DAN
Oleh:
2.Helmarianty simarmata
4.Guddes Naibaho
5.Margareth Manik
6.Gresyena Malau
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan YME , yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah tentang “Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi pada
Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan pada masa demokrasi terpimpin (1959-
1965)” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa doa dan salam semoga terlimpahkan
kepada Tuhan YME dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas kelompok mata pelajaran Sejarah
Indonesia. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi
bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan
serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan
sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Tuhan YME, dan kekurangan
pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semuanya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA MASA DEMOMRASI
PARLEMENTER (1950-1959)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem
Demokrasi Parlementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Oleh
karena itu, sistem pemerintahan Indonesia yang dibangun mengalami kendala yang
mengakibatkan jatuh bangun kabinet. Periode ini disebut oleh Wilopo, salah seorang
Perdana Menteri di era tersebut (1952-1953) sebagai zaman pemerintahan partai-partai.
Banyaknya partai-partai dianggap sebagai salah satu kendala yang mengakibatkan
kabinet/ pemerintahan tidak berusia panjang dan silih berganti. Namun demikian periode
tersebut sesungguhnya tidak hanya menampilkan sisi-sisi kelemahan saja melainkan juga
terdapat berbagai segi positif sebagai bentuk pembelajaran berdemokrasi.
Pada era ini, Indonesia menjalankan pemilihan umum pertama yang diikuti oleh banyak
partai politik. Pemilu 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Pemilu
ini dilaksanakan untuk memilih anggota Parlemen dan anggota Konstituante. Konstituante
diberi tugas untuk membentuk UUD baru menggantikan UUD sementara. Sayangnya
beban tugas yang diemban oleh Konstituante tidak dapat diselesaikan. Kondisi ini
menambah kisruh situasi politik pada masa itu sehingga mendorong Presiden Soekarno
untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit tersebut membawa
Indonesia mengakhir masa demokrasi parlementer dan memasuki Demokrasi Terpimpin.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
BAB II
PEMBAHASAN
Pemilihan umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955.
Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan suara terbanyak adalah PNI,
Masyumi, Nahdatul Ulama, dan PKI. Pemilihan Umum 1955 menghasilkan susunan
anggota DPR dengan jumlah anggota sebanyak 250 orang dan dilantik pada tanggal 24
Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang
lama dan menteri-menteri Kabinet Burhanudin Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang
baru maka berakhirlah masa tugas DPR yang lama dan penunjukan tim formatur dilakukan
berdasarkan jumlah suara terbanyak di DPR.
Pemilihan Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih anggota Dewan
Konstituante. Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada 15
Desember 1955. Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar
yang tetap, untuk menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan
yang tercantum dalam pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante
(Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-
Undang Dasar Sementara ini”.
Berdasarkan hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16 Juli
1956, perolehan suara partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan
Konstituante urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan anggota legislatif, empat
besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Keanggotaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan yang
diangkat oleh pemerintah. Pemerintah mengangkat anggota Konstituante jika ada
golongan penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh
jumlah kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S 1950. Kelompok minoritas yang
ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa
dengan 12 kursi, dan golongan Arab 6 kursi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu ciri yang nampak dalam masa Demokrasi Parlementer adalah seringnya terjadi
penggantian kabinet, mulai dari Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet
Ali Sastroamijoyo I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan
Kabinet Djuanda. Penyebab utama seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa
Demokrasi Parlementer adalah karena adanya perbedaan kepentingan di antara partai-
partai yang tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik. Pada masa ini, sistem
kepartaian yang diterapkan memang bersifat multi partai.
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante danrentetan
peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959,
akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah
muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan negara. Atas
kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara
resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem
demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin.
Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan
sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan
kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari
sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam
dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah
Agung dan KSAD.1 Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan
dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut
Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak
sebagai menteri pertama.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama
(Islam) dankomunisme yang dinamakan NASAKOM.
Antara tahun 1959 dan tahun1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam
bentuk bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di "Suara
Pemuda Indonesia": Sebelum akhirtahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43
batalyon angkatanbersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan.
Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telahdilatih di AS,
dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk
Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekalimengatakan bahwa bantuan AS,
tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar
perwira-perwira angkatanbersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan
militer untukmembuat Indonesia sebuah "Negara bebas".
Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan
penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukungpenekanan terhadap perlawanan
penduduk adat.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakanindependen kaum buruh dan petani,
gagal memecahkan masalah-masalahpolitis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan
ekspor menurun, cadangandevisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan
militer menjadiwabah.
Kata “Demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos atau
cratein yang berarti pemerintahan. Demokrasi adalah suatu bentuk atau mekanisme
sistem penerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Menurut UUD’45 demokrasi terpimpin adalah suatu system demokrasi yang di pimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Artinya Negara
didasarkan oleh pancasila.
B. Rumusan Masalah
2. Bagaimana perkembangan politik, ekonomi dan social budaya pada masa Demokrasi
Terpimpin?
C. Tujuan Penulisan Makalah
2. Agar siswa mengetahui perkembangan politik, ekonomi dan sosial budaya pada
masa Demokrasi Terpimpin
1. Metode Pustaka
Yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka
yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet.
2. Diskusi
Yaitu mendapatkan data dengan cara bertanya secara langsung kepada PJ konsultasi dan
teman – teman yang mengetahui tentang informasi yang di perlukan dalam membuat
proyek.
BAB II
PEMBAHASAN
Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950 (Undang -
Undang Dasar Sementara 1950).
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran
beliau agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah
UUD'45. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota
konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh
anggota konstituante. Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul
dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
¯ 269 orang setuju untuk kembali ke UUD'45 (Undang – Undang Dasar 1945).
¯ 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD'45 (Undang – Undang Dasar 1945).
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD'45 tidak dapat direalisasikan. Hal
ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak
mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Bertolak
dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 :
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9
Juli 1959 diganti dengan Kabinet Kerja. Program Kabinet meliputi keamanan dalam negeri,
pembebasan Irian Jaya, dan sandang pangan. Dengan Penetapan Presiden No.2 tahun
1959, dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota-
anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
Presiden juga membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketuai oleh Presiden
sendiri, mempunyai kewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak
mengajukan usul kepada Pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 1945). DPA dilantik pada
tanggal 15 Agustus 1959. DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 tetap menjalankan
tugasnya dengan landasan UUD 1945 dan dengan menyetujui segala perombakan yang
dilakukan oleh pemerintah, sampai tersusun DPR baru. Semula nampaknya anggota DPR
lama akan mengikuti saja kebijaksanaan Presiden Sukarno, akan tetapi ternyata kemudian
mereka menolak Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah.
Penolakan Anggaran Belanja Negara tersebut menyebabkan dikeluarkannya Penetapan
Presiden No.3 tahun 1960, yang menyatakan pembubaran DPR hasil Pemilihan Umum
tahun 1955. Tindakan itu disusul dengan usaha pembentukan DPR baru. Dan pada tanggal
24 Juni 1960 Presiden Sukarno telah selesai menyusun komposisi DPR baru yang diberi
nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Para anggota DPR-GR yang
baru itu dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Komposisi DPR-GR terdiri dari anggota
golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis dengan perbandingan 44:43:30. Peraturan-
peraturan dan tata-tertibnya juga ditetapkan oleh Presiden. Tugas DPR-GR adalah
melaksanakan Manipol, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, dan melaksanakan
Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Januari 1961 Presiden Sukarno menjelaskan lagi
kedudukan DPR-GR yaitu bahwa DPR-GR adalah pembantu Presiden/Mandataris MPRS
dan memberi sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu
yang ditetapkan oleh MPRS.
Presiden Sukarno pada upacara bendera Hari Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1959
mengucapkan pidato yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Dalam sidangnya
pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah
agar pidato Presiden tanggal 17 Agustus tersebut dijadikan garis-garis besar haluan
negara, dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Usul DPA itu
diterima baik oleh Presiden Sukarno. Dan pada sidangnya pada tahun 1960, MPRS
menetapkan Manifesto Politik itu menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam
Ketetapan itu diputuskan pula, bahwa pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan
judul: “Jalannya Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September di muka Sidang
Umum PBB yang berjudul To build the world anew (Membangun dunia kembali)
merupakan pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik. Terhadap perkembangan
politik itu pernah ada reaksi dari kalangan partai-partai, antara lain dari beberapa
pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) dan dari PNI. Reaksi juga datang dari Prawoto
Mangkusasmito (Masyumi) dan Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia.
Sutomo mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Agung dengan suratnya tanggal 22
Juni 1960. Sutomo menuduh kabinet bertindak sewenang-wenang dan mengemukakan
beberapa fakta sebagai berikut:
(1) Paksaan untuk menerima Manipol dan Usdek, tanpa diberi tempo terlebih dahulu
untuk mempelajarinya;
(2) Paksaan supaya diadakan kerja sama antara golongan Nasionalis, Agama, dan
Komunis;
(3) Paksaan pembongkaran Tugu Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Memang di kalangan partai-partai terdapat variasi sikap dan pendapat. Pelbagai tokoh
partai menggabungkan diri dalam Liga Demokrasi yang menentang pembentukan DPR-GR.
Liga Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU, tergabung beberapa tokoh NU,
Parkindo, Partai Katholik, Liga Muslim, PSII, IPKI, dan Masyumi. Pada akhir bulan Maret
1960 Liga tersebut mengeluarkan satu pernyataan yang antara lain menyebutkan: supaya
dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Oleh sebab itu, hendaknya rencana
pemerintah untuk membentuk DPR-GR yang telah diumumkan tersebut, ditangguhkan.
Adapun sebagai alasan dikemukakan antara lain:
(2) DPR yang demikian pada hakekatnya adalah DPR yang hanya akan meng-ia-kan saja,
sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hukum dan demokrasi yang sehat.
(3) Pembaharuan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah
bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.
Kegiatan Liga Demokrasi tersebut hanya nampak pada waktu Presiden Sukarno berada di
luar negeri. Setibanya Presiden di tanah air, beliau segera melarang Liga Demokrasi.
Tindakan Presiden Sukarno selanjutnya adalah mendirikan Front Nasional, yaitu suatu
organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang
terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Sukarno sendiri.
Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR). MPPR
beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR), dalam
mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan
MPPR terdiri dari sejumlah menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-
departemen, angkatan-angkatan dan wakil dari organisasi Nasakom. Badan ini langsung
berada di bawah Presiden.
Periode 1959 – 1965 sering juga disebut dengan Orde Lama, yaitu masa dimana negara
Indonesia menggunakan dasar UUD 1945 dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Menurut
UUD 1945 presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, presiden dan DPR berada di
bawah MPR. Pengertian demokrasi terpimpin pada sila keempat Pancasila adalah
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan tetapi
presiden menafsirkan “terpimpin”, yaitu pimpinan terletak di tangan ‘Pemimpin Besar
Revolusi”.Dengan demikian pemusatan kekuasaan di tangan presiden. Terjadinya
pemusatan kekuasaan di tangan presiden menimbulkan penyimpangan dan
penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang puncaknya terjadi perebutan
kekuasaan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI) yang merupakan
bencana nasional bagi bangsa Indonesia.
Ø Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan
saja yaitu presiden.
¯ Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil
sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap dan stabil.
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi,
kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden.
Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan
adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana
Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-
partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang
tidak memimpin departemen.
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan
umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang
duduk di MPR.
Ø Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan
Setuju pada manifesto Politik.
Ø Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200
orang wakil golongan.
Ø Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front
Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi
dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala
bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front
Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai
berikut.
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan
(reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut.
Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat
liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim
Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan
untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada
akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik
dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan
kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam
membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40
partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi
Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan
militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai
penyeimbang.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.
Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu
ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu
tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang
diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional
dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat
dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar
mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis
memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai
politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua
wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta
mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin
presiden.
Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi
Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh
untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak
dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli
Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam
pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan
Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-
partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat
dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga
dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai
yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula.
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia,
di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar
3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan
serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani
Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani,
gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan
ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan
militer menjadi wabah.
Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu
partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia
(PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno,
TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai
kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini
tidak dapat dilepaskan.
PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa
dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang
sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai
besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta
orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi
pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar.
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat
dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno
untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi
presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di
unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat
perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat
angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini
dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan
memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno
dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk
mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi
dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan
yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya
pada pertengahan bulan September tahun 1965.
Seperti yang telah disebutkan di atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin
mengalami pembubaran secara paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan
dengan cara diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal
31 Desember 1959. Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
(2) Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya.
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi
prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah
PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan
Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat
Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya
melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).
Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI.
Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan
bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut
menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan
bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain
itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil
meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap
TNI.
b) Pemberontakan G30S/PKI
@ Desakan agar pemerintah membentuk angkatan kelima dari buruh dan tani yang
bersenjata
@ Adanya isu “Dewan Jenderal” yang akan kudeta berdasarkan dokumen Gilchrist
@ Adanya Dwi fungsi ABRI atas saran Jend. Nasution, membuat TNI AD menduduki
banyak jabatan politik
@ Operasi pembebasan Irian Barat banyak didukung TNI AD, karena pemimpin
operasinya dari TNI AD
@ Nasionalisasi perusahaan Belanda banyak yang jatuh ke tangan TNI AD sehingga secara
ekonomi kuat
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara,
dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima
Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah
satu golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara
leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh
penetapan presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya
jumlah anggota yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada
hanya tinggal 11 partai. Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan
kepartaian. Pembatasan gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah
terutama presiden. Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya
untuk membubarkan 2 partai politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer
yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai tersebuat
adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan
PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus
1960.
Bahasan Umum: Pada awalnya, politik luar negeri Indonesia adalah politik bebas aktif
sesuai yang mengabdi pada kepentingan nasional. Bebas berarti tidak memihak salah satu
blok (barat/timur), sedangkan aktif berarti ikut memelihara perdamaian dunia. Pada masa
demokrasi terpimpin, pelaksanaan politik luar negeri condong mendekati negara-negara
blok timur dan konfrontasi terhadap negara-negara blok barat. Perubahan arah ini
disebabkan oleh:
(2) Faktor luar negeri : sikap negara-negara Barat yang kurang simpati dan tidak
mendukung terhadap perjuangan bangsa Indonesia.
Pada dasarnya tujuan pemerintah Indonesia menjalankan prinsip ekonomi terpimpin ialah
mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia. Dalam pelaksanaannya kebijakan ekonomi
terpimpin berubah menjadi sistem yang bernama “Sistem Lisensi”. Dalam sistem ini
orang-orang yang dapat melaksanakan kegiatan perekonomian, terutama impor hanyalah
orang-orang yang mendapat Lisensi atau ijin khusus dari pemerintah.
Pada masa Kabinet Djuanda pada tahun 1958, pemerintah membuat sebuah undang-
undang perencanaan untuk membentuk badan perekonomian untuk meningkatkan taraf
ekonomi bangsa. Badan ini dinamakan Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS) yang
dipimpin oleh Mohammad Yamin sebagai wakil kepala menteri . Adapun tugas dari Dewan
Perancang Nasional tersebut adalah :
Tugas dan bidang kerja badan ini secara tegas ditetapkan dalam Undang-Undang No.
80/1958, 19 Januari 1958, serta Peraturan Pemerintah No.2/1958.
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depernas berhasil menyusun Rancangan Dasar
Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969
yang disetujui oleh MPRS melalui TAP No. 2/MPRS/1960. Mengenai masalah
pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam
bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963
Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Pada tahun 1959 Indonesia mengalami tingkat inflasi yang sangat tinggi.Latar Belakang
meningkatnya laju inflasi :
e. Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
g. Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan
rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
a. Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan
pengeluaran.
Dampaknya :
Ø Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan neraca
pembayaran dari cadangan emas dan devisa
Ø 1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif
sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-
negara barat.
KebijakanPemerintah :
µ Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka
inflasi.
@ Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi
di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang
rupiah baru.
1. Mengurangi jumlah peredaran uang dalam negeri. Kebijakan itu mengarah pada
praktik devaluasi dari Rp. 1000 menjadi Rp. 100.
3. Uang kertas Rp. 1000 dan Rp.500 yang telah diubah menjadi Rp.100 dan Rp. 50
harus dengan uang kertas yang baru sebelum 1 Januari 1959.
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi
yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di
seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.
Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi
murah tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang.
Hal ini disebabkan karena :
2) Pengambilalihan perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh
tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional berubah wujud menjadi Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno,
badan ini mempunyai tugas untuk menysun rencana perekonomian dan moneter jangka
panjang tahunan baik dalam taraf nasional maupun daerah, serta mempersiapkan dan
menilai mandataris untuk MPRS.
1. Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk
menyediakan wadah bagi arus perputaran sirkulasi antarbank, baik bank sentral maupun
bank umum.
2. Pengeluaran uang baru yang nilainya 1000 kali dari uang rupiah lama. Kebijakan ini
mengakibatkan kemunduran ekonomi dan moneter Indonesia karena nilai rupiah baru
dan lama memiliki perbandingan 10:1 jumlah pengeluaran pemerintah pun turut
meningkat dari Rp. 3 miliar menjadi Rp. 30 milar.
Untuk mengatasi krisis ekonomi, pada masa demokrasi terpimpin diadakan berbagai
pembaharuan seperti:
Pada masa demokrasi terpimpin, kondisi Indonesia semakin beruk, terutama sektor
ekonomi. Hal itu disebabkan karena beberapa hal yaitu:
(3) Organisasi pemerintahan yang buruk sehingga menimbulkan koordinasi yang tidak
baik antarlembaga negara. Akibatnya, kebijakan yang dibuat banyak berhenti di tengah
jalan dan tidak selesai.
Ketika Soekarno menolak bantuan pangan dari USAID, sehingga memperburuk kondisi
kelaparan, faksi sayap kanan TNI mengadopsi struktur komando regional di mana mereka
bisa menyelundupkan bahan pangan untuk memenangkan loyalitas penduduk pedesaan.
Dalam upaya untuk membatasi kekuasaan sayap kanan TNI yang meningkat, Partai
Komunis Indonesia dan faksi sayap kiri TNI membentuk sejumlah organisasi massa petani
dan lainnya.
Pada tahun 1963, kebijakan Konfrontasi terhadap Federasi Malaysia yang baru terbentuk
diumumkan oleh rezim Soekarno. Hal ini semakin memperburuk perpecahan antara faksi
TNI sayap kiri dan sayap kanan, dengan faksi sayap kiri TNI dan Partai Komunis mengambil
bagian dalam serangan gerilya di perbatasan antara Kalimantan dengan Malaysia,
sementara faksi sayap kanan TNI sebagian besar absen dari konflik (tidak jelas apakah
karena pilihan atau perintah Soekarno).
Politik konfrontasi ini selanjutnya semakin mendorong Blok Barat untuk mencari cara
untuk menggulingkan Soekarno, yang dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas
regional Asia Tenggara (begitu pula Vietnam Utara dalam pandangan Teori Domino Blok
Barat). Mendalamnya konflik bersenjata ini mendekati perang terbuka antara Indonesia
dan Malaysia pada tahun 1965, meningkatkan ketidakpuasan dunia terhadap rezim
Soekarno dan memperkuat peluang kekuasaan para jenderal TNI faksi sayap kanan yang
pasukannya masih dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta.
Sebagai Mayor Jenderal, Soeharto (di kanan muka) menghadiri pemakaman umum para
jenderal yang tewas dalam G30S, tanggal 5 Oktober 1965 (Foto olehDepartemen
Penerangan Indonesia).
Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965, enam jendral senior TNI diculik dan
dieksekusi di Jakarta oleh batalyon tentara dari Resimen Tjakrabirawa(Pengawal Presiden)
dalam sebuah aksi yang kemudian disebut oleh Soeharto sebagai "percobaan kudeta".
Faksi sayap kanan TNI yang membawahi enam jenderal tersebut hancur, termasuk
Panglima Staf Angkatan Darat yang paling berkuasa,Ahmad Yani. Sekitar 2.000 personil
tentara dari kelompok tersebut menempati tiga sisi Lapangan Merdeka, dan menduduki
Istana Merdeka, kantor Radio Republik Indonesia, dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak
menempati sisi timur, tempat markas Kostrad. Menyebut diri mereka "Gerakan 30
September" (disingkat "G30S"), kelompok ini mengumumkan di radio RRI sekitar pukul
7:00 WIB bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh
Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat yang direncanakan untuk menghapus
Soekarno dari kekuasaan.
Menurut salah satu terduga konspirator gerakan tersebut, yaitu Letnan Kolonel Abdul
Latief, Resimen Tjakrabirawa tidak mencoba untuk membunuh atau menangkap Mayor
Jenderal Soeharto, komandan Kostrad (Komando Strategi dan Cadangan TNI Angkatan
Darat) saat itu, karena Soeharto dianggap sebagai loyalis Soekarno. Soeharto, bersama
dengan Jenderal Nasution yang selamat, membuat tuduhan-balik bahwa G30S adalah
sebuah gerakan pemberontak yang berusaha untuk menggantikan pemerintahan Presiden
Soekarno dengan pemerintahan Komunis. Setelah mendengar pengumuman radio
tersebut, Soeharto dan Nasution mulai mengkonsolidasikan kekuatan mereka, berhasil
mendapatkan loyalitas Komandan Garnisun Jakarta Mayor Jenderal Umar
Wirahadikusumah dan KolonelSarwo Edhie Wibowo, komandan pasukan khusus tentara
RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).
Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan Bangunan
Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara personil G30S telah
mundur kembali ke Markas Halim Perdanakusuma TNI AU. Pasukan RPKAD menyerbu
Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal 2 Oktober, tapi dicegat oleh
tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi.
Sebuah perintah langsung dari Presiden Soekarno berhasil mengamankan penyerahan
tentara G30S siang harinya, setelah pasukan Soeharto menduduki markas tersebut. Pada
tanggal 3 Oktober, tubuh para jenderal faksi sayap kanan TNI yang terbunuh oleh G30S
ditemukan di lokasi Lubang Buaya dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari
Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.
Pembunuhan para jenderal TNI faksi sayap kanan tersebut membuat pengaruh militer
jatuh untuk personil tentara yang lebih bersedia untuk menentang Soekarno dan musuh
mereka di faksi sayap kiri TNI. Setelah pembunuhan para jenderal tersebut, perwira
berpangkat tertinggi dalam militer Indonesia dan tertinggi ketiga dalam keseluruhan
rantai-komando adalah Menteri Pertahanan dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal
Abdul Haris Nasution, anggota dari kubu TNI sayap kanan.
Pada tanggal 2 Oktober, Soeharto menerima perintah dari Soekarno untuk mengambil
kendali tentara, tapi dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang memiliki otoritas untuk
memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal 1 Novemberdibentuklah Kopkamtib
("Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban"), sebagai bentuk resmi otoritas
Soeharto ini. Namun pada 5 Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan Mayjen
Pranoto Reksosamudro, yang dianggap sebagai loyalis Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI
AD menggantikan Jenderal Nasution.
Setelah pengangkatan Pranoto tersebut, The New York Times melaporkan bahwa sebuah
"laporan diplomatik" Barat yang tidak disebutkan namanya menyatakan bahwa Pranoto
adalah mantan anggota PKI. Dugaan komunisme Pranoto, serta pengangkatannya,
membuat media tersebut berpandangan bahwa PKI dan Soekarno bersekongkol untuk
membunuh para jenderal tersebut untuk mengkonsolidasikan genggaman mereka pada
kekuasaan.
Namun bagaimanapun, pasca peristiwa G30S, Mayor Jenderal Soeharto dan unit
KOSTRAD-nya adalah yang paling dekat dengan Jakarta. Secara otomatis, Soeharto
menjadi jenderal lapangan yang bertanggung jawab untuk mengusut G30S. Kemudian,
atas desakan Jenderal Nasution, Soekarno melepas Pranoto dari jabatan yang
diberikannya dan Soeharto dipromosikan menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 14
Oktober 1965.
Dua pria sedang menanti kematiannya, seorang tentara di belakang mereka menusukkan
bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya dalam sebuah eksekusi kilat terhadap para
terduga komunis.
Pada awal Oktober, kampanye propaganda militer mulai menyapu Indonesia, dan berhasil
meyakinkan baik masyarakat Indonesia dan internasional bahwa peristiwa Gerakan 30
September adalah sebuah "kudeta Komunis", dan bahwa pembunuhan jenderal faksi
sayap kanan TNI tersebut adalah kekejaman pengecut terhadap para pahlawan Indonesia.
Dalam kampanye tersebut, Gerakan 30 September disebut "Gestapu" (dari "Gerakan
September Tigapuluh"). Tentara, bertindak atas perintah Soeharto dan diawasi oleh
Nasution, memulai kampanye agitasi dan hasutan untuk melakukan kekerasan berdarah
di kalangan warga sipil Indonesia yang ditujukan untuk masyarakat pendukung dan
simpatisan ideologi Komunis, dan bahkan terhadap Presiden Soekarno sendiri.
Penyangkalan PKI tentang keterlibatan mereka dalam G30S memiliki pengaruh yang kecil.
Rezim Soekarno dengan cepat menjadi tidak stabil, dengan Angkatan Darat menjadi satu-
satunya kekuatan yang tersisa untuk menjaga ketertiban.
Pada pemakaman Ade Irma, putri Nasution yang meninggal dalam peristiwa G30S,
Komandan Angkatan Laut Laksamana Martadinata memberi sinyal pada para ulama dan
pemimpin Muslim untuk menyerang Komunis. Pada tanggal 8 Oktober, kantor pusat PKI
dijarah dan dibakar habis saat petugas pemadam kebakaran hanya berdiri diam. Mereka
kemudian berdemonstrasi masal menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia.
Rumah-rumah tokoh senior partai, termasuk ketua PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Nyoto
juga dibakar. Tentara kemudian memimpin kampanye untuk membersihkan masyarakat
Indonesia, pemerintah dan angkatan bersenjata dari elemen partai komunis dan
organisasi massa berhaluan kiri lainnya. Para pemimpin dan anggota PKI segera ditangkap,
beberapa langsung dieksekusi mati tanpa pengadilan apapun.
Pada tanggal 18 Oktober, sebuah deklarasi dibacakan melalui semua stasiun radio yang
dikendalikan militer, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah partai
terlarang. Larangan tersebut termasuk partai PKI sendiri dan semua "onderbouw"-nya
(sayap organisasi) seperti organisasi pemuda dan perempuan, asosiasi petani, intelektual
dan kelompok mahasiswa, dan serikat buruh SOBSI. Pada saat itu, tidak jelas apakah
larangan ini hanya diterapkan terhadap Jakarta (yang saat itu dikuasai oleh TNI Angkatan
Darat), atau seluruh Republik Indonesia. Namun, larangan itu segera digunakan sebagai
dalih oleh Tentara Nasional Indonesia untuk pergi di seluruh Indonesia melaksanakan
hukuman di luar hukum, termasukpenangkapan massal dan eksekusi kilat, terhadap
siapapun yang dicurigai pendukung kelompok kiri atau komunis, dan loyalis Soekarno.
Saat penyebaran kekerasan berdarah tersebut, Soekarno mengeluarkan perintah untuk
mencoba menghentikannya, tapi ia diabaikan. Dia juga menolak untuk menyalahkan PKI
untuk peristiwa "kudeta" tersebut, apalagi melarangnya seperti yang dituntut oleh TNI
Angkatan Darat. Namun, meski Soeharto dan Nasution semakin curiga tentang peran
Soekarno dalam peristiwa itu, TNI Angkatan Darat enggan untuk menghadapi Soekarno
langsung karena popularitasnya yang masih luas.
Dimulai pada akhir Oktober 1965, dan dipanas-panasi oleh kebencian masyarakat yang
terpendam, TNI dan sekutu sipilnya ( terutama kelompok vigilanteMuslim) mulai
membunuhi orang-orang yang ada hubungan dengan PKI maupunonderbouw-nya, baik
yang hanya diduga maupun yang memang betul. Pembunuhan dimulai di ibukota, Jakarta,
menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan kemudian Bali. Meskipun pembunuhan
terjadi di seluruh Indonesia, yang terburuk berada di kubu PKI Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, dan Sumatra utara. Pembantaian mencapai puncaknya selama sisa tahun 1965,
sebelum mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966. Perkiraan jumlah korban tewas dari
berbagai kekerasan ini berkisar dari lebih dari 100.000 sampai 3 juta, namun kebanyakan
sejarawan menerima figur sekitar 500.000. Banyak orang lain juga dipenjara dan selama
sepuluh tahun ke depan, orang-orang masih ditangkap dan dipenjarakan sebagai
tersangka. Diperkirakan bahwa sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan atas dasar dugaan
pendukung komunisme pada satu saat di masa tersebut. Sebagai hasil dari pembersihan
tersebut, salah satu dari tiga pilar pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, telah
secara efektif dihilangkan oleh dua lainnya, yaitu militer dan politik Islam.
d) Demonstrasi
Pada Oktober 1965, mahasiswa di Jakarta membentuk KAMI ("Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia"), yang menyerukan pelarangan PKI. Organisasi ini segera dimasuki sejumlah
organisasi serupa yang terdiri dari siswa SMA, pekerja, seniman, buruh dan sejenisnya.
Target lainnya untuk para demonstran adalah kenaikan harga dan inefisiensi pemerintah.
Mereka juga berdemonstrasi menentang Subandrio, menteri luar negeri dan kepala badan
intelijen BPI dan orang nomor dua di pemerintahan.
Pada 10 Januari 1966, para demonstran, termasuk KAMI, berdemonstrasi di depan
gedung DPR dan mengumumkan apa yang dikenal sebagai "Tri Tuntutan Rakyat" (Tritura):
Pada bulan Februari 1966 saat demonstrasi anti-komunis terus berlanjut, Soekarno
mencoba menenangkan Soeharto dengan mempromosikan dirinya. Pada tanggal 21
Februari, Soekarno mencoba untuk mendapatkan kembali prakarsa pemerintahan dengan
mengumumkan kabinet baru, yang termasuk mantan kepala TNI Angkatan Udara Omar
Dhani, yang telah mengeluarkan pernyataan pada 1 Oktober 1965 awalnya mendukung
"kudeta" G30S. Lebih provokatif lagi, Soekarno kemudian memecat Jenderal Nasution dari
pos kabinetnya. Kabinet baru ini segera menjadi dikenal sebagai "Kabinet Gestapu", dari
singkatan yang diciptakan oleh militer untuk Gerakan 30 September.
Dua hari setelah pengumuman Soekarno tersebut, sebuah kerumunan besar berusaha
menyerbu istana presiden. Keesokan harinya, saat kabinet baru Soekarno sedang dilantik,
tentara dari Resimen Tjakrabirawa (pengawal presiden) menembaki kerumunan di depan
istana, membunuh pengunjuk rasa mahasiswa Arif Rahman Hakim, yang kemudian
diangkat menjadi martir dan diberi pemakaman pahlawan hari berikutnya.
Pada 8 Maret 1966, mahasiswa berhasil menjarah gedung kementerian luar negeri, dan
mendudukinya selama lima jam. Mereka mengecat slogan, salah satunya menuduh
Soebandrio membunuh para jenderal dalam G30S, dan menggambar grafiti yang
menggambarkan Soebandrio sebagai anjing Peking (sebuah referensi anggapan tentang
kedekatannya terhadap pemerintahan komunis China) atau tergantung di tiang
gantungan.
Pada tanggal 17 Agustus, dalam pidato hari kemerdekaan tahunan, Soekarno menyatakan
bahwa Indonesia tidak mau mengakui Malaysia atau bergabung kembali dengan PBB. Ia
juga menyatakan bahwa ia tidak memindahkan kekuasaan kepada Soeharto. Ini memicu
reaksi marah dalam bentuk demonstrasi, dan Indonesia memang akhirnya bergabung
kembali dengan PBB pada bulan September, berpartisipasi dalam Majelis Umum pada
tanggal 28 September. Sementara itu, kritik dari para demonstran menjadi semakin
gencar dan pribadi, ada yang menuntut Soekarno untuk diadili.
Pada 10 Januari 1967, Soekarno menulis kepada MPRS, melampirkan dokumen yang
dikenal sebagai "Nawaksara", memberikan versinya tentang peristiwa seputar Gerakan 30
September. Di dalamnya, ia mengatakan bahwa penculikan dan pembunuhan para
jenderal TNI tersebut adalah sebuah "kejutan tak terduga" kepadanya, dan bahwa ia
sendiri tidak bertanggung jawab atas masalah-masalah moral dan ekonomi bangsa. Hal ini
menyebabkan demonstran menyerukan Soekarno untuk digantung.
Pimpinan MPRS kemudan bertemu pada tanggal 21 Januari dan menyimpulkan bahwa
Soekarno telah gagal untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Dalam resolusi yang
disahkan pada 9 Februari, DPR-GR menolakNawaksara dan meminta MPRS untuk
mengadakan sidang khusus.
Pada tanggal 12 Maret 1967, sidang khusus MPRS dimulai. Setelah perdebatan sengit,
sidang ini setuju untuk melucuti Soekarno dari kekuasaan dan jabatannya. Pada tanggal
12 Maret Soeharto diangkat penjabat Presiden Republik Indonesia yang baru. Soekarno
kemudian dimasukkan sebagai tahanan rumah secarade facto di kediamannya di Bogor.
Setahun kemudian, pada tanggal 27 Maret 1968 sidang lain dari MPRS kembali menunjuk
Soeharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia.
Jenderal Nasution sendiri diyakini telah berusaha mendapatkan kekuasaan pada tanggal
16 Desember 1965, ketika dia ditunjuk sebagai Komando Operasi Tertinggi, dan
memegang sebagian dari hirarki militer yang umumnya dipegang oleh orang sipil. The
New York Times melaporkan bahwa Nasution lebih suka membentuk sebuah junta untuk
menggantikan pemerintahan Soekarno.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang
nyata. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam
tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin.
Dalam bidan social budaya, pendidikan masa demokrasi terpimpim mulai berubah
dan mengalami kemajuan. Perguruan tinggi mulai bermunculan baik swasta maupun
negeri. Media massa ketika demokrasi terpimpin mengalami kemunduran, sebab media
massa mulai dibelenggu dengan aturan-aturan dan izin cetak/siar. Media massa
dikendalikan oleh komunis. Bidang budayapun juga begitu, seni dan sastra dipengaruhi
oleh paham komunis.
B. Saran
Dalam makalah ini, penulis berharap supaya kita sebagai bangsa Indonesia dapat
mengetahui tentang Demokrasi Terpmpin yang pernah ada dan berlaku di Indonesia dan
system Pelaksanaannya.
Penulis juga menyadari bahwasanya dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan baik dari segi penulisan materi, sehingga penulis mengharapkan saran dan
kritikan yang sifatnya membangun dari rekan-rekan pembaca terutama siswa MA
Ahlussunnah Waljamaah untuk kesempurnaan makalah yang selanjutnya.
Dan dengan adanya makalah ini penulis hanya bisa menyarankan kepada pembaca,
khususunya bagi siswa MA.Ahlussunnah Waljamaah Ambunten dapat membangun
kehidupan bersama, dan bekerja sama satu sama lain. Karena kita adalah makhluk sosial
yang saling ketergantungan antara sesama . Tidak lupa untuk terus menggali ilmu
pengetahuan di berbagai mata pelajaran, khususunya dalam mata pelajaran Sejarah.
Daftar Pustaka
Makalah
Website
Download Contoh Makalah Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi pada Masa
Demokrasi Parlementer.docx
1. Ezra Sitinjak
*Apa kelebihan dari sistem parlementer sehingga bisa menggantikan sistem presidensial?
2. Hasianna Sitorus
*Kenapa Indonesia tidak bisa mempertahankan kekayaan kekayaan alam yang ada di
negara kita?
3. Angelina sinaga
4.Daniel Tobing
*Pengertian dari multipartai dan sistem pemerintahan apa yang digunakan negara kita
5. Lyndon Lubis
*Penyebab terjadinya inflasi pemerintah sebesar 600% ketika soeharto menjabat sebagai
presiden.
6. Alexander Simbolon
7. Anggun Naibaho
8. Ivana Sujuya