Anda di halaman 1dari 82

Aliran Fluida Internal dan Eksternal Ainul

Ghurri 2015
Aliran Fluida Internal

dan Eksternal

Ainul Ghurri Ph.D.

Jurusan Teknik Mesin


Universitas Udayana
2015
Aliran Fluida Internal
dan Eksternal

Ainul GhurriPh.D.

Hak Cipta 2015 oleh Jurusan Teknik Mesin –


Universitas Udayana.Dilarang mereproduksi
dan mendistribusi bagian dari publikasi ini
dalam bentuk maupun media apapun tanpa
seijin Jurusan Teknik Mesin – Universitas
Udayana.

Dipublikasikan dan didistribusikan oleh Jurusan Teknik Mesin – Universitas


Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Bali 80362, Indonesia.

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat ide,
pengetahuan dan kekuatan yang diberikanNYA maka penulisan buku diktat “ALIRAN FLUIDA
INTERNAL DAN EKSTERNAL” ini dapat terselesaikan.
Diktat ini bisa dikatakan merupakan kumpulan dari penggalan-penggalam materi kuliah
mekanika fluida khususnya Mekanika Fluida 2, yang disusun dari berbagai sumber materi
antara lain buku teks, handbook, jurnal ilmiah dan diperkaya denganhasil penelitian. Pada
bagian materi presentasi/handout meskipun pada dasarnya merupakan versi untuk
pemaparan dalam perkuliahan, namun kadang-kadang juga merupakan bagian yang
memperkaya isi diktat.
Diktat ini masih jauh dari ideal, baik secara materi maupun dalam detail penjelasan dan
perincian sub-babnya. Kami berharap dapat melaksanakan pembaruan dalam waktu dekat di
masa mendatang. Kami berterima kasih kepada dosen-dosen dalam grup pembelajaran
Mekanika Fluida, dan kepada pihak jurusan yang telah membantu penerbitan diktat ini.
Terakhir, semoga diktat ini memberi manfaat terutama bagi mahasiswa sebagai materi
pembuka cakrawala pengetahuan tentang mekanika fluida baik secara teori dan praktis.

Denpasar, 23 Desember 2015

Penulis,
AINUL GHURRI PH.D.

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

Bab 1 Analisis Dimensional dan Keserupaan Dinamik


1.1. Keserupaan Dimensional dan Dinamik 1

1.2. Teori BUCKINGHAM PI 3

1.3. Prosedur Menentukan Grup Non-Dimensional (π) 4

Bab 2 Aliran Internal


2.1. Pengertian 11

2.2. Penerapan Fully Developed Laminar Flow 12

2.3. Perubahan Energi Aliran Dalam Pipa Sirkular 19

2.4. Perhitungan Head loss 20

2.5. Penyelesaian Problem-Problem Aliran Dalam Pipa 21

2.6. Pengukuran Aliran 27

Bab 3 Aliran Eksternal


3.1. Pengertian 34

3.2. Ketebalan Lapisan Batas (Boundary layer) 34

3.3. Persamaan Integral Momentum 37

3.4. Pressure Gradient Dalam Viscous – Boundary Layer Flows 39

3.5. Aliran Fluida Melalui Benda Penghalang (Fluid flow about bluff bodies) 40

iii
3.6. Contoh-Contoh Pemanfaatan Gaya Angkat dan Gaya Hambat 43

Bab 4 Aliran Fluida Kompresibel


4.1. Review Termodinamika 45

4.2. Kecepatan Suara 47

4.3. Tipe-Tipe Aliran &Mach Cone 49

4.4. Keadaan Referensi: Local Isentropic Stagnation Properties 50

4.5. Aliran Fluida Kompresibel 1-Dimensi 52

4.6. Aliran Dalam Saluran Berpenampang Konstan Dengan Gaya Gesek 59

4.7. Aliran Dalam Saluran Berpenampang Konstan Dengan Pertukaran Kalor 60

4.8. Normal Shock (Gelombang Kejut Normal/Tegak Lurus) 62

Handout/Materi Presentasi Perkuliahan [92 hal]

iv
Bab 1

ANALISIS DIMENSIONAL
dan KESERUPAAN DINAMIK

Dalam bidang keteknikan, metode penyelesaian atau pemecahan masalah pada umumnya
mempergunakan tiga metode meliputi:
1. Analitis

Pendekatan ini merupakan pendekatan secara teoritis dan matematis. Pendekatan ini banyak
melibatkan asumsi-asumsi yang sebenarnya merupakan faktor signifikan. Contoh: analisis
control volume dan persamaan Fluida Sempurna yang mengabaikan gravitasi atau friksi
(karena tidak terjangkau oleh pendekatan teoritis).
2. Empiris atau Eksperimental

Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada pengukuran, pengumpulan data lalu dianalisis
mempergunakan persamaan yang ada, baik persamaan teoritis maupun empiris.
3. Kombinasi antara Analitis-Empiris.

4.1. Keserupaan Dimensional dan Dinamik

Problem-problem dalam Mekanika Fluida, dan engineering pada umumnya melibatkan geometri dan
parameter-parameter aliran yang kompleks sehingga menimbulkan kesulitan pengujian
eksperimental, meliputi:
Banyaknya variabel atau parameter yang harus dikontrol.

Pelaksanaan pengujian harus memiliki keserupaan dinamik (keserupaan model dan keadaan
aliran) antara model yang diuji dengan prototipe benda uji.
Keserupaan dinamik berarti:
1. Terdapat keserupaan geometris.
2. Perbandingan tekanan-tekanan dinamik pada titik-titik yang berkesesuaian adalah konstan.
3. Garis-garis alirannya secara geometris serupa.
Ilustrasi

Anda diminta menganalisis gaya hambat drag sebuah profil bola yang ditempatkan dalam
sebuah aliran yang uniform. Berapa banyak eksperimen yang harus dilakukan untuk
menentukan gaya hambat tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus
mengidentifikasi parameterparameter penting yang m empengaruhi gaya hambat.

Gaya hambat sebuah objek/benda tergantung pada parameterparameter berikut: dimensi


bola (dinyatakan sebagai diameter, D); kecepatan alir fluida,V; viskositas, µ; dan
densitas, ρ. Gaya hambat, F, kita rumuskan sebagai berikut:
F = f (D, V, µ, ρ)
Persamaan atau fungsi tersebut mengandung parameterparameter yang dapat dikontrol
dan diukur dalam eksperimen laboratorium. Sedangkan parameter lain yang penting
seperti kekasaran permukaan kita abaikan karena menyulitkan dalam
memformulasikannya dalam persamaan.

Sekarang, bayangkan kita akan melakukan serangkaian eksperimen untuk mengetahui


ketergantungan F terhadap D, V, µ, dan ρ. Setelah peralatan percobaan selesai dibuat,
eksperimen segera dimulai. Untuk mendapatkan grafik F vs V pada nilai D, µ, dan ρ yang
tetap, misalnya kita menguji sebanyak 10 nilai V. Untuk mengetahui pengaruh diameter,
D, kita membutuhkan 10 diameter yang berbeda. Jika prosedur ini diberlakukan juga
untuk 10 nilai µ dan ρ secara bergiliran, secara sederhana kita tahu bahwa kita
membutuhkan 104 pengujian yang berbeda. Jika setiap pengujian membutuhkan waktu ½
jam dan kita bekerja 8 jam sehari, secara keseluruhan pengujian membutuhkan waktu 2 ½
tahun. Kita juga mengalami kesulitan dalam mempresentasikan data. Untuk memplotkan
grafik F vs V dengan D sebagai parameter untuk tiap kombinasi µ dan ρ, dibutuhkan 100
grafik. Jadi, untuk mengatasi kerumitan ini apa yang harus dilakukan?

Untuk mengatasi hal tersebut diatas maka dipergunakan analisis dimensional untuk
mengurangi jumlah variabel yang dikontrol (mengurangi jumlah pengujian) dan
menghasilkan keserupaan dinamik.

Seluruh data untuk gaya hambat, F, tersebut dapat diplotkan sebagai hubungan fungsional
antara 2 parameter nondimensional dalam bentuk:
F ρVD
=f
ρV 2D2 µ
Fungsi tersebut memang masih harus diuji secara eksperimental. Akan tetapi kita bisa
mengurangi keharusan melaksanakan 10000 eksperimen menjadi 10 eksperimen saja,
waktu yang dihemat sangat besar, dan kita tidak perlu mencari fluida dengan 10 macam µ
dan ρ, tidak juga harus menggunakan 10 diameter atau kecepatan. Yang kita butuhkan
ρVD
hanya 10 macam nilai , yang secara sederhana dapat dilakukan dengan µ
memvariasikan V atau D.
Prosedur untuk mendapatkan fungsi tersebut di atas dibahas dalam Analisis Dimensional
& Keserupaan Dinamik.
Contoh : Mengukur gaya hambat (drag force).

Gaya hambat misalnya pada mobil, gedung, kapal selam, pesawat,dsb dipengaruhi oleh
ukuran obyek (dimensi), kecepatan aliran fluida (V), massa fluida (ρ) dan viskositas fluida (μ).
Permasalahannya ada empat parameter dan pengujian skala penuh yang tidak
memungkinkan. Empat parameter tersebut membentuk satu group bilangan tak berdimensi
yang disebut Bilangan Reynolds.
Re = ρVD
µ

Selanjutnya pelaksanaan pengujian mengacu pada Bilangan Reynolds tersebut, sehingga dua
pengujian yang berbeda bisa menghasilkan keadaan aliran yang serupa (Re yang sama).
Masing-masing disesuaikan dengan fluida, peralatan dan besar ruangan yang dimiliki.

4.2. Teori BUCKINGHAM PI

Teori Buckingham Pi merupakan sebuah pernyataan mengenai hubungan antara sebuah


fungsi yang diekspresikan dalam parameter dimensional dan sebuah fungsi lain yang
diekspresikan dalam fungsi parameter nondimensional. Teori Buckingham PI digunakan
untuk mendapatkan bilangan atau angka nondimensional.

Suatu problem fisik mempunyai “n” parameter; salah satunya merupakan parameter tak
bebas, maka hubungan parameter-parameter tersebut dinyatakan:
q1 = f (q2 , q3,………qn)

dimana; q1 = variabel tak bebas


q2, q3,…..qn = n-1 variabel bebas.
Pernyataan matematis yang ekuivalen:
g (q1, q2, q3,……qn) = 0
dimana: g berbeda dari f
Untuk kasus Drag Force :
Re = f ( D, V, ρ, μ )
g( Re, D, V, ρ, μ )
Teori Buckingham PI menyatakan : Dalam suatu soal fisik dengan n besaran dimana terdapat
m dimensi (kecuali beberapa kasus), maka akan terdapat n-m parameter tanpa dimensi atau
disebut π parameter, yang memenuhi persamaan :

G (π1, π2,………πn-m ) = 0 π
= G1 ( π2, π3,……...πn-m )

Hubungan antara parameter π ( bilangan tak berdimensi ) tersebut ditentukan secara


eksperimental, tidak memakai teori Buckingham PI.

π bukan variable tak berdimensi bebas, apabila dapat dibentuk oleh


parameter-parameter π lainnya.
2π1 π 34
π5= ; π 6 = 12 π 5 ; π 6 tidak bebas!
π 2π 3 π
3

4.3. Prosedur Menentukan Grup Non-Dimensional (π)

Contoh: Tentukan group tak berdimensi untuk problem gaya hambat ( F ) yang tergantung
pada V, D, ρ, μ.
Data ; F = f ( ρ, V, D, μ ) untuk obyek dengan profil bulat.
1) Susun seluruh variabel yang terlibat.
FVDρμ n = 5 variabel.

2) Tulis dimensi-dimensi primer variable di


atas. Dipilih : M L T
3) Tulis seluruh dimensi variabel sesuai dimensi primer yang dipakai.
FVDρμ
ML L L M M r = 3 dimensi primer.
t2 t L3 Lt

4) Pilih “variabel berulang “ dengan jumlah yang sama dengan r dan semua dimensi
primer ada pada variabel berulang.

Variabel berulang : variabel yang digunakan pada perhitungan seluruh π groups.


Variabel-variabel berulang bisa muncul dalam π , jadi jangan salah pilih variabel tak
bebas sebagai variabel berulang.

ρVD m = r = 3 variabel berulang


5) Susun ( n-m ) persamaan untuk mendapatkan dimensionless
groups. n - m = 2 ; sehingga terdapat 2 group tak berdimensi.
a b c 0 00
Ma Lb c ML
→π1=ρ V D F= 3 (L) =M Lt
L t t2
Tentukan a, b, c berdasar eksponen M, L, t dikedua ruas :
M:a+1=0 a = -1
L : -3a + b + c + 1 = 0 b = -2 π1 = F

ρV
2 D2
t : -b – 2 = 0 c = -2
2
→ F L4 t 1
π 1= =F =1 atau
ρV 2D2 Ft2 L
L2
−2 −1
=MLt M L +3 t 2 L −2 L −3 = 1
d e f f 0 0 0
→π2= ρ µ Md Le M
V D = 3 L = M Lt
L t Lt
M:d+1=0 d = -1
L : -3d + e + f – 1 = 0 f= π = µ
-1 ρVD
2
t : -e – 1 = 0 e = -1

µ Ft L4 t 1
π = = =1
2 ρVD L2 Ft2 L L

Hubungan fungsional : π µ
1 =f

ρVD
Fungsi f ditentukan secara eksperimental.

Menentukan π groups jika variabel-variabel dapat dinyatakan dalam sistem dimensi


yang berbeda.

Contoh: Jika sebuah pipa kecil dicelupkan dalam liquid yang tidak mengalir, tegangan
permukaan menyebabkan timbulnya efek kapilaritas yang menyebabkan cairan dalam pipa
naik atau turun terhadap permukaan bebas tergantung sudut kontak antar muka liquid – solid –
gas. Eksperimen menunjukkan ( h) merupakan fungsi diameter pipa (D) , berat jenis liquid
(γ) , gaya tarik permukaan (σ). Tentukanlah π !

Data : h = ( D, γ, σ )
h

1. variabelvariabel h, D, γ, σ. n=4
2. dimensi primer M L t dan F L t D

3. M L t FLt
h D γ σ h D γ σ
L L M M L L F F

L 2t 2 t2 L3 L
r = 3 dimensi primer r = 2 dimensi primer
m ditentukan dengan menghitung nilai determinan matrik dimensional.

h D γ σ h D γ σ
M 0 0 1 1 F 0 0 1 1
L 1 1-20 L11-31

t 0 0-2-2
nilai m = orde matrik yang mempunyai determinan non zero (det ≠ 0) terbesar.
0 1 1
1−2 0 1 1
0−2−2 − 3 −1

= 0 – (1∗ −2)+(1∗ −2)=0 = -1+3=2 ≠ 0 m


−2 0
= 4≠0
=2 m=r
−2 − 2
m = 2 → m≠ r

4. m = 2 ; D, γ sebagai variabel berulang.


5. n – m = 2 group tak berdimensi.
a b 2 b e f f 0 00
M F
π1= D γ h =L 2 2 L π1= D γ h= L 3 L=F Lt
Lt L
= M 0 L0t0
M:b+0=0 F:f=0
L : a – 2b+1 = 0 L : e – 3f + 1 = 0
t : -2b + 0
b=0 f=0
a = -1 e = -1
→ = h → = h
π π 1
1
D D
c d g h
c M M g Fh F
π2=D γ σ =L 2 2 2 π2=D γ σ=L 3
Lt t L L
= M 0 L0t0 = F 0 L0t0
M:d+1=0 F:h+1=0
L : c – 2d = 0 L : g - 2h – 1 = 0

t : -2d – 2 = 0
d = -1 h = -1
c = -2 g = -2
→ = σ → = σ
π 2 π 2
D2γ D2γ

π 1 = f (π 2 )
h σ
=f
2
D D γ
Contoh soal :
Gaya hambat sebuah “sonar transducer” diprediksi berdasarkan data tes wind tunnel.
Prototipenya berdiameter 300 mm ditarik dengan kec epatan 5 knot (nautical miles per hour ;
1 nautical mile = 1852 m) didalam air laut pada 5 0 C. Modelnya berdiameter 150 mm.
Tentukan kecepatan tes yang disyaratkan di udara (dengan fluida udara). Jika gaya hambat
model pada kondisi tes itu adalah 24,8 N. Dan tentukan pula gaya hambat prototype!
Prototipe Model
Dp = 300 mm

Dm = 150 mm

Vm Fm = 24.8 N

Fp

Vp = 5 knot

Udara
Sea water 5 oC

Re model = Re prototype
Model dan Prototype mempunyai Keserupaan Dinamik

0
Air laut pada 5 C kg
ρ = 1025
m3
ν=1,4.10 −6 m
s2
Vp = 5 knot = 5⋅1852m ⋅ h m
= 2,57
h 3600 s
Rep = Vp Dp = 2,57⋅0,3 = 5,51⋅105

ν p 1,4⋅10−6
Udara standar kg
ρ = 1,23 m3

m
ν = 1,45⋅10−5
s
Rem = Re = Vm Dm
p
νm
Vm = Re p ν m

Dm
5,51⋅105 ⋅1,45⋅10−5
V = =53,3 m
m
0,15
s
Gaya drag prototipe :
Fp F
= ρV 2
m

ρ V 2D 2
D
2
p p p m m m
Fp = ρ V 2
D 2
= 24,8⋅ 1025 2,572 0,32
p p p

ρ Vm 2 D 2 1,23 53,32 0,152


m m
=192N

4.4. Arti Fisik Bilangan Tak Berdimensi

Reynold Number.
2 2
Re = ρVD = ρVL = ( ρV L)
µ
µµVLL2
=dynamic _ pressure ⋅ area ≈ inertia _ forces
viscous _ stress ⋅ area viscous _ forces
Mach Number.

M =V ρV 2
=
c ρc2
≈ inertia _ forces

compressibility _ forces
Froude Number
2 = ρV 2L2
Fr = V → Fr2 = V

gL gL ρgL3

≈ inertia _ forces
gravity _ forces
Pressure Coefficient.

Ev = Cp = p
1 2
2ρV
≈ local _ pressure − freestream _ pressure
kinetic _ energy _ of _ free − stream
Soal-soal
1. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa penurunan tekanan (pressure drop) pada
aliran fluida melalui penyempitan luas penampang aliran (sudden contraction) dapat
diekspresikan sebagai P = p1 – p2 = f(ρ, µ, V, d, D). Anda diminta untuk menyusun dan
mengumpulkan data penelitian. Tentukan bilangan tak berdimensi (nondimensional =
dimensionless) untuk kasus ini.

P = p1 – p2 = penurunan tekanan[(N/m2)=Pa]
ρ = densitas fluida (kg/m3)
V D D µ = viskositas absolut [(N.s/m2)=(Pa.s)
V = Kecepatan ratarata fluida (m/s) D =
Diameter pipa kecil (m)
d = Diameter pipa besar (m)
1 2

2. Persamaan perpindahan kalor konveksi dinyatakan sebagai berikut


Q=hAT dimana Q = Laju perpindahan pa nas [(J/s)=Watt]
A = Luas permukaan perpindahan panas
(m2) T = Beda temperatur , oC
h = Koefisien perpindahan panas W/(m2.oC)
Bilangan tak berdimensi yang merupakan fungsi h disebut Bilangan Stanton, yang juga
3
merupakan fungsi densitas fluida yang memindahkan panas ρ (kg/m ), panas jenis fluida
o
Cp (J/(kg. C)dan kecepatan aliran fluida V (m/s). Jadi Bilangan Stanton = f(h, ρ, Cp, V).
Tentukan formula Bilangan Stanton tersebut !

3. Ketika diuji dalam air 20 oC (ρ = 998 kg/m3; µ = 0.001 kg/m.s) berkecepatan alir 2 m/s,
sebuah bola berdiameter 8 cm menerima gaya hambat sebesar 5 N. Berapa kecepatan
fluida dan gaya hambat pada bola (balon) berdiameter 1.5 m yang berada dalam
3 5
udara atmosfer (ρ = 1.2255 kg/m ; µ = 1.78 x 10 kg/m.s) yang mempunyai kondisi
dinamik yang sama dengan bola yang diuji ?

Entah anda pikir anda bisa atau anda pikir anda tidak bisa
- anda sepenuhnya benar.
- Henry Ford --

Keberhasilan sebuah pengambilan keputusan, lebih tergantung pada sikap si


pengambil keputusan, bukan pada pilihan yang tersedia.
-- G.A.G. --
Bab 2

ALIRAN INTERNAL

5.1. Pengertian

Aliran internal adalah aliran fluida dimana tempat aliran fluida dibatasi/dikelilingi
permukaan padat.

Fluida kental (viscous fluid) adalah fluida yang faktor perubahan gradien kecepatan dan
shear stress atau viscous stress-nya tidak diabaikan. Kebalikan viscous fluid adalah
non-viscous atau inviscid fluid.

Fluida inkompresibel adalah fluida yang tidak mengalami perubahan densitas, atau
perubahannya sangat kecil sehingga dapat diabaikan.

Aliran Laminer Berkembang Penuh

Uo r
x
U D

Entrance length (L) Fully developed region (region dimana profil


kecepatan tidak berubah lagi).
Boundary layer

Gambar 5.1 Entrance Length dan Fully Developed Region

Perhatikan aliran fluida pada sisi masuk seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 di atas.
Sebelum mengalami kontak dengan permukaan padat fluida memiliki kecepatan seragam
sebesar Uo. Setelah fluida menyentuh dinding saluran maka akan terbentuk boundary layer
akibat adanya efek viscous dan gesekan fluida dengan pipa, sehingga akan terjadi perubahan
profil kecepatan fluida ke arah hilir aliran. Pada jarak tertentu dari titik awal fluida masuk
profil kecepatan aliran akan menjadi tetap. Fluida dalam dalam keadaan demikian dikatakan
telah berkembang penuh (fully developed), sedangkan daerah pada arah hilir dimana fluida
telah berkembang penuh disebut fully developed region. Panjang sisi masuk sesuai arah
aliran sampai fully developed region disebut entrance length.

Untuk aliran laminar:

L ≈ 0.06Re → EntranceLength, L = 0.06 ⋅ D ⋅ Re = 0.06 ⋅ 2300D = 138D


D

5.2. Penerapan Fully Developed Laminar Flow

Interest dalam sub-bab ini adalah untuk memperoleh informasi tentang medan kecepatan
aliran untuk perhitungan shear stress (distribusi kecepatan atau profil kecepatan), pressure
drop (penurunan tekanan) & laju alir massa atau laju alir volumetris, untuk beberapa kasus
aliran laminer internal.
5.2.1. Fully developed laminar flow di antara 2 plat paralel tak terhingga
Kedua plat stasioner (tidak bergerak).

yx
(τ + d τ yx ⋅ dx )
a y dy 2
Control
volume 2 ∂ d ∂p dx
p x
a x p− ⋅ → p ⋅τ yx ←− p+ ⋅
∂ 2 ∂x 2
dy
p τ yx x
d τ yx
dx
−τ ⋅d
y
yx
dy 2
τyx = gaya geser dalam arah x, bekerja pada
bidang yang ⊥ y

Gambar 5.2 Distribusi Gaya Permukaan Fluida

Gambar 2.2 menunjukkan fluida di antara 2 plat paralel stasione. Perhatikan sebuah kontrol
volume elemen fluida dengan ukuran tinggi dy dan panjang dx, yang memiliki tekanan p dan

gaya geser τyx . Gaya-gaya permukaan yang bekerja kemudian diuraikan seperti pada Gambar
2.2 sebelah kanan.
Kondisi batas
Pada y = 0 u=0
y=a u=0
Panjang plat tak arah z tak terhingga.
Gaya-gaya yang bekerja pada sisi-sisi control volume:
∂p dx ∂ dx dτ yx dy dτ yx dy
+ τyx +
p ⋅ dxdz = 0
p− ⋅ dydz − p + ⋅ dydz − τyx − ⋅ dxdz dy 2
∂x 2 ∂x 2 dy 2
dτ atau dτ yx = ∂ berlaku untuk semua nilai x & y
− ∂p + yx = 0
p
∂x dy dy ∂x
dτ yx ∂
p
= =C C = konstan
dy ∂
x
∂p
Integrasi τyx = y + c1
∂x
du∂p + c
µ. y = 1
dy ∂x
du 1 ⋅ ∂ ydy + c1 dy
= p
µ ∂x µ
2
u= 1 ∂p + C1 y + C y + C 2
y
2µ ∂x µ

pada y = 0 , u = 0 ; shg C2 = 0. pada y = a , u = 0 shg


1 ∂p 2 + C
1
0= a a C1=-½

2µ ∂x µ

2
u= 1 ∂p − 1 ∂p
y ay
sehingga 2µ ∂x 2µ ∂x
a2 ∂p y 2 y

u= ⋅ −
2µ ∂x a a
a
∂p ∂x
Ini merupakan persamaan untuk menentukan profil kecepatan aliran fluida
di antara 2 plat paralel stasioner.
Distribusi Shear Stress
∂p ∂p 1 ∂p
τ yx y + C1 = y− a
= ∂x ∂x 2 ∂x
∂p y − 1
a
∂x a 2
τ yx
=
Laju Alir Volumetris
Untuk kedalaman l pada arah z
Q = ∫VdA
A
a 2 3
Q 1 ∂p 1 ∂p
= ∫ (y − ay)dy = − a
l 0
2µ ∂x 12µ ∂x

Q sebagai fungsi pressure drop:


l
p −p p ∂p
2 1 =− =
l l ∂x
3
Q = 1− p = a3 p
a
− 12µ 12µ
l l ⋅l
Kecepatan rata-rata
Q 1 ∂p a3l
V= =
A − 12µ ∂x l ⋅ a
1 ∂p
V=− a
12µ ∂
x
Titik kecepatan Maksimum
Kecepatan maksimum terjadi jika
∂ =0 ∂ = a2 ∂p 2y −1 =
u → u
0
∂ ∂y 2µ ∂x a2 a
y
y =a
2
2
a → u = umax = − 1 ∂p =3
Pada y = a V
2 8µ ∂x 2
Transformasi Koordinat
Pada pembahasan persamaan-persamaan di atas titik asal O(0,0) terletak di pojok kiri bawah
plot. Jika titik asal dipindah ke centerline, kondisi-kondisi batasnya menjadi :
u = 0 pada y’= ½ a
u = 0 pada y=-½a
y = y’+ ½ a
u= ∂p y' − 1
a2

2µ ∂x a 4

½
y’/2

y a

O x

-½ 1
u = u
u a2 ∂p
max

8µ ∂x

Contoh soal:
o
Suatu sistem hidroulik beroperasi pada pressure gage 20 MPa, 55 C, menggunakan fluida oli
SAE 10 W, SG = 0.92. Sebuah control valve terdiri dari sebuah piston Φ 25mm, fitted
terhadap silinder dengan clearance radial rata-rata 0.005 mm, tentukan laju alir kebocoran
jika pressure gage pada sisi tekanan rendah piston 1.0 MPa (panjang piston 15mm) µ = 0.018
kg/(m.sec).
P1 = 20 MPa (gage)
asumsi:- laminar flow
- steady
- incompressible
L = 15 mm a = 0.005 mm L = 3000)
- fully developed (
a

P2 = 1 MPa (gage)

Lebar clearance sangat kecil sehingga aliran dapat dianggap sebagai aliran diantara 2 plat
paralel; Lebar plat, l = π D
Q = πDa3 p = π × 25mm× 0.0053 mm3 × (20 −1)⋅106 × m.sec × 1 × kg.m
12µL 12 0.018 15mm N.sec
Q = 57.6mm3 / sec

Cek bilangan Re:


V =Q = Q = 0.147m/ s
A πDa
Re = ρV = SGoil ⋅ ρH2O ⋅V ⋅ = 0.0375
a a
µ µ
Laminer, artinya penggunaan rumus di atas sudah memenuhi syarat.
Plat bagian atas bergerak dengan kecepatan konstan U.
U
Control volume

a p τyx dy
y
dx x
Distribusi Kecepatan
2
Uy a ∂p y y
U= + −
a 2µ ∂x a a
Jika ∂ = 0 maka U linier terhadap y
p
∂x
Distribusi Tegangan Geser
τ yx = µ U + a2 ∂p 2y − 1 = U + a ∂p y − 1
µ
a 2 ∂x a2 a a ∂x a 2
Laju Alir Volumetris
3
Q=U − 1 ∂p
a
a
l 2 12 ∂x
µ
Kecepatan Rata-rata
3
V⋅a − 1 ∂p
a
2 12µ ∂x
V =Q = = U − 1 ∂p a 2
A l⋅a 2 12µ ∂x
Titik Kecepatan Maksimum
Kecepatan maksimum terjadi jika
2
du
=
U
+
a
dy
a


p
a
d
a

y
Bentuk profil kecepatan dan kecepatan maksimum yang mungkin, ditunjukkan pada gambar
berikut ini:

1.0
a
y
∂p
>0
∂x U
∂p = 0 y
∂x a

x
∂p<0
∂x

0 u/U 3.0
Contoh :
Sebuah journal bearing poros engkol, dilumasi oli mesin SAE 30 pada 210 oF (99oC); µ = 9.6
-3 2 -4 2
x 10 N.s/m (2.0 x 10 lbf/ft ). Diameter bearing 3 in; clearance 0.0025 in, berputar 3600
rpm dan lebar 1.25 inchi. Bearing dalam keadaan tanpa beban sehingga gap atau clearance-
nya simetrik. Tentukan torsi yang dibutuhkan untuk memutar journal & daya yang dihasilkan
oleh putaran tersebut.
Clearance sangat kecil; aliran dianggap sebagai aliran diantara 2
plat parallel.
D=3 in a = ½ 0.0025 inc
ω u
y
a x

τ yx = µ u + a ∂p y − 1
a ∂x a 2
Asumsi : - laminar, steady, incompressible
- fully developed
- lebar tak terhingga ( l/a = 1000)
∂p
- ∂x = 0 ( aliran simetris, tanpa beban )

τ =µu =µ ω =µ ω
R D
yx
a a 2a
τ 4
= 2⋅10 ×3600× 2π × 1 × 3× 1 × 1
yx
60 2 0.00125

τ yx = 90.5 lbf/ft2
Torsi
π
T = FR = τ yx ⋅π ⋅ D ⋅ l ⋅ R = τ yx ⋅ D2 ⋅ l
2
2 2
T = π ⋅90.5 × 3 × ft ×1.25 = 11.1lbf .inch
2 144in2
Daya yang dihasilkan W = F . U = F R ω = T ω
W = 11.1 [lbf.in] x 3600 [rev/min] x 1/60 [min/sec] x 2π [rad/rev] x 1/12 [ft/in] x 1/550 [hp.s/ft.lbf]
W = 0.634 hp
5.2.2 Fully developed laminer flow dalam sebuah pipa
Annular control volume

y
R
p , τrx r
x dr
dr
dx

Gambar 5.3 Control volume untuk aliran dalam pipa.

Distribusi kecepatan
2 2
1 ∂p R2 ∂p −r
u= (r −R )= − 1
4µ ∂x 4 ∂x R
µ
2
Shear Stress Distribution
τ rx = d = r ∂p
µ u
dr 2 ∂x
Volumetric Flowrate
Q = πR4 ∂p = πR4 − p =π pR4 = π pD4
− −
8µ 8µL 128µL
∂x 8µ L
Average Velocity
Q Q ∂p
R2
V= = 2 =
πR − 8
A µ ∂x
Point of Maximum Velocity
du
Kecepatan maksimum terjadi jika =0
dr
1 ∂p =
0 atau pada r = 0
2µ ∂x

R4 ∂p
Pada r = 0 U = Umax = − =
2V
4µ ∂x
Kecepatan max terjadi pada centerline of pipe !
Berdasar formula U pada distribusi kecepatan dan U max di atas diperoleh:
U u r2
= = 1−
U U R
max
Aliran turbulen
Profil kecepatan ditentukan dengan persamaan empiris :
1
u rn 3
=1 − n = 6 untuk Re = 4 . 10
U R
n=7 Re = 1.1 . 105
6
n = 10 Re = 3.6 . 10
Perbandingan kecepatan rata-rata terhadap kecepatan maximum:
V = 2n 2
U (n +1)(2n
+1)
Profil kecepatan untuk laminar dan turbulen flow pada Re = 4 . 103 ditunjukkan sbb :
(V & Q sama)

Turbulent
Laminer
Laminer
Turbulent

Pipe Centerline
u
V u
U
Gambar 2.4 Efek transisi (laminar ke turbulen): gradien kecepatan pada dinding lebih besar.

5.3. Perubahan Energi Aliran Dalam Pipa Sirkular (circular pipe)


Bentuk energi aliran fluida dalam pipa potensial (elevasi)
tekanan
kecepatan
Perubahan bentuk energi tersebut dievaluasi dengan persamaan Bernoulli. Kehilangan energi
(losses) akibat gesekan dinding pipa tidak ter-cover dalam persamaan Bernoulli.
Losses : - Major losses (akibat gesekan pada area constan)

- Minor losses (akibat katup, belokan, perubahan luas penampang, dsb);


pressure drop akibat entrance length termasuk minor losses.
Kesetimbangan energi antara dua titik pada aliran dalam pipa
2 2
p p α V αV
Q = m(u 2 − u1 )+ m 2
− 1 + mg( z 2 − z1 )+ m 2 2
− 1 1
& & &

ρ
&

ρ 2 2
p V p V δ
Q
2 2
1 +α + 1 − 2 +α 2 + = −u )−
1
2 gz ρ 2 2 gz (u
ρ 1 2 2 1 dm

E-mekanis sisi 1 E-mekanis sisi 2 Selisih E-mekanis antara


per satuan massa per satuan massa sisi 1 & 2 per satuan massa
disebut total head loss Head loss via

pembuangan panas
Energi mekanis yang hilang berubah bentuk menjadi energi panas yang dibuang ke

δQ
lingkungan dan menjadi energi dalam yang dikandung molekul-molekul fluida (u2-u1). dm

α = kinetic energy flux coefficient


α = 2 untuk laminar flow
u3 2n2
α= untuk turbulent flow
V (3 + n)(3+ 2n)
Satuan head loss : Energi = J atau Energi =
m
massa kg berat

5.4. Perhitungan Head loss

Major losses (akibat friction factor) ML

O Losses akibat gesekan pada region fully developed dalam penampang yang
tetap.
M = p
L
ρ
2

• 64 LV
Laminar flow ML =
Re D 2
2

• Turbulent flow M =f LV
L
D2
f = friction factor, ditentukan dari data eksperimental yang
diplotkan dalam Diagram Moody.
Dalam Diagram Moody f ditentukan berdasarkan Re dan kekasaran relatif permukaan,
ε
yang ditentukan berdasarkan besarnya diameter pipa.
D
Bandingkan ML untuk laminar dan turbulen, diperoleh :
64
f= untuk aliran laminar ; hal ini sesuai hasil eksperimen bahwa untuk laminar Re
ε
flow ; f hanya tergantung Re, sedangkan tidak berpengaruh.
D
Seperti disebut sebelumnya, transisi dari laminar ke turbulen menyebabkan gradien kecepatan
dekat dinding menjadi lebih besar. Pada awalnya kenaikan friction factor ini hanya
dipengaruhi Re, tapi semakin tinggi Re profil kecepatan semakin tumpul (fuller): viscous sub-
layer dekat dinding semakin tipis. Kekasaran permukaan ikut berperan. Jika Re semakin besar
lagi friksi sepenuhnya dipengaruhi kekasaran permukaan (fully rough flow).
Minor losses ( mL )
Losses yang bukan diakibatkan gesekan, tapi akibat adanya katup, belokan,
pembesaran/kontraksi penampang mendadak, efek inlet, entrance length, dsb.
2 2
m =K V =f L V K = Koefisien losses
e
L
2 D2
Le = panjang ekuivalen
Le
Nilai K dan disajikan dalam bentuk Tabel atau Grafik (yang disusun berdasar data-
D
data eksperimental).

5.5. Penyelesaian Problem-Problem Aliran Dalam Pipa

Contoh Soal 1
Udara disuplai untuk proses pembuatan baja melalui pipa sirkular D = 6” , berakhir mendadak
ke dalam chamber yang besar. Seorang engineer baru mengajukan saran untuk mengurangi
o
penggunaa daya dengan cara mengganti sistem perpipaan yang memiliki 2 belokan 90 (center
line radius 2”) dengan kombinasi pipa lurus dan diffuser. Area ratio diffuser, AR=1.35 sistem
perpipaan yang diusulkan mengurangi belokan, mengurangi 8” panjang pipa dan penambahan
diffuser. Kecepatan udara yang dibutuhkan 150 ft/s, tekanan outlet = tekanan atmosferik.
Efisiensi blower 80%. Bera pa daya yang bias dihemat oleh sistem baru tersebut?
Wshaft (blower) D = 6 in
R = 2 ft
Sistem yang ada:

Patm

Difuser, AR=1.35
Wshaft (blower)

Sistem yang diusulkan:


Lbaru N

• Lbaru + N + 8” = Llama

Sistem yang ada


2
Losses =M +m =f LV +m
tota L L L
l D 2
2 2 2 2
L
=K V1 +f L V1 + e,bend V 1
+K V1
Losses 2f
lama

tota ent exit


l 2 D 2 D 2 2

Entrance Mayor. 2 elbow Exit


L
Dari grafik untuk elbow diperoleh :

Untuk r = 2' = 4 → L = 13.5


e,bend

D 0.5' D
Dari tabel exit pipe Kexit = 1.0
L V2
=K +
Lossestotal f + ;V1 =V2
lama 1
ent 2(13.5)f +1.0
D 2
Sistem yang disarankan
2
Losses = +m =f LV +m
total L L L
M
D2
V2 L new V 2
V2
Losses total = K ent 1
+f 1
+ m L−diffuser + K exit 3

2 D 2 2
Pilih diffuser dengan AR = 1.35 (lihat grafik koefisien losses untuk difuser), Cp = 0.4
dengan N/R1=1.5
N = R1 = 1.5 = 0.25*1.5 = 0.375 ft
V2 2 1 V 2 [1− 0.549 − 0.4] V2 2
2
m
L−diff = 1− 2 − Cp = = 0.051
2 A 2 2
R
V 2 A 2 V 2 2
3 2 3 1 V32 V3 2
m =K =K =1 = 0.549
L−exitloss
2 A3 2 1.35 2 2
V3 ≈V2 ≈V1
L V2
Losses K
+f + 0.051+ 0.549
baru 1
total−baru = ent
D 2
2
L V
Losses
= Kent +f + 0.6
baru 1
total−baru
D 2

Jika sisi outlet pada kedua sistem kita notasikan sebagai titik 4, maka persamaan volume
kontrol untuk kedua sistem di atas dapat dinyatakan sebagai berikut:
.
.. ∂ ∫ e ⋅ ρ ⋅ d∀ ∫ V2 P
Q+ W +W +W
s shear other = u+ + gz + ρV ⋅ dA
∂t cv +
cs
2 ρ
Asumsi : steady state, uniform, α = 1.0 , incompressible
• 2 2 •
P V P V δ
4 4 θ 0
Q
Ws
lama =m + + gz4 − + + gz0 + m u4 − u0 −
ρ 2 ρ 2 dm

P V 2
P V 2 •
Ws lama
=m
4
ρ
+ 4
2
+ gz 4
− θ
ρ
+ 2
0
+ gz 0
+ m.Losses total −lama

• 2 2 •
P V P V
Ws baru
=m
4
ρ
+ 4
2
+ gz 4

ρ
θ
+ 0
2
+ gz 0
+ m.Losses total −baru

Ws = −Ws = m(Losses − Lossestotal−baru ) = ρV1 A1 Lossestotal


Wslama baru total−lama

Substitusikan persamaan dan


L −L V2
Ws = ρV1 A1 f + 27 f + 0.4
lama baru 1

D 2
VD 1
→ Re = = 150* 0.5* = 469.000
−4
v1.6*10
→ f = 0.0134; Llama − Lbaru = N + 8 = 8.38
π 0.52 8.38 1 2
1
Ws = 0.00238*150* 0.0134 + 27(0.0134)+ 0.4 ⋅150 ⋅ = 1.41Hp
4 0.5 2 550
Win = Ws = 1.41 = 1.76Hp
η 0.8

Contoh Soal 2
3
Air pendingin dipompa melalui perpipaan seperti tampak pada gambar. Laju alir 135 m /h,
kecepatan air pada nosele keluar = 36 m/s. hitung tekanan suplai minimum pada sisi buang
pompa. Berapa daya pompa input yang dibutuhkan jika effisiensi pompa 70%?

Bahan pipa Aluminium Data: D = 100 mm


L = 210 mm
D = 100 mm; panjang total, L = V2= 36 m/s
210 m; Sambungan = 15, K = 1 Q = 135 m3/h
120 m = 0.0375 m3/s
Pump z1 ≈ 0
z2 ≈ 120m
Gate valve; open P1-P2 = ….?

P V2 P V2 2
1
+ 1
+z = 2
+ +z +M +m
1 2 L L
ρg 2g ρg 2g
2
P−P =V −V 2 + z + M +
L m L
1 2 2 1

2 V1=V rata-rata sepanjang pipa


ρg 2g Q 0.0375
=
A = 0.12 = 4.8m / s
2
P1−P2 = 362 − 4.8 +120 + M + m
L L
π
ρg 20
4
P1−P2
ρg = 183.65m + L + m L
M
ML = Mayor losses = losses akibat gesekan

2
=f LV Pipa Al ≈ galvanized iron, D = 100 mm
D 2g
Untuk mendapatkan satuan “m” dari grafik diperoleh, ε/D = 0.00125
Re = VD = 4.8*0.1 =
v 10−6 4.8∗105
o
Viskositas dinamik air 20 C
Dari diagram Moody : Re = 4.8*105 & ε/D = 0.00125 f = 0.021
M = 0.021 210 4.82 = 50.8m
L
0.1 2 ∗1
0
mL = Minor losses = losses akibat 15 sambungan + 1 gate valve dalam keadaan
terbuka + 2 belokan pipa
Sambungan : 15K V 2 = 13.02m
2g
Gate Valve : lihat tabel, diperoleh panjang ekivalen Le/D = 8
Le V 2
4.8 2
:f = 0.021∗8* = 0.2m
D 2g 20
o
Belokan : asumsikan belokan dengan θ ≈ 60 ; lihat grafik, diperoleh Le/D = 20
Le V 2 4.8 2
: f = 0.021* 20* * 2 = 0.97m
D 2g 20
mL = 13.02 + 0.2 + 0.97 = 14.19 m

Sehingga :
P1−P2 = 183.65 + M + m = 183.65 + 50.8 +14.190 = 248.64m
ρg
L L

P = P1 − P2 = ρg248.64 = 1000*10* 248.64 = 2.4864 *106 Pa = 2.5MPa

Daya aktual pompa = ΔP * Q = 2.5 * 106 * 0.0375 = 93750 W = 93.75 kW


93.75 93.75
Daya input pompa = = = 133.9 ≈ 134kW η
0.7

Contoh Soal 3
Air dipompa melalui pipa D = 0.25 m sepanjang 5 km dari pompa ke suatu reservoir terbuka
berketinggian (level air) 7 m. kecepatan rata –rata air dalam pipa 3 m/s. Hitung tekanan P 1
pada sisi buang pompa.
Data : D = 0.25 m P1 = Pdischarge
L = 5000 m P2 = 1 atm = 105 Pa
7m
Z2 = 7m V = 3 m/s
Z1 = 0 α=1
V2=0

Pompa

2
PV2 P V
∴ + α1
1
+ Z1
1

2
+α2
2
+ Z2 = Lossestotal =ML (karena gesekan saja)
ρg 2g ρg 2g 3
ρ air = 1000 kg/m
P 32 105 g = 10 m/s2
1
+ + 0 − +7 =M
L
ρg 20 ρg
P
1 −16.55 = M M = losses akibat gesekan pipa sepanjang 5km
4 LL
10
2
ML =f L V L = 5000 m ; D = 0.25 m3 ; V = 3 m/s
D 2
Asumsi digunakan pipa “galvanized iron” D = 250 mm dari grafik diperoleh
kekasaran relatif ε/D = 0.0005
VD 3⋅ 0.25
Re = = = 7.5*10
v 10−6 5
o
v = viskositas air pada 20 C
Lihat Diagram Moody ε/D = 0.0005 diperoleh f = 0.018
Re =7.5 * 105
M L = 0.018 5000 32 = 1620 2 Untuk mendapatkan losses dalam satuan
m
0.25 2 s2 “meter”, dibagi dengan gravitasi
M L = 162m
P1 = M +16.55 = 162 +16.55 = 178.55

L
104
P = 178.55m⋅10 kg ⋅ m = kg ⋅ m 1 = N = Pa
4

3 2 2 2
m s s m m
1

P1 = 1.7855⋅106 Pa = 1.79MPa
5.6. Pengukuran Aliran

Pemilihan cara pengukuran aliran disesuaikan harga, akurasi, kapasitas, tingkat kemudahan
penanganan data dan servis life.
Ada beberapa metode pengukuran aliran

Metode langsung : mengukur massa atau volume liquid dalam selang waktu
tertentu. Pengukuran “internal flow” secara teoritis – empiris :

ρ 2
A2 2

Flow V
P−P = 2

V1 2 1 A
1 2
1
D1 Dt V2 D2
Cv V 2
= 2(P1 − P2 )
(
ρ 1− (A2 / A1)2 )
“ Internal Flow “

ρ =ρ 2(P1 − P2 ) = A2
mth = V 2
A 2ρ(P1 −P2)
2
ρ [1− (A ]

[1− (A / A ) ]
2 1
2
2 / A 1) 2

CAt ; C = koefisien discharge (ditentukan secara


mth = 2ρ(P1 − P2 )
empiris)
[1 − (A2 / A1 )2 ] D A

CAt ; β= t= t
mth = 2ρ(P1 − P2 ) 1
1−β4 D1 A

• ( ) ;K= C
mth = KAt 2ρ P1 − P2 1 −β 4

Internal flowmeter ada 3 tipe: Orifice plate (Low cost ; High Head Loss)
Flow nozzle (Intermediate cost & head loss)
Venturi ( High Cost ; Low Head Loss)

Linear flowmeter; misalnya float type flowmeter (flowmeter yang menggunakan jarum
penunjuk terapung), dan turbine flowmeter.

Transversing methods (menggunakan tabung pitot); misalnya thermal anemometer dan


laser dopler anemometer.

Tidak ada pemandangan yang lebih menyedihkan


Melihat daripada seorang muda yang pesimis.
-- Mark Twain --
Suplemen untuk Bab II : Aliran Fluida Dalam Pipa

Setiap sistem aliran fluida dalam pipa dan perpipaan harus mempertimbangkan
distribusi tekanan dan penurunan tekanan yang terjadi sepanjang aliran. Sebagai contoh,
sistem aliran air PDAM, sistem penyaluran bahan bakar minyak, termasuk juga ducting
system pada AC sentral harus memperhitungkan secara hati-hati losses atau kehilangan
energi akibat penurunan tekanan tersebut karena mempengaruhi energi total dalam
sistem. Kehilangan energi (head losses) tersebut terjadi akibat adanya gesekan antara
fluida yang mengalir dengan permukaan pada tempat fluida mengalir, sehingga disebut
juga friction losses.
Friction losses dibedakan menjadi dua macam. Pertama, friction loss di sepanjang
perpipaan, disebut juga major losses karena losses akibat gesekan ini mempunyai porsi
yang besar. Kedua, friction loss yang terjadi pada fitting (sambungan, belokan, perubahan
penampang aliran, dsb), disebut juga minor losses. Minor losses besar jika kecepatan
aliran tinggi dan banyak fitting di sepanjang aliran.
a. Major Losses
Major losses terjadi akibat gesekan aliran fluida di sepanjang pipa. Besarnya major
losses dipengaruhi oleh panjang pipa (L), diameter pipa (D), kecepatan aliran fluida
(V), viskositas fluida (µ), dan material/bahan pipa. Major losses dihitung dengan
persamaan Darcy-Weisbach sbb:
2 (1)
HL = f. L . V
D 2.g
dimana HL = Major losses (m)

f = Faktor gesekan (tak berdimensi)


L = Panjang lintasan pipa (m)
D = Diameter pipa (m)
V = Kecepatan rata-rata aliran fluida (m/s)
g = Gravitasi, 9.81 (m/s2)

Persamaan Darcy-Weisbach di atas disebut juga persamaan tekanan-kecepatan


karena memuat suku yang menunjukkan pengaruh tekanan-kecepatan aliran, yaitu
V2/2g.
Nilai faktor gesekan f dipengaruhi oleh rezim aliran (laminer, transisi, atau turbulen)
dan material pipa. Material pipa menentukan besarnya kekasaran permukaan pipa.
Rezim aliran ditentukan oleh besarnya bilangan Reynolds:
Re = ρ.V.D (2)
µ

dimana Re = Bilangan Reynold (tak berdimensi)


ρ = Densitas fluida (kg/m3)
µ = Viskositas mutlak fluida (N.s/m2)
Untuk aliran laminer, nilai faktor gesekan f merupakan fungsi sederhana dari Bilangan
Reynold Re:
f = 64 (3)
Re

Untuk aliran transisi, nilai faktor gesekan f dihitung dengan Persamaan Colebrook
sbb:
1 ε 2.51
= 2log D + (4)
f 3.7 Re. f

dimana ε = Kekasaran permukaan pipa (m)


ε/D = Kekasaran relatif pipa (tak berdimensi)

Persamaan Colebrook ini harus diselesaikan secara iteratif untuk mendapatkan nilai f.
Untuk aliran turbulen, nilai faktor gesekan f ditentukan dengan urutan sbb:
- Berdasarkan data kekasaran relatif permukaan (ε/D); nilai ε/D bisa ditentukan
berdasarkan diameter pipa dan material pipa dari diagram atau grafik yang
ditunjukkan pada Gambar 1.
- Berdasarkan harga kekasaran relatif permukaan pipa (ε/D) dan Bilangan Reynold,
harga f dicari dengan menggunakan Diagram Moody yang ditunjukkan pada
Gambar 2.
Nilai f untuk aliran transisi bisa juga dicari dengan menggunakan Diagram Moody,
akan tetapi beberapa penelitian yang mengkonfirmasikan ketidakakuratan
menentukan nilai f aliran transisi dengan cara ini.
Gambar 1. Grafik Kekasaran Relatif Pipa

Gambar 2. Diagram Moody


b. Minor Losses
Minor losses terjadi akibat adanya perubahan arah aliran, perubahan penampang
aliran dan perubahan gesekan akibat adanya fitting (belokan, percabangan, katup,
dsb). Ada dua macam prosedur dasar untuk menghitung minor losses, yaitu:
- Metode Panjang Ekuivalen (equivalent length method)
Metode panjang ekuivalen mengasumsikan bahwa setiap fitting atau variasi aliran
mengakibatkan losses yang sama dengan losses yang ditimbulkan oleh pipa lurus
dengan panjang ekuivalen tertentu. Sebagai contoh, sebuah gate valve 2 inchi
mengakibatkan losses sama besar dengan losses yang diakibatkan oleh pipa lurus
berdiameter 2 inchi sepanjang 1.5 feet (= 0.46 m). Sehingga, dikatakan panjang
ekuivalen gate valve adalah 1.5 feet. Panjang ekuivalen untuk semua minor losses
digunakan dalam persamaan Darcy-Weisbach. Metode panjang ekuivalen hanya
digunakan untuk aliran turbulen. Metode ini sederhana dan mudah digunakan tapi
mengharuskan adanya tabel nilai ekuivalen. Panjang ekuivalen untuk fitting tertentu
bisa berbeda-beda, tergantung pada pembuat (produsen) pipa, material, dan cara
pemasangannya. Contoh panjang ekuivalen untuk beberapa fitting ditunjukkan dalam
Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 1. Panjang Ekuivalen Fitting Pipa (dalam satuan British)
Panjang Ekuivalen (ft)
Tipe Fitting Diameter Pipa (inchi)
1” 2” 4”
o
Regular 90 Elbow 5.2 8.5 13
o
Long Radius 90 Elbow 2.7 3.6 4.6
o
Regular 45 Elbow 1.3 2.7 5.5
Tee 3.2 7.7 17
o
180 Return Bend 5.2 8.5 13
Globe Valve 29 54 110
Gate Valve 0.84 1.5 2.5
Angle Valve 17 18 18
Swing Check Valve 11 19 38
Coupling or Union 0.29 0.45 0.65

Sumber: Engineer-In-Training Reference Manual, 8th Ed, Michael R. Lindeburg, PE, Professional Publications, Inc.
Belmont, CA, 1992
Tabel 2. Panjang Ekuivalen Tak Berdimensi (Le/D)
Tipe Fitting Panjang Ekuivalen Le *)
D
Valve (fully open)
Gate valve 8
Globe valve 340
Angle valve 150
Ball valve 3
Lift check valve: globe lift 600
: angle lift 55
Foot valve with strainer : poppet disk 420
: hinged disk 75
Standard elbow 90o 30
o
Standard elbow 45 16
Return bend, close pattern 50
Standard tee : flow through run 20
: flow through branch 60
L L V2
= f. e .

- Menggunakan Koefisien Losses


*)BerdasarrumusH
D 2.g

Setiap fitting mempunyai koefisien loss , K, yang jika dikalikan dengan suku tekanan-
kecepatan menghasilkan besarnya losses.
M = K. V2 (5)
L
2.g
Dimana ML = Minor losses (m)
K = Koefisien losses (tak berdimensi)

Nilai K untuk semua fitting ditentukan secara empiris (berdasar hasil percobaan), dan
tidak dapat diturunkan secara teoritis. Beberapa koefisien losses bisa juga dihitung
berdasarkan panjang ekuivalen yang telah diketahui.
K= Le (6)
D
f.

Nilai empiris koefisien losses, K, biasanya dipresentasikan dalam bentuk grafik atau
tabel. Contoh grafik koefisien losses belokan ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Koefisien Losses Belokan Pipa


Soal-soal
3
1. Suatu fluida dengan ρ = 950 kg/m mengalir dalam pipa silindris horisontal
berdiameter 5 cm, dengan kecepatan rata-rata 10 m/s. Tekanan fluida dalam pipa
diukur untuk tiap interval 1 m, diperoleh data sebagai berikut:

x, m 0 1 2 3 4 5 6
P, kPa 304 273 255 240 226 213 200

Hitunglah: (a). Tegangan geser (τ) rata-rata yang terjadi pada dinding pipa; (b).
Tegangan geser pada dinding dalam “fully developed region” pipa.

2. Air raksa pada 20 oC (ρ=13350 kg/m3; µ=0.00156 kg/m.s mengalir di dalam


pipa smooth berdiameter 7 mm dan panjang 4 m, dengan kecepatan rata-rata 3
m/s. Hitunglah losses yang terjadi sepanjang aliran dan besarnya pressure drop
yang terjadi.

3. Sistem tangki dan pipa seperti dalam gambar di bawah ini, digunakan untuk
mengalirkan paling sedikitnya 11 m3/h air 20 oC (ρ=998 kg/m3 ; µ=0.001
kg/m.s). Berapa kekasaran permukaan maksimum yang diperbolehkan ?

4m
L = 5 m, d = 3 cm

2m

Seorang pesimis adalah orang yang tanpa menghiraukan dan mensyukuri


masa kini, telah kecewa terhadap masa depan.
-- Anonim --

Seorang pesimis selalu berdalih tentang kesulitan (yang dibuat-buat) dalam


kesempatan yang dimilikinya. Seorang optimis bisa menciptakan kesempatan
dalam kesulitan yang dihadapinya.
-- Reginald B. Mansell --
Bab 3

ALIRAN EKSTERNAL

6.1. Pengertian

Aliran eksternal: aliran yang berada di luar atau melalui obyek/benda padat yang
dikelilingi aliran fluida.

Tujuan: memperhitungkan (secara numerik) pengaruh perilaku fluida viscous-


incompressible pada aliran luar terhadap benda padat, serta mempelajari perilaku
aliran fluida melalui benda padat.

Contoh aliran luar: aliran melalui permukaan padat, airfoil, mobil, kincir angin,
lambung kapal, dsb.

6.2. Ketebalan Lapisan Batas (Boundary layer)


U
U
U

transisi
laminer turbulen

Gambar 6.1. Boundary Layer


Faktor-faktor yang mempengaruhi daerah transisi antara lain: gradien tekanan, kekasaran
permukaan, perpindahan panas, gaya badan yang bekerja, dan gangguan yang terjadi
terhadap aliran bebas.
U
0.99U

Area = ∫u(U − u)dy


0
δ
u
y ∞
Area = ∫(U − u)dy
δ* 0 θ

a. Displacement thickness, δ* b. Momentum Thickness, θ


∞ ∞

Uδ = ∫(U − u)dy
∗ 2
U θ = ∫u(U − u)dy
0 0

Gambar 6.2. Definisi Ketebalan Lapisan Batas


Tebal gangguan lapisan batas, δ : Jarak dari permukaan padat sampai layer dengan kecepatan
sebesar 0,99 kecepatan aliran bebas (U).
Tabal pergeseran , δ * : Jarak dimana permukaan padat dipindahkan ke aliran tanpa gesekan,
sehingga menyebabkan defisit laju alir massa sebesar massa yang berada dalam
boundary layer.
Tebal momentum, θ : Tebal layer fluida dimana flux momentum-nya sama dengan momentum
yang hilang melalui boundary layer.
Efek gaya viscous dalam boundary layer adalah memperlambat aliran sehingga mengurangi
laju alir massa (dibanding tanpa boundary layer). Penurunan laju alir massa akibat gaya
viscous;

ρUδ w = ∫ ρ(U − u)wdy



0

w = lebar permukaan pada arah tegak lurus aliran.


Untuk incompressible flow, ρ =konstan.
∗ δ

u u
δ = ∫ 1− dy ≈ ∫ 1 − dy
0
U 0 U
Melambatnya aliran dalam boundary layer mengurangi flux momentum ; laju alir massa aktual
δ

dalam boundary layer : ∫ ρuwdy . Penurunan momentum dalam boundary layer adalah
0


2
wρU θ = ∫ ρu(U − u)wdy
0

untuk incompressible flow, ρ= konstan.


∞ δ
u u u u
θ=∫ 1− dy ≈ ∫ 1− dy
0 U U 0 U U
Asumsi-asumsi dalam analisis boundary layer;
• u U pada y = δ
• ∂u 0 pada y = δ
∂y
• u << U dalam boundary layer

• Variasi tekanan arah melintang diabaikan.


Contoh soal.

Sebuah terowongan angin berpenampang persegi dengan garis tengah 305 mm, diobservasi
profil kecepatannya di dua tempat. Pada bagian dimana U1 = 26 m/s diketahui δ1∗ = 1,5mm .
Pada posisi pada arah hilir dari posisi diperoleh δ 2∗ = ,1mm . Hitung perubahan tekanan statis
antara - dibandingkan tekanan dinamis aliran bebas pada .
Pengamatan dilakukan pada Patm standar.
L-2δ*

L-2δ* L = 305 mm

δ*

a. Profil kecepatan b. Profil kecepatan c. Penampang melintang


aktual. hipotetis. wind runnel.
Persamaan Bernoulli untuk aliran di luar δ ∗ :
2 2 2
P V P V
1
+ 1
+ gz = 2
+ + gz 2
ρ 2 1
ρ 2
Asumsi: steady, incompressible, uniform diluar δ ∗ , tak ada efek friksi diluar δ ∗ , aliran
sepanjang streamline antara dan , z1=z2 .
1
P1 − P2 = (
ρ V22 −V12 )
2
1 1 2
(
ρ U22 −U1 2 = )
= ρU1 2U 2

−1
2 2 U1

P−P U 2 2
12
= −1 ;VA=UA=VA =U A 2 2
1 U
1 1 1 1 2 2
2
ρU1
2 1

U2 = A 1
U A
1 2

A = (L − 2δ ∗ )2 = luas efektif aliran


2
P1−P2 A1
(L − 2δ ) 1∗ 2
4

= −1 = −1
1 2 A ∗ 2
ρU 1 2 (L − 2δ2 )
2
305 − 2⋅1,5
4
= −1= 0,0161 = 1,61%
305 − 2 ⋅ ,1

6.3. Persamaan Integral Momentum


c
U(x) c b dδ
b
y CV δ(x) δ
x a d a d
dx
dx
Gambar 6.3. Voleme Kontrol Dalam Boundary Layer
Persamaan integral momentum merupakan analisis untuk memprediksi pertumbuhan
(ketebalan) boundary layer laminar dan turbulen sebagai fungsi jarak pada arah aliran.
Momentum flux netto melalui control surface (permukaan kontrol) arah x;
_ δ δ
∫uρV ⋅ dA = − ∫uρudy w + ∫uρudy w
cs 0 0
δ δ
∂ ∂
+ ∫uρudy dx w −U ∫ ρudy dx w
∂x 0 ∂x 0
_ _ δ δ
∂ ∂

∫uρV⋅ d A = ∫uρudy dx −U ∫ ρudy dx w


cs
∂ 0 ∂ 0
x x

Sedangkan komponen gaya-gaya arah x yang bekerja pada cv ;


dp 1 dp 1
F
sx = − δdx − dxdδ −τ wdx − dτ wdx w
dx 2 dx 2

Karena dxdδ <<< δdx dan dτ w <<< τ w maka :


1 dp dxdδ = 0 1 dτ dx = 0
w
2 dx 2
Fsx = d
p
∫uρv ⋅ dA − δdx −τ wdx w
c
s
d
x
δ δ
∂ ∂ dp
= ∫uρudy dx −U ∫ ρudy dx w − δ −τ w
∂x 0 ∂x 0 dx
δ δ
∂ ∂
= ∫ uρudy −U ∫ ρudy
0 ∂x 0

x
δ
dp du
Jika δ = ∫dy dan = (persamaan Bernoulli untuk inviscid flowdi luar boundary
−ρ u
0 dx d
x
layer) maka:
δ δ δ
τ = ∂ uρudy + ∂ ρ udy + dU ρudy
U
w− dx

∂x ∫ ∂x ∫
0 0 0
δ δ δ δ
τ = ∂ uρudy + ∂ ρ uUdy − dU ρudy + dU ρUdy
w ∂x ∫ ∫
dx ∫ ∫


∂x dx

0 0 0 0
δ δ
τ w = ∂ ρu(U − u)dy + d ρ(U − u)dy
U
∂ ∫ dx ∫
x
0 0
2δ δ
∂ u u dU u
τw = U ρ 1− dy +U ∫ρ1 − dy


0 U U dx 0 U
x
τ d dU
w = (U 2θ )+ δ ∗U

ρ dxdx “Momentum Integral Equation (MIE)”

Menentukan Boundary Layer Thickness sebagai fungsi x dengan menggunakan MIE.


1. Tentukan atau asumsikan distribusi kecepatan aliran bebas (berdasarkan teori aliran
inviscid/non-viscous/tanpa boundary layer), U(x). tekanan dalam boundary layer
dihubungkan terhadap U(x) dengan menggunakan persamaan Bernoulli.
2. Tentukan atau asumsikan profil kecepatan yang “reasonable” dalam boundary layer.
3. Tentukan atau nyatakan hubungan antara tegangan geser dinding (τ w ) dan medan atau
distribusi kecepatan.

6.4. Pressure Gradient Dalam Viscous – Boundary Layer Flows


Region 1 Region 2 Region 3

∂p < 0 ∂ =0 ∂p > 0
p
∂x ∂x ∂x

y Back flow
x δ(x)

∂u
Separation point = =0
∂y
y=0
Gambar 6.4. Gradien Tekanan Dalam Saluran Dengan Penampang Bervariasi
Efek dari gaya viscous dalam adalah terjadinya gesekan sehingga energi atau momentum
aliran fluida semakin menurun (boundary layer semakin tebal) pada arah aliran fluida. Region
1 merupakan keadaan yang diharapkan karena tidak terjadi penurunan kecepatan aliran
∂p
yang cukup berarti. Pada region 2 ( ∂x = 0) boundary layer semakin tebal, sehingga fluida
∂p
yang terhambat dinding makin besar. Pada region 3 ( ∂x > 0 ) boundary layer makin tebal
∂u
dan terdapat suatu titik dimana ∂y y=0 = 0 dan fluida memisah dari dinding padat karena

momentum fluida lebih kecil dari pada momentum dan tekanan dari arah hillir (down stream).
Titik tersebut disebut Separation Point. Pada arah hilir dari separation point akan terjadi
aliran balik. Region dengan gradien tekanan positif (Adverse Pressure Gradient) merupakan
keadaan yang tidak menguntungkan karena titik separasi mengakibatkan berkurangnya jumlah
bersih kerja aliran yang dapat dilakukan suatu elemen fluida terhadap fluida sekitarnya.

∂p ∂p
Pada region ∂x > 0 tidak selalu terjadi separasi. ∂x > 0 merupakan suatu
“syarat perlu” (necessary condition) untuk terjadinya separasi. Namun bukan
“syarat cukup” (sufficient condition) untuk terjadinya separasi.

6.5. Aliran Fluida Melalui Benda Penghalang (Fluid flow about bluff bodies)

Jika suatu benda padat terendam dalam suatu fluida dan terdapat gerak relatif antara keduanya
maka akan ada gaya yang bekerja terhadap benda tersebut. Komponen gaya yang bekerja
dengan arah paralel terhadap gerakan disebut Drag Force (gaya hambat), FD. Sedangkan
komponen gaya yang tegak lurus terhadap arah gerakan disebut Lift Force (gaya angkat), FL.
Drag force atau Lift force bisa menguntungkan (dimanfaatkan) atau merugikan (dihindari),
tergantung fungsi engineering dan tujuan desain benda tersebut.
Gaya angkat terjadi akibat tekanan yang terdistribusi di permukaan benda padat sehingga
perbedaan tekanan antara dua sisi benda padat menimbulkan efek “lift”. Sedangkan gaya
hambat yang dihasilkan oleh efek penghalangan benda padat terhadap aliran. Kebanyakan
desain engineering memanfaatkan gaya angkat untuk menghasilkan atau memanfaatkan energi
aliran fluida.
F
FL L

FD FD

Gambar 6.5. Gaya Angkat dan Gaya Hambat


Airfoil, sudu turbin didesain untuk menghasilkan gaya angkat. Desain aerodinamis mobil
dibuat supaya drag force-nya sekecil mungkin, juga lift force-nya. Ini bertujuan agar mobil
tersebut pada kecepatan tinggi tetap mencengkram tanah. Beberapa desain sudu turbin angin
ditujukan untuk memanfaatkan drag force sebesar mungkin.
Selain untuk membangkitkan energi FD dan FL digunakan untuk memprediksi beban yang
diterima solid body tersebut. Misalnya, beban gaya yang diterima tiang penopang jembatan
dan pipa-pipa kondensor akibat aliran fluida yang melaluinya.

Angin
Angin

a. Desain Persia b. Desain China

Angin
Angin
c. Savonious 2 Sudu c. Savonious 3 Sudu
Gambar 6.6. Contoh Sudu Kincir Angin Yang Memanfaatkan Gaya Hambat
Gaya hambat terdiri dari:
• Skin friction drag: memiliki arah paralel dengan elemen permukaan.
• Pressure drag: memiliki arah tegak lurus tiap elemen permukaan benda padat.
Non-dimensional parameter of drag:
Drag coefficient, CD = FD ; CD = f (Re)
1 ρV2A
2
CD tergantung bentuk benda padat dan merupakan fungsi bilangan Reynold aliran. Desain
aerodinamis mobil sejak tahun 1920-an sampai sekarang telah mengalami perubahan yang
sangat drastis, dimana koefisien gaya hambatnya dibuat sekecil mungkin. Bodi kendaraan
dibuat se-aerodinamis mungkin. Streamlining body bertujuan untuk mengurangi terjadinya
adverse pressure gradient atau menghindari terjadinya separasi aliran, sehingga pressure drag
menjadi lebih kecil.
Bilangan tak berdimensi berkaitan dengan gaya angkat disebut lift coefficient.

Lift coefficient, CL = FL
1
ρV2A
2
CL = f(Re,α ) α = sudut serang (angle of attack)
FL R
Tekanan rendah
V∞ α
FD
Tekanan tinggi

Gambar 6.7. Sebuah Airfoil dengan Sudut Serang α

Standar desain airfoil mengacu pada NACA (the National Advisory Committee for
Aeronautics)
Stalling: fenomena dimana gaya angkat secara mendadak menurun dan sebaliknya gaya
hambat meningkat dengan cepat akibat semakin besarnya sudut serang. Sebagai contoh airfoil
NACA 662-215 akan mengalami kenaikan gaya angkat jika α diperbesar akan tetapi pada α ≈
170 gaya angkat akan mengalami penurunan.
6.6. Contoh-Contoh Pemanfaatan Gaya Angkat dan Gaya Hambat

Gambar 6.8. Kincir Angin Propeler ini


mengandalkan gaya angkat pada
sudunya untuk mengekstrak energi
angin yang melewatinya.

Sudu Savonious memanfaatkan gaya


hambat untuk mengekstrak energi kinetik
angin yang melewatinya. Sudu Savonious
memiliki self-starting yang sangat baik.

Sudu Darrieus memanfaatkan gaya


angkat, memiliki self-starting buruk tapi
bisa menyimpan inersia jauh lebih baik.

Gambar 6.9. Kincir Angin Darrieus-Savonious.


Made in Teknik Mesin UNUD,
2003. Arif Budiman, M’96 Catur Memiliki daya mekanis ± 1000 W, jika
Hendro, M’97 kecepatan angin rata-rata 6 m/s.
Di bagian ini didesain supaya menghasilkan downforce sehingga
mobil lebih “mencengkeram” aspal, dan tidak “terbang”.

Gambar 6.10. Mobil Formula 1, dibuat seaerodinamis mungkin dengan


koefisien hambat sekecil-kecilnya.

Kualitas diri seseorang, terlihat dari standar-standar yang ia


tetapkan untuk dirinya sendiri.
-- RAY KROC --
Bab 4

Aliran Fluida Kompresibel

7.1. Review Termodinamika

Compressible fluid = fluida kompresibel = fluida termampatkan = fluida mampu mampat.


Kompresibel ≈ kerapatan/densitas fluida berubah-ubah.
Kebanyakan gas pada T dan P moderat, berlaku persamaan Gas Ideal :
P=ρRT
Dimana :
R = konstanta gas
= Ru/Mm
Ru = konstanta gas universal
= 8314 N.m/(Kgmol.K)
Mm = berat molecular gas
• Internal energi , u = u (v,T)
du = ∂v d ∂u dv ; untuk gas ideal ∂u =0
dT +
∂v
∂T ∂v
T
v T
∂u = Cv

∂v
du = Cv dT ; Cv = Cv (T) v

• Entalpi , h = u + P/ρ
h = u + RT ; h = h(P,T)
dh = ∂h dT + ∂h dp
u2-u1 = Cv (T2 – T1)
∂T ∂p
p T h2 – h1 = Cp (T2 – T1)
dh = Cp dT
dh = du + R dT

∴ Cp dT = Cv dT + R dT
Cp = Cv + R ; R = Cp – Cv
Jika k = Cp/Cv , maka :
Cp = k R ; Cv = R

k-1 k-1

• Entropi , S

S = ∫rev δQ atau dS = δQ
T T rev

dQ
Hukum Termodinamika II (ketidaksamaan Clausius) : ∫ T≤0

dS ≥ δQ Atau TdS ≥ δQ
T
TdS = δQ (proses reversibel)

dm
TdS > δQ (proses irreversibel)

dm
δQ =0
Untuk proses adiabatik
dm
ds = 0 (proses adiabatik reversibel = isentropis)
ds > 0 (proses adiabatik irreversibel)
• Persamaan Gibbs
Tds = du + P dv
= d(h – Pv)+ P dv
= dh - P dv –v dp + P dv
= dh – v dp
Gas ideal ds = dv + Pdv = Cv dT + R dv
T T T v
ds = dh – v dp = Cp dT - R dp
T T T p
Untuk Cp & Cv konstan :
S2 – S1 = Cv ln T2 + R ln v2
T1 v1
S2 – S1 = Cp ln T2 - R ln P2
T1 P1
Untuk proses isentropik :
0 = dv + Pdv = Cv dT + Pdv
0 = dh – v dp = Cp dT – v dp

dT = v dp = - P dv atau
Cp Cv
dp + Cp dv = dp + k dv = 0
P Cv v P v
Jika k = konstan
ln P + k ln v = ln C

ln P + ln vk = ln C
pvk = konstan
ρ/ρk = konstan

7.2. Kecepatan Suara

Kecepatan suara merupakan gelombang tekanan dengan kekuatan yang sangat kecil.
Kompresibilitas ( pada aliran kompressibel) sangat penting. Terutama untuk aliran kecepatan
tinggi dan temperatur tinggi. Perubahan tekanan melibatkan pula perubahan tekanan. Untuk
aliran gas, perubahan tekanan secara signifikan dipengaruhi oleh densitas dan temperatur.
Sehingga dalam aliran kompressibel kecepatan suara merupakan acuan yang sangat penting
dalam menggambarkan bagaimana aliran fluida menimbulkan gangguan (dan perubahan)
terhadap keadaan aliran secara menyeluruh.
Karakteristik nondimensional compressible flow → Bilangan Mach (M)

M = v = kecepatan aliran lokal


c kecepatan suara lokal

Untuk M < 1, tekanan menyebarkan/merambatkan (propagates) gangguan dengan


sebesar kecepatan sebesar kecepatan suara yang lebih besar dari kecepatan alir fluida.
Jika M > 1, berarti kecepatan alir fluida lebih besar dari perambatan gangguan.

Persamaan Kontinuitas :
V + dV ρVA = (ρ + dρ)(V + dV)A
V
ρdV + Vdρ = 0
Persamaan Momentum :
P P + dp PA – (P + dp)A = ρVA(V + dV – V)
ρ ρ + dρ dp = - ρVdA
A A

Gambar 7.1. Aliran Dalam Konduit

Substitusikan kedua persamaan , maka diperoleh :


dp
V2 =

C dp
Kecepatan perambatan suara : =

Perambatan suara mendekati isentropic : p ρ -k = konstan


dp = k⋅ p
dρ ρ
∴ C= kp ;p=ρ T
ρ

C = kRT → kecepatan suara dalam gas sempurna merupakan


fungsi suhu mutlak saja.
7.3. Tipe-Tipe Aliran & Mach Cone

Aliran Subsonik : M<1


Aliran Supersonik : M>1
Aliran Transonik : 0,9≤M≤1,2

Perbedaan kualitatif antara subsonik dengan supersonik dapat dideduksikan dari pergerakan
sumber suara. Perhatikan Gambar 4.2. di bawah ini. C = kecepatan perambatan gangguan.
Pada waktu t, posisi gelombang pada posisi awal dari posisi to dinyatakan oleh sebuah
lingkarandengan radius c(t - to) dengan posisi pusat lingkaran sama dengan posisi gangguan
pada to. V = kecepatan sumber.

V(3 t)
V(2 t)
ct V( t)
c(2 t)

c(3 t)
ct c(3 t)

(a) V = 0 c(2 t)
(b) V < C

c(3 t) α
1 c(2 t)

3 2
• • • •3 •2 •1
3 2 1

Locus of wave fronts V(2 t)

(c) V = C (d) V > C


Gambar 7.2. Perambatan Suara
Outside cone:
unaware of sound
• inside cone:
aware of sound

V>c ; M > 1

Gambar 7.3. Mach Cone


Berdasarkan kecepatan sumber gangguan, terdapat 4 macam perambatan gangguan:
a. V = 0 , Pola perambatan suara uniform ke semua arah dan konsentrik.

b. 0 < V < C , Pola perambatan tidak konsentrik namun secara individual tetap spheris.
Jika sumber bergerak dengan kecepatan V, polanya seperti Gambar 4.2.b. Pengamat
yang diam mendengar suara yang lebih keras saat sumber mendekat daripada setelah
melewatinya → disebut Efek Dopller.

c. V = C , Posisi sisi terdepan seluruh gelombang berupa bidang datar ⊥ lintasan sumber.
Tidak ada gelombang suara di depan sumber, sehingga pengamat di depan sumber
tidak mendengar sumber suara mendekat.

d. V > C , Posisi sisi terdepan gelombang membentuk sudut (kerucut). Pengamat diam
tidak mendengar sumber suara mendekat.
α = Mach angle
Region inside cone disebut Zone of Action.
Region outside cone disebut Zone of Silence.
-1
sinα = c = 1 ⇒ α = sin 1
V M M

7.4. Keadaan Referensi: Local Isentropic Stagnation Properties

Keadaan fluida pada titi-titik medan aliran dinyatakan dengan 2 sifat intensif termodinamis
(temperatur, T & tekanan, P) dan kecepatan pada titik tersebut.Untuk aliran kompresibel,
“keadaan stagnasi”(stagnation state) digunakan sebagai “reference state”.
Keadaan stagnasi dikarakteristikkan dengan kecepatan nol; dan sifat-sifat stagnasi pada setiap
titik pada medan aliran merupakan sifat-sifat yang diperoleh jika fluida pada titi-titik tersebut
diperlambat dari kondisi lokal ke kecepatan nol melalui proses isentropik (adiabatik &
frictionless). Perubahan sifat-sifat tersebut dari titik dalam medan aliran memberi informasi
tentang proses aliran antar titik-titik tersebut.
Proses perlambatan hipotetis ditunjukan gambar steam tube volume kontrol di bawah ini :

Volume kontrol

YA y
Aliran
X x

0
1

ρ V=0
dx ρ + dρ
Vx P=
Vx + d Vx Po→Te
A A + dA
P kanan
P + dp Stagnasi
T T + dT T=
Gambar 7.4. Keadaan Stagnasi To→Temp
eratur
Stagnasi

Dengan menerapkan persamaan kontinuitas dan persamaan momentum,maka diperoleh :


k−1 k
P k −1 ρV 2 k P k −1 V 2 k−1
o
= 1 + ; Gas ideal P = ρ RT ⇒ 0
= 1 +
P 2 2p P 2 kRT
k
P0 = k −1V 2 k −1 2
k−1
Kecepatan sonic, C = kRT ⇒ 1 +
2
= 1 + M
P 2C 2
1 k−1
ρ Pk T = P
o
k

Sifat-sifat stagnasi isentropik : ρo ;


o o
=
P T P
∴Local isentropic stagnation properties:
k
Po = 1 + k − 1 M 2 k -1 ; To = 1 + k − 1 M 2
P 2 T 2
1
ρ k−1 k−1
o=1+ M2
ρ 2

Keadaan hipotetis lain yang digunakan sebagai referensi adalah keadaan kritis (critical
condition) dimana kecepatannya adalah sonic, M = 1.
Contohnya keadaan pada penampang aliran yang minimum yaitu pada leher atau (throat).
Keadaan kritis ditandai dengan (*) →
Jika M = 1 ; V* = C*
Sifat-sifat stagnasi isentropik menjadi (k = 1,4)
k
Po∗ k −1 k−1
*
Po = Critical stagnation
= 1+ = 1.893
∗ pressure P* = Critical pressure
P 2
T o

= 1+ k −1 = 1.2
T∗ 2
1
ρo∗
k −1 k−1
∗ =1 + = 1.577
ρ 2
C∗ = =V*
kRT *
Ideal gas: T*= To* = 2 ⋅T *
1 + (k − 1) / 2 k +1 o

V * =C∗ = 2kRTo*
k +1

7.5. Aliran Fluida Kompresibel 1-Dimensi

Sifat-sifat fluida dalam aliran kompresibel dipengaruhi oleh :


- Perubahan luas penampang
- Friksi
- Heat transfer
- Normal shock.

Semua kegagalan berasal dari orang yang suka


mengeluh dan mempunyai kebiasaan membuat
alasan.
-- George Washington Carver --
7.5.1 Persamaan aliran isentropik

Rx = Komponen x gaya permukaan yang


Rx bekerja pada volume kontrol.
Y
X
Aliran

Kontrol volume untuk


T1 aliran isentropik.
P1 T2
ρ1 P2
A1 ρ2
V1 A2
V2
Gambar 7.5. Volume Kontrol Untuk Aliran Isentropik Dalam Saluran
Persamaan kontinuitas : ρ1 V1 A1 = ρ2 V2 A2 = ρ V A = m& = konstan
Persamaan momentum : Rx + P1 A1 – P2 A2 = & &
m V2 - m V1
V2 V 2
V2
h+ 1
=h+ 2
=h+ = kons tan
Hukum Termodinamika I: 1
2 2
2 2

V2
h0 = h +
2
Hukum Termodinamika II: S2 = S1 = S = konstan
Persamaan keadaan : h = h(s,p)
ρ = ρ(s,p)
h h
h0 = konstan
p = p2 Ek per unit massa = h – h0

h0 p0
Sifat-sifat stagnasi sama di
semua titik (aliran Ek
Keadaan awal isentropik).
h Etotal
h = h3
s=s1= konstan s
s
Gambar 7.6. Aliran Isentropik Pada Diagram h – s (Entalpi-Entropi)

Jika seluruh sifat pada keadaan diketahui terdapat 7 variabel yang harus dihitung dari keenam
persaman diatas. Karena sifat S1 = S2 maka terdapat 6 variabel (P2, A2, ρ2, h2, V2, dan Rx) dari
5 persamaan, sehingga salah satu variabel harus diasumsikan.
7.5.2. Pengaruh perubahan luas penampang terhadap sifat-sifat aliran isentropik

Efek perubahan kecepatan terhadap kecepatan dan tekanan dinyatakan oleh persamaan
[ ]
dA − dV
berikut: = 1−M2
A V

Rezim Aliran Nozzle Diffuser


dp < 0 dp > 0
dV > 0 dV < 0

Subsonic
M<1

Supersonic
M<1

dA
Jika M = 1 maka = 0 , secara matematis hal ini berarti A bernilai minimum atau
dV
maksimum. Dalam aliran kompresibel M = 1 terjadi pada “throat” dimana luasan A minimum.

Untuk mempercepat aliran ke M > 1 , pada bagian hulu digunakan “subsonic converging
nozzle”; M =1 pada area minimum (throat); kemudian untuk mendapatkan M > 1 digunakan
“supersonic diverging nozzle”.

Untuk memperlambat aliran dari M > 1 digunakan desain saluran yang sebaliknya:
“supersonic converging diffuser”-“throat”-“subsonic diverging diffuser”. Luasan throat
lebih besar dari yang dibutuhkan untuk mencapai M = 1 akibat terjadinya “adverse pressure
gradient”. Pada sisi “diverging diffuser” akan terjadi “normal shock” yang menyebabkan
entropi meningkat (aliran tidak isentropik).
7.5.3. Aliran isentropik gas ideal

Persamaan Dasar:
Kontinuitas ρ1V1 A1 = ρ2V2 A2 &
= ρVA = m
Momentum Rx +P1 A1 − P2 A2 & &
= mV2 − mV1
V12 V2 2 V2
Hukum Termodinamika I h1 + = h2 + =h+
222
Hukum Termodinamika II S1 = S2 = S
Persamaan Keadaan P=ρRT
Proses isentropik P = kons tan

ρk

h = h2 − h1 = Cp( T ) = Cp(T2 − T1 )

Kondisi Referensi Aliran Isentropik Gas Ideal

Kondisi-kondisi referensi aliran isentropik gas ideal dinyatakan sebagai tekanan stagnasi,
temperature stagnasi, densitas stagnasi, tekanan kritis, temperature kritis, densitas kritis, serta
kecepatan kritis.
*
Luasan penampang kritis A dimana M =1 dinyatakan sbb:
(k+1)
k −1 2 2(k−1)
1
+ M
A = 1 2
A∗ M 1+ k −1
2
4
3,5

A 2,5

Terdapat 2 katagori M untuk A/A* > 1



A
2 Hal ini konsisten dengan pembahasan
1,5
sebelumnya: untuk mempercepat aliran
1 dari subsonic ke supersonic diperlukan
0,5 desain saluran “converging-
diverging” dengan throat yang
0
berpenampang minimum.
0 0,5 1 1,5 2

*
Gambar 7.7. Variasi A/A Terhadap M (k=1,4)
7.5.4. Aliran isentropik dalam converging nozzle

&
m
Pb Ke

Po pompa
To vakum
Vo = 0
Aliran
Pe 0 P∗
Katup 1.0 Pb/Pa
1.0 / Po
i

P/Po 1.0
ii
Regime 1
iii
P*/Po iv Pe / Po Pb = back pressure
Regime 1 Pe = P pada exit nozzle
v P∗ / Po

Throat X
1.0 Pb/Pa
0
P∗ / Po

Gambar 7.8. Aliran Isentropik Dalam Converging Nozzle


Keterangan:
(i) Katup tertutup, tak ada aliran, tekanan stagnasi (P o) berlaku pada seluruh bagian.
(ii) Pb diturunkan dengan membuka katup, terjadi penurunan tekanan ke arah hilir.
(iii) Sama dengan (ii), flow rate meningkat.
(iv) Pb diturunkan lagi, M = 1, terjadi P kritis (P*) ; Pb/Pa = P∗ / Po
(v) Pb < P* tidak ada perubahan keadaan aliran sama sekali (nozzle dikatakan dalam
keadaan “dicekik “ = choked).
Rezim I : 1 ≥ Pb/Po ≥ P*/Po , aliran menuju throat isentropik; Pe = Pb
Rezim II : Pb/Po < P*/Po , aliran menuju throat isentropik. Ekspansi isentropik terjadi
pada aliran meninggalkan nozzle; Pe = P* > Pb .
T
p0
T
0

s = konstan

p* Nozzle exit plane


T*
Pb < p*

s ≠ konstan

s
Gambar 7.9. Diagram T- s UntukRezim II Aliran Dalam Converging Nozzle

Untuk kasus (ii) dan (iii) , Pb > P* ; Pe = Pb, ekspansi mulus / halus, tapi kecepatan gas
dan gaya dorong masih di bawah desain katup.

Untuk kasus (iv) , Pb = Pe, ekspansi mulus / halus, Pe = P* , gaya dorong dan kecepatan
bernilai maksimum. Laju alir massa maksimum. “Nozzle is Choked”.

Untuk kasus (v) , Pb < P* ; Pe = P*. Gaya dorong dan kecepatan maksimum, tapi sedikit di
belakang outlet nozzle terjadi penurunan tekanan mendadak dari Pe ke Pb. Akibatnya
energi terbuang dalam turbulensi. Keadaan ini disebut “shock” dan sangat tidak
diinginkan.

Analisis di atas sangat penting karena pada engine pesawat, Pb akan semakin kecil jika
ketinggian terbang pesawat ditambah.
7.5.5. Aliran isentropik dalam converging-diverging nozzle

Pb Ke
Po pompa
To vakum
Vo = 0 Throat
Aliran
Pe
Katup
1.0
i
P/Po ii
iii Me < 1
M=1
P*/Po

iv Me > 1
v
X

0
Gambar 7.10. Aliran Dalam Converging-Diverging Nozzle
Keterangan:
(i) Katup terbuka sedikit, jika flow rate kecil aliran incompressible & subsonic.
Converging-Diverging nozzle = Venturi.
(ii) Bukaan katup diperbesar → compressible dan subsonic.

(iii) Bukaan katup diperbesar. M = 1 pada throat, flowrate maksimum (nozzle dalam keadaan
dicekik). m& = P*V * A*
(iv) Pb diturunkan lagi, terjadi akselerasi isentropik pada bagian diverging nozzle. Jadi ada
dua kemungkinan kondisi aliran isentropik pada C-D nozzle (lihat Gambar 4.7. A*/A vs
M).
(v) Pbv < Pbiv ; tidak ada perubahan kondisi aliran. Nozzle beroperasi “Under expanded”
Jika Pb =Piv , disebut “Design Conditions”. Desain C-D nozzle digunakan pada ruang bakar
turbin gas untuk mendapatkan gaya dorong maksimum.
Jika Piii > Pb > Pib = over expanded, karena tekanan pada nozzle < Pb. Untuk mengatasinya
panjang diverging section harus dikurangi.
Untuk kasus (iv) Pb = P(iv) , ekspansi mulus /halus /smooth , Pe = Pb terjadi “supersonic
jet” , P* = Pt , Nozzle is choked.
Untuk kasus (v) Pb < P(iv) , Pe = P(iv) , ekspansi smooth , terjadi supersonic jet , P* = Pt ,
Nozzle is choked. Terjadi shock akibat penurunan tekanan mendadak. Energi terbuang
dalam turbulensi.
7.6. Aliran Dalam Saluran Berpenampang Konstan Dengan Gaya Gesek

Persamaan dasar untuk aliran adiabatis dijelaskan di bawah ini. Asusmsi adiabatis dapat
diterima dengan catatan saluran cukup pendek.

T1 T2
Aliran ρ1 ρ2
P P
V
1
V
2 Y
1 2

Rx
X
Persamaan kontinuitas : ρV =ρV &

m
2 =G=
1 1 2
A
Persamaan momentum : Rx & &
+ p1 A − p2 A = mV2 − mV1
V2 V 2
h+ 1 =h+ 2
Hukum Termodinamika I : 1
2 2
2
h = h02 (adiabatis)
01

Hukum Termodinamika II : s − 2 T2 p2
= Cp ln − R ln
s
1
T1 p1
Persamaan keadaan : p = ρRT

Perubahan entalpi : h = h2 − h1 = Cp (T2 − T1 )

Terdapat 6 persamaan dengan 7 variable unknown. Jika semua keadaan diketahui; T2


diasumsikan, maka sifat-sifat dan Rx dapat diketahui. Semua kondisi aliran adiabatik (arah
hilir) yang mungkin dinyatakan dengan Garis Fanno.

Efek friksi pada aliran subsonic: meningkatkan M menuju M = 1 dan mengurangi Local
isentropic stagnation pressure (P02 < P01).

Efek friksi pada aliran supersonic: menurunkan M menuju M = 1 dan mengurangi Local
isentropic stagnation pressure (P02’ < P01’).
T T Po1 = Po1’ Po2 = Po2’
M<1 1 2
M<1 1

M=1 M=1

1’ 2’

M>1 M > 1 1’

s s
Gambar 7.11. Garis Fanno: Aliran Adiabatis Gambar 7.12. Pengurangan Tekanan Isentropik

Dengan Gesekan Stagnasi Lokal Akibat Gesekan

Pada Garis Fanno To = konstan; dan karena s2 – s1 > 0 maka dalam Diagram T – s aliran
selalu ke arah kanan.

7.7. Aliran Dalam Saluran Berpenampang Konstan Dengan Pertukaran


Kalor

Aliran P1 P2
ρ1 ρ2
V1 V2

δQ
dm
m&
a. Persamaan kontinuitas : ρ1V1 = ρ2V2 = G =
A
& &
b. Persamaan momentum : p1 A − p2 A = mV2 − mV1
p+ρV2 = p 2+ ρ V 2
1 1 1 2 2
δ h+ V 2=h +V 2

Q 1 2

: m 2 2
1
2
c. Hk. Thermo I
δQ = h -
02
h 01
m
d. Hk. Thermo II : s − s = Cp ln T2 − R ln p2
1 2
T1 p1
e. Persamaan keadaan : p = ρRT
f. Perubahan entalpi : h = h2 − h1 = Cp (T2 − T1 )
T M= 1
k
M<1 M=1 Terdapat 6 persamaan dengan 7 variabel
Heating unknown. Jika seluruh variable diketahui dan
Cooling
T2 diasumsikan, maka seluruh variabel dan
M>1 δQ/dm dapat dihitung. Seluruh keadaan yang
Heating
mungkin, dalam T-S diagram disebut Rayleigh
Cooling
Line.

Gambar 7.13. Garis Rayleigh


1
~ T max terjadi pada M = .
k

~ S max terjadi pada M = 1.


~ S naik akibat heating dan turun akibat cooling.
~ Pada M = 1 dan M >1, T naik akibat heating dan turun akibat cooling.
k
~ Pada 1 < M < 1, penambahan kalor menyebabkan T turun dan pembuangan panas

k
menyebabkan T naik.
~ Local isentropic stagnation pressure selalu turun akibat heating. Pengurangan Po
menghasilkan akibat yang nyata untuk proses heating (misalnya dalam ruang bakar).
Penambahan δQ/dm yang sama (pada perubahan To) mengakibatkan perubahan Po yang
lebih besar untuk supersonic flow, karena heating pada T rendah menyebabkan perubahan
entropi yang besar.

Percayalah bahwa anda kalah, tidak perlu terlalu lama,


dan hal itu akan segera menjadi kenyataan.
-- Norman Vincent Peale --
7.8. Normal Shock (Gelombang Kejut Normal/Tegak Lurus)

Normal shock: diskontinuitas irreversible dalam sifat-sifat fluida, terjadi pada aliran supersonic.
Ketebalan gelombang kejut ini ≈ 0,2 µm. Dalam ketebalan yang sangat kecil tersebut terjadi
perubahan yang sangat besar terhadap tekanan, temperatur,dan sifat yang lainnya.

Persamaan dasar untuk gelombang kejut:

CV
Aliran T T y
1 2
P P
1
V
2
V x
1 2

Gambar 7.14. Volume Kontrol Untuk Gelombang Kejut Normal

&
a. Persamaan kontinuitas : ρV =ρV =G= m

2
1 1 2
A
&
b. Persamaan momentum : p1 A − p2 2A = mV2
p +ρV = p 2 + ρ V 2
1 1 1 2 2

h + V 12 = h + V 2 2

c. Hukum Termodinamika I : 1
2 2
2
h =h
02 01

d. Hukum Termodinamika II : s − = Cp ln T2 − R ln p2
2
s
1
T1 p1
e. Persamaan keadaan : p=
ρRT
f. Perubahan entalpi : h = h2 − h1 = Cp (T2 − T1 )

∴Terdapat 6 persamaan dengan 6 variabel unknown.


Asumsikan kondisi diketahui. Aliran melalui normal shock memenuhi enam persamaan di
atas. Garis Fanno memenuhi semua persamaan kecuali b. Garis Rayleigh memenuhi semua
persamaan kecuali c.

Jadi garis aliran melalui normal shock adalah titik-titik yang memenuhi Garis Fanno dan
Garis Rayleigh (Lihat gambar di bawah ini).
T T s – s1
2
Fanno Line M=1
M=1 Po1 Po2 To1 = To2
P2
Rayleigh Line
T
2

T
1

P
1
s s

Gambar 7.15. Normal Shock Pada Diagram T - s


Arah proses / aliran harus memenuhi Hukum Termodinamika II (S2 < S1).

Normal shock hanya terjadi pada aliran yang pada keadaan awalnya supersonic (aliran
berubah dari supersonic ke subsonic)
Aliran Supersonic Dengan gelombang Kejut
Supersonic flow merupakan “syarat perlu” untuk terjadinya normal shock. Tapi kadang-
kadang shock ‘harus’ terjadi untuk menyesuaikan dengan tekanan hilir. Semakin kuat shock,
semakin besar penurunan Po. Sangatlah penting untuk mengetahui lokasi terjadinya shock
untuk mendapatkan performa supersonic channel yang acceptable.

Seseorang yang bahagia bukanlah seseorang yang berada dalam


situasi yang serba pasti; tapi lebih pada seseorang yang mempunyai
sikap yang serba pasti.
-- Hugh Downs --
Pb Ke
Po pompa
To vakum
Vo = 0 Throat
Aliran
Pe
Katup

1.0
i
P/Po ii Me < 1 Regime I
iii
vi Regime II
P*/Po M=1 vii
viii Regime III
iv Me > 1
v Regime IV
X

Gambar 7.16. Distribusi Tekanan Aliran Converging-Diverging Nozzle Dengan Shock

Terdapat 4 rezim aliran :


1. Rezim I; kondisi aliran subsonic di seluruh bagian. Flow rate meningkat sebanding dengan
penurunan Pb. Pada kondisi iii, Mt = 1

2. Rezim II; jika Pb diturunkan di bawah iii, terjadi normal shock pada arah hilir throat. Terjadi
kenaikan tekanan dan perlambatan aliran (M<1 di belakang shock) saat aliran melintasi shock.
Pada rezim I dan II exit flow dalam keadaan subsonic, sehingga Pe = Pb.

3. Rezim III; Pb > Pe (lihat viii) tapi tidak cukup tinggi untuk menahan terjadinya normal
shock. Oblique shock (shock dengan arah miring) terjadi di luar nozzle, menuju Pb.
Prediksi matematis oblique shock tidak bisa dilakukan dengan teori 1-D.
4. Rezim IV; aliran bergerak menju Pb yang lebih rendah melalui oblique expansion waves di
luar nozzle.
T s – s1
2

Po1 Po2 To = C
Pe
Te
P
2
Po T
To 2
T*= C
Vo = 0 P1* P2 *
T1

P
e 1
s
Gambar 7.17. Diagram T-s Aliran Dalam C-D Nozzle Dengan Shock
* *
Entropi meningkat akibat shock, T* = C ; P2 < P1 ; ρ * = P* / RT * berkurang pada arah
hilir. Aliran subsonic pada arah hilir meninggalkan nozzle pada tekanan Pb; jadi Pb = Pe.
*
P b
= P = P × P = P ×A
e b 02 e 1
= P ×A × A
e t e
P P P P P * P
01 01 02 01 02 A 02 Ae A*
2 2

Pb ⇒ parameter yang diketahui ; At = geometri nozzle


P Ae
01

Pe ⇒ Rumus P Ae ⇒ Rumus A
P P A* A*
02 0 2

Gelombang kejut (shock) pada dasarnya adalah kerugian aliran (≈dissipasi energi aliran)
akibat adverse pressure gradient, sehingga energi/daya yang diperlukan untuk mengalirkan
fluida kompresibel tersebut menjadi lebih besar.
Aplikasinya antara lain pada aliran gas dalam pipa; desain C-D nozzle ruang bakar (turbin gas
pada mesin pesawat), nosel untuk turbin uap; dan terowongan angin wind tunnel. Contoh:
Nozzle pada turbo jet engine pesawat.
Combustors Inlet Throat Outlet

Udara Gas

Kompresor Turbin Gas Nozzle


Rasio Tekanan Kritis
Jika tekanan inlet nozzle, P1 dijaga konstan dan tekanan throat Pt perlahan-lahan dikurangi,
kecepatan pada throat akan meningkat menuju kecepatan sonic, yang merupakan kecepatan
maksimum pada throat. Pada keadaan ini Pt disebut tekanan kritis Pc ; Laju alir massa melalui
throat maksimum, nozzle dikatakan “tercekik”(choked).
k
k −1 2 ⇒ M=1
P1 = + k−1
1 M

Pt 2 Pt = Pc
k
k = index ekspansi
Pc 2 k−1
= = 1,4 untuk udara
P1 k +1 = 1,3 untuk superheated steam
= 1,13 untuk saturated steam

Contoh Soal.
Di dalam suatu model roket, gas hasil pembakaran masuk convergent-nozzle tekanan 2 bar dan
ο
temperatur 1500 C; ekspnsi terjadi secara isentropik. Hitung tekanan throat untuk
mendapatkan “maxsimum discharge”. Jika diameter throat 10 mm, berapa gaya dorong yang
dihasilkan roket tersebut?
Data Cp = 1150 J/Kg ; Cv = 865 J/Kg

P = 2 ×105 N / m2
1

T1 = 1500 + 273 = 1773K


Oxygen P1= 2 bar P2=? V1 =0 ; V2 =....?
o
t1 = 1500 C
V1 = 0
V2=? d2 = 0,01
Fuel
d2 = 10 mm k = Cp / Cv = 1,33

2 k−1
∴P =P = 2×105 × 0,54 = 1.08×105 N / m2
c1

k +1
Untuk mendapatkan maximum discharge , Pc = Pt = 1,08×105 N / m2
∴ Berdasarkan hitungan isentropik
k −1 1,08
1,33−1
P2 1,33
T =T = 1773 = 1521K
2 1
P k 2
1

V2 V 2
+
∴ Menghitung V2 = h 1
1
= h
2 + 2

2 2
V = 2(h − h ) +V 2 ⇒ h − h = h = Cp(T − T )
2 1 2 1 1 2 1 2

= 2× 289800 + 0 = 1150(1773-1521)
= 761 m/s = 289,8×103 J / Kg
3
PV & π⋅
0.012
& 2 2

m = RT2 → V2 = V2 ⋅A2 =761⋅ 4 = 0,06m / s


R = Cp − Cv = 1150 − 865 = 285J / Kg ⋅ K
1.08×105 × 0,06
m& = = 0,0149Kg / s

Gaya dorong = laju perubahan momentum


= m&(V2 −V1 )
= 0,0149× 761 = 11,3 N

Contoh-Contoh Soal Bab IV.

1. 5 Kg udara pada tekanan 10 bar berekspansi secara isothermal menuju tekanan 2 bar,
1.3
kemudian ditekan kembali pada tekanan awalnya memenuhi persamaan politropik PV =
konstan. Cp = 1005 J/Kg ; Cv = 718 J/Kg. Hitung perubahan entropi selama menjalani 2 proses tersebut.
Data : P1 = 10 bar T1 = T2 (isothermal)
P2 = 2 bar m = 5 Kg
P3 = P1 = 10 bar n = 1,3
P T

P1=P3
1 2 P2
3

1 2
2
S1 S3 S2 S
S
S= S
1 S 2 2= S 3

1-2 : Isoterm (T = konstan)


2-3 : Politropik (grafik lebih curam)
S2 − S1 = Cp ln T2 − R ln P2 Proses Politropik
T1 P1 n−1 1,3−1

2 T P n 10 1,3
3 = 3 =
= 0 - 287 ln
10

= 462 J/Kg ⋅ K T2 P 2
2

=
S − S = Cp ln T3 − R ln P3
2 3
T2 P2
= -89 J/Kg ⋅ K

∴ S3 − S1 = (S2 − S1)−(S2 − S3)


= 373 J/Kg ⋅ K ⇒ 5 Kg udara
S3 − S1 = 5× 373 J/Kg ⋅ K
= 1865 J/K

2. Dalam sebuah turbin, uap pada 10 bar dan 500 oC memasuki convergent-divergent nozzle
dan diekspansikan secara isentropik ke tekanan 0,2 bar. Laju alir massa uap 100 kg/h.
hitung kecepatan pada throat dan sisi exit nozzle. Hitung juga diameter exit nozzle [data
tambahan: k = 1,3 ; keadaan uap panas lanjut h 1 = 3480 kJ/kg ; hthroat = 3275 kJ/kg ; h2 =
3
2560 kJ/kg ; fraksi uap X2 = 0,98 , volume specifik pada sisi exit V2 = 7,648 m /kg].
Convergent-divergent nozzle.

1 2

=P 2 k+1
P
P1 = 10 bar throat 1
n +1
= 5,45 bar
T1 =773 K Tthroat = …..?
m& = 100 kg/h
→ V1≈0
2
Vthroat = 2(h1 − hthroat ) +V1
→ jika h throat tidak tersedia datanya
= ......m/s
dalam soal maka harus dicari dalam
V2 = 2(h1 − h2 ) + V12 tabel thermodinamika, berdasarkan
= ......m/s
nilai Pthroat & Tthroat.
volume spesifik pada sisi 2 :
&
V 2 = Vg2 × 0,98 ≈ 7,5 m3 / kg
Laju alir massa & A2 ×V2
m = V&2
[m3 / s]
[kg / s]= = [kg / s]
[m / kg]
3

2 2
A2 = ……. m ⇒ ¼ πD2
D2 = ……. mm

3. Gas hasil pembakaran memasuki nozzle mesin jet pada 3,8 bar dan 820 oC. Nozzle
terisolasi sempurna (proses adiabatik), gas berekspansi ke 1,1 bar ; Cp=1150 J/Kg ; k = n =
1,32. hitung temperatur dan kecepatan gas pada sisi exit nozzle, dengan asumsi kecepatan
pada sisi inlet dapat diabaikan !
Proses ekspansi politropik
k−1
1 2
P 2= 1,1 bar P k
T =T 2

P1
2 1

V2=…?
T2=…? = 809,3 K

P1 = 3,8 bar
o
t1 = 820 C = 1093 K
V1= 0
2 2 2
V = 2(h − h +V h1= Cp T1
1 1
= 808 m/s . 5 J/Kg
= 12,710
. 5
h2 = 9,307 10 J/Kg

Soal-Soal.
1. 5 kg udara dalam sistem tertutup berekspansi secara reversibel dengan entropi konstan dari
o
300 kPa (abs), 60 C, menuju 150 kPa (abs). Hitung temperatur pada akhir proses ekspansi.
Tunjukkan titik-titik proses tersebut dalam diagram T-s. [T = 273 K]
2. Udara diekspansi dalam aliran steadi melalui sebuah turbin. Kondisi awalnya 1300 oC dan 2.0
o
Mpa (abs). Kondisi akhir proses 500 C dan tekanan atmosferik. Tunjukkan proses tersebut
pada Diagram T-s. Hitung perubahan ebergi dalam, entalpi dan entropi proses
tersebut. [ u = -574 kJ/kg; h = -803 kJ/kg; s = 143 J/(K.kg)]
o
3. Gas hasil pembakaran memasuki convergent nozzle mesin jet pada 3.8 bar dan 820 C.
Nozzle terisolasi sempurna (proses adiabatis), gas berekspansi ke 1.1 bar. Cp=1150
J/kg.K; Cv=865 J/kg.K, asumsikan proses yang terjadi isentropis (k=1.4).
a. Hitung Temperatur dan kecepatan gas pada sisi exit nozzle, dengan
asumsi kecepatan pada sisi inlet dapat diabaikan.
b. Jika diameter sisi exit nozzle sebesar 11 mm, hitung besarnya gaya dorong yang
terjadi.
Jika engkau menutup pintumu dari semua kesalahan, maka
kebenaran-pun akan ikut terhalang masuk.
-- Rabindranath Tagore --

Anda mungkin juga menyukai