Anda di halaman 1dari 2

Pada masa kejayaan Samboyo putro pada tahun 1985 pak sukiman dahulu memiliki hubungan erat

dengan pak sudiono (ngetrep lor-prambon-nganjuk). yang sekarang menjadi pemimpin samboyo
putro dari tahun 1990-an sampai sekarang). hubungan erat seperti keluarga sendiri,karena sebelum
pak sudiono menjadi pemimpin samboyo putro pengganti pak sukiman,pak sudiono dulu bekerja
sebagai bisnis kayu,apabila pak sudiono mengadakan tebang pilih pohon dihutan,pak sukiman
selalu memberikan izin tebang pohon,sebaliknya. Apabila pak sukiman membutuhkan bahan baku
untuk membuat barongan/klono,pak sudiono selalu membantu memilih kayu.
Ketika acara pementasan Samboyo Putro, Pak Sukiman selalu mengundang pak sudiono supaya
hadir diacara tersebut, padahal waktu itu pak sudiono kurang berminat dengan kesenian jaranan.
Kemudian di sela-sela acara, ketika pementasan berlangsung pak sukiman berkata sambil
bercanda "No..!!! samboyo ki mbesok sing ngopeni wong nganjuk loh...!" pak sudiono tidak tahu
kalau yang dimaksut pak sukiman adalah dirinya sendiri, kemudian pak sukiman mengajak pak
sudiono ke petilasan sri aji joyoboyo di pamenang. "olehku biyen ki ko kene loh...!" kata pak
sukiman,pak sudiono tidak mengerti apa yang dimaksud. ketika perjalanan pulang, pak sudiono
tidur kaget dalam mimpi pak sudiono memegang pecut/cemethi dan memakai baju bopo/gambuh.
yang diartikan generasi penerus samboyo putro setelah pak sukiman adalah pak sudiono sendiri.
Pada tahun 1990 Pak samboyo atau pak sukiman meninggal,dan samboyo putro hampir bubar,
karena personel/gambuh banyak yang tidak mau meneruskan,mereka memilih bubar atau
mendirikan grup jaranan lain. kemudian samboyo putro sementara dipimpin oleh pak sumantri atau
pak tri,tetapi tidak berangsur lama,setelah banyak konflik-konflik yang berlanjut,akhirnya pak tri
hanya memimpin samboyo putro selama 2 tahun.
Kemudian pak sudiono mendapat wangsit dari pamenang. Dalam wangsitnya pak samboyo harus
meneruskan generasi samboyo putro,tetapi dalam arti samboyo putro harus diboyong di daerah
asal pak sudiono di ngetrep lor-prambon-nganjuk. karena pada saat masa itu banyak sekali saingan
antar grup jaranan dan konflik yang berlanjut,akhirnya pak sudiono memboyong semua peralatan
samboyo putro dari bandar lor (kediri kota) ke ngetrep lor-kurungrejo-prambon (nganjuk) dan
memulailah pak sudiono merintis kembali samboyo putro yang dulu vakum selama satu tahun
kemudian dihidupkan kembali. untuk mengenang jasa pak sukiman,pada barongan samboyo putro
(barongan samboyo putro yang bernama mbah legi,pak dhe sukiman,dan pakdhe cokro miharjo)
diberi nama "bhayangkara" yang artinya keberanian melawan bebaya/marabahaya. Dahulu
samboyo putro pernah mendapatkan penghargaan dari sinuwun HamengkuBuwono X berupa
kenang-kenangan berwujud logo keraton ngayogjakarta. barongan mbah legi mendapatkan
sematan langsung dari sinuwun H.B X sendiri.
setelah pak sukiman pendiri samboyo putro meninggal pada tahun 1990. sebagian grup ini
bereankarnasi dan terpecah belah menjadi grup jaranan lain di bandar lor seperti SANJOYO
PUTRO yang dahulu didirikan oleh pak sarpan.
Sebelum samboyo berdiri jaranan pakelan adalah jaranan yang sudah bisa berdiri dengan eksis di
kediri. Para pemain jaranan pakelan itu rata-rata dahulu berasal dari LKN. Samboyo bubar pada
tahun 1990an bersamaan dengan meninggalnya bapak Samboyo sebagai pimpinan jaranan itu.
Pasca Samboyo bubar, kesenian jaranan sudah mulai merebak hampir diseluruh desa yang ada di
kota kediri memiliki jaranan masing-masing. Akan tetapi mereka juga masih berkiblat dan memiliki
karakter seperti jaranan Samboyo. (Pardi dan endah)

Kreasi Baru dan Proyek Dinas Pariwisata


Kediri[sunting | sunting sumber]
Dalam pandangan Mbah Ketang, Gerakan joget pada jaranan itu adalah pakem dan tidak bisa
diubah. Kalau jaranan Wijaya Putra itu memiliki 24 macam gerakan. Berubahnya jaranan itu hanya
pada peralatan yang dimainkan saja. Kalau Wijaya Putra dan Sanjaya Putra masih
mempertahankan pakem yang ada pada jaranan. kepakeman jaranan akan senantiasa
dipertahankan oleh Sanjaya Putra da Wjaya Putra. Kedua jaranan ini beranggapan bahwa joged
yang sekarang mereka gunakan itu adalah warisan dari leuhurnya. Pakem yang ada itu bagi 2
Komunitas ini harus selalu digunakan pada saat-saat pertunjukan. Kalau pakemnya sudah habis
ditampilkan baru boleh memberikan jaranan yang sudah dikombinasi. Bagi Samboyo dan Wijaya
meninggalkan yang pakem itu sangat menghilangkan naluri jaranan dan menghina tinggalan nenek
moyang mereka.
Berbeda halnya dengan Jayoboyo Putra yang lebih suka berkreasi dengan model-model baru.
Jaranan ini mencoba untuk mengawinkan antara kesenian tradisional dengan modern. Misalnya
dalam lagu-lagunya dicampur dengan samroh ataupun dicampur dengan dangdut. Hal ini dilakukan
oleh Joyoboyo Putro untuk mengikuti permintaan pasar. Ranggalawe juga memiliki paradiga yang
sama dengan Joyoboyo Putro. Dia lebih mengembangkan kesenian pada proyek modifikasi
tarianya.
Perkembangan jaranan paska tahun 1977 meluncur pesat. Kemunculan jaranan kreasi baru ini tidak
lepas dari apa yang dinginkan penonton ataupun yang diinginkan oleh zamanya. Seniman jaranan
biasanya lebih suka bermain dengan jaranan pakem. Akan tetapi biasanya kelompok seniman
jaranan itu memiliki 2 versi. Pertama versi baru yaitu versi kolaborasi dengan kesenian modern.
Kalau yang modern biasanya ditambah dengan sinden, dram dan keyboard. Yang kedua adalah
versi jaranan pakem. Kesenian jaranan pakemanya menggunakan ketuk kenong, gong gumbeng,
kendang dan terompet.
Untuk masalah tarianya nanti disesuaikan dengan pakemnya kelompok masing-masing. Misalnya,
jaranan wijoyo Putro 24 gerakan, Sanjoyo Putro 24 gerakan, Joyoboyo 14 gerakan, ronggolawe
malaah cumin sedikit antara 5-6 gerakan saja. Seniman jaranan selalu memberikan tawaran kepada
para penanggap untuk meimilih versi yang mana.
Kalau pada saat gebyakan atau pada saat upacara nazar mereka selalu menggunakan yang
pakem. Kalau pada saat tanggapan mereka menyerahkan kepada penanggapnya memili yang
mana. Akan tetapi mereka memiliki pakem sendiri-sendiri dalam jogedanya.
Jaranan dahulu untuk penabuhnya tidak ada panggungnya seperti sekararang. Mulai tahun 1980an
jaranan sudah mulai ada panggungnya untuk penabuh. Panggung ini dimaksudkan agar penabuh
dapat leluasa dalam melihat gerakan pemain jaranan. Jaranan di sini tidak ada yang berada di atas
panggung seperti jaranan Safitri Putro. Kalau jaranan Safitri Putro itu bukan jaranan namanya.
Kalau Cuma nari saja dan tidak ada ndadinya namanya adalah campur sari. karena yang namanya
jaranan itu harus ada yang ndadi kalau tidak ada yang ndadi itu namanya bukan jaranan.
Persaingan antar seniman jaranan satu dengan yang lainya rupanya cukup tinggi. Berbagai
kelompok jaranan yang memikliki bos, mereka lebih berani untuk membanting harga. Bagi jaranan
yang sifatnya paguyuban seperti halnya jaranan Wijaya Putra. Akan keberatan dengan penjatuhan
harga seperti ini. Para seniman tidak akan bisa makan apa-apa kalau harga tanggapan itu anjlok.
Tarif tanggapan untuk jaranan Wijaya Putra itu berkisar antara 1500.000 sampai 1000.000 rupiah.
Sedangkan kalau ada jaranan lain yang memiliki bos, pasti berani mengambil di bawahnya. 800.000
sampai 600.000 itu bisa diladeni. "Saya kasihan dengan jaranan-jaranan yang kecil-kecil itu. Karena
saya kira jaranan yang kecil itu nanti tidak akan bisa hidup" kata pak gendut dari jaranan Wijaya
Putra itu

Anda mungkin juga menyukai