Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang
dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Minyak goreng berasal dari minyak
nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak
goreng biasanya digunakan sebagai media penggoreng bahan pangan, penambah
cita rasa ataupun shortening yang membentuk tekstur pada pembuatan roti.
(Ketaren, 1986 ; Susinggih, dkk 2005).

Minyak goreng yang baik mempunyai sifat tahan panas, tidak merusak rasa
hasil gorengan, menghasilkan produk dengan tekstur dan rasa yang bagus, asapnya
sedikit setelah digunakan berulang-ulang, dan menghasilkan warna keemasan pada
produk (Ketaren, 1986). Sebanyak 49% dari total permintaan minyak goreng adalah
konsumsi rumah tangga dan sisanya untuk keperluan industri, dan restoran
(Susinggih, dkk, 2005).

Pertumbuhan jumlah penduduk yang disertai dengan perkembangan


industri, restoran, dan usaha makanan cepat saji menghasilkan minyak goreng
bekas dalam jumlah yang besar. Bahaya mengkonsumsi minyak goreng bekas dapat
menimbulkan penyakit, namun jika minyak goreng bekas tersebut dibuang sangat
tidak efisien dan mencemari lingkungan. Karena itu minyak goreng bekas dapat
dimanfaatkan menjadi produk berbasis minyak seperti sabun mandi (Asyiah, 2009).

Saat ini sudah banyak penelitian yang mengolah minyak goreng bekas ini
menjadi produk yang nilai ekonominya meningkat dibanding minyak goreng bekas.
Banyak penelitian yang telah berhasil mengolah minyak goreng bekas menjadi
biodiesel (Setiawati, 2012). Walaupun banyak penelitian yang berhasil membuat
biodiesel dari minyak goreng bekas, ternyata pemasaran biodiesel banyak
mengalami kendala. Tidak adanya subsidi dari pemerintah, sehingga harga
biodiesel lebih mahal dibanding solar. Saat ini belum ada sistem pemasaran
biodiesel yang terstruktur dari Pertamina. Masih kurangnya sosialisasi dari
pemerintah tentang biodiesel sehingga dikalangan masyarakat muncul stigma
bahwa solar merupakan bahan bakar yang lebih baik untuk mesin disel dibanding
biodiesel merupakan kendala dalam pemasaran biodiesel (Sunita 2011).

Minyak goreng bekas dapat diolah menjadi sabun mandi baik dalam bentuk
padat maupun cair (Wijana dkk., 2010;.Priani, 2010). Pemanfaatan sabun
dihasilkan dari proses hidrolisis minyak atau lemak menjadi asam lemak bebas dan
gliserol yang dilanjutkan dengan proses saponifikasi menggunakan basa (KOH atau
NaOH). Asam lemak bebas yang berikatan dengan basa ini dinamakan sabun
(Ketaren, 1986). Sabun cair bisa ditambahkan bahan lain, salah satunya adalah
madu.

Madu merupakan suatu larutan manis yang mengandung gula dan kental.
Penambahan madu pada sabun diharapkan dapat meningkatkan nilai guna dari
sabun, seperti memberikan kesan lembut, halus, melembabkan dan memberikan
aktivitas anti bakteri pada kulit. Sabun madu merupakan salah satu produk yang
dapat digunakan sebagai salah satu inovasi dari penggunaan madu dalam industry
kosmetik. (Fatimah, dkk, 2016).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara membuat sabun cair dengan bahan baku minyak jelantah
dengan penambahan madu ?
2. Bagaimana karakter atau sifat sabun cair yang dihasilkan dari minyak
jelantah dengan penambahan madu ?

1.3 Tujuan
1. Membuat sabun mandi cair dari minyak jelantah dengan menggunakan KOH
sebagai pereaksinya dan mengujinya sesuai syarat mutu sabun mandi yang
ditetapkan SNI 06-3532-1994.
2. Mengetahui karakter atau sifat dari sabun cair yang dihasilkan dari minyak
jelantah setelah melalui proses pemurnian dan proses saponifikasi.
1.4 Batasan Masalah
1. Minyak jelantah yang digunakan adalah minyak jelantah yang diperoleh
dari penjual gorengan dan minyak jelantah dari limbah rumah tangga.
2. Basa alkali yang digunakan adalah KOH.
3. Bahan tambahan yang digunakan adalah madu yang berguna sebagai
antioksidan.
4. Analisa yang dilakukan adalah uji asam lemak bebas, bilangan penyabunan,
dan pH.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Jelantah

Minyak goreng bekas atau sering disebut jelantah adalah sebutan untuk
minyak goreng yang telah berulang kali digunakan. Selain penampakannya yang
tidak menarik, coklat kehitaman, bau tengik minyak jelantah sangat berpotensi
dalam membahayakan kesehatan tubuh. Terlalu sering mengkonsumsi minyak
jelantah dapat menyebabkan potensi kanker meningkat. Minyak goreng bukan
hanya sebagai media transfer panas ke makanan, tetapi juga sebagai makanan.
Selama penggorengan sebagian minyak akan teradsorbsi dan masuk ke bagian luar
bahan yang digoreng dan mengisi ruang kosong yang semula diisi oleh air. Hasil
penggorengan biasanya mengandung 5-40 % minyak. Jika menggunakan minyak
goreng bekas dalam menggoreng makanan, maka makanan yang dihasilkan akan
membahayakan tubuh manusia, karena mengkonsumsi minyak yang rusak dapat
menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, pengendapan lemak dalam
pembuluh darah (artherosclerosis) dan penurunan nilai cerna lemak. (Dwi Annisa
Hasbi, 2019)

Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada


suhu tinggi 160-250oC dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerisasi yang menghasilkan senyawa-
senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid dan polimer yang merugikan
kesehatan manusia. Proses-proses tersebut menyebabkan minyak mengalami
kerusakan. Kerusakan utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan
kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan
iodin, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa, adanya kotoran dari
bumbu yang digunakan dan bahan yang digoreng (Ketaren, 1986).

Penggunaan minyak berkali-kali dengan suhu penggorengan yang cukup


tinggi akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan
meningkatkan warna coklat pada bahan makanan yang digoreng dengan rupa yang
kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak Kerusakan minyak goreng yang
berlangsung selama penggorengan akan menurunkan nilai gizi dan mutu bahan
yang digoreng. Namun jika minyak goreng bekas tersebut dibuang selain tidak
ekonomis juga akan mencemari lingkungan (Ketaren, 1986 ; Susinggih, dkk, 2005).
Agar tidak mencemari lingkungan, minyak goreng bekas dapat dimanfaatkan
menjadi suatu produk salah satunya yaitu sabun mandi. Untuk dijadikan sabun
mandi minyak jelantah terlebih harus dilakukan pemurnian terlebih dahulu.

Pemurnian merupakan tahap pertama dari proses pemanfaatan minyak


goreng bekas, yang hasilnya dapat digunakan sebagai minyak goreng kembali atau
sebagai bahan baku produk untuk pembuatan sabun mandi padat. Tujuan utama
pemurnian minyak goreng ini adalah menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak,
warna yang kurang menarik dan memperpanjang daya simpan sebelum digunakan
kembali (Susinggih, dkk, 2005). Pemurnian minyak goreng bekas dapat dilakukan
dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan karbon aktif.

Karbon aktif adalah suatu bahan padat yang berpori dan umumnya diperoleh
dari hasil pembakaran kayu atau bahan yang mengandung unsur karbon yang telah
diaktivasi dengan menggunakan bahan-bahan kimia, sehingga pori-porinya
terbuka. Dengan demikian daya adsorpsinya menjadi lebih tinggi terhadap zat
warna dan bau ( Ketaren, 1986).

Menurut Susinggih, dkk (2005) ; Veronica dan Yuliana (2008), bahwa


adsorben atau bahan penyerap berupa karbon aktif yang digunakan pada proses
pemurnian dapat meningkatkan kembali mutu minyak goreng bekas, dimana
karbon aktif akan bereaksi menyerap warna yang membuat minyak bekas menjadi
keruh.

2.2 Sabun

Sabun merupakan senyawa natrium atau kalium dengan asam lemak dari
minyak nabati atau lemak hawani yang diperoleh dengan proses hidrolisis minyak
yang kemudian dilanjutkan dengan proses saponifikasi dalam kondisi basa.
Pembuatan kondisi basa yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH)
dan Kalium Hidroksida (KOH). Jika basa yang digunakan adalah NaOH, maka
produk reaksi berupa sabun keras (padat),sedangkan basa yang digunakan berupa
KOH maka produk reaksi berupa sabun cair (Ketaren,1986).

Sabun dihasilkan dari proses hidrolisis minyak atau lemak menjadi asam
lemak bebas dan gliserol yang dilanjutkan dengan proses saponifikasi
menggunakan basa (KOH atau NaOH). Asam lemak bebas yang berikatan dengan
basa ini dinamakan sabun (Ketaren 1986).

Sabun mandi bisa ditambah dengan susu, madu, parfum dan berbagai jenis
filler yang lain tergantung tujuan. Sabun untuk mencuci merupakan sabun yang
sedikit larut dalam air, tetapi tidak larut dalam pelarut lemak, seperti gasoline, eter
dan benzena (Fessenden, 1994).

Tabel 2.1. SNI Sabun Mandi

No Kriteria Uji Mutu

1 Asam lemak bebas Maks. 2,5

2 Bilangan penyabunan 196 – 206

3 pH 8 – 11

4 Kadar Air (%) Maks. 15

5 Alkali Bebas (KOH%) Maks. 0,14

6 Jumlah Asam Lemak (%) 64 - 70


2.3 Madu

Madu adalah cairan manis yang berasal dari nectar tanaman yang diproses
oleh lebah menjadi madu dan tersimpan dalam sel-sel sarang lebah. Sejak ribuan
tahun yang lalu sampai sekarang ini, madu telah dikenal sebagai salah satu bahan
makanan atau minuman alami yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan.
Madu memiliki manfaat dalam berbagai aspek, antara lain dari segi pangan, dan
kesehatan. Madu sering digunakan sebagai bahan pemanis, penyedap makanan dan
campuran saat mengkonsumsi minuman. Selain itu, madu sering pula digunakan
untuk obat-obatan. Madu merupakan salah satu obat tradisional tertua yang
dianggap penting untuk pengobatan penyakit pernafasan, infeksi saluran
pencernaan dan bermacam-macam penyakit lainnya. Madu juga dapat digunakan
secara rutin untuk membalut luka, luka bakar dan borok di kulit untuk mengurangi
sakit dan bau dengan cepat, serta dapat digunakan untuk menghilangkan rasa lelah
dan letih. Dari segi kecantikan, madu dapat pula digunakan untuk menghaluskan
kulit, serta pertumbuhan rambut (Purbaya, 2002 dan Ratnayani,2008).

Madu merupakan suatu larutan manis yang mengandung gula dan kental.
Penambahan madu pada sabun diharapkan dapat meningkatkan nilai guna dari
sabun, seperti memberikan kesan lembut, halus, melembabkan dan memberikan
aktivitas anti bakteri pada kulit. Sabun madu merupakan salah satu produk yang
dapat digunakan sebagai salah satu inovasi dari penggunaan madu dalam industry
kosmetik. (Fatimah, dkk, 2016).

2.4 Proses Saponifikasi

Saponifikasi merupakan proses hidrolisis basa terhadap lemak dan minyak,


dan reaksi saponifikasi bukan merupakan reaksi kesetimbangan. Hasil mula-mula
dari penyabunan adalah karboksilat karena campurannya bersifat basa. Setelah
campuran diasamkan, karboksilat berubah menjadi asam karboksilat. Produknya,
sabun yang terdiri dari garam asam-asam lemak. Fungsi sabun dalam
keanekaragaman cara adalah sebagai bahan pembersih. Sabun menurunkan
tegangan permukaan air, sehingga memungkinkan air untuk membasahi bahan yang
dicuci dengan lebih efektif. Sabun bertindak sebagai suatu zat pengemulsi untuk
mendispersikan minyak dan sabun teradsorpsi pada butiran kotoran. (I Wayan,
2018).

Reaksi pembuatan sabun atau saponifikasi menghasilkan sabun sebagai


produk utama dan gliserin sebagai produk samping. Gliserin sebagai produk
samping juga memiliki nilai jual. Sabun merupakan garam yang terbentuk dari
asam lemak dan alkali. Sabun dengan berat molekul rendah akan lebih mudah larut
dan memiliki struktur sabun yang lebih keras. Sabun memiliki kelarutan yang tinggi
dalam air, tetapi sabun tidak larut menjadi partikel yang lebih kecil, melainkan larut
dalam bentuk ion.Prinsip dalam proses saponifikasi, yaitu lemak akan terhidrolisis
oleh basa, menghasilkan gliserol dan sabun mentah. Proses pencampuran antara
minyak dan alkali kemudian akan membentuk suatu cairan yang mengental, yang
disebut trace. Pada campuran tersebut kemudian ditambahkan garam NaCl. Garam
NaCl ditambahkan untuk memisahkan antara produk sabun dan gliserol sehingga
sabun akan tergumpalkan sebagai sabun padat yang memisah dari geliserol
(Gebelin, 2005).

Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH,
KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines. NaOH, atau yang biasa dikenal
dengan soda kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak
digunakan dalam pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam
pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu
soda/natrium karbonat) merupakan alkali yang murah dan dapat menyabunkan
asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida (minyak atau lemak) (I
Wayan, 2018).
Trigliserida

Gambar 2.1 Reaksi Saponifikasi


BAB III

METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit


Politeknik Kampar. Penelitian ini dilaksanakan pada kurun waktu November 2021
sampai Februari 2021.

4.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian pembuatan sabun dari minyak jelantah
dengan penambahan madu adalah beaker glass 1000 ml, beaker glass 100 ml, kaca
arloji, hot plate, spinbar, batang pengaduk, gelas ukur 100 ml, thermometer.

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun mandi cair


dari minyak jelantah dengan penambahan madu adalah minyak jelantah, larutan
KOH, alcohol, gliserin, asam sitrat, aquadest, pewarna, pewangi, dan madu.

4.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian “Pembuatan Sabun


Dari Minyak Jelantah Dengan Penambahan Madu” mengacu pada penelitian
Antonius Prihanto, dkk (2018). Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan
yaitu pemurnian minyak jelantah, pembuatan sabun mandi cair, dan Analisa mutu
sabun mandi cair.

3.3.1. Pemurnian Minyak Jelantah


A. Proses penghilangan kotoran minyak jelantah

Minyak jelantah ditimbang sebanyak 500 gram yang akan dimurnikan


kemudian memasukkannya ke dalam beaker glass 1000 ml. Minyak jelantah
tersebut kemudian disaring menggunakan kertas saring untuk memisahkan minyak
jelantah dari kotorannya.

B. Proses Netralisasi

Setelah minyak jelantah dipisahkan dari kotorannya, kemudian 75 gram


karbon aktif dimasukkan ke dalam 500 gram minyak jelantah dan diaduk selama 3-
5 menit dan disaring menggunakan kertas saring.

3.3.2. Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Minyak jelantah yang telah dinetralisasi ditimbang sebanyak 5 gram ke


dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan alkohol 96% sebanyak 25 ml
lalu panaskan di atas waterbatch. Setelah itu tambahkan indikator pp sebanyak 3
tetes dan titrasi dengan KOH 0,1 N tetes demi tetes melalui buret hingga muncul
warna merah jambu yang tidak akan berubah selama 15 detik.

3.3.3. Proses Pembuatan Sabun Mandi Cair

Minyak jelantah yang sudah dinetralisasi ditimbang sebanyak 50 gram ke


dalam beaker glass 100 ml dan ditambahkan larutan KOH 40% dari berat minyak.
Minyak dipanaskan hingga suhu 70oC dan mengaduknya selama 60 menit.
Kemudian menambahkan 10 ml gliserin, 20 ml alkohol 96%, 1 gram asam sitrat,
dan madu sebanyak (2,5 gram, 5 gram, 7,5 gram, dan 10 gram) lalu mengaduknya
selama 5 menit, kemudian men ambahkan aquadest sebanyak 25 ml lalu
mengaduknya selama 5 menit. Sabun cair yang sudah jadi didinginkan dan
kemudian ditambahkan pewarna 0,01% dari berat sabun cair dan pewangi 0,02%
dari berat sabun cair dan dilanjutkan dengan pengadukan selama 5 menit.
Table 3.1. Variabel Penelitian

Konsentrasi Alkali Minyak Jelantah Madu

30% 50 gram 2,5 gram

400% 50 gram 5 gram

505% 50 gram 7,5 gram


Minyak
Jelantah

Penyaringan

Pemurnian Karbon
aktif 15%

Hasil pemurnian

KOH Saponifikasi
40%

Gliserin, Pencampuran Madu


alkohol,
asam sitrat,
Sabun
mandi cair

Analisa

Selesai

Gambar 3.1. Diagram Alir Pembuatan Sabun Dari Minyak Jelantah

Anda mungkin juga menyukai