Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep HIV/AIDS

1. Pengertian HIV/AIDS

Menurut Rudi dan Maria (2019: 3) mengemukakan bahwa HIV atau

Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang menyebabkan infeksi

HIV, sedangkan AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah

tahap infeksi HIV paling tinggi. Dengan kata lain, HIV adalah virus yang

dapat menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) jika tidak

diobati. Tidak seperti beberapa virus lain, tubuh manusia tidak dapat

menyingkirkan HIV sepenuhnya, bahkan dengan pengobatan sekalipun. Jadi,

jika seseorang sudah terinfeksi HIV, maka HIV tersebut akan selamanya

(seumur hidup) berada dalam tubuh.

HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel CD4 (sel T)

yang membantu system kekebalan melawan infeksi. Jika tidak diobati, HIV

akan mengurangi jumlah sel CD4 (sel T) dalam tubuh sehingga membuat

seseorang lebih mungkin untuk terkena infeksi lain atau kanker terkait infeksi.

Seiring berjalannya waktu HIV dapat menghancurkan sel-sel tersebut

sehingga tubuh tidak dapat melawan infeksi dan penyakit. Infeksioportunistik

8
atau kanker ini memanfaatkan system kekebalan tubuh yang sangat lema. Hal

ini

9
9

menjadi penanda bahwa seseorang tersebut mengidap AIDS, yaitu tahap

terakhir infeksi HIV (Rudi dan Maria, 2019: 3).

Saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk menyembuhkan HIV,

tetapi dengan perawatan medis yang tepat, HIV dapat dikendalikan. Obat

yang digunakan untuk mengobati HIV disebut terapi antiretroviral atau ARV.

jika diminum dengan cara yang benar setiap hari, obat ini dapat

memperpanjang kehidupan seseorang yang terinfeksi HIV. Selain untuk

memperpanjang umur, obat ini juga menjaga seseorang agar tetap sehat, dan

mengurangi kesempatan untuk menginfeksi orang lain. Sebelum pengenalan

ARV pada pertengahan 1990-an, seseorang yang terinfeksi HIV dapat

berkembang menjadi AIDS hanya dalam beberapa tahun (Rudi dan Maria,

2019: 4).

2. Penyebab dan Faktor Risiko HIV/AIDS

Virus HIV adalah jenis virus yang mematikan jika penderita tdak

melakukan pengobatan. Pengobatan virus HIV hanya untuk memperpanjang

umur si penderita karena virus jenis inintidak bias dihilangkan atau

disembuhkan. Virus HIV yang telah masuk ke dalam tubuh manusia akan

berkembang dan akan melumpuhkan system imun (Rudi dan Maria, 2019: 12)

Virus HIV dengan enzim reverse transcriptase akan melakukan

pemrograman ulang materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat

double-stranded DNA. DNA dalam tubuh manusia akan disatukan ke dalam

nucleus sel T4 sebagai provirus, kemudian akan terjadi infeksi secara


10

permanen. Enzim tersebut membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus

HIV sebagai antigen, sehingga keberadaan virus tidak dihancurkan oleh sel T4

helper. Berbanding terbalik dengan peristiwa tersebut, hirus HIV yang akan

menghancurkan sel T4 helper.

Bila fungsi sel T4 mengalami gangguan, maka mikroorganisme yang

biasanya tiak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan

menginvestasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Jika jumlah sel T4

menurun, maka system imun seluler makin melemah secara progresif. Hal ini

akan diikuti berkurangnya fungsi sel B, makrofag, dan menurunyya fungsi sel

T penolong. Virus HIV dalam tubuh manusia tidak dapat memperlihatkan

gejalanya selama bertahun-tahun (Rudi dan Maria, 2019: 13)

HIV tidak dapat menular melalui air ludah, air mata, muntah, atau

melalui feses dan keringat. Selain itu, HIV tidak dapat menembus kulit

manusia yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan, atau sesuatu yang

telah dipakai dengan orang lain yang telah terinveksi HIV. Berikut adalah

factor risiko penyakit HIV/AIDS.

a. Infeksi HIV Akut

Infeksi akut atau primer merupakan tahap awal penyakit HIV yang

dapat meneybabkan gejala demam dan ruam. Ini terjadi karena virus

menggandakan diri secara cepat di dalam tubuh dan menulari sel

kekebalan. Sebagian penderita mengalami gejala mirip dengan flu,


11

demam, ruam, sakit tenggorokan, dan pembengkakan kelenjar getah

bening serta batuk. Pada tahap ini umumnya bertahap beberapa minggu.

b. Jarum Suntik

Jarum suntik berperan dalam penyebaran virus HIV dari tubuh

penderita ke tubuh manusia lain. Hal ini dikarenakan penggunaan jarum

suntik yang tidak hanya sekali pakai. Sebaiknya, jarum suntik hanya untuk

sekali pakai.

c. Ibu Hamil dengan Positif HIV/AIDS

Bayi dalam kandungan ibu hamil bisa tertular penyakit HIV karena

selama dalam kandungan, makanan bayi menyatu dengan system

peredaran darah sang ibu. Hal ini yang menyebabkan virus dapat langsung

masuk ke tubuh seorang bayi yang berada dalam kandungan. Cara

mengatasinya yaitu dengan memberikan obat ARV untuk melemahkan

penyerangan atau perkembangan virus HIV sehingga tidak mampu

menular pada bayi (Rudi dan Maria, 2019: 14)

3. Tanda dan Gejala HIV/AIDS

Rudi dan Maria (2019: 14) Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi

HIV, seseorang mungkin memiliki gejala seperti flu, demam, menggigil atau

ruam. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung selama beberapa minggu

setelah terinfeksi. HIV akan terus berkembang biak tetapi pada tingkat yang

sangat rendah. Gejala infeksi HIV, seperti tanda infeksi oportunistik,

umumnya tidak muncul selama bertahun-tahun. Tanpa pengobatan, infeksi


12

HIV biasanya berkembang menjadi AIDS dalam 10 tahun atau lebih lama,

meskipun mungkin membutuhkan waktu lebih sedikit bagi sebagian orang.

4. Patofisiologi Penyakit

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, yaitu

secara vertikal, horizontal dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi

sistemik secara langsung di perantai benda tajam yang mampu menembus

dinding pembuluh darah. Secara tidak langsung HIV masuk melalui kulit dan

mukosa yang tidak intake seperti pada kontak seksual. Ketika berapa dalam

sirkulasi sistemik terjadi viremia disertai dengan gejala dan tanda infeksi virus

akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot,

mual, muntah, sulit tidur, batuk-pilek, dan lain-lain. Keadaan seperti ini

disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4

dan peningkatan HIV-RNA viral load. Viral load akan meningkat dengan

cepat pada awal infeksi, dan akan turun sampai pada titik tertentu (Rudi dan

Maria, 2019:15).

Semakin berkelanjutan infeksi, viral load perlahan cenderung terus

meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan CD4 secara perlahan

dalam waktu beberapa tahun, dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat

pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun, sebeluh akhirnya jatuh ke stadium AIDS

(Rudi dan Maria, 2019 :15).

Menurut Rudi dan Maria (2019: 15) orang yang terinfeksi HIV

diperlukan waktu 5-10 tahun untuk sampai ke tahap AIDS. Pertama kali virus
13

HIV masuk ke dalam tubuh manusia itu selama 2-4 minggu. Keberadaan virus

tersebut belum dapat terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Jumlah CD4 lebih

dari sel/uL maka di sebut periode jendela. Tahan HIV positif melalui

pemeriksaan darah terdapat virus HIV tetapi secara fisik penderita belum

menunjukan adanya gejala atau kelainan khas. Kondisi tersebut dapat

menularkan virus ke orang lain

5. Penularan HIV/AIDS

Menurut Rudi dan Maria (2019: 17) mengemukakan bahwa

Penyebaran HIV tidak melalui udara atau melalui nyamuk, kutu, atau gigitan

serangga lainnya. Seseorang tidak dapat terinfeksi HIV dengan cara berjabat

tangan, memeluk orang yang terinfeksi HIV, atau dari benda-benda seperti

piring tempat duduk di toilet, atau gagang pintu yang digunakan oleh orang

yang terkena HIV. HIV menyebar melalui kontak langsung dengan cairan

tubuh tertentu dari seseorang yang mengidap HIV.

Ada tiga cara seseorang bisa tertular atau menularkan HIV/AIDS yaitu

sebagai berikut:

a. Hubungan Seksual

Hubungan seksual adalah cara paling umum terjadi, baik secara

vaginal, oral, atau anal dengan seorang pengidap. Di Amerika Serikat,

HIV dapat menyebar ketika seseorang seks anal, vaginal, atau berbagai

peralatan suntik narkoba dengan seseorang yang mengidap HIV. Untuk

mengurangi risiko infeksi, sebaiknya gunakan kondom dengan benar dan


14

konsisten saat berhubungan seks, batasi jumlah pasangan seksual, dan

jangan pernah berbagi peralatan suntik narkoba. HIV/AIDS lebih mudah

terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau

peradangan jaringan, seperti herpes genitalis, sifilis, gonore, klamidia,

kankroid, dan trikomoniasis. Risisko pada seks anal lebih besar di

banding dengan seks vaginal.

b. Kontak Langsung dengan Darah atau Produk Darah atau Jarum


Suntik

Ada enam cairan tubuh yang dapat menyebarkan virus HIV yaitu

darah, cairan Ada mani, cairan pra-mani, cairan vagina, cairan rektal dan

ASI. Seseorang bias tertular atau menularkan HIV/AIDS karena hal-hal

berikut.

1) Tranfusi darah tercemar HIV.

2) Pemakaian jarum yang tidak steril.

3) Pemakaian Bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu

narkotika suntik.

4) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.

c. Secara Vertikal dari Ibu Hamil Pengidap HIV Kepada Bayinya, Baik
Selama Hamil, Saat Melahirkan, Maupun Setelah Melahirkan

Penularan dari ibu ke anak adalah cara paling umum anak-anak

untuk terinfeksi HIV. Obat-obatan HIV diberikan kepada wanita

pengidap HIV selama kehamilan, dan persalinan. Selain itu, obat-obat


15

HIV juga diberikan kepada bayi setelah lahir untuk mengurangi risiko

penularan HIV dari ibu ke anak.

Infeksi HIV terkadang ditularkan ke bayi melalui air susu ibu

(ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti penyebab penularan ini

hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi lain. ASI

terdapat banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi

dan ibu-ibu yang telah memperhatikan tanda-tanda penyakit AIDS.

Setelah 6 bulan, pada saat bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare

dan infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan

memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat

manfaat ASI dengan risiko lebih kecil untuk terkena HIV.

6. Komplikasi HIV/AIDS

Menurut Komisis Penganggulangan AIDS Nasional tahun 2003 dalam

Rudi dan Maria, (2019), komplikasi yang terjadi pada pasien HIV/AIDS

adalah sebagai berikut.

a. Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru

b. Kandidiasis esofagus

c. Kriptokokosis ekstra paru

d. Kriptosporidiosis internal kronis > 1 bulan

e. Rhinitis CMV (gangguan penglihatan)

f. Herves simplek, ulkus kronik > 1 bulan

g. Mycobacterium tuberculosis di paru atau ekstra paru


16

h. Ensefalitistoksoplasma

7. Pencegahan HIV/AIDS

Menurut Masriadi (2017: 208) bahwa program pencegahan HIV/AIDS

hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen masyarakat dan

komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau megurangi perilaku

risiko tingi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi:

a. Memberikan penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat harus

menekankan bahwa mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta

penggunaan obat suntik bergantian dapat meningkatkan risiko terkena

infeksi HIV. Pelajar juga harus di bekali pengetahuan bagaimana untuk

menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko

terkena inveksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan

sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan

mereka, begitu juga bagi mereka yang tidak sekolah.

b. Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan

hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang

diketahui mengidap infeksi. Kondom lateks harus digunakan dengan benar

setiap kali seseorang melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau

oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan dasar air dapat

menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.


17

c. Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan

mengurangi penularan HIV. Begitu pula program “Harm reduction” yang

menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode

dekontaminasi dan menghentikan penggunaan jarum bersama telah

terbukti efektif.

d. Menyediakan fasilitas konseling HIV di mana identitas penderita

dirahasiakan atau dilakukan secara anominus serta menyediakan tempat-

tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Fasilitas tersebut saat ini

telah tersedia di seluruh negara bagian di AS. Konseling, tes HIVsecara

sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinis

keluarga berencana dan klinis bersalin, klinis bagi kaum homo dan

terdapat komunitas di mana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang

aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang

tepat bila penderita penyakit menular seksual (PMS).

e. Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk

melakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan

kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi untuk memperkirakan

kebutuhan mereka terhadap terapi (ZDV) untuk mencegah penularan HIV

melalui uterus dan perinatal.

f. Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk

mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor

harus diuji antibody HIV-nya. Hanya darah dengan hasil tes negative yang
18

digunakan. Orang yang mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena HIV

sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk

transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi

buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu dan bank tulang) yang

mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikan tentang

peraturan dan kebijakan ini kepda donor potensial dan tes HIV harus

dilakukan terhadap semua donor. Apabila mungkin, donasi sperma, susu

atau tulang harus dibekukan dan disimpan selama 4-6 bulan. Donor yang

tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi pada

waktu menjdi donor.

g. Jika hendak melakukan transfusi, dokter harus melihat kondisi pasien

dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus

sangat dianjurkan.

h. Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang

telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang

bias digunakan.

i. Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan

pembuangan jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam

lainnya agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung

tangan lateks, pelindung mata dan alat pelindung lainnya untuk

menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung darah.

Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus di
19

cuci dengan air dan sabun segera mungkin. Kehati-hatian tersebut harus

dilakukan pada semua pasien dan semua prosedur laboratorium.

B. Konsep Self Control

1. Pengertian Self Control

Ghufron (2012: 21) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan suatu

kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya

selain itu, kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku

sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan

sosialisasi, kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan

menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain,

menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi

perasaannya.

Bark (2012: 274), kontrol diri (self control) adalah kemampuan

individu dalam mengatur dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai situasi

dan kondisi, mengelola emosi negatif, berperilaku dalam cara yang bisa

diterima oleh masyarakat. Chaplin dalam kamus lengkap psikologi (2002:

450), kontrol diri (self control) adalah kemampuan individu untuk

mengarahkan tingkah lakunya sendiri, atau dalam kata lain yaitu kemampuan

untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada. Self Control (kontrol

diri) adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan

menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku implusive.


20

Menurut Mahoney dan Thoresen dalam Robert (dalam Ghufron 2012:

22-23), kontrol diri merupakan hubungan yang secara utuh (integrative)

jalinan antar individu terhadap lingkungannya. Individu dengan kontrol diri

tinggi begitu memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam

situasi yang bervariasi. Cenderung akan mengubah perilaku sesuai dengan

permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat

perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasi sosial yang kemudian

dapat mengatur kesan yang dibuat perilakunya lebih responsif terhadap

petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi

sosial, bersikap hangat dan terbuka.

2. Aspek-aspek Self Control

Menurut Block dan Block dalam Ghufron (2012: 31) menyatakan ada

tiga jenis kualitas kontrol diri yaitu over control, under control, dan

appropriate control.

a. Over control merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara

berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam

bereaksi dalam stimulus.

b. Under control merupakan suatu kecenderungan individu untuk

melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang masak.

c. Appropriate control merupakan kontrol individu dalam mengendalikan

impuls secara tepat. Berdasarkan uraian dan pendapat di atas maka untuk

mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut:


21

kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus,

kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian, kemampuan

mengambil keputusan.

Berbeda dengan pendapat tersebut Cormier dalam Baidi Bukhori

(2012:44), menyatakan bahwa kontrol diri pada prakteknya terdiri dari tiga

cara. Pertama, self monitoring yaitu suatu proses di mana individu mengamati

dan merasa peka terhadap segala sesuatu tentang diri dan lingkungannya.

kedua, self reward yaitu suatu teknik di mana individu mengatur dan

memperkuat perilakunya dengan memberikan hadiah atau hal-hal yang

menyenangkan jika keinginan yang diharapkannya berhasil. Ketiga, stimulus

control yaitu suatu teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi ataupun

meningkatkan perilaku tertentu. Kontrol stimulus menekankan pada

pengaturan kembali atau modifikasi lingkungan atau respon tertentu.

Berdasarkan konsep Averill dalam Thalib (2010:110), terdapat tiga

kategori kemampuan mengontrol diri yaitu kontrol perilaku (behavior

control), kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan

(decisional control).

a. kontrol perilaku merupakan kemampuan untuk memodifikasi suatu

keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku

dibedakan menjadi dua komponen, yaitu: kemampuan mengatur

pelaksanaan (regulated administration) menentukan siapa yang


22

mengendalikan situasi keadaan dirinya sendiri atau orang lain dan sesuatu

diluar dirinya. Individu dengan kemampuan kontrol diri yang baik akan

mampu mengatur perilaku dengan menggunakan perilaku dirinya.

Kemampuan mengatur stimulus (stimulus modifiability) merupakan

kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang

tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan,

mencegah atau menjauhi stimulus, menghentikan stimulus sebelum

waktunya berakhir dan membatasi intensitasnya.

b. kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah

informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai

atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif.

Mengontrol kognisi merupakan kemampuan dalam mengolah informasi

yang tidak diinginkan untuk mengurangi tekanan. Kontrol kognitif

dibedakan menjadi dua komponen, yaitu: kemampuan untuk memperoleh

informasi (information again). Informasi yang dimiliki individu mengenai

suatu keadaan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan

melalui berbagai pertimbangan objektif. Kemampuan melakukan

penilaian (appraisal). Penilaian yang dilakukan individu merupakan

usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memberikan

segi-segi positif secara subjektif.

c. kontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memiliki

hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau
23

disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik

dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri

individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Control

Adapun faktor yang mempengaruhi kontrol diri dibagi menjadi dua

yaitu faktor internal (diri sendiri) dan eksternal (lingkungan individu).

a. Factor internal yang ikut andil dalam kontrol diri adalah usia. Semakin

bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan mengontrol

diri seseorang itu. Faktor ini sangat membantu individu untuk memantau

dan mencatat perilaku sendiri dengan pola hidup dan berpikir yang lebih

baik lagi. Menurut Thalib (2010: 107). Kontrol diri berkaitan erat dengan

kecerdasan emosional bahwa kontrol diri merupakan salah satu

komponen keterampilan emosional. Keterampilan emosional adalah

kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan

dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, mengekspresikan

dengan tepat, mengenali emosi orang lain sehingga seseorang dapat

menempatkan emosinya pada porsi yang tepat dalam kehidupan sehari-

hari.

b. Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan

keluarga termasuk orang tua menentukan bagaimana kemampuan

mengontrol diri seseorang. Orang tua dianjurkan menerapkan disiplin


24

anak sejak dini. Mengajarkan sikap disiplin anak pada akhirnya mereka

akan membentuk kepribadian yang baik dan dapat mengendalikan

perilaku mereka. Disiplin yang diterapkan orang tua merupakan hal

penting dalam kehidupan dapat mengembangkan kontrol diri dan self

directions bagi seseorang membuatnya mampu untuk mempertanggung

jawabkan dengan baik segala tindakan yang dilakukan. Individu tidak

dilahirkan dalam konsep yang benar dan salah atau dalam suatu

pemahaman tentang perilaku yang diperbolehkan dan dilarang (Ghufron,

2012: 32).

C. Penelitian terkait Hubungan self control dengan upaya pencegahan


penularan HIV

Penelitian yang mendukung hubungan self control dengan upaya

pencegahan penularan HIV/AIDS, yaitu penelitian yang dilakukan Assela, dkk

(2017) adanya hubungan antara sikap dan prilaku pencegahan penularan

HIV/AIDS (p = 0,021 < 0,05). Dan ada salah satu penelitian yang dilakukan oleh

Pujawati (2016) mengenai kontrol diri dan dukungan orang tua dengan perilaku

disiplin yang menunjukkan hubungan antara variabel kontrol diri adalah sangat

signifikan dengan hasil p = 0.000 karena p < 0.05 (p = 0% < 5%).


25

D. Kerangka Teori

HIV

Faktor penyebab:
Komplikasi:
Hubungan seksual yang tidak aman
Kandidiasis bronkus,
Pemakaian jarum suntik secara trakea, atau paru-paru
bersamaan Kandidiasis esophagus
Kriptokokosis ekstra paru
Transfusi darah tercemar HIV Kriptosporidiosis internal
Penularan dari ibu ke anak kronis

Pencegahan:
Penyuluhan kesehatan

Hubungan seksual dengan menggunakan


kondom Self control

Perbanyak fasilitas pengobatan bagi


pecandu obat terlarang

Menyediakan konseling HIV

Wanita hamil untuk melakukan tes HIV Self Control:


Aspek kemampuan dalam Over Control
mengontrol diri:
Kontrol perilaku Under control

Kontrol kognitif Appropriate Control

Kontrol kepuasan
26

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Rudi dan Maria, (2019), Ghufron (2012 : 21), Averill dalam Thalib
(2010 : 110), Block dalam Ghufron (2012: 31).

Anda mungkin juga menyukai