Anda di halaman 1dari 34

PANDUAN PRAKTIS:

PENERAPAN
MANDAT INKLUSI
DALAM PENANGGULANGAN
BENCANA
Disusun oleh:
ASB Indonesia and the Philippines
© 2018

Tim Penyusun

Agnes Patongloan
Ary Ananta
Dwi Sakti Murdaningsih
Fahrunnisaa Kadir
Ika Prastiwisari
Wiwit Prasetyono

Peninjau:
Melina Margaretha

Sanggahan:
Panduan ini disusun oleh Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) Indonesia and the
Philippines di bawah Konsorsium Technical Assistance and Training Teams
(TATTs) dengan dukungan masyarakat Amerika Serikat melalui United States
Agency for International Development (USAID).

Isi Panduan ini adalah semata-mata tanggungjawab ASB Indonesia and the
Philippines dan tidak serta merta mencerminkan pandangan seluruh anggota
Konsorsium TATTs, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat
DAFTAR ISI
AKRONIM DAN SINGKATAN 4
LATAR BELAKANG 5
TUJUAN 7

DATA TERPILAH 8
Pengertian 8
Signifikansi 9
Daftar Periksa untuk Data Terpilah 9
Tindakan untuk Mengumpulkan, 9
Menganalisis, dan Menggunakan Data
Terpilah
Praktik Baik dan Testimoni 13

AKSESIBILITAS 15
Pengertian 15
Signifikasi 15
Daftar Periksa untuk Aksesibilitas 16
Tindakan-tindakan untuk Meningkatkan 16
Aksesibilitas
Praktik Baik dan Testimoni 19

PARTISIPASI BERMAKNA 22
Pengertian 22
Signifikansi 23
Daftar Periksa untuk Partisipasi 23
Tindakan-tindakan untuk Meningkatkan 23
Partisipatisi Bermakna
Praktik Baik dan Testimoni 25

2
PENINGKATAN KAPASITAS 28
Pengertian 28
Signifikansi terhadap Kelompok Berisiko 28
tinggi
Signifikansi kepada pelaku PB 29
Daftar Periksa untuk Peningkatan 29
Kapasitas
Tindakan untuk Mendukung Peningkatan 29
Kapasitas
Praktik Baik dan Testimoni 31

PRIORITAS PERLINDUNGAN 33
Pengertian 33
Signifikansi 33
Daftar periksa untuk Prioritas 33
Perlindungan
Tindakan untuk Memprioritaskan 34
Perlindungan kelompok Paling Berisiko
Praktik Baik dan Testimoni 35

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 3
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
AKRONIM DAN
SINGKATAN
ASB Arbeiter-Samariter-Bund
BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah
DMPB Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana
DRM Disaster Risk Management – Pengelolaan Risiko Bencana
EWS Early Warning System – Sistem Peringatan Dini
FGD Focus Group Discussion - Diskusi Kelompok Terarah
HA Humanitarian Action - Aksi Kemanusiaan
HWDI Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
OPDis Organisasi Penyandang Disabilitas
PB Penanggulangan Bencana
PRB Pengurangan Risiko Bencana
PPDI Persatuan penyandang Disabilitas Indonesia
SAD Sex, Age and Disability - Jenis Kelamin, Usia dan Disabilitas
SADDD Sex, Age and Disability Disaggregated Data - Data Terpilah
berdasarkan Jenis Kelamin, Usia dan Disabilitas
SFDRR Sendai Framework for Disaster Risk Reduction – Kerangka
Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana
SMAB Sekolah Madrasah Aman Bencana
TATTs Technical Assistance and Training Teams
Unit Unit Layanan Inklusi Disabilitas Penanggulangan Bencana
LIDi PB
WGQ Washington Group Questions

4
LATAR BELAKANG
Mandat Inklusi terdiri dari lima hal kunci: Data Terpilah, Aksesibilitas,
Partisipasi, Peningkatan Kapasitas dan Prioritas Perlindungan. Mandat
ini penting untuk memastikan bahwa segala langkah inklusi telah
dijalankan. Mandat Inklusi merupakan hasil dari tinjauan pustaka
terhadap komitmen internasional dan kebijakan nasional1 mengenai
partisipasi bermakna kelompok paling berisiko, khususnya
penyandang disabilitas, dalam Penanggulangan Bencana (PB). Disebut
mandat karena hal-hal kunci tersebut telah menjadi komitmen dan
ketetapan bersama yang dituangkan dalam dokumen-dokumen
tersebut. Meskipun dirumuskan dari peraturan-peraturan terkait PB
dan isu-isu penyandang disabilitas, tetapi mandat ini bersifat universal
dan juga dapat diterapkan untuk beragam kelompok masyarakat
berisiko tinggi lainnya, seperti perempuan, anak-anak dan orang lanjut
usia. Selain itu, disabilitas sendiri bersifat lintas isu yang mencakup
perempuan, laki-laki, orang lanjut usia, remaja serta anak-anak dengan
disabilitas.

Proses peninjauan dilakukan oleh perwakilan Organisasi Penyandang


Disabilitas (OPDis) dari berbagai provinsi di Indonesia selama
Pelatihan Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana (DMPB) pada
1
- Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (KHPD) 2006
- Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
- Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas (KHPD)
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
- Peraturan Kepala BNPB Nomor 13 tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di
Bidang Penanggulangan Bencana
- Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan
Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana
- Deklarasi Yogyakarta 2012 (Dokumen keluaran Konferensi Asia tingkat Menteri untuk
PRB ke -5)
- Strategi Incheon tahun 2013 - 2022
- Kerangka Kerja Sendai untuk PRB 2015 – 2030
- Sustainable Development Goals (SDGs) 2015 - 2030

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 5
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
tahun 2016. Sejak saat itu, Mandat Inklusi telah diperkenalkan dan
dijalankan dalam berbagai kegiatan bahkan diadopsi ke dalam
peraturan-peraturan pemerintah. Hal ini bertujuan untuk
mengembangkan praktik nyata dan pembelajaran yang signifikan
tentang penerapan pendekatan inklusif. Panduan ini diharapkan
dapat membantu mengidentifikasi, merencanakan, menjalankan dan
mengevaluasi kerja-kerja PB agar menjadi lebih inklusif.

DATA PILAH AKSESIBILITAS


gender informasi &
peringatan dini
usia
infrastruktur
disabilitas peralatan
wilayah pelayanan

PENINGKATAN
PRB PARTISIPASI
KAPASITAS
pelatihan &
INKLUSI perencanaan
pelaksanaan
pendidikan pemantauan &
simulasi evaluasi
kesempatan kelembagaan
menjadi PRIORITAS pengambilan
fasilitator PERLINDUNGAN keputusan

keselamatan
stigma, hukum,
keamanan & kekerasan
pemenuhan hak &
kebutuhan dasar
diskriminasi

Bagan 1 Mandat Inklusi dalam Penanggulangan Bencana

6
TUJUAN
Panduan ini bertujuan untuk menyediakan informasi praktis tentang
makna setiap Mandat dan tentang tindakan-tindakan yang dapat
dilakukan untuk mempraktikkan kelima Mandat Inklusi. Panduan
singkat ini ditujukan untuk pembuat kebijakan, penyedia layanan,
pelaksana kegiatan baik dari pemerintah maupun organisasi non-
pemerintah yang berfokus pada Penanggulangan Bencana (PB) dan
inklusi disabilitas. Lebih luas, panduan ini dapat dijadikan acuan dalam
memastikan inklusi sosial dan keterlibatan aktif kelompok masyarakat
yang berisiko tinggi dan sering terabaikan dalam penyelenggaraan
pembangunan.

Harap diperhatikan!
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dari setiap Mandat dapat
saling beririsan dan dilaksanakan pada waktu yang sama. Sebagai
contoh, untuk memastikan partisipasi aktif penyandang disabilitas dan
kelompok berisiko tinggi lainnya, penyediaan aksesibilitas (fisik dan
non fisik) diperlukan. Untuk penyediaan akses yang tepat, maka
diperlukan data yang tepat pula, siapa saja yang akan berpartisipasi
dan apa kapasitas dan kesulitannya? Aksesibilitas juga terkait dengan
menjamin perlindungan martabat seseorang baik karena adanya
perbedaan gender, usia dan disabilitas. Ketersediaan aksesibilitas dan
adanya ruang partisipasi akan meningkatkan kapasitas penyandang
disabilitas dan kelompok berisiko tinggi lainnya2.

2
Istilah kelompok berisiko tinggi (terhadap bencana) dalam SFDRR digunakan untuk
mengganti istilah kelompok rentan yang cenderung berkonotasi negatif. Kelompok
berisiko tinggi mencakup penyandang disabilitas, perempuan, orang lanjut usia, dan
anak

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 7
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
DATA TERPILAH
PENGERTIAN
Data terpilah yang dimaksudkan dalam panduan ini berdasarkan pada
jenis kelamin, usia dan disabilitas (sex, age and disability/SAD)3. Data
tersebut dapat berupa data kuantitatif atau kualitatif yang
dikumpulkan dan dipresentasikan berdasarkan jenis kelamin, usia dan
disabilitas. Data terpilah merupakan informasi terukur yang
dikumpulkan dari berbagai sumber dan/atau menggunakan berbagai
langkah, variabel, atau individu yang kemudian dijabarkan menjadi
komponen-komponen data spesifik untuk mengungkapkan
kecenderungan, pola, atau wawasan yang mendasari, misalnya SAD.
Dalam konteks PB, data terpilah berdasarkan jenis kelamin, usia dan
disabilitas (sex, age and disability disaggregated data/SADDD) digunakan
untuk membantu mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat
dikaitkan dengan keterpaparan dan risikonya menghadapi bencana
serta pemenuhan kebutuhan, partisipasi, peningkatan kapasitas dan
prioritas perlindungan yang tepat dan spesifik. Data SAD dapat
ditambahkan dengan data lokasi, kapasitas dan kebutuhannya agar
dapat mengkaji risiko bencana yang dihadapi.

Ingat!
Data sensus penduduk di Indonesia sudah terpilah berdasarkan
jumlah kuantitatif jenis kelamin, usia dan kesulitan fungsi terkait
disabilitas 4 . Ketersediaan data terpilah tidak menjadi jaminan
teridentifikasinya hambatan akses dan hambatan partisipasi
penyandang disabilitas jika data tentang hambatan fungsi tidak
tersedia.

3
SFDRR, Sphere Standard dan Humanitarian Inclusion Standard/HIS menyarankan data
terpilah paling tidak mencakup jenis kelamin, usia dan disabilitas
4
BNPB sudah menggunakan data terpilah dalam DIBI menggunakan data dari BPS. Link:
http://bnpb.cloud/dibi/sp2010

8
SIGNIFIKANSI
• Data terpilah mengidentifikasi jenis kelamin, usia, kesulitan fungsi
tubuh/ disabilitas, dan lokasi;
• Pengumpulan data terpilah mendukung identifikasi keragaman
individu dan penduduk termasuk mereka yang sering kali kurang
terwakili atau tidak muncul di dalam populasi, populasi paling
berisiko/prioritas seperti penyandang disabilitas;
• Data terpilah merupakan pintu masuk untuk mengidentifikasi
kebutuhan khusus dan kapasitas kelompok yang paling berisiko;
dan
• Data terpilah dapat membantu menginformasikan rancangan,
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi sebuah layanan, proyek,
program, rencana, atau kegiatan untuk memastikan bahwa
pendekatannya relevan dan targetnya telah mencakup semua
orang.

DAFTAR PERIKSA UNTUK DATA TERPILAH


• Baseline/data dasar
• Tools: pendataan, perencanaan, monitoring dan evaluasi
• Penerima manfaat

TINDAKAN UNTUK MENGUMPULKAN, MENGANALISIS,


DAN MENGGUNAKAN DATA TERPILAH
1. Tingkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang SAD.
2. Kembangkan atau gunakan peralatan dan sumber daya yang
sudah ada untuk mengumpulkan, menganalisis, dan
menggunakan SADDD dalam suatu lokasi yang spesifik, misalnya
Pertanyaan Group Washington (Washington Group Questions/WGQ)
yang sudah diadopsi dalam Sensus Penduduk 2010 menggunakan
5 pertanyaan singkat WGQ dan digunakan oleh BPS dalam Survey
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 dengan menggunakan 8
pertanyaan singkat WGQ terkait kesulitan fungsi.

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 9
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
Tabel 1. Pertanyaan Group Washington (WGQ)
No WGQ tidak Sedikit Banyak Tidak
kesulitan kesulitan kesulitan dapat
sama
sekali
1 Apakah Anda memiliki
kesulitan melihat,
meskipun sudah
memakai kacamata?
2 Apakah Anda memiliki
kesulitan mendengar,
meskipun sudah
memakai alat bantu
dengar?
3 Apakah Anda memiliki
kesulitan
berjalan/naik turun
tangga?
4 Apakah Anda memiliki
kesulitan mengingat
atau berkonsentrasi?
5 Apakah Anda memiliki
kesulitan dalam
merawat diri, seperti
mandi, berpakaian
atau mencuci?
6 Apakah Anda memiliki
kesulitan
berkomunikasi,
seperti memahami
atau dipahami lawan
bicara, meskipun
sudah menggunakan
bahasa keseharian
Anda?

10
Tabel 2 Contoh tabel data terpilah
No Nama Rentang Jenis Kesulitan fungsi
Usia Kela- Peng- Pende- Mobilitas Meng- merawat berko-
(tahun)* min lihatan ngaran ingat diri munikasi
1 Rama 25–29 L Tidak Tidak Banyak Tidak Sedikit Tidak
kesulitan kesulitan kesulitan kesulitan kesulitan kesulitan
2 Rima 45–49 P Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
dapat kesulitan kesulitan kesulitan kesulitan kesulitan
sama
sekali
3 …
*0–4; 5–10; 11–14; 15–19; 20–24; 25–29; 30–34; 35–39; 40–44; 45–49; 50–54; 55–59; 60 +

3. Identifikasi data sementara yang telah dipublikasikan tentang SAD


melalui berbagai sumber, seperti sensus nasional. Hasil sensus
tingkat nasional dapat digunakan sebagai data dasar untuk
selanjutnya dilengkapi sesuai dengan kebutuhan spesifik/lokal.
4. Lakukan analisis data terpilah dan identifikasi kesenjangan yang
ada dalam SADDD yang sudah tersedia (data sekunder).
5. Identifikasi dan konsultasikan dengan orang/organisasi kunci yang
memiliki informasi atau data untuk mengisi kesenjangan dalam
data terpilah yang sudah ada. Contohnya dari OPDis, organisasi
yang bergerak untuk kesetaraan gender, pemerintah lokal, dll.
6. Libatkan orang/organisasi kunci dalam mengumpulkan SADDD
primer di suatu lokasi tertentu.
7. Lakukan kaji cepat dan mendalam untuk mengumpulkan SADDD
dalam suatu lokasi yang spesifik.
8. Gunakan SADDD dalam suatu lokasi tertentu sebagai dasar
memastikan apakah perencanaan, pengawasan, dan evaluasi
suatu proyek atau kegiatan PRB dan aksi kemanusiaan telah
memenuhi kebutuhan dan kapasitas penduduk, termasuk
penyandang disabilitas.
9. Pastikan semua sistem dan dokumen yang terkait dengan
kegiatan, proyek, program, atau layanan Anda mencerminkan dan
memanfaatkan SADDD; misalnya dalam baseline, monitoring dan
evaluasi, laporan, data para penerima manfaat; dan sebagainya.

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 11
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
PRAKTIK BAIK DAN TESTIMONI
Narasumber : Kasihan, Unit Layanan Inklusi Disabilitas PB
(Unit LIDi PB) Provinsi Jawa Tengah dan OPDis Warsamundung
Kabupaten Magelang

"Data pilah pada lembaga atau instansi sangat membantu menemukan


informasi terperinci terkait kebutuhan pribadi yang berbeda-beda.

Pada masyarakat umum, baik terdampak bencana maupun tidak, data


pilah akan membantu dalam menentukan sebuah kebijakan sesuai
keterbatasan fungsi individu di dalam masyarakat.

Pada masyarakat terdampak bencana, data pilah mempermudah


penentuan kebijakan. Hal ini berlaku baik untuk pemenuhan kebutuhan
sehari-hari pada masa tanggap darurat maupun jangka panjang atau
tahap rehab rekon, disesuaikan dengan derajat kesulitan yang dialami
akibat bencana.

Hal sederhana yang mendukung perwujudan data terpilah dapat


dimulai dengan menyediakan daftar hadir (absensi) yang terdapat
kolom kesulitan fungsi tubuh. Dengan demikian, dapat diketahui
kapasitas maupun hambatan lingkungan yang dihadapi seseorang.

Dalam situasi tanggap darurat, data terpilah dapat membantu


penyaluran bantuan agar sesuai dengan kebutuhan para pengungsi.
Misalnya, kebutuhan alat bantu bagi yang mengalami kesulitan fungsi
tubuh atau penyediaan makanan yang disesuaikan dengan kebutuhan
kelompok usia (anak-anak, dewasa, orang lanjut usia).

Dalam situasi pasca bencana, data terpilah dapat digunakan untuk


menyusun kebijakan yang disesuaikan dengan kebutuhan warga,
termasuk dari kelompok berkebutuhan khusus. Misalnya, pembangunan
infrastruktur yang bisa diakses oleh penyandang disabilitas."

12
Foto 1
Kasihan, salah satu anggota Unit LIDi PB Provinsi Jawa Tengah sedang melakukan
pendataan pasca banjir bandang Magelang, 2017

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 13
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
Bagan 2. Contoh Data Terpilah DIBI, BNPB
Penduduk 5 tahun ke atas yang mengalami gangguan parah*

No Wilayah Penduduk 5 tahun ke atas


Yang mengalami gangguan parah
Melihat Mendengar Berjalan Mengingat Mengurus
Diri
11. Aceh 12,848 6,367 10,306 7,147 2,562
12. Sumatera Utara 25,985 13,617 24,194 16,913 6,287
13. Sumatera Barat 15,263 8,649 13,121 8,812 2,969
14. Riau 9,862 4,227 6,679 5,063 3,644
15. Jambi 6,399 3,960 4,650 3,637 993
16. Sumatera Selatan 17,240 9,452 11,017 8,963 3,255
17. Bengkulu 4,434 2,674 2,732 2,271 754
18. Lampung 15,904 10,426 12,370 9,273 2,810
19. Bangka Belitung 2,423 1,554 2,352 1,693 303
21. Kepulauan Riau 2,456 997 1,811 1,071 228
31. Dki Jakarta 16,573 5,529 10,872 6,396 4,658
32. Jawa Barat 86,516 51,763 71,837 46,713 20,517
33. Jawa Tengah 60,494 47,821 73,362 51,950 9,165
34. Di Yogyakarta 8,201 7,571 11,046 7,723 1,233
35. Jawa Timur 84,651 53,826 83,564 56,263 17,641
36. Banten 15,738 8,378 10,815 8,408 5,245
51. B A L I 7,647 5,537 7,904 5,066 1,184
52. Nusa Tenggara Barat 12,235 7,292 8,741 5,693 1,842
53. Nusa Tenggara Timur 17,142 11,347 9,436 9,080 3,326
61. Kalimantan Barat 10,424 6,013 8,078 6,252 2,486
62. Kalimantan Tengah 4,847 2,307 3,126 2,632 787
63. Kalimantan Selatan 6,925 4,327 7,107 4,605 961
64. Kalimantan Timur 6,221 2,748 4,049 2,999 1,929
71. Sulawesi Utara 7,743 3,998 5,927 3,454 1,588
72. Sulawesi Tengah 6,991 4,160 4,632 3,703 1,308
73. Sulawesi Selatan 27,336 16,574 16,791 12,136 4,095
74. Sulawesi Tenggara 5,737 3,529 3,860 2,989 862
75. Gorontalo 3,927 2,408 2,122 1,635 538
76. Sulawesi Barat 2,648 2,305 2,104 1,843 321
81. M A L U K U 3,255 1,594 2,343 1,535 708
82. Maluku Utara 1,957 1,136 1,441 870 436
91. Papua Barat 781 348 483 421 350
94. Papua 2,023 858 1,150 1,018 1,033
Total 512,826 313,292 440,022 308,227 106,018
Sumber: http://bnpb.cloud/dibi/sp2010

14 *) dalam WGQ, data pilah tersebut disebut sebagai hambatan fungsi


AKSESIBILITAS
PENGERTIAN
Aksesibilitas adalah kemudahan untuk memastikan bahwa lingku-
ngan, transportasi, informasi, komunikasi, fasilitas, layanan, produk,
dan kebijakan/peraturan bersifat universal. Artinya, setiap orang, tan-
pa memandang usia, gender, disabilitas, atau lokasi, dapat mengak-
sesnya6. Penyediaan akses harus aman, bermartabat, melindungi
pengguna dari bahaya, dan menyesuaikan dengan budaya. Aksesibili-
tas juga menjamin bahwa batasan-batasan non-fisik, seperti sikap,
perilaku, dan sistem diidentifikasi dan ditangani. Aksesibilitas dimak-
sudkan untuk membuka kesempatan, memampukan untuk hidup
mandiri dan berpartisipasi penuh dalam seluruh aspek kehidupan

SIGNIFIKASI
• Aksesibilitas mendukung kesetaraan dalam komunitas dengan
menghilangkan batasan-batasan (fisik dan non-fisik) dan memung-
kinkan kelompok paling berisiko untuk memenuhi kebutuhannya;
• Aksesibilitas mengarah pada fleksibilitas dan penggunaan layanan
bagi seluruh komunitas;
• Aksesibilitas mengarah pada peningkatan pemahaman dan keikut-
sertaan dalam pengambilan keputusan dan agenda, karena semua
orang seharusnya memiliki akses untuk menerima dan memberikan
informasi;
• Media disesuaikan dengan kemampuan seseorang dalam menerima
dan memahami informasi, misalnya: video pesan keselamatan
gempa bumi dengan subtitle dan penerjemah bahasa isyarat dalam
Picture in Picture (PIP) agar dapat dipahami oleh semua kelompok
masyarakat, termasuk yang mempunyai kesulitan pendengaran.

DAFTAR PERIKSA UNTUK AKSESIBILITAS


• Materi Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) mempertimbang-kan
sasaran penerima informasi berdasarkan data terpilah
• Sistem peringatan dini dapat mengurangi risiko bencana dengan
memastikan bahwa kelompok paling berisiko dapat menerima dan
menyikapi informasi peringatan dini untuk melakukan tindakan
penyelamatan diri
6
Diterjemahkan dari UNCRPD, article 9 dengan penyesuaian penerjemahan.

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 15
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
• Menggunakan prinsip desain universal (universal design) dan
akomodasi layak (reasonable accommodation)

TINDAKAN-TINDAKAN UNTUK
MENINGKATKAN AKSESIBILITAS
1. Konsultasikan dengan semua orang dari berbagai kelompok
terma-suk perempuan dan laki-laki, anak-anak, orang tua, dan
penyandang disabilitas untuk memahami kebutuhan mereka dan
untuk mema-sukkan mereka ke dalam rancangan layanan dan
material.
2. Ikuti prinsip desain universal, yaitu desain produk, lingkungan,
program, dan layanan yang membuat rancangan tersebut dapat
digunakan oleh sebanyak mungkin orang tanpa perlu
mengadaptasi atau membuat desain khusus. Desain universal
harus dapat mengakomodasi alat bantu untuk kelompok-
kelompok tertentu atau penyandang disabilitas dimanapun
dibutuhkan7 atau dengan kata lain penyediaan akses tidak
memandang usia, kemampuan, atau situasi semua orang.
3. Apabila tidak memungkinkan untuk menerapkan desain universal,
seluruh upaya perlu dikerahkan agar dapat memberikan
akomodasi beralasan, dengan melakukan penyesuaian pada
lingkungan fisik yang sudah ada, seperti rumah, kantor, ruang
pertemuan, toilet, jalur evakuasi, titik evakuasi, dan fasilitas darurat
untuk memastikan akses universal dan penggunaan upaya fisik
seminimal mungkin:
• Hal ini dapat mencakup tapi tidak terbatas pada peletakan
perabotan secara aman di posisi yang strategis, penyediaan
guiding block (jalur pemandu), ramp (jalur landai), handrail
(pegangan tangan), papan tanda khusus, jalur masuk dan tangga
yang lebih luas.
• Pastikan agar semua orang dapat menjangkau, masuk,
mengelilingi, dan menggunakan bangunan, fasilitas, dll.
4. Pastikan bahwa semua orang dapat mengakses peringatan dini
dan informasi kebencanaan dengan cara:
• Pastikan bahwa media publikasi kebencanaan dan peringatan
dini tersedia dalam berbagai format dan cara agar dapat diakses
dan dipahami oleh semua orang

16 7
Definisi “desain universal” dalam Humanitarian Inclusion Standard/HIS
• Hal tersebut mencakup ketersediaan materi yang ditulis dalam
huruf besar, braille, gambar, bahasa isyarat, materi informasi 3
dimensi (3D), dan diskusi/pemberian informasi lisan dan verbal
langsung termasuk adaptasi dalam bahasa lokal
• Peringatan dini tidak hanya difokuskan pada instrumen
peringatan dini tetapi juga mekanisme komunikasi sosial yang
dapat memastikan bahwa informasi mencapai kelompok-
kelompok paling berisiko terhadap bencana, misalnya melalui
keluarga dan tetangga.
5. Pastikan bahwa semua orang dapat mengakses dan memahami
layanan, pelatihan, forum, diskusi, dsb.
• Konsultasikan dengan para peserta untuk mengidentifikasi
kebutuhan dan preferensi alat-alat komunikasi mereka. Hal
tersebut dapat mencakup penyediaan juru bahasa isyarat,
peralatan audio dan visual, pendamping, metode fasilitasi dan
media pendukung lainnya.
6. Pastikan bahwa staf memiliki pemahaman yang mencukupi
tentang desain universal dan akomodasi beralasan serta terlatih
menyediakan layanan tersebut.
7. Pastikan bahwa staf lapangan terlatih untuk berkomunikasi,
menyebarkan informasi dalam metode yang inklusif dan intuitif.
Misalnya, melalui Komunikasi Total atau media audio dan visual
untuk mendukung transfer informasi kepada anak, lansia dan
penyandang disabilitas secara tepat; juga memiliki pengetahuan
dalam menggunakan perlengkapan yang relevan.

PRAKTIK BAIK DAN TESTIMONI


Narasumber: Luluk Ariyantiny, Ketua Persatuan Penyandang
Disabilitas Indonesia (PPDI) Situbondo

"Di Situbondo, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI)


aktif mendampingi Desa Kendit dalam pemenuhan akses terhadap
disabilitas. Usaha pemenuhan akses ini mempunyai dampak yang luar
biasa dalam mengubah paradigma masyarakat. Banyak orang yang
selama ini memandang disabilitas sebagai orang lemah dan

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 17
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
merepotkan, seiring berjalannya waktu mulai memperoleh apresiasi,
pengakuan, dan memperoleh kesamaan hak dalam setiap kegiatan
pembangunan serta kegiatan yang dilakukan di desa.

Di Desa Kendit, anggaran desa mulai menyasar kebutuhan dan


keberlanjutan kegiatan Kelompok Disabilitas Desa (KDD). Lebih jauh
lagi, KDD mulai terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan
seperti: Musyawarah Desa (Musdes), Musyawarah Rencana
Pembangunan Desa (Musrenbangdes), dan ikut memantau
pelaksanaannya sampai tingkat Kecamatan.

Dalam pengurangan risiko bencana, disabilitas perlu diberi wawasan


sekaligus kesempatan untuk menyampaikan kebutuhan dan
pendapatnya terhadap pemenuhan aksesibilitas seperti: bidang
miring, simbol-simbol atau petunjuk evakuasi, titik kumpul, kegiatan
simulasi bencana, dan informasi saat ada ancaman bencana.
Harapannya, disabilitas dan kelompok masyarakat berisiko tinggi
lainnya bisa secara mandiri dalam upaya penyelamatan diri dan
keluarganya.

Perubahan pemahaman terkait inklusi pun semakin meluas dengan


dukungan kebijakan Pemerintah Kabupaten Situbondo yang semakin
peduli terhadap disabilitas terutama dalam pemenuhan hak dan
kesetaraan. Dengan tersedianya aksesibilitas, terbuka kesempatan
dan memicu disabilitas untuk semakin bersemangat mengikuti
kegiatan, berdiskusi dengan pemerintah dan semua elemen
masyarakat, aktif melakukan advokasi dan evaluasi, serta lebih
percaya diri dan mandiri. Dengan demikian, kami bisa membuktikan
kepada pemerintah dan masyarakat bahwa kami pun bisa
berpartisipasi secara aktif dalam program pembangunan termasuk
keterlibatan dalam program PRB Inklusif."

18
Foto 2
Kepala Pelaksana BPBD
Kab. Magelang melakukan
renovasi menyediakan
bidang miring agar kantor
instansi pemerintah dapat
diakses oleh semua
kelompok masyarakat,
termasuk penyandang
disabilitas pada tahun 2017

Foto 3
Penyediaan penerjemah
bahasa isyarat dan teks
bawah dalam video Satuan
Pendidikan Aman Bencana
(SPAB) yang dikembangkan
ASB tahun 2018

Foto 4
Alat peringatan dini dalam skala rumah tangga yang dikembangkan oleh penyandang
disabilitas Semarang menghubungkan bel dengan lampu di dalam rumah sehingga
bisa diakses oleh anggota keluarga yang mempunyai kesulitan mendengar

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 19
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
PARTISIPASI BERMAKNA
PENGERTIAN
Partisipasi yang bermakna mencakup pemberdayaan semua
kelompok masyarakat dengan menyediakan kesempatan yang setara
bagi mereka untuk membuat pilihan dan mengambil keputusan
sendiri tentang kehidupannya. Partisipasi yang bermakna mendukung
orang-orang yang sering kali tidak dilibatkan dalam kegiatan, diskusi,
pengambilan keputusan untuk dapat berpartisipasi aktif dan
memberikan pendapat. Semua orang dapat berpartisipasi dalam
perencanaan; pelaksanaan; pengawasan dan evaluasi, pelembagaan,
dan pengambilan keputusan tentang inisiatif dan layanan.

Partisipasi mendukung “Nothing About Us Without Us” atau “Tak Ada


Sesuatu Tentang Kami, Tanpa Kami”. Maksudnya adalah tidak ada
kebijakan atau inisiatif yang dapat dibuat/diambil tanpa sepenuhnya
melibatkan orang-orang yang kehidupannya dipengaruhi keputusan
tersebut. Partisipasi yang bermakna mendukung pemberdayaan
semua gender, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas,
kelompok marjinal di level yang sesuai untuk bekerja sama dengan
organisasi dan lembaga dalam pengambilan keputusan serta
penentuan target dan hasil dari inisiatif. Partisipasi masyarakat juga
merupakan prinsip utama dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2015 -2030 dimana "Tak ada
yang Tertinggal" atau No One Left Behind untuk memastikan
pembangunan yang inklusif yang sejalan dengan SFDRR 2015-2030
dalam mewujudkan ketangguhan. Mendukung partisipasi bermakna
mencakup pertanggungjawaban dengan mendengarkan dan
menyediakan mekanisme umpan balik. Baik itu terhadap kisah-kisah
dan umpan balik dari pemangku kepentingan maupun umpan balik
dari penerima manfaat. Kemudian, informasi yang didapatkan melalui
mekanisme umpan balik digunakan untuk membuat adaptasi
terhadap layanan.

20
SIGNIFIKANSI
• Partisipasi yang ‘bermakna’ dapat menyediakan sebuah ruang bagi
orang-orang dan komunitas paling berisiko untuk bergabung,
memberikan masukan, menentukan arah, dan memimpin dalam
inisiatif, agenda, kebijakan, dan proyek;
• Menyediakan beragam perspektif, ide, dan informasi dari semua
pemangku kepentingan untuk menciptakan inisiatif dan layanan
yang inklusif, peka terhadap keberagaman masyarakat termasuk
ragam disabilitas, dan berpengetahuan luas dan aplikatif; serta
• Jika mekanisme umpan balik sudah terbentuk dan responsif,
partisipasi dalam pemberian umpan balik dapat mendukung
akuntabilitas serta kualitas inisiatif dan layanan.

DAFTAR PERIKSA UNTUK PARTISIPASI


• Identifikasi/Kajian
• Perencanaan;
• Pelaksanaan;
• Pengawasan dan Evaluasi;
• Pelembagaan; dan
• Pengambilan Keputusan.

TINDAKAN-TINDAKAN UNTUK
MENINGKATKAN PARTISIPATISI BERMAKNA
1. Selalu pastikan bahwa semua kelompok masyarakat termasuk gen-
der, lansia, penyandang disabilitas, dan anak-anak dapat menyua-
rakan pendapat mereka dan mengambil keputusan sendiri.
2. Selalu perlakukan penyandang disabilitas sebagai sumber
informasi atas kondisi disabilitasnya.
3. Lakukan konsultasi dengan para lansia, anak-anak dan penyan-
dang disabilitas dan ketahui kebutuhan serta kapasitas mereka,
juga cara mereka berpartisipasi serta apa saja hambatan
lingkungan bagi mereka untuk berpartisipasi.
4. Pastikan bahwa semua kelompok masyarakat termasuk gender,
anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, pendamping, dan

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 21
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
berbagai kelompok lainnya dapat berpartisipasi dalam penilaian
kebutuhan, kajian risiko bencana, perumusan rencana,
pelaksanaan kegiatan/layanan, konsultasi, dan manajemen
keuangan.
5. Pastikan bahwa semua kelompok masyarakat memiliki akses
terhadap mekanisme pengaduan/umpan balik yang aman dan
layak.
6. Bersikap responsif terhadap kebutuhan, kapasitas, masukan, dan
umpan balik dari komunitas dan kelompok paling berisiko.
7. Libatkan semua kelompok termasuk gender, lansia, penyandang
disabilitas, perawat, dan perwakilan komunitas, seperti OPDis,
untuk mengikuti pelatihan, forum, kegiatan pengambilan
keputusan/perencanaan strategis, konferensi, dengan tujuan
untuk memberikan kesempatan dalam Diskusi Kelompok Terarah
(Focus Group Discussion/FGD).
8. Berkonsultasilah dengan semua orang dari berbagai kelompok
termasuk gender, lansia, penyandang disabilitas, pendamping,
dan OPDis, lalu mintalah masukan dari mereka untuk pengawasan
dan evaluasi terhadap suatu inisiatif; kemudian lakukan tindakan
berdasarkan masukan tersebut.
9. Ikuti prinsip “Tak Ada Sesuatu Tentang Kami, Tanpa Kami”, dengan
memastikan bahwa para penyandang disabilitas diikutsertakan
dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan strategis
dalam lembaga pemerintahan, berikut jajaran mereka yang
bertumpu pada kemampuan untuk membuat kontribusi dan
penyesuaian terhadap rencana.
10. Berikan peluang bagi kelompok paling berisiko untuk memimpin
suatu inisiatif demi meningkatkan keberlanjutan jangka panjang
suatu inisiatif/ layanan; dan meningkatkan pemberdayaan para
pemangku kepentingan.
11. Pastikan bahwa suara berbagai kelompok termasuk gender,
lansia, anak-anak dan penyandang disabilitas disertakan sebagai
pembelajaran untuk meningkatkan aksesibilitas, akuntabilitas, dan
keamanan sebuah layanan dan/atau inisiatif.

22
Foto 5
Edy Supriyanto sebagai Fasilitator OPDis sedang memimpin diskusi pembentukan Unit
Layanan Disabilitas PB bersama dengan BPBD dan OPDis di Sulawesi Tenggara, 2018

PRAKTIK BAIK DAN TESTIMONI


Narasumber : Edy Supriyanto,
Ketua Perkumpulan Sehati Sukoharjo

"Peristiwa banjir pada tanggal 28 November 2017 berdampak di 5


kecamatan di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. Kami dari
Perkumpulan Sehati kemudian menghubungi anggota kami di wilayah
yang terdampak tersebut. Setelah mendapatkan informasi, ternyata
banyak keluarga difabel yang terdampak dan belum mendapatkan
bantuan sesuai dengan kebutuhan mereka. Rata-rata bantuannya
berupa makanan sedangkan banyak peralatan rumah tangga yang
hanyut. Selain itu, juga ada kebutuhan alat-alat untuk membersihkan
sisa banjir.

Sehati melakukan pendataan khusus bagi keluarga difabel yang


terdampak. Kami melakukan penyusunan form pendataan dengan
modifikasi Washington Group Question dan membuat penilaian untuk
menentukan jumlah bantuan. Hal ini karena kami bekerja sama
dengan ASB yang memberikan bantuan dalam bentuk cash transfer.

Setelah pendataan, terdapat 50 keluarga yang bisa menerima cash


transfer dari total 70 warga terdampak yang ada dalam data

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 23
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
sebelumnya. Mengingat yang diperlukan adalah kebutuhan alat
rumah tangga, maka kami menyerahkan bantuan kepada Ibu-Ibu
dengan menandatangani kuitansi yang disaksikan anggota keluarga.
Kami juga melakukan pemantauan terhadap bantuan tersebut yang
ternyata meskipun kecil sangat bermanfaat. Rata-rata bantuan
tersebut digunakan untuk membeli peralatan rumah tangga seperti
panci, cobek, kompor, bahkan ada yang dipergunakan untuk memulai
usaha kembali.

Kami juga melaporkan hasil pendataan tanggap darurat tersebut ke


11 Kepala Desa dan Camat. Banyak masyarakat yang kemudian
membantu memberikan informasi karena mereka bersimpati. Satu
hal yang pasti, hingga saat ini banyak peralatan, temasuk cobek hasil
pembelanjaan cash transfer masih dipergunakan dan berfungsi
dengan baik dalam mendukung usaha pengembangan ekonomi
keluarga.

Foto 6
Basuki sedang
memfasilitasi Workshop
Nasional Perluasan
Implementasi
Penanggulangan
Bencana Inklusif

24
PENINGKATAN KAPASITAS
PENGERTIAN
Peningkatan kapasitas yang dimaksud adalah untuk meningkatkan
pengetahuan dan mempengaruhi tindakan agar lebih inklusif
terhadap berbagai kelompok termasuk gender, lansia, penyandang
disabilitas. Tidak terbatas pada individu, tetapi juga kepada organisasi-
organisasi OPDis dan para pelaku PB, serta pemangku kepentingan
lainnya. Tujuannya agar informasi inklusi disebarkan dan diterapkan,
serta berpartisipasi secara sungguh-sungguh di dalam semua aspek
kehidupan mereka. Peningkatan kapasitas mendukung pemberdaya-
an dan dapat menunjang partisipasi kelompok paling berisiko yang
mungkin tidak memiliki peluang yang sama dengan orang lain. Dengan
demikian perlu upaya pengembangan kapasitas dan dukungan
khusus terhadap kelompok paling berisiko dibandingkan dengan
anggota komunitas lainnya. Peningkatan kapasitas dapat
meningkatkan kepekaan dan kesadaran inklusi pelaku PB, pemerintah,
dan masyarakat termasuk kelompok penyandang disabilitas, lansia,
dan pendamping mereka.

SIGNIFIKANSI TERHADAP KELOMPOK BERISIKO TINGGI


• Peningkatan kapasitas memberikan kesempatan yang setara, bukan
sama. Itu berarti bahwa kelompok paling berisiko diberikan lebih ba-
nyak kesempatan dibandingkan mereka yang tidak dalam kategori
tersebut untuk menghilangkan atau mengurangi kesenjangan;
• Hasil dari peningkatan kapasitas dapat memberikan kesempatan
untuk mengidentifikasi ide-ide baru dan prioritas inklusi;
• Mendukung pemberdayaan serta mendukung orang-orang dan
komunitas paling berisiko untuk memperjuangkan pemenuhan hak
mereka;
• Bekerja untuk menghilangkan stigma sosial;
• Memberikan kesempatan bagi kelompok gender, lansia, anak, lansia
dan kelompok marjinal untuk berinteraksi dan belajar bekerja sama
dengan pelaku PB;

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 25
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
SIGNIFIKANSI KEPADA PELAKU PB
• Dapat memperdalam kepekaan inklusi para pelaku PB;
• Meningkatkan wawasan dan pemahaman inklusi para pelaku PB;
• Memberikan kesempatan bagi para pelaku PB untuk berinteraksi
dan belajar bekerja sama dengan penyandang disabilitas, OPDis,
kelompok perempuan, dan lainnya;
• Memberikan kesempatan kepada pelaku PB untuk mempelajari
Komunikasi Total;
• Mendukung tindakan afirmatif dan partisipasi yang bermakna;

DAFTAR PERIKSA UNTUK PENINGKATAN KAPASITAS


• Pelatihan dan pendidikan;
• Praktik dan simulasi; dan
• Keterampilan : narasumber, pelatih, fasilitator

TINDAKAN UNTUK MENDUKUNG


PENINGKATAN KAPASITAS
1. Identifikasi dan konsultasikan potensi individu-individu pada
kelompok masyarakat atau organisasi termasuk kelompok/
organisasi yang menanungi penyandang disabilitas, lansia dan
kelompok berisiko lainnya.
2. Identifikasi dan konsultasikan potensi pelatihan, lokakarya, dan
kegiatan terkait PB yang akan dilakukan oleh pelaku PB “
3. Berikan kesempatan kepada perwakilan OPDis untuk bertemu dan
saling mengenal dengan organisasi/pelaku PB agar mendapatkan
informasi aktual terkait kerja-kerja PB. Bagi pelaku PB, pengalaman
berinteraksi langsung dengan masyarakat yang memiliki risiko tinggi
terhadap bencana dapat meningkatkan pemahaman terkait PB
inklusif.
4. Lakukan peningkatan kapasitas melalui dua cara, yaitu pengarusuta-
maan dan terfokus.
5. Sediakan aksesibilitas dan adaptasi metode untuk meningkatkan
penerimaan dan pemahaman informasi materi-materi pelatihan
serta meningkatkan partisipasi aktif selama proses kegiatan

26
6. Beri kesempatan dan libatkan penyandang disabilitas yang sudah
ditingkatkan kapasitasnya untuk berperan dalam PB, seperti
menjadi relawan PB, menjadi pelatih dan fasilitator dengan
menyesuaikan dengan kemampuan dan ketrampilannya.

Kapasitas penyandang disabilitas dapat dikembangkan melalui


kegiatan berikut:
1. Pelatihan teknis dasar
2. Pelatihan tingkat lanjut
3. Pelatihan bagi pelatih
4. Pelatihan bagi fasilitator
5. Penilaian kapasitas perorangan dan organisasi penyandang
disabilitas
6. Membimbing dan memperluas kesempatan penyandang disabilitas
untuk menjadi fasilitator dan pelatih.

Kepekaan inklusi terhadap pelaku PB dapat ditiingkatkan


melalui:
1. Pengenalan konsep inklusi sosial, disabilitas dan relasi disabilitas
dengan bencana
2. Pelatihan PB Inklusif
3. Pelatihan etika berinteraksi dengan penyandang disabilitas
4. Desain universal dan aksesibilitas
5. Perencanaan dan penganggaran inklusif

PRAKTIK BAIK DAN TESTIMONI


Narasumber: Dwiyani, Fasilitator SMAB Magelang

“Saya hanya lulusan SMP, yang kalaupun saya bukan penyandang


disabilitas akan sulit mendapatkan perhatian ketika berbicara di
depan guru, kepala sekolah, perangkat desa, dan orang banyak
lainnya. Apalagi, dengan kondisi saya yang disabilitas, rasanya sulit
sekali berbicara tentang penanggulangan bencana.

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 27
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
Foto 7
Dwiyani menjadi fasilitator Sekolah Aman
di berbagai sekolah dan madrasah di
Kabupaten Magelang pada tahun 2017

Setelah satu tahun terlibat dalam program PRB bersama teman-teman


sesama penyandang disabilitas, dilatih dan ditingkatkan kapasitasnya
oleh teman-teman ASB dan BPBD secara kekeluargaan, saya merasa
menjadi orang yang berbeda. Pendapat saya didengarkan, ketika saya
berbicara atau memberikan materi di depan umum, para guru, kepala
sekolah, perangkat desa, dan anggota masyarakat lainnya terkait PRB,
mereka percaya dan bersedia melakukan apa yang saya sampaikan.
Dari sini saya optimis, mereka melihat penyandang disabilitas bukan
sebagai beban atau kelompok rentan, tapi sebagai solusi untuk
membuat kegiatan PRB dapat menjangkau semua orang, atau
INKLUSIF”.

Foto 8
Perwakilan OPDis dari
Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Barat terlibat
dalam pelatihan Water
Sanitation and Hygiene
(WASH) untuk persiapan
keterlibatan langsung
OPDis sebagai pelaku
Aksi Kemanusiaan dalam
respon Gempa Bumi dan
Tsunami Sulawesi
Tengah, 2018

28
PRIORITAS PERLINDUNGAN
PENGERTIAN
Prioritas Perlindungan terkait dengan keselamatan, martabat, dan hak
kelompong paling berisiko dalam kondisi bencana. Prioritas
Perlindungan menjamin bahwa kelompok paling berisiko
mendapatkan pelayanan, keadilan, kesetaraan, keselamatan,
kesempatan, dan akses terhadap Pengurangan Risiko Bencana (PRB).
Prioritas Perlindungan mengakui dan menghargai berbagai kelompok
termasuk gender, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas
sebagai pemilik hak yang mempunyai kapasitas untuk berkontribusi
secara aktif dan mengambil keputusan serta membuat pilihan hidup
sendiri.

SIGNIFIKANSI
• Kelompok paling berisiko kemungkinan membutuhkan prioritas
perlindungan untuk menjamin terpenuhinya keselamatan,
martabat, kebutuhan, dan hak mereka secara layak.
• Prioritas Perlindungan mengurangi dampak kerusakan fisik dan
psikologis kelompok yang paling berisiko yang timbul dari situasi
bahaya; dan
• Menghilangkan stigma, pengucilan, dan pelecehan terhadap
kelompok paling berisiko.

DAFTAR PERIKSA UNTUK PRIORITAS PERLINDUNGAN


• Keselamatan;
• Stigma;
• Hukum; dan
• Keamanan dan Pelecehan.

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 29
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
TINDAKAN UNTUK MEMPRIORITASKAN
PERLINDUNGAN KELOMPOK PALING BERISIKO
1. Identifikasi risiko (ancaman, kerentanan, kapasitas) kelompok
paling berisiko tinggi.
2. Identifikasi siapa saja yang dikategorikan kelompok yang paling
berisiko.
3. Identifikasi batasan-batasan (fisik, keuangan, sosial, komunikasi,
keamanan) yang menghambat kelompok paling berisiko untuk
memperoleh akses dan berpartisipasi dalam layanan guna
memenuhi kebutuhan mereka.
4. Prioritaskan pekerjaan yang menghapus batasan-batasan tersebut
untuk meningkatkan aksesibilitas layanan dan partisipasi
kelompok paling berisiko.
5. Prioritaskan pekerjaan yang memperkuat kapasitas yang sudah
ada dan mendukung jaringan kelompok paling berisiko.
6. Untuk mengurangi stigma tentang kelompok yang paling berisiko,
promosikan ketahanan pribadi (mata pencaharian, relasi, prestasi,
misalnya prestasi olahraga) dan profesional (karier atau prestasi
pendidikan, kemampuan untuk melakukan perubahan dalam
komunitas, misalnya membantu organisasi dan kegiatan dalam
OPDis), ketangguhan serta kapasitas semua kelompok termasuk
gender, anak-anak, orang tua, dan penyandang disabilitas dalam
berbagai kegiatan (forum/pelatihan).
Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyediakan platform dan
peluang bagi mereka yang paling berisiko untuk membagikan kisah
dan pengalamannya guna menghilangkan stigma sosial.
7. Untuk mempersiapkan komunitas dalam menghadapi bencana,
melaksanakan pemetaan risiko, melakukan kegiatan PRB dan aksi-
aksi kemanusiaan yang inklusif.
8. Untuk mengurangi dan menghilangkan stigma dan diskriminasi
serta kekerasan berbasis gender secara lebih lanjut dengan
kebijakan-kebijakan dan strategi yang menjamin perlindungan
untuk kelompok paling berisiko.

30
9. Pada masa tanggap darurat bencana, evakuasi kelompok paling
berisiko terlebih dahulu.
10. Ketahui cara mengevakuasi penyandang disabilitas – SELALU
sertakan alat bantu mereka saat evakuasi.
11. Sediakan pusat dukungan psikologis bagi kelompok paling berisiko
agar dapat diakses setelah situasi bencana.

PRAKTIK BAIK DAN TESTIMONI


Narasumber: Silma Desi, Ketua Himpunan Wanita Penyandang
Disabilitas Indonesia (HWDI), Sumatera Barat

Penyandang disabilitas memiliki risiko terpapar sebagai korban saat


bencana 3-4 kali lebih tinggi dibanding orang non disabilitas
berdasarkan penelitian pasca tsunami Jepang tahun 2011 di Perfektur
Miyagi.

Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran akan prioritas


perlindungan bagi penyandang disabilitas baik pada pra, saat,
maupun paska bencana. Misalnya, dengan menyediakan peringatan
dini yang dapat diakses oleh orang dengan berbagai kesulitan fungsi
tubuh, pelibatan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam
kegiatan PB, jalur evakuasi yang akses, termasuk pentingnya
penyediaan shelter yg ramah disabilitas khususnya bagi perempuan
penyandang disabilitas agar terlindungi dari tindak kekerasan di
pengungsian.

Di Indonesia, prioritas perlindungan ini sudah diatur pemerintah


dalam UU No.8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Perka
BNPB No. 14 tahun 2014 tentang Perlindungan, Partisipasi dan
Penanganan Penyandang Disabilitas dalam PB. Dengan adanya
kebijakan ini, harapannya kegiatan PB menjadi Inklusif, karena inklusif
adalah kunci ketangguhan.

PANDUAN PRAKTIS:
PENERAPAN MANDAT INKLUSI 31
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
INKLUSI DAN
BENCANA

Semua orang berhak selamat dari bencana.


Semua orang yang terdampak bencana
berhak untuk hidup bermartabat,
berhak mendapatkan bantuan kemanusiaan
dan berhak atas perlindungan dan keamanaan.

Bencana merupakan urusan semua orang


atau urusan yang inklusif.
Bencana itu Inklusif: tidak memilih
siapa yang akan terdampak tetapi
ada beberapa kelompok masyarakat
yang memiliki risiko lebih tinggi
daripada kelompok lainnya.

Maka penanggulangan bencana


juga harus inklusif.

32

Anda mungkin juga menyukai