Anda di halaman 1dari 45

PEMBUATAN PETA SITUASI SKALA 1:5000 DESA

TULUSREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATE


PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN
KOMBINASI METODE GNSS RTK RADIO DAN
FOTOGRAMETRI

TUGAS AKHIR

TA. 2019/2020

Oleh

Brilliant Izzul Auliya

NIM. 17/416836/SV/14574

PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 TEKNIK GEOMATIKA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI KEBUMIAN

SEKOLAH VOKASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2020
HALAMAN PENGESAHAN

PEMBUATAN PETA SITUASI SKALA 1:5000 DESA TULUSREJO


KECAMATAN GRABAG KABUPATE PURWOREJO PROVINSI JAWA
TENGAH MENGGUNAKAN KOMBINASI METODE GNSS RTK RADIO
DAN FOTOGRAMETRI

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memeroleh gelar Ahli Madya pada
Program Studi Diploma III Teknik Geomatika, Departemen Teknologi
Kebumian, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada

Diterima dan disetujui oleh,

Ketua/Pembimbing Anggota Penguji

Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Kebumian

Dr. Taufik Hery Purwanto, S.Si., M.Si


NIP. 196804011997021001
HALAMAN PERNYATAAN
HALAMAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang
berjudul “Pembuatan Peta Situasi Skala 1:5000 Desa Tulusrejo Kecamatan Grabag
Kabupate Purworejo Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Kombinasi Metode GNSS
RTK Radio Dan Fotogrametri”. Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Ahli Madya pada Program Studi Diploma
III Teknik Geomatika, Departemen Teknologi Kebumian, Sekolah Vokasi, Universitas
Gadjah Mada.
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Usaha pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
tercermin dalam pembangunan nasional. Dalam upaya untuk meningkatkan
pembangunan nasional, pemerintah melakukan berbagai macam cara agar
pembangunan dapat merata di seluruh Indonesia. Desa menjadi salah satu kawasan
yang tidak luput dari sorotan pemerintah. Pembangunan desa merupakan upaya untuk
meningkatkan kemajuan dan kemandirian desa. Sebagai proses dalam perencanaan
perancangan pembangunan desa, maka dibutuhkan peta situasi yang mencakup
kawasan desa tersebut. Peta situasi ini bisa digunakan sebagai dasar dalam menentukan
kebijakan dalam perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah khususnya
pemerintah desa. Informasi yang dapat diperoleh dari peta situasi ini antara lain adalah
bangunan, penggunaan lahan, fasilitas umum, jaringan jalan, batas desa, dan kondisi
topografi.
Salah satu desa yang membutuhkan peta situasi ini untuk perencanaan
pembangunan desa adalah Desa Tulusrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo,
Provinsi Jawa Tengah. Tersedianya peta situasi ini agar dapat digunakan oleh
pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam upaya membantu program
pembangunan desa guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat
di desa.
Perkembangan teknologi yang cukup pesat memberikan dampak diberbagai
bidang, salah satunya dibidang pemetaan. Contohnya adalah kegiatan pemetaan
menggunakan survei GNSS (Global Navigation Satellite System). Survei GNSS
merupakan metode yang sangat efektif digunakan untuk menentukan posisi. Survei
GNSS dapat dilakukan setiap saat tanpa memerhatikan waktu dan cuaca. Ketelitian
horizontal yang dihasilkan dari pengukuran GPS bisa mencapai fraksi mm. Metode ini
digunakan dalam pengambilan data untuk pembuatan peta situasi karena prosesnya
yang efektif dan dapat memberikan ketelitian data yang baik. Dengan ketelitian yang
baik tersebut diharapkan dapat menghasilkan posisi yang akurat dari setiap objek yang
diamati untuk keperluan pembuatan peta situasi Desa Tulusrejo, Kecamatan Grabag,
Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

I.2. Maksud dan Tujuan


I.2.1 Maksud
Maksud dari pembuatan peta situasi di Desa Tulusrejo, Kecamatan Grabag,
Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah adalah:

1. Sebagai upaya mendukung perencanaan pembangunan wilayah khususnya di


Desa Tulusrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa
Timur.
2. Sebagai inventarisasi desa untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat
desa dan potensi dari Desa Tulusrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten
Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

I.2.2. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk membuat peta situasi
dengan skala 1:1000 di Desa Tulusrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo,
Provinsi Jawa Tengah.

I.3. Materi Pekerjaan


Materi pekerjaan dalam pembuatan peta situasi terbagi meliputi beberapa
kegiatan yang terdapat pada Tabel I.1.

Tabel I.1. Materi Pekerjaan

No. Kegiatan Rincian


1. Persiapan Pengecekan kelengkapan alat
Penentuan titik stasiun base
2. Peninjauan Lapangan
Pemasangan patok pada titik stasiun base
Survei GNSS di lapangan menggunakan
3. Pelaksanaan Pengukuran metode RTK Radio
Pemotretan Foto Udara Fixed Wings
Pengunduhan data pengamatan dari alat
GPS
4. Pengolahan Data
Pengolahan data foto udara menjadi
orthofoto
Plotting titik detil hasil pengamatan
Digitasi titik detil menjadi objek-objek
5. Penggambaran Peta Digital
situasi
Simbologi dan layouting peta situasi

I.4. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan


Pembuatan peta situasi dilaksanakan pada lokasi dan waktu yang tertera pada
Tabel I.2.

Tabel I.2. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

No. Kegiatan Waktu Pelaksanaan Lokasi Kegiatan


1. Persiapan 25 Maret 2020 Kampus Sekolah Vokasi
UGM
2. Pekerjaan lapangan 26 Maret 2020 – 7 April Desa Tulusrejo,
2020 Kecamatan Grabag,
Kabupaten Purworejo,
Provinsi Jawa Tengah
3. Pekerjaan studio 8 April – 12 Juni 2020 Jl. Nusaindah 91 RT
10/RW 02 Desa
Tulungrejo, Kecamatan
Pare, Kabupaten Kediri,
Provinsi Jawa Timur
I.5. Rencana Pelaksanaan
Rencana pelaksanaan kegiatan disusun dalam tata kala pada Tabel I.3. yang
berisi tentang waktu perencanaan untuk penyelesaian dari setiap pekerjaan yang
dilaksanakan.

Tabel I.3. Rencana Pelaksanaan

Mei Juni
Maret 2020 April 2020
No. Kegiatan 2020 2020
22 23 24 25-31 1 2 3 4-10 11-30 1-30 1-12
1. Persiapan
Survei
Pendahuluan
a. Orientasi
lapangan
2. b. Penentuan
titik stasiun
base
c. Pemasangan
patok
Pemotretan Foto
3.
Udara
Pengukuran
4.
detil situasi
Pengolahan
5.
data
a. Pengunduhan
data hasil
survei GNSS
b. Pengolahan
foto udara
menjadi
orthofoto
Penggambaran
6.
peta digital
Pembuatan
7.
Laporan
BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Peta Situasi


Menurut PP No. 8 Tahun 2013, peta merupakan gambaran dari unsur-unsur
permukaan bumi yang digambarkan dalam bidang datar pada ukuran skala tertentu dan
dengan sistem proyeksi tertentu. Titik-titik di peta ditentukan oleh sistem koordinat X
dan Y, sedangkan posisi titik-titik di permukaan bumi ditentukan oleh koordinat
lintang dan bujur. Peta situasi merupakan gambaran secara spasial dari suatu wilayah
atau lokasi yang direpresentasikan dengan simbol-simbol titik, garis, area, atribut
(Basuki & Iskandar, 1999). Informasi yang disajikan dari peta ini dapat berupa detail
alam seperti sungai dan sawah maupun detail buatan manusia seperti pemukiman,
jalan, serta objek-objek lain yang mewakili gambaran dari lokasi tersebut. Contoh peta
situasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar II.1.

Gambar II.1. Peta situasi (Rassarandi, 2016)


II.2. Skala Peta
Skala peta merupakan perbandingan dari panjang jarak antara dua titik
sembarang pada peta dengan panjang jarak horizontal sebenarnya kedua titik tersebut
pada permukaan bumi dengan satuan ukuran yang seragam (Rahman, A., 2013). Skala
peta dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

JP
S=
JS

Keterangan :

S = Skala peta

JP = Jarak di peta

JS = Jarak sebenarnya di permukaan bumi

Menurut Indradi, IG. & Subroto, T. (2014), skala peta dapat disajikan dalam
beberapa jenis antara lain:

a. Skala numeris/ skala pecahan


Skala numeris merupakan skala yang diwujudkan dengan bentuk
bilangan pecahan. Skala ini menyatakan perbandingan jarak di peta dengan
jarak sebenarnya di lapangan (permukaan bumi) dinyatakan dalam bentuk
angka pecahan sederhana. Contohnya adalah 1:5000 atau 1/5000, dapat
diartikan bahwa satu satuan jarak di peta sama dengan 1000 satuan jarak di
lapangan dengan satuan ukuran yang seragam. Di Indonesia satuan yang
digunakan pada umumnya adalah centimeter (cm), berarti 1 cm di peta sama
dengan 1000 cm di lapangan.
b. Skala grafis
Skala grafis merupakan skala yang diwujudkan dengan bentuk garis atau
batang dengan panjang bagian tertentu. Skala grafis ditunjukkan dalam sebuah
garis yang terbagi menjadi beberapa bagian yang memiliki panjang yang sama
pada setiap bagian yang diberi keterangan besar jaraknya. Contohnya skala
angka 1:50.000 diubah ke dalam skala grafis dapat diilustrasikan seperti pada
Gambar II.2.
Gambar II.2. Skala Grafis (Indradi, I.G., & Subroto, T., 2014)
c. Skala verbal
Skala verbal merupakan skala yang diwujudkan dalam sebuah kalimat
langsung. Contohnya, pada peta dituliskan bahwa skala 1 cm untuk 100 m.
Artinya bahwa setiap jarak 1 cm di peta sama dengan jarak 100 m di lapangan.

II.3. Global Navigation Satellite System (GNSS)


GNSS merupakan suatu sistem satelit yang terdiri dari konstelasi satelit yang
menyediakan informasi waktu dan lokasi, memancarkan macam-macam sinyal dalam
berbagai frekuensi secara kontinu dan tersedia di seluruh permukaan bumi
(Prasetyaningsih, 2012). Sistem ini dirancang untuk dapat memberikan informasi
berupa posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi waktu secara kontinu dan
akurat tanpa bergantung pada waktu dan cuaca (Abidin, H.Z., 2000). Saat ini, GNSS
telah memiliki empat jenis satelit yang sudah beroperasi dan beberapa satelit yang akan
beroperasi dalam beberapa tahun ke depan antara lain adalah Global Positioning
System (GPS) milik Amerika Serikat, Galileo milik Uni Eropa, Global Navigation
Satellite System (GLONASS) milik Rusia, dan Beidou milik China. GNSS yang paling
terkenal adalah Global Positioning System (GPS). Keempat satelit tersebut pada
umumnya memiliki prinsip kerja yang hampir sama.

II.4. Global Positioning System (GPS)


GPS merupakan GNSS (Global Navigation Satellite System) yang
dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan nama lengkap NAVSTAR GPS
(Navigation Satellite Timing And Raging). GPS pada awalnya dikembangkan hanya
untuk keperluan militer, tetapi pada tahun 1980 pemerintah Amerika Serikat
menyatakan bahwa GPS dapat digunakan secara terbuka untuk masyarakat sipil.
Menurut Abidin, H.Z. (2000), GPS dapat dibagi menjadi tiga segmen utama, antara
lain adalah segmen sistem kontrol (control system segment), segmen angkasa (space
segment), dan segmen pengguna (user segment). Ketiga segmen tersebut diilustrasikan
seperti pada Gambar II.3.
Gambar II.3. Segmen GPS (Abidin, H.Z., 2000)

Ketiga segmen tersebut dijelaskan sebagai berikut (Abidin, H.Z., 2000):

1. Segmen Angkasa (Space segment)


Segmen angkasa terdiri dari satelit-satelit GPS yang dilengkapi antena-
antena yang berfungsi untuk menerima dan mengirim sinyal-sinyal gelombang.
Sinyal gelombang ini kemudian akan ditangkap oleh receiver GPS yang ada di
permukaan bumi dan akan digunakan untuk menentukan informasi posisi,
kecepatan, dan waktu.
2. Segmen Sistem Kontrol (Control system segment)
Segmen sistem kontrol ini mempunyai fungsi untuk mengontrol serta
memantau operasional satelit sekaligus memastikan bahwa satelit masih
berfungsi dengan baik. Satelit itu akan diawasi dan dikontrol setiap waktu oleh
beberapa stasiun monitor dan pengontrol yang tersebar di seluruh dunia. Secara
umum sistem kerja segmen pengontrol dapat diilustrasikan secara skematis pada
Gambar II.4.
Gambar II.4. Skema kerja sistem kontrol GPS (Abidin, H.Z., 2000)
3. Segmen Pengguna (User segment)
Segmen pengguna dapat diartikan sebagai pengguna satelit GPS itu
sendiri. Dalam menentukan posisi, kecepatan, maupun waktu dibutuhkan sebuah
alat yang berfungsi untuk menerima dan memproses sinyal-sinyal satelit GPS
yaitu berupa receiver GPS. Receiver GPS diklasifikasikan menjadi tiga yaitu
receiver tipe navigasi, tipe pemetaan, dan tipe geodetik.

II.4.1 Sinyal GPS


Satelit GPS memancarkan sinyal elektromagnetik yang kemudian sinyal ini
diterima oleh receiver GPS. Sinyal ini berisi pesan navigasi. Sinyal GPS yang diterima
oleh receiver GPS kemudian diproses untuk memberikan informasi mengenai posisi
satelit kepada pengamat, jarak pengamat ke satelit serta informasi waktu pengamatan,
informasi tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar II.5. Selain itu, informasi
yang diperoleh dari sinyal GPS ini adalah untuk mengetahui kesehatan/ kelayakan dari
satelit GPS serta parameter untuk perhitungan koreksi jam satelit, parameter model
ionosfer satu frekuensi (model Klobuchar), dan transformasi waktu GPS ke UTC dan
status konstelasi satelit (Abidin, H.Z., 2000).
Gambar II.5. Informasi terkandung pada sinyal GPS (Abidin, H.Z., 2000)

II.4.2 Kesalahan dan bias serta cara mengatasi


Dalam proses pengamatan satelit GPS, terdapat beberapa kesalahan dan bias
yang mungkin terjadi. Kesalahan dan bias tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
aspek seperti alam, alat, dan manusia, seperti yang diilustrasikan pada Gambar II.6.
Kesalahan dan bias ini dapat memengaruhi ketelitian hasil pengamatan, sehingga perlu
untuk diperhitungkan dengan benar untuk meminimalisir efek yang ditimbulkan dari
kesalahan dan bias.

Gambar II.6. Kesalahan dan bias GPS (Abidin, H.Z., 2000)


Menurut Abidin, H.Z., (2000), karakteristik dari beberapa kesalahan dan bias
pada pengamatan GPS dijelaskan seperti berikut ini:

1. Kesalahan Ephemeris (Orbit)


Kesalahan ephemeris merupakan kesalahan ketika posisi satelit GPS
yang diterima oleh pengamat tidak sesuai dengan posisi satelit GPS yang
sebenarnya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar II.7. Kesalahan ini dapat
memberikan efek terhadap ketelitian koordinat titik yang ditentukan. Efek
yang ditimbulkan dari kesalahan ini akan semakin besar jika baseline yang
diamati semakin panjang. Kesalahan ini disebabkan oleh adanya kesalahan
pada prediksi orbit untuk periode waktu setelah uploading ke satelit,
ketidaktelitian saat proses perhitungan orbit satelit oleh stasiun pengontrol
satelit, dan adanya kesalahan orbit yang sengaja diterapkan oleh pemilik GPS
yaitu pihak militer Amerika Serikat (Abidin, H.Z., 2000).

Gambar II.7. Kesalahan Ephemeris (Orbit) (Abidin, H.Z., 2000)


2. Bias Ionosfer
Ionosfer merupakan bagian dari atmosfer atas tepatnya terletak pada
lapisan termosfer. Pada lapisan ini terdapat elektron dan ion yang dapat
memengaruhi perambatan sinyal GPS. Efek dari kesalahan ini dapat
menyebabkan kemajuan atau pengunduran dari penerimaan sinyal GPS oleh
receiver GPS dan kesalahannya dapat menjadi semakin besar jika terdapat
aktivitas matahari ekstrem, tengah hari, dan dekat cakrawala (Handoko, D.,
dkk, 2019). Bias ionosfer dapat dihilangkan dengan kombinasi linier dari
pengamatan GPS pada frekuensi L1 dan L2 (Wellenhof, B.H., dkk, 2008). Bias
ionosfer ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar II.8.
Gambar II.8. Bias Ionosfer (Wellenhof, B.H., dkk, 2008)
3. Bias Troposfer
Sinyal GPS akan mengalami refraksi ketika melewati lapisan troposfer.
Refraksi troposfer tersebut dapat memengaruhi perubahan kecepatan dan arah
dari sinyal satelit GPS (Abidin, H.Z., 2000). Hal ini akan berdampak pada hasil
ukuran jarak dari satelit ke receiver. Efek troposfer dapat diilustrasikan seperti
pada Gambar II.9.

Gambar II.9. Efek troposfer terhadap sinyal GPS (Abidin, H.Z., 2000)
4. Multipath
Multipath merupakan fenomena ketika sinyal yang dipancarkan oleh
satelit GPS sampai ke receiver GPS melalui lebih dari satu lintasan. Penyebab
utama multipath adalah pantulan dari permukaan objek yang berada di dekat
receiver GPS, sedangkan penyebab lainnya adalah pantulan pada satelit selama
proses transmisi sinyal (Wellenhof, B.H., dkk, 2008). Efek multipath ini akan
memengaruhi hasil ukuran pseudorange ataupun carrier phase. Faktor-faktor
yang memengaruhi besar kecilnya efek multipath ini antara lain adalah jenis
dan posisi reflektor, posisi relatif satelit, jarak reflektor ke antena, panjang
gelombang sinyal, dan kekuatan sinyal (Abidin, H.Z., 2000).
5. Ambiguitas Fase (Cycle Ambiguity)
Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang yang tidak terukur oleh
receiver GPS. Sebelum menentukan jarak antara satelit dan receiver GPS,
maka nilai ambiguitas fase harus ditentukan terlebih dahulu. Menurut Abidin,
H.Z. (2000), apabila selama pengamatan tidak terjadi cycle slips, maka nilai
ambiguitas fase akan selalu sama.
6. Cycle Slips
Cycle slips adalah terputusnya jumlah gelombang penuh dari fase
gelombang pembawa yang sedang diamati yang disebabkan oleh terputusnya
receiver GPS pada saat proses pengamatan sinyal. Pada Gambar II.10.
merupakan gambaran cycle slips jika diilustrasikan dalam sebuah kurva grafik
pengamatan fase terhadap waktu. Terdapat perbedaan terhadap besar harga
ambiguitas fase antara sebelum dan setelah cycle slips terjadi.

Gambar II.10. Cycle slips (Abidin, H.Z., 2000)


7. Selective Availability
Selective availability merupakan metode yang digunakan oleh pihak
militer Amerika Serikat sebagai pemilikdan pengelola GPS agar hasil
pengamatan GPS dengan ketelitian posisi yang tinggi hanya diperoleh oleh
pihak militer Amerika Serikat dan pihak lain yang diberikan izin oleh militer
Amerika Serikat (Abidin, H.Z., 2000). Kebijakan pihak militer Amerika
Serikat terhadap penggunaan selective availability telah dihapus pada tahun
2000.
8. Anti Spoofing
Anti spoofing merupakan kebijakan pihak militer Amerika Serikat untuk
mencegah pengguna umum mengakses kode P dengan mengubahnya menjadi
kode Y yang bersifat rahasia (Abidin, H.Z., 2000). Struktur kode Y hanya
diketahui oleh pihak militer Amerika Serikat dan pihak yang diberi izin oleh
militer Amerika Serikat sehingga pengguna umum hanya bisa mengakses kode
C/A. Kebijakan ini diberlakukan oleh Amerika Serikat sebagai upaya
melindungi pertahanan negara dari penyalahgunaan kode oleh pihak musuh
Amerika Serikat.
9. Kesalahan Jam
Kesalahan jam akan memengaruhi ukuran jarak baik pseudorange
ataupun jarak fase. Kesalahan jam ini bisa disebabkan oleh satelit atau receiver
GPS. Kesalahan jam satelit ini dikarenakan oleh adanya penyimpangan (offset,
drift, dan drift rate) dari sistem waktu GPS. Kesalahan jam satelit pada jarak
ukuran dapat dieliminasi dengan melakukan pengurangan dua jarak ukuran
yang diamati pada saat yang sama dari dua buah receiver GPS ke satelit
tersebut. Kesalahan jam receiver bergantung pada kualitas jam (osilator)
kristal quartz yang digunakan, seberapa rutin disinkronkan ke sistem GPS, dan
jenis kode (P atau C/A) yang digunakan pada sinkronisasi tersebut (Abidin,
H.Z., 2000). Cara yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi kesalahan jam
receiver adalah dengan memperpendek panjang baseline dan melakukan
estimasi terhadap parameter kesalahan jam receiver (offset, drift, dan drift
rate).
10. Pergerakan dari Pusat Fase Antena
Kesalahan ini terjadi ketika terjadi perbedaan lokasi antara pusat fase dan
pusat geometris antena yang disebabkan oleh adanya radiasi pada pusat fase
antena GPS (Abidin, H.Z., 2000). Efek yang ditimbulkan oleh kesalahan ini
akan memengaruhi jarak ukuran, seperti yang diilustrasikan pada Gambar
II.11. Efek kesalahan jarak ini bersifat variatif karena perbedaan lokasi yang
terjadi juga variatif terhadap waktu pengamatan.
Gambar II.11. Kesalahan akibat offset pusat fase antena (Abidin, H.Z.,
2000)
11. Imaging
Imaging merupakan fenomena yang melibatkan suatu benda konduktif di
dekat antena GPS (Abidin, H.Z., 2000). Pengaruh dari imaging ini akan
memunculkan bayangan dari antena atau dengan kata lain bahwa fenomena ini
dapat menyebabkan distorsi pada pola fase antena yang sebenarnya. Hal ini
mengakibatkan berubahnya pusat fase antena sehingga dapat menyebabkan
kesalahan pada hasil ukuran jarak. Fenomena imaging diilustrasikan seperti
pada Gambar II.12.

Gambar II.12. Efek dari fenomena Imaging (Abidin, H.Z., 2000)

II.4.3. Penentuan Posisi dengan GPS


Prinsip dari penentuan posisi dengan GPS yakni dengan menggunakan reseksi
jarak, yaitu pengukuran jarak ke beberapa satelit GPS yang telah diketahui
koordinatnya secara simultan (Abidin, H.Z., 2000). Secara umum prinsip penentuan
posisi dengan GPS menggunakan pendekatan vektor dapat diilustrasikan seperti pada
Gambar II.13. Posisi yang diperoleh dari hasil pengamatan GPS adalah posisi tiga
dimensi (X,Y,Z ataupun ) yang dinyatakan dalam datum World Geodetic System
(WGS) 1984.

Gambar II.13. Prinsip Dasar Penentuan Posisi dengan GPS Menggunakan


Pendekatan Vektor (Abidin, H.Z., 2000)

Secara umum prinsip penentuan posisi dengan GPS dibagi menjadi dua yaitu
metode absolute positioning dan differential positioning. Berbagai macam metode
dalam penentuan posisi GPS dapat diklasifikasikan seperti pada Gambar II.14.

Gambar II.14. Metode Pengukuran dengan GPS (Abidin, H.Z., 2000)

II.4.3.1. Metode Penentuan Posisi Absolut


Metode penentuan posisi absolut dapat disebut juga dengan point positioning
karena dalam penentuan posisi titik-titik dapat diukur langsung tiap titik tanpa
bergantung pada titik yang lain dengan menggunakan satu alat receiver GPS (Wijaya,
G.M.R., 2019). Metode penentuan posisi absolut dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu metode statik dan kinematik. Kedua metode tersebut digambarkan pada Gambar
II.15.

Gambar II.15. Metode Penentuan Posisi Absolut Statik dan Kinematik (Abidin, H.Z.,
2000)
Metode pengamatan absolut statik merupakan metode penentuan posisi dengan
menggunakan satu alat receiver GPS dengan posisi diam atau tidak bergerak pada saat
proses pengamatan berlangsung. Berbeda dengan metode pengamatan absolut
kinematik yang menggunakan satu alat receiver GPS yang bergerak selama proses
pengamatan berlangsung untuk menentukan posisi titik di permukaan bumi. Metode
pengamatan absolut kinematik biasanya digunakan untuk keperluan navigasi.

II.4.3.2. Metode Penentuan Posisi Diferensial


Metode penentuan posisi diferensial membutuhkan minimal dua alat receiver
GPS dalam proses pengamatan. Satu alat akan berfungsi sebagai stasiun base dan alat
lainnya akan digunakan sebagai rover. Pada metode ini, posisi suatu titik ditentukan
relatif terhadap titik lain yang koordinatnya telah diketahui atau disebut juga titik
referensi (Badan Pertanahan Nasional, 2011). Sementara satu alat berdiri di titik
referensi, alat lainnya akan digunakan untuk menentukan posisi titik yang ingin
diketahui. Ketelitian yang diperoleh dari pengamatan metode ini bergantung pada
jarak antara stasiun base dan titik yang ingin ditentukan posisinya atau biasa disebut
dengan panjang baseline (Wijaya, G.M.R., 2019). Semakin dekat jarak antara stasiun
base dan titik yang ditentukan posisinya, maka ketelitiannya akan semakin baik. Titik
yang ditentukan dapat berada dalam posisi diam maupun bergerak. Adapun metode
pengamatan diferensial dapat diilustrasikan seperti pada Gambar II.16.
Gambar II.16. Metode Pengamatan Diferensial (Badan Pertanahan Nasional, 2011)

II.5. Sistem RTK (Real Time Kinematic)


Sistem RTK (Real Time Kinematic) adalah suatu sistem penentuan posisi secara
real time dengan metode differential menggunakan data fase (Marbawi, dkk, 2015).
Dalam sistem RTK, proses penentuan posisi diperoleh dengan cara stasiun referensi
yang akan mengirimkan data berupa data fase dan pseudorange ke receiver pengguna
secara real time dengan suatu sistem komunikasi data atau radio, seperti ilustrasi pada
Gambar II.17. Sistem RTK dapat menghasilkan nilai ketelitian posisi sekitar 1-5 cm,
dengan anggapan ambiguitas fase telah ditentukan secara benar (Abidin, H.Z., 2000).

Gambar II.17. Sistem RTK (Abidin, H.Z., 2000)

Ketelitian yang diperoleh dari hasil pengamatan akan menurun apabila baseline
antara stasiun base dan rover semakin panjang menjadi keterbatasan dari pengamatan
GPS metode RTK. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kesalahan yang terjadi pada
saat perambatan sinyal satelit GNSS yang diakibatkan oleh pengaruh ionosfer yang
semakin tinggi. Semakin jauh jarak antara rover GPS dengan stasiun base
menyebabkan proses pemecahan resolusi ambiguitas antara stasiun base dengan rover
GPS sulit untuk dilakukan (Badan Pertanahan Nasional, 2011).

II.6. Sistem Single Base RTK (RTK-Radio)


Pada sistem RTK Radio, radio digunakan sebagai alat yang berfungsi sebagai
alat komunikasi yang menghubungkan antara base dan rover. Pada sistem ini
dibutuhkan minimal dua receiver GPS, dimana satu receiver akan berfungsi sebagai
stasiun base yang koordinatnya telah terdefinisi secara pasti dan kemudian koordinat
tersebut akan diinput ke dalam receiver GPS base. Receiver GPS yang berfungsi
sebagai base harus tetap dalam keadaan diam dan tidak boleh bergerak, sedangkan
receiver GPS yang lain berfungsi sebagai rover yang akan digunakan untuk
mengambil titik detail situasi sehingga boleh digerakkan sesuai dengan kebutuhan
untuk mengambil detail situasi.

Sistem RTK ini menggunakan gelombang radio untuk menyalurkan data


pengamatan ke rover. Sinyal radio berfungsi untuk mengirimkan koreksi data secara
satu arah dari stasiun base kepada rover (Badan Pertanahan Nasional, 2011). Sistem
single base RTK diilustrasikan seperti pada Gambar II.18.

Gambar II.18. Single base RTK (Badan Pertanahan Nasional, 2011)


II.7. GPS Tipe Geodetik
Dari tiga tipe receiver GPS, GPS tipe geodetik adalah receiver yang relatif paling
canggih dan dapat menghasilkan data paling presisi. Receiver ini memfasilitasi koreksi
data GPS yang disebabkan oleh efek multipath, bias atmosfer, dan low visibility, baik
dengan metode absolut maupun diferensial, dan juga koreksi secara real time maupun
post processing. Receiver tipe geodetik ini memiliki harga yang paling mahal jika
dibandingkan dengan receiver tipe navigasi dan tipe pemetaan. Dengan
kemampuannya menghasilkan data yang presisi, receiver GPS ini biasa digunakan
pada pekerjaan-pekerjaan yang mengharuskan ketelitian yang relatif tinggi (dari orde
mm sampai dm), seperti contohnya pengadaan titik kontrol geodesi, pemantauan
deformasi, dan studi geodinamika (Abidin, H.Z., 2000). Ditinjau dari sinyal yang
ditangkap, terdapat dua jenis receiver GPS tipe geodetik yaitu tipe single frequency
dan dual frequency. GPS tipe single frequency adalah receiver GPS yang merekam
sinyal gelombang pembawa L1 dan data (code dan navigation message) sedangkan
tipe dual frequency merekam sinyal gelombang pembawa L1, L2, dan data (code dan
navigation message) (Arjiansah, R.I., dkk, 2016).

II.5. Fotogrametri
Fotogrametri adalah ilmu dan teknologi untuk memeroleh ukuran yang
terpercaya dari foto udara (Wahyono, E.B., & Suyudi, B., 2017). Hal ini berarti bahwa
semua objek fisik yang tergambar pada foto udara hasil pengukuran fotogrametris
harus dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dari ukurannya. Dengan begitu akan
dapat menghasilkan informasi serta data yang akurat dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat umum dalam berbagai bidang pekerjaan.

Menurut Amrizal (2016), fotogrametri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
fotogrametri metrik dan fotogrametrik interpretatif. Fotogrametri metrik mempelajari
tentang penentuan geometri dan posisi objek melalui proses pengukuran atau
pengamatan. Hasil ukuran dapat berupa jarak, sudut, luas, dan volume dari hasil
fotogrametris. Fotogrametri interpretatif mempelajari tentang proses identifikasi objek
pada foto udara yang selanjutnya dianalisa secara sistematik.

Seiring dengan perkembangan teknologi, fotogrametri juga dapat dibedakan


menjadi dua berdasarkan jenis data yang digunakan, yaitu fotogrametri digital dan
fotogramteri analitik. Fotogrametri digital menggunakan foto udara digital sebagai
sumber datanya dan analisanya dilakukan secara digital dengan bantuan komputer
sedangkan fotogrametri analitik menggunakan foto udara analog dan analisisnya
dilakukan secara manual.

II.5.1. Interpretasi Foto Udara


Interpretasi foto udara/ citra adalah suatu kegiatan dalam mengkaji citra atau foto
udara untuk keperluan identifikasi objek (Lumbantobing, M., dkk, 2017). Di dalam
proses pengenalan objek yang ada pada foto udara, terdapat tiga macam kegiatan yang
dilakukan yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis (Somantri, L., 2008). Deteksi
merupakan tahapan awal dari proses interpretasi foto udara. Deteksi adalah kegiatan
mengamati ada atau tidaknya suatu objek pada foto udara atau citra. Identifikasi adalah
kegiatan mencirikan suatu objek yang sudah dideteksi berdasarkan beberapa aspek
seperti ukuran, bentuk, dan letak dari objek tersebut. Tahapan analisis merupakan
upaya untuk memeroleh keterangan lebih mendalam dari objek-objek yang telah
diidentifikasi.

Dalam melakukan interpretasi suatu unsur, objek atau fenomena digunakan


sejumlah kunci dasar interpretasi atau elemen dasar interpretasi. Menurut (Sutanto
1999 dalam Somantri, L., 2008), terdapat delapan kunci interpretasi citra yaitu rona/
warna, ukuran, bentuk, bayangan, derajat kehalusan (texture), pola, situs (site), dan
keterkaitan (association).

Interpretasi foto udara dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara konvensional
dan cara digital. Interpretasi konvensional dilakukan dengan bantuan alat seperti
stereoskop dan planimeter sedangkan cara digital menggunakan bantuan komputer
dalam proses interpretasinya.

II.5.2. Distorsi dan Pergeseran Letak pada Foto Udara


Menurut Wahyono, E.B., & Suyudi, B., (2017), distorsi merupakan pergeseran
letak oleh objek yang terdapat di foto udara sehingga menyebabkan adanya perubahan
pada ciri perspektif objek. Faktor yang menyebabkan timbulnya distorsi yaitu
pengerutan film dan gambar cetak, refraksi beraks sinar dalam atmosfer, gerak objek
saat pemotretan, dan distorsi lensa. Pergeseran (displacement) merupakan pergeseran
letak oleh objek yang terdapat di foto udara tetapi tidak menyebabkan adanya
perubahan pada ciri perspektif objek. Pergeseran letak disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu lengkung permukaan bumi, kemiringan sumbu kamera (tilt), dan topografi
atau relief objek.

II.5.2.1. Distorsi Lensa


Distorsi lensa merupakan perubahan pada posisi gambar yang menyebar dari
titik dasar sehingga akan tampak lebih dekat atau lebih jauh dari titik dasar daripada
posisi sebenarnya (Wahyono, E.B., & Suyudi, B., 2017). Distorsi lensa akan
mengakibatkan pergeseran titik pada foto dari posisi yang sebenarnya sehingga akan
menghasilkan ketelitian pengukuran yang kurang baik.
II.5.2.2. Kemiringan Sumbu Kamera (Tilt)
Saat proses pemotretan, posisi pesawat terbang tidak stabil. Ketidakstabilan
tersebut dapat disebabkan oleh getaran yang ditimbulkan oleh angin dari sebelah
kanan, kiri, atas, maupun bawah pesawat. Hal tersebut menyebabkan adanya
perubahan posisi dari pesawat pada saat pemotretan. Salah satu bentuk perubahan
posisi tersebut adalah tilt. Tilt disebabkan oleh posisi pesawat udara yang tidak dalam
kedudukan horizontal pada saat proses pemotretan (Wahyono, E.B., & Suyudi, B.,
2017). Perputaran kamera terhadap sumbu y yaitu pada saat posisi hidung pesawat
udara naik dan turun disebut kemiringan y. Perputaran kamera terhadap sumbu x yaitu
pada saat sayap pesawat naik atau turun disebut kemiringan x. Kemiringan pesawat
pada sumbu x dan y diilustrasikan seperti pada Gambar II.19.

Gambar II.19. Kemiringan pesawat pada sumbu x dan y (Wahyono, E.B., &
Suyudi, B., 2017)
II.5.2.3. Pergeseran relief
Pergeseran relief/ topografi merupakan pergeseran letak atau posisi objek yang
terdapat pada foto udara yang disebabkan oleh permukaan bumi/ objek yang tidak rata
sehingga menyebabkan perbedaan jarak dari titik fokus kamera (Wahyono, E.B., &
Suyudi, B., 2017). Pergeseran relief akan semakin besar jika posisi objek semakin jauh
dengan pusat kamera. Pergeseran relief dapat dilihat dengan jelas pada daerah yang
memiliki topografi kasar seperti pegunungan. Contoh lainnya seperti gedung tinggi
yang diilustrasikan pada Gambar II.20. Pada Gambar II.20., gambar a adalah gambar
gedung tinggi yang paling benar yakni berupa sebuah titik. Gambar b nampak gedung
yang semakin menjauh dari titik tengah condong ke sisi lain sementara gambar c
tampak semakin panjang dari titik pusat objek. Gedung yang tinggi akan tampak
seperti pada gambar b dan c akibat dari adanya pergeeseran relief.

Gambar II.20. Ilustrasi kenampakan gedung pada foto udara dengan posisi
yang berbeda (Wahyono, E.B., & Suyudi, B., 2017)

II.5.3. Perencanaan Jalur Terbang


Sebelum melaksanakan pemetaan fotogramtetri, perlu disiapkan suatu rencana
jalur terbang supaya foto yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Desain jalur
terbang dibuat dengan memperhatikan pertampalan antar foto. Pertampalan yang
dimaksud adalah overlap dan sidelap. Overlap atau pertampalan ke depan adalah
area yang terpotret dua kali dengan posisi pesawat yang berbeda dalam satu jalur
terbang yang sama, seperti yang diilustrasikan pada Gambar II.21. Sidelap atau
pertampalan ke samping adalah bagian tepi samping yang terpotret dua kali pada
jalur terbang yang bersebelahan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar II.22.
Gambar II.21. Overlap (Amrizal, 2016)

Keterangan :
G = ukuran bujur sangkar medan yang terliput oleh sebuah foto tunggal
B = basis atau jarak antara stasiun pemotretan sebuah pasangan foto stereo
PE = besarnya pertampalan pada umumnya dinyatakan dalam persen
𝐺−𝐵
PE = ( ) 𝑥 100
𝐺

Gambar II.22. Sidelap (Amrizal, 2016)

Keterangan :
PI = pesawat yang berada pada jalur terbang 1
PII = pesawat yang berada pada jalur terbang 2
W = jarak antara jalur terbang yang berurutan
PS = besarnya tampalan samping dinyatakan dalam persen.
𝐺−𝑊
PS = ( ) 𝑥 100
𝐺

II.5.4. Orthofoto
Orthofoto merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari survei fotogrametri,
diilustrasikan seperti pada Gambar II.23. Orthofoto adalah foto udara yang telah
mengalami proses koreksi untuk mengurangi kesalahan yang ditimbulkan oleh
penyimpangan seperti kemiringan pesawat, pergeseran relief, dan distorsi lensa (Paine,
D.P., & Kiser, J.D., 2012). Orthofoto dibuat melalui proses yang dinamakan dengan
rektifikasi diferensial. Rektifikasi diferensial adalah proses mengeliminasi pergeseran
letak gambar yang disebabkan oleh kemiringan fotografik dan relief (Hajar, A., dkk,
2017). Proses rektifikasi diferensial akan menghasilkan sebuah foto udara yang
terkoreksi dan terlihat seperti dalam proyeksi orthogonal atau membuat foto menjadi
tegak.

Gambar II.23. Orthofoto (Hamur, P.K., dkk, 2019)


BAB III

PELAKSANAAN

III.1. Persiapan
Sebelum melaksanakan pengamatan di lapangan, terdapat beberapa hal yang
perlu dipersiapkan. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah melakukan pengecekan
terhadap alat GPS dan kelengkapan alat lainnya yang akan digunakan untuk
pengamatan. Misalnya seperti mengecek kapasitas baterai dari GPS. Sebelum
melaksanakan pengamatan di lapangan, baterai GPS dicharge terlebih dahulu agar
pada saat pengamatan kondisi kapasitas baterai GPS dalam keadaan penuh.

III.2. Bahan dan Peralatan


III.2.1. Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Program Studi Diploma
III Teknik Geomatika Fakultas Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada seperti yang
tertera pada Tabel III.1.

Tabrl III.1. Bahan Penelitian

No. Bahan
1. Data koordinat (X,Y,Z) titik detail situasi yang diukur dengan metode GNSS
2. Data raw foto udara
3. Ground Control Point (GCP)
III.2.1.1 Informasi Data Raw Foto Udara
Data raw foto udara merupakan hasil pemotretan foto udara dengan
menggunakan UAV jenis fix wing. Proses perekaman dilakukan dengan persentase
pertampalan sidelap 40% dan overlap 60%. Format data raw adalag .jpg. Ukuran file
data raw foto udara yang digunakan adalah sebesar 10 gigabytes (GB).

III.2.1.2. Informasi Data Ground Control Point (GCP)


Ground Control Point (GCP) yang digunakan merupakan hasil pengukuran
dengan metode GNSS. Receiver yang digunakan dalam pengukuran GCP adalah merk
CHC i50. Jumlah GCP yang digunakan sebanyak 8 titik. Data koordinat GCP
tercantum pada Tabel III.2.

Tabel III.2. Koordinat GCP

Kode Koordinat X Koordinat Y Koordinat Z


gcp1 109.8914 -7.7846 23.793
gcp2 109.8876 -7.78312 22.85
gcp3 109.8877 -7.78173 23.109
gcp4 109.8771 -7.77802 24.365
gcp5 109.8782 -7.77854 23.632
gcp6 109.8739 -7.7844 21.287
gcp7 109.8718 -7.78915 20.405
gcp8 109.8721 -7.78979 21.461
III.2.2. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel III.2.

Tabel III.2. Peralatan

No. Peralatan Jumlah


1. Tripod 2 buah
2. Tribach 1 buah
3. Receiver GPS merk CHC i50 3 buah
4. Controller 1 buah
5. External Radio + kabel 1 buah
penyambung
6. Pole 1 buah
7. Laptop merk Acer 1 buah
8. Mouse 1 buah
III.3. Pelaksanaan Pengukuran
III.3.1. Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan merupakan kegiatan yang dilaksanakan sebelum melakukan
pemetaan situasi. Kegiatan survei pendahuluan terdiri dari tiga tahapan yaitu
koordinasi dengan perangkat desa, penentuan titik stasiun base dan titik GCP, serta
pemasangan patok stasiun base.

III.3.1.1. Koordinasi dengan Perangkat Desa


Sebelum memulai pemetaan situasi, perlu dilakukan koordinasi dengan
perangkat desa setempat terlebih dahulu. Koordinasi ini bertujuan untuk meminta izin
kepada perangkat desa untuk melakukan pemetaan situasi. Dengan diberikannya izin
tersebut sehingga dapat mengurangi kesalahpahaman yang mungkin terjadi terhadap
masyarakat setempat pada saat pemetaan berlangsung.

III.3.1.2. Penentuan Titik Stasiun Base dan Titik GCP


Metode yang digunakan dalam pemetaan situasi adalah metode pengamatan
GPS RTK Radio sehingga diperlukan suatu titik yang telah diketahui koordinatnya
sebagai titik stasiun base. Lokasi yang digunakan sebagai titik stasiun base sebisa
mungkin merupakan tempat yang tidak banyak obstruksi yang dapat mengganggu
sinyal GPS. Obstruksi tersebut dapat berupa bangunan tinggi atau pohon. Pemilihan
lokasi titik stasiun base dipilih dengan memerhatikan kondisi sekitar agar tidak
mengganggu aktivitas masyarakat desa. Selain itu, untuk keperluan pemetaan
fotogrametri juga perlu ditentukan lokasi beberapa titik GCP pengukuran dengan
kualifikasi lokasi yang sama yaitu tidak terganggu oleh obstruksi dan tidak
mengganggu aktivitas masyarakat desa.

III.3.1.3. Pemasangan Patok Stasiun Base


Lokasi titik stasiun base terletak di atas tanah sehingga perlu diberikan tanda
yang jelas dan tahan terhadap gangguan. Patok kayu dipilih sebagai penanda titik
stasiun base karena memiliki ketahanan yang kuat terhadap gangguan seperti cuaca
dan hewan. Patok kayu ditancapkan diatas tanah dengan kuat agar tidak mudah
tercabut.
III.3.2. Pemetaan Situasi
Pemetaan situasi dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode
GNSS dan metode fotogrametri. Pada pemetaan GNSS, alat yang digunakan adalah
GPS merk CHC i50 dengan metode pengamatan RTK Radio. Berikut langkah
pemetaan situasi dengan metode GPS RTK Radio menggunakan radio eksternal :

1. Mendirikan tripod diatas titik stasiun base dan tripod satunya didirikan
disebelah titik stasiun base untuk radio eksternal.
2. Memasang tribach diatas tripod yang berdiri di stasiun base dan memasang
radio eksternal diatas tripod lainnya.
3. Melakukan sentering dan pengecekan sumbu I vertikal tribach.
4. Memasang pole kecil pada rover GPS kemudian memasang pole dan rover
tersebut pada tribach.
5. Menyambungkan kabel dari radio eksternal ke rover GPS base.
6. Membuat projek baru pada controller GPS. Langkah untuk membuat projek
baru adalah sebagai berikut:
a. Membuka aplikasi Landstar.
b. Klik menu project untuk membuat projek baru.
c. Memberi nama projek, menentukan tanggal pengamatan, zona waktu,
dan sistem koordinat. Sistem koordinat yang digunakan sistem koordinat
milik Badan Pertanahan Nasional yaitu DGN95 TM-3 Zone 49.1.
d. Jika telah selesai mengatur projek, klik Accept.
7. Menyambungkan controller GPS dengan rover GPS dari stasiun base.
Langkah untuk menyambungkan rover GPS dengan controller adalah
sebagai berikut:
a. Klik menu Config, kemudian klik menu connect.
b. Memilih device type sesuai dengan merk alat GPS yaitu i50.
c. Memilih jenis koneksi yaitu bluetooth.
d. Pada bluetooth device, dipilih sesuai dengan serial number dari rover
GPS base yang dapaat dilihat di bagian bawah rover GPS base.
e. Jika sudah klik connect sampai muncul peringatan bahwa koneksi
berhasil.
8. Melakukan pengaturan untuk rover GPS base. Langkah pengaturan rover
GPS base adalah sebagai berikut:
a. Klik menu Config → Work Mode.
b. Klik New untuk mengatur work mode yang baru.
c. Pada konfigurasi base diisi seperti pada Tabel III.:
Tabel III. Konfigurasi GPS base
Menu Pengaturan
Work Mode Manual Base
Data Link Internal Radio
Correction Format RTCM3x
Protocol Transparent
Step value 25KHz
Baudrate 9600
Power 2W
Channel 1
Frequency default
d. Jika pengaturan sudah selesai klik Save, setelah itu akan mucul jendela
baru untuk mengisikan nama Work Mode yang baru saja diatur.
e. Proses selesai ditandai dengan munculnya jendela baru yang bertuliskan
“Create Mode Successfully !”
f. Pada halaman Work Mode, memilih mode yang baru saja dibuat,
kemudian klik Accept.
g. Setelah itu akan muncul halaman baru. Pada halaman baru tersebut,
mengisi tinggi antena dan koordinat base. Koordinat base tidak perlu
diisi dan ditentukan secara langsung menggunakan menu Get Position.
Pada Manual Input memilih No, kemudian klik Get Pos untuk
menentukan koordinat base.
h. Setelah itu klik OK. Menunggu hingga muncul jendela baru bertuliskan
“Start up base successfully and break connection!”. Setelah tahap ini
koneksi data dari controller dengan GPS base akan otomatis terputus.
9. Memasang pole pada GPS receiver.
10. Menyambungkan controller GPS dengan rover GPS receiver. Langkah
untuk menyambungkan rover GPS receiver dengan controller adalah
sebagai berikut:
a. Pilih menu Config → Connect.
b. Memilih device type sesuai dengan merk alat GPS yaitu i50.
c. Memilih jenis koneksi yaitu bluetooth.
d. Pada bluetooth device, dipilih sesuai dengan serial number dari GPS
receiver yang dapaat dilihat di bagian bawah GPS receiver.
e. Jika sudah klik connect sampai muncul peringatan bahwa koneksi
berhasil.
11. Melakukan pengaturan untuk rover GPS receiver. Langkah pengaturan
untuk rover GPS receiver adalah sebagai berikut:
a. Pilih menu Config → Work Mode.
b. Membuat Work Mode baru dengan cara klik New.
c. Pada konfigurasi base diisikan seperti pada Tabel III.:

Tabel III. Konfigurasi GPS receiver


Menu Pengaturan
Work Mode Auto Rover
Data Link Radio
Protocol Transparent
Step value 25KHz
Baudrate 9600
Channel 1
Frequency Default
Elevation Mask 10
PDOP Limit 6.0
d. Jika pengaturan sudah selesai klik Save, setelah itu akan mucul jendela
baru untuk mengisikan nama Work Mode yang baru saja diatur.
e. Proses selesai ditandai dengan munculnya jendela baru yang bertuliskan
“Create Mode Successfully !”
f. Memilih mode yang baru saja dibuat, kemudian klik Accept.
12. Klik menu Survey lalu pilih PT Survey.
13. Memulai proses pengambilan titik-titik detail yang akan dipetakan.
Diusahakan bahwa kondisi sudah dalam keadaan fix saat pengambilan titik
agar hasil yang didapatkan akurat dengan memerhatikan nilai HRMS dan
VRMS.

III.4. Pengolahan Data


Pengolahan data terbagi menjadi dua tahapan, yaitu pengolahan data hasil
pengukuran detail situasi pemetaan GNSS dan data raw foto udara.

III.4.1. Pengolahan Data Hasil Pemetaan GNSS


Data yang dihasilkan dari pengukuran diunduh secara langsung setiap setelah
selesai melakukan proses pengukuran ke dalam laptop yang digunakan untuk
mengolah data. Data-data tersebut kemudian dimasukkan ke dalam satu folder agar
mudah dalam mengelola data tersebut. Data yang diunduh memiliki format .txt yang
kemudian dikonversi ke dalam format .xls atau format dari aplikasi Microsoft Excel.
Data dari hasil pengukuran tidak hanya berupa koordinat saja namun ada data waktu
pengamatan, RMS, tanggal pengamatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, data tersebut
disesuaikan terlebih dahulu agar hanya data koordinat dan X, Y, dan Z saja yang tersisa
karena data koordinat tersebut yang nantinya akan diolah untuk dijadikan peta situasi.

III.4.2. Pengolahan Data Raw Foto Udara


Hasil pemetaan dengan metode fotogrametri berupa data raw foto udara akan
diolah menjadi orthofoto menggunakan software Agisoft PhotoScanner. Sebelum
melakukan pengolahan menggunakan aplikasi Agisoft PhotoScanner, hal yang perlu
dipersiapkan adalah menyiapkan data koordinat GCP dalam format .csv. Dalam
membuat orthofoto terdapat beberapa tahapan yang dilakukan, antara lain:

1. Klik menu Add Chunk pada tab workspace.


2. Mengimport foto dengan cara klik kanan pada chunk → Add Photos... → pilih
foto → klik OK.
3. Menyeleksi foto yang digunakan dengan menghapus sebagian foto yang tidak
diperlukan menggunakan Rectangle Selection → klik kanan lembar kerja →
Remove Camera.
4. Menginput GCP dengan cara membuka tab reference kemudian klik menu
Import → pilih file GCP dalam format .csv → klik OK.
5. Membuka tab workspace, kemudian klik kanan pada Chunk → process → Align
Photos. Pada Accuracy pilih Medium.
6. Mencentang bagian reference pairperselection untuk menggunakan GCP
sebagai parameter dalam proses alignment. Setelah itu klik OK.
7. Membuka tab workspace, kemudian klik kanan pada Chunk → process → Build
Dense Cloud. Pada Quality pilih Medium kemudian klik OK.
8. Membuka tab workspace, kemudian klik kanan pada Chunk → process → Build
Mesh. Pada Surface Type pilih height field dan pada sumber data pilih Dense
Cloud sedangkan pada Polygon Cloud pilih High. Setelah itu, klik OK.
9. Membuka tab workspace, kemudian klik kanan pada Chunk → process → Build
Texture. Untuk Mapping Mode pilih Orthophoto dan untuk Blending Mode pilih
Mosaic (default), kemudian klik OK. Hasil dari build texture adalah orthofoto.
10. Melakukan export orthofoto dengan klik menu File → Export Orthophoto →
Export JPEG/TIFF/PNG. Untuk Type Projection pilih Geographic dan untuk
Blending Mode pilih Mosaic (default).
11. Memilih lokasi penyimpanan di komputer, setelah itu klik Save.

III.4. Penggambaran Peta Digital


Penggambaran peta digital dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
Microsoft Excel, ArcGIS ArcMap 10.5, Surpac, dan AutoCAD Civil 3D 2018. Tahap
penggambaran peta digital dibagi menjadi beberapa tahapan antara lain yaitu
konturing, digitasi objek situasi, simbologi, dan layouting. Berikut adalah tahapan
dalam menggambar peta digital :

1. Data koordinat hasil pengukuran detail menggunakan metode GNSS yang sudah
tersimpan dalam Microsoft Excel diubah menjadi format .csv agar dapat
diimport ke dalam aplikasi ArcGIS ArcMap 10.5.
2. Menginput data koordinat X,Y, Z dengan format .csv ke dalam aplikasi ArcGIS
ArcMap 10.5.
3. Melakukan ekspor data dari data titik detail yang telah diinput ke dalam aplikasi
ArcMap 10.5 agar data dapat diedit dengan cara klik kanan layer data titik detail
→ Data → Export Data → menentukan lokasi penyimpanan → klik OK.
4. Mengubah sistem koordinat dari data detail yang pada awalnya memiliki sistem
koordinat DGN95 TM-3 49.1 menjadi sistem koordinat UTM 49S dengan menu
ArcToolbox → Data Management Tools → Projections and Transformations →
Project. Meskipun sudah diubah ke sistem koordinat UTM 49S, data pada
attribute table masih tetap berupa koordinat DGN95 TM-3 49.1.
5. Shapefile data detail yang telah memiliki sistem koordinat UTM 49S kemudian
diinput ke aplikasi AutoCAD Civil 3D 2018 lalu disimpan dengan versi yang
lebih rendah yaitu 2010.
6. Menginput data .dwg titik detail yang sudah disimpan ke dalam lembar kerja
aplikasi Surpac.
7. Menyimpan data detail yang sudah diinput ke dalam format.str (string).
8. File string dari data detail kemudian dibuka dengan aplikasi Microsoft Excel
dengan cara klik kanan file → Open with → Microsoft Excel.
9. Menyusun data koordinat detail pada Microsoft Excel dengan rapi.
10. Melakukan konversi data detail yang sistem koordinatnya UTM 49S dari format
.xls ke dalam format .csv.
11. Menginput data detail dengan format .csv ke dalam aplikasi AutoCAD Civil 3D
2018 dengan menu Add Point, kemudian memasukkannya ke dalam point
groups.
12. Membuat surface dengan cara membuka meu Toolspace → klik kanan Surfaces
→ Create Surface → pilih tipe TIN Surface → isikan nama surface pada tab
Name → pada Style pilih Contours 1m and 5m (Background) → klik OK.
13. Membuka menu Toolspace klik tombol + di sebelah Surfaces untuk membuka
sub menu dari Surfaces → memilih surface yang baru saja dibuat → membuka
sub menu dari surface yang baru saja dibuat → Definition → klik kanan Point
Groups → Add... → pilih point groups dari titik detail yang sudah dibuat
sebelumnya → klik OK. Hasil surface akan muncul pada lembar kerja AutoCAD.
14. Klik suface pada lembar kerja → memiilih menu Extract from Surface → Extract
Objects → mencentang semua opsi → klik OK.
15. Menghapus boundary surface.
16. Memperhalus garis kontur dengan mengubah jenis garis menjadi Spline dengan
cara ketik PEDIT pada tab command → Multiple → menyeleksi seluruh garis
kontur → menekan Enter → Spline → menekan Enter.
17. Melakukan ekspor garis kontur ke dalam format .shp dengan cara ketik
MAPEXPORT pada command → menentukan lokasi penyimpanan dan memilih
tipe ESRI Shapefile → klik OK → pada tab Selection pilih Object Type: Line →
Select objects to export: Select All → pada tab Data klik Select Attributes
kemudian pilih atribut X, Y, dan Z → klik OK → klik OK.
18. Menginput garis kontur, data titik detail dengan sistem koordinat UTM 49S, dan
orthofoto hasil pengolahan survei fotogrametri ke dalam aplikasi ArcMap 10.5.
19. Melakukan editing kontur yang masih rusak dengan menggunakan orthofoto
sebagai basemap.
20. Melakukan digitasi objek situasi dengan bantuan titik-titik hasil pemetaan situasi
dengan metode GNSS dan orthofoto hasil pemetaan fotogrametri.
21. Mengatur ukuran kertas menjadi A1 dengan cara pilih menu File → Page and
Print Setup...
22. Melakukan editing seperti simbologi, toponimi, dan layouting sesuai dengan
kaidah kartografi.
23. Mengubah skala menjadi skala 1:5.000.
24. Mengexport peta ke dalam format .pdf.
BAB IV
PEMBAHASAN

IV.1. Hasil Orthofoto


IV.2. Hasil Penggambaran Peta Situasi
IV.3. Hambatan dan Solusi
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, H., Z., 2000. Penentuan Posisi Dengan GPS dan Aplikasinya. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Amrizal, 2016. Modul Guru Pembelajar Paket Keahlian Geomatika. Medan: Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang
Bangunan dan Listrik.
Arjiansah, R.I., Yuwono, B.D., & Amarrohman, F.J., 2016. Analisis Ketelitian
Pengamatan GPS Menggunakan Single Frekuensi dan Dual Frekuensi Untuk
Kerangka Kontrol Horizontal. Geodesi Undip, 5 (4), hal. 254-262.
Badan Pertanahan Nasional, 2011. On The Job Training Pengenalan CORS
(Continiosly Operating Reference Stasiun). Jakarta Selatan: Direktorat
Pengukuran Dasar Deputi Survei, Pengukuran dan Pemetaan Badan Pertahan
Nasional Republik Indonesia.
Basuki, I., & Iskandar, H., 1999. Penggunaan Global Positioning System (GPS) Untuk
Pembuatan Peta Situasi Pada Sub DAS Jeratun Seluna. Tesis. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hajar, A., Wijaya, A.P., & Bashit, N., 2017. Pemanfaatan Lidar Untuk Evaluasi
Ketinggian Bangunan di Kawasan Jalan Pandanaran, Semarang. Geodesi Undip,
6 (4), hal. 361-370.
Hamur, P.K., Tjahjadi, E., & Yuliananda, A., 2019. Kajian Pengolahan Data Foto
Udara Menggunakan Perangkat Lunak Agisoft Photoscan Dan Pix4d Mapper.
Tesis. Institut Teknologi Nasional Malang, Malang.
Handoko, D., Widjadjanti, N., & Muslim, B., 2019. Performa Metode Precise Point
Positioning (PPP) Dengan Koreksi Ionosfer Orde 1 Pada Data Pengamatan
Stasiun CORS BIG. Elipsoida, 2 (2), hal. 78-84.
Indradi, IG. & Subroto, T., 2014. Kartografi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional.
Lumbantobing, M., Wikantika, K., & Harto, A.G., 2017. Peningkatan Akurasi
Interpretasi Foto Udara Menggunakan Metode Pembobotan Berbasis Objek
untuk Pembentukan Peta Skala 1:5000. Reka Geomatika, 2017 (1), hal. 1-11.
Marbawi, dkk, 2015. Analisis Pengukuran Bidang Tanah Menggunakan GNSS RTK-
Radio dan RTK-NTRIP pada Stasiun CORS Undip, 4 (4), hal. 297-306.
Paine, D.P., & Kiser, J.D., 2012. Aerial Photography and Image Interpretation.
Canada : John Wiley & Sons.
PP No. 8 Tahun 2013. Tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Jakarta :
Kementerian Sekretarian Negara.
Prasetyaningsih, D., 2012. Partisipasi Indonesia Dalam Pembahasan Sistem Satelit
Navigasi Global (Global Navigation System Satellite) Dalam Sidang
UNCOPUOS, 13 (4), hal. 121-130.
Rahman, A., 2013. Pengantar Kartografi dan Sistem Informasi Geografis. Banjarbaru:
P3AI Universitas Lambung Mangkurat.
Rassarandi, F.D., 2016. Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa
Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Integrasi, 8 (1), hal. 50-55.
Somantri, L., 2008. Pemanfaatan Teknik Penginderaan Jauh untuk Mengidentifikasi
Kerentanan dan Risiko Banjir. Geografi Gea, 8 (2).
Wellenhof, B.H., Lichtenegger, H., & Wasle, E., 2008. GNSS Global Navigation
Satellite Systems. Austria: SpringerWienNewYork.
Wijaya, G.M.A., 2019. Optimasi Akurasi Posisi dengan Metode Real Time Kinematic.
Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Lampung, Lampung.
Wahyono, E.B., & Suyudi, B., 2017. Fotogrametri Terapan. Yogyakarta : Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai