Anda di halaman 1dari 5

Maghriva Nashfati

08211740000097

Manajemen Transportasi Perkotaan (A)

The Impact of Carsharing on Car Ownership in German Cities

Dr. Flemming Giesel, Dr. Claudia Nobis

Summary

Moda transportasi yang paling dominan di Jerman adalah mobil, 58% perjalanan dan 79%
passenger-kilometers dilakukan dengan mobil. Meskipun terdapat sistem transportasi public
yang memadai, 50% perjalanan dan 71% passenger-kilometers tetap dilakukan dengan
mobil. Lalu lintas perkotaan dapat menyebabkan kemacetan, polusi udara, emisi CO2,
keterbatasan lahan parkir, dan kebisingan. Diperlukan strategi untuk mengurangi penggunaan
mobil untuk mengurangi dampak lalu lintas perkotaan. Carsharing saat ini sedang berkembang
pesat di Jerman dan terus meningkat angka penggunanya. Di Jerman terdapat sistem ”free-
floating carsharing” yang menawarkan peminjaman satu arah dan pembayaran per-menit
serta sistem “station-based carsharing.” Jenis mobil yang digunakan pengumpan carsharing
banyak berupa model terbaru dengan nilai emisi dan konsumsi energi rendah serta kendaraan
listrik. Sistem carsharing bertujuan mengurangi penggunaan mobil serta kepemilikan mobil
pribadi untuk mengurangi dampak-dampak lalu lintas. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dampak carsharing terhadap permintaan transportasi dan lingkungan perkotaan.

Dampak carsharing terhadap lingkungan dan kepemilikan mobil pribadi dapat beragam dari
positif hingga negative. Kemungkinan penggunaan carsharing dapat mengarah pada
melepaskan mobil mereka atau membeli mobil. Beberapa penelitian mengenai dampak
lingkungan station-based carsharing menunjukkan angka yang cukup tinggi terhadap
pengurangan kepemilikan mobil pribadi. Dengan mengikuti organisasi carsharing, angka
keluarga tanpa mobil meningkat dengan signifikan. Sedangkan penelitian mengenai dampak
free-floating carsharing menunjukkan angka yang tidak terlalu tinggi mengenai pengurangan
kepemilikan mobil pribadi mengingat sistem ini baru dimulai tahun 2009. Meskipun begitu,
salah satu alasan utama pelepasan mobil atau tidak memiliki mobil adalah adanya sistem
carsharing.
Penelitian ini menggunakan data dari 819 pengguna DriveNow (free-floating carsharing) dan
227 pengguna Flinkster (station-based carsharing). Sosio demografi responden dinilai
mempengaruhi penggunaan sistem carsharing. Hasil yang didapatkan menunjukkan
pengguna DriveNow didominasi kalangan muda sedangkan Flinkster cenderung lebih tua.
Ditemukan juga bahwa kedua sistem carsharing lebih banyak digunakan oleh laki-laki.
Pengguna carsharing juga cenderung berpendidikan tinggi serta tinggal di rumah untuk satu-
dua orang. Mayoritas pengguna juga merupakan pegawai tetap dengan rata-rata pendapatan
relatif tinggi. Pengguna sistem carsharing lebih banyak tinggal di daerah kepadatan tinggi dan
di dalam kota. Mayoritas pengguna Flinkster tidak memiliki mobil pribadi sedangkan pengguna
DriveNow kurang dari setengah. Alasan tidak memiliki mobil pribadi beragam mulai dari mobil
pribadi tidak terlalu penting, alasan biaya, sudah cukup dengan carsharing, tidak
membutuhkan mobil pribadi, hingga alasan lingkungan. Responden yang memiliki rencana
melepaskan mobil pribadi mereka menjawab bahwa ketersediaan carsharing sudah cukup
untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, sistem carsharing memiliki potensi yang bagus
untuk mendorong pengurangan kepemilikan mobil pribadi. Responden yang sudah
melepaskan mobil pribadi mereka mayoritas menjadikan carsharing sebagai alasan. Meskipun
bukan alasan utama namun carsharing merupakan faktor penting. Selain alasan carsharing,
responden lain melepaskan mobil pribadi mereka karena biaya tinggi untuk mobil pribadi dan
sudah tidak membutuhkan mobil pribadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin sering
menggunakan carsharing, semakin tinggi kemungkinan pengguna melepaskan mobil pribadi
mereka. Walaupun dapat mengurangi kepemilikan mobil pribadi, Sebagian kecil responden
juga menunjukkan rencana untuk membeli kendaraan dengan alasan fleksibilitas dan
kemandirian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar keluarga dan kenyamanan
menggunakan mobil, semakin besar kemungkinan untuk membeli mobil pribadi.

Untuk banyak orang, ketersediaan carsharing adalah faktor penting untuk memilih tidak
memiliki mobil pribadi. Carsharing juga memiliki potensi besar untuk mengurangi kepemilikan
mobil. Hasil analisis empiris menunjukkan bahwa kedua sistem carsharing menuju pada
pengurangan mobil pribadi. Kombinasi kedua sistem ini semakin memperbesar potensi
tersebut. Dalam rangka memaksimalkan dampak carsharing, pengguna diharapakan dapat
menunjukkan bahwa mobil pribadi tidak begitu diperlukan. Selain itu, perlu juga menjangkau
kelompok perempuan dan kelompok orang tua yang memiliki mobil pribadi untuk
meningkatkan angka pengurangan kepemilikan mobil pribadi. Perluasan area hingga ke
pinggir kota juga perlu untuk menjangkau lebih banyak orang.
Critical Review

Transport Demand Management (TDM) adalah penerapan strategi dan kebijakan untuk
mengurangi kebutuhan perjalanan, khususnya untuk kendaraan bermotor pribadi atau untuk
mengatur beban transportasi di tempat dan waktu tertentu (Martha Maulidia, 2010). Salah
satu strategi dalam TDM adalah memperbaiki pilihan transportasi dengan strategi carsharing.
Carsharing berbeda dengan carpooling. Meskipun memiliki tujuan yang sama yaitu
mengurangi penggunaan kendaraan (mobil) pribadi, pendekatan carsharing berbeda dengan
carpooling. Perbedaan paling jelas adalah pada carsharing yang mengendarai mobil adalah
pengguna (end user) sedangkan dalam carpooling sistemnya adalah menumpang pengemudi
yang memiliki tujuan searah (Chun, Matsumoto, Tahara, Chinen, & Endo, 2019). Carsharing
memiliki beberapa sistem yang dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi depo, konfigurasi
trip, dan kepemilikan. Berdasarkan lokasi depo, klasifikasi dapat dibagi menjadi dua yaitu
statsion-based dan free-floating. Station based artinya mobil yang dipinjam harus
dikembalikan pada titik awal mobil diambil, sedangkan free-floating artinya titik pengambilan
dan titik pengembalian dapat dilakukan di dua titik berbeda. Klasifikasi berdasarkan
konfigurasi trip juga dapat dibagi menjadi dua yaitu one-way atau two-way/round trip. Sistem
two-way/round trip mengharuskan pengguna mengembalikan mobil pada titik awal
pengambilan, sedangkan one-way memberikan fleksibilitas pada pengguna untuk
memarkirkan kendaraan dimanapun. Kepemilikan kendaraan dapat dibedakan menjadi
business-to-consumer (B2C) dan peer-to-peer (P2P) carsharing. B2C adalah kendaraan
dimiliki oleh perusahaan atau pemerintah sedangkan P2P merupakan sistem carsharing
dengan kendaraan yang dimiliki pribadi. Faktor yang mempengaruhi penggunaan carsharing
diikelompokkan menjadi demografi sosio ekonomi dan psikologi. Faktor sosio-ekonomi
demografi seperti umur, gender, tingkat pendidikan, pendapatan, ukuran keluarga, dll. Faktor
psikologi seperti persepsi, sikap, dan kebiasaan.

Dalam penelitian ini, penulis menganalisis pengaruh sistem carsharing terhadap kepemilikan
mobil pribadi berdasarkan lokasi depo (station-based dan free-floating). Faktor yang
digunakan dalam penelitian ini adalah faktor demografi sosio-ekonomi. Penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penentu untuk menggunakan jasa carsharing
namun yang paling mempengaruhi adalah ukuran keluarga (household size). Namun pada
akhir penelitian dapat diketahui juga faktor psikologi seperti keinginan membeli mobil atas
dasar kemandirian meskipun sudah menggunakan jasa carsharing. Penulis menjelaskan
bahwa hal ini dapat terjadi pada pecinta mobil.
Dalam jurnal lain yang dilakukan di Indonesia, ditemukan bahwa responden tidak memiliki
keinginan untuk memiliki mobil dalam waktu dekat. Alasan yang diberikan adalah
kekhawatiran mengenai beban kepemilikan seperti perawatan, perbaikan, dan manajemen
risiko kecelakaan. Berkaitan dengan hal itu, penulis mengasumsikan bahwa alasan ini dapat
mendorong pengguna di Indonesia untuk menggunakan jasa carsharing. Kedua jurnal ini
memiliki kesamaan responden yaitu mayoritas umur 20-40 tahun, mayoritas laki-laki, tinggal
dengan satu orang lain di daerah padat, memiliki pekerjaan tetap, serta berpendidikan tinggi.
Dalam jurnal ini disebutkan bahwa 96,4% dari responden (600 responden) memiliki mobil
pribadi, dan 19% diantaranya memiliki lebih dari satu mobil. Kemudian dari 600 responden,
70,3% menyatakan pernah mendengar tentang carsharing dan 67,3% diantaranya pernah
menggunakan jasa carsharing. Hal ini bisa jadi didorong dengan hadirnya ‘Hipcar’ sebagai
jasa carsharing pertama di Jakarta pada tahun 2015. Hasil kuesioner responden menunjukkan
kecenderungan pada sistem one-way dengan tujuan bepergian jarak jauh. Penelitian ini
menunjukkan bahwa 77,3% responden tertarik menggunakan jasa carsharing apabila tersedia
di daerah mereka. Selain itu, 77,4% responden mendukung bahwa carsharing dapat
memenuhi kebutuhan pergerakan masyarakat.

Dari kedua jurnal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya carsharing yang
memadai, masyarakat memiliki kecenderungan untuk berpindah moda. Meskipun respon
terhadap jasa carsharing lebih positif di Jerman, Indonesia khususnya di Jawa juga memiliki
potensi untuk mengembangkan sistem ini. Untuk mencapai tujuan pengurangan kepemilikan,
di Indonesia ditemukan bahwa mayoritas responden masih merasa harus memiliki mobil
pribadi sebagai bukti kerja keras. Mayoritas responden masih menganggap bahwa kekayaan
seseorang dapat diukur dengan kepemilikan mobil. Sedangkan dalam jurnal utama yang
dilakukan di Jerman tidak membahas mengenai persepsi terhadap carsharing secara
psikologis. Namun dilihat dari banyaknya pengguna jasa carsharing (DriveNow dan Flinkster),
dapat diasumsikan bahwa persepsi yang dimiliki pengguna di Jerman berbeda dengan
Indonesia.

Lesson Learned

Setelah mempelajari dan memahami jurnal ini, terdapat beberapa hal yang ditemukan.

1. Carsharing dan carpooling merupakan dua sistem yang berbeda meskipun memiliki
tujuan yang sama.
2. Klasifikasi sistem carsharing yang dapat dipadukan satu sama lainnya, seperti sistem
station-based dan two-way/round trip.
3. Faktor demografi sosio-ekonomi dapat mempengaruhi preferensi moda seseorang,
dengan faktor yang paling menentukan adalah household size atau jumlah keluarga.
4. Dari kedua jurnal, ditemukan bahwa semakin tinggi edukasinya, semakin mungkin
menggunakan jasa carsharing.
5. Nilai sosial di Indonesia yang masih tersugesti dengan penilaian kekayaan seseorang
sehingga carsharing di Indonesia masih dianggap untuk kelas bawah.
6. Semakin banyak dan bagus jasa carsharing, akan semakin menarik pengguna.
Semakin banyak pengguna, semakin besar potensi untuk mengurangi angka
kepemilikan kendaraan pribadi khususnya mobil.
7. Aspek kenyamanan merupakan aspek yang paling sering dicari oleh penduduk dalam
hal penentuan moda transportasi.

Kesimpulan

Transportasi darat saat ini didominasi oleh kendaraan pribadi khususnya mobil. Tingginya
penggunaan mobil pribadi di jalan dapat menyebabkan kemacetan, polusi, emisi CO2,
keterbatasan lahan parkir, serta kebisingan. Sistem carsharing dapat menjadi alternatif moda
untuk mengurangi penggunakaan kendaraan pribadi, khususnya mobil. Selain itu perbaikan
sistem carsharing dapat mengurangi kepemilikan mobil pribadi. Semakin baik sistemnya,
semakin banyak pengguna yang tertarik beralih pada carsharing daripada menggunakan
kendaraan pribadi. Keunggulan carsharing adalah berkurangnya beban membayar asuransi,
perawatan, serta perbaikan karena ditanggung oleh penyedia. Penelitian di Jerman
menunjukkan angka yang positif mengenai dampak carsharing terhadap kepemilikan mobil.
Sedangkan di Indonesia, masih ada stigma mengenai kepemilikan mobil yang menandakan
kekayaan seseorang. Meskipun begitu, Indonesia sendiri memiliki potensi untuk
mengembangkan carsharing seiring dengan pencerdasan masyarakat akan alternatif moda
selain kendaraan pribadi. Hal ini perlu didorong oleh pemerintah agar tujuan mengurangi
penggunaan hingga kepemilikan kendaraan pribadi dapat tercapai.

Anda mungkin juga menyukai