Anda di halaman 1dari 18

Nyai Sumur Bandung - Bagian 1

Nagara Kuta Waringin, negara subur dan makmur. Ratunya bernama Munding Keling Puspa
Mantri, Menak Pakuan, Menak Terah Pajajaran, Satria Mangkuwasa. Panakawannya: Kuda Aing
lengser. Munding waringin, Kuda waringin dan kalang Sutra Tandur wayang (kakak ipar ratu).
Pawarangny ada 42 orang tetapi yang diceritakan hanya dua, yaitu Gurit Haji Wira Mantri dan
Nimbang Waringin.

Pada suatu ketika di Kuta Waringin diadakan pesta meriah sekali. Bunyi tetabuhan terdengar
oleh Nyai Sumur Bandung di Negara Bitung Wlung. Demi didengarnya suara itu, ia
membangunkan kakaknya, Rangga Wayang yang sedang bertapa. Lalu bertanya tentang suara
itu. Setelah Sumur Bandung melihat telapak tangan Rangga Wayang tahulah bahwa di negara
Kuta Waringin sedang diadakan pesta besar-besaran.

Setelah itu Sumur Bandung ditanya oleh Rangga Wayang, mau tidaknya bersuamikan Ratu Kuta
Waringin. Mula-mula Sumur Bandung menolaknya, tetapi karena desakan Rangga wayang, ia
mau juga mengikuti kehendak kakaknya, tetapi dengan syarat, jika nanti pergi ke negara Kuta
Tandingan, harus naik banteng lilin yang berwarna jingga. Kalintingnya untaian bintang,
tanduknya salaka domas, ekornya banyu emas.

Rangga Wayang tidak dapat memenuhi permintaan Sumur Bandung, maka ditemuinya Langen
Sari Jaya Mantri Mas Wira Jayamanggala, kakaknya Sumur Bandung. Langen Sari sanggup
menangkap banteng lilin asal diantar oleh Sumur Bandung. Ia tidak tahu rupa banteng tersebut.

Pada waktu yang sudah ditentukan, Sumur Bandung pergi bersama-sama dengan Rangga
Wayang (dengan naik banteng), ke negara Kuta Waringin. Sebelum berangkat semua harta
kekayaannya dimasukkan oleh Sumur Bandung ke dalam Cupu Azimat, lalu dititipkan kepada
pembantunya, Nyai Ogem.

Sesampainya di negara Kuta Waringin, Rangga Wayang menemui Kalang Sutra. Tetapi
keinginanya itu tidak begitu saja diterima oleh Kalang Sutra, sebab keputusan terakhir ada di
tangan Ratu.

Ratu dapat menerima maksud dan keinginan Rangga Wayang, tetapi Nimbang Waringin
menolaknya. Sikapnya, ucapannya sangat menyakitkan hati para tamu. Ia marah-marah, sambil
berdahak-dahak di muka tamunya.

Tak lama sesudah itu Rangga Wyang menjemput Sumur Bandung di batas kota. Sumur Bandung
mengubah dirinya menjadi nenek-nenek, kemudian berangkatlah mereka menemui Nimbang
Waringin. Senasib dengan Rangga Wayang, ia pun diludahinya. Pangkuannya penuh ludah
Nimbang Waringin.

Karena Sumur Bandung merasa dihina, lagi pula dicemburukan Ratu, sekalian dimintanya Ratu
Munding Keling, dari tangan Nimbang Wringin. Nimbang Waringin merasa terhina pula.
Pertengkaran terjadi, kemudian diteruskan dengan perkelahian antara kedua wanita itu. Nimbang
Waringin tak kuat melawan Sumur Bandung. Ia lari dan minta bantuan kepada madunya (istri
ratu yang lain yang jumlahnya ada 41)

Di alun-alun diadakan pertandingan mengadu kecantikan antara Sumur Bandung dan Nimbang
Waringin beserta semua madunya. Nimbang Waringin kalah dalam pertandingan itu. Selanjutnya
diadakan pertandingan berpanjang-panjang rambut, ketangkasan bermain keris, dan lain-lain.
Kemenangan selalu ada di pihak Sumur Bandung. Ketika diadakan “adu tinja” , siapa yang
tinjanya harum, itulah yang menang, Sumur Bandung minta Boreh Batara Guru kepada Sunan
Ibu. Tinja Nimbang Waringin ternyata lebih busuk daripada tinja Sumur Bandung.  Pertandingan
terakhir mengadu kerbau, dan yang menang, juga Sumur Bandung.

Karena terus-terusan kalah, diterkamnya Sumur Bandung, namun Nimbang Waringin kewalahan
dan minta bantuan kepada semua madunya. Karena kekuatannya tidak seimbang, Sumur
Bandung minta pula bantuan kepada Langen Sari. Semua musuh Sumur Bandung dapat
dihalaunya.

Melihat Langes Sari turut campur, Kalang Sutra dan Nimbang Waringin tidak dapat tinggal
diam, lalu ia pun turut membantu Nimbang Waringin

Diceritakan bahwa perang antara Sumur Bandung dan Nimbang Waringin sudah cukup lama,
tetapi satu pun ada yang kalah. Masing-masing mencoba kesaktiannya. Sumur Bandung
berpendapat bahwa perang tidak akan selesai-selesai, oleh karena itu, ia akan minta bantuan
Sunan Ibu di Sorgaloka untuk mengalahkannya. Sumur Bandung segera pergi ke Surgaloka,
diikuti oleh Nimbang Waringin. Nimbang Waringin dihisap kekuatannya oleh Sumur Bandung
sehingga kecapaian kalau harus mengikuti terus Sumur Bandung ke Sorgaloka. Untuk
mengalahkannya, sama sekali ia tak sanggup. Nimbang Waringin takluk, dan dengan rela
menyerahkan suaminya kepada Sumur Bandung

Sesudah itu oleh Sunan Ibu, Sumur Bandung diberi bahan anak sebesar kacang hijau. Bahan
anak itu ditelan oleh Sumur Bandung,

Sepulangnya dari Surgaloka, Sumur Bandung dan Nimbang Waringin bertemu dengan saudara-
saudaranya yang sedang berkelahi di lautan. Dengan adanya pertemuan itu menyebabkan yang
berkelahi berhenti, selanjutnya Langen Sari, Kalang Sutra, juga Sumur Bandung kembali ke
Kuta Waringin seterusnya diadakan pesta perkawinan antara Sumur Bandung dengan Ratu
Munding Keling.

Dikabarkan bahwa ada sebuah negara yang bernama Rucuk Pajajaran. Rajanya bernama Raden
Jaga Ripuh, saudara perempuannya bernama Sekar Pakuan.

Demi mendengar Sumur Bandung sudah menikah dengan Ratu Kuta Waringin, Jaga Ripuh
amatlah susah. Ia pernah menyerahkan sejumlah uang lamaran kepada Rangga Wayang. Timbul
niatnya untuk mencuri Sumur Bandung. Tetapi segera ketahuan oleh Rangga Wayang dan Sumur
Bandung sendiri. Rangga Wayang menjadikan dirinya sebagai Sumur Bandung dan segera
mendekati Jaga Ripuh. Setelah dilihat Jaga Ripuh bahwa Sumur Bandung ada di kebun bunga,
ditangkapnya Sumur Bandung palsu itu. Dengan perasaan gembira ia membawa Sumur Bandung
palsu ke negaranya. Tak lama kemudian, ia sudah berada di negaranya (Rucuk Pakuan).

Seperginya Jaga Ripuh setelah menyerahkan Sumur Bandung kepada Sekar Pakuan, Rangga
Wayang menjadikan dirinya kembali kepada Wujudnya semula. Melihat kejadian itu Sekar
Pakuan minta agar tidak dianggap ikut dalam persekongkolan itu. Permintaan Sekar Pakuan
dapat diterima oleh Rangga Wayang, kemudian Rangga Wayang bersama-sama dengan Sekar
Pakuan kembali ke Kuta Waringin. Sekar Pakuan diserahkan oleh Rangga Wayang kepada ratu
untuk dijadikan selir.

Tak lama sesudah itu, Rangga Wayang menyerahkan lagi Jaga Ripuh kepada ratu, setelah
berhasil dikalahkannya, seterusnya negara Kuta Waringin menjadi negara yang aman, sentausa,
subur makmur

Nyai Sumur Bandung - Bagian 2


Raja Agung Purba Mantri Pangeran Purba Kusuma pergi ke negara Daha dengan maksud
mencari calon istri, tetapi tak ditemukannya. Kemudian ia pergi ke Kuta Waringin. Di sini ia
menemukan tiga orang calon, yakni: Nyai Tanjung Waringin, Nyai Nimbang Waringin dan Nyai
Jurit Aji Lanjang Sari. Kemudian Raja menikah dengan ketiga orang putri itu. Patihnya (kakak
Prameswari) namanya Raden Gajah Waringin. Panakawannya dua orang, yaitu: Candra Wali dan
Candra Terebang.

Pada suatu waktu, raja menyuruh Gajah Waringin menaklukan negara Kuta Siluman, tetapi ia
tidak sanggup. Ada yang dapat mengalahkan negara Kuta Siluman yaitu Raden Langen Sari,
kakak Nyai Sumur Bandung, satria yang berkelana, pertapa sakti yang dapat berubah menjadi
kakek-kakek.

Langen Sari mengubah dirinya menjadi satria kembali, lalu pergi ke negara Kuta Siluman.
Dengan perantaraan Nyi Mas Maya Siluman, adik ratu, Langen Sari bisa menemui Rangga
Siluman, Raja Kuta Siluman. Diajaknya Rja Rangga Siluman takluk kepada Raja Agung, tetapi
ditolaknya. Langen Sari terus mengajak, sedangkan Rangga Siluman tetap menolaknya.
Akibatnya terjadilah peperangan yang dahsyat sekali. Mereka saling mendorong dan saling
mendesak, hingga sampailah di negara Pucuk Beusi. Rajanya bernama Rangga Cempaka,
adiknya bernama Nyi Mas Campaka Larang Mantri Kembang.

Setelah dilihatnya ada yang mengadu kekuatan, Rja melibatkan dirinya, ia memihak kepada
Rangga Siluman. Yang berperang sampai di negara Daha. Rajanya Pati Jalak Mangprang dan
adiknya Nyi Mas Mangprang Wayang. Setelah diberitahukan oleh adiknya bahwa ada yang
sedang berperang, maka pergilah raja ke tempat peperangan, yang berperang tampak sedang
tergolek kepayahan. Ketiga orang yang mengadu kekuatan itu dibawanya ke paseban, tetapi
ternyata Rangga Campaka dan Rangga Siluman sudah meninggal. Dengan ajimatnya,
Mangprang Wayang menghidupkan kedua orang itu. Seterusnya kedua orang itu ingin
membaktikan dirinya kepada Raja Agung Purba Mantri. Begitu pula halnya Cempaka Larang
dan Maya Siluman.
Langensari berpamitan kepada Raja untuk meninggalkan istana, karena ia telah lama tidak
bersua dengan Sumur Bandung, yang dituju adalah negara Bitung Wulung.

Sesampainya di Bitung Wulung, Langen Sari memanggil-manggil adiknya, tetapi Sumur


Bandung tidak mau menyahut. Sumur Bandung mengakui bahwa ia mempunyai kakak yang
bernama Langen Sari, tetapi sedang bertapa. Untuk membuktikan pengakuannya itu Langen Sari
harus dapat mengalahkan tabuhan kembar. Berkat kesaktiannya, tabuhan itu dapat dibunuhnya.
Sumur Bandung minta agar tabuhan tersebut dihidupkan kembali. Tabuhan dapat dihidupkan
kembali, tetapi Sumur Bandung, belum juga puas hatinya. Kemudian Sumur Bandung menyuruh
Langen Sari berenang di dalam kendi. Dengan senangnya Langen Sari berenang di dalam kendi.
Akhirnya Sumur Bandung ingin melihat tanda yang ada di kepala Langen Sari, jelas sekali
Sumur Bandung melihat tanda luka di kepala Langensari, barulah Sumur Bandung yakin bahwa
itu adalah kakaknya, lalu ia minta maaf atas kekhilapan yang diperbuatnya.

Selanjutnya Langensari mengajak Sumur Bandung pergi ke Kuta Waringin. Sebelum berangkat,
Sumur Bandung menciutkan negara Bitung Wulung, lalu dimasukannya ke dalam penjara,
seterusnya kedua bersaudara itu terbang.

Dari udara dilihatnya Raden Gangsa Wayang dan adiknya Nyi Salasa Wayang sedang berlayar.
Langensari mencoba memberhentikan kapal itu. Terasa oleh Gangsa Wayang kapal oleng.
Disuruhnya Rangga Wayang yang berada dalam kapal untuk memeriksanya. Rangga Wayang
tidak kembali ke kapa, tetapi bersembunyi di dalam hutan (gua), karena yang mengganggu kapal
itu adalah adiknya sendiri, Langensari.

Karena Rangga Wayang tidak juga muncul, Gangsa Wayang dan Salasa wayang turun ke laut.
Diketahuinya bahwa yang berbuat untuk mengganggu lajunya kapal adalah Langensari,
Langensari ditanya oleh Gangsa Wayang tentang asal dan maksudnya. Dijawabnya bahwa ia
berasal dari Kampung Bitung Wulung dari negara Kuta Waringin. Dikatakan oleh Langensari,
bahwa ia disuruh raja melihat kapal itu. Timbul percakapan yang dilanjutkan dengan peperangan,
peperangan itu lama sekali, Gangsa Wayang minta kepada adiknya supaya peperangan
dihentikan. Ubun-ubun Langensari dihisap oleh Salasa Wayang, hingga Langensari lemah
lunglai tak berdaya. Sukmanya masuk ke seekor burung koleangkak, sambil terbang burung itu
bersuara “Mun teang, mun teang !  (tengonglah segera). Hal itu diketahui oleh Sumur Bandung,
oleh karena itu ia segera masuk ke dasar laut.

Sesudah Langensari dihidupkan kembali oleh Sumur Bandung, peperangan antara Langen Sari
dengan Gangsa Wayang diteruskan. Salasa Wayang tahu bahwa Langen Sari dihidupkan oleh
Sumur Bandung. Sumur Bandung dikejarnya, Sumur Bandung bersembunyi di dalam rumpun
kaso. Salasa Wayang minta kepada Ibu Dewata agar ia diberi senjata. Permintaannya itu
dikabulkan oleh Ibu Dewata, hanya saja semua senjata pemberian itu tidak mempan. Bahkan
semuanya menghilang dan menyusuk ke dalam diri Sumur Bandung.

Setelah semua senjata yang dimilikinya habis, Salasa Wayang ditendang oleh Sumur Bandung,
hingga sampai di Mega Malang. Sumur Bandung menyusulnya, Salasa Wayang ditangkapnya,
lalu dimasukkan ke dalam penjara besi. Penjara besi ditepuk oleh Sumur Bandung, jatuh di hulu
dayeuh negara Kuta Waringin.
Setelah itu Sumur Bandung menemui saudaranya yang masih berperang di dasar lautan, Sumur
Bandung memperingatkan Langensari agar menggunakan kesaktiannya, Langensari sadar akan
kehilapannya. Gangsa Wayang dilemparkannya, sehingga ia terjerembab, dan terus lari ke dalam
hutan.

Sehabis berperang, Langensari memberitahukan Sumur Bandung bahwa ia akan pergi mencari
Rangga Wayang. Tak lama kemudian Rangga Wayang berhasil ditemukannya.

Gangga Wayang yang bersembunyi di dalam hutan bertemu dengan Gajah Hambalang dan
Badak Hambalang. Disuruhnya agar jala yang dibawa mereka ditebarkan pada kapal yang
ditumpangi Langen Sari dan Sumur Bandung. Dengan perjanjian, kalau berhasil, kapalnya untuk
Gangga wayang, sedangkan isinya termasuk Sumur Bandung yang cantik itu untuk Gajah
Hambalang. Kapal berhasil dijalanya, tetapi jala itu oleh Langen Sari dijadikan dua bagian.
Gangsa Wayang menyerah kepada Langen Sari. Gajah Hambalang dan Badak Hambalang lari ke
hutan.

Atas usul Langen Sari kapal dilabuhkan di lubuk Cinanggiri, nanti kalau Sumur Bandung
berputera dari raja Kuta Waringin, kapal itu hendaknya dipakai berlayar bersuka ria.

Setelah itu mereka kembali ke Kuta Waringin, tetapi sebelumnya singgah dulu di negara daha.
Mereka diterima oleh Nyai Mangprang Wayang dan Patih Jalak Mangprang.

Dalam suatu pertemuan, Langen Sari bermaksud menyerahkan orang yang akan berbakti di
negara Kuta Waringin. Menurut perhitungan ada sembilan orang, termasuk seorang kepalanya.
Tetapi ternyata hanya ada delapan orang, yaitu: Rangga Siluman, Rangga Cempaka, Jalak
Mangprang, Gajah Hambalang, Badak Hambalang, Gangsa wayang, Rangga Wayang dan
Langen Sari sebagai kepala.

Diputuskan dalam pertemuan itu bahwa Rangga Wayang yang harus mencari orang untuk
melengkapi jumlahnya. Atas petunjuk Pati Jalak Rangrang, orang yang gagah serta adiknya yang
cantik adalah Raden Sutra Panandur Wayang dan Nyi Mas Sutra Kembang Padma Larang.
Mereka ada di negara Paku Rucukan Beusi.

Setelah siap segalanya, pergilah Rangga Wayang ke negara Paku Rucukan Beusi, sesampainya di
negara itu Rangga Wayang menyamar sebagai kakek-kakek yang bernama Aki Moskol. Oleh
raja ia dijadikan penyabit rumput. Tetapi amatlah mengagetkan seisi keraton, karena segalanya
menjadi berantakan karena apa yang dikerjakannya selalu bertentangan dengan apa-apa yang
biasa dilakukan orang. Menyabit rumput, bukan rumput yang disabitnya melainkan alat vital
kuda. Disuruh menyiangi tumbuh-tumbuhan, semua tanaman yang ada dibabatnya.

Diceritakan bahwa Rangga Wayang dapat memboyong Padma Larang. Seisi keraton heboh
karena Padma Larang tidak ada.

Padma Larang diserahkan Rangga Wayang kepada Sumur Bandung untuk dijadikan teman
bermain.
Sutra Panandur berkeyakinan bahwa Aki Mongkol-lah yang punya ulah. Segera ia mencarinya
ke negara Daha. Empat ponggawa Daha menghadapinya. Terjadilah peperangan hebat sekali.
Keempat ponggawa itu dapat dikalahkannya. Mereka melarikan diri. Langen Sari ganti
menghadapi Sutra Panandur, Sutra Panandur kalah, dan ingin berbakti kepada Langen sari.

Selanjutnya karena ponggawa sudah lengkap, Langen Sari mengajak mereka pergi ke negara
Kuta Waringin. Sesampainya di Kuta Waringin diadakanlah pesta.

 Nyai Sumur Bandung - Bagian 3 (habis)


Prabu Kidang Pananjung berputra tiga orang, yakni Patih Kuda Rangga Wayang, Patih Kuda
Langon Sari dan Nyi Mas Sumur Bandung. Prabu Kidang Pananjung bermaksud menyerahkan
negara Bitung Wulung kepada Sumur Bandung. Kepada putranya yang sulung, Rangga Wayang
akan diserahi ajimat pisau kencana, putranya yang kedua diserahi keris parung ganja wulung,
sedangkan Nyi Sumur Bandung menerima negara Bitung Wulung dengan diberikannya pula
ajimat harimau putih kembar, kanjut kundang dan tabuhan dua ekor.

Prabu Kidang Pananjung berpesan kepada Sumur bandung sebelum Rangga Wayang dan Langon
Sari mempunyai negara sendiri dan berkeluarga, azimat itu tidak akan diberikan.

Setelah menyerahkan negara dan ajimat-ajimat tersebut, Prabu Kidang Pananjung “tilem”
(menghilang). Sepeninggal ayahnya Rangga Wayang dan Langon Sari bermaksud mengembara
ke setiap negara. Sebelum berangkat mereka minta kepada Sumur Bandung agar menyerahkan
azimat pemberian ayahnya itu, tetapi Sumur Bandung tak mau memberikannya, ia berpegang
teguh kepada pesan ayahnya. Terjadilah pertengkaran mulut yang dilanjutkan dengan
perkelahian. Dalam perkelahian itu keris yang dilemparkan Sumur Bandung mengenai pinggang
Rangga Wayang. Rangga Wayang terlempar ke puncak Gunung Jingga.

Melihat nasib kakaknya demikian, Langon Sari menjadi marah. Ia berniat menerkamSumur
Bandung, tetapi duhung mengenai kepalanya, Langon Sari terlempar pula dan jatuh di alun-alun.

Selanjutnya Rangga Wayang insaf akan kesalahannya, dan minta maaf kepada Sumur Bandung,
setelah itu ia bertapa di puncak gunung Sakobar. Sebaliknya Langon sari, ia menaruh dendam
kepada Sumur Bandung. Ia tidak lagi mengakui Sumur Bandung sebagai adiknya.

Dari gunung Sakobar, rangga wayang pindah bertapa ke sudut matahari. Sesudah tujuh hari
bertapa, ia bertemu dengan Sunan Ibu yang datang dari surga. Di suruhnya rangga Wayang
menuju negara Karang Ganjaran. Rajanya bernama Putri Balung Tunggal nyi Mas Saramah
wayang. Putri itu bersaudarakan Patih Gangsa Wayang. Sang putri memiliki tiga buah azimat ,
yakni golok sekung, keris kalamunyang dan panah durangga sakti. Sesudah menerima azimat
ruas undur-undur, taji malela dari Sunan ibu, Rangga wayang terbang ke negara Karang
Ganjoran, negara di tengah lautan, dengan maksud melamar saranah wayang. Lamaran
diterimanya. Dengan penuh kebahagiaan rangga Wayang akhirnya menikah dengan Sarasah
wayang.
Setelah ditinggalkan oleh kedua saudaranya, Nyi Sumur Bandung merasa tersiksa. Oleh karena
itu sesudah menyerahkan azimat duhung parung ganja wulung kepada emban, Sumur Bandung
mengubah negaranya menjadi gumpalan tanah sebesar gula jawa. Kemudian dimasukannya ke
dalam kanjut kundang. Setelah itu dibawanya terbang dan dijatuhkannya isi kanjut kundang itu,
terjemalah sebuah negara yang diberinya nama Bitung Wulung Emas Beureum Ujung Pulo
Nagara babakan Nangsi.

Rangga Wayang dan Langon Sari tak bisa hilang dari ingatan Sumur Bandung. Ia sangat
berharap bisa bertemu dengan kedua saudaranya itu. Selanjutnya ia bertapa di bawah pohon
katomas.

Dalam petualangan Langon Sari didatangi ayahnya yang telah tiada. Langon Sari dinasehatinya
agar sadar akan kesalahannya, dan mau mengakui serta mengasihi Sumur Bandung, disuruhnya
kembali ke negara Bitung Wulung, tetapi Langon Sari tetap menolaknya. Ia ingin terus
bertualang serta mencari kakaknya, Rangga Wayang.

Karena Langon Sari tetap saja pada pendiriannya, ayahnya menyuruh pergi ke negara Kuta
Waringin. Raja negara itu bernama Sungging Purba Mantri Ratna Demang Rangga Lawe Ratu
Kasirigan Wangi, yang berasal dari Pajajaran, putra Prabu Siliwangi.

Raja ini mempunyai tiga permaisuri, yakni : Nimbang Waringin, Padma Larang Keling Kancana
dan Jurit Haji Mila mantri. Dikatakannya bahwa keris parung ganja wulung yang jantan ada di
negara itu. Keris yang ada pada Sumur Bandung adalah yang betinanya. Untuk memperoleh
keris itu haruslah menyamar sebagai seorang kakek yang menjijikan dengan julukan Aki Jobin
Jobabintara.

Pada waktu itu Ratu Sungging sedang mendapat kesusahan. Ia merasa tersaingi oleh Patih
Rangga Siluman dari negara Kuta Waringin dalam hal kegagahan dan kekayaannya. Ia ingin
mengalahkannya, tetapi merasa tidak mampu. Maka meminta bantuan kepada Patih gajah
Waringin, kakak Nimbang waringin. Permintaannya tak dikabulkan, karena Gajah Waringin tak
sanggup mengalahkan Rangga Siluman yang terkenal gagah, hanya ia menunjukan jalan untuk
mencapai tujuan itu, disuruhnya Nimbang Waringin menghubungi Jobin Jobabintara yang
sedang bertapa.

Jobin Jobabintara menyanggupi permintaan itu, tetapi dengan syarat bahwa ia harus diberi
senjata dan disembelihkan kerbau. Gajah Waringin menyerahkan keris parung ganja wulung
yang jantan kepada Jobin Jobabintara. Bukan main gembira hatinya menerima senjata yang
memang dicari-carinya.

Langon Sari berhasil mengalahkan Rangga Siluman. Setelah itu Langon Sari bertemu dengan
Jalak Mangprang, saudara seayah Langon Sari.

Jalak Mangprang berhasil menyadarkan Langon Sari atas kekeliruan terhadap adiknya, jalan
mangprang dan wayang Mangprang menasehati Langon sari agar mencari Sumur Bandung dan
membawa ke negara Daha.
Di perjalanan, Langon Sari bertemu dengan Sarasah Wayang, istri Rangga wayang. Dalam suatu
peperangan, Sarasah wayang dapat dikalahkan Sumur Bandung.

Sesuai dengan janji Langon Sari bahwa jika Sumur Bandung mau dibawa pulang ke daha akan
dikawinkan dengan Raja Sungging, maka sesampainya di negara itu akan dilangsungkan pesta
besar-besaran. Tetapi sebelumnya, negara Paku Rucuk beusi yang rajanya bernama Jaka
Panandur harus ditaklukan dulu oleh Rangga Wayang.

Setelah menaklukan Jaka Panandur, Rangga Wayang mengawinkan Sumur Bandung dengan
Raja Sungging. Rangga Wayang dan Langon Sari tetap tinggal di negara Babakan Karta Yuda.

Sumur Bandung ingin sekali mempunyai keturunan yang dapat meneruskan jejaknya memerintah
negara.

Sumur Bandung akhirnya mengandung, dan pada saat melahirkan, ia ditolong oleh prameswari
Nimbang Waringin. Bayinya perempuan, tetapi kemudian ditukar dengan seekor kucing. Bayi
yang tak berdosa itu dimasukkan ke dalam peti besi, lalu dihanyutkan ke sungai Cisanggiring,
sedangkan Sumur Bandung akhirnya di buang ke hutan, karena raja sungging tidak mau
mempunyai snak seekor kucing.

Bayi yang hanyut terkatung-katung ditemukan oleh Aki dan Nini Benggol Jalawura. Bayi itu
dinamainya Nyi Ilid.

Demi mendengar bahwa kesengsaraan yang diderita Sumur Bandung dan bayinya karena ulah
Nimbang Waringin dan Gajah waringin, maka Rangga wayang marah sekali, ia ingin sekali
membalas dendam, tetapi selalu dihalang-halangi oleh Sumur Bandung, bahkan Nyi Sumur
Bandung menyarankan agar hal itu jangan dibesar-besarkan. Untuk membuka tabir kelicikan
Nimbang Waringin lebih baik dicarikan yang sehalus-halusnya.

Dalam perjalanan pulang menuju Kuta waringin, Sumur bandung menciptakan sebuah negara
baru yang diberinya nama Babakan Karta Yuga, kemudian bayinya yang bernama nyi Ilid diganti
namanya menjadi Aci Bangbang Sumega Wayang Nyi Mas Ayu Karantenan.

Sumber: KANDAGA

MARTABAT TUJUH DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT


JATI (2)

L.S. AHMAD
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.

Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud
yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala
sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan
antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat
hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu
hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.

Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi
kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh
utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M
tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan
keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud
(perasaan) tasauf.

Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori
oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab
Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan
Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh
martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali
berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari
suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta
manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.

Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid
Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya
Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep
bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam,
berasal dari tidak ada menjadi ada.”

Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan
kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di
Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh
Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).

Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam
perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat
Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah
segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar
macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”

Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran
Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-
an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.

Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali
dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek
lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang
mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara
terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud
jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam
kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).

Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa
Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah.
kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana
yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah

Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama
(tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang),
al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq
(zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-
Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang
gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).

Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk
Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.

Suluk Sujinah

Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal
dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan
tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini
belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.

Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat
bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum
adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.

Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan
tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada
makhluknya.

Serat Wiirid Hidayat Jati

Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang
berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang
qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.

Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-
Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai
oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.

Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah
diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal,
yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.

Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap
dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan
gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.

Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan
tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak
berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia
masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua
sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.

Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada
makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya
adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat
dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan
tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.

Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang
bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya
merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam
ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-
Nya yang bersifat keabadian.

Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada
Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La
dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah
tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada
keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang
Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang
wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang
berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.

Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala
bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini
semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara,
tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-
Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan
yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa
bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan
yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat
tentang persaksian akan keberadaan-Nya.

Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa sendirian,
tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi
pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di
samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.

Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini
berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan
untuk selalu mempersucikan-Nya.

Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin. Yaitu
sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna
pengertian tentang kehidupan atau hayyu.

Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang
utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat
mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala
penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang
ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.

Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-
Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi
ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.

Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah menciptakan
sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin
tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya
sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin.
Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah
terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.

Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang
hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali.
Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena
hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim.
Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya
zat kehidupan.

Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-
perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat),
maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak
(iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.

Martabat Ke dua, Martabat Wahdah

Martabat kedua, dari martabat tujuh adalah al-Wahdah, yaitu al-Ta’ayyun Awal. Tingkat perbedaan pertama,
atau awal ada dalam tingkatan ini. Tegasnya mulai adanya batas perbedaan. Tetapi, walau ada tingkat perbedaan
awal, namun Zat-Nya masih dalam keadaan universal yang masih menyatu dalam alam ketuhanan-Nya, yang
disebut al-Martabah Ilahiyyah.

Hal tersebut di atas diiraikan dalam nukilan terjemahan Suluk Sujinah;

Dan martabat kedua adalah Wahdah. Nama-nama sifat yang awal diuraikan. Awalnya ruh yang akan menguraikan
nama-nama roh yang wujudnya masih dalam bentuk hak. Dan Cahaya-Nya dinamakan Nur Muhammadiyah. Wujud
ilmu dari nur adalah ibadah pengetahuan yang sejati. Pada tingkatan ini belum dapat diuraikan. Pengetahuan
sejatinya adalah dalam tingkatan Wahdat. Namun, Pangeran, Allah dalam wujud yang jamak, namun diri-Nya
adalah kehampaan. Tak ada Pangeran selain Allah, ia hanya Allah yang tunggal. Tunggal wujud-Nya. Dia yang
memberikan penghidupan. Dia yang menjadikan sesuatu.

Sementara, menurut nukilan terjemahan Serat Wiirid Hidayat Jati;

Nur Muhammad yaitu cahaya yang terpuji. Diceritakan di dalam Hadist; rupanya seperti burung merak yang
berada di dalam permata putih, dan berada dalam arah Syajaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya yang diakui
sebagai tajjalinya zat, berada dalam nukat gaib, merupakan sifat atma yang menjadi tempatnya alam Wahdah.

Sejatinya, ruh adalah pralambang pertama yang mendahului segala penciptaan-Nya. Ruh dalam tingkatan ini bersifat
al-Ruh, yaitu ruh yang universal, atau ruh dalam kejamakan-Nya. Tuhan menciptakan hakikat Muhammadiyah
ibarat penciptaan-Nya terhadap pena yang Agung, yaitu, al Qalam al-Ala. Dan menurut hadist, pertama kali wujud
yang diciptakan Allah adalah ruh.

Di dalam tingkatan ini belum ada penguraian atau pembedaan zat. Zat-Nya adalah sifat kejamakan-Nya.
Bahkan dalam ta-Ayyun awal-Nya, dikenal dengan empat hal yang tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya,
yaitu, ilmu, wujud, syuhud dan nur. Keempat hal tersebut merupakan satu kesatuan atau manunggal — karena dari
ilmu-Nya, maka, alim dan mak’lum menjadi nyata. Karena wujud, maka, yang mengadakan dan yang diadakan
menjadi nyata, dan syuhud, menjadikan yang melihat dan yang dilihat menjadi nyata. Sementara, karena cahaya-
Nya, maka, yang menerangkan dan yang diterangkan menjadi nyata.
Dan keempat hal tersebut di atas adalah suatu perkembangan Allah dari hakikat yang tidak terinci lewat
hakikat yang mempunyai sifat-sifat, dan pengetahuan-Nya disebut menuju perkembangan pengetahuan tentang
berbagai rincian dari Ada-Nya Allah dalam karya-Nya yang disebut kenyataan ada-Nya Nur Muhammad.

Konsep adanya Nur Muhammad sebagai kenyataan karya Allah dalam tajjali-Nya yang pertama kali
diperkenalkan dan dikembangkan oleh Husin bin Mansur Al-Hallaj, kelahiran Parsi, yang kemudian menjadi tokoh
sentral dalam pengembangan Wadhatul al-Wujud. Menurut Al-Hallaj, adanya alam pada mulanya ialah dari adanya
hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah asalnya zat yang Hadrah al-’Ama’iyyah
yaitu hadrah yang tidak diketahui. Allah ada dalam kenisbian-Nya, atau, ada-Nya dalam ketiadaan.

Pada perkembangan selanjutnya, para sufi pun percaya bila nabi Muhammad memiliki dua rupa. Rupa
pertama disebut dengan qadim dan yang kedua adalah ajali. Rupa qadim adalah ujud yang terawal dari adanya
segala zat, ia tak terikat atau terpengaruh oleh masa. Dia telah terjadi sebelum terjadinya semua yang ada. Rupanya
yang qadim itulah sumber terciptanya segala nabi-nabi, rasul-rasul dan aulia. Cahayanya menyinari segala
kehidupan dan tak ada cahaya yang lebih terang dari pada Nur Muhammad.

Rupa kedua adalah bersifat Azali. Adalah rupa dari Muhammad yang berujud sebagai manusia yang terikat oleh
masa dan mengalami pemunahan. Ia juga mengalami suka duka, kecewa dan bercita-cita serta bergaul dengan
manusia lainnya.

Sementara, di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Nur Muhammad adalah tajjali Allah yang kedua. Setelah Allah
bertajjali dalam alam Ahadiyah, kemudian dijadikan Nur Muhammad. Nur tersebut terbuat dari permata putih yang
bening dan berasal dari alam Jabarut. Adapun wujud dari nur tersebut bagaikan burung Merak. Setelah Tuhan
menciptakan Nur Muhammad yang wujudnya bagaikan burung Merak, maka, diletakkan Merak tersebut di dahan
pohon kehidupan yang disebut Syajaratul Yakin.

Nur Muhammad itu adalah bakal wajib dari segala kehidupan yang sifatnya masih gaib, pengertian gaib di sini
adalah, belum dapat dilihat dengan indra sebab sifatnya dalam keadaan batin. Di samping itu, zat Nur Muhammad,
masih dalam kesatuan yang manunggal dengan zat-Nya.

Dengan kata lain, Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad merupakan tajjali dari Hayyu — sebab sifat-
sifat kehidupannya disinari dan berasal dari Hayyu (Syajaratul Yakin). Syajaratul atau pohon kehidupan (Hayyu),
adalah sumber mengalirnya sifat-sifat hidup. Hayyu disebut juga dengan kuasa atma. Maka, Hayyu dijadikan
sandaran hidup Nur Muhammad. Namun, keduanya saling mempengaruhi pada kehidupan, hal itu ditamsilkan
dengan pohon tunjung dan air. Artinya, di mana ada tunjung tumbuh dan berkembang, maka, di situ pasti ada
sumber air.

Dalam alam ini, sifat atmanya dalam bentuk kejamakan. Karena jamak, maka, di sini belum ada batas-batas
pemisahan meski sudah adanya kenyataan-kenyataan yang awal yang disebut dengan ta’yun awal.

Martabat Ke tiga, Martabat Wahadiyah

Martabat ketiga di dalam Martabat tujuh adalah Wahadiyah yang biasa diungkapkan dengan kata-kata A’yan
Thabitah (realitas-realitas terpendam). Dan alam ini juga disebut sebagai Hakikat Adam. Ma’lumat Ilahiyah
(ketentuan yang bersifat ketuhanan), al-Ta’ayyun al-Thani (tingkatan perbedaan kedua), al-Ta’ayyunat al-Kuliyyah
(realitas-realitas yang universal), al-Barzakh al-Sughra (batas antara kecil dan besar), al-Falakiyyah al-Uluwiyyah
(kehidupan yang tertinggi), Zakir al-Wujud (zakir segala yang wujud), Hadrah al-Wujud (hadrah yang wujud), dan
Zakir Ilm (ilmu zakir).

Pada martabat ini, Zat-Nya bertajjali lewat nama-nama-Nya yang dikenal dengan Asma ul’Husna di mana
Tuhan mulai muncul dalam al-A’yan Thabitah atau realitas-realitas yang terpendam yang sudah tidak mengandung
kejamakan. Dalam tahap ini, segala sesuatu yang terpendam sudah dibedakan dengan tegas dan terperinci, meskipun
Zat-Nya belum muncul dalam wujud kenyataan.
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah tersurat;

Tiada Tuhan selain Allah yang dikatakan sejati, tingkatannya berada dalam Wahadiyah, wujudnya mutlak, meski
dalam kondisi kekosongan akan Diri-Nya. Allah dalam alam Wahadiyah mulai memperkenalkan nama-namanya.
Kalimat yang luhur ditandai dengan kalimat sahadat, yaitu kalimah pengetahuan tentang Diri-Nya, di mana
pengertian kalimatnya dibagi dua. Kalimat pertama adalah pengetahuan tentang hakikat Allah yang mencipta jagat
raya. Sedangkan pengetahuan yang kedua adalah tentang Muhammad. Muhammad adalah panutan manusia.
Muhammad sangat dicintai Allah. Dan keduanya telah menyatu dalam rasa yang tunggal.

Sementara Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;

Miratul Haya’i, artinya kaca wara’i. Diceritakan di dalam Hadist, bila alam tersebut terdapat di depan Nur
Muhammad. Itulah hakikat pramana, yang disebut rahsa zat, sebagai asmanya atma dan menjadi tempatnya alam
wahadiyah.

Di dalam alam Wahadiyah, Allah dalam kesejatiannya yang dikenal dengan ucapan “tiada Tuhan selain
Allah”. Persaksian keeksistensian-Nya adalah hal yang berada dalam kedudukan yang tertinggi. Wujud Tuhan masih
dalam kekosongan yang mutlak, meski Allah sudah mulai memberikan pengetahuan lewat nama-namanya satu
persatu.

Dalam kalimat persaksian tersebut, keluhuran-Nya terbagi dalam dua pengetahuan. Persaksian yang pertama
mengandung Syahadah Tauhid, sedang yang kedua adalah syahadat Rasul. Pengertian syahadat Tauhid berbunyi;
“Ashadu an la illaha illallah”, yang bermakna saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dan kalimat ini biasa juga
disebut dengan kalimat Taqwa. Allah adalah al-Falakiyyah al-Huliyyah, yaitu, keeksistensiannya berada dalam
tahap tertinggi. Ia adalah kehidupan yang tertinggi.

Sementara, menurut Serat Wirid Hidayat Jati, tajjali Allah yang ketiga adalah Mir’atul Haya’i yang tercipta
dari alam Nur Muhammad. Maka, dalam alam Mir’atul Haya’i yang dipersamakan dengan pramana atau sir atau
rahsa disebut juga sebagai tajjalinya dari alam Nur Muhammad.

Pengertian pramana atau sir adalah suatu zat yang berada dalam tubuh manusia. Zat tersebut tiada turut rasa
sedih, susah, dan juga tidak turut makan dan minum atau segala kegiatan yang berwujud fisik. Makanan dan
minuman utama pramana adalah dzikir, atau menciptakan rasa ingat kepada Allah dengan melakukan do’a-do’a atau
hal-hal yang bersifat religius.

Sejatinya, fungsi utama pramana di dalam tunbuh adalah untuk menegakkan jasmani. Jadi, apabila pramana
berpisah dengan tubuh, maka, tubuh akan menjadi lemah dan lemas, tiada berdaya apa-apa. Hal itu disebabkan
karena pramana adalah rahsa zat, dan pramana mendapat hidup dari Nur Muhammad yang dijadikan sebagai
perantaranya Hayyu.

Martabat Ke empat, Alam Arwah

Martabat yang ke empat dari Martabat tujuh adalah alam al-Arwah (alam ruh) yang hampa bagi manusia
yang juga dinamakan sebagai alam al-Malakut al-adna (alam yang terdiri dari akal dan jiwa yang rendah), Awwal
al-tanazzulat li’l-Dhat al-Mujarrad al-Basit (alam peninggalan terhadap kehampaan yang menengah), al-Martabat al-
Imkaniyyah (martabat kekuatan). Dan alam ini juga biasa disebut sebagai alam al-Af’al (alam perbuatan Allah), al-
Ta-thirat (alam kenyataan), alam Ghayb (alam gaib), alam al-Amr (alam yang diciptakan Allah tanpa perantara), al-
Ashya al-Kawiyyah (segala sesuatu di alam semesta).

Hal tersebut di atas, tersurat dengan apik di dalam Suluk Sujinah;


Hakiki alam arwah dimulai dengan wujud nurani yang disebut af’al, yang sifatnya kudrat kuasa. Zat Nur
Muhammad yang agung mendahului nama dan penciptaan arwah. Nur Muhammad juga dinamakan rasa.
Hakikatnya adalah Rasul Allah, yang sudah menyatu, tunggal.

Yang mana hakiki Muhammad. Ketahuilah oleh kamu dengan jelas, bahwa nama Muhammad adalah ada dalam
kesatuan atau ketunggulan dengan Allah.

Itulah hakikat yang sesungguhnya, dan kemudian bernama Nabi Muhammad. Mengenai kejadian terbentuknya Nur
Muhammad hendaknya dimengerti yang ujud, khayal dan hak. Jangan sembrono.

Sedang Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;

Ruh Idlafi; artinya nyawa yang jernih. Diceritakan dalam Hadist berasal dari Nur Muhammad. Itulah hakikat
suksma yang dakui keadaan Zat, yang merupakan af’al atma, menjadi tempatnya alam Arwah.

Dalam martabat ini ditandai dengan keberadaan al-Arwah dalam bentuk jamak. Sejatinya, semua ruh
dibentuk dan berasal dari alam al-Arwah. Alam al-Arwah yang berujud nurani adalah alam yang diciptakan oleh
Allah tanpa perantara. Allah menciptakan melalui perbuatan-Nya sendiri yang disebut dengan Af’al — Allah
menciptakan al-Arwah dari uap pilihan yang bersumber dari Jauhar. Di samping itu al-Arwah dibentuk oleh nur,
sifat kebakaan, hayat, ilmu, dan dari alam Uluwwi.

Tentang alam al-Arwah, tak ada sesuatu yang mengetahui keberadaannya. Kerahasiaan dan keberadaan alam
al-Arwah hanya Tuhan yang bisa menyingkap tabirnya. Sebab jika tidak dirahasiakan, maka, sujudlah semua kafir
kepada-Nya, karena semua makhluk hidup yang ada berasal dari alam Uluwwi yang hakikatnya adalah murni.
Dengan kata lain, al-Arwah berasal dari Zat Hakk Ta’ala.

Tegasnya, pengertian alam ruh al-Arwah karena semua arwah terjadi dari padanya di mana wujudnya masih
dalam bentuk kejamakan. Dalam alam ini belum ada individuasi kehidupan bagi makhluk. Oleh karena itu, segala
bentuk kehidupan, baik malaikat, manusia, hewan dan tumbuhan berasal dari alam al-Arwah.

Di dalam sifat al-Arwah yang digolongkan dalam empat kelompok, yakni, Namiya, Mutaharrika, Natika dan
Ruh Kudus. Ruh Namiya adalah membentuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya
memelihara dan menumbuhkan, sedang Ruh Mutaharrika yang kelak bersemayam dalam diri manusia dan hewan.
Sedang Ruh Mutaharikka juga disebut sebagai ruh hewani, sebab semua hewan bergerak karenanya. Sementara, Ruh
Natika yang disebut juga sebagai ruh insani adalah pencipta dan penggerak kehidupan manusia — Ruh Natika
berasal dari alam Amr, tempat asalnya ruh dan nafsu yang merupakan pralambang dari Adam dan Hawa.

Sedang yang disebut dengan Ruh Kudus yaitu Faid nur zat Allah. Ruh di mana merupakan penggerakl bagi
semua nabi dan rasul yang bersifat mu’jizat dan keramat; mereka faham akan semua ma’ani dan batin. Dan
kesemuanya ini dari la’thir ruh Kudus. Disebut fa’id nur zat Allah karena ruh tersebut terbuat dari cahaya pilihan,
maka manusia-manusia tersebut faham dan mengetahui berbagai hal yang tersembunyi, yang bersifat batin sebab
jiwanya tak terpengaruh atau terbebas dari hal-hal yang bersifat batil.

Alam al-Arwah terbentuk dari Tajjali dan penyinaran dari Nur Muhammad dari zat ilahi. Dalam alam kabir
tersebut, alam besar, Nur Muhammad menenrangi segala alam dan nur tersebut semua makhluk Allah hidup dan
bergerak. Nur tersebut meliputi alam, tiada satu daerah pun yang tidak dilingkarinya. Ia yang memelihara alam dan
melingkarinya. Nur Muhammad yang juga hakikat rasa, adalah wali Allah, dan keduanya tak dapat dipisahkan.
Keduanya dalam bentuk nama yang berbeda, namun, hakikatnya adalah kesatuan-Nya. Keduanya ada dalam
kesatuan.

Alam al-Arwah adalah Haakk Taala dengan sifat-sifatnya. Sekalian alam itu A’rad (kejadian-kejadian atau
penciptaan-penciptaan), yang terhimpun pada Zatnya yang Esa. Oleh sebab itu, al-Arwah mempunyai sifat-sifat
Allah, seperti mendengar, melihat, mengerti, berkehendak dan baka.
Alam al-Arwah disebut juga alam kejiwaan, yaitu, tempatnya jiwa dan nyawa berkumpul dalam wujud
kesatuan sebelum manusia menjelma ke dunia. Dalam alam al-Arwah itulah kita mengikat janji dengan Allah dan
mengakui bahwa Dia-lah Allah yang disembah. Tiada yang lainnya! Sedang pengertian majaji, adalah pralambang
dari sifat yang metaforis. Dengan kata lain, majaji dipakai untuk menunjukkan ada-Nya yang Ada yaitu ada-Nya
yang ilahi. Atau, sebagai simbol adanya makhluk sudah menunjukkan adanya Khalik sebagai pencipta — sebab,
makhluk muncul dari adanya yang mengalir, yaitu Zat-Nya yang Ada sebelum zat yang lain ada.

Oleh karena itu, pengertian umum dari konsep majaji bermakna dua. Pertama, adalah penunjukkan pada sang
pencipta, sebagai bukti Allah menciptakan alam Arwah sebagai petunjuk akan keberadaan-Nya. Sedangkan
pengertian kedua adalah hal-hal yang diciptakan-Nya, yaitu, makhluk-makhluk-Nya yang merupakan lambang atau
simbol dari kekuasaan-Nya.

Di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ruh Idlafi adalah tajjali Allah yang keempat. Setelah bertajjali dalam
alam Mir’atul Haya’i, kemudian bertajjali dalam bentuk Ruh Idlafi. Ruh Idlafi disebut juga tajjali dari pramana atau
sir. Hal itu disebabkan Ruh Idlafi mendapatkan sinar dari kuasa rahsa atau pramana — sedang letaknya di luar
lingkaran pramana. Dalam martabat tujuh, Ruh Idlafi dipersamakan dengan alam al-Arwah, wujud kejamakan ruh.
Di mana hakikat Ruh Idlafi atau al-Arwah tiada satu pun makhluk yang mentetahui, kecuali Allah yang Khalik. Oleh
karena itu, Ruh Idlafi juga disebut sebagai nyawa atau suksma — dan disebut Ruh Idlafi karena ia berhadapan
dengan Hak Taa’ala. Ruh Idlafi juga sama dengan ruh utusan, ruh yang pancarannya bagaikan mutiara dan
menyinari segala hidup dan kehidupan di dunia. Ruh Idlafi merajai segala sesuatu yang nampak dan sinar-sinarnya
menerangi semesta alam, dan bidang-bidang kenisbian.

Martabat Ke lima, Alam Mitsal

Martabat ke lima dari martabat tujuh adalah alam al-Mithal (alam bentuk), yang diungkapkan sebagai awal
Misal begi bentuk zat yang disucikan dengan makna al-Surah al-Thaniyyah (gambaran kedua) dari al-Tanazzulat li’l
Dhat (peninggalan bagi zat), Surah Jami al-ashya al-Kawaniyyah (gambaran segala sesuatu di alam semesta), Surah
al-Rahman (bentuk Rahman), Surah al-Haq (bentuk hak), Surah al-Illah (bentuk Ilahi), Surah al-Wujud al Ilahi
(bentuk wujud Ilahi), Surah al-Shu’un (bentuk keadaan), Surah al Ula al Zahirah al-Asma (bentuk utama zahir
nama-nama).

Di dalam terjemahan Suluk Sujinah, ajaran martabat tujuh tersebut dapat dilihat pada berikut ini:

Tersebutlah alam bertingkat Mitsal, wujud adam terjadinya alam jagad raya yang bersifat kalam, meski pengucap
dan pencium, pendengaran dan penglihatan belum terbentuk semuanya. Calon terbentuknya, cerminan mulut,
wujud mata, rasa kuping, dan penciuman yang berada dalam hidung.

Sementara, dalam Serat Wirid Hidayat Jati disuratkan:

Kandil: artinya lampu tanpa api, diceritakan dalam Hadist berupa permata yang cahayanya berkilauan, tergantung
tanpa kaitan, itulah keadaan Nur Muhammad, dan tempatnya semua ruh. Adalah hakikat angan-angan yang diakui
sebagai bayangan Zat, yang menjadi bingkai atma dan menkjadi tempatnya alam Mitsal.

Alam Mitsal adalah alam perencanaan tentang perkembangan manusia, di mana tiap diri insan ada di dalam
ilmu Allah. Alam ini adalah alam ide dan merupakan perbatasan antara alam Arwah dan alam jisim. Dan alam
Mitsal adalah sebagai awal wujud fisik manusia dan makhluk lainnya. Walau keadaannya sudah mempunyai sifat,
bentuk dan warna, tetapi belum bisa dikenali baik secara batin maupun lahir.

Pada Serat Wirid Hidayat Jati, Kandil, adalah tajjali Allah yang ke lima. Setelah Allah bertajjali dalam alam
Ruh Idlafi, kemudian bertajjali dalam alam Kandil yang dalam kata bahasa mempunyai arti lampu. Uraian di atas,
angan-angan diibaratkan sebagai Kandil atau lampu yang tergantung tanpa kaitan. Yang bila dipersamakan dengan
aajaran martabat tujuh, Kandil digambarkan sebagai alam Mitsal — nafsu atau kandil merupakan tajjalinya ruh
karena menerima sinar dari suksma atau Ruh Idlafi.
Kandil juga digambarkan sebagai api yang berkobar di tengah lautan, artinya, suatu keajaiban bila api dapat
menyala di tengah-tengah lautan. Oleh karena itu, dalam martabat ini disebut Ayan Mukawiyah, karena telah benar
hidup keadaannya. Dan Nafsu atau Kandil bermakna angkara yang terletak di luar suksma.

Martabat Ke enam, Alam Ajsam

Martabat ke enam adalah Alam Ajsam, atau alam jasmani. Alam ini juga disebut sebagai bagian dari al-
Tanazzulat li’l-Dhat (peninggalan bagi zat), Alam al-Mahsus (alam rasa), Akhir al-Tanazzulat li’l Dhat (akhir
peninggalan bagi zat), yaitu, Alam al-Sufliyyah (alam dunia), al-Anam (manusia), al-Ajsam (jasmani), al-Shahadah
(nyata), al-khalq (manusia), al-Zahir (lahir), al-Kashit (alam terbuka), al-Ajram (tubuh), al-Majsum (terkungkung),
al-Mahsusat (alam rasa).

Di dalam terjemahan Suluk Sujinah ajaran martabat tujuh yang ke enam dapat dilihat pada nukilan di bawah
ini:

Alam Acesan wujudnya itu dipenuhi badan halus semuanya. Tidak ada batasnya. Itu dasar sifatnya. Memang begitu
kenyataannya yang disebut jisim nama wujud. Alam ini masih dalam keadaan gaib. Belum lahir wujudnya. Dan
setelah lahir disebut dengan Insan Kamil. Itulah namanya Rasul Allah.

Sementara, terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;

Dharah artinya permata. Tersebut dalam Hadist punya sinar beraneka warna, kesemuanya ditempati malaikat.
Itulah hakikat budi, yang diakui sebagai perhiasan Zat. Dan merupakan pintu atma. Dharah menjadi tempatnya
alam Ajsam.

Pada Suluk Sujinah, alam Acesan adalah tajjali Allah yang ke enam, yang di dalam martabat tujuh alam
Acesan dipersamakan dengan ajaran alam Ajsam. Alam ini adalah tajjalinya dari alam Mitsal. Wujud alam Acesan
berbentuk segi empat yang dihuni oleh jasmani dalam bentuk halus — alam tersebut teramat luas, sehingga tak
diketahui di mana batas-batasnya. Dan yang mengetahui luas serta batas-batasnya hanyalah Allah Yang Maha
Mengetahui.

Meski wujudnya dalam keadaan gaib, tetapi, alam ini sudah menampakkan bentuk lahir yang ke tiga, yaitu,
wujud yang sudah dapat diindra. Sebab, dasar sifatnya adalah jisim, atau, tubuh dalam bentuk wadag.

Sedang Serat Suluk Hidayat Jati menyebutkan bahwa tajjali Allah yang ke enam disebut dengan Dharah yang
memiliki pengertian atau arti permata. Diceritakan, bahwa permata tersebut mengeluarkan cahaya atau sinar yang
beraneka warna, di mana, setiap warnanya ditempati oleh malaikat yang menjaga pancaran dari sinar tersebut. Dan
disebutkan juga bahwasanya bila hakikat dari Dharah adalah budi, di mana budi dijadikan sebagai perhiasan zat.

Martabat Ke tujuh, Alam Insan Kamil

Martabat ke tujuh adalah Alam Insan Kamil, alam manusia dalam kesempurnaannya. Alam ini disebut juga
sebagai Akhir al-Tanazzulat (akhir peninggalan), Khatim al-Mawjudat (puncak dari segala yang ada) atau gabungan
lahir dan batin, al-Khamsah al-Muhit, yaitu, terbentuknya alam, segala yang bersifat rohani, jasmani dan benda tak
bernyawa. Di dalam alam ini, Insan Kamil adalah wakil Allah di bumi guna mengelola alam beserta dengan segala
isinya. Ia juga bergelar sebagai khalifah di bumi.

Ajaran Insan Kami di dalam martabat tujuh ini bisa disimak di dalam terjemahan Suluk Sujinah di bawah
ini:

Sifat yang terlihat berujud manusia. Wujudnya juga yang bernama mukinat (makanah), yaitu dalam wujud yang
berada di martabat ini. Selesailah penjelasan tentang martabat, dan jumlahnya adalah itu (tujuh). Semua orang
wajib mengerti dan mengetahui. Jika tak mengerti, maka orang itu tergolong kafir, dan belum mengerti sahadat.
Sedang terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan:

Hijab: disebut dinding jalal, artinya, tabir yang agung, Diceritakan dalam Hadist timbul dari permata yang
beraneka warna, pada waktu gerak menimbulkan buih asap, dan air. Itulah hakikat jasad, merupakan tempat atma,
menjadi tempatnya alam Insan Kamil.

Dalam Insan kamil, Allah menemukan manifestasi-Nya yang definitif dan sempurna, sebaliknya, dalam Insan
Kamil itu dunia yang ke luar dari Allah menurut garis emanasi yang menurun, dan naik kembali ke Allah. Insan
Kamil (manusia sempurna) adalah merupakan pusat semesta alam serta titik pertemuan antara Allah dan dunia
sebagaimana contoh yang diperagakan dalam garis lurus berikut ini;

Allah

Berdasarkan uraian di atas, maka, manusia yang sempurna merupakan ulangan atau perkalian numerik
mengenai Akal Awal — karena akal itupun merupakan akibat dari materi Awal yang diterangi oleh cahaya Allah.
Tak pelak, oleh Ibn Arabi, Akal Awal itu dinamakan sebagai manusia Universal Agung. Yaitu, wujud yang telah
mencapai kesempurnaan dengan melalui tujuh tingkatan.

Demikian sekelumit sajian Martabat Tujuh yang diangkat dari Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Sudah barang tentu, semuanya tak luput dari kekurangan, maka, akan terasa lebih sempurna bila ada tulisan-tulisan
lain yang akan mampu menambah khasanah perbendaharaan ilmu kita dengan tujuan mencari ridho Allah semata.
Semoga.

Anda mungkin juga menyukai