Anda di halaman 1dari 90

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Pendidikan merupakan pusat atau pokok dari peradaban dalam

kehidupan ini. Penciptaan Manusia oleh Allah SWT sebagai khalifahnya di

dunia tidak bisa lepas dari pendidikan. Karena pendidikanlah yang menjadi

tolak ukur dari keberhasilan atau tidaknya peran manusia dalam menjadi

khalifah di dunia ini. Anugerah Allah SWT berupa akal dan pikiran inilah

yang menjadikan pendidikan sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa

dipisahkan dari dari manusia karena adanya pendidikan juga dikarenakan

adanya daya pikir oleh akal manusia. Manusia dan pendidikan merupakan

satu kesatuan penciptaan manusia di dunia ini. Banyak ayat al-Quran yang

telah menjelaskan terjadinya manusia dan kemudian dikaitkan dengan

penggunaan akal dalam menjalani hidup ini. Islam sebagai agama rahmah

lil al-„alamin sangat mewajibkan manusia untuk selalu belajar. Bahkan,

Allah SWT mengawali menurunkan Al-Quran sebagai pedoman hidup

manusia dengan ayat yang memerintahkan rasul-Nya, Muhammad SAW

untuk membaca dan membaca (iqra‟). Iqra‟ merupakan salah satu

perwujudan dari aktivitas belajar. Dan dalam arti yang luas, dengan iqra‟

pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki

kehidupan.

i
Pendidikan Islam mengembangkan ilmu pengetahuan dan budaya

serta aplikasinya dalam realitas kehidupan yang bertujuan menciptakan

suatu sikap yang tanggung jawab untuk menghadapi berbagai tantangan

dunia nyata. Pada prinsipnya pendidikan memikul amanah pendidikan

akhlak untuk masa depan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa setiap

manusia akan menjalani kehidupan di masa akan datang bersama yang

lainnya. Akhlak masa depan menuntut manusia untuk bertanggung jawab

atas apa yang telah ditanamnya pada alam sekarang. Di sisi lain, manusia

dituntut untuk merencanakan dan merumuskan nilai-nilai kearifan untuk

mempersiapkan kehidupan berikutnya. Dalam konteks akhlak masa depan,

visi pendidikan diharuskan untuk menyiapkan atau merencanakan

perbaikan akhlak yang telah mulai rapuh di masa sekarang. Seperti contoh

yang terjadi saat ini adalah kenakalan remaja. Hal ini sudah menjadi

masalah klasik yang menjadi bahan bahasan atau pemikiran bagaimana

mengatasinya secara bijaksana dan sesuai dengan nilai moral yang berlaku

di dunia dan Indonesia secara khusus. Terkait dengan hal ini, visi

pendidikan sebagai institusi harus solid dalam menyelesaikan permasalahan

akhlak yang pelik ini. Sebenarnya hal ini juga dipicu karena kurangnya

penghayatan atas nilai-nilai ke-Tuhan-an yang telah ada kaida-kaidah yang

mengaturnya sesuai dengan norma yang berlaku.

Fenomena yang terjadi pada saat ini ialah bangsa indonesia tengah

dihadapkan dengan masalah degdradasi akhlak yang sangat

memprihatinkan. Jika diabaikan tanpa ada upaya untuk memperbaiki serta

2
3

perduli, maka akan menghancurkan masa depan bangsa indonesia sendiri.

Diakui atau tidak, saat ini memang telah terjadi krisis akut yang telah sampai

pada tingkat mengkhawatirkan dengan melibatkan investasi dan harapan

milik kita yang paling berharga yaitu anak-anak atau peserta didik. Kondisi

remaja atau peserta didik saat ini mengalami krisis yaitu anatara lain berupa

maraknya aksi pergaulan bebas, meningkatnya angka kekerasan di kalangan

anak-anak dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, penculian

remaja, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pornografi,

pemerkosaan dll.1

Semua masalah itu terjadi akibat kurangnya atau minimnya

pengetahuan akhlak yang baik dikarnakan pendidikan yang salah yang tidak

sesuai dengan agama, karna selama ini nilai-nilai yang ditanamkan kepada

anak-anak khususnya zaman sekarang hanya berupa nilai-nilai yang

mencontoh kebaratan yang mengedepankan intelektualitas dan

mengesampingkan nilai-nilai moralitas yang di dapatkan disekolah,

keluarga, ataupun dari lingkungan sekitar. Dengan demikian, mekanisme

pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas

mengutamakan kemampuan keilmuan sebagai landasan pembangunan

negara tapi melupakan moralitas. Tidak dipungkiri memang di zaman era

globalisasi ini menuntut setiap bangsa memiliki sumber daya manusia yang

berdaya tahan kuat dan perilaku yang andal. Sumber daya manusia yang

1
Eis Dahlia, Skripsi : “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali” (Lampung UIN
Raden Intan Lampung, 2014)
4

berkualitas hanya dapat diperoleh melalui pendidikan yang bermutu dan

unggul. Dari system pendidikan yang unggul inilah muncul generasi dan

budaya yang unggul. Namun demikian, munculnya globalisasi juga telah

menambah masalah baru bagi dunia pendidikan.

Namun dijaman yang semakin maju ini pula bangsa indonesia

khusunya para remaja zaman sekarang tidak hanya memerlukan pendidikan

yang bermutu atau yang berkualitas dalam Iptek, ataupun ilmu yang bersifat

pengetahuan Global saja melainkan juga harus ilmu yang akhlak yang harus

ditanamkan. Serta adanya metode dalam pembentukan akhlak yang sesuai

dengan ajaran Rosulullah. Oleh karenanya dibutuhkan kerja sama yang apik

dalam pendidikan ber akhlak yang dimana ilmu yang tidak hanya membawa

kabaikan dunia saja melainkan ilmu yang mampu membawa generasi muda

baik dalam dunia tetapi baik juga diakhirat yang membuat mereka

menjadikan manusia yang insan kamill. Tokoh ini banyak mewarnai

pendidikan masyarakat Islam Indonesia, terutama pendidikan di kalangan

pesantren.Imam al-Ghazali merupakan pemikir Islam yang terkemuka.

Kitab- kitab dan buku-buku karangan beliau telah tersebar di seluruh

penjuru dan banyak juga yang telah menggunakan atas apa yang telah

diijtihadkan beliau. Salah satu dari percikan Ihya Ulumuddin karangan

beliau yang fenomenal adalah buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk

Akhlak Mulia. Kitab tersebut membahas beberapa pokok bahasan tentang

beragama. Salah satu yang menarik adalah pembahasan tentang konsep


5

beliau tentang pendidikan akhlak. Beliau banyak menyinggung

permasalahan tentang akhlak.2

Oleh karenanya, peneliti merasa bahwa konsep pendidikan konsep

menurut Imam Al-Ghazali sangatlah tepat untuk diteliti. Terutama

mengenai Pendidikan akhlak maka untuk mengetahui konsep Pendidikan

akhlak seperti apa yang menurut Imam Al-ghazali, maka peneliti

mengangkat judul Skripsi: “PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DALAM

ISLAM PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI”.

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis fokus pada beberapa pokok bahasan.

Diantaranya :

1. Bagaimana pendidikan akhlak anak dalam perspektif Imam Al-Ghazali?

2. Bagaimana relevansi pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan

akhlak anak dalam konteks kekinian?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, penulis dalam penulisan

penelitian ini punya beberapa tujuan, diantaranya :

1. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan akhlak anak menurut Imam

Al- Ghazali

2
Paryono, Skripsi : “Konsep Pendidikan Akhlak Imam Al Ghazali” (Studi Analisis Kitab Ihya’
Ulumuddin)” (Salatiga : STAIN Salatiga, 2014), 1
6

2. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang

pendidikan akhlak anak.

3. Untuk mengetahui bagaimana relevansi pemikiran tentang pendidikan

akhlak anak menurut Imam Al-Ghazali dalam konteks kekinian.

D. Kegunaan Penlitian

Kegunaan peneliti yang diharapkan yaitu :

1. Sebagai sarana dalam menunjang khazanah keilmuan dalam dunia

pendidikan secara umum.

2. Sebagai sebuah sumbangan dalam keilmuan khususnya pada ilmu

pendidikan agama islam

3. Sebagai salah satu tugas untuk meraih gelar sarjana pendidikan S. Pd.

Di kampus IAIN Kediri.

E. Telaah Pustaka

1. Penelitian yang dilakukan oleh : Eis Dahlia dengan prodi Pendidikan

Agama Islam.

Dengan judul Konsep Pendidikan akhlak perspektif Imam Al Ghazali.

Fokus penelitian ini lebih membahas tentang perbedaan karakter

dan bagaimana relevansi terhadap pendidikan agama islam disekolah

sedangkan penelitian saya membahas tentang pendidikan akhlak secara

umum perspektif Imam Al Ghazali dalam pendidikan islam3.

3
Eis Dahlia, Skripsi : “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali” (Lampung UIN
Raden Intan Lampung, 2014)
7

2. Penelitian yang dilakukan oleh : Paryono dengan prodi Pendidikan

Agama Islam

Dengan judul Konsep pendidikan akhlak Imam Al Ghazali.

Fokus penelitian ini lebih mengarah tentang karakteristik

pemikiran Imam Al-Ghazali, pemikiran Imam Al-Ghazali tentang

konsep pendidikan akhlak dan relevansi konsep pemikiran akhlak Imam

Al-Ghazali dalam konteks kekinian. Sedangkan penelitian saya saya

membahas tentang pendidikan akhlak secara umum perspektif Imam Al

Ghazali dalam pendidikan islam4.

3. Penelitian yang dilakukan oleh : Muhail dengan prodi Kependidikan

Islam.

Dengan judul Konsep pendidikan akhlak perspektif Imam Al Ghazali.

Fokus penelitian ini lebih mengarah tentang bagaimanakah

Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif al-Ghazali. Sedangkan

penelitian saya membahas tentang pendidikan akhlak secara umum

perspektif Imam Al Ghazali dalam pendidikan islam5.

F. Kajian Teoritik

A. Pendidikan Akhlak Secara Umum

Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik

yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai

4
Paryono, Skripsi : “Konsep Pendidikan Akhlak Imam Al Ghazali” (Studi Analisis Kitab Ihya’
Ulumuddin)” (Salatiga : STAIN Salatiga, 2014)
5
Muhail, Skripsi : ”Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Imam Al-Ghazali” (Yogyakarta :
UIN Sunan Kalijaga, 2009)
8

educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan

potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman

melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare,

yakni: membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan

kekuatan atau potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti

panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan,

mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah

kepribadian sang anak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan

berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan

mexmberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan

pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan

sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan,

proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan

pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta

jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan

menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari

pengertian-pengertian dan analisis yang ada maka bisa disimpulkan bahwa

pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai

kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta

lingkungannya.
9

Dalam pendidikan terdapat dua hal penting yaitu aspek kognitif

(berpikir) dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita

mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang

ambil bagian tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan perasaan

seperti semangat, suka dan lain-lain. Substansi pendidikan menurut Ki

Hajar Dewantara adalah membebaskan manusia dan menurut Drikarya

adalah memanusiakan manusia. Ini menunjukan bahwa para pakar pun

menilai bahwa pendidikan tidak hanya sekedar memperhatikan aspek

kognitif saja tapi cakupannya harus lebih luas.

Secara lebih filosofis Muhammad Natsir dalam tulisan “Idiologi

Pendidikan Islam” menyatakan : “Yang dinamakan pendidikan, ialah suatu

pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti

kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Menurut Abdur Rahman an

Nahlawi tentang konsep Tarbiyah (pendidikan) dalam empat unsur :

1. Memelihara pertumbuhan fitrah manusia.

2. Mengarahkan perkembangan fitrah manusia menuju kesempurnaan.

3. Mengembangkan potensi insani (sumber daya manusia) untuk

mencapai kualitas tertentu.

4. Melaksanakan usaha-usaha tersebut secara bertahap sesuai dengan

irama perkembangan anak.

Dari kajian antropologi dan sosiologi secara sekilas dapat kita

ketahui adanya tiga fungsi pendidikan :


10

1. Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam

sekitarnya, sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca

(analisis), akan mengembangkan kreativitas dan produktivitas.

2. Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya

sehingga keberadaannya, baik secara individual maupun social lebih

bermakna.

3. Membuka pintu ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang sangat

bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup bagi individu dan

social. Sedangkan pendidikan nasional bergfunsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan bertanggung jawab.

Pendidikan di Indonesia mulai melirik sebagai investasi jangka

panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya

adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran

pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan

awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang.

Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai

investasi jangka panjang.

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi

dan juga untuk memajukan dunia teknologi. Pada praksis manajemen


11

pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi

teknis-teknologis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi

teknis-teknologis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan

teknologi misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan

pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan

berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka

tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang

yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak

berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya

keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah

satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan

keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi,

pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di

Indonesia akhir-akhir ini.

Fungsi pendidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap

perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang

berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara

belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan

diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long


12

learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta

teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.6

Akhlak dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak, tabiat. Dalam

bahasa sehari hari ditemukan pula istilah etika ataupun moral, yang

diartikan sama dengan akhlak, walaupun sebenarnya yang sama antara

istilah-istilah tersebut adalah pembahasannya, yaitu tentang baik dan buruk.

Budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil ratio dan rasa yang

bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. Kata akhlaq itu sendiri

berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata khuluq yang

mempunyai arti tabiat, budi pekerti, al-‘ādah (kebiasaan), al-murū’ah

(keperwiraan, kekesatriaan, kejantanan), ad-dīn (agama) dan al-ghadlab

(kemarahan). Menurut al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al

Ghazali (1058-1111 M) dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, bahwa akhlak

adalah sebuah bentuk ungkapan yang tertanam dalam jiwa yang

menimbulkan perbuatan-perbuatan yang gampang dan mudah tanpa

memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Akhlak menurut istilah menurut beberapa pakar dalam bidang akhlak

sebagai berikut :

a. Abu al-Hasan al-Mas’udi (895-956 M) Akhlak adalah sebuah ibarat atau

dasar untuk mengetahui baiknya hati dan panca indra, dan akhlak

sebagai hiasan diri kita dan bertujuan untuk menjauhkan dari perkara

6
Nurkholis, Jurnal : “Pendidikan Dalam Upaya Memajukan Teknologi” (Purwokerto : STAIN
Purwokerto, 2013) Hal. 25-29
13

yang jelek, dan buah dari akhlak adalah bersih hati dan panca indranya

di dunia, lebih-lebih beruntung di akhirat kelak nanti.

b. Muhyiddin Ibn Arabi (1165-1240 M) Akhlak adalah keadaan jiwa

seseorang yang mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui

pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu. Keadan tersebut pada

seseorang boleh jadi merupakan tabiat atau bawaan dan boleh jadi juga

merupakan kebiasaan melalui latihan dan perjuangan.

c. Ibrahim Anis (1906-1977 M) Akhlak adalah ilmu yang objeknya

membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat

disifatkan dengan baik dan buruknya.

d. Ibn Maskawaih (932-1030 M) Khuluq (akhlak) adalah keadaan jiwa

yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa

pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.

e. Ali bin Muhammad al-Jurjani (1340-1413 M) Akhlak adalah istilah bagi

sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir

perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan

merenung.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tabiat

atau sifat seseorang, yaitu keadaan jiwa yang telah terlatih sehingga telah

melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan

spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angan lagi. Jika akhlak memang

sudah ada dalam jiwa seseorang maka yang perlu atau yang dibutuhkan

adalah pengelolaan terhadap akhlak tersebut yang nantinya akan


14

menimbulkan akhlak yang baik yang sesuai ajaran Rasulullah saw. Tidak

mungkin ada akhlak yang baik selama seseorang tidak pernah mau untuk

menjadikannya akhlak yang baik yang sesuai dengan al-qur’an dan hadits

selama tidak mau melatihnya.7

B. Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Al Ghazali

Landasan akhlak dalam kehidupan manusia menjadi sesuatu yang

sangat penting dan signifikan untuk diaktualisasikan dalam membangun

totalitas kehidupan yang lebih baik. Pentingnya akhlak sebenarnya tidak

lepas dari tujuan atau pandangan hidup dalam eksistensi kita di dunia.

Pembentukan akhlak berperan penting dalam membentuk kepribadian

bangsa yang meliputi taubat, muhasabah, ikhlas, ridha, zuhud, cinta Allah

dan Rasul. Akhlak yang dikembangkan oleh Imam Al-Ghazali bercorak

teologis (ada tujuannya), ia menilai amal berdasarkan akibatnya. Corak

akhlak ini mengajarkan bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung,

kebahagiaan di akhirat, dan amal dikatakan baik bila memberikan pengaruh

pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan itu. Kebaikan dan

keburukan berbagai amal ditentukan oleh pengaruh yang ditimbulkannya

dalam jiwa pelakunya. Pembahasan-pembahasan pengertian pendidikan

akhlak bercirikan sebagai berikut :

1) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa

seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.

7
Abdulloh Sadjad, jurnal : “Pendidikan Akhlak Perspektif al-Imam Al-Ghazali” ( Pacitan : STAINU
Pacitan) Hal 113-115
15

2) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan

tanpa pemikiran

3) Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri

orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

4) Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan

sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.

5) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas

semata-mata karena Allah.

Akhlak dibagi menjadi 2 bagian, yaitu akhlak yang baik disebut juga

akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak karimah (mulia), sedangkan akhlak

yang buruk disebut juga akhlak madzmumah (tercela). Akhlak mahmudah

yaitu tingkah laku terpuji yang merupakan tanda kesempurnaan iman

seseorang kepada Allah. Akhlak yang terpuji dilahirkan dari sifat-sifat yang

terpuji pula.8

Pendidikan akhlak menurut pendapat pendapat al-Ghazali adalah:

pendidikan non formal dan formal. "Pendidikan ini berawal dari non formal

dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang

dikonsumsi. Selanjutnya Bila anak telah mulai nampak daya hayalnya

untuk membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada

hal positif. Al-Ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayat), dan

keteladanan (uswah al hasanah). Anak juga perlu dibiasakan melakukan

8
Tita Rostitawati, Jurnal : “Konsep Pendidikan Akhlak Anak Dalam Perspektif Al-Ghazali” (
Gorontalo : IAIN Sultan Amai Gorontalo) Hal 49
16

sesuatu yang baik. Di samping itu pergaulan anak pun perlu diperhatikan,

karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil yang sangat besar

dalam pembentukan keperibadian anak-anak. Bila sudah mencapai usia

sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan kesekolah yang

baik, dimana ia diajarkan al-Quran, Hadits dan hal hal yang bennanfaat.

Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada yang jelek, dengan pujian

dan ganjaran (reward). Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan

dibukakan di depan umum. Bila terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi

yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan

bermain, tetapi pennainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan

anak Pendapat al-Ghazali ini senada dengan pendapat Muhammad Qutb

dalam System Pendidikan Islam. Perhatian.

Sementara untuk pendidikan formal, al-Ghazali mensyaratkan

adanya seorang guru atau mursyid yang mempunyai kewajiban antara lain:

mencontoh Rasulullah tidak meminta imbalan, bertanggung jawab atas

keilmuannya, Hendaklah ia membatasi pelajaran menurut pemahaman

mereka. Hendaklah seorang guru ilmu praktis (syar'i) mengamalkan ilmu,

yang amal itu dilihat oleh mata dan ilmu dilihat oleh hati, tapi orang yang

melihat dengan mata kepala itu lebih banyak dari mereka yang melihat

dengan mata hati Adapun kewajiban murid adalah : memperioritaskan

kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru,

dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu

secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk


17

bertaqarub kepada Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta

dan pangkat dengan peraturan pengajar dan pelajar, Al-Ghazali membuat

suatu sistem yang membentuk satu komunitas pendidikan. Dimana

hubungan antara seorang guru dan murid sangat sarat dengan peraturan

yang satu dan yang lainnya.9

C Implementasi Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Imam Al Ghazali

dalam konteks kekinian

Penjelasan ini lebih difokuskan pada Akhlak, Pendidikan Akhlak,

pembagian akhlak dan metode pendidikan akhlak :

1. Akhlak

Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak, yaitu akhlak

harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa

memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut,

maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang

saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi

keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia

cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada

kekejian. Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan

"ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan

akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai

potensi yang bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi

9
Enok Rohayati, Jurnal : “Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak” (Palembang : IAIN
Raden Fatah) Hal 106-108
18

akhlak itu adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan bentuknya yang

bathiniah" Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang di

kemukakan oleh Ibnu Maskawaih (320-421H/932-1030 M) dalam Tahdzib

al Akhlak. Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan

bahwa akhlak adalah "Keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang

bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu." la tidak bersifat rasional, atau

dorongan nafsu.

2. Pembagian Akhlak

Dalam pembagian itu al-Ghazali mempunyai 4 kriteria yang harus

dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu: kekuatan

'ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang terkontrol oleh akal akan

menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan

keseimbangan (keadilan) Keempat komponen im merupakan syarat pokok

untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini

dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat

dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia

dekat juga dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah 'tiada diutus

kecuali uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi).

3. Metode Pendidikan Akhlak

Menurut al-Ghazali (2003:72-73), ada dua cara dalam mendidik

akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal

shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu

juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan


19

sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu

dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu

berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut

juga dengan ladunniah. Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan

mujahadahdan riyadhah, yaitu dengan membawadiri kepada perbuatan

perbuatanyang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya,akhlak

berubah dengan pendidikan latihan.10

4. Pendidikan Budi pekerti di era globalisasi

Pengertian pendidikan budi pekerti mengacu pada pengertian dalam

bahasa inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas

mengandung beberapa pengertia antara lain, Adat istiadat, Sopan santun dan

Perilaku. Sebagaimana di kutip oleh Nurul zuriah pengertian budi pekerti

secara hakiki adalah perilaku. Sementara itu menurut draft kurikulum

berbasis kompetensi, budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang

akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama,

norma norma hukum, tata krama dan sopan santun. Berbagai usulan tentang

perlunya pendidikan budi pekerti dalam pembangunan karakter dan

pembentukan moralitas bangsa, bukanlah suatu hal yang baru. Sebagaimana

pendapat Azyumardi Azra yang disampaikan oleh Nurul Zuhriah bahkan

sebelum pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib, dalam rencana

pelajaran pada tahun 1947, yang ada hanyalah mata Pelajaran “didikan budi

10
Rima Winda Sari, Skripsi : “Relevansi Pemikiran Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya Ulumuddin
Terhadap Pendidikan Akhlak Di Masa Sekarang” (Jambi : Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin) Hal 24-26
20

pekerti” yang bersumber dari nilai-nilai traditional, khususnya yang

terdapat dalam cerita pewayangan.

Setelah melalui perdebatan panjang antara pihak Diknas dan

Kemenag, akhirnya sejak tahun 1975 pendidikan budi pekerti diintregasikan

ke dalam mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan (Civics), yang

kemudian menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).

Dalam kurikulum 1984, Moral pancasila diintregasikan ke dalam empat

mata pelajaran, yaitu PMP, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB),

P4 dan Sejarah Nasional. Dalam kurikulum 1994 pelajaran ini tercakup

dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).

Dan pada kurikulum terakhir tercakup dalam mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan (PKN). Sejalan dengan menghilangnya mata pelajaran

budi pekerti masalah bangsa yang kian kompleks juga memunculkan

masalah akhlak dan moral di kalangan peserta didik pada berbagai level atau

tingkatan. Sekali lagi, pikiran dan logika yang sedikit simplisit menganggap

masalah ini disebabkan lenyapnya pendidikan budi pekerti dan kegagalan

pendidikan agama.

Dalam kajian budaya nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan.

Lebih-lebih dalam era globalisasi ini yang berada di dunia yang terbuka,

ikatan nilai-nilai moral mulai melemah. Masyarakat mengalami multikrisis

yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah nilai-nilai

moral. Analisis di atas menjadikan pendidikan di Indonesia mengkaji dan

membangkitkan pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau


21

pendidikan karakter. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan

masyarakat Indonesia saja sebenarnya, akan tetapi juga oleh negara-negara

maju. Bahkan di negara-negara Industri dimana ikatan moral menjadi

semakin longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari

pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai di telantarkan. Sebagai

rekomendasi penting dari pernyataan di atas adalah :

1) Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi

juga tanggung jawab keluarga dan lingkungan sosial yang lebih luas.

Jadi meskipun sekolah misalnya menyelenggarakan pendidikan budi

pekerti, tetapi lingkungan masyarakatnya tidak atau kurang baik maka

pendidikan budi pekerti di sekolah tidak ada artinya.

2) Pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah terkandung dalam

pendidikan agama dan mata pelajaran lain. Akan tetapi, kandungan budi

pekerti tersebut tidak bisa teraktualisasi karena adanya kelemahan mata

pelajaran agama dalam segi metode maupun muatan yang lebih

menekankan pengisian aspek kognitif daripada aspek afektif.

Dengan demikian pendidikan budi pekerti diintregasikan ke dalam

semua mata pelajaran dan program pendidikan, seperti pendidikan

agama dan PPKn. Seperti terlihat rincian nilai-nilai budi pekerti yang

diberikan Depdiknas dan Depag pada intinya merupakan nilai-nilai

keagamaan dan akhlak, yang secara sosial dan kultural dipandang dan

diakui sebagai nilai-nilai luhur bangsa.


22

5. Perkembangan moral

Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang

terdapat dalam sekolompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan

manusia sebagai manusia. Norma moral adalah memandang bagaimana

manusia harus hidup agar menjadi baik sebagai manusia. Moral berkaitan

dengan moralitas. Moralitas adalah segala hal yang berhubungan dengan

sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket. Moralitas

bisa berasal dari sumber tradisi ataupun adat, agama ataupun ideology, atau

gabungan dari beberapa sumber. Perkembangan moral sebenarnya

melibatkan tiga komponen dasar.11

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara yang digunakan untuk mencari kebenaran dalam

suatupenelitian. Sebagaimana dalam bukunya Sugiono menjelaskan bahwa

“metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid

dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan suatu

pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk

memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang

pendidikan.12

1. Jenis Penelitian dan pendekatan

Dilihat dari tempat pelaksanaan, penelitian ini termasuk

penelitian kepustakaan (literatur review), yaitu meneliti bahan-bahan

11
Martin Aulia Skripsi : “Relevansi Pemikiran Al-Ghazali Terhadap Pendidikan Karakter (Akhlak)
Di Era Sekarang (Globalisasi), 2017” (Lampung : Universitas Raden Intan Lampung) hal 91-95
12
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2010), Cet. 10, 6.
23

kepustakaan atau literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian

dengan memilih, membaca, menelaah dan meneliti buku-buku atau

sumber tertulis lainnya yang relevan dengan judul penelitian yang

terdapat dalam sumber-sumber pustaka, yang dapat dijadikan sumber

rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah.13

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif analitis.

Deskriptif analitis (descriptive of analyze research), yaitu pencarian

berupa fakta, hasil dari ide pemikiran seseorang melalui cara mencari,

menganalisis, membuat interpretasi serta melakukan generalisasi

terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Prosedur penelitian ini adalah

untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa data tertulis setelah

melakukan analisis pemikiran (content analyze) dari suatu teks.

a. Sumber Data Premier

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung dan

segera Memberikan data bagi peneliti. Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak

Mulia Percikan Ihya Ulumudin karya Imam Al Ghazali yang

diterjemahkan Muhammad Al-Baqir.

13
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyususnan Skripsi, (Jakarta :Rineka
Cipta, 2011), 95
24

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data kepustakaan yang

berkaitan dengan objek atau buku sebagai pendukung dalam

penelitian. Data skunder dalam penelitian ini adalah buku-buku dan

skripsi yang mempunyai relevansi atau masih berkaitan dengan

penelitian, untuk memperkuat argumentasi dan melengkapi hasil

penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan teknik

dokumentasi yaitu mengumpulkan bahan-bahan, dan studi literatur

yakni mempelajari bahan yang berkaitan dengan objek penelitian.14

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian karena tujuan untama dari penelitian adalah

mendapatkan data.15 Terdapat beberapa cara atau teknik dalam

mengumpulkan data, diantaranya adalah observasi dan dokumentasi.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode dokumentasi

sebagai alat untuk pengumpul data karena penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan. Dengan kata lain, teknik ini digunakan untuk

menghimpun data-data dari sumber primer maupun sekunder.

14
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor : Ghalia Indonesia,2014), 81.
15
Ibid Sugiyono, Op.Cit., 224.
25

4. Teknik Analisis Data

Analisis data tidak saja dilakukan setelah data terkumpul, tetapi

sejak tahap pengumpulan data proses analisis telah dilakukan. Penulis

menggunakan strategi analisis “kualitatif”, strategi ini dimaksudkan

bahwa analisis bertolak dari data-data dan bermuara pada kesimpulan-

kesimpulan umum.16 Berdasarkan pada strategi analisis data ini, dalam

rangka membentuk kesimpulan-kesimpulan umum analisis dapat

dilakukan menggunakan kerangka pikir “induktif”.

Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan metode

analisis dokumen atau analisis isi (content analysis), analisis isi berarti

metode apapun yang digunakan untuk kesimpulan melalui usaha

menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan

sistematik. Menurut Smith dalam buku karangan Nanang Murtono

berpendapat bahwa : “Analisis isi merupakan sebuah teknik yang

digunakan untuk mendapat informasi yang dibutuhkan dari materi

secara sistematis dan obyektif dengan mengidentifikasi karakter tertentu

dari suatu materi.17

Adapun langkah-langkah analisis data yaitu sebagai berikut :

a. Memilih dan menetapkan pokok bahasan yang akan di kaji

b. Mengumpulkan data-data yang sesuai dengan pokok bahasan melalui

pokok bahasan melalui buku-buku maupun sumber lainnya

16
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta : RinekaCipta, 2010),
202.
17
Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), 86
26

c. Menganalisis dan mengklarifikasi

d. Mengkomunikasikannya dengan kerangka teori yang di gunakan

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan merupakan langkah yang digunakan agar

pembahasan dalam skripsi ini dapat terarah dan tersistem dengan baik maka

haruslah disusun secara global dan kronologis, karena setiap bab harus

saling berkaitan dari bab pertama sampai terakhir maka dari itu ketepatan

dalam penyusunan sangat diperlukan. Sedangkan sistem pembahasan yang

digunakan di sajikan dalam lima bab dan setiap bab dijadikan sub-sub bab

yang tersusunan sebagai berikut.

Dari gambaran umum bab pertama tersebut, Pendahuluan merupakan

bab pertama yang dilakukan oleh penulis sebagai gambaran umum. Latar

belakang masalah termuat dalam bab ini yang isinya mencangkup

permasalahan akademis dari penulis, yang akhirnya menimbulkan suatu

tema kajian untuk diteliti. Kemudian diikuti dengan rumusan masalah yang

merupakan fokus dari latar belakang masalah.

Dari gambaran umum bab pertama tersebut, maka dilanjutkan pada

bab kedua tentang. Biografi Tentang Akhlak Imam Al-Ghazali Dan Karya-

Karyanya.

Bab ketiga memuat tentang Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang

Pendidikan Akhlak Anak

Bab keempat analisis data dan pembahasan tentang Pendidikan

Akhlak Anak Dalam Perspektif Imam Al-Ghazali dan Relevansi Pemikiran


27

Imam Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak Anak Dalam Konteks

Kekinian.

Bab kelima bab yaitu penutup yang memuat kesimpulan dari semua

pembahasan yang ada. Bab ini penting dipaparkan untuk dapat mengetahuai

keaslian dan kejelasan penelitian ini sebagai hasil studi. Begitu juga

kesimpulan ini terdapat saran dan harapan supaya penelitian ini dapat

memberikan wawasan yang bermanfaat untuk umat Islam pada umumnya

dan untuk peneliti khusunya.


BAB II

BIOGRAFI TENTANG AKHLAK IMAM AL-GHAZALI DAN KARYA

KARYANYA

A. Biografi Imam Al Ghazali

Apabila diruntut dari rentang perjalanan sejarah islam, kendati pun

masa hidup imam al-ghazali nasih berada dalam periode klasik (650 –

1250), namun sudah masuk ke dalam masa kemunduran atau jelasnya masa

disintegrasi (1000 – 1250). Secara politis kekuatan pemerintahan islam yang

ketika itu dibawah kekuatan Dinasti Abbasiyah sudah sangat lemah dan

mundur karena terjadinya konflik internal yang berkepanjangan dan tak

kunjung terselesaikan.

Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan

(Persia) pada pertengahan abad kelima Hijriyah (450 H/1058 M). Ia adalah

salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar Hujjatul Islam

(bukti kebenaran agama Islam) dan zain ad-din (perhiasan agama). Al-

Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus pada tanggal 14 Jumadil

Akhir 505 H (19 Desember 1111 M). Al-Ghazali pertama-tama belajar

agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di

Naisabur pada Imam Juwaini sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478

H/1085 M. Ayah Imam Al Ghazali adalah seorang wara’ yang hanya makan

usaha tangannya sendiri. Pekerjaan dari ayah Imam Al Ghazali sendiri

adalah penjual dan penenun kain wol. Tampaknya tentang pribadi dan sifat

28
ayah Imam Al Ghazali ini tidak banyak ditulis orang. Kecuali sikap

mengaguminya terhadap para tokoh agama dan para ilmuwan.18

Pada masa kanak-kanak belajar fikih kepada Ahmad ibn Muhammad

al-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada Imam Abu

Nushr al -Ismaili Thus, Selanjutnya ia pergi ke Naisabur dan berguru kepada

Abu al -Ma’ali al-Juwaini (Imam al-Haramain) di Madrasah Nizhamiyah,

mempelajari ilmu -ilmu fikih, ushul fikih, dan mantik serta tasawuf pada

Abu Ali al-Faramadi. Dengan kecerdasan beliau dan kemauannya dalam

belajar yang sangat luar biasa (Imam Al Ghazali) serta kemampuannya dalam

mendebat sesuatu yang diluar nalar Al -Juwaini kemudian memberikan

predikat bahrun mughriq “laut yang dalam nan menenggelamkan”. Dari

Nasaibur Imam Al Ghazali menuju Baghdad dan disana beliau menjadi guru

besar di Madrasah Nidhamiyah yang didirikan oleh perdana menteri Nizham

al-Mulk. Di tengah-tengah kesibukannya di Madrasah Nidhamiyah, ternyata ia

tidak melupakan dunia jurnalistik.19

Atas prestasinya yang kian meningkat di daerah baghdad pada uisa 34

al-Ghazali diangkat menjadi rektor di Universitas tersebut. Hanya 4 tahun al-

Ghazali menjadi rektor di Universitas Nidhamiyah. Setelah itu, beliau mulai

mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan sejenis

Ahmad zaini, Jurnal : “Pemikiran Tasawuf Imam Al Ghazali” (Kudus : STAIN Kudus) hal 150
18

Eko setiawan, jurnal : “Konsep Pendidikan Akhlak Anak Perspektif Imam Al Ghazali” (Malang :
19

Universitas Brawijaya Malang) Hal 45

29
ma’rifat. Secara diam-diam Al-Ghazali meninggalkan Baghdad ke Syam,

agar tidak ada yang menghalangi kepergiannya, baik dari pihak penguasa

maupun sebagai sahat dosen. Al-Ghazali berdalih akan pergi ke mekkah

untuk melaksanakan ibadah haji dengan demikian amanlah dari tuduhan

bahwa kepergiannya untuk mencari pangkat lebih tinggi ke Syam. Pekerjaan

mengajar ditinggalkan, dan mulailah al-Ghazali hidup jauh dari lingkungan

manusia, zuhud yang ia tempuh.20

Selama hampir dua tahun beliau menghabiskan waktu untuk khalwat

ibadah dan i’tikaf di sebuah masjid damaskus. Setelah melalang buana antara

Syam-Baitul Maqdis-Hijaz selama kurang lebih 10 tahun. Atas dasar fahrul

muluk, pada tahun 499 H/106 M. Setelah dua tahun berlalu Imam Al Ghazali

kembali ke Nasaibur untuk melanjutkan kegiatan di Universitas

Nidhamiyah. Kali ini beliau telah menjadi tokoh pendidik yang betul mewarisi

dan mengerti ajaran Rasululloh SAW.21 Tidak diketahui secara pasti berapa

lama al-Ghazali memberikan kuliah di Midhamiyah setelah sembuh dari

kritis rohaninya. Dan lama setelah fahrul muluk mati terbunuh pada tahun

500 H/1107 M, al-Ghazali kembali ketempat asalnya di thus. Beliau

menghabiskan sisa umurnya untuk membaca Al-Qur’an dan Hadits serta

mengajar. Disamping rumahnya, didirikan sebuah madrasah untuk para

20
Dodo suhada, jurnal : “Pemikiran Pendidikan Agama” (Banjar : Sekolah Tinggi Agama Islam
Miftahul Huda Al-Azhar) Hal 1175
21
Ibid., 1176

30
santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalawat bagi para sufi. Pada hari

senin tanggal 14 jumadatsaniyah 505 H/18 desember 1111 M Al-Ghazali wafat.

Beliau wafat pada usia 55 tahun, dan beliau dimakamkan disebelah tempat

khalwatnya.22

B. Karya-karya Imam Al-Ghazali

Al-Ghazali merupakan salah seorang ulama’ besar yang pernah

dimiliki Islam dalam sepanjang sejarahnya. Ia tergolong ulama dan pemikir

Islam yang sangat produktif dalam menuliskan buah pemikirannya. Jumlah

kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif

oleh para penulis sejarahnya.

Daudy menjelaskan, penelitian paling akhir yang dilakukan oleh

Abdurrahman al-Badawi tentang jumlah judul buku yang menjadi karya

oleh al-Ghazali, kemudian al-Badawi mengumpulkan dalam satu buku diberi

judul Muallafat Al-Ghazali. Dalam kitab itu al-Badawi membuat klasifikasi

kitab-kitab yang telah dikarang dan diduga sebagai karya oleh al-Ghazali

menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan

keasliannya sebagai karya al-Ghazali terdiri dari 72 buah kitab. Kedua,

kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya asli al-Ghazali terdiri atas 22

kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri

atas 31 buah kitab.

22
Ibid., 1176-1177

31
Karya-karya al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada

zamannya, yaitu ilmu kalam, tafsir al-Qur’an, ushul fiqh, tasawuf, mantiq,

fiqih, falsafat, dan lainnya. Di antara karyanya yang paling monumental

adalah :

1. Ihya Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama) sebuah kitab

yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antra

dimensi eksoterik dan esoterik Islam. Kitab ini dikarang al-Ghazali selama

beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Baitul

Maqdis, Makkah dan Thus. Kitab ini merupakan perpaduan dari beberapa

disiplin ilmu, diantaranya fiqh, tasawuf dan filsafat.

2. Maqashid al-Falasifat (Tujuan-tujuan para filosof). Kitab ini berisi

tentang ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq,

fisika dan ilmu alam. Menurut Dunya karya al-Ghazali ini memaparkan

tentang tiga persoalan pokok dalam filsafat Yunani (logika, metafisika

dan fisika) dengan bahasa yang sederhana, sehingga kitab ini dapat

memudahkan para pemula yang mengkaji filsafat Yunani, dengan

susunan yang sistematis dan bahasanya yang sederhana serta mudah

dicerna.

3. Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof). Dalam kitabnya

ini al-Ghazali mengemukakan tentang pertentangan (kontradiksi) yang

ada dalam ajaran filsafat, baik pada masa klasik maupun filsafat yang

dikembangkan oleh filosof muslim seperti Ibnu Sin dan Al-Farabi, serta

32
dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal. Dalam kitab ini Al-

Ghazali menunjukkan beberapa kekeliruan dan kerancauan pemikiran

para filosof Yunani terutama aristoteles dan para pengikut mereka,

seperti filosof Muslim al-Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037). Dalam

karyanya ini Dunya menilai bahwa al-Ghazali berhak mendapat predikat

sebagai failasuf Islam, meskipun isinya banyak menyerang para filosof

dan menghancurkan para filosof di mata umat Islam, namun cara-cara yang

dipakai dalam mengkritik ini menggunakan cara-cara filsafat.

4. Al-Munqidz min al-Dhalal (Sang Penyelamat dari Kesesatan). Karya al-

Ghazali ini merupakan autobiografi (sejarah kehidupannya) yang memuat

perkembangan intelektual dan spiritual pribadinya. Dalam karyanya ini al-

Ghazali juga mendeskripsikan tentang penilaiannya terhadap metode para

pencari kebenaran, jenis macam pengetahuan dan epistemologinya. Al-

Ghazali dalam pendahuluan kitabnya menyatakan bahwa motivasi yang

mendorongnya menulis buku ini adalah untuk memenuhi permintaan

saudara seagama (Al-Kahfi Al-Din)yang meminta agar ia menyampaikan

pendapatnya tentang kebenaran dan kekeliruan ilmu-ilmu yang di

dalaminya serta pengalaman-pengalaman pribadinya dalam mencari

kebenaran.

5. Karya lain di bidang filsafat, logika dan ilmu kalam antara lain,

33
Mi’yar al-ilmi (standar ilmu), al-iqtashad fi Al-‘iqtiqad (moderisasi dalam

berkeyakinan), Mahku A-Nadhar fi Al-Manthiq (uji pemikiran dalam ilmu

manthiq).

6. Karya al-Ghazali lain di bidang ilmu-ilmu agama : Jawahir Al-Quran

(mutiara mutiara yang terkandung dalam al-‘Amal Quran), Mizan Al-‘Amal

(Kriteria amal perbuatan), Misykat Al-anwar (lentera cahaya-cahaya),

Faishal al-Tafriq baina al-Islam wa Al-Zindaqah (perbedaan pemisah

antara Islam dan Zindiq), Al Qisthas al-Mustaqim (Neraca yang adil),

Ayyuhal Walad (wahai anakku), Al-Adab fi al-dien (sopan santun dalam

keagamaan), dan lain-lain.23

C. Pengertian Pendidikan Akhlak Anak Menurut Al-Ghazali

Pendidikan akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak sehingga

menjadi budi pekerti yang mulia (akhlaqul karimah). Dalam hal ini orang tua

sangat berperan dalam memberikan pendidikan agama secara menyeluruh.

Selain itu, akhlak anak-anak bergantung pada kebiasaan dan perilaku orangtua

dan saudara saudaranya di rumah. Anak-anak akan mencontoh ayah dan ibunya

dalam berperilaku. Anak-anak akan meniru kebiasaan dan tingkah laku

orangtua dan saudara-saudaranya. Bila anak sering melihat orang tuanya saling

menolong dan bergaul dengan baik, maka anak dengan mudah berperilaku

seperti itu pula.

23
Ahmad Atabi, Jurnal : ‘Telah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat’ (STAIN Kudus) Hal 25-28

34
Begitupun dengan ucapan-ucapan yang sering didengar oleh anak-anak,

akan mudah ditiru oleh mereka. Oleh karena itu, sudah semestinya orangtua

dapat menjadi contoh teladan bagi-anak-anaknya, seperti sopan santun dalam

bertutur maupun berprilaku sehari-hari. Dalam mengajarkan pendidikan akhlak

di rumah, orangtua dapat mengajarkan dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu

seperti berbakti pada orangtua, menuruti kata-kata orangtua, sopan kepada

orangtua, saudarasaudara, dan sebagainya.

Imam Al-Ghazali berpendapat tentang pendidikan, bahwa pendidikan

merupakan sarana atau media untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Sang

Pencipta (Allah SWT) dan untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan

akhirat kelak yang lebih utama dan abadi. Cara berfikir Imam Al-Ghazali dalam

pendidikan dapat kita lihat dalam pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai

kehidupan yang selalu sejalan dengan filosofinya, serta hikmahnya yang sangat

besar terhadap ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya ini, Athiyah Al-Abrasy

menuturkan sebagai berikut: nasihat terbaik yang dipesankan oleh Imam Al-

Ghazali dalam bidang pendidikan, khususnya anak-anak adalah memperhatikan

sistem pendidikannya sejak permulaan umurnya, karena bagaimana adanya

seorang anak, begitulah besarnya nanti. Bila kita perhatikan pendidikan

diwaktu kecil, ia pasti bersifat baik bila ia besar.

Dapat kita katakan disini bahwa apa yang dipesankan oleh Imam Al

Ghazali adalah suatu peraturan dan metode terbaik dalam pendidikannya

khususnya usia dini dalam pendidikan akhlak dan moral yang tinggi.

35
Berdasarkan argumen Imam Al-Ghazali tersebut, corak pemikiran Al-Ghazali

tentang pendidikan terfokus pada sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah,

menurutnya ciri khas pendidikan Islam itu lebih menekankan pentingnya

menanamkan nilai moralitas yang dibangun dari basic pendidikan akhlak

Islami. Selain itu Imam Al-Ghazali juga menekankan bahwa ilmu pengetahuan

adalah “makanan rohani dalam nyawa”.

Dengan kata lain, Imam Al-Ghazali menghendaki bahwa pendidikan

menjadi suatu kebutuhan pokok umat Islam karena Islam menghendaki

pendidikan itu berlangsung sepanjang hidup manusia. Dengan pendidikan itu p

mencapaipredikat sebagai insan kamil, yakni manusia yang memilikiintegritas

moral yang tinggi, yang dibangun dari nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh

Islam. Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung pada

pendidikan moral dengan pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat

keutamaan pada anak didik. Al-Ghazali menberikan definisi akhlak adalah

“sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan

dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.

Dari definisi tersebut ada kesamaan dalam hal pemahaman makna agar

diperoleh suatu konsep penerapan atau pengamalan, yaitu :

1. Bahwa Akhlak Berpangkal Hati, Jiwa Atau Kehendak, Lalu Kemudian

2. Diwujudkan dalam perbuatan sebagai kebiasaan (bukan perbuatan yang

dibuat-buat tapi sewajarnya saja).

36
Imam Al-Ghazali memandang pentingnya pendidikan akhlak dan

kesopanan bagi anak, yang mengandung kekawanan dalam kehidupan anak,

dan jika anak ditinggalkan tanpa dididik akhlaknya, maka ia akan tumbuh

kearah kehidupan yang penuh siksaan atau penderitaan.24

D. Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali

Pendidikan akhlak adalah Suatu usaha yang dilakukan dengan sadar

untuk menanamkan keyakinan dalam lubuk hati seseorang, guna mencapai

tingkah laku yang baik dan terarah serta menjadikan sebagai suatu kebiasaan

baik menurut akal maupun syara’. Maka jelas sebuah pendidikan akhlak sangat

lah penting bagi setiap orang tidak hanya seorang peserta melainkan seorang

pendidik pun harus tetap belajar dan mencari pendidikan agar dia anggap oleh

orang-orang sekitarnya.

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan

“pe” dan akhiran “an”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan

sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu

“paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak, istilah

ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education”

yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah

ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan Dalam

perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan dan pertolongan

24
Mhd. Habibu Rahman, Jurnal : ‘Metode Mendidik Akhlak Anak Dalam Perspektif Imam Al-Ghazali’
(UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Hal 39-42

37
yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar

ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti

usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang agar menjadi

dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih baik

dalam arti mental. Dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang

dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan

jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembalajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan

yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan Islam

adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau

kepribadian. Pengertian pendidikan seperti disebutkan di atas mengacu

kepada suatu sistem yaitu sistem pendidikan Islam. Pendidikan dalam

pengertian secara umum dapat diartikan sebagai proses transisi

pengetahuan dari satu orang kepada orang lainnya atau dari satu generasi

ke generasi lainnya. Semua itu dapat berlangsung seumur hidup, selama

manusia masih berada bi muka bumi ini. 25

25
Musrifah, Jurnal : “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam” (STAI Brebes) Hal 121-122

38
Pendidikan akhlak seseorang berkaitan dengan moral dan kepribadian.

Upaya mendidik terkait dengan pemberian motivasi kepada anak untuk belajar

dan mengikuti ketentuan norma dan aturan yang telah menjadi kesepakatan

bersama. Pembentukan akhlak yang berlandaskan dari Al-Qur’an dah al-Hadits

merupakan bagian dari ajaran Islam agar terbentuk menjadi manusia yang

seutuhnya, dan dapat berpegangan teguh pada apa yang telah diwariskan oleh

Rasulullah saw.26 Pendidikan tidak hanya mempunyai tujuan akhir menjadikan

manusia ahli dalambidang pengetahuan dunia saja. Tetapi menurut Al-Ghazali

manusia itu harus mempunyai tujuan akhir untuk mencapai kesempurnaan

akhirat pula. Konsep pendidikan akhlak yang ditawarkan Al-Ghazali bersumber

dari Al-Qur’an dan al-Hadits untuk mengatasi masalah dekadensi moral

dikalangan masyarakat yang semakin meningkat. Atas dasar ini Al-Ghazali

menawarkan konsep pemecahan masalah moral tersebut dengan menggunakan

pendekatan atau langkah-langkah pensucian batin serta menggunakan metode-

metode yang tepat dalam pembentukan akhlak yang islami dan sesuai dengan

al Quran dan Hadist.

Al-Ghazali menyatakan manusia mempunyai bermacam-macam akhlak,

antara lain :

1. Sifat Ketuhanan (Sifat Nubuwiyah), seperti sombong, bangga, sok hebat,

suka dipuji dan disanjung, mulia, kaya, suka membanggakan diri dan suka

Abdulloh Sadjad, Jurnal : “Pendidikan Akhlak Perspektif al-Imam Al-Ghazali” (STAINU Pacitan)
26

Hal 120-123

39
mencari ketinggian diatas manusia seluruhnya sehingga seakan-akan ia

yang berkehendak mengatakan “Aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. Dan

demikian menimbulkan berbagai dosa besar yang dilupakan oleh manusia

dan tidak dihitungnya dosa yang dilakukan.

2. Sifat Syaithaniyyah, yaitu segala yang menimbulkan sifat dengki zalim,

daya upaya, tipu, menyerah dengan kerusakan dan perbuatan yang munkar.

Dan termasuk didalamnya perbuatan bid’ah dan sesat.

3. Sifat Kebinatangan, seperti sifat rakus, yang dimiliki oleh hewan babi,

selalu ingin memuaskan perut dan kemaluannya. Kemudian menjadi

implementasi perbuatan zina, homo seksual, mencuri, makan harta anak

yatim dan selalu memikirkan duniawi untuk memenuhi hawa nafsunya.

4. Sifat Kebinatang-buasan, darinya menimbulkan perbuatan egois, dengki,

iri, suka marah, berkata kasar, suka bertengkar dan suka menghambur-

hamburkan harta yang bukan di jalan Allah.

Sifat-sifat demikian berangsur-angsur ada pada diri manusia (fitrahnya).

Maka sifat kebinatangan yang pertama-tama yang menonjol. Kemudian yang

kedua dengan diiringi sifat kebinatang-buasan. Apabila keduanya sudah

terkumpul, lalu keduanya menguasai akal untuk tipu daya dan daya upaya,

sehingga beranjak menjadi sifat Syaithaniyyah. Terakhir menonjol dengan

sifat-sifat ketuhanan, yaitu angkuh, merasa mulia, mencari kebesaran dan

merasa lebih tinggi dari semua makhluk lainnya.

40
Dari pemaparan diatas, disimpulkan bahwa manusia itu memiliki fitrah

dan akhlak yang baik. Akan tetapi manusia itu sendiri pula yang merusak

fitrahnya dengan berbagai macam akhlak tidak tepuji yang dibentuk dalam

dirinya, sehingga menimbulkan perbuatanperbuatan yang tidak baik. Maka

hendaknya manusia menyadari bahwa tidak ada yang paling baik dan sempurna

kecuali dengan berakhlak mulia. Akhlak yang diperoleh dengan proses

pendidikan atau latihan salah satunya adalah dengan mujahadah dan riyadlah,

yaitu mendorong jiwa dan hati untuk terus mengerjakan perbuatan-perbuatan

yang dikehendaki oleh akhlak yang dicari. Misalnya, jika ingin menanam

akhlak pemurah dalam diri, maka jalannya adalah dengan memberi beban pada

dirinya dengan sering-sering memberikan harta atau bersedekah. Dengan

membiasakan dan mewajibkan diri dengan melakukan hal tersebut, sehingga

memupuk watak dan pemurah.

Sebetulnya al-Ghazali tidak melarang seseorang untuk punya harta tetapi

jangan terikat. Kedua, dalam pelaksanaannya, harta bukannya tidak diperlukan

bahkan harus dicari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini

diungkapkan sendiri oleh al-Ghazali bahwa diantara benteng dalam melakukan

mujāhadah adalah berkhalwat (menyepi). Ia menyebutkan bahwa orang yang

mengasingkan diri itu tidak lepas dari orang harus mengurusinya, mulai dari

makanannya, minumannya dan yang mengatur segala urusannya.

41
BAB III

PENDIDIKAN AKHLAK KEKINIAN

A. Pengertian Pendidikan Akhlak

a. Definisi Pendidikan

Menurut kamus besar bahasa indonesia, pendidikan adalah suatu

proses untuk mengubah skap dan tingkah laku seseorang maupun

sekelompok orang dengan tujuan untuk mendewasakan seseorang melalui

usaha pengajaran dan pelatihan .

Pendidikan dilihat dari istilah bahasa Arab maka pendidikan mencakup

berbagai pengertian, antara lain tarbiyah, tahzib, ta‟lim, ta'dib, siyasat,

mawa‟izh, 'ada ta'awwud dan tadrib. Sedangkan untuk istilah tarbiyah, tahzib

dan ta'dib sering dikonotasikan sebagai pendidikan. Ta'lim diartikan

pengajaran, siyasat diartikan siasat, pemerintahan, politik atau pengaturan.

Muwa'izh diartikan pengajaran atau peringatan. ‟Ada Ta'awwud diartikan

pembiasaan dan tadrib diartikan pelatihan.

Istilah tersebut sering dipergunakn oleh beberapa ilmuwan

sebagaimana Ibn MiskawaihPerbedaan itu tidak menjadikan penghalang dan

para ahli sendiri tidak mempersoalkan penggunaan istilah di atas. Karena,

pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam suatu

kesimpulan awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan

generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya

42
secara lebih baik.

John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses

pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya

pikir (intelektual) maupun daya perasaann (emosional) menuju ke arah tabiat

manusia biasa .

Sedangkan Abudi Nata berpendapat pendiidkan adalah suatu usaha

yang didalamnya ada proses belajar untuk menumbuhkan atau meggali

segenap potensi fisik, psikis, bakat, minat dan sebagainya, yang dimilki oleh

para manusia . Karena didalamnya ada suatu proses maka hasilnya akan

berubah dari awal sebelum seseorang itu memdapatkan pendidikan sampai ia

selesai mendapat didikan.27

b. Definisi Akhlaq

Akhlak didapat dari bahasa arab dari kata “khuluqun” bentuk jama‟

dari kata “khuluq” yang mempunyai arti budi pekerti, perangai, tingkah laku

atau tabiat, kebiasaan atau adat, keperwiraan, kesatrian, kejantanan, agama

dan kemarahan (al Ghodhob).

Dari kata khulqun, hal ini sangat memungkinkan bahwa tujuan dari

akhlak adalah ajaran yang mengatur hubungan dari manusia kepada sang

Khalik dan makhluk lain. Akhlak dalam kamus Besar Bahasa Indonesia

27
Abudin Nata, “Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat”, (Jakarta, Rajawali Pers, 2012), hal 19

43
mempunyai arti budi pekerti, kelakuan5. Artinya akhlak adalah segala sesuatu

yang dilakukan oleh seseorang, entah baik atau buruk.

Akhlak menurut istilah menurut beberapa pakar dalam bidang akhlak

sebagai berikut:

1) Al-Hafidz Hasan al-Mas‟udi

Akhlak adalah sebuah ibarat atau dasar untuk mengetahui baiknya hati

dan panca indra, dan akhlak termasuk sebagai hiasaan diri kita dan

bertujuan untuk menjauhkan dari perkara yang jelek, dan buah dari

akhlak adalah bersih hati dan panca indranya di dunia lebih-lebih

beruntung diakhirat kelak nati.

2) Ibn Miskawaih

Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong

seseorang melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan

pertimbangan

3) Al-Faidh al-Kasyani

Akhlak adalah ungkapan untuk menunjukan kondisi yang mandiri

dengan mudah tanpa didahului perenungan dan pemikiran.

4) Muhyidin Ibn Arabi

Akhlak adalah keadan jiwa seseorang yang mendorong manusia untuk

berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu.

Keadaan tersebut pada seseorang boleh jadi merupakan tabiat atau

44
bawaan dan boleh jadi juga merupakan kebiasaan melalui latihan dan

perjuangan.

5) Ibrahim Anis

Akhlaq ialah sifat yang tetanam dalam jiwa, yang denagnnya lahitlah

macam- macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan

pemikiran dan pertimbangan.28

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai akhlak dan hal-hal

yang berkaitan dan senada denagn akhlak, maka penulis perlu menjelaskan

tentang etika, moral, susila dan hubungan etika, moral, susila dengan akhlak.

a. Etika

Kata etika berasal dari yunani yang berarti adat kebiasaan. Hal

ini berarti adat kebiasaab. Hal ini berarti sebuah tatanan perilaku

berdasarkan suatu sistem nilai dalam masyarakat tertentu. Etika lebih

banyak berkaitan denagn ilmu atau filsafat. Oleh karena itu, standar

baik dan buru adalah akal manusia

Sedangkan menurut Musa Asy‟ari dalam buku filsafat Islam

pendekatan tematik, etika adalah cabang filsafat yang mencari hakikat

nilai-nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan perbuartan dan

tindakan seseorang yang dilakukan dengan penih kesadaran

berdasarkan pertimbangan pemikirannya.

28
Imam Hanafi Al-Jauharie, “Filsafat Islam Pendekatan Tematik” (Pekalongan:STAIN PREES, 2010), hal
94

45
b. Moral

Kata moral berasal dari bahasa latin, yaitu mos. Kata mos adalah

bentuk kata tunggal dan jamaknya adalah mores. Hal ini adalah

kebiasaan, susila. Adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai

dengan ide-ide umum tentang yang baik dan yang buruk yang diterima

oleh masyarakat, oleh karena itu moral adalah perilaku yang sesuai

dengan ukuran-ukuran tindakan sosial atau lingkungan tetentu yang

diterima oleh masyarakat. Pengertian lain moral adalah suatu aturan

yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai,

kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan

benra atau salah, baik atau buruk.

c. Susila

Selanjutanya susila dapat diartikan sopan, baik budi bahasanya.

Dan kesusilaan sama halnya dengan kesopanan. Denagn begitu

kesusilaan lebih mengarahkan kepada upaya membimbing, memandu,

mengarahkan, membiasakan dan memasyarakatkan hidup yang sesuai

dengan nilai-nilai yang berlaku di daam masyarakat. Hubungan antara

etika, moral, susila dan akhlak dari uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa etika, moral, susila dan akhlak adalah sama, yaitu menentukan

hukum atau nilai dari perbuatan ynag dilakukan manusia untuk

ditentukan baik dan buruknya. Perbedaannya terletak pada patokan

46
atau sumber yang dijadikan ukuran baik dan buruk. sedangkan dalam

akhlak dalam ukuran yang digunakan sebagai standar baik dan buruk

itu adalah Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

Apabila kata akhlak ini dikaitkan dengan pendidikan, maka mempunyai

pengertian bahwa pendidikan akhlak adalah penanaman, pengembangan dan

pembentukan akhlak yang mulia didalam diri peserta didik. Pendidikan

akhlak merupakan suatu program pendidikan atau pelajaran khusus, akan

tetapi lebih merupakan satu dimensi dari seluruh usaha pendidikan.

Jika akhlaq memang sudah ada dalam jiwa seseorang maka yang perlu

atau dibutuhkan ialah pengelolaan terhadap akhlak tersebut yang nantinya

akan menimbulkan akhlak yang baik yang sesuai dengan ajaran Rosulullah.

Tidak mungkin ada akhlak yang baik selama seseorang tidak pernah mau

untuk menjadikannya akhlak yang baik yang sesuai dengan alqur’an dan hadis

selama tidak mau melatihnya.

Aristoteles mengemukakan bahwa, akhlak atau karakter memiliki dua

sisi yaitu: pertama , perilaku benar dalam hubungan dengan orang lain dan

kedua , perilaku benar dalam kaitannya dengan diri sendiri. Kehidupan yang

penuh kebajikan berisi kebajikan berorientasi kepada orang lain,seperti,

keadilan, kejujuran, rasa syukur, dan cinta, tetapi juga termasuk kebajikan

berorientasi kepada diri sendiri seperti, kerendahan hati, ketabahan, kontrol

diri, dan berusaha yang terbaik daripada menyerah pada kemalasan. Adapun

47
mengenai penjelasan diatas yaitu melalui dua hal ini manusia diajak untuk

mengenali keterbatasan diri, potensi-potensi serta kemungkinan bagi

perkembangan manusia. Orang yang memiliki akhlak kuat adalah mereka

yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja

dari sananya. Sedangkan orang yang memiliki akhlak lemah adalah orang

yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa

dapat menguasainya.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa akhlak

adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan

dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan. Seseorang dikatakan berakhlak

jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki serta

digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Demikian juga, seorang

pendidik dikatakan berakhlak jika ia memiliki nilai dan keyakinan yang

dilandasi hakikat dan tujuan pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan

moral dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. akhlak adalah sebagai

suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan akhlak yang diterima

sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan

kondisinya ini membuat manusia tidak serta-merta jatuh dalam fatalisme

akibat determinasi alam, ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat

alamiah manusia tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang manusia

miliki.

48
Akhlak juga dapat dikatakan adalah sebagai proses perkembangan, dan

pengembangan akhlak adalah sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah

(never ending process) selama manusia hidup dan selama sebuah bangsa ada

dan tetap berusaha. Pendidikan akhlak harus menjadi bagian terpadu dari

pendidikan alih generasi agar menciptakan generasi yang berakhlak. Secara

sederhana akhlak dapat dikatakan sebagai nilai-nilai dan sikap hidup yang

positif, yang dimiliki seseorang sehingga memengaruhi tingkah laku, cara

berpikir dan bertindak orang tersebut, dan akhirnya menjadi tabiat hidupnya.

Akhlak juga ternyata tidak hanya sebagai suatu sifat bawaan, tetapi dapat

diupayakan melalui suatu tindakan secara berulang dan rutin.

Akar dari semua tindakan yang jahat dan buruk, tindakan kejahatan,

terletak pada hilangnya akhlak. Akhlak yang kuat adalah sandangan

fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk

hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi

dengan kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-

tindakan tidak bermoral.

Kemajuan suatu bangsa terletak pada akhlak bangsaan dan

kewargaan dari warga bangsa dan seluruh aparatur negara, sebab akhlak,

sebagai gambaran jati diri kebangsaan dan kewargaan, menjadi ciri dasar

perilaku yang bersendikan nilai-nilai luhur dari suatu bangsa. Nilai-nilai

luhur kebangsaan Indonesia bersumber pada Pancasila sebagai dasar negara,

49
ideologi dan kaidah penuntun yang mengandung seperangkat nilai guna

hidup masyarakat, bangsa dan negara. Pancasila mengandung nila-nilai yang

adalah perasaan (sari) dari seperangkat nilai kebaikan dan kearifan yang

menjadi dasar moralitas masyarakat dan bangsa Indonesia. Imam Al-Ghazali

sangat menekankan pada pendidikan akhlak yang dimulai dari akhlak

pendidiknya dahulu. Imam Al-Ghazali juga berpendapat bahwa seorang

pendidik harus sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diajar pada murid

atau siswanya. Dalam Ihya Ulumuddin jilid 1, beliau memberikan

perumpamaan guru dengan murid bagai tongkat dengan bayang-bayangnya,

yang mana guru sebagai tongkatnya tidak akan menemui bayangnya lurus

apabila tongkatnya bengkok.

Karenanya pendidikan akhlak tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja

tanpa adanya upaya-upaya cerdas dari pada pihak yang bertanggung jawab

terhadap pendidikan. Pendidikan akhlak tidak akan menghasilkan manusia

yang pandai sekaligus menggunakan kepandaiannya dalam rangka bersikap

dan berperilaku baik atau berakhlak mulia.

Dari sini dapat dipahami bahwa Pendidikan akhlak tidak hanya

mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada peserta didik,

tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituaction) tentang yang baik

sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukannya.

Menurut Al-Ghazali Pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan

Islam (Pendidikan yang dikembangkan oleh kaum muslimin), dan Islam

50
telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa

pendidikan Islam. Mencapai suatu akahlak yang sempurna adalah tujuan

sebenarnya dari pendidikan29.

Dalam mendidikan akhlak yang buruk imam Al-Ghazali menurutnya

haruslah mengupayakan agar orang tersebut dilatih untuk melakukan

perbuatan yang sebaliknya, misalnya seseorang yang kikir, harus dilatih

untuk bermura hati dengan cara diajak bersama-sama menyantuni dan

memberikan pertolongan kepada orang lain. Dan ia juga mengatakan , bahwa

perlakuan yang tidak benar dan pergaulan sosial, merupakan gejala penyakit

jiwa yang sering disebut sebagai (kegonjangan jiwa), yang harus segera

dipulihkan kembali, dengan cara mendidik dengan latihan kerohanian dan

berusaha mempratekkan perbuatan yang benar 22.

Dengan kata lain pendidikan akhlakadalah proses atau usaha

menjadikan seseorang untuk lebih baik. Dan pendidikan dan akhlak di atas

hakekatnya dapat dilakukan melalui membangun motivasi pribadi dan orang

lain untuk mencontoh akhlak nabi. Artinya, bahwa berbagai aktivitas

kehidupannya selalu melakukan sesuatu dengan mengikuti akhlak nabi, baik

dalam rangka pembentukan sebagai seorang pribadi maupun terhadap orang

lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak

adalah terciptanya manusia yang beriman perilaku lahir dan batin yang

29
Zainuddin , ”Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali”, (Jakarta, Bumi Aksara, 2016), hal 44

51
seimbang (seperti Nabi). Dengan pendidikan dasar inilah seseorang

diharapkan akan menjadi perubadi yang lebih baik dalam menjalankan

hidup. Pendidikan akhlak merupakan salah satu alat yang paling penting dan

harus dimiliki oleh setiap orang. Pendidikan akhlak seseorang juga

merupakan salah satu alat terbesar yang aka menjamin kualitas hidup

seseorang dan keberhasilan dalam dunia maupun dalam menuju akhirat.

c. Ruang Lingkup Akhlaq

Dalam ilmu ushul fiqh yang menjadi rujukan pencarian hukum maka

dikenal prinsip Maqasid Al Syari‟ah yang tidak lain merupakan salah satu

prinsip fiqh yang mengkaitkan dengan akhlak. Segala sesuatu menjadi benar

apabila tidak bertentangan dengan lima prinsip utama kemaslahatan (al

Maslahalih al dharuriyah). Maka merujuk pada prinsip tersebut, didapatkan

ruang lingkup akhlak harus berpedoman pada :

a) Hifdu ad-Din (Menjaga Agama), tidak boleh suatu ketetapan yang

menimbulan rusaknya keberagamaan seseorang

b) Hifdu an-Nafs (Menjaga Jiwa), tidak boleh suatu ketetapan yang

menggangu jiwa orang lain atau menyebabkan orang lain

menderita.

c) Hifdu al-Aql (Menjaga Akal), tidak boleh ada ketetapan

mengganggu akal sehat, menghambat perkembangan pengetahuan

atau membatasi kebebasan berfikir

52
d) Hifdu an-Nasl (Menjaga Keluarga), tidak boleh ada ketetapan yang

menimbulkan rusaknya sistem kekeluargaan seperti hubungan

orang tua dan anak.

e) Hifdu al-Mal (Menjaga Harta), tidak boleh ada ketetapan

menimbulkan perampasan kekayaan tanpa hak.

Akhmad Azhar Basyir menyebutkan bahwa cakupan akhlak meliputi

semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai

makhluk individu, makhluk sosial, khalifah di muka bumi serta sebagai

makhluk ciptaan Allah SWT .

Dengan demikian Basyir merumuskan bahwa ruang lingkup akhlak

sebagai berikut:

a) Akhlak terhadap Allah SWT

b) Akhlak terhadap Keluarga

c) Akhlak terhadap Masyarakat

d) Akhlak terhadap Makhluk lain

Apabila dipadukan, antara prinsip maqasid al Syari‟ah dengan rumusan

Akhmad Azhar Basyir tentang ruang lingkup akhlak maka terlihat ada salah

satu aspek yang tertinggal yaitu aspek pemeliharaan terhadap Harta. Akhlak

bagaimana manusia bersikap terhadap harta sangat diperlukan mengingat

53
banyak manusia tergelincir pada lubang kesesatan dikarenakan oleh harta.

d. Dasar Akhlaq dan Faktor-Faktor Pembentukan Akhlaq

Setiap usaha, kegiatan, tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan

haruslah mempunyai dasar atau landasan sebagai tempat berpijak yang baik

dan kuat. Demikian juga dengan proses pendidikan, sebagai aktivitas yang

bergerak dalam. bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, tentunya

pendidikan islam memerlukan landasan kerja yang berpungsi sebagai

pegangan langkah untuk pelaksanaan dan sebagai jalur langkah yang

menentukan arah usaha tersebut.

B. Faktor-Faktor Pembentukan Akhlaq

Dalam berbagai literatur, kebiasaan yang dilakukan secara berulang-

ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadikan akhlak

seseorang. Adapun gen hanya merupakan salah satu faktor penentu saja. Jika

akhlak merupakan seratus persen turunan dari orang tua, tentu saja akhlak

tidak bisa dibentuk. Namun jika gen hanyalah menjadi salah satu faktor dalam

pembentukan akhlak, kita akan meyakini bahwa akhlak bisa dibentuk. Dan

orang tualah yang memiliki andil besar dalam membentuk akhlak anaknya.

Orang tua di sini adalah yang mempunyai hubungan genetis, yaitu orang tua

kandung, atau orang tua dalam arti yang lebih luas orang- orang dewasa yang

berada di sekeliling anak dan memberi peran yang berarti dalam kehidupan

anak.

54
Dalam Islam, faktor genetis ini juga diakui keberadaannya. Salah satu

contohnya adalah pengakuan Islam tentang alasan memilih calon istri atas

dasar keturunan. Rasul pernah bersabda yang intinya menyebutkan bahwa

kebanyakan orang menikahi seorang wanita karena faktor rupa, harta,

keturunan, dan agama. Meskipun Islam menyatakan bahwa yang terbaik

adalah menikahi wanita karena pertimbangan agamanya, namun tetap saja

bahwa Islam meyakini adanya kecenderungan bahwa orang menikahi karena

ketiga faktor selain agama itu. Salah satunya adalah keturunan. Boleh jadi

orang yang menikahi wanita karena pertimbangan keturunan disebabkan oleh

adanya keinginan memperoleh kedudukan dan kehormatan sebagaimana orang

tua si perempuan. Atau bisa juga karena ingin memiliki keturunan yang

mewarisi sifat-sifat orang tua istrinya.

Pendapat lain menyebutkan bahwa unsur terpenting dalam

pembentukan akhlak adalah pikiran, karena pikiran yang di dalamnya terdapat

seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan

pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan

yang akhirnya dapat membentuk pola pikir yang bisa mempengaruhi

perilakunya. Jika program yang tertanam sesuai dengan prinsip-prinsip

kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak.

Dari sekian banyak faktor, para ahli menggolongkannya kedalam dua bagian,

yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

55
a. Faktor Internal

1. Insting atau Naluri

Setiap perbuatan manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakkan

oleh naluri (insting). Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir yang

merupakan suatu pembawaan yang asli. Pengaruh naluri pada seseorang

sangat tergantung pada penyalurannya. Naluri dapat menjerumuskan

manusia kepada kehinaan (degradasi), tetapi juga dapat mengangkat

kepada derajat yang tinggi (mulia), jika naluri disalurkan kepada hal yang

baik dengan tuntunan kebenaran. Karakter berkembang berdasarkan

kebutuhan menggantikan insting kebinatangan yang hilang ketika manusia

berkembang tahap demi tahap.

2. Kebiasaan (Habit)

Salah satu faktor penting dalam tingkah laku manusia adalah

kebiasaan, karena sikap dan perilaku yang menjadi akhlak sangat erat

sekali dengan kebiasaan. Yang dimaksud dengan kebiasaan adalah

perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga mudah untuk dikerjakan.

Faktor kebiasaan ini memegang peranan yang sangat penting dalam

membentuk dan membina akhlak.

3. Kehendak atau Kemauan

Kemauan adalah kemauan untuk melangsungkan segala ide dan

segala yang dimaksud, walau disertai dengan berbagai rintangan dan

kesukaran-kesukaran, namun sekali-kali tidak mau tunduk kepada

56
rintangan-rintangan tersebut. Salah satu kekuatan yang berlindung dibalik

tingkah laku adalah kehendak atau kemauan keras (azam). Itulah yang

menggerakkan dan merupakan kekuatan yang mendorong manusia

dengan sungguh-sungguh untuk berperilaku (berakhlak), sebab dari

kehendak itu menjelma suatu niat yang baik dan buruk dan tanpa kemauan

pula semua ide, keyakinan kepercayaan pengetahuan menjadi pasif tak

akan ada artinya atau pengaruhnya bagi kehidupan.

4. Suara Batin atau Suara Hati

Di dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu

memberikan peringatan jika tingkah laku manusia berada diambang bahaya

dan keburukan, kekuatan tersebut adalah suara batin atau suara hati

(dhamir). Suara batin berfungsi memperingatkan bahayanya perbuatan

buruk dan berusaha untuk mencegahnya, disamping untuk melakukan

perbuatan baik. Suara hati dapat terus dididik dan dituntun untuk menaiki

jenjang kekuatan rohani.

5. Keturunan

Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi

perbuatan manusia. Sifat-sifat yang diturunkan itu pada garis besarnya

ada dua macam, yaitu:

1. Sifat jasmaniyah, yakni kekuatan dan kelemahan otot-otot dan urat

saraf orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya;

57
2. Sifat ruhaniyah, yakni lemah dan kuatnya suatu naluri dapat

diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi perilaku

anak cucunya.

b. Faktor Eksternal

Selain faktor intern yang dapat mempengaruhi karakter seseorang,

juga terdapat faktor ekstern, diantaranya adalah:

1. Pendidikan

Pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

pembentukan karakter seseorang, sehingga baik dan buruknya akhlak

(karakter) seseorang tergantung pada pendidikan. Betapa pentingnya

faktor pendidikan itu, karena naluri yang terdapat pada seseorang dapat

dibangun baik dan terarah. Oleh karena itu, pendidikan agama perlu

dimanifestasikan melalui berbagai media, baik pendidikan formal di

sekolah, pendidikan informal di keluarga, dan pendidikan non formal

pada masyarakat.

2. Lingkungan

a) Lingkungan yang bersifat kebendaan

Alam yang melingkungi manusia merupakan faktor yang

mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan

alam ini dapat mematahkan dan mematangkan pertumbuhan bakat

yang dibawa seseorang.

58
b) Lingkungan pergaulan yang bersifat kerohanian

Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara

langsung atau tidak langsung dapat membentuk kepribadiannya

menjadi baik, begitu pula sebaliknya, seseorang yang hidup dalam

lingkungan yang kurang mendukung dalam pembentukan

akhlaknya, maka setidaknya dia akan terpengaruh lingkungan

tersebut.

C. Tujuan Pendidikan Akhlaq

Memang tidak dapat diingkari bahwa sudah sangat mendesak

pendidikan akhlak diterapkan di dalam lembaga pendidikan kita. Alasan-

alasan kemerosotan moral, karena kemanusiaan yang terjadi tidak hanya dalam

diri generasi muda kita, namun telah menjadi ciri khas abad kita, seharusnya

membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lembaga

pendidikan mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan kultur. Sebuah

kultur yang membuat peradaban kita semakin manusiawi.

Pendidikan akhlak berarti pendidikan yang bertujuan untuk membantu

agar siswa-siswa mengalami, memproleh, dan memiliki akhlak kuat yang

diinginkan. Misalnya, jika ingin akhlak yang jujur terjadi, maka pendidikan

akhlak berarti suatu usaha membantu siswa agar nilai kejujuran itu menjadi

miliknya dan menjadi bagian hidupnya yang memengaruhi seluruh cara

berpikir dan bertindak dalam hidupnya kemudian diharapkan kejujuran itu

59
menjadi tabiatnya dalam kehidupan dimanapun.

Pendidikan merupakan sebuah proses manusia untuk menjadi makhluk

yang berakal, sehingga pengukuran dari pendidikan tersebut adalah bagaimana

tujuan pendidikan itu tercapai. Tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan

pada hakikatnya. merupakan sebuah perwujudan dari nilai-nilai ideal yang

terbentuk dalam diri pribadi manusia. Terbentuknya nilai-nilai tersebut dapat

diaplikasikan dalam perencanaan kurikulum pendidikan sebagai landasan

dasar operasional pelaksanaan itu sendiri.

Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia yang

mempunyai fungsi untuk membantu perkembangan manusia untuk mencapai

manusia yang seutuhnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Zahara Idris bahwa

tujuan pendidikan adalah memberikan bantuan terhadap perkembangan anak

seutuhnya. Dalam arti, supaya dapat mengembangkan potensi fisik, emosi,

sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan semaksimal mungkin agar

menjadi manusia dewasa .

Mahmud Yunus mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah

membentuk putra-putri yang berakhlak mulia berbudi luhur, bercita-cita

tinggi, berkemauan keras, beradab sopan, baik tingkah lakunya, tutur

bahasanya, jujur dalam segala perbuatan suci murni hatinya.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

60
menyatakan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pandangan

imam al-Ghazali terkait tentang dinamika akhlak sangat mungkin. Perubahan

sikap seseorang bisa sewaktu-waktu dan bukanlah pembawaan dari lahir.

Seperti orang yang dulunya malas kemudian menjadi rajin, itu sangat mungkin

terjadi. Ini merupakan kritik dari imam al-Ghazali kepada aliran nativisme

yang menyebutkan bahwa tidak adanya perubahan pada akhlak manusia.

Dari pernyataan imam al-Ghazali tersebut mengindikasikan bahwa

akhlak sangatlah arif dan bijak yang bisa menyesuaikan dengan zamannya.

Sedangkan pendidikan adalah usaha untuk membantu atau menolong

pengembangan manusia sebagai mahluk individu social, mahluk susila dan

mahluk keagamaan. Mengingat pendidikan adalah sebuah proses maka

tujuannya juga mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi

dan perkembangan zaman. Menurut Bloom dan kawan-kawannya menetapkan

bahwa untuk menjabarkan tujuan pendidikan, mereka merujuk pada tiga

ranah, antara lain:

a. Pembinaan daerah kognitif

b. Pembinaan daerah afektif dan

61
c. Pembinaan daerah motor skill

Apabila dikaitkan pada ajaran Islam maka tujuan pendidikan tidak dapat

lepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu untuk menciptakan pribadi-

pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai

kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Rumusan tujuan

pendidikan dan akhlak di atas hakekatnya dapat dilakukan melalui

membangun motivasi pribadi dan orang lain untuk mencontoh akhlak nabi.

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah

terciptanya manusia yang beriman perilaku lahir dan batin yang seimbang

(seperti Nabi). Dari pemaparan diatas, bahwa pendidikan akhlak pada intinya

bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,

bermoral, bertoleransi tinggi, bergotong royong, berjiwa patriotik,

berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang

semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

berdasarkan pancasila.

Tujuan merupakan salah satu pokok dalam pendidikan, karena tujuan

dapat menentukan setiap gerak, langkah, dan aktivitas dalam proses

pendidikan. Muhammad Said mengemukakan bahwa,” tujuan pendidikan

merupakan garis akhir yang hendak dicapai. Pembahasan tentang tujuan

pendidikan senantiasa berkaitan dengan tujuan hidup manusia. Dengan kata

lain, tujuan pendidikan dapat ditafsirkan sebagai turunan dari tujuan hidup

62
orang dewasa. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pendidikan

merupakan alat untuk memelihara kelangsungan hidup manusia, baik sebagai

individu maupun sebagai anggota masyarakat.

D. Pendidikan Akhlak Di Masa Pandemi

Selama berubahnya wajah pendidikan dari semula tatap muka berubah

menjadi tatap maya dengan menggunakan belajar online. Kebijakan ini

dilakukan agar proses pendidikan tetap berjalan. Selama pembelajaran online

yang dilakukan dari rumah diperlukan peran oarangtua dalam membantu

keberlangsungan belajar anak. Dukungan orangtua dalam belajar di rumah

merupakan hal yang wajar dilakukan mengingat selama masa covid anak lebih

banyak dirumah dari pada pergi ke sekolah. Dengan belajar dirumah dibawah

bimbingan orangtua anak juga akan memperoleh bekal pembelajaran yang

sesuai ia peroleh masa belajar offline di sekolah. Untuk itu dengan

pembelajaran online saat ini yang dilakukan peran orangtua lebih dalam

pendampingan belajar anak.

Keluarga sebagai pendidikan informal merupakan tanggung jawab

orang tua dalam membentuk akhlak, keimanan anak-anaknya di rumah

disamping munculnya masa covid -19. Oleh karena itu orang tua memilki

tanggung jawab penuh atas pendidikan anak di rumah secara informal. Orang

tualah yang dapat membentuk karakter dan kepribadian anaknya. Tanggung

jawab orang tua tidak hanya sekedar membangun silaturrahmi dan

menurunksn keturunan. (Jailani, 2014) melaporkan penelitiannya bahwa tugas

63
utama orang tua adalah menciptakan bangunan dan menciptakan suasana

proses pendidikan keluarga sehingga melahirkan generasi yang cerdas

berakhlak mulia yang dapat dijadikan sebagai pijakan yang kokoh dalam

menapaki kehidupan. Tanggung jawab ini utuh dibebankan pada orang tua

sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan keluarga.

Mengkaji peran tanggung jawab orang tua sebagai pembelajar anak di

rumah sebagai pemenuh kebutuhan pemahaman spiritual, pengawasan dan

motivasi serta peyedia faslitas belajar dalam mendampingi anak dalam

mengatasi kesulitan dan merespon dengan baik semua pembelajaran.

Perlakuan orang tua terhadap anak dapat membentuk dan pengaruh karakter

anak. Sebagaimana mengemukakan bahwa perlakuan orang tua ke anak akan

mempengaruhi sikap dan perilaku anak.

a. Teladan Di Masa Pandemi

Dalam hal ini penguatan yang diberikan orangtua adalah contoh

terbaik dalam pandangan anak, karena segala tindak tanduknya, sopan

santunnya, cara berpakaiannya dan tutur kata orangtua akan selalu

diperhatikan dan akan ditiru oleh anak. Oleh karena itu orangtua

diharapkan mampu memberikan contoh yang baik dengan cara yang benar,

kadangkala dalam memberikan contoh tauladan yang baik, orangtua

kadang menyepelekan atau kurang memperhatikan proses

penyampaiannya meskipun itu outputnya sama. Dimasa pandemi teladan

yang dulunya harus silaturrahmi keluar, berjabat tangan sebelum berangkat

64
keluar rumah berubah sebagaimana protokol kesehatan yang diatur oleh

pemerintah. Orang tua terus memberikan contoh dan pemahaman kepada

keluarga untuk terus bertindak cerdas dalam beragama dan bernegara.

b. Pembiasaan Di Masa Pandemi

Dalam ilmu psikologi, kebiasaan yang dilakukan seseorang sangat

berhubungan dengan contoh tauladan yang menjadi panutan dalam

bertindak. Menurut Saepul ada syarat yang perlu diperhatikan dalam

pelasanaan pembiasaan kepada anak, sebagai berikut ini adalah Mulailah

dari hari ini, sebelum terlambat, karena sesuatu yang tidak dibiasakan dari

dini akan berdampak pada dewasanya, sebab anak akan memiliki kebiasaan

lain yang berlawanan pembiasaan memang butuh usaha keras, namun ini

harus dilaksanakan dengan terus menerus. Metode pembiasaan ini

merupakan sebuah pembiasaan yang memberikan kita konsekuensi, teguh

pada pendirian jangan diberikan ruang untuk melanggar pembiasaan

tersebut. Dimasa pandemi, semua kebiasaan berubah drastis tetapi tetap

berakhlak dan saling menghormati dan memahami satu sama lain.30

Wabah covid-19 mengharuskan setiap orang untuk menjaga

jarak sehingga dampaknya dapat dirasakan secara langsung dalam

semua sisi kehidupan. Anak menjadi salah satu korban pada efek

lingkungan pendidikan, mereka diliburkan dan diganti belajar dari rumah.

30
Dr. Hadarah Rajab. M. Ag, Jurnal : “Pendidikan Akhlak Di Masa Pandemi” (IAIN SAS Bangka
Belitung), Hal 3

65
Pada abad ke-21, covid-19 mengharuskan pembelajaran dilakukan secara

daring. Menariknya di tengah wabah covid-19 berdampak pada segala

keterbatasan khususnya pada pendidikan akhlak anak. Peran orang tua

menjadi kunci utama dalam pendidikan akhlak anak sehingga akhlak anak

tidak menurun meskipun proses pembelajaran tidak dilangsungkan dengan

tatap muka. Orang tua bukan hanya pendidik sebagai orang tua tetapi

memiliki peran sebagai guru bagi anak dalam pendidikan akhlak dalam

keluarga.

Pada masa pandemi, orang tua banyak memiliki waktu bersama anak-

anaknya sehingga anak cenderung berkembang melalui pengasuhan yang

diberikan orang tua. Orang tua tidak pernah belajar bagaimana cara

mengajar anak yang baik, tetapi cenderung spontan dalam berkomunikasi

dengan anak. Keterlibatan orang tua menjadi hal penting dalam membantu

pendidikan akhlak pada anak dari keterbatasan belajar, meningkatkan

hubungan sosial anak dan mengajarkan anak mengenai kesadara

pendidikan akhlak dalam keluarga. Setiap orang tua memiliki cara yang

berbeda dalam memperlakukan anaknya dan setiap pola asuh memiliki

kekurangan serta kelebihan. Orang tua sesuai dengan pola asuhnya dituntut

untuk menciptakan kondisi yang berkualitas sehingga orang tua mampu

memberikan stimulus dengan baik. Tujuannya adalah supaya potensi

dalam diri anak dapat berkembang maksimal. Apabila pola asuh orang tua

dan stimulus yang diberikan tidak sesuai maka berpotensi akan salah arah.

66
Setiap keluarga memiliki cara yang berbeda dalam memberikan

pendampingan pendidikan akhlak terhadap anak. Ada yang memberikan

kebebasan terlebih dahulu kepada anak untuk bermain kemudian

melanjutkan belajar, memberikan jadwal anak belajar sesuai jam belajar di

sekolah, mengerjakan tugas terlebih dahulu kemudian diperbolehkan untuk

bermain, memberikan kesempatan kepada anak untuk mempersiapkan alat

dan bahan yang akan digunakan untuk mengerjakan tugas hingga proses

merapikan setelah selesai belajar, serta melaksanakan pembelajaran di

rumah dengan prinsip learning by doing. Meskipun strategi yang

diterapkan setiap keluarga berbeda, namun memiliki tujuan yang sama

yaitu memberikan pendampingan pendidikan akhlak kepada anak dalam

penyelesaian tugas yang diberikan oleh guru.

Pemindahan proses belajar anak ke rumah tentunya membutuhkan

kerja sama lebih besar dari orangtua. Oleh karena itu, dibutuhkan kesiapan

dari orangtua dalam mengendalikan dirinya sebelum memulai

mengajarkan anak selama proses belajar mengajar dari rumah berlangsung.

Orangtua harus bisa mengendalikan diri atas apa yang sedang dialaminya

dan membimbing anak-anak dengan tenang dan penuh kesabaran. Apabila

hal tersebut bisa diterapkan oleh setiap orangtua, maka proses saat belajar

di rumah akan lebih baik. Anak-anak bereaksi sesuai dengan apa yang

dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka, terutama orangtua. Apabila

orangtua bersikap tenang dan percaya diri, mereka akan menjadi yang

67
pertama tentang adaptasi yang efektif di masa wabah ini. Orangtua akan

lebih mampu berperan ideal, seandainya mereka memiliki persiapan yang

memadai. Hal yang perlu dilakukan orangtua yaitu mengajak anak-anak

berbincang tentang pendidikan akhlak. Tentu, obrolan tersebut patut

disesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan kematangan anak. Orangtua

juga perlu memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mencurahkan

isi hati mereka. Dengan kata lain, tidak hanya pertukaran informasi,

orangtua juga perlu pula menyodorkan telinga mereka terhadap keluh

kesah anak-anak. Apa pun isi keluh kesah itu, orangtua sepatutnya dapat

meyakinkan anak-anak bahwa mereka akan tetap melalui masa sulit ini

bersama-sama sebagai sebuah keluarga.

Sehingga, informasi yang diterima anak-anak pun tetap terkendali

dalam koridor pembelajaran pendidikan akhlak. Peran orang tua dalam

pendampingan pendidikan akhlak terhadap anak antara lain :

1) Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya.

2) Kedua orang tua harus menjaga ketenangan lingkungan rumah dan

menyiapkan ktenangan jiwa anak-anak.

3) Saling menghormati antara kedua orang tua dan anak-anak.

4) Mewujudkan kepercayaan pada anak.

5) Mengadakan kumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan

anak).

68
Selain itu kedua orang tua harus mengenalkan mereka tentang

masalah keyakinan, akhlak dan hukum-hukum fikih serta kehidupan

manusia. Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-

satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalampendidikan akhlak,

begitu juga anak yang secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka

kedua orang tua di sisni berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan

pada tatanan teoritis maupun praktis.31

Hendriyanto Bujangga , jurnal : “Urgensi Akhlak Pada Masa Pandemi” (Institut Agama Islam
31

Negeri (IAIN) Takengon) Hal 98 - 100

69
BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA

A. Kontribusi Pendidikan Akhlak Al-Ghazali

Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh ternama dalam dunia Islam yang

sangat banyak mempersembahkan karya-karyanya demi kemajuan Islam.

Kontribusi pemikirannya tentang pendidikan akhlak khususnya secara

operasional dapat diaplikasikan dan dapat dijadikan sebagai alternatif acuan

pendidikan akhlak, khususnya di kalangan muslim sekarang ini dan masa masa

yang akan datang.32

Al Ghazali, seorang pemikir Islam telah lama menaruh perhatian dan

memberikan kontribusi pemikirannya kepada dunia anak usia dini. Bahkan,

jauh sebelum para tokoh Barat mengutarakan pemikiran mereka berkaitan

dengan hal ini. Tak salah kiranya karena usia dini yang dikenal sebagai usia

emas (golden age) merupakan masa yang paling tepat untuk menanamkan

berbagai pengetahuan kepada anak melalui pendidikan. Menurut Al Ghazali,

pendidikan anak usia dini harus dilakukan sebelum terjadinya masa konsepsi

(pembuahan) maupun setelah konsepsi (melahirkan) dengan menggunakan

metode pengajaran yang tepat. Pendidikan masa konsepsi diibaratkan sebagai

upaya penyiapan lahan bagi bibit tanaman yang kelak akan ditanam. Sementara

32
Agus Salim Lubis, jurnal : “Konsep Akhlak dalam Pemikiran al-Ghazali” (IAIN Padang Sidimpuan,
2012), Hal 66

70
setelah konsepsi merupakan33 upaya pemeliharaan dan perawatan agar tanaman

tumbuh dan berkembang dengan baik. Imam Al-Ghazali seorang dari ahli fikir

dan ahli tasawuf Islam yang terkenal dengan gelar “Pembela Islam” (Hujjatul

Islam) banyak mencurahkan perhatian kepada masalah pendidikan.

Menurut Imam Al-Ghazali seorang pendidik agar memperoleh sukses

dalam tugasnya harus menggunakan pengaruhnya serta cara yang tepat arah.

Bila dipandang dari segi filosofis, Imam AlGhazali adalah berfaham idealisme

yang konsekuen terhadap agama. Dalam masalah pendidikan Imam Al-Ghazali

berfaham empirisme oleh karena beliau sangat menekankan pengaruh pendidik

terhadap anak didik. Misalnya didalam kitabnnya “Ihya‟ ulum ad-Din” juz III,

Imam Al-Ghazali menguraikan antara lain: “… metode untuk melatih anak

adalah salah satu dari hal-hal yang amat penting.

Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya. Hatinya

bersih, murni laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari

ukiran atau gambaran apapun. Ia dapat menerima setiap ukiran yang digoreskan

kepadanya dan ia akan cenderung kearah manapun yang kita kehendaki

(condongkan). Oleh karena itu bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik,

maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik itu pada dirinya dan akan

memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebaliknya bila anak

tersebut kita biasakan dengan sifat-sifat yang jelek, dan kita biarkan begitu saja

Mohammad Irsyad, jurnal : “Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Imam Al Ghazali” (UIN Sunan
33

Kalijaga Yogyakarta,2017), Hal 1

71
maka ia akan celaka dan binasa. Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak

akan lepas dari kegiatan pendidikan, baik pendidikan dalam bentuk fisik

maupun pendidikan dalam bentuk psikis. Pendidikan merupakan faktor yang

sangat penting dalam memperbaiki kehidupan sosial guna menjamin

perkembangan dan kelangsungan hidup masyarakat.

Manusia sebagai warga masyarakat dengan berbagai lapisannya, berhak

mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga dalam hidup dan kehidupannya

mempunyai tendensi kearah kemajuan dan perkembangan yang positif.1

Pengertian pendidikan secara umum mengacu pada dua sumber pendidikan

Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Hadis yang memuat kata-kata rabba dari kata

kerja tarbiyah, „alama kata kerja dari ta‟lim dan 1 A. Syaifudin, Percikan

Pemikiran Imam Al Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h.9 addaba dari

kata ta‟dib.

Ketiga istilah itu mengandung makna amat mendalam karena pendidikan

adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan

mengembangkan fitrah serta potensi insani menuju terbentuknya manusia

seutuhnya (Insan Kamil) Sejalan dengan makna yang terkandung di dalamnya

maka pendidikan menurut konsep tarbiyah lebih menitik beratkan pada

pelaksanaan nilai-nilai Ilahiyah yang melambangkan Allah sebagai Rabb

ala‟lamin. Dengan demikian, tarbiyah lebih diarahkan pada penerapan

bimbingan, perlindungan, pemeliharaan, dan curahan kasih sayang pendidik

kepada anak didiknya. Bimbingan diarahkan pada pemberian tuntutan bagi

72
pembentukan sikap dan perilaku yang baik hingga anak didik dapat

menemukan jalan 2 Achmadi, Islam sebagai Paradigma Pendidikan

Islam,(Yogyakarta: Aditya Media, 1992), h. 113 TADBIR : Jurnal Manajemen

Pendidikan Islam Volume 4, Nomor 1 : Februari 2016 45 hidupnya sesuai

dengan nilai-nilai ajaran agama.

Dengan demikian konsep tarbiyah merupakan proses pembentukan nilai-

nilai etika atau akhlak kepada anak didik yang dilakukan secara bertahap dan

dilakukan sesuai pada batas kemampuan. Pendidikan dalam konsep ta‟dib

bertujuan menciptakan manusia beradab dalam arti yang komprehensip.

Pengertian konsep ini dibangun dari makna kata dasar adaba, di antara makna-

makna tersebut adalah kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti.

Makna ini identik dengan akhlak. Berkenaan dengan ini seorang guru yang

mengajarkan etika dan kepribadian disebut mu‟addib setidaknya ada tiga

derivasi dari kata addaba yaitu adiib, ta‟dib, muaddib. Dari gambaran tersebut

dapat dikatakan. Seorang pendidik (muaddib) adalah orang yang mengajarkan

etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu (ma’rifah) agar anak

didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna.

Pendidikan dalam konsep Ta‟lim terdapat pemahaman tentang pembentukan

wawasan ilmu pengetahuan yang disinergikan dengan pengabdian tulus

mendapatkan ridha dari Tuhan.

Ta‟lim sering disebut sebagai proses pembelajaran yang dilaksanakan di

lembaga nonformal melalui pengajaran sebagai sarana untuk mentransfer ilmu

73
pengetahuan. Konsep Ta’lim juga dapat dipahami sebagai sebuah konsep dalam

pendidikan Islam yang mengedepankan aspek wacana keilmuan melalui

pengembangan intelektual kepada anak didik secara berkelanjutan. Menurut

Abdul Fattah Jalal, konsep ta’lim merupakan proses pemberian pengetahuan,

pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi

suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan

mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya (keterampilan).

Mengacu pada definisi ini, talim berarti usaha terus menerus sejak lahir hingga

mati untuk menuju dari posisi “tidak tahu” ke posisi “tahu” seperti yang

digambarkan dalam surah Al-Nahl ayat 78 yang terjemahnya Dan Allah

mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu

apapun, dan dia memberi kamu pendengaran ,penglihatan dan hati agar kamu

bersyukur. Dari ke tiga kata diatas dapatlah dipahami bahwa pendidikan adalah

sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia,baik

menyangkut aspek ruhaniah dan jasmaniah. Tidak heran bila suatu kematangan

yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan jiwa manusia, baru dapat

tercapai bilamanaberlangsung melalui proses kearah tujuan akhir

perkembangan kepribadian manusia.

Sebagai bagian dari pembentukan kepribadian manusia, pendidikan

menjadi amat penting dalam mengelola kematangan mental dan jiwa seseorang

ketika menghadapi benturan dan tantangan yang datang dari luar.Menyangkut

fitrah manusia pendidikan sangat terkait dengan pembinaan anak didik demi

74
terbentuknya kepribadian yang utuh sebagai manusia individual dan sosial serta

hamba Tuhan yang mengabdi kepada-Nya. Menurut Prof.Dr.Omar Muhammad

alTouny al-Syaebani, pendidikan yang bernafaskan Islam adalah usaha

mengubah tingkahlaku individu dalam kehidupan pribadinya atau dalam

kehidupan masyarakat.

Jelaslah bahwa proses pendidikan merupakan rangkaian usaha

membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia, yang berupa kemampuan

dasar dan kemampuan belajar sehingga tercapai perubahan tingkahlaku kea rah

yang lebih baik. Maka pengertian pendidikan lebih mengacu pada pembinaan

tingkah laku agar mampu meraih kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari.

Landasan akhlak dalam kehidupan manusia menjadi sesuatu yang sangat

penting dan signifikan untuk diaktualisasikan dalam membangun totalitas

kehidupan yang lebih baik. Pentingnya akhlak sebenarnya tidak lepas dari

tujuan atau pandangan hidup dalam eksistensi kita di dunia. Pembentukan

akhlak berperan penting dalam membentuk kepribadian bangsa yang meliputi

taubat, muhasabah, ikhlas, ridha, zuhud, cinta Allah dan Rasul. Akhlak yang

dikembangkan oleh Imam Al-Ghazali bercorak teologis (ada tujuannya), ia

menilai amal berdasarkan akibatnya. Corak akhlak ini mengajarkan bahwa

manusia mempunyai tujuan yang agung, kebahagiaan di akhirat, dan amal

dikatakan baik bila memberikan pengaruh pada jiwa yang membuatnya

menjurus ke tujuan itu Kebaikan. dan keburukan berbagai amal ditentukan oleh

pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya. Pembahasan-

75
pembahasan pengertian pendidikan akhlak bercirikan sebagai berikut: 1)

Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa

seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. 2) Perbuatan akhlak adalah

perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran 3) Bahwa

perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang

mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. 4) Bahwa perbuatan

akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-

main atau karena bersandiwara. 5) Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang

dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah.34

B. Relevansi Pemikiran Imam Al-Ghazali Terhadap Pendidikan Akhlaq

Anak Di Era Globalisasi

Budi pekerti berasal dari bahasa Indonesia. Akhlak berasal dari bahasa

Arab. Sedangkan kata moral berasal dari bahasa Latin, dan etika berasal dari

bahasa Yunani. Akhlak adalah istilah yang tepat dalam bahasa Arab untuk arti

moral dan etika. Seperti halnya akhlak, secara etimologis etika juga memiliki

makna yang samadengan moral.

Etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk. Mengingat

konsep pemikiran budi pekerti seorang Imam al-Ghazali adalah sebuah

34
Muhammad Takdir, Ilahi Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2012),
hal 173

76
pemikiran yang disampaikan pada masa sebelum Indonesia merdeka, maka

penulis mencoba merelevansikan konsep pemikiran beliau dengan konsep era

globalisasi. Konsep pemikiran beliau pada masa kini telah berkembang dengan

bermacam-macam hasil pemikiran beberapa tokoh pendidikan diantaranya:

a. Pendidikan Budi Pekerti di Era Globalisasi

Pengertian pendidikan budi pekerti mengacu pada pengertian dalam

bahasa inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas

mengandung beberapa pengertia antara lain, Adat istiadat, Sopan santun

dan Perilaku. Sebagaimana di kutip oleh Nurul zuriah pengertian budi

pekerti secara hakiki adalah perilaku. Sementara itu menurut draft

kurikulum berbasis kompetensi, budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku

manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui

norma agama, norma norma hukum, tata krama dan sopan santun.

Pembahasan filosofis tentang sebagaimana pendapat kilpatrick yang dikutip

oleh Nurul Zuhriah terus berkembang dengan berbagai pendapat atau aspek

budi pekerti itu sendiri. Ajaran budi pekerti di sekolah yang di tempuh

melalui proses panjang itu dapat menghasilkan semangat pada diri siswa

untuk memberontak atau melawan tatanan budi pekerti.

77
Salah satu sebabnya adalah siswa mencampakkan norma moral atau

budi pekerti yang diajarkan dalam bentuk himpunan perintah dan larangan.

Keadaan ini menjadikan siswa melawan norma yang disebabkan oleh hal

mendasar, yaitu siswa tidak percaya lagi kepada norma moral, yang ternyata

tidak mengatasi masalah kemasyarakatan yang terus berkembang, bahkan

kenyataan di masyarakat malahan menjadi hal yang sebaliknya.

Berbagai usulan tentang perlunya pendidikan budi pekerti dalam

pembangunan karakter dan pembentukan moralitas bangsa, bukanlah suatu

hal yang baru. Sebagaimana pendapat Azyumardi Azra yang disampaikan

oleh Nurul Zuhriah bahkan sebelum pelajaran agama menjadi mata

pelajaran wajib, dalam rencana pelajaran pada tahun 1947, yang ada

hanyalah mata pelajaran “didikan budi pekerti” yang bersumber dari nilai-

nilai traditional, khususnya yang terdapat dalam cerita pewayangan Setelah

melalui perdebatan panjang antara pihak Diknas dan Kemenag, akhirnya

sejak tahun 1975 pendidikan budi pekerti diintregasikan ke dalam mata

pelajaran Pendidikan kewarganegaraan (Civics), yang kemudian menjadi

mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam kurikulum 1984,

Moral pancasila diintregasikan ke dalam empat matapelajaran, yaitu PMP,

Pendidikan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), P4 dan Sejarah

Nasional. Dalam kurikulum 1994 pelajaran ini tercakup dalam mata

pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dan pada

kurikulum terakhir tercakup dalam mata pelajaran Pendidikan

78
Kewarganegaraan (PKn). Sejalan dengan menghilangnya mata pelajaran

budi pekerti masalah bangsa yang kian kompleks juga memunculkan

masalah akhlak dan moral di kalangan peserta didik pada berbagai level atau

tingkatan. Sekali lagi, pikiran dan logika yang sedikit simplisit menganggap

masalah ini disebabkan lenyapnya pendidikan budi pekerti dan kegagalan

pendidikan agama.

Dalam kajian budaya nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan.

Lebih-lebih dalam era globalisasi ini yang berada di duniayang terbuka,

ikatan nilai-nilai moral mulai melemah. Masyarakat mengalami multikrisis

yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah krosos

79
80

nilai-nilai moral. Analisis di atas menjadikan pendidikan di Indonesia

mengkaji dan membangkitkan pendidikan moral atau pendidikan budi

pekerti atau pendidikan karakter.

Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan masyarakat

Indonesia saja sebenarnya, akan tetapi juga oleh negara-negara maju.

Bahkan di negara-negara Industri dimana ikatan moral menjadi semakin

longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari

pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai di telantarkan.

Sebagai rekomendasi penting dari pernyataan di atas adalah:

1) Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah,

tetapi juga tanggung jawab keluarga dan lingkungan sosial yang

lebih luas. Jadi meskipun sekolah misalnya menyelenggarakan

pendidikan budi pekerti, tetapi lingkungan masyarakatnya tidak atau

kurang baik maka pendidikan budi pekerti di sekolah tidak ada

artinya.

2) Pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah terkandung dalam

pendidikan agama dan mata pelajaran lain. Akan tetapi, kandungan

budi pekerti tersebut tidak bisa teraktualisasi karena adanya


81

kelemahan mata pelajaran agama dalam segi metode maupun

muatan yang lebihmenekankan pengisian aspek kognitif daripada

aspek afektif.

Dalam perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan krisis ekonomi

dan politik indonesia yang juga memicu peninjauan ulang terhadap

pendidikan nasional, maka perdebatan tentang pendidikan budi pekerti

kembali menjadi wacana publik. Akan tetapi, hasil perumusan

Depdiknas dan Depag menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti

bukan menjadi pelajaran tersendiri (monolitik), tetapi merupakan

program pendidikanterpadu yang memerlukan perilaku, keteladanan,

pembiasaan, bimbingan dan penciptaan lingkungan yang kondusif.

Dengan demikian pendidikan budi pekerti diintregasikan ke dalam

semua mata pelajaran dan program pendidikan, seperti pendidikan

agama dan PPKn. Seperti terlihat rincian nilai-nilai budi pekerti yang

diberikan Depdiknas dan Depag pada intinya merupakan nilai-nilai

keagamaan dan akhlak, yang secara sosial dan kultural dipandang dan
82

diakui sebagai nilai-nilai luhur bangsa.35

2. Perkembangan Moral

Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral

yang terdapat dalam sekolompok manusia. Adapun nilai moral adalah

kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah memandang

bagaimana manusia harus hidup agar menjadi baik sebagai

manusia.Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah segala hal

yang berhubungan dengan sopan santun, segala sesuatu yang

berhubungan dengan etiket. Moralitas bisa berasal dari sumber tradisi

ataupun adat, agama ataupun ideology, atau gabungan dari beberapa

sumber. Perkembangan moral sebenarnya melibatkan tiga komponen

dasar.36

35
Gunawan, “Pendidikan Islam Kajian Teoritis Dan Pemikiran Tokoh”, (PT Remaja Rosda,
Bandung, 2014), hal 323
36
Shafique Ali Khan, “Filsafat Pendidikan Al-Ghazali”, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2015), hal 33
83

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dalam bab yang terakhir ini, penulis mengambil kesimpulan berdasarkan

dengan analisis yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dan disesuaikan

dengan pembahasan penulisan ini. Sebagai berikut :

1. Pendidikan Akhlak bagi Anak menurut Imam al-Ghazali yakni: 1) kriteria

akhlak bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul

dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu, 2) pembagian

akhlak yakni akhlakul karimah (terpuji) dan akhlakul mazmumah (tercela),

3) metode pendidikan akhlak ada dua yakni: pertama, mujahadah dan

membiasakan latihan (dikerjakan berulang-ulang) dengan amal shaleh.

Kedua, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar

nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama.

2. Pemikiran Imam al-Ghazali tentang pendidikan akhlak anak sampai saat ini

tetap relevan terbukti dengan banyaknya pendidik yang masih menggunakan

konsep beliau. Hanya saja berbeda dalam penyajian pemikiran dan kasus

yang dihadapi. Seperti halnya Imam al-Ghazali dalam mendidik sesuai


84

dengan zaman anak tersebut dan tidak bersifat yang mutlak. Dari ini

pendidikan akhlak bersifat dinamis dan dapat diimplikasikan nilai-nilai dari

konsep pendidikan akhlak tersebut pada zaman era dlobalisasi dan masih

relevan.

B. Saran

Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis memberikan saran

konstruktif bagi dunia pendidikan, baik bagi pendidik maupun instansi yang

menangani pendidikan. Pertama, Sebagai seorang guru hendaknya dapat

menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya, sehingga seorang guru harus

dapat “digugu dan ditiru” oleh anak didiknya.

Kedua, perlunya sosialisasi terhadap para pendidik ataupun masyarakat

luas bahwa kekerasan, penindasan, serta penekanan-penekanan terhadap peserta

didik dalam proses belajar akan berimplikasi terhadap kondisi perkembangan

psikisnya dan hanya akan melahirkan pribadi-pribadi yang tidak percaya diri,

keras dan kasar, yang menyebabkan semakin jauh dari nilai-nilai luhur agama

(Islam) yang sangat mengagungkan rasa cinta dan kasih sayang sebagai

cerminan akhlak yang mulia.

Saran untuk peneliti selanjutnya, Mengingat masih banyaknya naskah


85

kepustakaan yang mengajarkan tentang konsep pendidikan akhlak maka,

masih perlu dilakukan penggalian dan penelitian yang intensif oleh para

peneliti peminat studi tersebut, guna menambah khazanah keilmuan.


86

DAFTAR PUSTAKA

Paryono, Skripsi : “Konsep Pendidikan Akhlak Imam Al Ghazali” (Studi Analisis


Kitab Ihya’ Ulumuddin)” (Salatiga : STAIN Salatiga, 2014)
Eis Dahlia, Skripsi : “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali”
(Lampung UIN Raden Intan Lampung, 2014)
Muhail, Skripsi : ”Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Imam Al-Ghazali”
(Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2009)
Nurkholis, Jurnal : “Pendidikan Dalam Upaya Memajukan Teknologi” (Purwokerto
: STAIN Purwokerto, 2013)
Abdulloh Sadjad, jurnal : “Pendidikan Akhlak Perspektif al-Imam Al-Ghazali” (
Pacitan : STAINU Pacitan)
Tita Rostitawati, Jurnal : “Konsep Pendidikan Akhlak Anak Dalam Perspektif Al-
Ghazali” ( Gorontalo : IAIN Sultan Amai Gorontalo)
Enok Rohayati, Jurnal : “Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak”
(Palembang : IAIN Raden Fatah)
Rima Winda Sari, Skripsi : “Relevansi Pemikiran Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya
Ulumuddin Terhadap Pendidikan Akhlak Di Masa Sekarang” (Jambi :
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin)
Martin Aulia Skripsi : “Relevansi Pemikiran Al-Ghazali Terhadap Pendidikan
Karakter (Akhlak) Di Era Sekarang (Globalisasi), 2017” (Lampung :
Universitas Raden Intan Lampung)
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2010)
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyususnan Skripsi,
(Jakarta :Rineka Cipta, 2011)
S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan: Komponen MKKD, (Jakarta : Rineka
Cipta,2014)
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor :Ghalia Indonesia,2014)
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta :
RinekaCipta, 2010)
Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013)
Abudin Nata, “Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat”, (Jakarta, Rajawali Pers,
2012)
Imam Hanafi Al-Jauharie, “Filsafat Islam Pendekatan Tematik”
(Pekalongan:STAIN PREES, 2010)
Dr. Hadarah Rajab. M. Ag, Jurnal : “Pendidikan Akhlak Di Masa Pandemi” (IAIN
SAS Bangka Belitung, 2019)
87

Zainuddin , ”Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali”, (Jakarta, Bumi Aksara,


2016)
88

Lubis Agus Salim, jurnal : “Konsep Akhlak dalam Pemikiran al-Ghazali” (IAIN
Padang Sidimpuan, 2012)
Irsyad Mohammad, jurnal : “Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Imam Al Ghazali”
(UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2017)
Muhammad Takdir, Ilahi Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media 2012)
Gunawan, “Pendidikan Islam Kajian Teoritis Dan Pemikiran Tokoh”, (PT Remaja
Rosda, Bandung, 2014)
Shafique Ali Khan, “Filsafat Pendidikan Al-Ghazali”, (Bandung, CV Pustaka Setia,
2015)
89
90

Anda mungkin juga menyukai