Anda di halaman 1dari 243

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 1970
TENTANG
KESELAMATAN KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas


keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan
hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional;
b. bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu
terjamin pula keselamatannya;
c. bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan
secara aman dan effisien;
d. bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan segala daya-upaya
untuk membina norma-norma perlindungan kerja;
e. bahwa pembinaan norma-norma itu perlu diwujudkan dalam
Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan umum tentang
keselamatan kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat,
industrialisasi, teknik dan teknologi;

Mengingat : 1. Pasal-pasal 5, 20 dan 27 Undang-Undang Dasar 1945;


2. Pasal-pasal 9 dan 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1969 No. 55, Tambahan
Lembaran Negara No. 2912);

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.

MEMUTUSKAN :

1. Mencabut ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-

1. Mencabut :
Veiligheidsreglement Tahun 1910 (Stbl. No. 406),
2. Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KESELAMATAN KERJA.

BAB I.
TENTANG ISTILAH-ISTILAH

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan :
(1) "tempat kerja" ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau
terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang
sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di
mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana
diperinci dalam pasal 2;
termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan
sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang
berhubungan dengan tempat kerja tersebut;
(2) "pengurus" ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung
sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri;
(3) "pengusaha" ialah :
a. orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik
sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
b. orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu
mempergunakan tempat kerja;
c. orang atau badan hukum, yang di Indonesia mewakili orang
atau badan hukum termaksud pada (a) dan (b), jikalau yang
diwakili berkedudukan di luar Indonesia.
(4) "direktur" ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja
untuk melaksanakan Undang-undang ini;

(5) ”pegawai ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-3-

(5) "pegawai pengawas" ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari


Departemen Tenaga Kerja;
(6) "ahli keselamatan kerja" ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari
luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga
Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang ini.

BAB II.
RUANG LINGKUP

Pasal 2.
(1) Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam
segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air,
di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah
kekuasaan hukum Republik Indonesia.
(2) Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat
kerja di mana :
a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat,
perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat
menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan;
b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut
atau disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah
terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu
tinggi;
c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan
atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya,
termasuk bangunan pengairan, saluran atau terowongan di
bawah tanah dan sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan
persiapan;
d. dilakukan usaha : pertanian, perkebunan, pembukaan hutan,
pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya,
peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan;

e. dilakukan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-

e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan : emas, perak,


logam atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau
mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun
di dasar perairan; dilakukan pengangkutan barang, binatang atau
manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air,
dalam air maupun di udara;
g. dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu,
dermaga, dok, stasiun atau gudang;
h. dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di
dalam air;
i. dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah
atau perairan;
j. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang
tinggi atau rendah;
k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah,
kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok,
hanyut atau terpelanting;
l. dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;
m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api,
asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara
atau getaran;
n. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah;
o. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar,
televisi atau telepon;
p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau
riset (penelitian) yang menggunakan alat teknis;
q. dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan
atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air;
r. diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan
rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau
mekanik.

(3) Dengan ...


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-

(3) Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja,


ruangan-ruangan atau lapangan-lapangan lainnya yang dapat
membahayakan keselamatan atau kesehatan yang bekerja dan atau
yang berada di ruangan atau lapangan itu dan dapat dirubah
perincian tersebut dalam ayat (2).

BAB III.
SYARAT-SYARAT KESELAMATAN KERJA.

Pasal 3.
(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat
keselamatan kerja untuk :
a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;
b. mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e. memberi pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya
suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan
angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja
baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan;
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja,
lingkungan, cara dan proses kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang;
o. mengamankan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-

o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;


p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat,
perlakuan dan penyimpanan barang;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada
pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
(2) Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian seperti
tersebut dalam ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknik dan teknologi serta pendapatan-pendapatan
baru di kemudian hari.

Pasal 4.
(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat
keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan,
peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknik dan
aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya
kecelakaan.
(2) Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknik ilmiah
menjadi suatu kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur,jelas
dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan
dan pembuatan, perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian dan
pengesyahan, pengepakan atau pembungkusan, pemberian tanda-
tanda pengenal atas bahan, barang, produk teknis dan aparat
produksi guna menjamin keselamatan barang-barang itu sendiri,
keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan keselamatan
umum.
(3) Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian seperti
tersebut dalam ayat (1) dan (2) : dengan peraturan perundangan
ditetapkan siapa yang berkewajiban memenuhi dan mentaati syarat-
syarat keselamatan tersebut.

BAB IV ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7-

BAB IV.
PENGAWASAN

Pasal 5.
(1) Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang
ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja
ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya
Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya.
(2) Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli
keselamatan kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur
dengan peraturan perundangan.

Pasal 6.
(1) Barangsiapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat
mengajukan permohonan banding kepada Panitia Banding.
(2) Tata-cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas
Panitia Banding dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja.
(3) Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi.

Pasal 7.
Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus
membayar retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur
dengan peraturan perundangan.

Pasal 8.
(1) Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi
mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan
diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat
pekerjaan yang diberikan padanya.
(2) Pengurus diwajibkan memeriksakan semua tenaga kerja yang
berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang
ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh direktur.
(3) Norma ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-

(3) Norma-norma mengenai pengujian keselamatan ditetapkan dengan


peraturan perundangan.

BAB V.
PEMBINAAN.

Pasal 9.
(1) Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap
tenaga kerja baru tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul
dalam tempat kerjanya;
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan
dalam tempat kerjanya;
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan
pekerjaannya.
(2) Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang
bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah
memahami syarat-syarat tersebut di atas.
(3) Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua
tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan
kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan
keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian
pertolongan pertama pada kecelakaan.
(4) Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja
yang dijalankannya.

BAB IV ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9-

BAB VI.
PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA

Pasal 10.
(1) Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja guna memperkembangkan kerja-
sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau
pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan
dan kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi.
(2) Susunan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas
dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.

BAB VII.
KECELAKAAN.

Pasal 11.
(1) Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi
dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk
oleh Menteri Tenaga Kerja.
(2) Tata-cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai
termaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan.

BAB VIII.
KEWAJIBAN DAN HAK TENAGA KERJA.

Pasal 12.
Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga
kerja untuk :
a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai
pengawas dan atau ahli keselamatan kerja;
b. Memakai ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -

b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;


c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan;
d. Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat
keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri
yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus
ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang
masih dapat dipertanggung-jawabkan.

BAB IX.
KEWAJIBAN BILA MEMASUKI TEMPAT KERJA.

Pasal 13.
Barangsiapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati
semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan
diri yang diwajibkan.

BAB X.
KEWAJIBAN PENGURUS.

Pasal 14.
Pengurus diwajibkan :
a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya,
semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-
undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi
tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah
dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau
ahli keselamatan kerja;

b. Memasang ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -

b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar


keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan
lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli Keselamatan Kerja;
c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya
dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat
kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

BAB XI.
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP.

Pasal 15.
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih
lanjut dengan peraturan perundangan.
(2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan
ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.

Pasal 16.
Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada
pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di
didalam satu tahun sesudah Undang-undang ini mulai berlaku, untuk
memenuhi ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-
undang ini.

Pasal 17 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -

Pasal 17.
Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam
Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang
keselamatan kerja yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai
berlaku, tetapi berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
undang ini.

Pasal 18.
Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG KESELAMATAN
KERJA" dan mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 1970.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO.
Jenderal T.N.I.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 1970.
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ALAMSJAH
Mayor Jenderal T.N.I.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970
TENTANG
KESELAMATAN KERJA.

PENJELASAN UMUM

Veiligheidsreglement yang ada sekarang dan berlaku mulai 1910 (Stbl. No. 406) dan
semenjak itu di sana-sini mengalami perobahan mengenai soal-soal yang tidak begitu berarti,
ternyata dalam banyak hal sudah terbelakang dan perlu diperbaharui sesuai dengan
perkembangan peraturan perlindungan tenaga kerja lainnya dan perkembangan serta kemajuan
teknik, teknologi dan industrialisasi di Negara kita dewasa ini dan untuk selanjutnya.
Mesin-mesin, alat-alat, pesawat-pesawat baru dan sebagainya yang serba pesik banyak dipakai
sekarang ini, bahan-bahan tehnis baru banyak diolah dan dipergunakan, sedangkan mekanisasi
dan elektrifikasi diperluas di mana-mana.
Dengan majunya industrialisasi, mekanisasi, elektrifikasi dan modernisasi, maka dalam
kebanyakan hal berlangsung pulalah peningkatan intensitet kerja operasionil dan tempo kerja
para pekerja. Hal-hal ini memerlukan pengerahan tenaga secara intensief pula dari para
pekerja. Kelelahan, kurang perhatian akan hal-hal lain, kehilangan keseimbangan dan lain-lain
merupakan akibat dari padanya dan menjadi sebab terjadinya kecelakaan.
Bahan-bahan yang mengandung racun, mesin-mesin, alat-alat, pesawat-pesawat dan
sebagainya yang serba pelik serta cara-cara kerja yang buruk, kekurangan ketrampilan dan
latihan kerja, tidak adanya pengetahuan tentang sumber bahaya yang baru, senantiasa
merupakan sumber-sumber bahaya dan penyakit-penyakit akibat kerja. Maka dapatlah
difahami perlu adanya pengetahuan keselamatan kerja dan kesehatan kerja yang maju dan
tepat.
Selanjutnya dengan peraturan yang maju akan dicapai keamanan yang baik dan realistis yang
merupakan faktor sangat penting dalam memberikan rasa tentram, kegiatan dan kegairahan
bekerja pada tenaga-kerja yang bersangkutan dan hal ini dapat mempertinggi mutu pekerjaan,
meningkatkan produksi dan produktivitas kerja.
Pengawasan berdasarkan Veiligheidsreglement seluruhnya bersifat repressief.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -

Dalam Undang-undang ini diadakan perobahan prinsipiil dengan merobahnya menjadi lebih
diarahkan pada sifat preventief.
Dalam praktek dan pengalaman dirasakan perlu adanya pengaturan yang baik sebelum
perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik atau bengkel-bengkel didirikan, karena amatlah sukar
untuk merobah atau merombak kembali apa yang telah dibangun dan terpasang di dalamnya
guna memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja yang bersangkutan.
Peraturan baru ini dibandingkan dengan yang lama, banyak mendapatkan perobahan-
perobahan yang penting, baik dalam isi, maupun bentuk dan sistimatikanya.

Pembaruan dan perluasannya adalah mengenai :


1. Perluasan ruang lingkup.
2. Perobahan pengawasan repressief menjadi preventief.
3. Perumusan teknis yang lebih tegas.
4. Penyesuaian tata-usaha sebagaimana diperlukan bagi pelaksanaan pengawasan.
5. Tambahan pengaturan pembinaan Keselamatan Kerja bagi management dan Tenaga
Kerja.
6. Tambahan pengaturan mendirikan Panitya Pembina Keselamatan Kerja dan Kesehatan
Kerja.
7. Tambahan pengaturan pemungutan retribusi tahunan.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.
Ayat (1).
Dengan perumusan ini ruang lingkup bagi berlakunya Undang-undang ini jelas
ditentukan oleh tiga unsur:
1. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi sesuatu usaha,
2. Adanya tenaga kerja yang bekerja disana,
3. Adanya bahaya kerja ditempat itu.
Tidak selalu tenaga kerja harus sehari-hari bekerja dalam sesuatu tempat kerja.
Sering pula mereka untuk waktu-waktu tertentu harus memasuki ruangan-
ruangan untuk mengontrol, menyetel, menjalankan instalasi-instalasi, setelah
mana mereka keluar dan bekerja selanjutnya di lain tempat.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -

Instalasi-instalasi itu dapat merupakan sumber-sumber bahaya dan dengan


demikian haruslah memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja yang berlaku
baginya, agar setiap orang termasuk tenaga kerja yang memasukinya dan atau
untuk mengerjakan sesuatu disana, walaupun untuk jangka waktu pendek,
terjamin keselamatannya.
Instalasi-instalasi demikian itu misalnya rumah-rumah, transformator, instalasi
pompa air yang setelah dihidupkan berjalan otomatis, ruangan-ruangan
instalasi radio, listrik tegangan tinggi dan sebagainya.
Sumber berbahaya adakalanya mempunyai daerah pengaruh yang meluas.
Dengan ketentuan dalam ayat ini praktis daerah pengaruh ini tercakup dan
dapatlah diambil tindakan-tindakan penyelamatan yang diperlukan. Hal ini
sekaligus menjamin kepentingan umum.
Misalnya suatu pabrik dimana diolah bahan-bahan kimia yang berbahaya dan
dipakai serta dibuang banyak air yang mengandung zat-zat yang berbahaya.
Bila air buangan demikian itu dialirkan atau dibuang begitu saja ke dalam
sungai maka air sungai itu menjadi berbahaya, akan dapat mengganggu
kesehatan manusia, ternak ikan dan pertumbuhan tanam-tanaman.
Karena itu untuk air bungan itu harus diadakan penampungannya tersendiri
atau dikerjakan pengolahan terdahulu, dimana zat-zat kimia di dalamnya
dihilangkan atau dinetraliseer, sehingga airnya itu tidak berbahaya lagi dan
dapat dialirkan kedalam sungai.
Dalam pelaksanaan Undang-undang ini dipakai pengertian tentang tenaga kerja
sebagaimana dimuat dalam Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja, maka dipandang tidak perlu di muat definisi
itu dalam Undang-undang ini.
Usaha-usaha yang dimaksud dalam Undang-undang ini tidak harus selalu
mempunyai motif ekonomi atau motif keuntungan, tapi dapat merupakan
usaha-usaha sosial seperti perbengkelan di Sekolah-sekolah teknik, usaha
rekreasi-rekreasi dan di rumah-rumah sakit, di mana dipergunakan instalasi-
instalasi listrik dan atau mekanik yang berbahaya.

Ayat (2)
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6).
Guna pelaksanaan Undang-undang ini diperlukan pengawasan dan untuk ini
diperlukan staf-staf tenaga-tenaga pengawas yang kuantitatief cukup besar
serta bermutu.
Tidak saja diperlukan keahlian dan penguasaan teoritis bidang-bidang
spesialisasi yang beraneka ragam, tapi mereka harus pula mempunyai banyak
pengalaman di bidangnya.
Staf demikian itu tidak didapatkan dan sukar dihasilkan di Departemen Tenaga
Kerja saja.
Karena itu dengan ketentuan dalam ayat ini Menteri Tenaga Kerja dapat
menunjuk tenaga-tenaga ahli dimaksud yang berada di Instansi-instansi
Pemerintah dan atau Swasta untuk dapat memformeer Personalia operasionil
yang tepat.
Maka dengan demikian Menteri Tenaga Kerja dapat mendesentralisir
pelaksanaan pengawasan atas ditaatinya Undang-undang ini secara meluas,
sedangkan POLICY NASIONALNYA tetap menjadi TANGGUNG-
JAWABNYA dan berada di tangannya, sehingga terjamin pelaksanaannya
secara SERAGAM dan SERASI bagi seluruh Indonesia.

Pasal 2.
Ayat (1).
Materi yang diatur dalam Undang-undang ini mengikuti perkembangan
masyarakat dan kemajuan teknik, teknologi serta senantiasa akan dapat sesuai
dengan perkembangan proses industrialisasi Negara kita dalam rangka
Pembangunan Nasional Selanjutnya akan dikeluarkan peraturan-peraturan
organiknya, terbagi baik atas dasar pembidangan teknis maupun atas dasar
pembidangan industri secara sektoral. Setelah Undang-undang ini, diadakanlah
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -

Peraturan-peraturan perundangan Keselamatan Kerja bidang Listrik, Uap,


Radiasi dan sebagainya, pula peraturan perundangan Keselamatan Kerja
sektoral, baik di darat, di laut maupun di udara.

Ayat (2).
Dalam ayat ini diperinci sumber-sumber bahaya yang dikenal dewasa ini yang
bertalian dengan:
1. Keadaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, alat-alat kerja serta peralatan
lainnya, bahan-bahan dan sebagainya.
2. Lingkungan,
3. Sifat pekerjaan.
4. Cara kerja.
5. Proses produksi.
Ayat (3).
Dengan ketentuan dalam ayat ini dimungkinkan diadakan perubahan-
perobahan atas perincian yang dimaksud sesuai dengan pendapatan-pendapatan
baru kelak kemudian hari, sehingga Undang-undang ini, dalam pelaksanaannya
tetap berkembang.

Pasal 3.
Ayat (1).
Dalam ayat ini dicantumkan arah dan sasaran-sasaran secara konkrit yang
harus dipenuhi oleh syarat-syarat keselamatan kerja yang akan dikeluarkan.
Ayat (2).
Cukup jelas.

Pasal 4.
Ayat (1).
Syarat-syarat keselamatan kerja yang menyangkut perencanaan dan pembuatan
diberikan pertama-tama pada perusahaan pembuata atau produsen dari barang-
barang tersebut, sehingga kelak dalam pengangkutan dan sebagainya itu
barang-barang itu sendiri tidak berbahaya bagi tenaga kerja yang bersangkutan
dan bagi umum, kemudian pada perusahaan-perusahaan yang
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -

memperlakukannya selanjutnya yakni yang mengangkutnya, yang


mengedarkannya, memperdagangkannya, memasangnya, memakainya atau
mempergunakannya, memeliharanya dan menyimpannya.
Syarat-syarat tersebut di atas berlaku pula bagi barang-barang yang
didatangkan dari luar negeri.
Ayat (2).
Dalam ayat ini ditetapkan secara konkrit ketentuan-ketentuan yang harus
dipenuhi oleh syarat-syarat yang dimaksud.
Ayat (3).
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6.
Cukup jelas.
Panitia Banding ialah Panitia Teknis, yang anggota-anggotanya terdiri dari ahli-ahli
dalam bidang yang diperlukan.

Pasal 7.
Cukup jelas.

Pasal 8.
Cukup jelas.

Pasal 9.
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -

Pasal 10.
Ayat (1).
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja bertugas memberi
pertimbangan dan dapat membantu pelaksanaan usaha pencegahan kecelakaan
dalam,perusahaan yang bersangkutan serta dapat memberikan penjelasan dan
penerangan efektif pada para pekerja yang bersangkutan.
Ayat (2).
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan suatu Badan
yang terdiri dari unsur-unsur penerima kerja, pemberi kerja dan pemerintah
(tripartite).

Pasal 11.
Cukup jelas.

Pasal 12.
Cukup jelas.

Pasal 13.
Yang dimaksud dengan barang siapa ialah setiap orang baik yang bersangkutan
maupun tidak bersangkutan dengan pekerjaan di tempat kerja itu.

Pasal 14.
Cukup jelas.

Pasal 15.
Cukup jelas.

Pasal 16.
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -

Pasal 17.
Peraturan-peraturan Keselamatan Kerja yang ditetapkan berdasarkan
veiligheidsreglement 1910 dianggap ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini
sepanjang tidak bertentangan dengannya.

Pasal 18.
Cukup jelas.

--------------------------------

CATATAN

Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA


TAHUN 1972 YANG TELAH DICETAK ULANG
SALINAN
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2017

TENTANG

JASA KONSTRUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a bahwa _pembangunan nasional bertujuan untuk


mewujudkan masyarakat adil dan yang
-l.k-r.
berdasarkan Pancasila dan Undans_U"a"", Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 194i;
b bahwa sektor jasa konstruksi merupakan
kegiatan
masyarakat mewujudkan bangunan yang beriungsi
sebagai. pendukung atau prasarana aktivitas
sosial
ekonomi kemasyarakatan guna *..rr.r.1".rg
terwujudnya tujuan pembangunan nasional;
C bahwa . penyelenggaraan jasa konstruksi harus
menjamin ketertiban dan kepastian hukum;
d bahwa-Undang-Undang Nomor 1g Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi belum dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika
perkembangan penyelengga.a.rr.ir"" konstruksi;
e bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, "huruf jali frrruf
d perlu membentuk Undang-Undang tentang ", Jasa
Konstruksi;
Mengingat: Pasal 20 a3 e1s{
_21 Undang_Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun
Negara
1945;

Dengan persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

2-
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:


1 Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi
konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.
2 Konsultansi Konstruksi adalah layanan keseluruhan atau
sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan,
perancangan, pengawasan, dan manaJemen
penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.
3. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian
kegiatan yang meliputi pembangunan, perrgoperasian,
pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembati
suatu bangunan.
4. Usaha Penyediaan Bangunan adalah pengembangan jenis
usaha jasa konstruksi yang dibiayai
_
peLerintah
".ndi.iol.h
Pusat, Pemerintah.Daerah, badan usaha, atau masyarakat,
dan dapat melalui pola kerja sama untuk mewquakan,
memiliki, menguasai, mengusahakan, d.inlatau
meningkatkan kemanfaatan bangunan.
5. Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang
menggunakan layanan Jasa Konstruksi.
6. Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi.
7. Subpenyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi
kepada Penyedia Jasa.
8. Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen
kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna
J-asa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi.
9. Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan adalah pedoman teknis keamanan,
keselamatan, kesehatan iempat kerja konstruksi, dan
perlindungan sosial tenaga kerja, seita tata lingkungan
setempat dan pengelolaan lingkungan hidup- daLm
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

lO.Kegagalan...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-
10. Kegagalan Bangunan adalah suatu keadaan keruntuhan
bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah
penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi.
11. Sertifikat Badan Usaha adalah tanda bukti pengakuan
terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan
usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan
kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi asing.
12. Sertilitasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian
sertifikat kompetensi melalui uji kompetensi sesuai dengan
standar kompetensi kerja nasional Indonesia, stan"dar
internasional, dan/ atau standar khusus.
13. Sertifikat Kompetensi Kerja adalah tanda bukti pengakuan
kompetensi tenaga kerja konstruksi.
14. Tanda Daftar Usaha perseorangan adalah izin yang
diberikan kepada usaha orang perseorangan untu[
menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi.
15. Izin Usaha Jasa Konstruksi yang selanjutnya disebut Izin
Usaha adalah izin yang diberikan kepada badan usaha
untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa konstruksi.
16. Pemerintah Pusat adalah presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara neputtit<
Indonesia yang dibantu oleh Wakil presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang meniadi
kewenangan daerah otonom.
18. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Jasa Konstruksi.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi berlandaskan pada asas:


a. kejujuran dan keadilan;
b. manfaat;

c.kesetaraan;...
{'i.

FRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4
c. kesetaraan;
d. keserasian;
e. keseimbangan;
f. profesionalitas;
g. kemandirian;
h. keterbukaan;
i. kemitraan;
j. keamanan dan keselamatan;
k. kebebasan;
1. pembangunan berkelanjutan; dan
m. wawasan lingkungan.

Pasal 3

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi bertujuan untuk:


a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan Jasa
Konstruksi untuk mewujudkan struktu. usaha yu.rlg trk h,
andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstrulksi yang
berkualitas;
b. mewujudkan ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi
yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna
Jasa..dan Penyedia Jasa dalam menjalankan hak*dan
kewajiban, serta meningkatkan kepatuiran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang
Jasa Konstruksi;
d. menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan
keselamatan publik dan
lingkungan terbangun; -..rciptaka., kenyamanan
e. menjamin tata kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang
baik; dan
f. menciptakan integrasi nilai tambah dari seluruh tahapan
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

BABIII ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-
BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN KEWENANGAN

Bagian Kesatu
Tanggung Jawab

Pasal 4

(l) Pemerintah Fusat bertanggung jawab atas:


a. meningkatnya kemampuan dan kapasitas usaha Jasa
Konstruksi nasional;
b. terciptanya iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan
Jasa Konstruksi yang transparan, persaingan usaha
yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan
kewajiban antara pengguna Jasa dan penyedia Jasa;
c. terselenggaranya Jasa Konstruksi yang sesuai dengan
Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, aa.
Keberlanjutan;
d. meningkatnya kompetensi, profesionalitas, dan
produktivitas tenaga kerja konstruksi nasional;
e. meningkatnya kualitas penggunaan material dan
peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi dalam
negeri;
f. meningkatnya partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi
dan
g. tersedianya sistem informasi Jasa Konstruksi.
(2)
lln.efune-
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri, berkoordinasi dingan menteri
teknis terkait.

Bagian Kedua
Kewenangan

Paragraf 1
Kewenangan Pemerintah pusat

Pasal 5

(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:

a.mengembangkan...
euBt

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-6-
a. mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi;
b. mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa
Konstruksi;
c. menyelenggarakan registrasi badan usaha Jasa
Konstruksi;
d. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi perusahaan
Jasa Konstruksi dan asosiasi yang terkait dengan rantai
pasok Jasa Konstruksi;
e. menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga yang
melaksanakan sertilikasi badan usaha;
f. mengembangkan sistem rantai pasok Jasa Konstruksi;
g. mengembangkan sistem permodalan dan sistem
penjaminan usaha Jasa Konstruksi;
h. memberikan dukungan dan pelindungan bagi pelaku
usaha Jasa Konstruksi nasional dalam mengakses pasar
Jasa Konstruksi internasional;
i. mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha Jasa
Konstruksi;
j. menyelenggarakan penerbitan izin perwakilan badan
usaha asing dan Izin Usaha dalam rangka penan€unan
modal asing;
k. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa
Konstruksi asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi besar;
l. menyelenggarakan pengembangan layanan usaha Jasa
Konstruksi;
m. mengumpulkan dan mengembangkan sistem informasi
yang terkait dengan pasar Jasa Konstruksi di negara
yang potensial untuk pelaku usaha Jasa Konstruksi
nasional;
n. mengembangkan sistem kemitraan antara usaha Jasa
Konstruksi nasional dan internasional;
o. menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam
pasar Jasa Konstruksi;
p. mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi
nasional;
q. memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha
Jasa Konstruksi nasional yang mengakses pasar Jasa
Konstruksi internasional; dan
r. menyelenggarakan registrasi pengalaman badan usaha
Jasa Konstruksi.

(2) Untuk . .
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pemerintah pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan sistem pemilihan penyedia Jasa dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang
menjamin kesetaraan hak din kewajiban antara
Pengguna Jasa dan penyedia Jasa;
c. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian
sengke_ta penyelenggaraan Jasa Konstrulsi di luar
pengadilan; dan
d. mengembangkan sistem kinerja penyedia Jasa dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf c, Pemerintah pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan
Jasa Konstruksi;
b. menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan keberlanjutan
f3lam penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa
-
Konstruksi oleh badan usaha Jasa (onstruksi;
c. menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan
d. me.ne-laqkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal
terjadi Kegagalan Bangunan.

(4) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pemerintah Fusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan standar kompetensi kerja dan
pelatihan Jasa Konstruksi;
b. memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan
kerja konstruksi nasional;
c. menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi
strategis dan percontohan;
d. mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi
tenaga
kerja konstruksi;

e.menetapkan...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

B-
e. menetapkan standar remunerasi minimal bagi tenaga
kerja konstruksi;
f. menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi,
pelatihan, dan standar remunerasi minimal
bagi tenaga
kerja konstruksi;
g. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi
dan
lisensi bagi lembaga serti{ikasi prJfesi;
h. menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi;
i. menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional
tenaga kerja konstruksi serta lembaga pendidikan
dan
pelatihan kerja di bidang konstruksi;
j. menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja konstruksi
asing; dan
k. membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk
melaksanakan tugas Sertifikasi Kompetensi Kerja yang
belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi p.oflsi yan!
dibentuk oleh asosiasi profesi -atau lembaga pendidikan
dan pelatihan.

(5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf e, Pemerintah pusat memiliki
kewenangan:
a mengembangkan standar material dan
peralatan
konstruksi, serta inovasi teknologi t or"t.rt '
b mengembangkan skema kerja sama "i;
antara institusi
penelitian dan pengembangan dan seluruh pemangku
kepentingan Jasa Konstruksi;
c menetapkan pengembangan teknologi prioritas;
d memublikasikan material dan peralatan
konstruksi
serta teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh
l-..T-19k" kepentingan, baik .ra*ioral maupun
lnternaslonal;,
e menetapkan dan meningkatkan penggunaan standar
mutu material dan peralatan sesuai-dengan Standar
Nasional Indonesia;
f. melindungi kekayaan intelektual atas material dan
peialatan konstruksi serta teknologi konst.ut si hasil
penelitian dan pengembangan dalam-negeri; dan
g. membangun sistem rantai pasok material, peralatan,
dan teknologi konstruksi.

(6) Untuk
$Tb
-r4>^l=Lv

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9
(6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf f, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas
dan bertanggung jawab dalam penga.\i/aszrn
penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa
Konstruksi;
c. memfasilitasi penyelenggaraan forum Jasa Konstruksi
sebagai media aspirasi masyarakat Jasa Konstruksi;
d. memberikan dukungan pembiayaan terhadap
penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan
e. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas
dan bertanggung jawab dalam Usaha penyediaan
Bangunan.

(7) Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat


(6) huruf d dilakukan dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan negara.

(8) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf g, pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan sistem informasi Jasa Konstruksi
nasional; dan
b. mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi
nasional dan internasional.

Pasal 6

(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf a, gubemur sebagai wakil pemerintah
Pusat di daerah memiliki kewenangan:
a. memberdayakan badan usaha Jasa Konstruksi;
b. menyelenggarakan pengawasan proses pemb erian lzin
Usaha nasional;
c. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa
Konstruksi di provinsi;
d. menyelenggarakan pengawasan sistem rantai pasok
konstruksi di provinsi; dan

e. memfasilitasi
$"^ffip
-rtb€
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-10-
e. memfasilitasi kemitraan antara badan usaha Jasa
Konstruksi di provinsi dengan badan usaha dari luar
provlnsl.

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf b, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah memiliki kewenangan:
a. menyelenggarakan pengawas€rn pemilihan penyedia Jasa
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. menyelenggarakan pengawasan Kontrak Kerja
Konstruksi; dan
c. menyelenggarakan pengawasan tertib penyelenggaraan
dan tertib pemanfaatan Jasa Konstruksidi provinsi.

(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf c, gubernur sebagai wakil pemerintah
Pusat di daerah memiliki kewenangan menyelenggarakan
pengawasan penerapan Standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan
pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa
Konstruksi kualifikasi kecil dan menengah.

(41 Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf d, gubernur sebagai wakil pemerintah
Pusat di daerah memiliki kewenangan menyelenggarakan
pengawasan:
a. sistem Sertilikasi Kompetensi Kerja;
b. pelatihan tenaga kerja konstruksi; dan
c. upah tenaga kerja konstruksi.

(5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (l) huruf e, gubernur sebagai wakil pemerintah
Pusat di daerah memiliki kewenangan:
a. menyelenggarakan pengawasan penggunaan material,
peralatan, dan teknologi konstruksi;
b. memfasilitasi kerja sama antara institusi penelitian dan
pengembangan Jasa Konstruksi dengan seluruh
pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
c. memfasilitasi pengembangan teknologi prioritas;
d. menyelenggarakan pengawasan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber material konstruksif dan

e. meningkatkan
PRESIDEN
REPU BLII( INDONESIA

- lt -

e meningkatkan penggunaan standar mutu material dan


peralatan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.

(6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf I gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat di daerah memiliki kewenangan:
a. memperkuat kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa
Konstruksi provinsi;
b. meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi
yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam
pengawasan penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi;
dan
c. meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi
yang berkuaiitas dan bertanggung jawab dalam Usaha
Penyediaan Bangunan.

(71 Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf g, gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat di daerah memiliki kewenangan mengumpulkan data
dan informasi Jasa Konstruksi di provinsi.

Paragraf 2
Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi

Pasal 7

Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi pada sub-urusan Jasa


Konstruksi meliputi:
a. penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi; dan
b. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi cakupan
daerah provinsi.

Paragraf 3
Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota

Pasal 8

Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota pada sub-


urusan Jasa Konstruksi meliputi:
a. penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi;

b. penyelenggaraan
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-L2-
b. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi
cakupan
daerah kabupaten / kota;
c. penerbitan Izin Usaha nasional kualilikasi kecil,
menengah,
dan besar; dan
d. pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan
tertib
pemanfaatan Jasa Konstruksi.

pasal 9

Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 sampai dengan pasal g, pemerintah pusat
clan/atau Pemerintah Daerah dapat melibatkan masyarakat
Jasa
Konstruksi.

pasal l0
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan
kewenangan_ sebagaimana dimaksud aaUil pasJ
dengan Pasal 9 diatur dalam peraturan pemerintah.
4 sampai

BAB IV
USAHA JASA KONSTRUKSI

Bagian Kesatu
Struktur Usaha Jasa Konstruksi

Paragraf 1
Umum

Pasal 11

Struktur usaha Jasa Konstruksi meliputi:


a. jenis, sifat, klasifikasi, dan layanan usaha; dan
b. bentuk dan kualifikasi usaha.

Paragraf 2 ...
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-13-
Paragraf 2
Jenis, Sifat, Klasiiikasi, dan Layanan Usaha

Pasal 12
Jenis usaha Jasa Konstruksi meliputi:
a. usaha jasa Konsultansi Konstruksi;
b. usaha Pekerjaan Konstruksi; dan
c. usaha Pekerjaan Konstruksi terintegrasi.

Pasal 13
(1) Sifat usaha jasa Konsultansi Konstruksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a meliputi:
a. umum; dan
b. spesialis.
(21 Klasifrkasi usaha jasa Konsultansi Konstruksi yang bersifat
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara
lain:
a. arsitektur;
b. rekayasa;
c. rekayasa terpadu; dan
d. arsitektur lanskap dan perencanaan wilayah.
(3) Klasilikasi usaha jasa Konsultansi Konstruksi yang bersifat
spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf b
antara lain:
a. konsultansi ilmiah dan teknis; dan
b. pengujian dan analisis teknis.
(4) Layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa Konsultansi
Konstruksi yang bersifat umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pengkajian;
b. perencanaan;
c. perancangan;
d. pengawasan; dan/ atau
e. manajemen penyelenggaraan konstruksi.

(5) Layaran ...


PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-14-
(5) Layanan usaha yang dapat diberikan oleh jasa Konsultansi
Konstruksi yang bersifat spesialis sebagaimana dimaksud
pada ayat (l) huruf b meliputi:
a. survei;
b. pengujian teknis; dan/ atau
c. analisis.
Pasal 14
(1) Sifat usaha Peke{aan Konstruksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf b meliputi:
a. umum; dan
b. spesialis.

(2) Klasifikasi usaha pekerjaan Konstruksi yang bersifat umum


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i meliputi:
a. bangunan gedung; dan
b. bangunan sipil.
(3) Klasifikasi usaha pekerjaan Konstruksi yang bersifat
spesiali-s sebagaimana dimaksud pada ayai huruf b
1f;
antara lain:
a. instalasi;
b. konstruksi khusus;
c. konstruksi prapabrikasi;
d. penyelesaian bangunan; dan
e. penyewaan peralatan.
(4) Layanan usaha yang dapat diberikan oleh Pekerjaan
Konstruksi yang bersifat umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pembangunan;
b. pemeliharaan;
c. pembongkaran; dan/atau
d. pembangunan kembali.
(s)
laVanal usaha dapat diberikan oleh pekerjaan
Konstruksi yang _yang
bersifat spesialis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi pekerjaan bagian tertentu
dari bangunan konstruksi atau bentuk fisik laiinva.

Pasal 15 .. .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-15-

Pasal 15

(1) Klasifikasi usaha Pekerj aan Konstruksi terintegrasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c meliputi:
a. bangunan gedung; dan
b. bangunan sipil.
(21 Layanan usaha yang dapat diberikan oleh pekerjaan
Konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. rancang bangun; dan
b. perekayasaan, pengadaan, dan pelaksanaan.

Pasal 16

Perubahan atas klasilikasi dan layanan usaha Jasa Konstruksi


sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 sampai dengan pasal 15
dilakukan dengan memperhatikan perubahan kiasifikasi produk
konstruksi yang berlaku secara internasional dan perkembangan
layanan usaha Jasa Konstruksi.

Pasal 17

(1) Kegiatan usaha Jasa Konstruksi didukung dengan usaha


rantai pasok sumber daya konstruksi.
(2) Sumber daya konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diutamakan berasal dari produksi dalam negeri.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, sifat, klasifikasi, layanan


usaha, perubahan atas klasifikasi dan layanan usaha, dan
usaha rantai pasok sumber daya konstruksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan pasal 17 diatui dalam
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-16-
Paragraf 3
Bentuk dan Kualifikasi Usaha

Pasal 19

Usaha Jasa Konstruksi berbentuk usaha orang perseorangan


atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum.

pasal 20
(1) Kualifikasi usaha bagi badan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 terdiri atas:
a. kecil;
b. menengah; dan
c. besar.

(21 PeneteFan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilaksanakan melalui penilaian terhadap:
a. penjualan tahunan;
b. kemampuan keuangan;
c. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan
d. kemampuan dalam penyediaal peralatan konstruksi.
(3) Kualilikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan batasan kemampuan usaha dan segirentasi
pasar usaha Jasa Konstruksi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi


usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (i) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Segmentasi Pasar Jasa Konstruksi

pasal 2l
(1) Usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dan badan usaha Jasa Konstruksi kualilikasi kecil
sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (l) huruf a
hanya dapat menyelenggarakan Jasa K6nstnjksi pada
segmen pasar yang:

a.berisiko...
FRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-17-
a. berisiko kecil;
b. berteknologi sederhana; dan
c. berbiaya kecil.

(2t Usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) hanya dapat menyelenggarakan pekerja"., yr.rg
sesuai dengan bidang keahliannya.

Pasal 22
Badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi menengah
sebagaimana dimaksud daiam pasal 20 ayat (l) huruf b haiya
dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar
yang:
a. berisiko sedang;
b. berteknologi madya; dan/atau
c. berbiaya sedang.

pasal 23

Badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi besar sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2O ayat (1) huruf c yang berbadan hukum
dan perwakilan usaha Jasa Konstruksi aling hanya dapat
menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang:
a. berisiko besar;
b. berteknologi tinggi; dan/atau
c. berbiaya besar.

pasal 24

(1) Dalam hal penyelenggaraan Jasa Konstruksi menggunakan


anggaran pendapatan dan belanja daerah serta memenuhi
kriteria berisiko kecil sampai dengan sedang, berteknologi
sederhana sampai dengan maaya, dan 6erbiaya keJl
sampai d9"911 sedang, pemerintah Daerah provirisi dapat
membuat kebijakan khusus.
(2) Kebijakan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:

a. kerja sama . . .
PRES IDENI
REPUBLIK INDONESIA

-18-
a. kerja :ama operasi dengan badan usaha Jasa
Konstruksi daerah; dan/ atau
b. penggunaan Subpenyedia Jasa daerah.

pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai segmentasi pasar
serta kriteria
risiko, teknologi, dan biaya iebagaiirana aim'aksud
dalam pasal
21 sampai dengan pasal 24 diatui dalam p.."ir."., pemerintah.

Bagian Ketiga
Persyaratan Uiatra .las? fonstruksi
paragraf 1
Umum
pasal 26
(1) Setiap usaha orang perseorangan sebagaimana
dimaksud
oalam pasal l9.._yang akan memberilan layanan
Jasa
Konstruksl wajib memiliki Tanda Daftar Usaha
Perseorangan.
(2) Setiap badan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 yang
"t "r,
Jasa Konstruksi wajib memiliki Izin -.-f..ii.an layana,
Usaha.

paragraf 2
Tanda Daftar Usaha perseorangan dan Izin
Usaha
pasal 2T
Tanda Daftar Usaha perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam
Ii:", 26,.ayat (t) diberifan otJh p"-"ri.,t"r, Daerah
KaDupaten/kota kepada usaha perseorangan
berdomisili di -orang f.'.i..rt yang
_wilayahnya sesuai dengai r"., peraturan
perundang-undangan.

pasal 2g
Izin Usaha dimaksud dalam pasal 26 ayat (21
-sebagaimana
diberikan oleh pemerintah Daerah f."t"p"t."7f."t"
badan usaha yang berdomisili di rvifuyrfrlv" kepada
ketentuan peraturan perundang-una""g;'.r-- " ''
* dengan
"."r"1

Pasal 29
ffi
-rlqynlF
PRESIDEN
REFUBLIK INDONESIA

-19-

Pasal 29

(1) Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha perseorangan berlaku


untuk melaksanakan kegiatan usaha Jasa Konstruksi di
seluruh wilayah Republik Indonesia.
(2) Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 dan Pasal 28 membentuk peraturan di
daerah mengenai Izin Usaha dan Tanda Daftar Usaha
Perseorangan.

Paragraf 3
Se rtifikat Badan Usaha
pasal 30
(1) Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi
wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha.
(21 Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan melalui suatu proses sertilikasi dan registrasi
oleh Menteri.
(3) Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit memuat:
a. jenis usaha;
b. sifat usaha;
c. klasilikasi usaha; dan
d. kualifikasi usaha.
(41 Untuk mendapatkan Sertifikat Badan Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), badan usaha Jasa Konstruksi
mengajukan permohonan kepada Menteri melalui lembaga
Sertifikasi Badan Usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan
usaha terakreditasi.
(5) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan
oleh Menteri kepada asosiasi badan usaha yang memenuhi
persyaratan:
a. jumlah dan sebaran anggota;
b. pemberdayaan kepada anggota;
c. pemilihan pengurus secara demokratis;

d.sarana...
PRESIDEN
REtrUELIK INDONESIA

-20-
d. sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan
e. pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan.
(6) Setiap asosiasi badan usaha yang mendapatkan akreditasi
wajib menjalankan kewajiban yang diatur dalam peraturan
Menteri.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertilikasi dan registrasi
badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
E) au"
akreditasi asosiasi badan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dalam peraturan Menteri.

Paragraf 4
Tanda Daftar Pengalaman
pasal 31
(1) Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman usaha, setiap
badan usaha Jasa Konstruksi kualihkasi menengah dan
besar harus melakukan registrasi pengalaman kepada
Menteri.
(21 Registrasi pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan tanda daitar pengalaman.
(3) Tanda.daftar pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling sedikit memuat:
a. nama paket pekerjaan;
b. Pengguna Jasa;
c. tahun pelaksanaan pekerjaan;
d. nilai pekedaan; dan
e. kinerja Penyedia Jasa.

(4) Pengalaman yang diregistrasi ke dalam tanda daftar


pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan pengalaman menyelenggarakar Jasa Konstruksi
yang sudah melalui proses serah terima.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi pengalaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.

BagianKeempat...
PRESIDEN
REPUELIK INDONESIA

-2t-
Bagian Keempat
Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing dan Usaha perseorangan Jasa Konstruksi
Asing

Pasal 32

Badan usaha Jasa Konstruksi asing atau usaha perseorangan


Jasa Konstruksi asing yang akan melakukan usaha Jisa
Konstruksi di wilayah Indonesia wajib membentuk:
a. kantor perwakiian; dan/atau
b. badan usaha berbadan hukum Indonesia melalui kerja
sama modal dengan badan usaha Jasa Konstruksi nasional.

Pasal 33

(l) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32


huruf a wajib:
a. berbentuk badan usaha dengan kuatifikasi yang setara
dengan kualifikasi besar;
b. memiliki izin perwakilan badan usaha Jasa Konstruksi
asing;
c. membentuk kerja sama operasi dengan badan usaha
Jasa Konstruksi nasional berkualilikasi besar yang
memiliki Izin Usaha dalam setiap kegiatan usaha Jasi
Konstruksi di Indonesia;
d. mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia
daripada tenaga kerja asing;
e. menempatkan warga negara Indonesia sebagai pimpinan
tertinggi kantor perwakilan;
f. mengutamakan penggunaan material dan teknologi
konstruksi dalam negeri;
g. memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan
lingkungan, serta memperhatikan kearifan lokal;
h. melaksanakan proses alih teknologi; dan
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Izin perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b diberikan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(3) Kerja sama


PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-22-
(3) Kerja^ sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilafur1"t", dengan prinsip kesetaraan kualifika;i;
kesamaan layanan, dan tanggung renteng.

Pasal 34

(l) Ketentuan mengenai kerja sama modal sebagaimana


dimaksud dalam pasal 32 huruf b dilaksanakan- sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang_undangan.
(2) Badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam rangka
kerja sama modal sebagaimana aiinatsud dalam pasal"32
huruf b harus memenuhi persyaratan kualifikasi besar
sebagaimana dimaksud dalam paial 20 ayat (l) huruf c.
(3) Badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam rangka
kerja sama modal sebagaimana iimaksud pada ayat
"(-)
wajib memiliki Izin Usaha.
(4) Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
oleh Menteri sesuai dengan -ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin perwakilan, tata
cara kerja sama operasi, dan penggunaan lebih banyak t.;;;
kerja-lndonesia, sebagaimana dimaksud dalam pasal -33 ayat (i1
huruf b, huruf c, huruf d, dan pemberian lzin Usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (4) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Pengembangan Usaha Jasa Konstruksi

Pasal 36
(1) Pengembangan jenis usaha Jasa Konstruksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dapat dilakukan melalui Usaha
Penyediaan Balgunan.

(2) Usaha
dffi
-*1y44{
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

_23_
(2) Usaha Penyediaan Bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas Usaha Penyediaan Bangu.ran gedung
dan Usaha Penyediaan Bangunan sipil.

(3) Usaha Penyediaan Bangunan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dibiayai melalui investasi yang bersumber dari:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah;
c. badan usaha; dan/atau
d. masyarakat.
(4) Perizinan Usaha penyediaan Bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (l) dilakukan sesuai dengan kelentuan
peraturan perundan g-undangan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Usaha penyediaan


Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) diatur dalam peraturan presiden.

Bagian Keenam
Pengembangan Usaha Berkeianjutan

Pasal 37

(1) Setiap badan usaha Jasa Konstruksi harus melakukan


pengembangan usaha berkelanjutan.

(21 Pengembangan usaha berkelanjutan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. meningkatkan tata kelola usaha yang baik; dan
b. memiliki tanggung jawab profesional termasuk tanggung
jawab badan usaha terhadap masyarakat.

(3) Pengembangan usaha berkelanjutan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) diselenggarakan oleh asosiasi badan usaha
Jasa Konstruksi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan usaha


berkelanjutan sebagaimana dimaksud paaa ayal (f ) diatur
dalam Peraturan Menteri.

BAB V
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-24-
BAB V
PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 38
(1) Penyelenggaraan Jasa Konstruksi terdiri atas
penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi dan
penyelenggaraan Usaha Penyediaan Bangunan.
(21 Penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjakan sendiri atau
melalui pengikatan Jasa Kontruksi.
(3) Penyelenggaraan UsahaPenyediaan Bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjakan sendiri atau
melalui perjanjian penyediaan bangunan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha
Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan penyelenggaraan Usaha
Penyediaan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Pengikatan Jasa Konstruksi

Paragraf 1
Pengikatan Para Pihak

Pasal 39
(1) Para pihak dalam pengikatan Jasa Konstruksi terdiri atas:
a. Pengguna Jasa; dan
b. Penyedia Jasa.
(21 Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (l) terdiri atas:
a. orang perseorangan; atau
b. badan.

(3) Pengikatan .. .
ffi
-rlp4€
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-25-
(3) Pengikatan hubungan kerja Jasa Konstruksi dilakukan
berdasarkan prinsip persaingan yang sehat dan dapat
dipertanggungiawabkan secara keilmuan.

Pasal 40

Ketentuan mengenai pengikatan di antara para pihak


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 berlaku sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai hukum keperdataan kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.

Paragraf 2
Pemilihan Penyedia Jasa

Pasal 4 1

Pemilihan Penyedia Jasa hanya dapat diikuti oleh Penyedia Jasa


yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 sampai dengan Pasal 34.

Pasal 42
(1) Pemilihan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 yang menggunakan sumber pembiayaan dari
keuangan Negara dilakukan dengan cara tender atau
seleksi, pengadaan secara elektronik, penunjukan
langsung, dan pengadaan langsung sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(21 Tender atau seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui prakualilikasi, pascakualifikasi,
atau tender cepat.
(3) Pengadaan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan metode pemilihan Penyedia Jasa yang
sudah tercantum dalam katalog.
(41 Penunjukan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
dapat dilakukan dalam hal:
a. penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan
masyarakat;

b.pekerjaan...
*r

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-26-
b. pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat
dilaksanakan oleh Penyedia Jasa yang sangat terbatas
atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;
c. pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut
keamanan dan keselamatan negara;
d. pekerjaan yang berskala kecil; dan/ atau
e. kondisi tertentu.
(5) Pengadaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk paket dengan nilai tertentu.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e dan nilai
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 43
(l) Pemilihan Penyedia Jasa dan penetapan penyedia Jasa
dalam pengikatan hubungan kerja Jasa Konstruksi
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. kesesuaian antara bidang usaha dan ruang lingkup
pekerjaan;
b. kesetaraan antara kualifikasi usaha dan beban kerja;
c. kinerja Penyedia Jasa; dan
d. pengalaman menghasilkan produk konstruksi sejenis.
(21 Dalam hal pemilihan penyedia layanan jasa Konsultansi
Konstruksi yang menggunakan tenaga kerja konstruksi
pada jenjang jabatan ahli, pengguna Jasa harus
memperhatikan standar remunerasi minimal.
(3) Standar remunerasi minimal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 44
Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud da,lam pasal 39 ayat (2)
dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi- pada
pembangunan untuk kepentingan umum tanpa melalui tender
atau seleksi, atau pengadaan secara elektronik.

Pasal 45
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-27 -

pasal 45

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan penyedia Jasa dan


p€netapan Penyedia Jasa dalam hubungan kerja Jasa
Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Fasal 4f sampai
dengan Pasal 44 diatur dalam peraturan pemerintah.

Paragraf 3
Kontrak Kerja Konstruksi
pasal 46
(1) Pengaturan hubungan kerja antara pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa harus dituangkan dalam Kontrak Kerja
Konstruksi.
(21 Bentuk. Kontrak Kerja Konstruksi dapat mengikuti
perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai de-ngan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 47
(1) Kontrak Kerja Konstruksi paiing sedikit harus mencakup
uraian mengenai:
a. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
b. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci
tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan,
lumsum, dan batasan waktu pLlaksanaan;
c. masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu
pelaksanaan dan pemeliharaan yang mi";aai tanggung
jawab Penyedia Jasa;
d. hak dan kewajiban yang setara, memuat hak pengguna
Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan
kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang
diperjanjikan, serta hak penyedia Jasa untuk
memperoleh informasi dan imbalan jasa serta
kewajibannya melaksanakan layanan Jasa Konstruksi;
e. penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban
mempekerj akan tenaga kerj a konstruksi bersertifi kai;
f. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban
Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil
layanan Jasa Konstruksi, termasuk di dalamnya
jaminan atas pembayaran;

g.wanprestasi...
t:iI

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-28-
g. wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab
dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang
tata cara penyelesaian perselisihan akibat
ketidaksepakatan;
i. pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat
ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi
yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban
salah satu pihak;
j. keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian
yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para
pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah iatu
pihak;
k. Kegagz.lan Bangunan, memuat ketentuan tentang
kewajiban Penyedia Jasa dan/atau pengguna Jasa atas
Kegagalan Bangunan dan jangka waktu
pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan;
1. pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang
kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatai
dan kesehatan kerja serta jaminan sosia.l;
m. pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak
dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal
terjadi suatu peristiwa yang menimbulkin kerugian atau
menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
n. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam
pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
o. jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab
hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan eekirlaa.,
Konstruksi atau akibat dari Kegagalan Bangunan; dan
p. pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.
(2)
!-elain .k9leltuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kontrak Kerja Konstruksi dapat memuat keJepakatin para
pihak tentang pemberian insentif.

Pasal 48
Selain memuat ketentuan sebagaimana Cimaksud dalam pasal
Kontrak Kerja Konstruksi:
47 ,
a. untuk layanan jasa perencanaan harus memuat ketentuan
tentang hak kekayaan intelektual;

b.untuk...
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-29-
b untuk kegiatan pelaksanaan layanan Jasa Konstruksi, dapat
memuat ketentuan tentang Subpenyedia Jasa serta pemaiok
bahan, komponen bangunan, dan/atau peralatan yang harus
memenuhi standar yalg berlaku; dan
c yang dilakukan dengan pihak asing, memuat kewajiban alih
teknologi.

Pasal 49

Ketentuan mengenai Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 47 berlaku juga dalam Kontrak Kerja
Konstruksi antara Penyedia Jasa dan Subpenyedia Jasa.

Pasal 50
(1) Kontrak Kerja Konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal Kontrak Kerja Konstruksi dilakukan dengan
pihak asing harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris.
(3) Dalam hal terjadi perselisihan dengan pihak asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan Kontrak
Kerja Konstruksi dalam bahasa Indonesia.

Pasal 5 I
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kontrak Kerja Konstruksi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 sampai dengan pasal 5O
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengelolaan Jasa Konstruksi

Paragraf 1
Penyedia Jasa dan Subpenyedia Jasa

Pasal 52
Penyedia Jasa dan Subpenyedia Jasa dalam penyelenggaraan
Jasa Konstruksi harus:
a. sesuai dengan perjanjian dalam kontrak;

b. memenuhi . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-30-
b memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan; dan
c mengutamakan warga negara Indonesia sebagai pimpinan
tertinggi organisasi proyek.

Pasal 53
(l) Dalam penyel enggaraan Jasa Konstruksi, pekerjaan utama
hanya dapat diberikan kepada Subpenyedia Jasa yang
bersifat spesi alis sebagaimana dimaksud dalam pasaj t5
dan Pasal 14.
(2) Pemberian pekerjaan utama kepada Subpenyedia Jasa yang
bersifat spesialis sebagaimani dimaksud - paaa ayai
1tj
harus mendapat persetujuan pengguna Jasa.
(3) Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, penyedia Jasa
dengan kualifikasi menengah dan/atau besar
mengutamakan untuk memberikan pekerjaan penunjang
kepada Subpenyedia Jasa dengan kuaifikasi kecil.
(4) Penyedia Jasa dan Subpenyedia Jasa wajib memenuhi hak
d-an kewajiban sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi.

Pasal 54
(1) Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, penyedia Jasa
dan/atau Subpenyedia Jasa wajib menyerahkan hasil
pekerjaannya secara tepat biaya, tepat mutu, dan tepat
waktu sebagaimana tercantum dalam Kontrak fe4a
Konstruksi.
(2t Penyedia-,Jasa dan/atau Subpenyedia Jasa yang tidak
menyerahkan hasil pekerjaannya secara tepat biayi, tepat
mutu, dan/atau tepat waktu sebagaimana dimak"ra p"au
lyat (1) dapat dikenai ganti kerugian sesuai dengan
kesepakatan dalam Kontrak Kerja Kons-truksi.

Paragraf 2
.-\,
\il

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-31 -

paragraf 2
Pembiayaan Jasa Konstruksi
pasal 55

(1) Pengguna Jasa bertanggung jawab atas biaya Jasa


Konstruksi sesuai dengan kesepalatan dalam Kontiak Kerja
Konstruksi-
(2) Biaya Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
dapat bersumber dari dani pemerintah pusat, pemerintah
Daerah, badan usaha, dan/atau masyarakat.
(3) Tanggung jawab atas biaya Jasa Konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan:
a. kemampuan membayar; dan/ atau
b. komitmen atas pengusahaan produk Jasa Konstruksi.
(41 Kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat
(3) huruf a dibuktikan dengan dokumen dari tembiga
perbankan dan/atau lemba[a keuangan bukan tan?,
dokumen ketersediaan anggaran, atau dokumen lain yang
disepakati dalam Kontrat lie4a Konstruksi.
(5) Ko.mitmen atas pengusahaan produk Jasa Konstruksi
sebagaimana dimaksud pala b diaukung
."fat (3) huruf
dengan jaminan melalui perjanjian kerja sama.

pasal 56
(1) D,.alam..hal tlnggung jawab atas biaya Jasa Konstruksi
olDuktlkan dengan kemampuan membayar sebagaimana
dimaksud dalam pasal 55 ayat (3) huruf i, pengguna ..lasa
wajib. melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil
pekerjaan Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan
tepat
waktu.
(2) Pengguna_Jasa yang tidak menjamin ketersediaan
biaya dan
tidak. melaksanakan pembayaran .t"" p..ry...fran hasil
pekerjaan Penyedia Jasa. secara tepat jumlah
waktu sebagaimana dimaksud pada ayai dan tepat
iup"t dikenai
ganti kerugian sesuai dengan kesepaliatantfiaatam
Kontrak
Kerja Konstruksi.

(3) Dalam...
i

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
a, /)

(3) Dalam hal tanggung jawab atas layanan Jasa Konstruksi


yang dilakukan melalui komitmen atas pengusahaan
produk Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa harus mengetahui
risiko mekanisme komitmen atas pengusahaan produk Jasa
Konstruksi dan memastikan fungsionalitas produk sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57
(1) Dalam pemilihan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42, Penyedia Jasa menyerahkan jaminan
kepada Pengguna Jasa untuk memenuhi kewajiban
sebagaimana dipersyaratkan dalam dokumen pemilihan
Penyedia Jasa.

(2) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:


a. jaminan penawaran;
b. jaminan pelaksanaan;
c. jaminan uang muka;
d. jaminan pemeliharaan; dan/ atau
e. jaminan sanggah banding.
(3) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat
dicairkan tanpa syarat sebesar nilai yang dijaminkan dan
dalam batas waktu tertentu setelah pernyataan pengguna
Jasa atas wanprestasi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa.
(41 Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi,
dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank
garansi dan/atau perjanj ian terikat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Perubahan atas jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(21 dilakukan dengan memperhatikan dinamika
perkembangan penyelenggaraan Jasa Konstruksi baik
nasional maupun internasional.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan perubahan atas jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (S) diatur dalam
Peraturan Presiden.

BagianKeempat...
\,

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-33-

Bagian Keempat
Perjanjian Penyediaan Bangunan

Pasal 58

(1) Usaha Penyediaan Bangunan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 36 ayat (l) dapat dikerjakan sendiri atau oleh
pihak lain.

(21 Dalam hal dikerjakan oleh pihak lain sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Usaha
Penyediaan Bangunan dilakukan melalui perjanjian
penyediaan bangunan.

(3) Para pihak dalam perjanjian penyediaan bangunan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. pihak pertama sebagai pemilik bangunan; dan
b. pihak kedua sebagai penyedia bangunan.

(4) Para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri


atas:
a. orang perseorangan; atau
b. badan.
(s) Usaha Penyediaan Bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) dapat dilakukan melalui kerja sama pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan badan usaha
dan/ atau masyarakat.

(6)
P."1* perjanjian penyediaan bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2), penyelenggarian Jasa Konstruksi
harus dilakukan oleh penyedia Jasa.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian penyediaan


langunan sebagaimana dimaksud pada-ayat- (2) diatur
dalam Peraturan Presiden.

BABVI ...
{

PRES IDEN
REPU BLIK INDONESIA

-34-
BAB VI
KEAMANAN, KESELAMATAN, KESEHATAN,
DAN KEBERLANJUTAN KONSTRUKSI

Bagian Kesatu
Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan

Pasal 59

(1) Dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna


Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan.

(2\ Dalam memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan,


Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa harus
memberikan pengesahan atau persetujuan atas:
a. hasil pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan;
b. rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan,
pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
c. pelaksanaan suatu proses pembangunan, pemeliharaan,
pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
d. penggunaan material, peralatan dan/atau teknologi;
dan/ atau
e. hasil layanan Jasa Konstruksi.
(3) Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) paling
sedikit meliputi:
a. standar mutu bahan;
b. standar mutu peralatan;
c. standar keselamatan dan kesehatan kerja;
d. standar prosedur pelaksanaan Jasa Konstruksi;
e. standar mutu hasil pelaksanaan ,iasa Konstruksi;
f. standar operasi dan pemeliharaan;
g. pedoman pelindungan sosial tenaga kerja dalam
pelaksanaan Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
h. standar pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Standar...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-35-
(41 Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan untuk setiap produk Jasa Konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh menteri
teknis terkait sesuai dengan kewenangannya.
(5) Dalam menyusun Standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan untuk setiap produk Jasa
Konstruksi, menteri teknis terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) memperhatikan kondisi geogralis yang rawan
gempa dan kenyamanan lingkungan terbangun.

Bagian Kedua
Kegagalan Bangunan

Paragraf I
Umum

Pasal 60
(1) Dalam hal penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak
memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan,
dan Keberlanjutah sebagaimana dimaksud dalam pasal 59,
Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dapat menjadi
pihak yang bertanggung jawab terhadap Kegagalan
Bangunan.
(2) Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh penilai ahli.
(3) Penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan
oleh Menteri.
(4) Menteri harus menetapkan penilai ahli dalam waktu pa_ling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya laporan mengenai terjadinya Kegagalan
Bangunan.

Patagraf 2
Penilai Ahli

Pasal 61
(1) Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 ayat (21
harus:

a. memiliki
S:r

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-36-
a memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja pada jenjang
jabatan ahli di bidang yang sesuai dengan klasifikasi
produk bangunan yang mengalami Kegagalan
Bangunan;
b memiliki pengalaman sebagai perencana, pelaksana,
dan/atau pengawas pada Jasa Konstruksi sesuai
dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami
Kegagalan Bangunan; dan
C terdaftar sebagai penilai ahli di kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Jasi
Konstruksi.

(2t Penilai ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (l)


mempunyai tugas antara lain:
a. menetapkan tingkat kepatuhan terhadap Standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. menetapkan penyebab terjadinya Kegagalan Bangunan;
c. menetapkan tingkat keruntuhan dan/atau tidak
berfungsinya bangunan;
d. menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas
Kegagalan Bangunan;
e. melaporkan hasil penilaiannya kepada Menteri dan
instansi yang mengeluarkan izin membangun, paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung- sejak
tanggal pelaksanaan tugas; dan
f. memberikan rekomendasi kebijakan kepada Menteri
$alam rangka pencegahan terjadinya Kegagalan
Bangunan.

Pasal 62
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (21 penilai ahli dapat berkoordinasi dengan
pihak berwenang yang terkait.

(21 Penilai ahli sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) wajib


bekerja secara profesional dan tidak menjadi bagian dari
salah satu pihak.

Pasal 63...
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

- J/ -

pasal 63
Penyedia Jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan
Bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 ayat 11y yang
disebabkan kesalahan Penyedia Jasa.

Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilai ahli dan penilaian
Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam iasal 60
sampai dengan Pasal 63 diatur dalam peraturan Menteri.

Paragraf 3
Jangka Waktu dan Pertanggungiawaban Kegagalan Bangunan

Pasal 65
(1) Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan
Bangunan dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai
dengan rencana umur konstruksi.

(2t Dalam hal rencana umur konstruksi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) lebih dari 10 (sepuluh) tahun,
Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan
Bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan
Jasa Konstruksi.

(3) Pengguna Jasa bertanggung jawab atas Kegagalan


Bangunan yang terjadi setelah jangka waktu yang telah
ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dan ayat
(21.

(4) Ketentuan jangka waktu pertanggunglawaban atas


Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus dinyatakan dalam Kontrak Kerja
Konstruksi.

(s) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan


pertanggunglawaban Penyedia Jasa atas Kegagalan
Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1i; - aan
ayat (21 diatur dalam Peraturan pemerintah.

Pasal 66 . .
PRESIDEN
REPUBL!K INDONESIA

-38-
pasal 66

(1) P_engguna Jasa dan/atau pihak lain yang dirugikan


akibat
Kegagalan Bangunan dapat melapoitan te4a-amya suatu
Kegagalan Bangunan kepada Mentiri.

(2) Ketentuan lanjut mengenai tata cara pelaporan


terjadinya ,lebih
Kegagalan Bangunin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan Menteri.

Pasal 67

(1) Penyedia Jasa dan/atau pengguna..Iasa wajib memberikan


ganti kerugian dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (1), ay;t (2),
dan ayat (3).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian ganti kerugian


sebagaimana dimaksud pada -ayat (1) ii"t . dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB VII
TENAGA KERJA KONSTRUKSI

Bagian Kesatu
Klasifikasi dan Kualifikasi

Pasal 68

(1) Tenaga kerja konstruksi diklasifikasikan berdasarkan


bidang keilmuan yang terkait Jasa Konstruksi.

(21 Jgnaga Keq'a Konstruksi terdiri atas kualilikasi dalam


jabatan:
a. operator;
b. teknisi atau analis; dan
c. ahli.

(3) Kualifikasi ...


\

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-39-
(3) Kualifikasi dalam jabatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) memiliki jenjang seiuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi dan kualifikasi


tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (21 diatur dalam peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi

Pasal 69

(1) Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan dengan


metode pelatihan kerja yang relevan, efeltif, dan
_ efisien
sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja.

(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditujukan


untuk meningkatkan produktivitas kerja. -
(3) Standar Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(4) Pelatihan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud


qud" "y.1. (1) diselenggarakan oleh tJmUaga pendidikan
dan pelatihan kerja sesuai dengan ketentrlan peraturan
perundang-undangan.

(s) Lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana


dimaksud pada ayat (4) diregistrasi oleh Minteri.
(6) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan
registrasi terhadap lembaga pendidikan dan pelatihan
kerja yang telah memilit<i izin dan/atau terakreditasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang_undangan.

{7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi


lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagiimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dalam peratlran Menteri.

Bagian Ketiga . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

_40_

Bagian Ketiga
Sertifikasi Kompetensi Kerja
pasal 70

(1) S-etiap tenaga kerja konstruksi yang bekerjadi bidang Jasa


Konstruksi wajib memiliki Sertifikai Kompltensi Kerji.

(2) Setiap Pengguna Jasa dan/atau penyedia Jasa wajib


mempekerjakan tenaga kerja konstruksi yang memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dlmatsud pada
ayat (1).

(3) Sertilikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diperoleh melalui uji kompetensi sesuai dengan
Standar Kompetensi Kerja.

(4) Sertilikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diregistrasi oleh Menteri.

(s) P.1"t:T.131 uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada


ayat (3) dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi.

(6) Lembaga sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud pada


3yat (5) wajib mengikuti ketentuan pelaksanaan uji
kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 71

(1) Lembaga sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7O ayat (5) dapat dibentuk oteh:
a. asosiasi profesi terakreditasi; dan
b. lembaga pendidikan dan pelatihan yang memenuhi
syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang_
undangan.

(2) Akreditasi terhadap asosiasi rrofesi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a d-iberikan oleh Menteri
kepada asosiasi profesi yang memenuhi persyaratan:
a. jumlah dan sebaran anggota;
b. pemberdayaan kepada anggota;

C pemilihan
*o_*{

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-4t-
c. pemilihan pengurus secara demokratis;
d. sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan
e. pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan.
(3) Lembaga sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan lisensi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan setelah mendapat
rekomendasi dari Menteri.
(41 Dalam hal lembaga sertifikasi profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk profesi tertentu belum
terbentuk, Menteri dapat melakukan Sertilikasi
Kompetensi Kerja.
(5) Setiap asosiasi profesi yang mendapatkan akreditasi wajib
menjalankan kewajiban yang diatur dalam peraturan
Menteri.
(6) Kete ntuan lebih lanjut mengenai tata cara akreditasi
asosiasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
tata cara Menteri melakukan Sertifikasi Kompetensi Kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Registrasi Pengalaman Profesional

Pasal T2
(1) Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman profesional,
setiap tenaga keda konstruksi harus melakukan registrasi
kepada Menteri.
(2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan tanda daftar pengalaman profesional.
(3) Tanda daftar pengalaman profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pating sedikit memuat:
a. jenis layanan profesional yang diberikan;
b. nilai pekedaan konstruksi yang terkait dengan hasil
layanan profesional;
c. tahun pelaksanaan pekerjaan; dan
d. nama Pengguna Jasa.
(4) Ketentuan . ..
1t{

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-42-
(4t Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi dan tata cara
pemberian tanda daftar pengalaman profesional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 121 diatur
dalam Peraturan Menteri

Bagian Kelima
Upah Tenaga Kerja Konstruksi

pasal 73
(1) Setiap tenaga kerja konstruksi yang memiliki Sertifikat
Kompetensi Kerja berhak atas imbalan yang layak atas
layanan jasa yang diberikan.
(21 Imbalan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk upah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Tenaga Kerja Konstruksi Asing

Pasal 74
(1) Pemberi kerja tenaga kerja konstruksi asing wajib memiliki
rencana penggunaan tenaga ke{a asing dan izirt
mempekerjakan tenaga kerja asing.
(2t Tenaga kerja konstruksi asing dapa: melakukan pekerjaan
di bidang Jasa Konstruksi di Indonesia hanya pada
jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Tenaga kerja konstruksi asing pada jabatan ahli di bidang
Jasa .Konstruksi yang akan dipekerjakan oleh pemberl
kerja harus memiliki surat tanda regislrasi dari Menteri.
(41 S-urat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diberikan berdasarkan sertifikat kompetensi tenaga
kerja konstruksi asing menurut hukum negaranya.
(s) Tenaga kerja konstruksi asing pada jabatan ahli wajib
melaksanakan alih pengetahuan dan alih teknologi kepada
tenaga kerja pendamping sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(6) Pengawasan
PRESIDEN
REFUELIK INDONESIA

-43-

(6) Pengawasan penggunaan tenaga kerja konstruksi asing


dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(71 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi bagi
tenaga kerja konstruksi asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh
Tanggung Jawab Profesi

Pasal 75
(1) Tenaga kerja konstruksi yang memberikan layanan Jasa
Konstruksi harus bertanggung jarvab secara profesional
terhadap hasil pekerjaannya.
{2t Pertanggun$awaban secara profesional terhadap hasil
layanan Jasa Konstruksi dapat dilaksanakan melalui
mekanisme penjaminan.

BAB VIII
PEMBINAAN

Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Pembinaan

Pasal 76

(1) Pembinaan Jasa Konstruksi yang menjadi tanggung jawab


Pemerintah Pusat diselenggarakan melalui:
a. penetapan kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi
nasional;
b. penyelenggaraan kebijakan pengembangan Jasa
Konstruksi yang bersifat strategis, lintas negara, lintas
provinsi, dan/atau berdampak pada kepentingan
nasional;
c. pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi nasional;

d.pengembangan...
$l.b
-$gyr44F

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-44-
d. pengembangan kerja sama dengan pemerintah Daerah
provinsi dalam menyelenggarakan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7; dan
e. dukungan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
Pusat.

(21 Pembinaan Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh


gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (l) huruf e diselenggarak".,
a. penetapan pedoman teknis pelaksanaan -"l.lri,kebijakan
Jasa Konstruksi nasional di wilayah provinsi;
b. penyelenggaraan kebijakan Jasa Konstruksi yang
berdampak lintas kabupaten/kota di witayah provinsi; -
c. pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan kebijakan
pengembangan Jasa Konstruksi nasional di wilayah
provinsi; dan
d. penyelenggaraan pemberdayaan pemerintah Daerah
kabupaten/kota dalam kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8.
(3) Pembinaan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah
Daerah dilakukan oleh gubernur dan/atau
walikota/bupati.
(4) Pembinaan Jasa Konstruksi oleh pemerintah Daerah di
kabupaten/kota dilaksanakan melalui:
a. penyelenggaraan kebijakan Jasa Konstruksi yang
berdampak hanya di wilayah kabupaten/kota; dan
b. pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan kebijakan
Jasa Konstruksi nasional di wilay-ah kibupaten/kota.

pasal 77
Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, Pemerintah Pusat dapat mengikutsertakan masyarakat
Jasa Konstruksi.

Bagian Kedua . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-45-
Bagian Kedua
Pendanaan

Pasal 78
(1) Penyelenggaraan pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 dan sub-urusan Jasa Konstruksi yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat sebagaimani
dimaksud_ dalam pasal 5 dan pasal 6 didanai dengan
anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2t Penyelenggaraan sub-urusan Jasa Konstruksi yang
menjadi kewenangan pemerintah Daerah provinsi dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam pasal Z dan pasal g didanai -dengan
anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Bagian Ketiga
Pelaporan

Pasal 79

(1) Gubernur melaporkan penyelenggaraan sub_urusan


Jasa
Konstruksr. kepada Menteri yang menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan l"po..., penyelenggaraan
Pemerintah Daerah provinsi a.ig"i k.t..rtu".,
peraturan perundang-undangan."."r"i
(2) Bupati dan walikota melaporkan penyelenggaraan sub_
urusan Jasa Konstruksi kepada gubernur
frng menjadi
satu kesatuan yang tidak terpisihkan ae"ga" lapoian
penyelenggaraan pemerintah Daerah kabirpaten/kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perunda.rg_undangan.

Bagian Keempat
Pengawasan

Pasal 80
dan/atau pemerintah Daerah
sesuai dengan
I:=l:,:l_ry^"at
Kewenangannya melakukan _ pengawasan terhaJap
penyelenggaraan Jasa Konstruksi meliputf
a. tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

b. tertib. . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-46-
b. tertib usaha dan perizinan tata bangunan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundan gan_un C"angan; dan
c. tertib pemanfaatan dan kinerja penyedia Jasa dalam
menyelenggarakan Jasa Konstruksi.

pasal 8l
Selain
_melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80, Pemerintah pusat melakufan p.rrg"*rsan terhadap
penyelenggaraan Jasa Konstruksi pada:
a. bangunan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; dan
b. bangunan perwakilan asing di wilayah Indonesia.

pasal g2
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana
-
dimaksud dalam Pasal 76 sampai dengan pasal gl diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB IX
SISTEM INFORMASI JASA KONSTRUKSI

Pasal 83
(1) Untuk menyediakan data dan infornasi yang akurat dan
terintegrasi dalam penyelenggaraan jasa" Konstruksi
dibentuk suatu sistem informasi-yang terintegrasi.
(2) Sistem informasi yang terintegrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat data dan informisi yang berkaitan
dengan:
a. tanggung jawab dan kewenangan di bidang Jasa
Konstruksi yang dilakukan oleh Femerintah pusat dan
Pemerintah Daerah;
b. tugas pembinaan di bidang Jasa Konstruksi yang
dilakukan Pemerin tah Pusat dan pemerintah Dairah]
dan
c
lugas layanan di bidang Jasa Konstruksi yang
dilakukan oleh masyarakat jasa konstruksi.

(3) Setiap
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-47-
(3) Setiap Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa serta institusi
yang terkait dengan Jasa Konstruksi harus memberikan
data dan informasi dalam rangka tugas pembinaan dan
layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(41 Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dikelola oleh Pemerintah Pusat.

(5) Pembiayaan yang diperlukan dalam pengembangan dan


pemeliharaan sistem informasi yang terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dibebankan kepada
anggaran pendapatan dan belanja negara.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi yang


terintegrasi diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB X
PARTI SIPASI MASYARAKAT

Pasal 84

(1) Penyelenggaraan sebagian kewenangan pemerintah pusat


sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 mengikutsertakan
masyarakat Jasa Konstruksi.

(2) Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga
yang dibentuk oleh Menteri.

(3) Unsur pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada


ayat (21 dapat diusulkan dari:
a. asosiasi perusahaan yang terakreditasi;
b. asosiasi profesi yang terakreditasi;
c. institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi
kriteria; dan
d. perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi kriteria.
(4) Selain unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pengurlts lembaga dapat diusulkan dari asosiasi terkait
rantai pasok konstruksi yang terakreditasi.

(5) Pengurus ...


i!,-
-]d\

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-48-
(5) Pgngurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan
dari Dewan Perwakilan Ralryat.
(6) Asosiasi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diberikan oleh Menteri kepada yang memenuhi
persyaratan:
a. jumlah dan sebaran anggota;
b. pemberdayaan kepada anggota;
c. pemilihan pengurus secara demokratis;
d. sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah;
dan
e. pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(7) Penyelenggaraan sebagian kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (l) yang dilakukan oleh lembaga
dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja n"g"ia
dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan keteniuan
peraturan perundang-undangan.
(8) Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan dalam
penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan
lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3f merupakan
penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(9) Ketentuan mengenai penyelenggaraan sebagian
kewenangan Pemerintah pusat yang mengikutsertakan
masyarakat Jasa Konstruksi dan pembentukan lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 85
(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan
penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan cara:
a mengakses informasi dan keterangan terkait dengan
kegiatan konstruksi yang berdampak pada kepentingan
masyarakat;
b melakukan pengaduan, gugatan, dan upaya
mendapatkan ganti kerugian atau kompensasi
terhadap dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan
Jasa Konstruksi; dan

c. membentuk . .
Sr,

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-49-
c. membentuk asosiasi profesi dan asosiasi badan usaha
di bidang Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(2) Selain berpartisipasi dalam pengawasan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), masyarakat juga dapat
memberikan masukan kepada Pemerintah pusat dan/atau
Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan Jasa
Konstruksi.

(3) Partisipasi masyarakat dilakukan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaduan, gugatan, dan


upaya mendapatkan ganti kerugian atau kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 86
(1) Dalam hal terdapat pengaduan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b akan adanya
dugaan kejahatan dan/ atau pelanggaran yang disengaja
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, proses
pemeriksaan hukum terhadap pengguna Jasa dan/atau
Penyedia Jasa dilakukan dengan tidak mengganggu atau
menghentikan proses penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

(2) Dalam ha1 terdapat pengaduan masyarakat sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b terkait dengan
kerugian negara dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi,
proses pemeriksaan hukum hanya dapat dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan dari lembaga negara yErng
berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara.

(s) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat


(2) dikecualikan daiam hal:
a. terjadi hilangnya nyawa seseorang; dan/atau
b. tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi.

Pasal 87...
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-50-
pasal g7
Selain penyelenggaraan. partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam pall - 8_5, partisipasl masyaratat dapat
dilakukan oleh masyarakat Jasa-Konstrr:ksi melalui forum
Konstruksi. Jasa

BAB XI
PENYELESAIAN SENGKETA

pasal gg
(1) Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi
diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah
untuk
mencapai kemufakatan.

(2) musyawarah para pihak


?."1.T l"lpada sebagaimana
flimat<"sya ayat (1) tidak dapat mencapai suatu
Kemulakatan, para pihak menempuh tahapan upaya
penyelesaian
-sengketa yang tercantum dalam Kontrak
Kerja Konstruksi.

(3) Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak


tercantum
dalam Kontrak Kerja Konstruksi dimaksud
pada ayat (21, para pihak yang"JU"g"i-""u
U..s"errgteta membuat
suatu- persetujuan tertulis tata
-"rrg"rr.-i
penyelesaian sengketa yang akan dipiliti'.
cara

(4) up.ava pe_nyelesaian sengketa


T1!i3a",
drmaksud pada ayat (2) meliputi:
sebagaimana

a. mediasi;
b. konsiliasi; dan
c. arbitrase.
(s) peny,elesaian sengketa
?,111 :rpay,a
yrdl (4) huruf a dan
sebagaimana
ilTlI:ld
oapat membentuk3y?t
dewan sengketa.
huruf b, para pihak

(6) Dalam hal.upaya penyelesaian sengketa dilakukan


dengan
membentuk dewan sengketa sebag-aima." Ji_"t""a
pXJ"
1I"! (5), pemilihan keanggotaan dewan sengketa
dilaksanakan berdasarkan pii.,"ip profesionafitas dan
tidak menjadi bagian dari sala-h ------
pi'fr*.
""t,
(7) Ketentuan.. .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-51 -

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa


sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF

pasal 89
(1) Setiap usaha orang perseorangan yang tidak memiliki
Tanda Daftar Usaha Perseor€rngan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatantertulis;
b. denda administratif; dan/ atau
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi.
(2) Setiap badan usaha dan badan usaha asing yang tidak
memenuhi kewajiban memiliki Izin Usaha yang masih
berlaku sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (21
dan Pasal 34 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa:'
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan/ atau
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi.

Pasal 90
(1) Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi
tidak memiliki Sertifikat Badan Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. dendaadministratif;
b. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi; dan/ atau
c. pencantuman dalam daftar hitam.
(2) Setiap asosiasi badan usaha yang tidak melakukan
kewajiban sesuai dengan ketentuan piraturan perundang_
undangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (6)
dikenai sanksi administratif berupa:

a.peringatan...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-52-
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan akreditasi; dan/ atau
c. pencabutan akreditasi.

Pasal 91
Setiap badan usaha Jasa Konstruksi asing atau
perseorangan Jasa Konstruksi asing yang usaha orang
akan melakukai
usaha Jasa Konstruksi tidak memenrrli t .tJrtu"n sebagaimana
dimaksud dalam pasal 32 dikenai sanksi administratif
berupa:
a. penngatan tertulis;
b. denda administratif; dan/atau
c' penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi.

pasal 92

Setiap. kantor perwakilan badan usaha asing yang


menjalankan kewajiban sebagaimana aimat<sud tidak
daram pasal 33
ayat (1) dikenai sanksi adminGtratif berupa:
a. penngatan tertulis;
b. denda administratif;
C. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e. pembekuan izin; dan/ atau
f. pencabutan izin.

pasal 93
Setiap Pengguna Jasa yang
tenaga kerja konstruksi pada _menggunakan rayanan profesional
y":g .tidak memperhatikan kuatifit<asi ;enjang jabatan ahli
standar .Lm"un".a"i minimal
sebagaimana dimaksud dalam pasal +S ayil'q
dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. dendaadministratif.

Pasal 94 ...
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-53-
Pasal 94

Setiap Pengguna Jasa yang menggunakan penyedia Jasa yang


terafiliasi untuk pembangunan kepentingan umum tanpa
melalui tender atau seleksi, atau pengadaan secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi.

Pasal 95
Setiap Penyedia Jasa yang melanggar ketentuan pemberian
pekerjaan utama sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
dan/atau
d. pembekuan izin.

Pasal 96

(1) Setiap Penyedia Jasa dan/atau pengguna Jasa yang tidak


memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan,
dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatantertulis;
b. denda administratif;
c. penghenlian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e. pembekuan izin; dan/ atau
f. pencabutan izin.
(2\ Setiap Pengguna Jasa dan/atau penyedia Jasa yang dalam
memberikan pengesahan atau persetujuan
-ela.rggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal SS ayat-12;
dikenai sanksi administratif berupa:

a. perlngatan .. .
PRES IDEN
REPU BLIK INDONESIA

54-
a. peringatantertulis;
b. denda administratif;
c' penghentian sementara kegiatan rayanan Jasa Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e. pembekuan izin; dan/alau
f. pencabut an izin.

pasal 97
Setiap. penilai ahli yang dalam melaksanakan
tugasnya tidak
menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksuJ
daram pasal 62
ayat (2) dikenai sanksi adminGtratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian dari tugas; dan/ atau
c. dikeluarkan dari daftar penilai ahli yang teregistrasi.

pasal 9g
Penyedia Jasa yang tidak memenuhi kewa.iban
untuk mengganti
m_empgrbaiki Kegagalan Bangunan
1tlu i*u.,u almil"uJ
dalam pasal 63 dikenai sanksi adriinistralf-;Tupa:
".b"g
a. peringatantertulis;
b. denda administratif;
c' penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e. pembekuan izin; danf atau
f. pencabutan izin.
Pasal 99
(1) Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja
di bidang Jasa
Konstruksi tidak memiliki Sertifi-"tat Xf_p.Lrr"i
sebagaimana dimaksud daiam pasai X.r.;.
zo-.vlijrf
sanksi administratif berupa pemberhentian dikenai
kerja. dari tempat
(2) Setiap Pengguna Jasa clan/ atau penyedia
Jasa yang
mempekerjakan tenaga_ kerja t orr"t.l1f"i- yr.,g
memiliki Sertifikat Kompetensi -fii'*ait"eirai tidak
dimaksud dalam pasat io ayat
Ked;-
"'.brgaima.ra
sanksi
administratif berupa:

a.denda..-
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-55-
a. denda administratif; dan/atau
b. penghentian sementara kegiatan iayanan Jasa
Konstruksi.
(3) Setiap lembaga sertilikasi profesi yang tidak mengikuti
ketentuan pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ZO ayat (3) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatantertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan lisensi; dan/ atau
d. pencabutan lisensi.

pasal 100
Setiap asosiasi profesi yang tidak melakukan kewajiban sesuai
9:rglt ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal z7 ayat (s) dikinai sanlksi admi-nistratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan akreditasi; dan/atau
c. pencabutan akreditasi.

pasal 101
(1) Setiap pemberi kerja tenaga kerja konstruksi asing yang
tidak memiliki rencana penggunaan tenaga - [er.;i
konstruksi asing dan izin mempi<erjakan tenaga keda
konstruksi asing sebagaimana dimaksud dalam pasal 74
ayat (1) dan mempekerjakan tenaga kerja konstruksi asing
yang tidak memiliki registrasi dari Menteri sebagaimani
dimaksud dalam pasal Z4 ayat (3), dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatantertulis;
b. dendaadministratif;
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi; dan/atau
d. pencantuman dalam daftar hitam.
(2) Setiap.
-te_naga
kerja konstruksi asing pada jabatan ahli
yang tidak melaksanakan kewajiban p."glt^nuan
alih teknologi sebagaimana dimaksud "f*, dalim pasaldan
7+
ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa:

a.peringatan...
-\.

PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-56-
a. peringatantertulis;
b. denda administratif;
c. pemberhentian dari pekerjaan; dan/atau
d. pencantuman datam daftar hitam.

Pasal 102

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi


administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal g9 sampai
dengan Pasal 101 diatur dalam peraturan pemerintah.

BAB X]II
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 103

Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan pelaksanaan


dari Undang-Undang Nomor 1g Tahun fSgS t rrt".rg .f""a
Konstruksi (kmbaran Negara Republik Indonesia fahui tggS
Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3833) tetap menjalankan tugas- sertifrkasi dan registrasi
badan usaha dan tenaga kery'a lonstruksi sampai J".rg..,
terbentuknya lembaga sebagaimana dimaksud datam Unda"ng_
Undang ini.

BABXIV...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-57-
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 104

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:


a. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor lg
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 lrlomor 54 Tambahan
l,embaran Negara Republik Indonesia Nomor 3g33)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
dan

b Undang-Undang Nomor 18 Tahun lggg tentang Jasa


Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3833) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 1O5

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus


ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.

Pasal 106

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA

-58-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 J anuari 2OlZ

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januan 2OlT
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR


I1

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Bidang perekonomian,
uti Bidang Hukum dan
ndang-undangan,

Djaman
st

PRESIDEN
REPUELIK INDONESIA

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 2017

TENTANG

JASA KONSTRUKSI

I. UMUM

Pembangunan nasional bertujuan untuk me.wujudkan masyarakat


adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Lndang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan tujuan
pembangunan tersebut maka kegiatan pembangunan baik fisik maupun
non fisik memiliki peranan yang penting bagi kesejahteraan masyarakat.
Sektor Jasa Konstruksi merupakan kegiatan masyarakat dalam
mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana
aktivitas sosial ekonomi kemasyarakatan dan menunjang terwujudnya
tujuan pembangunan nasional.
Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, Jasa
Konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya
berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan
Jasa (onstruksi dan secara luas mendukung perekcnomian nasional. Oleh
karena penyelenggaraan Jasa Konstruksi harus menjamin ketertiban dan
kepastian hukum, sedangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata
kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa
konstruksi, maka perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan bidang
Jasa Konstruksi.
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilaksanakan berlandaskan pada
asas kejujuran dan keadilan, manfaat, kesetaraan, keserasian,
keseimbangan, profesionalitas, kemandirian, keterbukaan, kemitraan,
keamanan dan keselamatan, kebebasan, pembangunan berkelanjutan,
serta berwawasal lingkungan. Undang-Undang ini mengatur
penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan tujuan untuk memberikan arah
pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan
struktur usaha yang kukuh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa
Konstruksi yang berkualitas; mewujudkan tertib penyelenggaraan Jasa
Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna Jasa

dan .
*tu
I
'/.

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-2-
dan Penyedia Jasa dalam menjalankan hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan- perundang-
undangan; mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakai Ji UiJr.g
Jasa Konstruksi; menata sistem Jasa konstrukii yang mampu
mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan - t e"nyamaran
--
lingkungan terbangun; menjamin tata kelola p.r,y.t..rgg".alr, i"",
Konstruksi yang baik; dan menciptakan integrasi -nilai *iambah dari
seluruh tahapan penyelenggaraan Jasa Konstrukii.

_
Pengaturan penyelenggaraan Jasa Konstruksi dalam Undang_Undang
ini. dilakukan beberapa penyesuaian guna mengakomodasi kJbutuhan
|"|y- yang terjadi dalam praktik empiris di ma arakat dan dinamika
yang
legrslasi terkait dengan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Berkembangnya sektor_ Jasa Konstruk;i yang semakin kompleks
dan
semakin tingginya tingkat persaingan rayanan Jasa Konstrut<si uait<
ai
tingkat nasional maupun internasionar membutuhku., p"i'""g h;k"*
yang dapat menjamin kepastian hukum dan kepastian ,.ur,u
Ii bidang
Jasa Konstruksi terutama pelindungan bagi pingguna Jasa, penyedia
Jasa, tenaga kerja konstruksi, dan masyarakit Jasa Konstruksi.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang_Undang sebelumnya,
terdapat beberapa materi muata., y"rg diuba-h, aitai_rUat ia", --a""
disempurnakan daiam Undang-undang i-.ri antara rain cakupan
Jasa
Konstruksi; kualifikasi usaha Jasa Konstruksi; pengembanga. l"yurru.,
usaha Jasa Konstruksi; pembagian tanggung aan
-k;;";;;r.
.1a*a6
antara Pemerintah pusat dan pemerintat b".iatt dalam penyer""gg"'.".,
Jasa.Konstruksi; penguatan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan,
dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi; pengaturan
tenaga kerja konstruksi yang komprehensif baik tenaga te4a'kon'strut
lokai maupun asing; dibentuknya sistem informasi .fisa Xontruksi yang "r
terintegrasi; dan perubahan paradigma kelembagaan sebagai U.ilirf.
keikutsertaan masyarakat Jasa Konsiruksi daram penyelenggiraan
-ienekankanJasa
Konstruksi; penghapusan ketentuan pidana dengan
pada sanksi.serra
administratif dan aspek keperdataan a".r"* t.i i.f.ai
sengketa antar para pihak. Untuk menjamin kebe.lanjutan
penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Undang-gndang ini j";; f.Js.s
;.;;;;".
bahwa terh_adap adanya dugaan kejahatai dan/aLu p"t"igg.r"rr';i.h
Pengguna Jasa dan/atau pinyedia- Jasa, proses pemeriksaan
'
dilakukan dengan tidak -"rgg".rggu ut", minghentikan hukum
proses
penyelenggaran Jasa Konstruksi. Dahm har dugaan tgatratan danTatau
pelanggaran terkait dengan kerugian negara, pemeriksaan
hukum hanya
dapat dilakukan berdasarkan hasit p.-.Iik"""., d; i;;;g;;";;^;*
berwenang.

Secara
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
_,J_

Secara umum materi muatan dalam Undang-Undang ini meliputi


tanggung jawab dan kewenangan; usaha Jasa Konstruksi;
penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi; keamanan, keselamatan,
kesehatan, dan keberlanjutan konstruksi; tenaga kerja konstruksi;
pembinaan; sistem informasi Jasa Konstruksi; pirtisipasi masyarakat;
penyelesaian sengketa; sanksi administratif; dan ketentuan peralihan.
Tanggung jawab dan kewenangan mengatur tentang pembagian
kewenangan antara Pemerintah Fusat, pemerintah Daerah provinsi -dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Jasa
Konstruksi sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang
mengatur mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam pengaturan usaha Jasa
Konstruksi diatur mengenai struktur usaha Jasa Konitruksi, segmentasi
pasar Jasa Konstruksi; persyaratan usaha Jasa Konstruksi; badan usaha
Jasa Konstruksi dan usaha perseorangan Jasa Konstruksi asing;
pengembangan jenis usaha Jasa Konstruksi yakni Usaha penyediaan
Bangunan; dan pengembangan usaha berkelanjutan.
Selanjutnya Undang-Undang ini juga mengatur mengenai
penyelenggaraan Jasa Konstruksi ya.rg memuit penyeGnggaraan u"saha
Jasa Konstruksi dan penyelenggaraan Usaha Fenyediaan Bangunan.
Penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi dapat dikerjakan sendirl atau
meialui pengikatan Jasa Kontruksi, sedangka' p..,yll..rggaraan Usaha
Penyediaan Bangunan dapat dikerjakan sendiri atau meLlui perjanjian
p_enyediaan bangunan. Pentingnya pemenuhan standar rlamana.r,
Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan Konstruksi oleh pengguna
Jasa dan/atau Penyedia Jasa dimaksudkan untuk mencegah terja?"iny,
Kegagalan Bangunan.
Penguatan sumber daya manusia Jasa Konstruksi dalam rangka
menghadapi persaingan global membutuhkan penguatan secara regurasi.
undang-undang ini mengatur mengenai klasifikasi dan kualifikasi;
pelatihan tenaga kerja konstruksi; sertifikasi kompetensi kerja; registrasi
pengalaman profesional; upah tenaga kerja konstruksi; dan peng"aturan
tenaga kerja konstruksi asing serta tanggr-rng jawab profesi.

_ Dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, pemerintah pusat


melakukan pembinaan- yang mencakup penetapan kebijakan,
penyelenggaran kebijakan, pemantauan dan Lvaluasi, serta
penyelenggaraan pemberdayaan terhadap pemerintah Daerah. Selain itu
diatur ,.tentang pendanaan, pelaporaq dan pengawasannya. Untuk
menyediakan data dan informasi yang akurat dan lerintegrasi dibentuk
suatu sistem informasi Jasa Konstruksi yang terintegrasi dair dikelota oleh
Pemerintah Pusat.

Untuk
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-4-
Untuk mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi, pemerintah pusat dapat
mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi dalam menyelenggarakan
sebagian kewenangan Pemerintah pusat di bidang Jasa Konstruksi yang
dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh Menteri, yang unsur-
unsurnya ditetapkan setelah mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Da-lam hal terjadi sengketa antar para pihak, Undang-Undang ini
mengedepankan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan.
Terhadap pelanggaran administratif dalam undang-Undang ini dikenai
sanksi administratif, sedangkan untuk menghindari kekosongan hukum
Undang-Undang ini mengatur bahwa lembaga yang dibentuk berdasarkan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1g Tahun 1999 tetap
menjalankan tugas sertifikasi dan registrasi terhadap badan usaha dan
tenaga kerja konstruksi sampai terbentuknya lembaga yang dimaksud
dalam Undang-Undang ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kejujuran dan keadilan,, adalah
bahwa kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan
tertib Jasa Konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi
berbagai kewajiban guna memperoleh haknya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ,,asas manfaat" adalah bahwa segala
kegiatan Jasa Konstruksi harus dilaksanakan berlandas-kan
pada prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung
jawab, efisiensi dan efektivitas yang dapat menfrmin
terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan bagi kepentingan
nasional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ,.asas kesetaraan. adalah bahwa
kegiatan Jasa Konstruksi harus dilaksanakan dengan
memperhatikan kesetaraan hubungan kerja antara pengguna
Jasa dan penyedia
-
Jasa.

Huruf d
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
Huruf d
Yang dimaksud dengan ..asas keserasian" adalah bahwa
harmoni dalam interaksi antara Pengguna Jasa dan penyedia
Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang
berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang
berkualitas dan bermanfaat tinggi.

Huruf e
Yang dimaksud dengan ',asas keseimbangan,, adalah bahwa
penyelenggaraan Jasa Konstruksi harus berlandaskan pada
prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbang"r,
kemampuan Penyedia Jasa dan beban kerjanya. pengguna ".rtar"
Jasa dalam menetapkan penyedia Jasa wajib mematuhiisas
ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia Jasa yang paling
sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan
yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia
Jasa.

Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas profesionalitas" adalah bahwa
penyelenggaraan Jasa Konstruksi merupakan kegiatan profesi
yang menjunjung tinggi nilai profesionalisme.

Huruf g
Yang dimaksud dengan asas kemandirian" adalah bahwa
penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilakukan dengan
mengoptimalkan sumber daya nasional di bidang Jasa
Konstruksi.

Huruf h
Yang dimaksud dengan .,asas keterbukaan,, adalah bahwa
ketersediaan informasi dapat diakses oleh para pihak sehingga
terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan Jaia
Konstruksi yang memungkinkan para pifrat dapat
melaksanakan kewajibannya secara optimal, memperoieh
kepastian akan haknya, dan melakukan koreksi sehingga
dapat dihindari adanya kekurangan dan penyimpangan.

Huruf i
Yang dimaksud dengan ,.asas kemitraan" adalah bahwa
hubungan kerja para pihak yang bersifat timbal balik,
harmonis, terbuka, dan sinergis.

Hurufj .. .
PRESIOEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
Hurufj
Yang dimaksud dengan .,asas keamanan dan keselamatan"
adalah bahwa terpenuhinya tertib penyelenggaraan Jasa
Konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja,
serta pemanfaatan hasil Jasa Konstruksi dengan tetap
memperhatikan kepentingan umum.

Huruf k
Yang dimaksud dengan "asas kebebasan" adalah bahwa dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi terdapat kebebasan
berkontrak antara Penyedia Jasa dan pengguna Jasa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf I
Yang dimaksud dengan "asas pembangunan berkelanjutan"
adalah bahwa penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilaksanakan
dengan memikirkan dampak yang ditimbulkan pada
lingkttngan yang terjaga secara terus menerus
aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.
-eny"rrgkut

Huruf m
Yang dimaksud dengan ,,wawasan lingkungan" adalah bahwa
penyelenggaraan Jasa Konstruksi memperhatikan dan
mengutamakan pelindungan dan pemeliharaan lingkungan
hidup.

Pasal 3
Huruf a
Jasa Konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis
dalam sistem pembangunan nasional, untuk mendukung
berbagai bidang kehidupan masyarakat dan
menumbuhkembangkan berbagai industri barang dan jasa
yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Huruf b
Salah satu upaya untuk menjamin kesetaraan kedudukan
antara Pengguna Jasa dan penyedia Jasa dilakukan dengan
menertibkan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
termasuk penerapan dokumen pelelangan dan dokumen
kontrak standar.

Huruf c
PRESIDEN
REPUELIK INDONESIA
-7 -

Huruf c
Partisipasi masyarakat meliputi partisipasi baik yang bersifat
langsung sebagai Penyedia Jasa, Pengguna Jasa, masyarakat
Jasa Konstruksi, dan pemanfaat hasil penyelenggaraan Jasa
Konstruksi, maupun partisipasi yang bersifat tidak langsung
sebagai warga negara yang berkewajiban turut melaksanakan
pengawasan untuk menegakkan ketertiban penyelenggaraan
Jasa Konstruksi dan melindungi kepentingan umum.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "kenyamanan lingkungan terbangun"
adalah suatu kondisi bangunan sebagai hasil penyelenggaraan
Jasa Konstruksi yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan yang
direncanakan.

Huruf e
Cukup jelas.

Humf f
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan omasyarakat Jasa Konstruksi"
adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai
kepentingan dan/ atau kegiatan yang berhubungan
dengan Jasa Konstruksi antara lain asosiasi perusahaan,
asosiasi profesi, pengguna jasa, perguruan tinggi, pakar,
pelaku rantai pasok, dan pemerhati konstruksi.

Huruf g ...
PRESIDEN
REPUBLII( INDONESIA
-8-
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "menteri teknis terkait' adalah menteri
lain yang memiliki keterkaitan dengan bidang Jasa Konstruksi.

Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "rantai pasok Jasa Konstruksi"
adalah alur kegiatan produksi dan distribusi material,
peralatan, dan teknologi yang digunakan dalam
pelaksanaan Jasa Konstruksi.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Hurufj
Cukup jelas.

Huruf k
Cukup jelas.

Huruf l.. .
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-9-
Huruf I
Cukup jelas.

Huruf m
Cukup jelas.

Huruf n
Cukup jelas.

Huruf o
Cukup jelas.

Huruf p
Cukup jelas.

Huruf q
Cukup jelas.

Huruf r
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan
percontohan antara lain pemberian pelatihan bagi
penerapan teknologi, metode, dan standar kompetensi
baru.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e .. .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-10-
Huruf e
Standar remunerasi minimal ditetapkan dengan
mempertimbangkan kompleksitas dari jenis layanan
profesional, biaya, risiko, dan teknologi dari
penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang terkait dengan
hasil layanan profesional, dan/atau harga pasar yang
berlaku di provinsi tempat diselenggarakannya Jasa
Konstruksi.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Hurufj
Cukup jelas.

Huruf k
Cukup jelas.

Ayat (s)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Teknologi prioritas meliputi:
1) teknologi sederhana tepat guna dan padat karya;
2) teknologi yang berkaitan dengan posisi geografis
Indonesia;
3) teknologi konstruksi berkelanjutan;
4) teknologi material baru yang berpotensi tinggi di
Indonesia; dan
5) teknologi dan manajemen pemeliharaan aset
infrastruktur.

Hurufd . ..
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11-

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-12-
Huruf c
Pekerjaan Konstruksi terintegrasi merupakan gabungan antara
Pekerjaan Konstruksi dan jasa Konsultansi Konstruksi.

Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Usaha jasa Konsultansi Konstruksi yang bersifat umum
harus memenuhi kriteria yang mampu memberikan jasa
konsultansi secara utuh yang menghasilkan dokumen
pengkajian, perencanaan, perancangan, dan
pengawasan.
Humf b
Usaha jasa Konsultansi Konstruksi yang bersifat
spesialis harus memenuhi kriteria yang mampu
melaksanakan bagian tertentu dari proses konsultansi
yang menghasilkan dokumen pengkajian, perencanaan,
perancangan, pengawasan, dan/atau manajemen
penyelenggaraan konstruksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (s)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Usaha Pekerjaan Konstruksi yang bersifat umum harus
memenuhi kriteria yang mampu mengerjakan bangunan
konstruksi atau bentuk fisik lain, mulai dari penyiapan
lahan sampai dengan penyerahan akhir atau
berfungsinya bangunan.

Huruf b
Usaha Pekerjaan Konstruksi yang bersifat spesialis harus
memenuhi kriteria yang mampu mengerjakan bagian
tertentu dari bangunan konstruksi atau bentuk fisik lain.

Ayat (2)
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-13-
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (s)
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Pekerjaan Konstruksi rancang bangun menunjukkan
integrasi penyediaan jasa antara pekerjaan Konstruksi
dengan Konsultansi Konstruksi yang mencakup seluruh
aspek penyelenggaraan Jasa Konstruksi, teApi tidak
mencakup proses pengadaan.

Huruf b
Cukup jelas.

Pasal 16
Perubahan klasifikasi produk konstruksi yang berraku secara
internasional dan perkembangan layanan usaha Jasa Konstruksi
antara lain perubahan skema klasifikasi-subkrasifikasi-produk
berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)
dan/atau central product crassifications (cpc) untuk klasifikasi
usaha Pekerjaan Konstruksi.

Pasal 17
Ayat (1)
Dukungan rantai pasok sumber daya kontruksi
diselenggarakan dalam rangka menjamin klcukupan dan
keberlanjutan pasokan sumber daya konstruksi.
Usaha rantai pasok sumber daya konstruksi antara lain usaha
pemasok bahan bangunan, usaha pemasok peralatan
konstruksi, usaha pemasok teknologi konstruksi, dan usaha
pemasok sumber dava manusia.

Ayat (2)
il

PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-14-
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal l8
Cukup jelas.

Pasal 19
Yang dimaksud dengan "usaha orang perseorangan" adalah usaha
yang dilakukan langsung oleh orang tersebut tanpa membentuk
badan usaha.

Pasal 20
Ayat (l)
Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan suatu
usaha Jasa Konstruksi dalam melaksanakan Jasa Konstruksi
pada saat yang bersamaan.

Ayat (21
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 2 1
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Ayat (1)
Kebijakan khusus dimaksudkan untuk mengembangkan badan
usaha Jasa _.Konstruksi dan tenaga kerja konstiuksi yang
berdomisili di provinsi dengan tetap mengedepankan prinsip
persaingan sehat.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 25...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
_15_

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (21
Sertifikasi oleh Menteri merupakan proses pemberian sertifikat
atas penilaian untuk mendapatkan pengakuan terhadap
klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha di
bidang Jasa Konstruksi.
Registrasi oleh Menteri merupakan pendataan dan pencatatan
sertifikat badan usaha dalam rangka pembinaan Jasa
Konstruksi.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (41
Yang dimaksud dengan "Sertilikasi Badan Usaha" adalah
proses pemberian sertifikat atas penilaian untuk mendapatkan
pengakuan terhadap klasifrkasi dan kualifikasi atas
kemampuan badan usaha di bidang Jasa Konstruksi termasuk
penyetaraan badan usaha Jasa Konstruksi asing.
Pengajuan permohonan Sertifikasi Badan Usaha kepada
lembaga sertifikasi badan usaha dilakukan tanpa menghambat
proses pemohonan dan dengan tujuan agar proses Sertifikasi
Badan Usaha dapat dijangkau oleh badan usaha Jasa
Konstruksi yang berdomisili di kabupaten/ kota.

Ayat (s)
=t).

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-16-

Ayat (5)
Persyaratan akreditasi asosiasi badan usaha ditetapkan
dengan mempertimbangkan kategori asosiasi sesuai anggaran
dasar/anggaran rumah tangga yang meliputi asosiasi yang
bersifat umum atau khusus serta asosiasi yang memiliki
cabang atau tidak memiliki cabang.

Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Pemberdayaan kepada anggota antara lain dilakukan
melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, diseminasi,
dan sosialisasi yang terkait dengan usaha Jasa
Konstruksi.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengalaman usaha" adalah
pengalaman sebagai Penyedia Jasa atau Subpenyedia Jasa,
termasuk pengalaman sebagai Penyedia Jasa dalam rangka
kerja sama operasi, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (s)
Cukup jelas.

Ayat(4) ...
PRESIDEN
REFUBLIK INDONESIA
-t7-

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "tanggung renteng" adalah kerja sama
operasi yang dimulai saat mengikuti proses pemilihan,
pelaksanaan, sampai dengan pengakhiran pekerjaan
konstruksi secara bersama-sama dan secara sendiri-sendiri
dengan tanggung jawab yang sama kepada penggunajasa.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengembangan usaha berkelanjutan"
adalah upaya terus-menerus yang dilakukan untuk menjaga
atau meningkatkan kemampuan badan usaha, sehingga badan
usaha tersebut tetap marnpu melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan sertifikat badan usaha yang dimilikinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (s)
Cukup jelas.

Ayat (4)
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-18-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Penyelenggaraan Jasa Konstruksiyang dikerjakan sendiri
merupakan kegiatan yang pekerjaannya direncanakan,
dikerjakan, dan/ atau diawasi sendiri oleh kementerian,
lembaga, dinas, atau instansi sebagai penanggrrng jawab
anggaran, instansi pemerintah lain, dan/atau kelompok
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "perjanjian penyediaan bangunan'
adalah perjanjian yang dilakukan antara pemilik dan/ atau
penanggung jawab bangunan dengan pemilik modal atau
pengembang untuk mewujudkan bangunan yang dibiayai dengan
dana investasi badan usaha dan/atau masyarakat. Yang
termasuk dalam pe{anjian penyediaan bangunan antara lain
perjanjian kerjasama antara Pemerintah dengan badan usaha,
perjanjian kerjasama antara pengembang dengan badan usaha
Jasa Konstruksi, yang pembayarannya dilakukan melalui
pengembalian investasi dalam tenggang waktu yang disepakati.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "badan" adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak
investasi, kolektif dan bentuk usaha tetap.

Ayat (3)
\

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-19-

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "dipertanggunglawabkan secara
keilmuan" adalah dipertanggungiawabkan sesuai kaidah yang
sudah ada dan/atau sesuai prinsip atau teori
pertanggungjawaban yang dikembangkan sesuai dengan ilmu
pengetahuan.
Kaidah dalam pengikatan hubungan kerja Jasa Konstruksi
meliputi antara lain teknik dan keselamatan bangunan,
keuangan, kontrak, dan manajemen. Prinsip pengikatan
hubungan kerja Jasa Konstruksi berlaku untuk pengikatan
yang melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
BUMN, BUMD maupun Swasta.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "prakualilikasi" adalah proses penilaian
kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan terhadap
badan usaha sebelum pemasukan dokumen penawaran.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "katalog" adalah informasi yang
memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis, tingkat komponen
dalam negeri, produk dalam negeri, produk SNI, produk hijau,
negara asal, harga, penyedia, dan informasi lainnya terkait
barang atau jasa tertentu.

Ayat (a)
Huruf a
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dalam keadaan darurat
dapat dilakukan tidak hanya untuk bangunan yang
bersifat sementara narnun dapat juga untuk bangunan
yang bersifat pernanen.
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
_20_

Huruf c
Cukup je1as.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Ayat (s)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Standar remunerasi minimal ditetapkan dengan
mempertimbangkan kompleksitas dari jenis layanan
profesional, biaya, risiko, dan teknologi dari pekerjaan
konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional,
dan/atau harga pasar yang berlaku di provinsi tempat
diselenggarakannya Jasa Konstruksi.
Pengguna Jasa menjamin bahwa penyedia jasa yang
melaksanakan layanan jasa konsultasi menerapkan Standar
Remunerasi Minimal.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Yang dimaksud dengan "Penyedia Jasa yang terafiliasi" adalah
Penyedia Jasa yang memiliki suatu hubungan/pertalian dengan
pihak Pengguna Jasa karena:
a. hubungan kekerabatan/kekeluargaan karena perkawinan dan
keturunan sampai derajat kedua baik secara horizontal maupun
vertikal; atau
b. hubungan usaha dan/atau hubungan kerja, atau pihak yang
mempengaruhi pengelolaan perusahaan Pengguna Jasa.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46 ...
#Ti
-r)t>4i?
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2t-
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2t
Kontrak Kerja Konstruksi dapat mengikuti perkembangan
kebutuhan untuk mengakomodasi bentuk-bentuk Kontrak
Kerja Konstruksi yang berkembang di masyarakat.
Bentuk kontrak mengikuti deliuery sgstem penyelenggaraan
konstruksi yaitu antara lain: rancang-penawaran-bangun
(design-bid-buildl; rancang-bangun (design-build);
perekayasaan-pengadaan-pelaksanaan (engineeing-
proanrement-constructionl; manajemen konstruksi; dan
kemitraan. Selain deliuery sAstem, bentuk kontrak juga
mengikuti sistem pembayaran dan sistem perhitungan hasil
pekerjaan. Sistem pembayaran jasa mencakup antara 1ain: di
l::rrka, progress, milestone, dan turnkey. Sedangkan sistem
perhitungan hasil peke{aan mencakup antara lain: lumsum,
harga satuan, gabungan harga lumsum dan harga satuan,
presentase nilai, cost reimbursable, dan target cost.

Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "identitas para pihak,, adalah
nama, alamat, kewarganegaraan, wewenang
penandatanganan, dan domisili.

Huruf b
Lingkup kerja meliputi hal-hal berikut:
1) Volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang
harus dilaksanakan termasuk volume pekerjaan
tambah atau kurang. Dalam mengadakan perubahan
volume pekerjaan, perlu ditetapkan besaran
perubahan volume yang tidak memerlukan
persetujuan para pihak terlebih dahulu.
Bagi pekerjaan perencanaan dan pengawasan,
lingkup pekerjaan dapat berupa laporanhasil
Pekerl'aan Konstruksi yang wajib
dipertanggungjawabkan yang merupakan hasil
kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk
dokumen tertulis.

2) Persyaratan
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-22-
2) Persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus
dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan
interaksi.
3) Persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang
wajib dipenuhi oleh Penyedia Jasa.
4) Pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk
perlindungan antara lain untuk pelaksanaan
peke{aan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi
tenaga kerja dan masyarakat. Perlindungan tersebut
dapat berupa antara lain asuransi atau jaminan yang
diterbitkan oleh bank atau lembaga bukan bank.
5) Laporan hasil Pekerjaan Konstruksi dan/ atau
Konsultansi Konstruksi, yakni hasil kemajuan
pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen
tertulis.
Nilai pekerjaan, yakni jumlah besaran biaya yang akan
diterima oleh Penyedia Jasa untuk pelaksanaan
keseluruhan lingkup pekerjaan.
Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk
menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk
masa pemeliharaan.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "informasi" adalah dokumen yang
lengkap dan benar yang harus disediakan pengguna Jasa
bagi Penyedia Jasa agar dapat melakukan pekerjaan
sesuai dengan tugas dan kewajibannya.
Dokumen tersebut, antara lain meliputi izin mendirikan
bangunan dan dokumen penyerahan penggunaan
lapangan untuk bangunan beserta fasilitasnya.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Pembayaran dapat dilaksanakan secara berkala, atau
atas dasar persentase tingkat kemajuan pelaksanaan
pekerjaan, atau cara pembayaran yang dilakukan
sekaligus setelah proyek selesai.

Huruf g ...
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-23-
Huruf g
Yang dimaksud dengan "wanprestasi,, adalah suatu
keadaan apabila salah satu pihak dalam Kontrak Kerja
Konstruksi:
1) tidak melakukan apa yang diperjanjikan; dan/atau
2) melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan; dan/atau
3) melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat;
dan/ atau
4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya.
Tanggung jawab antara lain berupa pembbrian
kompensasi, penggantian biaya dan/atau perpanjangan
waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil
pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang
diperjanjikan, atau pemberian ganti rugi.

Huruf h
Penyelesaian perselisihan memuat ketentuan tentang
tatacara penyelesaian perselisihan yang diakibatkan
antara lain oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian,
penafsiran, atau pelaksanaan berbagai ketentuan dalam
Kontrak Kerja Konstruksi serta ketentuan tentang tempat
dan cara penyelesaian.
Penyelesaian perselisihan ditempuh melalui antara lain
musyawarah, mediasi, arbitrase, ataupun pengadilan.

Huruf i
Cukup jelas.

Hurufj
Keadaan memaksa mencakup:
1) keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut)
yakni bahwa para pihak tidak, mungkin
melaksanakan hak dan kewajibannya;dan
2) keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif),
yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya.
Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat
diperjanjikan oleh para pihak, antara lain melalui
lembaga pertanggungan (asuransi).

Huruf k . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-24-
Huruf k
Cukup jelas.

Huruf I
Pelindungan pekerja disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, serta
jaminan sosial tenaga kerja.

Huruf m
Pelindungan terhadap pihak ketiga berlaku selama masa
pertanggungan.

Huruf n
Aspek lingkungan meliputi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
pengelolaan lingkungan hidup.

Huruf o
Jaminan akibat dari Kegagalan Bangunan tidak harus
berbentuk jaminan terkait langsung dengan keuangan.

Huruf p
Cukup jelas.

Ayat (21
Yang dimaksud dengan "insentif' adalah penghargaan yang
diberikan kepada Penyedia Jasa atas prestasinya, antara lain,
kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada
yang diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu sesuai dengan
yang dipersyaratkan. Insentif dapat berupa uang ataupun
bentuk lainnya.

Pasal 48
Yang dimaksud "kekayaan intelektual,, adalah hasil inovasi
perencana konstruksi daiam suatu pelaksanaan Kontrak Kerja
Konstruksi baik bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian
bagiannya yang kepemilikannya dapat diperjanjikan.
Penggunaan hak atas kekayaan intelektual yang telah terdaftar harus
dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 5O
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-25-
Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Ayat (1)
Pengikutsertaan Subpenyedia Jasa dibatasi oleh adanya
tuntutan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus dan
ditempuh melalui mekanisme subkontrak, dengan tidak
mengurangi tanggung jawab penyedia Jasa terhadap seluruh
hasil pekerjaannya.
Pengikutsertaan Subpenyedia Jasa bertujuan memberikan
peluang bagi subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian
spesifik melalui mekanisme keterkaitan dengan penyedia Jasa.
Yang dimaksud dengan "pekerjaan utama" adalah rangkaian
kegiatan dalam suatu penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang
memiliki tingkat risiko terbesar dalam mengakibatkan
terjadinya keterlambatan penyelesaian Jasa Konstruksi.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ,pekerjaan penunjang" adalah
rangkaian kegiatan dalam suatu penyelenggaraan Jasa
Konstruksi yang bukan merupakan bagian dari pekerjaan
utama.

Ayat (41
Hak Subpenyedia Jasa, antara lain adalah hak untuk
menerima pembayaran secara tepat waktu dan tepat jumlah
yang harus dijamin oleh Penyedia Jasa. Dalam ha-l ini
Pengguna Jasa mempunyai kewajiban untuk memantau
pelaksanaan pemenuhan hak subpenyedia jasa oleh penyedia
Jasa.
Hak dan kewajiban Penyedia Jasa dan Subpenyedia Jasa
memuat tanggung jawab atas biaya konstruksi yang
dilaksanakan oleh Subpenyedia Jasa.

Pasal 54
s dir
r{1
'Jt,

PRESIDEI..I
REPUBLIK INDONESIA
-26-
Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Ayat (l)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "komitmen atas pengusahaan
produk Jasa Konstruksi" adalah janji pembayaran dalam
kurun waktu yang disepakati kedua belah pihak dan
dibuktikan secara tertulis dari pemilik, penguasa,
dan/ atau pengembang bangunan kepada penyedia Jasa
atas pembayaran Jasa Konstruksi yang dilakukan
melalui pola bagi hasil pengusahaan bangunan tersebut.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dokumen lain', antara lain jaminan
dalam bentuk barang bergerak dan/atau tidak bergerak.

Ayat (s)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Ayat (1)
Jaminan ini hanya berlaku bagi penyedia Jasa utama, yaitu
Penyedia Jasa yang langsung melakukan pengikatan kontrak
dengan Pengguna Jasa.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "jaminan penawaran" adalah
jaminan yang diberikan peserta pemilihan kepada
kelompok kerja unit layanan pengadaan sebelum batas
akhir pemasukan penawaran.

Huruf b ...
\

PRESIDEN
REPUELIK INDONESIA
-27 -

Huruf b
Yang dimaksud dengan laminan pelaksanaan" adalah
jaminan bahwa Penyedia Jasa akan menyelesaikan
pekerjaan sesuai dengan ketentuan Kontrak Kerja
Konstruksi.

Huruf c
Yang dimaksud dengan "jaminan uang muka" adalah
jaminan yang diberikan Penyedia Jasa kepada pengguna
Jasa sebelum Penyedia Jasa menerima uang muka untuk
memulai Pekerjaan Konstruksi.

Huruf d
Yang dimaksud dengan ,Jaminan pemeliharaan,, adalah
jaminan yang diberikan penyedia Jasa kepada pengguna
Jasa selama masa pertanggungan yaitu waktu a.rtara
penyerahan pertama kalinya hasil akhir pekerjaan dan
penyerahan kedua kalinya hasil akhir pekerjaan.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "jaminan sanggah banding"
adalah jaminan yang harus diserahkan oleh penyedia
Jasa yang akan melakukan sanggah banding.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "perjanjian terikat,, (suretg bond.) adalah
asuransi penjaminan antara penjamin dengin peiaksana
peke{'aan. Penjamin akan menjamin pelaksana pekerjaan atas
pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemltik proyek
kepada pelaksana pekerjaan. Aiuransi penjaminan -ini
biasanya dikeluarkan oleh perusahaa., asu.^.rii kirugian.

Ayat (s)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59 . .
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-28-

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud "penilai ahli" adalah penilai ahli di bidang
konstruksi. Penetapan Kegagalan Bangunan oleh penilai ahfi
dimaksudkan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian dan
penetapan suatu kegagalan.

Ayat (3)
Penilaiahli dapat terdiri atas orang perseorangan, atau
kelompok orang atau lembaga.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak berwenang yang terkait, antara
lain aparat penegak hukum dan kementerian/lembaga lainnya.

Ayat (21
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.

Pasai 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67...
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-29-
Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Ayat (1)
Bidang keilmuan yang terkait Jasa Konstruksi antara lain
arsitektur, sipil, mekanikal, tata lingkungan, dan manajemen
pelaksanaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (a)
Cukup jelas.

Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "diregistrasi" adalah proses pencatatan
untuk pangkalan data lembaga pendidikan dan pelatihan kerja
dalam rangka pengembangan tenaga keq'a konstruksi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Tenaga kerja konstruksi yang wqiib memiliki sertifikat
kompetensi adalah tenaga kerja konstruksi yang memiliki
jabatan kerja sebagai operator, teknisi atau analis] dan/ atau
ahli.

Ayat (2)
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-30-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (s)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 7l
Ayat (l)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Persyaratan asosiasi profesi ditetapkan dengan
mempertimbangkan antara lain kategori asosiasi sesuai
anggaran dasar/anggaran rumah tangga, yang meliputi
asosiasi yang bersifat umum atau khusus serta asosiasi yang
memiliki cabang atau tidak memiliki cabang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (s)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal T2
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ,,tanda daftar pengalaman profesional,,
adalah dokumen yang memuat dan menjetaskan pengalaman
tenaga kerja konstruksi yang telah didaftarkan sLcara resmi
kepada Menteri.

Ayat(3) ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-31 -
Ayat (s)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Ayat (r)
Yang dimaksud dengan "pemberi kerja" adalah badan hukum
yang mempekerjakan tenaga kerja konstruksi asing dengan
membayar upah atau imbalan.

Yang dimaksud dengan "rencana penggunaan tenaga kerja


asing" adalah rencana penggunaan tenaga kerja asing pada
jabatan tertentu yang disahkan oleh menteri yarrg
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
Yang dimaksud dengan "izin memperkerjakan tenaga kerja
asing" adalah izin tertulis yang diberikar oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang
ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk kepada pemberi
kerja tenaga kerja asing.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan njabatan tertentu" adalah jabatan
komisaris, direksi, manajer, dan ahli tertentu yang ditetapkan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-32-
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 75
Ayat (1)
Tanggung jawab dilaksanakan berdasarkan prinsip keahlian
sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran
intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap
mengutamakan kepentingan umum.
Tanggung jawab tenaga kerja konstruksi sesuai dengan kode
etik masing-masing profesi yang terlibat.

Ayat (2)
Pertanggungiawaban secara profesional terhadap hasil layanan
Jasa Konstruksi dapat dilaksanakan melalui mekanisme
penjaminan yakni penjaminan keahlian.

Pasal 76
Ayat (1)
Huruf a
Kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi nasional
ditetapkan secara terstruktur, tegas, dan dapat
menjawab kebutuhan riil di lapangan. pembinaan
merupakan tugas negara. Segala bentuk pembinaan Jasa
Konstruksi yang dilakukan memiliki tujuan untuk
mengembangkan kinerja setiap elemen dan proses
penyelenggaraan dalam sistem Jasa Konstruksi nasional
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
umum dan melindungi masyarakat umum.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap efektifitas
dan efisiensi pelaksanaan kebijakan pengembangan
Jasa Konstruksi nasional dari serta analisis dampak
setiap kebijakan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan Jasa Konstruksi daerah maupun nasional
sebagai bahan untuk perbaikan berkelanjutan kebijakan
yang sudah berjalan.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e ...
t

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
_33_

Huruf e
Cukup jelas.

Ayat (21
Huruf a
Pedoman yang diterbitkan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat hanya bersifat teknis tata laksana
dalam pelaksanaan kebijakan nasional Jasa Konstruksi
di wilayah provinsi.
Perumusan pedoman tersebut dilakukan dengan tetap
memperhatikan kebijakan pengembangan Jasa
Konstruksi nasional serta ketentuan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Pemerintah
Daerah.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Ayat (1)
Yang didanai dengan anggaran pendapatan dan belanja Negara
adalah pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat dan
gubernur sebagai Pemerintah pusat.

Ayat (2)
Yang didanai dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah
pelaksanaan kewenangan sub-urusan Jasa Konstuksi yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pemerintahan daerah.

Pasal 79...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-34-
Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 8 1
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas

Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2\
Huruf a
Cukup jelas.

Hurrf b
Data dan informasi yang berkaitan dengan tugas
pembinaan antara lain data tentang berbagai kebijakan
dalam pengembangan sumber daya manusia, usaha Jasa
Konstruksi, material dan teknologi konstruksi,
penyelenggaraan jasa konstruksi, Standar Keamanan,
Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan, serta
partisipasi masyarakat.

Huruf c
Data dan informasi yang berkaitan dengan layanan di
bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan oleh masyarakat
Jasa Konstruksi antara lain data hasil sertifikasi dan
registrasi terhadap usaha Jasa Konstruksi dan tenaga
kerja konstruksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (s)
Cukup jelas.

Ayat (6)
\,

PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-35-
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Penyelenggaraan sebagian kewenangan pemerintah pusat
antara lain registrasi badan usaha Jasa Konstruksi, akreditasi
bagi asosiasi perusahaan Jasa Konstruksi dan asosiasi terkait
rantai pasok Jasa Konstruksi, registrasi pengalaman badan
usaha, registrasi penilai ahli, menetapkan penilai ahli yang
teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan, akreditasi
bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertilikasi profesi,
registrasi tenaga kerja, registrasi pengalaman profisionai
tenaga kerja serta lembaga pendidikan dan pelatihin kerja di
bidang konstruksi, penyetaraan tenagi kerja
membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan ""irrg,
tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan
lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi
profesi/ lembaga pendidikan dan pelatihan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "lembaga, adalah lembaga
pengembangan Jasa Konstruksi.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (a)
Asosiasi terkait rantai pasok konstruksi antara lain asosiasi
terkait material dan peralatan konstruksi.

Ayat (s)
Dalam proses untuk mendapatkan persetqiuan dari Dewan
Perwakilan Ralryat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan
calon pengurus lembaga sebanyak dua kali lipat d-ari jumlah
pengurus lembaga yang akan ditetapkan oleh Minteri.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (71
Cukup jelas.

Ayat (8)
PRESIDEN
REPU ELIK INDONESIA
-36-
Ayat (8)
Cukup jelas.

Ayat (9)
Pengaturan pembentukan lembaga antara lain tata cara
pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi, serta
mekanisme kerja lembaga.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Yang dimaksud dengan "forum Jasa Konstruksi" adalah media bagi
masyarakat jasa konstruksi untuk menyampaikan aspirasi kepada
pemerintah dan/atau lembaga.

Pasal 88
Ayat (l)
Cukup jelas.

Ayat (21
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup je1as.

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ,,dewan sengketa,, adalah tim yang
dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak se.;aI
pengikatan Jasa Konstruksi untuk mencegah dan menengahi
s-engketa yang terjadi di dalam pelaksanaan Kontrak Kida
Konstruksi.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.

Pasal 90...
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-37-

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 9 1
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal lO0
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105 . ..
PRESIDEN
REPU BLIK INDONESIA
-38-
Pasal 1O5
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6018


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003

TENTANG

KETENAGAKERJAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka


pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja,
diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan
kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta
peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk
menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun
untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha;
e. bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan
pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut
dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf
a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang undang tentang
Ketenagakerjaan;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33
ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan persetujuan bersama antara


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

MenetapkanUNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.


:

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :


1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
5. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
6. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara
sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang
berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna
tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos
kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi
jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara
terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah
bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam
proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan
atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga
kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja
di wilayah Indonesia.
14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh,
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa
pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara
bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau
memperlambat pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan.
31. 31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,
yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam
lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui


koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

Pasal 4

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;


b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA

Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan.

Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.

BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7

(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun
perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi :

a. perencanaan tenaga kerja makro; dan


b. perencanaan tenaga kerja mikro.

(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan
yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi
:
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak
yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta
pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA

Pasal 9

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan


mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan.

Pasal 10

(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha,
baik di da-lam maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar
kompetensi kerja.
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau


mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui
pelatihan kerja.

Pasal 12

(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi


pekerjanya melalui pelatihan kerja.
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai
dengan bi-dang tugasnya.

Pasal 13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga
pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan.
(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin
atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15

Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :


a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.

Pasal 16

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja
pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi.
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur
masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Kepu tusan Menteri.

Pasal 17

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat


menghentikan seme ntara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam
pelaksanaannya ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap
program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal
15.
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi
saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program
pelatihan.
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan
kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan
izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan
pembatalan pen daftaran diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja
yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta,
atau pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi
kompe tensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga
kerja yang telah berpengalaman.
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang
inde penden.
(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis,
derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 20

(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan,
dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan
pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.

Pasal 22

(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha
yang di buat secara tertulis.
(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat
ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh
perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 23

Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi
kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24

Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan


pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pasal 25
(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan
harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 26

(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :


a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah
Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 27

(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan
program pemagangan.
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus
memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.

Pasal 28

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan
koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja
nasional.
(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan
pemagangan.
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas,
dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju
terwujudnya produktivitas nasional.

Pasal 30

(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk
lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional.
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan
pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah.
(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA

Pasal 31

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan,
atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.

Pasal 32

(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan
setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat
sesuai de ngan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan
harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja
dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

Pasal 33

Penempatan tenaga kerja terdiri dari :


a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34

Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.

Pasal 35

(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang
dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan
perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib
memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik
mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36

(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu
dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja.

Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam
melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.

Pasal 38

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a,
dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau
keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf
b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari
tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39

(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja.
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk
mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu
dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau
mengembangkan perluasan kesempatan kerja.

Pasal 40

(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang
produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya,
penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang
dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.

Pasal 41

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.


(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan
koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Pasal 42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan
negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan
konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak
dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.

Pasal 43

(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga
kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya me muat keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan
yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja
asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-
badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur
dengan Keputu san Menteri.

Pasal 44

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :

a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga
kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja
asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang
menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris.

Pasal 46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-
jabatan ter tentu.
(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi
instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial,
lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing
ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Pasal 49

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA

Pasal 50

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Pasal 51

(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.


(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku.

Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :


a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pasal 53

Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh
ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2
(dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing
masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa
Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan
sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak
tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian
terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk
paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama
7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya
secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua)
tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 60

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama
3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang
membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :


a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya
hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-
hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak
haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak hak yang telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 62

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat
keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.

Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya


melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis.

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui
perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana
dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka
demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan
beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf
a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang
bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib
memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d
serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan perusahaan pemberi pekerjaan.

BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN

Bagian Kesatu
Perlindungan

Paragraf 1
Penyandang Cacat

Pasal 67

(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 2
Anak

Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 69

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur
antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan
ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam
ayat (1) ha-rus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang
bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi
syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu
sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja
anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 74

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk
pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk
produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan
kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 3
Perempuan

Pasal 76

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang
berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 4
Waktu Kerja

Pasal 77

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.


(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha
atau peker-jaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari
dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4
(empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2
(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang
bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja
selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan
dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 80

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81

(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada
pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82

(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat
1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Pasal 83

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya
untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Pasal 84
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Pasal 85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila
jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus- menerus atau
pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengupahan.

Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi.

Pasal 89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas :
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan
hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa
kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan mem-perhatikan kemampuan
perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar
upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan,
membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau
anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban
terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat
dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha;
dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan
hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2
(dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah
pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan
tetap.

Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat
dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan
pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam
pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang
yang didahulukan pem-bayarannya.

Pasal 96
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya
hak.
Pasal 97
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak,
dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan
ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk
Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur
pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan
diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan
dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga
Kesejahteraan

Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib
menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilak?sanakan
dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusa?haan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-
usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya
menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan,
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya
mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban
demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai
fungsi menciptakan kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas lapangan kerja, dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. embaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pasal 104

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat
buruh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan
keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dalam ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan.

Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha

Pasal 105

(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ber-laku.

Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal 106

(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih wajib
membentuk lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum
komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri
dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara
demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama
bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107

(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah
dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha,
dan seri-kat pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan

Pasal 108

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib


membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.

Pasal 110

(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka
wakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil
pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara
demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111

(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :


a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah
habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di
perusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha
wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka
waktu berlakunya.

Pasal 112

(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan
ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh
pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali
peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat
dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat
pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 114

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 115

Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 116

(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara
musya-warah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis
dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia,
maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 117

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

Pasal 118

Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku
bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 119

(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat
pekerja/seri-kat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh
dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk
merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6
(enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 120

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang
berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah
keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili
dalam perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka
para seri-kat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan
secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 121

Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal
120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122

Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan
pengusaha.

Pasal 123

(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa
berlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha
dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga)
bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka
perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut
batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 125

Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka
perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang
sedang berlaku.

Pasal 126

(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang
ada da-lam perjanjian kerja bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama
atau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap
pekerja/ buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127

(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan
perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan
dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi
hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 128

Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 129

(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di
perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama
diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan
tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 130

(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau
diper-baharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh,
maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan
ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau
diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120
ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan
oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang
membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara
proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau
diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat
buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120
ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan
menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 131

(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan
perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan
mempunyai perjan-jian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah
perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai
perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama
maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger)
sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

Pasal 132

(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian kerja bersama tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama
selan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah
wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.

Pasal 135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan


industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial

Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Paragraf 2
Mogok Kerja

Pasal 137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara
sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138

(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh
lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar
hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi
atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139

Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan keselamatan
jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau
membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140

(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat
pekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau
penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi
menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan
sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi;
atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

Pasal 141

(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan
dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka
harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan,
maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera
menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau
penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara
atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142

(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 143

(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk
mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan
pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan
damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 144

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140, pengusaha dilarang :
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Pasal 145

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan
hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak
mendapatkan upah.

Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)

Pasal 146

(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan
balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.

Pasal 147

Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang


melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa
manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi,
pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.

Pasal 148

(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out)
dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau
pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149

(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan
(lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan
dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang
menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka
harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan,
maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera
menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan
perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama
sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan
apabila :
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang
ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 150

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya
harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,
maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan
persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh
setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan
hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di
dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan.

Pasal 154

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :

a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara
tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan
kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3)
batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan
hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh.

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut
:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan
upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan
upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
sebagai be-rikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5
(lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6
(enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada
pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan
subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus
dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-
rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari
ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah
borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan
terakhir.

Pasal 158

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai
berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang
bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan
ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 159

Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 160

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib
memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan
takwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6
(enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha
wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan
pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4).

Pasal 161

(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama
6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 162

(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak
me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan
tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 163

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi
peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan
pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal
156 ayat (4).

Pasal 164

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus
selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan
keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 165

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 166

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya
diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang
pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).

Pasal 167

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program
pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak
mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program
pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang
pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang
iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan
dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan
kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 168

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2
(dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan
mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang
bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 169

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan;
atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh
berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (3).
Pasal 170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan
Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar
seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Pasal 171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga


penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

Pasal 172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja
dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat
mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan
uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

BAB XIII
PEMBINAAN

Pasal 173

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan
ketena-gakerjaan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikut-sertakan organisasi
pengusaha, seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu
dan terko-ordinasi.

Pasal 174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi peng-usaha, serikat


pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 175

(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa
dalam pem-binaan ketenagakerjaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang,
dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN

Pasal 176

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang


mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.

Pasal 177

Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 178

(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputu-san Presiden.

Pasal 179

(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada
pemerintah provin-si dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Men-teri.

Pasal 180

Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai
pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 181

Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana dimaksud


dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 182
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas
ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana
di bidang ketenaga-kerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang
adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN
SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Pertama
Ketentuan Pidana

Pasal 183

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 184

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat
(4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44
ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2),
Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38
ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114,
dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 189

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha
membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 190

(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2),
Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan
Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin.
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 191

Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang undang
ini.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 192

Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka :

1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar


Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan
Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di Atas
Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. 5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat
Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun
1963 Nomor 67);
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042),
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 193

Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Maret 2003

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39


PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
NOMOR: PER 01/MEN/1980
TENTANG
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KONSTRUKSI BANGUNAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

Menimbang: a. Bahwa kenyataan menunjukan banyak terjadi kecelakaan,


akibat belum ditanganinya pengawasan keselamatan dan
kesehatan kerja secara mentap dan menyeluruh pada
pekerjaan konstruksi bangunan, sehingga karenanya perlu
diadakan upaya untuk membina norma perlindungan
kerjanya.
b. Bahwa dengan semakin meningkatnya pembangunan dengan
penggunaan teknologi modern, harus diimbangi pula dengan
upaya keselamatan tenaga kerja atau orang lain yang berada
di tempat kerja.
c. Bahwa sebagai pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja, dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur keselamatan
dan kesehatan kerja pada pekerjaan Konstruksi Bangunan.

Mengingat: 1. Pasal 10 (a) Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
2. Pasal 2 (2c) dan pasal 4 Undang-undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja.

MEMUTUSKAN

Menetapkan: PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI


TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA
KONSTRUKSI BANGUNAN.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 1
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Konstruksi Bangunan ialah kegiatan yang berhubungan dengan seluruh
tahapan yang dilakukan di tempat kerja.
b. Tempat kerja ialah tempat sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
huruf c, k, l, Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
c. Direktur ialah Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan dan Perlindungan
Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Transmigrasi dan Koperasi No. 79/MEN/1977
d. Pengurus ialah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab terhadap
pekerjaan pada konstruksi bangunan secara aman.
e. Perancah (Scaffold) ialah bangunan peralatan (plafornm) yang dibuat untuk
sementara dan digunakan sebagai penyangga tenaga kerja, bahan-bahan serta
alat-alat pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan termasuk pekerjaan
pemeliharaan dan pembongkaran.
f. Gelagar (putlog or bearer) ialah bagian dari perancah untuk tempat
meletakkan papan peralatan.
g. Palang penguat (brace) ialah bagian dari perancah untuk memperkuat dua titik
konstruksi yang berlainan guna mencegah pergeseran konstruksi bangunan
perancah tersebut.
h. Perancah tangga (ladder scaffold) ialah suatu perancah yang menggunakan
tangga sebagai tiang untuk penyangga peralatannya.
i. Perancah kursi gantung (beatswain’s chair) ialah suatu perancah yang
berbentuk tempat duduk yang digantung dengan kabel atau tambang.
j. Perancah dongkrak tangga (ladder jack scaffold) ialah suatu perancah yang
peralatannya mempergunakan dongkrak untuk menaikan dan menurunkannya
dan dipasang pada tangga.
k. Perancah topang jendela (window jack scaffold) ialah suatu perancah yang
peralatanya dipasang pada balok tumpu yang ditempatkan menjulur dari
jendela terbuka.
l. Perancah kuda-kuda (trestle scaffold) ialah suatu perancah yang disangga oleh
kuda-kuda.

Pasal 2
Setiap pekerjaan konstruksi bangunan yang akan dilakukan wajib kepada Direktur
atau Pejabat yang ditunjukannya.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 2
Pasal 3
(1) Pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan harus dilakukan pencegahan atau
dikurangi terjadinya kecelakaan atau sakit akibat kerja terhadap tenaga
kerjanya.
(2) Sewaktu pekerjaan dimulai harus segera disusun suatu unit keselamatan dan
kesehatan kerja hal tersebut diberitahukan kepada setiap tenaga kerja.
(3) Unit keselataman dan kesehatan kerja tersebutayat (2) pasal ini meliputi usaha-
usaha pencegahan terhadap: kecelakaan, kebakaran, peledakan, penyakit akibat
kerja, pertolongan pertama pada kecelakaan dan usaha-usaha penyelamatan.

Pasal 4
Setiap terjadi kecelakaan kerja atau kejadian yang berbahaya harus dilaporkan
kepada Direktur atau Pejabat yang ditunjuknya.

BAB II
TENTANG TEMPAT KERJA DAN ALAT-ALAT KERJA

Pasal 5
(1) Di setiap tempat kerja harus dilengkapi dengan sarana untuk keperluan keluar
masuk dengan aman.
(2) Tempat-tempat kerja, tangga-tangga, lorong-lorong dan gang-gang tempat
orang bekerja atau sering dilalui, harus dilengkapi dengan penerangan yang
cukup sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Semua tempat kerja harus mempunyai ventilasi yang cukup sehingga dapat
mengurangi bahaya debu, uap dan bahaya lainnya.

Pasal 6
Kebersihan dan kerapihan ditempat kerja harus dijaga sehingga bahan-bahan yang
berserakan, bahan-bahan bangunan, peralatan dan alat-alat kerja tidak merintangi
atau menimbulkan kecelakaan.

Pasal 7
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin bahwa peralatan perancah,
alat-alat kerja, bahan-bahan lainya tidak dilemparkan, diluncurkan atau dijatuhkan ke
bawah dari tempat yang tinggi sehingga dapat menyebabkan kecelakaan.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 3
Pasal 8
Semua peralatan sisi-sisi lantai yang terbuka, lubang-lubang di lantai yang terbuka,
atap-atap atau panggung yang dapat dimasuki, sisi-sisi tangga yang terbuka, semua
galian-galian dan lubang-lubang yang dianggap berbahaya harus diberi pagar atau
tutup pengaman yang kuat.

Pasal 9
Kebisingan dan getaran tempat kerja tidak boleh melebihi ketentuan Nilai Ambang
Batas yang berlaku.

Pasal 10
Orang yang tidak berkepentingan, dilarang memasuki tempat kerja.

Pasal 11
Tindakan harus dilakukan untuk mencegah bahaya terhadap orang yang disebabkan
oleh runtuhnya bagianyang lemah dari bangunan darurat atau bangunan yang tidak
stabil.

BAB III
TENTANG PERANCAH

Pasal 12
Perancah yang sesuai dan aman harus disediakan untuk semua pekerjaan yang tidak
dapat dilakukan dengan aman seseorang yang berdiri di atas konstruksi yang kuat
dan permanen, kecuali apabila perkerjaan tersebut dapat dilakukan dengan aman
dengan mempergunakan tangga.

Pasal 13
(1) Perancah harus diberi lantai papan yang kuat dan rapat sehingga dapat
menahan dengan aman tenaga kerja, peralatan dan bahan yang dipergunakan.
(2) Lantai perancah harus diberi pagar pengaman, apabila tingginya lebih dari 2
meter.

Pasal 14
Jalan-jalan sempit, jalan-jalan landasan (runway) harus dari bahan dan konstruksi
yang kuat, tidak rusak dan aman untuk pemakaiannya.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 4
Pasal 15
(1) Perancah tiang kayu yang terdiri dari sejumlah tiang kayu dan bagian atasnya
dipasang gelagar sebagai tempat untuk meletakan papan-papan perancah harus
di beri palang pada semua sisinya.
(2) Untuk perancah tiang kayu harus digunakan kayu lurus yang baik.

Pasal 16
(1) Perancah gantung harus terdiri dari angker pengaman, kabel-kabel baja
penggantung yang kuat san sangkar gantung dengan lantai papan yang
dilengkapi pagar pengaman.
(2) Keamanan perancah gantung harus diuji tiap hari sebelum digunakan.
(3) Perancah ganung yang digerakan dengan mesin harus menggunakan kabel
baja.

Pasal 17
Perancah tupang sudut (outrigger cantilever) atau perancah tupang siku (jib scaffold),
hanya boleh digunakan oleh tukang kayu, tukang cat, tukang listrik, dan tukang-
tukang lainya yang sejenis, dan dilarang menggunakan panggung perancah tersebut
untuk keperluan menetapkan sejumlah bahan-bahan.

Pasal 18
(1) Tangga yang digunakan sebagai kaki perancah harus dengan konstruksi yang
kuat dan dengan letak yang sempurna. Perancah tangga hanya boleh
digunakan untuk pekerjaan ringan.
(2) Dilarang menggunakan perancah jenis dongkrak tangga (ledder jack) untuk
pekerjaan pada permukaan waktu pendek.
(3) Perancah kuda-kuda hanya boleh digunakan sewaktu bekerja pada permukaan
rendah dan jangka waktu yang tinggi.
(4) Perancah siku dengan penunjang (bracket scaffold) harus dijangkarkan ke dalam
dinding dan diperhitungkan untuk dapat menahan muatan maksimum pada
sisi luar perancah peralatan.
(5) Perancah persegi (square scaffold) harus dibuat secara teliti untuk menjamin
kestabilan perancah tersebut.

Pasal 19
Perancah tupang jendela hanya boleh digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan ringan
dengan jangka waktu pendek dan hanya untuk melalui jendela terbuka dimana
perancah jenis tersebut ditempatkan.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 5
Pasal 20
Tindakan pencegahan harus dilakukan agar dapat dihindarkan pembebanan lebih
terhadap lantai perancah yang digunakan untuk truck membuang sampah.

Pasal 21
Perancah pada pipa logam harus terdiri dari kaki, gelagar palang dan pipa
penghubung dengan ikatan yang kuat, dan pemasngan pipa-pipa tersebut harus kuat
dan dilindungi terhadap karat dan cacat-cacat lainnya.

Pasal 22
Perancah beroda yang dapat dipindah-pindahkan (mobile scaffold) harus dibuat
sedemikian rupa sehingga perancah tidak memutar waktu dipakai.

Pasal 23
Perancah kursi gantung dan alat-alat sejenisnya hanya digunakan sebagai perancah
dalam hal pengecualian yaitu apabila pekerjaan tidak dapat dilakukan secara aman
dengan menggunakan alat-alat lainnya.

Pasal 24
Truck dengan perancah bak (serial basket truck) harus dibuat dan digunakan
sedemikian rupa sehingga tetap stabil dalam semua kedudukan dan semua gerakan.

BAB IV
TENTANG TANGGA RUMAH

Pasal 25
(1) Tangga harus terdiri dari 2 kaki tangga dan sejumlah anak tangga yang
dipasang pada kedua kaki tangga dengan kuat.
(2) Tangga harus dibuat, dipelihara dan digunakan sebaik-baiknya sehingga dapat
menjamin keselamatan tenaga kerja.

Pasal 26
(1) Tangga yang dapat dipindah-pindahkan (por-table stepledders) dan tangga
muda-kuda yang dapat dipindah-pindahkan, panjangnya tidak boleh lebih dari
6 meter dan pengembangan antar kaki depan dan kaki belakang diperkuat
dengan pengaman.
(2) Tangga bersambung dan tangga mekanik, panjangnya tidak boleh lebih dari 15
meter.
_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA
MTK1-1980.PDF 6
(3) Tangga tetap harus terbuat dari bahan yang tahan terhadap cuaca dan kondisi
lainya, yang panjangnya tidak boleh dari 9 meter.

Pasal 27
Tangga rumah harus sedemikian rupa hingga dapat menahan dengan aman beban
yang harus dibawa melalui tangga tersebut, dan harus cukup lebar untuk pemakaian
secara aman.

BAB V
TENTANG ALAT-ALAT ANGKAT

Pasal 28
Alat-alat angkat harus direncanakan dipasang, dilayani dan dipelihara sedemikian
rupa sehingga terjamin keselamatan dalam pemakaiannya.

Pasal 29
Poros penggerak, mesin-mesin, kabel-kabel baja dan peralatan dari semua alat-alat
angkat harus direncanakan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kecelakaan karena
terjepit, muatan lebih kerusakan mesin atau putusnya kabel baja pengangkat.

Pasal 30
(1) Setiap kran angkat harus dibuat dan diperlihara sedemikian rupa sehingga
setelah diperhitungkan besarnya, pengaruhnya, kondisinya, ragamnya muatan
dan kekuatan, perimbangan dari setiap bagian peralatan bantu yang terpasang,
maka tegangan maksimum yang terjadi harus lebih kecil dari tegangan
maksimum yang diijinkan dan harus ada keseimbangan sehingga dapat
berfungsi tanpa melalui batas-batas pemuaian, pelenturan, getaran, puntiran
dan tanpa terjadi kerusakan sebelum batas waktunya.
(2) Setiap kran angkat yang taidak direncanakan untuk mengangkut muatan kerja
maksimum yang diijinkan pada semua posisi yang dapat dicapai, harus
mempunyai petunjuk radius muatan dan petunjuk tersebut harus dipelihara
agar selalu bekerja dengan baik.
(3) Derek (derricks) harus direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga
terjamin kestabilannya waktu bekerja.
(4) Kaki rangka yang berbentuk harus dari bahan yang memenuhi syarat dan
dibangun sedemikian rupa sehingga terjamin keamanannya waktu
mengangkatnya beban maksimum.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 7
Pasal 31
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk melarang orang memasuki daerah
lintas keran jalan (travelling crane) untuk menghindarkan kecelakaan karena
terhimpit.

Pasal 32
Pesawat-pesawat angkat monoril harus dilengkapi sakelar pembatas untuk menjamin
agar perjalanan naik dari peralatan angkat (lifting device) harus berhenti dijarak yang
aman pada posisi atas.

Pasal 33
Tiang derek (gin pales) harus dari bahan yang kuat dan harus dijangkarkan dan
diperkuat dengan kabel.

Pasal 34
Semua bagian-bagian dari kerekan (winches) harus direncanakan dan dibuat dapat
menahan tekanan beban maksimum dengan aman dan tidak merusak kabel atau
tambang.

Pasal 35
(1) Penggunaan dongkrak harus pada posisi yang aman sehingga tidak memutar
atau pindah tempat.
(2) Dongkrak harus dilengkapi dengan peralatan yang efektif untuk mencegah
agar tidak melebihi posisi maksimum (over travel).

BAB VI
TENTANG KABEL, BAJA, TAMBANG, RANTAI DAN
PERALATAN BANTU

Pasal 36
(1) Semua tambang, rantai dan peralatan bantunya yang digunakan untuk
mengangkat, menurunkan atau menggantungkan harus terbuat dari bahan
yang baik dan kuat dan harus diperiksa dan di uji secara berkala untuk
menjamin bahwa tambang ranatai dan peralatan bantu kuat untuk menahan
beban maksimum yang diijinkan dengan faktor keamanan yang mencukupi.
(2) Kabel baja digunakan dan dirawat sedemikian rupa sehingga tidak cacat karena
membelit, berkarat, kawat putus dan cacat lainnya.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 8
Pasal 37
Bantalan yang sesuai harus digunakan untuk mencegah agar tambang tidak
menyentuh permukaan, pinggir atau sudut yang tajam atau sentuhan lainya yang
dapat mengakibatkan rusaknya tambang tersebut.

Pasal 38
(1) Rantai-rantai dibersihkan dan harus dilakukan pemeriksaan berkala, untuk
mengetahui adanya cacat, rengat atau cacat-cacat lainnya.
(2) Rantai-rantai yang cacat dilarang untuk dipergunakan.

Pasal 39
(1) Beban maksimum yang diijinkan harus dilengkapi apabila (sling) digunakan
pada bermacam-macam sudut.
(2) Pengurangan tersebut ayat (1) diatas harus dihitung kekuatanya dan beban
maksimum yang diijinkan yang telah dihitung harus diketahui betul oleh
tenaga kerja.

Pasal 40
Blok ekara (pully block) harus direncanakan dibuat dan dipelihara dengan baik
sehingga tegangannya sekecil mungkin dan tidak merusak kabel atau tambang.

Pasal 41
Kaitan (hooks) dan Pengunci (scackles) harus dibuat sedemikian rupa sehigga beban
tidak lepas.

BAB VII
TENTANG MESIN-MESIN

Pasal 42
(1) Mesin-mesin yang digunakan harus dipasang dan dilengkapi dengan alat
pengaman untuk menjamin keselamatan kerja.
(2) Alat-alat pengaman tersebut ayat (1) diatas harus terpasang sewaktu mesin
dijalankan.

Pasal 43
(1) Mesin harus dihentikan untuk pemeriksaan dan perbaikan pada tenggang
waktu yang sesuai dengan petunjuk pabriknya.
_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA
MTK1-1980.PDF 9
(2) Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghindarkan terjadinya
kecelakaan karena mesin bergerak secara tiba-tiba.

Pasal 44
Operator mesin harus terlatih untuk pekerjaannya dan harus mengetahui peraturan
keselamatan kerja untuk mesin tersebut.

BAB VII
TENTANG PERALATAN KONSTRUKSI BANGUNAN

Pasal 45
(1) Alat-alat penggalian tanah yang digunakan harus dipelihara dengan baik
sehingga terjamin keselamatan dan kesehatan dalam pemakaiannya.
(2) Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin kestabilan mesin
penggali tanah (power shevel) dan harus diusahakan agar orang yang tidak
berkepentingan dilarang masuk ketempat kerja yang terdapat bahaya kejatuhan
benda.

Pasal 46
Sebelum meniggalkan bulldozer atau scraper, operator harus melakukan tindakan
pencegahan yang perlu untuk menjamin agar mesin-mesin tersebut tidak bergerak.

Pasal 47
Perlengkapan instansi pengolahan aspal harus direncanakan, dibuat dan dilengkapi
dengan alat-alat pengaman dan dijalankan serta diperlihara dengan baik untuk
menjamin agar tidak ada orang, yang mendapat kecelakaan oleh bahan-bahan panas,
api terbuka, uap dan debu yang berbahaya.

Pasal 48
(1) Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin agar kestabilan tanah
tidak membahayakan sewaktu mesin penggiling jalan digunakan.
(2) Sebelum meninggalkan mesin penggiling jalan operator harus melakukan
segala tindakan untuk menjamin agar mesin penggiling jalan tersebut tidak
bergerak atau pindah tempat.

Pasal 49
Mesin adukan beton (concrete mixer) yang digunakan harus dilengkapi dengan alat-
alat pengaman dan dijalankan serta dipelihara untuk menjamin agar tidak ada orang
_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA
MTK1-1980.PDF 10
yang mendapat kecelakaan disebabkan bagian-bagian yang berputar atau bergerak
atau boleh karena kejatuhan bahan-bahan.

Pasal 50
Mesin pemuat (loading machines) harus dilengkapi dengan kap (cab) yang kuat dan
dilengkapi dengan alat pengaman sehingga tenaga kerja tidak tergencet oleh bagian-
bagian mesin yang bergerak.

Pasal 51
Mesin-mesin pekerjaan kayu yang digunakan harus dipelihara dengan baik sehingga
terjamin keselamatan dan kesehatan dalam pemakaiannya.

Pasal 52
(1) Gergaji bundar dilengkapi dengan alat-alat untuk mencegah bahaya singung
dengan mata gergaji dan alat pencegah tendangan belakang, terkena serpihan
yang bertegangan atau mata gergaji yang patah.
(2) Tindakan pencegahan harus dilakukan agar daun gergaji bundar tidak terjepit
atau mendapat tekanan dari samping.

Pasal 53
(1) Daun gergaji pita harus dengan tegangan, dudukan dan ketajaman yang
memenuhi syarat dan harus tertutup kecuali bukan yang perlu untuk
menggergaji.

Pasal 54
Mesin ketam harus dilengkapi dengan peralatan yang baik untuk mengurangi bidang
bukan serut yang membahayakan dan untuk mengurangi bahaya tendangan
belakang.

Pasal 55
(1) Alat-alat kerja tangan harus dari mutu yang cukup baik dan harus dijaga
supaya selalu dalam keadaan baik.
(2) Penyimpanan dan pengangkutan alat-alat tajam dilakukan sedemikian rupa
sehingga tidak membahayakan.
(3) Perencanaan dan pembuatan alat-alat kerja harus cocok untuk keperluannya
dan tidak menyebabkan terjadinya kecelakaan.
(4) Alat-alat kerja tangan boleh digunakan khusus untuk keperluannya yang telah
direncanakan.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 11
Pasal 56
Secara bagian-bagian alat-alat peneumatik termasuk selang-selang dan selang
sambungan harus direncanakan untuk dapat menahan dengan aman tekanan kerja
maksimum dan harus dilayani dengan hati-hati sehingga tidak merusak atau
menimbulkan kecelakaan.

Pasal 57
(1) Alat pendek paku (pawder acutuated tools) harus dilengkapi dengan alat
pengaman untuk melindungi atau menahan pantulan kembali dari paku dan
benda-benda yang ditembakkan oleh alat tersebut.
(2) Untuk keperluan alat tersebut ayat (1) diatas harus dipergunakan patrum
(cartridge) dan paku tembak (projectile) yang cocok.
(3) Operator yang menggunakan alat tersebut ayat (1) harus berumur paling sedikit
18 tahun dan terlatih.
(4) Penyimpanan dan pengangkutan alat penembak paku dan patrum harus
sedemikian rupa untuk mencegah kecelakaan.

Pasal 58
(1) Traktor dan truck yang digunakan harus dipelihara sedemikian rupa untuk
menjamin agar dapat menahan tekanan dan muatan maksimum yang diijinkan
dan dapat dikemudikan serta direm dengan aman dalam situasi bagaimanapun
juga.
(2) Traktor dan truck tersebut ayat (1) pasal ini hanya boleh dijalankan oleh
pengemudi yang terlatih.

Pasal 59
Truck lif (lift truck) yang digunakan harus dijalankan sedemikian rupa untuk
menjamin kestabilan.

BAB IX
TENTANG KONSTRUKSI DIBAWAH TANAH

Pasal 60
Setiap tenaga kerja dilarang memasuki konstruksi bangunan dibawah ini tanah
kecuali tempat kerja telah diperiksa dan bebas dari bahaya-bahaya kejatuhan benda,
peledakan, uap, debu, gas atau radiasi yang berbahaya.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 12
Pasal 61
(1) Apabila bekerja dalam terowongan, usaha pencegahan harus dilakukan untuk
menghindarkan jatuhnya orang atau bahan atau kecelakaan lainnya.
(2) Terowongan harus cukup penerangan dan dilengkapi dengan jalur keluar yang
aman direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga dalam keadaan
darurat terowongan harus segera dapat dikosongkan.

Pasal 62
Apabila terdapat kemungkinan bahaya runtuhnya batu atau tanah dari sisi
konstruksi bangunan dibawah tanah, maka konstruksi tersebut harus segera
diperkuat.

Pasal 63
Untuk mencegah bahaya kecelakaan, penyakit akibat kerja maupun keadaan yang
tidak nyaman, konstruksi dibawah tanah harus dilengkapi dengan ventilasi buatan
yang cukup.

Pasal 64
(1) Pada konstruksi bangunan dibawah tanah harus disediakan sarana
penanggulangan bahaya kebakaran.
(2) Untuk keperluan ketentuan ayat (1) di atas harus disediakan alat pemberantas
kebakaran.

Pasal 65
(1) Di tempat kerja atau di tempat yang selalu harus disediakan penerangan yang
cukup sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Penerangan darurat harus disediakan ditempat-tempat tersebut ayat (1) diatas
tenaga kerja dapat menyelamatkan diri dalam keadaan darurat.

Pasal 66
(1) Tenaga kerja yang mengebor tanah harus dilindungi dari bahaya kejatuhan
benda-benda, bahaya debu, uap, gas, bebisingan dan getaran.
(2) Tenaga kerja dilarang masuk ketempat dimana kadar debunya melebihi
ketentuan nilai ambangbatas yang berlaku, kecuali mereka memakai respirator.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 13
BAB X
TENTANG PENGGALIAN

Pasal 67
(1) Setiap pekerjaan, harus dilakukan sedemikian rupa sehigga terjamin tidak
adanya bahaya terhadap setiap orang yang disebabkan oleh kejatuhan tanah,
batu atau bahan-bahan lainnya yang terdapat di pinggir atau di dekat pekerjaan
galian.
(2) Pinggir-pinggir dan dinding-dinding pekerjaan galian harus diberi pengaman
dan penunjang yang kuat untuk menjamin keselamatan orang yang bekerja
didalam lubang atau parit.
(3) Setiap tenaga kerja yang bekerja dalam galian harus dijamin pula
keselamatannya dari bahaya lain selain tersebut ayat (1) dan (2) diatas.

BAB XI
TENTANG PEKERJAAN MEMANCANG

Pasal 68
(1) Mesin pancang yang digunakan harus dipasang dan dirawat dengan baik
sehingga terjamin keselamatan dalam pemakaiannya.
(2) Mesin pancang dan peralatan yang dipakai harus diperiksa dengan teliti secara
berkala dan tidak boleh digunakan kecuali sudah terjamin keamanannya.

Pasal 69
Tenaga kerja yang tidak bertugas menjalankan mesin pancang dilarang berada
disekitar mesin pancang yang sedang dijalankan.

Pasal 70
Mesin pancang jenis terapung (floating pile drivers) yang digunakan harus dilengkapi
pengaman dan dijalankan sedemikian rupa sehingga kestabilan atau tidak tenggelam.

Pasal 71
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghidarkan agar supaya pelat
penahan (sheet piling) tidak berayunan atau berputar yang tidak terkendalikan oleh
tekanan angin, roboh oleh tekanan air atau tekanan lainnya.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 14
BAB XII
TENTANG PEKERJAAN BETON

Pasal 72
Pembangunan konstruksi beton harus direncanakan dan dihitung dengan teliti untuk
menjamin agar konstruksi dan penguatnya dapat memikul beban dan tekanan
lainnya sewaktu membangun tiap-tiap bagiannya.

Pasal 73
(1) Usaha pencegahan yang praktis harus dilakukan untuk menghidarkan
terjadinya kecelakaan tenaga kerja selama melakukan pekerjaan persiapan, dan
pembangunan konstruksi beton.
(2) Pencegahan kecelakaan dimaksud ayat (1) pasal ini terutama adalah:
a. Singgung langsung kulit terhadap semen dan dapur.
b. Kejatuhan benda-benda dan bahan-bahan yang diangkut dengan ember
adukan beton (concrete buckets).
c. Sewaktu beton dipompa atau dicor pipa-pipa termasuk penghubung atau
sambungan dan penguat harus kuat.
d. Sewaktu pembekuan adukan (setting concrete) harus terhindar dari
goncangan dan bahan kimia yang dapat mengurangi kekuatan.
e. Sewaktu lempengan (panel) atau lembaran beton (slab) dipasang
kedalaman kedudukannya harus digerakan dengan hati-hati.
f. Terhadap melucutnya ujung besi beton yang mencuat sewaktu ditekan
atau diregang dan sewaktu diangkat atau diangkut.
g. Terhadap getaran sewaktu menjalankan alat penggetar (vibrator).

Pasal 74
Setiap ujung-ujung mencuat yang membahayakan harus dilengkungan atau
dilindungi.

Pasal 75
Menara atau tiang yang dipergunakan untuk mengangkat adukan beton (concrete
bucket towers) harus dibangun dan diperkuat sedemikian rupa sehingga terjamin
kestabilannya.

Pasal 76
Beton harus dikerjakan dengan hati-hati untuk menjamin agar pemetian beton
(bekisting) dan penguatnya dapat memikul atau menahan seluruh beban sampai beton
menjadi beku.
_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA
MTK1-1980.PDF 15
BAB XIII
TENTANG PEKERJAAN LAINNYA

Pasal 77
Bagian-bagian yang siap dipasang (prefabricated part) harus direncanakan dan dibuat
dengan baik sehingga dapat diangkat dan dipasang aman.

Pasal 78
(1) Bagian-bagian konstruksi baja sedapat mungkin harus ditarik sebelum
dipasang.
(2) Selama pekerjaan pembangunan konstruksi baja, harus dilakukan tindakan
pencegahan bahaya jatuh atau kejatuhan benda terhadap tenaga kerja.

Pasal 79
Bagian atas dari lantai sumuran harus tertutur papan atau harus dilengkapi dengan
peralatan lain untuk melindungi tenaga kerja terhadap kejatuhan benda.

Pasal 80
Pemasangan rangka atap harus dilakukan perancah atau tenaga kerja harus
dilengkapi dengan pengaman lainya.

Pasal 81
Untuk melindungi tenaga kerja sewaktu melakukan pekerjaan konstruksi, harus
dibuatkan lantai kerja sementara yang kuat.

Pasal 82
Alat pemanas yang digunakan untuk memanaskan aspal harus direncanakan, dibuat
dan digunakan sedemikian rupa hingga dapat mencegah kebakaran dan tenaga kerja
tidak tersiram bahan panas.

Pasal 83
(1) Tenaga kerja harus dilindungi terhadap bahaya singgungan langsung kulit dan
bahaya-bahaya singgung lainnya terhadap bahan pengawet kayu.
(2) Kayu yang telah diawetkan dilarang dibakar ditempat kerja.

Pasal 84
Apabila bahan-bahan yang mudah terbakar digunakan untuk keperluan lantai
permukaan dinding dan pekerjaan-pekerjaan lainya, harus dilakukan tindakan
_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA
MTK1-1980.PDF 16
pencegahan untuk menghidarkan adanya api terbuka, bunga api dan sumber-sumber
api lainnya yang dapat menyulut uap yang mudah terbakar yang timbul ditempat
kerja atau daerah sekitarnya.

Pasal 85
(1) Asbes hanya boleh digunakan apabila bahan lainya yang kurang berbahaya
tidak tersedia.
(2) Apabila asbses digunakan, maka tindakan pencegahan harus dilakukan agar
tenaga kerja tidak menghirup serta asbes.

Pasal 86
Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan diatas atap harus dilengkapi dengan alat
pelindungan diri yang sesuai dengan untuk menjamin tidak jatuh dari atap atau dari
bagian-bagian atap yang rapuh.

Pasal 87
(1) Dalam pekerjaan mengecat dilarang menggunakan bahan cat, pernis dan zat
warna yang berbahaya, atau pelarut yang berbahaya.
(2) Tindakan pencegahan harus dilakukan agar tukang cat tidak menghirup uap,
gas asap dan debu yang berbahaya.
(3) Apabila digunakan bahan cat yang mengandung zat yang dapat meresap
kedalaman kulit, tukang cat harus menggunakan alat pelindung diri.

Pasal 88
(1) Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghidarkan timbulnya
kebakaran sewaktu mengelas dan memotong dengan las busur.
(2) Juru las dan tenaga kerja yang berada disekitarnya harus dilindungi terhadap
serpihan bunga api, uap radiasi dan sinar berbahaya lainnya.
(3) Penggunaan dan pemeliharaan peralatan las dilakukan dngan baik untuk
menjamin keselamatan dan kesehatan juru las dan tenaga kerja yang berada
disekitarnya.

Pasal 89
(1) Untuk menjamin keselamatan dalam pekerjaan peledakan (blasting) harus
dilakukan tindakan pencegahan kecelakaan.
(2) Tindakan pencegahan dimaksud ayat (1) pasal ini terutama adalah:
a. Sewaktu peledakan dilakukan sedapat mungkin jumlah orang yang
berada disekitarnya hanya sedikit dan cuaca serta kondisi lainnya tidak
berbahaya.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 17
b. Lubang peledakan harus dibor dan isi bahan peledak secara tiba-tiba
waktu pengisian.
c. Peledakan harus dilakukan dengan segera setelah pengisian dan
peledakan tersebut harus dilakukan sedemikian rupa untuk mencegah
salah satu peledakan atau terjadinya peledakan-peledakan sebagian.
d. Sumbu-sumbu dari mutu yang baik dan dipergunakan sedemikian rupa
untuk menjamin peledakan dengan aman.
e. Menghindarkan peledakan mendadak jika peledakan dilakukan dengan
tenaga listrik.
f. Tenaga kerja dilarang memasuki daerah peledakan sesudah terjadinya
peledakan kecuali apabila telah diperiksa dan dinyatakan aman.

Pasal 90
Untukmenjamin kesehatan tenaga kerja mengolah batu agar tidak menghisap debu
silikat, harus dilakukan tindakan pencegahan.

BAB XIV
TENTANG PEMBONGKARAN

Pasal 91
(1) Rencana pekerjaan pengangkutan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum
pekerjaan pembongkaran dimulai.
(2) Semua instalasi, listrik, gas, air, dan uap harus dimatikan, kecuali apabila
diperlukan sepanjang tidak membahayakan.

Pasal 92
(1) Semua bagian-bagian kaca, bagian-bagian yang lepas, bagian-bagian yang
mencuat harus disingkirkan sebelum pekerjaan pembongkaran dimulai.
(2) Pekerjaan pembongkaran harus dilakukan tingkat demi tingkat dimulai dari
atap dan seterusnya.
(3) Tindakan-tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menghindarkan bahaya
rubuhnya bangunan.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 18
Pasal 93
(1) Alat mekanik untuk pembongkaran harus direncanakan, dibuat dan digunakan
sedemikian rupa sehingga terjamin keselamatan operatornya.
(2) Sewaktu alat mekanik untuk pembongkaran digunakan, terlebih dahulu harus
ditetapkan daerah berbahaya dimana tenaga kerja dilarang berada.

Pasal 94
Dalam hal tenaga kerja atau orang lain mungkin tertimpa bahaya yang disebabkan
oleh kejatuhan bahan atau benda dari tempat kerja yang lebih tinggi, harus
dilengkapi dengan penadah yang kuat atau daerah berbahaya tersebut harus dipagar.

Pasal 95
(1) Dinding-dinding tidak boleh dirubuhkan kecuali dapat menahan yang
diakibatkan oleh runtuhnya dinding tersebut.
(2) Tenaga kerja harus dilindungi terhadap debu dan pecahan-pecahan yang
dihamburkan.

Pasal 96
(1) Apabila tenaga kerja sedang membongkar lantai harus tersedia papan yang
kuat yang ditumpu tersendiri bebas dari lantai sedang dibongkar.
(2) Tenagakerja dilarang melakukan pekerjaan didaerah bawah lantai yang sedang
dibongkar dan daerah tersebut dipagar.

Pasal 97
Konstruksi baja harus dibongkar bagian demi bagian sedemikian rupa sehingga
terjamin kestabilan konstruksi tersebut agar tidak membahayakan sewaktu dilepas.

Pasal 98
Tindakan pencegahan harus dilakukan untuk menjamin agar tenaga kerja dan orang
lain tidak kejatuhan bahan-bahan atau benda dari atas sewaktu cerobong-cerobong
yang tinggi dirubuhkan.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 19
BAB XV
TENTANG PENGGUNAAN PERLENGKAPAN
PENYELAMATAN DAN PERLINDUNGANDIRI

Pasal 99
(1) Alat-alat penyelamat dan pelindung diri yang jenisnya disesuaikan dengan sifat
pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing tenaga kerja harus disediakan
dalam jumlah yang cukup.
(2) Alat-alat termaksud pada ayat (1) pasal ini harus selalu memenuhi syarat-syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang telah ditentukan.
(3) Alat-alat tersebut (1) pasa ini harus digunakan sesuai dengan kegunaanya oleh
setiap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja.
(4) Tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja diwajibkan
menggunakan alat-alat termaksud pada ayat (1) pasal ini.

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 100
Setiap pekerjaan konstruksi bangunan yang sedang direncanakan atau sedang
dilaksanakan wajib diadakan penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.

BAB XVII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 101
Terhadap pengertian istilah-istilah “cukup”, sesuai”, baik”, aman”, tertentu”, sejauh”,
sedemikian rupa”, yang terdapat dalam Peraturan Menteri ini harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ditentukan oleh Direktur atau
pajabat yang ditunjukan.

Pasal 102
Pengurus wajib melaksanakan untuk ditaatinya semua ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini.

_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA


MTK1-1980.PDF 20
BAB XVIII
KETENTUAN HUKUMAN

Pasal 103
(1) Dipidana selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah), pengurus yang melakukan pelanggaran atas
ketentuan pasal 102.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini adalah
pelanggaran.
(3) Menteri dapat meminta Menteri yang membawahi bidang usaha konstruksi
bangunan guna mengambil sangsi administratif terhadap tidak dipenuhinya
ketentuan atau ketentuan-ketentuan Menteri ini.

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 104
Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselataman Kerja melakukan
pengawasan terhadap ditaatinya Pelaksanaan peraturan ini.

Pasal 105
(1) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Menteri ini akan diatur lebih
lanjut.
(2) Hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini
akan ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur.

Pasal 106
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di: Jakarta


Pada tanggal: 6 Maret 1980
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

ttd

Harun Zain
_______________________________________________________________________________________________________________________PT. ERM INDONESIA
MTK1-1980.PDF 21
KEP.174/MEN/1986
104/KPTS/1986

KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI TENAGA KERJA DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
NOMOR : KEP. 174/MEN/1986
NOMOR: 104/KPTS/1986

TENTANG
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PADA TEMPAT KEGIATAN KONSTRUKSI

MENTERI TENAGA KERJA DAN MENTERI PEKERJAAN UMUM

Menimbang : a. bahwa pekerjaan konstruksi merupakan kompleksitas kerja yang


melibatkan bahan bangunan, peralatan, penerapan teknologi. dan
tenaga kerja, dapat merupakan sumber terjadinya kecelakaan kerja;
b. bahwa tenaga kerja dibidang kegiatan konstruksi selaku sumber daya
yang dibutuhkan bagi kelanjutan pembangunan, perlu memperoleh
perlindungan keselamatan kerja, khususnya terhadap ancaman
kecelakaan kerja;
c. bahwa untuk itu perlu penerapan norma-norma keselamatan dan
kesehatan kerja pada tempat kegiatan konstruksi secara sungguh-
sungguh;
d. bahwa untuk itu perlu menetapkan Keputusan Bersama Menteri
Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;


2. Government Besluit Nomor 9 Tahun 1941 tentang Syarat-syarat
Umum untuk Pelaksanaan Bangunan Umum yang dilelangkan;
3. Keputusan Presiden Nomor 45/M Tahun 1983 tentang Pembentukan
Kabinet Pembangunan IV;
4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 yo. Keputusan Presiden
Nomor 15 Tahun 1964 tentang Susunan Organisasi Departemen-
Departemen;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER. 01/Men/1980 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruks Bangunan.

1 dari 3
KEP.174/MEN/1986
104/KPTS/1986

MEMUTUSKAN
Menetapkan : Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan
Umum tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Ke-
giatan Konstruksi.

Pasal 1
Sebagai persyaratan teknis pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmi-
grasi Nomor PER. 01/Men/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Konstruksi Bangunan, maka ditetapkan sebagai petunjuk umum berlakunya Buku
Pedoman Pelaksanaan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi, yang selanjutnya disebut Buku Pedoman dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan pada kegiatan Bersama ini.

Pasal 2
Setiap Pengurus Kontraktor, Pemimpin Pelaksanaan Pekerjaan atau Bagian Pekerjaan
dalam pelaksanaan kegiatan konstruksi, wajib memenuhi syarat-syarat Keselamatan dan
Kesehatan Kerja seperti ditetapkan dalam Buku Pedoman tersebut pasal 1

Pasal 3
Menteri Pekerjaan Umum berwenang memberikan sanksi administrasi terhadap pihak-
pihak yang tersebut pasal 2 dalam hal tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimak-
sudkan dalam Buku Pedoman.

Pasal 4
Hal-hal yang menyangkut pembinaan dalam penerapan Keputusan Bersama ini dilak-
sanakan secara koordinasi oleh Kantor Pusat, Kantor Departemen Tenaga Kerja dan
Departemen Pekerjaan Umum setempat.

Pasal 5
Sebagai pelaksanaan terhadap penerapan pasal 4 Keputusan Bersama ini, maka Menteri
Tenaga Kerja dapat menunjuk Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja bidang Konstruksi

2 dari 3
KEP.174/MEN/1986
104/KPTS/1986

di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum atas usul Menteri Pekerjaan Umum, sesuai
dengan ketentuan pasal 1 ayat (6) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja.

Pasal 6
Pengawasan atas pelaksanaan Keputusan Bersama ini, dilakukan secara fungsional oleh
Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Pekerjaan Umum sesuai ruang lingkup tugas
dan tanggung jawab masing-masing.

Pasal 7
Hal-hal yang belum diatur di dalam Keputusan Bersama ini akan ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pasal 8
Keputusan Bersama ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Maret 1986
MENTERI MENTERI
PEKERJAAN UMUM TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA REPUBLIK INDONESIA

ttd. ttd.

SUYONO SOSRODARSONO SUDOMO

3 dari 3
PER.05/MEN/1996

PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA
NOMOR : PER. 05/MEN/1996

TENTANG
SISTEM MANAJEMEN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

MENTERI TENAGA KERJA


Menimbang : a. bahwa terjadinya kecelakaan di tempat kerja sebagian besar
disebabkan oleh faktor manusia dan sebagian kecil disebabkan oleh
faktor teknis.
b. bahwa untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja
maupun orang lain yang berada di tempat kerja, serta sumber produksi,
proses produksi dan lingkungan kerja dalam keadaan aman, maka perlu
penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
c. bahwa dengan penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja dapat mengantisipasi hambatan teknis dalam era
globalisasi perdagangan;
d. bahwa untuk Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat : 1. Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945


2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
3. Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1918).

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG SISTEM
MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA.

1 dari 42
PER.05/MEN/1996

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut
Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian,
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam
rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya
tempat kerja yang aman, efisien dan produktif;
2. Tempat kerja adalah setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak
atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk
keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya baik
di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada
di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia;
3. Audit adalah pemeriksaan secara sistematik dan independen, untuk menentukan suatu
kegiatan dan hasil-hasil yang berkaitan sesuai dengan pengaturan yang direncanakan,
dan dilaksanakan secara efektif dan cocok untuk mencapai kebijakan dan tujuan
perusahaan;
4. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan
mencari laba atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara;
5. Direktur ialah pejabat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1970;
6. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai teknik berkeahlian khusus dari
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri;
7. Pengusaha adalah:
a. Orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk
keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
b. Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha
bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
c. Orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum
termaksud pada huruf a dan b, jikalau yang diwakili berkedudukan di luar
Indonesia.

2 dari 42
PER.05/MEN/1996

8. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung tempat kerja atau
lapangan yang berdiri sendiri;
9. Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat;
10. Laporan Audit adalah hasil audit yang dilakukan oleh Badan Audit yang berisi fakta
yang ditemukan pada saat pelaksanaan audit di tempat kerja sebagai dasar untuk
menerbitkan serifikat pencapaian kinerja Sistem Manajemen K3;
11. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

BAB II
TUJUAN DAN SASARAN
SISTEM MANAJEMEN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 2
Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan
dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja,
kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi
kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien
dan produktif.

BAB III
PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 3
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau
lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses
atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan,
kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem
Manajemen K3.
(2) Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan
oleh Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan.

3 dari 42
PER.05/MEN/1996

Pasal 4
(1) Dalam penerapan Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam pasal 3,
Perusahaan wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Menetapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dan menjamin komitmen
terhadap penerapan Sistem Manajemen K3;
b. Merencanakan pemenuhan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan keselamatan
dan kesehatan kerja;
c. Menerapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif dengan
mengembangkan kemampuan dan mekanisme pendukung yang diperlukan untuk
mencapai kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja;
d. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja
serta melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
e. Meninjau secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan Sistem Manajemen K3
secara berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja keselamatan dan
kesehatan kerja.
(2) Pedoman penerapan Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud ayat (1)
sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri ini.

BAB IV
AUDIT SISTEM MANAJEMEN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 5
(1) Untuk pembuktian penerapan Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud pasal 4
perusahaan dapat melakukan audit melalui badan audit yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Audit Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi unsur-
unsur sebagai berikut:
a. Pembangunan dan pemeliharaan komitmen;
b. Strategi pendokumentasian;
c. Peninjauan ulang desain dan kontrak;
d. Pengendalian dokumen;
e. Pembelian;
f. Keamanan bekerja berdasarkan Sistem Manajemen K3;
g. Standar Pemantauan;
h. Pelaporan dan perbaikan kekurangan;

4 dari 42
PER.05/MEN/1996

i. Pengelolaan material dan pemindahannya;


j. Pengumpulan dan penggunaan data;
k. Pemeriksaan sistem manajemen;
l. Pengembangan keterampilan dan kemampuan;
(3) Perubahan atau penambahan sesuai perkembangan unsur-unsur sebagaimana
dimaksud ayat (2) diatur oleh Menteri.
(4) Pedoman teknis audit sistem manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Menteri ini.

BAB V
KEWENANGAN DIREKTUR
Pasal 6
Direktur berwenang menetapkan perusahaan yang dinilai wajib untuk diaudit ber-
dasarkan pertimbangan tingkat risiko bahaya.

BAB VI
MEKANISME PELAKSANAAN AUDIT
Pasal 7
(1) Audit Sitem Manajemen K3 dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali dalam tiga
tahun.
(2) Untuk pelaksanaan audit, Badan Audit harus:
a. membuat rencana tahunan audit;
b. menyampaikan rencana tahunan audit kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk,
pengurus tempat kerja yang akan diaudit dan Kantor Wilayah Departemen Tenaga
Kerja setempat;
c. Mengadakan koordinasi dengan Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja
setempat;
(3) Pengurus tempat kerja yang akan diaudit wajib menyediakan dokumen-dokumen yang
diperlukan untuk pelaksanaan audit sistem manajemen K3.

Pasal 8
(1) Badan Audit wajib menyampaikan laporan audit lengkap kepada Direktur dengan
tembusan yang disampaikan kepada pengurus tempat kerja yang diaudit.

5 dari 42
PER.05/MEN/1996

(2) Laporan audit lengkap sebagaimana dimaksud ayat (1) menggunakan formulir
sebagaimana tercantum dalam lampiran III Peraturan Menteri ini.
(3) Setelah menerima laporan Audit Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud ayat
(2), Direktur melakukan evaluasi dan penilaian.
(4) Berdasarkan hasil evaluasi dan penilaian tersebut pada ayat (3) Direktur melakukan
hal-hal sebagai berikut:
a. Memberikan sertifikat dan bendera penghargaan sesuai dengan tingkat
pencapaiannya; atau
b. Menginstruksikan kepada Pegawai Pengawas untuk mengambil tindakan apabila
berdasarkan hasil audit ditemukan adanya pelanggaran atas peraturan
perundangan.

BAB VII
SERTIFIKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 9
(1) Sertifikat sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (4) huruf a, ditanda tangani oleh
Menteri dan berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.
(2) Jenis sertifikat dan bendera penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebagaimana tercantum dalam lampiran IV Peraturan Menteri ini.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 10
Pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan Sistem Manajemen K3 dilakukan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 11
Biaya pelaksanaan audit Sistem Manajemen K3 dibebankan kepada perusahaan yang
diaudit.

6 dari 42
PER.05/MEN/1996

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 1996

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

Drs. ABDUL LATIEF

7 dari 42
PER.05/MEN/1996

LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA.


Nomor : PER.05/MEN/ 1996.
Tanggal : 12 Desember 1996.

PEDOMAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN


KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

1. KOMITMEN DAN KEBIJAKAN


1.1 Kepemimpinan dan Komitmen
Pengurus harus menunjukkan kepemimpinan dan komitmen terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja dengan menyediakan sumberdaya yang
memadai. Pengusaha dan pengurus perusahaan harus menunjukkan komitmen
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja yang diwujudkan dalam:
a. Menempatkan organisasi keselamatan dan kesehatan kerja pada posisi yang
dapat menentukan keputusan perusahaan.
b. Menyediakan anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-sarana lain
yang diperlukan dibidang keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Menetapkan personel yang mempunyai tanggung jawab, wewenang dan
kewajiban yang jelas dalam penanganan keselamatan dan kesehatan kerja.
d. Perencanaan keselamatan dan kesehatan kerja yang terkoordinasi.
e. Melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja.
Komitmen dan kebijakan tersebut pada butir a sampai dengan e diadakan
peninjauan ulang secara teratur.
Setiap tingkat pimpinan dalam perusahaan harus menunjukkan komitmen terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja sehingga penerapan Sistem Manajemen K3
berhasil diterapkan dan dikembangkan.
Setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada ditempat kerja harus berperan serta
dalam menjaga dan mengendalikan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.

1.2 Tinjauan Awal Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Initial Review)


Peninjauan awal kondisi keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan saat ini
dilakukan dengan:
a. Identifikasi kondisi yang ada dibandingkan dengan ketentuan pedoman ini.
b. Identifikasi sumber bahaya yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan.

8 dari 42
PER.05/MEN/1996

c. Penilaian tingkat pengetahuan, pemenuhan peraturan perundangan dan standar


keselamatan dan kesehatan kerja.
d. Membandingkan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dengan
perusahaan dan sektor lain yang lebih baik.
e. Meninjau sebab dan akibat kejadian yang membahayakan, kompensasi dan
gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang berkaitan dengan keselamatan
dan kesehatan kerja.
f. Menilai efisiensi dan efektifitas sumberdaya yang disediakan.
Hasil peninjauan awal keselamatan dan kesehatan kerja merupakan bahan
masukan dalam perencanaan dan pengembangan Sistem Manajemen K3.

1.3 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pernyataan
tertulis yang ditandatangani oleh pengusaha dan atau pengurus yang memuat
keseluruhan visi dan tujuan perusahaan, komitmen dan tekad melaksanakan
keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja yang mencakup
kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan atau operasional.
Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dibuat melalui proses konsultasi
antara pengurus dan wakil tenaga kerja yang kemudian harus dijelaskan dan
disebarluaskan kepada semua tenaga kerja, pemasok dan pelanggan. Kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja bersifat dinamik dan selalu ditinjau ulang dalam
rangka peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.

2. PERENCANAAN
Perusahaan harus membuat perencanaan yang efektif guna mencapai keberhasilan
penerapan Sistem Manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
Perencanaan harus memuat tujuan, sasaran dan indikator kinerja yang diterapkan
dengan mempertimbangkan identifikasi sumber bahaya penilaian dan pengendalian
risiko sesuai dengan persyaratan perundangan yang berlaku serta hasil pelaksanaan
tinjauan awal terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

9 dari 42
PER.05/MEN/1996

2.1 Perencanaan Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko


Identilikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko dari kegiatan
produk, barang dan jasa harus dipertimbangkan pada saat merumuskan rencana
untuk memenuhi kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk itu harus
ditetapkan dan dipelihara prosedurnya.

2.2 Peraturan Perundangan dan Persyaratan lainnya


Perusahaan harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk
inventarisasi, identifikasi dan pemahaman peraturan perundangan dan persyaratan
lainnya yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan
kegiatan perusahaan yang bersangkutan. Pengurus harus menjelaskan peraturan
perundangan dan persyaratan lainnya kepada setiap tenaga kerja.

2.3 Tujuan dan Sasaran


Tujuan dan sasaran kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja yang
ditetapkan oleh perusahaan sekurang-kurangnya harus memenuhi kualifikasi:
a. Dapat diukur.
b. Satuan / Indikator pengukuran.
c. Sasaran Pencapaian
d. Jangka waktu pencapaian.
Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja
harus dikonsultasikan dengan wakil tenaga kerja, Ahli K3, P2K3 dan pihak-pihak
lain yang terkait. Tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan ditinjau kembali secara
teratur sesuai dengan perkembangan.

2.4 Indikator Kinerja


Dalam menetapkan tujuan dan sasaran kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja perusahaan harus menggunakan indikator kinerja yang dapat
diukur sebagai dasar penilaian kinerja keselamatan dan kesahatan kerja yang
sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian Sistem
Manajemen K3.

10 dari 42
PER.05/MEN/1996

2.5 Perencanaan Awal dan Perencanaan Kegiatan yang Sedang Berlangsung.


Penerapan awal Sistem Manajemen K3 yang berhasil memerlukan rencana
yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan, dan dengan jelas menetapkan
tujuan serta sasaran Sistem Manajemen K3 yang dapat dicapai dengan:
a. Menetapkan sistem pertanggungjawaban dalam pencapaian tujuan dan sasaran
sesuai dengan fungsi dan tingkat manajemen perusahaan yang bersangkutan.
b. Menetapkan sarana dan jangka waktu untuk pencapaian tujuan dan sasaran.

3. PENERAPAN
Dalam mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan harus
menunjuk personel yang mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan sistem yang
diterapkan.

3.1 Jaminan Kemampuan


3.1.1 Sumber Daya Manusia, Sarana dan Dana
Perusahaan harus menyediakan personel yang memiliki kualifikasi,
sarana dan dana yang memadai sesuai Sistem Manajemen K3 yang
diterapkan.
Dalam menyediakan sumber daya tersebut perusahaan harus membuat
prosedur yang dapat memantau manfaat yang akan didapat maupun biaya
yang harus dikeluarkan.
Dalam penerapan Sistem Manajemen K3 yang efektif perlu
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyediakan sumber daya yang memadai sesuai dengan ukuran dan
kebutuhan.
b. Melakukan identifikasi kompetensi kerja yang diperlukan pada setiap
tingkatan manajemen perusahaan dan menyelenggarakan setiap pelatihan
yang dibutuhkan.
c. Membuat ketentuan untuk mengkomunikasikan informasi keselamatan
dan kesehatan kerja secara efektif.
d. Membuat peraturan untuk mendapatkan pendapat dan saran dari para
ahli.
e. Membuat peraturan untuk pelaksanaan konsultasi dan keterlibatan tenaga
kerja secara aktif.

11 dari 42
PER.05/MEN/1996

3.1.2 Integrasi.
Perusahaan dapat mengintegrasikan Sistem Manajemen K3 kedalam
sistem manajemen perusahaan yang ada. Dalam hal pengintegrasian tersebut
terdapat pertentangan dengan tujuan dan prioritas perusahaan, maka:
a. Tujuan dan prioritas Sistem Manajemen K3 harus diutamakan.
b. Penyatuan Sistem Manajemen K3 dengan sistem manajemen perusahaan
dilakukan secara selaras dan seimbang.

3.1.3 Tanggung Jawah dan Tanggung Gugat


Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja akan efektif apabila semua
pihak dalam perusahaan didorong untuk berperan serta dalam penerapan dan
pengembangan Sistem Manajemen K3, serta memiliki budaya perusahaan
yang mendukung dan memberikan kontribusi bagi Sistem Manajemen K3.
Perusahaan harus:
a. Menentukan, menunjuk, mendokumentasikan dan mengkomunikasikan
tanggung jawab dan tanggung gugat keselamatan dan kesehatan kerja
dan wewenang untuk bertindak dan menjelaskan hubungan pelaporan
untuk semua tingkatan manajemen, tenaga kerja, kontraktor dan
subkontraktor dan pengunjung.
b. Mempunyai prosedur untuk memantau dan mengkomunikasikan setiap
perubahan tanggung jawab dan tanggung gugat yang berpengaruh
terhadap sistem dan program keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Dapat memberikan reaksi secara cepat dan tepat terhadap kondisi yang
menyimpang atau kejadian-kejadian lainnya.

Tanggung jawab pengurus terhadap keselamatan dan kesehatan kerja adalah:


a. Pimpinan yang ditunjuk untuk bertanggung jawab harus memastikan
bahwa Sistem Manajemen K3 telah diterapkan dan hasilnya sesuai
dengan yang diharapkan oleh setiap lokasi dan jenis kegiatan dalam
perusahaan.
b. Pengurus harus mengenali kemampuan tenaga kerja sebagai sumber
daya yang berharga yang dapat ditunjuk untuk menerima pendelegasian
wewenang dan tanggung jawab dalam menerapkan dan mengembangkan
Sistem Manajemen K3.

12 dari 42
PER.05/MEN/1996

3.1.4 Konsultasi, Motivasi, dan Kesadaran


Pengurus harus menunjukkan komitmennya terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja melalui konsultasi dan dengan melibatkan tenaga kerja
maupun pihak lain yang terkait didalam penerapan, pengembangan dan
pemeliharaan Sistem Manajemen K3, sehingga semua pihak merasa ikut
memiliki dan merasakan hasilnya.
Tenaga kerja harus memahami serta mendukung tujuan dan sasaran
Sistem Manajemen K3, dan perlu disadarkan terhadap bahaya fisik, kimia,
ergonomik, radiasi, biologis, dan psikologis yang mungkin dapat menciderai
dan melukai tenaga kerja pada saat bekerja serta harus memahami sumber
bahaya tersebut sehingga dapat mengenali dan mencegah tindakan yang
mengarah terjadinya insiden.

3.1.5 Pelatihan dan Kompetensi Kerja


Penerapan dan pengembangan Sistem Manajemen K3 yang efektif
ditentukan oleh kompetensi kerja dan pelatihan dari setiap tenaga kerja di
perusahaan. Pelatihan merupakan salah satu alat penting dalam menjamin
kompetensi kerja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan keselamatan dan
kesehatan kerja.
Prosedur untuk melakukan identifikasi standar kompetensi kerja dan pene-
rapannya melalui program pelatihan harus tersedia.
Standar kompetensi kerja keselamatan dan kesehatan kerja dapat
dikembangkan dengan:
a. Menggunakan standar kompetensi kerja yang ada.
b. Memeriksa uraian tugas dan jabatan.
c. Menganalisis tugas kerja.
d. Menganalisis hasil inspeksi dan audit.
e. Meninjau ulang laporan insiden.
Setelah penilaian kemampuan gambaran kompetensi kerja yang
dibutuhkan dilaksanakan, program pelatihan harus dikembangkan sesuai
dengan hasil penilaiannya. Prosedur pendokumentasian pelatihan yang telah
dilaksanakan dan dievaluasi efektifitasnya harus ditetapkan. Kompetensi
kerja harus diintegrasikan ke dalam rangkaian kegiatan perusahaan mulai
dari penerimaan, seleksi dan penilaian kinerja tenaga kerja serta pelatihan.

13 dari 42
PER.05/MEN/1996

3.2 Kegiatan Pendukung


3.2.1 Komunikasi
Komunikasi dua arah yang efektif dan pelaporan rutin merupakan
sumber penting dalam penerapan Sistem Manajemen K3. Penyediaan
informasi yang sesuai bagi tenaga kerja dan semua pihak yang terkait dapat
digunakan untuk memotivasi dan mendorong penerimaan serta pemahaman
umum dalam upaya perusahaan untuk meningkatkan kinerja keselamatan
dan kesehatan kerja.
Perusahaan harus mempunyai prosedur untuk menjamin bahwa
informasi keselamatan dan kesehatan kerja terbaru dikomunikasikan ke
semua pihak dalam perusahaan. Ketentuan dalam prosedur tersebut harus
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan untuk:
a. Mengkomunikasikan hasil dan sistem manajemen, pemantauan, audit
dan tinjauan ulang manajemen pada semua pihak dalam perusahaan yang
bertanggung jawab dan memiliki andil dalam kinerja perusahaan.
b. Melakukan identifikasi dan menerima informasi keselamatan dan
kesehatan kerja yang terkait dari luar perusahaan.
c. Menjamin bahwa informasi yang terkait dikomunikasikan kepada orang-
orang diluar perusahaan yang membutuhkannya.

3.2.2 Pelaporan
Prosedur pelaporan informasi yang terkait dan tepat waktu harus ditetapkan
untuk menjamin bahwa Sistem Manajemen K3 dipantau dan kinerjanya
ditingkatkan.
Prosedur pelaporan internal perlu ditetapkan untuk menangani:
a. Pelaporan terjadinya insiden.
b. Pelaporan ketidaksesuaian.
c. Pelaporan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
d. Pelaporan identifikasi sumber bahaya.
Prosedur pelaporan eksternal perlu ditetapkan untuk menangani:
a. Pelaporan yang dipersyaratkan peraturan perundangan.
b. Pelaporan kepada pemegang saham.

14 dari 42
PER.05/MEN/1996

3.2.3 Pendokumentasian
Pendokumentasian merupakan unsur utama dari setiap sistem
manajemen dan harus dibuat sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Proses dan prosedur kegiatan perusahaan harus ditentukan dan di
dokumentasikan serta diperbarui apabila diperlukan. Perusahaan harus
dengan jelas menentukan jenis dokumen dan pengendaliannya yang efektif.
Pendokumentasian Sistem Manajemen K3 mendukung kesadaran tenaga
kerja dalam rangka mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan kerja dan
evaluasi terhadap sistem dan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja. Bobot
dan mutu pendokumentasian ditentukan oleh kompleksitas kegiatan
perusahaan. Apabila unsur Sistem Manajemen K3 terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan secara menyeluruh, maka pendokumentasian Sistem
Manajemen K3 harus diintegrasikan dalam keseluruhan dokumentasi yang
ada.
Perusahaan harus mengatur dan memelihara kumpulan ringkasan pen-
dokumentasian untuk:
a. Menyatukan secara sistematik kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan
dan kesehatan kerja.
b. Menguraikan sarana pencapaian tujuan dan sasaran keselamatan dan
kesehatan kerja.
c. Mendokumentasikan peranan, tanggung jawab dan prosedur.
d. Memberikan arahan mengenai dokumen yang terkait dan menguraikan
unsur-unsur lain dari sistem manajemen perusahaan.
e. Menunjukkan bahwa unsur-unsur Sistem Manajemen K3 yang sesuai
untuk perusahaan telah diterapkan.

3.2.4 Pengendalian Dokumen


Perusahaan harus menjamin bahwa:
a. Dokumen dapat diidentifikasi sesuai dengan uraian tugas dan tanggung
jawab di perusahaan.
b. Dokumen ditinjau ulang secara berkala dan, jika diperlukan, dapat
direvisi.
c. Dokumen sebelum diterbitkan harus lebih dahulu disetujui oleh personel
yang berwenang.

15 dari 42
PER.05/MEN/1996

d. Dokumen versi terbaru harus tersedia di tempat kerja yang dianggap


perlu.
e. Semua dokumen yang telah usang harus segera disingkirkan.
f. Dokumen mudah ditemukan, bermanfaat dan mudah dipahami.

3.2.5 Pencatatan dan Manajemen Informasi


Pencatatan merupakan sarana bagi perusahaan untuk menunjukkan
kesesuaian penerapan Sistem Manajemen K3 dan harus mencakup:
a. Persyaratan ekstemal/peraturan perundangan dan internal/indikator
kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Izin kerja.
c. Risiko dan sumber bahaya yang meliputi keadaan mesin-mesin, pesawat-
pesawat, alat kerja, serta peralatan lainnya, bahan-bahan dan sebagainya,
lingkungan kerja, sifat pekerjaan, cara kerja dan proses produksi.
d. Kegiatan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja.
e. Kegiatan inspeksi, kalibrasi dan pemeliharaan.
f. Pemantauan data.
g. Rincian insiden, keluhan dan tindak lanjut.
h. Identifikasi produk termasuk komposisinya.
i. Informasi mengenai pemasok dan kontraktor.
j. Audit dan peninjauan ulang Sistem Manajemen K3.

3.3 Identifikasi Sumber Bahaya, Penilaian dan Pengendalian risiko


Sumber bahaya yang teridentifikasi harus dinilai untuk menentukan tingkat
risiko yang merupakan tolak ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja. Selanjutnya dilakukan pengendalian untuk :

3.3.1 Identifikasi Sumber Bahaya


Identifikasi sumber bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya.
b. Jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi.

16 dari 42
PER.05/MEN/1996

3.3.2 Penilaian Risiko


Penilaian risiko adalah proses untuk menentukan prioritas pengendalian
terhadap tingkat risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

3.3.3 Tindakan Pengendalian


Perusahaan harus merencanakan manajemen dan pengendalian kegiatan-
kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan risiko kecelakaan
kerja yang tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan mendokumentasikan dan
menerapkan kebijakan standar bagi tempat kerja, perancangan pabrik dan
bahan, prosedur dan instruksi kerja untuk mengatur dan mengendalikan
kegiatan produk barang dan jasa.
Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan melalui
metode:
a. Pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi eliminasi, substitusi, isolasi,
ventilasi, higiene dan sanitasi.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus,
insentif, penghargaan dan motivasi diri.
d. Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan insiden dan etiologi.
e. Penegakan hukum.

3.3.4 Perancangan (Design) dan Rekayasa


Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dalam proses
rekayasa harus dimulai sejak tahap perancangan dan perencanaan.
Setiap tahap dari siklus perancangan meliputi pengembangan, verifikasi
tinjauan ulang, validasi dan penyesuaian harus dikaitkan dengan identifikasi
sumber bahaya, prosedur penilaian dan pengendalian risiko kecelakaan dan
penyakit akibat kerja.
Personel yang memiliki kompetensi kerja harus ditentukan dan diberi
wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk melakukan verifikasi
persyaratan Sistem Manajemen K3.

17 dari 42
PER.05/MEN/1996

3.3.5 Pengendalian Administratif


Prosedur dan instruksi kerja yang terdokumentasi pada saat dibuat harus
mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan kerja pada setiap
tahapan. Rancangan dan tinjauan ulang prosedur hanya dapat dibuat oleh
personel yang memiliki kompetensi kerja dengan melibatkan para pelaksana.
Personel harus dilatih agar memiliki kompetensi kerja dalam menggunakan
prosedur.
Prosedur harus ditinjau ulang secara berkala terutama jika terjadi
perubahan peralatan, proses atau bahan baku yang digunakan.

3.3.6 Tinjauan Ulang Kontrak


Pengadaan barang dan jasa melalui kontrak harus ditinjau ulang untuk
menjamin kemampuan perusahaan dalam memenuhi persyaratan
keselamatan dan kesehatan kerja yang ditentukan.

3.3.7 Pembelian
Sistem pembelian barang dan jasa termasuk didalamnya prosedur
pemeliharaan barang dan jasa harus terintegrasi dalam strategi penanganan
pencegahan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sistem pembelian
harus menjamin agar produk barang dan jasa serta mitra kerja perusahaan
memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pada saat barang dan jasa diterima di tempat kerja, perusahaan harus
menjelaskan kepada semua pihak yang akan menggunakan barang dan jasa
tersebut mengenai identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko kecelakaan
dan penyakit akibat kerja.

3.3.8 Prosedur Menghadapi Keadaan Darurat atau Bencana


Perusahaan harus memiliki prosedur untuk menghadapi keadaan darurat
atau bencana, yang diuji secara berkala untuk mengetahui keandalan pada
saat kejadian yang sebenarnya.
Pengujian prosedur secara berkala tersebut dilakukan oleh personel yang
memiliki kompetensi kerja, dan untuk instalasi yang mempunyai bahaya
besar harus dikoordinasikan dengan instansi terkait yang berwenang.

18 dari 42
PER.05/MEN/1996

3.3.9 Prosedur Menghadapi Insiden


Untuk mengurangi pengaruh yang mungkin timbul akibat insiden,
perusahaan harus memilki prosedur yang meliputi:
a. Penyediaan fasilitas P3K dengan jumlah yang cukup dan sesuai sampai
mendapatkan pertolongan medik.
b. Proses perawatan lanjutan.

3.3.10 Prosedur Rencana Pemulihan Keadaan Darurat


Perusahaan harus membuat prosedur rencana pemulihan keadaan darurat
untuk secara cepat mengembalikan pada kondisi yang normal dan membantu
pemulihan tenaga kerja yang mengalami trauma.

4. PENGUKURAN DAN EVALUASI


Perusahaan harus memiliki sistem untuk mengukur, memantau dan mengevaluasi
kinerja Sistem Manajemen K3 dan hasilnya harus dianalisis guna menentukan
keberhasilan atau untuk melakukan identifikasi tindakan perbaikan.

4.1 Inspeksi dan Pengujian


Perusahaan harus menetapkan dan memelihara prosedur inspeksi,
pengujian dan pemantauan yang berkaitan dengan tujuan dan sasaran keselamatan
dan kesehatan kerja. Frukuensi inspeksi dan pengujian harus sesuai dengan
obyeknya.
Prosedur inspeksi, pengujian dan pemantauan secara umum meliputi:
a. Personel yang terlibat harus mempunyai pengalaman dan keahlian yang
cukup.
b. Catatan inspeksi, pengujian dan pemantauan yang sedang berlangsung harus
dipelihara dan tersedia bagi manajemen, tenaga kerja dan kontraktor kerja
yang terkait.
c. Peralatan dan metode pengujian yang memadai harus digunakan untuk
menjamin telah dipenuhinya standar keselamatan dan kesehatan kerja.
d. Tindakan perbaikan harus dilakukan segera pada saat ditemukan
ketidaksesuaian terhadap persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja dari
hasil inspeksi, pengujian dan pemantauan.

19 dari 42
PER.05/MEN/1996

e. Penyelidikan yang memadai harus dilaksanakan untuk menemukan inti


permasalahan dari suatu insiden.
f. Hasil temuan harus dianalisis dan ditinjau ulang.

4.2 Audit Sistem Manajemen K3


Audit Sistem Manajemen K3 harus dilakukan secara berkala untuk
mengetahui keefektifan penerapan Sistem Manajemen K3. Audit harus
dilaksanakan secara sistematik dan independen oleh personel yang memiliki
kompetensi kerja dengan menggunakan metodologi yang sudah ditetapkan.
Frekuensi audit harus ditentukan berdasarkan tinjauan ulang hasil audit
sebelumnya dan bukti sumber bahaya yang didapatkan ditempat kerja. Hasil audit
harus digunakan oleh pengurus dalam proses tinjauan ulang manajemen.

4.3 Tindakan Perbaikan dan Pencegahan


Semua hasil temuan dari pelaksanaan pemantauan, audit dan tinjauan
ulaug Sistem Manajemen K3 harus didokumentasikan dan digunakan untuk
identifikasi tindakan perbaikan dan pencegahan serta pihak manajemen menjamin
pelaksanaannya secara sistematik dan efektif.

5. TINJAUAN ULANG DAN PENINGKATAN OLEH PIHAK MANAJEMEN


Pimpinan yang ditunjuk harus melaksanakan tinjauan ulang Sistem Manajemen
K3 secara berkala untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan yang
berkesinambungan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan keselamatan dan
kesehatan kerja.
Ruang lingkup tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 harus dapat mengatasi
implikasi keselamatan dan kesehatan kerja terhadap seluruh kegiatan, produk barang
dan jasa termasuk dampaknya terhadap kinerja perusahaan.
Tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 harus meliputi:
a. Evaluasi terhadap penerapan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Tujuan, sasaran dan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Hasil temuan audit Sistem Manajemen K3.
d. Evaluasi efektifitas penerapan Sistem Manajemen K3 dan kebutuhan untuk
mengubah Sistem Manajemen K3 sesuai dengan:
1) Perubahan peraturan perundangan.

20 dari 42
PER.05/MEN/1996

2) Tuntutan dari pihak yang tekait dan pasar.


3) Perubahan produk dan kegiatan perusahaan.
4) Perubahan struktur organisasi perusahaan.
5) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk epidemologi.
6) Pengalaman yang didapat dari insiden keselamatan dan kesehatan kerja.
7) Pelaporan.
8) Umpan balik khususnya dari tenaga kerja.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 1996

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

Drs. ABDUL LATIEF

21 dari 42
PER.05/MEN/1996

LAMPIRAN II : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA.


Nomor : PER.05/MEN/ 1996.
Tanggal : 12 Desember 1996.

PEDOMAN TEKNIS AUDIT SISTEM MANAJEMEN


KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

1. PEMBANGUNAN DAN PEMELIHARAAN KOMITMEN


1.1 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
1.1.1 Adanya kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja yang tertulis, bertanggal
dan secara jelas menyatakan tujuan-tujuan keselamatan dan kesehatan kerja
dan komitmen perusahaan dalam memperbaiki kinerja keselamatan dan
kesehatan kerja.
1.1.2 Kebijakan yang ditandatangani oleh pengusaha dan atau pengurus.
1.1.3 Kebijakan disusun oleh pengusaha dan atau pengurus setelah melalui proses
konsultasi dengan wakil tenaga kerja.
1.1.4 Perusahaan mengkomunikasikan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja
kepada seluruh tenaga kerja, tamu, kontraktor, pelanggan dan pemasok
dengan tatacara yang tepat.
1.1.5 Apabila diperlukan, kebijakan khusus dibuat untuk masalah keselamatan dan
kesehatan kerja yang bersifat khusus.
1.1.6 Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dan kebijakan khusus lainnya
ditinjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut
mencerminkan dengan perubahan yang terjadi dalam peraturan perundangan.

1.2 Tanggung Jawab dan Wewenang Untuk Bertindak


1.2.1 Tanggung jawab dan wewenang untuk mengambil tindakan dan melaporkan
kepada semua personil yang terkait dalam perusahaan yang telah ditetapkan
harus disebarluaskan dan didokumentasikan;
1.2.2 Penunjukkan penanggungjawab keselamatan dan kesehatan kerja harus sesuai
peraturan perundangan yang berlaku.
1.2.3 Pimpinan unit kerja dalam suatu perusahaan bertanggung jawab atas kinerja
keselamatan dan kesehatan kerja pada unit kerjanya.
1.2.4 Perusahaan mendapatkan saran-saran dari ahli bidang keselamatan dan
kesehatan kerja yang berasal dari dalam maupun luar perusahaan.

22 dari 42
PER.05/MEN/1996

1.2.5 Petugas yang bertanggung jawab menangani keadaan darurat mendapatkan


latihan.
1.2.6 Kinerja keselamatan dan kesehatan kerja dimasukkan dalam laporan tahunan
perusahaan atau laporan lain yang setingkat.
1.2.7 Pimpinan unit kerja diberi informasi tentang tanggung jawab mereka terhadap
tenaga kerja kontraktor dan orang lain yang memasuki tempat kerja.
1.2.8 Tanggung jawab untuk memelihara dan mendistribusikan informasi terbaru
mengenai peraturan perundangan keselamatan dan kesehatan kerja yang telah
ditetapkan.
1.2.9 Pengurus bertanggung jawab secara penuh untuk menjamin sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan.

1.3 Tinjauan Ulang dan Evaluasi


1.3.1 Hasil peninjauan ulang dicatat dan didokumentasikan.
1.3.2 Apabila memungkinkan, hasil tinjauan ulang dimasukkan kedalam
perencanaan tindakan manajemen.
1.3.3 Pengurus harus meninjau ulang pelaksanaan Sistem Manajemen K3 secara
berkala untuk menilai kesesuaian dan efektifitas Sistem Manajemen K3.

1.4 Keterlibatan dan Konsultasi dengan Tenaga Kerja


1.4.1 Keterlibatan tenaga kerja dan penjadualan konsultasi dengan wakil
perusahaan yang ditunjuk didokumentasikan.
1.4.2 Dibuatkan prosedur yang memudahkan konsultasi mengenai perubahan-
perubahan yang mempunyai implikasi terhadap keselamatan dan kesehatan
kerja.
1.4.3 Sesuai dengan peraturan perundangan perusahaan telah membentuk P2K3.
1.4.4 Ketua P2K3 adalah pengurus atau pimpinan puncak.
1.4.5 Sekretaris P2K3 adalah Ahli K3 sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
1.4.6 P2K3 menitikberatkan kegiatan pada pengembangan kebijakan dan prosedur
untuk mengendalikan risiko.
1.4.7 P2K3 mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya disebarluaskan di
tempat kerja.

23 dari 42
PER.05/MEN/1996

1.4.8 P2K3 melaporkan kegiatannya secara teratur sesuai dengan peraturan


perundangan yang berlaku.
1.4.9 Apabila diperlukan, dibentuk kelompok-kelompok kerja dan dipilih dari
wakil-wakil tenaga kerja yang ditunjuk sebagai penanggungjawab
keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerjanya dan kepadanya diberikan
pelatihan yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
1.4.10 Apabila kelompok-kelompok kerja telah terbentuk, maka tenaga kerja diberi
informasi tentang struktur kelompok kerja tersebut.

2. STRATEGI PENDOKUMENTASIAN
2.1 Perencanaan Rencana Strategi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2.1.1 Petugas yang berkompeten telah mengidentifikasi dan menilai potensi
bahaya dan risiko keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan dengan
operasi.
2.1.2 Perencanaan strategi keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan telah
ditetapkan dan diterapkan untuk mengendalikan potensi bahaya dan risiko
keselamatan dan kesehatan kerja yang telah teridentifikasi, yang
berhubungan dengan operasi.
2.1.3 Rencana khusus yang berkaitan dengan produk, proses, proyek atau
tempat kerja tertentu telah dibuat.
2.1.4 Rencana didasarkan pada potensi bahaya dan insiden, serta catatan
keselamatan dan kesehatan kerja sebelumnya.
2.1.5 Rencana tersebut menetapkan tujuan keselamatan dan kesehatan kerja
perusahaan yang dapat diukur, menetapkan prioritas dan menyediakan
sumber daya.

2.2 Manual Sistem Manajemen K3


2.2.1 Manual Sistem Manajemen K3 meliputi kebijakan, tujuan, rencana, dan
prosedur keselamatan dan kesehatan kerja untuk semua tingkatan dalam
perusahaan.
2.2.2 Apabila diperlukan manual khusus yang berkaitan dengan produk, proses,
atau tempat kerja tertentu telah dibuat.
2.2.3 Manual Sistem Manajemen K3 mudah didapat oleh semua personil dalam
perusahaan.

24 dari 42
PER.05/MEN/1996

2.3 Penyebarluasan Informasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja


2.3.1 Informasi tentang kegiatan dan masalah keselamatan dan kesehatan kerja
disebarkan secara sistematis kepada seluruh tenaga kerja perusahaan.
2.3.2 Catatan-catatan informasi keselamatan dan kesehatan kerja dipelihara dan
disediakan untuk seluruh tenaga kerja dan orang lain yang datang ke
tempat kerja.

3. PENINJAUAN ULANG PERANCANGAN (DESIGN) DAN KONTRAK


3.1 Pengendalian Perancangan
3.1.1 Prosedur yang terdokumentasi mempertimbangkan identifikasi bahaya
dan penilaian risiko yang dilakukan pada tahap melakukan perancangan
atau perancangan ulang.
3.1.2 Prosedur dan instruksi kerja untuk penggunaan produk, pengoperasian
sarana produksi dan proses yang aman disusun selama tahap perancangan.
3.1.3 Petugas yang kompeten telah ditentukan untuk melakukan verifikasi
bahwa perancangan memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan
kerja yang ditetapkan.
3.1.4 Semua perubahan dan modifikasi perancangan yang mempunyai implikasi
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja diidentifikasikan,
didokumentasikan, ditinjau ulang dan disetujui oleh petugas yang
berwenang sebelum pelaksanaan.

3.2 Peninjauan Ulang Kontrak


3.2.1 Prosedur yang terdokumentasikan harus mampu mengidentifikasi dan
menilai potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan dan
masyarakat, dimana prosedur tersebut digunakan pada saat memasok
barang dan jasa dalam suatu kontrak.
3.2.2 Identifikasi bahaya dan penilaian risiko dilakukan pada tahap tinjauan
ulang kontrak oleh personil yang berkompeten.
3.2.3 Kontrak-kontrak ditinjau ulang untuk menjamin bahwa pemasok dapat
memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja bagi pelanggan.
3.2.4 Catatan tinjauan ulang kontrak dipelihara dan didokumentasikan.

25 dari 42
PER.05/MEN/1996

4. PENGENDALIAN DOKUMEN
4.1 Persetujuan dan Pengeluaran Dokumen
4.1.1 Dokumen keselamatan dan kesehatan kerja mempunyai identifikasi status,
wewenang, tanggal pengeluaran dan tanggal modifikasi.
4.1.2 Penerima distribusi dokumen tercantum dalam dokumen tersebut.
4.1.3 Dokumen keselamatan dan kesehatan kerja edisi terbaru disimpan secara
sistematis pada tempat yang ditentukan.
4.1.4 Dokumen usang segera disingkirkan dari penggunaannya sedangkan
dokumen usang yang disimpan untuk keperluan tertentu diberi tanda
khusus.

4.2 Perubahan dan Modifikasi Dokumen


4.2.1 Terdapat sistem untuk membuat dan menyetujui perubahan terhadap
dokumen keselamatan dan kesehatan kerja.
4.2.2 Apabila memungkinkan diberikan alasan terjadinya perubahan dan tertera
dalam dokumen atau lampirannya.
4.2.3 Terdapat prosedur pengendalian dokumen atau daftar seluruh dokumen
yang mencantumkan status dari setiap dokumen tersebut, dalam upaya
mencegah penggunaan dokumen yang usang.

5. PEMBELIAN
5.1 Spesifikasi dari pembelian barang dan jasa
5.1.1 Terdapat prosedur yang terdokumentasi yang dapat menjamin bahwa
spesifikasi teknik dan informasi lain yang relevan dengan keselamatan
dan kesehatan kerja telah diperiksa sebelum keputusan untuk membeli.
5.1.2 Spesifikasi pembelian untuk setiap sarana produksi, zat kimia atau jasa
harus dilengkapi spesifikasi yang sesuai dengan persyaratan peraturan
perundangan dan standar keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku.
5.1.3 Konsultasi dengan tenaga kerja yang potensial berpengaruh pada saat
keputusan pembelian dilakukan apabila persyaratan keselamatan dan
kesehatan kerja dicantumkan dalam spesifikasi pembelian.
5.1.4 Kebutuhan pelatihan, pasokan alat pelindung diri dan perubahan terhadap
prosedur kerja perlu dipertimbangkan sebelum pembelian, serta ditinjau

26 dari 42
PER.05/MEN/1996

ulang sebelum pembelian dan pemakaian sarana produksi dan bahan


kimia.

5.2 Sistem Verifikasi Untuk Barang dan Jasa Yang Dibeli


5.2.1 Barang dan jasa yang telah dibeli diperiksa kesesuaiannya dengan
spesifikasi pembelian.

5.3 Kontrol Barang dan Jasa Yang Dipasok Pelanggan


5.3.1 Barang dan jasa yang dipasok pelanggan, sebelum digunakan terlebih
dahulu diidentifikasi potensi bahaya dan dinilai risikonya. Catatan
tersebut dipelihara untuk memeriksa prosedur ini.
5.3.2 Produk yang disediakan oleh pelanggan dapat diidentitikasikan dengan
jelas.

6. KEAMANAN BEKERJA BERDASARKAN SISTEM MANAJEMEN K3


6.1 Sistem Kerja
6.1.1 Petugas yang berkompeten telah mengidentifikasikan bahaya yang
potensial dan telah menilai risiko-risiko yang timbul dari suatu proses
kerja.
6.1.2 Apabila upaya pengendalian risiko diperlukan maka upaya tersebut
ditetapkan melalui tingkat pengendalian.
6.1.3 Terdapat prosedur kerja yang didokumentasikan dan jika diperlukan
diterapkan suatu sistem “Ijin Kerja“ untuk tugas-tugas yang berisiko
tinggi.
6.1.4 Prosedur atau petunjuk kerja untuk mengelola secara aman seluruh risiko
yang teridentifikasi didokumentasikan.
6.1.5 Kepatuhan dengan peraturan, standar dan ketentuan pelaksanaan
diperhatikan pada saat mengembangkan atau melakukan modifikasi
prosedur atau petunjuk kerja.
6.1.6 Prosedur kerja dan instruksi kerja dibuat oleh petugas yang berkompeten
dengan masukan dari tenaga kerja yang dipersyaratkan untuk melakukan
tugas dan prosedur disahkan oleh pejabat yang ditunjuk.
6.1.7 Alat pelindung diri disediakan bila diperlukan dan digunakan secara benar
serta dipelihara selalu dalam kondisi layak pakai.

27 dari 42
PER.05/MEN/1996

6.1.8 Alat pelindung diri yang digunakan dipastikan telah dinyatakan laik pakai
sesuai dengan standar dan atau peraturan perundangan yang berlaku.
6.1.9 Upaya pengendalian risiko ditinjau ulang apabila terjadi perubahan pada
proses kerja.

6.2 Pengawasan
6.2.1 Dilakukan pengawasan untuk menjamin bahwa setiap pekerjaan
dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur dan petunjuk
kerja yang telah ditentukan.
6.2.2 Setiap orang diawasi sesuai dengan tingkat kemampuan mereka dan
tingkat risiko tugas.
6.2.3 Pengawas ikut serta dalam identifikasi bahaya dan membuat upaya
pengendalian.
6.2.4 Pengawas diikutsertakan dalam pelaporan dan penyelidikan penyakit
akibat kerja dan kecelakaan, dan wajib menyerahkan laporan dan saran-
saran kepada pengurus.
6.2.5 Pengawas ikut serta dalam proses konsultasi.

6.3 Seleksi dan Penempatan Personil


6.3.1 Persyaratan tugas tertentu, termasuk persyaratan kesehatan, diidentifikasi
dan dipakai untuk menyeleksi dan menempatkan tenaga kerja.
6.3.2 Penugasan pekerjaan harus berdasarkan pada kemampuan dan tingkat
keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing tenaga kerja.

6.4 Lingkungan Kerja


6.4.1 Perusahaan melakukan penilaian lingkungan kerja untuk mengetahui
daerah-daerah yang memerlukan pembatasan ijin masuk.
6.4.2 Terdapat pengendalian atas tempat-tempat dengan pembatasan ijin masuk.
6.4.3 Fasilitas-fasilitas dan layanan yang tersedia di tempat kerja sesuai dengan
standar dan pedoman teknis.
6.4.4 Rambu-rambu mengenai keselamatan dan tanda pintu darurat harus
dipasang sesuai dengan standar dan pedoman teknis.

28 dari 42
PER.05/MEN/1996

6.5 Pemeliharaan, Perbaikan dan Perubahan Sarana Produksi


6.5.1 Penjadualan pemeriksaan dan pemeliharaan sarana produksi serta
peralatan mencakup verifikasi alat-alat pengaman dan persyaratan yang
ditetapkan oleh peraturan perundangan, standar dan pedoman teknis yang
berlaku.
6.5.2 Semua catatan yang memuat data-data secara rinci dari kegiatan
pemeriksaan, pemeliharaan, perbaikan dan perubahan-perubahan yang
dilakukan atas sarana produksi harus disimpan dan dipelihara.
6.5.3 Sarana produksi yang harus terdaftar memiliki sertifikat yang masih
berlaku.
6.5.4 Perawatan, perbaikan dan setiap perubahan harus dilakukan personel yang
berkompeten.
6.5.5 Apabila memungkinkan, sarana produksi yang akan diubah harus sesuai
dengan persyaratan peraturan perundangan yang berlaku.
6.5.6 Terdapat prosedur permintaan pemeliharaan yang mencakup ketentuan
mengenai peralatan-peralatan dengan kondisi keselamatan yang kurang
baik dan perlu untuk segera diperbaiki.
6.5.7 Terdapat suatu sistem penandaan bagi alat yang sudah tidak aman lagi
jika digunakan atau yang sudah tidak digunakan lagi.
6.5.8 Apabila diperlukan, dilakukan penerapan sistem penguncian
pengoperasian (lock out system) untuk mencegah agar sarana produksi
tidak dihidupkan sebelum saatnya.
6.5.9 Prosedur persetujuan untuk menjamin bahwa peralatan produksi dalam
kondisi yang aman untuk dioperasikan.

6.6 Pelayanan
6.6.1 Apabila perusahaan dikontrak untuk menyediakan pelayanan yang tunduk
pada standar dan undang-undang keselamatan dan kesehatan kerja, maka
perlu disusun prosedur untuk menjamin bahwa pelayanan memenuhi
persyaratan.
6.6.2 Apabila perusahaan diberi pelayanan melalui kontrak, dan pelayanan
tunduk pada standar dan perundangan keselamatan dan kesehatan kerja,
maka perlu disusun prosedur untuk menjamin bahwa pemberian
pelayanan memenuhi persyaratan.

29 dari 42
PER.05/MEN/1996

6.7 Kesiapan untuk Menangani Keadaan Darurat


6.7.1 Keadaan darurat yang potensial (di dalam atau di luar tempat kerja) telah
diidentifikasi dan prosedur keadaan darurat tersebut telah
didokumentasikan.
6.7.2 Prosedur keadaan darurat diuji dan ditinjau ulang secara rutin oleh
petugas yang berkompeten.
6.7.3 Tenaga kerja mendapat instruksi dan pelatihan mengenai prosedur
keadaan darurat yang sesuai dengan tingkat risiko.
6.7.4 Petugas penanganan keadaan darurat diberikan pelatihan khusus.
6.7.5 Instruksi keadaan darurat dan hubungan keadaan darurat diperlihatkan
secara jelas/menyolok dan diketahui oleh seluruh tenaga kerja perusahaan.
6.7.6 Alat dan sistem keadaan darurat diperiksa, diuji dan dipelihara secara
berkala.
6.7.7 Kesesuaian, penempatan dan kemudahan untuk mendapatkan alat keadaan
darurat telah dinilai oleh petugas yang berkompeten.

6.8 Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan


6.8.1 Perusahaan telah mengevaluasi alat PPPK dan menjamin bahwa sistem
PPPK yang ada memenuhi standard dan pedoman teknis yang berlaku.
6.8.2 Petugas PPPK telah dilatih dan ditunjuk sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.

7. STANDAR PEMANTAUAN
7.1 Pemeriksaan Bahaya
7.1.1 Inspeksi tempat kerja dan cara kerja dilaksanakan secara teratur.
7.1.2 Inspeksi dilaksanakan bersama oleh wakil pengurus dan wakil tenaga
kerja yang telah memperoleh pelatihan mengenai identifikasi potensi
bahaya.
7.1.3 Inspeksi mencari masukkan dari petugas yang melakukan tugas di tempat
yang diperiksa.
7.1.4 Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disusun untuk digunakan
pada saat inspeksi.

30 dari 42
PER.05/MEN/1996

7.1.5 Laporan inspeksi diajukan kepada pengurus dan P2K3 sesuai dengan
kebutuhan.
7.1.6 Tindakan korektif dipantau untuk menentukan efektifitasnya.

7.2 Pemantauan Lingkungan Kerja


7.2.1 Pemantauan lingkungan kerja dilaksanakan secara teratur dan hasilnya
dicatat dan dipelihara.
7.2.2 Pemantauan lingkungan kerja meliputi faktor fisik, kimia, biologis, radiasi
dan psikologis.

7.3 Peralatan Inspeksi, Pengukuran dan Pengujian


7.3.1 Terdapat sistem yang terdokumentasi mengenai identifikasi, kalibrasi,
pemeliharaan dan penyimpanan untuk alat pemeriksaan, ukur dan uji
mengenai kesehatan dan keselamatan.
7.3.2 Alat dipelihara dan dikalibrasikan oleh petugas yang berkompeten.

7.4 Pemantauan Kesehatan


7.4.1 Sesuai dengan peraturan perundangan, kesehatan tenaga kerja yang
bekerja pada tempat kerja yang mengandung bahaya harus dipantau.
7.4.2 Perusahaan telah mengidentifikasi keadaan dimana pemeriksaan
kesehatan perlu dilakukan dan telah melaksanakan sistem untuk
membantu pemeriksaan ini.
7.4.3 Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter pemeriksa yang ditunjuk
sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
7.4.4 Perusahaan menyediakan pelayanan kesehatan kerja sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
7.4.5 Catatan mengenai pemantauan kesehatan dibuat sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.

31 dari 42
PER.05/MEN/1996

8. PELAPORAN DAN PERBAIKAN KEKURANGAN


8.1 Pelaporan Keadaan Darurat
8.1.1 Terdapat prosedur proses pelaporan sumber bahaya dan personil perlu
diberitahu mengenai proses pelaporan sumber bahaya terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja.

8.2 Pelaporan Insiden


8.2.1 Terdapat prosedur terdokumentasi yang menjamin bahwa semua
kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta insiden di tempat kerja
dilaporkan.
8.2.2 Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilaporkan sebagaimana ditetapkan
oleh peraturan perundangan yang berlaku.

8.3 Penyelidikan Kecelakaan Kerja


8.3.1 Perusahaan mempunyai prosedur penyelidikan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja yang dilaporkan.
8.3.2 Penyelidikan dan pencegahan kecelakaan kerja dilakukan oleh petugas
atau Ahli K3 yang telah dilatih.
8.3.3 Laporan penyelidikan berisi saran-saran dan jadual waktu pelaksanaan
usaha perbaikan.
8.3.4 Tanggung jawab diberikan kepada petugas yang ditunjuk untuk
melaksanakan tindakan perbaikan sehubungan dengan laporan
penyelidikan.
8.3.5 Tindakan perbaikan didiskusikan dengan tenaga kerja di tempat terjadinya
kecelakaan.
8.3.6 Efektifitas tindakan perbaikan dipantau.

8.4 Penanganan Masalah


8.4.1 Terdapat prosedur untuk menangani masalah keselamatan dan kesehatan
kerja yang timbul dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
8.4.2 Tenaga kerja diberi informasi mengenai prosedur penanganan masalah
keselamatan dan kesehatan kerja dan menerima informasi kemajuan
penyelesaiannya.

32 dari 42
PER.05/MEN/1996

9. PENGELOLAAN MATERIAL DAN PERPINDAHANNYA


9.1 Penanganan Secara Manual dan Mekanis

9.1.1 Terdapat prosedur untuk mengidentifikasi potensi bahaya dan menilai


risiko yang berhubungan dengan penanganan secara manual dan mekanis.
9.1.2 Identifikasi dan penilaian dilaksanakan oleh petugas yang berkompeten.
9.1.3 Perusahaan menerapkan dan meninjau ulang cara pengendalian risiko
yang berhubungan dengan penanganan secara manual atau mekanis.
9.1.4 Prosedur untuk penanganan bahan meliputi metode pencegahan terhadap
kerusakan, tumpahan dan kebocoran.

9.2 Sistem Pengangkutan, Penyimpanan dan Pembuangan


9.2.1 Terdapat prosedur yang menjamin bahwa bahan disimpan dan
dipindahkan dengan cara yang aman sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
9.2.2 Terdapat prosedur yang menjelaskan persyaratan pengendalian bahan
yang dapat rusak atau kadaluwarsa.
9.2.3 Terdapat prosedur menjamin bahwa bahan dibuang dengan cara yang
aman sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

9.3 Bahan-bahan Berbahaya


9.3.1 Perusahaan telah mendokumentasikan prosedur mengenai penyimpanan,
penanganan dan pemindahan bahan-bahan berbahaya yang sesuai dengan
persyaratan peraturan perundangan, standar dan pedoman teknis yang
berlaku.
9.3.2 Lembar Data Bahan yang komprehensif untuk bahan-bahan berbahaya
harus mudah didapat.
9.3.3 Terdapat sistem untuk mengidentifikasi dan pemberian label pada bahan-
bahan berbahaya.
9.3.4 Rambu peringatan bahaya dipampang sesuai dengan persyaratan
peraturan perundangan dan standar yang berlaku.
9.3.5 Terdapat prosedur yang didokumentasikan mengenai penanganan secara
aman bahan-bahan berbahaya.

33 dari 42
PER.05/MEN/1996

9.3.6 Petugas yang menangani bahan-bahan berbahaya diberi pelatihan


mengenai cara penanganan yang aman.

10. PENGUMPULAN DAN PENGGUNAAN DATA


10.1 Catatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
10.1.1 Perusahaan mempunyai prosedur untuk mengidentifikasi, mengumpulkan,
mengarsipkan, memelihara dan menyimpan catatan keselamatan dan
kesehatan kerja.
10.1.2 Undang-undang, peraturan, standar dan pedoman teknis yang relevan
dipelihara pada tempat yang mudah didapat.
10.1.3 Terdapat prosedur yang menentukan persyaratan untuk menjaga
kerahasiaan catatan.
10.1.4 Catatan mengenai peninjauan ulang dan pemeriksaan dipelihara.
10.1.5 Catatan kompensasi kecelakaan kerja dan catatan rehabilitasi kesehatan
dipelihara.

10.2 Data dan Laporan Keselamatan dan Kesehatan Kerja


10.2.1 Data keselamatan dan kesehatan kerja yang terbaru dikumpulkan dan
dianalisa.
10.2.2 Laporan rutin kinerja keselamatan dan kesehatan kerja dibuat dan
disebarluaskan di dalam perusahaan.

11. AUDIT SISTEM MANAJEMEN K3


11.1 Audit Internal Sistem Manajemen K3
11.1.1 Audit Sistem Manajemen K3 yang terjadual dilaksanakan untuk
memeriksa kesesuaian kegiatan perencanaan dan untuk menentukan
apakah kegiatan tersebut efektif.
11.1.2 Audit internal Sistem Manajemen K3 dilakukan oleh petugas yang
berkompeten dan independen di perusahaan.
11.1.3 Laporan audit didistribusikan kepada manajemen dan petugas lain yang
berkepentingan.
11.1.4 Kekurangan yang ditemukan pada saat audit diprioritaskan dan dipantau
untuk menjamin dilakukannya tindakan perbaikan.

34 dari 42
PER.05/MEN/1996

12. PENGEMBANGAN KETERAMPILAN DAN KEMAMPUAN


12.1 Strategi Pelatihan.
12.1.1 Analisis kebutuhan pelatihan yang mencakup persyaratan keselamatan
dan kesehatan kerja telah dilaksanakan.
12.1.2 Rencana pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja telah disusun bagi
semua tingkatan dalam perusahaan-perusahaan.
12.1.3 Pelatihan harus mempertimbangkan perbedaan tingkat kemampuan dan
keahliannya.
12.1.4 Pelatihan dilakukan oleh orang atau badan yang mempunyai kemampuan
dan pengalaman yang memadai serta diakreditasi menurut peraturan
perundangan yang berlaku.
12.1.5 Terdapat fasilitas dan sumber daya memadai untuk pelaksanaan pelatihan
yang efektif.
12.1.6 Perusahaan mendokumentasikan dan menyimpan catatan seluruh
pelatihan.
12.1.7 Evaluasi dilakukan pada setiap sesi pelatihan untuk menjamin
peningkatan secara berkelanjutan.
12.1.8 Program pelatihan ditinjau ulang secara teratur untuk menjamin agar tetap
relevan dan efektif.

12.2 Pelatihan Bagi Manajemen dan Supervisor


12.2.1 Anggota manajemen eksekutif dan pengurus berperan serta dalam
pelatihan yang mencakup penjelasan tentang kewajiban hukum dan
prinsip-prinsip serta pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.
12.2.2 Manajer dan supervisor menerima pelatihan yang sesuai dengan peran dan
tanggung jawab mereka.

12.3 Pelatihan bagi Tenaga Kerja


12.3.1 Pelatihan diberikan kepada semua tenaga kerja termasuk tenaga kerja baru
dan yang dipindahkan agar mereka dapat melaksanakan tugasnya secara
aman.
12.3.2 Pelatihan diselenggarakan kepada tenaga kerja apabila di tempat kerjanya
terjadi perubahan sarana produksi atau proses.

35 dari 42
PER.05/MEN/1996

12.3.3 Apabila diperlukan diberikan pelatihan penyegaran kepada semua tenaga


kerja.

12.4 Pelatihan untuk Pengenalan bagi Pengunjung dan Kontraktor


12.4.1 Perusahan mempunyai program pengenalan untuk semua tenaga kerja
dengan memasukan materi kebijakan dan prosedur Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
12.4.2 Terdapat prosedur yang menetapkan persyaratan untuk memberikan
taklimat (briefing) kepada pengunjung dan mitra kerja guna menjamin
keselamatan dan kesehatan kerja.

12.5 Pelatihan Keahlian Khusus


12.5.1 Perusahaan mempunyai sistem untuk menjamin kepatuhan terhadap
persyaratan lisensi atau kualifikasi sesuai dengan peraturan perundangan
untuk melaksanakan tugas khusus, melaksanakan pekerjaan atau
mengoperasikan peralatan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 1996

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

Drs. ABDUL LATIEF

36 dari 42
PER.05/MEN/1996

LAMPIRAN III : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA.


Nomor : PER.05/MEN/ 1996.
Tanggal : 12 Desember 1996.

FORMULIR LAPORAN AUDIT

LAPORAN AUDIT SISTEM MANAJEMEN


KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

TINGKAT PENCAPAIAN : < AWAL/ TRANSISI/ LANJUTAN >


Nomor : < No. Laporan >

< NAMA PERUSAHAAN YANG DIAUDIT >


< LOKASI >

< NAMA BADAN AUDIT >

DISTRIBUSI LAPORAN:

1. < NAMA PERUSAHAAN YANG DIAUDIT >


2. < DEPARTEMEN TENAGA KERJA >
3. < NAMA BADAN AUDIT >

37 dari 42
PER.05/MEN/1996

LAPORAN AUDIT
No. Laporan < No. Laporan > SISTEM Halaman < No. Halaman >
MANAJEMEN
KESELAMATAN
DAN KESEHATAN
KERJA
< Tanggal < No. Audit >
Tgl. Laporan
Laporan > < NAMA < No. Distribusi >
PERUSAHAAN >

No. Pekerjaan < No. Pekerjaan > RINGKASAN Auditor Koordinator

1. PERUSAHAAN YANG DIAUDIT


____________________________________________________________________
____________________________________________________________________

2. PELAKSANAAN AUDIT
Tanggal :
Tempat :

3. TUJUAN AUDIT
____________________________________________________________________
____________________________________________________________________
____________________________________________________________________

4. LINGKUP AUDIT
____________________________________________________________________
____________________________________________________________________
____________________________________________________________________

5. TIM AUDITOR
Tim Auditor (NAMA BADAN AUDIT) terdiri dari :
1. <NAMA>, Ketua
2. <NAMA>, Anggota

6. WAKIL PERUSAHAAN YANG DIAUDIT


1. <NAMA>, <JABATAN>

38 dari 42
PER.05/MEN/1996

LAPORAN AUDIT
No. Laporan < No. Laporan > SISTEM Halaman < No. Halaman >
MANAJEMEN
KESELAMATAN
DAN KESEHATAN
KERJA
< Tanggal < No. Audit >
Tgl. Laporan
Laporan > < NAMA < No. Distribusi >
PERUSAHAAN >

No. Pekerjaan < No. Pekerjaan > RINGKASAN Auditor Koordinator

1. GAMBARAN UMUM TEMPAT KERJA


____________________________________________________________________
____________________________________________________________________
____________________________________________________________________

2. STRUKTUR ORGANISASI K3 TEMPAT KERJA

3. JADWAL AUDIT

NO KEGIATAN WAKTU KETERANGAN PERHUBUNGAN


1 PERTEMUAN AWAL
2 PELAKSANAAN AUDIT
3 PERTEMUAN AKHIR

4. LAPORAN PERTEMUAN AUDIT


____________________________________________________________________
____________________________________________________________________
____________________________________________________________________

39 dari 42
PER.05/MEN/1996

LAPORAN AUDIT
No. Laporan < No. Laporan > SISTEM Halaman < No. Halaman >
MANAJEMEN
KESELAMATAN
DAN KESEHATAN
KERJA
< Tanggal < No. Audit >
Tgl. Laporan
Laporan > < NAMA < No. Distribusi >
PERUSAHAAN >

No. Pekerjaan < No. Pekerjaan > RINGKASAN Auditor Koordinator

5. DAFTAR KRITERIA AUDIT DAN PEMENUHANNYA

NO NO KRITERIA KRITERIA PEMENUHANNYA


SESUAI TIDAK SESUAI
MAYOR MINOR

6. URAIAN KETIDAK SESUAIAN


____________________________________________________________________
____________________________________________________________________

7. LAPORAN PERTEMUAN AKHIR


____________________________________________________________________
____________________________________________________________________

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 1996

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

Drs. ABDUL LATIEF

40 dari 42
PER.05/MEN/1996

LAMPIRAN IV : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA


Nomor : PER.05/MEN/ 1996.
Tanggal : 12 Desember 1996.

KETENTUAN PENILAIAN HASIL AUDIT SISTEM MANAJEMEN


KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Tingkat penerapan Sistem Manajemen K3 dibagi menjadi tiga tingkatan:


a. Perusahaan kecil atau perusahaan dengan tingkat risiko rendah harus menerapkan
sebanyak 64 (enam puluh empat) kriteria.
b. Perusahaan sedang atau perusahaan dengan tingkat risiko menengah harus
menerapkan sebanyak 122 (seratus dua puluh dua) kriteria.
c. Perusahaan besar atau perusahaan dengan tingkat risiko tinggi harus menerapkan
sebanyak 166 (seratus enam puluh enam) kriteria.

Keberhasilan penerapan Sistem Manajemen K3 di tempat kerja diukur sebagai berikut:


a. Untuk tingkat pencapaian penerapan 0-59 % dan pelanggaran peraturan
perundangan (non-conformance) dikenai tindakan hukum
b. Untuk tingkat pencapaian penerapan 60-84 % diberikan sertifikat dan bendera
perak.
c. Untuk tingkat pencapaian penerapan 85-100% diberikan sertifikat dan bendera
emas.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana tabel I dan II dibawah ini:

Tabel 1

Kecil Sedang Besar


64 kriteria 122 kriteria 166 kriteria
0-59% tindakan hukum tindakan hukum tindakan hukum

60-84% bendera perak sertfikat Bendera perak sertfikat bendera perak sertfikat

85-100% bendera emas sertfikat bendera emas sertfikat bendera emas sertfikat

41 dari 42
PER.05/MEN/1996

Tabel II

PEMBAGIAN KRITERIA TIAP TINGKAT PENCAPAIAN PENERAPAN


SISTEM MANAJEMEN K3

NO ELEMEN TINGKAT AWAL TINGKAT TINGKAT LANJUT


TRANSISI (seluruh (Seluruh tingkat
tingkat awal dan awal, transisi dan
transisi) lanjut)
1 Pembangunan dan 1.1.1, 1.2.2, 1.2.4, 1.1.3, 1.1.5, 1.2.1, 1.1.2, 1.1.4, 1.1.6,
pemeliharaan komitmen 1.2.5, 1.3.3, 1.4.1, 1.2.7, 1.2.8, 1.2.9, 1.2.3, 1.2.6, 1.3.1,
1.4.3, 1.4.4, 1.4.5, 1.4.2, 1.4.9, 1.4.10 1.3.2
1.4.6, 1.4.7, 1.4.8.
2 Strategi 2.3.1 2.1.1, 2.1.2, 2.2.1 2.1.3, 2.1.4, 2.1.5,
pendokumentasian 2.2.2, 2.2.3, 2.3.2.
3 Peninjauan ulang disain 3.1.1, 3.1.2, 3.1.3, 3.1.4, 3.2.3, 3.2.4
dan kontrak 3.2.1, 3.2.2
4 Pengendalian dokumen 4.1.1., 4.1.2, 4.2.1 4.1.3, 4.1.4, 4.2.2,
4.2.3
5 Pembelian 5.1.1, 5.2.1 5.1.2, 5.1.3 5.1.4, 5.3.1, 5.3.2
6 Keamanan bekerja 6.1.1, 6.1.2, 6.1.3, 6.1.4, 6.1.6, 6.2.2, 6.1.9, 6.7.4
berdasarkan sistem 6.1.5, 6.1.7, 6.1.8, 6.2.3, 6.2.4, 6.2.5,
manajemen K3 6.2.1, 6.3.2, 6.4.1, 6.3.1, 6.5.1, 6.5.5,
6.4.2, 6.4.3, 6.4.4, 6.5.9, 6.6.1, 6.6.2,
6.5.2, 6.5.3, 6.5.4, 6.7.2, 6.7.6, 6.7.7
6.5.6, 6.5.7, 6.5.8,
6.7.1, 6.7.3, 6.7.5,
6.8.1, 6.8.2
7 Standar pemantauan 7.1.1, 7.2.1, 7.2.2, 7.1.2, 7.1.3, 7.1.4, 7.1.5, 7.1.6, 7.3.1,
7.4.3, 7.4.4, 7.4.5 7.4.1, 7.4.2 7.3.2
8 Pelaporan dan perbaikan 8.1.1, 8.2.2, 8.3.1, 8.2.1, 8.3.2, 8.3.5, 8.3.3, 8.3.4, 8.3.6
8.4.1, 8.4.2
9 Pengelolaan material dan 9.1.1, 9.1.2, 9.2.1, 9.1.3, 9.3.5, 9.3.6 9.1.4, 9.2.2
perpindahannya 9.2.3, 9.3.1, 9.3.2,
9.3.3, 9.3.4
10 Pengumpulan dan 10.1.1, 10.1.3, 10.1.5, 10.2.1 10.1.4,
penggunaan data 10.1.2 10.2.2
11 Audit Sistem Manajemen 11.1.1, 11.1.2, 11.1.3,
K3 11.1.4
12 Pengembangan 12.2.1, 12.2.2, 12.3.1, 12.1.2, 12.1.3, 12.1.4, 12.1.1, 12.1.7, 12.1.8,
keterampilan dan 12.4.1, 12.5.1 12.1.5, 12.1.6, 12.3.2, 12.3.3
kemampuan 12.4.2

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Desember 1996

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

Drs. ABDUL LATIEF

42 dari 42
MENTERI PEKERJAAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM


NOMOR : 09/PER/M/2008

TENTANG
PEDOMAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)
KONSTRUKSI BIDANG PEKERJAAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI PEKERJAAN UMUM

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan


kontruksi, penyelenggara pekerjaan konstruksi wajib memenuhi
syarat-syarat keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja pada
tempat kegiatan konstruksi;
b. bahwa agar penyelenggaraan keamanan, keselamatan dan
kesehatan kerja pada tempat kegiatan konstruksi Bidang Pekerjaan
Umum dapat terselenggara secara optimal, maka diperlukan suatu
pedoman pembinaan dan pengendalian sistem keselamatan dan
kesehatan kerja pada tempat kegiatan konstruksi Bidang Pekerjaan
Umum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang
Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum;

Mengingat : 1. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja ;
3. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;
4. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2000 tentang Usaha dan
Peran Masyarakat Jasa Konstruksi;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi;

1
8. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional;
9. Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pengadaan
Barang / Jasa Pemerintah;
10. Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian negara
Republik Indonesia;
11. Surat Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor: 174/MEN/1986 & 104/KPTS/1986 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi;
12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.02/MEN/1992 tentang
Tata Cara Penunjukkan, Kewajiban dan Wewenang Ahli
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
13. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang
Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja;
14. Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 384/KPTS/M/2004 tentang
Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Tempat
Kegiatan Konstruksi Bendungan;
15. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang
Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi;
16. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/PRT/M/2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG PEDOMAN


SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
(K3) KONSTRUKSI BIDANG PEKERJAAN UMUM

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:


1. K3 adalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan pengertian pemberian
perlindungan kepada setiap orang yang berada di tempat kerja, yang berhubungan
dengan pemindahan bahan baku, penggunaan peralatan kerja konstruksi, proses
produksi dan lingkungan sekitar tempat kerja.

2. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari
sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan,
tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi
pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang selamat, aman,
efisien dan produktif.

2
3. SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum adalah SMK3 pada sektor jasa konstruksi
yang berhubungan dengan kepentingan umum (masyarakat) antara lain pekerjaan
konstruksi: jalan, jembatan, bangunan gedung fasilitas umum, sistem penyediaan air
minum dan perpipaannya, sistem pengolahan air limbah dan perpipaannya, drainase,
pengolahan sampah, pengaman pantai, irigasi, bendungan, bendung, waduk, dan
lainnya.

4. Ahli K3 Konstruksi adalah Ahli K3 yang mempunyai kompetensi khusus di bidang K3


Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dalam merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi Sistem Manajemen K3 Konstruksi sesuai pedoman ini di tempat
penugasannya yang dibuktikan dengan sertifikat dari yang berwenang dan sudah
berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dalam pelaksanaan K3 Konstruksi
Bidang Pekerjaan Umum yang dibuktikan dengan referensi pengalaman kerja.

5. Petugas K3 Konstruksi adalah petugas di dalam organisasi Pengguna Jasa dan/atau


Organisasi Penyedia Jasa yang telah mengikuti pelatihan/sosialisasi K3 Konstruksi
Bidang Pekerjaan Umum.

6. P2K3 (Panitia Pembina K3) adalah badan pembantu di perusahaan dan tempat kerja
yang merupakan wadah kerjasama antara pengusaha dan pekerja untuk
mengembangkan kerja sama saling pengertian dan partisipasi efektif dalam penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja. Unsur P2K3 terdiri dari Ketua, Sekretaris dan
Anggota. Ketua P2K3 adalah pimpinan puncak organisasi Penyedia Jasa dan Sekretaris
P2K3 adalah Ahli K3 Konstruksi.

7. Tempat kerja adalah setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau
tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk
keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber sumber bahaya baik
didarat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada di
dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

8. Bahaya K3 adalah suatu keadaan yang belum dikendalikan sampai pada suatu batas
yang memadai.

9. Risiko K3 adalah perpaduan antara peluang dan frekuensi terjadinya peristiwa K3


dengan akibat yang ditimbulkannya dalam kegiatan konstruksi.

10. Kategori Risiko K3 berupa tinggi, sedang atau kecil. Jika terjadi perbedaan pendapat
tentang penentuan kategori risiko, harus diambil tingkat risiko yang lebih tinggi.

11. Risiko Tinggi mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya berisiko sangat
membahayakan keselamatan umum, harta benda, jiwa manusia, dan lingkungan serta
terganggunya kegiatan konstruksi.

12. Risiko Sedang mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya dapat berisiko
membahayakan keselamatan umum, harta benda dan jiwa manusia serta terganggunya
kegiatan konstruksi.

13. Risiko Kecil mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya tidak


membahayakan keselamatan umum dan harta benda serta terganggunya kegiatan
konstruksi.

14. Manajemen Risiko adalah proses manajemen terhadap risiko yang dimulai dari kegiatan
mengidentifikasi bahaya, menilai tingkat risiko dan mengendalikan risiko. metode
deduktif.

3
15. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik
pekerjaan / proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.

16. Satuan Kerja adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah yang bertanggung jawab
kepada Menteri yang menyelenggarakan kegiatan yang dibiayai dari dana APBN
Departemen Pekerjaan Umum.

17. Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja.

18. Penyedia barang/jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya
menyediakan layanan jasa konstruksi.

19. Jasa Pemborongan adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik
lainnya yang perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan Pejabat Pembuat
Komitmen sesuai penugasan Kuasa Pengguna Anggaran dan proses serta
pelaksanaannya diawasi oleh Pejabat Pembuat Komitmen.

20. Jasa Konsultansi adalah layanan jasa keahlian profesional dalam berbagai bidang yang
meliputi jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi, dan jasa pelayanan
profesi lainnya, dalam rangka mencapai sasaran tertentu yang keluarannya berbentuk
piranti lunak yang disusun secara sistematis berdasarkan kerangka acuan kerja yang
ditetapkan Pejabat Pembuat Komitmen sesuai penugasan Kuasa Pengguna Anggaran.

21. Kegiatan Swakelola adalah pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan/


dilaksanakan, dan diawasi sendiri oleh pengguna jasa.

22. Pemangku Kepentingan adalah pihak-pihak yang berinteraksi dalam kegiatan


konstruksi meliputi Pengguna Jasa, Penyedia Jasa dan pihak lain yang berkepentingan.

23. Audit Internal K3 Kontruksi Bidang Pekerjaan Umum adalah pemeriksaan secara
sistematik dan independen oleh Auditor K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dalam
kerangka pembinaan untuk memberikan penilaian terhadap efektifitas penyelenggaraan
K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum di lingkungan kerja.

24. Audit Internal K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum oleh Penyedia Jasa adalah
Audit K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum yang dilakukan oleh auditor internal
Penyedia Jasa.

25. Laporan Audit Internal K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum adalah hasil audit K3
Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum yang dilakukan oleh auditor yang berisi fakta yang
didapatkan pada saat pelaksanaan Audit K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

26. RK3K (Rencana K3 Kontrak) adalah dokumen rencana penyelenggaraan K3 Konstruksi


Bidang Pekerjaan Umum yang dibuat oleh Penyedia Jasa dan disetujui oleh Pengguna
Jasa, untuk selanjutnya dijadikan sebagai sarana interaksi antara Penyedia Jasa dengan
Pengguna Jasa dalam penyelenggaraan K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

27. Monitoring dan Evaluasi (MONEV) K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum adalah
kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja Penyelenggaraan K3 Konstruksi
Bidang Pekerjaan Umum yang meliputi pengumpulan data, analisa, penilaian,
kesimpulan dan rekomendasi tingkat penerapan K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

28. Tenaga Kerja adalah orang yang bekerja di suatu perusahaan dan/atau di tempat kerja.

4
BAB II
MAKSUD, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Maksud Pedoman ini sebagai acuan bagi Penguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam
Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum yang dilaksanakan secara
sistematis, terencana, terpadu dan terkoordinasi.

(2) Tujuan diberlakukannya Pedoman ini agar semua pemangku kepentingan mengetahui
dan memahami tugas dan kewajibannya dalam Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi
Bidang Pekerjaan Umum sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja
konstruksi dan penyakit akibat kerja konstruksi serta menciptakan lingkungan kerja yang
aman dan nyaman, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja.

Pasal 3

(1) Ruang lingkup Pedoman ini mengatur Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang
Pekerjaan Umum bagi:
a. Pengguna Jasa khususnya di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, dan
b. Penyedia Barang/Jasa.
(2) Untuk instansi di luar Departemen Pekerjaan Umum, perlu ada penyesuaian lebih lanjut
sesuai dengan tugas dan fungsinya.

BAB III
KETENTUAN PENYELENGGARAAN SISTEM MANAJEMEN K3 (SMK3) KONSTRUKSI

Pasal 4
(1) Kegiatan Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh pengguna jasa/penyedia jasa terdiri
dari Jasa Pemborongan, Jasa Konsultansi dan Kegiatan Swakelola yang aktifitasnya
melibatkan tenaga kerja dan peralatan kerja untuk keperluan pelaksanaan pekerjaan
fisik di lapangan wajib menyelenggarakan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.
(2) Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum wajib menggunakan
Pedoman ini beserta lampirannya.
(3) Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dikelompokkan menjadi 3
(tiga) kategori, yaitu :
a Risiko Tinggi;
b Risiko Sedang;
c Risiko Kecil.

(4) Kinerja penerapan Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dibagi
menjadi 3 (tiga), yaitu :
a. Baik, bila mencapai hasil penilaian > 85%;
b. Sedang, bila mencapai hasil penilaian 60 % - 85%;
c. Kurang, bila mencapai hasil penilaian < 60 %

(5) Dalam rangka Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum harus
dibuat Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kontrak (RK3K) oleh Penyedia Jasa
dan disetujui oleh Pengguna Jasa.
(6) Di tempat kerja harus selalu terdapat pekerja yang sudah terlatih dan/atau bertanggung
jawab dalam Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K).

5
(7) Untuk kegiatan swakelola, perlu ada penentuan tentang :
a. Pihak yang berperan sebagai Penyelenggara Langsung;
b. Pihak yang berperan sebagai Pengendali.

BAB IV
TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG

Bagian Pertama
Departemen Pekerjaan Umum

Pasal 5

Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang Menteri Pekerjaan Umum meliputi :


(1) Menetapkan Kebijakan tentang SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

(2) Membina Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

Pasal 6

Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Dan Sumber
Daya Manusia (BPKSDM) meliputi :

(1) Merumuskan Kebijakan tentang SMK3 Konstruksi di Lingkungan Departemen Pekerjaan


Umum.

(2) Bertanggung jawab dalam Pembinaan Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang


Pekerjaan Umum.

(3) Menyusun Pedoman SMK3 Konstruksi dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Monitoring
dan Evaluasi Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

(4) Melaksanakan sosialisasi dan bimbingan teknis tentang Penyelenggaraan SMK3


Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

(5) Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi terhadap Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi


Bidang Pekerjaan Umum di setiap Unit Kerja Eselon I secara acak.

(6) Menyusun Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penilaian Aspek K3 Konstruksi Bidang
Pekerjaan Umum bagi calon Penyedia Jasa dalam proses pengadaan barang/jasa
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

(7) Melaksanakan rapat koordinasi dengan Unit Eselon I tentang Penyelenggaraan SMK3
Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum secara periodik, dan melaporkan hasil rapat
koordinasi kepada Menteri Pekerjaan Umum.

6
Pasal 7

Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang Kepala Unit Eselon I meliputi:


(1) Menyusun prosedur teknis pelaksanaan SMK3 Konstruksi, mengacu pada ketentuan
teknis yang berlaku.

(2) Menyusun Petunjuk Teknis (Juknis) Monitoring dan Evaluasi di lingkungan Unit Eselon I
yang bersangkutan.

(3) Bertanggung jawab atas Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum
di lingkungan Unit Eselon I yang bersangkutan.

(4) Menggunakan data, analisa, penilaian, kesimpulan dan rekomendasi tingkat Penerapan
SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum terhadap hasil Monitoring dan Evaluasi yang
dilaksanakan oleh Atasan Langsung Satuan Kerja sebagai bahan rapat koordinasi
tentang Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dengan
BPKSDM.

(5) Memasukkan program tindak lanjut terhadap rekomendasi hasil Monitoring dan Evaluasi
K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dalam program kerja rutinnya.

Pasal 8

Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja meliputi:

(1) Bertanggung jawab atas Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum
di lingkungan kerjanya.

(2) Mengevaluasi laporan Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum


yang diterima dari Lingkungan Kerjanya.

(3) Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi di lingkungan kerjanya.

(4) Melaporkan hasil Monitoring dan Evaluasi kepada Unit Eselon I.

(5) Memasukkan hasil Monitoring dan Evaluasi dalam program kerja rutinnya.

Pasal 9

Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang Kepala Satuan Kerja meliputi:

(1) Melaksanakan pengawasan dan evaluasi terhadap pengendalian Penyelenggaraan


SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat
Komitmen dan melaporkannya setiap bulan kepada Atasan Langsung Kepala Satuan
Kerja.

(2) Membuat analisa, kesimpulan, rekomendasi dan rencana tindak lanjut terhadap laporan
kecelakaan kerja konstruksi dan penyakit akibat kerja konstruksi yang diterima dari
Pejabat Pembuat Komitmen untuk diteruskan kepada Atasan Langsung Kepala Satuan
Kerja.

7
(3) Memperhitungkan biaya Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum
dalam organisasi Pengguna Jasa pada DIPA Satuan Kerja.

(4) Memperhitungkan biaya penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum


oleh Penyedia Jasa dalam pembuatan Rencana Anggaran Biaya (RAB) kegiatan
konstruksi untuk dialokasikan dalam DIPA Satuan Kerja. Perhitungan biaya
penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum tersebut sudah
merupakan satu kesatuan dengan biaya pelaksanaan konstruksi, yang diperhitungkan
dalam Analisa Harga Satuan pada setiap jenis pekerjaan yang mengandung risiko K3
Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.

Pasal 10

Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) meliputi:

(1) Dalam hal materi Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum
dijadikan salah satu bahan evaluasi dalam proses Pemilihan Penyedia Jasa maka PPK
wajib menyediakan acuannya.

(2) Dalam rangka menentukan kategori risiko seluruh paket kegiatan yang dikendalikannya,
wajib berkonsultasi dengan Ahli K3 Konstruksi.
(3) Memberi penjelasan tentang Risiko K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum termasuk
kondisi dan bahaya yang dapat timbul dalam pelaksanaan pekerjaan pada saat
penjelasan pekerjaan (aanwijzing) yang ditenderkan.

(4) Memasukkan materi Penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum


dalam Dokumen Kontrak dengan cara mewajibkan Penyedia Jasa untuk mengikuti
Pedoman ini dalam pelaksanaan pekerjaannya.

(5) Melakukan pembahasan persetujuan tingkat risiko yang disusun penyedia jasa dalam
rangka menetapkan tingkat risiko kegiatan yang akan dilaksanakan.

(6) Menyetujui RK3K yang disusun oleh Penyedia Jasa pada awal kegiatan.

(7) Menetapkan Ahli K3 Konstruksi atau Petugas K3 Konstruksi untuk pengendalian K3


Konstruksi sesuai dengan tingkat risiko K3 pada paket kegiatan yang dikendalikannya.
(8) Pengguna jasa wajib melibatkan Ahli K3 Konstruksi pada setiap paket pekerjaan yang
mempunyai risiko K3 tinggi, dengan ketentuan:
a. Ahli K3 konstruksi pengguna jasa tidak boleh merangkap pada paket pekerjaan
yang lain.
b. Ahli K3 konstruksi pengguna jasa dimaksud dapat berasal dari konsultan pengawas
atau pihak lain yang ditunjuk.
c. Ahli K3 Konstruksi Pengguna Jasa tidak diperkenankan berasal dari Penyedia Jasa
yang sedang terikat dalam pelaksanaan kegiatan yang sedang ditangani, agar tidak
menimbulkan pertentangan kepentingan.
(9) Pengguna jasa wajib melibatkan sekurang-kurangnya Petugas K3 Konstruksi pada
setiap paket pekerjaan yang mempunyai risiko K3 sedang dan kecil.
a. Petugas K3 konstruksi pengguna jasa tidak boleh merangkap pada paket pekerjaan
yang lain.

8
b. Petugas K3 konstruksi pengguna jasa dimaksud dapat berasal dari konsultan
supervisi atau pihak lain yang ditunjuk.
c. Petugas K3 Konstruksi Pengguna Jasa tidak diperkenankan berasal dari Penyedia
Jasa yang sedang terikat dalam pelaksanaan kegiatan yang sedang ditangani, agar
tidak menimbulkan pertentangan kepentingan.
(10) Menyetujui hasil tinjau ulang RK3K yang dilakukan oleh Penyedia Jasa setiap bulan
(untuk butir-butir yang perlu diadakan tinjauan ulang) dan melaporkannya kepada
Kepala Satuan Kerja.

(11) Menerima dan mempelajari tembusan Laporan Rutin Kegiatan P2K3 yang dibuat oleh
Penyedia Jasa ke Dinas Tenaga Kerja setempat.

(12) Melaksanakan inspeksi K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dibantu oleh Ahli K3
Konstruksi / Petugas K3 Konstruksi bersama Penyedia Jasa sesuai dengan RK3K.

(13) Melakukan evaluasi terhadap adanya kecelakaan kerja konstruksi dan penyakit akibat
kerja konstruksi yang telah terjadi pada kegiatan di bawah kendalinya, untuk selanjutnya
dilaporkan kepada Kepala Satuan Kerja.

(14) Memberi surat peringatan secara bertahap kepada Penyedia Jasa apabila Penyedia
Jasa menyimpang dari ketentuan yang berkaitan dengan Pedoman SMK3 Konstruksi
Bidang Pekerjaan Umum dengan cara memberi surat peringatan ke-1 dan ke-2. Apabila
peringatan ke-2 tidak ditindaklanjuti, maka Pejabat Pembuat Komitmen dapat
menghentikan pekerjaan. Segala risiko akibat penghentian pekerjaan menjadi tanggung
jawab Penyedia Jasa.

(15) Bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja konstruksi dan penyakit akibat
kerja konstruksi, apabila Pejabat Pembuat Komitmen tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (14).

(16) Memberi surat keterangan ”tidak terjadi kecelakaan kerja” kepada Penyedia Jasa yang
telah menyelenggarakan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum tanpa terjadi
kecelakaan kerja.

(17) Ahli K3 Konstruksi/Petugas K3 Konstruksi pada Pengguna Jasa melakukan


pengendalian risiko K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum, yang meliputi : inspeksi
tempat kerja, peralatan, sarana pencegahan kecelakaan kerja konstruksi sesuai dengan
RK3K.

(18) Pihak yang berperan sebagai penyelenggara langsung pada Kegiatan Swakelola wajib
membuat RK3K Kegiatan Swakelola.

(19) Wajib menggunakan Pedoman Teknis yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum
dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang relevan untuk keperluan
Pengendalian SMK3 Bidang Pekerjaan Umum terhadap pekerjaan yang dilaksanakan
oleh Penyedia Jasa.

9
Bagian Kedua

Penyedia Jasa
Pasal 11

Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang Penyedia Jasa meliputi:

(1) Berhak memperoleh informasi dari Pengguna Jasa tentang risiko K3 Konstruksi Bidang
Pekerjaan Umum termasuk kondisi dan potensi bahaya yang dapat terjadi.
(2) Memasukkan biaya penyelenggaraan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dalam
harga penawaran pengadaan jasa konstruksi. Perhitungan biaya penyelenggaraan
SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum tersebut sudah merupakan satu kesatuan
dengan biaya pelaksanaan konstruksi, yang diperhitungkan dalam Analisa Harga
Satuan pada setiap jenis pekerjaan yang mengandung risiko K3 Konstruksi Bidang
Pekerjaan Umum.
(3) Wajib membuat “pra RK3K” sebagai salah satu kelengkapan penawaran lelang dalam
proses pengadaan barang / jasa yang diikuti sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan yang berlaku.
(4) Wajib menyusun tingkat risiko kegiatan yang akan dilaksanakan untuk dibahas dengan
PPK sebagaimana Lampiran 4 yang disusun pada awal kegiatan.
(5) Wajib membuat RK3K sebagaimana Lampiran 1 dan Lampiran 2, dengan ketentuan:
a. Dibuat pada awal kegiatan.
b. Harus mencantumkan kategori risiko pekerjaan yang telah ditentukan bersama
PPK.
c. Pada awal dimulainya kegiatan, Penyedia Jasa mempresentasikan RK3K kepada
Pejabat Pembuat Komitmen untuk mendapat persetujuan.
d. Tinjauan ulang terhadap RK3K (pada bagian yang memang perlu dilakukan kaji
ulang) dilakukan setiap bulan secara berkesinambungan selama pelaksanaan
pekerjaan konstruksi berlangsung.
(6) Wajib melibatkan Ahli K3 Konstruksi pada setiap paket pekerjaan yang mempunyai
risiko K3 tinggi.
(7) Wajib melibatkan sekurang-kurangnya Petugas K3 Konstruksi pada setiap paket
pekerjaan yang mempunyai risiko K3 sedang dan kecil.
(8) Melakukan kerja sama untuk membentuk kegiatan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan
Umum bila ada dua atau lebih Penyedia Jasa yang bergabung dalam satu kegiatan.
(9) Kerja sama kegiatan SMK3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum tersebut dipimpin oleh
penanggung jawab utama Penyedia Jasa.
(10) Wajib membentuk P2K3 bila:
a. Mengelola pekerjaan yang mempekerjakan pekerja dengan jumlah paling sedikit 100
orang,
b. Mengelola pekerjaan yang mempekerjakan pekerja kurang dari 100 orang, akan
tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang mempunyai risiko yang besar
akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan penyinaran radioaktif.
(11) Wajib melapor ke Dinas Tenaga Kerja dan Jamsostek setempat sesuai ketentuan yang
berlaku.
(12) Wajib membuat Laporan Rutin Kegiatan P2K3 ke Dinas Tenaga Kerja setempat dan
tembusannya disampaikan kepada PPK.
(13) Wajib melaksanakan Audit Internal K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum
sebagaimana Lampiran 3.

10

Anda mungkin juga menyukai