizophrenia: etiology and course. A journal annualreviews. org.
Ellis, A. 2000. Rational emotive behavioral approaches to childhood disorders theory, practice and
research. Springer Science+Business Media, Inc.
Fazel, S, et al. 2009. Schizophrenia and Violence: Systematic Review and Meta- Analysis. Plos
Medicine.
Fontaine, Kareen Lee. 2009. Mental Health Nursing 6th edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Jensen, 2010. Evaluating the ABC models of rational emotive behaviour therapy
theory: an analysis of the relationship between irrational thinking an guilt, Thesis of Science in
Psychology. The Faculty of Department Psychology Villanova University. United State. ProQuest LLC.
Lelono, SK, Keliat, BA dan Besral. 2011. Pengaruh cognitif behaviour therapy dan rational
emotive behaviour therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan, halusinasi dan isolasi sosial
di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, Tesis tidak dipublikasikan, Tahun 2011.
Mozzler K, et al. 2013. Music therapy for people with schizophrenia and schizophrenia-like disorders
(Review). Wiley.
Oemarjoedi, A,K,. 2003. Pendekatan Cognitive Behavioral dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Sulistyowati, Keliat, Hastono dan Susanti. 2011. Pengaruh terapi musik terhadap klien perilaku
kekerasan di RSJD Surakarta. Tesis tidak dipublikasikan. FIK. UI.
Swanson, et al., 2006. A National Study of Violent Behavior in Persons With Schizophrenia. Arch
Gen Psychiatry/ Vol. 63, May 2006.
Stuart, GW. 2013. Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby.
Videback, SL. 2008. Buku Saku Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta.
Volavka, J., 2012. Violence in schizophrenia and bipolar disorder. Psychiatria danubina, 2013; vol. 25,
no. 1, pp. 2
4–33.
Volavka, J & Citrome, L. 2011. Pathways to Aggression in Schizophrenia Affect Results of Treatment.
Oxford Journal.
World Health Organization. 2015. Improving health systems and services for mental health (Mental
health policy and service guidance package), Geneva 27, Switzerland: WHO Press.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Muhith,
Volume 5, No. 2, Agustus
Fardiansyah, © 2018
Mawaddah, Mulyatin, Hubungan Perilaku Jurnal Ners
Kekerasan dan Kebidanan
Pasien... 137
2018 DOI: 10.26699/jnk.v5i2.ART.p137–143
This is an Open Access article under the CC BY-SA license
(http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)

HUBUNGAN PERILAKU KEKERASAN PASIEN DENGAN


STRES PERAWAT DI INSTALASI IPCU RSJ. DR.
RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG
(Relationship Between The Violence Of Patient Violence And
Nurse Stress in RSJ IPCU Installation. Dr. Radjiman
Wediodiningrat Lawang)

Abdul Muhith1, Arief Fardiansyah2, Nurul Mawaddah3, Mulyatin4


123
STIKes Majapahit Mojokerto
4
RSJ. DR. Radjiman Wediodiningrat Lawang email:
abdulmuhith1979@gmail.com

Abstract: Psychiatric intensive care unit nurses are in a limited environment that allows nurses close to
patients to be able to observe the client’s condition and evaluate the treatment and medical actions taken. If
the nurse is not prepared with this condition, it can cause tension to the nurse which results in stress. One of
the tasks of mental nurses is the handling of violent behavior (aggressive), the poor perception of nurses
makes work stress (Muhith, 2015) This study aims to the relationship between Patient Violence Behavior with
Stress on nurses in Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. This
research design use cross sectional approach. The population of this study is 40 people, with a sample of 28
people, is simple random sampling. The independent variable is Patient’s Violence Behavior, while the
dependent variable is Stress the questioner. Data analysis using Spearman correlation test. Spearman
correlation test results obtained r= 0.738 p = 0.000 (p <0,05), it can be concluded that there is a significant
relationship between the behavior of patient’s hardness with stress on the nurses in Intensive Psychiatry Care
Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Based on these results it is concluded that patient’s
violence behavior in Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang most of
is high category, whereas most nurses experi- ence moderate stress.Thus the hospital can create a
comfortable and safe atmosphere for patients and nurses who work, so that stressful events can be minimized
and well managed.

Keywords: patient’s violence behavior, nurse stress

Abstrak: Perawat psikiatri intensive care unit berada dalam lingkungan yang terbatas yang memungkinkan
perawat dekat dengan pasien untuk dapat mengobservasi kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan
maupun tindakan medis yang dilakukan. Jika perawat tidak siap dengan kondisi tersebut akan dapat
menimbulkan ketegangan pada perawat yang berakibat stres. Salah satu tugas perawat jiwa adalah
penanganan perilaku kekerasan (agresif), persepsi yang buruk perawat menjadikan stres kerja (Muhith,
2015). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres pada
perawat di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Desain
penelitian cross sectional. Populasi sejumlah 40 orang dengan sampel sebanyak 28 orang. Teknik
pengambilan sampel simple random sampling. Variabel bebasnya adalah Perilaku Kekerasan Pasien,
sedangkan variabel tergantungnya adalah Stres. Alat ukur menggunakan kuesoner. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Mei – Juni 2018. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. hasil uji Korelasi Spearman
didapatkan hasil r = 0,738 p = 0,000 (p < 0,05), maka dapat diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang
bermakna antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres pada perawat di Intensive Psychiatry Care Unit

137
(IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Perilaku kekerasan
pasien di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang sebagian besar
dalam kategori tinggi, sedangkan sebagian besar Perawat mengalami stress yang sedang. Dengan demikian
diharapkan pihak rumah sakit dapat menciptakan suasana yang nyaman dan aman baik bagi pasien maupun
perawat yang bekerja, sehingga kejadian stres bisa diminimalkan dan dikelola dengan baik.

Kata kunci: Perilaku Kekerasan Pasien, Stres Perawat

PENDAHULUAN dapkan pada situasi dan kondisi pasien yang tidak


Tantangan terbesar perawat psikiatri dalam mendukung, mulai dari pasien yang tidak kooperatif
penangganan perilaku kekerasan pasien dan kondisi hingga ancaman perilaku agresi secara fisik yang
ini dapat menyebabkan terjadinya stres pada pera- diberikan oleh pasien. Perawat diharuskan mampu
wat sendiri apa bila pemahaman dan koping individu mempersiapkan segala sesuatu dengan baik guna
perawat tidak bagus. Stres dapat memberi stimulus keberlangsungan proses keperawatan. Situasi yang
terhadap perubahan dan pertumbuhan, yang dikata- tidak kondusif seperti perilaku agresi harus segera
kan sebagai stres yang positif, namun terlalu banyak diatasi agar tidak berakibat buruk bagi pasien dan
stres dapat mengakibatkan penyesuaian yang buruk, perawat itu sendiri, bila situasi yang menekan ini
penyakit fisik dan ketidakmampuan mengatasi tidak segera diatasi, tidak menutup kemungkinan
masalah. Perawat psikiatri intensive care unit berada perawat akan terjebak dalam konflik dan stres yang
dalam lingkungan yang terbatas yang memungkin- mana akan mempengaruhi kinerja secara langsung
kan perawat dekat dengan pasien untuk dapat (Muhith, 2015).
mengobservasi kondisi klien dan mengevaluasi Terdapat empat faktor penyebab stres perawat
tindakan perawatan maupun tindakan medis yang yaitu aktivitas dalam merawat pasien, peran atasan,
dilakukan. Jika perawat tidak siap dengan kondisi hubungan interpersonal, dan masalah yang berhu-
tersebut akan dapat menimbulkan ketegangan pada bungan dengan organisasi. Dari ke empat faktor
perawat yang berakibat stres. Salah satu tugas pe- tersebut, aktivitas dalam merawat pasien dan masa-
rawat jiwa adalah penanganan perilaku kekerasan lah yang berhubungan dengan organisasi menjadi
(agresif), persepsi yang buruk perawat menjadikan penyebab stres perawat dengan tingkat stres
stres kerja (Muhith, 2015). sedang, sedangkan faktor lainnya menyebabkan
Pasien skizofrenia jenis paranoid, hebefrenik, stres ringan. Aktivitas dalam merawat pasien men-
residual, dan akut biasanya memperlihatkan perilaku jadi penyebab stres pada perawat karena perilaku
kekerasan. Pasien dapat melakukan kekerasan kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasien terhadap
kepada orang lain, lingkungan maupun terhadap perawat. (Muhith, A., Nasir 2011).
dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena pada jenis ini Berdasarkan permasalahan dan penelitian ter-
pasien seolah mendapat ancaman, tekanan psiko- dahulu diketahui bahwa perilaku agresif atau keke-
logis, dan menganggap orang lain sebagai musuh. rasan pasien mampu memicu terjadinya stres bagi
Masalah perilaku kekerasan pasien hampir selalu perawat, maka solusi yang ada adalah dengan mene-
terjadi di ruang perawatan jiwa. Penelitian yang rapkan standar keperawatan yang ada, kemudian
dilakukan The Nasional Alliance For The melakukan intervensi untuk mengurangi tingkat
Mentality III (NAMI) dalam menyatakan bahwa agresif pasien baik dengan terapi farmako, maupun
10,6% pasien dengan gangguan mental serius dengan terapi kelompok atau menerapkan strategi
seperti skizofrenia paranoid melukai orang lain, dan pertemuan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
12,2% mengancam mencederai orang lain (Muhith, Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
A., Nasir 2011). melalui studi pendahuluan kepada 8 orang perawat
di instalasi IPCU RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat
Keperawatan adalah bentuk profesi, aktivitas dan
Lawang menunjukkan 3 orang perawat mengalami
hubungan interpersonal yang kerap kali meye-
stress sedang dan 4 orang perawat lainnya me-
babkan stress. Merawat klien dengan tingkat kece-
ngalami stress ringan. Berdasarkan kondisi realita
masan yang tinggi dapat menjadi aktivitas yang
tersebut diatas peneliti tertarik untuk melakukan
sangat memancing stress bagi perawat. Perawat
penelitian tentang hubungan perilaku kekerasan
jiwa atau psychiatric nurse tidak hanya dituntut
pasien dengan stress perawat di instalasi IPCU RSJ
untuk memberikan usaha yang lebih namun juga
Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang.
diha-
BAHAN DAN METODE Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa dari 28 orang
Desain penelitian pendekatan cross sectional responden, sebagian besar merasakan Perila- ku
populasi seluruh perawat yang bertugas di Instalasi Kekerasan Pasien dalam kategori Tinggi yaitu
IPCU RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang sebanyak 17 orang (60,7%).
sebanyak 40 orang. Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan probability Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
sampling dengan jenis simple random sampling hal Stres
ini berarti setiap anggota populasi ini mempunyai
kesempatan yang sama untuk diambil sebagai Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan
sampel (Nasir & Muhith, 2011). Stresdi Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RSJ
Berdasarkan rumus di atas, maka besar sampel Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang Tahun 2018
pada penelitian ini adalah:
2
N.Z .p.q
n 1 / 2 Stresf%
d (N 1)  Z 2
2
1 / .p.q Normal 3 10,7
2 Ringan 9 32,1
40.(1,96) 2 .0,50.0,50 Sedang 13 46,4
n Berat 3 10,7
(0,1) 2 (40  1)  (1,96)2 .0,50.0,50
Jumlah 100 100
38,416 Sumber: Data Primer diolah
n  28,238
1,360
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari 28
Jadi sampel yang diambil adalah sebanyak 28 orang responden, sebagian besar memiliki Stres
orang. Alat ukur yang digunakan adalah questioner. dalam kategori Sedang yaitu sebanyak 13 orang
Lokasi penelitian yang digunakan adalah di Instalasi (46,4%).
IPCU Ruang Camar, Ruang Mawar dan Ruang
Perkutut RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Analisis untuk menguji hubungan antara
dengan waktu penelitian mulai bulan Mei sampai Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres di RSJ
dengan Juni 2018. Analisis bivariat dilakukan Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang dengan
dengan uji korelasi spearman untuk mengetahui hasil sebagai berikut
hubungan yang signifikan antara masing-masing
Hasil analisis hubungan antara Perilaku Keke-
variabel be- bas dengan variabel terikat (Nasir &
rasan Pasien dengan Stres perawat pada Tabel 3.
Muhith, 2011).
diperoleh hasil dari 17 responden yang menilai Pe-
rilaku Kekerasan Pasien dalam kategori Tinggi
HASIL PENELITIAN
menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki Stres
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan dalam kategori Sedang yaitu sebanyak 12 responden
Perilaku Kekerasan Pasien (70,6%). Dilihat dari hasil uji Korelasi Spearman
didapatkan hasil r = 0,738p = 0,000 (p < 0,05),
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
Perilaku Kekerasan Pasiendi Intensive Psy- chiatry yang bermakna antara Perilaku Kekerasan Pasien
Care Unit (IPCU) RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat dengan stres pada perawat di Intensive Psychiatry
LawangTahun 2018
Care Unit (IPCU) RSJ Dr. Radjiman Wediodi-
Perilaku Kekerasan Pasien f % ningrat Lawang.
Rendah 11 39,3
Tinggi 17 60,7
Jumlah 28 100
Sumber: Data Primer diolah
Tabel 3 Distribusi Silang Frekuensi Responden berdasarkan Perilaku Kekerasan Pasiendengan Stres di Inten-
sive Psychiatry Care Unit (IPCU) RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang Tahun 2018

Perilaku Stres Perawat


Kekerasan Normal Ringan Sedang Berat Total
Pasien n % n % n % n % n %
Rendah 3 27,3 7 63,6 1 9,1 0 0 11 100
Tinggi 0 0 2 11,8 12 70,6 3 17,6 17 100
Jumlah 3 10,7 9 32,1 13 46,4 3 10,7 28 100
r = 0,738p = 0,000 (p < 0,05)
Sumber: Data Primer diolah

PEMBAHASAN kondisi sesorang. Masalah ini perlu mendapat per-


Perilaku Kekerasan Pasien hatian bahwa perawat di psikiatri intensive care
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa dari 28 orang unit di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS
responden, sebagian besar merasakan Perila- ku Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang sebagian
Kekerasan Pasien dalam kategori Tinggi yaitu besar mengalami resiko tinggi terhadap perilaku
sebanyak 17 orang (60,7%), hal ini menunjukkan agresif.
bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh Jadi berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan
pasien di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) bahwa perawat di Intensive Psychiatry Care Unit
RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. (IPCU) RS Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang
Gejala positif pasien skizofrenia salah satunya memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap perilaku
adalah perilaku kekerasan, yaitu respon dan perilaku kekerasan dari pasien, sebab perawat di ruang psi-
manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai kiatri akut berada dalam lingkungan yang terbatas
agresi fisik yang dilakukan seseorang terhadap (small space), yang memungkinkan ia dekat dengan
orang lain atau sesuatu. Perilaku kekerasan atau pasien untuk dapat mengobservasi secara intensif
agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang ber- kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan
tujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun maupun tindakan medis yang dilakukan. Kondisi
psikologis, dimana perilaku kekerasan dapat dibagi tersebut yang menyebabkan perawat rawan menda-
dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan patkan perlakukan agresif dari pasien.
fisik (Muhith, 2015).
Menurut Muhith (2015), data perilaku keke- rasan Stres
dapat diperoleh melalui observasi atau wa- wancara Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa dari 28 orang
tentang perilaku berikut ini: muka merah dan responden, sebagian besar memiliki Stres dalam
tegang pandangan tajam, mengatupkan rahang kategori Sedang yaitu sebanyak 13 orang (46,4%).
dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar- Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi stres
mandir, bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau ber- perawat yang bekerja di Intensive Psychiatry Care
teriak, mengancam secara verbal atau fisik, melem- Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat
par atau memukul benda/orang lain, merusak barang Lawang memiliki stres dalam kategori sedang.
atau benda dan tidak mempunyai kemampuan men- Stres dapat diartikan sebagai suatu stimulus yang
cegah/mengontrol perilaku kekerasan (Muhith, mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi fisiologi
2015). dan psikologis. Stres adalah pola reaksi
Perawat di Psikiatri intensive care unit memiliki menghadapi stressor yang berasal dari dalam indi-
intensitas tinggi terhadap perilaku kekerasan pasien. vidu maupun dari lingkungannya (Muhith A., 2015).
Menurut Muhith (2015) hal ini bisa disebabkan Menurut Selye (dalam Hawari, 2011), yang dimak-
karena semakin lama terpapar stressor ini sangat sud dengan stres adalah respons tubuh yang sifatnya
berpengaruh pada persepsi seseorang terhadap ma- non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya.
salah. Serta deprivasional stres bisa memperburuk Misalnya bagaimana respons tubuh seseorang
manakala yang bersangkutan mengalami beban artinya kondisi stres tersebut masih dalam kondisi
pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup meng- yang wajar sehingga tidak sampai mengganggu
atasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi aktivitasnya dalam bekerja.
organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan
tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ter- Hubungan Perilaku Kekerasan Pasien dengan
nyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih Stres
organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi
dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan Hasil analisis hubungan antara Perilaku Keke-
baik, maka ia disebut mengalami distres. rasan Pasien dengan Stres perawat pada Tabel 3.
Menurut Muhith, A., Nasir (2011), stres adalah diperoleh hasil dari 17 responden yang menilai
pengalaman emosi negatif yang oleh perubahan Perilaku Kekerasan Pasien dalam kategori Tinggi
yang dapat diperkirakan dalamhal biokimia, fisiologis, menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki Stres
kognitif, behavorial, yang tujuannya untuk mengubah dalam kategori Sedang yaitu sebanyak 12 responden
peristiwa stressful atau mengakomodasi akibatnya. (70,6%). Berdasrkan dari hasil uji Korelasi
Stres membuat tubuh untuk memproduksi hormone Spearman didapatkan hasil r = 0,738 p = 0,000 (p
adrenaline yang berfungsi untuk mempertahankan < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
diri. Stress merupakan bagian dari kehidupan ma- hubungan yang bermakna antara Perilaku Keke-
nusia. Stress yang ringan berguna dan dapat memacu rasan Pasien dengan Stres pada perawat di
seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih berpikir Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.
dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat Radjiman Wediodiningrat Lawang, artinya perilaku
menjawab tantangan hidup sehari-hari. Stres ringan kekerasan yang dilakukan oleh pasien di Intensive
bisa merangsang dan memberikan rasa lebih ber- Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman
gairah dalam kehidupan yang biasanya membo- Wediodiningrat Lawang berpengaruh terhadap
sankan dan rutin. Tetapi stres yang terlalu banyak tingkat stres perawat.
dan berkelanjutan, bila tidak ditanggulangi, akan Menurut Muhith, A., Nasir (2011), ada empat faktor
berbahaya bagi kesehatan. penyebab stres perawat yaitu aktivitas dalam
Menurut Hartono (2011), jika tekanan stres ter- merawat pasien, peran atasan, hubungan inter-
lampau besar hingga melampaui daya tahan individu, personal, dan masalah yang berhubungan dengan
maka akan timbul gejala-gejala seperti sakit kepala, organisasi. Dari ke empat faktor tersebut, aktivitas
gampang marah, tidak bisa tidur; gejala-gejala itu dalam merawat pasien dan masalah yang berhu-
merupakan reaksi non-spesifik pertahanan diri, dan bungan dengan organisasi menjadi penyebab stres
ketegangan jiwa itu akan merangsang kelenjar anak perawat. Aktivitas dalam merawat pasien menjadi
ginjal (corfex) untuk melepaskan hormon adrenalin penyebab stres pada perawat adalah perilaku
dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasien terhadap
lebih kuat, sehingga tekanan darah menjadi naik dan perawat. (Muhith, A., Nasir (2011),
aliran darah ke otak, paru-paru, dan otot perifer, Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang
meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh dikemukakan Muhith, A., Nasir (2011), pasien
akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga dengan kondisi kedaruratanpsikiatri dapat melaku-
timbul perubahan patologis. Gejala-gejala patologis kan perbuatan yang beresiko membahayakan diri,
yang muncul dapat berupa hipertensi, serangan berkeinginan bunuh diri atau penelantaran diri sendiri
jantung, borok lambung, asma, eksim, kanker, dan hingga keadaan yang menimbulkan resiko pada
sebagainya. Jika sudah timbul hipertensi, stres tetap orang lain.Beberapa pasien bahkan dapat bertindak
berlangsung, sehingga bertambahlah risiko kom- agresif, mengancam atau bertindak kejam, serta
plikasi serangan jantung (infark) atau stroke otak melakukan perilaku yang dapat menimbulkan cedera
yang dapat berakibat fatal (kelumpuhan atau bahkan fisik atau psikologis pada orang lain atau menim-
dapat meninggal dunia). bulkan kerusakan harta benda. Situasi ini dapat
Berdasarkan fakta dan konsep teori tersebut dapat menyebabkan stressor Hal ini terjadi karena faktor
dikatakan bahwa kondisi stres yang dialami keadaan lingkungan, dimana Intensive Psychiatry
perawat yang bekerja di Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU)ditempati oleh pasien dengan
Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat karakteristik pasien psikiatri akut. Pada beberapa
Lawang memiliki stres dalam kategori sedang keadaan, pasien dengan perilaku kekerasan tidak
dapat diajak berkomunikasi, pasien kadang-kadang
berteriak mengancam, dan mengejek atau menghina melakukan rotasi dikarenakan tingginya beban kerja
menggunakan kata kasar kepada perawat dan di ruang akut ini.
pasien lainnya. (Muhith, A., 2018). Bagi perawat, hasil penelitian mengenai perilaku
Kondisi pasien yang labil membuat perawat harus agresif pasien menunjukan hasil yang tinggi. Meng-
ekstra sabar karena karakteristik pasien agresif, ingat hal ini merupakan sumber stresor perawat
antara lain sulit diajak komunikasi, menarik diri,alangkah baiknya perawat jiwa memiliki persepsi
atau justru agresif. Seorang perawat ketika yang positif,serta senantiasa meningkatkan kemam-
mempunyai sikap positif terhadap pasien,maka ia puan personal. Sehingga mampu mengatasi stresor.
akan cenderung menyenangi dan peduli dengan Sebagian besar perawat berada pada kategori stress
keadaan pasien. Sebaliknya, ketika seorang pera- sedang, namun secara keseluruhan hampir merata
wat sikap yang negatif terhadap pasien, maka ia pada setiap kategori stress. Diharap perawat selalu
cenderung akan membenci dan menjauhinya. Jadi mampu menjadikan stress ini menjadi positif
dapat disimpulkan bahwa hubungan yang bermakna sehingga mampu meningkatkan nilai individu
antara Perilaku Kekerasan Pasien dengan Stres perawat sendiri.
pada perawat di Intensive Psychiatry Care Unit Bagi institusi pendidikan keperawatan, diharap- kan
(IPCU) RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, penelitian ini dapat di jadikan salah satu bahan
artinya semakin tinggi resiko terjadinya perilaku referensi pada mata kuliah Jiwa, sehingga dapat
kekerasan oleh pasien maka akan membuat stres lebih memberikan gambaran nyata tentang kondisi
perawat menjadi meningkat, sehingga hipotesis yanglahan yang sebenarnaya. Dijadikan acuan untuk
diajukan diterima. mempersiapkan para peserta didik yang nantinya
akan terjun ke lahan.
SIMPULAN DAN SARAN Bagi penelitian keperawatan, setelah menge- tahui
Simpulan nilai hubungan pada penelitian ini, hendaknya
Perilaku kekerasan pasien di Intensive Psychiatry melakukan penelitian berkelanjutan untuk menge-
Care Unit (IPCU) RS Dr.Radjiman tahui lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
Wediodiningrat Lawang sebagian besar dalam menyebabkan perilaku agresif pasien dengan stres
kategori tinggi. perawat dipsikiatri intensive care unit.
Stres Perawat di Intensive Psychiatry Care Unit
(IPCU) RS Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang DAFTAR RUJUKAN
sebagian besar dalam kategori sedang. Dermawan, D. & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa:
Ada hubungan yang bermakna antara Perilaku Konsep Dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan
kekerasan pasien dengan Stres pada perawatdi Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Intensive Psychiatry Care Unit (IPCU) RS Dr. Hartono, LA. 2011. Stres & Stroke. Yogyakarta : Penerbit
Kanisius
Radjiman Wediodiningrat Lawang. Semakin tinggi
Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stress, Cemas dan
tingkat perilaku kekerasan pasien pada perawat
Depresi. Jakarta : FKUI.
yang bekerja di Intensive Psychiatry Care Unit Lukluk, Zuyina A. & Siti Bandiyah. 2011. Psikologi
(IPCU), maka tingkat stres yang dirasakan juga Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika
akan semakin meningkat, demikian juga sebaliknya Muhith Abdul, Nasir & Ideputri. 2011. Metodologi
jika tingkat perilaku kekerasan pasien rendah maka Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mulia Medika
tingkat stres juga semakin rendah. Jadi hipotesis Muhith abdul., Nasir. 2011. Dasar-dasar Keperawatan
diterima jiwa,. Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika.
Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori
Saran dan Aplikasi). Yogyakarta: cv. Andi.
Muhith, A. 2018. Aplikasi Komunikasi terapeutik
Bagi rumah sakit, rumah sakit harus selalu Nursing & Health Yogyakarta: Andi.
meningkatkan kualitas lingkungan ruang akut seperti Muhith, A., Nasir. 2011. Buku Ajar Metodologi Penelitian
pemberian sekat, menciptakan lingkungan yang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
nyaman bagi pasien, kelengkapan alat-alat pence- Muhith, A., Saputra, M.H., Fardiansyah A., 2018. Risk
gahan perilaku kekerasan sampai emergency tool factor of rheumatoid arthritis among Eldely in UPT
guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Panti Werdha Mojopahit Mojokerto distric Indo- nesia.
melakukan pelatihan penanganan pasien krisis, Indian Journal of Public health Research
& Development, Volume.9 Number, 6 June 2018, ISSN 0978-0245 (print), ISSN 0976-5506
(Electronic). Medicine: Public health, Eviron- mental and Occupational Health. Indian Journal of Public
health Research & Development.
Nabila, Hanifa. 2016. Pengukuran Hars dan Dass https:/
/ www. scr ibd. com/ docum en t / 334065153 / Pengukuran-Hars-Dan-Dass, diunduh pada 2 Februari 2018.
Nijman, Henk, Len Bowers, Nico Oud & Gerard Jansen. 2005. Psychiatric Nurses Experiences with
Inpatient Aggression.
Nijman, Henk, Len Bowers, Nico Oud & Gerard Jansen. 2005. Psychiatric Nurses Experiences with
Inpatient Aggression.
Oud, N.E. 2000. The Perception of Prevalence of

176
Aggression Scale (POPAS) Questionnaire. https:/
/www.researchgate. net/profile/Nico_ Oud/ p u b l i c a t i o n / 2 7 0 1 5 9 8 4 9 _ T h e _ P e r c e p
t i o n _ o f _ P r e v a l e n c e _ o f _ Aggression_Scale_POPAS_Questionnaire/links/
54a177900cf256bf8baf71c1/The-Perception-of- Prevalence- of- Aggression- Scale- POPAS-
Questionnaire.pdf, diunduh pada 2 Februari 2018.
Psychology Foundation of Australia . (2014). Depression Anxiety Stress Scales (DASS). HYPERLINK http:/
/www2.psy.unsw.edu.au/dass/http://www2. psy.unsw.edu.au/dass/ diunduh pada 2 Februari 2018.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2014. Baku Ajar Kepera- watan Jiwa Dan Advance Mental Health Nursing.
Bandung: PT Refika Aditama.

177
PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL MARAH PADA PASIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI RSJD
DR. AMINO GONDOHUTOMO PROVINSI JAWA TENGAH

Armelia Tri Pangestika*), Dwi Heppy Rochmawati **) Purnomo ***)

*) Alumni Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang


**) Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang
***) Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang

ABSTRAK
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang ditunjukkan oleh pasien yang menyebabkan
distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas kehidupan. Hal ini mencerminkan disfungsi psikologis dan
bukan sebagai akibat dari penyimpangan social atau konflik dengan masyarakat. Perilaku kekerasan
merupakan respon maladaptif dari marah. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pasien untuk
mengontrol marah salah satunya adalah relaksasi otot progresif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada pasien
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Rancangan penelitian ini menggunakan
Quasi Eksperiment dengan metode penelitian One Group Pre Post test design. Jumlah sampel dalam
penelitian ini sebanyak 53 responden dengan teknik pengambilan sampel purpose sampling. Uji
statistik yang digunakan adalah Paired T–Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh
relaksasi otot progresif terhadap kemampuan mengontrol marah pada
pasien RPK dengan 0.000 sedangkan nilai thitung 10.90 dan ttabel 1.67 (thitung > ttabel). Hal ini
dikarenakan relaksasi otot progresif dapat meningkatkan keterampilan dasar relaksasi untuk mengontrol
marah dan memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres. Rekomendasi dari penelitian ini adalah
perawat dapat menggunakan relaksasi otot progresif sebagai alternatif untuk membantu mengontrol
marah pada pasien resiko perilaku kekerasan.

Kata Kunci : resiko perilaku kekerasan, relaksasi otot progresif, marah

ABSTRACT
Mental disturbance is a psychological behavior pattern that cause distress, dysfunction, and life
quality decline. Mental disturbance reflects psychological dysfunction. It is not a result of social
distortion or conflict with society. Violent behavior is a maladaptive respond of anger. Nursing
treatment for anger management that can be given to the patients is progressive muscle relaxation. The
research is intended to determine the influence of progressive muscle relaxation toward anger
management in patients with risk of violent behavior at Amino Gondohutomo Mental Hospital Central
Java Province. The research is designed using quasi experiment with One Group Pre Post test design
as its research method. The sample is collected by purpose sampling technique. There are 53
respondents in this research. It uses Paired T – Test as statistic test. The result shows that there is the
influence of progressive muscle relaxation toward anger management in patients with risk of
violent behavior with 0.000. While tvalue 10.90 and ttable 1.67 (tvalue > ttable). It is because progressive
muscle relaxation can increase the basic skill of relaxation in anger management and improve the ability in
handling stress. The research recommends that the nurse can use progressive muscle relaxation as an
alternative to help patients with risk of violent behavior in controlling their anger.

Key Words : risk of violent behavior, progressive muscle relaxation, anger

178
PENDAHULUAN Pontoh (2013, hlm.1) menyatakan perilaku
kekerasan merupakan respon maladaptif dari
Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis marah. Apabila diungkapkan secara tidak tepat
yang ditunjukkan oleh pasien yang menyebabkan dapat menimbulkan permusuhan dan agresi yang
distress, disfungsi, dan menurunkan kualitas tidak mampu diungkapkan secara asertif, dapat
kehidupan. Hal ini mencerminkan disfungsi memanjang hingga respon yang paling
psikologis dan bukan sebagai akibat dari maladaptif. Bila kondisi tersebut tidak diatasi,
penyimpangan social atau konflik dengan masyarakat maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri
(Keliat & Pasaribu, 2013, hlm.45). Faktor yang sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain.
berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa antara Bila kemampuan bergaul dengan orang lain
lain: faktor genetik dan kepribadian dan konsep diri, terganggu akibatnya memunculkan
sedangkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, halusinasi yang
nominal penghasilan, dan dukungan keluarga membahayakan secara fisik, baik pada dirinya
terhadap pasien yang mengalami gangguan jiwa tidak sendiri maupun orang lain (Fitria, 2009,
menjadi penyebab terjadinya gangguan jiwa (Yanuar, hlm.145).
2011, hlm.12).
Mengekspresikan perasaan marah dengan
Data dari WHO dalam Yosep dan Sutini (2014, perilaku agresif dan menentang dapat
hlm.34), ada sekitar 450 juta orang di dunia yang menimbulkan tingkah laku yang destruktif.
mengalami gangguan jiwa. Data dari Balitbangkes Apabila pasien
(2008) data dari 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang ada mengekspresikan marah dengan cara asertif akan
di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini memberikan ketenangan pada pasien. Tindakan
keperawatan yang dapat dilakukan pasien untuk
jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5
mengontrol marah antara lain: berbicara positif
juta orang. Menurut data Departemen Kesehatan
tentang diri sendiri, merubah lingkungan,
tahun 2009, jumlah penderita gangguan jiwa di
menuliskan perasaan klien, mendengarkan
Indonesia saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang,
musik, medikasi dan latihan relaksasi (Keliat &
dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 % dan
Pasaribu, 2013, hlm.489).
0,46 % menderita gangguan jiwa berat. Menurut Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) jumlah
Relaksasi otot progresif merupakan teknik
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk
relaksasi yang dilakukan dengan cara pasien
Indonesia 1,7 permil. Gangguan jiwa berat terbanyak
menegangkan dan melemaskan otot secara
di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan
berurutan dan memfokuskan perhatian pada
Jawa Tengah. Prevalensi gangguan mental emosional
perbedaan perasaan yang dialami antara saat otot
pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi
rileks dan saat otot tersebut tegang (Kozier, et
dengan prevalensi ganguan mental emosional
al., 2010, hlm.314). Perubahan yang diakibatkan
tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
oleh relaksasi otot progresif yaitu dapat
Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara
mengurangi ketegangan otot, menurunkan laju
Timur.
metabolisme, meningkatkan rasa kebugaran, dan
konsentrasi, serta memperbaiki kemampan untuk
mengatasi stressor (Potter & Perry, 2005,
hlm.491).

179
Alat pengumpulan data yang digunakan pada
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di
penelitian ini adalah lembar kuesioner. Pasien
atas, maka dapat dirumuskan masalah
yang melakukan relaksasi otot progresif dapat
penelitian “Apakah Ada
dinilai dengan melihat lembar prosedur relaksasi
Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
otot progresif yang telah dibakukan oleh Setyoadi
Terhadap Kemampuan Mengontrol Marah Pasien
dan Kushariyadi (2011,
RPK di RSJD Dr. Amino
hlm.108). Sedangkan kemampuan
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah?”.
mengontrol marah pada pasien dinilai dengan cara
kuesioner dan sesuai check list. Kuesioner
METODE PENELITIAN ini merupakan skala
Metode penelitian ini menggunakan Quasi pengungkapan marah yang digunakan oleh
Eksperiment yaitu jenis penelitian yang Sudiatmika (2011).
menggunakan satu kelompok dilakukan intervensi
sedangkan kelompok lainnya dilakukan seperti Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu
biasanya (Nursalam, 2014, hlm.160). Penelitian ini dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji
menilai pengaruh terapi relaksasi otot progresif Kolmogorov-Smirnov karena jumlah responden
terhadap kemampuan mengontrol marah pasien risiko 53 orang (>50orang). kemudian didapatkan data
perilaku kekerasan (RPK) dengan menggunakan berdistribusi normal dengan ρ-value 0.2 maka
metode One Group Pre Post test design dilakukan uji beda sampel berpasangan (Paired
(Notoatmodjo, 2012, hlm.57). Untuk mengetahui T–Test (Dependent T-Test)).
kemampuan mengontrol marah pasien RPK sebelum
dan sesudah diberikan intervensi keperawatan HASIL PENELITIAN
relaksasi otot progresif. 1. Data Karakteristik Responden
Tabel 5.1
Data yang diperoleh dari RSJD Dr. Amino Gambaran Karakteristik Responden Pada Pasien
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah pada bulan RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Januari sampai September 2015 populasi pasien yang Jawa Tengah
mengalami RPK sebanyak 2258 pasien, sehingga
rata-rata tiap bulan sebanyak 251 pasien. Jumlah Karakteristik Jumlah
sampel pada penelitian ini menggunakan rumus Responden N
pengambilan sampel menurut Nursalam (2014, %
hlm.171) dengan hasil yang didapatkan adalah 53 Usia/Umur
responden. Remaja 3 5.7
Dewasa Awal 43 81.1
Dewasa Madya 7 13.2
Penelitian dilakukan di RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Penelitian Jenis Kelamin
dilakukan pada bulan November 2015 sampai bulan
Laki-laki 32 60.4
Juni 2016. Sedangkan untuk pengambilan data
Perempuan 21 39.6
penelitian dilakukan pada tanggal 11 April sampai 1
Mei 2016. Penelitian dilakukan di beberapa ruang
Pekerjaan
rawat inap, yaitu ruang

180
Bekerja 51 96.2
Tidak Bekerja 2 3.8
Arimbi, Brotojoyo, Citroanggodo,
Gatutkaca, dan Srikandi.

181
Berdasarkan tabel 5.1 menggambarkan karakteristik 3. Uji normalitas
responden berdasarkan jenis kelamin, umur/usia, dan
pekerjaan pasien RPK. Didapatkan
Tabel 5.3
Uji Normalitas Responden
bahwa dari 53 pasien sebagian pasien berjenis Uji Standa p-
kelamin laki-laki sebanyak 32 Normalitas Statistik r Eror value
responden (60.4%). Pada variabel
umur/usia diketahui bahwa responden terbanyak Skor 0.2
berada pada kategori dewasa awal yaitu 43 sebelum intervensi
responden (81.1%). Sedangkan pada variabel Mean 52.00 1.45
pekerjaan responden yang bekerja sebanyak 51 Skewness 0.36 0.33
responden (96.2%).
Skor 0.2
2. Gambaran skor kemampuan mengontrol setelah intervensi
marah pada responden sebelum dan setelah Mean 60.23 1.71
diberikan relaksasi otot progresif Skewness -0.28 0.33
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Skor Kemampuan
Mengontrol Marah Sebelum Dan Setelah Diberikan Hasil uji normalitas yang dilakukan oleh peneliti,
Terapi Relaksasi Otot Progresif Pada Pasien RPK di didapatkan nilai statistik mean sebelum
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa intervensi adalah 52.00 dan mean setelah
Tengah bulan April 2016 (n=53 responden) intervensi adalah
60.23. Nilai skewness pada saat sebelum
Variabel Mean SD intervensi adalah 0.36
sedangkan nilai skewness setelah intervensi -
0.28. Untuk nilai p-value sebelum dan setelah
intervesi adalah ρ:
Skor sebelum intervensi 52.00 10.5 0.2 (ρ > 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
Berdasarkan Skor
tabel setelah
5.2 menunjukkan
intervensi bahwa skor rata-
60.23 12.5 data berdistribusi normal.
rata (mean) kemampuan mengontrol marah
responden sebelum diberikan terapi relaksasi otot
progresif adalah 52.0 (rendah), setelah diberikan
intervensi rata-rata menjadi 60.23 (sedang)
sedangkan standar deviasi sebelum intervensi adalah
10.5 dan standar deviasi setelah intervensi menjadi
12.5

182
4. Analisis pengaruh relaksasi otot progresif terhadap PEMBAHASAN
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK. Usia
Tabel 5.4 Hasil penelitian ini diperoleh jumlah
Analisis Skor Kemampuan Mengontrol Marah Sebelum responden terbanyak adalah kelompok usia
Dan Setelah Diberikan Terapi Relaksasi Otot Progresif 22-40 tahun. Rentang usia tersebut dapat
Pada Pasien RPK di RPK di RSJD dr. Amino dikategorikan pada kelompok usia dewasa
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah bulan April 2016 awal. Jumlah responden pada kelompok
(n=53) dewasa dalam penelitian ini sebesar 43
ρ- responden (81.1%).
Variabel df t Mean SD
value
Skor Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
52.0 10.6 0.000 yang dilakukan oleh
pre test Wibowo (2012) yang berjudul
Skor 52 10.90
60.2 12.5 Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok:
post test
Stimulasi Persepsi Sesi I-III Terhadap
Kemampuan Mengenal dan
Hasil uji statistik dengan menggunakan Paired T–Test
Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Pasien
(Dependent T-Test) pada tabel 5.4 didapatkan bahwa
Perilaku Kekerasan yang
dengan responden sebanyak 53 orang, terlihat ada
menyatakan bahwa responden usia 22- 40
perubahan dari kemampuan mengontrol marah pada
tahun sebanyak 31 orang (77.5%).
pasien RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Jawa Tengah. Terbukti dari
Pasien di usia dewasa muda mudah
nilai thitung 10.90 lebih besar dari ttabel pada tingkat
mengalami gangguan mengontrol marah yang
signifikansi 5% yaitu 1.67 sehingga 10.90 > 1.67 berhubungan dengan persoalan-persoalan
(thitung > ttabel) dan nilai signifikansi (ρ-value ) = yang dialaminya seperti persoalan jabatan,
0.000 perkawinan, keuangan dan sebagainya.
< 0.05. Hal ini membuktikan bahwa ada Ketegangan emosional seringkali
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kemampuan dinampakkan dalam ketakutan-ketakutan atau
mengontrol marah pada pasien RPK di RSJD Dr. kekhawatiran-kekhawatiran melalui marah
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Dari nilai dan ketidakmampuan mengontrol marah.
mean dan standar deviasi terlihat bahwa terjadi Pengendalian marah seharusnya dapat
peningkatan kemampuan mengontrol marah, dimana dikelola dengan baik seiring dengan
mean dan standar deviasi sebelum dilakukan bertambahnya usia karena dengan
intervensi adalah bertambahnya usia kematangan emosional
52.00 dan 10.6 menjadi 6.2 dan 12.5. Hal ini seseorangpun berubah ke arah yang lebih baik
menunjukkan adanya atau sempurna. Pada masa dewasa awal
seharusnya bisa mengendalikan marah dengan
peningkatan kemampuan mengontrol
lebih baik karena mereka semestinya sudah
marah setelah dilakukan relaksasi otot progresif.
lebih dewasa dan matang dalam bertindak.

183
Jenis kelamin Seorang laki-laki yang kehilangan pekerjaannya
Hasil penelitian ini jumlah responden laki-laki lebih banyak mengalami perubahan peran sebagai laki-
banyak yaitu 32 responden (60.4%), sedangkan laki dan bisa membuat seseorang kehilangan
responden perempuan 21 responden (39.6%). harga dirinya di dalam kehidupan,
perekonomian, pergaulan, perasaan malu dan
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh rasa bersalah karena tidak dapat memenuhi
Yuhanda (2014) tentang efektifitas terapi relaksasi kebutuhan ekonomi hidup, sehingga laki-laki
nafas dalam dan tertawa dalam mengotrol perilaku akan mudah marah karena dirinya mempunyai
kekerasan pada pasien resiko perilaku kekerasan di tanggng jawab yang besar untuk menghidupi
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang yang keluarga dan dirinya sendiri. Sehingga jika itu
menyatakan bahwa responden laki-laki lebih banyak tidak terpenuh laki-laki akan merasa dirinya tdak
dari responden perempuan, responden laki- laki sempurna sebagai laki-laki (Saputri, 2015,
dengan jumlah 62 responden atau (79,5%). hlm.60).

Perbedaan dalam pengekspresian marah dihubungkan


Individu yang memiliki pengalaman kerja lebih
dengan perbedaan dalam tujuan laki-laki dan
lama, cenderung lebih rentan terhadap tekanan-
perempuan mengontrol marahnya. Perempuan lebih
tekanan dalam pekerjaan daripada individu
mengekspresikan marah untuk menjaga hubungan
dengan sedikit pengalaman. Tekanan-tekanan
interpersonal. Sedangkan laki-laki lebih
tersebut akan mempengaruhi emosi pasien dan
mengekspresikan marah dan bangga untuk
kemampuan mengontrol marah pasien.
mempertahankan dan
menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan
Kemampuan mengontrol marah
bahwa wanita lebih dapat mengontrol marahnya
sebelum dan setelah diberikan relaksasi otot
dibandingkan laki-laki.
progresif

Pekerjaan
Hasil penelitian rata-rata (mean) skor
Hasil penelitian diperoleh sebagian besar responden
kemampuan mengontrol marah sebelum
memiliki pekerjaan dengan presentase 96.2%. Hasil
dilakukan intervensi adalah
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
52.0 (rendah), setelah diberikan intervensi rata-
dilakukan oleh Kholid (2015) yang berjudul
rata menjadi 60.23 (sedang) sedangkan standar
Pengaruh terapi musik tradisional terhadap
deviasi sebelum intervensi adalah 10.5 dan
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK.
standar deviasi setelah intervensi menjadi 12.5.
Responden terbanyak dari penelitian tersebut adalah
bekerja, sebanyak 10 responden (66.7%).
Berdasarkan hasil wawancara selama penelitian
didapatkan data bahwa pasien yang mengalami
RPK merasa dalam situasi yang tidak nyaman
dan sering tidak menyenangkan akibat stresor
eksternal yaitu lingkungan sekitar. Hal ini sesuai
dengan faktor presipitasi yang dikemukakan oleh

184
Yosep, I. dan Sutini T (2014, hlm. Setelah dilakukan intervensi relaksasi otot
154) bahwa pasien akan berespon dengan marah progresif pada pasien RPK, terlihat ada
apabila terancam. Ancaman (stresor) dapat berasal perubahan dari kemampuan mengontrol marah
dari eksternal (lingkungan). Stimulus yang pada pasien RPK di RSJD Dr. Amino
menimbulkan ketegangan diterima oleh organ Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.
sensorik, amigdala dan prefrontal cortex Terbukti dari nilai thitung dan ttabel yaitu 10.90
mengirimkan sinyal bahaya ke divisi simpatetik dari
> 1.67 (thitung > ttabel) dan nilai signifikansi ( -
saraf otonom yang selanjutnya memberi perintah
value ) = 0.000 <
kepada kelenjar adrenalin untuk menghasilkan
Ini membuktikan bahwa ada
neurotransmitter, salah satu yang berperan dalam
pengaruh relaksasi otot progresif terhadap
marah adalah serotonin. Ketika seseorang
kemampuan mengontrol marah pada pasien
kekurangan serotonin, maka akan terjadi
RPK di RSJD Dr. Amino Gondohutomo
ketidakseimbangan
Provinsi Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan
neurotransmiter, yang kemudian akan mengganggu
penelitian yang dilakukan oleh Resti (2014)
pengontrolan emosi. Kekurangan serotonin ini
menyebutkan bahwa relaksasi otot progresif
mengakibatkan perilaku cepat marah, mudah
juga dapat memberikan efek psikologis.
tersinggung, dan kesal (Videbeck, 2008, hlm.24).
Setelah melaksanakan relaksasi otot progresif
responden menjadi lebih tenang dalam berfikir
Analisis Bivariat dan dapat mengelola rasa marah dan
Hasil penelitian skor kemampuan marah sebelum pernafasannya. Responden yang telah
dilakukan intervensi adalah 52.0 (sedang), sedangkan melakukan relaksasi otot progresif tubuh
setelah intervensi menjadi 60.2 (sedang). menjadi rileks dan pikiran menjadi tenang.
Selain itu setelah relaksasi otot progresif gejala
RPK adalah suatu keadaan dimana seseorang emosi seperti mudah marah dan tersinggung
melakukan tindakan yang dapat membahayakan dapat berkurang.
secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah Relaksasi otot progresif dapat meningkatkan
yang tak terkontrol kemampuan
(Kusumawati & Hartono, 2010, mengontrol marah, hal ini dinyatakan oleh
hlm.78). Pengendalian marah adalah suatu tindakan Purwanto (2013, hlm.35) bahwa manfaat
untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu amarah relaksasi otot progresif antara lain
dengan cara yang tepat dan positif serta dapat meningkatkan keterampilan dasar relaksasi
diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah untuk mengontrol marah dan memperbaiki
sesuatu yang buruk atau merugikan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatasi stres. Selain itu
orang lain. Apabila pasien memberikan makna positif relaksasi otot progresif bermanfaat untuk
saat marah maka pasien dapat melakukan kegiatan meningkatkan produksi serotonin. Serotonin
secara positif dan terapai perasaan lega. Selain itu ini berkaitan dengan mood. Bersantai
kemarahan yang diekspresikan secara konstruktif melakukan relaksasi otot progresif dapat
dapat menyelesaikan membantu tubuh mengurangi ketegangan otot
masalah. dan saraf dan meningkatkan kemampuan
dasar relaksasi (Alam & Hadibroto, 2007,
hlm.102).
Pengendalian marah yang cukup baik berarti pasien
(thitung>ttabel). Maka dapat diartikan bahwa Ha
dapat mengendalikan atau mengurangi marah dengan
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada
melakukan relaksasi. Pemberian relaksasi otot
pengaruh relaksasi otot rogresif terhadap
progresif memiliki manfaat untuk meningkatkan
kemampuan mengontrol marah pada pasien RPK
teknik relaksasi yang harus dimiliki oleh pasien RPK.
Dengan memperhatikan manfaat tersebut didukung
dengan lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman, SARAN
dan keadaan responden yang kooperatif dapat
Bagi Rumah Sakit
memaksimalkan manfaat dari intervensi tersebut.
Pihak RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Sehingga relaksasi otot progresif dapat dijadikan
Jawa Tengah dapat memberikan pelatihan
pilihan dalam memberikan terapi modalitas yang
relaksasi otot progresif kepada perawat yang
digunakan oleh pasien RPK sebagai salah satu
intervensi untuk mengontrol marah. belum memiliki spesialisasi dalam hal tersebut
sehingga perawat mampu dan layak untuk
melakukan relaksasi otot progresif. Sedangkan
SIMPULAN
untuk perawat RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Berdasarkan hasil penelitian yang Provinsi Jawa Tengah dapat menggunakan hasil
dilakukan tentang pengaruh relaksasi otot progresif penelitian ini sebagai salah satu intervensi
terhadap kemampuan alternatif untuk membantu mengontrol marah
mengontrol marah pada pasien RPK di RSJD Dr. pada pasien RPK
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah Bagi Institusi
sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut: Sebagai pembelajaran pentingnya mengontrol
Karakteristik responden kategori jenis kelamin paling emosi dan melakukan intervensi relaksasi otot
banyak laki-laki 32 responden 60.4%, kategori usia progresif pada pasien RPK, serta menjadi bukti
paling banyak usia dewasa awal (22 - 40) sebanyak ilmiah dalam pendidikan khususnya untuk
43 responden 81.1%, kategori pekerjaan yang paling profesi keperawatan jiwa.
Bagi Peneliti Selanjutnya
banyak responden yang bekerja sebanyak 51
responden (96.2%). Pada penelitian selanjutnya intervensi dapat
digunakan pada pasien lain di komunitas
Tingkat kemampuan mengontrol marah sebelum
ataupun panti dan
diberikan intervensi relaksasi otot progresif pada
menambahkan variabel-variabel yang banyak
responden yang mengalami RPK dengan skor rata-
berpengaruh terhadap
rata 52.0 (rendah) dan standar deviasi 10.5
kemampuan mengontrol marah pada RPK.
Tingkat kemampuan mengontrol marah setelah
Peneliti selanjutnya dapat
diberikan intervensi relaksasi otot progresif pada
menggunakan kelompok kontrol agar hasilnya
responden yang mengalami RPK dengan skor rata-
lebih akurat.
rata 60.23 (sedang) dan standar deviasi 10.5
Berdasarkan uji statistik Paired T- Test diperoleh
hasil ρ-value
sebesar 0.000 dan nilai thitung 10.90
dan ttabel 1.67 sehingga 10.90 > 1.67
DAFTAR PUSTAKA Potter & Perry. (2005). Buku fundamental
keperawatan, konsep, proses dan praktik edisi 4.
Alam, S. & Hadibroto, I. (2007). Gagal ginjal. Jakarta: EGC
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Purwanto. (2013). Herbal dan keperawatan
Fitria, N. (2009). Prinsip dan aplikasi penulisan komplementer teori, praktik, hukum dalam
laporan pendahuluan dan strategi asuhan keperawatan. Jakarta: Nuha Medika
pelaksanaan tindakan
keperawatan (LP dan SP) untuk tujuh Resti, I.B. (2014). Teknik relaksasi otot progresif
diagnosa keperawatan untuk mengurangi stres pada penderita asma.
jiwa berat bagi Malang: Universitas
Program S! Keperawatan. Muhammadiyah Malang
Jakarta: Salemba Medika
Saputri, L.D. (2015). Pengaruh terapi spiritual
Keliat, B.A.. & Pasaribu, J. (2013). Prinsip dan mendengarkan ayat suci al quran terhadap
praktik keperawatan kesehatan jiwa stuart kemampuan mengontrol emosi pada pasien
resiko perilaku kekerasan. Semarang: STIKES
edisi Indonesia. Singapore: Elsevier TELOGOREJO

Kholid. B. (2015). Pengaruh terapi musik Sudiatmika, I.K. (2011). Efektivitas cognitive
tradisional terhadap kemampuan mengontrol marah behaviour therapy dan rational emotive
pada pasien resiko perilaku Kekerasan. Semarang: behaviour terhadap klien dengan perilaku
Universitas Islam Sultan Agung kekerasan dan halusinasi di Rumah Sakit Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor. Depok: FKUI
Kozier, et al., (2010). Buku fundamental
keperawatan konsep, proses dan praktik volume 1. Videbeck, S.L. (2008). Buku
Jakarta: EGC ajar keperawatan jiwa.
Jakarta: EGC
Kusumawati, F., & Hartono, Y. (2010). Buku ajar
keperawatan jiwa. Jakarta: Salemba Medika Wibowo, F. (2012). Pengaruh terapi aktivitas
kelompok: stimulasi
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi penelitian persepsi sesi I-III terhadap
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta kemampuan mengenal dan
mengontrol perilaku kekerasan pada pasien
Nursalam. (2014). Metodologi penelitian ilmu perilaku kekerasan. Semarang:
keperawatan pendekatan praktis edisi 3. Jakarta: STIKES
Salemba Medika TELOGOREJO

Pontoh, D.D., Bawong, J. & Rottie, J. (2013). Yanuar, R. (2011). Analisis faktor yang
Gambaran ungkapan marah terhadap kemampuan berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa di
mengontrol perilaku kekerasan pada pasien Desa Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten
skizofrenia di ruangan Warane Rumah Sakit Jiwa Ponorogo. http://journal.unair.ac. id/ diunduh
Prof. Dr. V.lratumbuysang Propinsi Sulawesi pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 20.50 WIB
Utara. http:
//ejournal.unsrat.ac.id/, diperoleh pada tanggal 5 Yosep, I.,& Sutini, T. (2014). Buku ajar
Januari 2015 pukul keperawatan jiwa. Bandung: PT.Refika Aditama
11.50 WIB
Yuhanda, D. (2014). Tentang efektifitas terapi relaksasi nafas
dalam dan tertawa dalam mengotrol perilaku kekerasan pada
pasien resiko perilaku kekerasan. Semarang: STIKES
TELOGOREJO

185 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol. III No. 3, Juni 2018 117-196
Tand
a
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA
MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT
MARZOEKI MAHDI BOGOR

Sri Suryaningrum1, Ice Yulia Wardani2


Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder
Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder
Djohan, Depok, Jawa Barat-16424 Email: srisuryaningrum@ymail.com

ABSTRAK

Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah satu
manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga dapat
menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian adalah
mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan tehnik purposive sampling terhadap
103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara beban dengan kemampuan
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat
pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.

Kata kunci:Beban,Kemampuan, Keluarga,Perilaku kekerasan, Skizofrenia.

ABSTRACT

Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation of
schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of family to care
for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and the family ability to
care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi Hospital of Bogor. This study
used analitical design and collected 103 samples using the purposive sampling technique. This study result
indicated a significant relationship between family’s burden and family ability to care for patient with violent
behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to increase family capability in caring for patient with
abusive behavior in order to lower the burden perceived by the family.

Key words: Burden, Ability, Family, Violent Behavior, Schizophrenia.

Tand
a
PENDAHULUAN dalam menghadapi perilaku pasien, dan beban
sosial terutama menghadapi stigma dari
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari 10 masyarakat tentang anggota keluarganya yang
penyakit terbesaryang membebankan di seluruh mengalami gangguan jiwa. Dampak dari beban
dunia. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi
yang diberikan keluarga dan terkait kejahatan kemampuan keluarga dalam merawat pasien.
serta terkait kesejahteraan akibat skizofrenia Jika keluarga terbebani kemungkinan keluarga
sebesar 33 miliar dolar setiap tahunnya di tidak mampu merawat pasien dengan baik.
Amerika Serikat (Stuart, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut maka
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan bahwa dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
prevalensi gangguan jiwa di Indonesia adalah “Apakah ada hubungan antara beban keluarga
4,6 0/00. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi dengan kemampuan keluarga dalam merawat
DKI Jakarta (20,3 0/00) yang kemudian secara pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS
berturut-turut diikuti oleh Provinsi Nangro Aceh Marzoeki Mahdi Bogor?”
Darussalam (18,5 0/00), Sumatera Barat (16,7
0
/00), Nusa Tenggara Barat (9,9 0/00), Sumatera METODE
Selatan (9,2 0/00). Prevalensi terendah terdapat di
Maluku (0,9 0/00). Desain penelitian ini adalah desain analitik
Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di dapat kategorik berpasangan, yaitu metode untuk
dari bagian rekam medis pada tahun 2010 pasien mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
skizofrenia yang dirawat inap berjumlah 9952 orang beban keluarga dengan kemampuan keluarga
dan pasien rawat jalan berjumlah 1217 orang, merawat pasien perilaku kekerasan.
sedangkan tahun 2011 pasien yang dirawat inap
berjumlah 1549 orang dan yang rawat jalan Sampel yang diambil dalam penelitian ini
berjumlah 15770 orang. Hal ini menunjukkan bahwa ditentukan dengan menggunakan teknik
terjadi peningkatan jumlah pasien skizofrenia yang pengambilan sampel purposive sampling, yaitu
menjalani pengobatan rawat inap dan rawat jalan di dengan terlebih dahulu menentukan kriteria.
RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu tahun Kriteria yang dipakai adalah inklusi. Kriteria
terakhir. inklusi dalam penelitian ini yaitu keluarga pasien
yang anggota keluarganya mengalami skizofrenia
Pasien skizofrenia terutama yang mengalami dengan perilaku kekerasan dan pernah dirawat
perilaku kekerasan membutuhkan dukungan lebih dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu
keluarga yang mampu memberikan perawatan berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal
secara optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem serumah dengan pasien
pendukung utama sering mengalami beban yang
Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner The
tidak ringan dalam memberikan perawatan Zarith Burden Interview versi bahasa indonesia,
selama pasien dirawat di rumah sakit maupun merupakan instrumen untuk variabel independen
setelah kembali ke rumah. yaitu beban yang dirasakan keluarga. Kuesioner
pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat
Beban tersebut yaitu beban finansial dalam pasien perilaku kekerasan merupakan instrument
biaya perawatan, beban mental untuk variable dependen. Pengolahan data sesuai
dengan langkah-langkah edit data (editing),
memberikan kode (coding),

Tand
a
memasukkan data dalam tabel (entry),dan signifikan. Pada variabel pengetahuan keluarga
membersihkan data (cleaning). menunjukkan mayoritas responden memiliki
pengetahuan sedang 69 responden dan tinggi 34
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini responden. Variabel sikap keluarga menunjukkan
adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis 75 responden memiliki sikap tidak baik. Sedangkan
univariat dalam melakukan uji statistik variabel kemampuan keluarga terdapat 51
menggunakan uji distribusi dan proporsi. Analisis responden memiliki kemampuan tidak baik.
bivariat pada penelitian ini menggunakan uji Chi
Square karena variabel yang diteliti berjenis Tabel 2
kategorik dan kategorik. Hubungan antara Beban dengan Pengetahuan
Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
Etika pengambilan data pada penelitian ini di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013
menggunakan prinsip manfaat, prinsip menghargai (n=103)
martabat manusia, prinsip Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga value
(95%
Sedang Tinggi CI)
HASIL n % n %
Tabel 1 Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Keluarga Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan di Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor, Tahun 2013 Jumlah 69 67 34 33
(n=103)
Peresentase Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien perilaku
Beban Sedang 35 34,0 kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan tidak
Beban Ringan 36 35,0 ada hubungan antara beban dengan pengetahuan
Tanpa Beban 14 13,6 keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
Jumlah 103 100 P value>0,05.
Variabel Dependen
Pengetahuan Tabel3
Keluarga Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan Sikap
Sedang 69 67,0 KeluargaDalam MerawatPasien Perilaku
Tinggi 34 33,0 Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Bogor
Jumlah 103 100 Tahun 2013 (n=103)
Sikap Keluarga
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR (95%
Jumlah 103 100 Beban
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik value CI)
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 Beban Berat 16 88,9 2 11,1 0,188
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 0,310 0,016
Beban Ringan 30 60 20 40
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat, Jumlah 75 72,8 28 27,2
jumlah tersebut cukup

Tand
a
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 responden 000,- dan rata-rata penghasilan responden adalah
mengalami beban berat dan memiliki sikap tidak Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut merupakan
baik dalam merawat pasien perilaku kekerasan. Uji nominal yang sangat jauh
analisis menunjukkan adanya hubungan antara dibawah standar UMR Bogor tahun 2013 yaitu Rp
beban dengan sikap keluarga dalam merawat pasien 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan penelitian
perilaku kekerasan P Value<0,05. Gururaj, Bada, Reddy dan
Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
Tabel 4 dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan finansial memiliki rata- rata yang paling tinggi.
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi
Oleh karena itu apabila keluarga tidak memiliki
Bogor Tahun 2013 (n=103) sumber dana yang cukup atau jaminan kesehatan,
maka akan menjadi beban yang sangat berat bagi
keluarga.

Kemampuan Keluarga
OR (95% Pengetahuan Keluarga dalam merawat pasien
Beban Perilaku Kekerasan.
P
Keluarga value CI) Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
Sedang Tinggi mayoritas responden memiliki pengetahuan
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,105
Beban Sedang 21 60,0 14 40,0 0,182 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini (2011)
Beban Ringan 14 38,9 22 61,1 0,010 0,429 mendukung penelitian ini yang
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan
Jumlah 69 67 34 33 pada keluarga pasien skizofrenia sebagian
besar adalah tinggi (55,6%). Hal ini
Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13 responden dimungkinkan dari kriteria keluarga yang
yang mengalami beban berat dan memiliki ambil dalam penelitian ini adalah keluarga
kemampuan tidak baik dalam merawat pasien pasien yang pernah dirawat minimal satu
perilaku kekerasan. Hasil uji analisis menunjukkan kali, yang sering mendapatkan informasi
adanya hubungan yang signifikan antara beban maupun pendidikan kesehatan tentang cara
dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien merawat pasien perilaku kekerasan dari
perilaku kekerasan P value <0,05. petugas kesehatan.
Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang
PEMBAHASAN diperoleh baik dari pendidikan formal
maupun non formal dapat memberikan
Beban Keluarga dalam Merawat Pasien Perilaku pengaruh jangka pendek sehingga
Kekerasan menghasilkan perubahan atau peningkatan
Pada analisis beban keluarga terdapat 17,5% atau 18 pengetahuan. Pendidikan non formal tersebut
responden yang memiliki beban berat. Nuraenah, dapat mempengaruhi pengetahuan keluarga
Mustikasari, & Putri (2012) mendukung penelitian tentang cara merawat pasien perilaku
ini bahwa beban keluarga dalam merawat anggota kekerasan menjadi tinggi. Dapat disimpulkan
dengan riwayat perilaku kekerasan yaitu 95%. bahwa jika pengetahuan keluarga tinggi
Beban berat yang dialami keluarga bisa dipengaruhi maka akan meningkatkan kemampuan
oleh berbagai hal diantaranya adalah faktor sosial keluarga dalam memberikan perawatan pada
ekonomi. Dalam hasil penelitian ini masih banyak pasien perilaku kekerasan yang hasilnya pun
keluarga yang merawat anggota keluarganya yang akan menjadi optimal.
mengalami perilaku kekerasan memiliki penghasilan
rendah, yaitu penghasilan terendah adalah Rp 150 Sikap Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
bahwa mayoritas responden memiliki sikap
tidak baik terhadap pasien sebanyak 75

Tand
a
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha & gangguan jiwa sering melanda keluarga karena
Gayatri (2012) didapatkan hasil responden dengan berkurangnya stress tolerance.
sikap negative lebih banyak yaitu sebesar 53,6%.
Bagi pasien jiwa yang mengalami perilaku Peneliti berpendapat bahwa
kekerasan dan kronis membutuhkan waktu ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan karena
perawatan bertahun-tahu, yang dapat menjadikan keluarga mengalami kelelahan secara fisik maupun
keluarga mengalami kejenuhan dalam memberikan mental selama merawat anggota keluarganya yang
perawatan pada pasien sehingga bersikap tidak baik. mengalami perilaku kekerasan. Dampak yang di
Faktor lain adalah perilaku kekerasan yang rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan yang
dilakukan pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat dilakukan pasien sangat mempengaruhi sikap
(2003) Perilaku kekerasan adalah tindakan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan,
menciderai orang lain, diri sendiri, merusak harta sehingga kemampuan keluarga menjadi tidak baik.
benda (lingkungan), dan ancaman secara
verbal.Muesser & Gingerich (2006) juga Hubungan Antara Beban dengan Pengetahuan
menjelaskanbahwa anggota keluarga sering menjadi Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku
korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kekerasan
penderita skizofrenia. Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga dengan
beban berat memiliki pengetahuan sedang
Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku kekerasan sebanyak 26 orang dan pengetahuan tinggi
yang dilakukan pasien terhadap keluarga sangat sebanyak 5 orang. Simatupang (2010) mendukung
merugikan keluarga dan mempengaruhi sikap penelitian ini yang menyebutkan bahwa mayoritas
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan. responden (90%) memiliki pengetahuan yang baik
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar bahkan tentang perilaku kekerasan termasuk definisi,
sampai memukul terhadap keluarga, berkata-kata tanda, dan gejala pasien dengan perilaku kekerasan.
yang menyakitkan, merusak barang-barang keluarga,
merusak dan mengganggu lingkungan. Dampak dari Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan dalam
perilaku tersebut memungkinkan keluarga menjadi merawat pasien perilaku kekerasan sudah dipahami
bersikap tidak baik terhadap anggota keluarganya oleh keluarga. Hal ini dikarenakan bahwa keluarga
yang mengalami perilaku kekerasan. pasien yang pernah di rawat di Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor telah mendapatkan
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Pasien pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan. Yang
Perilaku Kekerasan. menarik dari hasil penelitian ini adalah keluarga
Kemampuan keluarga merupakan gabungan dari mengalami beban berat meskipun memiliki
pengetahuan dan sikap keluarga dalam merawat pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa dikarenakan
pasien perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain
didapatkan bahwa responden yang memiliki faktor sosial ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
kemampuan tidak baik sebanyak 51 orang. memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
Penelitian ini didukung oleh Hernawaty (2009) keluarga dengan pendidikan yang rendah. Hal ini
bahwa rerata kemampuan kognitif keluarga dalam Sesuai dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
merawat klien gangguan jiwa sebesar 32,15, dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
kemampuan psikomotor 32,55. Fontaine (2003) dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
menyatakan bahwa kemampuan keluarga ditentukan finansial memiliki rata-rata yang paling tinggi.
oleh kemampuan untuk manajemen stres yang Oleh karena itu meskipun
produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama
merawat anggota keluarga dengan

Tand
a
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika kondisi keluarga tidak bekerja, dan pendidikan yang
finansial rendah maka beban keluarga akan menjadi rendah. Beban tersebut termasuk dalam kategori
berat. beban obyektif. Nadya (2009) menjelaskan beban
obyektif adalah berbagai beban dan hambatan yang
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap dijumpai dalam kehidupan keluarga yang berkaitan
Keluarga Dalam merawat Pasien Perilaku dengan perawatan penderita gangguan jiwa,
Kekerasan diataranya adalah beban biaya finansial yang
Hasil penelitian ini terdapat responden yang dikeluarkan untuk merawat penderita. Sesuai
mengalami beban ringan memiliki sikap tidak baik dengan penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
sebanyak 30 orang. Keluarga yang mengalami beban Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam
ringan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu sosial dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor
ekonomi yang memadai, adanya sistem pendukung finansial memiliki rata- rata yang paling tinggi.
yang cukup dan keluarga memiliki konsep spiritual Peneliti berpendapat jika kondisi sosial ekonomi
yang tinggi sehingga mampu beradaptasi untuk tidak memadai maka beban yang dirasakan
menerima penyakit yang diderita anggota keluarga menjadi berat.
keluarganya. Sesuai dengan konsep Potter & Perry
(2005) yang menjelaskan bahwa spiritualitas secara Fontaine (2003) menjelaskan bahwa kemampuan
signifikan membantu klien dan pemberi layanan keluarga ditentukan oleh kemampuan untuk
untuk beradaptasi terhadap perubahan yang manajemen stres yang produktif. Kelelahan fisik
diakibatkan oleh penyakit kronis. dan emosi selama merawat anggota keluarga
dengan gangguan jiwa sering melanda keluarga
Jika keluarga mengalami beban ringan maka sikap karena berkurangnya stress tolerance. Teschinsky
keluarga terhadap pasien perilaku kekerasan (2000) juga menjelaskan bahwa keluarga yang
seyogyanya akan menjadi baik. Yang menarik dari merawat anggota keluarga dengan perilaku
penelitian ini adalah terdapat 30 responden kekerasan akan mengalami reaksi emosi terhadap
mengalami beban ringan namun memiliki sikap gangguan dan stigma sosial yang ditimbulkan
yang tidak baik terhadap anggota keluarganya. Hal karena perilaku kekerasan dengan dampak lainnya.
ini dimungkinkan karena dampak yang diterima oleh Dapat dimungkinkan hal inilah yang menyebabkan
keluarga dari sikap pasien perilaku kekerasan. keluarga memiliki kemampuan tidak baik dalam
Sesuai dengan konsep Muesser & Gingerich (2006) merawat pasien perilaku kekerasan
bahwa anggota keluarga sering menjadi korban
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh penderita Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku
skizofrenia. Pasien yang mengalami perilaku kekerasan adalah tindakan menciderai orang lain,
kekerasan memberi dampak yang merugikan bagi diri sendiri, merusak harta benda (lingkungan), dan
keluarga sehingga keluarga bersikap tidak baik ancaman secara verbal. Muesser & Gingerich
terhadap dirinya. (2006) juga menjelaskan bahwa anggota keluarga
sering menjadi korban tindakan kekerasan yang
Hubungan Antara Beban dengan Kemampuan dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal ini dapat
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku diartikan bahwa Perilaku kekerasan yang dilakukan
Kekerasan. pasien terhadap keluarga sangat merugikan
keluarga dan mempengaruhi sikap keluarga dalam
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga merawat pasien perilaku kekerasan menjadi tidak
dengan beban berat memiliki kemampuan tidak baik baik.
yaitu 13 orang. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor
sosial ekonomi antara lain kesulitan finansial,

Tand
a
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan adanya dalam merawat pasien perilaku kekerasan P value >
hubungan yang signifikan antara beban dengan 0,05.
kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku
kekerasan (P Value<0,05). Hal ini dimungkinkan DAFTAR PUSTAKA
bahwa beban keluarga sangat mempengaruhi
kemampuan keluarga dalam merawat pasien Depkes.(2007).Riset kesehatan
perilaku kekerasan. Jika keluarga terbebani maka dasar.Jakarta: Balitbangkes Depkes.RI.
keluarga tidak mampu merawat pasien perilaku Fontaine,K.L.(2003) Mental health nursing.New
kekerasan secara baik. jersey.Pearson
Education.Inc.
KESIMPULAN Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,&Ch
Berdasarkan data demografi di Poliklinik RS andrashekar.,C.R.(2008) Family burden, quality of
Marzoeki Mahdi Bogor yaitu responden penelitian life and disabilityin obsesive compulsive
sebanyak 103 orang dengan kelompok usia rata-rata disorder;in Indian perspective.J Postgradmed, 91-
responden adalah 50,46 tahun. Jenis kelamin 97.
responden mayoritas Perempuan. Tingkat Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi suportif
pendidikan responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan keluarga terhadap kemampuan keluarga merawat
responden mayoritas tidak bekerja. klien gangguan jiwa di kelurahan Bubulak Bogor
Penghasilan responden rata-rata Rp 1.178.640,-. Barat. Depok. Tesis. FIK UI
Hubungan dengan pasien mayoritas adalah ibu. Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan klien dan
Karakteristik pasien berdasarkan usia didapatkan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
hasil bahwa rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor.
Jenis kelamin pasien mayoritas laki-laki. Pendidikan Disertasi. Jakarta.
pasien mayoritas SD dan SMU. Jenis pekerjaan Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The complete
pasien mayoritas tidak bekerja atau IRT. family guide to schizophrenia. New York: Guilford
Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden press.
mayoritas dengan beban keluarga ringan dan sedang. Nadya.R.(2009) Gambaran kebahagiaan dan
Responden mayoritas memiliki pengetahuan sedang karakteristik positif wanita dewasa madya yang
dan sikap tidak baik.Kemampuan responden dalam menjadi caregiver informal penderita skizofrenia.
merawat pasien perilaku kekerasan di Poliklinik RS Depok: Fakultas psikologi UI.
Marzoeki Mahdi Bogormemiliki kemampuan baik Notoatmodjo.(2010)Ilmu perilaku
lebih tinggi dari pada kemampuan tidak baik, tetapi kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
jumlah kemampuan tidak baik cukup signifikan. Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E (2012)
Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa tidak ada Hubungan dukungan keluarga dan beban keluarga
hubungan yang bermakna antara beban dengan dalam merawat anggota dengan riwayat perilaku
tingkat pengetahuan keluarga dalam merawat pasien kekerasan di RS Jiwa Islam klender jakarta Timur.
perilaku kekerasan, nilai P value > 0.05. Ada Depok.FIK.UI .Tesis.
hubungan yang signifikan antara beban dengan sikap Potter & Perry (2005) Fundamental of nursing;
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan P Concept process and practice four edition.
value < 0,05, dan ada hubungan yang signifikan Philadelphia: Mosby Year Book. Inc.
antara beban keluarga dengan kemampuan keluarga Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat i.W.
(2011).Faktor-faktoryang berhubungan dengan
kekambuhan pada pasien skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Amino Gondoutomo Semarang.
Simatupang.(2010). Hubungan tingkat pengetahuan
keluarga tentang perilaku kekerasan dengan
kesiapan keluarga

Tand
a
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei 2013.
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam pemberian
perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi

1
Stuart.G.W. (2007) Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Alih bahasa Kapoh.R.P
&Komarayuda.E.Jakarta: EGC.
Teschinky, U. (2000). Living with schizophrenia: the family illness experience.Online J Issues
Nurs. Diakses 8 mei 2013.

2
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN RATIONAL
EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY TERHADAP GEJALA
DAN KEMAMPUAN MENGONTROL EMOSI PADA
KLIEN PERILAKU KEKERASAN

I Ketut Sudiatmika*), Budi Anna Keliat**), dan Ice Yulia Wardani***)

*) Perawat Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Jl Dr. Sumeru No 114 Bogor, Bogor 16111, Indonesia
**) Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Jakarta 10430, Indonesia
***) Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI
Depok, Jakarta 10430, Indonesia
Email : ikt.mika@yahoo.com

Abstrak
Perilaku kekerasan merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat mengontrol perilaku marahnya sehingga
dieksprresikan dalam bentuk perilaku agresif fisik dan atau verbal yang dapat mencederai diri sendiri, orang lain
dan merusak lingkungan sehingga membutuhkan tindakan keperawatan yang efektif dan tepat. Tindakan
keperawatan spesialis yang dapat diberikan pada klien perilaku kekerasan adalah cognitive behaviour therapy dan
rational emotive behaviour therapy. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas cognitive behaviour therapy
(CBT) dan rational emotive behaviour therapy (REBT) terhadap perubahan gejala dan kemampuan klien perilaku
kekerasan di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian quasi eksperimental dengan jumlah
sampel 60 responden. Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan lebih besar pada klien yang
mendapatkan daripada yang tidak mendapatkan CBT dan REBT (p value < 0.05). Kemampuan kognitif, afektif
dan perilaku klien yang mendapatkan CBT dan REBT meningkat secara bermakna (p value < 0.05). CBT dan
REBT direkomendasikan sebagai terapi keperawatan pada klien perilaku kekerasan dan halusinasi.

Kata kunci: perilaku kekerasan, kemampuan kognitif, afektif dan perilaku, cognitive behaviour therapy, rational
emotive behaviour therapy.

3
PENDAHULUAN mengalami skizofrenia. Departemen
Penduduk di seluruh dunia diperkirakan Kesehatan Republik Indonesia (2003)
mengalami gangguan mental sekitar 450 juta mencatat bahwa 70% gangguan jiwa terbesar
orang, sekitar 10% orang dewasa mengalami di Indonesia adalah Skizofrenia. Kelompok
gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk American Association
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa Psychiatric (APA) menyebutkan beberapa
pada usia tertentu selama hidupnya (WHO, penelitian telah melaporkan bahwa skizofrenia
2009). Gangguan jiwa mencapai 13% dari mempunyai insiden lebih tinggi untuk
penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000
akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. dalam Sadino, 2007). Wahyuningsih (2009)
National Institute of Mental Health (NIMH) menyatakan bahwa klien skizofrenia memiliki
berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika riwayat kekerasan baik sebagai pelaku,
Serikat tahun 2004, memperkirakan 26,2 % korban, atau saksi sebanyak 62,5%.
penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih
mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). Fauziah (2009) meneliti 13 orang klien
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kasus skizofrenia yang mengalami perilaku
gangguan jiwa yang ada di negara- negara kekerasan dan didapatkan kemampuan
berkembang. Indonesia sebagai salah satu kognitif dan perilaku klien meningkat setelah
negara berkembang berdasarkan hasil riset diberikan cognitive behaviour therapy.
kesehatan dasar (Ris.Kes.Das, 2008) yang Kemampuan kognitif klien meningkat secara
dilakukan oleh Badan Penelitian bermakna sebesar 66% dan perilaku 66%.
Pengembangan Kesehatan Departemen Putri (2010) dalam penelitiannya terhadap 28
Kesehatan, menunjukkan prevalensi gangguan klien skizofrenia yang mengalami perilaku
jiwa berat di Indonesia sebesar 4.6 permil, kekerasan menyatakan bahwa terapi Rational
artinya dari 1000 penduduk Indonesia, maka Emotif Behaviour Therapy (REBT) mampu
empat sampai lima orang diantaranya meningkatkan kemampuan kognitif sebesar
menderita gangguan jiwa berat. 9.6% dan sosial 47%. REBT juga mampu
menurunkan respon emosi 43%, fisiologis
Skizofrenia merupakan salah satu jenis 76%, dan perilaku 47%. Penurunan gejala
gangguan jiwa berat yang paling banyak perilaku kekerasan masih bisa dioptimalkan
ditemukan. Stuart (2009) menyebutkan di jika dipadukan dengan tindakan keperawatan
Amerika Serikat sekitar 1 dari 100 orang spesialis.

4
METODOLOGI sebagian besar tidak kawin 45 orang (75.0%),
Penelitian ini adalah penelitian quasi adanya riwayat gangguan jiwa 35 orang
experimental dengan metode kuantitatif (58.3%) dan frekuensi dirawat di rumah sakit
dengan menggunakan desain penelitian 2 kali atau lebih 45 orang (75.0%).
“Quasi Experimental Pre-Post Test with Perubahan gejala perilaku kekerasan sebelum
Control Group” dengan intervensi Cognitive dan sesudah pelaksanaan cognitive behaviour
Behaviour Therapy (CBT) dan Rational therapy dan rational emotive behaviour
Emotive Behaviour Therapy (REBT). Teknik therapy.
pengambilan sampel menggunakan Purposive
8070,97
Sampling. Penelitian ini dilakukan untuk 70
60 59,03
mengetahui efektivitas Cognitive Behaviour 71,5
50
Therapy dan Rational Emotive Behaviour 40 50
30 Intervensi
Therapy terhadap perubahan gejala dan 20 Kontrol
kemampuan kognitif, afektif dan perilaku 10
0
klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat
Sebelum Sesudah
di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor. Penurunan gejala perilaku kekerasan pada
Responden berjumlah 60 orang yang terdiri klien yang mendapatkan CBT dan REBT lebih
atas 30 orang menjadi kelompok kontrol dan besar mencapai rata-rata 50.00 (77%) dalam
30 orang kelompok intervensi. Analisis katagori rendah daripada klien yang tidak
statistik yang digunakan adalah univariat, mendapatkan CBT dan REBT mencapai 59.03
bivariat dan multivariat dengan analisis (66%) dalam katagori sedang.
dependen dan independent sample t-Test, Chi- Efektifitas CBT dan REBT dalam
square serta regresi linier ganda dengan menurunkan gejala perilaku kekerasan adalah:
tampilan dalam bentuk tabel dan distribusi
frekuensi.
HASIL PENELITIAN
Berikut akan dijabarkan hasil penelitian :

Karakteristik klien dengan perilaku


E= 21.50-11.93 x100%= 45
kekerasan dalam penelitian ini lebih banyak 21.50
%
laki-laki 51 orang (85.0%),
sebagian besar tidak bekerja 32 orang Perubahan kemampuan kognitif, afektif dan
(53.3%), memiliki jenjang pendidikan SMA perilaku klien dengan perilaku kekerasan
dan PT 36 orang (60.0%), sebelum dan

5
sesudah pelaksanaan cognitive behaviour terutama klien yang menikah. Penelitian tidak
therapy dan rational emotive behaviour menemukan karakteristik yang berpengaruh
therapy. terhadap peningkatan kemampuan kognitif dan
250 afektif klien.
Kognitif
200 198,8
150
Afektif
PEMBAHASAN
100101,5
50
Cognitive behaviour therapy dan rational
Perilaku

0 behaviour therapy menurunkan gejala perilaku


SebelumSesudah kekerasan baik secara kognitif, emosi, perilaku,
sosial, dan fisik mencapai 77% secara bermakna
Kemampuan kognitif klien meningkat
dari tingkat yang sedang ke tingkat rendah.
secara bermakna mencapai 65.87 (74%),
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
afektif
kognitif mencapai 86%, sedangkan klien yang
66.03 (76%), dan perilaku 66.90 (77%)
tidak diberikan CBT dan REBT mencapai 76%.
dengan p value < 0.05.
Kelompok klien yang tidak mendapatkan CBT dan
Komposit kemampuan kognitif, afektif dan
REBT juga mengalami penurunan gejala perilaku
perilaku meningkat mencapai 198.80 (75%)
kekerasan secara kognitif, namun penurunan
dengan p value < 0.05.
gejala yang terjadi masih dalam tingkat sedang.
Efektifitas CBT dan REBT dalam
Penurunan gejala perilaku kekerasan pada
meningkatkan kemampuan
kelompok yang tidak mendapatkan terapi
kognitif, afektif dan perilaku pada klien
CBT dan REBT terjadi karena kelompok
perilaku kekerasan adalah:
E = 41 % 198.80-101.50 x 100% =
240 klien tersebut mendapatkan terapi generalis yang
sesuai dengan standar asuhan keperawatan (SAK).
Rieckert (2000)
Penelitian ini tidak
menemukan menyatakan bahwa terapi REBT secara
karakteristik klien yang berpengaruh terhadap signifikan dapat mengurangi kemarahan,
penurunan gejala perilaku kekerasan. perasaan bersalah dan harga diri yang rendah.
Karakteristik yang berpengaruh terhadap Aaron T. Beck tahun 1960an menemukan bahwa
peningkatan kemampuan perilaku klien adalah kognisi klien memiliki dampak yang luar biasa
usia terutama terhadap perasaan dan perilakunya. Beck
32 tahun dan status perkawinan menyatakan kesulitan emosional dan perilaku
seseorang

6
dalam hidupnya disebabkan cara mereka Perbedaan terlihat signifikan dimana klien
menginterpretasikan berbagai peristiwa yang yang mendapatkan CBT dan REBT gejalanya
dialami. turun pada tingkat rendah, sedangkan klien
yang tidak mendapatkan CBT dan REBT
Gejala perilaku kekerasan secara emosi gejala perilaku turun masih dalam tingkat
menurun lebih baik pada klien yang sedang. Putri (2010) juga menemukan bahwa
mendapatkan terapi CBT dan REBT mencapai klien dengan perilaku kekerasan setelah
82%. Penelitian sebelumnya yang dilakukan diberikan terapi REBT maka respon
oleh Putri (2010) yang memberikan terapi perilakunya menurun mencapai 47%.
REBT kepada 28 klien dengan perilaku Penurunan gejala perilaku terjadi secara
kekerasan didapatkan respon emosi klien signifikan karena klien selama terapi telah
menurun secara bermakna mencapai 43%. diajarkan mengubah keyakinan irasional yang
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara selama ini dipertahankan klien sehingga
emosi pada penelitian ini mencapai hasil yang mencetuskan perilaku marah menjadi pikiran
lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya yang sesuai dengan kenyataan. Albert Ellis
karena dilakukan dengan memadukan dua (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic,
terapi yang sebelumnya hanya dilakukan satu 2003) juga mengemukakan bahwa yang perlu
terapi. Penurunan gejala perilaku kekerasan dirubah oleh individu untuk mengatasi
secara emosi setelah diberikan CBT dan masalah emosi maupun perilakunya adalah
REBT pada kelompok yang mendapatkan adanya keyakinan irasional yang
dengan kelompok yang tidak mendapatkan dikembangkan oleh dirinya.
CBT dan REBT menunjukkan perbedaan yang
bermakna dimana pada kelompok yang Penurunan gejala perilaku kekerasan secara
mendapatkan CBT dan REBT mengalami sosial pada klien yang diberikan CBT dan
penurunan respon emosi lebih tinggi (berada REBT mencapai 73% lebih tinggi daripada
dalam tingkat yang rendah). klien yang tidak mendapatkan terapi CBT dan
REBT yang mencapai 63%. Putri (2010)
Penurunan gejala perilaku kekerasan secara menemukan respon sosial klien meningkat
perilaku lebih tinggi pada kelompok yang mencapai 47% setelah diberikan terapi REBT.
mendapatkan CBT dan REBT mencapai 77%. Penelitian ini menitik beratkan pada gejala
Klien yang tidak mendapat CBT dan REBT sosial yang terganggu ketika klien mengalami
juga mengalami penurunan gejala perilaku kemarahan. Gejala sosial pada klien perilaku
mencapai 64% . kekerasan adalah menarik

7
diri dari hubungan sosial, mengasingkan diri, perubahan interpretasi klien terhadap kejadian
menolak kehadiran orang lain, melakukan atau peristiwa. Interpretasi yang tidak sesuai
kekerasan kepada orang lain, mengejek, dengan kenyataan akan menyebabkan
humor, serta mengabaikan hak orang lain perubahan emosi dan perilaku seseorang ke
(Keliat, 1996; Nihart, 1998; Stuart, 2009). arah maladaptif. Frogatt (2005) juga
Pemberian CBT dan REBT dapat menegaskan bahwa REBT berdasar pada
mengajarkan klien berpikir positif terhadap konsep bahwa emosi dan perilaku merupakan
lingkungan sosialnya sehingga hubungan hasil dari proses pikir.
interpersonalnya dengan orang lain
meningkat. Cognitive behaviour therapy dan rational
emotive behaviour therapy meningkatkan
Gejala fisik menurun mencapai 85%, kemampuan kognitif, afektif, dan perilaku
sedangkan klien yang tidak mendapatkan CBT klien secara bermakna dari tingkat yang
dan REBT penurunan gejala fisik mencapai rendah ke tinggi. Kemampuan kognitif klien
71%. Penelitian Putri (2010) juga meningkat mencapai 74%, afektif 76%, dan
menemukan penurunan gejala fisik setelah perilaku 77%. Penelitian yang
klien diberikan terapi REBT mencapai 76%. dilakukan Fauziah (2009) terhadap 13 klien
Penurunan gejala fisik terjadi paling besar dengan perilaku kekerasan yang menunjukkan
dibandingkan gejala yang lainnya karena bahwa CBT dapat meningkatkan kemampuan
seluruh klien mendapatkan terapi kognitif dan perilaku masing-masing
psikofarmaka berupa obat antipsikotik yang mencapai 66%. Penelitian Putri (2010)
bekerja efektif terhadap penurunan gejala fisik terhadap 28 klien dengan perilaku kekerasan
klien. Stuart (2009) menyatakan perilaku juga menunjukkan dengan pemberian REBT
kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, respon kognitif klien meningkat 9.6% dan
tidak bisa diam, mengepalkan atau kemampuan sosial 47%.
memukulkan tangan, rahang mengencang,
peningkatan pernafasan, dan kadang tiba- tiba Bloom (1956 dalam Kasan, 2005)
seperti kataton. mengklasifikasikan tujuan pemberian
pendidikan kedalam tiga domain, yaitu
Stuart (2009) menyatakan terapi CBT kognitif, afektif dan psikomotor. Teori bloom
bertujuan mengubah keyakinan yang tidak melandasi penilain terhadap kemampuan klien
rasional, kesalahan penalaran dan pernyataan dalam penelitian ini. Kemampuan kognitif
negatif tentang keberadaan individu. REBT mencakup aspek
lebih memfokuskan pada

8
intelektual seperti pengetahuan dan dengan perilaku kekerasan salah satunya
ketrampilan berpikir, kemampuan afektif adalah dengan token economy.
menekankan pada aspek perasaan dan emosi.
Kemampuan yang terakhir yaitu perilaku Token economy dalam proses pelaksanaan
menekankan pada aspek motorik yang dilihat CBT dan REBT merupakan salah satu tipe
dari kemampuan klien melaksanakan CBT dari contingency contracting dimana
dan REBT seperti menuliskannya di buku penguatan diberikan sesuai dengan perilaku
kerja dan jadwal kegiatan sehari-hari. yang diinginkan (Townsend, 2009).
Pemberian token economy dan reinforcement
Peningkatan kemampuan yang signifikan pada ini memotivasi klien dalam melaksanakan
kelompok klien yang diberikan terapi CBT perilaku positif yang diinginkan sehingga
dan REBT karena selama proses pelaksanaan akhirnya kemampuan kognitif, afektif dan
terapi klien selalu dimotivasi untuk perilaku klien setelah diberikan terapi CBT
melakukan latihan secara mandiri yang dan REBT meningkat yang nantinya
menjadi tugas rumah (home work) yang diharapkan membudaya pada kehidupan klien
dievaluasi secara terus menerus dengan walaupun token sudah tidak diberikan.
menggunakan jadwal kegiatan harian, buku
kerja, dan raport perkembangan klien. Peneliti Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
menerapkan prinsip-prinsip teori perilaku kontribusi karakteristik klien seperti usia, jenis
dengan memberikan penguatan kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
(reinforcement) positif terhadap perilaku perkawinan, frekuensi dirawat, dan riwayat
positif yang dilakukan klien dan memberikan gangguan jiwa terhadap penurunan gejala
umpan balik negatif terhadap perilaku yang perilaku kekerasan dan halusinasi. Penelitian
tidak diinginkan. Videbeck (2008) yang dilakukan Putri (2010) juga tidak
menyatakan modifikasi perilaku merupakan ditemukan adanya kontribusi karakteristik
suatu metode yang dapat digunakan untuk klien dalam perubahan respon perilaku
menguatkan perilaku yang diinginkan melalui kekerasan klien dengan skizofrenia.
pemberian umpan balik baik positif maupun
negatif. Peneliti menerapkan prinsip token Karakteristik klien perilaku kekerasan tidak
economy sesuai yang dikemukakan Stuart dan berhubungan dengan peningkatan kemampuan
Laraia (2005) bahwa tindakan keperawatan kognitif dan afektif klien. Usia klien
spesialis yang dapat diberikan pada klien berhubungan dengan peningkatan kemampuan
perilaku klien.

9
Rata-rata klien berusia 32 tahun dengan usia Status perkawinan berkontribusi dalam
termuda 18 tahun dan usia tertua 55 tahun. peningkatan kemampuan perilaku klien. Klien
Hasil ini menunjukkan bahwa klien yang yang menikah peningkatan kemampuan
berusia 32 tahun memiliki kontribusi dalam perilaku terhadap cognitive behaviour therapy
peningkatan kemampuan perilaku terhadap dan rational emotive behaviour therapy lebih
cognitive behaviour therapy dan rational besar daripada yang tidak menikah setelah
emotive behaviour therapy. Usia dikontrol oleh usia. Individu yang sudah
32 tahun tergolong usia dewasa yang memiliki menikah memiliki tuntutan untuk bertanggung
tugas-tugas perkembangan yang spesifik. terhadap keluarganya. Tanggung jawab
tersebut dapat memotivasi mereka untuk
Jean Peaget (1980 dalam Fontaine, 2003) meningkatkan hubungan dengan orang lain
dengan teori kognitifnya menyatakan bahwa termasuk mengerjakan sesuatu untuk
individu membangun kemampuan kognitif mencapai kesejahteraan keluarga. Terapi CBT
melalui tindakan yang termotivasi dengan dan REBT salah satu cara bagi mereka untuk
sendirinya terhadap lingkungan. Usia dewasa kembali melaksanakan perannya dalam
dalam perkembangannya termasuk periode keluarga sehingga kewajiban tersebut dapat
operasional formal. Karakteristik periode ini dilaksanakan kembali.
adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, SIMPULAN
dan menarik kesimpulan dari informasi yang Karakterisitik klien yang menjadi responden
tersedia. Kemampuan pada periode dalam penelitian ini rata-rata berusia 32 tahun
perkembangan ini yang membuat klien lebih dengan usia termuda 18 tahun dan tertua 55
memahami dan termotivasi dalam tahun, jenis kelamin lebih banyak laki-laki
melaksanakan terapi CBT dan REBT. Klien (85.9%), sebagian besar tidak bekerja
pada tahap perkembangan tersebut mampu (53.3%), memiliki jenjang pendidikan SMA
menganalisis bahwa terapi CBT dan REBT dan Perguruan Tinggi (60.0%), sebagian besar
yang diberikan jika dilaksanakan dengan baik tidak kawin (75.0%), adanya riwayat
dalam kehidupan sehari-hari akan membantu gangguan jiwa (58.3%) dan frekuensi dirawat
dirinya dalam menghadapi setiap stresor yang di rumah sakit 2 kali atau lebih (75.0%) .
dialami. Cognitive behaviour therapy dan rational
behaviour therapy efektif dalam menurunkan
gejala perilaku kekerasan dari

10
tingkat sedang ke rendah. Cognitive kekerasan setelah dilakukan terapi CBT dan
behaviour therapy dan rational emotive REBT.
behaviour therapy efektif dalam
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif DAFTAR PUSTAKA

dan perilaku klien dari tingkat rendah ke Fauziah (2009). Pengaruh terapi perilaku
kognitif pada klien skizoprenia dengan
tingkat yang tinggi. Usia 32 tahun dan
perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI.
menikah berpengaruh terhadap Tidak dipublikasikan.
peningkatan kemampuan perilaku klien Fontaine, K.L. (2003). Mental health nursing.
dengan perilaku kekerasan dan halusinasi. new jersey. Pearson Education. Inc.

Froggatt, W (2005). A brief introduction to


SARAN rational emotive behaviour therapy, journal
of rational emotive behaviour therapy,
Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu version Feb 2005
memotivasi klien dan mengevaluasi
Kasan. (2005). Dasar-dasar pendidikan.
kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari Jakarta: Studia Press.
dan dimiliki oleh klien sehingga latihan yang
Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan klien dan
diberikan membudaya. Apabila terjadi keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor.
kemunduran pada klien hendaknya perawat
Disertasi. Jakarta. FKM UI. tidak
ruangan dipublikasikan.
mengkonsultasikan perkembangan NIMH. (2011). The numbers count mental
kliennya yang telah mendapat terapi spesialis disorders in America
http://www.nimh.nih.gov/health/public
kepada perawat spesialis yang ada di rumah ations/index.shtml, diperoleh tanggal 20-02-
sakit. Hasil penelitian ini hendaknya 2011.
digunakan sebagai evidence based dalam Pusat Penelitian dan Perkembangan Depkes
mengembangkan terapi CBT yang dipadukan RI. (2008). Riset kesehatan dasar 2007.
www.litbang.go.id,
dengan REBT baik pada individu maupun diperoleh tanggal 10 Februari 2011.
kelompok, sehingga menjadi modalitas terapi
Putri, E.D. (2010). Pengaruh rational emotive
keperawatan jiwa yang efektif dalam behaviour therapy pada klien dengan perilaku
kekerasan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
mengatasi masalah kesehatan jiwa dan
Bogor. Tesis. Tidak dipublikasikan.
meningkatkan derajat kesehatan jiwa.
Rieckert & Moller (2000). Rational – emotive
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada behaviour therapy in the treatment of adult
klien perilaku kekerasan dengan metode victims of childhood sexual abuse, Journal of
Rational Emotive & Cognitif - Behaviour
cohort untuk melihat pencapaian kemampuan Therapy, Vol 18, No. 2, Summer.
dalam menurunkan gejala dan meningkatkan
kemampuan mengontrol perilaku

11
Stuart, G.WT (2009). Principles and practice of
psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby.

Wahyuningsih, D. (2009). Pengaruh assertive


trainning terhadap perilaku kekerasan pada klien
skizoprenia, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan.

WHO. (2009). Improving health systems and


services for mental health (Mental health policy and
service guidance package). Geneva 27,
Switzerland : WHO Press.

12
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.3, November 2016, hal 191-199 pISSN 1410-4490,
eISSN 2354-9203
DOI : 10.7454/jki.v19i3.481

STIGMATISASI DAN PERILAKU KEKERASAN PADA ORANG DENGAN


GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI INDONESIA

Muhammad Arsyad Subu1*, Dave Holmes1, Jayne Elliot1

1. STIKes Binawan, Jakarta 13630, Indonesia

*E-mail: msubuo61@uottawa.ca

Abstrak

Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang-
orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari
keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam
hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan
oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan
data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan
metode Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang lain. Dampak stigmatisasi
dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan
aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku
kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma
dengan perilaku kekerasan.

Kata kunci: gangguan jiwa, perilaku kekerasan, stigma, stigmatisasi

Abstract

Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of stigmatization of mental
illness is violent behavior conducted by patients toward other people around them including families, nurses and
communities. Conversely, patients experienced violence conducted by families, communities and nursing professionals.
This study aims to understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate
violent behavior committed by sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods
of data collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé.
Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and health
professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of stigmatization is manifested by
violent behavior committed by patients, families, staff, community and authorities. Findings are relevant to psychiatric
nurses who provide care to the patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of
families, communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.

Keywords: Mental Illness, violent behavior, stigma, stigmatization

Pendahuluan si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7 per 1000


dan ODGJ ringan sekitar 6% dari total populasi
Para ahli memperkirakan 15% populasi global (Kemenkes, 2013). Tujuh puluh lima persen
akan memiliki masalah gangguan jiwa tahun ODGJ mengalami stigma dari masyara- kat,
2020 (Harpham, et al., 2003). Orang dengan pemerintah, petugas kesehatan dan media
gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya mengala- (Hawari, 2001). Perilaku kekerasan ODGJ
mi dampak akibat gejala dan penyakit, tetapi menjadi penyebab utama stigmatisasi di ma-
juga stigmatisasi (Kapungwe, 2010). Prevalen- syarakat dan tenaga kesehatan.
13
Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi perilaku kekerasan di kalangan ODGJ dewasa
serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih Indonesia dengan menggunakan Constructivist
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan Grounded Theory (CGT). CGT diperkenalkan
& Watson, 2005). Profesional dalam pelaya- pertama kali oleh Kathy Charmaz. CGT kon-
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan sisten dengan epistemologi dan ontologi
tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan ‘konstruktivisme’ yang memprioritaskan pada
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). fenomena penelitian dan melihat data dan
Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien analisisnya sebagai hal yang dibuat dari
dalam keperawatan jiwa yang lebih tinggi pengalaman bersama peneliti dengan partisi-
(Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku pan dan sumber lainnya" (Charmaz 2006,
kekerasan merupakan kejadian umum di RS p.330). Desain penelitian ini lebih pada pen-
(Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se- dekatan objektivis, dan peran peneliti adalah
bagian besar perawat, beresiko menjadi korban menemukan kebenaran yang ada di dalam objek
kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- penelitian dan meminimalisasi ‘keku- atan’
Pierre, 2012). ODGJ menghadapi stigmatisasi (Charmaz, 2006, p. 331).
yang menyebabkan mereka rentan terhadap
perilaku kekerasan orang. ODGJ lebih sering Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di
menjadi korban daripada pelaku kekerasan Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
(Stuart, 2004), menjadi korban fisik dan seksual skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem-
(Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor- ban puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak 30
kejahatan dan diskriminasi (Katsikidou, et al., partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk
2012). Sepu-luh persen penderita adalah korban memastikan saturasi data (Charmaz, 2006). Para
kekerasan (Schomerus, et al., 2008). partisipan hanya yang memiliki kemam- puan
membaca dan menulis, berusia 18 tahun atau
Suatu penelitian di Australia mengungkapkan lebih, mengalami gangguan jiwa dan stigma.
bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah Pengumpulan data melalui wawancara semi-
mengalami serangan fisik dan 57% setelah berstruktur yang direkam menggunakan digital
mengalami kekerasan seksual (McFarlane, audio. Telaah dokumen juga digunakan seba-
Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain gai triangulasi data untuk meningkatkan pro-
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke- babilitas kredibilitas interpretasi data (Lincoln
kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke- & Guba, 1985). Dokumen tersebut berupa
luarga dan bukan orang asing. Mereka sering hardcopy dan elektronik seperti laporan, log
dipukul atau diancam oleh anggota keluarga perawat, pre dan post konferensi, moto, visi dan
mereka (Katsikidou, et al., 2012; Solomon, misi RS. Memo digunakan untuk mendo-
Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur kumentasikan pengalaman dalam laporan ker-
intensif mengungkapkan bahwa penelitian tas yang menjelaskan proses berpikir peneliti.
tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum fokus Catatan lapangan dari observasi dan refleksi
pada dampaknya terhadap perilaku ke- kerasan data, merupakan bagian dari pendekatan ref-
pada ODGJ. Penelitian ini mem- berikan leksif proses analitis data (Charmaz, 2006).
analisis mendalam untuk memahami hubungan
antara stigmatisasi dengan perilaku kekerasan Analisis data menggunakan metode Paille
pada ODGJ. (1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
menghubungkan kategori, integrasi, konsep-
Metode tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan
Cowley (2004) terdapat tiga tahapan analisis
Penelitian ini memberikan pemahaman subs- yaitu koding awal, fase menengah, dan
tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan
19
2
pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng-
data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi pengalaman partisipan terkait stigma dengan
(koding awal), menghubungkan kategori dan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi dan kata-kata partisipan yang sebenarnya untuk
teorisasi (pengembangan akhir). Tahap menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti-
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur kulasikan dengan asumsi, posisi epistemologis
kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam dan teoritis yang memengaruhi proses peneli-
bentuk kode secara terorganisir (proses tian. Dilakukan evaluasi diri sebagai instrumen
pembentukan kode). Tujuannya adalah mem- dan melihat efek peneliti yang dilakukan
beri nama, mengungkap, meringkas dan mem- melalui refleksi diri dan memoyang ditulis
beri label, baris demi baris, dari data trans- dalam jurnal.
kripsi. Kodifikasi ini membantu mengidenti-
fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi
dan pembentukan kategori. Tahap kategorisasi temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
adalah untuk menggambarkan fenomena se- dengan jelas proses berpikir peneliti
cara umum atau peristiwa yang muncul dari (Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini,
data yang kemudian dibuat daftar kategori. auditabilitas dilakukan dengan kriteria untuk
Tahap ini adalah untuk menentukan kategori merumuskan pemikiran, bagaimana dan
dengan mengidentifikasi variasi dalam data mengapa para partisipan dalam penelitian ini
dapat dijelaskan dengan kategori lain. Tahap dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu-
integrasi adalah menentukan fenomena- nakan kerangka yang disajikan oleh Paille
fenomena yang telah diamati secara empiris. (1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang-
Dengan mengintegrasikan hubungan antara kah dalam analisis data dan memastikan bah-
kategori, peneliti mengidentifikasi kongruensi wa pembaca dapat memahami bagaimana data
tertentu yang muncul antara data dan arah itu didapatkan atau dibentuk oleh partisipan dan
penelitian yang diambil selama analisis. Tahap peneliti.
konseptualisasi adalah proses pengembangan
dan klarifikasi konsep-konsep yang muncul dan Fittingness atau transferabilitas berarti hasil
menjelaskan konsep tersebut dengan kata- kata penelitian memiliki arti yang sama pada situasi
dan untuk memberikan definisi konsep- tual serupa (Chiovitti & Piran, 2003). Dalam
secara verbal. Proses ini memungkinkan peneliti penelitian ini, selama proses koding, semua data
untuk memahami fenomena penelitian dan yang dibuat kode telah diperiksa oleh seorang
kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori- sasi pakar lain untuk melakukan cek eksternal yang
merupakan proses konstruksi untuk me- terkait dengan hasil penelitian.
nguatkan teori atau pemahaman susbstantif.
Tidak semua penelitian grounded theory Hasil
menghasilkan teori; akan tapi pemahaman yang
mendalam dan substantif merupakan hasil akhir Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri.
dari sebuah penelitian dengan grounded theory Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja
Charmaz (2006). menyakiti diri sendiri. Seorang pasien meng-
gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria menyebabkan ide bunuh diri atau menyakiti diri
pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran, sendiri. Rasa takut terhadap orang lain juga
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah menjadi pencetus ide bunuh diri.
dengan mengumpulkan data dari berbagai “...kadang saya tidak bisa mengendalikan diri
sumber diantaranya melalui wawancara, cata- sampai saya berkeinginan bunuh diri. Saya
tan lapangan, dan memo. Koding data dengan mencoba bunuh diri tiga kali dengan
19
3
minum racun tapi saya tidak mati ... Dengan balok kayu.
penyakit jiwa, kepercayaan diri saya rendah. “Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ.
Saya merasa bingung; dengan orang lain, saya Banyak sekali kita menerima pasien yang telah
takut. Saya takut melihat orang lain.“ (P1). dipasung, terikat, dirantai, dimasuk- kan ke
dalam balok kayu; tapi, ada juga pasung,
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain dan seperti menempatkan penderita di ruangan
Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah kecil dan dikasih makanan sekali sehari.
melakukan perilaku kekerasan terhadap anggota Beberapa pasien tidak bisa ber- jalan, kurus
keluarga atau kerabat. dan kurang gizi. Mereka tidak dapat berbicara.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga dan Keluarga mereka kaya; jika mereka ingin
saya menjadi beban keluarga saya. Karena membawa pasien ke RS, saya yakin mereka
kesulitan dalam hidup, saya harus berada di mampu” (P13).
sini (RSJ). Otak saya punya banyak masalah.
Jadi, saya marah dan melakukan kekerasan di Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi
rumah dan selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
(P1). kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan
Pasien yang melakukan kekerasan sering pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga
disembunyikan oleh keluarga, sehingga mereka mengakui beberapa pasien yang memiliki
terisolasi di masyarakat. riwayat pasung di rumah karena mereka
“L [teman] punya keluarga dengan penyakit melakukan kekerasan, mereka menggang- gu
jiwa; jika [pasien] melakukan kekerasan, ia masyarakat. Mungkin [mereka] tidak tahu cara
menghancurkan atap, rumah, dll. Jadi keluarga merawat orang dengan penyakit jiwa. Hal ini
merahasiakan dan menyembunyikannya. masuk akal juga, kan? Mungkin lebih baik bagi
Mereka [pasien dan keluarga] jarang diundang mereka untuk menyelamatkan orang-orang
oleh masyarakat. Jadi, mereka terisolasi. daripada merawat ODGJ.” (P9).
Mereka terpinggirkan... stigmakan?” (P11).
Perawat lain mengatakan bahwa beberapa
Pasien juga melakukan kekerasan terhadap pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar
fasilitas umum, dan menghancurkan barang- negeri. Mereka dikurung oleh keluarga saat
barang. mereka kembali.
“Saya melemparkan asbak. Ceritanya, saya “Mereka dikait di pilar besar. Ada yang
kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar dengan diletakkan di kandang kambing atau ayam.
angsuran. Seratus, lima puluh, uang saya dari Mereka dikurung seperti kambing. [Pasien]
BJB lebih banyak... Saya marah; Saya tidak buang air besar, makan disitu, seperti binatang.
bisa mengendalikan diri. Saya jadi marah, Ini bukan cerita tapi saya melihatnya langsung;
seperti itu. Kemudian, saya dibawa ke sini Saya itu saksi kondisi ini. Enam pasien telah
(RSJ).” (P13). dibawa ke RS. Ya, beberapa dari daerah ini
mengirimkan banyak pekerja di Jawa Barat.
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi. Jadi mereka stres karena mereka bekerja di
Pasung dan seklusi masih digunakan untuk Arab Saudi. Mereka stres, dan kembali ke
menangani penderita gangguan jiwa. Beberapa Indonesia dikurung oleh keluarganya.” (P15).
perawat menunjukkan bahwa ada pasien diikat,
dirantai, atau dimasukkan ke dalam Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami
kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh

19
4
orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa perawat.
orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di “Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal).
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
penyakit jiwa (P1). Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga
diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).
Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk
penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, Pasien dengan perilaku kekerasan yang
melanggar hak-hak seseorang. membahayakan akan diisolasi sebagai metode
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada pengendalian.
dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang- “Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber
orang melakukan kejahatan terha- dap mereka, bahaya… mereka nganggap orang gila itu
seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. benar-benar gila, bukan manusia; harus
Saya dipasung karena apa? Saya dipasung dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang,
bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung dan ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan
untuk membuat saya "gila." Hal ini lebih gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
menyakitkan benar.” (P14). saya seperti babi diseret.” (P9).

Kekerasan oleh Pengobatan Tradisional. Seringkali petugas keamanan dan perawat


Banyak ODGJ yang mendapatkan pengobatan bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
tradisional mengalami kekerasan dari terapis. kekerasan.
Pasien mengalami terapi alternatif yang ber- “Semuanya dihancurkan, TV rusak. Teman
sifat abuse, seperti ditenggelamkan, dicambuk, saya di S (bangsal) telah meng- hancurkan TV.
atau dimandikan paksa. Sekarang, dia ada di sini, di bangsal K. Pasien
“Ya, saya dimandikan tengah malam. Dukun dengan kasar diseret oleh petugas keamanan.
menggunakan ilmu sihir...[tidak jelas], "Ayo kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa.
memukuli saya. Saya dimandikan jam satu "Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
malam. Saya tidak tidur. Badan saya dikocok diperlakukan seperti itu.” (P2).
kocok seperti kambing. Saya disana satu
setengah bulan, namun saya tidak sehat, saya Seorang perawat mengatakan bahwa umumnya
tidak lebih baik.” (P2). pasien baru di RSJ diikat.
“Jika pasien datang ke rumah sakit sangat
Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah mudah marah, beberapa pasien ini terikat; ada
satu pasien menceritakan pengalamannya pula yang diborgol. Jika pasien datang dengan
ditahanan di kantor polisi. Pasien lain diborgol kurang atau tidak marah, mereka tidak terikat.
oleh polisi karena perilaku kekerasannya. Jadi, jika pasien berada dalam kondisi marah
“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol saya. ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika
Ibu saya meminta bantuan polisi untuk mereka tidak benar-benar marah, mereka tidak
memborgol saya. Tapi belenggu borgol rusak. diikat oleh orang lain. Mereka dibawa oleh
Lihat ini [bekas luka di tangannya].” (P15). keluarga atau polisi kesini. Ya, polisi. Seperti
itu. Jika pasien baru, sebagian besar mereka
Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf datang dengan terikat.” (P6).
rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik
terhadap pasien. Metode pengikatan, pengeka-
ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan

19
5
Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan
dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
akibat kekerasan dari terapi dan pengobatan dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang
alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
telah dibawa ke dukun mengungkapkan: (Wehring & Carpenter, 2011).
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di daerah
terpencil di Jawa, dan tempatnya sangat gelap. Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri
Saya takut. Dia itu mantan pasien sakit jiwa. sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
Dia mengatakan: "Ini penyakit gila. Ini untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke-
psikopat". Saya ingin melarikan diri. Saya takut rasan mandiri meliputi ide atau percobaan
benar melihat kapaknya. Saya sangat stres, itu bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh
pengo- batan yang aneh.” (P3). diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy-
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
keluarga yang mengalami gangguan jiwa Risiko menyakiti diri sendiri meningkat
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.
akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ
penderita di rumah, juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat
penderita mengganggu masyarakat. Umumnya, adalah profesi yang paling rentan menjadi target
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al.,
anggota keluarga merasa ga nyaman dengan 2006), sebagian besar perawat mengalami
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al.,
kekerasan lagi” (P11). 2006; Landy, 2005).
Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi-
dengan riwayat perilaku kekerasan membuat laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
takut masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering
diisolasi oleh teman dan masyarakat. menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al.,
“Teman-teman merasa takut. Mereka 2012). Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk.,
saya karena saya orang sakit jiwa. Ya, 2009). Interaksi antara polisi dan ODGJ
argumen saya tidak diterima; tidak dipahami kadang-kadang terkait dengan perilaku keke-
oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara rasan (Cotton & Coleman, 2010).
benar, mereka harus nurutin saya ” (P5).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga
Pembahasan takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal
Hubungan antara gangguan jiwa dengan ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
perilaku kekerasan adalah penyebab utama hubungan erat antara perilaku kekerasan yang
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men-
sien melakukan kekerasan di keluarga dan ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5 berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje &
Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian

19
6
Medical Association, 2008). Banyak yang Referensi
menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an-
caman bagi keselamatan umum (Jorm & Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the
Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami link between discrimination, mental health
perawat dapat memengaruhi hubungan pera- outcomes, and life chances among Latinos.
wat dengan pasien, yang menghambat pem- Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28 (2), 245–
berian asuhan keperawatan (Jacob, 2010). 266.

Arboleda-Florez, J. (2003). Considerations on the


Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat stigma of mental illness. Canadian Journal of
dipengaruhi oleh media massa yang berperan Psychiatry, 48 (10), 645–650.
membentuk opini masyarakat. Penggambaran
ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, public and self-stigma to seeking mental health
2003). services. Journal of Mental Health Counseling, 33
(2), 161–176.
Kesimpulan Canadian Medical Association (2008). 8th Annual
national report card on health care. Ottawa ON:
Penelitian ini menemukan bahwa perilaku Canadian Medical Association.
kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada- Charmaz, K. (2006). Constructing grounded theory:
lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ. A practical guide through qualitative analysis.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan London: Sage Publications.
para perawat. Hasil penelitian memberikan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya- Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and
nan keperawatan jiwa di Indonesia. grounded theory research. Journal of Advanced
Nursing, 44 (4), 427–435.
Sangat penting memasukkan materi stigma-
Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings
tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen-
from the national comorbidity survey on the
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan frequency of violent behavior in individuals with
akan menghadapi risiko perilaku kekerasan dari psychiatric disorders. Psychiatry Research, 136,
pasien jika bekerja di area keperawatan jiwa. 153–162.
Keperawatan jiwa merupakan area yang bersiko
mendapatkan ancaman dan kekerasan sehingga Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian police
seringkali membenarkan beberapa jenis agencies and their interactions with persons with a
intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau mental illness: A systems approach. Police Practice
pengasingan yang merugikan hubungan pera- and Research, 11 (4), 301–
wat dengan pasien. 314.

Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A.,


Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat
Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann. J.J.(2003).
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat Suicide attempts in schizophrenia: The roleof
pemerintah memandang stigma terkait perilaku command auditory hallucinations for suicide.
kekerasan pada ODGJ. Program kampanye anti- Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.
stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif
stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke- Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).
sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga Measuring health in cost effective manner. Health
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma Policy and Planning, 18 (3), 344.
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
19
7
Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a Landy, H. (2005). Violence and aggression: How
grounded theory approach: A comparison of Glaser nurses perceive their own and their colleagues risk.
and Strauss. International Journal of Nursing Emergency Nurse, 13, 12–15.
Studies, 41 (2), 141–150.
McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C.
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2004). The prevalence ofvictimization and violent
(2012). Introduction (re) thinking violence in health behaviour in the seriously mentally ill (Theses,
care settings: A critical approach. In Holmes, D., University of Adelaide). Department of Psychiatry,
Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re) Thinking violence University of Adelaide, Adelaide, Australia.
in health care settings: A critical approach. Surrey:
Ashgate Publishing, Ltd.
Paillé, P. (1994). L’analyse par théorisation ancrée.
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I., Cahiers de recherche sociologique, 23, 147–
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons 181.
with severe mental illness in Taiwan. Aealand
Journal of Psychiatry, 460–466. Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in
qualitative research. Advances in Nursing Science, 8
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., (3), 27–37.
& Okamura, H. (2006). Psychological impact of
verbal abuse and violence by patients on nurses Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C.,
working in psychiatric departments. Psychiatry and Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36. &Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood
and the appraisal of personal safety in people with
Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic schizophrenia: Results from the European
psychiatry: nurse-patient interactions in a secure Schizophrenia Cohort (EuroSC). Psychological
environment. Doctoral Dissertation School of Medicine, 38 (4), 591–597.
Nursing University of Ottawa, Canada:
Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J.
Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s (2005). Family violence amongadults with severe
stigmatizing attitudes towards people with mental mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1),
disorders: how important are biomedical 40–54.
conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321. Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre,
L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M. (2007). Cross-
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, national differences in relationships of work
Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental illness demands, job satisfaction and turnover intentions
- stigma anddiscrimination in Zambia. African with work–family conflict. Personnel Psychology,
Journal of Psychiatry, 13, 192–203. 60, 805–835.
Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare
Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K ., papers, 5(2), 100–111.
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely
mentally ill in Greece: The extent of the problem. Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., &
International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide ideation
706–715. and behaviour in recent onset schizophrenia. Social
Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 39, 927–
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan 937.
dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., &
Kesehatan RI. Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in adults
with severe mental illness. Archives of general
psychiatry, 62, 911–921.
19
8
Wehring, H.J., & Carpenter, W.T (2011).
Violence and schizophrenia.Schizophrenia
Bulletin, 37 (5), 877–778.

19
9
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH
Fholsen Frohansen (PO7120119036)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

20
0
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH
Fitria Oktaviani (PO7120119037)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

20
1
72 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 4, Nomor 1, Mei
2015, hlm. 72–77

PENGARUH TERAPI PSIKORELIGI TERHADAP PENURUNAN PERILAKU


KEKERASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA
DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

Dwi Ariani Sulistyowati, E. Prihantini


Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Keperawatan

Abstract: Psikoreligius Therapy, Violent Behavior in Patients with Schizophrenia, Decline in


Violent Behavior. Schizophrenia is a clinical syndrome or disease processes that affect, perception,
emotion, behavior, and social functioning. The main problem that often occurs in patients with
schizophrenia are violent behavior. Violent behavior is a condition where a person perform actions that
can physically harm either to yourself, others, and the environment. In the management of violent
behavior are three strategies, namely: strategy deep breath, hit the pillow, chatting with others,
Spiritual and psikoreligius obat.Sedangkan utilization is part of the spiritual strategy. The purpose of
this study was to determine the effect Psikoreligius to decrease violent behavior in patients with
schizophrenia. Research Methods. The research is a Quasi-experimental, research design using One
Group Pre and Post Test Design. Sampling using non-probability sampling technique with purposive
sampling. Analysis of the data used is paired t test.

Keywords: psikoreligius therapy, violent behavior in patients with schizophrenia, decline in violent
behavior

Abstrak: Terapi Psikoreligius, Perilaku Kekerasan pada Pasien Schizofrenia, Penurunan


Perilaku Kekerasan. Schizofrenia merupakan suatu syndrome klinis atau proses penyakit yang
mempengaruh, persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial. Permasalahan utama yang sering terjadi pada
pasien Schizofrenia adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan. Dalam manajemen perilaku kekerasan terdapat 3 strategi yaitu: strategi nafas dalam, pukul
bantal, bercakap-cakap dengan orang lain, spiritual dan pemanfaatan obat. Sedangkan psikoreligius
merupakan bagian dari strategi spiri- tual. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
Psikoreligius terhadap penurunan perilaku kekerasan pada pasien Schizofrenia. Metode Penelitian. Jenis
penelitian ini adalah Quasi eksperimen, desain penelitian menggunakan One Group Pre and Post test
Design. Pengambilan sampel dengan meng- gunakan teknik non probability sampling dengan cara
purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah uji paired t test.

Kata Kunci: terapi psikoreligius, perilaku kekerasan pada pasien schizofrenia, penurunan perilaku kekerasan

Untuk mendapatkan kesehatan mental yang untuk pengembangan potensi, dari individu
prima, tidaklah mungkin terjadi begitu saja. sendiri dituntut untuk melakukan berbagai
Selain menye- diakan lingkungan yang baik 20
2
usaha menggunakan berbagai kesempatan Nurjanah (2004). Selanjutnya kondisi ini
yang ada untuk mengembangkan dirinya. dapat me- nyebabkan timbulnya gangguan
Kondisi kritis ini membawa dampak jiwa dalam tingkat ringan maupun berat yang
terhadap peningkatan kualitas maupun memerlukan penanganan di rumah sakit baik
kuantitas penyakit mental-emosional manusia di rumah sakit jiwa atau di unit perawatan
Hidayati (2000) dalam jiwa di rumah sakit umum, salah satunya
adalah penderita schizophrenia (Nurjanah,
2004).
Schizofrenia merupakan suatu sindrome
klinis atau proses penyakit yang
mempengaruhi kognisi, persepsi, emosi,
perilaku, dan fungsi sosial, tetapi

72

20
3
schizofrenia mempengaruhi setiap individu Perilaku kekerasan dianggap sebagai
dengan cara yang berbeda. Derajat gangguan suatu akibat yang ekstrim dari rasa marah
pada fase akut atau fase psikotik dan fase atau ketakutan yang mal adaptif (panik).
kronis atau fase jangka panjang sangat Perilaku agresif dan peri- laku kekerasan itu
bervariasi diantara individu (Videbeck, 2008). sendiri sering dipandang sebagai suatu dimana
agresif verbal di suatu sisi dan perilaku
Menurut Isaac (2004), 1% populasi
kekerasan (violence) di sisi yang lain.
penduduk dunia mengalami schizofrenia dalam
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di
hidupnya, 95% penderita schizofrenia
mana seseorang melakukan tindakan yang
mengidap penyakit ini seumur hidup, penderita
dapat membahayakan
schizofrenia menempati 25% tem- pat tidur
rawat inap rumah sakit. Kurang lebih 33%–
50% tunawisma di Amerika serikat
menderita Schizofrenia. Lebih dari 50%
penderita schizofrenia bermasalah dengan
alkohol atau obat-obatan yang mungkin
berusaha mengatasi sendiri gejala-gejala
stressnya. Di seluruh Asia, diperkirakan 2–10
dari setiap 1000 penduduk mengalami
schizofrenia, dan 10% diantaranya perlu
diobati dan dirawat intensif karena telah
sampai pada taraf yang mengkhawatir- kan.
Prevalensi penderita schizofrenia di
Indonesia adalah 0,3–1%. Apabila penduduk
Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka
diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita
schizofrenia. Schizofrenia adalah gang- guan
mental yang sangat luas dialami di Indonesia,
dimana sekitar 99% Rumah Sakit Jiwa di
Indonesia adalah penderita schizofrenia
(Sosrosumihardjo, 2007).
Permasalahan utama yang sering terjadi
pada pasien Schizofrenia adalah perilaku
kekerasan. Hal ini sesuai dengan diagnosa
keperawatan NANDA yang biasa ditegakkan
berdasarkan pengkajian gejala psikotik atau
tanda positif. Kondisi ini harus segera
ditangani karena perilaku kekerasan yang
terjadi akan membahayakan diri pasien, orang
lain, dan lingkungan. Hal ini yang menjadi
alasan utama pasien Schizofrenia dibawa ke
rumah sakit.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
di mana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sen- diri, orang lain, maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk 73
mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen,
2006).
secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun terapi ini sudah dilaksanakan, hanya
orang lain, sering disebut juga gaduh gelisah pelaksanaannya belum optimal. Dengan
atau amuk dimana seseorang marah berespon demikian dampak dari psikoreligi terhadap
terhadap suatu stressor dengan gerakan penurunan perilaku kekerasan belum terlihat
motorik yang tidak terkon- trol (Stuart dan secara nyata. Berdasarkan latar belakang
Laraia, 2005), sedangkan kema- rahan diatas penulis tertarik untuk meneliti tentang
adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai Pengaruh penggunaan psikoreligius terhadap
respon terhadap kecemasan yang dirasakan penurunan perilaku kekerasan
sebagai ancaman (Keliat, 1996).
Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa
terda- pat hubungan yang sangat signifikan
antara komit- men agama dan kesehatan.
Orang yang sangat reli- gius dan taat
menjalankan ajaran agamanya relatif lebih
sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan
penyakitnya sehingga proses penyembuhan
penyakit lebih cepat (Zainul Z, 2007). Saat
ini perkembangan terapi di dunia kesehatan
sudah berkembang ke arah pendekatan
keagamaan (psikoreligius). Dari berba- gai
penelitian yang telah dilakukan ternyata
tingkat keimanan seseorang erat hubungannya
dengan ke- kebalan dan daya tahan dalam
menghadapi berbagai problem kehidupan
yang merupakan stresor psiko- sosial.
Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan
kese- hatan sebagai keadaan lengkap dari
kesejahteraan fisik, mental, sosial dan bukan
semata-mata katiada- an penyakit atau
kesakitan. Definisi kesehatan ini merupakan
pemicu dan pemacu penelitian dan prak- tik
di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi
kese- hatan mulai berkembang pesat sejak
saat itu, jika dikaitkan dengan faktor-faktor
psikologis yang mem- pengaruhi kesehatan
seseorang yang bertujuan untuk memperoleh
kesehatan dalam arti yang sesuai dengan
pengertian WHO di atas (Hasan, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada tanggal 4 Februari 2014,
dengan melihat catatan medik Rumah Sakit
Jiwa daerah Surakarta, jumlah pasien rawat
inap adalah sebanyak 116 pasien, dari jumlah
tersebut 90 pasien (77,5%) dirawat dengan
diagnosa Schizofrenia. Dari 90 pasien
schizofrenia yang masuk rawat inap dengan
riwayat perilaku kekerasan adalah sebanyak
98,8% atau 89 pasien (sumber: Instalasi
Rekam Medis RSJD Surakart, 2011). Rumah 74
Sakit Jiwa daerah Surakarta belum
mempunyai Standar Asuhan Keperawatan
(SAP) tentang terai psikoreligius, tetapi
pada pasien Skizofrenia di UGD dan ruang ada perbedaan respon perilaku setelah
rawat Intensif di RSJD Surakarta. dilakukan intervensi antara kelompok
perlakuan dengan ke- lompok kontrol berarti
pemberian psikoreligi berpe- ngaruh terhadap
METODE PENELITIAN penurunan respon perilaku. Seperti yang
disajikan dalam tabel 2 berikut ini:
Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen
dengan design penelitian menggunakan Pre and Tabel 2. Perbandingan Rerata Nilai Respon
Post test Control Group Design. Pengambilan Perilaku pada Pretest dan Posttest dalam
sampel dengan menggunakan teknik non Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
probability sampling dengan cara purposive
sampling untuk mencari pengaruh pemberian
Kelompok
psikoreligi terhadap penurunan perilaku kekerasan Variabel Nilai p
pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta. Perlakuan Kontrol
Pretest 3,95 3 ,9 0,901
Analisa dengan uji t test untuk membedakan nilai Posttest 0,15 2 ,55 0,000
pretest - postest antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol.
Sedangkan penurunan respon perilaku
antara pretest dan postest pada kelompok
HASIL PENELITIAN
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
Responden penelitian ini adalah adanya penurunan yang lebih signifikan pada
pasien Skizofrennia yang dirawat di RSJD kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
Surakarta tahun 2014. Jumlah responden pada tabel 3 berikut ini:
dalam penelitian ini sebanyak 40 responden, Tabel 3. Perbandingan Penurunan Respon Perilaku
dengan pembagian 20 res- ponden menjadi Pretest dan Postest Kelompok Perlakuan
kelompok perlakuan, dimana pada responden dan Kelompok Kontrol pada Pasien
diberikan terapi psikoreligi, sedangkan 20 Skizofrennia di RSJD Surakarta
responden menjadi kelompok kontrol yang
tidak diberikan terapi psikoreligi. Kelompok
Rerata Nilai Respon Perilaku
Pretest Postest Nilai p
Kondisi awal rerata respon perilaku Perlakuan 3,95 0,15
adalah 3,95. Rerata nilai respon verbal adalah 0,000
Kontrol 3,90 2,55
3,35. Rerata nilai respon emosi adalah 4,15 0,01
dan rerata nilai respon fisik adalah 2,42.
Dari hasil analisis statistik untuk pretest,
dapat diketahui bahwa respon perilaku, Hasil uji t test nilai rerata respon verbal
respon verbal, respon emosi, dan respon fisik antara pretest dan post test dalam kelompok
antara kelompok perlakuan dan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
kontrol menunjukan bahwa tidak ada ada perbedaan yang bermakna (p < 0,05).
perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 ), Keadan ini menunjukan bahwa ada perbedaan
sehingga dapat dikatakan bahwa antara respon verbal setelah dilakukan inter- vensi
kedua kelompok homogen . Seperti dalam antara kelompok perlakuan dengan kelompok
tabel berikut ini 1: kontrol. Seperti yang disajikan dalam tabel 4
Tabel 1.Rerata Nilai Respon Responden menurut berikut ini:
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
Tabel 4. Perbandingan Rerata Nilai Respon
Perilaku pada Pretest dan Posttest dalam 75
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Control
pada Pasien Skizofrennia di RSJD
Surakarta
Variabel Rerata Kelompok Nilai
Nilai
Kelompok Nilai
p
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol p
Variabel
Respon perilaku 3,925 3,95 3,9 0,901 Pretest 3,4 3,3 0,714
Respon verbal 3,35 3,4 3,3 0,714 Post test 0,9 2,25 0,001

Respon eEmosi 4,15 4,3 4 0,138

Respon fisik 2,425 2,45 2,4 0,711 Sedangkan penurunan respon perilaku
antara pretest dan postest pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
adanya penurunan yang lebih signifikan pada
kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
Hasil uji t test nilai rerata respon perilaku
pada tabel 5 berikut ini:
antara pretest dan post test dalam kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan
ada yang ber- makna (p < 0,05). Keadan ini
menunjukan bahwa

76
Tabel 5. Perbandingan Penurunan Respon Verbal Tabel 8. Perbandingan Rerata Nilai Respon Fisik
Pre- test dan Posttest Kelompok Perlakuan pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok
dan Kelompok Kontrol pada Pasien Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada Pasien
Skizofrennia di RSJD Surakarta Skizofrennia di RSJD Surakarta

Rerata Nilai Respon Perilaku


Pretest Postest Nilai Kelompo k
Kelompok Variabel Perlakuan Kontrol Nilai p
p
Perlakuan 3,4 0,9 0,000 Pretest 2,45 2,4 0,7 11
Kontrol 3,3 2,25 0,037 Posttest 0,15 1,2 0,0 00

Hasil uji t test nilai rerata respon emosi


Sedangkan penurunan respon emosi
antara pretest dan post test dalam kelompok
antara pretest dan postest pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
ada perbedaan yang bermakna (p<0,05).
adanya penurunan yang lebih signifikan pada
Keadan ini menunjukan bahwa ada perbedaan
kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
respon emosi setelah dilakukan inter- vensi
pada tabel 9 berikut ini:
antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol. Seperti yang disajikan dalam tabel 6
berikut ini:
Tabel 9. Perbandingan Penurunan Respon Fisik
Pretest dan Posttest Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol pada Pasien
Tabel 6. Perbandingan Rerata Nilai Respon Emosi Skizofrennia di RSJD Surakarta
pada Pretest dan Postest dalam Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada
PasienSkizofrennia di RSJD Surakarta Rerata Nilai Respon
Nilai
Kelompok Perilaku
p
Pretest Postest
Kelompok Nilai Perlakuan 3 ,4 0,9 0,000
Variabel Perlakuan Kontrol p Kontrol 3 ,3 2,25 0,003

Hasil uji t test nilai rerata respon fiik


Pretest 4,3 4 0,138 antara pretest dan post test dalam kelompok
Posttest 0,9 3,15 0,000
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan
ada perbedaan yang bermakna (p<0,05).
Sedangkan penurunan respon emosi antara
Keadan ini menunjukan bahwa ada perbedaan
pretest dan postest pada kelompok perlakuan
respon fisik setelah dilakukan intervensi
dan kelompok kontrol menunjukan adanya
antara kelompok perlakuan dengan kelompok
penurunan yang lebih signifikan pada
kontrol. Seperti yang disajikan dalam table 8
kelompok perlakuan. Seperti yang terlihat
berikut ini:
pada tabel 7 berikut ini:
Tabel 7. Perbandingan Penurunan Respon Emosi Pre-
test dan Posttest Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia
di RSJD Surakarta

Rerata Nilai Respon


Kelompok Perilaku Nilai p
Pretest Postest
Perlakuan 3,4 0,9 0,000
Kontrol 3,3 2,25 0,057 77
PEMBAHASAN

Schizofrenia merupakan suatu sindrome


klinis atau proses penyakit yang
mempengaruhi kognisi, persepsi, emosi,
perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
schizofrenia mempengaruhi setiap individu
dengan cara yang berbeda. Derajat gangguan
pada fase akut atau fase psikotik dan fase
kronis atau fase jangka panjang sangat
bervariasi diantara individu (Videbeck, 2008).
Masalah keperawatan yang sering muncul
pada penderita schizofrenia adalah perilaku
kekerasan. Menurut Stuart dan Laraia (2005)
ada 3 strategi dalam manajemen perilaku
kekerasan, yaitu strategi pencegahan,
antisipasi, dan penge- kangan. Terapi
Psikoreligi merupakan bagian dari latihan
assertive, sehingga terapi Psikoreligi masuk
dalam strategi pencegahan. (Marlindawani,
2009). Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan kita
diwajibkan untuk berbakti kepadaNya, tapi
terkadang kita tidak menjalankan secara
maksimal atau khusuk karena lemahnya
keimanan, keterbatasan waktu dan situasi
yang tidak mendukung. Dengan terapi
Psikoreligi jika dilaksanakan secara lebih
maksimal atau khusuk akan menjadi tindakan
yang efektif menurunkan perilaku kekerasan
pada pasien skhizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa (RSJ).

78
Penelitian tentang pengaruh psikoreligi meng- ikuti perubahan kognitif pada klien
terhadap penurunan perilaku kekerasan di perilaku keke- rasan (Boyd & Nihart, 1998).
RSJD Surakarta 2014. Hasil penelitian dan Berdasarkan model adaptasi Stuart
interprestasinya adalah sebagai berikut: menjelaskan bahwa penilaian sese- orang
terhadap stressor memberikan makna dan
dampak dari suartu situasi yang menekan dan
Pengaruh Psikoreligi terhadap ditun- jukkan dengan respon kognitif, afektif,
respon fisik, respon perilaku dan social (Stuart
Penurunan Perilaku Kekerasan
& laraia, 2005). Pendekatan keagamaan dalam
Respon perilaku kekerasan yang praktek kedokteran dan keperawatan dalam
dilakukan observasi meliputi respon perilaku, dunia kesehatan, bukan
respon fisik, respon emosi dan respon verbal.
Menurut tabel 4. 9 bahwa terapi psikoreligi
berpengaruh menurunkan perilaku kekerasan
pada pasien Skizofrenia di RSJD Surakarta.
Penurunan ini meliputi penurunan pada
respon fisik. Didalam ajaran agama manapun
bahwa sesorang yang akan melakukan Doa,
Dzikir dan mengikuti ceramah agama
disunahkan untuk men- sucikan diri, khusus
dalam ajaran islam (berwudhlu). Menurut H.R
Buchori Muslim bahwa air wudhlu dapat
merangsang syaraf yang ada pada tubuh kita.
Dengan demikian aliran darah yang ada pada
tubuh kita menjadi lancar, sehingga tubuh kita
akan menjadi rilek dan akan menurunkan
ketegangan. Dimana kalau kondisi tegang
tidak segera dinetralisir akan berdampak
kemarahan. Kemarahan merupakan salah
satu tanda dari perilaku kekerasan. Hal ini
juga didukung oleh pendapat Ilham 2008,
bahwa terapi psikoreligi yang meliputi doa-
doa, dzikir, cera- mah keagamaan, dan lain-
lain dapat meningkatkan kekebalan dan daya
tahan dalam menghadapi berba- gai problem
kehidupan yang merupakan stressor
psikososial guna peningkatan integrasi
kesehatan jiwa. Dari sudut ilmu kedokteran
jiwa atau kepera- watan jiwa atau kesehatan
jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi)
merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih
tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham,
2008)
Dengan demikian orang yang mengikuti
terapi psikoreligi akan membatasi geraknya
karena dia ber- fokus pada kegiatanya
sehingga dapat mengurangi agresif fisik klien 79
(Videbecck, 2008). Respon fisik akan
mempengaruhi respon emosi (Boyd & Nihart,
1998). Respon fisik merupakan respon yang
untuk tujuan mengubah keimanan seseorang bahasa: Dean Praty Rahayuningsih, Editor edisi
terha- dap agama yang sudah diyakininya, Bahasa indonesia : Sari Kurnianingsih, S.Kp,
Copy Edi- tor: Lia astika Sari. Jakarta: EGC.
melainkan untuk membangkitkan kekuatan Keliat, B.A., dan Akemat. 1996. Proses Keperawatan
spiritual dalam mengha- dapi penyakit Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
merupakan terapi psikoreligius (Yosep, 2009). Marlindawani, J. 2009. Penggunaan Restrain pada
Dengan terapi psikoreligi akan melakukan Pasien Amuk/Perilaku Kekerasan Ditinjau dari
kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi Sudut Pandang Etik. http://www.library. upnvj.
ac.id/pdf/2s1keperawatan, diunduh tanggal 26
proses fikir serta ketegangan otot (Stuart& Juni 2012.
Laraia, 2005) Hal ini dibuktikan oleh hasil
penelitian, bahwa setelah diberi terapi
psikoreligi ada perubahan signifikan
dibandingkan pasien yang tidak diberi terapi
psiko- religi, hal ini bisa dilihat pada table 3,
5, 7 dan 9 di atas. Dengan demikian terapi
Psikoreligi mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan perila- ku
kekerasan pada pasien Skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Surakarta (Videbecck, 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa


Terapi Psikoreligius berpengaruh terhadap
penurunan perilaku kekerasan pada pasien
Skizofrenia di RSJD Surakarta, Ada
perbedaan penurunan perilaku keke- rasan
pada respon perilaku pada pasien yang diberi
terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
terapi psiko- religius, Ada perbedaan
penurunan perilaku keke- rasan pada respon
verbal pada pasien yang diberi terapi
psikoreligi dan yang tidak diberi terapi psiko-
religius, Ada perbedaan penurunan perilaku
keke- rasan pada respon emosi pada pasien
yang diberi terapi psikoreligius dan yang
tidak diberi terapi psikoreligius, Ada
perbedaan penurunan perilaku kekerasan
pada respon fisik pada pasien yang diberi
terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
terapi psiko- religius. Saran hasil penelitian
adalah hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan masukan bidang perawatan
agar lebih efektif membimbing/melaku- kan
terapi psikoreligius dalam merawat pasien
schizofrenia dengan perilaku kekerasan.

DAFTAR RUJUKAN 80

Isaac, A. 2006. Panduan Belajar: Keperawatan


Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik, E/3. Alih
81
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN KELUARGA
MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT
MARZOEKI MAHDI BOGOR

Sri Suryaningrum1, Ice Yulia Wardani2


1. Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof.
Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
2. Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder
Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
Email: srisuryaningrum@ymail.com

ABSTRAK

Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah
satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga
dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian
adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku
kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan
tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P
value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar
beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.

Kata kunci:Beban,Kemampuan, Keluarga,Perilaku kekerasan, Skizofrenia.

ABSTRACT

Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation
of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of
family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and
the family ability to care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi
Hospital of Bogor. This study used analitical design and collected 103 samples using the purposive
sampling technique. This study result indicated a significant relationship between family’s burden and
family ability to care for patient with violent behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to
increase family capability in caring for patient with abusive behavior in order to lower the burden
perceived by the family.

Key words: Burden, Ability, Family, Violent Behavior, Schizophrenia.

148
PENDAHULUAN dalam menghadapi perilaku pasien, dan
beban sosial terutama menghadapi
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari stigma dari masyarakat tentang anggota
10 penyakit terbesaryang membebankan keluarganya yang mengalami gangguan
di seluruh dunia. Biaya yang jiwa. Dampak dari beban yang
dikeluarkan untuk perawatan yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi
diberikan keluarga dan terkait kejahatan kemampuan keluarga dalam merawat
serta terkait kesejahteraan akibat pasien. Jika keluarga terbebani
skizofrenia sebesar 33 miliar dolar kemungkinan keluarga tidak mampu
setiap tahunnya di Amerika Serikat merawat pasien dengan baik.
(Stuart, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan maka dapat dirumuskan masalah
bahwa prevalensi gangguan jiwa di penelitian yaitu “Apakah ada hubungan
Indonesia adalah 4,6 0/00. Prevalensi antara beban keluarga dengan
tertinggi terdapat di Provinsi DKI kemampuan keluarga dalam merawat
Jakarta (20,3 0/00) yang kemudian secara pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
berturut-turut diikuti oleh Provinsi RS Marzoeki Mahdi Bogor?”
Nangro Aceh Darussalam (18,5 0/00),
Sumatera Barat (16,7 0/00), Nusa METODE
Tenggara Barat (9,9 0/00), Sumatera
Selatan (9,2 0/00). Prevalensi terendah Desain penelitian ini adalah desain analitik
terdapat di Maluku (0,9 0/00). kategorik berpasangan, yaitu metode untuk
Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di mengetahui ada atau tidaknya hubungan
dapat dari bagian rekam medis pada tahun antara beban keluarga dengan kemampuan
2010 pasien skizofrenia yang dirawat inap keluarga merawat pasien perilaku
berjumlah 9952 orang dan pasien rawat kekerasan.
jalan berjumlah 1217 orang, sedangkan
tahun 2011 pasien yang dirawat inap Sampel yang diambil dalam penelitian ini
berjumlah 1549 orang dan yang rawat jalan ditentukan dengan menggunakan teknik
berjumlah 15770 orang. Hal ini pengambilan sampel purposive sampling,
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yaitu dengan terlebih dahulu menentukan
jumlah pasien skizofrenia yang menjalani kriteria. Kriteria yang dipakai adalah
pengobatan rawat inap dan rawat jalan di inklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu yaitu keluarga pasien yang anggota
tahun terakhir. keluarganya mengalami skizofrenia dengan
perilaku kekerasan dan pernah dirawat lebih
Pasien skizofrenia terutama yang dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu
mengalami perilaku kekerasan berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal
membutuhkan dukungan keluarga yang serumah dengan pasien
mampu memberikan perawatan secara
Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner
optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem The Zarith Burden Interview versi bahasa
pendukung utama sering mengalami indonesia, merupakan instrumen untuk
beban yang tidak ringan dalam variabel independen yaitu beban yang
memberikan perawatan selama pasien dirasakan keluarga. Kuesioner pengetahuan
dirawat di rumah sakit maupun setelah dan sikap keluarga dalam merawat pasien
kembali ke rumah. perilaku kekerasan merupakan instrument
untuk variable dependen. Pengolahan data
Beban tersebut yaitu beban finansial sesuai dengan langkah-langkah edit data
dalam biaya perawatan, beban mental (editing), memberikan kode (coding),

149
memasukkan data dalam tabel (entry), dan signifikan. Pada variabel pengetahuan
membersihkan data (cleaning). keluarga menunjukkan mayoritas responden
memiliki pengetahuan sedang 69 responden
Analisa data yang digunakan dalam dan tinggi 34 responden. Variabel sikap
penelitian ini adalah analisis univariat dan keluarga menunjukkan 75 responden
bivariat. Analisis univariat dalam memiliki sikap tidak baik. Sedangkan
melakukan uji statistik menggunakan uji variabel kemampuan keluarga terdapat 51
distribusi dan proporsi. Analisis bivariat responden memiliki kemampuan tidak baik.
pada penelitian ini menggunakan uji Chi
Square karena variabel yang diteliti berjenis Tabel 2
kategorik dan kategorik. Hubungan antara Beban dengan
Pengetahuan Keluarga dalam Merawat
Etika pengambilan data pada penelitian ini Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
menggunakan prinsip manfaat, prinsip Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103)
menghargai martabat manusia, prinsip Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga valu
(95%
Sedang Tinggi CI)
e
HASIL n % n %
Tabel 1 Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Jumlah 69 67 34 33
Bogor, Tahun 2013 (n=103)
Peresentase Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien
Beban Sedang 35 34,0 perilaku kekerasan. Hasil uji analisis
Beban Ringan 36 35,0 menunjukkan tidak ada hubungan antara
Tanpa Beban 14 13,6 beban dengan pengetahuan keluarga dalam
Jumlah 103 100 merawat pasien perilaku kekerasan P
Variabel Dependen value>0,05.
Pengetahuan
Keluarga Tabel3
Sedang 69 67,0 Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan
Tinggi 34 33,0 Sikap KeluargaDalam MerawatPasien
Jumlah 103 100 Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
Sikap Keluarga Marzoeki Mahdi Bogor
Tahun 2013 (n=103)
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR
Jumlah 103 100 Beban
(95%
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik valu CI)
e
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 jumlah tersebut cukup Beban Berat
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 16
0,016
Beban Ringan 30 60 20 40 88,9
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban 2
11,1
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat,
150
Jumlah 75 72,8 28 27,2 0,188
0,310

151
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 000,- dan rata-rata penghasilan responden
responden mengalami beban berat dan adalah Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut
memiliki sikap tidak baik dalam merawat merupakan nominal yang sangat jauh
pasien perilaku kekerasan. Uji analisis dibawah standar UMR Bogor tahun 2013
menunjukkan adanya hubungan antara yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan
beban dengan sikap keluarga dalam penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
merawat pasien perilaku kekerasan P Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
Value<0,05. dari enam dimensi beban keluarga dengan
skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
Tabel 4 rata yang paling tinggi. Oleh karena itu
Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan apabila keluarga tidak memiliki sumber
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
dana yang cukup atau jaminan kesehatan,
Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103) maka akan menjadi beban yang sangat berat
bagi keluarga.

Kemampuan Pengetahuan Keluarga dalam merawat


OR
Beban Keluarga pasien Perilaku Kekerasan.
(95%
P
Keluarga valu CI) Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
e
Sedang Tinggi mayoritas responden memiliki pengetahuan
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,105
Beban Sedang 21 60,0 14 40,0 0,182 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini
Beban Ringan 14 38,9 22 61,1 0,010 0,429 (2011) mendukung penelitian ini yang
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 yaitu penghasilan terendah adalah Rp
Jumlah 69 67 34 33 150

Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13


responden yang mengalami beban berat dan
memiliki kemampuan tidak baik dalam
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil
uji analisis menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara beban dengan
kemampuan keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan P value <0,05.

PEMBAHASAN

Beban Keluarga dalam Merawat Pasien


Perilaku Kekerasan
Pada analisis beban keluarga terdapat
17,5% atau 18 responden yang memiliki
beban berat. Nuraenah, Mustikasari, &
Putri (2012) mendukung penelitian ini
bahwa beban keluarga dalam merawat
anggota dengan riwayat perilaku kekerasan
yaitu 95%. Beban berat yang dialami
keluarga bisa dipengaruhi oleh berbagai hal
diantaranya adalah faktor sosial ekonomi.
Dalam hasil penelitian ini masih banyak
keluarga yang merawat anggota
keluarganya yang mengalami perilaku
kekerasan memiliki penghasilan rendah,
152
menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan pada
keluarga pasien skizofrenia sebagian besar
adalah tinggi (55,6%). Hal ini dimungkinkan
dari kriteria keluarga yang ambil dalam
penelitian ini adalah keluarga pasien yang
pernah dirawat minimal satu kali, yang sering
mendapatkan informasi maupun pendidikan
kesehatan tentang cara merawat pasien perilaku
kekerasan dari petugas kesehatan.
Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang
diperoleh baik dari pendidikan formal maupun
non formal dapat memberikan pengaruh jangka
pendek sehingga menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan. Pendidikan non
formal tersebut dapat mempengaruhi
pengetahuan keluarga tentang cara merawat
pasien perilaku kekerasan menjadi tinggi. Dapat
disimpulkan bahwa jika pengetahuan keluarga
tinggi maka akan meningkatkan kemampuan
keluarga dalam memberikan perawatan pada
pasien perilaku kekerasan yang hasilnya pun
akan menjadi optimal.

Sikap Keluarga dalam Merawat Pasien


Perilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
bahwa mayoritas responden memiliki sikap
tidak baik terhadap pasien sebanyak 75

153
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha gangguan jiwa sering melanda keluarga
& Gayatri (2012) didapatkan hasil karena berkurangnya stress tolerance.
responden dengan sikap negative lebih
banyak yaitu sebesar 53,6%. Bagi pasien Peneliti berpendapat bahwa
jiwa yang mengalami perilaku kekerasan ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan
dan kronis membutuhkan waktu perawatan karena keluarga mengalami kelelahan
bertahun-tahu, yang dapat menjadikan secara fisik maupun mental selama merawat
keluarga mengalami kejenuhan dalam anggota keluarganya yang mengalami
memberikan perawatan pada pasien perilaku kekerasan. Dampak yang di
sehingga bersikap tidak baik. Faktor lain rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan
adalah perilaku kekerasan yang dilakukan yang dilakukan pasien sangat
pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat mempengaruhi sikap keluarga dalam
(2003) Perilaku kekerasan adalah tindakan merawat pasien perilaku kekerasan,
menciderai orang lain, diri sendiri, merusak sehingga kemampuan keluarga menjadi
harta benda (lingkungan), dan ancaman tidak baik.
secara verbal.Muesser & Gingerich (2006)
juga menjelaskanbahwa anggota keluarga Hubungan Antara Beban dengan
sering menjadi korban tindakan kekerasan Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat
yang dilakukan oleh penderita skizofrenia. Pasien Perilaku Kekerasan
Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga
Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku dengan beban berat memiliki pengetahuan
kekerasan yang dilakukan pasien terhadap sedang sebanyak 26 orang dan pengetahuan
keluarga sangat merugikan keluarga dan tinggi sebanyak 5 orang. Simatupang
mempengaruhi sikap keluarga dalam (2010) mendukung penelitian ini yang
merawat pasien perilaku kekerasan. menyebutkan bahwa mayoritas responden
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar (90%) memiliki pengetahuan yang baik
bahkan sampai memukul terhadap keluarga, tentang perilaku kekerasan termasuk
berkata-kata yang menyakitkan, merusak definisi, tanda, dan gejala pasien dengan
barang-barang keluarga, merusak dan perilaku kekerasan.
mengganggu lingkungan. Dampak dari
perilaku tersebut memungkinkan keluarga Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan
menjadi bersikap tidak baik terhadap dalam merawat pasien perilaku kekerasan
anggota keluarganya yang mengalami sudah dipahami oleh keluarga. Hal ini
perilaku kekerasan. dikarenakan bahwa keluarga pasien yang
pernah di rawat di Rumah Sakit Marzoeki
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Mahdi Bogor telah mendapatkan
Pasien Perilaku Kekerasan. pendidikan kesehatan dari petugas
Kemampuan keluarga merupakan gabungan kesehatan. Yang menarik dari hasil
dari pengetahuan dan sikap keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga mengalami
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil beban berat meskipun memiliki
penelitian ini didapatkan bahwa responden pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa
yang memiliki kemampuan tidak baik dikarenakan beberapa faktor yang
sebanyak 51 orang. Penelitian ini didukung mempengaruhi antara lain faktor sosial
oleh Hernawaty (2009) bahwa rerata ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
kemampuan kognitif keluarga dalam memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
merawat klien gangguan jiwa sebesar keluarga dengan pendidikan yang rendah.
32,15, dan kemampuan psikomotor 32,55. Hal ini Sesuai dengan penelitian Gururaj,
Fontaine (2003) menyatakan bahwa Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008)
kemampuan keluarga ditentukan oleh menemukan bahwa dari enam dimensi
kemampuan untuk manajemen stres yang beban keluarga dengan skizofrenia, skor
produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama finansial memiliki rata-rata yang paling
merawat anggota keluarga dengan tinggi. Oleh karena itu meskipun

154
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika keluarga tidak bekerja, dan pendidikan
kondisi finansial rendah maka beban yang rendah. Beban tersebut termasuk
keluarga akan menjadi berat. dalam kategori beban obyektif. Nadya
(2009) menjelaskan beban obyektif adalah
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap berbagai beban dan hambatan yang
Keluarga Dalam merawat Pasien dijumpai dalam kehidupan keluarga yang
Perilaku Kekerasan berkaitan dengan perawatan penderita
Hasil penelitian ini terdapat responden yang gangguan jiwa, diataranya adalah beban
mengalami beban ringan memiliki sikap biaya finansial yang dikeluarkan untuk
tidak baik sebanyak 30 orang. Keluarga merawat penderita. Sesuai dengan
yang mengalami beban ringan dipengaruhi penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
oleh beberapa hal yaitu sosial ekonomi Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
yang memadai, adanya sistem pendukung dari enam dimensi beban keluarga dengan
yang cukup dan keluarga memiliki konsep skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
spiritual yang tinggi sehingga mampu rata yang paling tinggi. Peneliti
beradaptasi untuk menerima penyakit yang berpendapat jika kondisi sosial ekonomi
diderita anggota keluarganya. Sesuai tidak memadai maka beban yang dirasakan
dengan konsep Potter & Perry (2005) yang keluarga menjadi berat.
menjelaskan bahwa spiritualitas secara
signifikan membantu klien dan pemberi Fontaine (2003) menjelaskan bahwa
layanan untuk beradaptasi terhadap kemampuan keluarga ditentukan oleh
perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kemampuan untuk manajemen stres yang
kronis. produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama
merawat anggota keluarga dengan
Jika keluarga mengalami beban ringan gangguan jiwa sering melanda keluarga
maka sikap keluarga terhadap pasien karena berkurangnya stress tolerance.
perilaku kekerasan seyogyanya akan Teschinsky (2000) juga menjelaskan bahwa
menjadi baik. Yang menarik dari penelitian keluarga yang merawat anggota keluarga
ini adalah terdapat 30 responden mengalami dengan perilaku kekerasan akan mengalami
beban ringan namun memiliki sikap yang reaksi emosi terhadap gangguan dan stigma
tidak baik terhadap anggota keluarganya. sosial yang ditimbulkan karena perilaku
Hal ini dimungkinkan karena dampak yang kekerasan dengan dampak lainnya. Dapat
diterima oleh keluarga dari sikap pasien dimungkinkan hal inilah yang
perilaku kekerasan. Sesuai dengan konsep menyebabkan keluarga memiliki
Muesser & Gingerich (2006) bahwa kemampuan tidak baik dalam merawat
anggota keluarga sering menjadi korban pasien perilaku kekerasan
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
penderita skizofrenia. Pasien yang Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku
mengalami perilaku kekerasan memberi kekerasan adalah tindakan menciderai
dampak yang merugikan bagi keluarga orang lain, diri sendiri, merusak harta benda
sehingga keluarga bersikap tidak baik (lingkungan), dan ancaman secara verbal.
terhadap dirinya. Muesser & Gingerich (2006) juga
menjelaskan bahwa anggota keluarga sering
Hubungan Antara Beban dengan menjadi korban tindakan kekerasan yang
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal
Pasien Perilaku Kekerasan. ini dapat diartikan bahwa Perilaku
kekerasan yang dilakukan pasien terhadap
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga sangat merugikan keluarga dan
keluarga dengan beban berat memiliki mempengaruhi sikap keluarga dalam
kemampuan tidak baik yaitu 13 orang. Hal merawat pasien perilaku kekerasan menjadi
ini bisa disebabkan oleh faktor sosial tidak baik.
ekonomi antara lain kesulitan finansial,

155
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan dalam merawat pasien perilaku kekerasan P
adanya hubungan yang signifikan antara value > 0,05.
beban dengan kemampuan keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan (P DAFTAR PUSTAKA
Value<0,05). Hal ini dimungkinkan bahwa
beban keluarga sangat mempengaruhi Depkes.(2007).Riset kesehatan
kemampuan keluarga dalam merawat dasar.Jakarta: Balitbangkes Depkes.RI.
pasien perilaku kekerasan. Jika keluarga Fontaine,K.L.(2003) Mental health
terbebani maka keluarga tidak mampu nursing.New jersey.Pearson
merawat pasien perilaku kekerasan secara Education.Inc.
baik. Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,&Ch
andrashekar.,C.R.(2008) Family burden,
KESIMPULAN quality of life and disabilityin obsesive
Berdasarkan data demografi di Poliklinik compulsive disorder;in Indian
RS Marzoeki Mahdi Bogor yaitu responden perspective.J Postgradmed, 91-97.
penelitian sebanyak 103 orang dengan Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi
kelompok usia rata-rata responden adalah suportif keluarga terhadap kemampuan
50,46 tahun. Jenis kelamin responden keluarga merawat klien gangguan jiwa
mayoritas Perempuan. Tingkat pendidikan di kelurahan Bubulak Bogor Barat.
responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan Depok. Tesis. FIK UI
responden mayoritas tidak bekerja. Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan klien
Penghasilan responden rata-rata Rp dan keluarga dalam perawatan klien
1.178.640,-. Hubungan dengan pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan
mayoritas adalah ibu. Karakteristik pasien di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta.
berdasarkan usia didapatkan hasil bahwa Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The
rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. Jenis complete family guide to schizophrenia.
kelamin pasien mayoritas laki-laki. New York: Guilford press.
Pendidikan pasien mayoritas SD dan SMU. Nadya.R.(2009) Gambaran kebahagiaan
Jenis pekerjaan pasien mayoritas tidak dan karakteristik positif wanita dewasa
bekerja atau IRT. madya yang menjadi caregiver informal
Berdasarkan hasil penelitian bahwa penderita skizofrenia. Depok: Fakultas
responden mayoritas dengan beban psikologi UI.
keluarga ringan dan sedang. Responden Notoatmodjo.(2010)Ilmu perilaku
mayoritas memiliki pengetahuan sedang kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
dan sikap tidak baik.Kemampuan Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E (2012)
responden dalam merawat pasien perilaku Hubungan dukungan keluarga dan
kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi beban keluarga dalam merawat anggota
Bogormemiliki kemampuan baik lebih dengan riwayat perilaku kekerasan di
tinggi dari pada kemampuan tidak baik, RS Jiwa Islam klender jakarta Timur.
tetapi jumlah kemampuan tidak baik cukup Depok.FIK.UI .Tesis.
signifikan. Potter & Perry (2005) Fundamental of
Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa nursing; Concept process and practice
tidak ada hubungan yang bermakna antara four edition. Philadelphia: Mosby Year
beban dengan tingkat pengetahuan keluarga Book. Inc.
dalam merawat pasien perilaku kekerasan, Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat
nilai P value > 0.05. Ada hubungan yang i.W.(2011).Faktor-faktoryang
signifikan antara beban dengan sikap berhubungan dengan kekambuhan pada
keluarga dalam merawat pasien perilaku pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
kekerasan P value < 0,05, dan ada Amino Gondoutomo Semarang.
hubungan yang signifikan antara beban Simatupang.(2010). Hubungan tingkat
keluarga dengan kemampuan keluarga pengetahuan keluarga tentang perilaku
kekerasan dengan kesiapan keluarga

156
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei
2013.
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam
pemberian perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi

157
JURNAL KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN

Dosen Pengampu :
Sri Martini, S.Pd, S.Kp, M.Kes
Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kep, MPH
Sri Endriyani, S.Kep, Ns, M.Kep
Marta Pastari, S.Kep, Ns, M.Kes

DISUSUN OLEH
Indah Wahyuni (PO7120119043)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

158
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU ORANG
TUA DALAM MELAKUKAN KEKERASAN VERBAL TERHADAP ANAK
USIA PRA-SEKOLAH

Yuni Fitriana, Kurniasari Pratiwi, Andina Vita Sutanto

Prodi Kebidanan Akademi Kebidanan Yogyakarta Jl. Parangtritis KM.6 Sewon


Bantul

yufina_lucky@ymail.com

Abstract
Verbal abuse in children is all forms of greeting parents to children who are threatening, scaring, and insulting.
This happens every day at home should be the safest place and refuge for children. Economic, social, employment,
lack of knowledge to educate children and parents lack understanding of religion contributing cause parents do
violence on their children. Parents commit verbal violence as a way to educate children is naughty and not
obedient, so it is necessary to study in order to know the factors related to the behavior of parents in verbal
violence against children pre-school age. Quantitative research methods with descriptive analytic approach. The
research sample 76 people, with a proportionate random sampling technique. Instrument questionnaire. The
research variables include variables such as age, education, economics, attitudes, knowledge, experience,
environment, and the dependent variable is the verbal violent behavior. The analysis of univariate and bivariate
data using chi square test. Results of this study there was no correlation with the behavior of a parent education
did verbally abuse her son (p = .767), there is no economic relationship with the parents' behavior on their verbal
violence (p = .248), there is a correlation between age of knowledge, attitude, experience and the environment
there is a relationship with the parents' behavior on their verbal violence (p < 0,001).

Keywords: verbal violence, parents, children pre-school age

Abstrak
Kekerasan verbal pada anak merupakan semua bentuk ucapan orang tua kepada anak yang bersifat mengancam,
menakuti, dan menghina. Hal ini terjadi setiap harinya di rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman dan
berlindung bagi anak. Ekonomi, lingkungan sosial, pekerjaan, kurangnya pengetahuan mendidik anak serta
pemahaman agama orang tua kurang yang turut berperan menjadi penyebab orang tua melakukan kekerasan pada
anaknya. Orang tua melakukan kekerasan verbal sebagai cara mendidik anak yang nakal dan tidak manut,
sehingga perlu dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
orang tua dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah. Metode penelitian kuantitatif dengan
pendekatan deskriptif analitik. Sampel penelitian 76 orang, dengan tekhnik proportionate random sampling. Alat
instrumen kuesioner. Variabel penelitian meliputi variabel bebas yaitu umur, pendidikan, ekonomi, sikap,
pengetahuan, pengalaman, lingkungan, dan variabel terikat yaitu perilaku kekerasan verbal. Analisa data secara
univariat dan bivariat menggunakan uji chi square. Hasil penelitian ini tidak terdapat hubungan pendidikan
dengan perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya (p = 0,767), tidak terdapat hubungan
ekonomi dengan perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya (p = 0,248), terdapat hubungan
umur pengetahuan, sikap, pengalaman dan lingkungan terdapat hubungan dengan perilaku orang tua melakukan
kekerasan verbal pada anaknya (p < 0,001).

Kata Kunci : kekerasan verbal, orang tua, anak usia pra-sekolah

PENDAHULUAN dilakukan lewat kata-kata yang


Tanpa disadari, orang tua pernah melakukan menyakitkan. Kata-kata yang menyakitkan
kekerasan terhadap anak. Salah satu bentuk tersebut biasanya bermakna melecehkan
kekerasan tersebut adalah kekerasan verbal kemampuan anak, menganggap anak
atau kekerasan yang sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti

159
82 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

si anak, memberikan julukan negatif kepada Tidak sayang dan dingin


anak, dan memberikan kesan bahwa anak Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa
tidak diharapkan akan memiliki dampak misalnya : menunjukan sedikit atau tidak
jangka panjang terhadap perasaan anak dan sama sekali rasa sayang kepada anak
dapat mempengaruhi citra diri mereka (seperti pelukan), kata-kata sayang.
(Choirunnisa, 2008). Intimidasi
Tindakan intimidasi bisa berupa : berteriak,
Berbagai bentuk ucapan yang bertujuan menjerit, mengancam anak, dan mengertak
menyakiti anak akan berpengaruh anak.
kepadanya. Baik dalam kehidupan saat ini Mengecilkan atau mempermalukan anak
maupun di masa yang akan datang. Tindakan mengecilkan atau
Kekerasan verbal terhadap anak akan mempermalukan anak dapat berupa seperti :
menumbuhkan sakit hati hingga membuat merendahkan anak, mencela nama,
mereka berpikir seperti yang kerap membuat perbedaan negatif antar anak,
diucapkan oleh orangtuanya. Jika orangtua menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak
bilang anak bodoh atau jelek, maka dia akan berharga, jelek atau sesuatu yang didapat
menganggap dirinya demikian. Meski dari kesalahan.
dampaknya tidak terjadi secara langsung, Kebiasaan mencela anak
namun melalui proses (Choirunnisa, 2008). Tindakan mencela anak bisa dicontohkan
seperti : mengatakan bahwa semua yang
Ucapan-ucapan bernada menghina dan terjadi adalah kesalahan anak.
merendahkan itu akan direkam dalam pita Mengindahkan atau menolak anak Tindakan
memori anak. Semakin lama, maka akan tidak mengindahkan atau
bertambah berat dan membuat anak menolak anak bisa berupa : tidak
memiliki citra negatif. Anak yang sering memperhatikan anak, memberi respon
mengalami kekerasan verbal di kemudian dingin, tidak peduli dengan anak.
hari akan hilang rasa percaya dirinya. Hukuman ekstrim
Bahkan hingga memicu kemarahannya, Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa:
merencanakan untuk melakukan aksi balas mengurung anak dalam kamar mandi,
dendam, dan berpengaruh terhadap caranya mengurung dalam kamar gelap. Mengikat
bergaul (Irwanto, 2000). anak di kursi untuk waktu lama dan
meneror.
Verbal abuse atau biasa disebut emotional
child abuse adalah tindakan lisan atau Kekerasan yang dialami oleh anak dapat
perilaku yang menimbulkan konsekuensi berdampak pada fisik maupun psikologis.
emosional yang merugikan. Verbal abuse Verbal abuse biasanya tidak berdampak
terjadi ketika orang tua menyuruh anak secara fisik kepada anak, tetapi dapat
untuk diam atau jangan menangis. Jika anak merusak anak beberapa tahun kedepan.
mulai bicara, ibu terus menerus Verbal abuse yang dilakukan orang tua
menggunakan kekerasan verbal seperti menimbulkan luka lebih dalam pada
“kamu bodoh”. “kamu cerewet”, “kamu kehidupan dan perasaan anak melebihi
kurang ajar”. Anak akan mengingat itu perkosaan (Soetjiningsih, 2002). Berikut
semua kekerasan verbal jika semua dampak-dampak psikologis akibat kekerasan
kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu verbal pada anak (Ria, 2008; Widyastuti,
periode. 2006) : Anak menjadi tidak

Bentuk dari verbal abuse adalah sebagai


berikut:
160
Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 83
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

peka dengan perasaan orang lain, anak-anak yang agresif, yang pada
menganggu perkembangan, anak menjadi gilirannya akan menjadi orang dewasa
agresif, gangguan emosi, hubungan sosial yang agresif pula. Gangguan mental
terganggu, kepribadian sociopath atau (mental disorder) ada hubungannya
antisocial personality disosder, dengan perlakuan buruk yang diterima
menciptakan lingkaran setan dalam manusia ketika dia masih kecil.
keluarga, dan bunuh diri Faktor Ekstern
Faktor ekonomi
Beberapa faktor yang mempengaruhi orang Sebagian besar kekerasan rumah tangga
tua melakukan verbal abuse, diantaranya dipicu faktor kemiskinan, dan tekanan
(Soetjiningsih, 2002) : hidup atau ekonomi. Pengangguran,
Faktor Intern PHK, dan beban hidup lain kian
Faktor pengetahuan orang tua Kebanyakan memperparah kondisi itu. Faktor
orang tua tidak begitu mengetahui atau kemiskinan dan tekanan hidup yang
mengenal informasi mengenai kebutuhan selalu meningkat, disertai dengan
perkembangan anak, misalnya anak kemarahan atau kekecewaan pada
belum memungkinkanuntuk pasangan karena ketidakberda- yaan
melakukan sesuatu tetapi karena dalam mengatasi masalah ekonomi
sempitnya pengetahuan menyebabkan orang tua mudah sekali
orang tua anak dipaksa melakukan dan melimpahkan emosi kepada orang
ketika memang belum sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah,
bisa dilakukan orang tua rentan, dan dianggap sepenuhnya milik
menjadi marah, membentak dan orang tua, sehingga menjadikan anak
mencaci anak. Orang tua yang paling mudah menjadi sasaran dalam
mempunyai harapan-harapan yang meluapkan kema- rahannya. Kemiskinan
tidak realistik terhadap perilaku anak sangat berhubungan dengan penyebab
berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak karena
kekerasan pada anak. Serta bertambahnya jumlah krisis dalam
kurangnya pengetahuan orang tua tentang hidupnya dan disebabkan mereka
pendidikan anak dan mempunyai jalan yang terbatas dalam
minimnya pengetahuan agama orang tua mencari sumber ekonomi.
melatarbelakangi kekerasan pada anak. Faktor lingkungan
Faktor pengalaman orang tua Faktor lingkungan juga mem- pengaruhi
Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat tindakan kekerasan pada anak.
perlakuan salah merupakan situasi pencetus Lingkungan hidup dapat meningkatkan
terjadinya kekerasan pada anak. Semua beban pera- watan pada anak. Dan juga
tindakan kepada anak akan direkam dalam munculnya masalah lingkungan yang
alam bawah sadar mereka dan akan dibawa mendadak juga turut ber- peran untuk
sampai kepada masa dewasa. Anak yang timbulnya kekerasan verbal. Telivisi
mendapat perilaku kejam dari orang tuanya sebagai suatu media yang paling efektif
akan menjadi agresif dan setelah menjadi dalam menyampaikan berbagai pesan-
orang tua akan berlaku kejam pada anaknya.
Orang tua yang agresif akan melahirkan

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93

161
84 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

pesan pada masyarakat luas yang Setiap anak berhak mendapatkan


merupakan berpotensial paling tinggi untuk perlindungan dari tindakan kekerasan,
mempengaruhi perilaku kekerasan orang tua kebanyakan dari orang tua tidak mengetahui
pada anak. bahwa anak juga mempunyai hak dan
kewajiban sesuai yang tercantum dalam
Verbal abuse dapat terjadi setiap harinya di Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang
rumah, rumah yang seharusnya tempat Perlindungan Anak Pasal 13 dan
teraman dan tempat berlindung bagi anak 69 mengatakan bahwa ada perlindungan
tidak lagi menjadi nyaman. Adanya hukum bagi anak terhadap kekerasan. Pasal
pengertian yang salah dalam memandang 78 dan 80 juga mengatakan bahwa ada
anak, dimana anak masih saja dipandang sanksi hukum bagi para pelaku tindak
sebagai objek yang wajib menurut kepada kekerasan pada anak, termasuk didalamnya
orang tua. Padahal belum tentu orang tua kekerasan verbal. Berdasarkan Peraturan
selamanya benar. Kebanyakan orang tua Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
terlalu berharap pada anak dan cenderung Nomor 34 Tahun 2013 tentang Rencana
memaksa agar anak mau menuruti sepe- Aksi Daerah Perlindungan Perempuan dan
nuhnya keinginan mereka, jika tidak maka Anak Korban Kekerasan Tahun 2013- 2017,
anak akan mendapat hukuman. Hal inilah pasal 4, 5 dan 14 yang menyatakan bahwa
yang menjadikan alasan bagi orang tua pemerintah Yogyakarta melindungi anak-
sering melakukan kekerasan pada anak. anak dari kekerasan yang dilakukan oleh
Disamping itu, bisa juga dikarenakan orang tua.
riwayat orang tua yang dulunya dibesarkan
dalam kekerasan sehingga cenderung Kekerasan terhadap anak Indonesia
meniru pola asuh yang telah mereka tampaknya masih menghantui di tahun 2013
dapatkan sebelumnya. Stress, kemiskinan, ini. Komisi Nasional Perlindungan Anak
isolasi sosial, lingkungan yang mengalami (Komnas PAI) mencatat dalam semester I di
krisis ekonomi, tidak bekerja, kurangnya tahun 2013 atau mulai Januari sampai akhir
pengetahuan orang tua tentang pendidikan Juni 2013 ada 1032 kasus kekerasan anak
anak serta minimnya pengetahuan agama yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah itu
orang tua yang turut berperan menjadi kekerasan fisik tercatat ada 294 kasus atau
penyebab orang tua melakukan kekerasan 28 %, kekerasan psikis 203 kasus atau 20 %
pada anaknya (Soetjiningsih, 2002). dan kekerasan seksual 535 kasus atau 52 %.
Data 1032 kasus kekerasan anak di tahun
Verbal abuse dianggap sebagai sesuatu yang 2013 ini sebenarnya masih lebih baik
lazim, namun dibalik itu semua sebenarnya dibanding tahun 2012 lalu yaitu 2.637 kasus
verbal abuse memiliki dampak yang sangat kekerasan. Dari 2637 anak itu, sebanyak
negatif bagi anak, diantaranya: anak kurang 1657 adalah anak perempuan dan 980
peka terhadap perasaan orang lain, adalah anak laki-laki. Jumlah ini meningkat
perkembangan terganggu, agresif, gangguan dibanding tahun sebelumnya yakni tahun
emosi, kepercayaan diri akan turun, menjadi 2011 dimana tercatat ada 2509 kasus
penyebab bunuh diri dan menciptakan kekerasan anak (Sujatmiko,2013)
lingkaran setan kekerasan verbal dalam
keluarga. Bahkan semakin tinggi kekerasan Berdasarkan data dari Forum Perlindungan
yang diterima dapat menyebabkan ingatan Korban Kekerasan (FPKK) Daerah
berkurang (Soetjiningsih, 2002). Istimewa Yogyakarta (DIY) di tahun 2011,
korban kekerasan terhadap anak paling
tinggi berada di Kota Yogyakarta dengan

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93

162
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 85
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

127 kasus. Peringkat kedua berada di Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk
Kabupaten Sleman (123 kasus), disusul mengetahui faktor-faktor yang ber-
Kabupaten Bantul (60 kasus), lalu hubungan dengan perilaku orang tua
Kabupaten Gunungkidul (48 kasus) dan melakukan kekerasan verbal pada anak usia
terakhir Kabupaten Kulonprogo (36 kasus). pra sekolah, maka tujuan khusus penelitian
Jumlah tersebut menurun dibanding 2010 ini adalah hubungan umur, pendidikan,
dengan 191 kasus di Kota Yogyakarta, pendapatan, pengalaman, lingkungan dan
Kabupaten Sleman (184 kasus), Bantul (92 sikap orang tua dengan perilaku orang tua
kasus), Gunungkidul (87 kasus) dan terakhir melakukan kekerasan verbal pada anak usia
Kulonprogo (60 kasus). Meski terjadi pra sekolah. Hipotesis dalam penelitian ini
penurunan angka, tidak berarti kasus yaitu terdapat hubungan umur, pendidikan,
kekerasan terhadap anak juga telah ekonomi, pengalaman, lingkungan dan sikap
berkurang (Sujatmiko, 2013). orang tua dengan perilaku orang tua
melakukan kekerasan verbal pada anak usia
Penelitian ini akan dilakukan di Dusun pra sekolah.
Sawahan Kelurahan Pendowoharjo
Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul
METODE PENELITIAN
karena berdasarkan wawancara langsung
yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan Penelitian ini merupakan jenis penelitian
bahwa 16 dari 25 anak di daerah ini setiap kuantitatif dengan menggunakan metode
harinya medapatkan kata-kata yang tidak pendekatan deskriptif analitik. Populasi
pantas dari orang tua mereka maupun dalam penelitian ini adalah seluruh orang
kalimat yang bersifat mengancam dari orang tua yang memiliki anak usia prasekolah
tua. Orang tua menganggap hal yang biasa yaitu anak usia 3 sampai 6 tahun di Dusun
jika memarahi anak-anaknya dengan kata- Sawahan Kelurahan Pendowoharjo
kata yang tidak pantas. Selain alasan Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul yaitu
tersebut diatas, peneliti juga sebanyak 93 responden. Cara pengambilan
mempertimbangkan keadaan masyarakat di sampel yang telah dilakukan dalam
dusun Sawahan dimana orang tua terutama penelitian ini adalah proportionate random
ibu yang mayoritas memiliki latar belakang sampling, yaitu 76 responden. yaitu teknik
pendidikan yang masih rendah yaitu tamat pengambilan sampel tiap RT di Dusun
SMP dan 50 % sebagai ibu rumah tangga. Sawahan, Kelurahan Pendowoharjo,
Hal itu mengakibatkan stress yang Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul.
disebabkan himpitan ekonomi yang akan Selanjutnya jumlah responden tiap RT di
membuat orang tua mudah sekali Dusun Sawahan dipilih secara simple
meluapkan emosi, kekecewaan, kemarahan, random.
dan ketidakmampuannya kepada orang
terdekatnya, yaitu anak mereka. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu
perilaku orang tua terhadap kekerasan
Berdasarkan latar belakang, maka verbal pada anak pra sekolah, sedangkan
perumusan masalah dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah umur, pendidikan,
adalah “bagaimanakah faktor-faktor yang pendapatan, pengetahuan, sikap, lingkungan
berhubungan dengan perilaku orang tua dan pengalaman. Penelitian ini
melakukan kekerasan verbal pada anak usia menggunakan kuesioner sebagai alat
pra sekolah”. pengumpulan data. Instrumen penelitian
dikatakan berkualitas dan dapat

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


163
86 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

dipertanggungjawabkan penggunaannya didapatkan berupa kekerasan verbal seperti


apabila sudah terbukti validitas dan pengalaman dibentak, dihina dan melihat
reliabilitas. Uji validitas dilakukan analisis perilaku kekerasan verbal contoh
dengan pearson product moment pertanyaannya “Saya pernah melihat orang
(Notoadmodjo, 2003). Pertanyaan dalam tua bertengkar dengan kata-kata kasar? Pada
kuesioner ini valid karena nilai r hitung saat saya masih kecil ditakut-takuti oleh
lebih besar daripada r tabel yaitu (0,632). orang tua saya kalau saya tidak mau
Uji reliabilitas pada penelitian ini mandi?”. Sedangkan pertanyaan tentang
menggunakan teknik alfa cronbach, dengan lingkungan berkaitan tentang lingkungan
hasil analisis yaitu seluruh instrumen sama sosial dan tempat tinggal sebagai contoh
dengan atau lebih dari 0,6. “Orang dilingkungan tempat tinggal anda
mempunyai kebiasaan berbicara dengan
Kuesioner digunakan untuk mengukur nada bicara keras? Tetangga anda sering
pengetahuan, sikap, lingkungan, penga- memanggil anaknya dengan sebutan yang
laman dan perilaku orang tua tentang tidak baik, misal “cungkring”?”
kekerasan verbal terhadap anak usia pra-
sekolah. Pertanyaan dalam kuesioner untuk Metode pengolahan data dengan langkah
mengukur pengetahuan terdiri dari 7 item editing, coding, tabulasi data dan entry data.
pertanyaan berkaitan pengertian, bentuk, Pengolahan data tersebut menggunakan
macam-macam dan dampak kekerasan bantuan komputer dengan program SPSS
verbal. Dalam mengukur sikap ada 8 item for Windows Release 16,0. Analisa data
pertanyaan dan perilaku ada 12 item tersebut meliputi analisis univariat dan
menggunakan dengan skala likert, dengan analisis bivariat yaitu uji chi square (x2).
pilihan Sering (S), Kadang (K), Jarang (J), Nilai Chi Square hitung lebih kecil dari
dan Tidak Pernah (TP). Pertanyaan pada tabel, maka hipotesa nol diterima, dan
sikap dan perilaku terdiri dari hal-hal apabila lebih besar atau sama dengan harga
berkaitan ucapan, tindakan dan cara tabel maka hipotesa nol ditolak dan hipotesa
mendidik orang tua yang mengarah alternatif gagal untuk ditolak (Sugiyono,
kekerasan verbal seperti contoh pertanyaan 2002).
mengukur sikap yaitu “Pada saat anda
menyuruh anak anda untuk tidak bermain
HASIL DAN PEMBAHASAN
handpone/tablet/game. Tapi anak anda tidak
mau menuruti anda menyikapinya dengan Penelitian dilakukan di Dusun
Langsung mengambil handpone/ Pendowoharjo yang merupakan wilayah
tablet/game”, sedangkan contoh per- administrasi di bawah Kecamatan Sewon
tanyaan mengukur perilaku yaitu “Pada Kabupaten Bantul. Secara geografis Dusun
suatu hari, anak anda menangis karena tidak Pendowoharjo memiliki karakteristik berada
mau berangkat sekolah. Maka yang akan di dataran rendah. Kecamatan Sewon
anda ucapkan adalah Mau jadi anak bodoh beriklim seperti layaknya daerah dataran
gak sekolah, kalau gak mau sekolah, angon rendah di daerah tropis dengan dengan
wedhus wae” . cuaca panas sebagai ciri khasnya.

Kuesioner untuk mengukur pengalaman ada Secara kependudukan bahwa masyarakat


8 item dan lingkungan ada 10 item Dusun Pendowoharjo masuk di wilayah
pertanyaan dengan skala guttman dengan Kecamatan sewon yang memiliki jumlah
pilihan ya dan tidak. Pada pertanyaan keseluruhan 75.327 orang dengan jumlah
berkaitan tentang pengalaman yaitu penduduk laki-laki 37.795 orang dan
kejadian yang pernah dialami atau penduduk perempuan 37.532 orang.

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93

164
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 87
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan semakin membaik. Pada usia madya,


Sewon adalah 2766 jiwa/km2. Sebagian individu akan lebih berperan aktif dalam
besar penduduk Kecamatan Sewon adalah masyarakat dan kehidupan social serta lebih
buruh. banyak melakukan persiapan demi
suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju
Tabel 1. usia tua, selain itu orang usia madya akan
Hubungan faktor-faktor yang berhubungan lebih banyak menggunakan waktu untuk
dengan Perilaku Orang Tua Melakukan
Kekerasan Verbal Pada Anak Usia Pra-Sekolah
membaca. Kemampuan intelektual,
pemecahan masalah dan kemampuan verbal
Perilaku Orang Tua hampir tidak ada pada penurunan usia ini.
Variabel P
x2
Umur 8,330 0,016
Pendidikan 2,532 0,767 Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa
Pendapatan 2,792 0,248 semakin bertambah umurnya belum tentu
Pengetahuan 44,239 0.000 semakin bijaksana, hal ini yang ditemukan
Sikap 18,698 0.000 oleh peneliti di dusun Sawahan Kelurahan
Pengalaman 20,476 0.000 Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, Bantul
Lingkungan 16,631 0.000 dimana umur responden semakin bertambah
menunjukkan perilaku yang semakin
Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel negatif.
1 menunjukkan bahwa ada hubungan antara
umur responden dengan perilaku orang tua Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
melakukan kekerasan verbal pada anak usia ada hubungan antara pendidikan responden
pra-sekolah di Dusun Pendowoharjo dengan perilaku orang tua melakukan
Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul. kekerasan verbal pada anak usia pra-
Analisis data dengan menggunakan uji chi sekolah di Dusun Pendowoharjo Kecamatan
square di dapatkan x2= 8,330 (p = 0,016). Sewon Kabupaten Bantul.

Umur adalah lama hidup individu terhitung Tingkat pendidikan merupakan jenjang
saat mulai dilahirkan sampai berulang tahun pendidikan terakhir yang ditempuh
(Notoatmojo, 2003). Hasil penelitian ini seseorang tingkat pendidikan merupakan
berbeda dengan teori (Notoatmojo, 2003) suatu wahana untuk mendasari seseorang
dimana semakin cukup umur, tingkat berprilaku secara ilmiah. Tingkat
kematangan seseorang akan lebih matang pendidikan yang rendah akan susah
dalam berfikir dan bekerja. Dari hasil mencerna pesan atau informasi yang
penelitian mengindikasikan bahwa dengan disampaikan (Notoatmodjo, 2003).
bertambahnya umur seseorang belum tentu
kematangan dalam berpikir semakin baik, Pendidikan diperoleh melalui proses belajar
dimana umur seseorang akan termotivasi yang khusus diselenggarakan dalam waktu
untuk tidak melakukan kekerasan verbal tertentu, tempat tertentu dan kurikulum
pada anak pra-sekolah. tertentu, namun dapat diperoleh dari
bimbingan yang diselenggarakan sewaktu-
Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap waktu dengan maksud memper- tinggi
dan pola pikir seseorang, semakin kemampuan atau ketrampilan khusus.
bertambah usia akan semakin berkembang Dalam garis besar ada tiga tingkatan
pula daya tangkap dan pola pikirnya, pendidikan yaitu pendidikan rendah,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya pendidikan menengah, dan tinggi.

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


165
88 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

Masing-masing tingkat pendidikan tersebut seseorang mencerna apa yang menjadi isi
memberikan tingkat pengetahuan tertentu pesan dari informasi khususnya dalam hal
yang sesuai dengan tingkat pendidikan. kerasan yang dilakukan orang tua terhadap
anak pra sekolah.
Pendidikan tentang perilaku orangtua dalam
melakukan kekerasan verbal terhadap anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
pra sekolah yang positif merupakan suatu ada hubungan antara pendapatan responden
proses mengubah kepribadian, sikap, dan dengan perilaku orang tua melakukan
pengertian tentang perilaku yang selama ini kekerasan verbal pada anak usia pra-sekolah
negatif sehingga tercipta pola perilaku yang di Dusun Pendowoharjo Kecamatan Sewon
baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Kabupaten Bantul. Pendapatan keluarga
Berpedoman pada tujuan pendidikan seringkali dikaitkan dengan status
diperkirakan bahwa semakin meningkatnya kemapanan ekonomi suatu keluarga.
pendidikan yang dicapai sebagian besar
penduduk, semakin membantu kemudahan Masalah keuangan seringkali mendorong
pembinaan akan pentingnya perilaku yang timbulnya stress pada orangtua. Aspek
positif dalam menghadapi kekerasan verbal keuangan dapat berupa tingkat penghasilan
pada anak pra sekolah. Dengan demikian keluarga yang rendah dandhadapkan pada
pendidikan pada dasarnya merupakan usaha tuntutan kebutuhan yang tinggi (Munawati,
dan tindakan yang bertujuan untuk 2011). Status ekonomi sangat berpengaruh
mengubah pengetahuan, sikap dan pada perkembangan hubungan orang tua
keterampilan manusia. Tingkat pendidikan dengan anak. Penelitian yang dilakukan
yang cukup merupakan dasar dalam Nugroho Akbar (2009) menyebutkan bahwa
pengembangan daya nalar serta sarana income yang diperoleh orangtua
untuk menerima pengetahuan. Kemam- berpengaruh terhadap tingkat perilaku
puan menerima seseorang akan lebih cepat pengasuhan orangtua. Orangtua dengan
jika orang tersebut memiliki latar belakang penghasilan rendah memiliki tingkat
pendidikan yang cukup. Pengertian tersebut perilaku yang lebih tinggi dalam melakukan
menggambarkan pendidikan bukan hanya kekerasan kepada anak dibandingkan
mempersiapkan masa depan agar lebih dengan orangtua yang memiliki penghasilan
cerah saja, melainkan untuk membantu tinggi.
setiap individu mengem- bangkan faktor
psikisnya menuju tingkat kedewasaan. Sejak Tingkat kepuasan orangtua terletak pada
dini pendidikan harus sudah diberlakukan seberapa baik orangtua mereka merasa
pada setiap individu agar menjadikan mampu memenuhi kebutuhan anak-
manusia berkualitas dan tidak menimbulkan anaknya. Orangtua yang kekurangan sumber
dampak yang negatif pada dirinya sendiri daya untuk merawat anak akan mengalami
atau orang lain khususnya. peningkatan perilaku negatif dalam
memenuhi tantangan kehidupan sehari-hari.
Diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat Ketika mengalami kesulitan ekonomi,
pendidikan seseorang maka semakin mampu orangtua akan menjadi mudah marah,
mengetahui, memahami ataupun tertekan dan frustasi, serta tekanan
menganalisis apa yang disampaikan psikologis mereka akan menurunkan
demikian sebaliknya semakin rendah tingkat kemampuan pengasuhan yang akan
pendidikan yang dimiliki maka semakin berpengaruh pada kekerasan (Stuart &
rendah atau tidak tahu pula Sundeen, 2006).

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


166
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 89
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

Humanika, Solihin, Lianny (2004) dari pengalaman yang berasal dari berbagai
berpendapat bahwa orangtua yang memiliki macam sumber seperti, media poster,
ketidakmatangan emosi berisiko melakukan kerabat dekat, media massa, media
kekerasan terhadap anak. Berdasarkan elektronik, buku petunjuk, petugas
analisis tambahan, kesehatan, dan sebagainya. Pengetahuan
kemampuan mengendalikan frrustasi yang dapat membentuk keyakinan tertentu,
menjadi salah satu aspek kematangan emosi sehingga seseorang berperilaku sesuai
berkorelasi positif dengan perilaku dengan keyakinannya tersebut (Nugroho,
kekerasan pada anak yang dilakukan 2009).
orangtua. Didukung oleh penelitian
Khusmas, Asniar. Hastarjo, Wimbarti. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa
(1997) yang menyatakan bahwa orangtua pengetahuan atau kognitif merupakan
yang melakukan kekerasan fisik dilaporkan domain yang sangat penting untuk
mempunyai perasaan negatif yang lebih terbentuknya tindakan seseorang (overt
besar (seperti marah, depresi, bingung dan behavior), dan Rogers (dalam Notoatmodjo,
jengkel) dibandingkan dengan orangtua 2003) menyimpulkan bahwa pengadopsian
yang tidak melakukan kekerasan fisik pada perilaku didasari oleh pengetahuan,
anaknya. kesadaran yang positif, maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa lasting) namun sebaliknya jika perilaku itu
pendapatan yang rendah seorang orangtua tidak didasari oleh pengetahuan dan
akan mengalami peningkatan perilaku yang kesadaran, maka perilaku tersebut bersifat
negatif dimana orangtua akan mudah marah, sementara atau tidak akan berlangsung lama
tertekan dan frustasi yang akan berujung (Notoatmodjo, 2003).
pada kekerasan verbal pada anak pra
sekolah. Kebanyakan orang tua tidak begitu
mengetahui atau mengenal informasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada mengenai kebutuhan perkembangan anak,
hubungan antara pengetahuan responden misalnya anak belum memungkinkan untuk
dengan perilaku orang tua melakukan melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya
kekerasan verbal pada anak usia pra- pengetahuan orang tua anak dipaksa
sekolah di Dusun Pendowoharjo Kecamatan melakukan dan ketika memang belum bisa
Sewon Kabupaten Bantul. Pengetahuan dilakukan orang tua menjadi marah,
adalah segala sesuatu yang ada dikepala membentak dan mencaci anak. Orang tua
kita. Kita dapat mengetahui sesuatu yang mempunyai harapan- harapan yang
berdasarkan pengalaman yang kita miliki. tidak realistik terhadap perilaku anak
Selain pengalaman, kita juga menjadi tahu berperan memperbesar tindakan kekerasan
karena kita diberitahu oleh orang lain. pada anak. Serta kurangnya pengetahuan
Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi orang tua tentang pendidikan anak dan
(Nugroho, 2009). minimnya pengetahuan agama orang tua
melatarbelakangi kekerasan pada anak.
Pengetahuan (knowledge) adalah suatu
proses dengan menggunakan pancaindra Pandangan yang keliru tentang posisi anak
yang dilakukan seseorang terhadap objek dalam keluarga. Orang tua menganggap
tertentu dapat menghasilkan pengetahuan bahwa anak adalah seseorang yang tidak
dan keterampilan (Notoatmojo, 2003). tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh
Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93 167


90 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

apapun berhak dilakukan oleh orang tua setuju dengan sikap yang di ekspresikan
(Shocib, 2000). mereka. Oleh karena itu, peneguhan yang
dilakukan orangtua sejak dini bisa
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa membentuk sikap yang di baca sampai besar
pengetahuan sangat berpengaruh kepada nanti, termasuk di antaranya tindak
perilaku seseorang, dimana bila seseorang kekerasan verbal yang dilakukan orangtua
mempunyai pengetahuan yang baik tidak terhadap anaknya.
menutup kemungkinan mempunyai peri-
laku yang positif yaitu orang tua tidak akan Semakin kuat satu sikap dalam pemikiran
melakukan kekerasan verbal pada anaknya, seseorang maka makin besar pengaruhnya
begitu pula sebaliknya apabila seseorang terhadap perilaku. Penelitian yang telah
mempunyai pengetahuan yang kurang tidak dilakukan menunjukkan bahwa sikap yang
menutup kemungkinan mempunyai perilaku dibentuk melalui pengalaman pribadi akan
yang negatif yaitu orang tua akan semakin kuat daripada sikap yang dibentuk
melakukan kekerasan verbal pada anaknya. berdasarkan informasi kedua atau sumber
Hasil penelitian yang dilakukan pada yang tidak langsung. Secara spesifik,
orangtua di dusun Sawahan Kelurahan sepertinya orang tidak hanya bisa
Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, menggunakan sikap sebagai dasar perilaku,
bahwa orangtua yang mempunyai penge- kita juga bisa membentuk sikap berdasarkan
tahuan baik sebagian besar mempunyai perilaku kita. Menurut Sarwono karena
perilaku yang positif, sedangkan orangtua pembentukan sikap yang paling efektif
yang mempunyai pengetahuan kurang adalah melalui pengalaman sendiri maka
sebagian besar mempunyai perilaku yang para pakar berusaha mengetahui sampai
negatif. seberapa jauh perilaku dapat mempengaruhi
terbentuknya sikap. Sebagaimana sikap
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dapat berpengaruh pada perilaku, sebaliknya
bahwa Ada hubungan antara sikap perilaku pun juga dapat membentuk sikap
responden dengan perilaku orang tua karena perilaku adalah pengalaman yang
melakukan kekerasan verbal pada anak usia paling langsung pada diri seseorang
pra-sekolah di Dusun Pendowoharjo (Nugroho, 2009).
Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul.
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa
merupakan reaksi atau respon yang masih hubungan antara sikap orangtua yang positif
tertutup dari seseorang terhadap suatu akan membawa perilaku orangtua untuk
stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak melakukan kekerasan verbal terhadap
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya anaknya, begitu pula sebaliknya apabila
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari orangtua mempunyai sikap yang negatif
perilaku yang tertutup. Sikap merupakan akan mempengaruhi perilakunya dalam
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek melakukan kekerasan verbal pada anaknya.
dilingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa Ada hubungan antara lingkungan
Orang tua dan anggota keluarga adalah responden dengan perilaku orang tua
orang pertama yang memberikan peneguhan melakukan kekerasan verbal pada anak usia
terhadap sikap seseorang. Kita biasanya pra-sekolah. Lingkungan juga
akan cenderung untuk menerima mempengaruhi tindakan kekerasan pada
penghargaan, seperti pujian, hadiah, dan
pengauan dari anggota keluarga kalau kita
168
Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orang tua 91
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

anak. Lingkungan hidup dapat mening- tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman
katkan beban perawatan pada anak. Dan merupakan sumber pengetahuan, atau
juga munculnya masalah lingkungan yang pengalaman itu merupakan suatu cara untuk
mendadak juga turut berperan untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan.
timbulnya kekerasan verbal. Televisi Oleh sebab itu pengalaman pribadi dapat
sebagai suatu media yang paling efektif pula dijadikan sebagai upaya untuk
dalam menyampaikan berbagai pesan- pesan memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan
pada masyarakat luas yang merupakan dengan cara mengulang kembali
berpotensial paling tinggi untuk pengetahuan yang diperoleh dalam
mempengaruhi perilaku kekerasan orang tua memecahkan persoalan yang dihadapi pada
pada anak. masa lalu (Notoatmodjo, 2003).

Orang tua menjadi memiliki masalah berat Perilaku yang didasari oleh pengetahuan
dalam hubungannya dengan anak-anak akan lebih baik dibandingkan perilaku yang
mereka. Orang tua menjadi memiliki tidak didasari oleh pengetahuan karena
konsep-konsep yang kuat dan kaku didasari oleh kesadaran, rasa tertarik, dan
mengenai apa yang benar dan apa yang adanya pertimbangan dan sikap positif.
salah bagi anak-anak mereka. Semakin Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat
yakin orang tua atas kebenaran dan nilai- perlakuan salah merupakan situasi pencetus
nilai keyakinannya, semakin cenderung terjadinya kekerasan pada anak. Semua
orang tuamemaksakan kepada anaknya tindakan kepada anak akan direkam dalam
(Stuart dan Sundeen, 2006). alam bawah sdar mereka dan akan dibawa
sampai kepada masa dewasa. Anak yang
Dari hasil penelitian diasumsikan bahwa mendapat perilaku kejam dari orangtuanya
lingkungan berpengaruh besar terhadap akan menjadi agresif dan setelah menjadi
perilaku orangtua dalam melakukan orang tua akan berlaku ejam pada anaknya.
kekerasan verbal terhadap anak pra sekolah, Orangtua yang agresif akan melahirkan
hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang anak-anak yang agresif, yang pada
dilakukan di dusun Sawahan Kelurahan gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
Pendowoharjo Kecamatan Sewon Bantul, agresif pula. Khusmas, Asniar, Hastarjo, &
yang diketahui orang tua yang mempunyai Wimbarti (1997).
lingkungan baik mempunyai perilaku yang
cenderung tidak melakukan kekerasan Dari hasil penelitian diketahui bahwa
verbal pada anaknya, tetapi sebaliknya pengalaman orangtua berpengaruh besar
orang tua yang mempunyai lingkungan terhadap perilaku orangtua dalam mela-
buruk cenderung melakukan kekerasan kukan kekerasan verbal terhadap anak pra-
verbal terhadap anaknya. Berdasarkan hasil sekolah. Orang tua yang mempunyai
penelitian didapatkan bahwa ada hubungan pengalaman baik mempunyai perilaku yang
antara lingkungan responden dengan cenderung tidak melakukan kekerasan
perilaku orang tua melakukan kekerasan verbal pada anaknya, tetapi sebaliknya
verbal pada anak usia pra-sekolah di Dusun orang tua yang mempunyai pengalaman
Pendowoharjo Kecamatan Sewon buruk cenderung melakukan kekerasan
Kabupaten Bantul. verbal terhadap anaknya.

Pengalaman merupakan guru yang terbaik


(experient is the best teacher), pepatah

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93


169
92 Fitriana, Pratiwi, & Sutanto

KESIMPULAN http://www.yogyakarta.bpk.go.id/wp.
content/upload/20114/08/pergub-34- th-
Pada akhir penelitian ini, maka dapat
2013-pdf
disimpulkan sebagai berikut :
Terdapat hubungan antara umur dengan
Choirunnisa. (18 Maret 2008). Dampak
perilaku orang tua melakukan kekerasan
kekerasan verbal pada anak. Diambil dari
verbal pada anaknya (x2 = 8,330, p = 0,016).
okezone online. Diakses dari
Tidak terdapat hubungan antara pendidikan
http://m.okezone.com
dengan perilaku orang tua melakukan
kekerasan verbal pada anaknya (x2 = 2,532,
Humanika, Solihin, Lianny. (2004).
p = 0,767).
Tindakan Kekerasan pada Anak dalam
Tidak terdapat hubungan antara pendapatan
Keluarga..Jurnal Pendidikan Penabur -
dengan perilaku orang tua melakukan
No.03 / Th.III / Desember 2004
kekerasan verbal pada anaknya (x2 = 2,792,
p = 0,248).
Irwanto.(2000). Tindak kekerasan terhadap
Terdapat hubungan antara
anak. Surabaya: PT Lutftansa Mediatama.
pengetahuan dengan perilaku orang tua
melakukan kekerasan verbal pada anaknya
Khusmas, Asniar, Hastarjo, T. D, Wimbarti,
(x2 = 44,239, p = 0,000).
S. (1997). Peran Fantasi agresif tentang
Terdapat hubungan sikap dengan perilaku
perilaku agresif anak- anak. Jurnal
orang tua melakukan kekerasan verbal pada
Psikologi. No 1 , 21-29
anaknya (x2 = 18,698, p = 0,000).
Terdapat hubungan pengalaman dengan
Munawati. (2011). Hubungan Verbal Abuse
perilaku orang tua melakukan kekerasan
dengan Perkembangan Kognitif pada Anak
verbal pada anaknya. (x2 = 20,476, p =
Usia Prasekolah di RW 04 Kelurahan
0,000)
Rangkapan Jaya Baru Depok .Jakarta:
Terdapat hubungan lingkungan dengan
Skripsi. Jakarta. Fakultas Ilmu-ilmu
perilaku orang tua melakukan kekerasan
Kesehatan Program Studi Ilmu
verbal pada anaknya (x2 = 16,631, p =
Keperawatan: Universitas Pembangunan
0,000)
Nasional “Veteran”
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, A (2009). Faktor-faktor yang
Undang-undang Republik Indonesia mempengaruhi orang tua melakukan verbal
Nomor 23 Tahun 2002. Diambil online. abuse pada anak usia prasekolah. Skripsi.
Retrieved from (tidak diterbitkan). Semarang. Universitas
http://www.kpai.go.id?hukum/Undan g- Muhammadiyah Semarang
undang-UU-RI-no-23-tahun-2002- tentang-
perlindungan- anak/ditayangkan oleh admin Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi
KPAI- 10-09-2013 penelitian kesehatan. Edisi revisi.
Jakarta: Rineka Cipta
Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun
2013 tentang Rencana Aksi Daerah Notoatmojo, S. (2003). Ilmu kesehatan
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban masyarakat: prinsip-prinsip dasar.
Kekerasan Tahun 2013-2017. Diambil Jakarta: Rineka Cipta. 2003
online. Diakses dari

Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.1 April 2015, 81-93

170
dalam melakukan kekerasan verbal terhadap anak usia pra-sekolah

Soetjiningsih. (2002). Tumbuh kembang tertinggi. Diambil dari kedaulatan rakyat.


anak. Jakarta: EGC Online. Rerieved from
http://krjogja.com/read/166403/kasus
Stuart,. & Sundeen. (2006). Buku saku -kekerasan-anak-kota-jogja-tertinggi
keperawatan jiwa, ed 3. Jakarta : EGC
Shocib, M. (2000). Pola asuh orang tua.
Sugiyono. (2002). Statistika untuk Jakarta: Rineka Cipta
penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. 2002
Widyastuti, N. (12 April 2006). Sikap
Sujatmiko, T. (26 Maret 2013). Kasus Orang Tua Tentukan Perilaku Anak.
kekerasan anak Kota Yogyakarta Diakses dari http://www.pikiran-
rakyat.com

171
72 Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 4, Nomor 1, Mei 2015, hlm. 72–77

PENGARUH TERAPI PSIKORELIGI TERHADAP PENURUNAN


PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA
DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

Dwi Ariani Sulistyowati, E. Prihantini


Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Keperawatan

Abstract: Psikoreligius Therapy, Violent Behavior in Patients with Schizophrenia, Decline in Violent
Behavior. Schizophrenia is a clinical syndrome or disease processes that affect, perception, emotion,
behavior, and social functioning. The main problem that often occurs in patients with schizophrenia are
violent behavior. Violent behavior is a condition where a person perform actions that can physically harm
either to yourself, others, and the environment. In the management of violent behavior are three strategies,
namely: strategy deep breath, hit the pillow, chatting with others, Spiritual and psikoreligius obat.Sedangkan
utilization is part of the spiritual strategy. The purpose of this study was to determine the effect Psikoreligius
to decrease violent behavior in patients with schizophrenia. Research Methods. The research is a Quasi-
experimental, research design using One Group Pre and Post Test Design. Sampling using non-probability
sampling technique with purposive sampling. Analysis of the data used is paired t test.

Keywords: psikoreligius therapy, violent behavior in patients with schizophrenia, decline in violent behavior

Abstrak: Terapi Psikoreligius, Perilaku Kekerasan pada Pasien Schizofrenia, Penurunan Perilaku
Kekerasan. Schizofrenia merupakan suatu syndrome klinis atau proses penyakit yang mempengaruh,
persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial. Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien Schizofrenia
adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Dalam manajemen
perilaku kekerasan terdapat 3 strategi yaitu: strategi nafas dalam, pukul bantal, bercakap-cakap dengan orang
lain, spiritual dan pemanfaatan obat. Sedangkan psikoreligius merupakan bagian dari strategi spiri- tual.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Psikoreligius terhadap penurunan perilaku
kekerasan pada pasien Schizofrenia. Metode Penelitian. Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen, desain
penelitian menggunakan One Group Pre and Post test Design. Pengambilan sampel dengan meng- gunakan
teknik non probability sampling dengan cara purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah uji
paired t test.

Kata Kunci: terapi psikoreligius, perilaku kekerasan pada pasien schizofrenia, penurunan perilaku kekerasan

Untuk mendapatkan kesehatan mental yang prima, Nurjanah (2004). Selanjutnya kondisi ini dapat me-
tidaklah mungkin terjadi begitu saja. Selain menye- nyebabkan timbulnya gangguan jiwa dalam tingkat
diakan lingkungan yang baik untuk pengembangan ringan maupun berat yang memerlukan penanganan
potensi, dari individu sendiri dituntut untuk di rumah sakit baik di rumah sakit jiwa atau di unit
melakukan berbagai usaha menggunakan berbagai perawatan jiwa di rumah sakit umum, salah
kesempatan yang ada untuk mengembangkan satunya adalah penderita schizophrenia (Nurjanah,
dirinya. 2004).
Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap Schizofrenia merupakan suatu sindrome klinis atau
peningkatan kualitas maupun kuantitas penyakit proses penyakit yang mempengaruhi kognisi,
mental-emosional manusia Hidayati (2000) dalam persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial, tetapi

72
172
schizofrenia mempengaruhi setiap individu dengan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang
cara yang berbeda. Derajat gangguan pada fase lain, sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk
akut atau fase psikotik dan fase kronis atau fase dimana seseorang marah berespon terhadap suatu
jangka panjang sangat bervariasi diantara individu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkon-
(Videbeck, 2008). trol (Stuart dan Laraia, 2005), sedangkan kema-
Menurut Isaac (2004), 1% populasi penduduk rahan adalah perasaan jengkel yang muncul sebagai
dunia mengalami schizofrenia dalam hidupnya, 95% respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai
penderita schizofrenia mengidap penyakit ini seumur ancaman (Keliat, 1996).
hidup, penderita schizofrenia menempati 25% tem- Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terda- pat
pat tidur rawat inap rumah sakit. Kurang lebih hubungan yang sangat signifikan antara komit- men
33%– 50% tunawisma di Amerika serikat agama dan kesehatan. Orang yang sangat reli- gius
menderita Schizofrenia. Lebih dari 50% penderita dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih
schizofrenia bermasalah dengan alkohol atau obat- sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan
obatan yang mungkin berusaha mengatasi sendiri penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakit
gejala-gejala stressnya. Di seluruh Asia, lebih cepat (Zainul Z, 2007). Saat ini perkembangan
diperkirakan 2–10 dari setiap 1000 penduduk terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah
mengalami schizofrenia, dan 10% diantaranya perlu pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berba-
diobati dan dirawat intensif karena telah sampai gai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat
pada taraf yang mengkhawatir- kan. keimanan seseorang erat hubungannya dengan ke-
Prevalensi penderita schizofrenia di Indonesia kebalan dan daya tahan dalam menghadapi
adalah 0,3–1%. Apabila penduduk Indonesia sekitar berbagai problem kehidupan yang merupakan
200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa stresor psiko- sosial.
menderita schizofrenia. Schizofrenia adalah gang- Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan kese- hatan
guan mental yang sangat luas dialami di Indonesia, sebagai keadaan lengkap dari kesejahteraan fisik,
dimana sekitar 99% Rumah Sakit Jiwa di Indonesia mental, sosial dan bukan semata-mata katiada- an
adalah penderita schizofrenia (Sosrosumihardjo, penyakit atau kesakitan. Definisi kesehatan ini
2007). merupakan pemicu dan pemacu penelitian dan prak-
Permasalahan utama yang sering terjadi pada tik di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi kese-
pasien Schizofrenia adalah perilaku kekerasan. Hal hatan mulai berkembang pesat sejak saat itu, jika
ini sesuai dengan diagnosa keperawatan NANDA dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis yang mem-
yang biasa ditegakkan berdasarkan pengkajian pengaruhi kesehatan seseorang yang bertujuan
gejala psikotik atau tanda positif. Kondisi ini harus untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang sesuai
segera ditangani karena perilaku kekerasan yang dengan pengertian WHO di atas (Hasan, 2008).
terjadi akan membahayakan diri pasien, orang lain, Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada
dan lingkungan. Hal ini yang menjadi alasan utama tanggal 4 Februari 2014, dengan melihat catatan
pasien Schizofrenia dibawa ke rumah sakit. medik Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta, jumlah
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana pasien rawat inap adalah sebanyak 116 pasien, dari
seseorang melakukan tindakan yang dapat jumlah tersebut 90 pasien (77,5%) dirawat dengan
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sen- diagnosa Schizofrenia. Dari 90 pasien schizofrenia
diri, orang lain, maupun lingkungan. Hal tersebut yang masuk rawat inap dengan riwayat perilaku
dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal kekerasan adalah sebanyak 98,8% atau 89 pasien
atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan (sumber: Instalasi Rekam Medis RSJD Surakart,
Sundeen, 2006). 2011). Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta belum
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat mempunyai Standar Asuhan Keperawatan (SAP)
yang ekstrim dari rasa marah atau ketakutan yang tentang terai psikoreligius, tetapi terapi ini sudah
mal adaptif (panik). Perilaku agresif dan peri- laku dilaksanakan, hanya pelaksanaannya belum optimal.
kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai Dengan demikian dampak dari psikoreligi terhadap
suatu dimana agresif verbal di suatu sisi dan penurunan perilaku kekerasan belum terlihat secara
perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain. nyata. Berdasarkan latar belakang diatas penulis
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh penggunaan
seseorang melakukan tindakan yang dapat psikoreligius terhadap penurunan perilaku kekerasan
membahayakan
73
pada pasien Skizofrenia di UGD dan ruang rawat ada perbedaan respon perilaku setelah dilakukan
Intensif di RSJD Surakarta. intervensi antara kelompok perlakuan dengan ke-
lompok kontrol berarti pemberian psikoreligi berpe-
METODE PENELITIAN ngaruh terhadap penurunan respon perilaku. Seperti
Jenis penelitian ini adalah Quasi eksperimen dengan yang disajikan dalam tabel 2 berikut ini:
design penelitian menggunakan Pre and Post test
Control Group Design. Pengambilan sampel Tabel 2. Perbandingan Rerata Nilai Respon Perilaku
pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan
dengan menggunakan teknik non probability
dan Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di
sampling dengan cara purposive sampling untuk RSJD Surakarta
mencari pengaruh pemberian psikoreligi terhadap Kelompok
penurunan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia Variabel Nilai p
Perlakuan Kontrol
di RSJD Surakarta. Analisa dengan uji t test untuk Pretest 3,95 3 ,9 0,901
membedakan nilai pretest - postest antara kelompok Posttest 0,15 2 ,55 0,000
perlakuan dan kelompok kontrol.
Sedangkan penurunan respon perilaku antara
HASIL PENELITIAN pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
Responden penelitian ini adalah pasien
yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
Skizofrennia yang dirawat di RSJD Surakarta
Seperti yang terlihat pada tabel 3 berikut ini:
tahun 2014. Jumlah responden dalam penelitian ini
sebanyak 40 responden, dengan pembagian 20 res- Tabel 3. Perbandingan Penurunan Respon Perilaku
ponden menjadi kelompok perlakuan, dimana pada Pretest dan Postest Kelompok Perlakuan dan
responden diberikan terapi psikoreligi, sedangkan Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD
20 responden menjadi kelompok kontrol yang tidak Surakarta
diberikan terapi psikoreligi. Rerata Nilai Respon Perilaku Pretest
Kelompok PostestNilai p
Kondisi awal rerata respon perilaku adalah 3,95.
Perlakuan 3,95 0,15 0,000
Rerata nilai respon verbal adalah 3,35. Rerata nilai Kontrol 3,90 2,55 0,01
respon emosi adalah 4,15 dan rerata nilai respon
fisik adalah 2,42. Hasil uji t test nilai rerata respon verbal antara
Dari hasil analisis statistik untuk pretest, dapat pretest dan post test dalam kelompok perlakuan
diketahui bahwa respon perilaku, respon verbal, dan kelompok kontrol menunjukan ada perbedaan
respon emosi, dan respon fisik antara kelompok yang bermakna (p < 0,05). Keadan ini menunjukan
perlakuan dan kelompok kontrol menunjukan bahwa bahwa ada perbedaan respon verbal setelah
tidak ada perbedaan yang bermakna ( p > 0,05 ), dilakukan inter- vensi antara kelompok perlakuan
sehingga dapat dikatakan bahwa antara kedua dengan kelompok kontrol. Seperti yang disajikan
kelompok homogen . Seperti dalam tabel berikut ini dalam tabel 4 berikut ini:
1:
Tabel 1.Rerata Nilai Respon Responden menurut Tabel 4. Perbandingan Rerata Nilai Respon Perilaku
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol pada pada Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan
Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta dan Kelompok Control pada Pasien Skizofrennia di
RSJD Surakarta
Variabel Rerata Kelompok Nilai Perlakuan
Nilai
Kelompok Nilai Perlakuan
p Variabel
Kontrol Kontrol p
Respon perilaku 3,925 3,95 3,9 0,901 Pretest 3,4 3,3 0,714
Respon verbal 3,35 3,4 3,3 0,714 Post test 0,9 2,25 0,001
Respon eEmosi 4,15 4,3 4 0,138
Sedangkan penurunan respon perilaku antara
Respon fisik 2,425 2,45 2,4 0,711pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
Hasil uji t test nilai rerata respon perilaku antara yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
pretest dan post test dalam kelompok perlakuan Seperti yang terlihat pada tabel 5 berikut ini:
dan kelompok kontrol menunjukkan ada yang ber-
makna (p < 0,05). Keadan ini menunjukan bahwa 74
Tabel 5. Perbandingan Penurunan Respon Verbal Pre- Tabel 8. Perbandingan Rerata Nilai Respon Fisik pada
test dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok Pretest dan Posttest dalam Kelompok Perlakuan dan
Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta Kelompok Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD
Surakarta
Rerata Nilai Respon Perilaku
Pretest Postest Nilai Kelompo k
Kelompok Variabel Perlakuan Kontrol Nilai p
p
Perlakuan 3,4 0,9 0,000 Pretest Posttest 2,45 2,4 0,7 11
Kontrol 3,3 2,25 0,037 0,15 1,2 0,0 00

Hasil uji t test nilai rerata respon emosi antara


pretest dan post test dalam kelompok perlakuan Sedangkan penurunan respon emosi antara pretest
dan kelompok kontrol menunjukan ada perbedaan dan postest pada kelompok perlakuan dan
yang bermakna (p<0,05). Keadan ini menunjukan kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan
bahwa ada perbedaan respon emosi setelah yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan.
dilakukan inter- vensi antara kelompok perlakuan Seperti yang terlihat pada tabel 9 berikut ini:
dengan kelompok kontrol. Seperti yang disajikan
Tabel 9. Perbandingan Penurunan Respon Fisik Pretest
dalam tabel 6 berikut ini: dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok
Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta
Tabel 6. Perbandingan Rerata Nilai Respon Emosi
pada Pretest dan Postest dalam Kelompok Perlakuan Rerata Nilai Respon Kelompok Nilai
dan Kelompok Kontrol pada PasienSkizofrennia di RSJD Perilaku
p
Surakarta Pretest Postest
Kelompok Nilai Perlakuan 3 ,4 0,9 0,000
Variabel Perlakuan Kontrol p Kontrol 3 ,3 2,25 0,003
Pretest 4,3 4 0,138
Posttest 0,9 3,15 0,000
PEMBAHASAN
Sedangkan penurunan respon emosi antara pretest Schizofrenia merupakan suatu sindrome klinis atau
dan postest pada kelompok perlakuan dan proses penyakit yang mempengaruhi kognisi,
kelompok kontrol menunjukan adanya penurunan persepsi, emosi, perilaku, dan fungsi sosial, tetapi
yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan. schizofrenia mempengaruhi setiap individu dengan
Seperti yang terlihat pada tabel 7 berikut ini: cara yang berbeda. Derajat gangguan pada fase
akut atau fase psikotik dan fase kronis atau fase
Tabel 7. Perbandingan Penurunan Respon Emosi Pre- jangka panjang sangat bervariasi diantara individu
test dan Posttest Kelompok Perlakuan dan Kelompok (Videbeck, 2008). Masalah keperawatan yang sering
Kontrol pada Pasien Skizofrennia di RSJD Surakarta muncul pada penderita schizofrenia adalah perilaku
Rerata Nilai Respon Kelompok Perilaku kekerasan. Menurut Stuart dan Laraia (2005) ada 3
Nilai p strategi dalam manajemen perilaku kekerasan,
Pretest Postest
yaitu strategi pencegahan, antisipasi, dan penge-
Perlakuan 3,4 0,9 0,000
Kontrol 3,3 2,25 0,057 kangan. Terapi Psikoreligi merupakan bagian dari
latihan assertive, sehingga terapi Psikoreligi masuk
Hasil uji t test nilai rerata respon fiik antara pretest dalam strategi pencegahan. (Marlindawani, 2009).
dan post test dalam kelompok perlakuan dan Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan kita diwajibkan
kelompok kontrol menunjukan ada perbedaan yang untuk berbakti kepadaNya, tapi terkadang kita tidak
bermakna (p<0,05). Keadan ini menunjukan bahwa menjalankan secara maksimal atau khusuk karena
ada perbedaan respon fisik setelah dilakukan lemahnya keimanan, keterbatasan waktu dan situasi
intervensi antara kelompok perlakuan dengan yang tidak mendukung. Dengan terapi Psikoreligi
kelompok kontrol. Seperti yang disajikan dalam table jika dilaksanakan secara lebih maksimal atau khusuk
8 berikut ini: akan menjadi tindakan yang efektif menurunkan
perilaku kekerasan pada pasien skhizofrenia di
Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

75
Penelitian tentang pengaruh psikoreligi terhadap untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terha-
penurunan perilaku kekerasan di RSJD Surakarta dap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk
2014. Hasil penelitian dan interprestasinya adalah membangkitkan kekuatan spiritual dalam mengha-
sebagai berikut: dapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep,
2009). Dengan terapi psikoreligi akan melakukan
Pengaruh Psikoreligi terhadap Penurunan kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi proses
Perilaku Kekerasan fikir serta ketegangan otot (Stuart& Laraia, 2005)
Respon perilaku kekerasan yang dilakukan Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian, bahwa
observasi meliputi respon perilaku, respon fisik, setelah diberi terapi psikoreligi ada perubahan
respon emosi dan respon verbal. Menurut tabel 4. 9 signifikan dibandingkan pasien yang tidak diberi
bahwa terapi psikoreligi berpengaruh menurunkan terapi psiko- religi, hal ini bisa dilihat pada table 3,
perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di RSJD 5, 7 dan 9 di atas. Dengan demikian terapi
Surakarta. Penurunan ini meliputi penurunan pada Psikoreligi mempunyai pengaruh yang signifikan
respon fisik. Didalam ajaran agama manapun bahwa terhadap penurunan perila- ku kekerasan pada
sesorang yang akan melakukan Doa, Dzikir dan pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Surakarta
mengikuti ceramah agama disunahkan untuk men- (Videbecck, 2008).
sucikan diri, khusus dalam ajaran islam (berwudhlu).
Menurut H.R Buchori Muslim bahwa air wudhlu KESIMPULAN DAN SARAN
dapat merangsang syaraf yang ada pada tubuh kita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terapi
Dengan demikian aliran darah yang ada pada tubuh Psikoreligius berpengaruh terhadap penurunan
kita menjadi lancar, sehingga tubuh kita akan perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di RSJD
menjadi rilek dan akan menurunkan ketegangan. Surakarta, Ada perbedaan penurunan perilaku keke-
Dimana kalau kondisi tegang tidak segera rasan pada respon perilaku pada pasien yang diberi
dinetralisir akan berdampak kemarahan. terapi psikoreligius dan yang tidak diberi terapi
Kemarahan merupakan salah satu tanda dari psiko- religius, Ada perbedaan penurunan perilaku
perilaku kekerasan. Hal ini juga didukung oleh keke- rasan pada respon verbal pada pasien yang
pendapat Ilham 2008, bahwa terapi psikoreligi yang diberi terapi psikoreligi dan yang tidak diberi terapi
meliputi doa-doa, dzikir, cera- mah keagamaan, dan psiko- religius, Ada perbedaan penurunan perilaku
lain-lain dapat meningkatkan kekebalan dan daya keke- rasan pada respon emosi pada pasien yang
tahan dalam menghadapi berba- gai problem diberi terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
kehidupan yang merupakan stressor psikososial terapi psikoreligius, Ada perbedaan penurunan
guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa. Dari perilaku kekerasan pada respon fisik pada pasien
sudut ilmu kedokteran jiwa atau kepera- watan jiwa yang diberi terapi psikoreligius dan yang tidak diberi
atau kesehatan jiwa, doa dan dzikir (psikoreligius terapi psiko- religius. Saran hasil penelitian adalah
terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
tinggi daripada psikoterapi biasa (Ilham, 2008) masukan bidang perawatan agar lebih efektif
Dengan demikian orang yang mengikuti terapi membimbing/melaku- kan terapi psikoreligius
psikoreligi akan membatasi geraknya karena dia ber- dalam merawat pasien schizofrenia dengan
fokus pada kegiatanya sehingga dapat mengurangi perilaku kekerasan.
agresif fisik klien (Videbecck, 2008). Respon fisik
akan mempengaruhi respon emosi (Boyd & Nihart, DAFTAR RUJUKAN
1998). Respon fisik merupakan respon yang meng-
ikuti perubahan kognitif pada klien perilaku keke- Isaac, A. 2006. Panduan Belajar: Keperawatan
Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik, E/3. Alih bahasa: Dean
rasan (Boyd & Nihart, 1998). Berdasarkan model
Praty Rahayuningsih, Editor edisi Bahasa indonesia :
adaptasi Stuart menjelaskan bahwa penilaian sese- Sari Kurnianingsih, S.Kp, Copy Edi- tor: Lia astika Sari.
orang terhadap stressor memberikan makna dan Jakarta: EGC.
dampak dari suartu situasi yang menekan dan ditun- Keliat, B.A., dan Akemat. 1996. Proses Keperawatan
jukkan dengan respon kognitif, afektif, respon fisik, Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
respon perilaku dan social (Stuart & laraia, 2005). Marlindawani, J. 2009. Penggunaan Restrain pada
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran Pasien Amuk/Perilaku Kekerasan Ditinjau dari Sudut
dan keperawatan dalam dunia kesehatan, bukan Pandang Etik. http://www.library. upnvj.
ac.id/pdf/2s1keperawatan, diunduh tanggal 26 Juni 20176
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara pendidikan seks terhadap perilaku kekerasan
seksual.

ABSTRACT
Pengaruh Pendidikan Seksual
dalam PembelajaranIPA
Terhadap Perilaku Kekerasan This study aims to determine whether there is an
influence of sex education in learning to the sexual
Seksual violence behavior of students in 6th grade at SDN Utan
Kayu Selatan 23 Pagi, East Jakarta. This research
includes quantitative research. The population of this
research is 30 students of 6th grade. The sample of this
study were taken using a saturated sampling technique.
1,2,Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Data collected by questionnaire. The data were
analyzed using product moment correlation test and
significance test. Through product moment correlation
test obtained r value of 0.29. It can be stated that the
ARTICLEINFO relationship between sex education and the sexual
violence behavior of students has a positive but low
Article history: relation. The coefficient of determination obtained from
Article history: the calculation is r2 = 29%. This shows that sex
Received 15 February 2018 Received in revised form education variable contributes 29% to sexual violence
6 March 2018 behavior in 6th grade students of SDN Utan Kayu
Accepted 19 April 2018 Available online 29 May 2018 Selatan 23 East Jakarta, while 71% is contribution from
other factors such as home environment. From the
Kata Kunci: calculation of significance test coefficient obtained
Pendidikan seksual, perilaku kekerasan seksual, tcount> ttable (1.759 > 1.697), it can be concluded that
sekolah dasar there is a significant influence between sex education
on sexual violence behavior..
Keywords:
Sex education, sexual violence behavior, elementary Copyright © Universitas Pendidikan Ganesha. All
school rights reserved.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya


pengaruh pendidikan seks di pembelajaran terhadap Corresponding author.
perilaku kekerasan seksual siswa kelas VI di SDN E-mail addresses: deayu2196@gmail.com (Mimin
Utan Kayu Selatan 23 Pagi Jakarta Timur. Penelitian Ninawati)
ini termasuk penelitian kuantitatif. Populasi penelitian
ini adalah 30 siswa kelas VI. Sampel penelitian ini
diambil dengan menggunakan teknik sampling jenuh
dimana seluruh populasi dijadikan sampel. Data
1. Pendahuluan
dikumpulkan dengan menggunakan angket. Data
dianalisis menggunakan uji korelasi product moment
Penelitian tentang kekerasan seksual anak di Indonesia
kemudian dilakukan uji signifikansi. Melalui uji
telah banyak dilakukan baik di sekolah maupun di luar
korelasi product moment diperoleh nilai r sebesar 0,29.
sekolah. (Hidayangsih, Tjandrarini, Mubasyiroh, &
Dapat dinyatakan bahwa hubungan antara pendidikan
Supanni, 20011) dalam penelitiannya menyatakan
seks dan perilaku kekerasan seksual siswa memiliki
bahwa remaja laki-laki cenderung berperilaku beresiko
hubungan positif meskipun tergolong rendah. Nilai
dibanding remaja perempuan. Perilaku pencegahan
koefisien determinasi yang diperoleh dari hasil
perilaku kekerasan seksual oleh orang tua pada anak
perhitungan adalah r2 = 29%. Hal ini menunjukan
usia sekolah menghasilkan paparan adanya hubungan
bahwa variabel pendidikan seks memberikan
antara pengetahuan ibu dan sikap ibu dengan perilaku
sumbangan sebesar 29% terhadap perilaku kekerasan
pencegahan perilaku kekerasan seksual (Nuari, 2016).
seksual pada siswa kelas VI SDN Utan Kayu Selatan 77
Dikatakan bahwa perilaku pencegahan perilaku
23 Pagi Jakarta Timur, sedangkan 71% merupakan
kekerasan seksual dipengaruhi oleh faktor usia anak,
kontribusi dari faktor-faktor lain seperti lingkungan di
jenis kelamin anak, usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan
rumah. Dari perhitungan uji signifikansi koefisien
ibu, dan pendapatan keluarga. (Nuari, 2016)
diperoleh nilai thitung > ttabel (1,759 > 1,697), dapat
menyarankan adanya pengembangan pendidikan seks dini yang dilihat dari aspek perilaku ibu, diperoleh
dini melalui kegiatan di masyarakat dalam mencegah beberapa simpulan yaitu (1) terdapat ibu yang sudah
perilaku kekerasan seksual. Hal ini memberi informasi menerapkan pendidikan seks kepada anak tetapi masih
bahwa dibutuhkan pengetahuan tentang pendidikan sederhana terkait jenis kelamin anak, perbedaan laki-
seks termasuk dalam dunia pendidikan untuk laki dan perempuan, dan fungsi organ, (2) perhatian ibu
mencegah perilaku kekerasan seksual. terhadap penanaman pendidikan seks kepada anak lebih
Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui banyak diberikan kepada anak perempuan dibandingkan
fungsi organ reproduksinya sejak dini sehingga anak anak laki-laki, dan (3) pengetahuan ibu terkait
dapat terhindar dari perilaku penyimpangan seksual pendidikan seks masih kurang (Aprilia, 2015). Sekolah
sejak dini (Maryuni & Anggraeni, 2016). Menurut harus berperan aktif terhadap pendidikan seksual,
Wati (2017) Pendidikan seksualitas pada anak dapat sekolah harus memiliki paradigma yang persis terbalik
melindungi anak dari kekerasan dan pelecehan seksual. dengan pandangan negatif pendidikan seks oleh
Pendidikan seks diperlukan untuk menjembatani antara masyarakat umum (Hastuti, 2014). Paradigma
rasa keingintahuan anak tentang hal itu dan berbagai pentingnya pendidikan seks itu penting dan perlu
tawaran informasi yang vulgar, dengan cara pemberian diberikan sedini mungkin harus dimiliki oleh sekolah.
informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, Pendidikan seks untuk jenjang SD dapat dilakukan oleh
lengkap, yang disesuaikan dengan kematangan usianya guru kelas dengan menyisipkan materi pendidikan
(Panjaitan, 2015). Seperti yang dikatakan oleh Septian seksual dalam materi pelajaran yang relevan.
(2014), anak Remaja yang tidak mendapat pendidikan (Wathoni, 2016) meneliti tentang persepsi guru
seks dari keluarga, mayoritas mereka yang memiliki terhadap pendidikan seks bagi anak. Dinyatakan bahwa
rasa ingin tahu yang besar menjadikan teman guru MI berpendapat pendidikan seks bagi anak
pergaulannya sebagai tempat berguru. Di samping itu merupakan hal penting dan harus diajarkan ke anak.
mereka juga mencari-cari informasi sendiri misalnya Terdapat dua faktor yang menjadi alasan pentingnya
dengan menyewa DVD porno atau membeli majalah pendidikan seks bagi anak yaitu ketidakfahaman anak
dewasa. Ketidaktahuan anak tentang seksualitas tanpa tentang pendidikan seks sehingga anak merasa tidak
adanya bimbingan orang tua inilah yang cenderung bertanggung jawab dengan seks atau kesehatan
menyesatkan dan menimbulkan masalah di kemudian reproduksinya dan peran lingkungan dan media yang
hari. menyajikan seks sebagai
Diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara pendidikan dengan tingkat
pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks secara JISD. P-ISSN: 2579-3276 E-ISSN : 2549-6174
dini. Dinyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan
orang tua akan mempermudah orang tua menerima
informasi terkait pendidikan seks dan cenderung
memiliki pola asuh tentang pendidikan seks anak usia komoditi memicu terjadi hal-hal negatif seperti
dini yang baik. Penelitian (Fatmawati & Maulana, hubungan seks di luar nikah, penularan virus HIV, dan
2016) memperoleh hasil pengaruh signifikan lain-lain. Guru memiliki persepsi terkait pembelajaran
pendidikan kekerasan seksual terhadap tindakan mengenai pendidikan seks harus masuk kurikulum
tentang pencegahan perilaku kekerasan seksual pada dengan diintegrasikan pada mata pelajaran yang sesuai
anak. Peran orang tua dan pengawasan serta dukungan misal IPA tentang reproduksi. (Panjaitan, Djuanda, &
kepala sekolah dan guru untuk mempertahankan Hanifah, 2015) Guru harus mampu berperan sebagai
penanaman pendidikan tentang kekerasan seksual model atau contoh bagi anak dan guru berperan sebagai
kepada anak agar anak terhindar dari kekerasan pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar.
seksual. Orang tua memiliki peran penting dalam Menurut Sugijokanto (2014), kekerasan seksual adalah
mendidik anak terkait pendidikan seks anak usia dini suatu kondisi yang merampas hak anak hingga
(Achmad, Sulfasyah, & Nawir, 2016). Terdapat membahayakan nyawanya. Umumnya kekerasan seks
kendala yang dihadapi dalam penanaman pendidikan pada anak dilakukan oleh orang terdekat atau orang
seks anak usia dini yaitu bahasa yang digunakan dalam yang sudah dikenal pelaku. Tapi dapat juga pelaku
mengkomunikasikan pendidikan seks dari orang tua adalah orang yang tidak dikenal sama sekali. Contoh
kepada anak terlalu tinggi untuk dipahami anak dan kekerasan seksual yaitu mempertontonkan anak ke hal
kurangnya perhatian anak kepada orang tua dalam yang pornografi, mempertontonkan anak kepada
menerima pengajaran pendidikan seks dari orang tua. aktivitas seksual, berhubungan seks dengan anak,
Penelitian menyebutkan bahwa 33,4% perilaku ibu meraba-raba organ vital anak, melakukan sodomi
dalam memberikan pendidikan seks dipengaruhi oleh kepada anak, mengintip anak ketika sedang mandi,
faktor pengetahuan. Dipaparkan bahwa pendidikan memandikan anak diatas usia 5 tahun sehingga anak
seks yang tidak diberikan di usia dini mengakibatkan tidak mempunyai rasa malu, memaksa anak meraba
tingginya kekerasan seksual pada anak. Orang tua kelamin pelaku, dan semua tindakan yang bertujuan
dianggap sebagai gerbang perlindungan pertama bagi mengeksploitasi anak secara seksual. Tanda-tanda anak
anak agar dapat terhindar dari kekerasan seksual pada mengalami kekerasan seksual meliputi: mempunyai 78
anak. Disimpulkan bahwa pendidikan seks sangatlah minat atau pengetahuan yang tidak biasa tentang
penting bagi anak sebagai upaya pencegahan perilaku seksual, mengeluh kesakitan saat buang air
kekerasan seksual. (Sulistianingsih & Widayati, 2016) besar maupun kecil, memiliki perubahan pola perilaku
Penelitian tentang pemberian pendidikan seks saat usia dan emosi, membuat gambar seksual yang tidak pantas
untuk usia mereka, dan anak membenci teman. mengetahui data hasil angket terdistribusi normal atau
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kekerasan tidak. Uji korelasi product moment digunakan untuk
seksual menurut Madani (2014), meliputi faktor menganalisis hubungan antara variabel pendidikan seks
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik, antara dan perilaku kekerasan seksual. Uji signifikansi korelasi
lain: (a) sifat orang tua, biasanya orang tua membawa menggunakan uji t.
sifat-sifat yang berkaitan dengan akhlak, temperamen,
dan kecerdasan yang terkadang turun temurun dari 3. Hasil dan Pembahasan
generasi ke generasi; (b) penyusuan, menyusui anak
memberi andil terhadap munculnya penyimpangan dan Data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan uji
beragam keadaan lain yang akan dialami anak di masa normalitas untuk mengetahui data terdistribusi normal
mendatang; dan (c) hubungan seksual, satu tetes atau tidak. Uji normalitas variabel pendidikan seks dan
sperma berpengaruh terhadap pertumbuhan karakter perilaku kekerasan seksual menggunakan uji liliefors.
dan penerimaan unsur genetik seseorang. Faktor Hasil perhitungan uji liliefors untuk variabe pendidikan
lingkungan, antara lain: (a) ketidaktahuan ayah akan seks (X) dan perilaku kekerasan seksual (Y) dapat
pendidikan seks, kelemahan ayah dalam enguasai dilihat pada Tabel 1 berikut.
kaidah-kaidah tentang perilaku seksual dalam
perkembangannya akan menyebabkan berbagai
penyimpangan seksual anak, (b) rangsang seksual
dalam keluarga, akibat dari kebodohan orang dewasa Mimin Ninawati/ Pengaruh Pendidikan Seksual dalam
terhadap hukum-hukum islam mengenai aturan-aturan Pembelajaran IPA Terhadap Perilaku Kekerasan
tentang seksual hal itu karna meraka selalu Seksual
memberikan stimulus-stimulus secara tidak sengaja
yang merusak pandangan anak tentang perilaku seks
khususnya di dalam rumah, (c) anak tidak terlatih
untuk meminta izin, tidak adanya pelatihan anak untuk Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Data
selalu meminta izin ketika masuk keruangan
orangtuanya menjadi sumber terbuakanya rahasianya Variabel N Lhitung Ltabel Kesimpulan
hubungan seksual suami istri dan jika terlihat oleh X (Pendidikan Seks) 30 0,155 0,161
anak ingatan tentang perilaku sekual akan membekas Data terdistribusi normal
pada diri anak tersebut, (d) tempat tidur yang Y (Perilaku Kekerasan Seksual) 30 0,141
berdekatan, ada sejumlah orangtua yang membiarkan 0,161 Data terdistribusi
anaknya tidur dalam satu ranjang yang terkadang normal
mereka melakukan permainan seksual walaupun tanpa
dibarengi dengan emosi, (e) peniru perilaku seksual, (f) Tabel 1 menunjukkan hasil uji normalitas kedua data
melarang anak bertanya tentang seks, (g) perhiasan penelitian ini. Disimpulkan bahwa baik data variabel
perempuan, (h) berciuman dan menyentuh organ pendidikan seks (X) dan variabel perilaku kekerasan
seksual, (i) keluarga mengabaikan pengawasan seksual (Y) sama-sama terdistribusi normal. Hal ini
terhadap media informasi, (j) teman berakhlak buruk diperoleh dari hasil Lhitung (0,155) lebih kecil dari
(k) perilaku kekerasan seksual, munculnya perilaku Ltabel (0,161) pada variabel pendidikan seks. Untuk
kekerasan seksual karena pendidikan dan pemahaman variabel perilaku kekerasan seksual diperoleh Lhitung
seks yang salah pada anak. Tujuan dari penelitian ini sebesar 0,141 lebih kecil dari Ltabel sebesar 0,161.
bertujuan untuk mengetahui terdapat atau tidaknya Selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan
pengaruh pendidikan seks dalam pembelajaran IPA korelasi product moment. Hasil uji korelasi product
terhadap perilaku kekerasan seksual pada siswa di moment antara variabel pendidikan seks dan perilaku
kelas VI SDN Utan Kayu Selatan 23 Pagi Jakarta kekerasan seksual dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Timur.
Tabel 2. Hasil Uji Korelasi Product Moment
2. Metode
Sumber variasi Nilai
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berupa X 2169
korelasi.. Metode ini dipilih karna sesuai dengan tujuan X2 157527
yang ingin dicapai, yaitu untuk mengetahui seberapa Y 2091
besar pengaruh antara variabel X (pendidikan seks) Y2 145915
dengan variabel Y (perilaku kekerasan seksual). XY 151214
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh n 30
siswa/siswi kelas VI SDN Utan Kayu Selatan 23 Pagi rxy 0,29
Jakarta Timur yang berjumlah 30 siswa. Pengambilan kriteria rendah
sampel dilakukan dengan teknik sampel jenuh. Sampel
yang diambil pada penelitian ini sebanyak 30 siswa. 79
Tabel 2 memberikan informasi bahwa besarnya nlai
Data pada penelitian ini menggunakan teknik angket.
korelasi antara variabel pendidikan seks dan perilaku
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian
kekerasan seksual sebesar 0,29 dan berkategori rendah.
ini berupa uji normalitas, uji korelasi dan uji
Berdasarkan infromasi tersebut dapat dikatakan bahwa
signifikansi korelasi. Uji normalitas digunakan untuk
adanya pendidikan seks memberi pengaruh yang dapat memahami apa dan tujuan dari pendidikan seks
tergolong rendah terhadap perilaku kekerasan seksual tersebut, yang salah satunya adalah untuk mencegah
siswa. Berdasarkan nilai r hitung yang diperoleh dari semua tindakan pelecehan seksual. Penelitian ini
sebesar 0,29 maka dapat diperoleh koefisien memberikan informasi bahwa guru SDN Utan Kayu
determinasi sebesar 29%. Selanjutnya dilakukan uji Selatan 23 Pagi Jakarta Timur memiliki pemikiran
signifikansi koefisien korelasi dengan menggunakan bahwa pendidikan seks adalah pendidikan bersifat non
uji t. Hasil uji signifikansi dapat dilihat pada Tabel 3 akademik yang artinya pendidikan yang diberikan harus
berikut. efektif pada setiap pembelajaran di kelas dan
lingkungan sekolah. Meskipun prosentase tidak terlalu
Tabel 3. Hasil Uji Signifikansi Koefisien Korelasi besar, namun penelitian ini memberikan gambaran
bahwa variabel pendidikan seks ini memberikan
Sumber variasi Nilai kontribusi positif pada perilaku kekerasan seksual
r 0,29 siswa. Berdasarkan analisis penelitian dapat ditarik
n 30 kesimpulan bahwa pendidikan seks merupakan faktor
t hitung 1,759 yang dibutukan oleh seseorang untuk memahami dan
dk 28 tahu betul apa itu pendidikan seks agar dapat
α 0,05 menghindari dari hal-hal menyimpang dari pendidikan
t tabel 1,697 seks itu sendiri sedangkan perilaku kekerasan seksual
suatu bentuk kejahatan yang harus dihindari dengan
Berdasarkan data pada Tabel 3, diperoleh informasi cara mempelajari pendidikan seks. Sejalan dengan
bahwa nilai t hitung sebesar 1,759 dan nilai t tabel penelitian (Maryuni & Anggraeni, 2016) menyatakan
sebesar 1,697. Karena nilai t hitung lebih besar bahwa pendidikan seks diperlukan agar anak
dibandingkan t tabel (1,759 > 1,697) maka mengetahui fungsi organ reproduksinya sejak dini
disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Hal sehingga anak dapat terhindar dari perilaku
ini berarti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan penyimpangan seksual sejak dini. Hasil penelitian ini
antara pendidikan seks dengan perilaku kekerasan dapat memberikan kontribusi bagi guru untuk
seksual siswa. membudayakan pendidikan seks melalui proses
Pada perhitungan uji t, di peroleh t hitung= 1,759 dan t pembelajaran di sekolah tersebut. Budaya keterlibatan
tabel = 1,679, pada taraf signifikansi 0,005, dan dk 28 pendidikan seks sejak dini di sekolah dapat diterapkan
terlihat bahwa hasil yang diperoleh t hitung lebih besar sehingga mampu mengurangi resiko perilaku kekerasan
dari pada t tabel, (1,759 > 1,697 seksual anak SD. Senada dengan (Hastuti, 2014)
= ttabel). Hasil ini menyebabkan Ho yang menyatakan menyebutkan bahwa sekolah harus berperan aktif
tidak ada pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku terhadap pendidikan seksual, sekolah harus memiliki
kekerasan seksual ditolak, sedangkan Ha diterima. paradigma yang terbalik dengan pandangan negatif
Diterimanya Ha dapat disimpulkan bahwa terdapat pendidikan seks oleh masyarakat umum.
pengaruh antara pendidikan seks terhadap perilaku Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka terbukti
kekerasan seksual. bahwa terdapat hubungan antara pendidikan seks
Dari perhitungan koefisien determinasi (KD) didapat dengan perilaku kekerasan seksual pendidikan seks
hasil 0,29% maka variabel pendidikan seks adalah memberikan pengetahuan yang benar kepada
memberikan sumbangan sebesar 29% terhadap anak yang menyiapkannya untuk bradaptasi secara baik
perilaku kekerasan seksual pada siswa kelas VI SDN dengan sikap-sikap seksual dimasa depan
Utan Kayu Selatan 23 Pagi Jakarta Timur, sedangkan kehidupannya, dan pemberian pengetahuan ini
71% merupakan kontribusi dari faktor-faktor lain menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis
sepeti yang benar terhadap masalah-masalah seksual dan
reproduksi. Kekerasan seksual adalah suatu kondisi
yang merampas hak anak hingga membahayakan
JISD. P-ISSN: 2579-3276 E-ISSN : 2549-6174 nyawanya (Sugijokanto, 2014). Dengan demikian
penelitian ini berimplikasi bahwa pemberian pendidikan
seks kepada siswa dapat memberi pengaruh positif
seperti halnya siswa akan memiliki kepribadian dan
lingkungan di rumah yaitu pola asuh orang tua, moral yang baik, maka hal ini berpengaruh juka untuk
lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, menghindari para perilaku kekerasan seksual.
pengaruh perubahan zaman, pengaruh budaya, teman Memberikan pendidikan seks kepada anak tidak mudah.
sebaya, dan lain-lain. Masih banyak orang tua yang merasa bingung dan tidak
Pendidikan seks dapat diberikan dengan memberikan mengerti kapan dan bangai mana harus memulainya,
penegasan dan pengajaran yang tepat tentang betapa bahkan sebagian diantaranya masih beranggapan bahwa
pentingnya mempelajari pendidikan seks dimulai dari membicarakan masalah seks, apalagi kepada anak,
seorang pendidik yaitu guru. Sebelum mengajar adalah suatu yang kotor dan tidak pantas. Pendidikan
tentang pendidikan seks seorang guru harus memahami seks kepada anak-anak bukan mengajarkan cara 80
betul tentang segala macam pengajaran untuk berhubungan seks semata, melainkan lebih kepada
pendidikan seks ini mulai dari media, buku, dan uapaya memberikan pemahaman anak sesuai dengan
kosakata yang tepat untuk mengajar, sehingga siswa usianya, mengenai fungsi- fungsi alat seksual dan
masalah naluri alamiah yang mulai timbul. Bimbingan
mengenai penting menjaga dan melihat organ intim dikalangan pelajar atau remaja, serta untuk mengurangi
mereka, di samping juga memberikan pemahaman dampak negatif lainnya dari minimnya pengetahuan
tentang perilaku pergaulan yang sehat serta resiko- remaja tentang seks. Materi yang disampaikan harus
resiko yang terjadi sangat penting bagi kaula muda dan disertai pengarahan yang benar dan sesuai aturan, agar
anak-anak usia remaja. informasi yang mereka dapatkan bisa dipahami dan
Beberapa hal yang menjadi faktor pentingnya tidak disalah gunakan.
pengetahuan tentang pendidikan seks: Pertama, dimana Dengan diterapkannya kurikulum tentang pendidikan
anak-anak tumbuh menjadi remaja dan mereka belum seks di sekolah-sekolah menengah ini tentu tidak
mengetahui pendidikan seks yang sesungguhnya. terlepas dari pro dan kontra baik dikalangan wali murid
Orang tua mereka masih menganggap itu sebagai hal maupun lingkungan sekitarnya. Diantara hal-hal yang
yang tabu dan belum tepat untuk disampaikan kepada membuat pihak sekolah, wali murid dan masyarakat
anak-anak mereka, sehingga dengan ketidakpahaman menyetujui atas diterapkannya kurikulum pendidikan
mereka, mereka tidak mengetahui seberapa penting seks adalah sebagai berikut : (1) Pendidikan seks di
kesehatan organ reproduksinya dan tidak bertanggung sekolah-sekolah dapat membantu anak memahami
jawab terhadap organ reproduksinya tersebut. Faktor dampak dari seks dalam kehidupan mereka, sehingga
kedua, karena ketidakpahaman para anak tentang seks hubungan seks bebas dikalangan remaja dapat diatasi
dan kesehatan organ reproduksinya. Di lingkungan dengan memberi dan memeperluas pengetahuan mereka
sosial mereka, banyak sekali media-media yang tentang bahayanya; (2) Pendidikan seks juga menjawab
menyajikan dan menawarkan informasi-informasi yang semua pertanyaan yang ada dibenak mereka seiring
bersifat pornografi, seperti surat kabar, televisi, dengan perubahan yang terjadi pada tubuh mereka; (3)
internet, majalah dan sebagainya. Pengetahuan yang Pelecehan seks saat ini semakin marak terjadi di seluruh
mereka dapatkan tentang seks hanya sebatas dunia, sehingga pendidikan seks ini dapat berperan aktif
pengetahuan yang mereka dapatkan dari media-media dalam menangani masalah penganiayaan dan pelecehan
tersebut, sehingga saat ini marak terjadi pergaulan seksual ini. Pengetahuan seks yang mereka dapat dari
bebas, hubungan seks diluar nikah dan kehamilan yang sekolah akan jauh lebih baik ketimbang harus
tidak diinginkan sebagai akibat dari ketidakpahaman membiarkan mereka mencari sendiri informasi tentang
para remaja terhadap seks. materi seks dan pornografi dari internet. Terkadang
Ada beberapa kelebihan hal yang menjadi faktor informasi yang mereka dapat dari internet itu hanya
pentingnya pengetahuan tentang pendidikan seks. akan menyesatkan mereka dan menimbulkan
Faktor Pertama, dimana anak-anak tumbuh menjadi pemahaman yang salah.
remaja dan mereka belum mengetahui pendidikan seks
yang sesungguhnya. Orang tua mereka menganggap itu 4. Simpulan dan Saran
sebagai hal yang tabu dan belum tepat untuk
disampaikan kepada anak-anak mereka, sehingga Melalui uji korelasi product moment diperoleh nilai r
dengan ketidakfahaman mereka, mereka tidak sebesar 0,29. Dapat dinyatakan bahwa hubungan antara
mengetahui seberapa penting kesehatan organ pendidikan seks dan perilaku kekerasan seksual siswa
reproduksinya dan tidak bertanggung jawab terhadap memiliki hubungan positif meskipun tergolong rendah.
organ reproduksinya tersebut. Faktor kedua, karena Nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari hasil
ketidakfahaman para anak tentang seks dan perhitungan adalah r2 = 29%. Hal ini menunjukan
bahwa variabel pendidikan memberikan sumbangan
sebesar 29% terhadap perilaku kekerasan seksual pada
siswa kelas VI SDN Utan Kayu Selatan 23 Pagi Jakarta
Mimin Ninawati/ Pengaruh Pendidikan Seksual dalam Timur, sedangkan 71% merupakan kontribusi dari
Pembelajaran IPA Terhadap Perilaku Kekerasan faktor-faktor lain seperti lingkungan di rumah. Dari
Seksual perhitungan uji signifikansi koefisien diperoleh nilai
thitung > ttabel (1,759>1,697), dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara
pendidikan seks terhadap perilaku kekerasan seksual.
kesehatan organ reproduksinya. Di lingkungan sosial
mereka, banyak sekali media-media yang menyajikan Daftar Rujukan
dan menawarkan informasi-informasi yang bersifat
pornografi, seperti surat kabar, televisi, internet, Achmad, A. N. A., Sulfasyah, & Nawir, M. (2016).
majalah dan sebagainya. Pengetahuan yang mereka Peran Orang Tua Terhadap Pengetahuan Seks Pada
dapatkan tentang seks hanya sebatas penhetahuan yang Anak Usia Dini. Jurnal Wquilibrium Pendidikan
mereka dapatkan dari media-media tersebut, sehingga Sosiologi, IV(2), 223–232.
saat ini marak terjadi pergaulan bebas, hubungan seks
diluar nikah dan kehamilan yang tidak diinginkan Aprilia, A. (Fakultas K. M. U. D. (2015). Perilaku Ibu
sebagai akibat dari ketidakfahaman para remaja dalam Memberikan Pendidikan Seks Usia Dini pada
terhadap seks. Anak Pra Sekolah (Studi Deskriptif Eksploratif di TK 81
Sebagian besar orang berpendapat bahwa pendidikan IT Bina Insani Kota Semarang). Jurnal Kesehatan
seks ini perlu dimasukan kedalam kurikulum Masyarakat, 3(1), 619–628.
pendidikan di sekolah menengah untuk mengatahui,
mengantisipasi dan menghindari pergaulan bebas Fatmawati, L., & Maulana, D. (2016). Pengaruh
Pendidikan Kekerasan Seksual Terhadap Perilaku Factors Related to the Need of Sexuality Education in
Orang Tua dalam Mencegah Kekerasan Seksual pada Primary School in Gondanglegi Sub-District, Malang
Anak. Journals of Ners Community, 7(2), 188–200. Regency. Journal of Issues in Midwifery, Vol. 1 No. 1,
1-18.
Hastuti, S. (2014). Makalah ini disampaikan dalam
Seminar Sanata Dharma Berbagi ”Pendidikan Seksual
Anak di Masa Sekolah Awal”, Yogyakarta, 8
September 2014 Page 1. In Pendidikan Seksual Anak
di Masa Sekolah Awal (pp. 1–11).

Hidayangsih, P. S., Tjandrarini, D. H., Mubasyiroh, R.,


& Supanni. (20011). Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Perilaku Berisiko Remaja di Kota Makassar
Tahun 2009. Bul. Penelit. Kesehatan, 39(2), 88– 98.

Madani, Y. (2014). Pendidikan Seks Usia Dini Bagi


Anak Muslim. Jakarta: Zahra Publishing House

Maryuni, & Anggraeni, L. (2016). Faktor yang


Berhubungan dengan Tingkat Pengetahuan Orangtua t

JISD. P-ISSN: 2579-3276 E-ISSN : 2549-6174

entang Pendidikan Seks s ecara Dini pada Anak


Sekolah Dasar ( SD ). Jurnal Ners Dan Kebidanan
Indonesia, 4(3), 135–140.
http://doi.org/http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(3)
.135-14

Nuari, N. A. (2016). Analisis Peilaku Pencegahan


Child Sexual Abuse oleh Orang Tua Pada Anak Usia
Sekolah (Analysis Of Child Sexual Abuse Prevention
Behavior By Parents In School Age Children). Jurnal
Ilmu Kesehatan, 5(1), 1–8.

Panjaitan, R. L., Djuanda, D., & Hanifah, N. (2015).


Persepsi Guru Mengenai Sex Education di Sekolah
Dasar Kelas VI. Mimbar Sekolah Dasar, 2(2), 224–
233. http://doi.org/10.17509/mimbar-sd.v2i2.1332.
Mimin Ninawati/ Pengaruh Pendidikan Seksual dalam
Septiawan, Muhammad Haris, Berchah Pitoewas, Dan Pembelajaran IPA Terhadap Perilaku Kekerasan Seksu
Hermi Yanzi. 2014. The Influence Of Sex Education
In The Familyof Children’s Moral Development.
Jurnal Kultur Demokrasi Volume 2 Nomor 8.

Sulistianingsih, A., & Widayati, W. (2016). Hubungan


Pengetahuan dengan Perilaku Ibu Memberikan
Pendidikan Seks Pada Anak. Jurnal Ilmiah Kebidanan,
7(2), 34–43.

Sugijokanto, S. (2014). Cegah Kekerasan Pada Anak.


Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Wathoni, K. (2016). Persepsi Guru Madrasah


Ibtidaiyah Tentang Pendidikan Seks Bagi Anak.
Kodifikasia, 10(1), 2013–227. 82

Wati, Linda Ratna, Rismaina Putri, Dewi Ariani, Nurul


Hidayah, Subandi Reksohusodo, Yulia Silvani. 2017.
83
Jurnal Keperawatan Volume 10 No 2, Hal 106 - 113, September 2018 ISSN 2085-1049 (Cetak)
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal ISSN 2549-8118 (Online)
Jurnal Keperawatan Volume 10 No 2, Hal 106 - 113, Maret 2018 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kendal
PENGALAMAN KELUARGA MERAWAT PENDERITA SKIZOFRENIA DENGAN
MASALAH UTAMA PERILAKU KEKERASAN
Raphita Diorarta1, Jesika Pasaribu2
RS Sint Carolus. Jl. Salemba Raya No.41.10440. Jakarta-Indonesia
STIK Sint Carolus, Jl. Salemba Raya No.41.10440. Jakarta-
Indonesia jesika@stik-sintcarolus.ac.id

ABSTRAK
Perilaku kekerasan pada penderita Skizofrenia merupakan salah satu proses marah yang diekspresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Pengalaman keluarga
mengenai perilaku kekerasan digunakan sebagai arah dalam memberikan bimbingan dalam
meningkatkan kemampuan keluarga dalam perawatan penderita Skizofrenia dirumah. Penelitian
bertujuan menguraikan pengalaman keluarga dalam merawat penderita skizofrenia dengan masalah
utama perilaku kekerasan. Desain penelitian dengan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan
fenomenologi deskriptif. Partisipan penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang menderita perilaku kekerasan yang sedang dirawat di RSJ Jakarta, sejumlah 6 orang. Data
didapatkan dengan teknik wawancara mendalam dilengkapi catatan lapangan. Wawancara direkam
selanjutnya dibuat transkrip wawancara. Selanjutnya hasil wawancara dianalisa menggunakan teknik
analisa data Collaizi. Hasil penelitian menemukan lima tema yang berhubungan dengan pengalaman
keluarga yang merawat penderita perilaku kekerasan yakni : pengetahuan keluarga mengenai penyakit,
upaya pengobatan, fungsi keluarga, dukungan sosial, dan penerimaan keluarga mengenai kesiapan
merawat. Hasil penelitian memberikan informasi paparan tentang kondisi yang dialami keluarga
tentang pengalaman keluarga dalam merawat penderita Skizofrenia, khususnya dengan masalah utama
perilaku kekerasan. Paparan tersebut dapat dipergunakan sebagai landasan dalam merancang
intervensi keperawatan pada keluarga yang sesuai. Diharapkan adanya peningkatan program
pelayanan kesehatan jiwa keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam
memaksimalkan fungsi perawatan dirumah.

Kata Kunci: Skizofrenia, Perilaku Kekerasan,Pengetahuan Keluarga, Kesiapan Keluarga

THE EXPERIENCES OF FAMILY IN CARING SCHIZOPHRENIC PATIENTS


WITH VIOLENT BEHAVIOR

ABSTRACT
Violent behavior in schizophrenics is one of the angry processes expressed by carrying out threats,
injuring others, and damaging the environment. Family experience regarding violent behavior is used
as a direction in providing guidance in improving the family's ability to care for schizophrenics at
home. The study aims to describe family experience in treating schizophrenics with the main problem
of violent behavior. Research design with qualitative research methods through descriptive
phenomenological approach. The participants of this study were families who had family members
who were suffering from violent behavior who were being treated in Jakarta Hospital, a total of 6
people. Data obtained by in-depth interview techniques equipped with field notes. Recorded
interviews are then made interview transcripts. Furthermore, the results of the interviews were
analyzed using Collaizi data analysis techniques. The results of the study found five themes related to
family experiences that care for sufferers of violent behavior, namely: family knowledge about illness,
treatment efforts, family functions, social support, and family acceptance regarding caring readiness.
The results of the study provide exposure information about conditions experienced by families about
family experiences in treating schizophrenia sufferers, especially with the main problem of violent
behavior. The exposure can be used as a basis for designing nursing interventions in the appropriate
family. It is expected that there will be an increase in family and community mental health service
programs to improve the ability of families to maximize the function of home care.

Keywords: Schizophrenia, Violence Behavior, Family Knowledge, Family Readiness

106
PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan-salah satu gejala positif Jakarta pada tahun 2016. Partisipan penelitian
Skizofrenia, merupakan masalah utama ini berjumlah 6 orang yang merupakan
penyebab penderita dibawa ke RS untuk keluarga yang memiliki hubungan darah yang
mendapat penanganan medis, baik pada onset merawat pasien secara penuh (caregiver) yang
pertama maupun pada kondisi awitan akibat memiliki anggota keluarga penderita
kekambuhan. Gejala ini berpotensi besar untuk Skizofrenia dengan perilaku kekerasan yang
melukai diri sendiri, lingkungan dan dan orang sedang dirawat. Partisipan dipilih berdasarkan
lain. Individu dengan skizofrenia biasanya kriteria yang ada dengan cara Purposive
memiliki masalah emosi. Emosi yang Sampling. Alat pengumpulan data pada
dihasilkan adalah dari interaksi aktivitas saraf penelitian ini yaitu peneliti sendiri dengan
antara hipotalamus, struktur limbik (amygdala menggunakan pedoman wawancara semi –
dan hyppocampus), dan pusat – pusat korteks structured interviews yang menyiapkan
yang lebih tinggi. Kerusakan atau tidak pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk
berfungsi dengan baiknya amygdala dijadikan panduan utama ketika melakukan
tersebutlah yang dapat mengakibatkan wawancara serta dan menggunakan catatan
terjadinya perilaku kekerasan (Stuart, 2016). lapangan. Peneliti mewawancarai partisipan
Selain itu peningkatan aktivitas dopamin juga rata-rata selama 30 menit dan didapatkan telah
berkaitan dengan peningkatan perilaku didapatkan saturasi data pada ke-6 partisipan.
kekerasan. Semakin tingginya kejadian Penelitian dimulai dengan menjelaskan tujuan
skizofrenia kemungkinan akan meningkatkan penelitian lalu membuat kontrak terlebih
kejadian perilaku kekerasan. dahulu dengan calon partisipan yang setuju.
DSM V mengkategorikan bahwa perilaku Data dianalisis menggunakan model Collaizi
kekerasan ini merupakan salah satu tindakan dengan menggunakan aplikasi NVivo untuk
gawat darurat psikiatri yang harus segera membantu proses analisis data dengan cara
ditangani. Keluarga, merupakan kelompok berikut : Peneliti membaca seluruh deskripsi
orang terdekat yang terkena dampak saat fenomena yang telah disampaikan oleh semua
pasien perilaku kekerasan sedang berlangsung. partisipan, membaca berulang kali transkrip
Keluarga memiliki peran penting dalam hasil wawancara dan mengutip pernyataan
pencegahan tindak kekerasan penderita yang dinilai bermakna. Selanjutnya memilih
selanjutnya dan juga peran dalam perawatan pernyataan dalam tranksrip sesuai dengan
pasien. Semakin tinggi pengetahuan keluarga tujuan khusus penelitian. Langkah selanjutnya
tentang kesehatan jiwa akan menilai menentukan kata kunci untuk membentuk
kesanggupan atau kesiapan keluarga dalam kategori dan dirumuskan ke dalam kelompok
melaksanakan perawatan kesehatan penderita sub tema dan tema. Peneliti merangkai tema
perilaku kekerasan. Keluarga merupakan orang yang dirumuskan dari proses analisis data.
yang sangat dekat dengan penderita sehingga Member check/validitas dilakukan dengan
dianggap paling banyak memberikan pengaruh menunjukkan kembali transkrip dan deskripsi
pada kehidupan individu penderita. Sesuai tema yang telah disusun kepada para partisipan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Stover, untuk memastikan bahwa transkrip sesuai
Dahrianis, & Sri (2014) mengatakan bahwa dengan pengalaman keluarga (Polit & Beck,
adanya hubungan antara pengetahuan dan 2012). Peneliti lembali menggabungkan data
kesiapan keluarga dalam merawat penderita hasil validasi ke dalam deskripsi hasil analisis.
perilaku kekerasan di wilayah kerja Peskesmas
Tamanlarea Makasar. Penelitian ini bertujuan Wawancara dilakukan di tempat yang
untuk menguraikan pengalaman keluarga disediakan di RSJ saat keluarga sedang datang
dalam merawat penderita skizofrenia dengan membesuk. Wawancara direkam atas seizin
masalah utama perilaku kekerasan berdasarkan dan sepengetahuan partisipan dengan
di RSJ. Dr. Soeharto Heerdjan. menggunakan alat perekam suara, yakni tape
recorder dan aplikasi perekam. Tidak ada
METODE keluarga yang menolak menjadi informan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Peneliti menerapkan etika penelitian yakni
metode penelitian kualitatif melalui kemanfaatan, menghargai martabat manusia,
pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian keadilan, kerahasiaan, tanpa nama.
ini dilakukan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan-
107
HASIL Tema 2 : Upaya Pengobatan
Latar Belakang Partisipan. Usia partisipan Peneliti menemukan 2 (dua) upaya pengobatan
berada pada rentang 55-65 tahun, sedangkan yang sudah dilakukan keluarga dalam
usia anggota keluarga yang sedang dirawat mencapai kesembuhan. Keluarga sudah
berkisar antara 21-37 tahun. Anggota keluarga berupaya untuk mencoba pengobatan alternatif
yang dirawat sudah pernah dirawat dan pelayanan kesehatan. Semua partisipan
sebelumnya di RSJ, 1 orang baru dirawat 1 menjelaskan bahwa mereka telah mencoba
kali, sementara yang lain berkisar 3-10 kali. pergi ke dukun untuk mendapatkan
Hanya 1 orang partisipan yang berperan kesembuhan. “.....hmm dibawalah kami ke
sebagai ayah sedang 5 partisipan lainnya dukun mana itu di Karawang. ” (K1)
merupakan ibu dari pasien. Peneliti mendapat “Saya sebagai ayah saya sampai 28 orang-
lima tema untuk memaparkan berbagai orang pintar saya sudah kunjungi, benar mbak
berbagai pengalaman keluarga dalam merawat serius. Karena anak saya ini dari pondok
penderita skizofrenia dengan masalah utama pesantren.” (K2)
perilaku kekerasan. Tema-tema tersebut “Bawa ke orang pintar, kemarin di Bogor ada
dihasilkan berdasarkan identifikasi hasil teman yang kasihan sama saya” (K6)
wawancara serta catatan lapangan yang
dilakukan saat wawancara. Setelah keluarga merasa tidak mendapatkan
kesembuhan dari pelayanan alternatif, barulah
Tema 1: Pengetahuan Keluarga mengenai keluarga menempuh cara lain dalam
Penyakit pengobatan yaitu memanfaatkan pelayanan
Peneliti mendapatkan dua sub tema yaitu tanda kesehatan. Keluarga mengambil keputusan
dan gejala sesudah terjadinya perilaku untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
kekerasan atau selama berlangsungnya “Sudah kita tau didekat sini diteleponlah,
perilaku kekerasan dan tanda dan gejalanya kebetulan dekat rumah, dia lah yang terus
sebelum terjadinya perilaku kekerasan atau menjemput ini, kita telepon “jemput pak”
perubahan perilaku yang disadari oleh dijemput, bayar berapa aja yang penting
keluarga.Tanda dan gejala sesudah terjadinya dibawa, (K1)
perilaku kekerasan atau selama “Saya berusaha gimana caranya biar anak
berlangsungnya perilaku kekerasan saya sembuh, jadi ini di luar kemampuan
diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut: saya, karena saya waktu itu mencari kemana –
“Terakhir- terakhir kita pelajari yah kalo mana,” (K2) –K2 mengatakan dengan
wajahnya itu udah mulai sangar diam aja gitu menangis
kan, tangannya suka gini aja enggak mengepal
itu tiba- tiba dia” (K1) - sambil mengepalkan Tema 3 : Pelaksanaan Fungsi Keluarga
tangan. “Yah gitu kalo dia mau marah tuh Seluruh partisipan berusaha memenuhi
matanya merah, udah ketauan. Pandangannya melaksanakan fungsi sebagai keluarga dalam
laen, kalo dia mau kumat” (K4) memenuhi kebutuhan keluarga dalam bidang
kesehatan. Menurut hasil wawancara, partispan
Keluarga juga menyebutkan tanda dan gejala sudah menjalankan fungsi afektif dan fungsi
sebelum terjadinya perilaku kekerasan dilihat perawatan keluarga seperti berikut ini:
dari perubahan perilaku pada pasien perilaku “Jadi pokoknya dia kalo merasa tersinggung
kekerasan, hal ini diungkapkan oleh partisipan apalagi dicela apalagi dikasarin, nah udah.
sebagai berikut : “dia kan rajin ibadah, “ayok Jadi intinya dia dalam posisi standar, jangan
ibadah ayok mak” ambil Alkitab dikasih satu sampai dicela, dihina. ” (K2)
saya satu dia, trus pertama berdoa udah
berdoa mari kita mulai ibadah kita udah gitu Keluarga juga mempertahankan suasana rumah
nyanyi udah nyanyi saya disuruh bikin doa” yang menyenangkan dan menguntungkan
(K1)“awalnya P itu anaknya kalem, untuk menjaga perkembangan kesehatan
alim , kenapa saya juga bingung gitu penderita perilaku kekerasan dengan
loh memberikan motivasi kepada anggota keluarga
mbak kan gak biasanya anak saya kan biasa yang menderita perilaku kekerasan. Fungsi ini
nya kalem alim, rajin ibadah..taat ibadah, masuk ke dalam fungsi afektif keluarga.
tiba “Kasih nasehat dikasih duit sama abang-
– tiba error luar biasa” (K2) abangnya, semua, mpoknya. “udah bae
108
jangan

109
main sama temen-temen R lagi yah, he eh yah, kesembuhan, yang ketiga adanya kita tetap
disini diobatin yah, disuntik yah, makannya tabah dan mencari solusi ikhtiar” (K2)
enak, ya? Besok emak dateng yah, emak “Minta sama yang kuasa ini jalannya dari
bawain kue yah, udah yah. Udah disini yah, Dia kan, kan Dia semua yang ngatur kita kan
pokoknya emak nanti dateng yah” (K3) – K3 minta sama yang kuasa.” (K6)
mengatakan dengan suara terbata-bata hampir
menangis. Tema 5 : Penerimaan Keluarga Mengenai
Kesiapan
Tema 4 : Dukungan Sosial Kesiapan keluarga dalam merawat anggota
Partisipan dalam penelitian ini mendapat peran keluarga dengan perilaku kekerasan
masyarakat (dukungan lingkungan) sekitar dinyatakan oleh seluruh partisipan bahwa
yang menciptakan lingkungan yang penuh mereka memiliki kesiapan dalam merawat
dengan kekeluargaan dan adanya peran perilaku kekerasan di rumah jika dokter telah
masyarakat yang merangkul keluarga dalam mengizinkan anggota keluarga pulang.
merawat penderita perilaku kekerasan sebagai “Jadi begini mbak memang tentunya kita
berikut: apapun harus siap. Yang namanya anak
“Pada kasihan lingkungan saya mah sama apapun itu harus kita rawat. Itu kan amanah”
dia, pada kasih nasihat dia “R lo jangan galak (K2)
sama emak lu, emak lu cape cuci gosok, buat Dalam menghadapi persoalan dan kesulitan
jajan elu kok lu galak sama emak lu” (K3). dalam merawat penderita perilaku kekerasan,
“baik sih, udah tau semua anak saya begini. pada umumnya keluarga akan berserah pada
Udah ngerti semua, kalo dia marah – marah Sang Pencipta. Hubungan dengan Sang
sudah pada tau pada diem.” (K4) Pencipta ini akan memberikan kekuatan pada
keluarga dan kepasrahan kepada Tuhan.
Dukungan informasi sangat penting bagi “Tuhan itu akhirnya menguatkan iman kita
keluarga dalam mempersiapkan keluarga untuk juga, lama-lama kita jadi sabar, sabar berdoa
merawat dan membantu keluarga. Dukungan doa kita didengar Tuhan” (K1)
informasi diungkapkan partisipan sebagai
berikut: Pada penelitian ini ditemukan bahwa partisipan
“Jadi kan saya punya banyak teman, saya mengalami kelelahan fisik selama merawat
punya banyak sodara, jadi karena apa karena anggota keluarga yang menderita perilaku
saya juga minta ini, kan saya ingin gimana sih kekerasan. Hal ini terlihat dari hasil
supaya anak saya bisa sembuh.” (K2) wawancara, sebagai berikut: “..Ini bocahnya
“Tetangga saya juga bilang “bawa aja ke jalan terus, waduh jujur saya suka nyari, kalo
Grogol situ kan pusatnya” tapi bagusnya malam orang tua was-was sampai jam 4 pagi
memang disini, cocok.” (K4) di pinggir jalan, saya tungguin kemana anak
saya kan HP dia gak pegang,” (K2)
Dukungan spiritual dengan kepercayaan
terhadap Tuhan dan berdoa diidentifikasikan
PEMBAHASAN
oleh anggota keluarga sebagai cara yang paling
Pengetahuan Keluarga mengenai Penyakit
penting bagi keluarga untuk mengatasi stresor
Partisipan mengenal beberapa tanda dan gejala
yang berkaitan dengan kesehatan.
karena partisipan mengakui bahwa mereka
“Kadang aku nyari tempat beribadah itu yah
sering memperhatikan tanda dan gejala
kharismatik Katolik kemana kalo ada yang
penderita perilaku kekerasan seperti wajah
ajak kita doa disana yok, tempat mana yang
memerah, tangan mengepal, dan mata melotot.
diberkati Tuhan nanti, dimanalah yang
Sejalan dengan penelitian Wuryaningsih,
dijawab Tuhan doaku ini gitu paling tidak
Hamid, & Helena (2013) yang mengatakan
banyak untungnya kan, lama-lama kita dengar
bahwa partisipan pada penelitian ini mengingat
firman Tuhan itu orang-orang yang percaya
dengan rinci perilaku kekerasan yang
Tuhan” (K1) – K1 mengatakan dengan
dilakukan pasien sebelumnya. Namun bukan
menangis.
berarti mutlak bahwa keluarga cukup mengerti
“Pertama saya istigfar itu agama saya, kedua
tentang kondisi yang dialami pasien. Penelitian
saya bermohon sama Alloh semoga dapat
Marimbe, Cowan, Kajawu, Muchirahondo &
pertolongan agar anak saya dapat
Lund (2016) menemukan tema kebutuhan
keluarga dalam perawatan anggota keluarga
110
dengan Skizofrenia, salah satunya adalah membawa ke pelayanan medis. Pengikut
pelatihan. Pelatihan yang dimaksud sistem kepercayaan akan kesehatan mistis
dimaksudkan agar keluarga mengetahui religius percaya bahwa daya supranatural
kondisi yang dialami pasien melalui pemberian mempengaruhi kesehatan dan penyakit (Young
informasi secara lisan atau tertulis. Pemberian & Koopsen, 2007). Pengetahuan keluarga yang
pengetahuan ini diharapkan meningkatkan terbatas tentang penyakit pasien dan keyakinan
kemampuan keluarga dalam pengasuhan tertentu membuat keluarga membawa pasien
anggota keluarga dirumah. ke pengobatan alternatif.
Peningkatan kemampuan keluarga dapat Disaat kondisi tidak kunjung membaik,
membantu keluarga dalam memperbaiki serta keluarga akhirnya berupaya mencari informasi
mempertahankan cara perawatan yang baik mengenai pelayanan kesehatan. Proses
dalam pencegahan kekambuhan pada anggota pengambilan keputusan untuk memilih
keluarga yang menderita perilaku kekerasan. sumber pengobatan dimulai dengan
Salah satu cara dalam mencegah kekambuhan menerima informasi, memproses berbagai
dengan cara minum obat teratur sesuai dosis kemungkinan dan dampaknya, kemudian
yang diberikan. Menurut penelitian Suwarsi mengambil keputusan (Supardi dan Susyanty,
(2010), ketika pasien menunjukkan tanda- 2010). Keluarga menempuh berbagai cara
tanda kekambuhan maka keluarga hanya untuk meningkatkan kesehatan mental anggota
menyuruh pasien untuk minum obat. Kepekaan keluarga yang menderita perilaku kekerasan.
mengenai tanda dan gejala tersebut dapat Keluarga mulai memanfaatkan pelayanan
membantu keluarga dalam mencegah fasilitas kesehatan.
terjadinya perilaku kekerasan dan dampak
perilaku kekerasan selanjutnya.
Pelaksanaan Fungsi Keluarga
Keluarga diharapkan dapat lebih mengerti, Keluarga dapat meningkatkan atau
mengetahui dan memahami yang pada mempertahankan suasana rumah yang
akhirnya dapat berperan secara aktif sebagai menyenangkan demi untuk menjaga
pendukung utama bagi penderita yang juga perkembangan kesehatan keluarga yang
akan meningkatkan kemampuan penyesuaian merupakan salah satu dari tugas keluarga.
dirinya serta tidak rentan lagi terhadap Penelitian Perera, Short, dan Fernbacher
pengaruh stresor psikososial (Wulansih & (2014) diperoleh data bahwa posisi sebagai
Widodo, 2008). Keluarga dapat beperan aktif seorang ibu merupakan peran yang sangat
dalam memberikan obat kepada penderita sentral dan membawa dampak yang berarti
perilaku kekerasan dengan mengenal tanda dan pada kehidupan pasien. Ungkapan para ibu
gejala dari perilaku kekerasan tersebut. yang menyatakan bahwa menjadi ibu seorang
Keluarga yang memahami tanda dan gejala penderita Skizofrenia merupakan tantangan
perilaku kekerasan dapat mengontrol obat yang pada hubungan ibu dan anak. Namun kondisi
sudah bekerja dengan baik pada penderita tersebut tidak membuat seorang ibu menyerah
perilaku kekerasan. Keluarga dapat melihat yang tetap bertahan dalam setiap perasaan
kemajuan dari obat yang diberikan dokter dan bersalah dan rasa sayang yang muncul silih
dapat mendiskusikan tentang dosis obat berganti. Sejalan dengan penelitian
dengan dokter pada saat kontrol rutin yang Wuryaningsih, Hamid, & Helena (2013)
juga merupakan salah satu cara mencegah bahwa kepedulian keluarga dilakukan dengan
kekambuhan dan membuat keluarga semakin memotivasi, menjadi pendengar yang baik,
siap dalam merawat. membuat senang, memberi kesempatan
rekreasi, memberikan tanggung jawab, dan
Upaya Pengobatan. kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi
Penelitian ini menemukan fakta unik pada asuhan.
keluarga dimana keluarga membawa anggota
keluarga yang sakit ke dukun (pengobatan Temuan menarik selanjutnya dari studi
alternatif). Namun, saat anggota keluarga yang Aldersey dan Whitley (2015) yang melakukan
tak kunjung mendapatkan perbaikan, maka penelitian pada penderita Skizofrenia yang
keluarga berusaha mencari cara lain untuk yang tidak sedang menjadi pasien. Diketahui
mendapatkan kesembuhan yakni dengan bahwa pasien menganggap sikap mencintai
111
dan mendukung dari keluarga menjadi menekan stressor yang dialami oleh keluarga
motivasi mereka dalam proses pemulihan. dalam merawat perilaku kekerasan karena
Namun sebaliknya, responden juga informasi yang diberikan dapat mengurangi
mengungkapkan proses penyembuhan menjadi ketakutan keluarga dan menambah
lambat saat keluarga menjadi sumber stres, pengetahuan keluarga dalam merawat.
adanya stigma dan pemaksaan untuk dirawat.
Motivasi dan semangat dari keluarga dapat Dukungan spiritual yang juga menjadi faktor
membantu perilaku kekerasan dalam kesiapan keluarga dalam merawat anggota
meningkatkan status kesehatannya dan keluarganya yang menderita perilaku
diharapkan dapat memberikan perubahan pada kekerasan untuk mengatasi stressor sebagai
perilakunya karena dapat membuat penderita sumber koping yang dihadapi oleh keluarga.
merasa dicintai, tidak dikucilkan dan Sejalan dengan penelitian Hernandez dan
diperhatikan oleh keluarganya. Dukungan Barrio (2015) yang menyatakan ada kala
moral dari keluarga, keluarga yang selalu ada keluarga merasa khawatir namun kepercayaan
membawa dampak positif dalam pemulihan. dan keyakinan spiritual membantu bertahan
dalam menghadapi menghadapi penyakit
Keluarga dapat menjalankan fungsi perawatan anggota keluarga yang dicintai. Dukungan
keluarga karena keluarga mengetahui spiritual yang dialami keluarga mencerminkan
bagaimana cara perawatan perilaku kekerasan penerimaan positif yang berarti kesiapan
di rumah. Pengetahuan keluarga didapatkan merawat kembali di rumah meskipun keluarga
dari pendidikan kesehatan atau psikoedukasi memiliki kelelahan fisik dan perasaan yang
yang diberikan oleh tim medis. Sesuai dengan kurang menyenangkan dalam merawat anggota
yang dikatakan Stuart (2016), bahwa keluarganya yang menderita perilaku
psikoedukasi dirancang terutama untuk kekerasan. Penelitian ini sejalan dengan
pendidikan dan dukungan. Sejalan dengan penelitian Gitasari & Savira (2015), bahwa
penelitian Suryaningrum dan Wardani (2013) faktor yang membuat caregiver tetap mau
yang menyatakan keluarga memiliki merawat yaitu kepasrahan pada Tuhan yang
pengetahuan yang baik karena sering diwujudkan dengan meminta pertolongan pada
mendapatkan informasi maupun pendidikan Tuhan agar mendapat kemudahan dalam
kesehatan tentang cara merawat pasien merawat anak penderita Skizofrenia.
perilaku kekerasan dari petugas kesehatan.
Penerimaan Keluarga Mengenai Kesiapan
Dukungan Sosial Merawat anggota keluarga dengan perilaku
Keluarga mendapatkan dukungan informasi, kekerasan merupakan hal yang tidak mudah
dukungan spiritual, dan dukungan lingkungan dan perjalanan yang panjang terutama bagi
untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai mereka yang menjadi caregiver, walaupun
tujuan. Sesuai dengan penelitian Ngadiran demikian seluruh partisipan menjelaskan
(2010) kebutuhan yang dibutuhkan keluarga bahwa mereka siap merawat kembali anggota
untuk mencapai tujuan dalam merawat keluarga dengan perilaku kekerasan jika sudah
penderita gangguan jiwa adalah dukungan dibolehkan pulang kerumah. Partisipan
keluarga, dukungan informasi, dan dukungan menerima perannya sebagai caregiver karena
lingkungan. Dukungan lingkungan sangat ada ikatan keluarga yaitu orang tua dan anak
diperlukan keluarga dalam merawat anggota menjadikan keluarga siap dalam merawat
keluarga dengan perilaku kekerasan. Perhatian anggota keluarganya kembali. Sirait (2008)
dan dukungan dari lingkungan dapat mengatakan, ikatan keluarga yang kuat
mengurangi stres keluarga dan membuat seseorang mau membantu ketika
mengembangkan strategi koping yang efektif. anggota keluarganya mengalami masalah,
karena ia tahu bahwa anggota keluarganya
Dukungan informasi juga merupakan tersebut sangat membutuhkan pertolongan.
dukungan yang penting dalam mempersiapkan
keluarga untuk merawat penderita perilaku Penelitian ini sejalan dengan penelitian
kekerasan. Pada penelitian ini, dukungan Gitasari & Savira (2015) yang mengatakan
informasi yang diterima memberikan informasi bahwa partisipan menerima perannya sebagai
mengenai pelayanan kesehatan, dan cara caregiver bagi anggota keluarga mereka
merawat. Dukungan informasi juga dapat dengan skizofrenia. Proses penerimaan yang
112
dialami oleh keluarga mengenai penyakit Saran
skizofrenia bukanlah hal yang mudah. Pada Pengetahuan kelaurga tentang cara perawatan
penelitian ini seluruh partisipan sudah dirumah seperti pengenalan tanda dan gejala
menerima anggota keluarga dengan perilaku perilaku marah dan gejala kekambuhan perlu
kekerasan dengan utuh, hal ini terlihat dari ditingkatkan melalui kegiatan edukasi keluarga
keluarga yang menerima semua sebagai yang berkelanjutan.
amanah atau ujian yang diberikan Tuhan
kepada mereka dan tetap menjalankan
DAFTAR PUSTAKA
perawatan untuk memperoleh kesembuhan.
Aldersey, H. M., & Whitley, R. (2015). Family
Penelitian Richardson, Cobham, Mcdermott,
influence in recovery from severe
dan Murray (2013) memengungkapkan
mental illness. Community Mental
tantangan pada keluarga seperti kehilangan
Health Journal, 51(4), 467-476.
kepercayaan dari orang lain, kehilangan
http://dx.doi.org/10.1007/s10597-014-
keluarga dan mengalami proses berduka
9783-y Retrieved from
keluarga. Penderitaan yang dialami keluarga
https://search.proquest.com/docview/16
tidak menyurutkan kesiapan keluarga dalam
80392703?accountid=25704
merawat. Keluarga tetap memenuhi kebutuhan
atas pengobatan dan kebutuhan lainnya.
Gitasari, N., & Savira, S. I. (2015).
Pengalaman Family Caregiver Orang
Seirama dengan penelitian Wardhani &
Dengan Skizofrenia. Jurnal Psikologi,
Asyanti (2015) bahwa keluarga yang mempu
Fakultas Ilmu Pendidikan, 1 - 8.
menerima pasien skizofrenia seutuhnya
tercermin dari sikap tindakan memasrahkan
Hernandez, M., & Barrio, C. (2015).
kepada Alloh SWT dan mengupayakan
Perceptions of subjective burden among
perawatan pasien agar mencapai kesembuhan.
latino families caring for a loved one
Dukungan orang tua dan anggota keluarga juga
with schizophrenia. Community Mental
diharapkan diberikan kepada pasien. Penelitian
Health Journal, 51(8), 939-948.
Seeman (2013) menunjukkan bukti bahwa
http://dx.doi.org/10.1007/s10597-015-
saudara(sibling) juga menyatakan kesediaan
9881-5 Retrieved from
dalam merawat pasien, terutama saat orang
https://search.proquest.com/docview/17
tuanya sudah tidak dapat lagi merawat pasien.
25368266?accountid=25704
Penerimaan positif seluruh anggota keluarga
dengan kesiapan merawat pasien akan Marimbe, B. D., Cowan, F., Kajawu, L.,
membantu keluarga menghadapi masalah Muchirahondo, F., & Lund, C. (2016).
dengan lebih konstruktif dan mempercepat Perceived burden of care and reported
pemulihan pasien. coping strategies and needs for family
caregivers of people with mental
SIMPULAN DAN SARAN disorders in zimbabwe. African Journal
Simpulan of Disability, 5(1), 1-9.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh lima tema http://dx.doi.org/10.4102/ajod.v5i1.209
yang mengungkapkan pengalaman keluarga, Retrieved from
antara lain pengetahuan keluarga mengenai https://search.proquest.com/docview/18
penyakit,upaya pengobatan, fungsi keluarga, 22085514?accountid=25704
dukungan sosial dan penerimaan keluarga Ngadiran, A. (2010). Pengalaman Keluarga
mengenai kesiapan merawat. Penelitian ini Tentang Beban Dan Sumber Dukungan
memberikan pemahaman tentang pengalaman Dalam Merawat Pasien Dengan
keluarga dalam merawat penderita skizofrenia Halusinasi. Thesis Universitas
dengan masalah utama perilaku kekerasan. Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Penerimaan keluarga untuk menghadapi Perera, D. N., Short, L., & Fernbacher, S.
kesiapan merawat kembali di rumah (2014). There is a lot to it: Being a
dipengaruhi oleh pengetahuan dan dukungan- mother and living with a mental
dukungan sosial yang diterima. illness. Advances in Mental
Health, 12(3), 167-181. Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/16
44454849?accountid=25704
113
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2012). Nursing Reasearch; Generating And Assesing Evidence For Nursing
Practice. China:
J.B. Lippincott Company.
Richardson, M., Cobham, V., Mcdermott, B., & Murray, J. (2013). Youth mental illness and the
family: Parents' loss and grief. Journal of Child and Family Studies, 22(5), 719-736.
http://dx.doi.org/10.1007/s10826-012- 9625-x Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/13 66514129?accountid=25704
Seeman, M. V. (2013). Spotlight on sibling involvement in schizophrenia treatment. Psychiatry,
76(4), 311-22.
http://dx.doi.org/101521psyc201376431
1 Retrieved from https://search.proquest.com/docview/14 66279931?
accountid=25704
Sirait, A. (2008). Pengaruh Koping Keluarga terhadap Kejadian Relaps Pada Skizofrenia Remisi
Sempurna di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tesis Universitas Sumatera
Utara, 82 - 100.
Stover, E. Y., Dahrianis, & Sri , P. R. (2014). Hubungan Pengetahuan Terhadap Kesiapan Keluarga
Dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tamanlarea Makasar.
Jurnal Stikes Nani Hasanuddin Makasar, 1 - 5.
Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Elsevier: Singapura.
Editor : Budi Anna Keliat dan Jesika Pasaribu
Supardi, S., & Susyanty, A. L. (2010). Penggunaan Obat Tradisional Dalam Upaya Pengobatan Sendiri
Dl Indonesia

114
(Analisis Data Susenas Tahun 2007) . Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Dan
Kebijakan Kesehatan Jakarta, 1 - 10.
Suryaningrum, S., & Wardani, I. Y. (2013). Hubungan Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan
Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan Di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1 - 8.
Suwarsi. (2010). Hubungan Peran Serta Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien
Skizofrenia Di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan I Bantul. 1 - 12.
Wardhani, R. S., & Asyanti , S. (2015). Penerimaan Keluarga Pasien Skizofrenia Yang Menjalani
Rawat Inap Di Rsj . Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta , 1 - 9.
Wulansih, S., & Widodo, A. (2008). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluarga
Dengan Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Di RSJ di Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan, 3
- 6.
Wuryaningsih, E. W., Hamid, A. Y., & Helena, N. (2013). Studi Fenomenologi: Pengalaman
Keluarga Mencegah Kekambuhan Perilaku Kekerasan Pasien Pasca Hospitalisasi RSJ. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 6 - 8.
Young, C., & Koopsen, C. (2007). Spiritual, Kesehatan, Dan Penyembuhan. Medan: Bina Media
Perintis.

115
PERILAKU KEKERASAN VERBAL SEBAGAI DAMPAK PAJANAN TAYANGAN
KEKERASAN DALAM SINETRON STUDI KASUS TERHADAP SISWA SMPN 3 KOTA
SERANG

Dase Erwin Juansyah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Daseerwin77@untirta.ac.id

Odien Rosidin
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa odienrosidin@untirta.ac.id

John Pahamzah
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa jpahamzah@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini merupakan studi mendalam tentang dampak pajanan sinetron remaja di televisi swasta
nasional terhadap perilaku kekerasan verbal oleh siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Kota
Serang. Penelitian ini memiliki karakteristik yang relevan dengan penelitian kualitatif. Berdasarkan
tujuan dan data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penyediaan data
dilakukan dengan menerapkan metode simak. Peneliti menyimak tuturan-tuturan dalam dialog
sinetron remaja yang ditayangkan SCTV, RCTI, MNC TV, dan Indosiar. Metode simak dilakukan
dengan menerapkan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik lanjutan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik catat. Responden penelitian ini sebanyak 30 orang siswa Sekolah
Menengah Pertama Negeri 3 Kota Serang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode
analisis kontekstual. Bentuk-bentuk kekerasan verbal yang ditemukan dalam sinetron remaja di
televisi swasta nasional yang ditonton oleh para siswa adalah kutukan, menghina, memarahi,
menampar, berteriak, memaksa, mengancam, dan menuduh. Sebagian besar responden menyadari
bahwa pertunjukan sinetron mengandung konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Sebagian
besar responden mengakui bahwa mereka suka meniru adegan kekerasan verbal, baik ketika di
lingkungan sekolah maupun di rumah.

Kata Kunci: Kekerasan Verbal, Sinetron Remaja, dan Televisi.

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita, kehadiran media massa sudah bukan hal yang asing. Alat komunikasi, seperti
televisi, radio, koran, dan film adalah hal yang biasa (Tulasi, 2012:137). Hari ini nyaris tidak ada anak
yang tidak dapat mengakses media, baik media cetak, elektro- nik, maupun internet. Semua jenis
media tersedia dengan bebasnya. Penekanan khusus di sini dapat diberikan kepada media elektro- nik
televisi karena anak-anak lebih mengge- marinya. Ditambah kenyataan hampir tidak ada rumah di
Indonesia hari ini yang tidak memiliki televisi kecuali karena sebab khusus (Muzayyad, 2011:5).
Menurut Andina (2014:119), kekerasan seakan menjadi bagian keseharian kita. Masya- rakat diberi
tayangan dan informasi kekerasan dari berbagai penjuru: televisi, media sosial, tempat kerja, sekolah,

Jurna
l
jalanan, bahkan orang- orang terdekat. Selanjutnya, Sitompul (2016:
31) menyatakan bahwa hampir semua tayang- an di televisi memuat adegan kekerasan di dalamnya,
mulai dari program informasi kri- minal, berita, film, sinetron, reality show, iklan, dan bahkan film
kartun pun yang merupakan tayangan anak-anak memuat adegan kekerasan. Kekerasan adalah hal
yang paling banyak mewarnai acara-acara televisi saat ini, baik lokal maupun impor. Kekerasan
terdapat dalam tayangan berita ataupun hiburan, seperti sinetron, movie, sinema, kartun bahkan dalam
tayangan acara anak-anak. Kekerasan telah menjadi fenomona umum yang tersaji mulai dalam acara
berita hingga humor sebagai tontonan hiburan (Amelia dan Fitriyani, 2016: 194). Menurut Bushman
dan Anderson (2012), keterpaparan terhadap kekerasan media menyebabkan peningkatan agresi yang
signifikan. Dalam konteks itu, dampak dari menonton tayangan televisi adalah adanya kecenderungan
perilaku meniru setiap adegan. Berkait dengan paparan tersebut, Har- yatmoko (2007:110)
menyatakan bahwa dalam kekerasan terkandung dominasi terhadap pihak lain dalam pelbagai
bentuknya: fisik, verbal,

moral, atau melalui gambar. Penggunaan ke- kuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak
benar, pengondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan
ungkapan nyata kekerasan. Selan- jutnya, Poerwandari (2004:13) berpendapat bahwa kekerasan dapat
dibatasi sebagai tin- dakan yang sengaja (intensional) untuk me- maksa, menaklukkan, mendominasi,
mengen- dalikan, menguasai, menghancurkan, melalui cara-cara fisik, psikologis, deprivasi, ataupun
gabungan-gabungannya dalam beragam bentuknya. Atau, tindakan yang mungkin tidak disengaja,
bukan intensional, tetapi didasari oleh ketidaktahuan (ignorancy), kekurang- pedulian, atau alasan-
alasan lain, yang menye- babkan subjek secara langsung atau tidak lang- sung terlibat dalam upaya
pemaksaan, penak- lukan, penghancuran, dominasi, dan peren- dahan manusia lain.
Simpen (2011:450) menguraikan bahwa
selama ini istilah kekerasan hanya dimaksudkan sebagai kekerasan fisik. Misalnya, pemukulan,
penganiayaan, atau pembunuhan. Dengan demikian, tindakan seseorang atau kelompok yang
dianggap melakukan kekerasan hanyalah mencakup: pemukulan, penganiayaan, pem- bunuhan, dan
atau perusakan terhadap barang atau bangunan orang lain. Kekerasan tidak di- sangkutpautkan dengan
dampak mental, seperti penghinaan, fitnah, menyindir, meng- ancam, membentak, menghardik, dan
mencaci maki.
Penelitian yang berkaitan dengan feno- mena kekerasan verbal dengan segala bentuk perwujudannya
telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu dengan tujuan dan metode yang berbeda-beda,
antara lain (1) Elga Andina (2014) yang melakukan penelitian berjudul “Anime dan Persepsi Budaya
Keke- rasan pada Anak Usia Sekolah”; (2) Rahim Sitompul (2016) yang melakukan penelitian
berjudul “Pengaruh Tayangan Kekerasan di Televisi terhadap Perilaku Agresif Siswa Kelas IV SD
Negeri 020275 Binjai Timur”; dan (3) Riski Amelia dan Ruri Fitriyani (2016) yang

melakukan penelitian berjudul “Hubungan Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan di Televisi


dengan Perilaku Agresif yang Dilaku- kan Anak Usia Sekolah di Madrasah Diniyah Awaliyah Nurul
Huda Pajar Bulan”.
Penelitian Elga Andina (2014) dilatar- belakangi oleh meningkatnya kasus kekerasan dan bullying
sesama murid sekolah yang me- nimbulkan kekhawatiran. Ada pihak yang menganggap terpaparnya
anak-anak usia sekolah dengan tayangan kekerasan seperti anime yang menjadi penyebab. Akan
tetapi, anime tidak saja menampilkan adegan agresi, tetapi menyisipkan nilai-nilai positif yang perlu
ditiru anak-anak. Berdasarkan data yang di- kumpulkan dari forum anime, ditemukan ide- ide seperti
Jurna
l
kerja keras, pantang menyerah, senang membantu, dan setia kawan merupa- kan hal yang menonjol
dari anime. Oleh karena itu, perilaku kekerasan anak usia sekolah dapat disebabkan oleh faktor-faktor
lain.
Penelitian Rahim Sitompul (2016) dilaku-
kan untuk mengetahui pengaruh tayangan ke- kerasan di televisi terhadap perilaku agresif siswa kelas
IV SD Negeri 020275 Binjai Timur dengan populasi sebanyak 25 orang dan sam- pel dengan 25
responden. Penelitian ini berjenis eksperimen dengan menggunakan regresi linear sederhana.
Berdasarkan perhitungan, variabel tayangan kekerasan di televisi berada pada kategori sering
memiliki rata-rata sebesar 40, 68. Sementara itu, variabel perilaku agresif pada kategori sering
memiliki rata-rata sebesar 80, 08. Hasil statistik uji linear antara kedua variabel diperoleh f hitung < f
tabel, yaitu 1,107 <4, 28. Berdasarkan temuan itu disim- pulkan bahwa hipotesis Ha yang dirumuskan,
yakni tayangan kekerasan verbal di televisi berpengaruh terhadap peri-laku agresif siswa. Penelitian
Riski Amelia dan Ruri Fitriyani (2016) dilakukan dengan tujuan mengetahui hubungan intensitas
menonton tayangan ke- kerasan di televisi dengan perilaku agresif yang dilakukan anak usia sekolah
di Madrasah Di- niyah Nurul Huda Pajar Bulan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
ada hu-

bungan intensitas menonton tayangan keke- rasan di televisi dengan perilaku agresif yang dilakukan
anak usia sekolah di Madrasah Diniyah Nurul Huda Pajar Bulan. Semakin tinggi intensitas menonton
tayangan kekerasan di televisi, semakin tinggi perilaku agresif. Subjek yang diteliti sebanyak 70 orang
siswa kelas III dan IV yang berumur 10—12 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan meng-
gunakan dua skala, yaitu skala intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi dan skala perilaku
agresif. Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah dengan analisis regresi
sederhana. Hasil analisis yang diperoleh adalah koefisien korelasi sebesar R=0,807 dengan p = 0,000
(p< 0, 01), artinya hipotesis diterima.
Dari hasil peninjauan terhadap penelitian tersebut, diperoleh gambaran bahwa peneliti- an tentang
kekerasan verbal yang terdapat di dalam tayangan sinetron remaja di televisi swasta nasional dan
dampaknya terhadap perilaku kekerasan verbal siswa sekolah me- nengah pertama belum dilakukan
oleh peneliti lain. Selain itu, penelitian-penelitian tersebut tidak ada yang menghasilkan temuan
terkait dengan rumusan perilaku kekerasan verbal di lingkungan sekolah yang terjadi sebagai dam-
pak pajanan tayangan kekerasan di televisi. Dengan demikian, temuan dan hasil yang di- capai
penelitian ini berbeda dengan penelitian- penelitian sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang masalah ter- sebut, penelitian ini merupakan studi men- dalam terhadap
dampak sinetron remaja di televisi swasta nasional terhadap perilaku keke- rasan verbal yang
dilakukan siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang. Sinetron remaja di televisi nasional
dibatasi dalam pe- nelitian ini sebagai sinetron yang mengangkat tema seputar kisah kehidupan anak
muda atau remaja dengan segala problematikanya yang ditayangkan di stasiun televisi swasta serta
populer di masyarakat sehingga memiliki ra- ting tinggi. Stasiun televisi swasta tersebut dipilih karena
memiliki program tayangan

sinetron yang cukup banyak dan variatif. Si- netron yang dipilih untuk diteliti adalah sinet- ron yang
tayang sore hari sampai malam hari dengan pertimbangan ditonton oleh anak sekolah, termasuk siswa
sekolah menengah pertama (SMP) karena mereka sudah pulang dari sekolah.
Penelitian ini dianggap memiliki relevansi dengan kajian semantik dan pragmatik, khu- susnya telaah
dengan objek sinetron remaja yang selama ini jarang dibicarakan dalam kon- teks pembahasan
Jurna
l
semantik atau pragmatik. Pemahaman secara menyeluruh dan men- dalam terhadap kekerasan verbal
diharapkan dapat memperkaya wawasan sekaligus me- mecahkan permasalahan yang terkait dengan
perilaku kekerasan verbal, khususnya yang dilakukan siswa di lingkungan sekolah.

KAJIAN PUSTAKA
Kekerasan verbal adalah kekerasan yang menggunakan bahasa, yaitu kekerasan yang menggunakan
kata-kata, kalimat, dan unsur- unsur bahasa lainnya. Diungkapkan oleh Bar- yadi (2012:36) bahwa
kekerasan verbal ter- wujud dalam tindak tutur yang dapat disebut sebagai tindak tutur kekerasan.
Tindak tutur kekerasan, selain ditandai oleh intonasi yang tinggi, juga ditandai kelugasan
pengungkapan serta kata-kata yang menyakitkan hati, misal- nya kata-kata jorok atau kata-kata
makian yang merendahkan pihak lain.
Menurut Simpen (2011:454), kekerasan verbal merupakan tindakan berbahasa yang menyebabkan
tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain, kekhawatiran orang lain,
dan terancamnya orang lain. Dalam penjelasan berikutnya, Simpen (2011:465) menyatakan bahwa
ber- tolak dari pengertian kekerasan, dapat dibuat klasifikasi mengenai jenis-jenis tindakan ber-
bahasa yang dianggap merupakan kekerasan verbal. Kekerasan verbal, antara lain menyin- dir,
memfitnah, menuduh, mengejek, me- nakut-nakuti, mencaci maki, dan mengancam.

Baryadi (2012:37—38) memaparkan bahwa tindak tutur kekerasan dapat dibeda- kan menjadi empat
jenis, yaitu (a) tindak tutur kekerasan tidak langsung; (b) tindak tutur kekerasan langsung; (c) tindak
tutur kekerasan represif; dan (d) tindak tutur kekerasan alie- natif. Tindak tutur kekerasan tidak
langsung adalah kekerasan verbal yang tidak seketika itu juga mengenai korban, tetapi melalui me-
dia atau proses berantai. Tindak tutur keke- rasan tidak langsung, misalnya terwujud dalam fitnah,
stigmasi, dan penstereotipan (stereotyp- ing). Tindak tutur kekerasan langsung adalah tindak
kekerasan yang langsung menimpa pada korban pada saat komunikasi verbal berlangsung. Tindak
tutur kekerasan alienatif adalah tindak tutur yang bermaksud men- jauhkan, mengasingkan, atau
bahkan mele- nyapkan korban, dari komunitas atau masya- rakatnya.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini memiliki karakteristik yang relevan dengan penelitian kualitatif, yakni prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
yang dapat diamati (Moleong, 2000:3). Sejalan dengan itu, Miles dan Huberman (1992:15)
menyatakan bahwa salah satu hal yang terdapat di dalam penelitian kualitatif adalah data yang muncul
berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Ber- dasarkan tujuan dan data yang diperoleh, pe-
nelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni bertujuan membuat gambaran, lukisan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai data sifat-sifat, serta hubungan fenomena- fenomena yang
diteliti untuk mencapai kepa- daan eksplanatif (explanative adequacy).
Penyediaan data penelitian ini dilakukan dengan mengimplementasikan metode simak. Peneliti
menyimak seluruh tuturan di dalam sinetron remaja yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar,
dan MNC setiap hari dari pukul 16.00 s.d. 23.00 masing-masing selama

satu Minggu, yakni Minggu ke-2 Oktober 2019. Penyimakan dilakukan untuk menemu- kan tuturan
yang mengekspresikan kekerasan verbal. Jenis metode simak yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah simak bebas libat cakap (SBLC) sebab peneliti hanya menyimak tuturan di dalam sinetron
Jurna
l
remaja yang dita- yangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC. Metode simak dilakukan dengan
me- nerapkan teknik dasar berupa teknik sadap. Teknik itu dilakukan terhadap tuturan di dalam
sinetron remaja yang ditayangkan oleh SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC yang me- representasikan
kekerasan verbal.
Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat. Teknik ini digunakan untuk
menjaring data dengan cara mencatat hasil penyimakan dan penyadapan. Pencatatan data disesuaikan
dengan identifi- kasi masalah penelitian dan disertai interpretasi yang diperlukan, yakni penafsiran
dan argu- mentasi terhadap semua data yang ditemu- kan dari sumber data.
Untuk mengumpulkan data tindak tutur yang merepresentasikan kekerasan verbal dalam tayangan
sinetron digunakan perekam- an atau pencatatan dengan menggunakan lembar pengamatan. Adapun
data kekerasan verbal yang dilakukan oleh siswa yang dipe- ngaruhi intensitas menonton tayangan
sinetron dijaring dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner, yang disusun dan dibagikan
kepada responden untuk mendapatkan data terpancing.
Responden penelitian ini adalah siswa SMPN 3 Kota Serang. Peneliti ini menetapkan jumlah
responden dengan menggunakan tek- nik pengambilan sampel atau contoh dengan teknik purposive
sampling. Dalam hal ini, siswa yang dipilih sebagai responden adalah siswa kelas VII, VIII, dan IX
sebanyak 30 orang. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa setiap jenjang kelas akan terwakili
se- hingga sifat atau karakter siswa sekolah me- nengah pertama dapat tergambarkan secara
representatif.

Dalam penelitian ini, analisis data dilaku- kan dengan menggunakan metode analisis kontekstual,
yakni analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhi- tungkan, dan mengaitkan
identitas konteks- konteks yang ada. Pada tahap analisis, data yang sudah terkumpul melalui
kuesioner se- lanjutnya dipilah-pilah dengan teknik iden- tifikasi. Dengan teknik ini, data dapat
diklasi- fikasi berdasarkan jenis data. Setelah data dikla- sifikasikan, data yang tersedia
dideskripsikan, dinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka teori yang dijadikan landasan.
Data intensitas menonton sinetron remaja dan keke- rasan verbal yang diperoleh melalui jawaban
kuesioner, selanjutnya dianalisis secara kualita- tif untuk memperoleh temuan bentuk keke- rasan
verbal yang dipengaruhi oleh tayangan kekerasan dalam sinetron yang ditonton. Data yang telah
diklasifikasikan oleh peneliti se- lanjutnya dideskripsikan sesuai dengan teori yang dijadikan acuan
dalam penelitian ini.

ANALISIS DATA
DAN HASIL PENELITIAN
Berdasarkan tanyaan kuesioner terhadap 30 orang responden, diperoleh jawaban bahwa siswa
memiliki kebiasaan menonton televisi dengan durasi dan frekuensi yang ber- beda-beda. Namun,
temuan yang menarik adalah terdapat dua orang responden yang menjawab bahwa mereka menonton
televisi lebih dari dua jam setiap hari. Jawaban res- ponden tersebut menggambarkan fakta bahwa
setiap hari, siswa tidak pernah luput atau tertinggal menonton acara-acara di televisi.
Berdasarkan jawaban responden, tam- pak bahwa acara yang paling banyak digemari adalah sinetron
dan film. Hal ini menunjukkan kedua jenis tayangan televisi tersebut merupa- kan acara yang
digandrungi oleh sebagian anak sekolah atau remaja. Beberapa alasan yang di- kemukakan oleh
responden terkait dengan sinetron sebagai acara yang digemari adalah
(1) sinetron menghibur dan tidak membosan-
Jurna
l
kan; (2) sinetron itu menarik dan mengasyik- kan; (3) sinetron itu menampilkan pemain atau bintang
yang menarik; (4) sinetron itu seru untuk ditonton; (5) sinetron ada pelajarannya atau hikmahnya
untuk remaja; (6) menonton sinetron itu sangat cocok dengan jiwa remaja; dan (7) sinetron
menceritakan hal yang me- narik sehingga tidak membosankan.
Judul sinetron yang paling banyak dipilih sebagai sinetron yang digemari oleh respon- den adalah (1)
Cinta Karena Cinta, (2) Cinta Anak Muda, (3) Anak Langit, dan (3) Azab. Dari keempat judul yang
paling banyak dipilih oleh responden, terdapat satu sinetron, yakni Azab yang segmentasinya tidak
secara khusus membidik kaum remaja. Artinya, sinetron ini adalah sinetron yang ditujukan kepada
umum. Hal itu berbeda dengan judul-judul sinetron lainnya yang langsung membidik segmentasi
penonton anak muda, termasuk remaja. Dalam konteks itu, sinetron-sinetron tersebut secara spesifik
bertema percintaan dengan segala pernak-perniknya.
Stasiun televisi SCTV merupakan stasiun televisi yang dipilih oleh 20 responden. Hal itu
menunjukkan bahwa stasiun ini memiliki tayangan sinetron yang lebih banyak atau do- minan
dibandingkan stasiun televisi lain. Dengan demikian, tidak mengherankan bila SCTV banyak disukai
kalangan penonton remaja, termasuk siswa sekolah menengah pertama (SMP). Sinetron di stasiun
televisi ini memiliki jam tayang yang cukup banyak di- bandingkan mata acara lainnya.
Berdasarkan jawaban responden, diketa- hui bahwa hampir setiap hari, di televisi dita- yangkan acara
sinetron dengan jam tayang yang berbeda-beda. Selain itu, berdasarkan jawaban responden, diketahui
bahwa siswa menonton sinetron hampir setiap hari, yakni ada yang menonton siang hari, sore hari,
atau- pun malam hari. Hal itu sejalan dengan waktu luang yang mereka miliki, yakni sepulang sekolah
sampai sebelum tidur bila tidak ada aktivitas lain. Responden menganggap sinet- ron remaja di
televisi memberi manfaat selain

hanya bersifat hiburan. Dalam konteks itu, responden beralasan bahwa sinetron tidak selamanya
menampilkan atau menyajikan hal- hal yang tidak berguna. Dengan demikian, bagi mereka, kesukaan
menonton sinetron tidak berdampak kerugian.
Sebagian besar responden tahu dan me- nyadari bahwa dalam tayangan sinetron di televisi terdapat
konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Untuk mengetahui jenis tindak kekerasan verbal yang
dilihat responden ketika menonton tayangan sinetron, respon- den diminta untuk menyebutkan
contoh- contoh kekerasan verbal yang mereka ketahui. Berikut ini adalah jawaban yang dikemukakan
oleh responden.

No. Tindakan Kekerasan Verbal yang Ditemukan dalam Sinetron


1. mengusir ibu sendiri
2. membuli/merisak
3. memfitnah
4. mencaci maki
5. menggertak orang tua
6. memaki dengan kata kasar
7. memarahi
8. menghina
Jurna
l
9. meremehkan
10. mengejek
11. merendahkan
12. menyinggung perasaan
13. menuduh/menuding
14. memarahi
15. membentak
16. menghardik
17. mengusir
18. mengancam
19. menakut-nakuti
20. menantang
21. mencela

Jawaban responden tersebut menunjuk- kan bahwa sebenarnya mereka menyadari bahwa dalam
tayangan televisi terdapat ujaran yang merepresentasikan tindakan kekerasan verbal. Tindakan
tersebut menjadi bagian dari dialog yang dilakukan oleh para tokoh peme- ran. Meskipun tayangan
sinetron remaja yang ditonton oleh responden bermuatan konten kekerasan verbal, ternyata
berdasarkan jawab- an responden, sebagian besar menyatakan bahwa mereka menonton sinetron tanpa
di- dampingi oleh orang dewasa, baik orang tua maupun saudara. Alasan yang dikemukakan

oleh responden yang menjawab tidak didam- pingi oleh orang tua saat menonton sinetron adalah
sebagai berikut: (1) orang tua mereka sibuk kerja/berwira usaha; (2) malu; (3) me- rasa lebih nyaman
atau enak menonton sendiri;
(4) orang tua tidak mengharuskan; dan (5) sinet- ron yang ditonton bukan acara yang mencon- tohkan
bahaya atau hal yang tidak pantas.
Sebenarnya, risiko bahaya yang akan muncul sebagai dampak menonton sajian konten kekerasan di
dalam sinetron diketahui oleh para responden. Hal itu tampak dari jawaban responden yang sebagian
besar mengungkapkan bahwa mereka menyadari risiko atau bahaya terlalu banyak menonton
tayangan sinetron yang mengandung konten kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Meski- pun
demikian, terdapat responden yang men- jawab bahwa mereka tidak mengetahui risiko atau bahaya
menonton sinetron. Bahkan, ter- dapat satu orang responden yang menjawab tidak memedulikannya.
Dampak yang secara riil terjadi sebagai
akibat paparan tayangan kekerasan verbal dari sinetron yang ditonton tampak terjadi se- bagaimana
diakui responden. Hal itu tampak dari jawaban sebagai berikut.

No Contoh Adegan yang Ditiru/ Diperagakan


1. di rumah, berpukul-pukulan dengan adik
saat bercanda
2. mengejek atau mengolok-olek nama orang tua teman sekolah
Jurna
l
3. memarahi teman dengan meniru kata- kata dalam sinetron
4. memaki teman dengan meniru ucapan tokoh sinetron
5. mengancam teman
6. menghina teman dengan menggunakan kata-kata kasar
7. menirukan adegan sambil meniru kata-
kata kasar yang diucapkan tokoh sinetron
8. melecehkan teman atau adik
9. merendahkan orang lain
10. mengancam teman atau orang lain

Berdasarkan jawaban tersebut, diketahui bahwa perilaku dan ucapan tokoh dalam sinetron banyak
ditiru untuk diperagakan, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah. Peniruan itu
dilakukan, baik untuk

sekadar bercanda atau main-main maupun untuk tujuan menyakiti orang lain.

PENUTUP
Intensitas siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang dalam menonton sinetron remaja di televisi
swasta nasional diketahui dengan menganalisis jawaban responden. Ber- dasarkan jawaban
responden, diketahui bahwa sebagian besar menonton televisi setiap hari dengan durasi tidak tentu;
sebagian menjawab kurang dari dua jam; dan sebagian menjawab lebih dari dua jam. Program yang
paling banyak digemari oleh responden adalah sinet- ron dan film. Bentuk kekerasan verbal yang
ditemukan di dalam tayangan sinetron remaja di televisi swasta nasional yang ditonton siswa Sekolah
Menengah Negeri 3 Kota Serang yang menjadi responden penelitian adalah memaki, menghina,
memarahi, mengusir, membentak, memaksa, mengancam, dan menuduh.
Dampak menonton sinetron remaja di televisi swasta nasional terhadap perilaku ke- kerasan verbal
yang dilakukan siswa Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Serang diketahui dengan menganalisis
jawaban responden. Se- bagian besar responden menyadari bahwa tayangan sinetron mengandung
konten keke- rasan, termasuk kekerasan verbal. Sejalan dengan itu, sebagian besar responden juga
menyadari bahaya atau risiko terpapar tayang- an kekerasan. Sebagian besar responden mengakui
suka meniru adegan kekerasan ver- bal dari tayangan sinetron, baik ketika di ling- kungan sekolah
maupun lingkungan rumah. Meskipun tayangan sinetron mengandung ke- kerasan, responden
sebagian besar mengakui bahwa mereka tidak didampingi orang de- wasa atau orang tua saat
menonton sinetron dengan pelbagai alasan.

DAFTAR PUSTAKA
Andina, Elga. 2014. “Anime dan Persepsi Budaya Kekerasan pada Anak Usia Sekolah”. Aspirasi
Volume 5, Nomor 2, Desember
2014, 119—130.

Jurna
l
Amelia, Riski dan Fitriyani, Ruri. 2016. “Hu- bungan Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan di
Televisi dengan Perilaku Agresif yang Dilakukan Anak Usia Seko- lah di Madrasah Diniyah
Awaliyah Nurul Huda Pjar Bulan”. PSIKIS-Junal Psikologi Islam Volume 2, Nomor 2, 195—202.
Baryadi, I. Praptomo. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda- karya.
Muzayyad, Idy. 2011. “Literasi Media Mulai dari Kita” Dalam Dadang Rahmat Hida- yat dkk. (eds.),
Panduan Sosialisasi Literasi Media Televisi.Jakarta: KPI:, 1—22.

Poerwandari, E. Kristi. 2004. Mengungkap Selubung Kekerasan Telaah Filsafat Manusia. Bandung:
Yayasan Eja Insani.
Simpen, I Wayan. 2011. “Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat”. Dalam Wayan
Windia dkk. (eds.), Pemi- kiran Kritis Guru Besar Udayana Bidang Sastra dan Budaya. Bali: Udayana
Univer- sity Press, 449—481.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tulasi, Dominikus. 2012. “Terpaan Media Massa dan Turbulensi Budaya Lokal”. Humaniora Volume
3, Nomor 1 April
2012, 135—144.

Jurna
l
HUBUNGAN ANTARA BEBAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN
KELUARGA MERAWAT PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI POLIKLINIK
RUMAH SAKIT MARZOEKI MAHDI BOGOR

Sri Suryaningrum1, Ice Yulia Wardani2


1. Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof.
Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
2. Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder
Djohan, Depok, Jawa Barat-16424
Email: srisuryaningrum@ymail.com

ABSTRAK

Skizofrenia menduduki peringkat keempat sebagai penyakit yang membebankan di seluruh dunia. Salah
satu manifestasi klinik dari skizofrenia adalah perilaku kekerasan. Beban berat yang dirasakan keluarga
dapat menurunkan kemampuan keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Tujuan penelitian
adalah mengidentifikasi hubungan beban dengan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku
kekerasan di Poliklinik Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Desain penelitian adalah analitikdengan
tehnik purposive sampling terhadap 103 responden. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
signifikan antara beban dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan (P
value<0,05). Peningkatan kemampuan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan agar
beban yang dirasakan keluarga menjadi berkurang.

Kata kunci:Beban,Kemampuan, Keluarga,Perilaku kekerasan, Skizofrenia.

ABSTRACT

Schizophrenia is the fourth most burdening health problem in the world. One of the clinical manifestation
of schizophrenia is violent behavior. Strenous burden perceived by the family could lower the ability of
family to care for patient. The purpose of this study is to indentify the relationship of family’s burden and
the family ability to care for patient with violent behavior at the Psychiatric Clinic of Marzoeki Mahdi
Hospital of Bogor. This study used analitical design and collected 103 samples using the purposive
sampling technique. This study result indicated a significant relationship between family’s burden and
family ability to care for patient with violent behavior (p value < 0,05). Study showed it is necessary to
increase family capability in caring for patient with abusive behavior in order to lower the burden
perceived by the family.

Key words: Burden, Ability, Family, Violent Behavior, Schizophrenia.

Jurna
l
PENDAHULUAN dalam menghadapi perilaku pasien, dan
beban sosial terutama menghadapi
Skizofrenia menduduki peringkat 4 dari stigma dari masyarakat tentang anggota
10 penyakit terbesaryang membebankan keluarganya yang mengalami gangguan
di seluruh dunia. Biaya yang jiwa. Dampak dari beban yang
dikeluarkan untuk perawatan yang dirasakan keluarga akan mempengaruhi
diberikan keluarga dan terkait kejahatan kemampuan keluarga dalam merawat
serta terkait kesejahteraan akibat pasien. Jika keluarga terbebani
skizofrenia sebesar 33 miliar dolar kemungkinan keluarga tidak mampu
setiap tahunnya di Amerika Serikat merawat pasien dengan baik.
(Stuart, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut
Hasil Riskesdas (2007) menjelaskan maka dapat dirumuskan masalah
bahwa prevalensi gangguan jiwa di penelitian yaitu “Apakah ada hubungan
Indonesia adalah 4,6 0/00. Prevalensi antara beban keluarga dengan
tertinggi terdapat di Provinsi DKI kemampuan keluarga dalam merawat
Jakarta (20,3 0/00) yang kemudian secara pasien perilaku kekerasan di Poliklinik
berturut-turut diikuti oleh Provinsi RS Marzoeki Mahdi Bogor?”
Nangro Aceh Darussalam (18,5 0/00),
Sumatera Barat (16,7 0/00), Nusa METODE
Tenggara Barat (9,9 0/00), Sumatera
Selatan (9,2 0/00). Prevalensi terendah Desain penelitian ini adalah desain analitik
terdapat di Maluku (0,9 0/00). kategorik berpasangan, yaitu metode untuk
Di RS Marzoeki Mahdi Bogor data yang di mengetahui ada atau tidaknya hubungan
dapat dari bagian rekam medis pada tahun antara beban keluarga dengan kemampuan
2010 pasien skizofrenia yang dirawat inap keluarga merawat pasien perilaku
berjumlah 9952 orang dan pasien rawat kekerasan.
jalan berjumlah 1217 orang, sedangkan
tahun 2011 pasien yang dirawat inap Sampel yang diambil dalam penelitian ini
berjumlah 1549 orang dan yang rawat jalan ditentukan dengan menggunakan teknik
berjumlah 15770 orang. Hal ini pengambilan sampel purposive sampling,
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yaitu dengan terlebih dahulu menentukan
jumlah pasien skizofrenia yang menjalani kriteria. Kriteria yang dipakai adalah
pengobatan rawat inap dan rawat jalan di inklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
RS Marzoeki Mahdi Bogor dalam satu yaitu keluarga pasien yang anggota
tahun terakhir. keluarganya mengalami skizofrenia dengan
perilaku kekerasan dan pernah dirawat lebih
Pasien skizofrenia terutama yang dari 1 kali, keluarga bersedia dan mampu
mengalami perilaku kekerasan berpartisipasi dalam penelitian, serta tinggal
membutuhkan dukungan keluarga yang serumah dengan pasien
mampu memberikan perawatan secara
Alat pengumpulan data ini adalah kuesioner
optimal. Tetapi keluarga sebagai sistem The Zarith Burden Interview versi bahasa
pendukung utama sering mengalami indonesia, merupakan instrumen untuk
beban yang tidak ringan dalam variabel independen yaitu beban yang
memberikan perawatan selama pasien dirasakan keluarga. Kuesioner pengetahuan
dirawat di rumah sakit maupun setelah dan sikap keluarga dalam merawat pasien
kembali ke rumah. perilaku kekerasan merupakan instrument
untuk variable dependen. Pengolahan data
Beban tersebut yaitu beban finansial sesuai dengan langkah-langkah edit data
dalam biaya perawatan, beban mental (editing), memberikan kode (coding),

Jurna
l
memasukkan data dalam tabel (entry), dan signifikan. Pada variabel pengetahuan
membersihkan data (cleaning). keluarga menunjukkan mayoritas responden
memiliki pengetahuan sedang 69 responden
Analisa data yang digunakan dalam dan tinggi 34 responden. Variabel sikap
penelitian ini adalah analisis univariat dan keluarga menunjukkan 75 responden
bivariat. Analisis univariat dalam memiliki sikap tidak baik. Sedangkan
melakukan uji statistik menggunakan uji variabel kemampuan keluarga terdapat 51
distribusi dan proporsi. Analisis bivariat responden memiliki kemampuan tidak baik.
pada penelitian ini menggunakan uji Chi
Square karena variabel yang diteliti berjenis Tabel 2
kategorik dan kategorik. Hubungan antara Beban dengan
Pengetahuan Keluarga dalam Merawat
Etika pengambilan data pada penelitian ini Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
menggunakan prinsip manfaat, prinsip Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103)
menghargai martabat manusia, prinsip Pengetahuan OR
keadilan dan prisip anonymity Beban Keluarga P
&
Confidentiality. Keluarga valu
(95%
Sedang Tinggi CI)
e
HASIL n % n %
Tabel 1 Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,385
Distribusi Responden Berdasarkan Beban, Beban Sedang 26 74,3 9 25,7
Pengetahuan, Sikap dan Kemampuan Beban Ringan 23 63,9 13 36,1 0,38 0,346
Keluarga Dalam Merawat Pasien Perilaku Tanpa Beban 7 50 7 50 0,565
Kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi Jumlah 69 67 34 33
Bogor, Tahun 2013 (n=103)
Peresentase Tabel 2. Menjelaskan bahwa terdapat 13
Variabel Independen Jumlah responden yang sudah memiliki
(%)
Beban Keluarga pengetahuan tinggi tetapi masih mengalami
Beban Berat 18 17,5 beban yang berat dalam merawat pasien
Beban Sedang 35 34,0 perilaku kekerasan. Hasil uji analisis
Beban Ringan 36 35,0 menunjukkan tidak ada hubungan antara
Tanpa Beban 14 13,6 beban dengan pengetahuan keluarga dalam
Jumlah 103 100 merawat pasien perilaku kekerasan P
Variabel Dependen value>0,05.
Pengetahuan
Keluarga Tabel3
Sedang 69 67,0 Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan
Tinggi 34 33,0 Sikap KeluargaDalam MerawatPasien
Jumlah 103 100 Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
Sikap Keluarga Marzoeki Mahdi Bogor
Tahun 2013 (n=103)
Tidak Baik 75 27,2
Baik 28 72,8 Sikap Keluarga
OR
Jumlah 103 100 Beban
(95%
P
Kemampuan Keluarga Tidak Baik valu CI)
e
Keluarga Merawat Baik
Tidak Baik 51 49,5 N % N %
Baik 52 50,5 jumlah tersebut cukup Beban Berat
Jumlah 103 100 Beban Sedang 29 82,9 6 17,1 16
0,016
Beban Ringan 30 60 20 40 88,9
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada variabel beban 2
11,1
keluarga terdapat 18 responden dengan beban berat,
Jurna
l
Jumlah 75 72,8 28 27,2 0,188
0,310

Jurna
l
Tabel 3. Menunjukkan bahwa terdapat 16 000,- dan rata-rata penghasilan responden
responden mengalami beban berat dan adalah Rp 1.178.640,-. Jumlah tersebut
memiliki sikap tidak baik dalam merawat merupakan nominal yang sangat jauh
pasien perilaku kekerasan. Uji analisis dibawah standar UMR Bogor tahun 2013
menunjukkan adanya hubungan antara yaitu Rp 2.002.000,-. Hal ini sesuai dengan
beban dengan sikap keluarga dalam penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
merawat pasien perilaku kekerasan P Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
Value<0,05. dari enam dimensi beban keluarga dengan
skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
Tabel 4 rata yang paling tinggi. Oleh karena itu
Distribusi Hubungan Antara Beban Dengan apabila keluarga tidak memiliki sumber
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan di Poliklinik RS
dana yang cukup atau jaminan kesehatan,
Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2013 (n=103) maka akan menjadi beban yang sangat berat
bagi keluarga.

Kemampuan Pengetahuan Keluarga dalam merawat


OR
Beban Keluarga pasien Perilaku Kekerasan.
(95%
P
Keluarga valu CI) Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
e
Sedang Tinggi mayoritas responden memiliki pengetahuan
n % N % sedang yaitu 67,0% atau 69 orang dan
Beban Berat 13 72,2 5 27,8 0,105
Beban Sedang 21 60,0 14 40,0 0,182 tinggi 33,0% atau 34 orang. Riyandini
Beban Ringan 14 38,9 22 61,1 0,010 0,429 (2011) mendukung penelitian ini yang
Tanpa Beban 3 21,4 11 78,6 yaitu penghasilan terendah adalah Rp
Jumlah 69 67 34 33 150

Tabel 4. Menunjukkan bahwa terdapat 13


responden yang mengalami beban berat dan
memiliki kemampuan tidak baik dalam
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil
uji analisis menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara beban dengan
kemampuan keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan P value <0,05.

PEMBAHASAN

Beban Keluarga dalam Merawat Pasien


Perilaku Kekerasan
Pada analisis beban keluarga terdapat
17,5% atau 18 responden yang memiliki
beban berat. Nuraenah, Mustikasari, &
Putri (2012) mendukung penelitian ini
bahwa beban keluarga dalam merawat
anggota dengan riwayat perilaku kekerasan
yaitu 95%. Beban berat yang dialami
keluarga bisa dipengaruhi oleh berbagai hal
diantaranya adalah faktor sosial ekonomi.
Dalam hasil penelitian ini masih banyak
keluarga yang merawat anggota
keluarganya yang mengalami perilaku
kekerasan memiliki penghasilan rendah,
Jurna
l
menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan pada
keluarga pasien skizofrenia sebagian besar
adalah tinggi (55,6%). Hal ini dimungkinkan
dari kriteria keluarga yang ambil dalam
penelitian ini adalah keluarga pasien yang
pernah dirawat minimal satu kali, yang sering
mendapatkan informasi maupun pendidikan
kesehatan tentang cara merawat pasien perilaku
kekerasan dari petugas kesehatan.
Menurut Notoatmojo (2010) informasi yang
diperoleh baik dari pendidikan formal maupun
non formal dapat memberikan pengaruh jangka
pendek sehingga menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan. Pendidikan non
formal tersebut dapat mempengaruhi
pengetahuan keluarga tentang cara merawat
pasien perilaku kekerasan menjadi tinggi. Dapat
disimpulkan bahwa jika pengetahuan keluarga
tinggi maka akan meningkatkan kemampuan
keluarga dalam memberikan perawatan pada
pasien perilaku kekerasan yang hasilnya pun
akan menjadi optimal.

Sikap Keluarga dalam Merawat Pasien


Perilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan
bahwa mayoritas responden memiliki sikap
tidak baik terhadap pasien sebanyak 75

Jurna
l
orang. Penelitian ini didukung oleh Sonatha gangguan jiwa sering melanda keluarga
& Gayatri (2012) didapatkan hasil karena berkurangnya stress tolerance.
responden dengan sikap negative lebih
banyak yaitu sebesar 53,6%. Bagi pasien Peneliti berpendapat bahwa
jiwa yang mengalami perilaku kekerasan ketidakmampuan keluarga bisa disebabkan
dan kronis membutuhkan waktu perawatan karena keluarga mengalami kelelahan
bertahun-tahu, yang dapat menjadikan secara fisik maupun mental selama merawat
keluarga mengalami kejenuhan dalam anggota keluarganya yang mengalami
memberikan perawatan pada pasien perilaku kekerasan. Dampak yang di
sehingga bersikap tidak baik. Faktor lain rasakan keluarga akibat perilaku kekerasan
adalah perilaku kekerasan yang dilakukan yang dilakukan pasien sangat
pasien terhadap keluarga.Menurut Keliat mempengaruhi sikap keluarga dalam
(2003) Perilaku kekerasan adalah tindakan merawat pasien perilaku kekerasan,
menciderai orang lain, diri sendiri, merusak sehingga kemampuan keluarga menjadi
harta benda (lingkungan), dan ancaman tidak baik.
secara verbal.Muesser & Gingerich (2006)
juga menjelaskanbahwa anggota keluarga Hubungan Antara Beban dengan
sering menjadi korban tindakan kekerasan Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat
yang dilakukan oleh penderita skizofrenia. Pasien Perilaku Kekerasan
Hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga
Hal ini dapat diartikan bahwa Perilaku dengan beban berat memiliki pengetahuan
kekerasan yang dilakukan pasien terhadap sedang sebanyak 26 orang dan pengetahuan
keluarga sangat merugikan keluarga dan tinggi sebanyak 5 orang. Simatupang
mempengaruhi sikap keluarga dalam (2010) mendukung penelitian ini yang
merawat pasien perilaku kekerasan. menyebutkan bahwa mayoritas responden
Perilaku tersebut yaitu pasien sering kasar (90%) memiliki pengetahuan yang baik
bahkan sampai memukul terhadap keluarga, tentang perilaku kekerasan termasuk
berkata-kata yang menyakitkan, merusak definisi, tanda, dan gejala pasien dengan
barang-barang keluarga, merusak dan perilaku kekerasan.
mengganggu lingkungan. Dampak dari
perilaku tersebut memungkinkan keluarga Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan
menjadi bersikap tidak baik terhadap dalam merawat pasien perilaku kekerasan
anggota keluarganya yang mengalami sudah dipahami oleh keluarga. Hal ini
perilaku kekerasan. dikarenakan bahwa keluarga pasien yang
pernah di rawat di Rumah Sakit Marzoeki
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Mahdi Bogor telah mendapatkan
Pasien Perilaku Kekerasan. pendidikan kesehatan dari petugas
Kemampuan keluarga merupakan gabungan kesehatan. Yang menarik dari hasil
dari pengetahuan dan sikap keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga mengalami
merawat pasien perilaku kekerasan. Hasil beban berat meskipun memiliki
penelitian ini didapatkan bahwa responden pengetahuan yang tinggi. Hal ini bisa
yang memiliki kemampuan tidak baik dikarenakan beberapa faktor yang
sebanyak 51 orang. Penelitian ini didukung mempengaruhi antara lain faktor sosial
oleh Hernawaty (2009) bahwa rerata ekonomi yaitu pendapatan yang tidak
kemampuan kognitif keluarga dalam memadai, keluarga yang tidak bekerja, dan
merawat klien gangguan jiwa sebesar keluarga dengan pendidikan yang rendah.
32,15, dan kemampuan psikomotor 32,55. Hal ini Sesuai dengan penelitian Gururaj,
Fontaine (2003) menyatakan bahwa Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008)
kemampuan keluarga ditentukan oleh menemukan bahwa dari enam dimensi
kemampuan untuk manajemen stres yang beban keluarga dengan skizofrenia, skor
produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama finansial memiliki rata-rata yang paling
merawat anggota keluarga dengan tinggi. Oleh karena itu meskipun

Jurna
l
pengetahuan keluarga tinggi tetapi jika keluarga tidak bekerja, dan pendidikan
kondisi finansial rendah maka beban yang rendah. Beban tersebut termasuk
keluarga akan menjadi berat. dalam kategori beban obyektif. Nadya
(2009) menjelaskan beban obyektif adalah
Hubungan Antara Beban Dengan Sikap berbagai beban dan hambatan yang
Keluarga Dalam merawat Pasien dijumpai dalam kehidupan keluarga yang
Perilaku Kekerasan berkaitan dengan perawatan penderita
Hasil penelitian ini terdapat responden yang gangguan jiwa, diataranya adalah beban
mengalami beban ringan memiliki sikap biaya finansial yang dikeluarkan untuk
tidak baik sebanyak 30 orang. Keluarga merawat penderita. Sesuai dengan
yang mengalami beban ringan dipengaruhi penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan
oleh beberapa hal yaitu sosial ekonomi Chandrashkar (2008) menemukan bahwa
yang memadai, adanya sistem pendukung dari enam dimensi beban keluarga dengan
yang cukup dan keluarga memiliki konsep skizofrenia, skor finansial memiliki rata-
spiritual yang tinggi sehingga mampu rata yang paling tinggi. Peneliti
beradaptasi untuk menerima penyakit yang berpendapat jika kondisi sosial ekonomi
diderita anggota keluarganya. Sesuai tidak memadai maka beban yang dirasakan
dengan konsep Potter & Perry (2005) yang keluarga menjadi berat.
menjelaskan bahwa spiritualitas secara
signifikan membantu klien dan pemberi Fontaine (2003) menjelaskan bahwa
layanan untuk beradaptasi terhadap kemampuan keluarga ditentukan oleh
perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kemampuan untuk manajemen stres yang
kronis. produktif. Kelelahan fisik dan emosi selama
merawat anggota keluarga dengan
Jika keluarga mengalami beban ringan gangguan jiwa sering melanda keluarga
maka sikap keluarga terhadap pasien karena berkurangnya stress tolerance.
perilaku kekerasan seyogyanya akan Teschinsky (2000) juga menjelaskan bahwa
menjadi baik. Yang menarik dari penelitian keluarga yang merawat anggota keluarga
ini adalah terdapat 30 responden mengalami dengan perilaku kekerasan akan mengalami
beban ringan namun memiliki sikap yang reaksi emosi terhadap gangguan dan stigma
tidak baik terhadap anggota keluarganya. sosial yang ditimbulkan karena perilaku
Hal ini dimungkinkan karena dampak yang kekerasan dengan dampak lainnya. Dapat
diterima oleh keluarga dari sikap pasien dimungkinkan hal inilah yang
perilaku kekerasan. Sesuai dengan konsep menyebabkan keluarga memiliki
Muesser & Gingerich (2006) bahwa kemampuan tidak baik dalam merawat
anggota keluarga sering menjadi korban pasien perilaku kekerasan
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
penderita skizofrenia. Pasien yang Keliat (2003) menjelaskan bahwa perilaku
mengalami perilaku kekerasan memberi kekerasan adalah tindakan menciderai
dampak yang merugikan bagi keluarga orang lain, diri sendiri, merusak harta benda
sehingga keluarga bersikap tidak baik (lingkungan), dan ancaman secara verbal.
terhadap dirinya. Muesser & Gingerich (2006) juga
menjelaskan bahwa anggota keluarga sering
Hubungan Antara Beban dengan menjadi korban tindakan kekerasan yang
Kemampuan Keluarga Dalam Merawat dilakukan oleh penderita skizofrenia. Hal
Pasien Perilaku Kekerasan. ini dapat diartikan bahwa Perilaku
kekerasan yang dilakukan pasien terhadap
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa keluarga sangat merugikan keluarga dan
keluarga dengan beban berat memiliki mempengaruhi sikap keluarga dalam
kemampuan tidak baik yaitu 13 orang. Hal merawat pasien perilaku kekerasan menjadi
ini bisa disebabkan oleh faktor sosial tidak baik.
ekonomi antara lain kesulitan finansial,

Jurna
l
Hasil uji analisis penelitian menunjukkan dalam merawat pasien perilaku kekerasan P
adanya hubungan yang signifikan antara value > 0,05.
beban dengan kemampuan keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan (P DAFTAR PUSTAKA
Value<0,05). Hal ini dimungkinkan bahwa
beban keluarga sangat mempengaruhi Depkes.(2007).Riset kesehatan
kemampuan keluarga dalam merawat dasar.Jakarta: Balitbangkes Depkes.RI.
pasien perilaku kekerasan. Jika keluarga Fontaine,K.L.(2003) Mental health
terbebani maka keluarga tidak mampu nursing.New jersey.Pearson
merawat pasien perilaku kekerasan secara Education.Inc.
baik. Gururaj,G.P.,Bada,M.S.,Reddy,J.Y.C.,&Ch
andrashekar.,C.R.(2008) Family burden,
KESIMPULAN quality of life and disabilityin obsesive
Berdasarkan data demografi di Poliklinik compulsive disorder;in Indian
RS Marzoeki Mahdi Bogor yaitu responden perspective.J Postgradmed, 91-97.
penelitian sebanyak 103 orang dengan Hernawati.T.(2009) pengaruh terapi
kelompok usia rata-rata responden adalah suportif keluarga terhadap kemampuan
50,46 tahun. Jenis kelamin responden keluarga merawat klien gangguan jiwa
mayoritas Perempuan. Tingkat pendidikan di kelurahan Bubulak Bogor Barat.
responden mayoritas Sekolah. Pekerjaan Depok. Tesis. FIK UI
responden mayoritas tidak bekerja. Keliat, B.A.(2003) Pemberdayaan klien
Penghasilan responden rata-rata Rp dan keluarga dalam perawatan klien
1.178.640,-. Hubungan dengan pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan
mayoritas adalah ibu. Karakteristik pasien di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta.
berdasarkan usia didapatkan hasil bahwa Mueser, K.T& Gingerich,S.(2006) The
rata-rata usia pasien adalah 34 tahun. Jenis complete family guide to schizophrenia.
kelamin pasien mayoritas laki-laki. New York: Guilford press.
Pendidikan pasien mayoritas SD dan SMU. Nadya.R.(2009) Gambaran kebahagiaan
Jenis pekerjaan pasien mayoritas tidak dan karakteristik positif wanita dewasa
bekerja atau IRT. madya yang menjadi caregiver informal
Berdasarkan hasil penelitian bahwa penderita skizofrenia. Depok: Fakultas
responden mayoritas dengan beban psikologi UI.
keluarga ringan dan sedang. Responden Notoatmodjo.(2010)Ilmu perilaku
mayoritas memiliki pengetahuan sedang kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
dan sikap tidak baik.Kemampuan Nuraenah, Mustikasari, Putri.Y.S.E (2012)
responden dalam merawat pasien perilaku Hubungan dukungan keluarga dan
kekerasan di Poliklinik RS Marzoeki Mahdi beban keluarga dalam merawat anggota
Bogormemiliki kemampuan baik lebih dengan riwayat perilaku kekerasan di
tinggi dari pada kemampuan tidak baik, RS Jiwa Islam klender jakarta Timur.
tetapi jumlah kemampuan tidak baik cukup Depok.FIK.UI .Tesis.
signifikan. Potter & Perry (2005) Fundamental of
Berdasarkan uji analisis didapatkan bahwa nursing; Concept process and practice
tidak ada hubungan yang bermakna antara four edition. Philadelphia: Mosby Year
beban dengan tingkat pengetahuan keluarga Book. Inc.
dalam merawat pasien perilaku kekerasan, Riyandini.R..F.,Saraswati.H.R.,&Meikawat
nilai P value > 0.05. Ada hubungan yang i.W.(2011).Faktor-faktoryang
signifikan antara beban dengan sikap berhubungan dengan kekambuhan pada
keluarga dalam merawat pasien perilaku pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
kekerasan P value < 0,05, dan ada Amino Gondoutomo Semarang.
hubungan yang signifikan antara beban Simatupang.(2010). Hubungan tingkat
keluarga dengan kemampuan keluarga pengetahuan keluarga tentang perilaku
kekerasan dengan kesiapan keluarga
merawat pasien di rumah.Respiratory usu ac.id/handle/123456789/20141. Diperoleh 7 Mei 2013.
Jurna
l
Sonatha.B.,Gayatri.D (2012) Hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap keluarga dalam pemberian
perawatan pasien pasca stroke. Depok: FIK UI Skripsi

Jurna
l
Stuart.G.W. (2007) Buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Alih bahasa Kapoh.R.P
&Komarayuda.E.Jakarta: EGC.
Teschinky, U. (2000). Living with schizophrenia: the family illness experience.Online J Issues
Nurs. Diakses 8 mei 2013.

Jurna
l
Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Pada Pasien
Risiko Perilaku Kekerasan

Meri Natalia Simare Mare1, Dirman Laia2, Hikmah Sukitiro3, Fanny Fadillah4, Icca Cerahwati5 ,
Reynhad Daniel Manurung6

Merrysimaremare122@gmail.com

Abstrak

Pasien skizoprenia sering dikaitkan dengan perilaku kekerasan yang dapat membahayakan
diri sendiri maupun orang lain ataupun berisiko juga dengan lingkungan sekitarnya, baik
secara fisik, emosional, seksual, dan verbal. Risiko perilaku kekerasan merupakan gejala dari
pasien skizofrenia yang dapat dikontrol melalui terapi Aktivitas Kelompok.Terapi kelompok
merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan
berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh perawat spesialis jiwa atau
perawat jiwa yang telah terlatih. Dalam pelaksanaan TAK jumlah Pasien terdiri dari 6 orang,
dimana pesertanya 2 Laki-laki dan 4 Perempuan. Hasil dari kegiatan TAK Pasien mampu
memperagakan/ mengekspresikan SP Risiko Perilaku Kekerasan, dan mampu mengamati
dengan baik jalan nya kegiatan TAK. Setelah mendapatkan terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi, pasien di Yayasan pemenang jiwa sumatera terjadi peningkatan
pengetahuan, pemahaman tentang cara mengontrol emosi

Jurna
l
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia merupakan sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan


perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku. Skizofrenia
merupakan suatu kondisi gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran, emosi dan perilaku yang terganggu, dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang
keliru (Makhruzah, Putri, & Yanti, 2021). Prevalensi yang menderita
skizofrenia atau psikosis sebesar 7 % per 1000 dengan cakupan pengobatan
84, 9 % dan gangguan prevalensi mental emosional yang di tunjukan pada
usia 15 tahun keatas mencapai 9,8 % dari jumlah penduduk (Riskesdas,
2018).

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dapat berakhir dengan hilanngya


nyawa seseorang. Dalam penanganan penyakit ini karena jiwa yang
tergangangu maka di butuhkan adalah terapi, rehabilitasi serta dengan
konseling. Upaya terbesar untuk penangan penyakit gangguan jiwa terletak
pada keluarga dan masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah bentuk
dukungan keluarga dalam mencegah kambuhnya penyakit skizofrenia
(Pitayanti, & Hartono, 2020).

Skizofrenia menimbulkan distorsi pikiran, distorsi persepsi, emosi, dan


tingkah laku sehingga pasien dengan skizofrenia memiliki Risiko lebih tinggi
berperilaku agresif dimana perubahan perilaku secara dramatis terjadi dalam
beberapa hari atau minggu. Pasien skizoprenia sering dikaitkan dengan
perilaku kekerasan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain
ataupun berisiko juga dengan lingkungan sekitarnya, baik secara fisik,
emosional, seksual, dan verbal. Berdasarkan data tahun 2017 dengan Risiko
perilaku kekerasan sekitar 0,8% atau dari 10.000 orang menunjukkan Risiko
perilaku kekerasan sanggatlah tinggi (Pardede, Siregar & Hulu, 2020).
Jurna
l
Faktor psikologis yang dapat menyebabkan pasien mengalami Risiko prilaku
kekerasan yaitu : Kepribadian yang tertutup, kehilangan, aniaya seksual,
kekerasan dalam keluarga. Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut
nadi dan pernapasan meningkat, mudah tersinggung, marah, amuk serta dapat
mencederai diri sendiri maupun orang lain. Adapun dampak yang
ditimbulkan oleh pasien yang mengalami perilaku kekerasan yaitu kehilangan
kontrol akan dirinya, dimana pasien akan dikuasi oleh rasa amarahnya
sehingga pasien dapat melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, bila
tidak ditangani dengan baik maka perilaku kekerasan dapat mengakibatkan
kehilangan kontrol, risiko kekerasan terhadap diri sendiri, orang lain serta
lingkungan (Sepalanita & Khairani, 2019)

Risiko perilaku kekerasan merupakan gejala dari pasien skizofrenia yang


dapat dikontrol melalui terapi Aktivitas Kelompok.Terapi kelompok
merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-
sama dengan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh
perawat spesialis jiwa atau perawat jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok
adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan
stimulasi bagi Pasien dengan gangguan interpersonal. Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan setelah dilakukan Terapi Aktivitas kelompok stimulasi
persepsi adalah konsentrasi dan adanya ketertarikan responden terhadap
Terapi Aktivitas Kelompok yang dilaksanakan, sehingga setelah
dilaksanannya TAK ini, kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku
kekerasan dapat mengalami peningkatan (Pardede & Laia., 2020).

Terapi modalitas yang tepat untuk mengatasi Risiko prilaku kekerasan yaitu
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan sensori, untuk memusatkan perhatian, kesegaran
jasmani dan mengespresikan perasaan.Terapi ini dilakukan menggunakan
aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dalam kehidupan
untuk mendiskusikan dalam kelompok. Dengan aktifitas kelompok ini, maka
Jurna
l
akan memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, meningkatkan
pengobatan, dan pemulihan kesehatan (Pratiwi., 2020).

Berdasarkan survey yang dilakukan di Yayasan pemenang jiwa, didapatkan


jumlah pasien sebesar 70 pasien, dimana pasien dengan diagnosa risiko
perilaku kekerasan menjadi diagnosa paling lazim di yayasan pemenang jiwa,
sehinggan kelompok tertarik mengangkat diagnosa risiko perilaku kekerasan
untuk dijadikan terapi aktivitas kelompok sebagai stimulasi persepsi pasien.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan ini Pasien dapat lebih menerapkan stategi
pelaksanaan Risiko Perilaku Kekerasan secara fisik dan sosial dalam
mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Pasien dapat mengekspresikan perasaannya lewat cerita
2. Pasien dapat mengetahui cara mengendalikan Risiko Perilaku
Kekerasan dengan SP
3. Pasien dapat melakukan aktivitas kognitif dengan mendengarkan,
bersosialisasi, menebak ekspresi wajah, mempraktikkan SP Risiko
Perilaku Kekerasan
4. Pasien dapat melakukan aktivitas motorik dengan bekerja sama
dengan melatih kekompakan dalam kelompok.
5. Pasien dapat melatih konsentrasi melalui permainan.

Jurna
l
BAB 2
STANDAR PELAKSANAAN TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK
STIMULASI PERSEPSI

2.1 Metode Terapi aktifitas kelompok (TAK)


Metode yang digunakan pada terapi aktifitas kelompok ini adalah metode:

2.1.1 Perkenalan diri pada seluruh perawat


2.1.2 Menanyakan perasaan Pasien pada saat terapi berjalan

2.2 Waktu dan Tempat


Hari/tanggal : 16 Maret 2021
Jam : 10:00 WIB

Tempat : Yayasan Pemenang Jiwa

2.3 Pasien dan Ruangan Pasien


Pasien yang mengikuti kegiatan berjumlah 6 orang dari Yayasan pemenang
jiwa terdiri dari:

1. Ny. Tiurma
2. Ny. Rebecca
3. Ny. Juli
4. Tn.Budi Harsono
5. Tn.Aseng
6. Tn. Acong

2.4 Setting tempat


1. Terapis dan Pasien duduk bersama dalam lingkaran
2. Ruangan yang nyaman dan tenang Jurna
l
Leader Co.Leader

Observer
P P

Fasilitator Fasilitator

P P

P P

Fasilitator

Keterangan Gambar:
L :Leader

CL :Co Leader

F :Fasilitator

O : Observer

2.5 Media dan Alat


1. Handphone
2. Speaker
3. Music/lagu
4. Buku catatan dan pulpen
5. Jadwal kegiatan pasien
6. Bola
Jurna
7. Gambar ekpresi wajah emoji
l
2.6 Susunan Pelaksanaan
Yang bertugas dalam TAK kali ini di sesuaikan dengan petugas setiap sesi
yang telah disepakati sebagai berikut :

1. Leader : Meri Natalia Simare Mare


2. Co.Leader : Reynhard Daniel Manurung
3. Fasilitator 1 : Icca Cerahwati
4. Fasilitator 2 : Hikmah Sukitiro
5. Fasilitator 3 : Fanny Fadillah
6. Observer 2 : Dirman Laia

2.7 Uraian Tugas Pelaksana


2.7.1 Leader :
1. Menyampaikan tujuan dan peraturan kegiatan terapi aktivitas
kelompok menyiapkan proposal kegiatan TAK
2. Mampu memotivasi anggota untuk aktif dalam kelompok dan
memperkenalkan dirinya
3. Mampu memimpin terapi aktivitas kelompok dengan baik dan
tertib Menetralisir bila ada masalah yang timbul dalam kelompok

2.7.2 Co.Leader :
1. Mendampingi Leader
2. Menjelaskan aturan permaian
3. Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader tentang aktivitas
Pasien
4. Mengingatkan leader jika kegiatan menyimpang dari perencanaan
yang telah di buat
5. Mengambil alih posisi leader jika leader mengalami blocking
dalam proses terapi

2.7.3 Fasilitator :
1. Menyediakan fasilitas selama kegiatan berlangsung ikut serta Jurna
l
dalam kegiatan kelompok

Jurna
l
2. Memfasilitasi dan memberikan stimulus dan motivator pada
anggota kelompok untuk aktif mengikuti jalannya terapi

2.7.4 Observer :
1. Mengobservasi jalannya proses kegitan
2. Mengamati serta mencatat perilaku verbal dan non verbal pasien
selama kegiatanberlangsung (dicatat pada format yang tersedia)
3. Mengawasi jalannya aktivitas kelompok dari mulai persiapan,
proses , hingga penutupan
4. Memberikan hadiah (reward) bagi pasien yang menang dalam
permainan.

2.8 Kriteria Pasien


1. Pasien dengan Risiko Perilaku Kekerasan yang sudah kooperatif
2. Pasien yang tidak mengalami gangguan komunikasi verbal
3. Pasien bisa tulis dan baca
4. Pasien yang bersedia mengikuti TAK

2.9 Antisipasi masalah


1. Sebelum kegiatan dilaksanakan, perawat memberi kesempatan kepada
setiap peserta untuk BAB dan BAK
2. Fasilitator memotivasi peserta yang tidak berpartisipasi
3. Menjaga pintu keluar unuk mengantisipasi Pasien melarikan diri dari
tempat kegiatan

2.10 Langkah-langkah Kegiatan


2.10.1 Persiapan
1. Membuat kontrak dengan anggota kelompok
2. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuaan
2.10.2 Orientasi
Jurna
1. Salam teraupetik
l
Salam dari leader kepada Pasien. Leader/Co Leader
memperkenalkan diri dan tim terapis lainnya.

2. Evaluasi/Vasilidasi
Leader menanyakan perasaan dan keadaan Pasien saat ini.

3. Kontrak
a. Menjelaskan tujuan kegiatan
b. Menjelaskan aturan main yaitu :
1) Berkenalan dengan anggota kelompok
2) Jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus
minta izin pada pemimpin TAK
3) Lama Kegiatan 45 menit
4) Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir

2.10.3 Tahap Kerja


1. Seluruh Pasien dibuat berbentuk lingkaran
2. Hidupkan music dan edarkan bola berlawanan dengan arah jarum
jam
3. Pada saat tape dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola,
mendapat giliran untuk perkenalan dengan anggota kelompok yang
ada di sebelah kanan dengan cara:
a. Memberi salam
b. Menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobby.
c. Menanyakan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobby
d. Dimulai oleh terapis sebagai contoh.
4. Setelah memperkenalkan diri Pasien menebak ekspresi wajah dan
mengambil gulungan kertas yang ada di mangkuk yang berisi SP
Risiko Perilaku Kekerasan, kemudian pasien diharuskan
memperagakan SP yang didapat
5. Ulangi musik kembali, dan Pasien kembali melempar bola, ketika
musik berhenti, Pasien yang memegang bola, kembali
memperagakan point c dan d.
Jurna
l
2.10.4 Tahap Terminasi
1. Leader atau Co.Leader memberikan pujian atas keberhasilan dan
kerjasama kelompok
2. Leader atau Co.Leader menanyakan perasaan Pasien setelah
mengikuti kegiatan TAK
3. Fasilitator membagikan Snack
4. Leader atau Co.Leader menganjurkan Pasien untuk sering
bersosialisasi, selalu bekerjasama, dan memasukkan kegiatan
mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan ke dalam kegiatan harian
sebanyak 2x1.
5. Observer mengumumkan pemenang
6. Fasilitator membagikan hadiah kepada pemenang

2.10.5 Evaluasi
1. Pasien mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir kegiatan
2. Kerja sama Pasien dalam kegiatan
3. Pasien merasa senang selama mengikuti kegiatan

2.11 Tata tertib dan Antisipasi Masalah


2.11.1 Tata tertib pelaksanaan TAK Risiko Perilaku Kekerasan
1. Peserta bersedia mengikuti kegiatan TAK Risiko Perilaku
Kekerasan sampai dengan selesai
2. Peserta wajib hadir 5 menit sebelum acara TAK Risiko Perilaku
Kekerasan dimulai
3. Peserta berpakaian rapi, bersih, dan sudah mandi
4. Peserta tidak diperkenankan makan, minum, merokok selama
kegiatan TAK berlangsung
5. Jika ingin mengajukan/menjawab pertanyaan, peserta
mengangkat tangan kanan dan berbicara setelah dipersilahkan
oleh pemimpin
6. Peserta yang mengacaukan jalannya acara akan dikeluarkan dari
Jurna
permainan
l
7. Peserta dilarang meninggalkan tempat sebelum acara TAK
selesai
8. Apabila waktu yang ditentukan untuk melaksanakan TAK telah
habis, sedangkan permainan belum selesai, maka pemimpin
akan meminta persetujuan anggota untuk memperpanjang
waktu TAK

2.11.2 Antisipasi kejadian yang tidak diinginkan pada proses TAK


1. Penanganan Pasien yang tidak efektif saat aktifitas kelompok
a. Memanggil Pasien
b. Memberi kesempatan kepada Pasien tersebut untuk menjawab
sapaan perawat atau Pasienyang lain
2. Bila Pasien meninggalkan permainan tanpa pamit:
a. Panggil nama Pasien
b. Tanya alasan Pasien meninggalkan permainan
c. Berikan penjelasan tentang tujuan permainan dan berikan
penjelasan pada Pasien bahwaPasien dapat melaksanakan
keperluannya setelah itu Pasien boleh kembali lagi
3. Bila ada Pasien lain ingin ikut
a. Berikan penjelasan bahwa permainan ini ditujukan pada Pasien
yang telah dipilih
b. Katakan pada Pasien lain bahwa ada permainan lain yang
mungkin dapat diikuti oleh Pasien tersebut
c. Jika Pasien memaksa, beri kesempatan untuk masuk dengan
tidak memberi peran pada permainan tersebut.

Jurna
l
BAB 3
EVALUASI

3.1 Hasil Pelaksanaan Kegiatan TAK


Kegiatan TAK dilaksanakan pada 16 Maret 2021 jam 10.00 WIB. Kegiatan
dilakukan di dalam ruang tamu pemanang jiwa. Dalam pelaksanaan TAK,
jumlah Pasien berjumlah 6 orang, peserta Laki-laki 2 orang dan perempuan
4 orang sesuai dengan proposal yang telah diajukan. Dalam terapi aktivitas
kelompok perawat melakukan kontrak kepada pasien sehari sebelum TAK
dilakukan. Mempersiapkan alat dan menyeting tempat dilakukan sebelum
pasien datang di tempat pelaksanaan TAK. Suasana kegiatan TAK mulai
dari awal hingga akhir acara berlangsung aman dan nyaman, Pasien sangat
bersemangat. Pasien mampu memperagakan /mengekspresikan SP Risiko
Perilaku Kekerasan, dan Pasien mampu mengamati dengan baik jalan nya
kegiatan TAK.

Sebelum TAK dilaksanakan, leader memperkenalkan diri kepada pasien dan


leader memberikan kesempatan untuk co-leader, fasilitator dan observer
untuk memperkenalkan diri kepada pasien dan memberikan pasien
kesempatan untuk memperkenalkan dirinya masing-masing. Leader dan co-
leader saling bergantian menjelaskan peraturan terapi aktivitas kelompok,
seperti bagiamana peraturan yang di buat saat terapi aktivitas kelompok
dilaksanakan, durasi berjalannya terapi aktivitas kelompok dan memberikan
infromasi kepada pasien bahwa perawat yang berada disebelah pasien
sebagai fasilitator untuk membantu pasien selama berjalannya terapi
aktivitas kelompok.

Dalam terapi aktivitas kelompok, leader dan co-leader sudah melakukan


tugasnya untuk menjelaskan jalannya terapi aktivitas kelompok dan
memimpin jalannya terapi. Fasilitator sudah melakukan tugasnya untuk
membantu pasien selama berjalannya terapi aktivitas kelompok. Observer
telah melakukan tugasnya dengan mengamati jalannya terapi aktivitas
Jurna
l
kelompok apakah pasien mampu melakukan SP yang sudah ditentukan
terapis.

Jurna
l
3.1.1 Evaluasi Kemampuan Verbal

No Nama Menanyakan Menanyakan Menanyakan Menanyakan


Pasien nama Pasien nama panggilan ruangan hobby
1 Tn. A   X X
2 Tn. A    
3 Ny. Y    
4 Ny. R    
5 Ny. M    
6 Ny. Y    

No Aspek penilaian Tn.A Tn.A Ny. Ny. Ny. Ny.Y


Y R M
1 Dapat mengikuti      
kegiatan dengan
aktif dari awal
sampai akhir
2 Dapat      
meningkatkan
komunikasi non
verbal bergerak
mengikuti instruksi,
ekspresi wajah
cerah dan berani
kontak mata
3 Dapat      
meningkatkan
komunikasi verbal
(menyapa Pasien
lain atau perawat )

Jurna
l
4 Dapat      
meningkatkan

Jurna
l
kemampuan akan
kegiatan kelompok,
mengikuti kegiatan
dari awal sampai
akhir
5 Mampu melakukan      
hubungan social
dengan
lingkungannya
(mau berinteraksi
dengan
perawat/Pasien
lain).

3.1.2 Kemampuan Verbal : menyampaikan pribadi

No Aspek penilaian Tn.A Tn.A Ny. Ny.R Ny.M Ny.


Y Y
1 Menyampaikan X     
topic dengan jelas
2 Menyampaikan X     
topic secara
ringkas
3 Menyampaikan X     
topic yang relevan
4 Menyampaikan X     
topic secara
spontan

3.1.3 Kemampuan Verbal : memberikan pendapat tetang masalah


yang dipaparkan
No Aspek penilaian Tn.A Tn.A Ny. Ny. Ny. Ny.
Y R M Y Jurna
l
1 Memberi pendapat X     
dengan jelas
2 Mampu menebak X    X 
ekspresi wajah
3 Mampu X    X 
menjelaskan
ekspresi wajah
4 Mampu X   X X 
menjelaskan SP
resiko perilaku
kekerasan
5 Mampu X     
memperagakan SP
resiko perilaku
kekerasan

3.1.4 Kemampuan Non Verbal

No Aspek penilaian Tn. Tn.A Ny. y Ny. Ny. Ny.


A R M R
1 Kontak Mata X     
2 Gerakan Tubuh      
3 Menggunakan      
bahasa tubuh yang
sesuai
4 Mengikuti kegiatan      
dari awal sampai
akhir

Jurna
l
3.2 Respon Pasien
Respon pasien saat diberikan terapi aktivitas kelompok yaitu :

a. Kemampuan Mengontrol Risiko Perilaku Kekerasan


Pasien mengatakan mampu mengontrol emosi dengan cara tarik nafas
dalam dan pukul kasur bantal ketika sedang marah.

b. Kemampuan Patuh Minum Obat


Pasien mengatakan minum obat 2x/hari. Pasien dapat mengatakan
keuntungan dengan minum obat yaitu untuk menenangkan pikiran dan
pasien bisa tidur dengan nyenyak.

c. Kemampuan Berkomunikasi Secara Verbal


Pasien mengatakan mampu menyelesaikan masalah dengan cara
berbicara baik-baik tidak dengan amarah.

d. Kemampuan Spritual
Pasien mengatakan setiap bangun tidur atau melakukan kegiatan selalu
diawali dengan doa. Pasien selalu mengikuti kegiatan ibadah di
Yayasan pemenang jiwa sumatera.

Jurna
l
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dapat berakhir dengan hilanngya


nyawa seseorang. Dalam penanganan penyakit ini karena jiwa yang
tergangangu maka di butuhkan adalah terapi, rehabilitasi serta dengan
konseling. Upaya terbesar untuk penangan penyakit gangguan jiwa terletak
pada keluarga dan masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah bentuk
dukungan keluarga dalam mencegah kambuhnya penyakit skizofrenia
(Pitayanti, & Hartono, 2020).

Risiko perilaku kekerasan merupakan gejala dari pasien skizofrenia yang


dapat dikontrol melalui terapi Aktivitas Kelompok. Terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi merupakan terapi yang diberikan dengan menstimulus
semua panca indra pada pasien sehingga terjadi perubahan perilaku dan
memberikan respon yang adekuat. Kemampuan persepsi Pasien akan di
evaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesinya (Arisandy & Sunarmi, 2018).

Salah satu terapi modalitas yang dapat membantu membangun hubungan


pasien dengan orang lain adalah Terapi Aktivitas Kelompok, dengan terapi
aktivitas kelompok, pasien dapat bersosialisasi, mengetahui konteks
kenyataan, menyalurkan energi, dan meningkatkan harga diri, sehingga
pasien dapat mengontrol emosi (Pardede & Ramadia, 2021).

Setelah mendapatkan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi, pasien di


Yayasan pemenang jiwa sumatera terjadi peningkatan pengetahuan,
pemahaman tentang cara mengontrol emosi dan setelah mendapatkan terapi
aktivitas kelompok pasien mampu mengingat SP 1-4 dan .tahu bagaimana
cara melakukannya.

Jurna
l
4.2 Saran
Diharapkan bagi tenaga perawat menjadikan Terapi Aktivitas Kelompok
stimulasi persepsi sebagai tindakan keperawatan untuk setiap pasien dengan
masalah gangguan jiwa khusunya pasien Risiko Prilaku Kekerasan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sepalanita & Khairani
(2019), Stimulasi persepsi yang diberikan pada Pasien Risiko Perilaku
Kekerasan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan
mengenal dan mengontrol prilaku kekerasan baik secara fisik maupun secara
sosial.

Jurna
l
DAFTAR PUSTAKA

Arisandy, W., & Sunarmi, S. (2018).Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi


Persepsi Berhubungan Dengan Kemampuan Pasien Dalam Mengontrol
Perilaku Kekerasan. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan
Aisyiyah, 14(1), 83-90.https://doi.org/10.31101/jkk.553

Dwijayanti, D. A., Lestari, R. T. R., Lestari, N. K. Y., Wati, N. M. N., & Masta, I.

G. J. (2020). Peningkatan Derajat Kesehatan Mental melalui Terapi


Aktivitas Kelompok dalam Posyandu Jiwa. Jurnal Empathy Pengabdian
Kepada Masyarakat, 1(1), 18-25.
https://doi.org/10.37341/jurnalempathy.v1i1.3

Makhruzah, S., Putri, V. S., & Yanti, R. D. (2021). Pengaruh Penerapan Strategi
Pelaksanaan Perilaku Kekerasan terhadap Tanda Gejala Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi. Jurnal
Akademika Baiturrahim Jambi, 10(1), 39-46.

http://dx.doi.org/10.36565/jab.v10i1.268

Pardede, J. A., & Ramadia, A. (2021). The Ability to Interact With Schizophrenic
Patients through Socialization Group Activity Therapy. International
Journal of Health Science and Medical Research, 1(1), 06-10.
http://ijhsmr.com/index.php/ijhsmr/article/view/6

Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Hulu, E. P. (2020). Efektivitas Behaviour


Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan. Jurnal
Mutiara Ners, 3(1), 8-

14.http://114.7.97.221/index.php/NERS/article/view/1005

Jurna
l
Pardede, J. A., & Laia, B. (2020). Decreasing Symptoms of Risk of Violent
Behavior in Schizophrenia Patients Through Group Activity
Therapy. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(3), 291-

300.http://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/621/338

Pitayanti, A., & Hartono, A. (2020).Sosialisasi Penyakit Skizofrenia Dalam


Rangka Mengurangi Stigma Negatif Warga di Desa Tambakmas
Kebonsari-Madiun. Journal of Community Engagement in
Health, 3(2).https://jceh.org/index.php/JCEH/article/view/83/78

Pratiwi, I. (2020). Gambaran Asuhan Keperawatan Pemberian Terapi Aktivitas


Kelompok Stimulasi Persepsi Sesi V: Mencegah Perilaku Kekerasan
Dengan Patuh Mengonsumsi Obat Pada Pasien Skizofrenia Tahun
2020 (Doctoral Dissertation, Poltekkes Denpasar Jurusan
Keperawatan).Http://Repository.PoltekkesDenpasar.Ac.Id/Id/Eprint/2
196

Riskesdas (2018) Hasil Utama riskesdas 2018 Kementrian Kesehatan Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Sepalanita, W., & Khairani, W. (2019). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok


dengan Stimulasi Persepsi terhadap Kemampuan Mengontrol perilaku
kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi, 19(2), 426-

431.http://dx.doi.org/10.33087/jiubj.v19i2.690

Sudiasih, N. N. A. (2020). Gambaran Asuhan Keperawtan Pemberian Terapi


Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Sensori I: Mengenal Perilaku
Kekerasan Untuk Mengatasi Resiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien
Skizofrenia. Kearya tulis ilmiah, Poltekkes Denpasar Jurusan
Keperawatan. http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/id/eprint/4983

Jurna
l
KONSELING BAGI ANAK
YANG MENGALAMI PERILAKU KEKERASAN
Hesty Nurrahmi
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Pontianak Email: es4ty@yahoo.com

ABSTRACT
The violence behavior on children is often performed by the closest people of them, such as parents, family, and
school environment. There are four categories of violence acts on children: negligence, physical assault,
psychological and emotional harassment, and sexual harassment. This paper explores the counseling or the
supporting towards the children experiencing the violence behaviors. Furthermore, those behaviors include the
types of abuse acts, the causes of violence acts, and the counseling given to the children and family that
encounter the violence behaviors.

Keywords: Counseling, Children, Violence acts

PENDAHULUAN
Anak merupakan dambaan setiap pasangan yang telah menikah. Bagi pasangan yang tidak bisa
atau belum dikarunia anak, pasti akan sangat berharap hadirnya seorang anak dalam kehidupan
mereka. Melalui berbagai cara dan usaha dilakukan untuk memperoleh anak. Berbeda dengan
pasangan yang telah memiliki anak, berbagai cara memperlakukan anak, ada yang otoriter
dengan alasan sangat menyanyangi anak-anak mereka, ada yang tipe otoritatif anak
diperlakukan bebas, terbatas dan bertanggungjawab, ada lagi tipe yang selain kedua di atas
yaitu tipe permisif. Tipe ini biasanya membiarkan anak-anak mereka mengatur hidup mereka
sendiri, mungkin karena kesibukan orangtua atau tidak mengetahui cara mengasuh anak. Anak
adalah amanah atau titipan Allah SWT kepada kita. Untuk itu diperlukan ilmu dan kesabaran
dalam mengasuh, mendidik dan merawat anak.
Keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi anak (Mansur: 2005). Berawal dari
keluarga, anak belajar berbagai hal. Namun, terkadang melalui keluarga dan orang-orang
terdekat, anak memperoleh perilaku kekerasan. Kekerasan terhadap anak(menurut
Wikipedia:2015) adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau
pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan
wali atau kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat
membahayakan, atau berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada
anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah
yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada
empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak yaitu: pengabaian, kekerasan fisik,
pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak.Beberapa kasus yang memiliki
kategori kekerasanpada anak antara lain: kasus yang dialami DA (10) anak yang disetrika oleh
ibu tirinya berinisial S (33) hingga mengakibatkan luka melepuh di bagian pipi. (23 Maret
2015); Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap kalau sekolah kini bukan
tempat yang aman bagi anak. Sekolah yang seharusnya memberikan perlindungan dan
pengetahuan berganti menjadi tempat yang menakutkan bagi anak."Fenomena punishment
bermuatan kekerasan masih terjadi. Masa orientasi

159 159
siswa baru belum steril dari kekerasan," kata Susanto komisioner KPAI bidang pendidikan
kepada wartawan. Masalah bullying, lanjut Susanto masih jadi tradisi dibeberapa sekolah.
Perbuatan senior yang melakukan penindasan kepada junior dianggap biasa. "Ini diabaikan oleh
sekolah. Seolah ada pembenaran terkait muatan kekerasan itu," tambahnya. Titik-titik rawan
kejahatan seksual, lanjut Susanto di sekolah antara lain laboratorium komputer, toilet, lokasi
sekolah yang tak terekam oleh CCTV, kolam renang. "Jadi tetap harus berhati-hati saat berada
di sekolah. Bagi sekolah harus selalu evaluasi sejauh mana bisa bertindak tanpa kekerasan
dalam proses belajar mengajar," tutup Susanto. (Metro sindonws: 2015)
Selain itu, pengaduan tindak kriminal anak dan perempuan Kota Depok meningkat dibanding
tahun lalu. Pada tahun 2014 tercatat ada 113 kasus, tahun ini bertambah menjadi 204 kasus.
Anggota Komisi D DPRD Kota Depok Rezky M. Noor mengaku miris dengan meningkatnya
kasus kekerasan anak dan perempuan. Peningkatan tersebut dipicu pula oleh tingginya
kesadaran masyarakat untuk melapor ketika menjadi korban kekerasan. "Adanya peningkatan
laporan kasus ini kami rasa bukan karena tindakan kriminal melainkan karena para korban dan
warga berani melaporkan kejadian kepada pihak kepolisian," kata Rezky usai pertemuan
dengan pihak kepolisian Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Polresta Kota Depok. (Metro
Sindonews:2015)
Data pengaduan kejahatan terhadap anak yang diterima oleh Polresta Depok kekerasan
terhadap anak mencapai 36 kasus, persetubuhan terhadap anak 40 kasus, pencabulan terhadap
anak 32 kasus. "Dari temu wicara kami dengan aparat Kepolisian setiap harinya mendapatkan
sekitar 15 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan," katanya. Sebelumnya, seorang anak
tunarungu menjadi korban perkosaan tetangganya sendiri. DR, siswi kelas V sebuah SLB di
Depok diduga diperkosa ketika pulang sekolah. Saat itu korban baru saja turun dari jemputan
dan jalan kaki menuju rumahnya seorang diri. Korban kemudian ditarik pelaku ke lahan kosong
dan diduga disetubuhi.
Demikianlah beberapa kasus perilaku kekerasan pada anak yang secara kuantitas tiap tahun
menunjukkan peningkatan dan secara kualitas menunjukkan kekerasan yang parah dan
memberikan luka yang mendalam baik secara fisik maupun psikis. Masalah ini tidak dapat
dipungkiri akan berdampak yang luar biasa bagi anak baik dimasa sekarang maupun masa akan
datang. Tulisan selanjutnya akan menguraikan jenis-jenis perilaku kekerasan, penyebab
perilaku kekerasan dan bantuan konseling yang dapat diberikan bagi anak dan keluarga yang
mengalami perilaku kekerasan.

JENIS PERILAKU KEKERASAN


Beberapa penelitian, perilaku kekerasan dapat dirumuskan dalam bentuk pengabaian,
penyiksaan fisik, penyiksaan emosi dan pelecehan seksual.
1. Pengabaian, contoh kasus: Vira (24 th), punya anak tak lama setelah menikah. Ia merasa
menjadi tawaan yang tidak bebas lagi berkumpul dengan teman-teman. “Real life tak
seperti romantisme yang saya bayangkan. Kebebasan saya terampas,” ujarnya. Maka
pengasuhan bayi sepenuhnya diserahkan pada baby-sitter. Vira sendiri selalu pulang tepat
sebelum suaminya tiba di rumah, seolah seharian mengurus anak. Padahal, “Tidur, mandi,
makan, susu, bahkan uang belanja harian dan bulanan, saya serahkan sepenuhnya pada
baby-sitter. Saya tak mau tertawan.”

160 160
Pengabaian bermakna membiarkan anak tanpa memberikan pengasuhan, penjagaan dan
perhatian secara baik dan benar. Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara
pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial.
Pengabaian anak banyak dilaporkan sebagai kasus terbesar dalam kasus penganiayaan
terhadap anak dalam keluarga. Dampak fisik yang dapat dirasakan anak seperti kurangnya
asupan gizi, tidak terurusnya anak dalam segi kebersihan pakaian, dan kebersihan badan.
Sedangkan dampak emosi seperti mudah cemas, depresi, sulit percaya pada orang lain dan
merasa tidak aman; penelitian Dante Cicchetti, ahli psikopatologi dari University of Minessota
(AS) menyebut, 80% bayi yang ditelantarkan menunjukkan perilaku kelekatan yang tidak
jelas; di usia muda anak menolak dan melawan pengasuhnya, bingung, gelisah, atau cemas.
Di usia 6 tahun, anak tidak bertingkah laku layaknya anak, ia ingin mendapat perhatian
dengan cara melayani orangtuanya. Secara rinci jenis-jenis pengabaian anak:
a. Pengabaian fisik, misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang
kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
b. Pengabaian pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang
sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini
dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.
c. Pengabaian secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orangtua tidak menyadari
kehadiran anak ketika ´ribut´ dengan pasangannya. Atau orangtua memberikan
perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-anaknya.
d. Pengabaian fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orangtua gagal menyediakan layanan
medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orangtua
memberi pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali
ke layanan dokter.

Efek Pengabaian Anak


Pengaruh yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua
terhadap anak. Bayi yang dipisahkan dari orangtuanya dan tidak memperoleh pengganti
pengasuh yang memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman, gagal
mengembangkan perilaku akrab (Hurlock, 1990), dan selanjutnya akan mengalami masalah
penyesuaian diri pada masa yang akan datang. Faktor-faktor lain yang menjadi dialami anak:
a. Faktor usia anak. Semakin muda usia anak maka akan menimbulkan akibat yang lebih
fatal.
b. Siapa yang terlibat. Jika yang melakukan penganiayaan adalah orang tua, ayah atau
ibu tiri, atau anggota keluarga maka dampaknya akan lebih parah daripada yang
melakukannya orang yang tidak dikenal.
c. Seberapa parah. Semakin sering dan semakin buruk perlakuan yang diterima anak
akan memperburuk kondisi anak.
d. Berapa lama terjadi. Semakin lama kejadian berlangsung akan semakin meninggalkan
trauma yang membekas pada diri anak.
e. Jika anak mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya, dan menerima dukungan
dari orang lain atau anggota keluarga yang dapat mencintai, mengasihi dan
memperhatikannya maka kejadiannya tidak menjadi lebih parah sebagaimana jika
anak justru tidak dipercaya atau disalahkan.

161 161
f. Tingkatan sosial ekonomi. Anak pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
cenderung lebih merasakan dampak negatif dari penganiayaan anak.
2. Penyiksaan Fisik, Segala bentuk penyiksaan fisik terjadi ketika orangtua frustrasi atau
marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupa cubitan,
pukulan, tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakan-tindakan lain yang
dapat membahayakan anak. Sangat sulit dibayangkan bagaimana orangtua dapat melukai
anaknya. Sering kali penyiksaan fisik adalah hasil dari hukuman fisik yang bertujuan
menegakkan disiplin, yang tidak sesuai dengan usia anak. Banyak orangtua ingin menjadi
orangtua yang baik, tapi lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak. Efek dari
penyiksaan fisik:Penyiksaan yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan cedera serius terhadap anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun
psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust
kepada orang lain, perilaku merusak, dan lain-lain. Dan bila kejadian berulang ini terjadi
maka proses recoverynya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.
3. Penyiksaan Emosi, adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain.
Jika
hal ini menjadi pola perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya.
Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk
dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam atau ditolak
akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari penderitaan fisik. Bayi yang
menderita deprivasi (kekurangan) kebutuhan dasar emosional, meskipun secara fisik terpelihara
dengan baik, biasanya tidak bisa bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan
menjadikan bayi tumbuh dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat
perkembangannya, atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah.
Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah:
a. Penolakan, Orangtua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir
anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak
menjadi kambing hitam segala problem yang ada dalam keluarga.
b. Tidak diperhatikan, Orangtua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak
dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orangtua jenis ini mengalami problem
kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar
memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak
orangtua yang secara fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali
tidak memenuhi kebutuhan emosional anak.
c. Ancaman, Orangtua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam
jangka panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau
bahkan terancam kematian.
d. Isolasi, Bentuknya dapat berupa orangtua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan
bersama teman sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang
mendapat stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu
sampai waktu tertentu.
e. Pembiaran, Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku
kejam terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan
seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil,

162 162
membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk
juga dalam kategori penyiksaan emosi.

Efek dari Penyiksaan Emosi


Penyiksaan emosi sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang
nyata seperti penyiksaan fisik. Dengan begitu, usaha untuk menghentikannya juga tidak mudah.
Jenis penyiksaan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam
beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan,
perilaku merusak seperti tiba-tiba membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang,
beberapa melakukan agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun
kecenderungan bunuh diri.
4. Pelecehan seksual, Sampai saat ini tidaklah mudah membicarakan hal ini, atau untuk
menyadarkan masyarakat bahwa pelecehan seksual pada setiap usia – termasuk bayi -
mempunyai angka yang sangat tinggi. Bahkan Hopper (2004) mengemukakan bahwa hal
ini terjadi setiap hari di Amerika Serikat.Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi
dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan
tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang
diterimanya.Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk
dalam kategori ini:
a. Pelecehan seksual tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi,
atau
exhibitionisme, dsb.
b. Pelecehan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ seksual
orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Atau adanya penetrasi ke dalam vagina
atau anak dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis.
c. Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam
tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno.
Ada beberapa indikasi yang patut kita perhatikan berkaitan dengan pelecehan seksual yang
mungkin menimpa anak seperti keluhan sakit atau gatal pada vagina anak, kesulitan duduk atau
berjalan, atau menunjukkan gejala kelainan seksual.

Efek Pelecehan Seksual


Banyak sekali pengaruh buruk yang ditimbulkan dari pelecehan seksual. Pada anak yang masih
kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan
pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya
masalah kulit, dan lain-lain. Pada remaja, mungkin secara tidak diduga menyulut api, mencuri,
melarikan diri dari rumah, mandi terus menerus, menarik diri dan menjadi pasif, menjadi
agresif dengan teman kelompoknya, prestasi belajar menurun, terlibat kejahatan,
penyalahgunaan obat atau alkohol, dan sebagainya.

PENYEBAB PERILAKU KEKERASAN


Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan terhadap anak antara lain
immaturitas/ketidakmatangan orangtua, kurangnya pengetahuan bagaimana menjadi orangtua,
harapan yang tidak realistis terhadap kemampuan dan perilaku anak, pengalaman negatif masa
kecil dari orangtua, isolasi sosial, problem rumah tangga, serta problem obat-obat terlarang dan

163 163
alkohol. Ada juga orangtua yang tidak menyukai peran sebagai orangtua sehingga terlibat

164 164
pertentangan dengan pasangan dan tanpa menyadari bayi/anak menjadi sasaran amarah dan
kebencian.
Menurut Gelles Richard J. (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child
abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:
a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violence).
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari oran tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa
mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan
diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30%
anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada
anak anaknya.
Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang
memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan
kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orang
tua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang
dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap
anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment),
penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari
rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang
cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian
besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang
hidup dalam kemiskinan.
Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi
tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung
terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu
organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau
kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan
kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu,
keluarga keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan
penting, seperti : di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana
mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap
anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga keluarga yang suami istri sama sama
bertanggungjawab atas keputusan keputusan tersebut.

BANTUAN KONSELING BAGI ANAK YANG MENGALAMI PERILAKU


KEKERASAN
1. Periksa anak ke dokter/psikolog/psikiater untuk mengetahui tumbuh-kembangnya serta
status gizinya.

165 165
2. Penuhi kebutuhan anak untuk menumbuhkan rasa percaya dan rasa aman.
3. Ajak anak bermain dan penuhi kebutuhan emosinya seperti diajak bicara atau dibelai,
namun tetap mempertahankan sikap konsisten, tidak cepat marah dan tidak memberi
penilaian negatif pada sikap anak.
4. Untuk kasus tertentu, perlu penanganan mendalam, misalnya anak yang mengalami trauma
fisik dan psikis. Berbagai terapi atau treatment yang dapat digunakan sesuai perilaku
kekerasan yang di alami anak.
5. Untuk kasus pengabaian anak dan penyiksaan emosi, konseling yang diberikan antara lain
memberikan perhatian dan kasih sayang yang ekstra, memperbaiki komunikasi orangtua-
anak. Untuk kasus ini peran orang tua sangat penting. Konselor atau terapis hanya bersifat
mengarahkan.
6. Untuk kasus penyiksaan fisik dan pelecehan seksual, konseling yang diberikan perlu
beberapa kali konseling atau treatment, tergantung tingkat keparahan yang dialami anak.
Bagi anak-anak teknik konseling yang dapat digunakan, dapat berupa terapi bermain,
menggambar atau bercerita tergantung identifikasi kasus dan kebutuhan anak. Metode yang
dapat digunakan dapat melalui konseling kelompok maupun individual.
7. Tujuan dari teknik yang digunakan: membantu anak mengembangkan kekuatan yang
berpusat dan mengaktualisasikan diri mereka sehingga mereka dapat menghadapi dengan
lebih sukses dengan diri mereka dan lingkungannya.
Contoh kasus, dengan bantuan konseling individual:
Latar belakang informasi. St umur 10 tahun, anak tengah dari 5 bersaudara, memiliki 2 saudara
perempuan dan 2 saudara laki-laki. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan aktif dalam kegiatan
masyarakat. Ibu St mempunyai sifat yang otoriter dan disiplin yang percaya bahwa orangtua
harus “keras” dengan anak-anaknya. Orangtua St mengalami kesulitan berhubungan dengan
anak-anak mereka dan memilih untuk memperlakukan mereka sebagai miniature orang dewasa.
Semua anak mengalami masalah dalam hubungan pribadi. Anak yang besar mempunyai
masalah emosi dan sedang dalam proses penyembuhan.
Penyampaian masalah. St dikirim ke konseling karena dia berjalan kaku, gerak tubuh dan bicaranya
seperti robot, dan mengatakan bahwa teman sekelasnya adalah anak-anak dari luar angkasa.
Tingkahlakunya menjadikan St menjadi bahan tertawaan teman-teman sebayanya. St sangat
pendiam dan mengasingkan diri, dan menurut hasil sosiogram dia tidak mempunyai teman
dalam kelasnya. Gurunya hari ini menyampaikan: Hari ini St bersembunyi di belakang selama
40 menit meskipun dia harus ke kelas matematika. Tidak ada penjelasan-hanya menangis.

Pertemuan ke I (Awal): Mengembangkan Hubungan


Pertemuan awal dengan St. Selama awal pertemuan St tampak rapuh, nervous, dan sangat pucat.
Dia berbicara seperti robot untuk menunjukkan hidupnya secara detail pada planet lain. St
menyampaikan dia telah bermimpi dan dia menulis kepada orang-orang planet dan akan
mengirimnya kepada konselor. St diminta untuk menggambar. St menggambar sebuah keluarga
dengan wajah robot dengan wajah kaku, satu sama lain tidak berinteraksi. Dia menggambar
seorang tukang sihir dengan wajah yang buruk yang dia identifikasikan sebagai (Jn) anak
tertua.

Konselor menggunakan pertemuan pertama dengan memulai hubungan kerjasama dengan


orangtua anak. Ditambah dengan membentuk rapportdan mengembangkan hubungan

166 166
kerjasama
dengan anak, pertemuan awal konselor memberikan kesempatan kepada orangtua untuk
mengungkapkan masalah mereka dan mereka merasa dihargai dan dimengerti. Pada pertemuan
awal ini, konselor mendapatkan informasi tentang gaya hidup orangtua dan interaksi orangtua
dan anak. Dalam mengeksplorasi hubungan orangtua anak, konselor menemukan sebagian
besar gangguan hubungan antara orang tua dan anak.

Pertemuan ke 2 dan seterusnya dilakukan konselor sebagai proses konseling yang terdiri,
pengungkapan masalah dari anak dan keluarga, melakukan proses treatment, penyadaran diri
anak, aktualisasi diri dan sampai akhirnya St perlahan-lahan mengubah perilakunya yang kaku
seperti robot. Dia berhenti sakit dan sering menangis. Akhirnya, dia diterima oleh anak-anak
teman sebayanya dalam kelas dan mereka mulai bermain catur bersama-sama. Pada puncak
kesembuhannya, St menemukan bahwa lebih nyaman menjadi anak laki-laki daripada tetap
menjadi makhluk planet/robot.

PENUTUP
Demikianlah uraian tentang konseling terhadap perilaku kekersan pada anak dan salah satu
contoh kasus anak dengan perilaku keras atau sikap otoriter orangtua. Melalui proses konseling
yang berkali-kali dan cukup lama, serta peran serta orangtua dan keluarga, anak dapat
mengalami perubahan dan penyembuhan. Namun kesembuhan anak yang terjadi tidak berarti
anak sehat 100%, akan tetapi harus terus dibarengi dengan mengkondisikan hubungan dan
lingkungan yang sehat, tetap memberikan perhatian dan kasih sayang yang optimal. (*)

REFERENSI

Elizabeth Hurlock (1990), Child

167 167
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.3, November 2016, hal 191-199 pISSN 1410-
4490, eISSN 2354-9203
DOI : 10.7454/jki.v19i3.481

STIGMATISASI DAN PERILAKU KEKERASAN PADA ORANG DENGAN


GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI INDONESIA

Muhammad Arsyad Subu1*, Dave Holmes1, Jayne Elliot1

1. STIKes Binawan, Jakarta 13630, Indonesia

*E-mail: msubuo61@uottawa.ca

Abstrak

Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
penderita terhadap orang- orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat.
Sebaliknya, penderita mengalami kekerasan dari keluarga, masyarakat dan profesional
keperawatan. Penelitian ini bertujuan memahami dampak stigmatisasi dalam hubungannya
dengan perilaku kekerasan terhadap penderita; serta untuk mengetahui perilaku kekerasan
yang dilakukan oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian ini menggunakan Constructivist
Grounded Theory. Metode pengumpulan data termasuk wawancara semi-terstruktur, dokumen
reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan metode Paillé. Perilaku
kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan terhadap
keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang
lain. Dampak stigmatisasi dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
penderita, keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan aparat. Hasil temuan ini relevan untuk
para perawat jiwa yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku kekerasan.
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf
pemerintah terkait stigma dengan perilaku kekerasan.

Kata kunci: gangguan jiwa, perilaku kekerasan, stigma, stigmatisasi


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Abstract

Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of


stigmatization of mental illness is violent behavior conducted by patients toward other people
around them including families, nurses and communities. Conversely, patients experienced
violence conducted by families, communities and nursing professionals. This study aims to
understand the effects of stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to
investigate violent behavior committed by sufferers against other people. This study used
Constructivist Grounded Theory. Methods of data collection are semi-structured interviews,
document review, field notes, and memos. Data analysis used Paillé. Violent behavior is the
effect of stigmatization including self-harm and violence against families, communities and
health professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The impact of
stigmatization is manifested by violent behavior committed by patients, families, staff,
community and authorities. Findings are relevant to psychiatric nurses who provide care to the
patients with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of families,
communities and government to understand stigma in relation to violent behavior.

Keywords: Mental Illness, violent behavior, stigma, stigmatization

Pendahuluan
Para ahli memperkirakan 15% populasi global akan memiliki masalah gangguan jiwa tahun
2020 (Harpham, et al., 2003). Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak hanya mengala- mi
dampak akibat gejala dan penyakit, tetapi juga stigmatisasi (Kapungwe, 2010). Prevalen-

si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7 per 1000 dan ODGJ ringan sekitar 6% dari total
populasi (Kemenkes, 2013). Tujuh puluh lima persen ODGJ mengalami stigma dari masyara-
kat, pemerintah, petugas kesehatan dan media (Hawari, 2001). Perilaku kekerasan ODGJ
menjadi penyebab utama stigmatisasi di ma- syarakat dan tenaga kesehatan.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan & Watson, 2005). Profesional dalam pelaya-
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien dalam
keperawatan jiwa yang lebih tinggi (Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku kekerasan
merupakan kejadian umum di RS (Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se- bagian besar
perawat, beresiko menjadi korban kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- Pierre, 2012).
ODGJ menghadapi stigmatisasi yang menyebabkan mereka rentan terhadap perilaku
kekerasan orang. ODGJ lebih sering menjadi korban daripada pelaku kekerasan (Stuart,
2004), menjadi korban fisik dan seksual (Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor- ban kejahatan
dan diskriminasi (Katsikidou, et al., 2012). Sepu-luh persen penderita adalah korban
kekerasan (Schomerus, et al., 2008).

Suatu penelitian di Australia mengungkapkan bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah mengalami serangan fisik dan 57% setelah
mengalami kekerasan seksual (McFarlane, Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke- kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke- luarga
dan bukan orang asing. Mereka sering dipukul atau diancam oleh anggota keluarga mereka
(Katsikidou, et al., 2012; Solomon, Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur intensif
mengungkapkan bahwa penelitian tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum fokus pada
dampaknya terhadap perilaku ke- kerasan pada ODGJ. Penelitian ini mem- berikan analisis
mendalam untuk memahami hubungan antara stigmatisasi dengan perilaku kekerasan pada
ODGJ.

Metode
Penelitian ini memberikan pemahaman subs- tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan

perilaku kekerasan di kalangan ODGJ dewasa Indonesia dengan menggunakan Constructivist


Grounded Theory (CGT). CGT diperkenalkan pertama kali oleh Kathy Charmaz. CGT kon-
sisten dengan epistemologi dan ontologi ‘konstruktivisme’ yang memprioritaskan pada
fenomena penelitian dan melihat data dan analisisnya sebagai hal yang dibuat dari pengalaman
bersama peneliti dengan partisi- pan dan sumber lainnya" (Charmaz 2006, p.330). Desain
penelitian ini lebih pada pen- dekatan objektivis, dan peran peneliti adalah menemukan
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
kebenaran yang ada di dalam objek penelitian dan meminimalisasi ‘keku- atan’ (Charmaz,
2006, p. 331).

Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem- puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak 30
partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk memastikan saturasi data (Charmaz, 2006). Para
partisipan hanya yang memiliki kemam- puan membaca dan menulis, berusia 18 tahun atau
lebih, mengalami gangguan jiwa dan stigma.

Pengumpulan data melalui wawancara semi- berstruktur yang direkam menggunakan digital
audio. Telaah dokumen juga digunakan seba- gai triangulasi data untuk meningkatkan pro-
babilitas kredibilitas interpretasi data (Lincoln & Guba, 1985). Dokumen tersebut berupa
hardcopy dan elektronik seperti laporan, log perawat, pre dan post konferensi, moto, visi dan
misi RS. Memo digunakan untuk mendo- kumentasikan pengalaman dalam laporan ker- tas
yang menjelaskan proses berpikir peneliti. Catatan lapangan dari observasi dan refleksi data,
merupakan bagian dari pendekatan ref- leksif proses analitis data (Charmaz, 2006).

Analisis data menggunakan metode Paille (1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
menghubungkan kategori, integrasi, konsep- tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan Cowley
(2004) terdapat tiga tahapan analisis yaitu koding awal, fase menengah, dan

pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi (koding awal), menghubungkan kategori dan
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi dan teorisasi (pengembangan akhir). Tahap
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam bentuk
kode secara terorganisir (proses pembentukan kode). Tujuannya adalah mem- beri nama,
mengungkap, meringkas dan mem- beri label, baris demi baris, dari data trans- kripsi.
Kodifikasi ini membantu mengidenti- fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal dan
pembentukan kategori. Tahap kategorisasi adalah untuk menggambarkan fenomena se- cara
umum atau peristiwa yang muncul dari data yang kemudian dibuat daftar kategori. Tahap ini
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
adalah untuk menentukan kategori dengan mengidentifikasi variasi dalam data dapat
dijelaskan dengan kategori lain. Tahap integrasi adalah menentukan fenomena- fenomena
yang telah diamati secara empiris. Dengan mengintegrasikan hubungan antara kategori,
peneliti mengidentifikasi kongruensi tertentu yang muncul antara data dan arah penelitian
yang diambil selama analisis. Tahap konseptualisasi adalah proses pengembangan dan
klarifikasi konsep-konsep yang muncul dan menjelaskan konsep tersebut dengan kata- kata
dan untuk memberikan definisi konsep- tual secara verbal. Proses ini memungkinkan peneliti
untuk memahami fenomena penelitian dan kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori- sasi
merupakan proses konstruksi untuk me- nguatkan teori atau pemahaman susbstantif. Tidak
semua penelitian grounded theory menghasilkan teori; akan tapi pemahaman yang mendalam
dan substantif merupakan hasil akhir dari sebuah penelitian dengan grounded theory Charmaz
(2006).

Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran,
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data dari berbagai
sumber diantaranya melalui wawancara, cata- tan lapangan, dan memo. Koding data dengan

kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng- gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
pengalaman partisipan terkait stigma dengan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan kata-
kata partisipan yang sebenarnya untuk menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti- kulasikan
dengan asumsi, posisi epistemologis dan teoritis yang memengaruhi proses peneli- tian.
Dilakukan evaluasi diri sebagai instrumen dan melihat efek peneliti yang dilakukan melalui
refleksi diri dan memoyang ditulis dalam jurnal.

Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
dengan jelas proses berpikir peneliti (Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini, auditabilitas
dilakukan dengan kriteria untuk merumuskan pemikiran, bagaimana dan mengapa para
partisipan dalam penelitian ini dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu- nakan kerangka
yang disajikan oleh Paille (1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang- kah dalam analisis
data dan memastikan bah- wa pembaca dapat memahami bagaimana data itu didapatkan atau
dibentuk oleh partisipan dan peneliti.

Fittingness atau transferabilitas berarti hasil penelitian memiliki arti yang sama pada situasi
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
serupa (Chiovitti & Piran, 2003). Dalam penelitian ini, selama proses koding, semua data yang
dibuat kode telah diperiksa oleh seorang pakar lain untuk melakukan cek eksternal yang
terkait dengan hasil penelitian.

Hasil
Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri. Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja menyakiti
diri sendiri. Seorang pasien meng- gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial menyebabkan
ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri. Rasa takut terhadap orang lain juga menjadi
pencetus ide bunuh diri.
“...kadang saya tidak bisa mengendalikan diri sampai saya berkeinginan bunuh diri. Saya
mencoba bunuh diri tiga kali dengan

minum racun tapi saya tidak mati ... Dengan penyakit jiwa, kepercayaan diri saya rendah.
Saya merasa bingung; dengan orang lain, saya takut. Saya takut melihat orang lain.“ (P1).

Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain dan Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah
melakukan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga atau kerabat.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga dan saya menjadi beban keluarga saya. Karena
kesulitan dalam hidup, saya harus berada di sini (RSJ). Otak saya punya banyak masalah. Jadi,
saya marah dan melakukan kekerasan di rumah dan selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” (P1).

Pasien yang melakukan kekerasan sering disembunyikan oleh keluarga, sehingga mereka
terisolasi di masyarakat.
“L [teman] punya keluarga dengan penyakit jiwa; jika [pasien] melakukan kekerasan, ia
menghancurkan atap, rumah, dll. Jadi keluarga merahasiakan dan menyembunyikannya.
Mereka [pasien dan keluarga] jarang diundang oleh masyarakat. Jadi, mereka terisolasi.
Mereka terpinggirkan... stigmakan?” (P11).

Pasien juga melakukan kekerasan terhadap fasilitas umum, dan menghancurkan barang-
barang.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
“Saya melemparkan asbak. Ceritanya, saya kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar dengan angsuran.
Seratus, lima puluh, uang saya dari BJB lebih banyak... Saya marah; Saya tidak bisa
mengendalikan diri. Saya jadi marah, seperti itu. Kemudian, saya dibawa ke sini (RSJ).”
(P13).

Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi. Pasung dan seklusi masih digunakan untuk menangani
penderita gangguan jiwa. Beberapa perawat menunjukkan bahwa ada pasien diikat, dirantai,
atau dimasukkan ke dalam

balok kayu.
“Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ. Banyak sekali kita menerima pasien yang telah
dipasung, terikat, dirantai, dimasuk- kan ke dalam balok kayu; tapi, ada juga pasung, seperti
menempatkan penderita di ruangan kecil dan dikasih makanan sekali sehari. Beberapa pasien
tidak bisa ber- jalan, kurus dan kurang gizi. Mereka tidak dapat berbicara. Keluarga mereka
kaya; jika mereka ingin membawa pasien ke RS, saya yakin mereka mampu” (P13).

Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga mengakui
beberapa pasien yang memiliki riwayat pasung di rumah karena mereka melakukan kekerasan,
mereka menggang- gu masyarakat. Mungkin [mereka] tidak tahu cara merawat orang dengan
penyakit jiwa. Hal ini masuk akal juga, kan? Mungkin lebih baik bagi mereka untuk
menyelamatkan orang-orang daripada merawat ODGJ.” (P9).

Perawat lain mengatakan bahwa beberapa pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar negeri.
Mereka dikurung oleh keluarga saat mereka kembali.
“Mereka dikait di pilar besar. Ada yang diletakkan di kandang kambing atau ayam. Mereka
dikurung seperti kambing. [Pasien] buang air besar, makan disitu, seperti binatang. Ini bukan
cerita tapi saya melihatnya langsung; Saya itu saksi kondisi ini. Enam pasien telah dibawa ke
RS. Ya, beberapa dari daerah ini mengirimkan banyak pekerja di Jawa Barat. Jadi mereka
stres karena mereka bekerja di Arab Saudi. Mereka stres, dan kembali ke Indonesia dikurung
oleh keluarganya.” (P15).

Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di
masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah penyakit jiwa (P1).

Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ,
melanggar hak-hak seseorang.
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada dasarnya, mereka tidak jahat. Namun, orang-orang
melakukan kejahatan terha- dap mereka, seperti pasung. Mereka mengambil hak saya. Saya
dipasung karena apa? Saya dipasung bukan untuk pemulihan. Tapi, saya dipasung untuk
membuat saya "gila." Hal ini lebih menyakitkan benar.” (P14).

Kekerasan oleh Pengobatan Tradisional. Banyak ODGJ yang mendapatkan pengobatan


tradisional mengalami kekerasan dari terapis. Pasien mengalami terapi alternatif yang ber-
sifat abuse, seperti ditenggelamkan, dicambuk, atau dimandikan paksa.
“Ya, saya dimandikan tengah malam. Dukun menggunakan ilmu sihir...[tidak jelas],
memukuli saya. Saya dimandikan jam satu malam. Saya tidak tidur. Badan saya dikocok
kocok seperti kambing. Saya disana satu setengah bulan, namun saya tidak sehat, saya tidak
lebih baik.” (P2).

Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah satu pasien menceritakan pengalamannya ditahanan
di kantor polisi. Pasien lain diborgol oleh polisi karena perilaku kekerasannya.
“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol saya. Ibu saya meminta bantuan polisi untuk
memborgol saya. Tapi belenggu borgol rusak. Lihat ini [bekas luka di tangannya].” (P15).

Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik terhadap
pasien. Metode pengikatan, pengeka- ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan

perawat.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
“Saya ngamuk. Saya dipukulin di K [bangsal). Kepalaku dipukul kursi lipat. Ya, tangan dan
kaki diikat karena melakukan kekerasan. Saya tidak melakukan kesalahan tapi diborgol.
Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga diborgol oleh staf bangsal K.” (P2).

Pasien dengan perilaku kekerasan yang membahayakan akan diisolasi sebagai metode
pengendalian.
“Staf (RSJ) menganggap orang gila itu sumber bahaya… mereka nganggap orang gila itu
benar-benar gila, bukan manusia; harus dihapuskan, harus diba- kar, harus ditendang, dan
ditekan, dan harus ditempatkan di ruangan gelap seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi, saya
seperti babi diseret.” (P9).

Seringkali petugas keamanan dan perawat bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
kekerasan.
“Semuanya dihancurkan, TV rusak. Teman saya di S (bangsal) telah meng- hancurkan TV.
Sekarang, dia ada di sini, di bangsal K. Pasien dengan kasar diseret oleh petugas keamanan.
"Ayo kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa. "Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
diperlakukan seperti itu.” (P2).

Seorang perawat mengatakan bahwa umumnya pasien baru di RSJ diikat.


“Jika pasien datang ke rumah sakit sangat mudah marah, beberapa pasien ini terikat; ada pula
yang diborgol. Jika pasien datang dengan kurang atau tidak marah, mereka tidak terikat. Jadi,
jika pasien berada dalam kondisi marah ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika mereka
tidak benar-benar marah, mereka tidak diikat oleh orang lain. Mereka dibawa oleh keluarga
atau polisi kesini. Ya, polisi. Seperti itu. Jika pasien baru, sebagian besar mereka datang
dengan terikat.” (P6).

Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan akibat
kekerasan dari terapi dan pengobatan alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang telah
dibawa ke dukun mengungkapkan:
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di daerah terpencil di Jawa, dan tempatnya sangat gelap.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Saya takut. Dia itu mantan pasien sakit jiwa. Dia mengatakan: "Ini penyakit gila. Ini
psikopat". Saya ingin melarikan diri. Saya takut benar melihat kapaknya. Saya sangat stres, itu
pengo- batan yang aneh.” (P3).

Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika penderita di rumah,
“Ya, karena malu juga, karena sebagian besar penderita mengganggu masyarakat. Umumnya,
pasien laki-laki mengganggu komunitas dan anggota keluarga merasa ga nyaman dengan
tetangga. Mereka takut jika pasien melakukan kekerasan lagi” (P11).

Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ dengan riwayat perilaku kekerasan membuat takut
masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan diisolasi oleh teman dan masyarakat.
“Teman-teman merasa takut. Mereka
takut pada saya. Mereka takut berdebat dengan saya karena saya orang sakit jiwa. Ya,
argumen saya tidak diterima; tidak dipahami oleh mereka. Misalnya, jika saya berbicara
benar, mereka harus nurutin saya ” (P5).

Pembahasan
Hubungan antara gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan adalah penyebab utama
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa- sien
melakukan kekerasan di keluarga dan komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5

kali lebih banyak dari populasi umum (Corrigan & Watson, 2005). Seringkali, kekerasan yang
dilakukan ODGJ diarahkan pada orang yang mereka kenal, terutama anggota keluarga
(Wehring & Carpenter, 2011).

Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya
untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke- rasan mandiri meliputi ide atau percobaan
bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy- Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
Risiko menyakiti diri sendiri meningkat terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ODGJ juga melakukan kekerasan terhadap perawat.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Hasil ini didukung oleh beberapa studi. Perawat adalah profesi yang paling rentan menjadi
target kekerasan (Holmes, et al., 2004; Inoue, et al., 2006), sebagian besar perawat mengalami
kekerasan selama karir mereka (Inoue, et al., 2006; Landy, 2005).

Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi- laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al., 2012).
Di Taiwan, abuse terhadap pasien ODGJ lebih tinggi dari pada populasi (Hsu dkk., 2009).
Interaksi antara polisi dan ODGJ kadang-kadang terkait dengan perilaku keke- rasan (Cotton
& Coleman, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
hubungan erat antara perilaku kekerasan yang dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men- ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje & Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
takut berada di sekitar ODGJ (Canadian

Medical Association, 2008). Banyak yang menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an-
caman bagi keselamatan umum (Jorm & Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami perawat
dapat memengaruhi hubungan pera- wat dengan pasien, yang menghambat pem- berian
asuhan keperawatan (Jacob, 2010).

Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat dipengaruhi oleh media massa yang berperan
membentuk opini masyarakat. Penggambaran ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, 2003).

Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa perilaku kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada- lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan para perawat. Hasil penelitian memberikan
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya- nan keperawatan jiwa di Indonesia.

Sangat penting memasukkan materi stigma- tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen-
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan akan menghadapi risiko perilaku kekerasan dari
pasien jika bekerja di area keperawatan jiwa. Keperawatan jiwa merupakan area yang bersiko
mendapatkan ancaman dan kekerasan sehingga seringkali membenarkan beberapa jenis
intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau pengasingan yang merugikan hubungan pera- wat
dengan pasien.

Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat
pemerintah memandang stigma terkait perilaku kekerasan pada ODGJ. Program kampanye
anti-stigma akan mengurangi konsekuensi ne- gatif stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke-
kerasan di Indonesia. Program ini perlu di- sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga dapat
mengurangi akibat negatif dari stigma gangguan jiwa (SH, INR, PN).

Referensi
Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding the link between discrimination, mental
health outcomes, and life chances among Latinos. Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28
(2), 245–266.

Arboleda-Florez, J. (2003). Considerations on the stigma of mental illness. Canadian Journal


of Psychiatry, 48 (10), 645–650.

Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of public and self-stigma to seeking mental
health services. Journal of Mental Health Counseling, 33 (2), 161–176.

Canadian Medical Association (2008). 8th Annual national report card on health care. Ottawa
ON: Canadian Medical Association.

Charmaz, K. (2006). Constructing grounded theory: A practical guide through qualitative


analysis. London: Sage Publications.

Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and grounded theory research. Journal of
Advanced Nursing, 44 (4), 427–435.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings from the national comorbidity survey on the
frequency of violent behavior in individuals with psychiatric disorders. Psychiatry Research,
136, 153–162.

Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian police agencies and their interactions with
persons with a mental illness: A systems approach. Police Practice and Research, 11 (4), 301–
314.

Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A., Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann.
J.J.(2003). Suicide attempts in schizophrenia: The roleof command auditory hallucinations for
suicide. Journal of Clinical Psychiatry, 64, 871–874.

Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas, E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M.
(2003). Measuring health in cost effective manner. Health Policy and Planning, 18 (3), 344.

Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a grounded theory approach: A comparison of
Glaser and Strauss. International Journal of Nursing Studies, 41 (2), 141–150.

Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. (2012). Introduction (re) thinking violence
in health care settings: A critical approach. In Holmes, D., Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re)
Thinking violence in health care settings: A critical approach. Surrey: Ashgate Publishing,
Ltd.

Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I.,
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of persons with severe mental illness in Taiwan.
Aealand Journal of Psychiatry, 460–466.

Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., & Okamura, H. (2006). Psychological
impact of verbal abuse and violence by patients on nurses working in psychiatric departments.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Psychiatry and Clinical Neurosciences, 60(1), 29–36.

Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic psychiatry: nurse-patient interactions in a
secure environment. Doctoral Dissertation School of Nursing University of Ottawa, Canada:

Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s stigmatizing attitudes towards people with
mental disorders: how important are biomedical conceptualizations? Acta Psychiatrica
Scandinavica, 118 (4), 315–321.

Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape, Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010).
Mental illness - stigma anddiscrimination in Zambia. African Journal of Psychiatry, 13, 192–
203.

Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M., Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K .,
&Livaditis, M. (2012). Victimization of the severely mentally ill in Greece: The extent of the
problem. International Journal of Social Psychiatry, 59 (7), 706–715.

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Landy, H. (2005). Violence and aggression: How nurses perceive their own and their
colleagues risk. Emergency Nurse, 13, 12–15.

McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C. (2004). The prevalence ofvictimization and
violent behaviour in the seriously mentally ill (Theses, University of Adelaide). Department of
Psychiatry, University of Adelaide, Adelaide, Australia.

Paillé, P. (1994). L’analyse par théorisation ancrée.


Cahiers de recherche sociologique, 23, 147–
181.

Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in qualitative research. Advances in Nursing


Science, 8 (3), 27–37.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C., Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T.,
&Toumi, M. (2008). Urban residence, victimhood and the appraisal of personal safety in
people with schizophrenia: Results from the European Schizophrenia Cohort (EuroSC).
Psychological Medicine, 38 (4), 591–597.

Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J. (2005). Family violence amongadults with
severe mental illnesses. Trauma, Violence and Abuse, 6 (1), 40–54.

Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre, L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M.
(2007). Cross-national differences in relationships of work demands, job satisfaction and
turnover intentions with work–family conflict. Personnel Psychology, 60, 805–835.

Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare papers, 5(2), 100–111.

Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., & Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide
ideation and behaviour in recent onset schizophrenia. Social Psychiatry and Psychiatric
Epidemiology, 39, 927–937.

Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., & Weiner, D.A. (2005). Crime victimization
in adults with severe mental illness. Archives of general psychiatry, 62, 911–921.

Wehring, H.J., & Carpenter, W.T (2011). Violence and schizophrenia.Schizophrenia Bulletin,
37 (5), 877–778.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Development. Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill, Inc. Sri Esti W.D (2005) Konseling
dan Terapi dengan Anak dan Orangtua, Jakarta: Grasindo.

Mansur, (2005). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/balita/psikologi/contoh.kasus.kekerasan.terhadap.anak.da
n.dampaknya/001/007/430/1/1 1 april 2015

http://www.smallcrab.com/anak-anak/550-beberapa-jenis-kekerasan-pada-anak 1 april 2015

http://metro.sindonews.com/read/980860/170/bocah-10-tahun-disetrika-ahok-ibu-tiri-lebih-
kejam-dari-ibu-kota-1427199973 24 maret 2015 di ambil 1 april 2015

http://metro.sindonews.com/read/936149/31/kasus-kekerasan-anak-di-depok-meningkat-
1418307744
http://yosephineyohana.blogspot.com/2013/09/penyebab-kekerasan-terhadap-anak-pi-gw.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

PENELITIAN
PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN
GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Token Ekonomi adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang
diinginkan dan pengurangan perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di
LKS-ODK Kemiling Bandar Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini
adalah quasy experimental dengan rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak
20 orang, dipilih dengan purposive sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil
yang didapat adalah rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi
token adalah 20,05, dan rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi
token adalah 36,20. Hasil uji dependen sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan sebelum dan setelah dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas
kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan
jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan menerapkan terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara
terprogram dan terstruktur.

Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi

LATAR BELAKANG cenderung terjadi peningkatan gangguan


jiwa.
Gangguan jiwa menurut American Perilaku kekerasan adalah suatu
Psychiatric Assosiation dalam Diagnostic bentuk perilaku yang bertujuan untuk
and Statistic Manual of Mental (DSM) IV- melukai seseorang secara fisik maupun
TR (2000 dalam Townsend, 2009) adalah psikologis bisa dilakukan secara verbal,
sindroma perilaku yang secara klinik diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
bermakna atau sindroma psikologis atau lingkungan.
pola yang dihubungkan dengan kejadian Ketidakmampuan yang terjadi pada
distres pada seseorang atau klien gangguan jiwa dikaitkan dengan
ketidakmampuan atau peningkatan secara disabilitas akibat gangguan jiwa berat yang
signifikan resiko untuk kematian, sakit, dialami. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
ketidakmampuan atau hilang rasa bebas. Dasar Tahun 2013 yang menyebutkan
Gangguan jiwa mencapai 13% dari bahwa gangguan jiwa mencapai 1,7%
penyakit secara keseluruhan dan ke meningkat dari tahun 2007 sebesar 0,46%.
kemungkinan akan berkembang menjadi Wilayah paling banyak dengan kasus
25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga gangguan jiwa adalah Daerah Istimewa
berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali,
90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap dan Jawa Tengah (Kemenkes RI. 2014).
tahunnya akibat gangguan jiwa (WHO, Berdasarkan wawancara dengan perawat
2015). Gangguan jiwa ditemukan di semua ruangan pada tanggal 7 Mei 2016,
negara, terjadi pada semua tahap didapatkan data bahwa jumlah pasien
kehidupan, termasuk orang dewasa dan rawat inap ada 70 pasien gangguan jiwa
dan didapatkan 80% mempunyai riwayat
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
perilaku kekerasan atau sekitar 56 pasien Variabel independen dalam
yang memiliki riwayat perilaku kekerasan. penelitian ini adalah penelitian ini adalah
Salah satu terapi yang dapat kemampuan mengontrol perilaku terapi
dilakukan perawat untuk mengontrol token. Variabel dependen dalam
perilaku kekerasan adalah dengan kekerasan. Analisis univariat dilakukan
diberikan terapi kognitif, terapi keluarga, untuk mengetahui kemampuan mengontrol
terapi perilaku : token ekonomi (Susana, perilaku kekerasan klien menggunakan
2012). Perilaku ini dipilih peneliti sebagai analisis yaitu mean, median, standar
pendamping terapi psikofarmaka untuk deviasi. Analisa bivariat dilakukan untuk
meningkatkan perilaku dalam mengontrol membuktikan hipotesis penelitian
perilaku kekerasan. menggunakan uji dependen sample t-test.
Terapi token ekonomi dianggap
efektif dalam merubah tingkah laku klien,
terapi ini dengan memberikan klien HASIL
imbalan atas perilaku yang diharapkan dari
klien dan mampu dilakukannya. Kegiatan Analisis Univariat
ini dapat dilakukan dengan memberi token
(permen, uang, atau makanan) bila klien Responden dalam penelitian ini
sukses mengubah perilakunya. berjumlah 20 orang dengan karakteristik
Berdasarkan uraian diatas, maka usia sebagian besar berusia 31-40 tahun
perilaku kekerasan merupakan gangguan (65%) dan berusia 19-30 tahun (35%).
jiwa yang membutuhkan perawatan Berdasaekan jenis kelamin sebagian besar
intensif karena dapat menciderai diri, responden berjenis kelamin laki-laki
oranglain dan lingkungan. Salah satu terapi (70%). Sedangkan berdasarkan lama rawat
yang dapat digunakan adalah terapi responden sebagian besar dirawat dalam
perilaku token ekonomi yang dianggap kurun waktu 11-25 tahun (60%).
efektif dalam merubah tingkah laku klien,
terapi ini dengan memberikan klien Tabel 1: Distribusi Responden Berdasar-
imbalan atas perilaku yang diharapkan dari kan Kemampuan Mengontrol
klien dan mampu dilakukannya. Perilaku Kekerasan Sebelum dan
Sesudah Terapi Token

METODE Kemampuan mengontrol Pre test Post test


perilaku kekerasan f % f %
Desain yang digunakan dalam Tidak mampu mengontrol 13 35 6 30
penelitian ini adalah quasy Mampu mengontrol 7 65 14 70
experimentaldengan rancangan pretest- Jumlah 20 100 20 100
posttest one group design. Ciri dari desain
penelitian ini dengan memberikan Berdasarkan tabel di atas diketahui
intervensi kepada responden yang akan bahwa distribusi frekuensi kemampuan
dilakukan terapi token. Sampel penelitian dalam mengontrol perilaku kekerasan
yang diteliti adalah klien yang dirawat inap sebelum dilakukan terapi 7
dengan perilaku kekerasan dengan respondenmampu mengontrl dan setelah
memperhatikan kriteria inklusi sebanyak dilakukan terapi token kemampuan
20 orang dipilih dengan purposive mengontrol perilaku kekerasan meningkat
sampling. InstrumenVyang digunakan menjadi 14 responden mampu mengontrol
berupa lembar observasi. perilaku kekerasan.
Waktu penelitian dilakukan pada
tanggal 20-30 Juli 2016. Tempat penelitian
ini dilaksanakan di LKS-ODK Ekspsikotik
Kemiling Bandar Lampung.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Tabel 2: Distribusi Rata-rata Kemampuan Berdasarkan dari jenis kelamin,
Mengontrol Perilaku Kekerasan didapatkan bahwa distribusi frekuensi jenis
Sebelum dan Sesudah Terapi kelamin pada pasien perilaku kekerasan
Token lebih banyak pada katagori laki-laki
sebanyak 14 dengan persentase 70%. Hal
Kemampuan ini menunjukkan bahwa terjadinya perilaku
Min-
mengontrol Mean Median SD kekeasan lebih banyak dilakukan oleh
Maks
perilaku kekerasan
Sebelum dilakukan datang.
20,05 18,00 7,02 12-32
terapi token
Sesudah dilakukan
36,20 39,50 11,23 16-50
terapi token

Berdasarkan tabel di atas rata-rata


skor kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan sebelum dilakukan terapi token
sebesar 20,05 dengan standar deviasi
sebesar 7,02. Skor terendah 12 dan
teringgi 32. Sedangkan sesudah dilakukan
terapi token menjadi sebesar 36,20 dengan
standar deviasi sebesar 11,23. Skor
terendah 16 dan tertinggi 50.

PEMBAHASAN

Jika dilihat dari segi usia,


berdasarkan hasil penelitian, distribusi
frekuensi umur pasien perilaku kekerasan
lebih banyak pada kategori usia 31-40
tahun sebanyak 13 orang dengan
persentase 65% dan usia 19-30 tahun
sebanyak 7 orang dengan persentase
(35,0%).Data ini menunjukkan klien yang
mengalami perilaku kekerasan lebih
banyak pada klien usia produktif. Hal
inisejalan dengan konsep Niven (2002)
bahwa seseorang yang memiliki usia muda
lebih patuh daripada usia tua. Hal ini
memungkinkan karena usia muda memiliki
kapasitas dan fungsi memori yang lebih
baik untuk menerima informasi tentang
pengobatan. Struat dan Laraia (2009)
menyatakan usia berhubungan dengan
pengalaman seseorang dalam menghadapi
berbagai macam stresor, kemampuan
memanfaatkan sumber dukungan dan
keterampilan dalam mekanisme koping.
Dapat disimpulkan bahwa usia
berhubungan dengan individu dan
kemampuan mengambil keputusan dalam
menyelesaikan setiap masalah yang
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
Keperawatan
klienhlm.
2018, dengan jenis
137–143 kelamin laki-laki. Hal
ini sejalan dengan teori Al-saffar dan
Saeed (2007), mengatakan bahwa laki-laki
lebih sering di diagnosis sebagai
gangguan jiwa dibanding perempuan.
Pada umumnya laki-laki dan perempuan
mempunyai resiko yang sama untuk
menderita gangguan jiwa berat namun,
derajat keparahan gangguan jiwa berat
lebih besar pada laki-laki. Jenis kelamin
mempengaruhi kemampuan mengontrol
diri, dikatakan pria lebih temperamental
dari pada wanita yang dikatakan lebih
sabar dalam mengontrol perilakunya.
Berdasarkan lama dirawat,
Berdasarkan hasil penelitian di dapat
bahwa distribusi frekuensi lama di rawat
pada pasien perilaku kekerasan diketahui
lebih banyak pada 11-25 tahun sebesar
(60%). Menurut teori Noviadi (2008) yang
dikutip oleh Aristina Haalwa (2014) yang
menyatakan bahwa semakin lama pasien
dirawat makasemakin banyak pasien
tersebut mendapatkan terapi pengobatan
dan perawatan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pasien yang sudah
lama dirawat maka kemampuan dalam
mengontrol perilaku kekerasan dirinya
maka semakin baik.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa rata-rata skore
kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan sebelum dilakukan TAK dan
terapi token sebesar 20,05 dan rata-rata
skore kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan setelah dilakukan TAK dan
terapi token sebesar 36,20. Dari hasil uji
paired sample t-test di peroleh p value
0,00<0,05, artinya Ho ditolak dan Ha
diterima, ada pengaruh terapi token
ekonomi terhadap kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan pada
pasien rawat inap di LKS-ODK
Ekspsikotik Kemiling Bandar Lampung
Tahun 2016.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Menurut Parendrawati (2009) bahwa menarik nafas dalam dan pukul bantal.
metode pemberian reward atau Secara verbal, bagaimana cara meminta
reinforcementpositif memiliki pengaruh dengan baik, menolak dengan baik,
berarti terhadap peningkatan perilaku. menerima dengan baik, dan permintaan
Menurut Stuart & Laraia, (2009) untuk maaf. Secara spiritual, sholat dan berdoa
meningkatkan pengetahuan dan perilaku tanpa harus menyalahkan Tuhan dengan
seseorang dapat dilakukan dengan keadaan yang seperti ini. Dan patuh
memberikan dasar pengetahuan yang kuat minum obat, apa manfaat patuh minum
dan pemberian reinforcement positif atau obat bagi klien, cara minum obat dengan
pemberian reward. Strategi lain untuk prinsip 5 benar. Informasi yang sudah
mengubah perilaku secara efektif adalah diberikan ini untuk merubah perilaku klien
dengan token ekonomi. Hasil penelitian selain pemberian informasi terapi perilaku
yang didapat juga didukung oleh teori token juga diperkuat dengan pemberian
Nasir dan Muhith (2011) salah satu terapi reward yang berupa hadiah, yang
perilaku untuk merubah perilaku adalah didapatkan ketika responden mampu
dengan pemberian token ekonomi yaitu menunjukan kemampuan mengontrol
reinforcement positif yang sering perilaku kekerasan. Pemberian token
digunakan pada klien psikiatri. Terapi (hadiah) ini dilakukan segera setelah klien
perilaku token ekonomi merupakan suatu mampu mengontrol perilaku kekerasan dan
wujud modifikasi perilaku yang dirancang memiliki nilai tertinggi, dengan hadiah
untuk meningkatkan perilaku yang yang telah disediakan peneliti, hal ini
diinginkan dan pengurangan perilaku yang menyebabkan klien merasa dihargai atas
tidak diinginkan. perilaku yang mereka lakukan sehingga
Hasil ini sejalan dengan penelitian klien akan mengulangi perilaku tersebut
yang dilakukan oleh Suardika (2012), sehingga terjadi perubahan perilaku yaitu
dengan judul penelitian “Pengaruh Terapi klien menjadi mampu dalam mengontrol
Token Ekonomi terhadap Kemampuan perilaku kekerasannya.
Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Hasil penelitian ini menunjukkan
Klien Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit setelah dilakukan terapi perilaku token
Jiwa Provinsi Bali”.Hasil penelitian ini ekonomi, kepatuhan minum obat pada
membuktikan ada perbedaan kemampuan klien skizofrenia mengalami peningkatan.
klien mengontrol perilaku kekerasan pre Terjadinya perubahan perilaku menjadi
test dengan post test pada kelompok patuh minum obat setelah diberikan terapi
perlakuan sebelum dan sesudah perilaku token ekonomi karena pada saat
mendapatkan terapi token (p value <0,05). pelaksanaan terapi perilaku token ekonomi
Terapi token ekonomi dianggap ini klien diarahkan dan diajarkan terlebih
efektif dalam merubah tingkah laku klien, dahulu perilaku yang akan dirubah, dan
terapi ini dengan memberikan klien klien akan diberikan reward
imbalan atas perilaku yang diharapkan dari (reinforcement positif) berbentuk tanda
klien dan mampu dilakukannya. Kegiatan bintang dan tandabintang ini akan
ini dapat dilakukan dengan memberi token ditukarkan dengan hadiah yang sudah
(permen, uang, atau makanan) bila klien disediakan oleh peneliti jika klien mampu
sukses mengubah perilakunya. merubah perilakunya. Reinforcement
Adanya pengaruh terapi perilaku positif yang berbentuk tanda bintang ini
token ekonomi terhadap kemampuan merupakan salah satu bentuk motivsai
mengontrol perilaku kekerasan disebabkan ekstrinsik yang dapat merubah perilaku
karena pada saat pelaksanaan terapi klien, dan diharapkan perilaku yang
perilaku token sebanyak 4 sesi, dimana muncul akan cukup mengajarkan untuk
disetiap sesi ini klien mendapatkan memelihara tingkah laku yang baru.
berbagai informasi mengenai kemampuan Motivasi ekstrinsik pada penelitian
mengontrol perilaku kekerasan secara ini adalah mendapatkan reward dari nilai
fisik, diantaranya klien diajarkan cara tertinggi, tetapi karena mereka
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
melaksanakan dan mereka mendapatkan manfaat yang baik dari perubahan itu, ditambah lagi
mendapat respon atau pujian yang baik dari teman dan pasien, maka motivasi itu berkembang
menjadi motivasi instrinsik karena responden mendapatkan langsung hadiahnya yaitu menjadi
orang yang lebih baik dan direspon baik dari orang sekelilingnya. Perolehan tingkah laku yang
diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengajarkan untuk memelihara
tingkah laku yang baru yang diyakini dan dilakukannya.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata nilai kemampuan mengontrol perilaku


kekerasan pada pasien rawat inap sebelum dilakukan terapi token sebesar 20,05 dan setelah
dilakukan terapi token menjadi sebesar 36,02, hal ini berarti terjadi peningkatan. Berdasarkan
hasil analisis statistik, maka disimpulkan bawha ada perbedaan kemampuan mengontrol
kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi token (p value = 0,00 < 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan ada pengaruh terapi token terhadap
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.
Berdasarkan kesimpulan penulis menyarankan agar pusat layanan pasien ekspsikotik
mampu meningkatkan mutu pelayanan dengan menerapkan terapi- terapi aktivitas kelompok
dan psikoterapi kepada pasien gangguan jiwa secara terprogram dan terstruktur.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-ODK
Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Orang Dengan Gangguan Jiwa yang disingkat dengan ODGJ adalah orang yang

mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi

dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna,serta

dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai

manusia (Undang Undang Kesehatan Jiwa No.36, 2014). Hambatan yang dialami

oleh klien gangguan jiwa akan mempengaruhi kualitas hidupnya, sehingga menjadi

perhatian khusus karena dampak yang diakibatkan tidak hanya pada klientetapi

juga berdampak pada keluarga dan masyarakat. Hal tersebut di atas menunjukan

masalah gangguan jiwa di dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat

serius dan menjadi masalah kesehatan global.

Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2013 mencapai 450 juta jiwa

diseluruh dunia, dalam satu tahun sesuai jenis kelamin sebanyak 1,1 wanita, pada

pria sebanyak 0,9 sementara jumlah yang mengalami gangguan jiwa seumur hidup

sebanyak 1,7 wanita dan 1,2 pria. Menurut National Institute of Mental Health

(NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004,

diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih mengalami

gangguan jiwa NIMH, (2011) dalam Trigoboff, (2013).Prevalensi gangguan jiwa

cukup tinggi dan terjadi pada usia produktif.

1
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Data Riskesdas tahun 2007 menunjukan Prevalensi Nasional Gangguan

Jiwa Berat yaitu Skizofrenia sebesar 0,46%, atau sekitar 1,1 juta orang atau

5,2% dari jumlah penderita Skizofrenia di seluruh dunia sedangkan data

RiskesdasTahun 2013 Prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis/ skizofrenia)

pada penduduk Indonesia 1,7 per mil atau 1-2 orang dari 1.000 warga di

indonesia yang mengalami gangguan jiwa berat yang berjumlah 1.728

orang.

Data statistik dari direktorat kesehatan jiwa, masalah kesehatan jiwa dengan

klien gangguan jiwa terbesar (70%) adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah

sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi fungsi individu antara lain

fungsi berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterprestasikan

realita, merasakan dan menunjukkan emosi serta berperilaku (Stuart

&Laraia, 2013). Skizofrenia diakibatkan karena ada gangguan pada struktur

otak yang mengakibatkan perubahan kemampuan berpikir, bahasa, emosi,

perilaku sosial dan kemampuan berhadapan dengan realita secara tepat

(Varcarolis & Halter, 2010).Berdasarkan hal tersebut klien dengan

skizofrenia akan mengalami kemunduran dalam kehidupan sehari-hari, hal

ini ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab. Selain itu

pasien cenderung apatis, menghindari kegiatan dan mengalami gangguan

dalam penampilan.

Menurut Videbeck (2008) klien dengan skizofrenia memiliki karakteristik

gejala positif yaitu meliputi adanya waham, halusinasi, disorganisasi


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

pikiran, bicara dan perilaku yang tidak teratur yaitu berupa perilaku

kekerasan. Berdasarkan gejala positif tersebut yang menyita perhatian cukup

besar pada masalah keperawatan jiwa adalah masalah perilaku kekerasan.

Prevalensi klien perilaku kekerasan diseluruh dunia di derita kira-kira 24

juta orang. Lebih dari 50 % klien perilaku kekerasan tidak mendapatkan

penanganan. Di Amerika Serikat terdapat 300 ribu pasien skizofrenia akibat

perilaku kekerasan yang mengalami episode akut setiap tahun. Menurut

penelitian di Finlandia di University of Helsinki dan University Helsinki

Central Hospital Psychiatry Centre, dari 32% penderita Skizofrenia

melakukan tindakan kekerasan, dan 16% dari perilaku kekerasan pada klien

mengakibatkan kematian, dari 1.210 klien (Virkkunen, 2009). Dan menurut

data Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, jumlah

penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta yang terdiri dari

pasien perilaku kekerasan. Diperkirakan sekitar 60% menderita perilaku

kekerasan di Indonesia (Wirnata, 2012).

Penelitian yang lain menunjukan bahwa data klien perilaku kekerasan pada

berbagai setting, menunjukan adanya perbedaan dari tiap-tiap negara,

Australia 36,85%, Kanada 32,61%, Jerman 16,06%, Italia 20,28%, Belanda

24,99%, Norwegia 22,37%, Kanada 32,61%, Swedia 42,90%, Amerika

Serikat 31,92% dan Inggris 41,73%. Studi dilakukan di berbagai setting

mulai dari unit akut, unit forensik dan pada bangsal dengan tipe yang

berbeda beda. Penelitian dilakukan dengan jumlah total 69.249 klien dengan

rata rata sampel 581,9 klien (Bowers, et al, 2011). Angka tersebut tergolong
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

cukup tinggi di berbagai negara di dunia.

Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi

oleh seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan baik pada diri

sendiri atau orang lain dan lingkungan baik secara verbal maupun non

verbal (Stuart &Laraia, 2009). Menurut Varcarolis (2006) perilaku

kekerasan adalah sikap atau perilaku kekerasan yang menggambarkan

perilaku amuk, bermusuhan berpotensi untuk merusak secara fisik atau

dengan kata-kata. Jadi kesimpulannya perilaku kekerasan merupakan suatu

bentuk perilaku amuk yang melukai fisik baik diri sendiri, orang lain dan

lingkungan maupun secara verbal atau non verbal.

Perilaku kekerasan dilakukan karena ketidakmampuan dalam melakukan

koping terhadap stres, ketidakpahaman terhadap situasi sosial, tidak mampu

untuk mengidentifikasi stimulus yang dihadapi, dan tidak mampu

mengontrol dorongan untuk melakukan perilaku kekerasan (Volavka &

Citrome, 2011). Perilaku kekerasan yang muncul pada klien Skizofrenia

dikarenakan ketidakmampuan dalam menghadapi stresor, dan melakukan

tindakan perilaku kekerasan sebagai koping dalam menghadapai stresor.

Respons perilaku kekerasan berupa respons kognitif, respons afektif,

respons fisiologis, respons perilaku, respons sosial. Respons kognitif

merupakan respons yang pertama kali muncul yang mendasari perilaku

kekerasan (status mental tiba tiba berubah/ labil), responsafektif merupakan

respons yang muncul didasari oleh keyakinan emosi yang tidak rasional
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

(marah, bermusuhan), respons pada fisiologis merupakan responsyang dapat

dilakukan observasi terkait dengan perubahan (pernafasan meningkat di >20

x/i, nadi meningkat >80 x/i, produksi keringat meningkat, pandangan mata

tajam, pandangan tertuju pada satu objek, muka merah) (Stuart, 2013).

Responsperilaku merupakan respons yang dapat diamati melalui observasi

secara verbal maupun non verbal (klien adalah mondar mandir, tidak

mampu duduk dengan tenang, mengepalkan tangan atau posisi meninju,

rahang mengatup, tiba tiba berhenti dari aktifitas motorik), responssosial

merupakan respon yang dialami oleh klien perilaku kekerasan karena

kurangnya dukungan sosial sehingga tidak memiliki sumber koping yang

adekuat (verbal mengancam pada objek nyata, berbicara keras dengan

penekanan, didasari dengan waham atau isi pikiran paranoid) (Stuart, 2013).

Akibat perilaku kekerasan bisa melukai atau menciderai diri sendiri atau

orang lain, bahkan akan menimbulkan kematian yang dilakukan oleh

perilakunya dan sebagai suatu kondisi yang dapat terjadi karena perasaan

marah, cemas, tegang, bersalah, frustasi dan permusuhan (Videbeck, 2006).

Berdasarkan respon tersebut bahwa pasien perilaku kekerasan memiliki

respons yang sangat spesifik apabila perilaku kekerasannya kambuh.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah dengan

pemberian psikofarmaka, psikoterapi dan modifikasi lingkungan.

Psikofarmaka yang diberikan pada klien perilaku kekerasan berupa

pemberian obat antipsikotik baik typical, atypical, maupun kombinasi


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

typical dan atypikal. Antipsikotik atipikal bekerja memblok efek dopamin

dan serotonin pada post sinap reseptor. Antipsikotik atypikal mengatasi

gejala positif maupun gejala negatif Skizofrenia. Antipsikotik atypikal juga

dapat mengatasi gejala mood, perilaku kekerasan, perilaku bunuh diri,

kesulitan dalam sosialisasi, dan gangguan kognitif pada Skizofrenia. Obat

antipsikotik typikal adalah antagonis dopamin yang berfungsi untuk

menurunkan gejala posif Skizofrenia Rueve dan Welton (2008) dalam

Volavka (2012). Pemberian psikofarmaka antipsikotik tersebut berfungsi

menurunkan gejala perilaku kekerasan pada klien Skizofrenia.

Tindakan keperawatan yang dilakukan dalam bentuk asuhan keperawatan

kesehatan jiwa yang diberikan kepada individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat pada keadaan sehat, resiko dan gangguan jiwa dengan

melakukan strategi preventif, strategi antisipasi dan strategi pengekangan.

Strategi tersebut dilakukan sebagai upaya untuk pencegahan perilaku

kekerasan, untuk mencegah terulangnya perilaku kekerasan dan dilakukan

pada fase akut gangguan jiwa (Stuart, 2013). Tindakan keperawatan yang

dilakukan kepada klien berupa tindakan keperawatan generalis (Keliat dan

Akemat, 2010) dan tindakan keperawatan lanjut atau tindakan keperawatan

spesialis kepada keluarga yaitu dilatih cara merawat dan memotivasi klien

dalam mengendalikan perilaku kekerasannya.Tindakan keluarga yang

sangat penting adalah setelah klien pulang ke rumah, keluarga menemani

klien melakukan perawatan lanjutan pada puskemas atau rumah sakit

terdekat, misalnya pada bulan pertama: 2 kali per bulan, bulan kedua: 2 kali
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

perbulan, bulan ketiga: 2 kali per bulan dan selanjutnya 1 kali perbulan

(Keliat, 1996).

Tindakan keperawatan generalis pada klien perilaku kekerasan dilakukan

dalam 4 macam jenis tindakan yaitu: mengontrol perilaku kekerasan dengan

cara fisik yaitu tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal, mengontrol

perilaku kekerasan dengan cara minum obat secara teratur, mengontrol

perilaku kekerasan dengan cara verbal yaitu: menceritakan perilak

kekerasan, bicara baik (meminta, menolak dan mengungkapkan perasaan),

mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spritual, pada setiap pertemuan

klien memasukkan kegiatan yang telah dilatih untuk mengatasi masalah

kedalam jadwal kegaiatan harian (Keliat & Akemat, 2010). Dan tindakan

keperawatan spesialis yang dapat dilakukan adalah: terapi individu, keluarga

dan kelompok, bentuk terapinya seperti Assertive Training, Cognitive

Behavior Therapy, Psychoterapi Individu, Family Psychoeducation,

Supportive Therapy dan Self-Help Groups Townsend (2008). Semua upaya

tersebut dapat dilakukan untuk mengatasi perilaku kekerasan termasuk ke

dalam upaya preventif dan antisipasi mencegah terulangnya perilaku

kekerasan.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan pada klien perilaku kekerasan salah

satunya adalah terapi psikoedukasi. Terapi psikoedukasi membahas masalah

pribadi dan masalah dalam merawat anggota keluarga dengan perilaku

kekerasan, cara perawatan, manajemen stres keluarga, manajemen beban

keluarga serta pemberdayaan komunitas dalam membantu keluarga.


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Berdasarkan evidance based practice psikoedukasi keluarga adalah terapi

yang digunakan untuk memberikan informasi pada keluarga untuk

meningkatkan keterampilan mereka dalam merawat anggota keluarga

mereka yang mengalami gangguan jiwa, sehingga diharapkan keluarga akan

mempunyai koping yang positif terhadap stress dan beban yang dialaminya

(Goldenberg & Goldengerg, 2004). Dengan melakukan psikoedukasi maka

seorang perawat akan dapat langsung memberikan pelayanan yang

efektif dan efisien untuk menyelesaikan masalah kepada keluarga dengan

anggota keluarga perilaku kekerasan.

Psikoedukasi ini akan mudah terlaksana apabila keluarga mendukung

penyembuhan dan pemulihan anggota keluarga yang mengalami gangguan

psikologis (Wiyati, 2010). Manfaat dari terapi psikoedukasi bagi klien dan

keluarga dalah yang pertama bagi keluarga yaitu dapat memiliki

kemampuan untuk merawat klien dan mengatasi masalah yang timbul

karena merawat klien dan yang kedua bagi klien yaitu mendapatkan

perawatan yang optimal yang diberikan oleh keluarga.

Penelitian psikoedukasi keluarga yang dilakukan oleh Wiyati, dkk (2010)

terhadap klienisolasi sosial yang menunjukkan ada peningkatan kemampuan

kognitif dan psikomotorik keluarga secara bermakna (p<0,05). Hasil

penelitian (Keliat, dkk, 2009) menunjukkan bahwa klien dan keluarga yang

diberdayakan mempunyai rata-rata lama rawat di rumah sakit lebih pendek

secara bermakna dibandingkan dengan klien yang tidak mendapatkannya.


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Demikian pula lama tinggal di rumah (lama kambuh dan dirawat kembali)

lebih panjang secara bermakna pada klien dan keluarga yang mendapat

pemberdayaan dibandingkan dengan yang tidak mendapatkannya.

Terapi ini terbukti efektif karena dapat memberikan informasi terhadap

kemampuan keluarga yang mengalami distres, memberikan pendidikan

kepada mereka untuk meningkatkan kemampuan agar dapat memahami dan

mempunyai koping yang kuat agar tidak terjadi masalah pada hubungan

keluarga.Nurbani (2009), juga menyampaikan bahwa psikoedukasi yang

diberikan pada keluarga dapat menurunkan ansietas secara bermakna

dimana psikoedukasi dapat digunakan sebagai terapi yang dilakukan untuk

mengatasi masalah psikososial di rumah sakit umumnya dalam menurunkan

ansietas dan beban. Hasil akhir yang diharapkan yaitu keluarga mampu

merawat klien dengan perilaku kekerasan yang ditandai dengan: mengenal

masalah perilaku kekerasan, kemampuan merawat klien, kemampuan

merawat diri sendiri, kemampuan manajemen beban, kemampuan

memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Keefektifan pelaksanaan asuhan keperawatan yang didapatkan oleh klien

dan keluarga itu belum maksimal, baik itu dirumah sakit maupun di

puskesmas pada saat klien pulang.Penatalaksanaan yang tidak efektif akan

berakibat munculnya gejala-gejala perilaku kekerasan dan timbul

kekambuhan. Kekambuhan adalah timbulnya gejala yang sebelumnya sudah

memperoleh kemajuan (Stuard & Laraia, 2006). Tanda dan gejala

kekambuhan yang sebaiknya diketahui oleh keluarga dalam menjalankan


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

perannya sebagai perawatan kesehatan yang meliputi tanda kogitif,

psikologis dan gejala perilaku klien dengan perilaku kekerasan.

Kekambuhan yang sering terjadi dapat memperburuk kondisi klien dengan

perilaku kekerasan.

Faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa yaitu

klien, dokter, penanggung jawab dan keluarga (Keliat, 2011), sedangkan

menurut (Humris dan Pleyte, 2004) yaitu penderita tidak minum obat dan

tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri tanpa

persetujuan dokter, kurangnya dukungan perawatan dari keluarga dan

masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat

cemas dan stress sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah

sakit, dikucilkan oleh lingkungan dan perekonomian keluarga yang tidak

memadai untuk pengobatan. Kekambuhan tersebut selain berdampak pada

klien juga akan berdampak pada keluarga (Fantaine, 2009). Hal ini

disebabkan karena keluarga adalah pendukung dan tempat rehabilitasi bagi

pasien perilaku kekerasan. Kekambuhan klien gangguan jiwa berdampak

pada beban caregiver yang berpengaruh pada individu yang mengalami,

keluarga dan masyarakat karena masih terdapat penolakan sosial dari

masyarakat akibat ketidaktahuan masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa.

Dampak kekambuhan klien gangguan jiwa khususnya perilaku kekerasan

jika tidak dicegah dapat mengakibatkan perawatan berulang, resisten

terhadap obat, kerusakan struktur otak secara progresif, distres personal,

kesulitan dalam proses rehabilitasi klien, cemas, ketidakpatuhan terhadap


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

pengobatan karena kurangnya pengetahuan dan efek samping dari

pengobatan (Kazadi et al, 2008). Sedangkan dampak yang dilakukan pada

keluarga dan masyarakat yaitu klien dapat merusak benda-benda di rumah,

mencederai diri sendiri, mengancam dan bahkan sampai membunuh orang

disekitarnya, termasuk tetangga, keluarga dan orang tua. Kondisi tersebut

disebabkan rangkaian proses maladaptif, seperti gangguan isi pikir,

gangguan proses pikir, dan gangguan persepsi. Penanganan intensif

berbagai tenaga kesehatan diperlukan untuk menangani klien gangguan

jiwa, khususnya yang berada dalam keluarga.

Dalam sebuah penelitian yang ditulis dalam The Hongkong Medical Diary

bahwa studi naturalistik telah menemukan tingkat kekambuhan pada klien

skizofrenia khususnya perilaku kekerasan adalah 70%-82% hingga lima

tahun setelah klien masuk rumah sakit pertama kali dan masing-masing

memiliki potensi kekambuhan 21%, 33%, dan 40% pada tahun pertama,

kedua, dan ketiga yang kembali dirawat inap. Secara global angka

kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92%

yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena

kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan dengan

meningkatnya stress (Sheewangisaw, 2012). Dari pernyataan tersebut diatas

dapat disimpulkan bahwa angka kekambuhan pada klien skizofrenia secara

global memiliki persentase tertinggi.

Menurut penelitian Keliat (2006) ditemukan bahwa angka kekambuhan


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

pada klien tanpa terapi keluarga sebesar 25-50% sedangkan angka

kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga 5-10%. Seperti yang

disampaikan oleh Iyus (2007) dalam seminar tentang kesehatan jiwa

masyarakat bahwa klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan

kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada

tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena mendapatkan perlakuan

yang salah selama di rumah atau di masyarakat. Jadi peran keluarga sangat

penting dalam proses kesembuhan klien dirumah setelah pulang dari rumah

sakit jiwa, berdasarkan penelitian tersebut tindakan yang dilakukan kepada

keluarga mengurangi angka kekambuhan pada klien untuk dirawat kembali.

Berdasarkan data rekam medik angka kunjungan ke instalasi rawat jalan

terus meningkat, pada tahun 2012 adalah 24.575, 2013 adalah 25.570 dan

pada tahun 2014 adalah 26.970. Sedangkan untuk skizofrenia menempati

urutan pertama untuk diagnosa medis baik untuk rawat jalan maupun rawat

inap pada tahun 2015 sebanyak 20188 orang dengan angka klien lama yang

berkunjung kembali (kambuh) sebanyak 18.313 orang.Ditemukan sebanyak

52.5% pasien gangguan perilaku kekerasan merupakan pasien kambuh yang

dirawat kembali diruang rawat inap RSJ. Prof. HB. Saanin Padang.

Menurut data kunjungan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan kota

padang pada tahun 2014 jumlah kunjungan rawat jalan pada pasien

skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lainnya (L:403, P: 183 = 585

orang) dan data kunjungan pada tahun 2015 sebanyak : 666 orang pasien (L
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

dan P), data ini merupakan data kunjungan terbanyak pada puskesmas

Nanggalo kota padang pada tahun 2015.

Berdasarkan hasil wawancara kepada tenaga perawat yang ada dirumah

sakit jiwa Prof. HB. Saanin Padang, bahwa pada saat klien perilaku

kekerasan dirawat dirumah sakit asuhan yang didapatkan adalah asuhan

keperawatan generalis (intervensi) yaitu fisik, obat, sosial dan spiritual

sedangkan untuk asuhan keperawatan kepada keluarga itu belum dijalankan

secara maksimal dikarenakan keluarga berkunjung ke rumah sakit hanya

sesekali, dan perawat hanya mempertemukan keluarga dengan klien, setelah

pasien pulang perawatan klien dirumah dilakukan dipelayanan kesehatan

yang terdekat.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan perawat jiwa di beberapa

puskesmas didapatkan yaitu pelaksanaan asuhan keperawatan untuk klien

dan keluarga itu tidak dilaksanakan dikarenakan beban kerja perawat jiwa

tidak hanya pada bagian jiwa saja, melainkan perawat ditugaskan di

poliklinik yang lain seperti: BP umum, pelayanan lansia dan IGD, untuk

pelayanan keperawatan jiwa kepada klien dan keluarga hanya untuk kontrol

berobat dan pemberian obat rutin apabila obat yang dikomsumsi sudah

habis, setelah itu perawat tidak ada melakukan kunjungan kepada keluarga

dan anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang berada diwilayah kerja

puskesmas dan juga di beberapa puskesmas untuk poliklinik jiwa itu sendiri

tidak ada (gabung dengan poliklinik umum).


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Penelitian akan dilakukan kepada klien yang pulang dari RS Jiwa HB.

Saanin Padang yaitu di puskesmas Nanggalo. Puskesmas

Nanggalomerupakan salah satu puskesmas yang ada dikota Padang dibawah

naungan dinas kesehatan kota yang bertujuan untuk pertolongan pertama

pada klien gangguan jiwa, yang dibuktikan dengan sudah ada tenaga

keperawatan yang dilatih dalam program Community Mental Health

Nursing (CMHN) yaitu kesehatan jiwa dimasyarakat dan pelayanan pada

klien gangguan jiwa di puskesmas.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan perawat jiwa di puskesmas

Nanggalo Padang yaitu untuk pelaksanaan asuhan keperawatan kepada klien

dan keluarga tidak dilaksanakan dikarenakan beban kerja perawat jiwa tidak

hanya pada bagian poliklinik jiwa saja, melainkan perawat ditugaskan di BP

umum dan IGD, untuk pelayanan keperawatan jiwa kepada klien dan

keluarga hanya untuk kontrol berobat dan pemberian obat rutin apabila obat

yang dikomsumsi sudah habis, setelah itu perawat tidak ada melakukan

kunjungan kepada keluarga dan anggota keluarga dengan gangguan jiwa

yang berada diwilayah kerja puskesmas. Oleh sebab itu angka kekambuhan

tinggi di puskesmas Nanggalo dikarenakan belum adanya rujukan dari

rumah sakit jiwa ke puskesmas untuk menindaklanjuti kemampuan klien

yang telah didapatkan selama dirawat dirumah sakit.

Survey awal yang peneliti lakukan pada tanggal 16 April 2016 di wilayah

kerja puskesmas Nanggalo Padang yang dilakukan wawancara terhadap 10


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

klien dan keluarga dengan respon klien dankemampuan keluarga pada

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yaitu 6 orang keluarga

mengatakan masih terdapat respon klien dengan perilaku kekerasan yaitu

kognitif (rusuh, pemarah, bawel, gangguan bicara, mengancam, berkata

kotor), afektif (mudah tersinggung, wajah tegang, dendam dan suka

menyalahkan), fisilogis (kalau marah rahang dikatu, tangan dikepal, tubuh

kaku), perilaku (menyerang orang lain, merusak lingkungan, nada suara

keras), sosial (menarik diri, bicara kasar, keras dan mengasingkan diri) dan

keluarga mengatakan belum bisa merawat klien saat dirumah karena belum

adanya kemampuan yang dilakukan kepada anggota keluarganya yaitu:

klien hanya dibiarkan saja, minum obat tergantung klien, banyak biaya

untuk berobat sedangkan uang tidak ada untuk pergi kepelayanan

kesehatan.Sedangkan 4 orang keluarga hanya merawat klien dirumah yaitu

disuruh beraktivitas sesuai kemauan, diperhatikan dalam minum obat dan

habis obat.

Sedangkan 6 orang klien dan keluarga mengatakan pada saat klien dirawat

hanya mendapatkan tindakan keperawatan generalis oleh perawat dan

mahasiswa dan keluarga tidak ada mendapatkan pendidikan dan asuhan

keperawatan oleh perawat dirumah sakit untuk persiapan pasien pulang

dirumah, begitu juga dipuskesmas klien dan keluarga hanya kontrol berobat

tidak ada mendapatkan asuhan keperawatan jiwa baik klien maupun

keluarga.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti memfokuskan penelitian pada

pemberian psikoedukasi keluarga terhadap klien dan kemampuan klien

perilaku kekerasan dan kemampuan keluarga dalam merawat di rumah,

dengan demikian diharapkan dengan memberikan tindakan keperawatan

generalis kepadaklien perilaku kekerasan dan kemampuan klien perilaku

kekerasan dan terapi psikoedukasi kepada keluarga dapat meningkatkan

kemampuan keluarga dalam merawat dirumah. Dan tidak menganggap

bahwa kehadiran klien dengan perilaku kekerasan dalam keluarga dapat

memicu masalah bagi keluarga sehingga menyebakan pemberian perawatan

pada klien tidak maksimal, mengingat bahwa keluarga merupakan pemberi

perawatan utama yang dekat dan sering berinteraksi dengan klien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti menyusun

serangkaian rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1.2.1 Asuhan keperawatan pada klien perilaku kekerasan di rumah sakit

telah diberikan dan belum dilanjutkan ke puskesmas

1.2.2 Edukasi keluarga di rumah sakit dan di puskesmas belum

dilaksanakan secara maksimal

1.2.3 Masih tingginya angka kekambuhan pada klien gangguan jiwa

Penelitian ini dilakukan pada klien yang pulang dari RS jiwa yaitu:

mengecek kondisi perilaku kekerasan klien, melakukan tindakan

keperawatan generalis untuk klien perilaku kekerasan, dan akan melakukan

psikoedukasi kepada keluarga dengan anggota keluarga perilaku kekerasan


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

dengan mengingat kurang adanya pendidikan kesehatan jangka panjang

pada klien perilaku kekerasan dan keluarga. Adapun pertanyaan dalam

penelitian ini adalah:

1.2.1 Apakah ada pengaruh tindakan keperawatan generalis pada klien

perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas nanggalo padang

1.2.2 Apakah ada pengaruh tindakan keperawatan terhadap kemampuan

klien perilaku kekerasan di wilayah kerja puskesmas nanggalo

padang

1.2.3 Apakah ada pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan

keluarga dalam merawat dirumah dengan anggota keluarga perilaku

kekerasan di wilayah kerja puskesmas nanggalo padang

1.2.4 Apakah ada hubungan psikoedukasi keluarga terhadap klien dan

kemampuan klien perilaku kekerasan dan kemampuan keluarga

dalam merawat dirumah di wilayah kerja puskesmas nanggalo

padang

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umun

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguraikan “Bagaimana

Pengaruh Psikoedukasi Keluarga terhadap Klien dan Kemampuan Klien

Perilaku Kekerasan dan Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Dirumah”.

1.3.2 Tujuan Khusus


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

1.3.2.1 Diketahuinya karakteristik (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

pekerjaan, lama klien pulang dari rumah sakit, frekuensi kekambuhan)

pada klien dengan perilaku kekerasan di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo dan Kuranji Padang.

1.3.2.2 Diketahuinya karakteristik (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan

pekerjaan) pada keluarga dengan perilaku kekerasan di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo dan Kuranji Padang.

1.3.2.3 Diketahuinya perilaku kekerasan pada klien di Wilayah Kerja Puskesmas

Nanggalo dan Kuranji Padang.

1.3.2.4 Diketahuinya kemampuan pada klien perilaku kekerasan di Wilayah Kerja

Puskesmas Nanggalo dan Kuranji Padang.

1.3.2.5 Diketahuinya kemampuan pada keluarga dengan anggota keluarga

perilaku kekerasan di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo dan Kuranji

Padang.

1.3.2.6 Diketahuinya pengaruh psikoedukasi keluarga pada klien perilaku

kekerasan, kemampuan klien perilaku kekerasandan kemampuan keluarga

dalam merawat dirumah di rumah pada kelompok intervensi dan kontrol.

1.3.2.7 Diketahuinya pengaruh psikoedukasi keluarga pada klien perilaku

kekerasan, kemampuan klien perilaku kekerasan dan kemampuan


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

keluargadalam merawat dirumah antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Aplikatif


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

1.4.3.1 Menambah wawasan dan pengetahuan perawat khususnya perawat

spesialis jiwa dalam menerapkan psikoedukasi keluarga yang harus

dilakukan oleh seorang spesialis jiwa.

1.4.3.2 Meningkatkan kemampuan klien terhadap respon perilaku kekerasan dan

kemampuan keluarga dalam merawat.

1.4.3.3 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa kepada klien dengan

terapi generalis melihat respon dan keluarga dalam merawat anggota

keluarga dengan perilaku kekerasan.

1.4.2 Manfaat Keilmuan

1.4.3.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

kompetensi perawat spesialis jiwa dalam melakukan asuhan keperawatan

1.4.3.2 Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence based untuk mengembangkan

teori tentang psikoedukasi keluarga yang memiliki anggota keluarga

dengan gangguan perilaku kekerasan.

1.4.3 Manfaat Metodologi

1.4.3.1 Secara metodologi penelitian ini dapat memberikan manfaat

untuk mengaplikasikan teori dan terapi yang terbaik dalam

meningkatkan kesehatan jiwa khususnya pada klien dan keluarga

yang memiliki anggota keluarga dengan dengan perilaku

kekerasan.

1.4.3.2 Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai data dasar bagi

penelitian selanjutnya untuk kemampuan keluarga dalam merawat

anggota keluarga dengan gangguan jiwa lainnya.


Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

STIGMATISASI DAN PERILAKU KEKERASAN PADA ORANG DENGAN


GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI INDONESIA

Muhammad Arsyad Subu1*, Dave Holmes1, Jayne


Elliot1

1. STIKes Binawan, Jakarta 13630, Indonesia

*E-mail: msubuo61@uottawa.ca

Abstrak

Salah satu efek stigmatisasi gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita
terhadap orang- orang di sekitarnya termasuk keluarga, perawat dan masyarakat. Sebaliknya, penderita
mengalami kekerasan dari keluarga, masyarakat dan profesional keperawatan. Penelitian ini bertujuan
memahami dampak stigmatisasi dalam hubungannya dengan perilaku kekerasan terhadap penderita;
serta untuk mengetahui perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita terhadap orang lain. Penelitian
ini menggunakan Constructivist Grounded Theory. Metode pengumpulan data termasuk wawancara
semi-terstruktur, dokumen reviu, catatan lapangan, dan memo. Analisis data menggunakan metode
Paillé. Perilaku kekerasan adalah efek stigmatisasi termasuk kekerasan diri sendiri dan kekerasan
terhadap keluarga, masyarakat dan tenaga kesehatan. Kekerasan fisik juga dialami penderita dari orang
lain. Dampak stigmatisasi dimanifestasikan dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita,
keluarga, staf rumah sakit, masyarakat, dan aparat. Hasil temuan ini relevan untuk para perawat jiwa
yang memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien perilaku kekerasan. Penelitian lanjut diperlukan
untuk melihat perspektif keluarga, masyarakat dan staf pemerintah terkait stigma dengan perilaku
kekerasan.

Kata kunci: gangguan jiwa, perilaku kekerasan, stigma, stigmatisasi

Abstract

Stigmatization and Violent Behavior on Mental Illness Patient in Indonesia. An effect of


stigmatization of mental illness is violent behavior conducted by patients toward other people around
them including families, nurses and communities. Conversely, patients experienced violence conducted
by families, communities and nursing professionals. This study aims to understand the effects of
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

stigmatization on violent behavior towards sufferers; and to investigate violent behavior committed by
sufferers against other people. This study used Constructivist Grounded Theory. Methods of data
collection are semi-structured interviews, document review, field notes, and memos. Data analysis used
Paillé. Violent behavior is the effect of stigmatization including self-harm and violence against families,
communities and health professionals. Physical abuse is experienced by sufferers from others. The
impact of stigmatization is manifested by violent behavior committed by patients, families, staff,
community and authorities. Findings are relevant to psychiatric nurses who provide care to the patients
with violent behavior. Further research is needed to see the perspective of families, communities and
government to understand stigma in relation to violent behavior.

Keywords: Mental Illness, violent behavior, stigma, stigmatization

Pendahuluan si ODGJ berat di Indonesia adalah 1,7


Para ahli memperkirakan 15% populasi per 1000 dan ODGJ ringan sekitar 6%
global akan memiliki masalah gangguan dari total populasi (Kemenkes, 2013).
jiwa tahun 2020 (Harpham, et al., 2003). Tujuh puluh lima persen ODGJ
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mengalami stigma dari masyara- kat,
tidak hanya mengala- mi dampak akibat pemerintah, petugas kesehatan dan
gejala dan penyakit, tetapi juga media (Hawari, 2001). Perilaku
stigmatisasi (Kapungwe, 2010). kekerasan ODGJ menjadi penyebab
Prevalen- utama stigmatisasi di ma- syarakat dan
tenaga kesehatan.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Kekerasan merupakan salah satu konsekuensi dipukul atau diancam oleh anggota keluarga
serius dari gangguan jiwa yaitu 2,5 kali lebih mereka (Katsikidou, et al., 2012; Solomon,
besar dibandingkan dengan populasi (Corrigan Cavanaugh, & Gelles, 2005). Telaah literatur
& Watson, 2005). Profesional dalam pelaya- intensif mengungkapkan bahwa penelitian
nan kesehatan jiwa menjadi korban kekerasan tentang stigmatisasi gangguan jiwa belum
tiga kali lebih tinggi daripada dalam pelayanan fokus pada dampaknya terhadap perilaku ke-
kesehatan umum (Bilgin & Buzlu, 2006). kerasan pada ODGJ. Penelitian ini mem-
Terjadi risiko perilaku kekerasan dari pasien berikan analisis mendalam untuk memahami
dalam keperawatan jiwa yang lebih tinggi hubungan antara stigmatisasi dengan perilaku
(Lawoko, Soares & Nolan, 2004). Perilaku kekerasan pada ODGJ.
kekerasan merupakan kejadian umum di RS
(Spector, et al., 2007). Tenaga kesehatan, se-
Metode
bagian besar perawat, beresiko menjadi korban
kekerasan (Holmes, Rudge, Perron, & St- Penelitian ini memberikan pemahaman subs-

Pierre, 2012). ODGJ menghadapi stigmatisasi tantif tentang pengalaman stigmatisasi dan

yang menyebabkan mereka rentan terhadap


perilaku kekerasan orang. ODGJ lebih sering
menjadi korban daripada pelaku kekerasan
(Stuart, 2004), menjadi korban fisik dan
seksual (Teplin, et al., 2005) dan menjadi kor-
ban kejahatan dan diskriminasi (Katsikidou, et
al., 2012). Sepu-luh persen penderita adalah
korban kekerasan (Schomerus, et al., 2008).

Suatu penelitian di Australia mengungkapkan


bahwa 88% mereka yang dirawat di RS jiwa
telah mengalami viktimisasi; 84% setelah
mengalami serangan fisik dan 57% setelah
mengalami kekerasan seksual (McFarlane,
Schrade, & Bookless, 2004). Penelitian lain
menunjukkan bahwa ODGJ mengalami ke-
kerasan yang terjadi dalam lingkungan ke-
luarga dan bukan orang asing. Mereka sering
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
perilaku kekerasan di kalangan ODGJ dewasa moto, visi dan misi RS. Memo digunakan
Indonesia dengan menggunakan untuk mendo- kumentasikan pengalaman
Constructivist Grounded Theory (CGT). CGT dalam laporan ker- tas yang menjelaskan
diperkenalkan pertama kali oleh Kathy proses berpikir peneliti. Catatan lapangan dari
Charmaz. CGT kon- sisten dengan observasi dan refleksi data, merupakan bagian
epistemologi dan ontologi ‘konstruktivisme’ dari pendekatan ref- leksif proses analitis data
yang memprioritaskan pada fenomena (Charmaz, 2006).
penelitian dan melihat data dan analisisnya
sebagai hal yang dibuat dari pengalaman
Analisis data menggunakan metode Paille
bersama peneliti dengan partisi- pan dan
(1994) yang meliputi kodifikasi, kategorisasi,
sumber lainnya" (Charmaz 2006, p.330).
menghubungkan kategori, integrasi, konsep-
Desain penelitian ini lebih pada pen- dekatan
tualisasi, dan teorisasi. Sesuai Heath dan
objektivis, dan peran peneliti adalah
Cowley (2004) terdapat tiga tahapan analisis
menemukan kebenaran yang ada di dalam
yaitu koding awal, fase menengah, dan
objek penelitian dan meminimalisasi ‘keku-
atan’ (Charmaz, 2006, p. 331).

Penelitian ini dilakukan di rumah sakit X di


Bogor. Partisipan penelitian adalah pasien
skizofrenia dan perawat laki-laki dan perem-
puan yang bekerja di rumah sakit. Sebanyak
30 partisipan direkrut, lebih dari cukup untuk
memastikan saturasi data (Charmaz, 2006).
Para partisipan hanya yang memiliki kemam-
puan membaca dan menulis, berusia 18 tahun
atau lebih, mengalami gangguan jiwa dan
stigma.

Pengumpulan data melalui wawancara semi-


berstruktur yang direkam menggunakan
digital audio. Telaah dokumen juga digunakan
seba- gai triangulasi data untuk meningkatkan
pro- babilitas kredibilitas interpretasi data
(Lincoln & Guba, 1985). Dokumen tersebut
berupa hardcopy dan elektronik seperti
laporan, log perawat, pre dan post konferensi,
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

pengembangan akhir. Berdasarkan tahapan ini, sasi merupakan proses konstruksi untuk me-
data analisis Paille (1994) juga dapat dibagi nguatkan teori atau pemahaman susbstantif.
menjadi tiga tahap: kodifikasi dan kategorisasi Tidak semua penelitian grounded theory
(koding awal), menghubungkan kategori dan menghasilkan teori; akan tapi pemahaman
integrasi (tahap menengah), konseptualisasi yang mendalam dan substantif merupakan
dan teorisasi (pengembangan akhir). Tahap hasil akhir dari sebuah penelitian dengan
kodifikasi adalah dimulai dengan mengatur grounded theory Charmaz (2006).
kata-kata, persepsi dan pengalaman dalam
bentuk kode secara terorganisir (proses
Untuk keabsahan (trustworthiness), kriteria
pembentukan kode). Tujuannya adalah mem-
pertama adalah kredibilitas (Chiovitti & Piran,
beri nama, mengungkap, meringkas dan mem-
2003). Kredibilitas dalam penelitian ini adalah
beri label, baris demi baris, dari data trans-
dengan mengumpulkan data dari berbagai
kripsi. Kodifikasi ini membantu mengidenti-
sumber diantaranya melalui wawancara, cata-
fikasi adanya tumpang tindih antara kode awal
tan lapangan, dan memo. Koding data dengan
dan pembentukan kategori. Tahap kategorisasi
adalah untuk menggambarkan fenomena se-
cara umum atau peristiwa yang muncul dari
data yang kemudian dibuat daftar kategori.
Tahap ini adalah untuk menentukan kategori
dengan mengidentifikasi variasi dalam data
dapat dijelaskan dengan kategori lain. Tahap
integrasi adalah menentukan fenomena-
fenomena yang telah diamati secara empiris.
Dengan mengintegrasikan hubungan antara
kategori, peneliti mengidentifikasi kongruensi
tertentu yang muncul antara data dan arah
penelitian yang diambil selama analisis. Tahap
konseptualisasi adalah proses pengembangan
dan klarifikasi konsep-konsep yang muncul
dan menjelaskan konsep tersebut dengan kata-
kata dan untuk memberikan definisi konsep-
tual secara verbal. Proses ini memungkinkan
peneliti untuk memahami fenomena penelitian
dan kompleksitasnya. Akhirnya, tahap teori-
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
kata-demi-kata, baris demi baris, dan meng-
gunakan koding in vivo, yang mencerminkan
Hasil
pengalaman partisipan terkait stigma dengan
Kekerasan ODGJ terhadap Diri Sendiri.
gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan
Keinginan pasien bunuh diri yaitu sengaja
kata-kata partisipan yang sebenarnya untuk
menyakiti diri sendiri. Seorang pasien meng-
menjelaskan fenomena penelitian, dan diarti-
gambarkan bahwa stigma dan isolasi sosial
kulasikan dengan asumsi, posisi
menyebabkan ide bunuh diri atau menyakiti
epistemologis dan teoritis yang memengaruhi
diri sendiri. Rasa takut terhadap orang lain
proses peneli- tian. Dilakukan evaluasi diri
juga menjadi pencetus ide bunuh diri.
sebagai instrumen dan melihat efek peneliti
yang dilakukan melalui refleksi diri dan “...kadang saya tidak bisa mengendalikan
memoyang ditulis dalam jurnal. diri sampai saya berkeinginan bunuh diri.
Saya mencoba bunuh diri tiga kali
dengan
Auditabilitas berkaitan dengan konsistensi
temuan, bahwa peneliti lain dapat mengikuti
dengan jelas proses berpikir peneliti
(Sandelowski, 1986). Dalam penelitian ini,
auditabilitas dilakukan dengan kriteria untuk
merumuskan pemikiran, bagaimana dan
mengapa para partisipan dalam penelitian ini
dipilih. Dalam penelitian ini, peneliti menggu-
nakan kerangka yang disajikan oleh Paille
(1994) untuk mengidentifikasi langkah-lang-
kah dalam analisis data dan memastikan bah-
wa pembaca dapat memahami bagaimana data
itu didapatkan atau dibentuk oleh partisipan
dan peneliti.

Fittingness atau transferabilitas berarti hasil


penelitian memiliki arti yang sama pada
situasi serupa (Chiovitti & Piran, 2003).
Dalam penelitian ini, selama proses koding,
semua data yang dibuat kode telah diperiksa
oleh seorang pakar lain untuk melakukan cek
eksternal yang terkait dengan hasil penelitian.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

minum racun tapi saya tidak mati ... “Saya melemparkan asbak. Ceritanya,
Dengan penyakit jiwa, kepercayaan diri saya kasih pinjam 1,5 juta. Ia bayar
saya rendah. Saya merasa bingung; dengan angsuran. Seratus, lima puluh,
dengan orang lain, saya takut. Saya takut uang saya dari BJB lebih banyak... Saya
melihat orang lain.“ (P1). marah; Saya tidak bisa mengendalikan
diri. Saya jadi marah, seperti itu.
Kemudian, saya dibawa ke sini (RSJ).”
Kekerasan ODGJ terhadap Orang Lain
dan Benda. Pasien menyadari bahwa dia telah (P13).
melakukan perilaku kekerasan terhadap
anggota keluarga atau kerabat.
“…saya yang paling sulit dalam keluarga
Kekerasan, Pengekangan, dan Seklusi.
dan saya menjadi beban keluarga
Pasung dan seklusi masih digunakan untuk
saya. Karena kesulitan dalam hidup, saya
menangani penderita gangguan jiwa. Beberapa
harus berada di sini (RSJ). Otak saya
perawat menunjukkan bahwa ada pasien
punya banyak masalah. Jadi, saya marah
diikat, dirantai, atau dimasukkan ke dalam
dan melakukan kekerasan di rumah dan
selanjutnya saya dibawa ke RS ini.” (P1).

Pasien yang melakukan kekerasan sering


disembunyikan oleh keluarga, sehingga
mereka terisolasi di masyarakat.

“L [teman] punya keluarga dengan


penyakit jiwa; jika [pasien] melakukan
kekerasan, ia menghancurkan atap,
rumah, dll. Jadi keluarga merahasiakan
dan menyembunyikannya. Mereka [pasien
dan keluarga] jarang diundang oleh
masyarakat. Jadi, mereka terisolasi.
Mereka terpinggirkan... stigmakan?”
(P11).

Pasien juga melakukan kekerasan terhadap


fasilitas umum, dan menghancurkan barang-
barang.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
balok kayu. ayam. Mereka dikurung seperti kambing.
[Pasien] buang air besar, makan disitu,
“Ya, itu adalah penderitaan bagi ODGJ.
seperti binatang. Ini bukan cerita tapi
Banyak sekali kita menerima pasien yang
saya melihatnya langsung; Saya itu saksi
telah dipasung, terikat, dirantai, dimasuk-
kondisi ini. Enam pasien telah dibawa ke
kan ke dalam balok kayu; tapi, ada juga
RS. Ya, beberapa dari daerah ini
pasung, seperti menempatkan penderita
mengirimkan banyak pekerja di Jawa
di ruangan kecil dan dikasih makanan
Barat. Jadi mereka stres karena mereka
sekali sehari. Beberapa pasien tidak bisa
bekerja di Arab Saudi. Mereka stres, dan
ber- jalan, kurus dan kurang gizi.
kembali ke Indonesia dikurung oleh
Mereka tidak dapat berbicara. Keluarga
keluarganya.” (P15).
mereka kaya; jika mereka ingin
membawa pasien ke RS, saya yakin
mereka mampu” (P13). Pasien lain menyebutkan bahwa ia mengalami
kekerasan seperti diserang dan dipukuli oleh

Perawat percaya bahwa pasung dan seklusi


yang terjadi di masyarakat karena stigma dan
kurangnya pengetahuan masyarakat.

“Ya, [ada] banyak informasi pemasungan


pasien. Kadang-kadang, disini, kami juga
mengakui beberapa pasien yang memiliki
riwayat pasung di rumah karena mereka
melakukan kekerasan, mereka menggang-
gu masyarakat. Mungkin [mereka] tidak
tahu cara merawat orang dengan
penyakit jiwa. Hal ini masuk akal juga,
kan? Mungkin lebih baik bagi mereka
untuk menyelamatkan orang-orang
daripada merawat ODGJ.” (P9).

Perawat lain mengatakan bahwa beberapa


pasien, menjadi stres setelah bekerja di luar
negeri. Mereka dikurung oleh keluarga saat
mereka kembali.

“Mereka dikait di pilar besar. Ada yang


diletakkan di kandang kambing atau
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

disana satu setengah bulan, namun saya

orang lain, ‘Saya berkelahi dengan beberapa tidak sehat, saya tidak lebih baik.” (P2).

orang. Saya dipukuli oleh orang-orang di


masyarakat. Saya berkelahi dengan 100 orang. Kekerasan oleh Aparat Pemerintah. Salah
Karena mereka berpikir saya berbahaya bagi satu pasien menceritakan pengalamannya
anggota masyarakat. Ya, saya punya masalah ditahanan di kantor polisi. Pasien lain diborgol
penyakit jiwa (P1). oleh polisi karena perilaku kekerasannya.

“....ya, saya diborgol. Polisi memborgol

Pasien sadar bahwa pasung adalah bentuk saya. Ibu saya meminta bantuan polisi

penganiayaan atau kejahatan terhadap ODGJ, untuk memborgol saya. Tapi belenggu

melanggar hak-hak seseorang. borgol rusak. Lihat ini [bekas luka di


tangannya].” (P15).
“ODGJ tidak jahat sama sekali. Pada
dasarnya, mereka tidak jahat. Namun,
orang-orang melakukan kejahatan terha- Kekerasan oleh Tenaga Kesehatan. Staf

dap mereka, seperti pasung. Mereka rumah sakit juga melakukan kekerasan fisik

mengambil hak saya. Saya dipasung terhadap pasien. Metode pengikatan, pengeka-

karena apa? Saya dipasung bukan untuk ngan dan pengasingan digunakan oleh staf dan

pemulihan. Tapi, saya dipasung untuk


membuat saya "gila." Hal ini lebih
menyakitkan benar.” (P14).

Kekerasan oleh Pengobatan Tradisional.


Banyak ODGJ yang mendapatkan pengobatan
tradisional mengalami kekerasan dari terapis.
Pasien mengalami terapi alternatif yang ber-
sifat abuse, seperti ditenggelamkan, dicambuk,
atau dimandikan paksa.

“Ya, saya dimandikan tengah malam.


Dukun menggunakan ilmu sihir...[tidak
jelas], memukuli saya. Saya dimandikan
jam satu malam. Saya tidak tidur. Badan
saya dikocok kocok seperti kambing. Saya
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Seorang perawat mengatakan bahwa umumnya

perawat. pasien baru di RSJ diikat.

“Saya ngamuk. Saya dipukulin di K “Jika pasien datang ke rumah sakit

[bangsal). Kepalaku dipukul kursi lipat. sangat mudah marah, beberapa pasien ini

Ya, tangan dan kaki diikat karena terikat; ada pula yang diborgol. Jika

melakukan kekerasan. Saya tidak pasien datang dengan kurang atau tidak

melakukan kesalahan tapi diborgol. marah, mereka tidak terikat. Jadi, jika

Ketika saya datang lagi ke sini, saya juga pasien berada dalam kondisi marah

diborgol oleh staf bangsal K.” (P2). ketika datang, mereka terikat. Tetapi jika
mereka tidak benar-benar marah, mereka
tidak diikat oleh orang lain. Mereka
Pasien dengan perilaku kekerasan yang
dibawa oleh keluarga atau polisi kesini.
membahayakan akan diisolasi sebagai metode
Ya, polisi. Seperti itu. Jika pasien baru,
pengendalian.
sebagian besar mereka datang dengan
“Staf (RSJ) menganggap orang gila itu terikat.” (P6).
sumber bahaya… mereka nganggap
orang gila itu benar-benar gila, bukan
manusia; harus dihapuskan, harus diba-
kar, harus ditendang, dan ditekan, dan
harus ditempatkan di ruangan gelap
seperti di U (bangsal). Ya, itu terjadi,
saya seperti babi diseret.” (P9).

Seringkali petugas keamanan dan perawat


bekerjasama dalam melakukan isolasi dan
kekerasan.

“Semuanya dihancurkan, TV rusak.


Teman saya di S (bangsal) telah meng-
hancurkan TV. Sekarang, dia ada di sini,
di bangsal K. Pasien dengan kasar
diseret oleh petugas keamanan. "Ayo
kamu." Saya juga ditarik dan dipaksa.
"Ayo sana." Saya ditarik. Saya tidak suka
diperlakukan seperti itu.” (P2).
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Ketakutan Pasien terkait dengan Tindakan “Teman-teman merasa takut. Mereka


dan Pengobatan. Pasien sering ketakutan takut pada saya. Mereka takut berdebat
akibat kekerasan dari terapi dan pengobatan dengan saya karena saya orang sakit
alternatif atau tradisional. Satu partisipan yang jiwa. Ya, argumen saya tidak diterima;
telah dibawa ke dukun mengungkapkan: tidak dipahami oleh mereka. Misalnya,
“...di Ngawi, terjadi hal menakutkan, di jika saya berbicara benar, mereka harus
daerah terpencil di Jawa, dan tempatnya nurutin saya. ” (P5).
sangat gelap. Saya takut. Dia itu mantan
pasien sakit jiwa. Dia mengatakan: "Ini
Pembahasan
penyakit gila. Ini psikopat". Saya ingin
Hubungan antara gangguan jiwa dengan
melarikan diri. Saya takut benar melihat
perilaku kekerasan adalah penyebab utama
kapaknya. Saya sangat stres, itu pengo-
stigmatisasi bagi ODGJ. Hasil penelitian ini
batan yang aneh.” (P3).
menunjukkan bahwa akibat stigmatisasi, pa-
sien melakukan kekerasan di keluarga dan
Ketakutan Keluarga. Hidup dengan anggota
komunitas. ODGJ melakukan kekerasan 2,5
keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan masalah bagi keluarga. Ketakutan
akan perilaku kekerasan berulang menyebab-
kan keluarga merasa tidak nyaman jika
penderita di rumah,

“Ya, karena malu juga, karena sebagian


besar penderita mengganggu masyarakat.
Umumnya, pasien laki-laki mengganggu
komunitas dan anggota keluarga merasa
ga nyaman dengan tetangga. Mereka
takut jika pasien melakukan kekerasan
lagi” (P11).

Ketakutan Anggota Masyarakat. ODGJ


dengan riwayat perilaku kekerasan membuat
takut masyarakat. Pasien merasa dijauhi dan
diisolasi oleh teman dan masyarakat.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
kali lebih banyak dari populasi umum kadang-kadang terkait dengan perilaku keke-
(Corrigan & Watson, 2005). Seringkali, rasan (Cotton & Coleman, 2010).
kekerasan yang dilakukan ODGJ diarahkan
pada orang yang mereka kenal, terutama
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga
anggota keluarga (Wehring & Carpenter,
takut menghadapi anggota keluarga ODGJ,
2011).
terutama karena risiko perilaku kekerasan. Hal
ini sesuai dengan studi yang menyatakan ada
Percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri hubungan erat antara perilaku kekerasan yang
sering dilakukan oleh ODGJ sebagai upaya dialami oleh ODGJ dengan ketakutan mereka.
untuk menyelesaikan masalah mereka. Keke- Stigmatisasi gangguan kesehatan mental men-
rasan mandiri meliputi ide atau percobaan ciptakan rasa takut dan ODGJ mendapat label
bunuh diri, sengaja melukai diri, serta bunuh berbahaya (Araujo & Borrell, 2012; Bathje &
diri. Sebanyak 18–55% kelompok ODGJ Pryor, 2011). Satu dari empat orang Kanada
melakukan percobaan bunuh diri (Harkavy- takut berada di sekitar ODGJ (Canadian
Friedman, et al., 2003; Tarrier, et al., 2004).
Risiko menyakiti diri sendiri meningkat
terutama pada ODGJ dengan skizofrenia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa


ODGJ juga melakukan kekerasan terhadap
perawat. Hasil ini didukung oleh beberapa
studi. Perawat adalah profesi yang paling
rentan menjadi target kekerasan (Holmes, et
al., 2004; Inoue, et al., 2006), sebagian besar
perawat mengalami kekerasan selama karir
mereka (Inoue, et al., 2006; Landy, 2005).

Penelitian ini mengungkapkan, selain berperi-


laku kekerasan, ODGJ juga menjadi korban
kekerasan. Di Yunani, ODGJ lebih sering
menjadi korban kejahatan (Katsikidou et al.,
2012). Di Taiwan, abuse terhadap pasien
ODGJ lebih tinggi dari pada populasi (Hsu
dkk., 2009). Interaksi antara polisi dan ODGJ
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Medical Association, 2008). Banyak yang bersiko mendapatkan ancaman dan kekerasan
menganggap bahwa ODGJ menimbulkan an- sehingga seringkali membenarkan beberapa
caman bagi keselamatan umum (Jorm & jenis intervensi, seperti pengikatan, isolasi,atau
Griffiths, 2008). Rasa takut yang dialami pengasingan yang merugikan hubungan pera-
perawat dapat memengaruhi hubungan pera- wat dengan pasien.
wat dengan pasien, yang menghambat pem-
berian asuhan keperawatan (Jacob, 2010).
Penelitian lanjut diperlukan untuk melihat
bagaimana keluarga, masyarakat, dan aparat
Ketakutan masyarakat pada ODGJ dapat pemerintah memandang stigma terkait perilaku
dipengaruhi oleh media massa yang berperan kekerasan pada ODGJ. Program kampanye
membentuk opini masyarakat. Penggambaran anti-stigma akan mengurangi konsekuensi ne-
ini sangat terkait dengan perasaan ketakutan gatif stigmatisasi ODGJ terhadap perilaku ke-
masyarakat pada ODGJ (Arboleda-Florez, kerasan di Indonesia. Program ini perlu di-
2003). sesuaikan dengan kelompok khusus sehingga
dapat mengurangi akibat negatif dari stigma
gangguan jiwa (SH, INR, PN).
Kesimpulan

Penelitian ini menemukan bahwa perilaku


kekerasan adalah konsekuensi dari stigmatisasi
terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi ada-
lah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ.
Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan
para perawat. Hasil penelitian memberikan
informasi tentang stigmatisasi dalam pelaya-
nan keperawatan jiwa di Indonesia.

Sangat penting memasukkan materi stigma-


tisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pen-
didikan calon perawat. Mereka kemungkinan
akan menghadapi risiko perilaku kekerasan
dari pasien jika bekerja di area keperawatan
jiwa. Keperawatan jiwa merupakan area yang
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Referensi approach. Police Practice and Research, 11

Araujo, B., & Borrell, L. (2012). Understanding (4), 301–

the link between discrimination, mental health 314.

outcomes, and life chances among Latinos.


Hispanic Journal of Behavior Sciences, 28 Harkavy-Friedman, J.M., Kimhy, D., Nelson, E.A.,
(2), 245–266. Venarde, D.F., Malaspina, D., & Mann. J.J.
(2003). Suicide attempts in schizophrenia: The

Arboleda-Florez, J. (2003). Considerations on the roleof command auditory hallucinations for

stigma of mental illness. Canadian Journal of suicide. Journal of Clinical Psychiatry, 64,

Psychiatry, 48 (10), 645–650. 871–874.

Bathje, G., & Pryor, J. (2011). The relationship of Harpham, T., Reichenheim, M., Oser, R., Thomas,

public and self-stigma to seeking mental E., Hamid, N., Jaswal, S., ... Aidoo, M. (2003).

health services. Journal of Mental Health Measuring health in cost effective manner.

Counseling, 33 (2), 161–176. Health Policy and Planning, 18 (3), 344.

Canadian Medical Association (2008). 8th Annual


national report card on health care. Ottawa
ON: Canadian Medical Association.

Charmaz, K. (2006). Constructing grounded


theory: A practical guide through qualitative
analysis. London: Sage Publications.

Chivotti, R.F., & Piran. N. (2003). Rigour and


grounded theory research. Journal of
Advanced Nursing, 44 (4), 427–435.

Corrigan, P.W., & Watson, A.C. (2005). Findings


from the national comorbidity survey on the
frequency of violent behavior in individuals
with psychiatric disorders. Psychiatry
Research, 136, 153–162.

Cotton, D., & Coleman, T. (2010). Canadian


police agencies and their interactions with
persons with a mental illness: A systems
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Heath, H., & Cowley, S. (2004). Developing a biomedical conceptualizations? Acta


grounded theory approach: A comparison of Psychiatrica Scandinavica, 118 (4), 315–321.
Glaser and Strauss. International Journal of
Nursing Studies, 41 (2), 141–150.
Kapungwe, A., Cooper, S., Mwanza, J., Mwape,
Sikwese, L.A., ... Flisher, A.J. (2010). Mental
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A., & St-Pierre, I. illness - stigma anddiscrimination in Zambia.
(2012). Introduction (re) thinking violence in African Journal of Psychiatry, 13, 192–203.
health care settings: A critical approach. In
Holmes, D., Rudge, T., Perron, A. (Eds). (Re) Katsikidou, M., Samakouri, M., Fotiadou, M.,
Thinking violence in health care settings: A Arvaniti, A., Vorvolakos, T., Xenitidis, K .,
critical approach. Surrey: Ashgate Publishing, &Livaditis, M. (2012). Victimization of the
Ltd. severely mentally ill in Greece: The extent of
the problem. International Journal of Social
Hsu, C.C., Sheu, C.J., Liu SI, Sun, Y.W., Wu, S.I., Psychiatry, 59 (7), 706–715.
& Lin, Y. (2009). Crime victimization of
persons with severe mental illness in Taiwan. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset
Aealand Journal of Psychiatry, 460–466. kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Inoue, M., Tsukano, K., Muraoka, M., Kaneko, F., Kementerian Kesehatan RI.
& Okamura, H. (2006). Psychological impact
of verbal abuse and violence by patients on
nurses working in psychiatric departments.
Psychiatry and Clinical Neurosciences, 60(1),
29–36.

Jacob, J.D. (2010). Fear and power in forensic


psychiatry: nurse-patient interactions in a
secure environment. Doctoral Dissertation
School of Nursing University of Ottawa,
Canada:

Jorm, A.F., & Griffiths, K.M. (2008). The public’s


stigmatizing attitudes towards people with
mental disorders: how important are
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Landy, H. (2005). Violence and aggression: How (EuroSC). Psychological Medicine, 38 (4),
nurses perceive their own and their colleagues 591–597.
risk. Emergency Nurse, 13, 12–15.

Solomon, P.L., Cavanaugh, M.M., & Gelles, R.J.


McFarlane, A.C., Schrader, G.D., & Bookless, C. (2005). Family violence amongadults with
(2004). The prevalence ofvictimization and severe mental illnesses. Trauma, Violence and
violent behaviour in the seriously mentally ill Abuse, 6 (1), 40–54.
(Theses, University of Adelaide). Department
of Psychiatry, University of Adelaide,
Spector, P.E., Allen, T.D., Poelmans, S., Lapierre,
Adelaide, Australia.
L.M., Cooper, C.L., ... O’Driscoll, M. (2007).
Cross-national differences in relationships of
work demands, job satisfaction and turnover
intentions with work–family conflict.
Paillé, P. (1994). L’analyse par
théorisation ancrée. Personnel Psychology, 60, 805–835.
Cahiers de recherche sociologique, 23,
147–
181.
Stuart, H. (2004). Stigma and work. Healthcare
papers, 5(2), 100–111.
Sandelowski, M. (1986). The problem of rigor in
qualitative research. Advances in Nursing
Tarrier, N., Barrowclough, C., Andrews, B., &
Science, 8 (3), 27–37.
Gregg, L. (2004). Risk of non-fatal suicide
ideation and behaviour in recent onset
Schomerus, G., Heider, D., Angermeyer, M.C., schizophrenia. Social Psychiatry and
Bebbington, P.E., Azorin, J.M., Brugha, T., Psychiatric Epidemiology, 39, 927–937.
&Toumi, M. (2008). Urban residence,
victimhood and the appraisal of personal
Teplin, L.A., McClelland, G.M., Abram, K.M., &
safety in people with schizophrenia: Results
Weiner, D.A. (2005). Crime victimization in
from the European Schizophrenia Cohort
adults with severe mental illness. Archives of
general psychiatry, 62, 911–921.

PENGARUH TERAPI TOKEN TERHADAP


KEMAMPUAN MENGONTROL PERILAKU
KEKERASAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA
Sunarsih*, Idawati Manurung*, Holidy*
*Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang
Email: sunarsihkarim@gmail.com, idawatimanurung@yahoo.com, holidyilyas@yahoo.co.id
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis bisa dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Token Ekonomi
adalah suatu wujud modifikasi yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan pengurangan
perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (hadiah-hadiah). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui nilai rata-rata kemampuan mengontrol diri pasien rawat inap di LKS-ODK Kemiling Bandar
Lampung sebelum dan setelah dilakukan terapi token. Jenis penelitian ini adalah quasy experimental dengan
rancangan pretest-posttest one group design. Jumlah sampel sebanyak 20 orang, dipilih dengan purposive
sampling. Instrumen yang digunakan berupa lembar observasi. Hasil yang didapat adalah rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dilakukan terapi token adalah 20,05, dan rata-rata nilai
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan setelah mendapat terapi token adalah 36,20. Hasil uji dependen
sample t-test didapat bahwa ada pengaruh kemampuan mengontrol perilaku kekerasan sebelum dan setelah
dilakukan terapi token (p value 0,00<0,05). Diharapkan petugas kesehatan dapat lebih meningkatkan intervensi
pada asuhan keperawatan untuk pasien-pasien gangguan jiwa, khususnya perilaku kekerasan dengan menerapkan
terapi aktivitas kelompok dan terapi token secara terprogram dan terstruktur.

Kata Kunci: Perilaku kekerasan, token ekonomi dari satu juta kasus bunuh diri setiap
tahunnya akibat gangguan jiwa
LATAR BELAKANG (WHO, 2015). Gangguan jiwa
ditemukan di semua negara, terjadi
Gangguan jiwa menurut pada semua tahap kehidupan,
American Psychiatric Assosiation termasuk orang dewasa dan
dalam Diagnostic and Statistic
Manual of Mental (DSM) IV- TR
(2000 dalam Townsend, 2009) adalah
sindroma perilaku yang secara klinik
bermakna atau sindroma psikologis
atau pola yang dihubungkan dengan
kejadian distres pada seseorang atau
ketidakmampuan atau peningkatan
secara signifikan resiko untuk
kematian, sakit, ketidakmampuan atau
hilang rasa bebas.

Gangguan jiwa mencapai 13%


dari penyakit secara keseluruhan dan
ke kemungkinan akan berkembang
menjadi 25% di tahun 2030,
gangguan jiwa juga berhubungan
dengan bunuh diri, lebih dari 90%
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

cenderung terjadi peningkatan


gangguan jiwa.

Perilaku kekerasan adalah suatu


bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis bisa dilakukan secara verbal,
diarahkan pada diri sendiri, orang lain
dan lingkungan.

Ketidakmampuan yang terjadi


pada klien gangguan jiwa dikaitkan
dengan disabilitas akibat gangguan jiwa
berat yang dialami. Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013
yang menyebutkan bahwa gangguan
jiwa mencapai 1,7% meningkat dari
tahun 2007 sebesar 0,46%. Wilayah
paling banyak dengan kasus gangguan
jiwa adalah Daerah Istimewa
Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan,
Bali, dan Jawa Tengah (Kemenkes RI.
2014). Berdasarkan wawancara dengan
perawat ruangan pada tanggal 7 Mei
2016, didapatkan data bahwa jumlah
pasien rawat inap ada 70 pasien
gangguan jiwa dan didapatkan 80%
mempunyai riwayat
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
perilaku kekerasan atau sekitar 56 terapi ini dengan memberikan klien
pasien yang memiliki riwayat imbalan atas perilaku yang
perilaku kekerasan. diharapkan dari klien dan mampu
dilakukannya.
Salah satu terapi yang dapat
dilakukan perawat untuk
mengontrol perilaku kekerasan
adalah dengan diberikan terapi
kognitif, terapi keluarga, terapi
perilaku : token ekonomi (Susana,
2012). Perilaku ini dipilih peneliti
sebagai pendamping terapi
psikofarmaka untuk meningkatkan
perilaku dalam mengontrol
perilaku kekerasan.

Terapi token ekonomi


dianggap efektif dalam merubah
tingkah laku klien, terapi ini
dengan memberikan klien imbalan
atas perilaku yang diharapkan dari
klien dan mampu dilakukannya.
Kegiatan ini dapat dilakukan
dengan memberi token (permen,
uang, atau makanan) bila klien
sukses mengubah perilakunya.

Berdasarkan uraian diatas,


maka perilaku kekerasan
merupakan gangguan jiwa yang
membutuhkan perawatan intensif
karena dapat menciderai diri,
oranglain dan lingkungan. Salah
satu terapi yang dapat digunakan
adalah terapi perilaku token
ekonomi yang dianggap efektif
dalam merubah tingkah laku klien,
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Variabel independen dalam
penelitian ini adalah penelitian ini Responden dalam penelitian
adalah kemampuan mengontrol ini berjumlah 20 orang dengan
perilaku terapi token. Variabel karakteristik usia sebagian besar
dependen dalam kekerasan. berusia 31-40 tahun (65%) dan
Analisis univariat dilakukan untuk berusia 19-30 tahun (35%).
mengetahui kemampuan Berdasaekan jenis kelamin
mengontrol perilaku kekerasan sebagian besar responden berjenis
klien menggunakan analisis yaitu kelamin laki-laki (70%).
mean, median, standar deviasi. Sedangkan berdasarkan lama rawat
Analisa bivariat dilakukan untuk responden sebagian besar dirawat
membuktikan hipotesis penelitian dalam kurun waktu 11-25 tahun
menggunakan uji dependen (60%).
sample t-test.

Tabel 1: Distribusi Responden Berdasar-


kan Kemampuan Mengontrol
HASIL Perilaku Kekerasan Sebelum dan
Sesudah Terapi Token
Analisis Univariat

METODE Kemampuan mengontrol Pre test Post test


perilaku kekerasan
f % f %
Desain yang digunakan 20 orang dipilih dengan purposive
dalam penelitian ini adalah quasy sampling. InstrumenVyang
experimentaldengan rancangan digunakan berupa lembar observasi.
pretest- posttest one group design. Waktu penelitian dilakukan
Ciri dari desain penelitian ini pada tanggal 20-30 Juli 2016.
dengan memberikan intervensi Tempat penelitian ini dilaksanakan
kepada responden yang akan di LKS-ODK Ekspsikotik Kemiling
dilakukan terapi token. Sampel Bandar Lampung.
penelitian yang diteliti adalah klien
yang dirawat inap dengan perilaku
kekerasan dengan memperhatikan
kriteria inklusi sebanyak
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Tidak mampu mengontrol 13 35 6 30


Mampu mengontrol 7 65 14 70

Jumlah 20 100 20 100

Berdasarkan tabel di atas


diketahui bahwa distribusi
frekuensi kemampuan dalam
mengontrol perilaku kekerasan
sebelum dilakukan terapi 7

respondenmampu mengontrl dan


setelah dilakukan terapi token
kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan meningkat menjadi 14
responden mampu mengontrol
perilaku kekerasan.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Tabel 2: Distribusi Rata-rata Kemampuan Berdasarkan dari jenis
Mengontrol Perilaku Kekerasan kelamin, didapatkan bahwa
Sebelum dan Sesudah Terapi distribusi frekuensi jenis kelamin
Token pada pasien perilaku kekerasan
lebih banyak pada katagori laki-
laki sebanyak 14 dengan
persentase 70%. Hal

Kemampuan Min- ini menunjukkan bahwa terjadinya perilaku


mengontrol Maks
Mean Median SD kekeasan lebih banyak dilakukan oleh
perilaku kekerasan sebanyak 13 orang dengan
Sebelum dilakukan
20,05 18,00 7,02 12-32
terapi token persentase 65% dan usia 19-30
Sesudah dilakukan
36,20 39,50 11,23 16-50 tahun sebanyak 7 orang dengan
terapi token
persentase (35,0%).Data ini
menunjukkan klien yang
Berdasarkan tabel di atas
mengalami perilaku kekerasan
rata-rata skor kemampuan
lebih banyak pada klien usia
mengontrol perilaku kekerasan
produktif. Hal inisejalan dengan
sebelum dilakukan terapi token
konsep Niven (2002) bahwa
sebesar 20,05 dengan standar
seseorang yang memiliki usia muda
deviasi sebesar 7,02. Skor terendah
lebih patuh daripada usia tua. Hal
12 dan teringgi 32. Sedangkan
ini memungkinkan karena usia
sesudah dilakukan terapi token
muda memiliki kapasitas dan fungsi
menjadi sebesar 36,20 dengan
memori yang lebih baik untuk
standar deviasi sebesar 11,23. Skor
menerima informasi tentang
terendah 16 dan tertinggi 50.
pengobatan. Struat dan Laraia
(2009) menyatakan usia
berhubungan dengan pengalaman
seseorang dalam menghadapi
PEMBAHASAN
berbagai macam stresor,
kemampuan memanfaatkan sumber
Jika dilihat dari segi usia,
dukungan dan keterampilan dalam
berdasarkan hasil penelitian,
mekanisme koping. Dapat
distribusi frekuensi umur pasien
disimpulkan bahwa usia
perilaku kekerasan lebih banyak
berhubungan dengan individu dan
pada kategori usia 31-40 tahun
kemampuan mengambil keputusan
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
Keperawatan
2018, hlm. 137–143
dalam menyelesaikan setiap klien dengan jenis kelamin laki-
laki. Hal
masalah yang datang.
ini sejalan dengan teori Al-saffar
dan Saeed (2007), mengatakan
bahwa laki-laki lebih sering di
diagnosis sebagai gangguan jiwa
dibanding perempuan. Pada
umumnya laki-laki dan perempuan
mempunyai resiko yang sama
untuk menderita gangguan jiwa
berat namun, derajat keparahan
gangguan jiwa berat lebih besar
pada laki-laki. Jenis kelamin
mempengaruhi kemampuan
mengontrol diri, dikatakan pria
lebih temperamental dari pada
wanita yang dikatakan lebih sabar
dalam mengontrol perilakunya.

Berdasarkan lama dirawat,


Berdasarkan hasil penelitian di
dapat bahwa distribusi frekuensi
lama di rawat pada pasien perilaku
kekerasan diketahui lebih banyak
pada 11-25 tahun sebesar (60%).
Menurut teori Noviadi (2008) yang
dikutip oleh Aristina Haalwa
(2014) yang menyatakan bahwa
semakin lama pasien dirawat
makasemakin banyak pasien
tersebut mendapatkan terapi
pengobatan dan perawatan.
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pasien yang sudah lama
dirawat maka kemampuan dalam
mengontrol perilaku kekerasan
dirinya maka semakin baik.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Berdasarkan hasil penelitian
dapat diketahui bahwa rata-rata
skore kemampuan mengontrol
perilaku kekerasan sebelum
dilakukan TAK dan terapi token
sebesar 20,05 dan rata-rata skore
kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan setelah dilakukan TAK
dan terapi token sebesar 36,20.
Dari hasil uji paired sample t-test
di peroleh p value 0,00<0,05,
artinya Ho ditolak dan Ha
diterima, ada pengaruh terapi
token ekonomi terhadap
kemampuan mengontrol perilaku
kekerasan pada pasien rawat inap
di LKS-ODK Ekspsikotik
Kemiling Bandar Lampung Tahun
2016.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Menurut Parendrawati (2009) Rumah Sakit Jiwa Provinsi
bahwa metode pemberian reward Bali”.Hasil penelitian ini
atau reinforcementpositif memiliki membuktikan ada perbedaan
pengaruh berarti terhadap kemampuan klien mengontrol
peningkatan perilaku. Menurut perilaku kekerasan pre test dengan
Stuart & Laraia, (2009) untuk post test pada kelompok perlakuan
meningkatkan pengetahuan dan sebelum dan sesudah mendapatkan
perilaku seseorang dapat dilakukan terapi token (p value <0,05).
dengan memberikan dasar Terapi token ekonomi
pengetahuan yang kuat dan dianggap efektif dalam merubah
pemberian reinforcement positif tingkah laku klien, terapi ini dengan
atau pemberian reward. Strategi memberikan klien imbalan atas
lain untuk mengubah perilaku perilaku yang diharapkan dari klien
secara efektif adalah dengan token dan mampu dilakukannya. Kegiatan
ekonomi. Hasil penelitian yang ini dapat dilakukan dengan
didapat juga didukung oleh teori memberi token (permen, uang, atau
Nasir dan Muhith (2011) salah satu makanan) bila klien sukses
terapi perilaku untuk merubah mengubah perilakunya.
perilaku adalah dengan pemberian
Adanya pengaruh terapi
token ekonomi yaitu reinforcement
perilaku token ekonomi terhadap
positif yang sering digunakan pada
kemampuan mengontrol perilaku
klien psikiatri. Terapi perilaku
kekerasan disebabkan karena pada
token ekonomi merupakan suatu
saat pelaksanaan terapi perilaku
wujud modifikasi perilaku yang
token sebanyak 4 sesi, dimana
dirancang untuk meningkatkan
disetiap sesi ini klien mendapatkan
perilaku yang diinginkan dan
berbagai informasi mengenai
pengurangan perilaku yang tidak
kemampuan mengontrol perilaku
diinginkan.
kekerasan secara fisik, diantaranya
Hasil ini sejalan dengan klien diajarkan cara
penelitian yang dilakukan oleh
Suardika (2012), dengan judul
penelitian “Pengaruh Terapi Token
Ekonomi terhadap Kemampuan
Mengontrol Perilaku Kekerasan
Pada Klien Gangguan Jiwa Di
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
menarik nafas dalam dan pukul mampu dalam mengontrol perilaku
bantal. Secara verbal, bagaimana kekerasannya.
cara meminta dengan baik, Hasil penelitian ini
menolak dengan baik, menerima menunjukkan setelah dilakukan
dengan baik, dan permintaan terapi perilaku token ekonomi,
maaf. Secara spiritual, sholat dan kepatuhan minum obat pada klien
berdoa tanpa harus menyalahkan skizofrenia mengalami
Tuhan dengan keadaan yang peningkatan. Terjadinya perubahan
seperti ini. Dan patuh minum perilaku menjadi patuh minum
obat, apa manfaat patuh minum obat setelah diberikan terapi
obat bagi klien, cara minum obat perilaku token ekonomi karena
dengan prinsip 5 benar. Informasi pada saat pelaksanaan terapi
yang sudah diberikan ini untuk perilaku token ekonomi ini klien
merubah perilaku klien selain diarahkan dan diajarkan terlebih
pemberian informasi terapi dahulu perilaku yang akan dirubah,
perilaku token juga diperkuat dan klien akan diberikan reward
dengan pemberian reward yang (reinforcement positif) berbentuk
berupa hadiah, yang didapatkan tanda bintang dan tandabintang ini
ketika responden mampu akan ditukarkan dengan hadiah
menunjukan kemampuan yang sudah disediakan oleh
mengontrol perilaku kekerasan. peneliti jika klien mampu merubah
Pemberian token (hadiah) ini perilakunya. Reinforcement positif
dilakukan segera setelah klien yang berbentuk tanda bintang ini
mampu mengontrol perilaku merupakan salah satu bentuk
kekerasan dan memiliki nilai motivsai ekstrinsik yang dapat
tertinggi, dengan hadiah yang merubah perilaku klien, dan
telah disediakan peneliti, hal ini diharapkan perilaku yang muncul
menyebabkan klien merasa akan cukup mengajarkan untuk
dihargai atas perilaku yang memelihara tingkah laku yang
mereka lakukan sehingga klien baru.
akan mengulangi perilaku tersebut
Motivasi ekstrinsik pada
sehingga terjadi perubahan
penelitian ini adalah mendapatkan
perilaku yaitu klien menjadi
reward dari nilai tertinggi, tetapi
karena mereka
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
melaksanakan dan mereka mendapatkan manfaat yang baik dari perubahan itu,
ditambah lagi mendapat respon atau pujian yang baik dari teman dan pasien, maka
motivasi itu berkembang menjadi motivasi instrinsik karena responden mendapatkan
langsung hadiahnya yaitu menjadi orang yang lebih baik dan direspon baik dari orang
sekelilingnya. Perolehan tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan sendirinya
akan menjadi cukup mengajarkan untuk memelihara tingkah laku yang baru yang
diyakini dan dilakukannya.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata nilai kemampuan mengontrol


perilaku kekerasan pada pasien rawat inap sebelum dilakukan terapi token sebesar
20,05 dan setelah dilakukan terapi token menjadi sebesar 36,02, hal ini berarti terjadi
peningkatan. Berdasarkan hasil analisis statistik, maka disimpulkan bawha ada
perbedaan kemampuan mengontrol kekerasan sebelum dan sesudah dilakukan terapi
token (p value = 0,00 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh terapi token
terhadap
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
kemampuan mengontrol perilaku kekerasan.

Berdasarkan kesimpulan penulis menyarankan agar pusat layanan pasien


ekspsikotik mampu meningkatkan mutu pelayanan dengan menerapkan terapi- terapi
aktivitas kelompok dan psikoterapi kepada pasien gangguan jiwa secara terprogram
dan terstruktur.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Nasir, A. M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.


Kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
LKS-ODK. (2016). Laporan Kesehatan Jiwa Yayasan Aulia Rahma.Rekam Medik LKS-ODK
Ekspsikotik. Kemiling: Lampung.Tidak dipublikasikan.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Stuart, G. W. (2009). Buku Saku Keperawatan Jiwa . Jakarta: EGC.
Susana, S. A. (2012). Terapi Modalitas Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

STUDI FENOMENOLOGI : STRATEGI PELAKSANAAN YANG EFEKTIF UNTUK


MENGONTROL PERILAKU KEKERASAN MENURUT PASIEN
DI RUANG RAWAT INAP LAKI
LAKI

Sujarwo1, Livana PH2


1
RSJD Dr Amino Gondhohutomo Semarang
2
Program studi Ners, Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Kendal jarfafafin@gmail.com

ABSTRAK
Hemodialisis (cuci darah) merupakan suatu tindakan terapi pengganti ginjal yang telah rusak.
Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami masalah psikologis salah satunya yaitu
ansietas. Ansietas terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui gambaran tingkat ansietas, pasien dan keluarga pasien hemodialisis di RS
Kendal. Metode penelitian menggunakan survey deskriptif kuantitatif.Alat ukur
menggunakan 14 pertanyaan terkait ansietas pada kuesioner DASS (Depression Anxiety
Stress Scale).Sampel penelitian berjumlah 60 pasien dan 60 keluarga pasien.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas pasien dan keluarga pasien mengalami ansietas pada tingkat
berat. Hasil penelitian ini direkomendasikan kepada peneliti selanjutnya agar dapat
memberikan intervensi yang efektif untuk mengatasi ansietas pasien dan keluarga pasien
hemodialisis.

Kata kunci: Ansietas, Pasien dan Keluarga pasien hemodialisis

DESCRIPTION OF PATIENT ANSIETAS LEVELS AND FAMILY OF


HEMODIALYSIS PATIENTS

ABSTRACT
Hemodialysis (dialysis) is an action therapy for kidney replacement that has been damaged. Patients
who undergo hemodialysis experience psychological problems, one of which is anxiety. Anxiety
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm.due
137–143 Keperawatan
occurs to lack of knowledge. The study aims to describe the level of anxiety, patients and families
of hemodialysis patients in Kendal Hospital. The research method used a quantitative descriptive
survey. Measuring instruments used 14 questions related to anxiety on the DASS questionnaire
(Depression Anxiety Stress Scale). The research samples were 60 patients and 60 patient families.
The results showed that the majority of patients and families of patients experienced anxiety at a
severe level. The results of this study were recommended to future researchers in order to be able to
provide effective interventions to overcome the anxiety of patients and families of hemodialysis
patients.

Keywords: Anxiety, Patients and Families of hemodialysis patients

PENDAHULUAN
individu. Salah satu gangguan jiwa yang
Gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau
menjadi penyebab penderita dibawa ke
pola psikologis atau perilaku yang penting
rumah sakit adalah perilaku kekerasan.
secara klinis yang terjadi pada seseorang
Peilaku kekerasan (PK) adalah suatu
dan dikaitkan dengan adanya distress atau
bentuk perilaku agresi atau kekerasan
disabilitas disertai peningkatan resiko
yang ditunjukkan secara verbal, fisik, atau
kematian yang menyakitkan, nyeri,
keduanyakepada suatu subyek, orang atau
disabilitas, atau kehilangan kebebasan
diri sendiri yang mengarah pada potensial
(American Psychiatric Association 2000
untuk destruktif atau secara aktif
dalam Varcarolis, 2006). Menurut
menyebabkan kesakitan, bahaya, dan
(Townsend, 2005) mengungkapkan
penderitaan (Bernstein & Saladino, 2007).
gangguan jiwa adalah respon maladaptive
terhadap stressor dari lingkungan internal
dan eksternal yang ditunjukkan dengan Menurut rekam medic RSJD Dr. Amino
pikiran, perasaan, tingkah laku yang tidak Gondohutomo Semarang tahun 2015 ,
sesuai dengan norma local dan budaya presentase penderita gangguan jiwa selama
setempat, dan mengganggu fungsi sosial, tahun 2014 yaitu klien rawat inap laki-laki
pekerja, dan fisik sebanyak 65,3% dan
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
34,7% perempuan. Sedangkan pada bulan ruang rawat inap laki laki RSJD Dr. Amino
Januari sampaiJuli 2016 sebanyak Gondohuttomo Semarang.
2294 orang,

diantaranya 1162 halusinasi (50,65%), Strategi pelaksanaan (SP) yang dilakukan oleh
menarik klien dengan perilaku kekerasan adalah diskusi
diri 462 orang (20,13%), harga diri rendah mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan
374
secara fisik, obat, verbal, dan spiritual.
orang (5,66%), perilaku kekerasan 128
orang Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
(5,58%), defisit perawatan diri 21 orang dapat dilakukan dengan cara nafas dalm, dan
(0,91%),
pukul bantal atau kasur. Mengontrol secara
kerusakan komunikasi verbal 16 orang
(0,70%), verbal yaitu dengan cara menolak dengan baik,
percobaan bunuh diri 1 orang (0,40%). meminta dengan baik, dan mengungkapkan
dengan baik. Mengontrol perilaku kekerasan

Pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid secara spiritual dengan cara shalat dan berdoa.

dan gangguan psikotik dengan gejala curiga Serta mengontrol perilaku kekerasan dengan

berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan. minum obat secara teraturdengan prinsip lima

Gejala ini merupakan tanda dari pasien yang benar (benar klien, benar nama obat, benar

mengalami perilaku kekerasan (Medikal cara minum obat, benar waktu minum obat,

Record, 2009). Masalah yang sering muncul dan benar dosis obat). Dari

pada klien gangguan jiwa khususnya dengan


kasus perilaku kekerasan salah satunya adalah
tindakan marah. Tindakan yang dilakukan
perawat dalam mengurangi resiko perilaku
kekerasan salah satunya adalah dengan
menggunakan strategi pelaksanaan (SP). SP
merupakan pendekatan yang bersifat
membina hubungan saling percaya antara
klien dengan perawat, dan dampak apabila
tidak diberikan SP akan membahayakan diri
sendiri maupun lingkungannya. Dari hasil
observasi yang telah dilakukan oleh perawat,
kami tertarik untuk melakukan studi kasus
mengenai penerapan stategi pelaksanaan (SP)
perilaku kekerasan yang paling efektif di
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
Keperawatan
keempat SP137–143
2018, hlm. yang digunakan untuk Alat penelitian yang digunakan meliputi,
mengontrol perilaku kekerasan, peneliti ingin lembar observasi, kertas dan recorder. Cara
mengetahui SP nomor berapa yang paling pengumpulan data pada penelitian dilakukan
efektif digunakan pada pasien perilaku dengan melakukan kontrak waktu, melakukan
kekerasan. indeept interview, menvalidasi dan
menyimpulkan jawaban informan informan,
mendokumentasikan respon informan, dan
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan mengakhiri dengan penutupan serta salam.

kualititatif, penelitian yang menghasilkan


data deskriptif berupa kata-kata tertulis
HASIL
maupun lisan dari orang-orang dan perilaku Hasil penelitian berupa transkip wawancara
yang diamati (Meloang, 2007). Penelitian ini yang telah peneliti buat kemudian
dilakukan untuk mengetahui SP perilaku dikategorikan sesuai dengan kata kunci yang
kekerasan yang paling efektif menurut telah disajikan dalam tabel dan skema berikut
pendapat responden. Populasi dalam :
penelitian ini adalah semua pasien dengan
masalah resiko perilaku kekerasan di ruang
Rawat Inap Laki laki RSJD Dr. Amino
Gondhutomo Semarang. Adapun kriteria
inklusi dari penelitian ini antara lain pasein
sehat secara fisik, pasien dengan resiko
perilaku kekerasan, mampu berkomunikasi
dengan baik, pasien kooperatif dan dapat
mengungkapkan perasannya secara verbal
dengan baik. Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling (judgment sampling).
Peneliti mengkaji faktor predisposisi, kondisi
fisik dan status mental klien dengan resiko
perilaku kekerasan dan menetapkan sampel
berdasarkan kriteria inklusi. Jumlah sampel
yang digunakan pada penelitian ini sebanyak
6 penderita skizofrenia dengan resiko
perilaku kekerasan di ruang rawat inap
laki laki RSJD Dr. Amino Gondohutomo.
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

Tabel 1. Kategori dan kata kunci

Kategori Kata Kunci

Marah Marah secara verbal seperti berbicara kasar dan keras

Marah secara tindakan seperti mengamuk, memukul, merusak


barang Penyebab marah Diri sendiri : merasa curiga ada yang ingin jahat pada
dirinya
Orang lain : kata-kata yang menyinggung dan membuat marah, diacuhkan
dan diabaikan orang lain, dikhianati

Yang Secara verbal : berbicara kasar dan ngomel-ngomel


dilakukan
Secara fisik :berkelahi, membanting barang, membakar barang
ketika marah

Kategori Kata Kunci

Marah berhenti jika Secara verbal : ketika dimarahin orang lain, ketika lelah sendiri

Secara tindakan : ketika merasa uas dengan tindakan yang dilakukan seperti
membacok, menghancurkan barang

Mengontrol PK Sudah : sudah pernah diajarkan SP minimal SP 1

Belum : belum diajarkan SP sama sekali

Efektivitas SP Nafas
dalam
Pukul
bantal
Verbal dengan menolak dan meminta sesuatu secara
baik Spiritual : berdoa, dzikir, calming teknique,
Obat

Perassaan Lega : tidak ada beban didalam


hati Tenang : hati adem
Pelaksanaan SP Mandiri : dilakukan secara mandiri
Diingatkan : harus ada orang yang mengingatkan saat pelaksanaan SP
Selalu : >3x sehari

Kuantitas
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
Keperawatan
Jarang
2018, hlm. 137–143 Kadang : 1x
: 2x sehari
sehari Tidak pernah : 0
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
Tabel 2.
Tema, Sub tema dan Kategori
Tema Sub tema Kategori
1. Tindakan : mengamuk
2. Verbal : marah-marah
Penyebab masuk RSJ
3. Tindakan : memukul
4. Tindakan : merusak barang
1. Orang lain : Tersinggung
2. Orang lain : Tidak diperhatikan
Penyebab mengamuk
3. Diri sendiri : Curiga
4. Orang lain : Dikhianati
1. Fisik : Berkelahi
2. Fisik : Membanting barang-barang
Yang dilakukan ketika marah
3. Verbal : Bicara kasar
4. Fisik : Membakar
Marah berhenti, jika melakukan 1. Tindakan : membacok
Pengetahuan pasien 2. Verbal : dimarahin
tentang perilaku 3. Verbal : ketika klien merasa lelah
kekerasan 4. Tindakan : menghancurkan barang
Diajarkan cara mengontrol 1. Sudah : SP1-SP 4
Perilaku Kekerasan 2. Sudah : SP1-SP 4
3. Sudah : SP1-SP 4
4. Sudah : SP1-SP 4
1. Spiritual : Berdoa dan ikhlas
Paling efektif mengontrol 2. Napas dalam dan berdoa / shalat
marah 3. Nafas dalam
4. Nafas dalam dan Pukul bantal
Perasaan setelah melakukan 1. Lega
cara mengontrol marah 2. Tenang
3. Tenang
4. Lega
Melakukan SP secara mandiri 1. Mandiri
atau diingatkan 2. Mandiri
3. Mandiri
4. Mandiri
Kuantitas 1. Kadang-kadang : 1x sehari
2. Kadang-kadang : 1x sehari
3. Kadang-kadang : 1x sehari
4. Kadang-kadang : 1x sehari
Masing-masing tema yang didapat dari hasil dibawa RSJ karena memukul orang
penelitian akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Pengetahuan pasien tentang perilaku kekerasan


Tema ini terdari dari sub tema antara lain :
a. Penyebab masuk RSJ
1) Marah : 5 dari 6 informan
menyatakan dibawa ke RSJ karena marah-
marah
“Marah-marah”
2) Mengamuk : 4 dari 6 informan menyatakan
dibawa ke RSJ karena mengamuk.
“Mengamuk”
3) Memukul : 2 dari 6 informan menyatakan
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
Keperawatan
Saya dibawa
2018, kesini karena suka ngamuk-
hlm. 137–143

ngamuk mbak, suka marah juga sama mukul-


mukul orang”
4) Merusak barang : 1 dari 6 informan dibawa
ke RSJ karena merusak barang
“Saya dibawa kesini karena suka ngamuk-
ngamuk mbak, suka mukul kaca jendela juga.
Ya kaca jendelanya sampai pecah gitu.”

b. Penyebab prilaku kekerasan


1) Tersinggung : 5 dari 6 informan
menyatakan mengamuk karena tersinggung
“Biasanya karena saya nggak tidur, terus
pusing terus ada yang menyinggung atau
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan

membuat saya marah, itu saya langsung dengan nafas dalam


“Kadang juga nafas dalam sambil istigfar”
ngamuk”
3) Pukul bantal : 2 dari 6 informan mengatakan
2) Tidak diperhatikan : 4 dari 6 informan yang paling efektif mengontrol marah adalah
mengatakan mengamuk karena tidak dengan pukul bantal
diperhatikan keluarganya “Saya sering melakukan pukul bantal mba.
“Soalnya saya kesel sama ibu saya, yang ga
Saya latihan pukul bantal 10-15 menit.”
merhatiin saya”
3) Curiga : 2 dari 6 informan mengatakan
mengamuk karena curiga terhadap orang yag
berniat jahat padanya
“Saya merasa ada orang yang ingin jahat
kepada saya, yang akan membunuh saya”
4)Dikhianati / tidak dihargai : 4 dari 6
informan mengatakan mengamuk karena telah
dikhianati “Saya ngamuk kayak gini gara-
gara diselingkuhi istri mbak. Dia selingkuh
coba dengan teman kerjanya”

c. Yang dilakukan ketika marah


1) Berkelahi : 2 dari 6 informan mengatakan
ketika marah akan berperang (bertengkar).
“Perang, tawuran sama orang kecamatan
lain, bacok-bacokan”
2) Membanting barang-barang :
3 dari 6 informan mengatkan ketika marah
akan membanting barang-barang
“Kadang mbanting barang juga.”, saya
membakar sepeda”
3)Berbicara kasar : 5 dari 6 informan
mengatakan ketika marah bicara kasar
“Ya saya biasanya ngomel gitu mbak,”

d.Diajarkan cara mengontrol marah


1) Sudah : Semua informan menyatakan sudah
pernah diajari cara mengontrol marah
“Sholat dan berdoa, iklas menerima”

e.Paling efektif mengontrol marah


1) Berdoa dan iklas menerima kenyataan : 5
dari 6 informan mengatakan yang paling
efektif mengontrol marah adalah dengan
berdoa atau sholat dan menerima semuanya
dengan iklas
“Sholat dan berdoa, iklas menerima”

2) Nafas dalam : 5 dari 6 informan mengatakan


yang paling efektif mengontrol marah adalah
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
Keperawatan
f. Perasaan setelah
2018, hlm. 137–143 melakukan cara dengan menggunakan pendekatan spiritual
mengontrol marah melalui calming technique

1) Lega : 5 dari 6 informan mengatakan


dan saling memaafkan pada pasien
merasa lega setelah melakukan cara skizofrenia dengan resiko perilaku kekerasan
mengontrol marah
“Ya perasaan saya sedikit lega, soalnya bisa (Padma,S & Dwidiyanti, M,
marah tanpa melukai orang lain. saya kalau 2014).Selain itu penelitian psikiatrik
ngontrol PK itu sendiri mbak” membuktikan bahwa ada hubungan yang
2) Tenang : 3 dari 6 informan mengatakan signifikan antara komitmen agama dan
merasa tenang setelah melakukan cara
mengontrol marah kesehatan, yaitu seseorang yang taat
“Ya perasaan saya lebih tenang mba setelah
menjalankan ajaran agama relatif lebih sehat
nafas dalam. Jadi lebih adem aja hatinya.
dan mampu mengatasi penyakitnya sehingga
proses penyembuhan penyakit lebih cepat
PEMBAHASAN (Zainul, 2007). Menurut (Sulistyowati &
Hasil penelitian diatas didapatkan dari 6
Prihantini, 2015) menunjukkan bahwa adanya
informan menyatakan melakukan Prilaku
pengaruh terapi psikoreligius terhadap
kekerasan karena tersinggung 5, karena tidak
penurunan perilaku kekerasan pada pasien
dihargai / diperhatikan 4, dan hanya 2
skizofrenia di RSJD Surakarta.
informan curiga terhadap orang yag berniat
jahat padanya. Faktor pencetus terjadinya
perilaku kekerasan terbagi dua yaitu dari Hasil penelitian juga menunjukkan 5
dalam diri klien sendiri dan dari lingkungan. informan menyatakan yang paling efektif
Faktor di dalam diri seperti kelemahan fisik, untuk mengontrol perilaku kekerasan adalah
keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kurang dengan nafas dalam. Hasil penelitian ini
percaya diri. Selain itu faktor lingkungan sejalan dengan penelitian yang dilakukan
yang menjadi penyebab perilaku kekerasan oleh Zelianti (2011)
seperti kehilangan orang atau objek yang
berharga dan konflik interaksi sosial (Yosep,
2007).

Hasil penelitian diatas menunjukkan dari 6


informan menyatakan yang paling efektif
mengontrol marah adalah : dengan
berdoa dan ikhlas menerima kenyataan yang
sudah terjadi 5. Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang mengatakan
bahwa mengontrol marah dapat dilakukan
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
2018, hlm. 137–143 Keperawatan
tentang pengaruh tehnik relaksasi nafas dalam Koivula & Uutela, 2000). Oleh karena itu klien
terhadap tingkat emosi klien perilaku perlu dilatih mengontrol amarahnya dengan
kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. melakukan kegiatan fisik sehingga dapat
Amino Gondohutomo yang menyatakan ada berperilaku lebih adaptif dalam situasi-situasi
pengaruh yang signifikan antara tehnik dalam hidupnya berikutnya.
relaksasi nafas dalam terhadap tingkat emosi
klien perilaku kekerasan. Selain itu penelitian
SIMPULAN DAN SARAN
lain menyebutkan bahwa, ada pengaruh Simpulan
pemberian tehnik relaksasi nafas dalam 1. Penerapan stategi pelaksanaan (SP) perilaku
kekerasan yang paling efektif menurut pasien
terhadap kemampuan pasien mengendalikan perilaku kekerasan di ruang rawat inap laki laki
RSJD Dr. Amino Gondohuttomo
perilaku kekerasan di Ruang Bratasena RSJ Semarangadalah dengan cara Spiritual dan
Provinsi Bali. Napas Dalam.
2. Penerapan strategi pelaksanaan (SP) spiritual
yang paling efektif tersebut menurut menurut
pasien perilaku kekerasan di ruang rawat inap
laki laki RSJD Dr. Amino Gondohuttomo
Melihat hasil diatas dengan dilakukannya
Semarang karena memberikan ketenangan dan
pendekatan Spiritual dan rasa lega.

Saran
Perawat dapat lebih melatih kemampuan
Napas Dalama dapat memberikan efek
pasien perilaku kekerasan mengotrol perilaku
menenangkan dan merelaksasi pikiran ,
kekerasan dengan mengajari Relaksasi Napas
sehingga klien dapat mengontrol emosiny,
Dalam dan cara spiritual seperti sholat,
bahkan 5 informan menyatakan lega setelah
mengaji dan berdzikir.
melakukan cara mengontrol emosi yang
dilakukannya sedangkan

3 lainnya menyatakan merasa lega dan tenang


setelah mengontrol emosinya.

Cara mengontrol perilaku kekerasan yang


menurut informan efektif adalah pukul
bantal. Beberapa penelitian tentang aktivitas
fisik dan terapi olahraga terhadap gangguan
kejiwaan membuktikan, bahwa aktivitas fisik
tersebut dapat meningkatkan kepercayaan
pasien terhadap orang lain (Campbell &
Foxcroft, 2008), dan juga membantu
mengontrol kemarahan pasien (Hassmen,
Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus Jurnal
Keperawatan
DAFTAR
2018, PUSTAKA
hlm. 137–143 Pramudaningsih I, Soekarno C, Susilowati Y.
Bernstein, K.S & Saladino, J.P. 2007.
Pemberian Strategi pelaksanaan pada
Clinical assessment and management
klien gangguan jiwa dengan perilaku
of psychiatric patient’s violent and
kekerasan di ruang citro anggodo RSJD
aggressive behaviors in general
Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
hospital. Medsurg, 16 (5), 301-9,
2014. Jurnal profesi keperawatan: vol 1
331. PMID: 18072668. no.1, hal 1-116, ISSN 2355-8040

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Sulistyowati, D & Prihantini. 2015. Pengaruh
Diagnosa Keperawatan. Editor Monica terapi psikoreligi terhadap penurunan
Ester. EGC : Jakarta. perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta. Jurnal terpadu ilmu
Dossey, M. 2008. Holistic nursing: a
kesehatan, Vol 4, No. 1, Hal: 72-77.
handbook for practice. Janes & Bartlitt
Kementrian kesehatan politeknik
publisher, Canada: Missisauga.
kesehatan Surakarta jurusan
keperawatan.
Keliat, B.A. 1998. Proses Keperawatan
Jiwa.
Sumirta, Nengah I, Githa, Wayan I &
Jakarta: EGC
Sariasih, Nengah Ni. 2013. Relaksasi
Nafas Dalam Terhadap Marah Klien
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Dengan Perilaku Kekerasan. Denpasar
Penelitian Kualitatif, Penerbit PT
Remaja Rosdakarya Offset, Bandung
Townsend, C.M. 2005. Essentials of
psychiatric mental health nursing.
Padma,Sri & Dwidiyanti, Meidiana. 2014. Philadelphia: F.A Davis Company.
Studi kasus: mindfulness dengan
pendekatan spiritual pada pasien
skizofrenia dengan resiko perilaku
kekerasan. Program studi ilmu
keperawatan, fakultas kedokteran
Universitas Diponegoro. Konas Jiwa
XI Riau: Hal 290-294.
Jurnal Keperawatan Jiwa, Volume 6 No 1 Hal 29- 35, Mei 2018
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

Varcarolis, E.M. 2006. Psychiatric nursing clinical assament tools and diagnosis. Philadelphia: W.B
Sounders Co.

Zelianti. 2011. Pengaruh Tehnik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Emosi Klien
Perilaku Kekerasan di RSJD Dr Amino Gondohutomo Semrang

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Tn. A DENGAN


RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI YAYASAN
PEMENANG JIWA SUMATERA

RADINOVA KHRISTIAN HULU, S. Kep

Radinova.hulu@gmail.com

BAB I
PENDAHULUA
N

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat berat dan
kronis yang menyerang 20 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2019).
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, parah, dan melumpuhkan,
gangguan otak yang di tandai dengan pikiran kacau, waham, delusi,
halusinasi, dan perilaku aneh atau katatonik (Pardede & Laia, 2020).
Privalensi ganguan jiwa di Indonesia berdasarkan Kemenkes 2019 di
urutan pertama Provinsi Bali 11,1% dan nomor dua disusul oleh Provinsi
DI Yogyakarta 10,4%, NTB 9,6%, Provinsi Sumatera Barat 9,1%, Provinsi
Sulawesi Selatan 8,8%, Provinsi Aceh 8,7%, Provinsi Jawa Tengah 8,7%,
Provinsi Sulawesi Tengah 8,2%, Provinsi Sumatera Selatan 8%, Provinsi
Kalimantan Barat 7,9%. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara berada pada
posisi ke 21 dengan privalensi 6,3% (Kemenkes, 2019).
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang dapat berakhir dengan hilanngya
dengan nyawa seseorang. Dalam penanganan penyakit ini karena jiwa yang
tergangangu maka di butuhkan adalah terapi, rehabilitasi serta dengan
konseling. Upaya terbesar untuk penanganan penyakit gangguan jiwa
terletak pada keluarga dan masyarakat, dalam hal ini terapi terbaik adalah
bentuk dukungan keluarga dalam mencegah kambuhnya penyakit
skizofrenia (Pitayanti, & Hartono, 2020). Tanda dan gejala yang timbul
akibat skizofrenia berupa gejala positif dan negatif seperti perilaku
kekerasan. Resiko perilaku kekerasan merupakan salah satu respon
marah
yang diespresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri
maupun orang lain. Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut nadi
dan pernapasan meningkat, marah, mudah tersinggung, mengamuk dan bisa
mencederai diri sendiri. Perubahan pada fungsi kognitif, fisiologis, afektif,
hingga perilaku dan sosial hingga menyebabkan resiko perilaku kekerasan.
Berdasarkan data tahun 2017 dengan resiko perilaku kekerasan sekitar 0,8%
atau dari 10.000 orang menunjukkan resiko perilaku kekerasan sangatlah
tinggi (Pardede, Siregar & Hulu, 2020).).

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang


dihadapi oleh seseorang, respon ini dapat menimbulkan kerugian baik
kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Seseorang yang
mengalami perilaku kekerasan sering menunjukan perubahan perilaku
seperti mengancam, gaduh, tidak bisa diam, mondar-mandir, gelisah,
intonasi suara keras, ekspresi tegang, bicara dengan semangat, agresif, nada
suara tinggi dan bergembira secara berlebihan. Pada seseorang yang
mengalami resiko perilaku kekerasan mengalami perubahan adanya
penurunan kemampuan dalam memecahkan masalah, orientasi terhadap
waktu, tempat dan orang serta gelisah (Pardede, Siregar & Halawa, 2020).

Risiko perilaku kekerasan timbul akibat rasa tidak nyaman dan panik yang
terjadi akibat stressor dari dalam dan luar lingkungan. Perilaku kekerasan
yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak
berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan
menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Azis, Sukamto
& Hidayat, 2018).

Risiko mencederai merupakan suatu tindakan yang memungkinkan dapat


melukai atau membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
sehingga masalah yang terjadi pada pasien parilaku kekerasan akan
melibatkan keluarga (Suryeti 2017). Survei awal pada pembuatan askep
pada skizofrenia ini dilakukan di Yayasan Pemenag Jiwa Sumatera dengan
jumlah pasien 70 orang tetapi yang menjadi subjek di dalam pembuatan
askep ini berjumlah 1 orang dengan pasien resiko perilaku kekerasan atas
nama inisial Tn. A. Penyebabnya Tn. A di jadikan sebagai subjek
dikarenakan pasien belum bisa mengatasi emosinya selain meminum obat.
Maka tujuan asuhan keperawatan yang akan di lakukan ialah untuk
mengajarkan standar pelaksanaan resiko perilaku kekerasan/perilaku
kekerasan pada saat Tn. A mengalami ke amukan.
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah di paparkan pada latar belakang maka


rumusan masalah dalam askep ini yaitu Asuhan Keperawatan Resiko
Perilaku Kekerasan Tn. A di Yasasan Pemenang Jiwa Sumatera.

1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan secara holistik
dan komprehensif kepada Tn. A dengan gangguan resiko perilaku
kekerasan di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mahasiswa mampu memahami pengertian, tanda dan gejala,
etiologi, penatalaksanaan medis dan keperawatan resiko perilaku
kekerasan.
b. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dengan
gangguan resiko perilaku kekerasan.
c. Mahasiswa mampu melakukan menegakkan diagnosa pada Tn. A
dengan gangguan resiko perilaku kekerasan.
d. Mahasiswa mampu melakukan menetapkan perencanaan pada Tn.
A dengan gangguan resiko perilaku kekerasan.
e. Mahasiswa mampu melakukan implementasi pada Tn. A dengan
gangguan resiko perilaku kekerasan.
f. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada Tn. A dengan
gangguan resiko perilaku kekerasan.
g. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang diberikan pada
Tn. A dengan gangguan resiko perilaku kekerasan.
1.4. Manfaat
1. Responden

Diharapkan tindakan yang telah di ajakarkan dapat di terapkan secara


mandiri untuk mengontrol emosi dan untuk mendukung kelangsungan
kesehatan pasien.

2. Institusi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan diharapkan untuk menjadi acuan dalam dalam


melakukan kegiatan kemahasiswaan dalam bidang keperawatan jiwa.

3. Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.

Diharapkan dapat menjadi acuan dalam menanganin atau dalam


memberikan pelayanan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan
perilaku kekerasan di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera.
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Resiko Perilaku Kekerasan

2.1.1 Pengertian

Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari kemarahan,


hasil dari kemarahan yang ekstrim ataupun panik. Perilaku kekerasan
yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan
tidak berharga, takut,dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu
akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan oran lain
(Pardede, Keliat & Yulia, 2015).

Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang


dihadapi oleh seseorang yang di tunjukan dengan perilaku kekerasan
baik pada diri sediri maupun orang lain dan lingkungan baik secara
verbal maupun non-verbal. Bentuk perilaku kekerasan yang
dilakukan bisa amuk, bermusuhan yang berpotensi melukai, merusak
baik fisik maupun kata-kata (Kio, Wardana & Arimbawa, 2020).

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan


melukai seseorang secara fisik maupun psikologis dapat terjai dalam
dua bentuk yaitu saat berlangsung kekerasan atau riwayat perilaku
kekerasan. Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari
marah akibat tidak mampu klien untuk mengatasi strssor lingkungan
yang dialaminya (Wulansari & Sholiha 2021).

2.1.2 Tanda dan Gejala

Tanda dan gerjala perilaku kekerasan adalah muka merah, tegang,


mata melotot/pandangan tajam, bicara kasar, nada suara tinggi,
membentak, kata-kata kotor, ketus, memukul benda/orang lain,
menyerang orang lain, merusk lingkungan, amuk/agresif, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
cerewet,kasar, berdebat, menyinggung perasaan orang lain, tidak
peduli, kasar, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran (Wulansari
& Sholiha 2021).

Tanda dan gejala perilaku kekerasan berdasarkan standar asuhan


keperawatan jiwa dengan masalah resiko perilaku kekerasan,
(Pardede, 2020) :

Subjektif
a. Mengungkapkan perasaan kesal atau marah.
b. Keinginan untuk melukai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
c. Klien suka membentak dan menyerang orang lain.
Objektif
a. Mata melotot/pandangn tajam.
b. Tangan mengepal dan Rahang mengatup.
c. Wajah memerah.
d. Postur tubuh kaku.
e. Mengancam dan Mengumpat dengan kata-kata kotor.
f. Suara keras.
g. Bicara kasar, ketus.
h. Menyerang orang lain dan Melukai diri sendiri/orang lain.
i. Merusak lingkungan.
j. Amuk/agresif.

2.1.3 Etiologi

Penyebab dari perilaku kekerasan bukan terdiri cuman satu faktor


tetapi termasuk juga faktor keluarga, media, teman, lingkungan,
biologis. Perilaku kekerasan dapat menimbulkan dampak seperti
gangguan psikologis, merasa tidak aman, tertutup, kurng percaya
diri, resiko bunuh diri, depresi, harga diri rendah, ketidak berdayaan,
isolasi sosial (Putri, Arif & Renidayati 2020).
Faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya skizofrenia
meliputi biologis, psikologis, dan sosialkultural, dimana faktor
biologis yang mendukung terjadinya skizofrenia adalah genenitk,
neuroanotomi, neurokimia, dan imunovirologi. Faktor presipitasi
merupakan faktor stressor yang menjadikan klien mengalami
sikizofrenia yang terdiri dari faktor biologi, psikologi, dan
sosiokultural yang mampu menyebabkan risiko perilaku kekerasan,
halusinasi, dan harga diri rendah (Pardede, 2013).

Penyebab pasien beresiko untuk melakukan perilaku kekerasan


disebabkan oleh cemas secara terus menerus, untuk itu dibutuhkan
strategi preventif untuk mencegah perilaku kekerasan yang salah
satunya adalah dengan melakukan teknik relaksasi. Terknik relaksasi
merupakan salah satu yang sering digunakan untuk menghilangkan
stress ialah Muscle Relaxation Therapy (PMRT). Terapi ini mudah di
pelajari dan tidak terbatas, dampaknya bisa menggurangi kecemasan
dan depresi, peningkatan perasaan kontrol diri dan peningkatan
kemampuan koping dalam situasi stress (Pardede, Simanjuntak, &
Laia, 2020). Faktor psikologis yang menyebabkan pasien mengalami
perilaku kekerasan antara lain yaitu : Keperibadian yang tertutup,
kehilangan, aniaya seksual, kekerasan dalam keluarga (Pardede &
Laia, 2020).

2.1.3.1 Faktor Predisposisi


1. Faktor Psikologis

Psyschoanalytical Theory : Teori ini mendukung


bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari
instinctual drives. Pandangan psikologi mengenai
perilaku agresif mendukung pentingnya peran dari
perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup.
Beberapa contoh dari pengalaman hidup tersebut :
a. Kerusakan otak organik dan retardasi mental
sehingga tidak mampu menyelesaikan secara
efektif.

b. Rejeksi yang berlebihan saat anak-anak.

c. Terpapar kekerasan selama masa perkembangan.

2. Faktor Sosial Budaya


Sosial Learning Theory, ini merupakan bahwa agresif
tidak berbeda dengan respon-respon yang lain,
kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan.

3. Faktor biologis
Neurotransmeiter yang sering dikaaitkan perilaku
agresif dimana faktor pendukunya adalah masa kadan-
kanak yang tidak menyengkan, sering mengalami
kegagalan, kehidupan yang penuh tindakan agresif
dan lingkungan yang tidak kondusif.

4. Perilaku
Reinfocemnt yang terima pada saat melakukan
kekerasan dan sering mengobservasi kekerasan di
rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.

2.2.3.2 Faktor Presitipasi

Ketika seseorang merasa terancam terkadang tidak


menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahannya. Tetapi secara umum, seseorang akan
mengerluarkan respon marah apabila merasa dirinya
terancam. Faktor presipitasi bersumber dari klien,
lingkungan, atau interaksi dengan orang lain. Faktor yang
mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua,
yaitu (Parwati, Dewi & Saputra 2018) :

a. Klien : Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak


berdayaan, kurang percaya diri.

b. Lingkungan : Ribut, kehilangan orang atau objek yang


berharga, konflik interaksi sosial.

2.1.4 Penatalaksanaan

Penatalaksaan perilaku kekerasan bisa juga dengan melakukan terapi


restrain. Restrain adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada
individu, tanpa injin individu tersebut, untuk mengatasi kebebasan
gerak, terapi ini melibatkan penggunaan alat mekanis atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik pasien. Terapi restrain dapat
diindikasikan untuk melindungi pasien atau orang lain dari cidera
pada saat pasien lagi marah ataupun amuk (Hastuti, Agustina, &
Widiyatmoko 2019).

Penanganan yang dilakukan untuk mengontrol perilaku kekerasan


yaitu dengan cara medis dan non medis. Terapi medis yang dapat di
berikan seperti obat antipsikotik adalah Chlorpoazine (CPZ),
Risperidon (RSP) Haloperidol (HLP), Clozapin dan Trifluoerazine
(TFP). Untuk terapi non medis seperti terapi generalis,untuk
mengenal masalah perilaku kekerasan serta mengajarkan
pengendalian amarah kekerasan secara fisik : nafas dalam dan pukul
bantal, minum obat secara teratur, berkomunikasi verbal dengan
baik-baik, spiritual : beribadah sesuai keyakinan pasien dan terapi
aktivitas kelompk (Wulansari & Sholiha 2021).

2.1.4.1 Terapi Medis


Fsikomarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan
tujuan untuk mengurangi atau menghilanggan gejala
gannguan jiwa. Dengan demiakian kepatutan mium obat
adalah mengonsumsi obat yang direspkan oleh dokter
pada waktu dan dosis yang tepat karena pengobatan hanya
akan efektif apabila penderita memenuhi aturan dalam
penggunaan obat (Pardede, Keliat & Yulia, 2015).

2.1.4.2 Tindakan Keperawatan

Mengajarkan stimulasi persepsi perilaku kekerasan


berdasarkan standar pelaksanaan untuk mengenal
penyebab perilaku kekerasan dengan latihan fisik seperti :
Tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal, meminum obat
dengan teratur, berbicara secara baik-baik seperti meminta
sesuatu dan mengajarkan spritual sesuai kepercayaan
pasien (Pardede & Laia, 2020).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.


Pada tahap pengkajian inilah yang menentukan tahap berikutnya
untuk di lanjutkan. Data skunder dan data primer dari
pasien/keluarga didapat pada saat melakukan yang namanya
pengkajian. Didalam pelaksanaan pengkajian melakukan
pendekatan dan saling membangun kepercayaan dengan pasien,
keluarga, orang terdekat pasien, teman serta orang lain yang tahu
tentang kesehatan pasien. Pada saat pengkajian pada pasien dengan
Risiko Perilaku Kekerasan yaitu pada data subyektif pasien
mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, mengatakan
dendam dan jengkel, serta menyalahkan dan menuntut. Pada data
objektif pasien menunjukan tanda-tanda mata melotot dan
pandangan tajam, tanggan mengepal, rahang mengatup, wajah dan
tegang, postur tubuh kaku dan suara keras (Musmini, 2019).
2.2.2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ialah identifikasi atau penilaian terhadap
pola respon pasien baik secara actual maupun potensial dan
merupakan dasar pemilihan intervensi dalam mecapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh perawat yang bertangguang jawab (Muhith,
2015).

2.2.3 Intervensi Keperawatan


Berdasarkan diagnosa yang telah ditemukan selanjutnya dilakukan
dengan perencanaan keperawtan yang akan diberikan kepada
pasien seperti menggurangi respons kongnitif, afektif, fisiologi,
perilaku, sosial pada pasien risiko perilaku kekerasan. Rencana
keperawatan juga dapat di berikan Sp1 : Tarik napas dalam, pukul
bantal/kasur, untuk mengontrol Risiko Perilaku Kekeraasan, Sp2 :
Minum obat secara teratur Sp3 : Berbicara secara baik-baik/verbal,
Sp4 : Spritual (Suerni, & Livana, 2019).

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi berdasarkan Modul Keperawtan Jiwa (Nurhalima,


2016) : Tindakan keperawatan untuk mengatasi risiko perilaku
kekerasan, dilakukan terhadap pasien dan keluarga. Saat
melakukan pelayanan di Puskesmas dan kunjungan rumah,,
perawat menemui keluarga terlebih dahulu sebelum menemui
pasien. Bersama keluarga, perawat mengidentifikasi masalah yang
dialami pasien dan keluarga. Setelah itu, perawat menemui pasien
untuk melakukan pengkajian, mengevaluasi dan melatih satu cara
lagi untuk mengatasi masalah yang dialami pasien. Jika pasien
telah mendapatkan terapi psikofarmaka (obat), maka hal pertama
yang harus dilatih perawat adalah pentingnya kepatuhan minum
obat. Setelah perawat selesai melatih pasien, perawat menemui
keluarga untuk melatih cara merawat pasien. Selanjutnya perawat
menyampaikan hasil tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien
dan tugas yang perlu keluarga yaitu untuk mengingatkan pasien
melatih kemampuan mengatasi masalah yang telah diajarkan oleh
perawat.

1. Membina hubungan saling percaya Tindakan yang harus


dilakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya
adalah:
a. Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
b. Perkenalkan diri : nama, nama panggilan yang Perawat
sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien yang
disukai.
c. Tanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
d. Buat kontrak asuhan : apa yang Perawat akan lakukan
bersama pasien, berapa lama akan dikerjakan dan tempatnya
dimana.
e. Jelaskan bahwa Perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi.
f. Tunjukkan sikap empati.
g. Penuhi kebutuhan dasar pasien.
2. Diskusikan bersama pasien penyebab rasa marah/perilaku
kekerasan saat ini dan yang lalu.
3. Diskusikan tanda-tanda pada pasien jika terjadi perilaku
kekerasan.
a. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
b. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis.
c. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
sosial.
d. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
spiritual.
e. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual.
4. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara: Verbal.
a. Terhadap orang lain.
b. Terhadap diri sendiri.
c. Terhadap lingkungan.
5. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
6. Latih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a. Patuh minum obat.
b. Fisik:tarik nafas dalam, pukul kasur dan batal.
c. Sosial/verbal: bicara yang baik: mengungkapkan, menolak
dan meminta rasa marahnya.
d. Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien.
Tindakan keperawatan terhadap pasien dapat dilakukan minimal
empat kali pertemuan dan dilanjutkan sampai pasien dan keluarga
dapat mengontrol/mengendalikan perilaku kekerasan.

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi berdasarkan Modul Keperawtan Jiwa (Nurhalima, 2016) :

1. Evaluasi kemampuan pasien mengatasi risiko perilaku


kekerasan berhasil apabila pasien dapat:

a. Menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku


kekerasan, perilaku kekerasan yangbiasadilakukan, dan
akibat dari perilaku kekerasan.

b. Mengontrol perilaku kekerasan secara teratur sesuai jadwal:


a) secara fisik: tarik nafas dalam dan pukul
bantal/kasur.
b) secara sosial/verbal: meminta, menolak, dan
mengungkapkan perasaan dengan cara baik.
c) secara spiritual.
d) terapi psikofarmaka.
c. Mengidentifikasi manfaat latihan yang dilakukan dalam
mencegah perilaku kekerasan.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Identitas Klien

Inisial : Tn. A

Alamat : Jln. Anggrek Simpang selanyan no 76


Tanggal Pengkajian : 25 Februari 2021

Umur : 56 Tahun

Agama : Kristen Protestan

Status : Tidak Menikah

Infoment : Status pasien dan komunikasi dengan pasien

3.2 Keluhan Utama


Pasien mengatakan mengeluh karna tidak suka meminum obat di karenakan
tidak sembuh-sembuh dari semenjak masuk ke yayasan hingga saat ini.
Pasien mengatakan suka marah jika diberikan obat disebabkan karena tidak
kunjung pulang kerumah. Klien juga mengatakan jika tidak di awasi untuk
minum obat maka obatnya dibuangnya, karane klien tidak percaya jika
minum obat akan menyembuhkannya di sebabkan pasien mengatakan
bahwa pasien percaya hanya Tuhanlah yang dapat menyembuhkan
penyakitnya.

3.3 Faktor Predisposisi


1. Pasien sebelumnya pernah mengalami gangguan jiwa dan dirawat di
Yayasan Kolam Bethesda selama 2 tahun dan tidak sembuh hingga di
pindahkan oleh keluarga ke Yayasan Pemenang Jiwa. Pasien tidak
pernah pulang kerumah semenjak pertama kali di antar ke Yayasan
Kolam Bethesda hingga sampai saat ini pasien berada di Yayasan
Pemenang jiwa. Pengobatan pasien sebelumnya kurang berhasil di
sebabkan karena tidak teratur minum obat. Maka dari itu pihak
keluarga memindahkanya ke Yayasan Pemenag Jiwa. Tn. A
pertama kali di antar ke Yayasan Kolam Bethesda pada tahun 2015 di
dengan keluhan marah-marah, pandangan tajam hingga pernah
memukuli ibu dan adinya sendiri. Hingga saat ini pasien sudah 3 tahun
berada di Yayasan Pemenang Jiwa. Pasien Juga megatakan tidak ada
riwayat keluarga mengalami penyakit yang di deritanya.

Masalah Keperatan : Risiko Perilaku Kekerasan.

3.4 Fisik
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien, pasien tidak memiliki
pemeriksaan fisik, didapat hasil

TD : 120/80 mmHg
N : 83x/Menit

S : 36,50C

RR : 20x/Menit
TB : 171 cm
BB : 68 Kg

3.5 Psikososial

3.5.1 Genogram
Pasein merupakan anak keempat dari 6 bersaudara, pasien memiliki 2 orang
abang, 1 orang kakak, dan 2 orang adik perempuan dimana semua sudah
berkeluarga, ayahnya telah meninggal dunia dan ibunya masih hidup.
Ket :

Laki-Laki Pasien Pasien


Perempuan Meninggal Dunia

Meninggal Dunia
Tinggal Bersama
Keluarga

Pasien Tinggal di Yayasan Kemenagan Jiwa

Penjelasan : Pasien tinggal di Yayasan Pemenang Jiwa sudah 3 tahun


dengan alasan keluarga mengantar karena melakukan perilaku
kekerasan di rumah.

Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan

3.5.2 Konsep Diri

a. Gambaran diri : Pasien mengatakan menyukai seluruh


tubuhnya dan tidak ada yang cacat.

b. Identitas : Pasien mengatakan hanya lulusan SMA


tetapi sempat kuliah di salah satu universitas
yang berada di medan, tetapi tidak
menyelesaikannya.

c. Peran : Pasien mengatakan anak keempat dari enam


bersaudara.

d. Ideal diri : Pasien mengatakan menyadari sakitnya dan


ingin cepat sembuh.

e. Harga diri : Pasien mengatakan merasa dirinya di buang


oleh keluarga dan ibunya pilih kasih terhadap
anak-anaknya.
Masalah Keperawatan : Harga Diri Rendah.
3.5.3 Hubungan Sosial

a. Orang yang berarti :

Pasien mengatakan bahwa keluarganya adalah orang yang


sangat berarti baginya terutama ibunya, pasien juga
mengatakan menyesal telah memukul ibunya.

b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat :

Pasien mengatakan tidak mengikuti kegiatan di masyarakat


tetapi mengikuti kegiatan kelompok seperti beribadah bersama
di dalam Yayasan.

c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain :

Pasien mengatakan susah berinteraksi di luar lingkungan


yayasan karena diawasi sangat ketat. Tetapi untuk berinteraksi
di dalam yayasan pasien mengatakan tidak memiliki hambatan.

3.5.4 Spritual

a. Nilai dan Keyakinan : Pasien beragama kristen protestan dan


yakin dengan agamanya.

b. Kegiatan Ibadah : Selama dirawat di yayasan pemenang


jiwa pasien selalu ikut beribadah
terjadwal setiap harinya.

3.5.5 Status Mental


a. Penampilan
Penampilan pasien rapi seperti berpakaian biasa pada
umumnya.

b. Pembicaraan
Pasien berbicara lambat mengenggam.

Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.


c. Aktivitas motorik
Pasien mengatakan bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
d. Alam perasaan
Pasien tidak mampu megespresikan perasaan sesuai kondisi
pada saat emosi.

Masalah keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasa

e. Afek
Pasien merespon saat di panggil tetapi pandangan tajam.
Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.

f. Interaksi selama wawancara.


Selama diwawancara pasien bersifat koperatif.

g. Persepsi
Pasien megatakan sekali-kali mendengarka suara yang
memicu amarahnya dan ingin memukul orang di sekitarnya.

Masalah Keperawatan : Gangguan Presepsi Sensori :

Halusinasi

h. Proses Pikir
Pasien mampu berbicara sesuai topik pembicaraan dan dapat
merespon umpan balik dan dapat mengulang hal penting yang
disampaikan perawat.

i. Isi Pikir
Pasien mengatakan ingin ke Israel karean didalam Alkitab
bangsa yang di berkati Tuhan adalah Israel.

Masalah Keperawatan : Waham Agama

j. Tingkat Kesadaran
Pasien tidak mengalami gangguan orientasi, pasien mengenali,
waktu, orang dan tempat.

k. Memori
Klien mampu mengingat kejadian-kejadian saat melakukan
pemukulan kepada ibu dan adiknya.

l. Tingkat Konsentrasi dan berhitung


Pasien mampu menjawab pertanyaan hitungan sederhana.
m. Kemampuan penilaian
Pasien dapa membedana tempat yang bersih dan kotor.
n. Daya tilik diri
Pasien mengatakan sadar dirinya mengalami gangguan jiwa,
namun pasien menggikarinya.

Masalah Keperawatan : Harga Diri Rendah.

3.6 Kebutuhan Persiapan Pulang


1. Makan, Minum, BAB/BAK
Pasien dapat mengambil makan dan minum dan dapat kekamar mandi
untuk BAB/BAK.

2. Mandi, Berpakaian /berhias


Pasien megatakan dapat mandi dan berpakaian secara mandiri.

3. Istrahat dan tidur


Tidur Siang lama 13.00 wib s/d 16.30 wib, tidur malam lama 22.00
wib s/d 05.00 wib, kegiatansebelum/sesudah : Berubadah.

3.7 Mekanisme Koping


Pasien mengaktakan jika pada saat pasien emosi selalu menumbuk beton
kamarnya.

Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekeran

3.8 Masalah Psikososial Dan Lingkungan


Pasien megatakan dukungan psikososial dan lingkungan di yayasan sangat
baik.

3.9 Pengetahuan Kurang Tentang


Pasien mengatakan jika sedang emosi akan melampiaskannya pada dinding
kamar.

Masalah Keperawatan : Risiko Perilaku Kekerasan.

3.10 Aspek Medis


Diagnosa Medik :

a. Risiko Perilaku Kekerasan


b. Perilaku kekerasan
Terapi Medik : 1. Pemberian/minum obat kepada pasien secara teratur.

a. Risperidon (RSP) tablet 2 mg 2x1.


3.11 Analisa Data

Masalah
No Identifikasi Data
Keperawatan
1. Ds : Risiko Perilaku
Kekerasan
Pasien mengatakan bahwa alasan ayahnya dulu
mengantarnya ke Yayasan Kolam Bethesda
karena sudah memukul ibu dan adiknya. Setelah
2 tahun di YKB di pindahkan oleh ayahnya lagi
ke Yayasan Pemenang Jiwa, higga saat ini belum
di jemput untuk pulang oleh keluarganya. Pasien
Juga mengatakan mungkin keluarganya masih
takut kepadanya.
Do :
Pandangan tajam/melotot serta postur tubuh
kaku.
2. Ds : Halusinasi
Pendengaran
Pasein mengatakan sekali-kali mendengarkan
suara-suara yang membuatnya dapat emosi untuk
memukul orang yang tidak dia senangi.
Do :
Pasien komat kamit.
3. Ds : Gangguan Pola
Pikir : Waham
Pasien mengatakan bahwa dia akan ke Israel,
Agama
karena bangsa Israel adalah bangsa Tuhan Yesus
dan pasien inggin menjadi orang yang pertama
menjabat tangan Yesus.
Do :
Pasien memandang keatas dan menghunjuk arah
depannya bahwa Israel itu seakan-akan berada di
sebelah pagar yayasan.
4. Ds : Harga Diri
Rendah
Pasien megatakan sadar dirinya mengalami
gangguan jiwa, namun pasien menggikarinya.
Pasien juga mengatakan bahwa tidak ada orang
dilingkugannya yang dapat menerima dia
sepulang dari yayasan.
Do :
Pasien cemas secara sosial dan tampak sedih
hingga gelisah.

3.12 Daftar Masalah Keperawatan


1. Risiko Perilaku Kekerasan.
2. Halusinasi Pendengaran.
3. Gangguan Pola Pikir : Waham Agama.
4. Harga Diri Rendah.

3.13 Pohon Masalah


Risiko Perilaku
Kekerasan
Risiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Proses Pikir: Waham Gangguan Sensori Persepsi:


Halusinasi

Gangguan Konsep Diri


:Harga Diri Rendah Kronis

3.14 Diagnosa Prioritas


1. Risiko Perilaku Kekerasan.
3.15 Intervensi Keperawatan

Diagnosa
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Risiko Pasien dapat Ketika di evaluasi 1. Membina
Perilaku membina pasien mampu hubungan saling
Kekerasan. hubungan membalas salam, percaya dengan
saling tersenyum, ada cara menjelaskan
percaya. kontak mata serta maksud dan
menyediakan tujuan interaksi,
waktu untuk jelaskan tentang
kunjungan kontrak yang
berikutnya. akan di buat, beri
rasa aman dan
sikap empati.
2. Diskusi bersama
pasien tentang
perilaku
kekerasan,
penyebab, tanda
dan gejala
perilaku yang
muncul dan
akibat dari
perilaku tersebut.
Pasien dapat Pasien mampu Sp1 :
mengendalik menyebutan dan Latihan Melakukan
an menrekomendasik cara mengontrol
mengendalik an cara amarah :
an perilaku mengontrol a. Anjurkan teknik
kekerasan perilaku relaksasi nafas
dengan cara kekerasan dengan dalam.
relaksi nafas cara relaksasi b. Pukul bantal.
dalam dan nafas dalam dan
pukul pukul bantal.
bantal/kasur.
Pasien dapat Pasien mampu Sp2 :
mengendalik mengendalikan a. Bantu pasien
an perilaku perilaku mengotrol
kekerasan kekerasan dengan perilaku
dengan minum obat kekerasan
minum obat Risperidon (RSP) dengan minum
secara dengan teratur. obar secara teratu
teratur. 2x1 hari.
Pasien Pasien paham dan Sp3 :
paham dan mampu Bantu pasien
mampu menyampaikan mengontrol risiko
mengendalik amarah dengan perilaku kekerasan
an risiko cara berbicara dengan
perilaku dengan baik. menganjurkan pasien
kekerasan berbicara yang baik
dengan cara bila sedang marah,
berbicara dengan tiga cara :
dengan baik. b. Meminta sesuatu
dengan baik
tanpa marah.
c. Menolak sesuatu
dengan baik.
Mengungkapkan
perasaan kesal.
Pasien Pasien paham dan Sp4 :
paham dan mamu Pasien risiko
mampu mengendalikan perilaku kekerasan :
mengendalik risiko perilaku Diskusikan bersama
an risiko kekerasan dengna pasien cara
perilaku cara beribadah mengendalikan
kekerasan sesuai agama perilaku kekerasan
dengan cara yang di anut dengan cara
mempraktika pasien. beribadah.
n cara
spritual.
3.16 Implementasi dan Evaluasi

Hari/ Implementasi Evaluasi


Tgl
Kamis, 1. Data : S : Antusias dan Bersemangat.
26 feb Tanda dan gejala : mudah marah-
2021. marah, mudah tersinggung, O :
10.30 tatapan sinis, suka menyendiri - Pasien mampu melakukan
Wib. merasa tidak di hargai. latihan tarik nafas dalam
dengan mendiri.
2. Diagnosa Keperawatan - Pasien mampu pukul bantal
a. Risiko perilaku kekerasan. dengan mandiri.
b. Perilaku kekerasan.
A : Risiko perilaku kekerasan (+).
3. Tindakan Perilaku Kekerasan
Sp1 : Risiko perilaku kekerasan. P : Latihan fisik :
- Mengidentifikasi penyebab - Tarik nafas dalam 1x/hari.
reisko perilaku kekerasan yaitu - Pukul kasur bantal 1x/hari.
jika memauan klien tidak
diturutin.
- Mengidentifikasi tanda dan
gejala risiko perilaku kekerasan
yaitu pasien marah, mengamuk
tanpa alasan yang jelas, merusak
barang-barang dan cenderung
melukai orang lain.
- Menyebutkan cara mengontrol
risiko perilaku kekerasan
dengan latihan fisik : Tarik
nafas dalam dan pukul bantal
kasur.
- Membantu pasien latihan tarik
nafas dalam dan pukul bantal.
4. RTL :
Sp2 : Risiko perilaku kekerasan.
- Mengontrol risiko perilaku
kekerasan dengan minum obat
secara teratur.
Sp3 : Risiko Perilaku Kekerasan.
- Komunikasi secara verbal :
Asertif/Bicara baik-baik
Jumat, 1. Data : S : Senang dan Antusias.
27 feb Tanda dan gejala : mudah marah-
2021. marah, mudah tersinggung, O :
11.30 tatapan sinis, merasa tidak - Pasien mampu melakukan
Wib. dihargai. tarik nafas dalam dengan
Kemampuan bermain alat musik mandiri.
gitar. - Pasien mampu pukul bantas
secara mandiri.
2. Diagnosa keperawatan - Pasien mampu mengontrol
- Risiko perilaku kekerasan amarah dengan minum obat
- Perilaku kekerasan secara teratur dengan bantuan
pengawas yayasan.
3. Tindakan keperawatan - Pasien mampu melakukan
Sp2 : Risiko Perilaku Kekerasan. komunikasi secara verbal :
a. Mengevaluasi kemampuan asertif/bicara baik-baik dengan
pasien tarik nafas dalam dan motivasi.
pukul kasur
b. Memberikan informasi A : Risiko Perilaku Kekerasan (+).
tentang pengguanaan obat.
Sp3 : Risiko Perilaku Kekerasan. P :
a. Mengevaluasi kemampuan - Latihan tarik nafas dalam
pasien untuk tarik nafas 1x/hari.
dalam dan pukul bantal - Latihan pukul bantal 1x/hari.
kasur. - Berobat
b. Minum obat - Pasien melakukan komunikasi
c. Komunikasi secara verbal : secara verbal : asertif/bicara
asertif/bicara baik-baik. baik-baik.
4. RTL :
Sp4 : Risiko Perilaku Kekerasan.
- Spritual : Beribadah.
Sabtu, 1. Data : S : Senang.
28 feb Tanda dan gejala : mudah marah-
2021. marah, mudah tersinggung, O :
10.00 tatapan sinis, merasa tidak - Pasien mampu melaksanakan
Wib. dihargai. Kemampuan yang kegiatan ibadah dengan baik,
dimiliki bermain alat musik gitar. misalnya berdoa dan mengikuti
kegiatan ibadah di dalam
2. Diagnosa Keperawatan yayasan.
- Risiko perilaku kekerasan.
- Perilaku kekerasan. A : Perilaku Kekerasan (+).

3. Tindakan Keperawatan. P:
Sp4 : Risiko Perilaku Kekerasan. - Latihan tarik nafas dalam
- Mengevaluasi kemampuan dan pukul kasur bantal
pasien dalam tarik nafas 2x/hari.
dalam dan pukul bantal kasur, - Berobat.
minum obat secara teratur dan - Latihan melakukan
berbicara baik-baik. komunikasi secara verbal :
- Melatih pasien untuk asertif/bicara baik-baik.
melakukan kegiatan spritual - Latihan pasien untuk
yang sudah diatur. melaksakan kegiatan
RTL : beribada seperti berdoa.
Risiko perilaku kekerasan : Follow
up dan evaluasi Sp 1-4 Risiko
Perilaku Kekerasan.
BAB 4

PEMBAHASAN

Setelah mahasiwa melaksanakan asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan


Risiko Perilaku Kekerasan/Perilaku Kekerasan di Yayasan Pemenang Jiwa
Sumatera, maka mahasiswa pada BAB ini akan membahas kesenjangan antara
teoritis dan tinjauan kasus. Pembahasan dimulai melalui tahapan prosess
keperatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evalusi.

4.1 Tahap Pengkajian

Selama pengkajian dilakukan pengumpulan data dari beberapa sumber yaitu


dari pasien dan pengawas yayasan. Mahasiswa mendapat sedikit kesulitan
dalam mmenyimpulkan data kerena keluarga pasien jarang mengkunjungi
pasien di yayasan pemenang jiwa. Maka mahasiwa melakukan pendekatan
pada pasien melalui komunikasi terapeutik yang lebih terbuka membantu
pasien untuk memecahkan perasaannya dan juga melakukan observasi
kepada pasien. Ada pun upaya tersebut yaitu :

a. Melakukan pendekatan dan membina hubungan saling percaya diri pada


pasien agar pasien lebih terbuka dan lebih percaya dengan menggunakan
perasaan.

b. Mengadakan pengkajian pasien dengan wawancara dan tidak


menemukan kesenjangan karena di temukan hal sama seperti diteori
bahwasanya Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari
kemarahan, hasil dari kemarahan yang ekstrim ataupun panik. Perilaku
kekerasan yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan adanya
perasaan tidak berharga, takut,dan ditolak oleh lingkungan sehingga
individu akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan oran lain
(Pardede, Keliat & Yulia, 2015).
4.2 Tahap Perencanaan

Perencanaan dalam proses keperawatan lebih di kenal dengan asuhan


keperawatan yang merupakan tahap selanjutnya setelah pengkajian dan
penentuan diagnosa keperawatan. Pada tahap perencanaan mahasiswa hanya
menyusun rencan tindakan keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan dan
Perilaku Kekerasan. Pada tahap ini antara tinjauan teoritis dan tinjauan
kasus tidak ada kesenjangan sehingga mahasiswa dapat melaksanakan
tindakan seoptimal mungkin di dukung dengan seringnya bimbingan dengan
pembimbing. Secara teoritis digunakan secara strategi pertemua sesuai
dengan diagnosa keperawatan yang muncul saat pengkajian. Adapun upaya
yang digunakan mahasiswa ialah :

1. Risiko Perilaku Kekerasan


a. Mengidentifikasikan isi Risiko Perilaku Kekerasan.
b. Mengidentifikasikan waktu terjadi Risiko Perilaku Kekerasan.
c. Mengidentifikasikan situasi pencetus Risiko Perilaku Kekerasan.
d. Mengidentifikasikan respon terhadap Risiko Perilaku Kekerasan.
e. Membantu pasien mempraktekkan latihan cara mengontrol Risiko
Perilaku Kekerasan dengan tarik nafas dalam dan pukul bantal.
f. Menjelaskan cara mengontrol Perilaku Kekerasan dengan minum
obat secara teratur.
g. Melatih pasien mengotrol Risiko Perilaku Kekerasan dengan
berbicara baik-baik dengan orang lain dan spritual.
h. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

4.3 Tahap Implementasi

Pada tahap implementasi mahasiswa hanya mengatasi masalah keperawatan


dengan diagnosa keperawatan Risiko perilaku Kekerasan/Perilaku
Kekerasan karena masalah utama yang dialami pasien. Pada diagnosa
keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan/Perilaku Kekerasan strategi
pertemuan ialah mengidentifikasi perilaku kekerasan, mengotrol perilaku
kekerasan, dan cara tarik nafas dalam dan pukul bantal kasur. Strategi
pertemuan yang kedua ialah anjurkan minum obat secara teratur, strategi
pertemuan ketiga ialah latihan cara komunikasi secara verbal atau bicara
baik-baik dan strategi terakhir pertemuan keempat yaitu spritual.

4.4 Tahap Evaluasi

Pada tinjauan kasus evaluasi yang dihasilkan adalah :

1. Klien sudah dapat mengontrol dan mengidentifikasi Risiko Perilaku


Kekerasan.
2. Klien dapat mengendalikan Risiko Perilaku Kekerasan melalui latihan
fisik.
3. Klien dapat mengendalikan Risiko Perilaku Kekerasan dengan cara pergi
ke poli jiwa untuk mendapatkan minum obat.
4. Klien dapat mengendalikan Risiko Perilaku Kekerasan dengan berbicara
baik-baik dengan orang lain.
5. Klien dapat mengendalikan Risiko Perilaku Kekerasan dengan
melakukan spritual terjadwal.
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Setelah menguraikan tentang proses keperawatan pada Tn. A dan


disimpulkan bahwa pasien dapat mengontrol risiko perilaku kekerasan
dengan terapi yang di ajarkan oleh mahasiwa. Dimana pasien dapat
melakukan tarik nafas dalam, memukul bantal secara mandiri untuk
mengontrol amarahnya. Pasien juga minum obat secara teratur dan berbicara
secara baik-baik jika ingin meminta sesuatu atau melakukan penolakan,
hingga pasien dapat melakukan spritual sesuai ajaran agama yang dianut.

5.2 Saran

1. Diharapkan pada keluarga sering mengunjungi pasien selama waktu


perawatan karena dengan seringnya keluarga berkunjung, maka pasien
merasa berarti dan dibutuhkan dan juga setelah pulang keluarga harus
memperhatikan obat dikonsumsi serta membawa pasien kontrol secara
teratur kepelayanan kesehatan jiwa ataupun rumah sakit jiwa.

2. Bagi mahasiswa/mahasiwi agar lebih memperdalam ilmu pengetahuan


khusus tentang keperawatan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Azis, N. R., Sukamto, E., & Hidayat, A. (2018). Pengerun Terapi De-Ekslasi
Terhadap Perubahan Perilaku Pasien dengan Resiko Perilaku
Kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam
Samarinda. http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/797
Hastuti, R. Y., Agustina, N., & Widiyatmoko, W. (2019). Pengaruh restrain
terhadap penurunan skore panss EC pada pasien skizofrenia dengan
perilaku kekerasan. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 135-144.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/4907/pdf
Kio, A. L., Wardana, G. H., & Arimbawa, A. G. R. (2020). Hubungan Dukungan
Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Klien dengan Resiko
Perilaku Kekerasan. Caring: Jurnal Keperawatan, 9(1), 69-72.
http://ejournal.poltekkesjogja.ac.id/index.php/caring/article/view/5
92
Kemenkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS.Jakarta: Kemenkes
RI.https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/08/persebar
an-prevalensi-skizofreniapsikosis-di-indonesia#
Musmini, S. (2019). Karya Ilmiah Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan Terintergrasi Dengan Keluarga Di Wilayah
Kerja Puskesmas Sempaja Samarinda. http://repository.poltekkes-
kaltim.ac.id/419/1/Siti%20Musmini.pdf
Muhith, A. (2015). Pendidikan keperawatan jiwa: Teori dan aplikasi. Penerbit
Andi.
Nurhalimah, Ns. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Jakarta.

Pardede, J. A. (2020, November 12). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan


Masalah Risiko Perilaku. Kekerasan.
https://doi.org/10.31219/osf.io/we7zm
Pardede, J. A., & Laia, B. (2020). Decreasing Symptoms of Risk of Violent
Behavior in Schizophrenia Patients Through Group Activity
Therapy. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(3), 291-300.
http://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/621/338
Pardede, J. A. (2013). Pengaruh Acceptance And Commitment Therapy Dan
Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat Terhadap Gejala,
Kemampuan Berkomitmen Pada Pengobatan Dasar Kepatuhan
Pasien Skizofrenia. https://www.researchgate.net/profile/Jek-
Amidos/347011273.pdf
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Halawa, M. (2020). Beban dengan Koping
Keluarga Saat Merawat Pasien Skizofrenia yang Mengalami
Perilaku Kekerasan. Jurnal Kesehatan, 11(2), 189-196.
http://dx.doi.org/10.26630/jk.v11i2.1980
Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). The Symptoms of Risk of
Violence Behavior Decline after Given Prgressive Muscle
Relaxation Therapy on Schizophrenia Patients. Jurnal Ilmu
Keperawatan Jiwa, 3(2), 91-100.
http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v3i2.534
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Hulu, E. P. (2020). Efektivitas Behaviour
Therapy Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien
Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem
Provsu Medan. Jurnal Mutiara Ners, 3(1), 8-14.
http://114.7.97.221/index.php/NERS/article/view/1005
Pardede, J. A., Keliat, B.A., & Yulia, I. (2015). Kebutuhan Dan Komitmen Klien
Skizofrenia Meningkat Setelah Diberkan Acceptance And
Commitment Therapy Dan Pendidikan Kesehatan Kepatuhan
Minum Obat. Jurnal Keperawatan Indonesia, 3(18), 157-166.
http://dx.doi.org/10.7454/jki.v18i3.419
Parwati, I. G., Dewi, P. D., & Saputra, I. M. (2018). Asuhan Keperawatan
PerilakuKesehatan.https://www.academia.edu/37678637/ASUHAN
_KEPERAWATAN_PERILAKU_KEKERASAN
Pitayanti, A., & Hartono, A. (2020). Sosialisasi Penyakit Skizofrenia Dalam
Rangka Mengurangi Stigma Negatif Warga di Desa Tambakmas
Kebonsari-Madiun. Journal of Community Engagement in
Health, 3(2), 300-303.
https://jceh.org/index.php/JCEH/article/view/83/78
Putri, M., Arif, Y., & Renidayati, R. (2020). Pengaruh Metode Student Team
Achivement Division Terhadap Pencegahan Perilaku Kekerasan.
Media Bina Ilmia,14(10), 3317-3326.
http://ejurnal.binawakya.or.id/index.php/MBI/article/view/554/pdf
Suryenti, V. (2017). Dukungan Dan Beban Keluarga Dengan Kemampuan
Keluarga Merawat Pasien Resiko Perilaku Kekerasan Di Klinik
Jiwa Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jambi Tahun 2017. Jurnal
Psikologi Jambi, 2(2), 39-46. https://www.online-
journal.unja.ac.id/jpj/article/view/4795
Suerni, T., & Livana, P. H. (2019). Respons Pasien Perilaku Kekerasan.
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 1(1), 41-46.
https://doi.org/10.37287/jppp.v1i1.16
WHO, (2019). Schizophrenia. Retrieved from. https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/%20detail/schizophrenia
Wulansari, E.M & Sholiha, M. M. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien
Dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Rumah Sakit Daerah dr Arif
ZaiZa

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN PERILAKU


KEKERASAN DENGAN KEMAMPUAN MENGONTROL PERILAKU KEKERASANNYA
DI POLIKLINIK RUMAH SAKIT JIWA
PROF. DR. MUHAMMAD ILDREM KOTA MEDAN
TAHUN 2019

SOEP, SKP, M.Kes KRISTIANI


DEVA PURBA
Jurusan Keperawatan Poltekes Kemenkes Medan

Abstrak
Dukungan Keluarga adalah proses yang terjadi sepanjang hidup dimana sumber
dan jenis dukungan sangat berpengaruh terhadap tahap lingkungan kehidupan
keluarga. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan dukungan
keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan dengan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasannya di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota
Medan Tahun 2019. Dimana dukungan keluarga mempunyai 4 jenis yaitu dukungan
penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan dukungan emosional.
Desain penelitian yang digunakan adalah pendekatan cross sectional,dan
menggunakan jenis penelitian analitik kuantitatif dengan populasi dalam penelitian ini
adalah anggota keluarga pasien dan jumlah responden sebanyak 34 orang. Dukungan
penilaian diberikan dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 22
orang (64,7%), dukungan instrumental diberikan dan pasien mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 20 orang (58,8%), dukungan informasional diberikan
dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 19 orang (55,9%), dan
dukungan emosional diberikan dan pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan
sebanyak 13 orang (38,2%). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah semua
memberikan dukungan keluarga (penilaian, instrumental, informasional) kecuali
dukungan keluarga emosional karena keluarga kurang memberikan kenyamanan
untuk pasien dan tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien dan juga masih ada
pasien yang tidak mampu mengontrol perilaku kekerasannya. Untuk itu disarankan
kepada responden agar lebih menambah dan meningkatkan perannya terhadap pasien
perilaku kekerasan dalam memberikan setiap dukungan kepada pasien perilaku
kekerasan seperti dukungan penilaian, instrumental, informasional dan dukungan
emosional.

Kata Kunci : Dukungan Keluarga, Perilaku Kekerasan

Abstract

Family Support is a process that occurs throughout life where the source and type of support greatly
influences the stage of family life. The purpose of this study was to determine the relationship of
family support in treating patients with violent behavior with the ability to control their violent
behavior At Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan Mental Hospital In 2019.Where family support
has 4 types, namely assessment support, instrumental support, informational support, and emotional
support. The research design used was a cross sectional approach, and

1
using a type of quantitative analytical research with the population in this study were
members of the patient's family and the number of respondents was 34 people. Assessment
support was given and patients were able to control violent behavior by 22 people (84.6%),
instrumental support was given and patients were able to control violent behavior by 19
people (86.4%), informational support was given and patients were able to control violent
behavior by 19 people (90.0%), and emotional support was given and patients were able to
control violent behavior by 20 people (90.9%). The conclusion in this study is that all
provide family support but there are still patients who are unable to control their violent
behavior. And it is recommended that respondents increase their role in patients with violent
behavior in giving each patient support for violent behavior such as assessment support,
instrumental, informational and emotional support

Keywords : Family Support, Violent Behavior

PENDAHULUAN kepribadian (Herman, 2015). Menurut data


WHO pada tahun 2012 angka penderita
Latar Belakang
gangguan jiwa mengkhawatirkan secara
Kesehatan Jiwa merupakan kondisi global, sekitar 450 juta orang yang
dimana seorang individu dapat berkembang menderita gangguan mental. Orang yang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial mengalami gangguan jiwa sepertiganya
sehingga individu tersebut menyadari tinggal di negara berkembang, sebanyak 8
kemampuan sendiri, dapat mengatasi dari 10 penderita gangguan mental itu tidak
tekanan, dapat bekerja secara produktif, mendapatkan perawatan (Paritas dkk,
dan mampu memberikan kontribusi untuk 2012).
komunitasnya (Undang-Undang Kesehatan
No 18 Tahun 2014). Kesehatan jiwa
merupakan kondisi dimana seseorang tidak
hanya dalam keadaan sehat jiwa tetapi juga
mencakup berbagai
karakteristik
keseimbangan jiwa dimana terjadi
perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang sesuai dengan keadaan
seseorang. Menurut WHO tahun 2012
Kesehatan jiwa adalah berbagai
karakteristik positif yang menggambarkan
keselarasan dan keseimbangan kejiwaan
yang mencerminkan kedewasaan
Gangguan jiwa adalah sindrom atau
pola perilaku yang secara klinis bermakna
yang berhubungan dengan distres
(penderitaan) dan menimbulkan hendaya
(disabilitas) pada satu atau lebih fungsi
kehidupan manusia. Fungsi jiwa yang
terganggu meliputi fungsi biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual. Secara
umum gangguan fungsi jiwa yang dialami
seorang individu dapat terlihat dari
penampilan, komunikasi, proses berfikir,
interaksi dan aktivitasnya sehari-hari
(Keliat dkk, 2012).
Berdasarkan data yang diperoleh
dari Riset kesehatan dasar (2013)
prevalensi gangguan jiwa berat pada
penduduk Indonesia 1,7 per mil.
Gangguan jiwa berat terbanyak di Aceh,
DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Bali,
dan Jawa Tengah.Prevalensi gangguan
mental emosional pada penduduk
Indonesia 6 persen. Provinsi dengan
prevalensi ganguan mental emosional
tertinggi adalah Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Jawa Barat,
Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa
berat provinsi Jambi adalah 0,9% dan
Jumlah penderita gangguan jiwa di
Sumatera Utara pada tahun 2018 adalah
0,6%.
Skizofrenia adalah suatu gangguan
jiwa yang ditandai dengan penurunan atau
ketidakmampuan berkomunikasi,
gangguan realita (halusinasi dan waham),
afek yang tidak wajar atau tumpul,
gangguan kognitif
(tidak mampu berfikir abstrak) dan Kota Medan Tahun 2019. Desain
mengalami kesukaran aktifitas sehari-hari penelitian menggunakan pendekatan
(Keliat, 2006). Skizofrenia adalah cross sectional, yaitu suatu metode yang
gangguan yang lebih kronis dan lebih merupakan rancangan penelitian yang
melemahkan daripada jenis gangguan melakukan pengukuran dan pengamatan
mental lainnya. Sekitar 50%-80% orang- pada saat bersamaan (sekali waktu).
orang yang masuk rumah sakit atas dasar
satu episode skizofrenia, akan
mendapatkan kembali perawatan di rumah
sakit untuk episode lain kehidupan mereka Populasi dan Sampel
(Wiramihardja, 2005). Yang menjadi populasi dalam
Perilaku kekerasan merupakan penelitian ini adalah keluarga pasien
salah satu perilaku skizoprenia. Perilaku skizofrenia yang ada datang membawa
kekerasan merupakan tindakan menciderai
orang lain, diri sendiri, merusak harta
benda (lingkungan), dan ancaman secara
verbal (Keliat 2013). Daerah Provinsi
Sumatera Utara menunjukkan bahwa
jumlah kasus perilaku kekerasan pada
tahun 2017 sebanyak 408 orang yang
pernah masuk IGD (Profil Kesehatan
Sumatera Utara, 2017). Upaya yang
digunakan untuk mengontrol perilaku
kekerasan yaitu penatalaksanaan medis
seperti:
farmakologi, terapi modalitas, terapi
keluarga, dan terapi kelompok (Afnuhazi
2015).

METODE PENELITIAN

Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini bersifat analitik
kuantitatif sesuai dengan tujuan penelitian
yang bersifat ingin mengetahui hubungan
dukungan keluarga dalam merawat pasien
perilaku kekerasan dengan kemampuan
mengontrol perilaku kekerasan di Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem
pasien perilaku kekerasan berobat ke Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Jenis data yang digunakan dalam
Muhammad Ildrem Kota Medan. Jumlah
penelitian ini adalah data primer yang
pasien perilaku kekerasan dari data rekam
diperoleh dari hasil wawancara dengan
medic dalam 11 bulan terakhir pada tahun
2018 didapat data sebanyak 138 pasien
sehingga dapat diperhitungkan pasien
perilaku kekerasan dalam sebulan
sebanyak 12 pasien.
Dalam penelitian ini yang menjadi
sampel adalah sebagian dari populasi yang
terjangkau. Adapun jumlah sampel dalam
penelitian ini sebanyak 34 orang.
Untuk memperoleh 34 orang
sampel dari 138 populasi menggunakan
dengan teknik Accidental Sampling
(Aziz Alimul Hidayat, 2013). Cara
pengambilan secara accidental sampling
ini dilakukan dengan mengambil
responden yang kebetulan ada di
poliklinik dan menjenguk sampai berobat
terpenuhi.
Adapun yang menjadi sampel
dalam penelitian ini adalah keluarga
pasien perilaku kekerasan pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Muhammad Ildrem.
Dengan kriteria inklusi:
a. Keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan diagnosa perilaku kekerasan.
b. Keluarga yang datang membawa anggota
keluarga dengan diagnosa perilaku
kekerasan ke poliklinik Rumah Sakit
Prof. Dr. Muhammad Ildrem.
c. Bersedia menjadi responden

Dan kriteria Ekslusi :

a. Keluarga yang tidak memiliki anggota


keluarga dengan diagnosa perilaku
kekerasan.
b. Keluarga yang tidak datang membawa
anggota keluarga dengan diagnosa
perilaku kekerasan ke poliklinik Rumah
Sakit Prof. Dr. Muhammad Ildrem.
menggunakan kuesioner kepada keluarga umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
yang mengalami gangguan perilaku dan sebagainya. (Notoatmotjo, 2012)
kekerasan pada pasien skizofrenia. Selain
itu, juga menggunakan data sekunder yaitu b. Analisis Bivariat
data yang diperoleh dari Rekam Medik Analisa Bivariat merupakan kelanjutan
Rumah Sakit Jiwa tahun 2018. dari analisa univariat dengan cara
melakukan tabulasi silang dengan
Cara pengumpulan data dilakukan menggunakan uji statistik chi-square pada
dengan wawancara langsung kepada taraf kepercayaan 95% untuk melihat
responden dengan menggunakan kuesioner hubungan antara dukungan keluarga
sebagai alat ukur. Sebelum melakukan dengan kemampuan mengontrol perilaku
wawancara kepada responden, terlebih kekerasan, apabila nilai p value (<0,05)
dahulu peneliti memperkenalkan diri, berarti ada hubungan yang signifikan antara
menjelaskan tujuan penelitian, memberikan kedua variabel yang diteliti, Ha diterima.
surat persetujuan menjadi responden dan Apabila p value (>0,05) berarti tidak ada
memberikan kuesioner, kemudian hubungan yang signifikan antara kedua
menandatangani surat persetujuan variabel yang diteliti, Ha ditolak
responden. (Notoatmojo, 2012).

Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Analisis Univariate
Analisis yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan Analisis Hasil Penelitian
Univariate yang bertujuan untuk Analisa Univariat
menjelaskan atau mendeskripsikan Analisis univariat digunakan untuk
karakteristik setiap variable penelitian. melihat distribusi frekuensi dari masing-
Bentuk analisis univariate tergantung dari masing variabel, yaitu dukungan keluarga
jenis datanya. Pada umumnya dalam (dukungan penilaian, dukungan
analisis ini hanya menghasilkan distribusi instrumental, dukungan informasional,
frekuensi dan persentase dari tiap variabel. dukungan emosional), dan kemampuan
Misalnya distribusi frekuensi responden mengontrol.
berdasarkan:

Dukungan Keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Dukungan Penilaian, Dukungan Instrumental,


Dukungan Informasional, Dukungan Emosional Pada Responden dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan Di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem
No Dukungan Keluarga Frekuensi Presentase

1 Dukungan Penilaian
Memberi 25 73,5 %
Tidak Memberi 9 26,5 %
Total 34 100%
2 Dukungan Intrumental
Memberi 23 67,6 %
Tidak Memberi 11 32,4 %
Total 34 100 %
3 Dukungan Informasional
Memberi 21 61,8 %
Tidak Memberi 13 38,2 %
Total 34 100 %
4 Dukungan Emosional
Memberi 16 47,1 %
Tidak Memberi 18 52,9 %
Total 34 100 %
Berdasarkan tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memberi dukungan
penilaian yaitu sebanyak 25 orang (73,5%), mayoritas memberi dukungan instrumental yaitu
sebanyak 23 orang (67,6%), mayoritas memberi dukungan informasional yaitu sebanyak 21
orang (61,8%), dan mayoritas tidak memberi dukungan emosional yaitu sebanyak 18 orang
(52,9%).

Kemampuan Pasien Mengontrol Perilaku Kekerasannya

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kemampuan Pasien Mengontrol Perilaku


Kekerasannya Di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan Tahun 2019

No Kemampuan Mengontrol Frekuensi Presentase


1 Mampu 25 73,5 %
2 Tidak Mampu 9 26,5 %
Total 34 100%

Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa pasien yang mampu mengontrol perilaku
kekerasannya adalah sebanyak 25 orang (73,5%), dan 10 orang (26,5%) tidak mampu
mengontrol perilaku kekerasannya.

Analisa Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen yaitu
dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional,
dengan variabel dependen yaitu kemampuan mengontrol. Pengujian analisis bivariat dilakukan
dengan menggunakan uji Chi Square. Analisis ini dikatakan bermakna (signifikan) bila hasil
analisis menunjukkan adanya hubungan bermakna secara statistik antara variabel, yaitu
dengan nilai p < 0,05.

Hubungan Dukungan Penilaian dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku


Kekerasannya
Tabel 3 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Penilaian Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019

Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan

Mampu Tidak Mampu


Dukungan
No Penilaian
P
n % n % Tot %
al
value
Memberi 22 6 3 8, 25 73,5
Total 25 73,5 9 26,5 34 100

Berdasarkan tabel 3 di atas, ada 25 responden (73,5%) yang memberi dukungan


penilaian dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 22 orang
(64,7%) dan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 3 orang (8,8%). Hasil
analisis chi-square (person chi-square) dukungan penilaian keluarga dengan kemampuan
pasien mengontrol perilaku kekerasannya diperoleh nilai p value = 0,001 (p<0,05) dengan
tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara dukungan penilaian keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya.

Hubungan Dukungan Instrumental dengan


Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya

Tabel 4 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Instrumental Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019

Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan

Mampu Tidak Mampu


Dukungan
No Instrumental
P
n % N % Tot % val
al ue
Memberi 20 58 3 8, 23 67 0.01
,8 8 ,6 0
Tidak 5 14 6 17 11 32
Memberi ,7 ,6 ,4

Berdasarkan table 4 di atas, ada 23 responden (67,6%) yang memberi dukungan


instrumental dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 20 orang
(58,8%) dan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 3 orang (8,8%). Hasil
analisis chi-square (person chi-square) dukungan instrumental keluarga dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya diperoleh nilai p value = 0,010
(p<0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan instrumental keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya.

Hubungan Dukungan Informasional dengan


Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya

Tabel 5 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Informasional Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019
Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan
Dukungan
No
Informasional Mampu Tidak Mampu
P
n % n % Total % value

1 Memberi 19 55,9 2 5,9 21 61,8 0.004

2 Tidak Memberi 6 17,6 7 20,6 13 38,2


Total 25 73,5 9 26,5 34 100

Berdasarkan tabel 5 di atas, ada 21 responden (61,8%) yang memberi dukungan


informasional dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 19 orang
(55,9%) dan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 2 orang (5,9%). Hasil
analisis chi-square (person chi-square) dukungan informasional keluarga dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya diperoleh nilai p value = 0,004
(p<0,05) dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan informasional keluarga dalam merawat
pasien perilaku kekerasan dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya.

Hubungan Dukungan Emosional dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku


Kekerasannya

Tabel 6 Hasil Analisis Uji Chi Square Dukungan Emosional Keluarga Dalam Merawat
Pasien Perilaku Kekerasan dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasannya di
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun 2019

Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan

Dukungan Mampu Tidak Mampu


No Emosional
P
n % n % Tot % val
al ue
Memberi 13 38 3 8, 16 47 0.33
,2 8 ,1 6
Tidak Memberi 12 35 6 17 18 52
,3 ,6 ,9
Total 2 73 9 26 34 10

Berdasarkan tabel 6 di atas, ada 16 responden (47,1%) yang memberi dukungan


emosional dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 13 orang
(38,2%) dan tidak mampu mengontrol perilaku kekerasan sebanyak 3 orang (8,8%). Hasil
analisis chi-square (person chi-square) dukungan emosional keluarga dengan kemampuan
pasien mengontrol perilaku kekerasannya diperoleh nilai p value = 0,336 (p>0,05) dengan
tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara dukungan emosional keluarga dalam merawat pasien perilaku
kekerasan dengan kemampuan pasien mengontrol perilaku kekerasannya.

Pembahasan 1. Hubungan Dukungan Penilaian


Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan dengan
Kemampuan Mengontrol Perilaku dimana dukungan penilaian ini merupakan
Kekerasannya dukungan yang bertidak membimbing dan
Berdasarkan hasil penelitian pada menengahi pemecahan masalah, sebagai
tabel 3 dapat diketahui bahwa ada 25
sumber dan validator identitas anggota
responden (73,5%) yang memberi
keluarga di antaranya memberikan support,
dukungan penilaian dengan kemampuan
pasien mengontrol perilaku kekerasan penghargaan, dan perhatian. Dukungan
sebanyak 22 orang (64,7%) dan tidak keluarga dapat membantu meningkatkan
mampu mengontrol perilaku kekerasan strategi-strategi
sebanyak 3 orang (8,8%) dikarenakan
masih ada pasien yang belum mengerti
bagaimana cara mengontrol perilaku
kekerasan dengan benar dan jika tidak
diberikan dukungan penilaian pada pasien
tetapi mampu mengontrol perilaku
kekerasannya itu disebabkan karena pasien
tetap mendapatkan dukungan penilaian
yaitu membina hubungan saling percaya
saat ingin diperiksa oleh perawat di
poliklinik rumah sakit.
Hasil analisis chi-square (person
chi- square) dukungan penilaian
keluarga dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasannya
diperoleh nilai p value = 0,001 (p<0,05)
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini
menunjukkan secara statistik bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
dukungan penilaian keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku
kekerasannya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Nuraenah,dkk (2012) tentang hubungan
dukungan keluarga dan beban keluarga
dalam merawat anggota dengan riwayat
perilaku kekerasan di RS. Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara dukungan penilaian
dengan beban keluarga.
Seperti yang dikatakan dalam
Friedman (2013) menyatakan bahwa
alternatif berdasarkan pengalaman dengan kemampuan pasien mengontrol
yang berfokus pada aspek- perilaku kekerasannya.
aspek yang positif. Hasil penelitian ini sejalan dengan
Menurut asumsi peneliti dukungan hasil penelitian yang dilakukan oleh Devi
penilaian sangat dibutuhkan oleh pasien Permata Sari (2018) tentang hubungan
Perilaku Kekerasan dalam mengontrol dukungan keluarga dengan keinginan
perilaku kekerasan karena dalam hal ini pengguna NAPZA untuk berhenti
keluarga selalu memberikan ide-ide
positif pada pasien contohnya melakukan
hal baik terhadap orang lain, memberikan
pujian ketika pasien dapat menyelesaikan
tugas yang diberikan dan membina
hubungan saling percaya terhadap pasien.

2. Hubungan Dukungan Instrumental


Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan dengan
Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya
Berdasarkan hasil penelitian dari
tabel 4 di atas, ada 23 responden (67,6%)
yang memberi dukungan instrumental
dengan kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 20 orang
(58,8%) dan tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 3 orang
(8,8%) dikarenakan masih ada pasien
belum mengerti cara mengontrol
perilaku kekerasan dan jika tidak
diberikan dukungan instrumental tetapi
mampu mengontrol perilaku
kekerasannya itu karena pasien
mendapatkan dukungan instrumental
tentang perawatan kesehatan setiap
bulannya ke poliklinik rumah sakit.
Hasil analisis chi-square (person
chi- square) dukungan instrumental
keluarga dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasannya
diperoleh nilai p value = 0,010 (p<0,05)
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini
menunjukkan secara statistik bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
dukungan instrumental keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan
menggunakan di Panti Sosial Pamardi mengerti cara mengontrol perilaku
Putra (PSPP) Insyaf Sumatera Utara. kekerasan dan jika sudah diberikan
dukungan informasional tetapi mampu
Seperti yang dikatakan dalam
mengontrol perilaku kekerasannya itu
Friedman (2013) menyatakan bahwa
karena pasien tetap mendapatkan
dimana dukungan instrumental ini dukungan informasional tentang bagaimana
merupakan sumber pertolongan praktis cara dan aturan minum obat yang benar
dan konkrit, diantaranya adalah dalam hal yang disampaikan oleh perawat saat
kebutuhan keuangan, makan, minum, dan berobat di poliklinik rumah sakit.
istirahat, seperti saat seorang memberi
atau meminjamkan uang, membantu
pekerjaan sehari-hari, menyampaikan
pesan, menyediakan transportasi, menjaga
dan merawat saat sakit ataupun
mengalami depresi yang dapat membantu
memecahkan masalah.
Menurut asumsi peneliti semakin
tingginya dukungan instrumental yang
diberikan keluarga kepada pasien Perilaku
Kekerasan maka semakin tinggi juga
kemampuan pasien mengontrol perilaku
kekeraannya. Hal ini didasari dengan
adanya faktor pendukung seperti keluarga
yang selalu memberi dukungan yaitu
bertanggung jawab membawa pasien
berobat 1 bulan sekali, selalu
memperhatikan pasien dalam hal minum
obat, dan mempersiapkan dana kesehatan
dan perawatan bagi pasien.

3. Hubungan Dukungan Informasional


Keluarga dalam Merawat Pasien
Perilaku Kekerasan dengan
Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya
Berdasarkan hasil penelitian dari
tabel 5 di atas, ada 21 responden (61,8%)
yang memberi dukungan informasional
dengan kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 19 orang
(55,9%) dan tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 2 orang
(5,9%) dikarenakan ada pasien yang belum
Hasil analisis chi-square (person Perilaku Kekerasan dengan
chi- square) dukungan informasional Kemampuan Mengontrol Perilaku
keluarga dengan kemampuan pasien Kekerasannya
mengontrol perilaku kekerasannya .
diperoleh nilai p value = 0,004 (p<0,05)
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini Berdasarkan hasil penelitian tabel 6
menunjukkan secara statistik bahwa di atas, ada 16 responden (47,1%) yang
terdapat hubungan yang bermakna antara memberi dukungan emosional dengan
dukungan informasional keluarga dalam kemampuan pasien mengontrol
merawat pasien perilaku kekerasan perilaku
dengan kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasannya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Nuraenah,dkk (2012) tentang hubungan
dukungan keluarga dan beban keluarga
dalam merawat anggota dengan riwayat
perilaku kekerasan di RS. Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara dukungan informasional
dengan beban keluarga.
Seperti yang dikatakan dalam
Friedman (2013) menyatakan bahwa
dimana dukungan informasional ini
merupakan pemberi informasi, dimana
keluarga menjelaskan tentang pemberian
saran, sugesti, informasi yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan suatu
masalah.
Menurut asumsi peneliti semakin
banyak dukungan berupa informasi
kepada pasien Perilaku Kekerasan akan
membuat pasien mampu mengontrol
perilaku kekerasannya. Dukungan yang
diberikan yaitu mengingatkan pasien
untuk minum obat secara teratur,
menyarankan pasien untuk selalu berdoa
demi kesembuhannya, dan memberikan
informasi kepada pasien apa yang
dibutuhkan selama pengobatan.

4. Hubungan Dukungan Emosional


Keluarga dalam Merawat Pasien
kekerasan sebanyak 13 orang (38,2%) dan Menurut asumsi peneliti semakin
tidak mampu mengontrol perilaku tingginya dukungan emosional yang
kekerasan sebanyak 3 orang (8,8%) diberikan keluarga maka akan semakin
dikarenakan masih ada pasien yang belum tinggi juga kemampuan pasien dalam
mengerti cara mengontrol perilaku mengontrol perilaku kekerasannya.
kekerasan tetapi mampu mengontrol Dukungan yang diberikan contohnya seperti
perilaku kekerasan itu karena pasien keluarga datang membesuk anggota
mendapatkan perawatan yaitu dengan cara keluarga yang sakit secara rutin, berusaha
menyarankan tarik nafas dalam jika dalam memberikan perasaan nyaman kepada
keadaan marah yang diajarkan oleh
perawat saat berobat rutin setiap bulan di
poliklinik rumah sakit.
Hasil analisis chi-square (person
chi- square) dukungan emosional
keluarga dengan kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasannya
diperoleh nilai p value = 0,336 (p>0,05)
dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini
menunjukkan secara statistik bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara
dukungan emosional keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan dengan
kemampuan pasien mengontrol perilaku
kekerasannya.
Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rully Andika (2018) tentang hubungan
dukungan keluarga dengan kemampuan
pasien mengontrol halusinasi pada
penderita skizofrenia. Hasil penelitian
menunjukkan ada hubungan antara
dukungan emosional dengan kemampuan
pasien mengontrol halusinasi di Instalasi
Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu RSUD
Banyumas.
Seperti yang dikatakan dalam
Friedman (2013) menyatakan bahwa
dimana dukungan emosional ini merupakan
tempat yang nyaman dan damai untuk
istirahat serta pemulihan dan membantu
penguasaan terhadap emosi.Dukungan
emosional meliputi dukungan yang
diwujudkan dalam bentuk adanya
kepercayaan dan perhatian.
pasien, dan memperhatikan kebutuhan dengan kemampuan pasien mengontrol
sehari-hari pasien. Tetapi dirumah perilaku kekerasan sebanyak 20 orang
maupun dirumah sakit jiwa Prof. Dr. (58,8%) dan tidak mampu mengontrol
Muhammad Ildrem Kota Medan keluarga perilaku kekerasan sebanyak 3 orang
tidak memberikan perasaan nyaman (8,8%). Dukungan instrumental keluarga
kepada pasien, dan keluarga jarang mempunyai hubungan yang signifikan
membesuk pasien di rumah sakit dengan kemampuan mengontrol perilaku
dikarenakan keluarga sudah merasa kekerasannya di RSJ Prof. Dr.
bertanggung jawab setelah memasukkan Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun
pasien ke rumah sakit jiwa dan merasa 2019.
upaya itu sudah cukup
.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang


dilakukan peneliti pada responden di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad
Ildrem Kota Medan Tahun 2019 mengenai
Hubungan Dukungan Keluarga dalam
Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, Ada 25 responden (73,5%)
yang memberi dukungan penilaian
dengan kemampuan pasien mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 22 orang
(64,7%) dan tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan sebanyak 3 orang
(8,8%). Dukungan penilaian keluarga
mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kemampuan mengontrol
perilaku kekerasannya di RSJ Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Kota Medan Tahun
2019.
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, ada 23 responden (67,6%)
yang memberi dukungan instrumental
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, ada 21 responden (61,8%)
yang memberi dukungan informasional 1. Dukungan Penilaian Keluarga
dengan kemampuan pasien mengontrol Dalam memberikan dukungan
perilaku kekerasan sebanyak 19 orang penilaian keluarga diharapkan selalu
(55,9%) dan tidak mampu mengontrol memberikan ide-ide positif pada pasien
perilaku kekerasan sebanyak 2 orang seperti berbuat baik terhadap orang lain,
(5,9%). Dukungan informasional membina hubungan saling percaya
keluarga mempunyai hubungan yang terhadap pasien, dan memberikan pujian
signifikan dengan kemampuan ketika pasien dapat menyelesaikan tugas
mengontrol perilaku kekerasannya di yang diberikan.
RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota 2. Dukungan Instrumental Keluarga
Medan Tahun 2019.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan,
ada 16 responden (47,1%) yang memberi
dukungan emosional dengan kemampuan
pasien mengontrol perilaku kekerasan
sebanyak 13 orang (38,2%) dan tidak
mampu mengontrol perilaku kekerasan
sebanyak 3 orang (8,8%). Dukungan
emosional keluarga mempunyai hubungan
yang tidak signifikan dengan kemampuan
mengontrol perilaku kekerasannya di RSJ
Prof. Dr. Muhammad Ildrem Kota Medan
Tahun 2019.

Saran

Setelah melakukan penelitian


mengenai Hubungan Dukungan Keluarga
dalam Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
dengan Kemampuan Mengontrol Perilaku
Kekerasannya di Rumah Sakit Jiwa Prof.
Dr. Muhammad Ildrem Medan Tahun 2019
maka penulis dapat memberikan saran
terkait dengan hasil dan pembahasan,
penelitian ini penulis tunjukan bagi:
Dalam memberikan dukungan Daftar Pustaka
instrumental keluarga disarankan tetap
bertanggung jawab membawa pasien
berobat 1 bulan sekali, selalu Afnuhazi. 2015. “Komunikasi Terapeutik
memperhatikan pasien dalam hal minum Dalam Keperawatan Jiwa.
obat, dan mempersiapkan dana kesehatan Gosyen Pubshing. Yogyakarta.
dan perawatan bagi pasien.
3. Dukungan Informasional Keluarga Davies Teifion dan TKJ Craig.
Dalam memberikan dukungan
informasional keluarga disarankan selalu 2017.
mengingatkan pasien untuk minum obat “ABC Kesehatan Mental”.
secara teratur, menyarankan pasien untuk
selalu berdoa demi kesembuhannya, dan
memberikan informasi kepada pasien apa
yang dibutuhkan selama pengobatan.
4. Dukungan Emosional Keluarga
Dalam memberikan dukungan
emosional keluarga disarankan keluarga
harus rajin datang membesuk anggota
keluarga yang sakit secara rutin, tetap
memberikan perasaan nyaman kepada
pasien, dan memperhatikan kebutuhan
sehar-hari pasien.
5. Keluarga Pasien
Keluarga diharapkan dapat lebih
menambah dan meningkatkan perannya
terhadap pasien perilaku kekerasan dalam
memberikan setiap dukungan kepada
pasien halusinasi seperti dukungan
penilaian, dukungan instrumental,
dukungan informasional, dan dukungan
emosional.
6. Pelayanan Kesehatan
Kepada Tenaga Kesehatan agar tetap
mengarahkan keluarga untuk
memberikan dukungan-dukungan positif
seperti memberikan dukungan penilaian,
instrumental,
informasional, dan dukungan emosional
kepada pasien juga supaya pasien
mampu mengontrol perilaku
kekerasannya.
Buku Kedokteran EGC. Notoatmodjo
Jakarta. Soekidjo. 2012.
“Metodologi Penelitian
Kesehatan”. Rineka Cipta. Jakarta.
Diana, A. 2016. “Gambaran Pengalaman
Perawat dalam Melakukan
Tindakan Restrain pada Pasien
Perilaku Kekerasan di RSJ.
Prof. HB Saanin Padang
Tahun 2016”.
http://scholar.unand.ac.id/1867
0/2/BAB%201%20HASIL.pdf.

Friedman. 2013. “Keperawatan Keluarga.


Gosyen Pubshing. Yogyakarta.

Herman Ade. 2015. “Buku Ajar Asuhan


Keperawatan Jiwa. EGC. Jakarta

Hidayat Ali Aziz Alimul. 2013. “Metode


Penelitian Keperawatan dan
Teknik Analisis Data”. Salemba
Medika. Jakarta.

Jaya Kusnadi. 2018. “Keperawatan jiwa”.


Bina Rupa Aksara. Tangerang
Selatan.

Kaplan, H.L, Sadock,BJ. 2006.


“Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis”. Bina Putra Aksara.
Jakarta.

Keliat Budi Anna, dkk. 2003. “Gambaran


Klien Perilaku Kekerasan di
Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor
dan Rumah Sakit Jiwa Pusat
Jakarta”. Jurnal Keperawatan
Indonesia, Vol. 7 Nomor 2.
Nuraenah, dkk. 2014. “Hubungan
Dukungan Keluarga dan
Beban Keluarga dalam Seryowati Sri. 2008. “Asuhan
Merawat Anggota dengan Keperawatan Keluarga Konsep
Riwayat Perilaku Kekerasan dan Aplikasi Kasus”. Mitra
di RS. Jiwa Islam Klender Cendekia. Jogyakarta.
Jakarta Timur Tahun 2014”.
Jurnal Keperawatan Jiwa Vol. 2
Nomor 1, Mei 2014. Suryenti Vevi. 2017. “Dukungan dan
Beban Keluarga dengan
Kemampuan
Purba Dhita Carolin. 2017. “Dukungan
Keluarga Keluarga

Terhadap Kekambuhan
Halusinasi Pada Pasien
Skizofrenia Di Poliklik Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2017”. KTI.
Poltekkes Kemenkes Medan.

Riskesdes 2013. Prevalensi Gangguan Jiwa


Berat menurut Provinsi,
Indonesia 2013. Dari
http://www.depkes.go.id

Rumus

Slovin,
http://www.statistiakian.com

Saragih Sasmaida, dkk.


2016. “Gambaran
Tingkat
Pengetahuan dan
Sikap Keluarga tentang
Perawatan Pasien Resiko
Perilaku
Kekerasan di
Rumah”.
http://media.neliti.com/media/p
ublications/186609-ID-
gambaran-tingkat- pengetahuan-
dan-sikap-k.pdf.
Merawat Pasien Resiko Wiharjo.G. Fendy. 2014.
Perilaku Kekerasan Di Klinik “Hubungan Antara
Jiwa Rumah Sakit Jiwa Persepsi dengan Sikap
Provinsi Jambi Tahun 2017”. Masyarakat
Jurnal Psikologi Jambi Vol. 2 terhadap Penderita
Nomor 2. p-ISSN: 2528-2735, Skizofrenia di
e-ISSN: 2580-7021. Surakarta”.
http://eprints.ums.ac.id/31866/
2/04%20BAB%201.pdf.
Undang-undang N0 18 Tahun 2014.
“Kesehatan jiwa”. Dari
http://yankes.kemenkes.go.id Wiramihahardja Sutarjo. 2008.
“Pengantar Psikologi Abnormal.
Gosyen Pubshing. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai