Benchmarking Specific Energy Consumptin Pada Bangunan Komersial
Benchmarking Specific Energy Consumptin Pada Bangunan Komersial
i
LAPORAN
BENCHMARKING
SPECIFIC ENERGY CONSUMPTION
DI BANGUNAN KOMERSIAL
i
K ATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan YME atas telah diselesaikannya penyusunan laporan
pekerjaan Benchmarking Specific Energy Consumption di Bangunan Komersial yang
berisi hasil survei energi di 82 hotel, 53 Rumah sakit, 21 Pusat Perbelanjaan dan 48
Gedung Perkantoran di 7 kota besar (JABODETABEK, Bandung, Semarang, Surabaya,
Bali, Medan, dan Pekanbaru) serta Survei Potensi Surya Atap di lokasi yang sama.
Survey ini bertujuan untuk menyusun dokumen yang dapat memberikan gambaran
terhadap kondisi eksisting dalam penggunaan energi di bangunan komersial dan
menjadi bahan pertimbangan pada proses revisi Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun
2009. Revisi peraturan mandatori penerapan manajemen energi tidak hanya
mencakup sektor industri, tetapi juga sektor lain, termasuk sektor komersial.
Akhirnya team Survey BPPT mengucapkan terimakasih kepada UNDP atas kesempatan
yang diberikan dan semoga laporan ini dapat dijadikan referensi oleh pengambil
keputusan dalam menentukan kebijakan konservasi energi utamanya dalam rangka
revisi Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi
Januari 2020
ii
E XECUTIVE SUMMARY
Untuk mengetahui status penggunaan energi terkini di bangunan dan tingkat efisiensi
energinya adalah salah satunya dengan mengetahui besarnya intensitas konsumsi
energi atau specific energy consumption (SEC) yang dinyatakan dalam
KWh/m2/tahun. Dengan mengetahui besarnya SEC tersebut maka kemudian kita dapat
melakukan benchmark untuk mengetahui status masing masing gedung dibandingkan
dengan SEC gedung yang setara. Pekerjaan Benchmarking Specific Energy Consumption
di Bangunan Komersial dengan objek survei terdiri dari 70 hotel, 50 Rumah sakit, 40
Pusat Perbelanjaan dan 40 Gedung Perkantoran di 7 kota besar (JABODETABEK,
Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, dan Pekanbaru). Selain survei SEC , pada
kegiatan ini juga dilakukan Survei Potensi Surya Atap di lokasi bangunan tersebut
untuk mengetahui besarnya potensi kapasitas PLTS yang bisa dibangunan pada objek
yang disurvei.
iii
d. Gedung Perkantoran, terdiri dari : Gedung Menengah and Gedung Besar.
Dari data hasil kuesioner 204 gedung didapatkan distribusi pemakaian energi total di
Gedung terlihat bahwa ada 35 objek Gedung yang mengkonsumsi energi lebih dari 500
TOE atau sekitar 17,2%, didominasi oleh hotel dan pusat perbelanjaan. Sementara
Gedung yang mengkonsumsi energi dibawah 250 TOE sekitar 139 objek atau sekitar
68,1%. Secara total, dari 204 gedung yang disurvei, total luasan Gedung (Gross Floor
Area - GFA) adalah 3.782.547,50 m² dan total konsumsi energi tahunan sebesar
67.507,08 TOE yang telah berkontribusi dalam survey benchmarking ini sabagai bahan
acuan revisi Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009.
Dari hasil survey Bencmarking Specific Energy Consumption yang dilakukan pada
bangunan komersial, didapatkan data-data peralatan pengguna energi yang dapat
dibuat persentase penggunaan energi dari setiap kategori obyek survey.
iv
Pengguna Energi Signifikan di Gedung Komersial
Gedung
Perkantoran
64.1% 25.0% 6.8%4.0%
Pengkondisi Udara Lampu & Stop Kontak Lift & Eskalator Lain-lain
Peralatan pengguna energi paling signifikan dari setiap gedung komersial adalah
peralatan pengkondisi udara, dengan rata-rata penggunaan energi diatas 62%,
kemudian diikuti oleh lampu dan stop kontak, Lift dan eskalator dan peralatan listrik
lainnya.
Berdasarkan analisis terhadap 82 hotel dengan sub kategori hotel budget sebanyak 11
gedung, bintang tiga sebanyak 26 gedung, bintang 4 sebanyak 30 gedung dan bintang
5 sebanyak 15 gedung maka diperoleh hasil benchmark gedung-gedung tersebut
seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.
v
IKE RANGE IKE
JUMLAH
HOTEL RATA- Top Quartile 2nd Quartile 3rd Quartile Bottom Quartile
GEDUNG
RATA (1-25%) (26%-50%) (51%-75%) (76%-100%)
BUDGET 11 119,31 <91,30 91,30 - 119,43 119,43 - 146,19 >146,19
BINTANG 3 26 206,54 <136,97 136,97 - 183,94 183,94 - 211,79 >211,79
BINTANG 4 30 239,57 <156,55 156,55 - 185,12 185,12 - 272,77 >272,77
BINTANG 5 15 213,29 <155,96 155,96 - 193,31 193,31 - 239,42 >239,42
RATA-
82 208,15 <135,00 135,00 - 178,49 178,49 - 227,44 >227,44
RATA
Berdasarkan analisis terhadap 53 rumah sakit dengan sub kategori kelas A sebanyak
10 gedung, kelas B sebanyak 18 gedung dan kelas C sebanyak 25 gedung maka
diperoleh hasil benchmark gedung-gedung tersebut seperti ditunjukkan pada gambar
berikut ini
vi
IKE RANGE IKE
JUMLAH
PERKANTORAN RATA- Top Quartile 2nd Quartile 3rd Quartile Bottom Quartile
GEDUNG
RATA (1-25%) (26%-50%) (51%-75%) (76%-100%)
Dari total 204 objek yang dilakukan pengumpulan data/survey seperti Tabel 8.1 diatas,
hanya 166 objek yang data potensi luasan atapnya tersedia, sedangkan 26 objek tidak
tersedia. Potensi Total luasan atap untuk PLTS-Atap sebesar 235.834,65 m2 yang dapat
dipasang PLTS dengan kapasitas total sebesar 23.583,47 KWp atau ±23,58 MWp
(dengan asumsi per 1 KWP membutuhkan luas area 10 m2). Namun berdasarkan
Perpres No.49 Tahun 2018 bahwa maksimum pemasangan PLTS Atap adalah sebesar
kontrak daya dengan PLN, Sehingga dengan demikian secara keseluruhan kapasitas
Total PLTS Atap sebesar 22.883,37 KWp (±22,9 MWp) dengan perincian per tipe
gedung sebagai berikut:
Untuk masing-masing kategori jenis gedung , batasan indek konsumsi energi untuk
gedung efisien berdasarkan hasil survei diusulkan sebagai berikut:
vii
D AFTAR ISI
viii
2.4.1 Potensi Energi Matahari di Indonesia....................................................................... 2-25
2.4.2 Dasar Kebijakan Pengembangan PLTS Atap ......................................................... 2-28
3 INTENSITAS ENERGI BANGUNAN KOMERSIAL................................................................. 3-1
3.1 LOKASI DAN TARGET SURVEI ........................................................................................................... 3-1
3.2 DATA GEDUNG .................................................................................................................................... 3-1
3.3 PROFIL ENERGI GEDUNG ................................................................................................................... 3-3
3.4 PENGGUNA ENERGI SIGNIFIKAN GEDUNG KOMERSIAL................................................................ 3-6
3.5 INTENSITAS KONSUMSI ENERGI NASIONAL ................................................................................... 3-7
3.5.1 IKE berdasarkan Kategori Gedung ................................................................................ 3-8
3.5.2 IKE berdasarkan Lokasi Gedung.................................................................................. 3-11
3.5.3 Konsumsi Energi terhadap Pengguna Gedung ..................................................... 3-22
4 INTENSITAS ENERGI DI HOTEL ............................................................................................. 4-1
4.1 DATA HOTEL ....................................................................................................................................... 4-1
4.2 PROFIL ENERGI HOTEL...................................................................................................................... 4-1
4.3 PENGGUNA ENERGI SIGNIFIKAN ...................................................................................................... 4-4
4.4 INTENSITAS KONSUMSI ENERGI ....................................................................................................... 4-5
5 INTENSITAS ENERGI DI RUMAH SAKIT............................................................................... 5-1
5.1 DATA RUMAH SAKIT .......................................................................................................................... 5-1
5.2 PROFIL ENERGI RUMAH SAKIT......................................................................................................... 5-1
5.3 PENGGUNA ENERGI SIGNIFIKAN ...................................................................................................... 5-4
5.4 INTENSITAS KONSUMSI ENERGI ....................................................................................................... 5-5
6 INTENSITAS ENERGI DI PUSAT PERBELANJAAN ............................................................. 6-1
6.1 DATA PUSAT PERBELANJAAN ........................................................................................................... 6-1
6.2 PROFIL ENERGI PUSAT PERBELANJAAN ......................................................................................... 6-1
6.3 PENGGUNA ENERGI SIGNIFIKAN ...................................................................................................... 6-4
6.4 INTENSITAS KONSUMSI ENERGI ....................................................................................................... 6-5
7 INTENSITAS ENERGI DI PERKANTORAN ............................................................................ 7-1
7.1 DATA GEDUNG PERKANTORAN ........................................................................................................ 7-1
7.2 PROFIL ENERGI GEDUNG PERKANTORAN ...................................................................................... 7-1
7.3 PENGGUNA ENERGI SIGNIFIKAN ...................................................................................................... 7-4
7.4 INTENSITAS KONSUMSI ENERGI ....................................................................................................... 7-5
8 POTENSI SURYA ATAP .............................................................................................................. 8-1
8.1 TIPE DAN JENIS ATAP ........................................................................................................................ 8-1
8.2 POTENSI PLTS ATAP ........................................................................................................................ 8-1
9 KESIMPULAN ................................................................................................................................ 9-1
DAFTAR LITERATUR ........................................................................................................................... D-1
LAMPIRAN–1 QUISIONER ................................................................................................................... L-2
ix
LAMPIRAN-2 LIST OBJEK .................................................................................................................... L-9
LAMPIRAN-3 PERNYATAAN KEASLIAN DATA .......................................................................... L-20
LAMPIRAN-4 RAW DATA ............................................................................................................... L-138
LAMPIRAN-5 DOKUMENTASI ....................................................................................................... L-174
LAMPIRAN-6 FAKTOR KONVERSI ............................................................................................... L-181
x
D AFTAR GAMBAR
xi
Gambar 3.23. IKE Bangunan Komersial di Bandung .............................................................................. 3-18
Gambar 3.24. Populasi Gedung hasil survey di Semarang ................................................................... 3-19
Gambar 3.25. IKE Bangunan Komersial di Semarang ............................................................................ 3-19
Gambar 3.26. Populasi Gedung hasil survey di Surabaya .................................................................... 3-20
Gambar 3.27. IKE Bangunan Komersial di Surabaya ............................................................................. 3-20
Gambar 3.28. Populasi Gedung hasil survey di Medan ......................................................................... 3-21
Gambar 3.29. IKE Bangunan Komersial di Medan .................................................................................. 3-22
Gambar 3.30. Pengaruh jumlah pengguna Gedung terhadap konsumsi energinya .................. 3-23
Gambar 3.31. Pengaruh Luasan Gedung terhadap konsumsi energinya ....................................... 3-23
Gambar 4.1. Populasi objek survei Hotel berdasarkan Lokasi............................................................. 4-1
Gambar 4.2. Distribusi Kapasitas Daya Terpasang Objek Hotel.......................................................... 4-2
Gambar 4.3. Distribusi Konsumsi Energi Hotel .......................................................................................... 4-2
Gambar 4.4. Persentase Konsumsi Energi Hotel ....................................................................................... 4-3
Gambar 4.5. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi Hotel .............................................. 4-4
Gambar 4.6. Pengguna Energi Signifikan di Hotel..................................................................................... 4-4
Gambar 4.7. Intensitas Konsumsi Energi di Hotel berdasarkan Sub-Kategori ............................. 4-5
Gambar 5.1. Populasi objek survei Rumah Sakit berdasarkan Lokasi .............................................. 5-1
Gambar 5.2. Distribusi Kapasitas Daya Terpasang Objek Rumah Sakit ........................................... 5-2
Gambar 5.3. Distribusi Konsumsi Energi Rumah Sakit ........................................................................... 5-2
Gambar 5.4. Persentase Konsumsi Energi Rumah Sakit ......................................................................... 5-3
Gambar 5.5. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi Rumah Sakit ............................... 5-4
Gambar 5.6. Pengguna Energi Signifikan di Rumah Sakit ...................................................................... 5-4
Gambar 5.7. Intensitas Konsumsi Energi di Rumah Sakit berdasarkan Sub-Kategori............... 5-5
Gambar 6.1. Populasi objek survei Pusat Perbelanjaan berdasarkan Lokasi ................................ 6-1
Gambar 6.2. Distribusi Kapasitas Daya Terpasang Objek Pusat Perbelanjaan ............................. 6-2
Gambar 6.3. Distribusi Konsumsi Energi Pusat Perbelanjaan ............................................................. 6-2
Gambar 6.4. Persentase Konsumsi Energi Pusat Perbelanjaan ........................................................... 6-3
Gambar 6.5. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi Pusat Perbelanjaan .................. 6-4
Gambar 6.6. Pengguna Energi Signifikan di Pusat Perbelanjaan ........................................................ 6-4
Gambar 6.7. Intensitas Konsumsi Energi di Pusat Perbelanjaan berdasarkan Sub-Kategori . 6-5
Gambar 7.1. Populasi objek survei Perkantoran berdasarkan Lokasi .............................................. 7-1
Gambar 7.2. Distribusi Kapasitas Daya Terpasang Objek Perkantoran ........................................... 7-2
Gambar 7.3. Distribusi Konsumsi Energi Hotel .......................................................................................... 7-2
Gambar 7.4. Persentase Konsumsi Energi Perkantoran ......................................................................... 7-3
Gambar 7.5. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi Perkantoran................................ 7-3
Gambar 7.6. Pengguna Energi Signifikan di Gedung Perkantoran ..................................................... 7-4
xii
Gambar 7.7. Intensitas Konsumsi Energi di Pusat Perbelanjaan berdasarkan Sub-Kategori . 7-5
Gambar 8.1. Potensi PLTS Atap di Bangunan Komersial ........................................................................ 8-3
Gambar 8.2. Maksimum Kapasitas Terpasang PLTS Atap di Bangunan Komersial .................... 8-4
Gambar 8.3. Potensi Energi PLTS Atap di Bangunan Komersial ......................................................... 8-4
Gambar 8.4. Maksimum Kapasitas Terpasang PLTS Atap di Bangunan Komersial .................... 8-5
xiii
D AFTAR TABEL
Tabel 1.1. Distribusi Objek Survei di Beberapa Kota di Indonesia ..................................................... 1-6
Tabel 1.2. Rencana Kerja Survey Benchmarking SEC/IKE di Sektor Bangunan Komersial ... 1-11
Tabel 2.1. Konsumsi energi nasional di sektor komersial Tahun 2018 ........................................... 2-4
Tabel 2.2. Tingkat pencahayaan rata-rata, renderansi dan temperatur warna yang
direkomendasikan .................................................................................................................................. 2-8
Tabel 2.3. Tabel daya listrik maksimum untuk pencahayaan ............................................................ 2-11
Tabel 2.4. Singapura Building Energy Benchmarks for Commercial Buildings (2017)........... 2-20
Tabel 2.5. Average EUI Trending for Commercial Buildings .............................................................. 2-20
Tabel 2.6. Average EUI Trending for Healthcare Facilities .................................................................. 2-21
Tabel 2.7. Energy Benchmarks of Healthcare Facilities with Bed Spaces ..................................... 2-21
Tabel 2.8. Kinerja Bangunan dan Parameter Lainnya dari Setiap Skenario................................. 2-23
Tabel 2.9. Contoh Intensitas Daya Listrik Berdasarkan Penggunaan ............................................. 2-25
Tabel 3.1. Distribusi dan Total Konsumsi Energi Gedung ..................................................................... 3-5
Tabel 3.2. IKE Gedung Komersial di 7 Wilayah Indonesia ..................................................................... 3-8
Tabel 3.3. Benchmark IKE Gedung di Indonesia terhadap Negara-negara di ASEAN .............. 3-11
Tabel 3.4. Model Summary Baseline Energi Gedung.............................................................................. 3-24
Tabel 4.1. Distribusi dan Total Konsumsi Energi Hotel .......................................................................... 4-3
Tabel 4.2. Benchmark Intensitas Energi Hotel [GFA] di Indonesia dan Singapura ..................... 4-6
Tabel 5.1. Distribusi dan Total Konsumsi Energi Rumah Sakit ........................................................... 5-3
Tabel 5.2. Benchmark Energi di Rumah Sakit ............................................................................................. 5-6
Tabel 6.1. Distribusi dan Total Konsumsi Energi Pusat Perbelanjaan.............................................. 6-3
Tabel 6.2. Benchmark Intensitas Energi Pusat Perbelanjaan[GFA] di Indonesia dan Singapura
........................................................................................................................................................................ 6-6
Tabel 7.1. Distribusi dan Total Konsumsi Energi Perkantoran ........................................................... 7-3
Tabel 7.2. Benchmark Intensitas Energi Pusat Perbelanjaan[GFA] di Indonesia dan Singapura
........................................................................................................................................................................ 7-5
Tabel 8.1. Hasil Pemetaan Potensi PLTS atap ............................................................................................. 8-2
Tabel 8.2. Total Maksimum Potensi PLTS Atap di Bangunan Komersial......................................... 8-5
Tabel 9.1. IKE Gedung Komersial di 7 Wilayah Indonesia ..................................................................... 9-1
xiv
Tabel 9.2. IKE berdasarkan kategori di 7 Wilayah Survey .................................................................... 9-1
Tabel 9.3. Benchmark IKE Gedung di Indonesia terhadap Negara-negara di ASEAN ................ 9-2
Tabel 9.4. Maksimum Potensi Kapasitas PLTS Atap Terpasang di 7 Wilayah Survey................ 9-3
xv
D AFTAR ISTILAH
Aliran Energi
Audit Energi
Analisis sistematis penggunaan energi dan konsumsi energi dalam lingkup audit yang
ditetapkan untuk mengidentifikasi, mengukur/menilai dan melaporkan peluang untuk
peningkatan kinerja energi.
Auditor Energi
Bangunan Gedung
Wujud fisik hasil pekerjaan kontruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang
berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau
tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun
kegiatan khusus.
Batasan
Batas fisik atau lokasi dan/atau batas Organisasi sebagaimana didefinisikan pada
Organisasi.
Baseline
Kondisi awal kinerja energi, biaya energi, biaya operasional, biaya pemeliharaan
dan/atau biaya lain yang diukur dan disepakati sebelum Proyek Efisiensi Energi
diimplementasikan sebagai dasar untuk menentukan besaran penghematan.
xvi
BOE (Barrel Oil Equivalent)
Satuan energi yang besarnya sama dengan kandungan energi dalam satu barel minyak
bumi (biasanya diperhitungkan 6.0-6.3 juta BTU/barel)
Diesel Oil
Produk kilang yang mengandung gasoil berat, dan tersedia sebagai gasoil CN 48 atau
Industrial Diesel Oil (IDO).
Efisiensi Energi
Perbandingan atau hubungan kuantitatif antara output (bisa dalam bentuk jasa,
produk atau energi) dan input energi.
Catatan 1 : Input dan output harus ditentukan secara jelas dalam jumlah dan
kualitas, serta dapat diukur.
Energi
Kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika,
kimia, dan elektromagnetika.
Energi Final
Konsumsi energi dari empat sektor konsumen energi, yaitu sektor rumah tangga,
sektor komersial, sektor industri, dan sektor transportasi serta konsumsi energi
sebagai bahan baku dan agen reduksi.
Diesel CN 48
Jenis minyak diesel dengan Cetane Number 48 digunakan sebagai bahan bakar untuk
mesin diesel berkecepatan tinggi.
xvii
Iradiasi
Intensitas cahaya matahari sesaat. Nilainya berubah sepanjang hari dan sangat
tergantung kepada sudut matahari dan kondisi atmosfer yang akan meningkatkan atau
menghalangi sinar matahari. Unit dalam watt per meter persegi (W/m2)
Kinerja Energi
Hasil yang bisa diukur yang terkait dengan efisiensi energi, penggunaan energi dan
konsumsi energi
Konservasi Energi
Upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi
dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya.
Konsumsi Energi
Konsumsi Non-energi
Konsumsi non-energi meliputi konsumsi minyak pelumas, bahan baku untuk industri
petrokimia (nafta, gas alam, dan kokas), dan gas yang dikonsumsi sebagai bahan baku
kimia (metanol dan amonia / urea).
LPG
Liquefied Petroleum Gas; Gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk
memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya; pada dasarnya
terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya
Listrik
Tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik, seperti Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik
xviii
Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB), Pembangkit Listrik
Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Uap Gas ( PLTGU), Pembangkit Listrik
Tenaga Uap Batubara (PLTU Batubara), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), dll.
Neraca Energi
Organisasi
Suatu nilai yang ditetapkan sebagai kriteria perancangan untuk dinding dank aca
bagian luar bangunan Gedung yang dikondisikan.
Penggunaan Energi
Penghematan Energi
PLTS Atap
xix
Sektor Komersial
Sektor Industri
Sektor Transportasi
Energi Terbarukan
RETScreen
Sudut Azimuth
xx
Hubungan horizontal posisi matahari relatif terhadap permukaan modul. Sudut ini
merupakan komponen horizontal posisi matahari terhadap permukaan modul.
Merupakan salah satu faktor penting agar modul surya tidak terhalangi oleh bayangan.
Sudut kemiringan
Seringkali disebut sudut elevasi atau sudut inklinasi, merupakan sudut susunan modul
surya yang diukur dari sisi horizontal. Dalam desain PLTS, biasanya sama dengan 90°
minus Sudut Ketinggian Matahari. Hal ini untuk menjaga orientasi tegak lurus
permukaan panel ke arah matahari.
Sudut dari ufuk/horison ke arah matahari, ketika matahari naik dan turun dalam satu
hari (dalam derajat). Sudut ini adalah komponen vertikal posisi matahari dan
bervariasi dari waktu ke waktu setiap tahun sehingga berpengaruh terhadap peletakan
PLTS.
xxi
1 PENDAHULUAN
1-1
secara berkala, melaksanakan rekomendasi hasil audit energi, dan melaporkan hasil
pelaksanaan Manajemen Energi setiap tahun kepada lembaga yang berwenang.
1-2
Teknologi (BPPT) untuk melaksanakan survey benchmarking Specific Energy
Consumption (SEC) dan potensi pemanfaatan PLTS Atap pada bangunan gedung
komersial seperti Hotel, Rumah sakit, Pusat perbelanjaan dan Gedung Perkantoran di
tujuh lokasi yaitu: Jabodetabek, Riau, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Sumatera Utara.
1.2 Tujuan
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE) sedang
melakukan revisi Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 yang membutuhkan
benchmark SEC/IKE di Sektor Bangunan Komersial. Survey ini diharapkan dapat
memberikan data dan informasi yang akurat untuk:
1-3
Gambar 1.1. Tahapan Kegiatan Survey
1. DKI Jakarta dan sekitarnya (Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Bekasi dan
Depok)
2. Jawa Barat
3. Jawa Timur
4. Jawa Tengah
5. Sumatera Utara
6. Bali
7. Riau
1-4
d. Gedung Perkantoran, terdiri dari : Gedung Menengah and Gedung Besar.
Total minimum objek yang disurvey adalah 200 Bangunan Komersial. Kuota dan
pemilihan sampel objek sesuai dengan kriteria berikut:
2. Survei hanya akan dilakukan pada gedung utama, tidak termasuk taman dan
area parkir
3. Bangunan kosong tidak termasuk objek survey.
1-5
Tabel 1.1. Distribusi Objek Survei di Beberapa Kota di Indonesia
*P refers to Population
** Q referes to planned Quota that will be surveyed
***This is the estimated of total questionnaire that will be distributed, and will not guarantee the total valid data that will be obtained from the survey, as an indicative number for
the back-up/buffer
Source of Data:
1 Dinas Pariwisata 2018
2 Kemenkes 2018
3 BPS 2018
4 Kementerian Pekerjaan Umum 2018 and Wikipedia
1-6
1.3.3 Persiapan Awal
1-7
- Korelasi penggunaan energi dengan jumlah penghuni gedung dan ukuran
bangunan
- Potensi pemasangan PLTS Atap
4. Merevisi rencana kerja dan kuesioner berdasarkan masukan dan komentar
DJEBTKE dan UNDP
A. Fase Pertama
Fase pertama pengumpulan dan analisis data dimulai setelah rencana kerja dan
kuesioner disetujui. Kuesioner harus ditandatangani oleh pengisi dan menyertakan
informasi kontak.
Tahap pertama dari pengumpulan dan analisis data dilakukan di 3 (tiga) lokasi yaitu
Jabodetabek, Riau dan Bali. Jumlah objek ditargetkan mencapai 30% dari total kuota
dengan ketersediaan jumlah perwakilan proporsional untuk setiap kategori bangunan.
Hasil tahapan pertama ini akan digunakan untuk memberikan validasi nilai ambang
batas konsumsi energi di gedung komersial untuk implementasi wajib manajemen
energi.
1-8
5. Analisis data dan informasi yang dikumpulkan pada saat kick off meeting,
kuesioner, dan data eksisting;
6. Mengembangkan database konsumsi energi di sektor bangunan komersial, baik
total dan masing-masing sub-sektor;
7. Validasi nilai ambang batas konsumsi energi di sektor bangunan komersial
8. Menyusun laporan sementara tentang kegiatan dan hasil survei, termasuk nilai
ambang indikatif dan benchmark standar SEC/IKE untuk sektor bangunan
komersial yang akan diusulkan ke KESDM sebagai masukan untuk proses revisi PP
70/2009
9. Presentasi dan diskusi laporan awal kepada DJEBTKE-ESDM dan UNDP-MTRE3.
B. Fase Kedua
Fase kedua akan melanjutkan pengumpulan data di lokasi yang belum disurvei pada
fase pertama dan memenuhi kuota dari total objek yang akan disurvei. Kegiatan ini
mencakup distribusi kuesioner melalui on-line dan jika diperlukan dalam bentuk cetak.
Data dari responden divalidasi untuk memastikan validitas dan reliabilitas data. Jika
diperlukan, UNDP akan memfasilitasi workshop di daerah yang disurvei, terutama
lokasi dengan sampel objek yang besar. Kerangka Acuan dan undangan akan disiapkan
dan dikomunikasikan/distribusikan kepada responden.
1-9
8. Draf laporan akhir diserahkan sebelum pertemuan dengan stakeholder untuk
membahas isi laporan Fase Pertama dan Fase Kedua; Laporan tersebut
menguraikan studi tentang informasi dan data eksisting dari penelitian, studi, dan
audit, termasuk benchmark SEC/IKE sektor bangunan komersial di negara-negara
lainnya yang dapat diadaptasi ke Indonesia;
9. Diskusi draft laporan akhir dengan UNDP-MTRE3 dan EBTKE;
10. Presentasi dan konsultasi draft hasil akhir dalam pertemuan dengan stakeholders;
11. Presentasi hasil akhir di Workshop diseminasi (jika ada).
1-10
Tabel 1.2. Rencana Kerja Survey Benchmarking SEC/IKE di Sektor Bangunan Komersial
1-11
1.6 Personil
Struktur team pelaksana kegiatan dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Leader
Administration
Support
Team Jabodetabek Team Bali Team Riau Team North Sumatera Team Central Java Team East Java Team West Java
+ Enumerator + Enumerator + Enumerator + Enumerator + Enumerator + Enumerator + Enumerator
1-12
2 STUDI LITERATUR
Dari jumlah populasi diatas total kuota Gedung yang menjadi objek minimal sebanyak
200 gedung dan total kuota gedung yang akan menjadi objek survey berdasarkan
jumlah populasi yang ada di tiap kota tersebut adalah sebanyak 272 gedung. Dimana
kelebihan 72 gedung dari kuota minimal tersebut adalah untuk objek cadangan apabila
terdapat objek yang tidak ingin menjadi objek survey ataupun memiliki data yang tidak
valid.
2-1
Dengan penentuan kuota objek survey berdasarkan populasi di setiap lokasi sebagai
berikut :
Jumlah kuota di atas ditentukan untuk objek Rumah Sakit, Pusat Perbelanjaan dan
Gedung Perkantoran. Sedangkan untuk hotel, karena objek tersebut memiliki kriteria
lebih banyak dan populasi yang relatif lebih besar dari objek lain, sehingga jumlah
kuota yang ditentukan lebih sedikit untuk efisiensi waktu dan pekerjaan. Penentuan
jumlah kuota untuk objek hotel adalah sebagai berikut:
Target objek yang disurvey sebanyak 272 gedung terdiri dari 101 hotel, 43 gedung
perkantoran, 49 pusat perbelanjaan dan 79 rumah sakit. Gedung yang disurvei ini
tersebar di 12 lokasi. Distribusi Gedung yang disurvey berdasarkan lokasi dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
30
25 25
20 20 22 21
15 17 16
14
2-2
2.2 Profil Energi Gedung
Konsumsi energi nasional pada tahun 2018 menurut data Kementerian ESDM
mencapai 936,33 Miliar Barrels Oil Equivalent (BOE), dimana dari jumlah total tersebut
sebanyak 43,15 juta Barrels Oil Equivalent (BOE) atau 4,82% dari jumlah konsumsi
energi nasional digunakan untuk sektor gedung komersial. Berdasarkan peringkat
konsumsi energi nasional berdasarkan sektor, bangunan gedung komersial berada
diperingkat empat, dimana untuk peringkat pertama ditempati oleh sektor
transportasi, kemudian diikuti oleh sektor industri, dan sektor rumah tangga. Berikut
konsumsi energi nasional berdasarkan sektor pada tahun 2018 (Pusat Data dan
Teknologi Informasi KESDM, 2019).
2-3
Tabel 2.1. Konsumsi energi nasional di sektor komersial Tahun 2018
Konsumsi energi pada suatu bangunan memiliki pola dimana ada suatu waktu
penggunaan energinya mengalami peningkatan serta penurunan. Perubahan pola ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :
A. Desain
Desain suatu bangunan gedung menjadi aspek yang dipertimbangkan dalam setiap
perencanaan pembangunan suatu gedung. Dalam beberapa hal rancangan suatu
2-4
bangunan gedung tidak memperhitungkan aspek konservasi energi. Sehingga banyak
gedung yang menjadi tidak efisien dalam penggunaan energinya karena desainnya.
Beberapa hal dalam mendesain suatu bangunan yang menjadi faktor yang
mempengaruhi konsumsi energi suatu bangunan adalah orientasi bangunan. Dimana
arah bangunan timur dan barat akan mempengaruhi pemanasan langsung karena
radiasi dari sinar matahari. Pada prinsipnya sinar matahari memang dibutuhkan
sebanyak mungkin untuk membatu penerangan suatu bangunan, akan tetapi radiasi
dari sinar matahari harus sebanyak mungkin dihindarkan, kaena cahaya yang langsung
mengenai tembok atau bidang kaca akan membuat ruangan di dalamnya menjadi cepat
panas sehingga akan membebani pendinginan dari ruangan tersebut. Oleh karena itu
orientasi dari dinding-dinding luar berpengaruh terhadap konsumsi energi
B. Iklim
Iklim suatu wilayah berbeda-beda dengan wilayah lainnya, untuk bangunan gedung
yang berlokasi di daerah-daerah dengan iklim yang nyaman pengaruh radiasi matahari
tidak terlalu besar sehingga beban pendinginan dari gedung tersebut tidak mengalami
peningkatan karena faktor eksternal tersebut. Sedangkan bangunan gedung yang
berlokasi didaerah-daerah dengan iklim yang panas, pengaruh radiasi matahari cukup
besar untuk meningkatkan beban pendinginannya, sehingga konsumsi energi dari
bangunan tersebut akan mengalami peningkatan juga.
C. Okupansi
Peningkatan dan penurunan konsumsi energi suatu bangunan gedung bisa juga
dipengaruhi oleh jumlah okupansi dari bangunan gedung tersebut. Beberapa
bangunan yang jumlah konsumsi energinya meningkat karena pengaruh okupansi
misalnya adalah hotel dan pusat perbelanjaan. Pada bangunan hotel dimana jumlah
kamar yang tersewa mengalami peningkatan akan mengakibatkan peningkatan
konsumsi energinya, karena setiap peralatan listrik yang ada pada kamar-kamar
tersebut juga akan beroperasi. Serta aktifitas pada transportasi pada lift dan peralatan
listrik penunjang lain seperti pompa air juga akan mengalami peningkatan. Demikian
halnya pada pusat perbelanjaan, dimana peningkatan jumlah pengunjung, juga akan
meningkatkan aktifitas pada peralatan transportasi seperti lift dan eskalator, serta
akan mengalami peningkatan pula aktifitas pada setiap tenant-tenant yang ada pada
2-5
pusat perbelanjaan tersebut yang mengakibatkan peningkatan konsumsi energi pada
bangunan pusat perbelanjaan tersebut.
D. Lainnya
Selain beberapa hal diatas yang mempengaruhi kinerja konsumsi energi suatu
bangunan gedung, ada hal lain yang bisa mempengaruhi peningkatan dan penurunan
konsumsi energi dari bangunan gedung tersebut. Jumlah jam kerja pada bangunan
gedung perkantoran menjadi faktor lain yang mempengaruhi peningkatan dan
penurunan konsumsi energi dari bangunan gedung tersebut. Dengan bertambahnya
jam kerja pada suatu bangunan perkantoran akan menambah pula jam operasional
dari peralatan-peralatan listrik yang ada di bangunan kantor tersebut, sehingga akan
meningkatkan konsumsi energi dari bangunan kantor tersebut. Oleh karena itu pada
bangunan perkantoran dalam pelaksanaan konservasi energinya bisa melakukan
penetapan jam operasinal kantor yang harus diikuti oleh semua penghuni gedung
tersebut, agar tidak ada orang lagi yang masih berada di gedung tersebut di luar jam
kantor yang tidak memiliki keperluan pekerjaan.
A. SNI HVAC
Ada dua faktor utama konservasi energi dalam sistem HVAC, yang pertama adalah
kondisi udara ruangan yang terkait dengan kondisi kenyamanan termal ruangan
tersebut. Dimana kondisi tersebut mempertimbangkan adanya variasi kenyamanan
termal yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lain. Kondisi termal ini
dietapkan dalam satu rentang temperatur nyaman berdasarkan sejumlah penelitian
kenyamanan termal yang dilakukan di Indonesia dan Asia Tenggara. Sedangkan yang
2-6
kedua adalah kondisi udara luar yang ditetapkan sebagai kondisi perancangan. Dimana
penetapan tersebut berdasarkan data statistik temperatur rata-rata di semua ibu kota
propinsi di Indonesia. Semua ini tercantum dalam SNI 03-6390-2011 mengenai
“Konservasi Energi Sistem Tata Udara pada Bangunan Gedung”. Dimana standard ini
memuat mengenai perhitungan teknis, pemilihan , pengukuran dan pengujian
konservasi energi serta rekomendasi sistem tata udara pada bangunan gedung secara
optimal sehingga penggunaan energi dapat dilakukan secara efisien tanpa
mengorbankan kenyamanan termal pengguna bangunan. Didalam standard tersebut
dimuat kondisi kenyamanan yang ditetapkan untuk gedung-gedung yang berada di
wilayah dataran rendah (pantai) dengan suhu udara maksimum rata-rata sekitar 34 °C
DB dan 28 °C WB (atau suhu rata-rata bulanan sekitar 28 °C) adalah sebagai berikut :
Sementara untuk wilayah dataran tinggi atau pegunungan dengan suhu udara
maksimum tidak ditetapkan 28 °C dan 24 °C atau kurang (atau suhu rata-rata bulanan
sekitar 23 °C atau kurang) pada umumnya tidak diperlukan pengkondisian udara
B. SNI Pencahayaan
2-7
b. Dalam pemanfaatannya, radiasi yang ditimbulkan oleh cahaya matahari
langsung kedalam bangunan harus dibuat seminimal mungkin untuk
menghindari timbulnya peningkatan temperatur pada ruang dalam bangunan.
c. Cahay langit bukaan transparan pada bangunan harus diutamakan daripada
cahaya matahari langsung.
d. Cahaya alami di siang hari harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai
alternatif cahaya tambahan untuk mengurangi penggunaan energi listrik pada
bangunan dengan mempertimbangkan aspek-aspek sistem terkait.
Tabel 2.2. Tingkat pencahayaan rata-rata, renderansi dan temperatur warna yang
direkomendasikan
2-8
Selain tingkat pencahayaan, standard ini juga memuat daya listrik maksimum
permeter persegi dari sistem pencahayaan yang tidak boleh melebihi nilai yang
tercantum dalam tabel 2.2, kecuali area berikut :
2-9
a. Pencahayaan untuk bioskop, siaran TV, presentasi audio visual dan semua
fasilitas hiburan yang memerlukan pencahayaan berteknologi sebagai
elemen utama dalam pelaksanaan fungsinya
b. Pencahayaan khusus untuk bidang kedokteran
c. Fasilitas olahraga dalam ruangan (indoor)
d. Pencahayaan yang diperlukan untuk pameran di galeri, museum dan
monumen
e. Pencahayaan luar untuk monumen
f. Pencahayaan khusus untuk penelitian di laboratorium
g. Pencahayaan darurat
h. Ruangan yang mempunyai tingkat keamanan dengan resiko tinggi yang
dinyatakan oleh peraturan atau oleh petugas keamanan dianggap
memerlukan pencahayaan tambahan
i. Ruangan kelas rancangan khusus untuk orang yang mempunyai penglihatan
yang kurang atau untuk orang lanjut usia
j. Pencahayaan untuk lampu tanda arah dalam bangunan gedung
k. Jendela peraga pada toko/etalase
l. Agro industri (rumah kaca), fasilitas pemrosesan
m. Kegiatan lain yang belum termasuk di atas
2-10
Tabel 2.3. Tabel daya listrik maksimum untuk pencahayaan
2-11
C. SNI Selubung Bangunan
a. Berlaku hanya untuk komponen dinding dan atap pada bangunan gedung yang
dikondisikan (mempunyai sistem tata udara)
b. Perpindahan termal menyeluruh untuk dinding dan atap tidak boleh melebihi
perpindahan termal menyeluruh yaitu tidak melebihi 35 W/m²
Nilai perpindahan termal menyeluruh atau OTTV untuk setiap bidang dinding luar
bangunan gedung dengan orientasi tertentu, harus dihitung melalui persamaan :
2-12
Dengan :
Nilai perpindahan termal menyeluruh atau OTTV untuk setiap bidang dinding luar
bangunan gedung dengan orientasi tertentu dengan lebih dari satu jenis material
dinding, harus dihitung melalui persamaan :
Dengan :
Dengan :
2-13
A0i = luas dinding pada bagian dinding luar i (m²). Luas total ini termasuk semua
permukaan dinding tidak tembus cahaya dan luas permukaan jendela yang
terdapat pada bagian dinding tersebut.
OTTVi = nilai perpindahan termal menyeluruh pada bagian dinding I (Watt/m²)
sebagai hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan diatas.
Dimana nilai perpindahan termal menyeluruh tidak boleh melebihi atau maksimal
sama dengan 35 W/m².
Salah satu langkah konservasi energi yang bisa diterapkan dalam rangka efisiensi
energi di bangunan gedung adalah dengan menerapkan sistem manajemen energi.
Manajemen energi adalah program terpadu yang direncanakan dan dilaksanakan
secara sistematis untuk memanfaatkan sumber daya energi dan energi secara efektif
dan efisien dengan melakukan perencanaan, pencatatan, pengawasan dan evaluasi
secara kontinyu tanpa mengurangi kualitas produksi/pelayanan. Manajemen energi
mencakup perencanaan dan pengoperasian unit konsumsi dan produksi yang terkait
dengan energi. Tujuan manajemen energi yaitu konservasi sumber daya, perlindungan
iklim, dan penghematan biaya. Bagi konsumen, manajemen energi menjadikan mereka
mendapatkan akses terhadap energi sesuai dengan yang mereka butuhkan.
Manajemen energi sangat terkait dengan manajemen lingkungan, manajemen
produksi, logistik, dan fungsi terkait bisnis lainnya. Penerapan manajemen energi
dalam suatu bangunan gedung sangat bergantung pada komitmen dari top manajemen,
dimana semua kewenangan dalam hal pengambilan keputusan ada pada top
manajemen. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh top manajemen dalam hal
komitmen yang menjadi kunci penting berlangsungnya sistem manajemen energi
adalah dengan cara pemberian informasi secara menyeluruh mengenai penghematan
energi dan langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam pelaksanaannya serta
penyediaan peralatan-peralatan pengguna energi yang memiliki teknologi yang efisien.
A. Behavior/Perilaku/Awarness
Perilaku pengguna energi memiliki pengaruh besar dalam hal penggunaan energinya.
walaupun peralatan-peralatan yang digunakan sudah memiliki teknologi yang canggih
dan efisien, akan tetapi apabila penggunaannya masih tidak terkontrol, akan tetap
menghasilkan pemborosan energi. Dalam penerapan sistem manajemen energi
2-14
pemberian informasi kepada seluruh pengguna energi menjadi peranan penting agar
sistem ini bisa berjalan dengan baik. Dengan pemberian informasi mengenai
penghematan energi diharapkan akan merubah perilaku para pengguna energi
menjadi lebih sadar akan pentingnya penghematan energi dalam setiap penggunaan
peralatan listrik. Pemberian informasi ini bisa dilakukan dengan memberikan training,
awarness kepada seluruh tim manajemen energi dan kepada sebagian besar pengguna
energi yang mewakili keseluruhan penghuni gedung, serta pemasangan baliho,
spanduk maupun stiker-stiker yang berisi tentang penghematan energi pada area-area
yang mudah dilihat oleh para penghuni gedung.
Langkah-langkah lain dalam hal penerapan manajemen energi dalam duatu bangunan
gedung adalah penggunaan peralatan-peralatan listrik yang sudah efisien penggunaan
energinya, diantaranya :
2-15
pengeluaran biaya dalam hal investasi. Selain teknologi dari jenis lampunya,
langkah penghematan energi pada sistem pencahayaan bisa dilakukan dengan
pengaturan operasional lampu secara otomatis menggunakan sensor okupansi.
Dimana lampu baru akan beroperasi selama beberapa menit apabila ada
aktivitas manusia saja, sedangkan apabila tidak ada aktivitas, lampu akan tetap
mati. Sensor okupansi ini hanya tepat dipasang pada area dimana aktivitas
manusia tidak berlangsung lama seperti di koridor, toilet atau area lain.
Sehingga dengan lampu yang hanya beroperasi pada saat dibutuhkan saja maka
penghematan energi yang didapatkan cukup besar bila dibandingkan lampu
yang harus beroperasi selama terus menerus baik di koridor maupun di toilet.
- BAS
Perilaku pengguna energi yang belum bisa terkontrol dengan baik dalam hal
penggunaan peralatan listriknya masih bisa menyebabkan terjadinya
pemborosan energi. Sehingga penggunaan peralatan-peralatan listrik tersebut
harus dibantu oleh suatu sistem yang bisa mengontrol penggunaan peralatan-
peralatan tersebut secara otomatis. Sistem yang bisa mengontrol tersebut
disebut dengan Building Automation System (BAS), dimana semua operasional
peralatan dikontrol penggunaannya, baik itu peralatan pendingin seperti sistem
HVAC, sistem pencahayaan, lift, eskalator dan sistem plumbing. Sistem ini sudah
terkomputerisasi dalam pengontrolannya, sehingga semua bekerja secara
otomatis.
2.3.1 ASEAN
Efisiensi energi, dipandang sebagai cara yang paling hemat biaya untuk meningkatkan
keamanan energi dan dalam mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan daya saing,
telah berhasil diterapkan di ASEAN sejak pembentukan inisiatif kerja sama Energi
ASEAN pada tahun 1986. ASEAN Centre for Energy adalah organisasi antar pemerintah
dalam struktur ASEAN yang mewakili 10 negara anggota ASEAN (AMS) yang tertarik
pada sektor energi. Organisasi ini mempercepat integrasi strategi energi di ASEAN
dengan memberikan informasi dan keahlian yang relevan untuk memastikan
2-16
kebijakan dan program energi yang diperlukan selaras dengan pertumbuhan ekonomi
dan kelestarian lingkungan di kawasan ini.
Salah satu program yang dilaksanakan oleh ACE adalah ASEAN Energy Award (AEA),
penghargaan energi untuk bangun dan industri dengan kategori sebagai berikut.
AEA untuk Bangunan Hemat Energi diluncurkan pada tahun 2000 sebagai
penghargaan tertinggi di Asia Tenggara untuk keunggulan di bidang energi. Selain
itu, penghargaan ini juga mewakili kesadaran dan dorongan untuk partisipasi
sektor swasta dalam EE&C, khususnya dalam bangunan. Ada empat (4) kategori
untuk Penghargaan ini: i) Bangunan Baru dan Bangunan yang telah ada; ii)
Bangunan Retrofitted; iii) Bangunan Tropis; dan iv) Pengajuan Khusus.
Penghargaan Manajemen Energi ASEAN dalam Bangunan & Industri terdiri dari
enam (6) kategori: i) Bangunan Kecil dan Menengah; ii) Bangunan Besar; iii)
Industri Kecil & Menengah; iv) Industri Besar; v) Bangunan Pengajuan Khusus; dan
vi) Industri Pengiriman Khusus. Penilaian mencakup pencapaian penghematan
energi, dampak penghematan energi, keberlanjutan, dan keterulangan. Tiga puluh
dua (32) entri yang memenuhi syarat dari lima (5) Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura dan Thailand diajukan untuk kompetisi tahun ini kepada BoJ untuk
evaluasi.
2-17
Ketentuan yang ditetapkan oleh juri pada lomba ASEAN Energy Award (AEA) ini untuk
bangunan hemat energi dapat dilihat pada tabel berikut ini.
2.3.2 Singapura
Building and Construction Authority (BCA) Singapura sejak tahun 2014 mengeluarkan
Building Energy Benchmarking Report (BEBR) untuk memantau kinerja penggunaan
energi di bangunan gedung yang ada di Singapura. Publikasi ini merupakan inisiatif di
bawah Masterplan Gedung Hijau BCA ke-3, yang bertujuan untuk:
2-18
▪ Mendorong mereka untuk memulai dan menerapkan peningkatan dalam
membangun efisiensi energi; dan
▪ Membentuk pasar melalui transparansi informasi kinerja energi bangunan.
Tahap 3 (2017/ 2018) Bangunan besar lembaga sipil, komunitas dan budaya,
pusat olahraga dan rekreasi, dan fasilitas transportasi
Pada tahun 2017, bangunan komersial, fasilitas kesehatan, dan lembaga pendidikan
menjadi sasaran untuk Annual Mandatory Submission, bersama dengan 3 jenis
bangunan baru, yaitu: bangunan besar lembaga sipil, komunitas dan budaya, pusat
olahraga dan rekreasi, dan fasilitas transportasi.
Secara total, 1.566 bangunan, dengan Luas Lantai Bruto (GFA) seluas 33,4 juta m² dan
total konsumsi listrik tahunan pada 8.642 GWh, telah melaksanakan benchmarking ini,
mencatat kepatuhan penuh untuk 2017.
Pada tahun 2017, sebanyak 1.566 bangunan membuat laporan penggunaan energi.
Intensitas penggunaan energi bangunan komersial menunjukkan peningkatan cukup
baik sebesar 14% sejak 2008, dan untuk semua kategori mencapai lebih dari 8%
peningkatan.
2-19
Selama periode sembilan tahun dari 2008 hingga 2017, konsumsi listrik tahunan ke-6
jenis bangunan ini telah mengalami peningkatan yang cukup lambat sebesar 25% bila
dibandingkan dengan pertumbuhan GFA sebesar 40% (Building and Construction
Authority (BCA), 2018). Tabel berikut ini merupakan hasil benchmark untuk masing-
masing kategori Gedung.
Tabel 2.4. Singapura Building Energy Benchmarks for Commercial Buildings (2017)
Selama periode sembilan tahun dari 2008 hingga 2017, konsumsi listrik tahunan dari
75 fasilitas kesehatan mengalami peningkatan yang sigifikan yaitu 54%, dibandingkan
dengan pertumbuhan GFA sebesar 42%. Rata-rata EUI untuk fasilitas kesehatan
mengalami peningkatan sebesar 9% selama periode 2008 - 2017.
2-20
Tabel 2.6. Average EUI Trending for Healthcare Facilities
2.3.3 Malaysia
EPI atau Indeks Kinerja Energi adalah standar internasional yang biasanya digunakan
untuk mengukur penggunaan energi spesifik bangunan tertentu. Pada dasarnya
menghitung rasio total energi yang digunakan terhadap total area bangunan untuk
menentukan konsumsi tahunan bangunan.
Total energi yang digunakan termasuk listrik yang dibeli serta daya apa pun yang
dihasilkan di lokasi; namun tidak termasuk energi terbarukan yang dihasilkan dari
sumber seperti fotovoltaik surya, angin, bio gas, dll. Total area yang dibangun untuk
keperluan perhitungan juga tidak termasuk ruang bawah tanah dan area parkir.
EPI biasanya dihitung satu tahun setelah penyelesaian dan commissioning bangunan
tertentu dengan hunian penuh dan selalu diukur dalam satuan kWh/sq m/tahun.
2-21
Gambar 2.3. Building Energy Index (kWH/m2 year) di Malaysia
Gambaran ini juga menunjukkan bahwa kurang dari 30% bangunan di Malaysia
memiliki BEI kurang dari 200 kWh/m2/thn, yang dianggap sebagai bangunan hemat
energi di bawah Standar MS 1525: 2007. Rata-rata gedung perkantoran Malaysia
memiliki BEI dari 250 kWh/m2/thn, yang jauh di atas standar MS 1525 yang
menetapkan kode praktik tentang Efisiensi Energi dan penggunaan Energi
Terbarukan. Standar MS 1525 juga menetapkan patokan tingkat BEI maksimum 220
kWh/m2/thn untuk bangunan yang dianggap sebagai bangunan hemat energi.
2.3.4 Thailand
Thailand terletak di zona tropis seperti Indonesia di mana iklimnya panas dan lembab,
dengan radiasi matahari yang tinggi. Dengan konsep desain saat ini, bangunan
komersial dan perumahan modern membutuhkan pendingin udara untuk memberikan
kenyamanan dan pencahayaan interior sepenuhnya bergantung pada cahaya dari
lampu listrik.
2-22
diterapkan secara penuh untuk bangunan komersial baru dengan luas lantai lebih dari
2.000 m2.
Tabel 2.8. Kinerja Bangunan dan Parameter Lainnya dari Setiap Skenario
Nilai indeks kinerja Bangunan dalam skenario referensi diperoleh dari basis data
laporan audit energi Departemen Pengembangan Energi Alternatif dan Efisiensi
Energi. Konsumsi energi tahunan yang dihasilkan sebesar 219 kWh/m2/thn untuk
Gedung perkantoran.
2-23
2.3.5 JICA
ESDM dan JICA bekerja sama dengan Electric Power Development Co., Ltd melakukan
studi tentang konservasi dan peningkatan efisiensi energi di Indonesia dari Agustus
2007 hingga Agustus 2009. Beberapa temuan utama dalam kajian antara lain:
Intensitas energi listrik per luas lantai di gedung-gedung Indonesia dan Jepang hasil
survei ditunjukkan pada Gambar 2.4. Potensi konservasi energi bangunan di Indonesia
adalah 20% sampai 35%. Intensitas energi listrik dari hasil survey yang dilakukan oleh
JICA tahun 2009 dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.4. Intensitas Energi Listrik di Indonesia dan Jepang dari Survei Kuisioner
Intensitas konsumsi energi dihitung berdasarkan konsumsi energi listrik per tahun
atau per bulan. Selain itu intensitas energi listrik dapat dihitung dari konsumsi daya
2-24
listrik dari peralatan. Tabel berikut hasil benchmarking bank dunia untuk 65 gedung
di Indonesia.
Melimpahnya tenaga surya yang merata di seluruh wilayah Indonesia dan bersinar
hampir sepanjang tahun merupakan sumber energi listrik yang sangat potensial untuk
dimanfaatkan. Sebagai negara dengan letak geografis di sekitar garis khatulistiwa,
Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat baik yaitu rata-rata 4,80
kWh/m2/hari yang bersinar sepanjang tahun. Peta sebaran potensi energy surya di
Indonesia dapat di lihat gambar berikuit :
2-25
Sumber: P3TKEBTKE
Rata-rata lama penyinaran matahari yang dapat memproduksi listrik secara optimum
pada panel surya adalah 4 s/d 5 jam perhari. Wilayah Indonesia yang mempunyai lama
penyinaran ± 4,5 jam perhari adalah sebagian Aceh, Sumatera Barat, Sumatera utara,
Sedangkan sebagian Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan
sebagian Sulawesi mempunyai rata-rata penyinaran 4,5 s/d 4,8 jam perhari. Untuk
pulau Jawa yang mempunyai lama penyinaran paling kecil yaitu 3 s/d 3,5 jam perhari
meliputi Jakarta, Bandung dan Bogor sedang Jawa Tengah dan Jawa Timur lama
penyinaran ± 4 jam perhari. Pulau Kalimantan potensinya cukup baik yaitu berkisar 4
Dengan berkembangnya teknologi konversi energi surya menjadi energi listrik serta
menurunnya biaya komponen peralatan yang diperlukan, potensi energi surya
nasional menjadi hal yang layak untuk didorong pemanfaatannya di Indonesia.
Penerapan konversi fotovoltaik tidak hanya ditujukan untuk penerangan tetapi bisa
juga digunakan untuk berbagai macam catu daya seperti misalnya untuk sistem
komunikasi, sistem pompa air dan lain sebagainya.
2-26
Beberapa sistem PLTS yang telah dan sudah diterapkan pada saat ini adalah sistem
komunikasi, sistem refrigerator penyimpan vaksin, sistem pompa air dan sistem catu
daya kebutuhan perumahan, perkantoran dan gedung komersial lainnya. Pemakaian
sistem PLTS untuk perkantoran atau bangunan komersial lainnya yang umumnya
berada di daerah perkotaan akan mempunyai kendala yaitu lahan untuk penempatan
larik komponen modul surya. Oleh karena itu aplikasi sistem PLTS Atap (roof top) yang
menempatkan larik komponen modul surya di atas atap bangunan cocok ditempatkan
untuk lokasi di daerah perkotaan.
Sistem PLTS Atap adalah sistem PLTS yang di pasang di atas struktur atap perkantoran
atau bangunan komersial. Sistem ini terdiri dari komponen-komponen modul
fotovoltaik, penyanga modul fotovoltaik, kabel, grid tie inverter dan asesoris listrik
penunjang lainnya. Sistem PLTS Atap ini mempunyai variasi kapasitas tergantung dari
ketersediaan lahan dan kapasitas jala-jala PLN pada lokasi yang akan dipasang sistem
PLTS Atap.
Pemakaian sistem PLTS Atap ini akan mereduksi emisi karbon dioksida yang
dihasilkan oleh pembangkit konvensional, sebagai gambaran secara garis besar
apabila kebutuhan listrik bangunan komersial menghabiskan 250 kWh listrik per
meter persegi setiap tahunnya (Green Building Council Indonesia ), maka bila
diasumsikan 500 m2 luas bangunan membutuhkan listrik sebesar 125,000 kWh/tahun,
dan apabila diasumsi 10 % kebutuhan listrik tersebut disuplai oleh rangkaian
fotovoltaik pada sistem PLTS roof top yaitu sebesar 12,500 kWh setiap tahunnya atau
sekitar 35 kWh perhari, yang akan membutuhkan kapasitas rangkaian fotovoltaik
kurang lebih sebesar 8,75 kWp. (dengan asumsi sun hour 4 jam). Bila kebutuhan energi
listrik yang dipasok oleh sistem PLTS sebesar 12,500 kWh tersebut memakai
pembangkit konvensional mesin diesel yang berbahan bakar minyak yang mempunyai
spesifik pemakaian BBM 0.30 liter/kWh, maka pemakaian BBM akan dihemat sebesar
3,750 liter BBM/tahun untuk setiap 500 m2 ruangan.
Selain itu sistem PLTS Atap juga mempunyai beberapa keuntungan lain yaitu
diantaranya:
• Akses cahaya matahari langsung: permukaan atap umumnya di atas dan lebih
tinggi dari bangunan-bangunan lain yang akan mengakibatkan bayangan pada
permukaan modul fotovoltaik.
2-27
• Tidak memerlukan lahan tambahan, karena modul surya diletakkan di atas atap,
sehingga :
- Nilai investasi sistem PLTS jadi lebih murah.
- Tidak menggangu landscape bangunan dan menghalangi kegiatan atau
aktivitas sehari-hari.
- Dekat dengan pelanggan/dekat dengan jala-jala listrik, karena pelanggan
langsung di bawah sistem pembangkit, sehingga tidak dibutuhkan biaya
transmisi/distribusi.
maka perlu dilakukan pemetaan potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS
Atap) pada bangunan atau gedung komersial yaitu meliputi : Rumah Sakit (kategori
tipe A, B dan C); Hotel (kategori hotel budget dan bintang); Pusat Perbelanjaan
(kategori supermarket dan supermall) dan Gedung Perkantoran (kategori kecil-
menengah dan besar).
2-28
Pemetaan potensi PLTS Atap pada bangunan atau gedung komersial dilakukan pada 7
lokasi kota besar/propinsi yang meliputi 3 pulau yaitu : kota Pekan Baru dan kota
Medan (pulau Sumatera), Jabodetabek, kota Bandung, kota Semarang dan kota
Surabaya (pulau Jawa) dan kota di pulau Bali.
2-29
3 INTENSITAS ENERGI BANGUNAN KOMERSIAL
Objek Gedung yang berhasil dikontak sebanyak 475 gedung, dimana jumlah ini
melebihi target jumlah populasi sebanyak 272 gedung. Namun hanya 204 gedung yang
3-1
bersedia disurvey dan memiliki data yang valid. Sementara 267 objek atau sekitar 56%
tidak bersedia disurvey dan data 4 gedung tidak valid. Grafik berikut ini menyajikan
jumlah objek survey untuk tiap lokasi.
Total jumlah Gedung yang disurvey dan memiliki data yang valid sebanyak 204 gedung
terdiri dari 82 hotel, 48 gedung perkantoran, 21 pusat perbelanjaan dan 53 rumah
sakit. Gedung yang disurvei ini tersebar di 7 lokasi. Distribusi per sektor dan lokasi
seperti ditampilkan pada gambar berikut ini.
Distribusi objek Gedung yang disurvey berdasarkan wilayah terdiri dari 17 objek
Gedung di Bali, 81 objek Gedung di Jabodetabek, 11 gedung di Pekanbaru, 21 Gedung
3-2
di Bandung, 32 gedung di Semarang, 29 Gedung di Surabaya dan 13 Gedung di Medan.
Rincian distribusi berdasarkan kategori per wilayah dapat dilihat pada gambar
berikkut ini.
Kapasitas daya terpasang dari objek yang disurvei terdiri dari 100 objek dibawah 700
kVA dan 103 objek diatas 700 kVA. Sekitar 1 objek Gedung, data tidak tersedia.
3-3
Selain pemakaian energi listrik, gedung komersial juga menggunakan energi lainnya
diantaranya solar dan LPG. Solar biasanya digunakan sebagai bahan bakar diesel
generator yang dioperasikan sebagai backup power saat sumber listrik dari PLN
mengalami pemadaman. Selain itu di beberapa Gedung seperti hotel, solar juga
digunakan sebagai bahan bakar di boiler. Pemakaian gas LPG umumnya digunakan
sebagai bahan bakar di pantry.
Distribusi konsumsi energi total Gedung dari objek survey berdasarkan diperoleh
sebagai berikut:
Dari 204 objek yang disurvey, sekitar 35 objek Gedung yang mengkonsumsi energi
lebih dari 500 TOE atau sekitar 17,16%, didominasi oleh pusat perbelanjaan dan hotel.
Sementara Gedung yang mengkonsumsi energi dibawah 250 TOE sekitar 139 objek
atau sekitar 68,14%.
Bila ditinjau dari energi yang digunakan, konsumsi energi didominasi oleh Pusat
perbelanjaan dan hotel dengan konsumsi energi diatas 500 TOE yaitu sekitar 63,2%
seperti terlihat pada gambar berikut ini.
3-4
Gambar 3.7. Persentase Konsumsi Energi Gedung
Gambar 3.8. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi per Kategori
Secara total, dari 204 gedung yang disurvei, total luasan Gedung (Gross Floor Area -
GFA) adalah 3.782.547,50 m² dan total konsumsi energi tahunan sebesar 67.507,08
TOE yang telah berkontribusi dalam survey benchmarking ini sabagai bahan acuan
revisi Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009.
3-5
3.4 Pengguna Energi Signifikan Gedung Komersial
Peralatan-peralatan pengguna energi di setiap gedung komersial sangat beragam.
Setiap peralatan memiliki besaran energi yang berbeda-beda, baik karena kapasitas
dayanya maupun karena jumlah waktu operasionalnya yang berbeda-beda. Dalam hal
pelaksanaan manajemen energi, peralatan-peralatan tersebut dipisahkan berdasarkan
fungsinya dan diurutkan berdasarkan penggunaan energinya, dimana peralatan yang
menggunakan energi yang paling besar menempati urutan pertama. Hal ini dinamakan
Significant Energy Use (SEU) atau peralatan pengguna energi signifikan. Peralatan
pengguna energi signifikan pada bangunan komersial tersebut dibagi dalam beberapa
kategori, diantaranya :
1. Pengkondisi Udara
2. Lampu dan Stop kontak (Peralatan listrik kantor)
3. Lift dan eskalator
4. Lain-lain
Dari hasil survey Bencmarking Specific Energy Consumption yang dilakukan pada
bangunan komersial, didapatkan data-data peralatan pengguna energi yang dapat
dibuat persentase penggunaan energi dari masing-masing kategori tersebut, berikut
grafik pengguna energi signifikan dari setiap kategori obyek survey.
Gedung
Perkantoran
64.1% 25.0% 6.8%4.0%
Pengkondisi Udara Lampu & Stop Kontak Lift & Eskalator Lain-lain
3-6
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa peralatan pengguna energi paling signifikan dari
setiap gedung komersial adalah peralatan pengkondisi udara, dengan rata-rata
penggunaan energi diatas 62%, kemudian diikuti oleh lampu dan stop kontak, Lift dan
eskalator dan peralatan listrik lainnya. Gedung komersial yang menggunakan
peralatan pengkondisi udara paling besar adalah hotel sebesar 66,3% sedangkan yang
paling kecil adalah pusat perbelanjaan sebesar 62,9%. Untuk peralatan lampu dan stop
kontak persentase penggunaan energinya yang paling besar adalah Rumah Sakit
sebesar 27% kemudian diikuti Pusat Perbelanjaan sebesar 26,8%. Untuk peralatan
stop kontak pada rumah sakit, selain diisi dengan peralatan listrik kantor, juga terdapat
peralatan medis yang mengkonsumsi energi cukup besar, sedangkan pada pusat
perbelanjaan diisi peralatan-peralatan listrik yang digunakan oleh tenant-tenant di
pusat perbelanjaan.
Angka yang menunjukkan jumlah energi yang dikonsumsi (dalam kWh) untuk setiap
m2 luas bangunan yang terkondisikan dengan sistem pendingin udara per tahun
ataupun terhadap luasan total gedung (tidak termasuk parkir).
Untuk tujuan benchmark, IKE atau Energy Utilisation Index (EUI) dapat digunakan oleh
pengelola bangunan sebagai pembanding kondisi gedung bangunannya dibandingkan
dengan gedung-gedung bangunan lain dalam hal kinerja pemakaian energi.
Dari 204 objek Gedung yang disurvey, dilakukan perhitungan intensitas konsumsi
energi di masing-masing Gedung. Hasil analisis ini ditabulasi dan dibuat distribusi IKE
seperti terlihat pada gambar berikut ini.
3-7
Gambar 3.10. IKE Gedung Komersial
Dari 204 gedung yang disurvey, ditentukan IKE untuk masing-masing Gedung dan
ditabulasi. Berikut ini ditampilkan distribusi IKE Gedung yang terkondisi dan IKE
Gedung total.
3-8
Gambar 3.11. Distribusi IKE Gedung [Luasan terkondisi]
IKE Gedung terkondisi dihitung dari konsumsi energi listrik tahunan dibagi dengan
luasan area yang dikondisikan. Sementara IKE Gedung GFA adalah konsumsi energi
total dibagi dengan luasan Gedung total tidak termasuk area parkir.
Distribusi ini memiliki pola yang hampir sama antara IKE terkondisi dengan IKE GFA.
Ini disebabkan karena penggunaan energi terbesar adalah energi listrik.
Klasifikasi IKE dibagi dalam kelas interval 0-500 kWh/m2/thn dengan range 100
kWh/m2/thn. Untuk kategori hotel, dari 82 hotel yang disurvei diperoleh bahwa
3-9
jumlah Gedung yang berada direntang 0-200 kWh/m2/thn sebanyak 54 gedung.
Sementara hotel yang memiliki IKE diatas 200 kWh/m2/thn sebanyak 28 gedung.
Untuk kategori Gedung perkantoran, dari 48 gedung yang disurvey diperoleh bahwa
jumlah Gedung yang berada direntang 0-200 kWh/m2/thn sebanyak 34 gedung.
Sementara perkantoran yang memiliki IKE diatas 200 kWh/m2/thn sebanyak 14
gedung.
Untuk kategori Pusat Perbelanjaan, dari 21 gedung yang disurvey diperoleh bahwa
jumlah Gedung yang berada direntang 0-200 kWh/m2/thn sebanyak 6 gedung.
Sementara pusat perbelanjaan yang memiliki IKE diatas 200 kWh/m2/thn sebanyak
15 gedung. Untuk kategori Rumah Sakit, dari 53 gedung yang disurvey diperoleh
bahwa jumlah Gedung yang berada direntang 0-200 kWh/m2/thn sebanyak 34 gedung.
Sementara Rumah Sakit yang memiliki IKE diatas 200 kWh/m2/thn sebanyak 19
gedung.
Distribusi IKE Gedung berdasarkan klasifikasi luasan bangunan dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Dari 204 objek yang disurvei, ada 58 objek yang memiliki luasan bangunan antara
1000-5000 m2 dan 146 objek memiliki luasan diatas 5000 m2. Intensitas konsumsi
energi terbanyak berada di bawah 200 kWh/m2/thn yaitu 30 objek untuk luasan 1000-
5000 m2 dan 98 objek untuk luasan diatas 5000 m2.
3-10
Intensitas konsumsi energi hasil survey terhadap 204 gedung di 7 wilayah indonesia
dan benchmarking terhadap negara-negara ASEAN serta hasil studi terdahulu dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
IKE hasil survey terhadap 204 gedung untuk masing-masing kategori akan dibahas
lebih lanjut pada bab berikutnya.
3-11
Gambar 3.14. Intensitas Energi terhadap CDD di beberapa Lokasi
Temperature reference yang digunakan untuk menghitung CDD adalah 24 OC dan data
tersebut diperoleh dari degreedays.net. Dari gambar diatas terlihat bahwa IKE rata-
rata sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Namun untuk wilayah Bandung yang
memiliki udara lebih dingin, IKE rata-rata tidak mengalami penurunan. Ini disebabkan
karena Gedung di Bandung membutuhkan energi untuk kebutuhan pemanasan seperti
air hangat yang lebih besar dibanding wilayah lain yang iklimnya lebih hangat.
Kebutuhan air hangat ini disuplai oleh heat pump ataupun boiler.
IKE rata-rata di tujuh wilayah survei untuk masing-masing kategori ditunjukkan pada
gambar berikut ini
3-12
Gambar 3.15. IKE rata-rata berdasarkan kategori Gedung di 7 wilayah survey
Dari keempat kategori, Semarang memiliki IKE rata-rata tertinggi untuk kategori Hotel,
Perkantoran dan Pusat Perbelanjaan dibandingkan wilayah survey lainnya.
IKE rata-rata tertinggi untuk kategori hotel ada di wilayah survey Semarang sebesar
223,13 kWh/m2/thn dan IKE rata-rata terendah ada di wilayah survey Pekanbaru
sebesar 179,29 kWh/m2/thn. Seperti Hotel, wilayah yang memiliki IKE rata-rata
tertinggi dan terendah untuk kategori perkantoran adalah Semarang dan Pekanbaru,
yaitu sebesar 200,24 kWh/m2/thn dan 87,87 kWh/m2/thn.
Sementara untuk Pusat perbelanjaan, IKE rata-rata tertinggi ada di wilayah survey
Bandung sebesar 385,98 kWh/m2/thn dan IKE rata-rata terendah ada di wilayah
survey Pekanbaru. Untuk Rumah Sakit, IKE rata-rata tertinggi ada di wilayah survey
Semarang sebesar 219,63 kWh/m2/thn dan IKE rata-rata terendah ada di wilayah
Survey Bali sebesar 102,88 kWh/m2/thn.
A. JABODETABEK
Total jumlah Gedung yang disurvey di JABODETABEK sebanyak 81 gedung terdiri dari
16 hotel, 30 gedung perkantoran, 10 pusat perbelanjaan dan 25 rumah sakit. Distribusi
per sektor seperti ditampilkan pada gambar berikut ini.
3-13
Gambar 3.16. Populasi Gedung hasil survey di JABODETABEK
IKE rata-rata di JABODETABEK masih berada diatas rata-rata IKE Gedung di Indonesia
untuk semua kategori. IKE GFA rata-rata Gedung di JABODETABEK sebesar 215,18
kWh/m2/thn dan IKE Terkondisi sebesar 245,35 kWh/m2/thn seperti terlihat pada
Gambar 3.14.
IKE GFA Hotel di JABODETABEK 217,52 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil
survey sebesar 208,15 kWh/m2/thn. IKE GFA Perkantoran sebesar 195,35
kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,95 kWh/m2/thn. IKE GFA
Pusat Perbelanjaan sebesar 324,08 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey
sebesar 286,54 kWh/m2/thn. IKE GFA Rumah sakit sebesar 193,93 kWh/m2/thn
dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,81 kWh/m2/thn.
3-14
B. PEKANBARU
Total jumlah Gedung yang disurvey di Pekanbaru sebanyak 11 gedung terdiri dari 4
hotel, 1 gedung perkantoran, 3 pusat perbelanjaan dan 3 rumah sakit. Distribusi per
sektor seperti ditampilkan pada gambar berikut ini.
IKE rata-rata di Pekanbaru sebagian besar berada dibawah rata-rata IKE Gedung di
Indonesia. IKE GFA rata-rata Gedung di Pekanbaru sebesar 179,34 kWh/m2/thn dan
IKE Terkondisi sebesar 244,06 kWh/m2/thn seperti terlihat pada Gambar 3.14..
IKE GFA Hotel di Pekanbaru 179,29 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey
sebesar 208,15 kWh/m2/thn. IKE GFA Perkantoran sebesar 87,87 kWh/m2/thn
dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,95 kWh/m2/thn. IKE GFA Pusat
3-15
Perbelanjaan sebesar 170,02 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar
286,54 kWh/m2/thn. IKE GFA Rumah sakit sebesar 219,22 kWh/m2/thn dimana rata-
rata IKE hasil survey sebesar 180,81 kWh/m2/thn.
C. BALI
Total jumlah Gedung yang disurvey di Bali sebanyak 17 gedung terdiri dari 12 hotel, 1
pusat perbelanjaan dan 4 rumah sakit. Objek survey untuk kategori Gedung
perkantoran di wilayah Bali tidak tersedia. Distribusi per sektor seperti ditampilkan
pada gambar berikut ini.
3-16
IKE rata-rata di Bali sebagian besar berada dibawah rata-rata IKE Gedung di Indonesia.
IKE GFA rata-rata Gedung di Bali sebesar 173,47 kWh/m2/thn dan IKE Terkondisi
sebesar 221,00 kWh/m2/thn seperti terlihat pada Gambar 3.14..
IKE GFA Hotel di Bali 186,57 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar
208,15 kWh/m2/thn. IKE GFA Pusat Perbelanjaan sebesar 298,58 kWh/m2/thn
dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 286,54 kWh/m2/thn. IKE GFA Rumah sakit
sebesar 102,88 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,81
kWh/m2/thn.
D. BANDUNG
Total jumlah Gedung yang disurvey di Bandung sebanyak 21 gedung terdiri dari 16
hotel, 1 gedung perkantoran, 1 pusat perbelanjaan dan 3 rumah sakit. Distribusi per
sektor seperti ditampilkan pada gambar berikut ini.
3-17
Gambar 3.23. IKE Bangunan Komersial di Bandung
IKE rata-rata untuk hotel dan rumah sakit di Bandung berada diatas rata-rata IKE
Gedung di Indonesia. IKE GFA rata-rata Gedung di Bandung sebesar 202,54
kWh/m2/thn dan IKE Terkondisi sebesar 216,60 kWh/m2/thn seperti terlihat pada
Gambar 3.14.
IKE GFA Hotel di Bandung sebesar 202,27 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil
survey sebesar 208,15 kWh/m2/thn. IKE GFA Perkantoran sebesar 216,85
kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,95 kWh/m2/thn. IKE GFA
Pusat Perbelanjaan sebesar 385,98 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey
sebesar 286,54 kWh/m2/thn. IKE GFA Rumah sakit sebesar 138,05 kWh/m2/thn
dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,81 kWh/m2/thn.
E. SEMARANG
Total jumlah Gedung yang disurvey di Semarang sebanyak 32 gedung terdiri dari 18
hotel, 7 gedung perkantoran, 1 pusat perbelanjaan dan 6 rumah sakit. Distribusi per
sektor seperti ditampilkan pada gambar berikut ini.
3-18
Gambar 3.24. Populasi Gedung hasil survey di Semarang
IKE rata-rata gedung di Semarang berada diatas rata-rata IKE Gedung di Indonesia
untuk semua kategori. IKE GFA rata-rata Gedung di Semarang sebesar 219,49
kWh/m2/thn dan IKE Terkondisi sebesar 243,44 kWh/m2/thn seperti terlihat pada
Gambar 3.14.
IKE GFA Hotel di Semarang sebesar 223,13 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil
survey sebesar 208,15 kWh/m2/thn. IKE GFA Perkantoran sebesar 200,24
kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,95 kWh/m2/thn. IKE GFA
Pusat Perbelanjaan sebesar 287,85 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey
3-19
sebesar 286,54 kWh/m2/thn. IKE GFA Rumah sakit sebesar 219,63 kWh/m2/thn
dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,81 kWh/m2/thn.
F. SURABAYA
Total jumlah Gedung yang disurvey di Surabaya sebanyak 29 gedung terdiri dari 10
hotel, 6 gedung perkantoran, 4 pusat perbelanjaan dan 9 rumah sakit. Distribusi per
sektor seperti ditampilkan pada gambar berikut ini.
3-20
IKE rata-rata gedung di Surabaya berada dibawah rata-rata IKE Gedung di Indonesia.
IKE GFA rata-rata Gedung di Surabaya sebesar 182,88 kWh/m2/thn dan IKE
Terkondisi sebesar 198,24 kWh/m2/thn seperti terlihat pada Gambar 3.14.
IKE GFA Hotel di Surabaya sebesar 216,89 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil
survey sebesar 208,15 kWh/m2/thn. IKE GFA Perkantoran sebesar 127,87
kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,95 kWh/m2/thn. IKE GFA
Pusat Perbelanjaan sebesar 234,33 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey
sebesar 286,54 kWh/m2/thn. IKE GFA Rumah sakit sebesar 158,91 kWh/m2/thn
dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,81 kWh/m2/thn.
G. MEDAN
Total jumlah Gedung yang disurvey di Medan sebanyak 13 gedung terdiri dari 6 hotel,
3 gedung perkantoran, 1 pusat perbelanjaan dan 3 rumah sakit. Distribusi per sektor
seperti ditampilkan pada gambar berikut ini.
3-21
Gambar 3.29. IKE Bangunan Komersial di Medan
IKE rata-rata gedung di Medan berada dibawah rata-rata IKE Gedung di Indonesia. IKE
GFA rata-rata Gedung di Medan sebesar 186,30 kWh/m2/thn dan IKE Terkondisi
sebesar 213,72 kWh/m2/thn seperti terlihat pada Gambar 3.14.
IKE GFA Hotel di Medan sebesar 201,78 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil
survey sebesar 208,15 kWh/m2/thn. IKE GFA Perkantoran sebesar 117,14
kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,95 kWh/m2/thn. IKE GFA
Pusat Perbelanjaan sebesar 356,74 kWh/m2/thn dimana rata-rata IKE hasil survey
sebesar 286,54 kWh/m2/thn. IKE GFA Rumah sakit sebesar 167,68 kWh/m2/thn
dimana rata-rata IKE hasil survey sebesar 180,81 kWh/m2/thn.
3-22
Gambar 3.30. Pengaruh jumlah pengguna Gedung terhadap konsumsi energinya
Secara statistik, korelasi antara jumlah pengguna Gedung terhadap konsumsi energi
nya tidak cukup baik seperti dirangkum dalam Tabel 3.4.
Selain jumlah pengguna Gedung, konsumsi energi juga dipengaruhi oleh luasan
bangunan, seperti ditampilkan pada grafik berikut ini.
Secara statistik, korelasi antara luasan Gedung terhadap konsumsi energi nya lebih
baik dibandingkan dengan jumlah pengguna Gedung. Namun masih ada kriteria yg
belum memenuhi. Oleh karena itu, dilihat pengaruh kedua varibel terhadap
penggunaan energi Gedung. Secara statistik memiliki korelasi yang lebih baik namun
3-23
masih ada satu kriteria yang tidak terpenuhi seperti dirangkum dalam Tabel 3.4
berikut ini.
3-24
4 INTENSITAS ENERGI DI HOTEL
4-1
Gambar 4.2. Distribusi Kapasitas Daya Terpasang Objek Hotel
Kapasitas daya terpasang dari objek Hotel yang disurvei terdiri dari 46 objek dibawah
700 kVA dan 35 objek diatas 700 kVA.
Selain pemakaian energi listrik, energi lain yang digunakan di Hotel diantaranya solar
dan LPG. Solar biasanya digunakan sebagai bahan bakar diesel generator yang
dioperasikan sebagai backup power saat sumber listrik dari PLN mengalami
pemadaman. Selain itu di beberapa hotel, solar juga digunakan sebagai bahan bakar di
boiler. Pemakaian gas LPG umumnya digunakan sebagai bahan bakar di pantry.
Distribusi konsumsi energi total Gedung dari Hotel yang disurvey sebagai berikut:
4-2
Dari 82 objek Hotel yang disurvey, sekitar 12 objek Hotel yang mengkonsumsi energi
lebih dari 500 TOE atau sekitar 14,6%, dan didominasi oleh hotel bintang 4 dan bintang
5. Sementara Gedung yang mengkonsumsi energi dibawah 250 TOE sekitar 58 objek
atau sekitar 70,7%.
Bila ditinjau dari energi yang digunakan, konsumsi energi didominasi oleh Gedung
dengan konsumsi energi diatas 500 TOE yaitu sekitar 50,5% seperti terlihat pada
gambar berikut ini.
4-3
Gambar 4.5. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi Hotel
Secara total, dari 82 Hotel yang disurvei, total luasan Gedung (Gross Floor Area - GFA)
adalah 1.250.150,86 m² dan total konsumsi energi tahunan sebesar 21.488,22 TOE.
4-4
Dari gambar diatas dapat dilihat selain pengkondisi udara, pengguna energi signifikan
selanjutya adalah lampu dan stop kontak sebesar 20,7%. Dimana pada kategori stop
kontak, beban listrik yang dimasukkan adalah peralatan listrik rumah tangga seperti
televisi, lemari pendingin, dispenser dan lain-lain yang ada pada kamar hotel dan lokasi
lainnya di dalam hotel. Sedangkan pada kategori lain-lain, beban listrik yang
dimasukkan adalah beban-beban listrik seperti pompa dan heatpump.
4-5
bottom quartile (antara 76-100% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE lebih
dari 146,19 kWh/m2/tahun.
Tabel 4.2. Benchmark Intensitas Energi Hotel [GFA] di Indonesia dan Singapura
RANGE IKE
IKE
JUMLAH Top
HOTEL RATA- 2nd Quartile 3rd Quartile Bottom Quartile
GEDUNG Quartile
RATA (26%-50%) (51%-75%) (76%-100%)
(1-25%)
BUDGET 11 119,31 <91,30 91,30 - 119,43 119,43 - 146,19 >146,19
BINTANG
26 206,54 <136,97 136,97 - 183,94 183,94 - 211,79 >211,79
3
BINTANG
INDONESIA 30 239,57 <156,55 156,55 - 185,12 185,12 - 272,77 >272,77
4
BINTANG
15 213,29 <155,96 155,96 - 193,31 193,31 - 239,42 >239,42
5
HOTEL 82 208,15 <135,00 135,00 - 178,49 178,49 - 227,44 >227,44
LARGE 76 267 <228 228 – 268 268 – 323 >323
SINGAPURA
SMALL 215 275 <181 181 - 247 247 - 348 >348
4-6
51-75% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 185,12 - 272,77
kWh/m2/tahun, serta bottom quartile (antara 76-100% populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE lebih dari 272,77 kWh/m2/tahun.
4-7
5 INTENSITAS ENERGI DI RUMAH SAKIT
5-1
Gambar 5.2. Distribusi Kapasitas Daya Terpasang Objek Rumah Sakit
Kapasitas daya terpasang dari objek Rumah Sakit yang disurvei terdiri dari 29 objek
dibawah 700 kVA dan 24 objek diatas 700 kVA.
Selain pemakaian energi listrik, energi lain yang digunakan di Rumah Sakit diantaranya
solar dan LPG. Solar biasanya digunakan sebagai bahan bakar diesel generator yang
dioperasikan sebagai backup power saat sumber listrik dari PLN mengalami
pemadaman. Selain itu di beberapa rumah sakit, solar juga digunakan sebagai bahan
bakar di boiler. Pemakaian gas LPG umumnya digunakan sebagai bahan bakar di
pantry.
Distribusi konsumsi energi total rumah sakit yang disurvey sebagai berikut:
5-2
Dari 53 objek rumah sakit yang disurvey, sekitar 6 objek rumah sakit yang
mengkonsumsi energi lebih dari 500 TOE atau sekitar 11,3%. Sementara Gedung yang
mengkonsumsi energi dibawah 250 TOE sekitar 38 objek atau sekitar 71,7%.
Bila ditinjau dari energi yang digunakan, konsumsi energi didominasi oleh Gedung
dengan konsumsi energi diatas 500 TOE yaitu sekitar 39,6% seperti terlihat pada
gambar berikut ini.
5-3
Gambar 5.5. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi Rumah Sakit
Secara total, dari 53 rumah sakit yang disurvei, total luasan Gedung (Gross Floor Area -
GFA) adalah 921533,86 m² dan total konsumsi energi tahunan sebesar 12.087,55 TOE.
Pengkondisi
Udara, 63.9%
5-4
Dari gambar diatas dapat dilihat selain pengkondisi udara, pengguna energi signifikan
selanjutya adalah lampu dan stop kontak sebesar 27%. Dimana pada kategori stop
kontak, beban listrik yang dimasukkan adalah peralatan listrik rumah tangga seperti
televisi, lemari pendingin, dispenser dan lain-lain yang ada pada kamar Rumah Sakit
dan lokasi lainnya di dalam Rumah Sakit serta peralatan-peralatan medis yang
memang mengkonsumsi energi cukup besar dibandingkan peralatan listrik rumah
tangga. Sedangkan pada kategori lain-lain, beban listrik yang dimasukkan adalah
beban-beban listrik seperti pompa dan heatpump.
Untuk rumah sakit kelas A, IKE rata-rata sebesar 101,72 kWh/m2/thn. Dari 10 Gedung
rumah sakit kelas A, top quartile (atau 25% tertinggi dari populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE kurang dari 63,39 kWh/m2/tahun. Sementara 2nd quartile (antara
26-50% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 63,39 - 85,66
kWh/m2/tahun. Dua kelompok gedung tersebut merupakan kelompok gedung yang
berkinerja relatif lebih baik dari gedung lainnya. Sementara itu, 3rd quartile (antara
51-75% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 85,66 - 108,95
kWh/m2/tahun, serta bottom quartile (antara 76-100% populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE lebih dari 108,95 kWh/m2/tahun.
5-5
Tabel 5.2. Benchmark Energi di Rumah Sakit
Untuk rumah sakit kelas B, IKE rata-rata sebesar 226,55 kWh/m2/thn. Dari 18 Gedung
rumah sakit kelas B, top quartile (atau 25% tertinggi dari populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE kurang dari 143,87 kWh/m2/tahun. Sementara 2nd quartile
(antara 26-50% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 143,87 - 264,36
kWh/m2/tahun. Dua kelompok gedung tersebut merupakan kelompok gedung yang
berkinerja relatif lebih baik dari gedung lainnya. Sementara itu, 3rd quartile (antara
51-75% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 204,68 - 221,29
kWh/m2/tahun, serta bottom quartile (antara 76-100% populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE lebih dari 221,29 kWh/m2/tahun.
Sementara untuk rumah sakit kelas C, IKE rata-rata sebesar 179,50 kWh/m2/thn. Dari
25 Gedung rumah sakit kelas C, top quartile (atau 25% tertinggi dari populasi) adalah
gedung-gedung dengan IKE kurang dari 122,14 kWh/m2/tahun. Sementara 2nd
quartile (antara 26-50% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 122,14 -
163,32 kWh/m2/tahun. Dua kelompok gedung tersebut merupakan kelompok gedung
yang berkinerja relatif lebih baik dari gedung lainnya. Sementara itu, 3rd quartile
(antara 51-75% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 163,32 - 209,18
kWh/m2/tahun, serta bottom quartile (antara 76-100% populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE lebih dari 209,18 kWh/m2/tahun.
5-6
6 INTENSITAS ENERGI DI PUSAT PERBELANJAAN
6-1
Gambar 6.2. Distribusi Kapasitas Daya Terpasang Objek Pusat Perbelanjaan
Kapasitas daya terpasang dari objek pusat perbelanjaan yang disurvei terdiri dari 4
objek dibawah 700 kVA dan 17 objek diatas 700 kVA.
Selain pemakaian energi listrik, energi lain yang digunakan di pusat perbelanjaan
diantaranya solar dan LPG. Solar biasanya digunakan sebagai bahan bakar diesel
generator yang dioperasikan sebagai backup power saat sumber listrik dari PLN
mengalami pemadaman. Pemakaian gas LPG umumnya digunakan sebagai bahan
bakar di pantry.
Distribusi konsumsi energi total pusat perbelanjaan yang disurvey sebagai berikut:
6-2
Dari 21 objek pusat perbelanjaan yang disurvey, sekitar 15 objek pusat perbelanjaan
yang mengkonsumsi energi lebih dari 500 TOE atau hampir 71,4%, dan didominasi
oleh Supermall. Sementara Gedung yang mengkonsumsi energi dibawah 250 TOE
sekitar 6 objek atau sekitar 28,6%.
Bila ditinjau dari energi yang digunakan, konsumsi energi didominasi oleh Gedung
dengan konsumsi energi diatas 500 TOE yaitu sekitar 97,3% seperti terlihat pada
gambar berikut ini.
6-3
Gambar 6.5. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi Pusat Perbelanjaan
Secara total, dari 21 pusat perbelanjaan yang disurvei, total luasan Gedung (Gross Floor
Area - GFA) adalah 1.069.255,46 m² dan total konsumsi energi tahunan sebesar
26.402,28 TOE.
6-4
Dari gambar diatas dapat dilihat selain pengkondisi udara, pengguna energi signifikan
selanjutya adalah lampu dan stop kontak sebesar 26,8%. Dimana pada kategori stop
kontak, beban listrik yang dimasukkan adalah peralatan listrik rumah tangga seperti
televisi, lemari pendingin, dispenser dan lain-lain yang ada pada Pusat Perbelanjaan
dan lokasi lainnya di dalam Pusat Perbelanjaan serta peralatan-peralatan listrik yang
digunakan oleh tenant-tenant seperti untuk penyimpanan dan pengolahan makan dan
minuman serta arena bermain dan lain-lain. Sedangkan pada kategori lain-lain, beban
listrik yang dimasukkan adalah beban-beban listrik seperti pompa.
6-5
kWh/m2/tahun, serta bottom quartile (antara 76-100% populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE lebih dari 366,28 kWh/m2/tahun.
Tabel 6.2. Benchmark Intensitas Energi Pusat Perbelanjaan[GFA] di Indonesia dan Singapura
RANGE IKE
IKE Top
JUMLAH Bottom
PUSAT PERBELANJAAN RATA- Quartile 2nd Quartile 3rd Quartile
GEDUNG Quartile
RATA (1- (26%-50%) (51%-75%)
(76%-100%)
25%)
6-6
7 INTENSITAS ENERGI DI PERKANTORAN
7-1
Gambar 7.2. Distribusi Kapasitas Daya Terpasang Objek Perkantoran
Kapasitas daya terpasang dari objek perkantoran yang disurvei terdiri dari 21 objek
dibawah 700 kVA dan 27 objek diatas 700 kVA.
Selain pemakaian energi listrik, energi lain yang digunakan di perkantoran adalah
solar. Solar biasanya digunakan sebagai bahan bakar diesel generator yang
dioperasikan sebagai backup power saat sumber listrik dari PLN mengalami
pemadaman.
Distribusi konsumsi energi total Gedung perkantoran yang disurvey sebagai berikut:
Dari 48 objek Gedung perkantoran yang disurvey, hanya 2 objek Gedung yang
mengkonsumsi energi lebih dari 500 TOE atau sekitar 4,2%. Sementara Gedung yang
mengkonsumsi energi dibawah 250 TOE sekitar 37 objek atau sekitar 77,1%.
Bila ditinjau dari energi yang digunakan, konsumsi energi didominasi oleh Gedung
dengan konsumsi energi dibawah 250 TOE yaitu sekitar 41,4%. Sementara Gedung
7-2
dengan konsumsi diatas 500 TOE hanya 18,3% seperti terlihat pada gambar berikut
ini.
Gambar 7.5. Total Luasan Gedung dan Total Konsumsi Energi Perkantoran
7-3
Secara total, dari 48 Perkantoran yang disurvei, total luasan Gedung (Gross Floor Area
- GFA) adalah 541.607,32 m² dan total konsumsi energi tahunan sebesar 7.529,01 TOE.
Dari gambar diatas dapat dilihat selain pengkondisi udara, pengguna energi signifikan
selanjutya adalah lampu dan stop kontak sebesar 25%. Dimana pada kategori stop
kontak, beban listrik yang dimasukkan adalah peralatan listrik rumah tangga seperti
televisi, lemari pendingin, dispenser, computer, mesin fotocopy dan lain-lain yang ada
pada Gedung Perkantoran dan lokasi lainnya di dalam Gedung Perkantoran. Sedangkan
pada kategori lain-lain, beban listrik yang dimasukkan adalah beban-beban listrik
seperti pompa.
7-4
7.4 Intensitas Konsumsi Energi
Berdasarkan analisis terhadap 48 Perkantoran dengan sub kategori Gedung Menengah
sebanyak 22 gedung dan Gedung Besar sebanyak 26 gedung maka diperoleh hasil
benchmark gedung-gedung tersebut seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Untuk Gedung Menengah, IKE rata-rata sebesar 213,27 kWh/m2/thn. Dari 22 Gedung
Menengah, top quartile (atau 25% tertinggi dari populasi) adalah gedung-gedung
dengan IKE kurang dari 101,49 kWh/m2/tahun. Sementara 2nd quartile (antara 26-
50% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 101,49 - 161,75
kWh/m2/tahun. Dua kelompok gedung tersebut merupakan kelompok gedung yang
berkinerja relatif lebih baik dari gedung lainnya. Sementara itu, 3rd quartile (antara
51-75% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 161,75 - 297,13
kWh/m2/tahun, serta bottom quartile (antara 76-100% populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE lebih dari 297,13 kWh/m2/tahun.
Tabel 7.2. Benchmark Intensitas Energi Pusat Perbelanjaan[GFA] di Indonesia dan Singapura
RANGE IKE
IKE Top
JUMLAH Bottom
PERKANTORAN RATA- Quartile 2nd Quartile 3rd Quartile
GEDUNG Quartile
RATA (1- (26%-50%) (51%-75%)
(76%-100%)
25%)
7-5
Sementara untuk Gedung Besar, IKE rata-rata sebesar 153,60 kWh/m2/thn. Dari 26
Gedung Besar, top quartile (atau 25% tertinggi dari populasi) adalah gedung-gedung
dengan IKE kurang dari 118,22 kWh/m2/tahun. Sementara 2nd quartile (antara 26-
50% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 118,22 - 148,08
kWh/m2/tahun. Dua kelompok gedung tersebut merupakan kelompok gedung yang
berkinerja relatif lebih baik dari gedung lainnya. Sementara itu, 3rd quartile (antara
51-75% populasi) adalah gedung-gedung dengan IKE antara 148,08 - 192,53
kWh/m2/tahun, serta bottom quartile (antara 76-100% populasi) adalah gedung-
gedung dengan IKE lebih dari 192,53 kWh/m2/tahun.
7-6
8 POTENSI SURYA ATAP
▪ Dak beton,
▪ Genteng, seng atau spandek.
Untuk atap yang berupa dak benton biasanya difungsikan juga sebagai penempatan
peralatan/utilitas pendukung dari bangunan gedung tersebut, sehingga mempunyai
struktur pendukung yang kuat. Sedangkan untuk atap jenis genteng/spandek kekuatan
struktur pendukung penyangga atapnya tergantung dari bahan dan konstruksinya.
Pada umumnya struktur penyangga atap genteng atau spandek terbuat dari
konstruksi/rangkaian baja, kayu maupun rangkaian baja ringan.
8-1
luasan atap yang berpotensi untuk penempatan komponen modul surya pada system
PLTS.
Dalam melakukan perhitungan kapasitas potensi PLTS pada luasan atap, diasumsikan
setiap 1 KWp memerlukan luasan 10 m2 (sudah termasuk mempertimbangkan area
untuk akses instalasi, pemeliharaan dll). Hasil Pemetaan Potensi PLTS atap dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
8-2
Ada 204 data objek yang dikumpulkan untuk 4 kategori pada 7 lokasi survey yaitu
Pekanbaru, Jabodetabek, Bali, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan yang terdiri
dari Rumah Sakit 53 objek, Hotel 82 objek, Pusat Perbelanjaan 21 objek dan
Perkantoran 48 objek.
Dari total 204 objek yang dilakukan pengumpulan data/survey seperti Tabel 8.1 diatas,
hanya 166 objek yang data potensi luasan atapnya tersedia, sedangkan 26 objek tidak
tersedia. Potensi Total luasan atap untuk PLTS-Atap sebesar 235.834,65 m2 yang dapat
dipasang PLTS dengan kapasitas total sebesar 23.583,47 KWp atau ±23,58 MWp
(dengan asumsi per 1 KWP membutuhkan luas area 10 m2). Namun berdasarkan
Perpres No.49 Tahun 2018 bahwa maksimum pemasangan PLTS Atap adalah sebesar
kontrak daya dengan PLN, Sehingga dengan demikian secara keseluruhan kapasitas
Total PLTS Atap sebesar 22.883,37 KWp (±22,9 MWp).
8-3
Gambar 8.2. Maksimum Kapasitas Terpasang PLTS Atap di Bangunan Komersial
Energi yang dibangkitkan PLTS Atap setiap tahunnya untuk masing masing lokasi
berbeda, hal ini tergantung dari intensitas radiasi matahari setiap lokasi tersebut.
Dengan menggunakan software RETScreen total energy yang dapat dihasilkan dari
PLTS Atap untuk total 166 objek adalah sebesar 23.767,41 MWH (kapaitas PLTS atap
dengan batas kontrak daya PLN).
8-4
Gambar 8.4. Maksimum Kapasitas Terpasang PLTS Atap di Bangunan Komersial
Secara keseluruhan total kapasitas potensi PLTS Atap untuk semua kategori bangunan
komersial adalah sebagai berikut :
8-5
9 KESIMPULAN
Pekerjaan ini telah menyelesaikan survei di 204 objek survei yang terdiri dari 82 hotel,
48 gedung perkantoran, 21 pusat perbelanjaan dan 53 rumah sakit. Gedung yang
disurvei ini tersebar di 7 lokasi kota besar (JABODETABEK, Bandung, Semarang,
Surabaya, Bali, Medan, dan Pekanbaru). Total luasan Gedung yang disurvei (Gross Floor
Area - GFA) adalah 3.782.547,50 m² dan total konsumsi energi tahunan sebesar
67.507,08 TOE, atau sebesar 1,15% terhadap penggunaan energi di sektor komersial.
Dari 204 obyek yang disurvey, sekitar 35 objek Gedung yang konsumsi energinya
setiap gedung lebih dari 500 TOE atau sekitar 17,2%, didominasi oleh pusat
perbelanjaan dan hotel. Sementara Gedung yang mengkonsumsi energi dibawah 250
TOE sekitar 139 objek atau sekitar 68,1%. Nilai rata-rata IKE Gedung komersial di 7
wilayah sebesar 202,72 kWh/m2/thn. Dimana IKE terbaik (Top Quartile/paling hemat)
berada dibawah 125,67 kWh/m2/thn dan IKE terburuk (Bottom Quartile/paling boros)
berada diatas 245,61 kWh/m2/thn seperti ditampilkan pada tabel berikut ini.
9-1
MEDAN 201,78 117,14 356,74 167,68 186,30
Rata-Rata 208,15 180,95 286,54 180,81 202,72
Urutan IKE rata-rata gedung dari 7 kota dimulai dari yang nilainya paling tinggi adalah,
gedung Pusat Perbelanjaan > Hotel >Rumah Sakit> Perkantoran. Khusus untuk IKE
gedung di Jabodetabek untuk semua tipe gedung berada diatas rata-rata IKE hasil
survei di 7 kota
Intensitas konsumsi energi hasil survey terhadap 204 gedung di 7 wilayah indonesia
dan benchmarking terhadap negara-negara ASEAN serta referensi lainnya dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Nilai IKE rata-rata tiap jenis gedung yang disurvei jika di benchmark dengan berbagai
referensi menunjukan bahwa saat ini rata-rata IKE gedung Komersial di Indonesia
telah menuju ke pola penggunaan yang efisien. Indeks konsumsi energi tersebut juga
mengindikasikan perbaikan yang signifikan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu perlu
dilakukan update data IKE gedung ini secara berkala minimal 5 tahun sekali.
Detil distribusi penggunaan energi per jenis gedung terhadap objek yang disurvei
adalah sebagai berikut:
9-2
Pengguna Energi Signifikan di Gedung Komersial
Gedung
Perkantoran
64.1% 25.0% 6.8%4.0%
Pengkondisi Udara Lampu & Stop Kontak Lift & Eskalator Lain-lain
Peralatan pengguna energi paling signifikan dari setiap gedung komersial adalah
peralatan pengkondisi udara, dengan rata-rata penggunaan energi diatas 62%,
kemudian diikuti oleh lampu dan stop kontak, Lift dan eskalator dan peralatan listrik
lainnya.
Dari total 204 objek yang dilakukan pengumpulan data/survey seperti Tabel 8.1 diatas,
hanya 166 objek yang data potensi luasan atapnya tersedia, sedangkan 26 objek tidak
tersedia. Potensi Total luasan atap untuk PLTS-Atap sebesar 235.834,65 m2 yang dapat
dipasang PLTS dengan kapasitas total sebesar 23.583,47 KWp atau ±23,58 MWp
(dengan asumsi per 1 KWP membutuhkan luas area 10 m2). Namun berdasarkan
Perpres No.49 Tahun 2018 bahwa maksimum pemasangan PLTS Atap adalah sebesar
kontrak daya dengan PLN, Sehingga dengan demikian secara keseluruhan kapasitas
Total PLTS Atap sebesar 22.883,37 KWp (±22,9 MWp) dengan perincian per tipe
gedung sebagai berikut:
Tabel 9.4. Maksimum Potensi Kapasitas PLTS Atap Terpasang di 7 Wilayah Survey
9-3
Estimasi investasi yang dibutukan untuk insalasi PLTS adalah sebesar 37 Milyar
Rupiah , dengan asumsi harga real instalasi per KWp adalah Rp.16.000.000
Untuk masing-masing kategori jenis gedung , batasan indek konsumsi energi untuk
gedung efisien berdasarkan hasil survei diusulkan sebagai berikut:
9-4
D AFTAR LITERATUR
B2TE. (2015). Feasibility Study PV Rooftop SMKN di Jakarta, Bandung, Serang dan
Pandeglang. Tangerang Selatan: B2TE.
B2TKE. (2018). Feasibility Study PV rooftop Tanah Putih Tanjung Enim,PT. Bukit Asam
Persero. Tangerang Selatan: B2TKE.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2011). SNI 6197:2011 Konservasi Energi Pada
Sistem Pencahayaan. Jakarta: BSN.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2011). SNI 6390:2011 Konservasi Energi Sistem
Tata Udara Bangunan Gedung. Jakarta: BSN.
Building and Construction Authority (BCA). (2018). BCA Building Energy Benchmarking
Report (Statistics and Figures) 2018. Singapur: uilding and Construction
Authority (BCA).
D-1
JICA Elctric Power Development Co., LTD. (2009). The Study on Energy Conservation
and Efficiency Improvement in The Republic of Indonesia. Jakarta: JICA &
Kementrian ESDM.
Kementerian ESDM. (2017). Statistik Minyak dan Gas Bumi 2016. Jakarta: Direkorat
Jenderal Minyak dan Gas Bumi KESDM.
Kementrian ESDM. (2018). Data dan Informasi Konservasi Energi. Jakarta: Kementriaan
ESDM.
Krarti, M. (2011). Energy Audit of Building Systems (Second Edition). New York: CRC
Press.
Lim, J. (2012, Mei 22). Building Energy Index and Green Building Index Malaysia.
Retrieved from JAPHETHLIM.COM:
http://blog.japhethlim.com/index.php/2012/05/22/building-energy-index-
in-malaysia/
online Weather Data for Energy Professionals. (2019). Retrieved from Degree Days.net:
https://www.degreedays.net/
Peraturan Menteri ESDM No. 49 Tahun 2018 tentang Kapasitas Pemasangan PLTS
Rooftop. (2018). Jakarta: KESDM.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 tentang Kebijakan Energi Nasional. (2014). Jakarta:
Kementerian Sekretariat Negara RI.
Pusat Data dan Teknologi Informasi KESDM. (2019). Handbook of Energy & Economic
Statistics of Indonesia. Jakarta: Kementerian ESDM.
D-2
LAMPIRAN
L-1
LAMPIRAN–1
QUISIONER
L-2
ISIAN KUESIONER
INDEKS KONSUMSI ENERGI DI BANGUNAN GEDUNG KOMERSIAL
Dalam rangka proses revisi PP 70 tahun 2009 tentang konservasi energi yang memerlukan
penetapan benchmarking Specific Energy Consumption (SEC) di sektor bangunan gedung komersial,
Direktorat Konservasi Energi, Ditjen EBTKE KESDM bekerjasama dengan UNDP dan BPPT akan
mengadakan survei tentang konsumsi energi di sektor bangunan gedung komersial untuk kategori
bangunan hotel, rumah sakit, pusat perbelanjaan dan perkantoran serta potensi pemasangan PV
rooftop. Hasil pengumpulan data tersebut akan digunakan sebagai referensi pendukung dalam
mengevaluasi dan memetakan/merancang kebijakan dalam menetapkan benchmark indeks konsumsi
energi untuk setiap jenis bangunan komersial.
L-3
-Sudut kemiringan atap
derajat
gedung
-Potensi bayangan terhalang
%
terhadap atap gedung (..........)
-Orientasi Gedung (arah
gedung)
Luas area yang
A-17 m2
menggunakan AC
A-18 Tinggi Gedung m
A-19 Jumlah Lantai
A-20 Luas Lantai Keseluruhan m2
A-21 Jumlah Pegawai Gedung orang
A-22 Jumlah Tenant unit
A-23 Jam Operasional Gedung jam / hari
Jumlah hari kerja /
A-24 Hari
minggu
Ket :
*Coret yang tidak perlu
1. Kategori menengah (luas bangunan minimal 1000 5000 m2)
Kategori besar (luas bangunan minimal >5000 m2)
2. Supermarket (luas bangunan antara 400 m2 5,000 m2)
Hypermarket (luas bangunan > 5,000 m2)
L-4
Usia Operasi
Tahun
Peralatan
B-5 AC Split Duct
Jumlah Unit
Kapasitas PK
Usia Operasi
Tahun
Peralatan
B-6 AC Split
Jumlah Unit
Kapasitas PK
Usia Operasi
Tahun
Peralatan
B-7 AC Cassette
Jumlah Unit
Kapasitas PK
Usia Operasi
Tahun
Peralatan
Sistem Pemanas
B-8 Boiler
Jumlah Unit
Kapasitas
Bahan Bakar
B-9 Heat Pump
Jumlah Unit
Kapasitas kW
Peralatan Listrik
N0 Nama Kapasitas (Watt) Jumlah
LAMPU
B-10 Lampu LED Bulb
B-11 Lampu LED TL
B-12 Lampu CFL
B-13 Lampu halogen
B-14 Lampu Jalan LED
B-15
B-16
PENDINGIN
B-17 Freezer
L-5
B-18 Lemari Pendingin
B-19
B-20
LAINNYA
B-21 Dispenser
B-22 Komputer
B-23 TV LED
B-24 TV LCD
B-25 TV Tabung
B-26 Pompa
B-27 Mesin Foto copy
B-28 Printer
B-29
PERALATAN MEDIS (Yang Mengkonsumsi Energi Terbesar, khusus untuk Rumah
Sakit)
B-30
B-31
B-32
B-33
B-34
B-35
B-36
B-37
B-38
B-39
B-40
B-41
B-42
B-43
B-44
B-45
B-46
B-47
B-48
B-49
B-50
C. Konsumsi Energi
Bulan 1Konsumsi Energi 2Solar 3LPG 4Air 5Okupansi
L-6
LWBP
WBP (kWh) (Ltr) (Kg) (m3)
(kWh)
Jan-17
Feb-17
Mar-17
Apr-17
May-17
Jun-17
Jul-17
Aug-17
Sep-17
Oct-17
Nov-17
Dec-17
L-7
Sep-19
Okt-19
Nov-19
Des-19
Ket :
1. Dapat dilampirkan dengan copy tagihan listrik
2. Dapat dilampirkan dengan catatan pemakaian solar
3. Dapat dilampirkan dengan catatan pemakaian LPG
4. Dapat dilampirkan dengan copy tagihan penggunaan air
5. Untuk hotel diisi dengan jumlah room sold ; Untuk Rumah Sakit diisi dengan jumlah pasien
rawat jalan + rawat inap ; Untuk Mall diisi dengan jumlah pengunjung ; Untuk Gedung
Perkantoran diisi dengan jumlah pegawai yang hadir + tamu
Penghematan Investasi
Langkah Penghematan Energi
Energi (Rp)
E-1 KWh
E-2 KWh
E-3 KWh
E-4 KWh
E-5 KWh
L-8
LAMPIRAN-6
FAKTOR KONVERSI
L-181
Sumber: Statistik minyak dan gas bumi 2016 (Kementerian ESDM, 2017)
L-182