Anda di halaman 1dari 6

Tari Sajo Wowine Mungkin Akan Punah

Sajo Wowine tarian Tomia paling tua, diwariskan dari generasi ke generasi, masyarakat biasanya
hanya menyebutnya dengan nama Sajo. Sejak kecil Sajo Wowine tidak asing ditelinga karena Ibu
saya seorang penari Sajo Wowine. Rasa tertarik muncul ketika pertama kali saya melihat tari sajo
ditampilkan pada festival Benteng Patua tahun 2013. Dimasa lalu sajo menjadi tarian yang paling
sering ditampilkan, berbeda dengan sekarang Tari Sajo sangat jarang ditampilkan, tidak heran di
benteng Patua pertama dan terakhir saya melihat Sajo Wowine. Sajo Wowine sebuah tarian
yang populer hingga tahun 70 an, bahkan pada masa itu lebih populer dari Sajo Moane (Eja eja).
Generasi tua pasti tau dengan tari Sajo Wowine, berbeda dengan generasi muda yang banyak
tidak mengenal Sajo Wowine karena sekarang sangat jarang ditampikan. Sajo Wowine bermakna
sebuah tarian yang hanya bisa ditarikan oleh perempuan. Berbeda dengan tari Sajo Moane yang
menggambarkan karakter laki-laki yang tegas dan berani. Sajo Wowine merupakan tarian
perempuan yang menampakkan kesopanan, terlihat pada gerakan yang pelan dalam melangkah
dan didominasi oleh gerakan tangan yang lembut.

Tari Sajo Sebelum Tahun 70 an


Menurut ibu saya Sitti Haila (64), dulu tari sajo adalah tarian paling banyak ditampilkan pada
setiap acara, pada perkawinan, guntira, salattanga, bahkan pada acara kematian. Pada masa
lampau latihan Sajo Wowine banyak dilakukan dimalam hari ketika terang bulan. Jumlah penari
Sajo paling sedikit empat orang paling banyak hingga 12 orang. Formasi Sajo Wowine terdiri dari
dua baris jika 12 penari maka tiap baris enam orang. Tahun 60 an akhir ibu saya belajar pada
guru Sajo bernama Wa Hisana. Menurutnya tari Sajo sudah ada sebelum tahun 1900 an, yaitu
sejak orang Waha masih tinggal di Patua dan diperkampungan sekitarnya. Tahun 70 an, saat
Tomia masih bagian dari kabupaten Buton tari sajo bersama tari Saride dan Kadandio mewakili
Pulau Tomia untuk tampil di Baubau, disaksikan oleh bupati Arifin Sugianto. Wa a’isa (70)
mengatakan Tari Sajo Wowine seperti tari Lariangi yaitu penari menari sambil menyanyikan
banti namun keduanya punya perbedaannya masing-masing.

“Dulu waktu kami diutus ke Baubau tari Sajo dirubah dari aslinya, penyanyi dan penari di
pisahkan. Pada formasi baru penyanyi hanya berdiri menyanyi, padahal seharusnya menari dan
bernyanyi banti. Mungkin itu sebabnya tari Sajo Wowine tidak juara pada waktu itu, yang juara
tari Lariangi. Padahal seharusnya yang di pertontonkan adalah keasliannya.” ungkap Wa a’isa

Sejak perubahan tari sajo di tahun 70 an oleh pelati tari, hingga sekarang Tari Sajo Wowine
kesannya selalu ingin diubah dari keasliannya, bahkan sampai pada gerak tarinya.

“Sudah latihan di Tomia, sampai di Baubau kami latihan lagi, karena Tari Sajo mau dipadukan
dengan gerak Tari Buyung. Selendang yang seharusnya dipundak di ikat di pinggang.” Sambung
Wa a'isa

Setelah tahun 70 an Sajo perlahan mengalami kemunduran, banyak faktor yang mempengaruhi.
Menurut Wa a’isa kurangnya regenerasi karena generasi muda sudah banyak bersekolah. Sebab
lain adalah sekitar tahun 60-an masuk tari Lariangi, waktu itu tari Sajo Wowine tersaingi oleh tari
Lariangi dan generasi waktu itu banyak tertarik belajar Lariangi sehingga lupa sama Sajo.
Dulu terdapat banyak bhakkala (Kelompok) Sajo Wowine, bahkan pada zaman Wa a’isa masih
aktif, di Onemai terdapat empat bhakkala. Di Tomia bhakkala Sajo Wowine tersebar di banyak
kampung misalnya di Waumpale, Wali, Kollo Patua, Kahianga, Lagolle, Tiroau, hingga Kulati.

Tari Sajo Sekarang


Pada zaman Wa Unga masih muda belum ada acara joget, pada acara pernikahan hiburannya
Sajo Wowine, selain itu ada Manari Banda dan Balumpa. Sekarang tari Sajo Wowine sangat
jarang di tampilkan, selain itu yang bisa menari Sajo rata-rata usia 60 tahun ke atas. Menurut Wa
a’isa sekarang susah kalau mau menampilkan tari sajo karena harus ibu ibu yang menari, “Gadis
muda susah di ajak belajar Sajo, saya lihat lebih suka joget di depan HPnya. Sementara kami
kalau menari sudah tidak lincah dan kuat seperti waktu muda dulu.”

La Asiru (84) asal desa kulati, Tari Sajo Wowine milik orang Tomia, di Kulati dan didesa lain dulu
ada bhakkala Sajo Wowine, di Kaledupa ada Lariangi di Tomia Sajo Wowine.

“Sempat ada wacana mengembangkan tari Lariangi di Tomia, saya kurang setuju, karena Tomia
punya tariannya sendiri yang di wariskan dari zaman dulu yang juga harus di lestarikan.”

Wa Unga (80) penari Sajo asal desa Wali, ketika ditemui mengatakan sempat ada usaha dari
camat Tomia untuk menghidupkan tari Sajo Wowine.

“Sebelum kalian datang keponakan saya almarhum pak Bahrawi mantan camat Tomia sempat
datang ke rumah. Beliau ingin menggali dan menghidupkan Sajo Wowine, namaun sayang beliau
sudah berpulang.”

Wa Unga Melanjutkan “Kalau menari mungkin masih banyak yang bisa, tapi bantinya sudah
jarang yang bisa karena bantinya tidak sembarang, karena ada nada dan kalimat yang tidak
diubah sejak dulu. Teman seangkatan saya banyak yang sudah meninggal, yang masih hidup
sudah tua dan lupa ba’e (Lirik) bantinya karena faktor usia. Untuk banti Sajo setau saya tinggal
Wa Johari (Johari) yang masih banyak hafal.”

Bhanti Dalam Sajo Wowine


Salah satu elemen terpenting dalam Sajo Wowine selain gerak tarinya dan permainan gendang
adalah pada Syair bantinya. Penari Sajo dituntut menghafal banyak banti, karena saat menari
banti tidak boleh putus, jika putus akan mempengaruhi keindahan tarian. Banti pada Sajo
Wowine menggunakan bahasa Tomia lama serta mengandung pesan yang dalam. Wa Johari (80)
satu satunya penari Sajo yang saya temui yang masih banyak menghafal lirik banti Sajo Wowine.
Karena faktor usia Wa Johari mengaku masih ada beberapa banti yang dilupakan karena sudah
lama tidak menari.

“Saya menari Sajo sejak kecil, saya masih ingat banti dan gerak tarinya, guru saya Wa Nacaru dan
anaknya Wa Binisa dari kampung Waumpale”

Terdapat banyak nama banti Sajo Wowine, banti yang diwarisan sejak dulu dari guru ke murid,
berikut beberapa nama banti Sajo Wowine yang masih diingat Wa Johari diantaranya :

1. Mangu-mangu
2. Bositti
3. Maraha
4. Pujanggano
5. Turuki

Di awal tarian banti pertama dalam Sajo Wowine adalah Bositti sambil menari tanpa iringan
gendang. Pada setiap banti terdapat banti pembuka, yaitu sebuah lirik yang tidak boleh berubah
sejak dulu. Banti pembuka berfungsi untuk menetapkan nada, karena setiap banti beda nada
dan gerak tarinya. Misalnya isi banti pembuka Pujanggano :

Banti pembuka :

“Pujanggano la dhobu a topanggamo.....”

“A topanggamo dhi pangga kau balloro....”

“Edhae... edhae...”

“Maya pujanggano.....”

“Pujanggano dhi Wolio rajale ndi Baubau.....”

“Bonebone batubuti ngaumala na wameo na ngkaubula.....”

Banti-banti :

“Laode mo laodhe mo rato na taka pokana sikisa.....”

“Ara hada pada hada mou te kabumbu no dhete.....”

Setelah melantunkan banti pembuka maka banti-banti biasanya di isi dengan kata bijak atau
pepatah lama Tomia. Durasi tari sajo tidak ada batas, karena disesuaikan dengan isi banti,
sehingga banti-banti juga boleh dikarang sesuai tempat dan situasi. Isi banti boleh untuk
pemimpin, penonton, Pande Ngifi, atau untuk tuan rumah. Walaupun boleh mengarang banti,
namun harus tetap mengikuti nada pada banti pembuka dari tiap banti Sajo. Contoh isi banti
setelah banti pembuka Pujanggano :

Banti-banti :

“Pujanggano ku hormatinne na cama.....”

“Anne ku banti sabake.....”

“Anne ku bumanti sabake bara no seki na larono.....”

“Anne’e ka banti-bantine.....”

“Anne ku bumanti sabake, bara no hengga na larono.....”

“Ara mbula i moosupikami.....”


“Tanga moanengkene yaku, bara i mongko taliku.....”

“Ku hormatinne na haji.....

“Anne’e ka bumanti-bantine, bara no hengga na larono.....”

Isi banti Pujanggano tersebut diciptakan oleh bhakkala Sajo Wa Johari ketika tampil di depan
Kamali untuk mantan Kepala Distrik Tomia. Banti yang ditujukan pada tuan rumah menggunakan
kata dan kalimat yang baik misalnya Kepala distrik disebut camat yang bermakna pujian,
bermakna walaupun era distrik berakhir tetap sama bentuk penghormatannya.

Pakaian Sajo Wowine


Baju yang digunakan disebut Tauliku dengan memakai sarung yang cara pemakaiannya disebut
Hepulli Nolo atau Hepulli Biji. Untuk warna pakaian pada zaman dulu tidak seragam karena saat
itu serba terbatas. Kata Wa A’isa selama gaya berpakaian sama-sama memakai Tauliku dan
sarung, warna tidak jadi masalah, “kalau sekarang sudah bisa kasih seragam warna, karena
sekarang serba ada, dulu tidak seperti sekarang”

Rambut penari Sajo Wowine punya gaya sanggul tersendiri yang dinamakan Sangkula Kidhu.
Kemudian pada bagian sanggul diberi hiasan yang terbuat dari kayu Feulo yang merupakan jenis
kayu lunak, sekarang bisa menggunakan styrofoam. Perlengkapan lain yang menjadi ciri khas
penari Sajo Wowine adalah penggunaan Kambero (Kipas) dan Samba (Selendang) dalam
tarianya.

Tari Ngifi Dalam Sajo Wowine


Tari Ngifi adalah gerakan mengintari penari Sajo yang dilakukan oleh penonton laki-laki yang
disebut Pande Ngifi. Gerakan yang khas tari Ngifi ketika Pande Ngifi menari sambil menjentikkan
jari tangan. Dalam menjentikkan jari Pande Ngifi berusaha menghasilkan bunyi yang nyaring,
sehingga pada jari tangan diciptakan benda yang menghasilkan bunyi, biasanya terbuat dari
uang logam atau tembaga. Ngifi hanya boleh dilakukan pada banti Mangu-mangu dan pada saat
Pajogera. Pajogera adalah ketika penari manari secara begantian sendiri atau dua orang dimulai
dari barisan belakang. Berikut kutipan pembuka dari banti Mangu-mangu :

Banti Pembuka :

“Mangu-mangun to raja.....”

“Mangu pasolle arabu.....”

“Ladhi kunye yedha katoyo.....”


Banti dalam Mangu-mangu ketika ditujukan pada penonton atau pada Pande Ngifi biasanya
berisi kalimat sindiran yang mengundang tawa. Contoh isi banti yang ditujukan pada Pande Ngifi
dan seorang yang sedang jatuh cinta :

Banti-banti :

“Kadima na panimpa u.....”

“kurukurun te kadhola.....”

“No tanga na suli i bente a more i magaribi.....”

“No tanga na suli bente a more i masariki.....”

Dalam tari Ngifi ada pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh Pande Ngifi, yaitu sedikipun tidak
boleh menyentuh atau mengenai penari Sajo. Bukan tanpa alasan, masyarakat Tomia zaman
dulu sangat menghormati perempuan. Menurut Wa Johari menyentuh perempuan walau hanya
di lengan bisa berbahaya karena keluarga perempuan bisa mengamuk. Ada nasehat yang
populer pada zaman itu yang membuat perempuan sangat berhati-hati.

“Bara sala u pokobe kene moane, ara no kobekko i tuno u ko moto kompo i tuno u, Ara no
kobekko i hani u ko moto kompo i hani u.”

“Jangan bersentuhan dengan laki-laki, tumitmu di sentuh kau akan hamil di tumitmu. Lenganmu
disentuh kau akan hamil di lenganmu.”

Sambil tersenyum, Wa Johari melanjutkan “Gara-gara nasehat itu saya takut bersentuhan
dengan laki-laki sehingga saya tidak bersekolah dan banyak perempuan di zaman itu takut
sekolah atau tidak di izinkan bersekolah oleh orang tua.”

Setelah Ngifi ada pemberian hadiah oleh Pande Ngifi, hadiah biasanya berupa uang. Dalam
pemberian hadiah ada beberapa cara, misalnya menarik selendang untuk menaru uang,
kemudian dikembalikan ke penari atau cukup menaru di dekat penari. Hadiah Ngifi saat banti
Mangu-mangu biasanya langsung diberikan kepada orang tua penari. Pembagian hasil Ngifi
tergantung, kalau diundang uang Ngifi dimiliki masing-masing penari. Jika tidak diundang uang
Ngifi dikumpulkan kemudian dibagi untuk penari beserta guru. Pembagian hasil Ngifi juga
berbeda pada tiap penari, pada barisan depan bagiannya lebih besar dari penari barisan tengah
dan belakang. Hasil Ngifi tiap penari berbeda-beda, menurut Wa Johari Pande Ngifi dalam
memberi hadiah biasanya mengutamakan keluraganya, sehingga semakin banyak keluarga yang
hadir maka semakin banyak uang Ngifinya.

Musik Pengiring
Saat ini Pande Rambi (Penabuh gendang) yang bisa mengiri tari Sajo Wowine sudah jarang yang
tau. Dulu upah untuk pemain gendang diberikan oleh tuan rumah. Alat musik pengiring tari Sajo
Wowine terdiri dari Ganda, Mbololo, Tafatafa, Ndundu. Sama seperti penari, Pande Rambi Juga
harus mampu menabuh berjam-jam karena Sajo merupakan tarian yang berdurasi lama.
Sebelum Sajo Wowine Punah
Jika Sajo Wowine punah Tomia kehilangan salah satu tarian terbaiknya. Sebuah seni yang mahal
karena merupakan tarian tua yang terwariskan dari generasi terdahulu. Tanpa regenerasi, maka
berdasarkan usia penari Sajo Wowine yang rata-rata berusia lanjut, maka Sajo Wowine tidak
lama lagi. Ada banyak langkah yang bisa dilakukan, diantaranya :

1. Saatnya Tomia punya sanggar tari


Tidak hanya Sajo Wowine, di Tomia banyak tarian asli yang harus dilestarikan, salah
satunya dengan adanya sanggar tari. Sajo Wowine butuh regenerasi, maka sanggar tari
bisa menjadi tempat bagi generasi muda untuk mengenal dan belajar tari Sajo Wowine.
2. Sajo diajarkan di sekolah
Tari tradisional dapat berperanan dalam pembentukan pribadi atau mental generasi
muda, karena tari tradisional Tomia terdapat nilai-nilai dan ajaran. Aristoteles
(Brainly:2019) menyatakan bahwa seni tari yaitu sebuah gerakan ritmis yang mempunyai
tujuan untuk menghadirkan sebuah karakter manusia, yang sebagaimana mereka
bertindak dan menderita.
3. Sajo Wowine bisa diperlombakan
Lomba Sajo Wowine bisa menjadi salah satu cara agar dikenal. Lomba Sajo Wowine
bukan hal baru, dulu Sajo Wowine dilombakan. Wa Johari (80) yang merupakan anggota
bhakkala Sajo dari kampung Waumpale juara satu ketika tampil di Kamali Onemai yang
diikuti oleh Bhakkala dari berbagai kampung. Saat itu kata Wa Johari yang menjadi
penilaian utama selain tariannya adalah isi bantinya.
4. Sajo Wowine diberi ruang untuk tampil
Salah satu cara membesarkan tari Sajo Wowine adalah dengan diberi ruang untuk
tampil, misalnya pada acara besar seperti festival dan lain sebagainya. Jika kita melihat
ke belakang, dulu sajo Wowine bisa sangat eksis karena sering ditampilkan pada setiap
acara.
5. Inventarisasi Sajo Wowine
Inventarisasi merupakan salah cara memperlambat kepunahan budaya. Inventarisasi
masih kurang dilakukan terutama terhadap berbagai budaya takbenda yang ada di
Wakatobi. Dalam Sajo Wowine perlu dilakukan Inventarisasi dalam bentuk rekaman
pada nada serta isi banti, juga pada permainan gendang dan gerak tarinya.

Anda mungkin juga menyukai