Anda di halaman 1dari 14

TUGAS 1.

0
LAPORAN PEMBUATAN PETA GEOLOGI REGIONAL

Untuk Memenuhi Tugas 1.0 Mata Kuliah Geologi Teknik


Disusun oleh:
Muhamad Cesar Vitho (2100371)
Teknik Sipil A

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Laporan Kondisi
Geologi Regional” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari laporan ini adalah untuk memenuhi tugas pada
mata kuliahGeologi Teknik. Selain itu, laporan ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang kondisi geologi regional yang dipilih bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Riza S.T., M.T., selaku
Dosen pengampu mata kuliah Geologi Teknik yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni
saat ini.

Saya menyadari, tugas yang saya susun masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran saya sangat harapkan untuk kesempurnaan laporan ini.

Bekasi, 23 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Sampul……………………………………………………………………………………….
Kata Pengantar……………………………………………………………………………….
Daftar
Isi……………………………………………………………………………………..............
A. Karakteristik Dan Pembentukan Formasi Geologi/Jenis Batuan………………………..
B. Hubungan Umur Geologi Dengan Tingkat Aktivasi Sesar/Patahan & Pembentukan
Batuan…………………………………………………………………………………...
C. Potensi Bahaya Geologi yang Mungkin Terjadi………………………………………...
D. Tingkat Pelapukan Untuk Masing-Masing Formasi Geologi…………………………...
E. Struktur Geologi yang Berkembang…………………………………………………….
F. Peta Geologi Arcgis Banda Aceh……………………………………………………….
A. Karakteristik Dan Pembentukan Formasi Geologi/Jenis Batuan
Aktivitas geologi di wilayah Aceh dimulai pada zaman Miosen, yakni saat
diendapkannya batuan yang dikenal sebagai Formasi Woyla. Pada zaman tersebut
dihasilkan struktur geologi yang berarah selatan-utara, yang diikuti oleh permulaan
subduksi lempeng India-Australia terhadap lempeng Eurasia pada zaman Yura Akhir. Pada
periode Yura Akhir-Kapur diendapkan satuan batuan vulkanik. Selanjutnya, di atas satuan
ini diendapkan batu gamping (mudstone dan wreckstone) secara tak selaras berdasarkan
ditemukannya konglomerat atas.
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada
zaman Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di
mana aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pembentukan
letak samudera di Laut Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan
Lempeng India-Australia terjadi pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah kompresi
tektonik global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut
Andaman. Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE menghasilkan
patahan berarah utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat kompresi terbentuk
tegasan yang berarah NNE-SSW yang menghasilkan sesar berarah NE-SW, yang
memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Pola tektonik wilayah Aceh dikontrol oleh pola tektonik di Samudera Hindia.
Samudera Hindia berada di atas lempeng samudera (Indian – Australian Plate), yang
bergerak ke utara dengan kecepatan 6–8 cm per tahun. Pergerakan ini menyebabkan
Lempeng India – Australia menabrak lempeng benua Eropa – Asia (Eurasian Plate). Di
bagian barat, tabrakan ini menghasilkan Pegunungan Himalaya; sedangkan di bagian timur
menghasilkan penunjaman (subduction), yang ditandai dengan palung laut Java Trench
membentang dari Teluk Benggala, Laut Andaman, selatan Pulau Sumatera, Jawa dan Nusa
Tenggara, hingga Laut Banda di Maluku.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau depan
(forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P.
Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di
tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera
mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut
Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas
sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar
Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren.
Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan
aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya
pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi
barat Pulau Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang
berada di sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan
tanah longsor, disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang
tinggi. Banda Aceh sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga
terbentuk sebuah graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang
berpengaruh besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai
dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang
lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan
menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur
memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang
dibandingkan terumbu karang.Dengan gambaran tersebut di atas, maka tidak hanya
wilayah Aceh, namun wilayah-wilayah lain di pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa
dan Nusa Tenggara juga perlu mewaspadai kemungkinan bencana serupa.
Batuan di Aceh dapat dikelompokkan menjadi batuan beku dan batuan metamorfik
atau malihan, batuan sedimen dan gunungapi tua, batugamping, batuan gunung api muda,
serta endapan aluvium. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
1. Kelompok batuan beku dan batuan metamorfik—terdiri dari: granit, diorit, gabro,
sekis, dan batu sabak—terdapat di bagian tengah Bukit Barisan. Batuan bersifat padu,
kelulusan airnya rendah, daya dukung fondasi bangunan umumnya baik, mampu
mendukung bangunan bertingkat tinggi, dan jarang menjadi akuifer. Granit, diorit, dan
gabro dapat digunakan sebagai bahan bangunan, meskipun tidak sebagus andesit.
Tanah hasil pelapukannya bertekstur lempung hingga pasir. Kesuburan potensialnya
tergolong sedang karena kandungan silikanya yang tinggi.
2. Kelompok batuan sedimen dan gunungapi tua—terdiri dari breksi, konglomerat, dan
lava—terdapat di bagian tepi Bukit Barisan dan daerah perbukitan rendah yang
membentang dari Sigli hingga Pangkalanbrandan di Sumatera Utara. Sifat batuan
umumnya padu, kelulusan airnya rendah, mampu mendukung bangunan bertingkat,
dan dapat menjadi akuifer dengan produktifitas kecil hingga sedang. Tanah hasil
pelapukannya bertekstur lanau hingga pasir. Kesuburan potensialnya berkisar rendah
hingga sedang.
3. Batugamping terdapat memanjang di daerah Lhok Nga, sebelah selatan Banda Aceh,
dan di Lampeunerut. Bersifat padu atau berongga, kelulusannya beragam tergantung
dari banyaknya rongga. Pada batugamping padu, daya dukung terhadap pondasi
tergolong bagus. Batugamping dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan
baku semen. Tanah hasil pelapukannya bertekstur lempung dan umumnya mempunyai
kesuburan potensial tinggi.
4. Kelompok batuan gunungapi muda—terdiri dari tufa, aglomerat, breksi volkanik, dan
lava—terdapat di daerah perbukitan di sebelah selatan Lhokseumawe. Pada umumnya
batuan bersifat agak padu, kelulusan airnya sedang hingga tinggi, dan daya dukung
pondasi bagus. Tanah hasil pelapukannya bertekstur lempung, lanau dan pasir;
kesuburan potensialnya tinggi.
5. Kelompok endapan aluvium—terdiri dari lempung dan pasir—terdapat di sepanjang
pantai dan di sepanjang DAS Krueng Aceh, termasuk Kota Banda Aceh. Endapan
masih bersifat lepas hingga agak padu, kelulusan airnya rendah hingga sedang, daya
dukung pondasinya rendah hingga sedang, dan kesuburan potensial tanahnya rendah
hingga tinggi.
Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif Sesar Semangko yang memanjang dari
Banda Aceh hingga Lampung. Patahan ini bergeser sekitar 11 cm/tahun dan merupakan
daerah rawan gempa dan longsor. Ruas-ruas patahan Semangko di Pulau Sumatera dan
juga kedudukannya terhadap Kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh diapit oleh dua patahan
di Barat dan Timur kota, yaitu patahan Darul Imarah dan Darussalam, dan kedua patahan
yang merupakan sesar aktif tersebut diperkirakan bertemu pada pegunungan di Tenggara
Kota. Sehingga sesungguhnya Banda Aceh adalah suatu daratan hasil ambalasan sejak
Pilosen, membentuk suatu Graben, sehingga dataran Banda Aceh ini merupakan batuan
sedimen yang berpengaruh kuat apabila terjadi gempa di sekitarnya.
Berikut adalah keterangan jenis batuan pada peta geologi wilayah Banda Aceh :
B. Hubungan Umur Geologi dengan Tingkat Aktifasi Sesar dan Pembentukan Batuan
Sesar banyak dijumpai di daerah-daerah atau di sekitar aktivitas batuan beku. Yang
jelas gejala sesar tersebut banyak dijumpai di daerah bergunung api. Sesar-sesar seperti ini
biasanya bentuknya tidak teratur dan tidak menerus, dan mengalami pergeseran-pergeseran
melalui rekahan-rekahan dan sesar yang menyilangnya. Sifat dari pergeserannya dapat
vertikal maupun mendatar. Sesar biasa adalah yang paling umum dijumpai. Telah lama
diketahui adanya hubungan yang erat antara gejala sesar tersebut dengan kegiatan aktivitas
batuan :
a) Pada daerah gunung api; Sesar mempunyai hubungan dengan penyelarasan-
penyelarasan (adjustments) dari kerak bumi sebagai akibat gerakan-gerakan hebat dari
magma. Dimulai terlebih dahulu dengan pembubungan kerak bumi, untuk memberikan jalan
kepada magma yang akan keluar (pembentukan lava). Setelah selesai erupsi, maka akan
disusul oleh penurunan-penurunan yang tak teratur dari kerak bumi untuk mengimbangi
kekosongan-kekosongan di dalam akibat keluarnya magma. Dapat dibayangkan adanya
tekanan-tekanan dan gerakan-gerakan kesegala jurusan (dari bawak ke atas, mendatar dan
akhirnya ke bawah, oleh gaya berat), dan yang akan terbentuk pertama-tama adalah sesar
naik dan mendatar, dan terakhir akibat gaya berat.
b) Batuan beku terobosan; terutama yang berukuran besar, akan menimbulkan pen-
sesar-an dan deformasi lainnya pada batuan yang berada di sekitarnya, yang diakibatkan
oleh tekanan pada saat terjadinya intrusi, akibat pemuaian karena panas, dan akhirnya akibat
pendinginan.
c) Pada dasarnya, intrusi itu tidak saja hanya menyebabkan terjadinya gejala sesar,
tetapi gejala sesar dapat juga memberi tempat terhadap intrusi. Ganggang dan sill, seringkali
diintrusikan melalui bidang-bidang rekahan dan sesar. Kerapkali juga akan terjadi
pergerakan - pergerakan lagi setelah intrusi.

C. Potensi Bahaya Geologi yang Mungkin Terjadi


Potensi ancaman bencana di Aceh tidak akan berkurang secara signifikan dalam tahun-tahun ke
depan. Mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis Aceh maka diperlukan
suatu upaya menyeluruh dalam upaya penanggulangan bencana, baik ketika bencana itu terjadi,
sudah terjadi, maupun potensi bencana di masa yang akan datang. Konsekuensi dari kondisi
geomorfologis dan klimatologis serta demografis, maka ancaman bahaya (hazard) di Aceh
mencakup ancaman geologis, hidro-meteorologis, serta sosial dan kesehatan.
Secara geologis, Aceh berada di jalur penunjaman dari pertemuan lempeng Asia dan Australia,
serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera (sumatera fault/transform) yang membelah
pulau Sumatera dari Aceh sampai Selat Sunda yang dikenal dengan Patahan Semangko. Zona
patahan aktif yang terdapat di wilayah Aceh adalah wilayah bagian tengah, yaitu di Kabupaten Aceh
Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh
Barat Daya, dan Aceh Selatan. Hal ini dapat menyebabkan Aceh mengalami bencana geologis yang
cukup panjang.
Berdasarkan catatan bencana geologis, tsunami pernah terjadi pada tahun 1797, 1891, 1907 dan
tanggal 26 Desember tahun 2004 adalah catatan kejadian ekstrim terakhir yang menimbulkan begitu
banyak korban jiwa dan harta. Kawasan dengan potensi rawan tsunami yaitu di sepanjang pesisir
pantai wilayah Aceh yang berhadapan dengan perairan laut yang potensial mengalami tsunami
seperti Samudera Hindia di sebelah barat (Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya,
Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Simeulue), perairan Laut Andaman di sebelah utara (Banda Aceh,
Aceh Besar, dan Sabang), dan perairan Selat Malaka di sebelah utara dan timur (Pidie, Pidie Jaya,
Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang).
Gempa bumi yang terjadi selama kurun waktu 2007-2010 di Aceh sebanyak 97 kali dengan
kekuatan >5 sampai dengan 7,5 Skala Richter. Kejadian diprediksi akan berulang karena Aceh
berada diatas tumbukan lempeng dan patahan. Dampak yang ditimbulkan selama kurun waktu
tersebut yaitu korban jiwa sebanyak 62 orang, kerusakan harta benda diperkirakan mencapai 25–50
Milyar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20–40 persen, sedangkan cakupan wilayah yang
terkena gempa sekitar 60–80 persen, dan 5 persen berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat (terganggunya mata pencaharian). Kabupaten/Kota yang diperkirakan akan terkena
dampak adalah: Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Barat Daya,
Aceh Singkil, Aceh Selatan, Subulussalam, Sabang, Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, Gayo Lues
dan Aceh Tenggara.
Di samping persoalan pergerakan lempeng tektonik, Aceh juga memiliki sejumlah gunung api
aktif yang berpotensi menimbulkan bencana. Khususnya gunung api yang tergolong tipe A (yang
pernah mengalami erupsi magmatik sesudah tahun 1600). Di Aceh terdapat 3 gunung api tipe A,
yaitu gunung Peut Sagoe di Kabupaten Pidie, Gunung Bur Ni Telong dan Gunung Geureudong di
Kabupaten Bener Meriah , gunung Seulawah Agam di Kabupaten Aceh Besar dan Cot. Simeuregun
Jaboi di Sabang.
Potensi bencana gas beracun diindikasikan pada kawasan yang berdekatan dengan gunung
berapi aktif. Dengan demikian kawasan dengan potensi rawan bahaya gas beracun adalah relatif
sama dengan kawasan rawan letusan gunung berapi. Kawasan potensi rawan bahatya gas beracun
tersebut adalah di Bener Meriah (G. Geureudong dan Bur Ni Telong), Pidie dan Pidie Jaya (G. Peut
Sagoe), Aceh Besar (G. Seulawah Agam), dan Sabang (Cot. Simeuregun Jaboi).
Potensi bencana tanah longsor biasa terjadi di sekitar kawasan pegunungan atau bukit dimana
dipengaruhi oleh kemiringan lereng yang curam pada tanah yang basah dan bebatuan yang lapuk,
curah hujan yang tinggi, gempa bumi atau letusan gunung berapi yang menyebabkan lapisan bumi
paling atas dan bebatuan berlapis terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Tanda tanda
terjadinya longsor dapat ditandai dengan beberapa parameter antara lain keretakan pada tanah,
runtuhnya bagian bagian tanah dalam jumlah besar, perubahan cuaca secara ekstrim dan adanya
penurunan kualitas landskap dan ekosistem.
Tanah longsor yang terjadi selama kurun waktu 2007-2009 di Aceh sebanyak 26 kali. Dampak
kerusakan harta benda yang ditimbulkan diperkirakan mencapai 50 – 100 Miliar rupiah, kerusakan
sarana dan prasarana 20 – 40 persen, sedangkan cakupan wilayah yang terkena longsor sangat luas
20 – 40 persen, serta berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya mata
pencarian) sebesar 5 – 10 persen. Bencana tanah longsor yang berdampak pada masyarakat secara
langsung adalah pada jalur jalan lintas tengah, yaitu yang terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara,
Kabupaten Gayo Lues, sekitar Takengon di Kabupaten Aceh Tengah, dan di sekitar Tangse –
Geumpang Kabupaten Pidie.
Aceh memiliki tingkat kompleksitas hidro-meteorologis yang cukup tinggi. Dimensi alam
menyebabkan Aceh mengalami hampir semua jenis bencana hidro-meteorologis seperti puting
beliung, banjir, abrasi dan sedimentasi, badai siklon tropis serta kekeringan. Puting beliung terjadi
di Aceh hampir merata di berbagai daerah terutama terjadi di pesisir yang berhadapan dengan
perairan laut yang mengalami angin badai. Berdasarkan kejadian yang pernah terjadi sebelumnya
adalah di Aceh Timur, Aceh Utara di pesisir timur dan Aceh Barat di pesisir barat. Namun, dari data
kejadian 3 tahun terakhir (2006-2009) terjadi 30 kali bencana puting beliung di 14 kabupaten/kota.
Kabupaten Aceh Utara terdata mengalami kejadian tertinggi dibandingkan kabupaten/kota
lainnya.Banjir hampir merata terjadi di berbagai wilayah Aceh. Namun, dari data kejadian 3 tahun
banjir (2006-2009) terjadi 106 kali bencana banjir di 22 dari 23 kabupaten/kota. Elemen berisiko
yang rentan ketika terjadi banjir adalah lahan pertanian, peternakan, perdagangan dan jasa di 22
kabupaten/kota di Aceh, kecuali Kabupaten Simeulue. Kawasan rawan banjir yang peluangnya
tinggi dengan hamparan yang relatif luas terdapat di pesisir timur dan utara yang dilalui sungai-
sungai yang relatif besar, yaitu di Aceh Besar, Banda Aceh, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara,
Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang. Selain itu kawasan rawan banjir yang
peluangnya tinggi adalah pada hamparan yang merupakan flood plain atau limpasan banjir sungai-
sungai di pesisir barat, yang terletak di Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya,
Subulussalam, Aceh Singkil, dan juga di tepi Lawe Alas di Aceh Tenggara.
Sumber kerentanan bencana banjir ini berasal dari pembalakan liar (illegal logging) di kawasan
Daerah Aliran Sungai (DAS), pendangkalan sungai, rusak atau tersumbatnya saluran drainase, dan
terjadinya perubahan fungsi lahan tanpa sistem tatakelola yang baik yang memperhatikan kapasitas
DAS dalam menampung air. Kabupaten Aceh Utara mencatat kejadian tertinggi dibandingkan
Kabupaten Kota lainnya. Selain bencana yang disebabkan oleh fenomena alam, bencana juga dapat
disebabkan oleh perilaku manusia antara lain karena kelalaian, ketidaktahuan, maupun sempitnya
wawasan dari sekelompok masyarakat atau disebut bencana sosial. Bencana sosial dapat terjadi
dalam bentuk kebakaran, pencemaran lingkungan (polusi udara dan limbah industri) dan
kerusuhan/konflik sosial. Potensi rawan kebakaran seperti kebakaran hutan terjadi pada hutan-hutan
yang dilalui jaringan jalan utama sebagai akibat perilaku manusia, terutama pada kawasan hutan
pinus dan lahan gambut yang cenderung mudah mengalami kebakaran pada musim kemarau.
Indikasi potensi rawan kebakaran hutan tersebut adalah di Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat,
Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Singkil, dan Aceh Tengah.

D. Tingkat Pelapukan untuk Masing-Masing Formasi Geologi


Menurut Dinas Pemberdayaan Masyarakat Aceh, tanah pelapukan yang berada di
atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal,
berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas
tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka
kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor.

E. Struktur Geologi yang Berkembang


Struktur geologi yang berkembang berdasarkan Peta Geologi Lembar Banda Aceh
berupa lipatan dan pensesaran, yang dilalui sesar utama Sumatera (Semangko Zone). Sumbu
lipatan umumnya berarah baratlaut - tenggara, dan hampirt utara - selatan. Pensesaran
normal dan naik umumnya mempunyai bentangan baratlaut - tenggara, hingga hampir utara
- selatan, sedangkan sesar mendatar umumnya berarah timur laut – barat daya dan barat -
timur. Struktur geologi yang berkembang di daerah penyelidikan adalah berupa lipatan dan
pensesaran, lipatan ditandai dengan adanya perlapisan dan perlipatan pada batuan malihan
sedangkan pensesaran ditandai dengan adanya graben di bagian timur laut.
Struktur geologi secara regional dipengaruhi oleh aktivitas tumbukan Lempeng
Eurasia dengan Lempeng India Australia. Aktifitas tumbukan kedua lempeng ini
menghasilkan sejumlah sesar utama berupa sesar mendatar yang selanjutnya diikuti pula
oleh aktifitas magmatik yaitu berupa pemunculan sejumlah gunungapi dan intrusi batuan
beku. Struktur geologi yang berkembang berupa struktur lipatan, struktur sesar mendatar
dekstral dan sesar oblique. Jejak-jejak pergeseran yang dihasilkan oleh proses pensesaran,
ditemukan dalam bentuk cermin sesar, breksi sesar, lipatan seret. Indikasi sesar oblique lebih
dicerminkan oleh bentuk topografi yang menghasilkan daerah tinggian (perbukitan) dan
pedataran.
F. Peta Geologi Arcgis Banda Aceh

Anda mungkin juga menyukai