Anda di halaman 1dari 6

Potensi dan Tantangan Kendaraan Listrik untuk

Dekarbonisasi Sektor Transportasi


Penggunaan kendaraan listrik sebagai upaya dekarbonisasi sektor transportasi perlu diperluas dan
didukung sejumlah insentif dan pengembangan.

Oleh Maulina Ulfa

21 Maret 2023

Pengisian daya pada mobil listrik

Foto: Chuttersnap di Unsplash.

Bahan bakar kendaraan berbasis fosil masih menjadi penyumbang signifikan emisi karbon di
Indonesia. Pada tahun 2021, sebanyak 23 persen emisi gas rumah kaca datang dari sektor
transportasi. Jumlah ini diprediksi terus bertambah seiring dengan peningkatan jumlah kendaraan
dan konsumsi bahan bakar.

Dekarbonisasi sektor transportasi menjadi salah satu upaya dan agenda utama untuk mencapai
target emisi nol bersih Indonesia pada 2060. Kendaraan listrik memiliki potensi untuk mendukung
dekarbonisasi sektor transportasi.

Strategi Dekarbonisasi Sektor Transportasi

Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), terdapat tiga strategi dekarbonisasi
kendaraan darat:

Strategi avoid, berkaitan dengan travel demand management atau mengurangi jarak tempuh
manusia. Salah satu kebijakan yang dapat diterapkan adalah bekerja dari rumah (work from home)
atau membatasi durasi bepergian sekitar 15 menit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Strategi shift, dengan berpindah menggunakan kendaraan yang lebih rendah emisi. Strategi ini dapat
dilakukan salah satunya dengan beralih menggunakan kendaraan listrik.

Strategi improve, yakni meningkatkan efisiensi energi dari kendaraan yang digunakan.

Dukungan dan Tantangan Kendaraan Listrik

Dekarbonisasi transportasi darat dapat didukung dengan peningkatan penggunaan kendaraan listrik.
Hasil riset Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 menunjukkan bahwa kendaraan listrik
menghasilkan emisi 7 persen lebih sedikit dan 14 persen lebih rendah biaya per kilometer daripada
mobil berbahan bakar fosil..
Namun, penggunaan kendaraan listrik di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan, di
antaranya:

Kurangnya pemerataan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Saat ini, 88 persen dari
total SPKLU masih terpasang di Jakarta dan Bali.

Lokasi distribusi fast charger dan slow-medium charger yang masih terkonsentrasi di gedung
perkantoran dan bukan di jalan raya.

Kewajiban SPKLU untuk memasang charger 3 port yang masih sangat mahal. Revisi peraturan ini akan
menarik investasi pemasangan SPKLU.

Masih belum optimalnya tingkat utilisasi Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum
(SPBKLU), yang sebagian besar masih digunakan oleh pengguna komersial seperti pengemudi
transportasi online dan logistik.

Terbatasnya akses listrik di daerah pedesaan, terutama untuk wilayah luar Jawa-Bali.

Kebijakan fiskal terkait insentif pada industri kendaraan listrik yang masih terbatas di beberapa kota
besar.

Harga beberapa kendaraan listrik masih terlalu mahal bagi konsumen kelas menengah ke bawah.
Misalnya, harga mobil listrik rata-rata dibanderol Rp 300 – 600 juta.

Belum siapnya industri midstream pembuatan baterai yang terkait dengan rantai pasok kendaraan
listrik.

Untuk itu, IESR merekomendasikan sejumlah cara untuk mengurangi hambatan perluasan
penggunaan kendaraan listrik, di antaranya:

Insentif fiskal berulang berupa pajak karbon dan harga listrik yang dinamis.

Insentif fiskal yang dapat mengurangi selisih biaya kendaraan listrik dan konvensional.

Insentif lain selain non-fiskal seperti pengembangan infrastruktur untuk stasiun pengisian listrik.

Insentif lain yang mendorong masyarakat mengurangi kendaraan konvensional, seperti aturan ketat
emisi kendaraan.

Pada akhirnya, dekarbonisasi sektor transportasi membutuhkan pendekatan holistik untuk


memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal dalam perjalanan ini. Selain kendaraan darat,
dekarbonisasi sektor transportasi juga mesti menyasar transportasi udara dan laut dengan dengan
upaya yang sama.

Untuk itu, pemberian insentif harus dilakukan atas dasar keadilan, yang didukung dengan langkah-
langkah lain untuk membuatnya efektif, semisal meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
menghapus ketimpangan dan kemiskinan, menjamin dan melindungi mata pencaharian masyarakat,
dan banyak lainnya. Selain itu, juga dukungan berupa kesadaran, kemauan, dan partisipasi dari
semua pihak.
Editor: Abul Muamar dan Kresentia Madina

Mewujudkan Transportasi Umum yang Inklusif dan Dapat Diakses


untuk Semua
Berjuang untuk menciptakan tempat yang aman dan dapat diakses oleh semua orang berarti
menerima dan mengenali kebutuhan orang lain yang berbeda dan secara sadar bekerja untuk
menjadi lebih baik.

Oleh Kresentia Madina

26 Januari 2023

tanda parkir berwarna biru bertuliskan “Blue badge holders only” yang menunjukkan ruang khusus
untuk penyandang disabilitas

Foto oleh Jakub Pabis di Unsplash.

Tidak meninggalkan siapa pun (leave no one behind) berarti menyadari dan menerapkan langkah-
langkah yang memungkinkan setiap orang memiliki kehidupan yang baik. Sayangnya, para
penyandang disabilitas di seluruh dunia masih menghadapi banyak rintangan dalam aktivitas
keseharian mereka, termasuk saat hendak bepergian. Hambatan dalam menyediakan transportasi
umum yang dapat diakses masih terjadi di mana-mana.

Minimnya akses

Sebagian kita mungkin mudah saat hendak naik bus ke tempat kerja atau berjalan kaki ke toko
terdekat. Namun, bagi penyandang disabilitas, aktivitas tersebut jauh lebih sulit tanpa dukungan
aksesibilitas yang memadai.

Di Indonesia, misalnya, penyandang disabilitas kesulitan dalam menggunakan transportasi umum,


bahkan taksi online. Mereka harus menemukan ojek modifikasi untuk bepergian. Itu pun mereka
tetap kesulitan karena jumlah kendaraan seperti itu terbatas. Di Nepal, transportasi umum belum
dapat diakses dan aman bagi penyandang disabilitas. Tentunya, ini hanyalah puncak gunung es.

Tindakan kolaboratif dan komprehensif

Mewujudkan angkutan umum yang inklusif bagi penyandang disabilitas memang sulit, tetapi sangat
perlu. Penyandang disabilitas berhak mendapatkan akses fasilitas yang memungkinkan mereka
bepergian dengan mudah, termasuk informasi jadwal hingga ruang khusus yang aman. Hal ini,
tentunya, membutuhkan banyak pendekatan dari berbagai sektor.
Dalam “Masa Depan Disabilitas di Amerika”, peneliti Sarah Roosenblum menyebut bahwa analisis
kebijakan seringkali mengabaikan aspek lain dari penyandang disabilitas, seperti bagaimana mereka
lebih mengandalkan pejalan kaki dan kendaraan pribadi. Oleh karena itu, pembuat kebijakan harus
mengenali hubungan antara transportasi dan inisiatif kebijakan penting lainnya, seperti perencanaan
kota dan pemberian layanan kesehatan, untuk mencapai inklusivitas.

Solusi lain juga muncul setelah bertahun-tahun. Di Australia, pengembang web Cassie Hames sedang
mengembangkan aplikasi “See Me” yang memungkinkan sesama tunanetra untuk memberi tahu
pengemudi bus kapanpun mereka ingin masuk atau keluar. Solusi serupa juga diajukan oleh aplikasi
seluler yang berbasis di Denmark bernama Be My Eyes, yang menghubungkan orang-orang tunanetra
dengan sukarelawan yang dapat membantu mereka.

Upaya untuk menciptakan tempat yang aman dan dapat diakses bagi semua orang untuk tidaklah
mudah. Ini berarti menerima dan mengenali kebutuhan orang yang berbeda dan secara sadar
bekerja menuju yang lebih baik. Menciptakan fasilitas dan ruang yang inklusif dan dapat diakses oleh
penyandang disabilitas harus dimaknai sebagai upaya berkelanjutan dan prioritas oleh semua.

Penerjemah: Abul Muamar

Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.

Menuju Transportasi Perkotaan yang Ramah dan Nyaman


Liputan Khusus 15.06.2021 Biro Komunikasi dan Informasi Publik

JAKARTA - Di berbagaikota di belahan dunia telah lama berkembang pemikiran terpenuhinya


kebutuhan transportasi perkotaan yang ramah dan nyaman. Ramah dan nyaman bagi pengguna juga
ramah bagi lingkungan. Kini kebutuhan transportasi tidak sebatas ramah dan nyaman saja, tetapi juga
harus berkelanjutan.

Menurut Richarson, dalam compact cities in developing countries, mendefinisikan transportasi


berkelanjutan sebagai suatu sistem trasportasi yang penggunaan bahan bakar, emisi kendaraan,
tingkat keamanan, kemacetan, serta akses sosial dan ekonominya tidak menimbulkan dampak
negatif yang tidak dapat diantisipasi generasi yang akan datang.

Anggaran Terbatas

Di kota-kota besar di Indonesia, bahkan di kota-kota dengan skala yang lebih kecil, permasalahan
kemacetan lalu lintas telah mengemuka menjadi permasalah sosial yang akut. Pertumbuhan dan
pertambahan penduduk yang cepat, meningkatnya urbanisasi, lambatnya perluasan sarana jalan,
bertambahnya penggunaan kendaraan pribadi dengan pertumbuhan yang sangat cepat,
menimbulkan dampak baru bagi sebuah kota. Bukan saja menimbulkan kemacetan, tetapi juga
kesemrawutan lalu lintas, polusi, hingga meningkatnya angka kecelakaan.

Penyediaan sarana transportasi umum merupakan sebuah solusi. Namun, tidak banyak kota-kota
besar di dunia bahkan di Indonesia memiliki anggaran yang cukup dan memadai untuk menyediakan
sarana transportasi yang terintegrasi, aman, dan nyaman.

Selain itu, transportasi perkotaan masih belum terintegrasi dengan seluruh moda yang ada, sehingga
menyebabkan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum masih kecil. Paradigma
masyarakat terhadap penggunaan transportasi umum juga belum berubah, yaitu masih banyak
masyarakat yang memilih menggunakan kendaraan pribadi jika dibandingkan dengan menggunakan
kendaraan umum. Yang terjadi kemudian adalah kemacetan dimana-mana.

Masalah Kemacetan

Sudah banyak studi yang mengungkap mengenai dampak buruk kemacetan lalu lintas. Pertama,
terjadinya pemborosan penggunaan energi bahan bakar yang kian masif. Terlebih saat ini Indonesia
adalah importir BBM. Kedua, menimbulkan dampak unproduktif bagi masyarakat, karena sebagian
besar waktu hilang di perjalanan Ketiga, menimbulkan penyakit psikososial, yaitu stress, panik dan
marah. Keempat, meningkatnya kadar polusi dan terus berkurangnya kesediaan udara bersih dan
segar. Berbagai implikasi negatif juga muncul.

Di tengah upaya penataan transportasi perkotaan yang tidak hanya berperan sebagai alat untuk
mobilisasi masyarakat dan melakukan perpindahan dan perpindahan dari satu wilayah ke wilayah
lain dengan cepat, transportasi perkotaan juga berperan penting dalam mendorong perkembangan
dan kemajuan ekonomi.

Kementerian Perhubungan sebagai salah satu pengemban amanah penyediaan layanan transportasi
yang aman dan nyaman terus berupaya memberikan layanan transportasi yang memadai dan
menyesuaikan dengan kebutuhan transportasi yang diperlukan masyarakat.

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sebagai instansi pusat yang secara teknis membina
penyelenggaraan transportasi, awal pekan lalu, selama 3 hari (tanggal 9 Juni -11 Juni 2021)
menggelar Bimbingan Teknis Angkutan Perkotaan di Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Bimbingan Teknis
Angkutan Perkotaan dilakukan dengan maksud mendorong pemerintah daerah mempersiapkan dan
meningkatkan kinerja pelayanan transportasi kepada masyarakat.

"Kami mendorong pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota untuk mempersiapkan dan


meningkatkan kinerja pelayanan transportasi perkotaan di wilayah masing-masing,” ujar Sekretaris
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Marta Hardisarwono, yang
memberikan sambutan dalam acara tersebut.

Bimbingan teknis ini, lanjut Marta, juga diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada insan
perhubungan dan pemerintah daerah atas hal-hal terkait rencana pengembangan dan
penyelenggaraan angkutan perkotaan.

Angkutan Perkotaan yang Aman dan Nyaman Prioritas Nasional

Menurut Marta, program pengembangan angkutan umum massal perkotaan merupakan salah satu
bagian kegiatan dari program prioritas nasional sebagaimana tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Program bantuan bus dari pusat ke daerah, yang merupakan target dari RPJMN 2020-2024 yang telah
berjalan sebelumnya, dinilai oleh banyak kalangan kurang berhasil. Oleh karena itu Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat membuat sebuah terobosan yang inovatif yaitu Program
Pengembangan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di wilayah perkotaan dengan skema Buy
The Service.

Konsep Buy The Service yang berbasis aplikasi ini didukung oleh manajemen yang baik dalam
melaksanakan monitoring dan evaluasi yang meliputi sistem operasional, sistem pemeliharaan,
sistem pengelolaan keuangan, dan sistem SDM yang didukung dengan teknologi digital secara real
time untuk menuju angkutan umum yang lebih profesional.

Layanan transportasi publik berbasis aplikasi ini dinamakan “TEMAN BUS” yang diharapkan menjadi
bagian digitalisasi 4.0 smart city program yang mendukung cashless society. TEMAN BUS merupakan
implementasi dari program Buy The Service yang memberikan subsidi penuh bagi operator dengan
fasilitas pendukung di bus yang lebih baik untuk meningkatkan pelayanan dengan harapan lebih
banyak masyarakat yang beralih ke moda transportasi publik.

Pada tahun 2020, pilot project program “TEMAN BUS” telah hadir 5 (lima) kota yaitu Medan,
Palembang, Yogyakarta, Surakarta, dan Bali. Diharapkan layanan TEMAN BUS pada tahun mendatang
semakin banyak berkembang dan hadir di kota-kota lain serta memberikan dampak yang signifikan
dalam menekan tingkat polusi udara dan menghemat penggunaan bahan bakar fosil, dimana secara
bertahap salah satu koridor nantinya direncanakan menggunakan kendaraan bus listrik.

Selain itu pemanfaatan Intelligent Transport System (ITS) untuk mendukung pengembangan sistem
angkutan umum perkotaan dan pengembangan wilayah perkotaan diharapkan dapat menciptakan
transportasi perkotaan yang cerdas, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Kasubdit Angkutan Perkotaan, Direktorat Angkutan Jalan, Ditjen Perhubungan Darat, Kemenhub,
Budi Prayitno, menyebut, bimbingan teknis ini melibatkan berbagai instansi dan lembaga terkait,
yaitu Bappenas, PT. Surveyor Indonesia, internal Kementerian Perhubungan, juga peserta dari Dinas
Perhubungan Provinsi/Kabupaten/Kota dan Balai Pengelola Transportasi Darat dari 11 wilayah, serta
para mitra kerja dalam dukungan pengembangan angkutan massal di wilayah perkotaan.
(IS/AS/HG/HT/JD)

Anda mungkin juga menyukai