Anda di halaman 1dari 2

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzz

Zzzzzzzzzzzzzzzzzz
Seni Jaranan ialah sebuah kesenian yang sudah ada pada jaman sebelum masuknya
pengaruh Hindu dan Buddha. Kesenian ini merupakan bentuk Samanisme dalam ajaran animisme,
yaitu dengan memasukkan roh leluhur (iyang/hyang) kepada tubuh seseorang untuk mencari berita
gaib atau informasi ramalan dari punden leluhur di desanya atau wanua dalam
kebudayaan austronesia. [1] Diarsipkan 2020-12-02 di Wayback Machine.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Penari Jaranan cilik dari Banyuwangi, Jawa


Timur (2017).
Jaranan merupakan praktik animisme melalui pawang atau dukun dengan memasukkan roh
atau entitas gaib kedalam suatu medium tubuh manusia. Praktik ini merupakan praktik yang mirip
dengan samanisme pada kepercayaan pagan yang lazim digunakan pada masa sebelum agama
modern, jika di Nusantara ialah pada jaman kepercayaan asli sebelum datangnya pengaruh
dari kebudayaan India membawa agama Hindu dan Buddha.
Setelah masuknya pengaruh Hindu dan Buddha kemudian dikembangkan kisahnya oleh seniman
jaranan di Kediri (sumber tertulis tidak jelas), Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama
Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang kediri yang sangat cantik. Pada waktu itu banyak sekali yang
melamar, maka dia mengadakan sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya
sakti. Mereka sama-sama memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya
tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo
Langit untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa
membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia akan menjadi suaminya.
Ada beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono
Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang adipati
dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para pelamar bersama-sama mengikuti
sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit. Mereka berangkat dari tempatnya masing-
masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo Langit.
Dari beberapa pelamar itu, mereka bertemu di jalan dan bertarung terlebih dahulu sebelum
mengikuti sayembara di Kediri. Pertarungan tersebut dimenangkan oleh Klana Sewandono atau
Pujangganom. Dalam pertempuran itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat
kekalahan Singo Ludoyo, rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo
meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Namun,
Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantennya dengan Dewi
Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan
diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi
kenong dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu, Singo
Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di
Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu
dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto. Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia
kembali lagi ke Kediri. Dia keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah
selomangkleng.
Karena Dewi Songgo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Pujangganom dan tidak mau menjadi
raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama Lembu
Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah
Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit mengubah nama tempat itu menjadi Ponorogo.
Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk menggambarkan boyongnya dewi Songgo langit dari kediri
menuju Wengker Bantar Angin. Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana
Sewandana diarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam
tanah sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada zaman
sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan
Klana Sewandono maka diciptakanlah kesenian Reog Ponorogo oleh raja ponorogo saat itu di
wengker, yang di mana di dalam kesenian reog terdapat tarian jathilan (Kuda Lumping) menyebar
hingga kediri sehingga Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni
jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini.[2]

Anda mungkin juga menyukai