Anda di halaman 1dari 25

MODUL

PRAKTIKUM
METALOGRAFI &
HEAT TREATMENT
Dosen Pengampu: Vina Nanda Garjati, S.T., M.T.

Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Jakarta


2021
TUJUAN PRAKTIKUM:
• Melakukan teknik persiapan sampel metalografi berbagai material baja paduan
• Melakukan identifikasi fasa yang terdapat pada berbagai material baja paduan
• Melakukan penghitungan besar butir dan perbandingan fasa pada material.

PENDAHULUAN
Metalografi didefinisikan sebagai pengamatan bentuk dan struktur dari material, dengan
tujuan untuk kontrol kualitas material. Metalografi secara umum dibagi menjadi:
• Pengamatan Makroskopi; pengamatan dengan perbesaran 10X - 30X atau kurang.
• Pengamatan Mikroskopi; pengamatan dengan perbesaran lebih dari 30X. Perbesarannya
tergantung sifat struktur yang akan diamati. Pengamatan dapat dilakukan dengan:
➢ Mikroskop optik (sampai 1000X),
➢ Scanning Electron Microscope (SEM) (sampai 50000X), atau
➢ Transmission Electron Microscope (sampai 500000X).

Tujuan umum penggunaan mikroskop optik adalah untuk mengamati susunan geometri dari
butir dan fasa pada material. Hasil pengamatan pada umumnya dibuat foto struktur mikro dengan
angka perbesaran yang selalu dicantumkan pada pojok kanan bawah foto atau dengan keterangan
perbesaran, misal 100X, dsb.
Pengamatan struktur mikro material sangat penting karena erat hubungannya dengan sifat
mekanis material. Sebagai contoh, A menunjukkan fasa dan struktur butir yang lebih homogen
dan halus dari material B, dapat diantisipasi material A akan menunjukkan sifat pada temperatur
ruang yang lebih tinggi dari material B.
MODUL I
PREPARASI/PERSIAPAN SAMPEL (MOUNTING, AMPLAS, POLES, DAN ETSA)
I.1 PERSIAPAN SAMPEL METALOGRAFI

Prosedur dasar persiapan sampel metalografi :


1. Penentuan ukuran sampel; tergantung pada sifat material dan informasi yang akan di dapat.
Umumnya bervariasi antara 5 – 30 mm, dan ketebalan lebih kecil dibanding dimensi
panjang dan lebarnya.
2. Mounting sampel; umunya dilakukan jika sampel berukuran terlalu kecil.
3. Amplas kasar (coarse grinding); umumnya untuk menghaluskan permukaan yang tergores
cukup dalam pada proses pemotongan.
4. Amplas halus (fine grinding); dilakukan menggunakan amplas dengan partikel SiC.
Terdapat berbagai ukuran kertas amplas halus, yaitu antara 400 – 1200 mesh. Setiap
berganti ukuran amplas, sampel diputar 90o dari posisi sebelumnya untuk menghilangkan
goresan pada tahap sebelumnya.
5. Poles kasar (rough polishing); dilakukan dengan menggunakan partikel alumina atau intan,
dengan besar partikel sekitar 5 µm, untuk menghilangkan goresan yang masih tersisa dan
untuk meminimalisir sisa daerah yang terdeformasi dari amplas halus.
6. Poles halus (final polihing); untuk menghilangkan goresan yang amat halus dan daerah
daerah deformasi yang dihasilkan selama proses kasar, dengan menggunakan partikel poles
alumina atau intan kurang dari 1 µm (biasanya 0,5 µm). Hasil poles ini menunjukkan
permukaan yang bebas goresan dan siap untuk dietsa.
7. Etsa; dilakukan pasa sampel yang telah dikeringkan setelah poles halus dengan
menggunakan zat kimia bersifat asam atau basa. Zat etsa akan menyerang berbagai daerah
permukaan. Terjadi karena adanya afinitas kimia yang berbeda antara detail satu dan
lainnya, serangan zat kimia akan menyebabkan pantulan sinar yang berbeda ke lensa
objektif yang menyebabkan dapat membedakan antara fasa satu dan lainnya. Setelah proses
etsa, sampel siap diamati dengan mikroskop optik.
I.2 MOUNTING
I.2.1 TUJUAN PERCOBAAN
Percobaan bertujuan untuk menempatkan sampel pada suatu media, untuk memudahkan
penanganan sampel yang berukuran kecil dan tidak beraturan dengan tanpa merusak sampel.

I.2.2 DASAR TEORI


Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit untuk
ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah
spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk
memudahkan penanganannya, maka spesimen – spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu
media (media mounting). Secara umum syarat – syarat yang harus dimiliki bahan mounting
adalah:
• Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa).
• Sifat eksotermis rendah.
• Viskositas rendah.
• Penyusutan linier rendah.
• Sifat adhesi baik.
• Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel.
• Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah, dan bentuk ketidakteraturan
yang terdapat pada sampel.
• Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujia SEM, bahan mounting harus
kondukstif.

Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang
akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya
dapat berupa:
1. Resin (castable resin) yang dicampur dengan hardener atau bakelit. Penggunaan
castable resin lebih mudah dan alat yang digunaskan lebih sederhana dibandingkan
bakelit karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable
resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (bersifat lunak), sehingga kurang
cocok untuk material – material yang keras.
2. Thermosetting mounting dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa
bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam, membutuhkan alat khusus karena
membutuhkan aplikasi tekanan (± 4200 lb/in2) dan panas (± 149oC) pada mold saat
mounting.

I.2.3 PROSEDUR PERCOBAAN


I.2.3.1 Castable Mounting
1. Siapkan cetakan, dengan menutup salah satu bagian ujung dari silinder dengan
isolasi

2. Letakkan sampel pada dasar cetakan

3. Siapkan resin sebanyak 1/3 bagian cetakan


4. Campur resin dengan 15 tetes hardener
5. Tuangkan resin yang telah dicampur hardener ke dalam cetakan

Resin+hardener
Sampel

6. Biarkan selama 25-30 menit hingga resin mengeras


7. Keluarkan mounting dari cetakan
I.3 PENGAMPLASAN/GRINDING
I.3.1 TUJUAN PERCOBAAN
Untuk meratakan dan menghaluskan permukaan sampel dengan cara menggosokan sampel
pada kain abrasif/amplas.

I.3.2 DASAR TEORI


Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan
yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk
dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir
abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang
rendah (hingga 150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga 600 mesh). Ukuran grit
pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang
ditimbulkan oleh pemotongan. Lihat tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1 Ukuran grit pada pengamplasan pertama dengan alat potong yang berbeda
Ukuran kertas amplas (grit) untuk
Jenis alat potong pengamplasan pertama
Gergaji pita 60 – 120
Gergaji abrasif 120 – 240
Gergaji kawat/intan kecepatan
rendah 320 – 400

Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air. Dalam hal ini
air berfungsi sebagai pemindah geram dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal
lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah
yang baru adalah 45o atau 90o terhadap arah sebelumnya dengan tujuan menghilangkan goresan
pada tahap sebelumnya.
I.3.3 PROSEDUR PERCOBAAN
1. Pasang kertas amplas pada mesinnya
2. Nyalakan mesin pada kecepatan rendah, kemudian tuangkan air pada
permukaan kertas amplas secara kontinyu
3. Pegang erat sampel, kemudian letakkan sampel pada permukaan kertas
amplas
4. Tambah kecepatan putaran sesuai kebutuhan
5. Ubah arah pengamplasan 45o atau 90o terhadap arah sebelumnya
6. Ganti kertas amplas dengan grit yang lebih tinggi, hingga diperoleh
permukaan yang halus dan rata.

I.4 PEMOLESAN/POLISHING
I.4.1 TUJUAN PERCOBAAN
Pemolesan bertujuan untuk mendaptkan permukaan sampel yang halus dan mengkilat
seperti kaca tanpa gores.

I.4.2 DASAR TEORI


Permukaan sampel yang akan diamati dibawah mikroskop harus benar-benar rata. Apabila
permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk
dilakukan dikarenakan cahaya yang datang dari mikroskop akan dipantulkan secara acak oleh
permukaan sampel. Hal ini dapat dijelaskan pada gambar berikut:

Permukaan halus Permukaan Kasar


Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan
dengan pemolesan halus.

I.4.3 PROSEDUR PERCOBAAN


1. Pasang kain poles pada mesin poles (umumnya digunakan bahan beludru)
2. Tuangkan sedikit alumina pada permukaan kain poles
3. Nyalakan mesin poles pada kecepatan rendah
4. Letakkan sampel pada permukaan kain poles
5. Lakukan pemolesan dengan memutar sampel pada porosnya secara kontinyu
dan perlahan
6. Tambahkan lagi alumina jika perlu
7. Lakukan pemolesan hingga diperoleh permukaan yang mengkilat

Semua prosedur persiapan sample di atas dilakukan untuk sample metalografi dan sample
Perlakuan panas yang diberikan pasa setiap peserta.

I.5 ETSA
I.5.1 TUJUAN PERCOBAAN
1. Mengamati dan mengidentifikasi detil struktur logam dengan bantuan mikroskop optik
setelah terlebih dahulu dilakukan proses etsa pada sampel.
2. Dapat melakukan preparasi sampel metalografi secara baik dan benar

I.5.2 TEORI SINGKAT


Etsa merupakan suatu proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan
terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun listrik
maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan
jelas dan tajam. Salah satu jenis etsa adalah etsa kimia. Etsa kimia merupakan proses pengetsaan
dengan menggunakan larutan kimia dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik
tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati.
a. Nitrid acid/nital: asam nitrit + alkohol 95% (khusus untuk baja karbon) yang bertujuan
untuk mendapatkan perlit, ferit, dan ferit dari martensit.
b. Picral: asam picric + alkohol (khusus untuk baja) yang bertujuan untuk mendapatkan perlit,
ferit, dan ferit dari martensit.
c. Ferric chloride: ferric chloride + HCL + air untuk melihat struktur pada SS, nikel austenitic,
dan paduan tembaga.
d. Hydroflouric acid: HF + air untuk mengamati struktur pada alumunium dan paduannya.

Keterangan:
1. Hindari waktu etsa yang terlalu lama (umumnya sekitar 4 – 30 detik).
2. Setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol kemudian dikeringkan
dengan hair dryer
Sebagai contoh, beberapa enis zat etsa yang biasa digunakan pada berbagai logam dan
paduannya, adalah sebagai berikut:
I.5.3 ALAT DAN BAHAN
I.5.3.1 Alat
1. Blower/dryer
2. Cawan gelas dan pipet.
3. Alat elektro-etsa (rectifier, amperemeter, penjepit sampel konduktif)

I.5.3.2 Bahan
1. Zat etsa: FeCl3, Nital 2 %, HF 0.5 %, dan asam oksalat (H2C2O4) 15 g/100ml air.
2. Air, alkohol, tissue.

I.5.4 PROSEDUR PRAKTIKUM


I.5.4.1 Pengujian Etsa I.5.4.1.1
1. Bersihkan sampel yang telah dipoles dengan air dan alkohol untuk menghilangkan lemak.
2. Pengetsaan dilakukan dengan cara meneteskan zat etsa (atau mencelupkan sampel ke dalam
zat etsa) selama beberapa detik. Untuk baja gunakan nital 2% (sekitar 5-10 detik), untuk
paduan alumunium gunakan HF 0,5 % (selama < 5 detik), dan untuk paduan tembaga
gunakan FeCl3 (selama 10 -15 detik). Pengetsaan jangan sampai menghanguskan
permukaan sampel.
3. Setelah itu bersihkan dengan alkohol dan keringkan dengan blower lalu dilap dengan tissue.
MODUL II
PEMBUATAN FOTO DAN ANALISA STRUKTUR MAKRO DAN MIKRO
II.1 TUJUAN PERCOBAAN
1. Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur
2. Menganalisa struktur mikro dan sifat-sifatnya
3. Mengenali fasa-fasa dalam struktur mikro

II.2 TEORI SINGKAT


Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik mikrostruktur suatu logam
dan paduannya serta hubungannya dengan sifat-sifat logam dan paduannya tersebut. Ada beberapa
metode yang dipakai yaitu: mikroskop (optik maupun elektron), difraksi (sinar-X, elektron dan
neutron), analasis (X-ray fluoresence, elektron mikroprobe) dan juga stereometric metalografi.
Pada praktikum metalografi ini digunakan metode mikroskop, sehingga pemahaman akan cara
kerja mikroskop dapat diketahui, khususnya mikroskop optik.
Pengamatan metalografi dengan mikroskop umumnya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10 – 100 kali
2. Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran diatas100 kali

Sebelum dilakukan pengamatan mikrostruktur dengan mikroskop maka diperlukan proses-


proses persiapan sampel. Langkah-langkah persiapan sampel untuk mikroskop telah diterangkan
dalam modul sebelumnya.

II.2.2 MIKROSTRUKTUR
II.2.2.1Mikrostruktur Baja Karbon
Struktur yang terdapat pada material adalah tergantung pada komposisi unsur-unsur
pembentuk, yang dapat dilihat dari diagram fasa. Berbagai fasa pada diagram fasa Fe-Fe3C dapat
diterangkan sebagai berikut:
➢ Ferrit (α) memiliki kelarutan karbon maksimal 0,022%, amat lunak.
➢ Austenite (γ) kelarutan karbon dalam baja yang terdapat pada suhu tinggi dan mengadung
karbon maksimal 2,11%.
➢ Cementite (Fe3C) suatu senyawa karbon dan baja dengan kadar karbon lebih dari 6.7%
o Pearlite (α+ Fe3C) fasa campuran dengan kadar karbon 0,77%.

Baja didefinisikan sebagai material ferrous dengan kadar karbon kurang dari 2,14%. Baja
karbon dibagi menjadi 2 yaitu, baja hipoeutektoid dan baja hipereutektoid, dengan kadar karbon
0,8% sebagai batas. Pada kadar karbon 0,8% akan terbentuk fasa perlit, yaitu fasa yang terbentuk
lamel-lamel yang merupakan paduan antara ferit sebagai matriksnya dan sementit sabagai
lamelnya. Fasa sementit merupakan fasa yang terbentuk dengan kadar karbon maksimum 6,67%.
Sementara ferit pada kadar karbon maksimum 0,02%.

Gambar. 1. Diagram Fasa Fe-Fe3C (Sumber: W.D Callister, 7th edition book)

Fasa yang ada pada temperatur ruang pada diagram tersebut didapat dengan metode
pendinginan kontinyu yang amat lambat, struktur yang terbentuk adalah struktur stabil. Fasa yang
didapat dengan pendinginan yang tidak kontinyu, akan mendapatkan struktur yang metastabil
seperti martensit atau bainit.
II.2.2.1.1 Mikrostruktur Baja Karbon hasil perlakuan panas
Perlakuan panas adalah rangkaian siklus pemanasan dan pendinginan terhadap material logam
dalam keadaan padat, yang bertujuan untuk menghasilkan sifat-sifat (mekanis, fisik, dan kimia)
yang diinginkan. Dasar dari perlakua panas baja adalah transformasi fasa dan dekomposisi
austenit. Ada beberapa macam proses perlakuan panas yaitu annealing, spheroidisasi,
normalisasi, tempering, dan quenching. Masing-masing memiliki proses maupu media pendingin
yang berbeda. Dasar dari transformasi fasa pada heat treatment adalah diagram TTT
(Transformation Temperature Time) dan CCT (Continuous Cooling Transformation). Perlakuan
panas ini akan menyebabkan pembentukan fasa martensit dan bainit.
Perlakuan permukaan adalah suatu perlakuan yang menghasilkan terbentuknya kulit
lapisan pada permukaan logam dimana lapisan tersebut memiliki sifat-sifat lebih baik
dibandingkan dengan bagian dalam logam. Beberapa contoh kasus perlakuan permukaan yaitu
karburisasi, nitridisasi, sianidisasi, karbonitridisasi, flame hardening, dan induction hardening.
Sampel yang digunakan di sini merupakan hasil karburisasi dimana terjadi difusi karbon ke dalam
permukaan logam Fe akibat reaksi dekomposisi:
CO ↔ CO2 + C(Fe)

II.2.2.2 Mikrostruktur Besi Tuang


Besi tuang pada dasarnya merupakan perpaduan antara besi dan karbon, dimana pada
diagram Fe-Fe3C terlihat bahwa besi tuang mengandung kadar karbon lebih besar dibandingkan
dengan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan austenit pada temperatur eutektik, yaitu pada rentang
2,14 – 6,67%. Secara komersial besi tuang yang dipakai adalah besi tuang dengan kadar karbon
2,5 – 4%, karena kadar karbon yang terlalu tinggi membuat besi tuang sangat rapuh. Secara
metalografi besi tuang dibagi dalam 4 tipe yang didasarkan pada variabel kadar karbon, kadar
pengotor dan paduan, serta proses perlakuan panasnya. Tipe-tipe tersebut antara lain:
Besi tuang putih; merupakan besi tuang dimana semua kadar karbonnya terpadu dalam
bentuk sementit.
Besi tuang malleable; dimana hampir semua karbonnya dalam bentuk partikel tak beraturan
yang dikenal dengan karbon temper. Besi tuang malleable diperoleh dengan memberikan
perlakuan panas pada besi tuang putih.

Besi tuang kelabu; dimana semua atau hampir semua karbonnya dalam bentuk flake.
Besi tuang nodular; dimana semua atau hampir semua karbonnya dalam bentuk spheroidal.
Bentuk spheroidal ini terjadi akibat adanya penambahan elemen paduan khusus yang
dikenal sebagai nodulizer.

II.2.2.3 Mikrostruktur Baja Perkakas


Pada umumnya semua baja dapat digunakan sebagai baja perkakas. Namun istilah baja
perkakas dibatasi hanya pada baja dengan kualitas tinggi yang mampu digunakan sebagai
perkakas. Ada beberapa macam klasifikasi yang digunakan untuk baja perkakas. Tingginya
kualitas baja perkakas diperoleh dari penambahan paduan-paduan seperti Cr, W, dan Mo,
ditambah perlakuan-perlakuan khusus. Mikrostruktur yang dihasilkan pada umumnya adalah
matriks martensit dengan adanya partikel-partikel karbida, grafit, serta presipitat.
Klasifikasi baja perkakas berdasarkan AISI (American Iron and Steel Institute) dibagi dalam 7
kelompok utama:

Tabel 2.1 Klasifikasi Baja Perkakas


GRUP SIMBOL TIPE
Water-hardening W
Shock-resisting S
O Oil hardening
Cold-work A Medium alloy air-hardening
D High-carbon high-chromium
H1 – H19 : Chromium base
Hot-work H H20 – H39 : Tungsten base
H40 – H59 : Molybdenum base
P1–P19 : termasuk dalam karbon rendah
Mold P P20-P39 : termasuk tipe lain Low-alloy
L Karbon-tungsten
Special-purpose
F

II.2.2.4 Mikrostruktur Paduan Alumunium


Mikrostruktur hampir semua paduan alumunium terdiri dari kristal utama padatan alumunium
(biasanya berbentuk dendritik) ditambah dengan produk hasil reaksi dengan paduan. Elemen
paduan yang tidak berada dalam keadaan padat biasanya membentuk fasa campuran pada eutectik,
kecuali silikon yang muncul sebagai produk utama. Pada paduan alumuniumsilikon, eutektik
terjadi pada sekitar 12% Si.

II.2.2.5 Mikrostruktur Paduan Tembaga


Paduan tembaga yang akan dibahas di sini adalah paduan tembaga dengan elemen dasar seng.
Kuningan merupakan paduan tembaga seng, dengan elemen-elemen lainnya seperti timbal, timah
dan alumunium. Pada diagram fasa Cu-Zn, kelarutan seng dalam larutan padatan fasa α meningkat
dari 32,5% pada temperatur 903 oC ke 39% pada temperatur 454 oC. Fasa α berbentuk FCC,
sementara fasa β berbentuk BCC.

II.2.2.6 Mikrostruktur Material Hasil Lasan


Fasa yang terbentuk sebagai hasil proses las pada baja akan membentuk fasa sesuai dengan
kecepatan pendinginan dari fasa γ (austenit). Semakin dekat dengan daerah fusi, temperatur baja
semakin tinggi, dan kecepatan pendinginan akan semakin tinggi. Pada gambar 2.2 di bawah
menggambarkan berbagai daerah pada produk las baja.

Gambar 2.3 Diagram skematis menunjukkan lima daerah pada baja yang dilas

Daerah pada produk las dimulai dari daerah logam las:


a. Daerah logam las (daerah fusi); daerah logam filler yang cair bercampur dengan logam
induk yang dipanaskan sampai temperatur cair. Bentuknya butir columbar dan
widmanstatten, yaitu bentuk memanjang karena logam cair mendapat pendinginan yang
amat cepat, seperti struktur produk cor.
b. Daerah pertumbuhan butir, dimana logam induk yang tidak mencair akan membesar karena
pemanasan yang amat tinggi akibat proses pengelasan.
c. Daerah penghalusan butir (Daerah rekristalisasi), karena temperatur sedikit lebih rendah
dari daerah b, austenit mengalami rekristalisasi, pembentukan butir baru yang lebih halus,
pada pendinginan akan terjadi ferit dan perlit yang lebih halus.
d. Daerah transisi, waktu proses welding sebagian fasa austenit sebagian masih ferit, jadi
waktu pendinginan,terdapat campuran ferit baru dan ferit yang ada sebelumnya. Daerah b,
c, dan e disebut daerah terpengaruh panas (Heat Affected Zone).
e. Daerah tak terpengaruh panas (Unaffected Zone), fasa logam induk yang tidak berubah fasa
karena tidak terkena panas pada pengelasan.

II.2.2.7 Struktur Mikro Logam

a b c

Gambar 2 Baja AISI 1008 hasil cold roll, a) reduksi 10%, b) 50%, c) 60%, 4% natal, 250X
struktur ferit dan sejumlah kecil perlit

a b
Gambar 3 Baja Karbon rendah (0,1% C) setelah a) cold rolling 90%, dianil selama 7 menit pada 550 oC,
rekristalisasi 40%, dan b) dianil 14,5 menit pada 550 oC, rekristalisasi 80%, nital, 1000x

Gambar 4. Baja HSLA (0.2%C)


Gambar 5. Baja 1008 Al killed,
yang di hot rolling. Struktur adalah
dinormalisasi setelah cold rolling.
ferit dan pearlit. Etsa menggunakan
Struktur berupa ferit dengan
4% picral, perbesaran 200x.
pearlite halus pada batas butir. Etsa
menggunakan nital 4%, perbesaran
1000x.

Gambar 6. Baja 0,2%C, Quench Gambar 7. Baja Fe-0.22C-0.88Mn-


(celup) air. Struktur lath martensit. 0.55Ni-0.50Cr-0.35Mo, diambil 38
8% Na2S2O3,500x mm dari end quench dari Batang
Jominy test. Strukturnya adalah
Bainit, Picral 4%, 1000x

II.2.3 METALOGRAFI KUANTITATIF


Sampel yang telah dipoles dan dietsa dapat dianalisis secara kuantitatif dengan melihat
mikrostruktur material tersebut. Analisis dari ruang dua dimensi dapat dilakukan untuk menduga
morfologi sampel dalam tiga dimensi. Analisis tersebut dinamakan ”metalografi kuantitatif” atau
disebut juga stereology kuantitatif. Analisis kuantitatif umumnya meliputi penentuan jumlah fasa
dan ukuran butir. Parameter-parameter ini dapat dihubungkan dengan sifat mekanis, terutama
kekuatan logam. Metode-metode metalografi kuantitatif manual ini meliputi:

a. Chart Method

Standard chart method meliputi mengamati sampel dan membandingkannya


dengan referensi dari standard chart yang berisi mikrografi pada perbesaran yang sama
dengan parameter-parameter yang berbeda. Proses ini menjadikan sampel dapat
dibandingkan dengan sampel standard dan merupakan penentuan mikrostruktur yang
paling representatif.

b. Counting Method
Merupakan pengukuran / perhitungan dari parameter metalografi secara langsung.
Contoh metalografi kuantitatif manual secara umum adalah penentuan jumla grain size,
(n). Grain size number dapat ditemukan dari persamaan berikut:
n = 2G-1

Dimana n = jumlah butir per inch kuadrat pada perbesaran 100x


G = ASTM grain size number
Tabel 1.3 memperlihatkan hubungan antara grain size number (G) dan butir per
inch kuadrat pada 100X.

Tabel 2.2 ASTM Grain Sizes (Tabel yang lengkap dapat dilihat dalam ASTM E112)
Grain Size Number Grain/in2 pada 100x
1 1.0
2 2.0
3 4.0
4 8.0
5 16.0
6 32.0

c. Jeffries Planimetric Method (measurement units, mm)


Sebuah lingkaran digambar pada foto mikrostruktur dengan diameter 79.8 mm
(luas area 5000 mm2). Gambar 2.10 adalah contoh dari mikrostruktur baja austenitic
dengan beberapa pearlite halus.
Gambar 8. Contoh Gambar untuk Perhitungan Metode Jeffries dan Triple Point

Jumlah butir per mm2 dihitung dengan persamaan: , dimana


M adalah perbesaran foto, adalah jumlah butir dalam area dan adalah jumlah butir yang
memotong keliling lingkaran. Besar butir ASTM dihitung dengan persamaan
.

d. Triple Point Method (satuan pengukuran, mm)


Seperti metode Jeffries, sebuah lingkaran digambar pada foto mikrostruktur
dengan diameter 79.8 mm (luas area 5000 mm2). Contoh gambar dapat dilihat pada

gambar 1.4. Nilai NA dihitung dengan menggunakan persamaan ,


dimana P adalah jumlah triple point dari grain boundary dan AT adalah area lingkaran
pada perbesaran 1x. Besar butir ASTM dihitung dengan persamaan

.
MODUL III
HEAT TREATMENT
III.1 TUJUAN PERCOBAAN
1. Mendapatkan hubungan antara kecepatan pendinginan dengan fasa yang terbentuk serta
mendapatkan sifat kekerasan dari fasa tersebut.

III.2 DASAR TEORI


Proses kombinasi pemanasan dan pendinginan yang bertujuan mengubah struktur mikro
dan sifat mekanis logam disebut perlakuan panas (heat treatment). Logam yang didinginkan
dengan kecepatan yang berbeda dengan media pendingin yang berbeda, misalnya air, udara, atau
minyak/oli akan mengalami perubahan struktur mikro yang berbeda. Setiap struktur mikro
misalnya fasa martensit, bainit, ferit, dan perlit merupakan hasil transformasi fasa, yakni dari fasa
austenit. Masing-masing fasa tersebut terjadi dengan kondisi pendinginan yang berbedabeda
dimana untuk setiap paduan bahan dapat dilihat pada diagram Continous Cooling Transformation
(CCT) dan Time Temperature Transformation (TTT) diagram. Masing-masing fasa di atas
mempunyai nilai kekerasan yang berbeda.
Gambar. 9. Diagram Continuous Cooling Transformation (Sumber: W.D Callister, 7th edition book)

Kekerasan adalah salah satu faktor yang penting dalam mendesain suatu material maka
akan lebih ekonomis apabila spesifikasi material didasarkan atas perlakuan panas material
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengujian yang dapat memprediksikan
kemampukerasan dari material tersebut. Pada baja, pendinginan yang cepat dari fasa austenit
menghasilkan fasa martensit yang tinggi kekerasannya. Kemampuan baja untuk menghasilkan
fasa martensit diseluruh bagian produk disebut sebagai kemampukerasan baja. Semakin besar
persentase martensit pada logam, semakin besar kemampukerasan material tersebut. Baja dengan
paduan C, Cr, Mo, V, dan Cr akan mempertinggi kemampukerasan baja. Bahan dengan
kemampukerasan tinggi, memiliki 100% fasa martensit pada pendinginan cepat.
Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks perlit yang ditampilkan dan
kekerasan makin turun . Penambahan kadar karbon atau paduan atau bertambah besarnya ukuran
butir akan menyebabkan grafik bergeser ke kanan sehingga memudahkan pembentukan struktur
martensit. Pergeseran grafik ke kanan juga menggambarkan sifat kemampukerasan
bahan/tersebut. Untuk pendinginan lambat akan mendapatkan struktur:
a. Bainit bawah; struktur seperti jarum, mirip martensit
b. Bainit atas; struktur seperti perlit dengan sifat lapisan yang lebih halus
c. Perlit halus; struktur perlit yang halus dengan lapisan ferit dan sementit
d. Perlit kasar; struktur sama dengan perlit halus namum lamel lebih kasar dan kekerasan lebih
rendah.

Anda mungkin juga menyukai