Anda di halaman 1dari 373

i

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas
limpahan rahmat dan hidayahNya kepada penulis,
sehingga buku Setangkup Aksara diselesaikan. Buku
Setangkup Aksara merupakan salah satu luaran mata
kuliah Antropologi Sastra. Antologi cerpen ini
melingkupi refleksi kehidupan manusia dalam bahasa,
budaya dan tradisi lisan yang berkembang di masyarakat
Kudus, Pati, Rembang, Jepara, Purwodadi, dan
Kalimantan Tengah. Penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada beberapa pihak yang telah
berpartisipasi dalam penyusunan dan penerbitan buku
Setangkup Aksara.
Harapan penulis dengan diterbitkannya buku ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan menginspirasi serta
memberikan kontribusi kepada penikmat antropologi
sastra bahwa tradisi yang berkembang di masyarakat
perlu dijaga. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
buku ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebabnya
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca. Tingginya gunung yang mendulang dan

ii
luasnya samudra yang membentang tak akan
menyurutkan niat penulis untuk selalu menyemaikan
literasi.

Kudus, 8 Juni 2021

Penulis

iii
Daftar Isi
Cover i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iv
Gagego 1
Sakral 8
Lulang Kebo Landoh 17
Maling Sujud 22
Air Mujarab Membasuh Sengkala 33
Filosofi Mubeng Nganten 39
Biar Usang Termakan Zaman 47
Menggali Makna Dalam Puasa Alamtaro 60
Kali Gedhe dan Kerangkeng Lelembut 75
Larangan Dalam Pernikahan 87
Bulan Zulhijjah Dalam Tradisi Demak 96
Merelakan Takdir 110
Semangat Juang Gadis Samin 135
Isak Pilu Weton Ketemu Sujanan 145
Pohon Pengikat Petir 157
Mata Baya 163
Pesugihan di Pulai Sprapat 182

iv
Perang Obor189
Hitungan Pakem Dalam Pernikahan Jawa 197
Memudar 205
Tanam Kopi Tumbuh Hati 218
Meminang dengan Tradisi Ngemblok 241
Jipen 252
Ritual Malam 1 Suro Desa Pancur 269
Menyambut Hikmah Ramadan dengan Dandangan
278
Gadis Berkaki Indah 292
Patos 326
Seluas Rasa Terhalang Adat Istiadat 332
Prasah Pengantin 341
Mutiara Cinta Kota Santri 351
Ada Bala Dibalik Gapura Bata 362

v
vi
Gagego

Luthfa Nugraheni, M.Pd


Terik matahari yang menyengat, tampak anak-anak
tak mengihiraukannya. Selepas mengikuti mata pelajaran
daring, Usro, Gigih, Himawan dan Doyok berkumpul di
bawah pohon yang rindang. Mereka saling melempar
candaan sembari membahas pekerjaan rumah (PR) yang
diberikan Bu Dewi. Mereka adalah anak-anak yang rajin
dalam hal pelajaran maupun menyelesaikan pekerjaan
rumah. Hanya satu Doyok yang agak sedikit mbaloleng.
Tapi watak Doyok apabila temannya menggiringnya ke
arah positif dia tetap mengikutinya.

Teriknya matahari membuat mereka merasa


dahaga. Mereka berencana untuk membuat es yang
menyegarkan tenggorokan. Usro mempunyai ide jika dia
ingin membuat es dengan bahan alami. Muncullah ide
Gigih kalau es kawis sangat menyegarkan, mereka pun
mengiyakan untuk segera mencari bahan-bahannya.
Kawis merupakan buah yang banyak dijumpai di Pati,
bentuk dari buah tersebut adalah bulat dan kulitnya sanga

1
keras. Di dalam buah tersebut berwarna coklat lalu
ada189 serat dan biji-bijinya.

Tidak lama kemudian, mereka berburu buah kawis


di kebun milik Himawan. Doyok ditugaskan untuk
membeli es batu dan mempersiapkan alat-alat yang
digunakan untuk membuat es kawis. Tak perlu
menunggu lama mereka berkumpul di bawah pohon yang
rindang tadi. Setelah membagi tugas, akhirnya jadilah es
kawis yang menyegarkan. Mereka tampak senang ketika
menikmati hasil olahannya sendiri. Sambil berbincang-
bincang, mereka merencanakan permainan yang akan
mereka lakukan untuk melepas penat.

Bagaikan roll coster, akhir dari diskusi mereka


memutuskan untuk membuat layang-layang. Awalnya
mereka sama-sama untuk mencari bambu di belakang
rumah Usro. Kemudian membeli kertas, benang, lem dan
mempersiapkan bahan yang lainnya.

“luuur....wes siap golek kayu pring to?” tanya


Usro.

2
“mangkaaaaaat......” jawab Gigih dan
Himawan.

“ngko sik luur, esku durung entek iki,”


tambah Doyok.

“Yok...Doyook, penggawehanmu ndak yo


ngono iku a?” canda Usro.

“ndang gage Yoook, selak puanas iki”,


tambah Gigih.

Akhirnya mereka bergegas mencari kayu bambu.


Usro dan Gigih memotong-motong bambu, sementara
Doyok memperhalus potongan bambu itu. Dalam
kegiatan itu muncullah candaan yang dilontarkan Doyok
kepada teman-temannya.

“luuur...ngeneki gawe bisnis layang-layang


ndak iso a?” tanya Doyok.

“yo dijajal disek Yok, iki mengko hasile piye


tur responne konco-koncone kene piye a?”
jawab Gigih.

3
“iyo leeh, tapi nek peminate akih ndak yo
lumayan yo luur? (dengan tertawa
membayangkan idenya),” tambah Doyok.

“wes go Yok, idemu memang apik, tapi iki


fokus gawe layang-layang sek wae”, pungkas
Himawan.

“eh iyooo...iki mengko layangane ameh


digawe model opo yo?” tanya Usro.

“mengko sek tak pikire sek Sro,” jawab


Doyok.

“dibentuk nogo piye lur, kiro-kiro iso a gawe


kerangkane?” tambah Gigih.

“minion ae go...lucu,” sahut Doyok.

“minion ndak kurang gagah Yok, alias cilik,”


(sahut Gigih, Usro dan Himawan sambil
tertawa terbahak-bahak).

“peh aku wae leh luuur mbok ece?” sahut


Doyok.

4
“guyon...guyoon Yok, wes go santuuuui
ngono. Mudak gelis tuo mengko nek
sepaneng,” tambah Himawan (sambil
merangkul Doyok).

Akhirnya, bambu telah selesai mereka cari dan


bersiap untuk meramu layangan naga yang mereka
diskusikan tadi. Tahap demi tahap mereka selesaikan
dengan canda tawa khas mereka. Tak lama kemudian
layangan yang diidam-idamkan mereka jadi. Tak
sabarnya, mereka membawa layangangan itu ke sawah
untuk dimainkan. Setiap sore, banyak orang yang
menghabiskan waktu di sawah baik dengan cara melihat
matahari terbenam, ngarit (mencari rumput untuk makan
ternak), sepak bola maupun main layang-layang.

Semua mata tertuju pada keempat anak itu, banyak


yang menyampaikan bahwa layang-layang itu bagus dan
unik. Sontak hati mereka makin senang karena
karnyanya mendapat apresiasi yang baik dari warga desa.
Banyak anak kecil yang mendekat untuk melihat
layangan milik Usro, Himawan, Gigih dan Doyok.

5
Setelah semuanya siap dan Doyok memberi aba-aba,
Himawan mengatakan,

“ngko sek Gih, ono tali sing dibenerke disek,”


tambah Himawan.

“gagego....wes gak sabar iki ndeleng


layangane kene mabur,” canda Usro.

“sabar....sabar Srooo, aluuus....” (Himawan


sambil memberikan canda ke Usro).

“lah...wis sip iki. Ayo diitung bareng-bareng


ben mabure duwur,” pungkas Gigih dan
Doyok.

“masuk pak
Ekoooooo....siji...loro...telu....gooooooooooo..
..” (tambah orang-orang yang menyaksikan
layang-layang terbang).

Layang-layang yang mereka buat akhirnya


melambung tinggi di langit. Hati mereka makin girang
akhirnya usahanya berbuah manis. Tak sia-sia mereka
berpanas-panasan dan berkeringat dari mencari bambu

6
sampai mempersiakan bahan-bahan pelengkapnya.
Waktu tak terasa matahari hampir terbenam. Akhirnya
mereka menurunkan layang-layang dan bergegas pulang
ke rumah masing-masing. Di perjalanan pulang, mereka
kembali membuat janji bahwa setelah mandi dan sholat
mereka berkumpul ke rumah Usro untuk mengerjakan
pekerjaan rumah (PR) dari bu Dewi.

Tiba waktunya untuk belajar bersama. Usro,


Himawan dan Gigih mengeluarkan buku dan alat tulis
mereka. Sambil mendiskusikan tugas dari bu Dewi,
sesekali mereka membahas hasil karya yang mereka buat
tadi. Usro menyampaikan bahwa “usaha yang sungguh-
sungguh tak akan menghianati hasil”. Himawan juga
menambahkan bahwa persahabatan yang tulus tak akan
lekang oleh waktu, maka hargailah nilai persahabatan.
Jangan lelah tangan ini untuk mengulurkan tangan bagi
orang yang membutuhkan”.

7
Sakral
Aulia Dinda Eka Putri
Akhirnya hari yang aku tunggu-tunggu telah
datang, setelah segala persiapan telah kulakukan sejak
beberapa bulan lalu. Ini hari spesialku, hari yang begitu
spesial bagiku bahkan bagi keluargaku. Iya, hari ini aku
menikah. Aku akan menjadi seorang istri. Aku akan
menjadi bagian dari hidup pasanganku nanti.

Aku rasa langit ikut merayakan hari bahagiaku


ini, langit hari ini begitu cerah, padahal beberapa hari
terakhir sering hujan. Aku tersenyum di depan cermin,
memandang wajahku yang belum dipoles riasan dan
tubuhku yang sudah terbalut kebaya pernikahan yang
benar-benar terlihat mewah dan elegan.

“Lihat kesini, Mbak.” ucap Ina. Ina adalah adik


kelasku semasa SMA yang kutawari untuk menjadi
penata rias dipernikahanku ini. Satu bulan yang lalu,
ketika aku meminta Ina untuk menataku, Ina begitu
senang dan langsung meng-iya-kan permintaanku tanpa
berpikir panjang. Katanya karena dia penasaran seperti

8
apa pernikahanku nanti, apalagi dia sudah tau perjalanan
cintaku bersama pasanganku, Mas Wira.

“Pasti Mbak Nuri gugup banget, ya? Aku yakin


persiapannya banyak banget. Soalnya Mbak Nuri harus
kasih tanda mata dan lainnya ke Mas Hasan juga.” ucap
Ina lagi sembari meriasku.

Aku menghembuskan napas. “Iya, aku kira


gampang karena aku maunya yang sederhana aja,
ternyata sama aja, pusing juga yang ngurus. Kalo soal
Mas Hasan sih untungnya gak ribet-ribet banget.”
jawabku. Meski aku bilang bahwa semua persiapan
pernikahanku itu rumit, tapi aku juga harus mengakui
bahwa aku cukup menikmati waktu-waktuku untuk
mempersiapkan segala hal.

Aku senang ketika aku dan Mas Wira


menentukan tanggal pernikahan kami bersama masing-
masing keluarga. Aku juga senang ketika kami memilih
baju apa yang akan dipakai ketika pernikahan nanti.
Selain itu, aku juga sangat antusias ketika memutuskan
akan melakukan pernikahan dimana dan akan

9
mengundang berapa banyak orang. Bagaimana dekorasi
pernikahan kami, makanan apa saja yang akan
dihidangkan untuk para tamu undangan, dan persiapan-
persiapan lainnya.

Tapi sebelum mengurus semua itu, tentu aku dan


Mas Wira meminta ijin terlebih dahulu kepada
keluargaku. Ini fase paling menegangkan. Mas Wira
datang ke rumah sendirian dengan maksud meminta ijin
untuk melamarku. Jelas ayah dan ibu berpikir panjang
saat itu juga, memgingat Mas Hasan belum menikah.

“Kami sangat berterima kasih atas niat baikmu,


Wira.” ucap ayah.

“Tapi Hasan belum menikah, Wir. Bagaimana


jika kamu meminta ijin padanya juga? Bagaimana pun
dia kakaknya Nuri. Kami tidak bisa sembarang
menyetujui niat baikmu, tetap harus ada persetujuan dari
Hasan.” ucap ibu. Mas Wira mengangguk, hingga
akhirnya dia kembali datang ke rumah dan berdiskusi
dengan keluargaku lagi, lengkap dengan Mas Hasan.

10
“Saya engga keberatan kok kalau kamu mau
menikahi Nuri secepatnya. Engga baik lama-lama
pacaran kan, kasihan juga sama kalian kalau harus
menunggu saya menikah, saya saja masih belum
menemukan pasangan.” ucap Mas Hasan tersenyum.

“Alhamdulillah, kalau Wira benar-benar serius


mau menikah dengan Nuri, setelah ini kita berdiskusi
soal lamaran dan pernikahannya, nanti jangan lupa juga
memberi tanda mata kepada kakak Nuri sebagai tanda
melangkahi kakaknya. Kita adakan tumpengan juga ya.”
ucap ayah kepada Mas Wira yang dibalas dengan
anggukan kepala.

Lalu setelah hari itu, Mas Wira dan aku


mempersiapkan acara lamaran. Setelah acara lamaran
selesai, kami kembali disibukkan dengan mempersiapkan
pernikahan kami. Mas Hasan kadang sering ikut
membantuku mempersiapkan pernikahanku seperti ikut
mencari referensi untuk katering, baju pernikahan, dan
sebagainya. Katanya untuk menambah pengalaman, agar
ketika dia menikah tidak perlu repot-repot mencari
kesana kesini.

11
“Mas Hasan, mau tanda mata seperti apa?”
tanyaku ketika sedang beristirahat di sebuah kafe setelah
membuat baju pengantinku.

“Iya Mas, biar sehabis ini kita mempersiapkan


untuk Mas Hasan.” sahut Mas Wira.

Mas Hasan menggeleng. “Engga tahu, seenaknya


Nuri sama Wira saja ya, apapun kakak ikhlas, yang
penting tidak mempersulit kalian.” jawab Mas Hasan.

Aku memukul lengan Mas Hasan pelan. “Engga


boleh gitu, kasih tau maunya apa. Nanti ibu ngomel
kalau tau aku belum mempersiapkan tanda matanya.”

“Biasanya apa sih kayak gitu?” tanya Mas Hasan.

“Kata ibu saya sih apa saja, Mas, bergantung si


kakak ingin apa, sepupu saya ada yang melangkahi
kakaknya dan tanda matanya berupa sandangan
lengkap.” jawab Mas Wira.

Mas Hasan mengangguk. “Yaudah itu saja, nanti


juga engga perlu mahal-mahal ya. Engga enak sama
kalian.”

12
Aku dan Mas Wira mengangguk. Setelah hari itu
kami kembali bepergian menyiapkan sandangan yang
akan kami berikan kepada Mas Hasan. Seperti
permintaan Mas Hasan, kami memberikannya yang
sederhana, meski ada beberapa yang sengaja aku berikan
yang mahal karena Mas Hasan memang pantas
mendapatkan itu, dia juga jarang sekali memiliki barang
yang bermerek. Lalu ketika mendekati hari
pernikahanku, keluargaku membuat acara tumpengan
untuk tanda penghormatan kepada Mas Hasan.

“Aduh, kamu ribet banget ya persiapan


pernikahannya, harus membuat acara begini juga, maafin
Mas Hasan ya, Nur. Kamu jadi harus memikirkan
banyak hal begini.” ucap Mas Hasan ketika acara
tumpengan berakhir.

Aku tertawa menggelengkan kepala. “Apa sih,


Mas? Aku yang maaf, soalnya udah ngeduluin, Mas.”
ucapku.

13
Mas Hasan tertawa. “Yaudah sama-sama minta
maaf ya, semoga pernikahamu minggu depan berjalan
dengan lancar.” ucap Mas Hasan.

Aku mengangguk. “Aamiin ya Allah. Nah ini


tanda mata dari aku dan Mas Wira, makasih ya, Mas.”
ucapku sembari memberikan satu kotak besar.

Mas Hasan menerima kotakku sembari


tersenyum. “Makasih juga ya.”

Lalu disinilah aku sekarang. Duduk di depan


cermin bersama Ina. Tinggal hitungan menit
pernikahanku akan dilangsungkan. Aku cukup gugup
mengingat akan ada banyak orang yang akan kutemui
nanti.

“Mbak, udah selesai nih, kerudungnya juga udah


rapih, sekarang istirahat dulu ya. Engga sabar ih nunggu
sahnya hehe.” ucap Ina.

Aku menyibukkan diriku dengan membalas


beberapa pesan dari temanku yang tidak bisa datang.
Selang beberapa menit sepupuku, Nindi, mengabarkan
bahwa akadnya akan dimulai. Jantungku berdegup

14
kencang. Sebentar lagi, sebentar lagi aku akan menjadi
istri seseorang.

Kemudian setelah beberapa menit, Nindi kembali


mengabari bahwa akadnya sudah selesai dan aku
dipersilakan untuk keluar menemui Mas Wira. Sebelum
aku keluar ruangan, Mas Hasan menungguku di depan
pintu. “Kenapa, Mas?” tanyaku.

Mas Hasan tersenyum. “Engga apa-apa, mau lihat


adikku duluan sebelum duduk di sebelah suaminya.”
ucap Mas Hasan.

Aku tertawa. “Bisa aja, sih.”

Mas Hasan mengelus kepalaku pelan. “Dulu


kayaknya masih cengeng, sekarang sudah jadi istri orang
saja, maaf ya kalau selama menjadi kakak, mas belum
bisa kasih yang terbaik.” kata Mas Hasan.

Aku mengangguk. “Mas Hasan udah jadi kakak


yang terbaik kok, gausah minta maaf.”

“Selamat ya, sekarang waktunya kamu bertemu


dengan suamimu tuh.” ucap Mas Hasan.

15
Aku mengangguk lalu kembali berjalan keluar
ruangan, bertemu dengan Mas Wira, bertemu dengan
status baru yaitu menjadi seorang istri. Iya, disinilah
kehidupan baruku dimulai.

16
Saridin dan Jimat Lulang Kebo Landoh
Rachma Nurul Fitroh
Lulang kebo landoh adalah lulang yang berasal
dari kerbau Mbah Syech Jangkung. Lulang kebo Landoh
sangat langka dan mempunyai daya kekuatan yang
sangat kuat. Jimat Lulang kebo Landoh asal – usulnya
berasal dari Desa Landoh, Kecamatan kayen, Kabupaten
Pati.
Kebo Landoh merupakan salah satu legenda atau
cerita rakyat yang sangat dikenal di Kabupaten Pati.
Bahkan warga sekitar sudah tidak merasa asing lagi
terkait dengan cerita Lulang Kebo Landoh. Cerita ini
berkaitan erat dengan dengan Kisah Mbah Syech
jangkung atau biasa dikenal dengan sebutan Mbah
Saridin.
Lulang Kebo Landoh merupakan jimat ampuh.
Dulu jimat ini tidak langsung ada atau berasal dari alam
secara gaib, melainkan ada kisah cukup unik yang tanpa
sengaja tahu kalau lulang kebo asal Landoh ternyata
jimat kekebalan. Jimat ini sangat langkah, tidak gampang
orang dapat memilikinya. Pasalnya, jimat Lulang Kebo
Lando konon tidak bisa dijual belikan. Konon katanya

17
Jimat Kebo Landoh ini sangat kebal terhadap berbagai
senjata.
Lulang Kebo Landoh sangat berkaitan erat dengan
Syech Jangkung atau biasa dipanggil dengan sebutan
Mbah Saridin. Dalam sejarahnya, kebo landoh
merupakan hewan yang sangat kuat dan kekuatanya tidak
bisa tertandingi. Lulang Kebo Landoh hingga saat ini
masih banyak diburu oleh warga sekitar dan dari luar
kota. Bahkan, sekarang banyak sekali yang membuat
Lulang Kebo Landoh palsu.
Konon katanya, barang siapa yang memiliki
Lulang Kebo Landoh orang tersebut tidak mempan
dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih
lengkap dengan kulitnya. Keyakinan itu barangkali
timbul bermula ketika Kerbau Landoh disembelih dan
ternyata lehernya tidak bisa putus.
Lulang kebo Landoh asal-usulnya berasal dari
Desa Landoh, Kayen, Pati. Menurut cerita yang saya
dapat, ada seseorang yang bernama Mbah Syech
Jangkung atau biasa dipanggil Mbah Saridin. Dulu Mbah
Saridin ketika usianya sudah hampir tua ia memilih
hidup menjadi seorang petani padi di desa Landoh dan

18
mulai membuka perkampungan baru. Untuk
menemaninya bersawah Mbah Saridin mencari binatang
peliharaan yang digunakan untuk menemaninya di
sawah.
Saridin membuka perguruan di Miyono yang
dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di
Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin
bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-
muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah,
Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang
warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang
tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan
sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di
sawah.
Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu
hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang
melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati.
Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali
seperti sedia kala. Dulu ceritanya, masalah bangkit dan
tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu
konon karena Saridin telah memberikan sebagian

19
umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian,
bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung
meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap
kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung
dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus
disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan
dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata
tidak mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian
aneh itu membuat Momok memberikan senjata
peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau
itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada
para pelayat. Kebiasan membagi-bagi daging kerbau
kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk
Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih
terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang
meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.
Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih
saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang
itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang

20
mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi
disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh,
konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata
tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan
bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika
kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus
lehernya.

21
Maling Sujud
Irfan Khoirul Huda
Asing aneh, serba tak percaya. Semuanya selalu ada
kemewan,sekarang tak ada satupun kekurangan. Namun
sekarang tak ada yang bisa la banggakan. Uang, pakaian
dan kemewahan hidupnya di ganti dengan hidup pas-
pasan di pesantren terpencil. Bahkan sama sekali tak la
ketahui dimana letak pesantren itu, kesalahan yang tak
bisa dimaafkan kedua orangtuanya menghasilkan
keputusan harus memindahkannya ke pesantren.
"Woi. kamu sekolah nggak? Pengen di hukum ya!" lurah
pondok memecah lamunannya.

la tak sadar sedari tadi melamun di depan kamar lengkap


dengan seragam sekolah.

Sesampainya di kelas, kembali rasa bosan


menghantuinya. Tak ada satupun hiburan sama
sekali, HP MP3, dan semua kebiasaan di sekolahnya
dulu. Tapi ada yang aneh, pandangannya
melihat tepat depannya ada sosok wanita.
Diva, apa itu kamu? dengan penuh harap
"Ini Aku sayang”

22
PLAAK

Sayang-sayang, saya ini guru kamu Di kelas bukannya


belajar, malah tidur! Sekarang kamu berdiri
di depan kelas Satu kaki, terus giginya mringis! Cepat!
Mringis Pak?
lyal kenapa nggak paham! bentak guru
i iya Pak dengan wajah lesu
Cepat! Jangan lelet kamu!"

Langkahnya ragu berjalan ke depan Hukuman yang


benar-benar konyol harus la lakukan. benar, setelah la
melakukan perintahnya gurunya, suasana kelas begitu
ramai akan sorak-sorak Ketawa. Hatinya benar-benar
kesal dan la tak bisa melakukan apapun kecuall patun.
walupun itu sangat terpaksa la lakukan, bagaimanapun
guru tetaplah guru. Tepat jam dua belas malam la duduk
di depan Kamar sejenak mengingat kenangannya dulu
sebelum nyantri di pelosok desa, seperti sekarang ini

Kang! sapa seseorang sembari menenepuk pundak nya


lya kang, ada apa?

Kok belum tidur, udah malam lo

23
Lagi nggak bisa tidur Kang Mikirin rumah ya? tebak
santri yang
belum la kenal
"Nggak kok la mengelak
"Udahlah, ngaku aja, saya juga tahu kok, oh kenalkan
Saya Amir " Hmm, iya ang, Saya ahmad" jawab Ahmad
agak malu

Ternyata malam itu menjadi saksi akan


Persahabatan mereka.walaupun beda kelas, selalu
ada waktu untuk saling berbagi. Entah Masalah pribadi.
Satu tanun tak terasa persahabatan mereka begitu kental.
Namun, tahun berikutnya menjadi Cobaan yang begitu
berat bagi Ahmad. Amir, sahabatnya itu menjauhinya.
Bahkan umpat-umpatan tak sedikit terdengar langsung di
telinganya.Ahmad yang sekarang satu kelas dengan Amir
Karena Ketekunannya terpilh menjadi
Rais kelas. Amir merasa kesal, dia yang Sudah banyak
pengalaman karena mondok dulu kalah
dengan Ahmad. Rasa Sepi nan suram menamban sekujur
hidup Ahmad. Sahabat Satu-satunya,
menjauhinya hanya karena hal yang begitu sepele.

24
Namun,
"Mad. Suara yang begitu asing.
" Ya sembari melihat asal suara itu.
"Maafkan aku mad. Aku benar-benar keterlaluan telah
mencaci maki di depan
santri-santri Aku tak bisa menahan emosiku. Maafkan
aku San Amir menangis begitu haru
"ya mir nggak papa. Aku yang salah. memang lebih
pantas jadi rais Di kelas. besok aku akan
bilang, supaya Rais nya diganti kamu aja ya" jawab
Ahmad,mata menangis menuruti hatinya
"Tidak mad,aku Sudah tidak mempermasalahkan lagi
soal tu. Kamu pantas. Aku selalu mendukung mu mad."

Ahmad benar-benar tidak bisa menahan tangis


bahagianya.ia benar benar terharu Dengan
perkataan Amir.
"Oh iya mad kamu sudah makan belum ? kebetulan aku
habis beli nasi depan,mau nggak nemenin
aku ?Sembari mengusap air mata
"Sebenar nya aku belum makan sih, tapi aku belum
pegen makan"jawab Ahmad

25
"Sudahlah itung-itung nemenin aku paksa amir.
”Ya sudahlah, terserah kamu saja.

Selesai makan Hasan merasa begitu ngantuk.


Tampa sadar Ronman masih makan, Hasan
sudah tertidur pulas. Waktu terus berjalan, namun
Sampal adzan maghrib Hasan tak kunjung
bangun.

"Mad bangun mad sudah maghrib. Kamu nggak shalat?"


"Man, kayaknya aku nggak enak badan nih.Kepalaku
pusing banget
"Ya udahlah, kamu shalat dulu sama aku di kamar, nanti
baru istirahat sambil membantu Hasan
berdiri.

Tapi tubuh Ahmad tak bisa bergerak. Semuanya


terasa kaku, Amir berusaha membantunya untuk berdiri
tetap saja Ahmad hanya tertidur tanpa bisa bergerak
sedikitpun. Amir berlari menuju kantor pondok
memanggil membantunya. Pengurus pondok segera
membawa Ahmad ke rumah sakit.
"Mad, kamu nggak usah berangkat sekolah dulu ya.

26
Sekarang kamu istiranat saja di kamar. Kalo
mau makan bilang aku saja,nanti aku belikan
"lya mir, makasih banget ya, kamu udah nolongin aku
kayak gini jawab Ahmadbegitu senang
dengan Amir

"Ya sudah seharusnya sebagai teman Kamu kan juga


baru pulang dari rumah sakit, jadi kamu harus istirahat
dulu" terang Amir
“Mad, aku kena musibah. Uangku hilang, malam
uangnya masih ada. lapi, pas tadi Sore uangnya
sudah hilang semua jelass Amir kepada Ahmad.
Sekarang Ahmad tahu kenapa semuanya
berkumpul di dalam kamar. Pengurus kamar terlihat
begitu marah. Rohman yang duduK di
sampingnya terlihat bingung, karena sebelumnya dia tak
pernah kehilangan uang.
"Kalian semua tahu kenapa malam ini dikumpulkan di
dalam kamar? Kang Aji sebagai ketua kamar bicara
dengan tegas
"Tidak Kang" semua anggota kamar menjawab serentak

27
"Kang Amir kehilangan uangnya dan bukan sedikit
jumlah uang yang hilang. Sebelum saya bertanya
silakan, kalian semua merapat kedepan biar pengurus
menggeladah lemari kalian!" jelas Kang Aji Serentak
pengurus kamar menggeledah satu persatu almari.
Ahmad duduk begitu tenang karena dia merasa tak
bersalah. Sudah hampir seluruh almari digeledah, namun
belum ada tanda-tanda dan,
"Kang, ini ada dua dompet di almari ini!" terik seorang
santri Sembari menunjukkan asal dompet itu

"Mana, mana? Coba dompetnya bawa kesini! sahut Kang


Aji,lalu mengambil kedua dompet itu
"Ahmad! ini dompet kamu?
"lya Kang" jawab Hasan sedikit tegang
"Lalu, apa almari itu milik kamu?" sambil menunjuk
almari tempat dompet tadi lya Kang, benar"
"Lah, sekarang dompet ini punya siapa? membentak
"Saya tidak tahu Kang, benar, saya tidak tahu apa-apa
"bela Ahmad

"Sudah jelas-jelas ini ada kartu namanya Amir berarti


kamu yang maling !ngaku !kang Aji semakin marah

28
"Benar Kang, saya nggak maling, saya tidak tahu apa-
apa!"
"Memang benar-Denar keterlaluan, sudah ditolong,
dirawat di kamar, malah maling Dasar nggak punya
malu!"
"Tidak Kang. saya nggak maling!" bela Ahmad dengan
bingung
"Alah, nggak usan banyak alasan, Kang bawa maling ini
menghadap Kyai!
"Aku benar-benar tak percaya mad, kamu memang
benar-benar keterlaluan, Aku tolong kamu, aku bantu
kamu, semua yang bisa kulakukan kuberikan_ padamu.
Tapi apa, hah! Dasar maling! Amir begitu tak percaya
perbuatan Ahmad.
"Tidak Mir, aku sama sekali tidak tahu apa-apa Suaranya
pelan. Tubuhya diseret paksa oleh pengurus.
"Mir, Mir, aku bukan maling Mir!" Ahmad terus
menangis
Ahmad tak bisa berbuat apapun. Di hadapan pak Kyai
dia hanya diam, tak berani membela diri karena takut
pada bapak Kyai. Setelah dihubungi pihak pesantren, tak
lama orang tuanya datang. Ayahnya hanya diam,khusyu'

29
mendengarkan penjelasan dari pak Kyai dan
keputusannya
Ahmad dikeluarkan dari pesantren karena perbuatannya
itu.Huuu...dasar maling!" huuu" suara para Santri begitu
ramai, menyambut Hasan dari ndalem Kyai.

Di dalam mobil tak ada satu kata pun terucap


diantara Ayah, lbu, dan ahmad seakan Seperti tak ada
orang lain selain diri mereka sendiri. Ahmad begitu sakit
menghadapi musibah yang ia terima. Dituduh sebagai
maling. Tiba-tiba mobil berhenti.
"Dasar anak kurang ajar! Bukannya jadi lebih baik malah
jadi maling! Aku tak suka melihatmu lagi, keluar! Pergi
sana!" bentak Ayah Ahmad
BRAAKK. Suara pintu mobil begitu keras menjadi
perpisanan Hasan dengan orang tuanya. la berusaha
berlari mengejar mobil, berteriak memanggil Ayahnya.
Namun, mobil tetap berlalu menjauh, menghilang dari
pandangannya. Sekarang la benar- benar sendiri. Di
pinggiran jalan, ia merasa sangat bersalah kepada Amir,
walaupun dia tidak tahu apapun. Tapi di hadapan

30
Ahmad,dia tertuduh sebagai maling. Hidupnya seakan
tak berarti.

Suara adzan terdengar samar di telinganya. la coba


dimana asal suara itu. Dengan langkahnya yang tertatih
akhirnya ia temukan sebuah musholla kecil. Bersama
warga sholat maghrib. Entah kenapa seusai shalat tiba-
tiba ia membuka tas kecil yang ia bawa dan ada sepucuk
amlop untuknya.
"Dari siapa ini? tanyanya dalam hati begitu penasaran.
Tak ada yang bisa ia katakan. Hatinya benar-benar
hancur. Air matanya menangis tak terhenti. Tubuhnya
terkulai lemas di dalam Mushola.

Entah apa yang harus ia lakukan. Hidupnya Denar-


benar runtuh, teman, orang Tua, Semuanya lenyap dan
menghilang. Bahkan, ternyata sahabatnya sendiri yang
Tega memfitnah dia sebagai maling.
"Ya Allah, hamba benar-benar tidak tahu Apa yang
engkau berikan kepada hambamu Yang lemah ini.
Hamba benar-benar tidak Kua. Ya Allah, apakah akan
kuat hati ini untuk Tetap tegar menghadapi semua
cobaan- Mu Berilah mereka cahaya hidayah-Mu ya

31
.Berilah aku kekuatan, keimanan untuk menjalani semua
ini ya Allah. Hamba benar- benar makhluk yang lemah
tanpa bantuan- Mu ya Allah.Rabbana atina fiddunnya
hasanah, wa fil aakhirati hasanah wa qina adza bannar"
Matanya terpejam membendung mata yang begitu dan
sembari bersujud kepada-Nya.

32
Air Mujarab Membasuh Sengkala
Moh. Septiawan Maulana
Pada suatu hari, di ceritakan ada sebuah desa
dimana desa itu sangat asri suasana alamnya. Burung-
burung berterbangan dan bersiul merdu,menghantarkan
langkah petani menuju sawah untuk melakukan aktivitas
bercocok tanam. Di desa ini sangatlah subur tanah dan
kaya akan hasil alamnya, sehingga banyak petani yang
sukses di Desa Makmur ini. Selain bercocok tanam,
masyarakat di Desa Makmur ini sangatlah tekun dalam
melakukan pekerjaan. Sifat gotong royong dan saling
menghormati antar agama juga masih berjalan dengan
baik tanpa ada gesekan.
Dibalik kesuksesan Desa Makmur ini,ada salah
satu warga yang bersetatus pasangan suami istri yang
sangat kaya raya,yang berprofesi sebagai bos padi yang
mempunyai musibah yang sangat serius. Pasangan suami
istri ini bernama Bapak Tejo dan Ibu Maryam. Ibu
Maryam yang sudah lama di vonis oleh dokter
mempunyai penyakit kronis (jantung) membuat sang
suami Bapak Tejo mencari berbagai pengobatan,dari

33
pengobatan jawa sampai pengobatan luar jawa sudah di
cari untuk kesembuhan istrinya.
Berbagai informasi yang mereka dapat dari orang-
orang atau kerabat,mereka sudah datangi dan sudah
melakukan dengan semestinya. Wilayah demi wilayah
mereka masuki dan berusaha mencari informasi atau obat
untuk penyembuhan Ibu Maryam. Sampai pada akhirnya,
Ibu Maryam merasa gundah dan putus asa. Tetapi
dengan semangat yang diberikan Bapak Tejo untuk sang
istri, membuat sang istri menjadi semangat dan
melanjutkan mencari informasi mengenai obat tersebut.
“Mari bu kita lanjutkan perjalanan kita untuk mencari
obat untuk ibu. Percayalah,bahwa setiap masalah pastia
ada hikmahnya. Kita cukup usaha,berdoa dan ikhtiar
dengan keikhlasan hati, pasti allah akan mempermudah
kita,dan akan memberikan jalan keluar juga buat kita
berdua,” Ucap sang suami (Bapak Tejo) untuk sang istri.
Tibalah Bapak Tejo dan Ibu Maryam di sebrang
jalan,tepatnya di sebuah penjual bubur kacang hijau.
Mereka berdua beli bubur kacang hijau dan melakukan
istirahat sejenak agar stamina tidak down. Rasa gelisah
dan dialog yang mereka lanturkan,membuat sang penjual

34
bubur kacang hijau ini terdengar. Sang penjual bubur
kacang hijau ini adalah seorang kakek-kakek yang sudah
berusia 70 tahun. Kakek ini bernama Kakek Kastam,
Kakek Kastampin secara langsung memberikan
informasi kepada suami istri tadi,bahwa ada suatui
tempat dimana tempat itu dipercayai tempat
penyembuhan paling manjur. Bergegaslah mereka
berdua ke tempat yang di maksud oleh kakek tersebut.
“Mari pak kita coba kesana, semoga ini adalah obat
untuk kesembuahan ku,“ Ucap Ibu Maryam untuk Bapak
Tejo.
“Baik bu, Mari kita kesana. Bismillah ini adalah obat
yang kita cari-cari dari dulu,” Ucap Bapak Tejo.
Rasa tak sabar dan rasa optimis yang mereka bawa
dalam perjalanan, membuat perjalanan mereka menuju
ketempat yang di maksud oleh kakek tersebut terasa
ringan dan lancar dalam menjalani. Pada akhirnya,
sampailah mereka berdua ketempat yang dimaksud
kakek tadi. Tempat yang dimaksud kakek tersebut
ternyata adalah sebuah masjid peninggalan wali,dan
nama masjid itu sendiri adalah masjid wali yang terletak
Di Desa Kayangan. Di dalam masjid wali terdapat

35
sebuaah bangunan gapura, gapura tersebut adalah sebuah
tumpukan batu bata yang sangat identik sekali dan
mempunyai nilai religi. Selain gapura, di dalam masjid
wali juga ada sebuah sumur, dimana sumur tersebut
dinamakan sumur air salamun atau sumur penguripan.
Bapak Tejo dan Ibu Maryampun mencari
seseorang yang ingin meraka tanyai mengenai air
salamun ini. Mereka mencari dan betemulah sama salah
satu takmir masjid wali ,yaitu Bapak Bekan. Bapak
Bekan ini adalah salah satu tamir masjid wali terlama
dan tua di masjid wali. Lalu Bapak Tejo dan Ibu Maryam
pun mencari informasi dari Bapak Bekan.
Bapak Bekan pun mempersilahkan duduk Bapak
Tejo dan Ibu Maryam disalah satu halaman masjid,untuk
menceritakan mengenai air salamun. Sebelum membahas
air salamun, Bapak Bekan sedikit menerangkan kirab
budaya (Rebo Wekasan) yang ada kaitannya dengan air
salamun ini. Bapak Bekan pun menjelaskan bahwa arti
nama dari “Rebo Wekasan” adalah hari rabu terakhir,
ritual ini biasannya dilaksanakan di akhir bulan sapar
dalam penanggalan hijriyah. Tradisi Rebo Wekasan
sendiri punya arti,yaitu berdoa memanjatkan

36
keselamatan kepada allah dan pembagian air salamun.
Sebagian masyarakat juga mempunyai istilah Rebo
Wekasan, Rebo berarti hari rabu,dan wekasan adalah
pesanan. Berdasarkan dari uraian tersebut,maka “Rebo
Wekasan” dapat diartikan rebo yang istimewa yang tidak
bisa di bandingkan dengan hari-hari yang lain. Itu semua
bisa disebut istimewa,karena “Rebo Wekasan” memang
hanya terjadi hanya satu kali dalam satu tahun. Disebut
air salamun karena air itu diyakini bertuah dan menjadi
sarana menangkal bala, penyakit atau ancaman
marabahaya. Salamun berasal dari kata ‘salam’ yang
berarti ‘selamat’. Tradisi itru bertujuan mensyiarkan
ajaran islam dengan cara membagikan air salamun yang
berasa;l dari sumur kuno. Sumur kuno ini konon
terbentuk dari bekas tancapan tongkat Sunan Kudus.
Dikarenakan waktu yang pas, maka Bapak Bekan
memberikan air salamun dari sumurnya langsung kepada
Bapak Tejo dan Ibu Maryam untuk dibawa pulang. Air
yang diambilkan Bapak Bekan lebih dari cukup untuk
dikonsumsi selama 1bulan. Bapak Bekanpun mendoakan
pasangan suami istri itu agar terhindar dari segala hal
yang tidak diinginkan, dan mendoakan agar penyakit

37
yang di rasakan Ibu Maryam cepat sembuh. Setelah
mendapatkan air salamun itu, Bapak Tejo dan Ibu
Maryam pun pulang.
Setelah sampai dirumah, Ibu Maryam pun
meminum air tadi secara rutin setiap hari. Berjalannya
waktu Ibu Maryam pun merasakan badannya terasa lebih
vit dan dinyatakan sembuh oleh dokter dari penyakit
yang diderita. Rasa syukur yang dipanjatkan kepada
allah,tak henti-hentinya Ibu Maryam ucapkan. Ibu
Maryam pun percaya bahwa setiap cobaan dan masalah
yang diberikan allah itu pasti ada jalan keluarnya, dan
dibalik semua masalah lika-liku yang ada,pasti akan ada
hikmahnya. Maka tetaplah berusaha dan yakinlah bahwa
allah selalu bersama kita,dihati kita.

38
Filosofi Mubeng Nganten
Isna Noor Aini
Pada suatu masa di desa yang lebih damai dari air
embun yang menyentuh dedaunan dipagi buta, ada gadis
yang begitu lembut dan cantik bernama Shinta. Dia
tumbuh dari kecil hingga dewasa dan tinggal di desa
Loram Kudus, tepatnya di sebelah masjid wali Loram
Kulon. Sebenarnya masjid wali Loram ini adalah masjid
jami’ At-Taqwa namun dulu dibangun oleh seorang
tionghoa muslim bernama Tjie Wie Gwan asal campa
atas perintah Sultan Hadirin. Kemudian seiring
bertambahnya zaman masjid ini mulai rapuh kemudian
mengalami pemugaran. Namun, Shinta selalu senang
mendengarkan cerita dari neneknya bahwa ada bagian
masjid yang sama sekali tidak diubah yaitu gapura
paduraksa yang berada di depan masjid. Masjid ini juga
berarsitektur Jawa Hindu dan mengkombinasikannya
dengan gaya timur tengah. Selain gapura yang masih asli
ada saka guru, mustaka cungkup masjid, sumur,pintu
ukir, dan bedug. Begitu Shinta tahu dan mengerti
sejarah masjid yang berada di dekat rumahnya, dia selalu

39
menyampaikan cerita tersebut kepada teman-temannya
dengan alasan mereka akan penasaran dan berkunjung
kerumahnya sekalian melihat masjid wali. Begitu
seringnya Shinta cerita sampai temannya datang pada
saat ada mubeng nganten dan kirab maulid setiap
tahunnya. Selain agar teman-temannya berkunjung juga
memperkenalkan desanya bahwa ada peninggalan masjid
yang masih dijaga tradisinya hingga sekarang.
Terlepas dari bagian-bagian masjid yang ada, Shinta
seperti gadis pada umumnya yang tengah gelisah karena
mendekati hari pernikahannya dengan seorang laki-laki
yang bernama Rama dari tetangga desa. Kebetulan
Shinta menjadi seorang guru disalah satu sekolah
terdekat di desa Loram Kulon. Kehidupan warga sekitar
juga beraktifitas menjadi seorang pengajar dan pedagang.
Sebagian besar penduduk Loram Kulon beragama islam
dan masih memegang teguh ajaran islam serta nilai-nilai
budaya leluhur, salah satunya adalah tradisi mubeng
nganten. Hampir tiap minggu Shinta melihat pasangan
yang melakukan tradisi mubeng nganten ini. Hal tersebut
adalah langkah utama dalam menjalankan ibadah
pernikahan bagi masyarakat desa Loram yang akan

40
menikah, meskipun ada beberapa masyarakat yang tidak
percaya. Begitu juga dia nanti, yang selama ini dia hanya
melihar setelah ini dia juga akan merasakan bagaimana
suasana mubeng nganten yang dilihatnya setiap sepekan.
Disaksikan banyak pasang mata dan menjadi saksi dari
awal pernikahannya. Karena sudah menjadi ciri khas dari
warga Loram menjalankan tradisi mubeng nganten.
Shinta masih memandang sepasang pengantin yang
sedang menjalankan tradisi tersbut, sama sekali
pandangannya tak berubah. Begitu memperhatikan setiap
gerak dari sepasang kekasih itu, ternyata tradisi mubeng
nganten biasanya dipandu oleh seorang juru kunci dari
masjid wali Loram. Tradisi ini dilakukan setelah ijab
qabul, kemudian pengantin harus melewati atau mubengi
sebanyak 7 kali yaitu dari pintu barat dan timur masjid
yang berupa gapura paduraksa yaitu gapura klasik batu
bata merah bercorak Hindu. Hal ini sejalan apa yang
diceritakan neneknya bahwa mubeng nganten ini
dilakukan sebagai permohonan izin kepada Sultan
Hadirin, karena pada zaman dahulu dipercaya bahwa
semasa setiap orang yang akan menikah memohon restu
kepada Sultan Hadirin. Tetapi, Sultan Hadirin tidak

41
selalu di Masjid ini, beliau memerintahkan untuk
mubengi gapura masjid sebagai bentuk simbolis izin atau
restu terhadap beliau. Dari cerita-cerita tersebut
masyarakat Loram percaya bahwa harus melakukan izin
terlebih dahulu sebelum menikah, dengan tradisi mubeng
nganten itu juga diyakini oleh keluarga Shinta ketika
tidak melakukan tradisi mubeng nganten akan terjadi
sesuatu yang tidak terduga. Bahkan dipercaya tidak akan
mendapatkan keturunan, dan tidak sedikit yang tidak
melaksanakn tradisi tersebut tidak terjadi apa-apa. Shinta
juga tidak sabar ingin menunggu hari pernikahannya dan
melaksanakan tradisi mubeng nganten.
Tibalah hari pernikahan itu, dengan langit yang cerah
dan senyum Shinta tampak sumringah menjadikan hari
pernikahan tampak berbahagia, Pernikahan Shinta dan
Rama akan segera dimulai. Shinta tetiba menjadi senam
jantung, diluar terdengar keributan. Namun dia memilih
diam dan didalam benaknya mempertanyakan gerangan
apa yang terjadi. Kemudian dia bertanya kepada ibuknya
yang sedang menenangkan dirinya meski terlihat dengan
jelas bahwa raut muka ibunya panik dan khawatir.

42
“ada apa diluarr Bu? Tampaknya beberapa orang
menaikkan suaranya.” Tanya Shinta.
“tidak apa-apa Nduk, kamu disini saja biar ibu yang
melihat keluar”. Jelas Ibu Dewi.
Ibunya bergegas keluar dan melihat apa yang sebenarnya
terjadi. Ternyata sebelum akad nikah terjadi perdebatan
yang cukup serius antara kedua mempelai. Mereka
memperdebatkan bahwa pihak keluarga laki-laki tidak
ingin melaksanakan tradisi mubeng nganten. Hal itu
membuat bingung dari keluarga Shinta. Perdebatan itu
lebih dari satu jam, keduanya masih kukuh dengan
pendapatnya masing-masing. Hingga pihak KUA
memerintahkan untuk menyegerakan pernikahan, untuk
masalah itu dapat diperbincangkan setelah akad selesai.
Shinta semakin gelisah dengan keadaan seperti itu.
Akhirnya akad nikah pun dilaksanakan. Shinta masih
tampak bingung dan tetap menyesuaikan keadaan yang
terjadi. Setelah akad nikah selesai, Shinta bertanya
kepada suaminya tentang keributan apa yang terjadi
sebelum akad nikah. Kemudian Rama menjelaskan
bahwa dirinya tidak berkenan melakukan tradisi mubeng
nganten dengan alasan tidak ada perintahnya dalam

43
syariat islam. Harapan Shinta seakan ditampar oleh
pernyataan suaminya. akhirnya diputuskan bahwa tidak
ada pelaksanakan tradisi mubeng nganten. Selama
resepsi berjalan tidak ada sesuatu hal yang terjadi, semua
berjalan dengan lancar dengan usaha Shinta
memamerkan senyum kebahagiaan meski ia masih
merasa kesal dengan keputusan suaminya, hal ini sebagai
latihan untuk menghormati suaminya. Hingga setelah
pernikahan di kediaman Shinta selesai, paginya mereka
berdua akan melaksanakan resepsi di kediaman pihak
keluarga laki-laki. Dan masih sama, suasana lancar tanpa
ada halangan suatu apapun.
Setelah sepasar pernikahan mereka, mereka kembali
lagi ke Loram tepatnya di rumahnya Shinta. Sepasar
adalah tasakuran seseorang yang baru menikah dan tidak
boleh berpergian jauh. Kejadian ini berawal pada malam
hari, Rama ingin menggauli istrinya. Layaknya suami
istri yang baru menikah mereka menikmati malam
pertama. Tiba-tiba dalam keadaan yang nikmat-
senikmatnya Rama berada dikamarnya sendiri, tanpa
istri. Dia panik karena tidak mendapati istrinya di
sebelahnya. Rama masih menenangkan dirinya, keluarga

44
dari Rama juga bingug mengapa bisa seperti itu. Begitu
juga istrinya juga panik karena suaminya tiba-tiba tidak
ada di kamarnya. Kemudian pada pagi hari semua
keluarga bermusyawarah lagi untuk mencari solusi dari
keadaan yang telah terjadi. Atas diskusi tersebut saran
dari sesepuh harus melaksanakan mubeng ngant. Hari itu
juga mereka melakukan tradisi tersebut dan dipandu oleh
Pak Ahmad. Acara berjalan dengan lancar tiada
rintangan yang menghadang.
Lima tahun kemudian Shinta dan Rama masih
menjadi buah bibir dikalangan masyarakat sekitar.
Percaya tidak percaya nyatanya ada yang sudah
melaksanakan tradisi itu. Mereka berdua sampai
sekarang belum dikaruniai keturunan dan menjadi
pembicaraan sampai sekarang meski mereka telah
melakukan tradisi mubeng nganten. Tetapi semua
kejadian itu sudah diatur oleh Semesta. Untuk benar atau
tidaknya kembali lagi ke diri sendiri. Tiada syarat
pengganti ketika tidak melaksanakan tradisi mubeng
nganten kata sesepuh. Semua tradisi yang tidak
menyalahi aturan perlu dihormati meski tidak ada

45
didalam syariat. Sesuai dimana bumi dipijak disitu langit
di junjung.

46
Biar Usang Termakan Zaman
Ayuk Yulia Susanti
Waktu terus berjalan, teknologi semakin
berkembang, pemikiran dan gaya hidup juga akan
berubah. Manusia harus mengikuti arus jika tidak ingin
tergerus. Berawal dengan pemikiran sederhana semakin
lama menjadi rumit. Yang diyakini mulai diragukan,
yang dipercayai mulai ditinggalkan. Mementingkan
HAM hingga mengabaikan norma yang berlaku. Atheis,
having sex, lgbt, alcoholic dan semua gaya hidup
kebaratan menjadi standar kewajaran hingga melupakan
dimana dia berpijak.
“Itu hak dia dan hidup dia, kalau lo suka ya dukung,
kalau gak suka cukup diem aja, selagi gak ngerugiin
orang lain.” Sebuah kalimat andalan dan jadi pedoman
mereka.
Seperti sosok Kana Almira. Kana adalah gadis
cantik dari desa yang mengikuti arus jaman. Sekian lama
hidup di kota besar membuatnya terbuai akan gaya hidup
mereka. Dia hidup di kota besar dengan jutaan orang dan
ragam tingkah laku yang pada akhirnya membuatnya
mengubah pemikiran dan pola kehidupnya.

47
“Bu, tabunganku udah cukup buat beli rumah.” Ucap
Kana memulai percakapannya dengan ibunya yang
sedang asik dengan racikan bumbunya.
“Kamu yakin mau punya rumah? Mendingan nanti aja
pas udah nikah bisa bangun bareng suami” Balas ibunya
dengan santai dan masih terfokus dengan kegiatannya.
“Terus, kalau kamu nikah siapa yang nempatin
rumahmu?” Sambungnya.
“Kenapa harus nunggu suami sih Bu? Selagi aku bisa, ya
dilakuin.” Protes Kana kepada ibunya. “Lagian kalau aku
udah nikah bisa disewain, yang penting aku punya hal
dari hasilku sendiri. Kalau udah nikah itu gak terlihat
karena semuanya akan dianggep usaha berdua.” Kana
menatap ibunya penuh harap.
“Terus kamu mau bangun di mana?” Tanya ibunya yang
membuat senyum Kana terbit karena menandakan
sebuah persetujuan.
“Bukan bangun Bu, niatnya sih mau beli di perumahan
yang deket kantor. Kalau bangun takutnya uang Kana
kurang.” Kana memberikan ponselnya ke ibunya untuk
menunjukan perumahan yang dia inginkan. “Di sana
keamanan terjamin, harganya masih standar umum,

48
lingkungannya juga baik soalnya temen kantorku ada
yang tinggal di sana juga.” Jelas Kana lebih rinci.
“Bagus sih, tapi saran Ibu mending kamu bangun rumah
aja, kalau beli biasanya itu pasti rumahnya bertingkat.”
Ibunya mengembalikan ponsel Kana dan kembali
meracik bumbunya yang sempat tertunda.
“Ya Allah, zaman sekarang mana ada rumah yang gak
bertingkat? Ibu gak asik ih.” Oceh Kana dan mendapat
pukulan dari ibunya.
“Aduh! Ini sebuah KDRT wahai Ibu Rosiana.” Keluh
Kana dan mengusap punggungnya yang perih.
“Kamu lupa kalau ada tradisi bahwa kita dilarang punya
rumah yang bertingkat?” Ibunya menatap Kana dengan
tegas yang membuat Kana mendengus kesal. “Kamu tau
kan Na, kalau masih maksa punya rumah bertingkat itu
hidupmu akan susah dan salah satu anggota keluarga
atau kamu bakal ada yang meninggal.”
“Mitos Bu.” Sahut Kana dan berjalan kearah kulkas
untuk mengambil minum.
“Kamu tau Pak Hasan? Dia dulu kaya raya terus bikin
rumah di kota dan bertingkat, mendadak bangkrut.”
Terang ibunya mengingat beberapa tetangganya yang

49
pernah melanggar laragan dari desa. “Itu Mas Akhsan
yang masih muda dan baru punya 2 anak, itu rumahnya
bertingkat dan baru aja selesai dibangun malah dia
mendadak sakit parah.” Sambungnya.
“Malah gibahin orang.” Tegur Kana.
“Ini bukan gibah, tapi ngingetin kamu.” Kilah ibunya
yang membuat Kana menggelengkan kepala.
“Itu tuh takdir Bu, mau sakit, kaya atau miskin itu udah
ada garisnya sendiri. Jangan suka disangkutin ke hal
begituan.” Kana meneguk air minumnya untuk
menetralkan pikirannya.
“Gak percaya omongan orang tua ya sudah. Mending
kamu ke rumah Pakde aja, Ibu kesel lihat kamu.” Ketus
ibunya dan berjalan meninggalkan Kana.
Kana masih tidak mengerti akan pemikiran orang-
orang yang masih mempertahankan kepercayaan yang
menyusahkan. Orang yang masih mempercayai mitos,
primbon dan terlebih weton saat perjodohan sangat aneh.
Mereka meyakini dan memaksa suatu hal yang bisa saja
menyakiti orang lain padahal hanya berpedoman suatu
hal yang tak mendasar. Padahal cukup percaya agama
sudah baik. Pikiran Kana berkelana jauh hingga tak sadar

50
telah sampai di rumah pakdenya yang hanya berjarak 5
rumah.
“Pada ngapain? Covid woy, jaga jarak.” Tanpa salam
Kana menyapa beberapa pemuda yang sibuk dengan
kegiatannya pelataran rumah pakdenya.
“Mau bikin arak-arakan Na. Tumben kamu di rumah?”
sahut seorang pria dalam gerombolan tersebut.
“Covid Lan, jadi kantor pakek sistem WFH (Work From
Home).” Balas Kana pada sosok pria yang bernama
Arlan.
“Masuk dulu ya, mau ketemu sesepuh.” Pamit Kana dan
mendapat anggukan dari gerombolan pemuda tadi.
Pakde Kana adalah seorang perangkat desa dan
juga dianggap sesepuh karena telah mengabdi untuk desa
cukup lama hingga tau seluk-beluk desa. Rumahnya juga
sering dijadikan tempat berkumpul ketika ada suatu acara
di desa. Meskipun pakdenya aktif organisasi dan
mengabdi pada desa, hal itu berbanding terbalik dengan
Kana. Sejak remaja dia memilih sibuk dengan
aktifitasnya sendiri. Kana tidak pernah ikut suatu
organisasi dalam desanya ataupun ikut berpartisipasi
dalam acara yang diadakan dalam desanya.

51
“Assalamualaikum.” Ucap Kana ketika memasuki rumah
pakdenya.
“Waalaikumsalam.” Balas pakdenya yang masih sibuk
dengan kegiatan menulisnya.
“Entar malem ada acara apa De? Kok di depan bikin
arak-arakan?” Kana duduk di samping pakdenya.
“Kan satu suro Na, ya buat acara sedekah bumi.”
Pakdenya melirik Kana sekilas dan melanjutkan
kegiatannya.
“Lagi pandemi begini kok masih ngadain acara sedekah
bumi? Kan gak boleh berkerumun De.” Kana mengambil
dan memakan jajan pasar yang sepertinya akan disajikan
untuk arak-arakan.
“Kalau gak dilakuin nanti banyak kemalangan di desa.
Dan kalau masalah covid, nanti bakal sesuai protokol
Na.” Ucap pakdenya.
“Caranya gimana De? Biasanya kalau ada arak-arakan
warga yang nonton pada rebutan buat ngambil makanan
atau sayuran?” Tanya Kana bingung.
“Nah itu poinnya Na. Khusus untuk pandemi, sedekah
bumi diambil hal pentingnya aja.” Pakdenya
menghentikan kegiatan menulisnya dan menutup

52
bukunya. “Yang biasanya arak-arakan dilakukan rame-
rame dan keliling desa, nanti cuma dilakukan para
pemuda yang di depan dan langsung ke makam Mbah
Kyai buat minta restu terus lanjut ke Sendang buat ngaji
bareng. Buat nasi bungkus, sayuran dan makanan hasil
arak-arakan yang biasanya jadi rebutan, nanti dibagi ke
rumah penduduk secara rata.” Jelas pakdenya secara
detail.
Kana hanya mengangguk tanda mengerti dan
masih sibuk memakan macam-macam jajanan tradisional
yang biasa dijual di pasar untuk arak-arakan nanti.
“Ada apa Na? Tumben mau ke sini, biasanya milih tidur
siang.” Selidik pakdenya dan hanya mendapat tawa
canggung dari Kana.
“Kana mau minta izin sama Pakde.” Kana seorang anak
yatim dan selama ini pakdenya sudah dia anggap sebagai
ayah, apapun yang dia lakukan harus meminta restu
padanya.
“Kana pengen beli rumah dekat dengan kantor Kana,
mumpung masih muda pengen punya benda berharga
hasil kerja Kana sendiri.” Terang Kana dan mendapat
senyuman dari pakdenya.

53
“Ya kalau itu yang kamu mau dan kamu mampu ya
lakuin aja Na. Kalau butuh bantuan ngomong aja sama
Pakde.” Senyum Kana mengembang mendengar ucapan
pakdenya yang sangat berbeda dengan ibunya.
“Semuanya aman kok De, masalahnya cuma Ibu itu...”
Ucapan Kana terpotong.
“Masalahnya bukan Ibu, tapi kamu yang mau beli rumah
bertingkat padahal sudah tahu kalau tradisi kita dilarang
punya rumah bertingkat.” Ucap ibunya yang tiba-tiba
muncul. “Ibu gak ngerti jalan pemikiranmu, padahal
udah tau tradisi kita tapi masih ingin kamu langgar.”
Keluhnya.
“Itu cuma mitos yang gak harus dipercayai Bu.” Kukuh
Kana.
“Hal yang dijadikan tradisi itu emang banyak bukti nyata
Na. Tradisi itu lahir karena leluhur mu itu
memperhatikan tingkah dan peristiwa yang ada, akhirnya
dijadikan patokan agar tidak mengalami hal yang sama.”
Bantah ibunya.
“Kamu itu kelamaan ngikutin pemikiran anak zaman
sekarang, kritis banget jadi orang.” Keluh ibunya.

54
“Bukannya bagus ya kalau punya pemikiran kritis Bu?”
Sahut Kana.
“Iya bagus banget punya pemikiran kritis karena bisa
buat kemajuan, tapi ya gak semua hal bisa kamu kritisi.
Yang seharusnya dilakukan dengan hati, malah dipikir
pakek nalar dan kalau nalarnya gak sampai malah
dianggap tindakan keliru. Kebanyakan berteman sama
yang gak punya Tuhan jadi apapun pakek pemikiran
mulu.” Omel ibunya.
“Kok bawa temen Kana sih Bu? Ibu udah keluar topik
jauh.” Kana menghirup napas panjang untuk menahan
emosinya.
“Ini bukan keluar topik tapi emang masih berhubungan,
tradisi itu mirip agama yang emang berdasar keyakinan.”
Ibunya menatap Kana kesal.
“Tradisi kan gak bisa disamain dengan agama Bu, tradisi
juga ada yang keliru dan kadang jatohnya musyrik.”
Protes Kana.
“Tuh kan benar, semua hal yang gak sesuai dengan
keinginan atau gak mau ngelakuin selalu dianggep
keliru, bilangnya punya pemikiran terbuka atau open
minded padahal aslinya hanya pengen kebebasan dari

55
aturan, lama-lama kamu mirip temanmu itu. Berteman
sama dia ya gak masalah, tapi jangan ngikut pola
pemikirannya.” Kana hanya memalingkan muka saat
mendengar omelan ibunya.
“Dikira Ibu gak tau? Kamu sekarang suka sholat gak
tepat waktu atau kadang melalaikannya kan? Ya karena
pemikiran kamu sekarang itu yang penting sholat,
bukannya sholat itu penting. Kamu lebih mementingkan
hal yang kamu anggep benar, bukan mementingkan hal
yang sebenanya sudah benar. Takutnya nanti kamu milih
keegoisan dan pemikiran kamu daripada keluargamu.”
Kesal ibunya dan berjalan meniggalkan Kana dan
pakdenya.
Ibu Rosiana yang berprofesi sebagai Ibu dari Kana
Almira, mendengus kesal memikirkan anak semata
wayangnya. Semakin anaknya dewasa, semakin jauh dan
susah pula dia mengimbangi dan mengatur anaknya.
Kadang dia berpikir, apa dia pernah salah memakan
sesuatu ketika masih mengandung Kana sehingga
menajadikannya memiliki watak yang keras kepala?
Kana hanya menatap kosong arah depannya.
Sekian lama akhirnya dia dan ibunya berdebat karena

56
perbedaan pendapat, terakhir kalinya saat dia memilih
universitas dan itu terjadi 7 tahun yang lalu. Sebenarnya
dia tidak ingin berdebat dengan ibunya tapi keadaan
yang memaksanya. Hatinya sedikti tercubit oleh
perkataan ibunya.
“Na.” Panggil pakdenya yang hanya mendapat balasan
tatapan sendu dari Kana.
“Pakde tau kamu pengen punya rumah yang kamu
inginkan, tapi kalau udah ada larangan mending kamu
jangan maksa.” Ucap pakdenya dengan lembut mencoba
menenangkan Kana.
“Kamu tau alasan kenapa ada tradisi larangan membuat
rumah bertingkat?” Tanya pakdenya dan mendapat
gelengan dari Kana.
“Dulu itu Mbah Kyai yang nyebar dan ngajarin agama di
desa melihat ketimpangan sosial dan kesombongan bagi
yang punya rumah bertingkat, mereka berasa di atas
langit padahal kita sama menginjak bumi. Maka dari itu
dibuat larangan membuat rumah bertingkat agar kita
setara dengan yang lain.” Kana hanya terdiam
mendengar penjelasan pakdenya.

57
“Tau hubungan sedekah bumi dengan larangan itu?”
Tanya pakdenya dan mendapat gelengan lagi dari Kana.
“Agar masyarakat tau dan yakin bahwa mereka sejajar
satu sama lain dan mengingatkan bahwa yang agung
hanya yang di atas. Sekalian sebagai ucapan rasa syukur
dan berdoa agar terhindar dari kemalangan.” Terang
pakdenya. “Na, agama itu turun dari langit dan tradisi itu
tumbuh di bumi, mereka itu satu dan padu. Kamu gak
bisa misahin dan bandingin seenaknya karena mereka itu
berupa keyakinan bukan pemikiran.” Sambungnya dan
mendapat anggukan dari Kana.
“Lah kenapa Mas Bayu boleh bikin rumah bertingkat?
Padahalkan kita satu keluarga?” Kana menyebut salah
satu sepupunya.
“Kamu tahu ari-ari yang ikut pas bayi lahir? Nah itu
yang menentukan kamu bisa punya rumah bertingkat
atau tidak.” Pakdenya menatap Kana untuk mencoba
menjelaskan. “Semua bergantung di mana ari-ari kamu
di kubur waktu kamu lahir. Ari-ari kamu di kubur masih
di desa ini ya kamu harus mematuhi larangan itu,
sedangkan ari-arinya Bayu di kubur di rumahnya yang

58
bukan di desa ini jadi dia gak ada kewajiban buat
mematuhi larangan itu.” Sambungnya.
“Gak adil banget.” Keluh Kana.
“Ya nanti kalau Kana punya suami dan tinggal di luar
kota terus punya anak, nanti anaknya Kana bisa punya
rumah bertingkat.” Pakdenya mencoba membuat suasana
hati Kana menjadi lebih baik.
“Tapi ingat, di mana bumi diinjak maka di sana langit
dijunjung. Di mana pun Kana tinggal harus mengikuti
aturan di tempat itu. Sama halnya seperti orang luar yang
tinggal di sini. Mereka juga gak boleh buat rumah
bertingkat.” Petuah pakdenya dan mendapat anggukan
mengerti dari Kana.
Pemikiran Kana semakin rumit. Dia ingin
mewujudkan impiannya dan kukuh pada pendiriannya,
tapi satu sisi dia ragu dan takut. Bimbang untuk
mengambil keputusan untuk ke depannya. Dia butuh
waktu dan ruang sendiri untuk memikirkan hal ini.
“Na, diyakini bukan dipikirkan.” Ucap pakdenya ketika
melihat Kana beranjak keluar dari rumahnya dan hanya
mendapat anggukan.

59
Menggali Makna dalam Puasa Alamtaro
Novita Wulandari
Adzan shubuh berkumandang tepat disamping
rumah dengan bangunan kayu jati bercatkan coklat,
berkeramik putih dan juga dihiasi lampu remang-remang
yang menyinari teras. Rumah itu ditinggali oleh keluarga
pak Dudung yang dikenal sebagai keluarga yang taat
beribadah dan ramah terhadap tetangganya. Mendengar
adzan shubuh, pak Dudung bergegas mengambil air
wudhu untuk mengikuti sholat shubuh berjamaah di
mushola sedangkan bu Siti masih memasak di dapur
untuk bekal anaknya kembali ke pesantren. Dewi yang
masih tidur dibangunkan ibunya dengan lembut.
“Nduk bangun mandi sholat terus persiapan ke pondok.
Nanti diantar bapak ya.” Ucap ibu sambil menyentuh
tangan Dewi.
“Nggeh bu.” Jawab Dewi yang masih dengan mata
setengah terbuka.
Dewi bangun dari tempat tidur dan mengambil handuk
lalu berjalan menuju kamar mandi.

60
“Bu, Dewi udah siap atau belum?” tanya bapak sambil
menaruh sajadah di kursi sepulang dari mushola.
“Sudah pak, dia masih di kamar.” Jawab ibu dari dapur.
“Dewi sudah siap pak, berangkat sekarang ya.” Sahut
Dewi dari dalam kamarnya.
“Oh nggeh nduk, bapak manasin motor dulu (sambil
mengambil kunci motor).”
Sambil menunggu bapaknya menyiapkan motor, Dewi
berpamitan dengan ibunya. Lima menit setelahnya pak
Dudung dan Dewi berangkat ke pesantren. Waktu
perjalanan dari rumah Dewi di Kunduran, Blora sampai
Kemadu Sulang Rembang kurang lebih satu jam jika di
tempuh menggunakan kendaraan bermotor, sedangkan
jika dengan bus kurang lebih dua jam.
Pak Dudung dan istrinya sangat senang bisa
menempatkan anaknya di pesantren dari mulai MTs
sampai SMK kelas dua saat ini karena setiap orang pasti
ingin memiliki amal yang cukup untuk bekalnya di
akhirat nanti, seperti halnya seorang santri yang
berkewajiban menuntut ilmu dan hormat pada sang Kyai
atau pengasuh pesantren. Tak jarang orang tua
menitipkan anaknya di pesantren, bukan karena mereka

61
tidak sayang tetapi itu adalah bentuk kasih sayang
mereka. Dengan anak tinggal di pesantren maka orang
tua akan lebih tenang dalam mencari rezeki dan anak
juga akan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu
agama.
Sudah hampir enam tahun Dewi belajar dan tinggal
di Pondok Pesantren Alhamdulillah yang merupakan
sebuah tempat menuntut ilmu yang terletak di Desa
Kemadu, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang.
Pondok ini sudah terkenal hampir seluruh wilayah
nusantara dan memiliki dua tempat yaitu yang pertama
terletak di timur ndalem atau yang biasa disebut dengan
pondok putri dan yang kedua terletak di dekat makam
K.H Ahmad Syahid dan istri pertama beliau (Hj.
Shofiyah Syahid) yaitu yang biasa disebut dengan
pondok putra. Awal dasar terciptanya nama
“Alhamdulillah” karena pondok pesantren tersebut
didirikan oleh K.H Ahmad Syahid bin Sholihun yang
dimana beliau selalu mengucapkan alhamdulillah di
setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi, baik itu hal
baik ataupun hal buruk karena alhamdulillah merupakan

62
termasuk ucapan syukur atas segala pemberian Allah
SWT.
Dewi merupakan anak yang pintar dan juga
takdzim kepada guru dan juga Bu Nyai. Santri- santri
serta alumni pun memiliki sifat kesungguhan dalam
menuntut ilmu dan gigih dalam belajar karena hal seperti
itu sudah diterapkan dari dulu sejak pesantren diasuh
oleh K.H Ahmad Syahid dan Hj. Shofiyah Syahid dan
kini diasuh oleh Hj. Rohmawati Syahid (istri kedua K.H
Ahmad Syahid) bersama kedua anaknya Muhammmad
Luthfi Robi Akbar dan adiknya Syafiqoh Zuhda
Samiyyah Zainabiyi. Dan tugas para santri hanyalah
melanjutkan ajaran para Kyai dengan sungguh-sungguh
dan tetap istiqomah terhadap segala yang diperintahkan
oleh Allah tanpa harus mengurangi kewajiban sebagai
manusia.
Di pesantren, Dewi mendapatkan banyak
pengalaman yang berasal dari berbagai macam sifat dan
karakter manusia. Tetapi dengan adanya perbedaan itu
membuat Dewi semakin nyaman tinggal di pesantren.
Dari mulai susah dan senang ia lalui semua bersama
dengan teman-temannya dan juga orang terdekatnya di

63
pesantren. Setelah sekian lamanya Dewi di pesantren, ia
termasuk kategori anak yang rajin beribadah apalagi
puasa senin kamis selalu ia lakukan sampai-sampai
teman dekatnya yang bernama Fitri kagum dengannya.
“Wi kamu kok rajin banget puasa senin kamis, aku aja
puasa sehari udah lemas dan gamau melakukan apa-apa.”
Kagum Fitri.
“Hahahaha... Fit Fit, kalau tidak dibiasakan ya tidak
akan bisa kuat dong. Baru puasa sehari aja udah lemas
apalagi kalau puasa Alamtaro.” Ujar Dewi sambil
tertawa mengejek.
“Oh iya sebentar lagi bulan Muharram ya, pasti banyak
yang ikut puasa Alamtaro deh dan aku ga puasa sendirian
kalau teman-temanku pada puasa.” Keluh Fitri.
“Iya makanya tahun ini puasa Alamtaro, adanya juga
cuma satu tahun sekali. Kamu aja bisa melaksanakan
amalan bulan Muharram tetapi salah satu amalan yang
paling di khususkan kamu ga mau melakukannya ya
percuma kalau aku rasanya tuh kurang lengkap.” Jelas
Dewi.
Dari dua belas bulan Hijriyah, bulan Muharram di
pesantren Alhamdulillah merupakan bulan yang terdapat

64
banyak amalan yang bisa menjadi ladang pahala dan juga
ikhtiar untuk para santri dan juga orang yang melakukan
amalan pada bulan Muharram. Beberapa amalan yang
bisa dilakukan adalah antara lain bersedekah, berpuasa,
beribadah, mandi pada malam satu Muharram yang
dipercaya akan menambah awet muda, dan memakai
celak agar mata tidak mudah sakit. Pada malam satu
Muharram juga ada ritual mengelilingi pesantren tanpa
menggunakan alas kaki dan menggunakan pakaian putih-
putih yang biasa dilakukan oleh para sesepuh. Hal itu
dilakukan agar mencegah makhluk ghaib menggaggu
para santri dan mengganggu ketenangan pesantren.
Amalan yang menjadi sorotan dalam bulan
Muharram itu adalah berpuasa, yaitu puasa Alamtaro.
Pengalaman Dewi sebagai santri baru, ia selalu bertanya-
tanya apa itu puasa Alamtaro.
“Mbak, puasa Alamtaro itu puasa apa sih mbak?” tanya
Dewi pada ketua kamarnya, mbak Dona
“Puasa Alamtaro itu umumnya biasa disebut dengan
puasa nyireh yang makannya tanpa ada unsur hewani dan
juga bumbu perasa. Tetapi bedanya kalau puasa
Alamtaro ini dilaksanakan selama tiga hari tiga malam

65
dan itu memang hanya ada pada bulan Muharram.”
jawab mbak Dona
“Apa setiap tahunnya mbak Dona selalu melaksanakan
puasa Alamtaro?”
“Iya selama enam tahun disini baru ikut empat kali Wi.
Dulu waktu masih santri baru aku juga belum yakin gitu
bisa melakukannya.”
Saat masih menginjak jenjang pendidikan MTs, Dewi
pun belum yakin bisa melakukan puasa tersebut karena
pikirnya itu membutuhkan niat dan kesungguhan yang
lebih dari sekadar puasa senin kamis. Tetapi setelah
memasuki jenjang pendidikan SMK, Dewi memiliki
banyak teman yang bisa memberikan energi positif
untuknya yang akhirnya membuat Dewi yakin untuk
melaksanakan puasa Alamtaro. Berbeda dengan teman
dekatnya, Fitri yang baru punya niat saat hampir lulus
SMK tetapi Dewi selalu berusaha mengajak kebaikan
pada Fitri meskipun Fitri adalah anak yang susah
dibilangin.
Dewi dan teman santri lainnya melaksanakan puasa
Alamtaro biasanya dimulai dihari selasa dan berakhir
pada hari jumat pagi. Saat sahur malam pertama puasa,

66
mereka memakan makanan yang masih ada unsur hewani
dan juga bumbu perasanya. Lalu untuk sahur-sahur
berikutnya dan berbuka puasa memakan makanan yang
tidak ada unsur hewani dan juga bumbu perasa. Tidak
hanya itu, bagi yang sedang berpuasa juga diwajibkan
membaca “Ayat Khumasah” yang terdapat dalam aurot
pesantren Alhamdulillah sebanyak tiga ratus tiga belas
kali. Ayat khumasah tersebut terdiri dari beberapa ayat
yaitu QS. Al-Baqarah ayat 246, QS. Al-Imran ayat 181,
QS. An-Nisa ayat 77, QS. Al-Maidah ayat 27, dan QS.
Ar-Ra’d ayat 16.
Setiap kata dan kalimat diciptakan untuk memiliki
arti dan juga makna. Ayat khumasah yang merupakan
bagian dari ayat Al-quran pun memiliki arti yang tidak
kalah indah dan tak kalah menakjubkan untuk proses
kehidupan di dunia dan di akhirat. “Allah Maha
Mengetahui setiap hamba-Nya yang zalim serta berjihad
atau berperang untuk membela nama-Nya. Sungguh,
Allah telah mendengar perkataan orang (Yahudi) yang
mengatakan bahwa ‘Allah itu miskin dan mereka
(Yahudi) kaya’ tetapi sesungguhnya Allah tidak akan
menzalimi hamba-hamba-Nya kecuali bagi mereka yang

67
berbuat dan berkata sesukanya maka azab akan menimpa
mereka atas apa yang telah dilakukan. Beribadah yang
menjadi kewajiban umat islam haruslah dilaksanakan
karena tidak perlu ada yang ditakutkan di dunia ini selain
Allah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat
pahala turut berperang) dan kamu tidak akan dizalimi
sedikitpun’. Kemudian berceritalah (Muhammad)
tentang kisah kedua putra Adam (Qabil dan Habil) yang
mempersembahkan kurban maka salah seorang (Habil)
diterima dan (Qabil) tidak diterima, lalu Qabil berkata
pasti akan membunuh Habil maka dia (Habil) berkata
‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang
yang bertakwa’. Sesungguhnya Allah itu Tuhan langit
dan bumi, Maha Pencipta sesuatu, dan Dia Tuhan Yang
Maha Esa, Maha Perkasa, maka tidak pantas bagi
manusia mengambil pelindung-pelindung selain Allah,
padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat
maupun menolak mudarat bagi dirinya sendiri.”
Setelah mempertimbangkan ajakan Dewi beberapa
waktu lalu, akhirnya Fitri mau melaksanakan puasa

68
Alamtaro tahun ini dan Fitri pun menulis ayat khumasah
di kertas agar mudah saat ia bawa untuk dibaca.
“Alhamdulillah temenku yang cantik ini akhirnya mau
puasa juga. Yakin kuat gak?” Tanya Dewi sambil
tersenyum genit.
“Kuat dong in syaa allah.” Tegas Fitri sambil
mengangkat salah satu alisnya.
“Oke yang semangat membaca ayat khumasahnya ya.
Ingat, nanti kamis sore jam tiga harus udah selesai
bacanya loh.” Ingat Dewi pada Fitri
“Iya udah tau cah ayu. Oh iya Wi, maksudnya ayat
khumasah itu apa ya, aku tau artinya aja dari al-quran
tapi tidak tahu maknanya. Tolong jelasin dong.” Rayu
Fitri sambil mengelus tangan Dewi.
“Makna dari ayat khumasah itu bahwasannya Allah
Maha Mengetahui setiap perbuatan makhluk-Nya dan
Allah itu Maha Adil bagi mereka yang bertakwa maka
kesenangan akan menghampiri di dunia serta di akhirat
dan bagi mereka yang zalim maka balasan berupa azab
akan menghampiri sesuai dengan apa yang dilakukan.
Tidak lain tugas manusia di dunia hanyalah untuk

69
beribadah kepada-Nya, menjalankan kewajiban dan
menjauhi larangan-Nya.”
Jelas Dewi.
Adanya Puasa Alamtaro, dapat diyakini santri
ataupun masyarakat sekitar pesantren bahwa setiap yang
menjalankan puasa di bulan Muharram dan lebih
khususnya puasa Alamtaro maka akan menjadi penolong
di akhirat nanti. Penolong yang dimaksud adalah saat
hendak melewati jembatan Sirothol Mustaqim yang amat
sangat sulit karena lebar kecil nya jembatan sesuai
dengan amal manusia di dunia tetapi jika telah melalui
puasa Alamtaro dengan sempurna maka nanti di akhirat
akan mempunyai sayap yang akan membawa seseorang
terbang melewati jembatan tersebut dengan amat
cepatnya.
“Wah, beruntung sekali ya Wi yang bisa melaksanakan
puasa Alamtaro di bulan Muharram.”
“Kenapa tidak, Allah menyediakan berbagai macam
ladang pahala untuk kita dapatkan itu tetapi niatnya saja
yang masih susah.” Jawab Dewi.
“Betul banget Wi, niat itu adalah awal dari sebuah
perbuatan. Apalagi kalau melakukan puasa ini harus

70
benar-benar niat karena banyak banget caranya dari
mulai awal puasa sampai hari terakhir puasa terus juga
harus membaca ayat-ayat aurot sebanyak ratusan.”
“Iya meskipun prosesnya berat nanti semua akan
berbalaskan di akhirat, jadi tidak perlu khawatir yang
terpenting kita sungguh-sungguh dalam
melaksanakannya. Makanya kamu kalau setiap aku ajak
puasa itu mau, jangan banyak alasan inilah itulah (sambil
mencubit tangan Fitri).”
“Astaghfirullah Dewi, ini udah mau gitu kok. Kan biar
nambah pengalaman juga, masak iya di pesantren
Alhamdulillah bertahun-tahun tidak pernah puasa
Alamtaro. Ya aku malu lah sama kamu dan juga temen-
temen apalagi orang tuaku.”
“Nah itu baru Fitri yang pintar.” Puji Dewi sambil
mengacungkan ibu jarinya.
Dapat dikatakan bahwa sempurnanya puasa
Alamtaro tidak hanya harus membaca ayat khumasah
sebanyak tiga ratus tiga belas kali, tetapi juga menahan
rasa kantuk untuk tidur pada hari ketiga setelah berbuka
puasa. Biasanya hari ketiga untuk santri itu adalah hari
kamis karena setelah berbuka puasa itu akan dilanjut

71
puasa lagi sampai tiba waktu adzan shubuh baru berbuka
puasa dan dalam jangka waktu tersebut dilarang tidur
karena dapat menyebabkan ketidaksempurnaan dalam
berpuasa Alamtaro. Sebenarnya jika ingin
melaksanakannya dihari lain juga diperbolehkan, hanya
saja kegiatan santri di hari jumat itu libur maka malam
jumatnya digunakan untuk tidak tidur atau istilahnya
melekan dengan melakukan berbagai macam aktivitas
seperti membaca barjanzi dan juga berbagi cerita.
“Wi, aku ngantuk banget nih.” Ucap Fitri saat selesai
kegiatan barjanzi.
“Sabar Fit, baru juga jam setengah sebelas. Kamu tadi
siang engga tidur ya? Kan udah aku bilangin siang
pulang sekolah buat tidur sebentar biar malamnya engga
ngantuk.”
“Kan kamu tahu sendiri, tadi siang aku masih baca ayat
khumasah masih kurang banyak jadinya ya aku ngejar
target Wi.” Jawab Fitri dengan mata mengantuk.
Dewi dengan usahanya ingin membuat Fitri tidak
mengantuk apalagi ketiduran, mengajak Fitri untuk
mencuci muka.

72
“Udah segar kan sekarang udah engga ngantuk lagi.”
ucap Dewi.
“Iya deh, nanti kalau aku ngantuk kamu harus siap antar
aku buat cuci muka loh ya.” minta Fitri.
Setelah pukul 00.00 WIB adalah saat di mana mata
sangat ingin dipejamkan, namun untuk menghindari hal
itu Dewi, Fitri dan santri lainnya mengadakan acara
masak bersama untuk berbuka puasa di waktu shubuh
nanti. Menu untuk berbuka puasa terakhir sudah boleh
mengandung unsur hewani dan juga bumbu perasa.
Mereka memasak nasi goreng sosis, irisan timun untuk
dijadikan lalapan dan juga lauk kerupuk untuk pelengkap
karena bagi seorang santri yang lebih utama adalah
harganya terjangkau serta proses masaknya tidak sulit
karena santri itu sederhana dan tidak semua yang enak
itu harus mahal yang terpenting hanyalah kebersamaan.
Setelah tiba waktu adzan shubuh, mereka semua
berbuka puasa dengan lahapnya memakan masakan
mereka yang mau bagaimanapun rasanya pastiakan
terasa enak jika dirasakan bersama. Fitri yang makan
seperti orang tidak makan dua haripun merasa menjadi
orang yang paling bahagia.

73
“Eh Fit, sampeyan kayak engga pernah makan seminggu
aja, kelaperan banget.” Ucap salah satu temannya yang
memecahkan suasana serius saat makan yang kemudian
menjadi penuh tawa.
“Fitri engga makan seminggu apa sebulan juga orangnya
gitu-gitu aja.” Balas Dewi yang semakin membuat
teman-temannya tertawa.
Akhirnya bulan Muharram yang penuh makna
telah berganti bulan Safar. Betapa sangat bersyukurnya
Dewi bisa menyempurnakan puasanya tanpa halangan
suatu apapun. Pikirnya, saat ini mungkin ia belum bisa
membahagiakan orang tuanya dengan berbagai materi
tetapi dengan niat dan kesungguhan dalam mencari ilmu
serta amalan di pesantren akan menyelamatkan kedua
orang tuanya di akhirat nanti.

74
Kali Gedhe dan Kerangkeng Lelembut
Kurniawan Annur Putra
Menguak Kali Gedhe yang berada di hulu gunung
Muria sampai ke hilir Demak dengan membentang
sepanjang desa dan kecamatan. Sungai ini begitu indah
dengan pemandangan batu padas dan arus tenang namun
menghanyutkan. Sisi lain dari sungai ini terkenal dengan
mahluk mitos yang astral dan juga dipercaya sesepuh
yang bahwasanya, juga pernah terjadi banjir dahsyat nan
agung kala itu sampai meluluh lantakan gelondongan
bebatuan sampai ke titik tempat lainnya. Dan ketika kita
orang dari luar bantaran Kali Gedhe jika sengaja mandi
maupun bermain tanpa etika dan sopan santun, konon
mendapatkan kesialan di tempat tersebut berupa
kematian . Bukan hanya dari desa damarjati melainkan
juga tempat yang lainnya. 2015 Terdapat nama seorang
siswa dari MA tanpa mengetahui nama sekolah bernama
Takim, Eva, Musrim, Riana, dan Lana. Diwaktu itu
Nampak Takim dan Musrim sedang bersantai di warung
sekolah sambil menikmati es ditiupi kipas sedang
mengamati Musrim yang begitu lucunya menjilati es
batu yang sudah kering airnya.

75
“Musrim ini memang lucu, dingin lembab begini masa
minum es to le? “ Menatap musrim menyeruput es.
“Musrim apa ga takut nanti pilek?“ Kata ibu yang kerja
di warung Mbok Yem.
“Santai aja buk musrim kebal penyakit“ Kata musrim.
“Mbok Yem, Takim di ceritain ibunya Musrim sendiri
mandi air dingin tidak berani koq, katanya takut masuk
angin... “ Ujar Takim sambil tertawa.
“Malah diumbar-umbar aib ku duh.... “
Kemudian Eva, Riana, Datang dari kelas menghampiri
Takim, dan Musrim yang sedang ada di warung Mbok
Yem. Bahwa besok nanti akan diadakan outbound
dadakan yang secepatnya akan diselenggarakan oleh
guru ekstrakurikuler baru, informasi diperoleh dari siswa
lain.
Sebelumnya kelima siswa ini mengikuti
ekstrakurikuler yang sama. Namun siswa dan tidak
mengetahui nama dan karakter guru ekstrakurikuler pada
siswanya seperti apa, dan guru ekstrakurikuler yang dulu
melanjutkan studinya dan berfokus pada pendidikan
yang ditempuhnya Mbok Yem juga paham betul dengan
orangnya. Tempat kegiatan pun masih jadi tanda tanya.

76
“Kring kring kring... “Menadakan bel sekolah berbunyi
waktu beristirahat telah usai.
“Ayo masuk kelas kawan-kawan nanti kalo telat barabe
malahan.” Ujar eva.
“Mbok Yem totalan semuanya berapa mbok sama punya
Musrim? “
“Tujuh ribu kim. “
“Ini Mbok Yem, saya pamit dulu ya Mbok ke kelas. “
“Iya silakan hati-hati gausah grusa-grusu. “
Tiba-tiba kelas tidak jadi masuk melainkan malah
dipulangkan karena semua guru akan melaksanakan
rapat di sekolah lain. Siswa yang mengikuti
ekstrakurikuler pecinta alam akan ada edukasi dari guru
baru ektrakurikuler tersebut, yang diinformasikan dari
tukang kebun sekolah yang datang sekitar jam 10:00.
Kira-kira orang yang mengikuti ekstrakurikuler ini
berjumlah 50 siswa. Namun saat semua siswa menunggu
tidak ada kabar jelas dari guru ekstrakurikuler tersebut
dan satu persatu siswa lain mulai meninggalkan sekolah
dengan perasaan gelisah. Dan ketika itu benar saja tersisa
Eva, Takim, Lana yang menunggu guru ekstrakurikuler
namun tak kunjung datang.

77
“Informasi tidak ada kejelasan! lebih baik aku pulang
daripada menunggu tanpa kepastian.”
“Tungg— kim aku ikut pulang bersamamu “
(tergesa-gesa ingin mengikuti takim pulang).
Lalu mereka pulang dan disusul Eva juga yang sudah
muak telah dibohongi juga.
Hari 5 setelah beribadah, para siswa sudah
berkumpul dan akan berangkat pada titik
pemberangkatan. Disana siswa akan mengendarai 2 truk
engkel yang sudah menunggu di depan sekolah. Dengan
pemberangkatan yang seadanya tidak ada satupun
pembimbing dan pembina seperti guru yang kurang
berpartisipasi waktu itu, dan juga terutama guru
ekstrakurikuler baru. Sebelum pemberangkatan Takim
bersedia menjadi ketua dan penanggung jawab.
Kemudian takim mempimpin doa agar selamat jasmani
dan rohani serta menjaga nama baik sekolahnya. Dan
mirisnya alat yang digunakan sudah tidak layak pakai
seperti: pelampung, tali, helm, sabuk tebing.
“Untuk Memperlancarkan kegiatan pada hari ini tanpa
partisipasinya sekalipun, marilah kita berdoa kepada
Tuhan agar kawan se persaudaraan diberikan

78
keselamatan dan kesehatan untuk melakukan kegiatan
hari ini, berdoa di mulai! “
“Berdoa selesai, untuk membangkitkan gairah semangat
mari bersama-sama saling bekerja sama untuk
membangkitkan sportivitas antar siswa.“ ( Salam
penutup ).
Setelah itu perjalanan dilaksanakan Takim duduk
disamping pak kemudi truk engkel yang 1 sedangkan
Eva, Riana, dan Lana berada di belakang. Ingin
menanyakan secara beretika bahwasanya siapa yang
menjadi ulah dalam kegiatan ini tanpa
sepengetahuannya? Ditemani Musrim yang duduk
didepan.
“Mohon maaf pak boleh mengobrol pak?, kurang afdhol
gitu kalo rasanya kalo bediam saja.”
“Boleh silakan mau mau ngobrol apa, nak? “
“Bapak disuruh Guru ekstrakurikuler baru untuk
menjemput kami pak?...” ucap takim pelan.
“Iya dek, tapi bapak tidak mengetahui identitasnya bapak
hanya menerima telpon darinya.”
(ujar bapaknya secara perlahan).

79
Rasa penasaran yang dimiliki oleh Takim yang
terus memikirkan siapakah guru barunya tersebut. Dan
juga Musrim yang juga melamun mendengar obrolan
tersebut. Berhubung tempatnya sudah dekat takim segera
mungkin memberi kabar Lana yang berada di belakang
untuk menginformasikan pada siswa lainnya.
Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya semua
siswa sampai di tempat yang ditujukan pak sopir di Desa
Damarjati. Kemudian saling bergotong royong
membantu menurunkan barang-barang yang agak kurang
mencukupi yang telah dipersiapkan sendiri dari awal.
Ternyata disana telah disambut warga sekitar yang telah
mengetahui kedatangan kami. Kebingungan itu pun
berlipat ganda dalam pikiran Takim yang terus-terusan
gusar dan merenung. Saat itulah Takim sadar masih
terdapat orang-orang murah senyum didaerah sini.
Kemudian salah satu warga mengajak mereka ke salah
satu rumahnya sebagai tempat perteduhan, dan tak juga
lupa menjalin hubungan baik dengan masyarakat. Ketika
waktu outbound telah dimulai kegiatan utama adalah
panjat tebing bagi siswa yang baru mengikuti ekstra ini.
Setiap regu telah dibagi kelompoknya menjadi beberapa

80
bagian ada yang bertugas mendokomentasi, keamanan,
hubungan masyarakat, konsumsi dan itu semua
merupakan hasil pembentukan dari siswa sendiri. Disisi
lain hanya ada 2 sabuk kala itu. Disamping tebing
terdapat sungai yang masih Asri dan dipenuhi bebatuan
padas. Ketika waktu outbound telah dimulai malahan
siswa ada yang bermain di atas bebatuan sungai sambil
berswafoto, cengegesan,sampai lupa keadaan sekitar.
Waktu itu di sungai terdapat Eva, Musrim, Riana, dan
Lana sedang mengobrol santai dan juga diatas bebatuan.
Nampak kejadian janggal pun terjadi entah dari mana
datangnya air berwarna coklat mengganas menerjang
mereka tersebut. Padahal surya sore masih menyinari.
Langsung saja kejadian itu.
“Awas banjir...” ujar takim dengan lantang yang
mengetahui kejadian tersebut.
“Bertahan semua diatas batu itu! aku akan mencari
pertolongan segera” Ucap takim secara keras dari
“Ya Tuhan. Aku harus menyelamatkan mereka semua...”
ujar Takim berlari kencang menuju desa.
“Pak tolong teman saya terjebak oleh banjir pak.”

81
“Ayo cepet ditulungi! urusan nyowo iki ndang... “ ujar
warga langsung serentak bergegas ke lokasi.
Terlihat seorang warga langsung reflek membantu
mereka saat terkena musibah lalu, warga menolong siswa
yang terjebak diatas bebatuan dengan menggunakan tali
tambang yang dipegang oleh warga sebagai tempat
penyebrangan dari banjir. Diatas batu terdapat 16 siswa
yang masih terjebak di sana termasuk Eva, Riana, Lana
dan siswa lainnya.
Satu persatu siswa diselamatkan dari banjir, Takim
kembali ke sungai dan memberanikan diri dan
menaruhkan nyawanya demi menyelamatkan siswa yang
masih terjebak diatas batu disana. Terlihat banyak sekali
warga juga ikut bersimpati menolong mereka karena
melihat Takim kewalahan menyeberangkan temannya
secara sendirian. Banyaknya warga juga mempercepat
situasi dan kondisi yang terlerai di sungai tersebut.
Namun dalam kejadian ini beberapa mahasiswa harus
mengalami luka maupun terseret air keruh bercampur
lumpur. Karena derasnya arus yang menerjang mereka
menyebabkan beberapa siswa harus berjuang mati
ataupun hidup. Takim terus bergumam merasakan

82
dinginya air yang menyimuti tubuhnya yang mati-matian
menolong siswa sambil terus menyebutkan asma tuhan.
Beberapa saat kemudian tibalah tim SAR yang langsung
bergegas menolong mereka tanpa mempedulikan banjir
itu.
“Ayo cepat! Selamatkan mereka. Mati ataupun hidup
sudah ada yang mengatur kita bergegas cepat kesana.”
Yang berlarian kesana kemari menggunakan alat
perlengkapan tim SAR yang dibawa.
Sesampainya ditempat, banjir yang menghampiri
mereka tiba-tiba berubah seperti mula diikuti suara
sirine. Takim mengira ambulan akan datang malahan
polisi yang datang kesana. Ketika dibuka didalamnya
terdapat seorang tahanan yang ternyata adalah tukang
kebun sekolah. Ia telah mengsbotase semua kegiatan ini
karena.
“Orang yang saya tangkap adalah dalang pembunuhan
guru ekstrakurikuler kalian,yang hilang semenjak 4 hari
lalu. Semua kegiatan yang dilaksanakan tidak ada
benarnya orang ini telah membohongi kalian semua.
Kami dari pihak kepolisian kepada masyarakat desa
maupun siswa meminta maaf sebesar-besarnya apabila

83
baru memecahkan kasus ini. Karena tim penyidik baru
menemukan bukti dan menerima keterangan saksi dalam
kasus ini. Kami akan memberikan hukuman berat untuk
terdakwa. Atas perhatiannnya saya ucapkan terima
kasih.” Ujar bapak polisi yang memberikan informasi
secara aktual.
“Owalah menungso ratoto! polahe isih becik kewan…”
Ujar salah satu warga desa yang memberikan kata pedas
untuk pelaku.
Saat mendengar informasi tersebut semua warga
dan juga siswa dibuat mendidih kepalanya atas perlakuan
keji tukang kebun yang bernama Bono itu, lalu tim SAR
yang datang tersebut langsung mengevakuasi korban
yang hilang terseret arus.
Tiba-tiba salah satu guru dan seorang bapak kepala
sekolah berboncengan datang ke desa damarjati
menggunakan motor bebek menjemput anak didiknya.
Ketika datang siswa nampak mendiam serta trauma dan
juga ada yang luka,membuang jauh-jauh mukanya bak
domba yang kehilangan pengembalanya. Lalu ia
menghampiri siswanya yang sedang berada di rumah
salah satu warga.

84
“Kenapa kedatangan bapak seperti tidak di pedulikan?”
pertanyaan kepala sekolah.
“Keadaan sedang seperti ini pak,lagian kenapa bapak
baru datang? Lihatlah kawan-kawan pak sedang
kesakitan hatinya dan tenagannya…” Takim yang
menangis kala itu.
“Lancang ya kamu!”
“Bapak memang seperti Bono”
“plakkk” (menampar keras Takim).
“Sudah-sudah tidak usah membuat keributan.” Datang
nenek tua melerai mereka.
Kemudian pertikain itu dihentikan oleh
nenek,menjelaskan kejadian sebenarnya bahwa yang
menjadi dalang dari semua ini adalah tukang kebun.
Ketika itu rasanya langsung tabu. Bahwa yang dimaksud
lelembut memang ada yaitu sifat manusia. Bapak kepala
sekolah langsung meminta maaf kepada Takim karena
terlalu berkeras kepala menyalahkannya waktu itu.
“Maafkan bapak ya Takim.” (lalu Takim memaafkan
bapak sekolah dengan menanggukkan kepalanya).

85
“Tetep ngati lan was-was mbek Kali Gedhe iki wes akeh
korbane rasah baleni maneh ya “Nenek memberi
peringatan kepada orang luar itu.
“Nggeh mbah, saya kapok mbah”
Dan waktu itu tim SAR menemukan teman Takim
sejauh 12 KM, namun keadaanya sudah tidak bernyawa.
Semua nampak berduka dan kehilangan orang yang
mereka sayang. Setelah kejadian itu mereka tidak berani
kembali lagi disana karena peringatan yang diberikan
nenek. Ketika mengadakan kegiatan haruslah tetap
berhati-hati dan selalu menjaga etika maupun sopan
santun.

86
Larangan Dalam Pernikahan
Heru Gunawan
Matahari mulai menyingsing dari ufuk timur. Para
petani dengan cangkul di pundaknya mulai menyusuri
jalan untuk pergi ke sawah. Suara burung saling
bersahutan dan gemericik air menambah suasana yang
sejuk di pedesaan pada saat pagi hari.
Seperti biasanya, Hartini selalu menyiapkan sarapan
pagi bagi suami dan anaknya, Aldi. Aldi adalah anak
semata wayang dari pasangan Rusdi dan Hartini, tak
heran bila dia sangat disayangi dan bahkan selalu
dimanjakan walau usianya sudah menginjak remaja.
Setiap paginya, Aldi dibangunkan untuk berangkat
sekolah.
Aldi berangkat sekolah dengan motor barunya yang
baru dibelikan ayahnya sebulan lalu. Aldi selalu
mengampiri Zahro yang tidak lain adalah pacarnya.
Keduanya sudah menjalin asmara sejak SMP hingga
SMA yang sebentar lagi lulus. Mereka sudah akrab antar
keluarganya karena sering bermain ke rumah masing-
masing.

87
Suatu ketika, Zahro menantang Aldi untuk
mewujudkan komitmennya, yaitu melamarnya. Aldi
merasa tergugah hatinya dia sepulang sekolah langsung
bertemu ibunya lantaran sang ayah masih di sawah. Aldi
menceritakan bahwa Zahro ingin dilamar setelah lulus
SMA kelak. Sang ibu merasa tidak mempunyai
wewenang, maka ia akan membicarakan ke suaminya
sepulang dari sawah nanti.
Matahari sudah berada di puncaknya dan panas
mulai menyengat kulit, Rusdi segera pulang dan seperti
biasanya sebelum sampai rumah ia selalu mandi di
sungai dekat rumahnya. Sampai dirumah ia menuju meja
makan setelah berganti pakaian. Hartini mendekati untuk
menyampaikan keinginan anaknya untuk melamar sang
pujaan hatinya.
“Pak, anakmu Aldi ingin melamar Zahro setelah
lulus SMA nanti” ucap Hartini sambil menatap sang
suami.
“Hah? Memangnya Aldi sudah menimbang dan
memikirkan itu matang-matang?” tanya Rusdi.
“Katanya sudah, tapi apakah nanti diterima ibunya
Zahro?” Hartini merasa khawatir.

88
“Dimana Aldi? suruh kesini sebentar” Perintah
Rusdi.
“Di kamarnya Pak” ucap Hartini sambil jalan
menuju kamar Aldi.
Hartini memanggil Aldi untuk menghadap ayahnya.
Kemudian Aldi bercerita tentang hubungannya dengan
Zahro maupun keluarganya di depan Rusdi. Aldi
bercerita kepada Ayahnya tentang keinginannya melamar
Zahro. Sang Ayah tidak memberikan jawaban merestui
atau menolak, malahan dia menyuruh Aldi menamatkan
SMA dahulu lalu mencari kerja, setelah itu baru
diperbolehkan melamar pujuaan hatinya.
Masa kelulusanpun datang, Aldi dinyatakan lulus
SMA. Dia mencari kerja kesana kemari demi mencari
uang untuk kebutuhan lamarannya. Akhirnya Aldi
mendapat pekerjaan sebagai karyawan swasta di pabrik.
Penghasilannya sudah standar UMR, selayaknya sudah
cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya kelak.
Aldi dengan bangga hati setelah mendapat gaji
pertamnya dia membeli kalung dan cincin buat
lamarannya nanti.

89
Adat di desa, sebelum pernikahan berlangsung ada
prosesi khusus yaitu pencocokan berdasarkan weton.
Datanglah Rusdi dan Aldi kerumah sesepuh adat desa
yang bernama mbah Ronggo. Rusdi datang untuk
meminta penjelasan tentang hubungan yang akan dijalin
anaknya.
“Mbah Ronggo, kulo badhe nyuwun pirsa babakan
anak kulo ingkang badhe mengku garwa.” Ucap Rusdi.
“Weton anakmu opo” tanya Mbah Ronggo.
“Setu Legi mbah” Jawab Rusdi
“Lah pacare weton e opo?” Mbah Ronggo kembali
bertanya.
“Rabu Paing” Jawab Rusdi.
Mbah Ronggo kemudian menghitung kecocokan
jodoh dengan membaca primbon dihadapannya sebagai
pedoman. Setelah beberapa menit, Mbah Ronggo
memberi jawaban atas kecocokan jodoh Aldi dan Zahro.
Mbah Ronggo menjelasakan kalau weton mereka berdua
serasi dan cocok bila menjalin keluarga.
Mendengar jawaban itu, Aldi hatinya mulai bahagia
terlihat dari raut wajahnya dan senyuman kecil yang
tergambar di wajahnya. Mbah Ronggo juga menghitung

90
penjodohan dari segi trah atau keturunan juga. Mbah
Ronggo sudah mengetahui bahwa Rusdi itu masih ada
hubungan darah dengan trah Joko Ganjur yang tak lain
adalah leluhurnya.
Mbah Ronggo bertanya kepada Rusdi calon besannya
itu siapa. Rusdi pun menjelaskan kalau bakal besannya
adalah Purnomo dan Winarti. Mbah Ronggo
memejamkan matanya untuk menelusuri garis keturunan
dari keluarga Bapak Purnomo. Sekian lama memejamkan
mata, Mbah Ronggo kemudian membuka matanya
perlahan sambil menggelengkan kepalanya.
Melihat gestur dan raut wajah dari Mbah Ronggo,
Aldi serasa lemas dan cemas menunggu keputusan dari
sesepuh desa tersebut. Mbah Ronggo kemudian
menjelaskan ternyata Purnomo itu masih keturunan dari
Nyai Sindhu, yang menurut adat di desa tersebut
pernikahan antara kedua trah besar yaitu Nyai Sindhu
dan Ki Proyo sangat dilarang dan apabila dilanggar akan
menemui bahaya dalam menjalani kekeluargann kelak.
“Nang, Aldi. Wurungno niatmu yo Le. Calon bojomu
iku rabiso mok rabi” Jawaban dari Mbah Ronggo.

91
“Alasane pripun Mbah” tanya Aldi dengan raut
wajah sedih.
“Awakmu urip nek desa kene, kudune manut
pranatan adat kene Le. Mengkene sejarahe nang” Jawab
Mbah Ronggo menenangkan hati Aldi.
Dahulu kala, era Majapahit di desa setempat hidup
dua tokoh hebat yaitu Nyai Sindhu dan Ki Proyo. Nyai
Sindhu adalah seorang petani sedangkan Ki Proyo
(Eyang Ganjur) adalah petani juga, namun dia memiliki
puluhan kerbau peliharaan. Setiap hari kerbau Ki Proyo
itu digiring menuju persawahan untuk mekan rerumputan
yang ada disana.
Suatu ketika, Ki Proyo menggiring kerbaunya ke
dekat area persawahan milik Nyai Sindhu. Namun, Ki
Proyo tidak melihat kalau kerbaunya masuk ke sawah
milik Nyai Sindhu dan memakan padinya dikarenakan ia
kecapekan sehingga tetidur pulas dibawah pohon. Dari
kejauhan datanglah Nyai Sindhu berlari mendekati Ki
Proyo lantaran melihat kalau kerbaunya memakan padi
dan tidak di larang malahan dibiarkan begitu saja.
Merasa tidak terima tanduran padinya dimakan
kerbau lalu dia mencari Joko Ganjur selaku pemiliknya.

92
Joko Ganjur dimarahi oleh Dewi Sindhu. Namun, dia
berkilah bahwa kerbau miliknya tidak bersalah karena
padi yang ada di persawahan milik Dewi Sindhu tidak
dipagari sehingga kerbaunya memakan. Terjadilah
perselisihan pendapat, Dewi Sindhu membantah bahwa
tidak mungkin sawah seluas itu dipagari. Sedangkan Ki
Proyo juga beralasan bahwa kerbau tidak salah karena
dia tidak mengetahui itu padinya milik siapa. Sangat
panas dalam adu mulut bahkan hingga bertengkar,
karena sama saktinya pertengkaran itu sangat ramai
sehingga sampai terdengar ke telinga Kertajaya. Ketajaya
adalah sesepuh di desa yang merupakan leluhur Mbah
Ronggo.
Ketajaya berusaha memisah dan menengahi
perdebatan itu. Pada akhirnya disepakati bahwa sawah
memang tidak dipagari secara wujud besi atau kawat.
Mereka bersepakat bahwa sawah atau tanaman padi yang
sudah diberi Lempog (semacam lentog) pada keempat
sudutnya maka tidak diperbolehkan dimakan kerbau
milik Joko Ganjur yang merupakan jelmaan dari tikus.
Maka dari kesepakatan itu, lempog sebagai pagar dari
sawah itu. Joko Ganjur dan Dewi Sindhu berdamai tetapi

93
mereka tetap berkukuh tidak akan keturunannya
berbesanan sampai kapanpun.

Mendengar cerita dari Mbah Ronggo, Aldi mulai bisa


percaya dan perlahan mulai sadar bahwa hubungannya
dengan Zahro mau atau tidak harus ia batalkan. Aldi
pulang dan merenungkan di kamar sendirian sambil
meneteskan air matanya karena cinta yang ia jalin selama
itu harus dibatalkan. Setiap ingan senyuman Zahro, Aldi
merasa tersayat hatinya.
Suatu ketika, Aldi sangat tidak bisa menahan rasa
sedihnya. Hingga dia hampir mengakhiri hidupnya di
sungai dekat rumahnya. Nasib baik masih berpihak ke
Aldi. Tuhan mengirimkan malaikat penolong yaitu Nila,
teman sekelas dari Zahro. Nila menarik pundak Aldi dari
belakang sehingga Aldi tidak jadi bunuh diri. Kemudian
Nila bertanya tentang masalah yang dialami sehingga
sampai ingin bunuh diri.
Aldi bercerita kepada Nila tentang kisah kasihnya
yang kandas gegara adat dan budaya di desa itu. Nila
merasa ikut sedih mendengar curahan hati Aldi. Nila
mengantarkan Aldi bertemu Zahro supaya dia melakukan

94
perpisahan yang baik dan tidak merugikan kedua belah
pihak. Setelah bertemu Zahro, Zahro menangis
mendengarkan cerita dari Aldi. Akhirnya mereka
bersepakat bahwa cinta tidak harus memiliki dan
hubungan silaturahmi kedua belah pihak tetap terjalin
sampai kapanpun walaupun tidak jadi melangsungkan
pernikahan.
Waktu berjalan lama, Zahro dan Aldi telah berpisah
dengan kehidupan dan kesibukan masing-masing. Zahro
menemukan seorang pria pengganti Aldi dan telah
melangsungkan pernikahan. Aldi pun diberi undangan
dan dia menghadiri bersama ayah dan ibunya. Setahun
kemudian, Aldi juga menikah dengan perempuan yang
disayangi. Mereka saling melepas rindu, cinta mereka
kandas gegara adat di desanya. Mereka sadar bahwa
mereka tidak dapat bersandingan di pelaminan namun
kebahagiaan mereka tetap teringat dalam memori
ingatannya.

95
Bulan Zulhijjah Pada Tradisi Demak
Moh Rouful Khakim
Bising suara kendaraan dari jalan raya, angin yang
berhembus dengan tenang, pedagang kaki lima yang
mulai bersandiwara, dan elemen elemen pelengkap
lainnya menjadikan suasana sore nampak sempurna. Dia
adalah salah satu makhluk penghirup oksigen yang
bernama manusia. Ardhiona Mahiswara adalah namanya,
teman-temanknya kerap memanggilnya dengan nama
Dhiona. Seperti hari-hari sebelumnya sore ini Dhiona
menyibukkan diri dengan membaca. Yap, membaca
menjadi aktivitas rutin nya sekarang ini. Walau ia masih
membaca novel ringan tetapi itu sudah bisa untuk
mengisi waktu luang nya. Ia tinggal di kota batik di sana
ia hidup dengan neneknya, kedua orangtuanya bekerja di
luar Jawa sedari dia masih kecil, tetapi beliau rutin
mengunjunginya sekurang-kurangnya 3 bulan sekali.
Setelah lulus dari SMA tahun lalu ia aktif di sanggar seni
tari di daerahnya. Sebenarnya ia kurang menikmatinya
tetapi ia tak punya sebuah alasan untuk lepas dari itu
akhirnya sampai sekarang ia aktif di sanggar tari

96
tersebut. Suara telepon yang berdering membuat Dhiona
menghela nafas panjang dan menghembuskannya.
"Assalamualaikum Dhiona lagi di mana nih?"
"Waalaikumsalam mas Tyo lagi di luar, ada apa mas?"
"Ini tadi pak Nur ngabarin kalau satu minggu lagi kita
ngisi tari di Demak dan aku disuruh ngabarin kamu
gimana?"
"Iya mas nanti aku kabarin lagi, harus izin sama nenek
dulu."
"Siap Dhiona, semangat ya baca bukunya"
"Apaan sih mas baca buku pake disemangatin."
"Hehehe ya udah assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Setelah menutup telepon ia beranjak pergi dari
tempat nyaman nya itu, dan pulang guna meminta izin
kepada neneknya. Setelah kiranya sang nenek memberi
izin diona mencari tahu lebih lengkap tentang kota
Demak.
Selesai membaca di beberapa artikel Dhiona
menyimpulkan bahwa Demak merupakan kabupaten di
Jawa tengah yang terletak sekitar 25 km di sebelah timur
Semarang. Demak kerap dijuluki sebagai kota wali sebab

97
pada zaman dahulu lokasi Demak yang sekarang ini lah
menjadi titik berkumpulnya para wali yaitu wali songo,
dan membangun masjid yang biasa kita kenal dengan
masjid agung Demak. Demak juga dikenal sebagai kota
belimbing, kota jambu, serta kota beramal. Tentang
wisata di Demak sendiri dominan pada wisata alam yaitu
pantai ada sekitar lima pantai di wilayah Demak yang
masih sering dikunjungi warga untuk liburan. Selain
pantai Demak juga dikenal dengan wisata religi nya yaitu
pada makam sunan Kalijaga di kadilangu dan makam
Raden patah di Bintaro.
Dhiona, Tyo, Pak Nur, Ajeng, Kartika, dan Agus
menuju ke Demak dengan mobil pak Nur. dalam
perjalanan mereka asyik membicarakan budaya Demak
dan wisata di sana.
"BTW nanti malam di Demak ada pasar malam loh"
Celetuk si Tyo
"Wah pas banget, harus ke sana nih, boleh kan pak Nur?"
"Tapi ingat jangan capek jangan boros dan harus.."
Belum menyelesaikan perkataannya itu sang anak-anak
kompak menyambutnya
"Sopan.."kata mereka serentak.

98
Waktu menunjukkan pukul 3 sore setelah tibanya
mereka di tempat istirahat Dhiona yang kelelahan itu pun
secepatnya mencari tempat ternyaman untung sejenak
merebahkan badannya itu. Sementara yang lain sibuk
dengan urusannya sendiri.
"Buruan mandi Dhin atau lu gak ikut ke pasar malam
nih?"
Celetuk Ajeng yang sedang mengeringkan rambutnya.
"Iya nih si Dhiona dari tadi dibangunin susah banget"
Saut sih Kartika yang sudah siap untuk pergi.
Dengan keadaan yang masih bingung karena baru
tersadar dari tidurnya Dhiona menuju ke kamar mandi,
dan ia pun masih sulit membuka mata karena ngantuknya
itu. Setelah semua siap pak nur pun menjalankan
mobilnya itu untuk mengantar mereka ke pasar malam.
Sesampainya di tembiring (lokasi pasar malam) kelima
orang tersebut Dhiona, Tyo, Ajeng, Kartika, dan Agus,
mencoba satu persatu wahana yang ada di sana.
Sedangkan pak Nur lebih memilih menikmati beberapa
makanan disana.
"Ayo naik kora-kora"
"Yang lain aja dong Gus agak ngeri sepertinya"

99
"Halah cupu kamu jeng yang lain aja berani kok"
"Heh, siapa yang takut aku mah ayo-ayo aja"
Dengan perasaan takut tapi malu mengakuinya
Ajeng dan semua temannya mengikuti ajakan Agus.
Terlihat semua nampak menikmati wahana itu terkecuali
Ajeng, ia menjerit histeris dan berteriak tak jelas entah
apa tapi justru hal itu yang membuat semua penikmat
wahana itu merasa lebih terhibur akibat reaksi Ajeng.
“Giliran kerumah hantu yuk”
Ajakan Kartika kepada teman-temannya.
“Mbok ya sing lebih serem lagi, setan asli aja ku sikat
apalagi palsu.”
Saut agus yang meremehkan.
“Agus! Kebiasaan kamu, di jaga tuh mulut.” Tegur
Dhiona.
Setelah kiranya sudah dapat tiket untuk masuk
kedalam rumah hantu, mereka mengantri untuk masuk.
Merek masuk dan orang yang paling histeris ketakutan
adalah Ajeng, sampai setelah keluar pun Ajeng masih
terngiang-ngiang suasana di dalam wahana yang ia
masuki tadi. Malam itu menjadikan malam mereka
nampak sempurna, bersenang senang dan menikmati

100
keramaian. Mereka sangat senang malam itu dan apapun
yang terjadi malam itu membuat mereka tertawa bahagia.
**
“Grebeg Besar Demak adalah perayaan yang
dilakukan setahun sekali pada bulan Zulhijah oleh
masyarakat Muslim di Masjid Agung Demak. Bentuk
kegiatannya adalah ziarah ke makam para sultan
Kesultanan Demak dan ke makam Sunan Kalijaga. Pada
malam hari menjelang tanggal 10 Zulhijah, diadakan
acara Tumpeng Sanga dan di Kadilangu diadakan
Selamatan Ancakan. Pagi hari pada tanggal 10
Dzulhijah, masyarakat melaksanakan salat Idhul Adha
di Masjid Agung Demak. Setelah itu, dilakukan ritual
utama dalam Grebeg Besar Demak berupa penyucian
benda pusaka yang disebut dengan uborampe. Grebeg
Besar Demak digunakan sebagai upacara adat, hiburan,
media komunikasi, penyatuan nilai-nilai
kemasyarakatan dan objek pariwisata. Grebeg Besar
dimulai dengan memasuki halaman Masjid Agung
Demak, kemudian dilanjutkan menuju makam para
sultan Kesultanan Demak dan makam Sunan Kalijaga di
Demak. Para peziarah akan diberikan informasi tentang

101
tata cara berziarah oleh pemandu dan diminta bersuci
terlebih dahulu. Kegiatan ziarah dimulai pada tanggal 1
Zulhijah setelah salat asar. Pada malam hari diadakan
pasar malam sebelum perayaan Idul Adha. Grebeg
Besar merupakan salah satu tradisi tahunan di Kota
Demak, Jawa Tengah. Grebeg Besar biasanya dilakukan
setiap tanggal 10 Dzulhijjah atau Idul Adha. Pada
zaman dahulu, acara Grebeg Besar ditujukan untuk
mengenalkan agama Islam. Adanya acara ini, Wali
Songo bisa lebih mendekatkan diri kepada masyarakat
Demak. Dikutip dari situs Dinas Pariwisata Kabupaten
Demak, tradisi Grebeg Besar biasanya terdiri atas
beberapa acara, yakni: Melakukan ziarah ke makam
Sultan-Sultan Demak serta Sunan Kalijaga Adanya
acara pasar malam rakyat Selametan Tumpeng Songo
Kirab budaya Penjamasan Pusaka Peninggalan Sunan
Kalijaga. Tradisi Grebeg Besar tidak dapat dipisahkan
dari peran Wali Songo dalam menyebarkan agama
Islam.”
Pagi telah tiba, nampaknya semalam adalah malam
yang sangat melelahkan, dan belum ada yang terbangun
sama sekali terkecuali Dhiona. sembari menunggu

102
teman-teman bangun diona bergegas mandi dan bersantai
di teras kamar. Didampingi dengan teh hangat dan buku
yang ia baca Dhiona terlarut dengan suasana pagi itu.
"Naaa Dhiona, ayo turun, udah pada siap nih"
Ketika semuanya sudah siap dan sudah berada di
dalam mobil Tyo baru ingat bahwa ada sesuatu yang
tertinggal di kamarnya mau tak mau yang lain harus
menunggu Tyo mengambilnya, sembari menunggu pak
Nur menyetir mobilnya tetapi sudah beberapa kali beliau
mencoba namun tak pernah berhasil.
"Coba cek akinya pak"
Celetuk Tio yang baru saja kembali setelah mengecek
aki dan ternyata bukan itu sumber masalahnya. Sudah
hampir 1 jam mereka terjebak dalam situasi itu.
"Aduh gimana nih nanti kita telat"
"Iya nih mendingan kita tidur aja gimana"
"Eh ngawur kamu Kar. yuk coba sekali lagi pak nur"
Saut Dhiona yang seakan yakin bahwa percobaan
kali ini pasti bisa. benar saja setelah pak nur
menghidupkan mobil nya langsung menyala dan sontak
semuanya mengucapkan syukur.

103
Benar saja sesampainya di Simpang enam Demak
lokasi itu sudah ramai dipadati warga, mereka bingung
mencari spot yang pas untuk menonton kirab budaya
grebeg besar. Belum juga acara dimulai Dhiona meminta
izin kepada pak Nur untuk ke belakang mencari kamar
mandi. Akhirnya Dhiona memisah dari rombongannya
dan bergegas ke kamar mandi. Setelah Dhiona selesai
berurusan dengan kamar mandi ia kembali lagi ke
rombongannya tadi tetapi saat Dhiona sampai di lokasi
rombongannya tadi ia tidak menemukan teman-
temannya, akhirnya Dhiona berkeliling untuk mencari
mereka. Dhiona juga berusaha menghubungi teman-
temannya tetapi tak ada satupun temannya yang dapat
dihubungi. Dhiona kesal dan kelelahan akhirnya ia
memutuskan untuk ke serambi masjid. Sedangkan kirab
budaya grebeg besar sedang berlangsung dan Dhiona
dengan sengaja melewatkan perayaan tersebut. Ia malah
memilih untuk menikmati beberapa makanan dan
minuman di serambi masjid. Tak sengaja pula ia tertidur
di sana. Bak seorang yang dikerja rodikan ia nampak
kelelahan.

104
Bunyi nyaring yang keluar dari hp Dhiona
mengakibatkan perempuan itu terbangun dari tidurnya,
Dhiona pun dengan cepat merespon suara tersebut.
"Dhiooonaaa, kamu dimana, kita cariin ga ketemu
ketemu, pamitnya ke belakang sebentar eh sampai
acaranya selesai ga kembali juga!!!"
"Heh, kalian yang kemana, udah tak cariin keliling ga
ketemu, ku telfon juga gaada yang bisa, yaudah ku
tunggu di serambi masjid"
"Apaan wong dari awal kita disini, yaudah yaudah kita
mau kesana, tunggu disana!!"
"Iya, di sebelah barat"
Setelah menunggu beberapa saat mereka pun datang
menemui Dhiona.
"Kalian tadi kemana? Tak cariin ga ketemu"
Tanya Dhiona yang masih kesal
"Wong kita dari awal sampe akhir di tempat yang sama
kok"
"Gaada kaar, ku hubungi kalian juga ga bisa, sebel
banget deh kek gini"
"Serius dari tadi kita di tempat itu, tanya aja sama pak
nur"

105
"Sudah sudah, mending kita cari makan aja yok"
Ajakan pak nur yang bisa mengakhiri argumen mereka.
Setelah berhasil menyelesaikan urusannya dengan
makanan mereka bergegas kembali ke penginapan
karena nanti malam mereka beraksi dengan tari tari khas
yang dibawakan oleh mereka. Waktu menunjukkan
pukul 7 malam, mereka sudah siap dan sudah berada di
belakang panggung mereka mulai bersiap-siap make up,
dan menyiapkan lainnya. Ini saatnya mereka beraksi
menari di atas panggung yang disaksikan oleh beberapa
pejabat dan bupati Demak. Pertunjukan yang sangat
sempurna, pak Nur sibuk dengan urusan cahaya dan
audio, dan yang lainnya menjadi penari di atas
panggung. Setelah selesai mengisi acara mereka di ajak
tokoh masyarakat mengunjungi Madjid agung Demak,
mereka di ceritakan sejarah, peninggalan-peninggalan
sejarah, dan hal lain yang berkaitan tentang Masjid
tersebut. Selesai dengan itu semua mereka langsung
menuju ke lokasi penginapan guna untuk beristirahat,
karena masih ada salah satu tempat lagi yang belum di
kunjungi mereka, dan besok adalah hari terakhir mereka
di Demak. Kadilangu tempat makam Sunan Kalijaga

106
adalah tujuan mereka, karena menurut Pak Nur, Demak
dan Ziarah adalah kedua unsur yang saling melengkapi,
jadi sebisa mungkin jika Pak Nur ke Demak maka dia
harus pergi juga ke Makam Kadilangu.
“Makam dan Masjid Kadilangu merupakan
peninggalan dari Sunan Kalijaga salah satu dari Wali
Songgo yang menyebarkan agama Islam di Indonesia
khususnya Jawa. Bangunan-bangunan berupa masjid
dan makam Kadilangu merupakan bukti dari
keberadaan Sunan Kalijaga dan pengaruhnya di Demak.
Bangunan masjid dan makam Kadilangu
menunjukkan ciri khas bangunan pada masa itu.
Bangunan masjid berbentuk joglo dengan atap tumpang
(susun) 3 seperti halnya asjid-masjid kuno di Jawa
lainnya. Bangunan makam dan masjid yang berada
dalam satu kompleks juga merupakan ciri khas pola tata
letak masjid dan makam yang ada di Jawa saat itu.
Bentuk-bentuk jirat yang ada di makam
merupakan bentuk jirat kuno dengan beberapa variasi
antara lain bentuk gada, kurawal, dan bentuk matahari.
Makam-makam disusun dalam beberapa halaman yang
disekat tembok juga menunjukkan ciri khas makam raja

107
atau pejabat dimana makam utama terletak di halaman
paling belakang. Di Kadilangu ini, makam Sunan
Kalijaga sebagai makam utama sehingga terletak
dihalaman belakang. Untuk masuk ke makam Sunan
Kalijaga harus melewati tiga pintu gerbang.
Kedudukan Sunan Kalijaga di Kadilangu adalah
sebagai kepala daerah perdikan yang menguasai
beberapa desa di sekitar Kadilangu dan memiliki
kekuasaan penuh terhadap daerah tersebut untuk
mengaturnya. Mengingat Kadilangu merupakan daerah
khusus yang memang diperuntukkan untuk Sunan
Kalijaga dan kemudian dilanjutkan oleh keturunannya,
maka keberadaan makam dan masjid ini memilki arti
khusus bagi Kadilangu dan bukti pengaruh Sunan
Kalijaga salah satu walisongo yang sangat dihormati
dari dulu sampai sekarang.”
Pagi itu agak sedikit mendung Dhiona dan teman-
temannya sudah sampai di Kadilangu untuk berziarah ke
makam sunan kali jaga. Sesampainya di tempat ziarah
langsung saja Pak Nur memimpin doa dan yang lainnya
pun mengikuti jejaknya. Setelah selesai mereka
berbelanja oleh-oleh di kawasan makam tersebut, sebeb

108
memang banyak adanya pedagang souvenir disana. Tak
lupa mereka membeli jambu dan belimbing khas Demak.

109
Merelakan Takdir

Maeta Nilasari

Pagi itu Aku bangun kesiangan karena semalam


bergadang menonton anime springsatu season.Parahnya
lagi, pagiitu juga aku ada kelas Pak Leri Achmad, dosen
paling disiplin dan killer sekampus.Dengan napas yang
masih putus nyambung Aku berlari menuju ruang kelas.

Gubrakkkk! Aku tersandung tepat di depan pintu masuk


kelas. Cepat-cepat aku berdiri menghadap Pak Leri
sambil merapikan baju yang berantakan akibat terjatuh.

"Oi oi oi, ngapain kamu disitu? Keluar! Kamu telat 15


detik" ujar Pak Leri.

"Yaa Allah, Pak. Belum ada satu menit, Pak. Izinkan


saya ikut kelas Bapak ya?" pintaku dengan nada lirih
penuh harapan.

Pak Leri hanya menggeleng-gelengkan kepala, tanda


tidak mengindahkan permintaanku.

***

110
"Woilahhh!Cemberut tuh muka, kenapa?"Armin
mengagetkanku dari belakang.Hingga es yang ku minum
hampir tumpah.

Armin Fahriz adalah pacarku.Kami sudah berpacaran


sejak SMA hingga sekarang semester 2. Kebetulan Aku
dan Armin kuliah di kampus yang sama, tapi berbeda
jurusan.

"Baru sampe langsung ke kantin, ngapain kamu?"


tanyaku.

"Lah, di tanya malah tanya balik"

"Apaan sih, aku serius"

"Ya...haus lahpingin beli minum, yakali pingin nyari


keong" jawab Armin.

"Oiya, selesai kelas pukul 3 sore nanti, kita kepantai ya.


Ku tunggu di parkiran" tambah Armin, lalu ia berlalu
pergi dengan melambaikan tangan.

***

Senja saat itu datang dengan sangat mempesona.


Deburan ombak menambah lengkap suasa damai sore
111
itu. Burung-burung yang segera ingin kembali ke
sarangnyapun ikut memberi kesan pada percapakan di
waktu lengang.

"Sha… Ga nyangka ya kita udah lama lewatin waktu


bersama" Armin membuka percakapan.

"Hm... Iya, ga nyangka juga aku Ar, bisa suka sama


manusia seperti kamu" ledekku.

"Yaelahhh bilang aja bangga punya pacar sepertiku,


alahh ngaku aja"

"Yeeee pede banget jadi orang" sahutku.

Senja berlalu, ia pamit meninggalkan keindahan dengan


segala romansa yang membekas.

***

"Sha...Bangun, udah jam berapa ini" suara lembut


membangunkanku dari bunga tidur.

"Ummmm...masi pagi, Bu" ucapku sambil membuka


mata dan meregangkan badanku.

112
"Hari ini kamu gak kuliah kan? Anterin Ibu arisan
kerumah temen Ibu ya?"

"Hm....gabisa naik ojek aja, Bu?Sasha mau tidur lagi"


sahutku sambil membaringkan diri ke ketempat tidur
lagi.

"Kalo kamu dirumah, kenapa harus ngojek sih?"Ibu


menyangkal.

"Udah cepetan kamu mandi, terus siap-siap sana.Ibu


tunggu di ruang tamu.Cepet...." paksa Ibu.

"Iyaudah iya dehh" jawabku dengan badan yang masih


loyo karena nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul,
Aku pun berjalan menuju kamar mandi.

***

Jalan menuju rumah teman arisan Ibu cukup jauh, kurang


lebih membutuhkan 30 menit untuk sampai ketujuan.

Sampailah pada rumah berlantai dua dengan kursi dan


taman kecil di sudut sebelah kanan dan beberapa
pepohonan rimbun yang sangat memanjakan udara untuk
siang yang lumayan menyengat kala itu.

113
Dari jarak kurang lebih 7 meter, terlihat jelas
sekumpulan wanita seusia Ibuku bersiap menyambut
kedatangan kami.Ada yang heboh dengan memamerkan
perhiasan-perhiasan, ada yang ribet juga dengan
makanan atau cemilan di tangan.

"Aduhhh, Bu Hanzie baru dateng nihh" ucap wanita


berjilbab pink sembari menyalami Ibuku.

"Iyaa, Bu Yati. Maaf lama hehehe" jawab Ibuku dengan


senyum sumringah sembari menyalami semua teman
arisannya.

"Dianter siapa ini, Bu?Anaknya? Atau adiknya?" tanya


wanita berjilbab hitam dengan banyak perhiasan yang
terpasang di tangannya.

"Oh iya, ibu-ibu... Perkenalkan ini anak semata wayang


saya.Namanya Sasha Agatsuma, biasa di panggil Sasha"
ucap Ibuku sambil membawaku di hadapan teman-teman
arisannya.

Aku hanya mangguk-mangguk sambil merekahkan


senyum ke semua orang yang menatapku kala itu.

114
"Yaudah, Sasha pamit dulu kalau gitu ya, Bu. Nanti
kalau udah selesai telepon aja" ujarku.

"Iya, kamu hati-hati di jalan ya" sahut Ibu sambil


mengusap kepalaku.

Saat aku berjalan ke arah motor yang ku parkir tak jauh


dari rumah teman arisan Ibuku, tak sengaja ada lelaki
yang berjarak 10 meter melihatku dengan
mengembangkan senyum. Entah siapa, pria berkulit
kuning langsat, berbaju hitam dengan celana selutut
berwarna cokelat susu, diimbangi rambut klimis yang
terkesan manis. Pria itu berdiri di dekat pintu rumah
teman arisan Ibu sambil terus menatapku sampai
akhirnya aku hengkang dari rumah itu.

Terkesan misterius. Ah, tapi ya sudahlah.

***

"Bu, Sasha mau pergi ke toko buku sebentar ya".

"Iya, hati-hati. Jangan lupa kalau pulang mampir ke toko


kue langganan Ibu ya"

"Siap boss!"

115
Lalu aku mencium pipi Ibuku dan berpamitan. Baru
beberapa langkah keluar rumah....

"Hai, Sasha ya?!" suara yang membuatku terhentak


diam.

"Eh..Hai" melambaikan tangan dengan sangat kikuk.

"Masnya siapa, ya?Nyari Ibu saya?" tanyaku.

"Bukan.. Bukan..Saya nyari kamu.Kamu Sasha kan?


Anaknya Ibu Ha..."

Belum selesai bicara, tiba-tiba Ibu sudah berada di teras


saja.Lalu menyapa Aku dan pria yang tak ku kenal itu.

"Loh, Iqbal?!" suara Ibu memutus ucapan pria itu.

Pria itu bergegas mencium tangan Ibuku.

"Masuk, Baall. Masuk sini.Ngobrol kok di luar" tambah


Ibuku.

Aku hanya seperti orang yang kebingungan disitu.

Ibuku menyuruhku masuk ke dalam rumah lagi.Aku


mengekor di belakang pria itu dan Ibuku.

116
Sembari Ibu membuatkan minum di dapur.Aku duduk
bersama pria itu diruang tamu.Keheningan melengkapi
suasana saat itu.Aku dan pria itu hanya saling menatap
namun tak ada kata yang keluar dari mulut kita berdua.

"Lah, malah diem-dieman kaya orang lagi marahan"


suara Ibuku yang datang membawa tiga gelas minuman
dengan satu piring cemilan di nampan.

Ibu duduk di sebelahku dan menjelaskan siapa sosok pria


itu.

"Sha, ini Iqbal. Anak Bu Yati, temen arisan Ibu"

Pria itu hanya tersenyum manis, sambil terus menatapku


dengan mata yang sangat indah.

"Ehm.. Ehm.." suara serak ibu, memecah lamunan.

"Oiya, Iqbalmau kemana setelah ini?" tanya Ibu kepada


pria itu.

"Ke toko buku Tan" jawab Iqbal.

"Kebetulan banget, Sasha tadi bilang kalau mau ke toko


buku".

117
"Yaudah bareng aja kalau gitu" ajak Iqbal dengan penuh
rasa semangat yang terpancar dari bahasa tubuhnya.

"Tttt...tapi Buu" sangkalku.

***

Dengan sebuah keterpaksaan, aku harus sampai ke toko


buku bersama pria yang baru saja ku kenal.

"Mas, serial terbaru buku Trauma dari Boy Candra di


mana ya?" tanyaku pada salah satu penjaga toko.

"Ini yang kamu maksud?"Iqbal menyodorkan buku yang


ku cari.

"Lah, itu pacarnya pengertian banget mbak.Tiba-tiba


udah dapet aja buku yang mbak cari. Awww" goda sang
penjaga toko.

"Bu bu bukan mas!Dia bukan pacar saya" sahutku.

Iqbal hanya tersenyum melihatku yang nampak kikuk di


depan penjaga toko tadi.

Selagi aku membuka tas untuk mengeluarkan uang dan


ingin membayar buku, tiba-tiba..

118
"Sha..." suara yang sangat tak asing di telingaku.

Armin. Iya Armin ada di toko buku juga saat itu.

Seketika Aku menoleh mencari sumber suara itu.

"Heii Arm...."

"Sha, siapa dia?" menunjuk Iqbal dengan mengangkat


alis yang diarahkan ke Iqbal.

Belum lengkap aku menyapa, Armin sudah


menyodorkan pertanyaan.

"Saya, Iqbal mas.Anak temen arisannya Bu Hanzie,


Ibunya Sasha" ucap Iqbal memperkenalkan diri.

"Oalahhh.Ku kira kamu cowok barunya


Sasha.Hahahaah" candaan Armin dengan menepuk-
nepuk pundak Iqbal dengan sok dekat.

***

Hari itu Aku sedang ada janji makan siang bersama


Armin.Di sebuah kafe estetik dengan banyak tergantung
tanaman hias yang sangat mengindahkan mata.Riuh
ramai pengunjung kafe membuatku beralih pada

119
ponselku. Aku membuka sosial media, selang beberapa
menit kemudian...

Klunting...

Notif chat masuk, ada pesan masuk dari nomor yang tak
ku kenal.

Bebarengan dengan itu, Aku dikagetkan dengan


kedatangan Armin.

"Wuiihhh sibuk amat boss" Armin menepuk pundakku


yang sontak membuatku tehentak.

"Astagaaa Arr, kalo dateng tuh salam kek atau sapa"


ujarku dengan nada sedikit kesal.

"Assalamualaikum Bu Hajjah" saut Arman.

"Oya, kok belum pesan makanan sih?Aku pesenin dulu


ya Sha" kata Armin sembari beranjak dari tempat
duduknya.

Saat Armin sibuk memesan makanan, spam chat terus


membuat Handphoneku berdering.Aku pun membisukan
notif dari nomor tak di kenal itu.

120
***

"Sha, sebenernya aku ngajak kamu makan siang ini


sekaligus aku pingin bicarain hal penting sama kamu
Sha. Ini tenang hubungan kita yang udah bertahun-tahun
kita jalani".

Perkataaan Armin membuatku meletakkan alat makanku


dan membuat Aku benar-benar fokus dengan
pembicaraan Armin.

"Ada apa dengan hubungan kita Ar?" tanyaku dengan


mengambil tisu untuk mengusap bibirku.

"Kita sekarang udah dewasa Sha, masa kita tetep mau


backstreet gini terus. Kamu gak capek apa? Aku juga
pingin kita saling kenal keluarga kita satu sama lain. Apa
kamu mau kek gini terus? Gada kejelasan ke hal yang
lebih serius lagi?" tanya Armin.

Memang, dari awal kita pacaran di SMA, hubunganku


dengan Armin terbilang backstreet.Orang tua kita tidak
tahu menahu soal kita yang sudah berpacaran.Bahkan,
Armin selama bertahun-tahun tidak pernah main
kerumahku.

121
"Iya, Ar.. Aku pun sebenernya pingin kita lebih kenal
keluarga kita satu sama lain, tapi kamu kan tahu. Ibuku
paling tidak suka aku berpacaran disaat aku masih
menjalani pendidikan seperti ini Ar. Kamu kan tahu aku
masih kuliah. Kamu pun juga" jawabku.

Armin terdiam beberapa detik, lalu...

"Yaaa, apa kamu gak nyoba dulu becanda-becanda kalau


kamu punya pacar Sha?Atau aku langsung main kerumah
mu dan bilang kalau kita ini pacaran?Gitu Sha?" sahut
Armin dengan bersemangat.

"Gak bisa gitu Ar, Ibuku ya tetep Ibuku. Pribadi yang


kekeh sama pendiriannya. Gak ya nggak gitu loh"
tegasku.

"Tapi....Aku bakal usahain kok Ar, demi hubungan kita


ini.Next time aku bakal cepet-cepet kenalin kamu ke
orang tua ku" tambahku.

Dengan senyum yang tergambar jelas di bibir Armin, ia


mengusap kepalaku dengan lembut, sambil mengucap

122
"Terima kasih ya Sha, udah mau berjuang untuk
hubungan kita.Aku janji.Kalo aku udah ketemu sama
orang tuamu, aku bakal ajak kamu kerumah untuk
ketemu keluargaku, Sha" ucap Armin.

***

Sore sebentar lagi menampakkan indahnya.Senja pun tak


sabar menorehkan adiwarnanya. Aku sedang menyiram
bunga-bunga di taman depan rumah. Kakek yang tengah
duduk di teras rumahku sibuk dengan teh hangat dan
radio tuanya.

"Sha, kalo udah selesai nyiram.Duduk sini sebentar yaa"


ucap kakekku.

"Iyaa kek"

Setelah aku selesai menyiram tanaman, aku menghampiri


kakek dan duduk dikursi yang berada di sebelah
kakek.Aku kehausan, jadi aku membuka botol air
mineral.Lalu ku tenggak sampai habis setengah
botol.Aku menghela napas.

123
"Sha, gak terasa cucu kakek ini sekarang sudah
dewasa.Bayi mungil yang dulunya sering kakek
gendong.Sekarang benar-benar sudah berumur" ujar
kakek.

Aku hanya tersenyum dengan sesekali merapikan rambut


agar tidak terlihat gerogi di depan kakek.

"Tumben banget kakek bicara serius gini?" tanyaku.

"Sha, kamu sudah dewasa. Sebelum kamu benar-benar


diizinkan oleh Ibumu untuk menjalin sebuah hubungan,
baiknya kakek memberi kamu kejelasan"

"Ha? Kejelasan apa maksudnya kek?"

"Yaaa kejelasan penting" kakek menyeruput teh yang


sedaritadi menemaninya.

Menghela napas. Lalu kakek memulai pembicaraan


serius sore itu.

"Pokonya kamu nanti kalau milih-milih pasangan jangan


sampai orang yang bertempat tinggal di desa seberang
kita, desa Gandek itu" ucap kakek

124
"Emang kenapa gaboleh kek?Ada yang salah?" tanyaku
dengan pikiran yang benar-benar kacau karena aku tahu
betul, Armin adalah penduduk di daerah yang disebutkan
kakek.

"Gini kejelasannya.Dari dahulunya, memang ada adat


istiadat yang harus dihormati oleh warga desa kita (Desa
Sambung) dan warga desa Gandek.Dimana tidak boleh
ada hubungan pernikahan antara dua desa itu. Entah apa
dulunya yang membuat hal itu terjadi, tapi yang pasti
adat istiadat itu masih dipercaya hingga saat ini. Apabila
ada yang melanggar adat istiadat tersebut, pasangan itu
akan dilanda sebuah musibah. Musibah itu bisa sebuah
kematian atau yang lainnya”

“Lalu, apa yang akan terjadi jika memang tetap


dilanjutkan hubungan itu kek?” tanyaku dengan pikiran
yang sudah kacau balau.

“Ya..itu tadi, banyak warga yang percaya bahwa ketika


hubungan keduanya tetap dilanjutkan, akanada yang
meninggal, baik itu pasangan yang punya hubungan atau
bahkan dari keluarga yang menjalin hubungan”

125
Aku hanya terdiam setelah kakek berbicara panjang
lebar.Aku menunduk, sambil membayangkan bagaimana
nantinya nasib dari hubunganku dengan Armin.

***

Malam yang sangat dingin.Aku terbaring di kasur.Sambil


menatap langit-langit kamar dengan perasaan duka atas
cerita kakek sore tadi.Sesekali aku menarik napas
panjang.Aku hanya terdiam, merenung dan meratapi
suasana hati yang tengah ku nikmati.

Dering ponsel menyibak lamunanku.

Chat masuk dari nomor yang tak ku kenal. Itu adalah


nomor yang kemarin mengirim pesan saat Aku berada di
kafe bersama Armin.Lima pesan belum terbaca.Aku
mencoba membuka pesan itu.Betapa terkejutnya diriku,
nomor tak dikenal itu adalah Iqbal. Chat berisi
perkenalan dan ajakan untuk menonton konser musik.
Tak ku balas.Hanya ku biarkan begitu saja.

***

126
"Cukup sekian, materi hari ini.Silahkan bisa dilanjut
minggu depan" ucap Bu Hena menutup kelas Wacana
siang itu.

Pagi itu aku benar-benar kacau.Aku memikirkan


pembicaraan kakek tentang larangan adanya hubungan
antara desa tempat tinggalku dengan desa tempat tinggal
Armin. Tak kurasa, Armin sudah menungguku di depan
pintu dengan wajah yang sumringah bak pangeran yang
ingin bertemu dengan ratunya.

Aku menuju pintu dimana Armin berdiri menungguku.

Bagaimana caranya agar aku bisa menyampaikan hal


penting dari kakek kepada Armin?Gumamku dalam hati.

Ah ya sudahlah lain waktu mungkin akan ku bicarakan


dengannya.

***

7 panggilan dari Armin tak ku jawab. 18 spam chat dari


Armin pun tidak ku hiraukan. Aku sudah berada
diambang keputus asaan.Aku merasa memang harus
cepat-cepat menyelesaikan hubunganku dengan

127
Armin.Sebab, kalau aku dan Armin berjalan lebih lama
lagi, yang ada hanya luka yang ku dapat.

***

Terhitung sudah seminggu lebih aku mulai menjauh dari


Armin.Aku selalu sembunyi ketika aku melihatnya ingin
menyambangi kelasku.Jujur, aku merasa sangat tersiksa
juga dengan hal ini. Aku sudah melukai Armin, dan
melukai diriku sendiri dengan cara seperti ini. Tapi aku
tak mau berlarut-larut dalam hal yang memang dilarang
dalam adat istiadatku.Sampai pada waktu dimana aku
mempunyai pikiran untuk sengaja menorehkan luka pada
Armin dengan menggunakan Iqbal. Iya, Iqbal. Anak dari
teman arisan Ibu itu.

Chat dari Iqbal yang semula ku diamkan, sengaja ku


balas. Aku mengiyakan ajakannya untuk menonton
konser musik di kampus.Tanpa pikir panjang aku juga
mengajak Armin untuk menghadiri konser itu.

***

Hari dimana konser di kampus telah di gelar.Malam itu


sangat ramai, banyak mahasiswa dan orang-orang luar

128
kampus yang berlalu lalang di ruang auditorium kampus
untuk menonton konser.Aku masih menunggu
kedatangan Iqbal.

Beberapa saat kemudian, Iqbal datang.Hoodie hitam,


celana jeans hitam, dengan sepatu vans hitam membuat
Iqbal terlihat trendi sekali malam itu.Di imbangi dengan
topi klasik berwana hitam juga, membuatnya makin wow
banget.

"Yukk masuk, udah ramai tuh" ajak Iqbal.

"Ayy..."

Iqbal tiba-tiba menggandeng tanganku.Sontak


membuatku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.

***

Konser musik saat itu benar-benar sudah


menghipnotisku, aku terbawa dengan lagu-lagu yang
dibawakan oleh band favoritku, The Panturas. Tak
sengaja, aku melihat Armin sudah clingak-clinguk
kebingungan ditengah keramaian.

129
Dengan cepat aku mengecek ponselku.Benar saja,
berkali-kali Armin menelfonku dan mengirim pesan
kepadaku bertanya tentang keberadaanku.Ku
kesampingkan soal chat dari Armin. Iqbal masih
menggenggam tanganku, sampai pada akhirnya...

"Woi, apa-apaan lu!" Armin menatap Iqbal dan melepas


genggaman tangan kami.

"Apaan sih Ar!"Aku menengahi.

"Kamu yang apaan!Aku telfon kamu berkali-kali, gak


kamu angkat.Oooo ternyata lagi asik sama cowok ini"
menunjuk-nunjuk Iqbal.

Karena suara di ruang auditorium kala itu sangat bising


dan riuh.Aku memutuskan untuk mengajak Armin dan
Iqbal keluar auditorium.Hingga kami bertiga berada di
dekat pintu masuk konser malam itu.

"Kamu kenapa sih Sha?Udah berminggu-minggu kamu


gada kabar.Susah ku temuin, telfonku gak pernah kamu
angkat.Apalagi chatku, kamu baca aja enggak, apalagi
kamu balas. Heii Sha, kalo aku ada salah ngomong dong.
Jangan main ngilang gitu aja.Kita udah berjalan lama loh

130
Sha.Tapi kamu....ahhhh" ucap Armin dengan kesal
sambil mengacak-acak rambutnya.

"Dan ini apaan-apaan coba. Kamu malah asik sama


cowok lain. Sedangkan aku dari tadi nyari-nyari kamu
Sha.Aku khawatir kamu kenapa-kenapa di kondisi yang
ramai kek gini.Kamu mikir gak tentang hal itu?"
tambahnya.

"Ar, kamu juga gapernah tahu kan kenapa aku tiba-tiba


menjauh dari kamu, tiba-tiba ngilang dari kamu?Enggak
kan?" jawabku dengan mata berkaca-kaca.

Iqbal hanya terdiam melihat perdebatan kami berdua


malam itu.

"Hubungan kita saat ini diambang batas kehancuran Ar.


Hubungan kita ini terlarang!Aku gatahu gimana caranya
agar aku bisa lepas dari kamu. Sampe akhirnya aku
mikir, dengan cara aku sama cowok lain mungkin bisa
bikin kamu benci sama aku dan putusin aku Ar" aku
menitikkan air mata.

"Maksud kamu apa?"

131
"Sebenarnya beberapa hari yang lalu aku di beri tahu
kakek tentang hubungan terlarang yang tidak boleh
terjalin antara orang desa Sambung dengan orang desa
Gandek. Kamu sadar kan? Itu kitaaaa Ar, kitaaa" air
mataku mengalir lebih deras.

"Jika nanti hubungan kita dipaksakan, salah satu dari kita


akan meninggal bahkan kita berdua bisa meninggal kalau
memang kita berlanjut sampai ke jenjang pernikahan.
Untuk itu, aku lebih memilih melukaimu dengan cara
aku sama Iqbal. Tanpa kamu sadari juga, aku pun
terluka. Karena pada dasarnya aku sangat menyayangimu
Ar" tambahku.

Armin hanya terdiam, mungkin kaget dengan hal yang


aku sampaikan.Iqbal yang disebelahku menepuk-nepuk
pundakku.

Malam semakin dingin, hingga Armin angkat bicara.

"Semua bisa di bicarain baik-baik kan Sha, gaperlu kamu


kek gini. Ini malah bikin aku kecewa karena kamu gak
langsung cerita tapi malah bertindak sendiri" ujar Armin.

132
"Gak bisa Ar, semua udah di ambang batas hancur Ar.
Lebih baik kek gini.Kita berdua saling tersakiti, dan yang
terpenting kita tetap menghargai adat istiadat yang
memang sudah ada sejak dulunya. Aku gamau makin
berharap sama hal yang memang gak akan bisa di
paksakan. Empat tahun kita... Aku rasa cukup sampai
disini Ar. Terima kasih atas semuanya selama ini.Mau
tidak mau kita harus merelakan takdir yang memang
harus terjadi ini Ar. Aku sayang sama kamu :')" ucapan
terakhirku kepada Armin. Dengan wajah bercururan air
mata, aku menggandeng Iqbal lalu beranjak pergi
meninggalkan Armin.

Armin sangat terpukul dengan ucapanku itu, ia hanya


terdiam dan melihatku dengan mata yang berkaca-kaca,
dan membiarkanku berlalu meninggalkannya.

"Ttt..tapi Shaaaa" Armin menahanku, namun di tepis


oleh Iqbal.

"Sahsaaaaaaaaaaa" teriakan Armin membuatku makin


tak karuan, perasaanku benar-benar hancur kala itu. Aku
rasa Armin juga merasakan hal yang sama.

133
***

Memang pada dasarnya, memaksakan hal yang tidak


mungkin hanya membuat kita makin sakit satu sama
lain. Lebih baik usai lebih dini, daripada usai nanti
malau makin menjadi-jadi.Pada akhirnya semua harus
kurelakan dengan lapang dada dan mencoba menerima
kenyataan.Gumamku pada esok hari selepas kejadian
tadi malam.

"Semoga kamu bahagia ya Ar. Aku harap kamu di


pertemukan dengan sosok yang lebih baik dariku
nantinya" ucapku lirih dengan air mata yang menitik
membasahi pipiku.

134
Semangat Juang Gadis Samin
Aning Setyowati
Sukolilo, salah satu desa yang berada di ujung
selatan Pati. Sukolilo adalah desa yang berada di kaki
pegunungan kendeng. Desa dengan udara yang asri,
sumber mata air yang melimpah dan tanah yang subur.
Tak heran jika masyarakat disini mayoritas berprofesi
sebagai petani. Sukolilo, desa yang kental akan adat dan
tradisi yang masih lestari hingga saat ini. Dengan latar
belakang masyarakat yang berbeda akan tetapi tetap
hidup berdampingan dengan penuh kerukunan dan
toleransi. Ya, di desa inilah aku dilahirkan. Tempat aku
tumbuh dan perkembangan hingga dewasa ini.
Matahari menyapa dengan malu-malu tak seperti
biasanya. Beriringan dengan sang surya, aku
menjalankan rutinitasku berangkat sekolah. Sekolahanku
berada tepat di kaki pegunungan kendeng. Belakang
sekolahku adalah hutan sedangkan depan sekolahku
adalah persawahan. Memang sangatlah sejuk dan asri
hingga membuat siswa betah berada di lingkungan
sekolahan. Di sekolah ini aku bertemu dengan gadis yang
sangat unik bagiku. Ia bernama Laras. Laras adalah gadis

135
yang tumbuh di tengah kelompok masyarakat yang
berbeda denganku. Ia lahir dan tumbuh di lingkungan
yang masih kental akan adat istiadat yang cenderung
berbeda dengan masyarakat sukolilo pada umumnya.
Laras adalah satu dari beberapa gadis samin yang
mengenyam pendidikan formal di sekolah.
Berbeda denganku, Laras memang bisa dibilang
the real gadis jawa. Ia sangat anggun, sederhana dan
sopan. Orang tua laras bekerja sebagai petani. Setiap hari
bapak dan ibunya mengurus sawah yang luasnya kurang
lebih satu hektar. Ya, orang tua laras adalah petani yang
sukses. Akan tetapi semua itu tidak tercerminkan dari
penampilan dan gaya hidupnya. Laras selalu tampil
dengan sederhana dan apa adanya. Karena hidup di
lingkungan samin, Laras tumbuh menjadi gadis yang
kurang mengikuti perkembangan zaman. Memang suku
samin menolak adanya modernisasi. Ia tetap hidup
dengan memertahankan adat dan tradisi serta
menjunjung tinggi kejujuran dan tidak bersikap
sombong. Suku samin terkenal dengan kepolosan, hidup
dengan lurus,akan tetapi kritis akan isu-isu yang ada di
masyarakat. Semisal saja, Laras tidak mempunyai Hp. Ia

136
masih kental akan adat samin yang hidup dengan alam.
Dalam artian ini adalah menyatu dan bersinergi dengan
alam. Samin adalah suku yang sangat peduli dengan
lingkungan dan kelestariannya.
Di tempatku tinggal, di desa Sukolilo tercinta ada
Suku Samin yang hidup di dukuh bowong dan bombong.
Mayoritas masyarakatnya adalah samin. Masyarakat
samin terkenal dengan pendiriannya yang kuat. Selain itu
cara berpakaiannya sebagai identitas diri pun sedikit
berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Bagi
perempuan suku samin lebih sering menggunakan
kebaya hitam dengan model kutubaru, rambut di gelung
atau dicepol dan tidak ada dari mereka yang
menggunakan celana. Untuk laki-laki suku samin
biasanya menggunakan celana cingkrang berwarna
hitam,dan ikat kepala sebagai identitasnya.
Suku samin yang ada di desaku memang masih
kental akan ajaran samin. Disini anak-anak samin tidak
bersekolah, mereka mendapatkan pendidikan secara
tradisional. Mereka dididik langsung oleh orang tua
mereka dirumah dengan ajaran-ajaran samin. Akan tetapi
ada sebuah rumah di Sukolilo yang bernama Omah

137
Kendeng. Di Omah Kendeng inilah anak anak suku
samin belajar, dari belajar membaca, belajar alat musik
gamelan, nembang dan yang lainnya. Setiap hari jumat
anak-anak samin akan berbondong-bondong ke Omah
Kendeng untuk belajar bersama. Biasanya yang mengajar
adalah sesepuh suku samin atau orang terdahulu sedulur
Sikep. Sedulur Sikep adalah sebutan bagi suku Samin.
Saat ini desa kami sedang ada keributan yang
cukup besar. Yaitu pegunungan kendeng akan dijadikan
pabrik semen. Tentu masalah ini menimbulkan pro dan
kontra dikalangan masyarakat Sukolilo. Bahkan masalah
ini bisa saja memecah belah kerukunan yang ada di desa
Sukolilo. Masyarakat yang tidak perprofesi sebagai
petani tentu tidak akan perduli atau bahkan mendukung
adanya program ini. Beda dengan petani, yang tentu
menolak mentah mentah program ini. Termasuk
kelompok samin, dan juga pastinya Laras. Tentu setiap
program memiliki dampak buruk dan dampak baik.
Begitupun dengan program pabrik semen yang akan di
bangun di daerah Pati.
Pegunungan kendeng adalah sumber penghidupan
desa Sukolilo. Akan tetapi dengan alasan agar menjadi

138
desa yang maju, maka sumber daya alamnya akan diolah
menjadi semen. Hal ini akan berdampak bagi kehidupan
masyarakat sukolilo. Sudah dipastikan sumber mata air
yang ada di sukolilo akan mati, suhu udara akan semakin
panas. Bagaimana tidak? Pegunungan kendeng lebat
akan pepohonan, jika pegunungan kendeng di renggut
sudah pasti akan berdampak pada suhu udara. selain itu,
petani akan bekerja dimana? Jika lahan pertaniannya
direbut. Contohnya petani jagung, petani ketela,dan yang
lainnya. Apakah masyarakat sukolilo akan di giring
menjadi buruh pabrik semen? Sungguh ini tidak baik.
Dari segudang dampak buruk dari program
pembangunan pabrik semen itu, tentu ada dampak
baiknya. Misalnya perekonomian desa meningkat, desa
semakin berkembang dan maju. Jika ada pabrik semen
maka semua akses jalan pasti akan di perluas dan
diperbaiki. Dengan begitu tidak akan ada jalan yang
berlubang dan rusak.
Masalah program pabrik semen ini semakin
runyam hingga membuat Laras aktif ikut demo dan
menyuarakan hati para petani. Laras berjuang dengan
para samin lainnya dan juga petani untuk

139
mempertahankan alam di Sukolilo. Mereka tak gentar,
mereka tak takut dengan siapapun. Laras selalu hadir
disetiap demo hingga sekolahnya pun berantakan. Hal ini
membuat saya ingin mengajak Laras untuk memperbaiki
sekolahnya lagi. Akan tetapi Laras hanya acuh. Baginya
sekolah tak begitu penting jika pintarnya nanti hanya
digunakan untuk memperkaya diri sendiri seperti yang
dilakukan para pejabat dan oknum-oknum yang
mendukung pabrik semen ini.
Satu bulan berlalu, dengan memakai kebaya warna
hitam dan kain jarik Laras datang ke sekolahan. Aku
yang penasaran langsung menghampiri Laras yang baru
saja keluar dari ruang kepala sekolah
“loohhh Ras, ke sekolahan kok nggak pakai seragam, ada
apa?”
“begini, aku memutuskan untuk keluar saja dari sekolah,
aku mau fokus berjuang bersama barisan petani hingga
akhir nanti”
“Rasss, apa nggak eman-eman sekolah kamu?”
“enggak, aku akan fokus mengajar anak-anak samin di
Omah Kendeng saja”

140
“kalau begitu, aku boleh bergabung denganmu di Omah
Kendeng? Aku juga mau membantu mengajar disana”
“boleh, kamu bisa datang hari jumat sama minggu.
Yauda ya, aku pulang dulu”
“iyaa Rasss, hati-hati”
Setelah kejadian itu, aku tidak pernah bertemu dengan
Laras.
“Tettt tettt teettt” bel tanda istirahat terdengar dari dalam
kelasku, bergegas aku keluar kelas dan membeli sarapan
di kantin bersama teman-temaku. Ketika di kantin tanpa
sengaja aku mendengar obrolan para guru yang sedang
membicarakan bahwa besok hari kamis akan ada demo
lagi di Semarang untuk menolak adanya pabrik semen.
Sontak seketika aku langsung terpikirkan bagaimana
keadan Laras?, apa dia ikut??,
“nok, ini sarapanmu” ucap ibu kantin memudarkan
lamunanku.
“eeh iya Buk, maaf”.
“nglamun apa to? Minumnya mau teh anget atau es
teh?”.
“teh anget tawar aja Buk” .

141
Setelah pulang sekolah, aku memutuskan untuk
menemui Laras di rumahnya karena memang aku tidak
bisa menghubungi Laras, maklum Laras masih belum
memiliki HP. Dan benar saja, kamis besok Laras akan
berangkat ke Semarang bersama sedulur sikep dan para
petani untuk berdemo. Aku tak bisa apa-apa selain
mendoakan Laras semoga baik baik saja dan apa yang
sedang ia perjuangkan mencapai titik terang.
Tak ku sangka perjuangan Laras dan samin sampai
pada istana negara, hari ini 23 Maret 2017. Beberapa
petani dengan sengaja mengecor kaki mereka
menggunakan semen sebagai bentuk penolakan atas
pabrik semen. Mengecor kaki dengan semen
menyimbolkan bahwa petani terbelunggu, mereka tidak
bisa apa-apa jika lahan mereka direbut. Puncak
kemarahan sedulur samin dan petani bukanlah
memberontak dengan kekerasan yang bisa melukai atau
menyakiti orang lain, melainkan menyakiti diri mereka
sendiri.
Pagi dengan pancaran sang surya yang agaknya
hari ini sedikit panas, aku berangkat sekolah seperti
biasanya. Di sekolah tidak ada sesuatu yang terjadi, ya

142
seperti hari-hari biasa pada umumnya. Sampainya di
rumah, aku menonton televisi sambil tiduran
mengistirahatkan tubuhku yang lumayan pegal-pegal.
Kemudian tanpa sengaja aku melihat berita bahwa salah
satu petani Kendeng guru dalam aksi mengecor kaki
dengan semen. Seketika aku terdiam, sedih, dan tanpa ku
sadari menetaslah air mata di pipiku. Sungguh
perjuangan Laras dan samin sangatlah tinggi, semangat
mereka tak pernah padam untuk mempertahankan tanah
leluhur. Gelora membara dalam diri setiap samin dan
petani untuk tak gentar mengadapi apapun dan siapapun.
Tanpa sengaja aku melihat Laras terekam sedang duduk
di aspal menggunakan caping dengan wajah lusuh. Jujur
saja melihat Laras seperti ini membuatku sadar bahwa
pintar di sekolah tidak ada apa-apanya jika tidak berani
turun di masyakarat. Laras, temanku yang menjadi salah
satu motivasiku.
Akhirnya Gunarti, seorang perempuan samin yang
sangat berani dengan pikiran kritisnya, berani
mengutarakan dan menggerakkan pendemo berhasil
bertemu dengan presiden. Setelah dengan perjuangan
penuh air mata hingga mengkorbankan satu nyawa

143
berharga. Gunarti berhasil bertemu dengan presiden dan
mengeluhkan sikap gubernur yang menerbitkan izin baru
terkait operasi penambangan di wilayah pegunungan
kendeng. Gunarti menganggap izin itu bertolak belakang
dengan janji yang disampaikan presiden kepada petani
Kendeng, Agustus 2016 lalu, namun pertemuan itu hanya
menghasilkan kekecewaan dan air mata bagi Gunarti dan
sedulur sikep serta petani.

144
Isak Pilu Weton Ketemu Sujanan

Melina Ukhtiya Zulfa

Disebuah pagi yang dingin, terlihat rumah


sederhana yang masih kental dengan aksen Jawa yang
terletak di pojok kampung Antasari, pak Noto sang
pemilik rumah, adalah seorang keturunan Jawa tulen
yang bekerja sebagai petani yang cukup sukses dengan
puluhan hektar sawahnya, dan istrinya bu Asnah adalah
seorang yang sudah banyak membantu para ibu
melahirkan anaknya, beliau adalah seorang dukun bayi,
baik pak Noto maupun bu Asnah sangat disegani di
kampungnya. Dari pernikahan pak Noto dan bu Asnah
mereka dikaruniai satu orang anak, Burhan namanya,
lelaki idaman para gadis di desanya, namun sayang tidak
satupun dari puluhan gadis itu yang dapat memikat hati
Burhan. Selepas lulus dari SMA Burhan memiliki
keinginan untuk kuliah di luar kota, kedua orang tuanya
tanpa ragu memberikan izin untuk Burhan kuliah di luar
kota, karena mereka kira bahwa Burhan sudah cukup
dewasa dan sudah tau mana yang terbaik untuk dirinya.

145
Empat tahun berlalu, banyak sekali perubahan pada
diri Burhan, Burhan memang memiliki watak yang keras
kepala dari kecil, namun meski begitu ia adalah anak
baik yang berbakti kepada orang tuanya, namun kini ia
telah berubah menjadi seorang yang amat berbeda,
berani membangkang, malas, dan tidak bertanggung
jawab, entah apa yang bisa membuat Burhan berubah
hingga orang tuanya hampir tak mengenali anaknya itu.
Karena perubahan sikap Burhan, pak Noto meminta
Burhan untuk pulang kembali ke kampung halaman,
dengan harapan Burhan bisa kembali menjadi seseorang
yang penurut, penyayang dan tidak keras kepala seperti
sebelum Burhan pergi ke luar kota, awalnya Burhan
menolak namun entah kenapa beberapa menit kemudian
Burhan meng iyakan permintaan ayahnya itu, ternyata
Burhan juga mengajukan sebuah syarat, bahwa ia akan
pulang ke kampung halaman jika ia dinikahkan dengan
perempuan yang ia cintai. Perempuan yang berhasil
memikat hati Burhan pada pandangan pertama, ia
merupakan perempuan yang dengan tidak sengaja
menabrak Burhan sewaktu di jalandari pertemuan tidak
sengaja itu akhirnya berlanjut dalam sebuah hubungan.

146
Begitu terkejutnya pak Noto mendengar Burhan yang
ingin menikah, bahkan ia sama sekali belum pernah
mengenalkan calon istrinya itu kepada keluarganya,
kemudian dengan banyak pertimbangan pak Noto
meminta Burhan untuk bertanya terlebih dulu kepada
perempuan itu apakah ia bersedia menikah dengannya,
jika ia bersedia maka pak Noto menyuruh Burhan untuk
membawa perempuan itu ke rumah.

Benar saja perempuan itu setuju untuk menikah


dengan Burhan, tanpa menunggu lama Burhan segera
mengajak perempuan itu untuk pergi ke rumahnya dan
bertemu keluarga Burhan, terkhusus ayah Burhan. Saat
pertemuan perempuan itu dengan keluarga Burhan,
banyak sekali pertanyaan yang ingin ayah Burhan
tanyakan, mulai dari keluarga mana dia berasal, tinggal
dimana bagaimana ia bisa mengenal Burhan dan apa
alasannya mau menikah dengan Burhan, hampir 3 jam
tanya jawab berlangsung, Banyak sekali yang ayah
Burhan tau tentang perempuan itu,dan yang terpenting
adalah namanya, Mala nama yang cukup indah namun
tak seindah kisah hidupnya, mengingat ia adalah seorang

147
perempuan yang hidup sebatang kara, yang bekerja di
sebuah club malam, mendengar pekerjaan Mala adalah
sebuah pelayan bar, pak Noto sudah memiliki keraguan
dalam hatinya. Setelah itu tidak lupa juga pak Noto
menanyakan hal yang sangat wajib yakni mengenai apa
alasan Mala mau menikah dengan Burhan, dan hanya
sedikit jawaban yang keluar dari mulut Mala yaitu
karena sangat mencintai Burhan. Mendengar jawaban itu
bukanlah jawaban yang diharapkan pak Noto, kemudian
setelah terdiam cukup lama pergi lah pak Noto
meninggalkan teras menuju kamarnya untuk mengambil
sebuah buku, buku itu adalah buku untuk penjumlahan
weton (hari lahir seseorang) karena pak Noto masih
mempercayai adat istiadat Jawa maka hal ini penting
untuk dilakukan. Pak Noto ingin menjumlahkan antara
weton Burhan dengan Mala, jika wetonnya cocok maka
pak Noto bersedia untuk menikahkan mereka meskipun
sebenarnya pak Noto tidak yakin dengan cinta mereka,
tapi jika penjumlahan weton keduanya tidak cocok maka
mereka harus dipisahkan.

148
Dihitunglah weton keduanya dengan sangat teliti,
dan ternyata hasil dari penjumlahan weton Burhan
dengan Mala tidak ada kecocokan, jumlah weton
keduanya jatuh pada nomor 27 yang berarti sujanan, dan
dampak penjumlahan weton jika jatuh pada sujanan jika
mereka tetap menikah, dalam rumah tangganya nanti
akan sering mengalami pertengkaran dan masalah
perselingkuhan. Mendengar hal itu Burhan tidak terima,
ia tidak percaya dengan hal-hal semacam itu dan tetap
kekeh ingin menikahi Mala, ibu Burhan mencoba untuk
menenangkan Burhan, dan mencari jalan keluarnya
bersama-sama, tapi Burhan masih tidak bisa terima,
begitu juga dengan Ayahnya yang juga kekeh tidak
merestui hubungan Burhan dengan Mala. Berbeda
dengan bu Asnah yang mencoba meyakinkan ayah
Burhan agar merestui hubungan Burhan dengan Mala
siapa tahu dengan menikahkan mereka bisa membuat
Burhan lebih dewasa dan bertanggung jawab, terlebih
karena memang mereka saling mencintai, untuk ketidak
cocokan weton pasti ada syarat khusus agar pernikahan
ini tetap berlangsung. Namun lagi-lagi Burhan tidak
percaya dengan mitos-mitos seperti itu dan tetap ingin

149
menikahi Mala “aku sama sekali tidak percaya dengan
mitos kuno itu pak, semua itu tidak ada, semua itu palsu,
satu lagi psk, meskipun tanpa restu dari bapak aku akan
tetap menikahi Mala”.Dengan emosi yang memuncak,
Burhan lantas mengajak Mala pergi dari rumahnya dan
tetap melangsungkan pernikahan walau tanpa restu dari
ayah Burhan.

Bulanawal pernikahan Mala dengan Burhan


berjalan dengan lancar, tidak ada masalah sama sekali,
mereka menjadi keluarga yang bahagia, namun
menginjak satu tahun pernikahn mereka, mulai ada
beberapa masalah, mulai dari pertikaian karena hal
sepele, masalah keuangan, komunikasi yang tidak baik,
ditambah lagi Mala yang tidak mudah mendapat
pekerjaan setelah Burhan memintanya berhenti jadi
pelayan bar. Kemudian masalah lain juga muncul karena
Mala yang tidak juga hamil, dan Burhan yang jarang
pulang ke rumah, dan sekalinya pulang kerumah hanya
amarah yang menyelimutinya. Tidak sampai itu saja,
Burhan juga pernah pulang ke rumah dengan diantar
seorang wanita dalam keadaan mabuk, Mala yang

150
melihat kejadian itu lantasmeminta penjelasan kepada
Burhan siapa wanita itu, setelah pendesakan dari Mala
akhirnya Burhan mengaku bahwa wanita yang semalam
dibawanya pulang adalah wanita selingkuhannya. Betapa
hancurnya hati Mala mendengar hal menjijikan itu keluar
dari mulut Burhan, Mala menangis dengan sejadi-jadinya
dan berniat pergi meninggalkan rumah kontrakan yang
mereka tempati itu menuju rumah orang tua Burhan,
namun baru sampai diambang pintu tangan Mala ditarik
oleh Burhan dan Burhan meminta bahwa jangan
memberitahu orang tuanya mengenai hal demikian ini.
Jika Mala masih kekeh pergi maka Burhan akan
menceraikannya, selepas mendengarkan ancaman
Burhan, Mala tetap pergi kerumah orang tua Burhan
untuk mengadukan perlakuan Burhan yang begitu buruk
kepadanya, tapi Mala melakukan ini semata dengan
maksud agar Burhan bisa berubah menjadi suaminya
yang dulu menyayanginya dengan penuh cinta dan tidak
bermain wanita lagi.

Setelah Mala menceritakan semua perilaku Burhan


kepada orang tua Burhan, bu Asnah seketika itu langsung

151
menelfon Burhan dan memintanya untuk datang ke
rumah, berbeda dengan pak Noto yang hanya diam tanpa
reaksi apapun. Sampailah Burhan di rumah orang tuanya,
sesampainya disana bu Asnah juga ingin mendengar
cerita versi Burhan, dan ternyata alasan Burhan
melakukan hal itu karena beberapa bulan lalu Burhan
pernah melihat Mala bermesraan dengan seorang laki-
laki di kafe. Tidak hanya sekali dua kali, tapi sampai tiga
kali, dan kebetulan saat itu adalah hari jadi pernikahan
yang ke 10 Bulan dan Burhan ingin mem belikan
makanan kesukaan Mala, tapi bukan kebahagiaan yang
Burhan dapat, melainkan sebuah pengkhianatan.

Mendengar hal itu, sontak Mala sangat gugup,


wajahnya pucat dan tidak bisa berkata apa-apa, bu Asnah
yang mendengar hal itu pun ikut kaget, dan terdiam
membisu, Burhan yang sudah tidak tahan dengan
pernikahan tidak sehat ini menginginkan perceraian.
Hening menyelimuti seisi ruang tamu setelah burhan
mengucap kata perceraian, bu Asnah dengan mata yang
sayu meyakinkan Burhan apakah keputusan yang
diambilnya itu adalah keputusan yang terbaik, begitu

152
juga Mala, yang hanya diam saat ditanya oleh bu Asnah.
Bu Asnah meminta keduanya untuk beristirahat terlebih
dahulu sambil memikirkan lagi dengan matang mengenai
keputusan itu. Keesokan harinya pak Noto dengan
ditemani bu Asnah menyuruh Burhn dan Mala untuk ke
ruang makan

“dulu kalian sendiri yang memutuskan untuk menikah


muda, dengan alasan kalian saling mencintai satu sama
lain, kemudian setahun berlalu kalian ingin bercerai
denganalasan perenikahan ini sudah tidak sehat, bapak
dan ibu sebenarnya tidak ingin ikut campur dengan
keluarga kalian, tapi kalian telah menghadirkan bapak
dan ibu dalam masalah kalian, bapak dan ibu ingin yang
terbaik untuk rumah tangga kalian, apapun keputusan
yang akan kalian pilih nanti semoga itu adalah jalan yang
terbaik” ucap pak Noto dengan halus.

Selepas itu beberapa jam kemudian setelah pak


Noto dan bu Asnah meninggalkan mereka berdua di
meja makan dengan tujuan saling merenungi kesalahn
masing-masing Burhan menghampiri orang tuanya di
ruang keluarga.

153
“aku sudah yakin dengan keputusanku pak, aku ingin
bercerai dengan Mala, karena rumah tangga ini sudah
retak, meskipun dirakit kembali tidak akan sama lagi
seperti sebelumnya, dan aku yakin pak, jika Mala
memang ditakdirkan untukku pasti kita akan
dipersatukan lagi suatu saat nanti” ucap Burhan seraya
memegang tangan pak Noto, tak lama kemudian Mala
juga datang menghampiri, dan mau tidak mau dengan
berat hati meng iyakan kemauan Burhan untuk bercerai,
pasalnya perceraian ini ada juga karena Mala yang
memulai untuk berselingkuh dan Mala mengakui
kesalahannya itu.

Bu Asnah yang masih belum bisa terima dengan


perceraian ini kembali lagi meyakinkan Burhan dan Mala
bahwa rumah tangga ini masihg bisa diperbaiki, karena
bu Asnah yakin bahwa Burhan dengan Mala sudah
ditakdirksn untuk berjodoh, lagipun bu Asnah sudah
terlanjur menyayangi Mala seperti anaknya sendiri.
Namu sayang, semua yang bu Asnah katakana tidak
mempan untuk meruntuhkan keras kepala dari anaknya
itu, Burhan masih tetap dengan pendiriannya bahwa ia

154
ingin bercerai, begitu juga Mala yang sudah terlanjur
malu atas perbuatan yang ia perbuat. Setelah beberapa
bulan akhirnya resmi bahwa Burhan dan Mala telah
bercerai pak Noto menghampiri Burhan yang sedang
duduk melamun diteras rumah sambil memandangi
langit “Le, dulu bapak melarangmu untuk menikah
dengan Mala karena bapak khawatir mengenai apa yang
sudah terjadi saat ini, karena penjumlahan weton itu
adalah adat istiadat yang sudah ada dari zaman nenek
moyang, setidaknya jika kamu tidak mempercayai itu,
kamu harus tetap menghormati nya, jadi bapak harap
kejadian ini bisa kamu jadikan pelajaran” tutur pak Noto
dengan lembutnya. “iya pak, Burhan menyesal dulu tidak
mendengarkan nasihat bapak dan ibu, dan malah
mendahulukan emosi padahal jika dulu Burhan sedikit
saja mendengarkan nasihat bapak dan ibu, pasti tidak
akan seperti ini, Burhan minta maaf ya pak”.

Setelah percakapan antara Burhan dengan pak


Noto dengan di selimuti dinginnya angin malam, bu
Asnah keluar dengan dua cangkir kopi hitam untuk
menghangatkan tubuh dan sedikit camilan untuk

155
menemani kopi. “Bu, Burhan minta maaf karena tidak
bisa mempertahankan rumah tangga ini, maaf karena
telah membuat bapak dan ibu kecewa dengan Burhan,
setelah kejadian ini, Burhan akan berusaha menjadi anak
yang tidak lagi mengecewakan bapak dan ibu, sekali lagi
maafin Burhan ya pak, bu”. Ungkap Burhan dengan mata
yang berkaca sambil memeluk ibu nya dari belakang.Bu
Asnah kemudian tanpa menjawab sepatah katapun
langsung berbalik badan dan memeluk Burhan dengan
sangat erat sambil mengelus kepala anak laki-laki satu
satunya itu.

156
Pohon Pengikat Petir
Wulandari
Ki Ageng Selo merupakan salah satu anakdari Ki
Ageng Getas Pendawa (RadenDepok) yang memiliki
nama asli “Bagus Songgom”. Ki Ageng Selo memiliki
keturunan 11 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, anak
laki-lakinya yang kesepuluh bernama Ki Ageng Ngenis.
Beliau dalam kehidupan sehari-harinya merupakan
pemuda yang sombong, karena merasa masih keturunan
seorang yang berwibawa, akan tetapi setelah melewati
berbagai pengalaman hidup yang pahit yang telah
dialami, Bagus Songgom sadar akan keterbatasannya
sebagai seorang hambaTuhan., sehingga tidak ada jalan
lain, beliau harus mengambil jalanya itu dengan cara
bertaubat kepada Allah SWT dan lebih mengutamakan
untuk bertapa. Sebagai seorang petani Bagus Songgom
sangat disiplin dalam membagi waktu antara kebutuhan
rohani dan jasmani.

Ki Ageng Selo tinggal di desa Selo yang letaknya


tidak jauh darikotaPurwodadi, kearahtimurkuranglebih
12 km. Di makam Ki Ageng Selo merupakan bangunan

157
tua, bila akan masuk makam kita lewat gerbang pertama
yang terdapat bangsal untuk menerima tamu dan biasa
digunakan untuk bersemedi. Kemudian, diikuti pintu
gerbang yang kedua, di situ kita akan melihat nisan-
nisan, kuburan tersebut hanya digunakan untuk
mengubur kerabat serta juru kunci yang masih ada trah
(hubungan kerabat) dari Ki Ageng Selo. Setelah itu,
kitaakanmenemuipintugerbang yang
ketigadanakanterlihatbangunansepertipendopo yang
terbuat dari kayu jati yang dicat dan dihiasi ukiran-
ukiran. Bangunan yang dikelilingi tembok terdapat
makam Ki Ageng Selo dan kedua istrinya. Melihat dari
keturunan Ki Ageng Selo baik ayahnya yaitu, Ki Ageng
Getas Pendawa atau Raden Depok dan kakeknya Bondan
Kejawan atau Lembu Peteng dan Ki Ageng Tarub, maka
keberadaan kerabatnya tidak jauh dari Selo, begitu juga
saudara kandung Ki Ageng Selo dan anaknya makamnya
terletak tidak jauh dari desa Selo.

Suatu hari, seperti biasanya pagi-pagi Ki Ageng Selo


berangkat ke sawah dengan membawa cangkul yang
diletakkan di pundakanya. Tanpa mengenakan alas kaki

158
dan baju Ki Ageng Selo berjalan menuju ke sawahnya.
Meskipun pada saat itu gerimis turun membasahi seluruh
badannya, namun beliau masih melanjutkan
pekerjaannya.Tiba-tibabeliau dikejutkan oleh seorang
kakek yang mendatangi Ki Ageng Selo dengan diiringi
kilatan yang menyambar-nyambar dan disertai gemuruh
halilintar yang dahsyat. Setelah melihat kakek tersebut,
rasa kaget yang dialami Ki Ageng Selo semakin
menjadi-jadi, sosok kakek yang dilihat berubah wujud
menjadi seekor naga dan berkali-kali berubah
menyerupai makhluk yang mengerikan di hadapan Ki
Ageng Selo.

Dengan waspada Ki Ageng Selo mencari tempat yang


tidak tergenang air tanpa melepaskan pandangannya ke
arah makhluk itu, kemudian beliau duduk bersila untuk
bersemedi dan menenangkan diri. Ki Ageng Selo marah,
karena merasa terganggu pekerjaannya dengan
kemunculan makhluk tersebut hingga akhirnya beliau
berdiri dan menantangnya. Kemudian, terjadilah
perkelahian yang hebat antara Ki Ageng Selo dengan
sosok jelmaan yang diiringi kilatan petir yang dahsyat

159
hingga langit tampak sangat terang, walaupun saat itu
cuacanya sedang gerimis. Berbagai sosok diperlihatakan
oleh makhluk tersebut kepada Ki Ageng Selo, agar
menciutkan nyali beliau. Namun, itu semua tak berarti
untuk Ki Ageng Selo yang mempunyai ilmu kanuragan
begitu hebat.

Setelah terjadi perkelahian begitu hebat, akhirnya


makhluk tersebut terkalahkan oleh beliau, lalu diikat dan
dibawa pulang oleh Ki Ageng Selo. Ketika sampai di
depan rumah, beliau mencari tempat untuk mengikat
makhluk tersebut. Kemudian, Ki Ageng Selo mempunyai
keyakinan untuk mengikat makhluk tersebut di salah satu
pohon yang berada di depan rumahnya yang bernama
pohon gandrik. Pohon gandrik sampai sekarang dikenal
oleh sebagian besar masyarakat sebagai pohon penakluk
atau pengikat petir. Bahkan, sampai sekarang ketika petir
menggelegar atau menyambar langit di Desa Selo
masyarakat mengucapkan “Gandrik anak putune Ki
Ageng Selo” agar terhindar dari sambaran petir.

Pohon gandrik tergolong dalam jenis pohon dari family


Euphorbiaceae, genus Bridelia dengan nama latin

160
Bridelia Monoica. Pohon tersebut memiliki daya serap
yang tinggi terhadap arus listrik sehingga petir
menyambar, arus listrik tidak akan mengenai alat-alat
lain. Namun, langsung diserap oleh pohon tersebut dan
kemudian segera di netralisir oleh tanah sebagaimana
prinsip kerja alat penangkal petir. Pohon tersebut juga
menjadi salah satu larangan bagi peziarah untuk tidak
memetiknya. Meskipun pohon gandrik sudah berumur
puluhan tahun, sampai sekarang pohon tersebut masih
berdiri kokoh di sekitar makam Ki Ageng Selo.

Ki Ageng Selo diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk


membawa petir yang telah ditangkap beliau waktu di
sawah dan segera dihaturkan ke Sultan Bintoro di
Demak. Ketika hendak dibawa petir tersebut berubah-
ubah wujud yang disertai suara dahsyat yang
menggelegar di langit. Setelah sampai di Demak, Ki
Ageng Selo disambut oleh para wali dan berdoa bersama.
Namun, pada saat mereka semua berdoa dengan khusuk
muncul seorang nenek yang langsung menghampiri
seorang kakek yang dibawa Ki AgengSelo.Kemudian,
tanpasepatah kata pun Ki Ageng Selo menyiramkan air

161
ke tubuh kakek tersebut dan seketika terdengar kembali
suara dahsyat seperti saat pertama Ki Ageng Selo
menangkap petir. Setelah suara yang begitu dahsyat
menghilang, lenyap pulalah kakek tersebut tanpa
meninggalkan bekas.

Peristiwa tersebut membuat Ki Ageng Selo sampai


sekarang terkenal sebagai penakluk petir. Keberanian
dan kehebatan Ki Ageng Selo dalam mengalahkan petir
menjadikan beliau disegani, bukan hanya ilmu kanuragan
yang dikuasai namun, ilmu-ilmu agama jugadikuasai
beliau. Tempat kejadian peristiwa pertarungan antara Ki
Ageng Selo dan makhluk jelmaan petir sampai sekarang
dikenal oleh sebagian masyarakat Desa Selo sebagai
sawah “Mendung” dan telah menjadi salah satu bukti
yang masih ada sampai sekarang. Selain itu, ada bukti
lain yang berupa pintu “Bledeg” yang sampai saat ini
diletakkan di pintu gerbang utama Masjid Agung
Demak.

162
Mata Baya

Noor Khumaidah

Jauh mata menatap pada hutan di belakang


museum. Rasa penasaran mulai muncul perlahan. Tiada
larangan untuk mencoba ke hutan. Hanya saja dilarang
bermain di belakang museum. Kania mulai berjalan ke
arah hutan itu. Tak seorang pun mengetahuinya. Kania
mulai masuk dan semakin masuk ke dalam hutan. Rasa
penasarannya yang membawanya sampai tak sadar
bahwa ia sendirian.

“NGKHOOOKK….”

“Siapa di sana?”

Beberapa semak mulai bergetar. Sesuatu akan


segera muncul dari baliknya. Degup jantung Kania
semakin terpacu dan kaget, saat babi hutan melompat
mendekatinya. Ia berlari sekuat tenaga. Semakin berlari
dan semakin dalam memasuki hutan. Ia mencari tempat
persembunyian. Hari mulai gelap. Ia masih berlari tanpa
memperhatikan apa yang ada di depan. Krasaak…

163
“Aaaaaaa…”

Tiada suara bergeming. Tanpa ia sadari, Kania


meminta tolong dan berteriak. Tak ada yang
menjawabnya. Hanya suara jangkrik dan teman-
temannya berdenging. Kania berusaha keluar dari lubang
jebakan yang membuatnya terjatuh dan selamat dari
kejaran babi hutan. Ia berusaha merangkak keluar.
Berpegang dari akar pohon yang satu dengan lainnya,
yang timbul di dalam lubang jebakan pemburu. Remang-
remang memandang langit yang mulai gelap dengan
biasan cahaya merahnya.

Kania berhasil keluar dari lubang jebakan. Luka


pada kaki dan tangannya membuat ia meringis kesakitan
dan menahannya. Lebam pada dagu dan dahinya
membuat wajahnya sedikit lusuh. Ia terus berjalan
menyusuri hutan yang mulai gelap itu. Tanpa cahaya.
Tanpa lampu. Tanpa senter. Tanpa lilin. Hanya sorot
mata yang berusaha mencari celah cahaya untuk berjalan
dengan aman.

164
Ia teringat, tas ranselnya tertinggal di dalam bus
wisatanya. Hanya buku dan bolpoin yang masih ada pada
saku bajunya. Kania Candra Cahyaningtyas. Tiga kata itu
tertulis pada buku halaman paling depan. Ia mengambil
bukunya dan menulis kejadian yang ia alami. Duduk di
atas pohon yang tumbang ia mulai menulis.

“Hah, kenapa aku bisa sampai tersesat? Seorang anak


SMA sendirian, di tengah hutan, aaakkh!”, batinmu dan
menghelas nafas dengan keras.

Kania teringat ponselnya, ia merogoh setiap saku


yang ada pada bajunya. Namun, ia tak menemukan
apapun sama sekali. Hanya pasrah dengan menunggu
datangnya bantuan. Itulah yang dilakukan. Duduk diam
menunggu bantuan atau orang yang mencarinya. Sepuluh
menit berlalu, ia masih di tempat yang sama dengan
posisi duduk yang sama. Sesekali ia menengok
sekelilingnya. Mencari bantuan? Bukan. Ia menaruh
harapan jikalau ada seseorang yang dapat dimintai
bantuan.

165
Malam mulai menyelimuti. Kania mulai
kebingungan dan ketakutan akan terjadi suatu hal yang
tak ia inginkan. Krasaakkk… Suara ranting yang patah.
Diikuti suara langkah kaki yang semakin mendekat. Ia
membelalakkan matanya. Tertegun dan penuh kehati-
hatian. Melirik kesana-kemari. Tubuhnya kaku dan
hanya diam. Menahan napasnya. Kemudian, seseorang
memegang pundaknya. Tangan Kania langsung
menariknya dan membanting orang tersebut. Teknik te
waza yang ia kuasai dalam seni bela diri judo
membuatnya peka dan reflek terhadap setiap gerakan.

“Aaakh!!! Maaf, tolong ...”

“ Siapa kamu?!”

“A-aku, aaakhh..tolong lepaskan aku terlebih dahulu.”,


Kania semakin menekan tangannya.

“Aaakhhhhhhh… A-aku tidak akan macam-macam.


Tolong lepaskan dulu.”

“Siapa kamu?”, kemudian tanpa ragu ia melepaskan


tangannya.

166
“Aku Wara. Aku sedang mencari kayu bakar untuk
masak malam ini. Eem, kemudian aku melihatmu
sendirian jadi, aku menghampirimu siapa tahu butuh
bantuan.”, sambil menahan sakit.

Setelah mendengar pernyataannya, Kania sedikit


lega. Ia meminta maaf atas perbuatannya. Semua itu
terjadi karena ia kaget dan reflek. Wara menawarkan
bantuan kepada Kania untuk bermalam di gubuk
kecilnya. Gubuk itu terletak di tengah hutan. Tepatnya,
ada di Gunung Pati. Ya, di tengah hutan. Tempat yang
dekat dengan penelitian di museum. Karena hari semakin
pekat, ia pun menerima bantuan dari Wara.

Perjalanan cukup banyak memakan waktu. Hari


sudah pekat, barulah mereka sampai di gubuk. Namun,
Kania tak henti-hentinya merasa heran. Selama
perjalanan awal, kanan – kiri masih hutan belantara.
Ketika sudah cukup jauh, dan hampir sampai di gubuk
Wara, ia melihat sekeliling banyak rumah-rumah kecil
semacam pemukiman warga. Ia menahan rasa
penasarannya setelah sampai di gubuk Wara.

167
Kania memberanikan diri untuk bertanya. Apa
benar ini adalah sebuah desa kecil di tengah hutan?
Namun, Wara sedikit terhentak dengan tanpa sengaja
membulatkan matanya. Ia hanya menjawab, bahwa inilah
tempat tinggalnya. Kemudian, Wara mengajak masuk
Kania. Segera. Ia takut Kania mellihat hal yang aneh
lagi. Sepertinya, ada banyak hal yang masih
disembunyikan Wara. Tetapi, ketakukan Wara segera
hilang dengan memperkenalkan Kania dengan Kakek
Jago. Ya, Kakeknya Wara.

“Siapa yang kau ajak Wara?”

“Oh, ini. Per…”

“Perkenalkan, Kek. Nama saya Kania. Saya tersesat di


Hutan dan bertemu dengan Wara. Kemudian Wara
menawarkan bantuan kepada saya untuk ikut ke
rumahnya dengan maksud memberikan bantuan untuk
istirrahat karena sudah malam hari.”, mata Wara hanya
menatapnya heran, karena Kania menjelaskan dengan
detail.

168
“ Oh, begitu? Baiklah, masuk dan bersihkan diri kalian.
Kemudian, kembalilah ke ruang tengah untuk makan
malam.”

“Ba-ba …”

“Baik, Kek.”

Begitu lagi. Lagi-lagi, Wara kalah cepat dengan jawaban


Kania.

Wara adalah anak laki-laki seumuran dengan


Kania. Ia tinggal bersama kakeknya di tengah hutan.
Selain itu, Wara dan Kakek Jago mempunyai alasan
penting yang tak bisa sembarang orang mengetahuinya.
Sebab, jika alasan itu menyebar, semua orang tak akan
pernah percaya bahkan orang sehat sekalipun akan
dikatakan tak waras.

Suara jangkrik mulai menghilang. Tergantikan


dengan nyanyian merdu dari burung yang menari di
pohon dan suara hewan-hewan lain yang mulai

169
beraktivitas di pagi hari. Sinar mentari masuk melalui
celah-celah jendela bambu menusuk mata. Kania
terbangun dan menggeliat. Tak lama setelah bangun,
Wara menghampiri Kania untuk membangunkan
sepenuhnya. Kania hanya menganggukkan kepala dan
berusaha mengumpulkan nyawanya kembali. Ia masih
termangu di tepi ranjang bambu dengan membenarkan
pendengarannya.

“Suara apa sih itu? Kenapa terdengar ramai dan aneh,


ya?”, berjalan ke arah jendela.

“Kania …”, suara laki-laki memanggil namanya,


sehingga ia belum sempat membuka jendela.

Wara mengajak Kania untuk sarapan pagi.


Setelah sarapan, mereka berdua pergi keluar untuk jalan-
jalan sebentar. Dalam perjalanan, Kania merasa kagum
sekaligus sedikit takut melihat hewan-hewan besar ada di
pekarangan rumah-rumah warga sekitar. Ia heran,
ternyata ada desa di dalam hutan. Banyak spesies yang ia
ketahui, ia mengingat kembali pelajaran sejarah. Gajah,
harimau, rusa, kerbau, semuanya di pekarangan rumah-

170
rumah warga. Dengan tali yang terikat kuat. Layaknya
anjing yang diminta tuannya untuk menjaga rumah.

Sampai pada pinggir sungai. Ia melihat ikan-ikan


yang sangat besar. Hal yang paling membuat Kania
membulatkan mata, ketika ia melihat kudanil yang
sedang mandi. Dalam satu kedipan mata terlintas
beberapa ingatan yang membuatnya kesakitan. Ingatan
itu lewat begitu saja. Kania mengedip-ngedipkan
matanya. Ia semakin kaget dan semakin membulatkan
matanya. Ia melihat ingatan ketika ada di museum. Ia
mengingat penjelasan dari pemandu museum. Beberapa
anggota tubuh hewan purba yang ditemukan ukurannya
sangat besar. Lalu, Kania lari menuju tengah-tengah
desa. Diikuti oleh Wara yang mulai kebingungan dengan
tingkah Kania. Segera, Kania mengambil buku
catatannya dan menggambar semua hewan yang ia lihat.
Tak lupa pula ia memberi catatan penting pada gambar.

“Aku sudah diam saja, tetapi ternyata kau lebih peka dan
pintar. Tetapi, aku tidak yakin jika kau sadar
sepenuhnya. Sepertinya kau memang belum menyadari

171
apa yang terjadi pada dirimu. Apa kau tahu, kau sekarang
ada di mana? Dan kenapa hal itu bisa terjadi?”.

“Apa maksudmu Wara? Aku tidak paham dengan


ucapanmu. Sudahlah jangn mengganggu konsentrasiku.
Aku sedang mengabadikan momen ini. apakah aku
sedang bermimpi?”, tangan Kania masih sibuk
menggambar dan menulis. Selain itu, ia juga
menunjukkan ekspresi seperti mengejek.

“Ya, kau memang sedang bermimpi.”, Kania


menghentikan kegiatannya. Ia melihat ke arah Wara.

“Sekarang kau berada di salah satu stratigrafi Gunung


Pati. Kau memang sedang bermimpi. Sejak kemarin,
ketika aku melihatmu. Bukan. Sejak kita bertemu dan
kau melihat adanya pedesaan di sini. Dari situ aku
menyadari bahwa kau tidak membawa ragamu kemari.
Ah, bukan. Aku tidak membawa ragamu, karena aku
sendiri tidak tahu dan tidak bisa membedakan. Itulah
mengapa tadi malam aku tidak membalas omonganmu
tentang desa ini. Kakek Jago menjagaku dan memintaku
diam jika aku ketakutan. Ya, awalnya aku memang takut

172
padamu. Tapi setelah Kakek menjelaskan bahwa kau
tidak akan membocorkan tentang keberadaanku dan
Kakek, aku memberanikan diri untuk menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalamu. Akan
aku beri tahu, bahwa kau sekarang berada di formasi
Kancilan. Kau kembali ke masa lalu. Yang kau lihat di
sungai tadi itu memang kudanil. Kemudian, gajah,
harimau, dan rusa yang ada di pekarangan warga adalah
hewan yang kerangkanya ditemukan di masa depan.”

“La-lalu, batu-batu yang ada di depan rumah itu a …”

“Ya, itu adalah alat batu pada zaman purba. Lalu, jika
kau bertanya mengapa di sini tidak ada manusia purba,
ada. Dia ada di dalam rumah. Dia hanya sesekali muncul
untuk mengambil alat. Nah, tempat ini seperti museum di
duniamu. Desa yang kau lihat saat ini, hanya
imajinasimu yang sesuai dengan kehidupan nyatamu.
Tetapi, sebenarnya tidak ada apa-apa di sini. Jika kau
membawa ragamu, kau tidak akan melihatnya. Tetapi,
hanya jiwamu yang berkelana. Jadi, kau sudah pasti
mengetahui museum gaib ini. Nanti, saat di duniamu
melihat sesuatu katakana saja apa yang kau lihat. Kau

173
akan dengan mudah menemukan fosil mereka yang kau
lihat saat ini.”

Kania hanya terdiam dan akhirnya lari ke sungai.


Ia kembali melihat kudanil. Saat ingin menghampiri, ia
terperosok batu dan harus masuk ke dalam air. Anehnya,
ia hanya melihat seorang laki-laki dewasa yang berusaha
membangunkannya. Kania menatap langit dengan wajah
basah karena diciprati air oleh orang itu. Di atas ia
melihat beberapa guru dan temannya yang khawatir.
Salah satu tim SAR yang turun membopong Kania dan
ditarik ke atas.

Ia melihat kedua orang tuanya sudah menunggu


putri semata wayangnya, dengan penuh balutan air mata
karena kekhawatirannya. Mereka memeluk erat Kania
dan membolak-balik Kania mulai dari kepala, diputar ke
kiri dan kanan, hingga atas dan bawah. Kemudian,
mengecek tangan anaknya apakah ada luka atau tidak.
Belum sempat memutar badan Kania, tiba- tiba ia
menjerit menggigil. Ia berusaha menutup matanya.
Orang tua Kania sangat panik. Ia ketakutan dengan
penglihatannya.

174
“Mengapa masih ada hewan-hewan itu? Mereka
mengikutiku?”, batinnya.

Dalam penglihatannya, ia melihat dua ekor gajah


purba berjalan dari ke jauhan kea rah orang-orang. Kania
terus menjerit dan meminta semua orang untuk segera
pergi dari tempat itu. Kedua orang tuanya menuruti
perkataan putrinya dan meminta semua orang untuk
segera kembali. Semua pun kembali dan Kania ikut
mobil orang tuanya.

Saat perjalanan pulang, ia melihat pepohonan di


jalan bergerak. Pohon muda terlihat segar dan menari-
nari mengikuti terpaan angin, sedangkan pohon yang
sudah berusia puluhan tahun mulai lemas dan badannya
berwarna coklat pucat. Kania mengetahui usia pohon-
pohon yang ia lewati selama perjalanan pulang. Sesekali
ia memejamkan mata karena takut dengan apa yang
dilihat. Selama perjalanan, ia mencoba memejamkan
mata sambil bertanya kepada orang tuanya.

“Berapa hari aku ada di dalam lubang, Ma?”

175
“Kata pak guru, pukul 11.00 WIB kamu itu izin untuk ke
kamar mandi. Setelah itu, katanya kamu pergi ke arah
belakang museum. Dan sekarang, pukul 17.00 WIB
kamu baru naik dari lubang. Kau pasti bisa mengiranya.”

“Apa tidak salah, Ma? Nggak ada sehari semalam?”,


dengan mata melotot.

“Kamu bicara apa sayang? Sudah, istirahat saja. Sebentar


lagi kita sampai.”

Kebetulan, rumah Kania di daerah dekat


museum. Matanya masih melihat pohon-pohon jalanan.
Tanpa sengaja Kania bergumam tentang pepohonan itu.
Ia berkata, pohon itu berusia 30 tahun, ya. Yang pohon
beringin depan rumah itu sudah ratusan tahun? Wah, 340
tahun? Ucapan itu membuat kedua orang tuanya
membelalakkan mata dan mulai bertatapan satu sama
lain. Sesekali melihat ke arah Kania. Mereka berdua
keheranan. Tetapi, memutuskan untuk tidak menganggap
kejadian itu. Sesampainya di rumah, Kania langsung
diminta untuk istirahat.

176
Semenjak Kania jatuh di lubang jebakan itu,
setiap malam ia bermimpi yang sama dan berulang-
ulang. Hal itu membuatnya tidak berani tidur dan
terkadang menjerit di tengah malam. Dalam mimpinya,
ia bertemu dengan Wara dan beberapa hewan purba
lainnya. Tidak hanya itu, ia melihat orang purba yang
menggunakan kapak gengga untuk menyembelih rusa.
Kedua orang tuanya sangat khawatir dengan keadaan
mental putrinya. Hingga suatu pagi, Mamanya menerima
telepon di waktu yang bersamaan dengan sarapan pagi.
Gelagat Mamanya sangat mencurigakan. Setelah
menerima telepon, mamanya memnta Kania untuk tidak
berangkat sekolah dan ikut dengannya.

Setelah sarapan, mamanya membawa Kania ke


suatu tempat yang mana Kania tidak diberi tahu.
Sesampai tempatnya, alangkah terkejutnya Kania bahwa
ia dibawa mamanyasendiri ke rumah sakit jiwa. Kania
sangat terkejut. Ia tak habis pikir jka mamanya
tegamelakukan itu.

“Ma, apa maksud Mama? Aku sehat, Ma! Aku waras!


Kenapa Mama tega?”

177
“Sayang, ini untuk kebaikan kamu. Bukan maksud apa-
apa tapi …”

“Tapi apa, Ma! Mama nggak percaya sama Kania?”

“Mama Cuma takut Kania kenapa-napa. Dan kondisi


kamu saat ini baik di rumah maupun di sekolahan kamu
suka bergumam sendiri, tiba-tiba ketakutan. Mama
nggak tau kamu melihat apa.”

“Kalau itu masalahnya, Kania bakal kontrol diri Kania


supaya nggak asal jerit dan ketakutan. Kania bakal lawan
rasa takut Kania. Tapi, tolong beri waktu Kania untuk
menyesuaikan diri dengan penglihatan Kania.”

“Kamu janji, nggak bakal ngomong yang aneh-aneh


kepada orang-orang dengan usia benda, hewan serta hal
yang membuatmu takut?”

“JANJI!”.

Sejak saat itu, Kania hanya diam dan membawa


buku catatannya kemana-mana. Ia mencatat dengan apa
yang ia lihat. Mulai, lokasi adanya alat zaman purba
seperti: beliung persegi, kapak genggam dan hewan

178
purba lainnya yang berdiri di lokasi tertentu. Ia mulai
menyadari, dari penglihatannya itu bisa menemukan
kerangka hewan purba.

Terbukti ketika ia ke rumah pak leknya di daerah


Kedung Cina Desa Terban Kecamatan Jekulo Kabupaten
Kudus, ia melihat gajah purba berdiri di kebun
pamannya. Kemudian, pamannya mencangkul kebunnya
untuk ditanami pohon pisang. Tiba-tiba, tanpa sengaja
pamannya mencangkul sebuah tulang dan di duga itu
tulang binatang purba, sehingga tidak jadi ditanami
pohon pisang dan bekas tanahnya serta sekitarnya dijauhi
dari penanaman pepohonan lainnya. Di daerah Jekulo,
memang sudah dihimbau oleh pihak museum untuk
semua warganya, jika saat ke sawah atau kebun dan
menemukan sesuatu yang purba segera dibawa ke
museum atau di singkirkan terlebih dahulu. Hal itu,
untuk melestarikan peninggalan sejarah. Selain, itu
menurut pendapat Kania budaya yang ada di desanya
sudah menjadi kebiasaan untuk membantu
mengamankan peninggalan sejarah.

179
Buku catatan Kania penuh dengan teori-teori
zaman pra sejarah kehidupan. Hingga kini, Kania mulai
mencintai kebiasaannya dan menggunakan keistimewaan
untuk menjadi relawan sekaligus tim untuk mencari
keberadaan fosil hewan purba. Kania kembali ke
museum yang ada hutan di belakangnya tempat di mana
ia terjatuh. Tanpa ia sadari, ia melangkah kembali ke
belakang museum dan hendak masuk ke hutan. Sekilas ia
melihat ada sepasang mata melihat ke arahnya. Ia ingin
menghampiri tetapi …

“ Kania, kamu ngapain?”, menoleh ke sumber suara.

Keterangan :

Teknik Te Waza : Teknik Bantingan Judo menggunakan


tangan

Gajah purba (Acient Elephant) : Stegodon


Trigonocephalus

Rusa : Cervidae

Kudanil atau kuda sungai : Hippopotamidae

Harimau : Felidae

180
Babi : Suidae

Kerbau – banteng : Bovidae

181
Pesugihan Pulau Seprapat
Elang Chandra Ermanu

Kata Seperapat berasal dari (Bahasa Jawa) yang


artinya seperempat. Pulau ini diberi nama Pulau
Seprapat, karena menurut cerita rakyat setempat,Dampo
Awang meninggalkan seperempat hartanya di Pulau
seprapat. Pulau Seprapat merupakan Pulau kecil yang
terdapat di Kabupaten Pati, tepatnya di kecamatan
Juwana. Bisa dinamakan Pulau Seprapat , karena daerah
tersebut merupakan setengah dari Desa Bendar dan Desa
Bakaran. Pulau ini mempunyai cerita yang sangat unik.
Pulau ini dikenal dengan adanya kera atau monyet yang
berada di pinggiran Laut Utara Jawa. Seiring berjalannya
waktu, perubahan alam tidak bisa di hindari. Termasuk
bergesernnya letak Pulau kecil yang awalnya berada di
antara alur Bengawan Silungonggo atau biasa di sebut
dengan kali Juwana. Pulau yang luasnya kini kurang dari
seperempat hektare ini, kini letaknya bergeser di sisi
barat Bengawan tersebut. Apabila kalian ingin
berkunjung ke Pulau ini dari jalan besar atau pantura

182
kearah utara, kalian bisa menyusuri jalan di pinggir
sungai silunggongo kearah utara sekitar satu kilometer.

Pemandangan di Pulau Seprapat ini sangatlah


indah dan alami. Dengan adanya pohon tua yang cukup
rindang, sehingga sangatlah cocok untuk tempat rekreasi
bersama keluarga. Dulu Pulau ini banyak di huni hewan
kera dan di jadikan tempat pesugihan. Di Pulau ini
banyak di tumbuhipohon-pohon tinggi dan sangat
rimbun, sejenis pohon bakau. Dulu, jalan untuk menuju
Pulau Seprapat sangatlah rusak dan tidak tertata rapi, tapi
seiring berjalannya waktu diadakan perbaikan jalan
untuk menuju Pulau tersebut. Sekarang jalan menuju
Pulau Seprapat sangatlah baik, sehingga banyak
masyarakat yang datang, terutama di sore hari.

Pulau Seprapat sangat bersejarah bagi warga


Juwana. Pulau seprapat menjadi bagian dari luas Desa
Bendar, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Pulau
dengan pohon tua yang cukup rindang tersebut. Di
tengah-tengah Pulau Seprapat terdapat sebuah makam
berbentuk mushola yang di bangun oleh warga
setempatyang terbuat dari kayu yang cukup tua dan rak

183
terawat. Menurut cerita,, makam tersebut adalah makam
tokoh yang di segani pada masa berkembangnya agama
islam di daerah Pesisir Pantai Utara Jawa, yakni Mbah
Datuk Lodang.

Menurut cerita tutur tinular Mbah Datuk Lodang


hidup dimana Juwana sudah berdiri panti ngerang
sebagai pusat penyebaran agama islam dengan tokoh
pemukanya, Tapi makam tersebut digunakan sebagai
ritual pesugihan oleh warga sekitar maupun warga dari
luar desa. Ada sebuah keluarga yang bernama Anta dan
Melinia. Mereka memiliki usaha berjualan ikan tetapi
usahanya ini seperti orang yang berjalan, maju tidak
mundur juga tidak. Intinya selalu seperti itu tidak ada
perubahan. Lalu tetangganya memberikan saran untuk
melakukan metode cepat yakni dengan pesugihan yang
dilakukan di Pulau Seprapat.

Konon Pulau yang di dalamnya terdapat makam


Datuk Lodang ini dalam bentuk mushola, yang banyak
dihuni kera jadi-jadian. Mereka adalah manusia yang
mengambil pesugihan di Pulau Seprapat yang meninggal
dan akhirnya tinggal di sana. Meski jasadnya mati, tetapi

184
mereka hidup di dimensi lain dan menjadi budak yang
memberikan kekayaan. Sebagian orang percaya, bila
ritual pesugihan di Pulau Seprapat terkabul.

Kera-kera yang ada di Pulau seprapat keadaannya


berlainan dengan kera-kera yang ada di lain daerah.
Kera-kera di Pulau seprapat dapat mengetahui atau
membedakan orang yang berderajat daripada orang-
orang yang tidak. Apabila orang yang datang kesana
adalah seorang pemimpin, maka kera-kera tersebut tidak
mau mendekati terlebih dahulu.

Apabila, ada seseorang yang datang untuk


meminta maksud dan tujuannya, maka caranya ialah
dengan membawa telur. Biasannya kera-kera tersebut
menyukai telur. Setelah diketahui oleh kera (pimpinan)
bahwa yang datang tersebut tidak dapat terkabulkan,
maka seolah-olah kera tesebut memuntahkan makanan
tersebut seakan-akan makanan itu tidak enak. Jadi,
permintaan seseorang tersebut tidak terkabul. Bentuk
dari kera-kera tersebut adalah halus dan jinak, seakan-
akan mengetahui sopan santun.

185
Semenjak mereka mengambil pesugihan tersebut
usaha mereka lebih maju dan mereka sampai bisa
membeli kapal untuk berlayar ke laut untuk mencari
ikan. Tapi, hasil pesugihan tersebut tidak bertahan lama
karena mereka sadar denga napa yang mereka lakukan
tersebut sangatlah salah. Mereka berdua memutuskan
untuk berhenti melakukan ritual pesugihan karena
pesugihan tersebut memberikan efek kepada anggota
keluarganya yang sering sakit-sakitan dan berujung
kematian.

Pulau Seprapat dulu dijadikan tempat ngalap


berkah, yang namanya sekarang diubah menjadi Syekh
Datuk Lodang wali Joko, karena pada bulan Syawal atau
bersamaan dengan perayaan tradisonal nelayan yang
dikenal dengan Sedekah Laut.Pulau Seprapat ini juga
diselenggarakan acara ziarah yang dilanjutkan dengan
pengajian. Menurut seorang tokoh masyarakat
Bendar.Jumlah warga yang mengikuti ziarah dan yang
mengikuti pengajian juga bertambah banyak.

Dari cerita di atas kita harus selalu berpikiran


positif dan jangan melakukan hal-hal yang memiliki nilai

186
negatif. Kita boleh saja melestarikan budaya agar budaya
tersebut tidak hilang dan tetap lestari, selalu di ingat oleh
para masyarakat setempat. Namun kita juga harus
mempercayai akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan
janganlah menganut hal-hal yang mempunyai nilai
negatif bagi kehidupan. Dari uraian cerita di atas kita
dapat mengambil sisi positif untuk dijadikan pelajaran
bagi kehidupan. Selain itu, kita sebagai generasi muda
turut andil untuk melestarikan sejarah tersebut agar
sejarah tersebut tetap diingat dan tidak dilupakan.

Kita harus selalu bersyukur atas apa yang Tuhan


berikan. Dan janganlan sekali-kali melakukan sesuatu
yang tidak di sukai Tuhan. Kita harus berpikiran positif
dan janganlahberpikiran yang memiliki nilai negatif.
Alangkah indahnya jika kita menjalani hidup ini dengan
biasa saja. Berserah dan melibatkan Tuhan dalam setiap
perencanaan, hidup Bahagia walau sederhana dengan
pasangan dan anak-anak kelak. Aplikasikanlah pepatah
latin “Ora et labora” yang berarti berdoalah dan bekerja.
Janganlah kalian bergabung dengan hal-hal yang berbau
mistik, karena meraih kesuksesan dengan kerja keras

187
akan membawa kebahagiaan tersendiri bagi orang yang
berangkutan.

188
Perang Obor
Sefia Dinda Alerina
Perang Obor adalah salah satu upacara tradisonal
yang dimiliki oleh masyarakat Kabupaten Jepara.
Upacara tradisonal ini berkembnag di Desa Tegalsambi
Kecamatan Tahunan. Berjarak 4 km dari pusat kota.
Untuk menuju Desa Tegalsambi dapat ditempuh dengan
kendaraan sekitar 15 menit dari Alun-Alun Kota Jepara.
Bagi masyarakat Desa Tegalsambi Upacara Tradisonal
Perang Obor ini yang sarat dengan berbagai pesan moral,
adat istiadat, kebiasaan, dan unsur budaya. Oleh sebab
itu Upacara Tradisonal Perang Obor ini sangat dinanti-
nanti oleh warga sekitar.

Perang Obor atau disebut juga obor-oboran,


merupakan salah satu Upacara Tradisonal yang dimiliki
dan berkembang secara turun temurun oleh masyarakat
Kabupaten Jepara, khususnya Desa Tegalsambi. Obor
yang digunakan tidak sembarang obor, melainkan terbuat
dari 2 atau 3 buah gulungan pelepah kelapa kering dan
bagian dalamnya di isi dengan daun pisang kering atau
dalam Bahasa Jawa di sebut klaras. Obor yang terdiri

189
dari 2 atau 3 buah gulungan lalu dinyalakan bersama
sebagai alat saling menyerang maka terjadilah benturan-
benturan obor yang memercikkan hawa panas, dan
pijaran-pijaran api yang besar, yang memunculkan nama
Perang Obor. Perang Obor rutin dilaksanakan setiap
tahunnya sebagai sedekah bumi.

Munculnya acara Upacara Tradisional Perang


Obor adalah, konon pada zaman dahulu ada tokoh Mbah
Kiai Babadan dan Kiai Gemblong. Mbah Kiai Babadan
ini adalah seorang petani yang sangat kaya raya dengan
sebutan “Mbah Kyai Babadan’’. Ia mempunyai banyak
binatang peliharaan terutama kerbau dan sapi. Dengan
jumlah kerbau dan sapi yang cukup banyak sangat tidak
mungkin jika Mbah Kiai Babadan mengembalakannya
sendiri, lalu beliau mencoba mencari sesorang yang mau
memelihara binatang- binatang tersebut. Setelah mencari
Mbah Kiai Babadan berhasil mendapatkan Ki Gemblong.
Tidak di sangka Ki Gemblong sangat rajin dan tekun.
Setiap pagi dan sore ia selalu memandikan hewan-hewan
milik Mbah Kiai Babadan ke sungai, binatang
peliharannya terlihat gemuk-gemuk dan sehat karena Ki

190
Gemblong selalu memastikan makanannya dengan
sangat baik. Melihat kinerja Ki Gemblong, Mbah
Babadan merasa senang dan puas karena dapat
mempercayakan hewan peliharannya kepada orang yang
tepat.

Namun suatu ketika, pada saat Ki Gemblong


mengembala di tepian sungai Kembangan, ia melihat
banyak ikan dan udang di sungai tersebut. Tanpa berpikir
panjang ia langsung menangkap ikan dan udang tersebut,
dan langsung membakar ikan dan udang hasil
tangkapnnya dan dimakan di makan di kandang. Karena
keasikan dan terlena menangkap ikan dan udang, Ki
Gemblong lupa mengurus hewan ternak milik Mbah Kiai
Babadan, dan tanpa sadar hewan-hewan tersebut semakin
kurus dan tidak terawat. Beberapa hewan mengalami
sakit-sakitan karena tidak diberi makan oleh Ki
Gemblong yang asyik menangkap ikan dan udang.
Bahkan beberapa hewan ada yang sampai mati
kelaparan. Keadaan ini membuat Mbah Kiai Babadan
bingung, Mbah Kiai Babadan berusaha mencari obat-

191
obatan dan jampi-jampi untuk mengobati hewan-hewan
peliharaanya tetapi tidak sembuh juga.

Pada suatu hari, Mbah Kiai Babadan datang ke


kandang dan melihat Ki Gemblong sedang membakar
ikan dan udang hasil tangkapnnya dan dengan nikmat
menyantapnya di dalam kandang. Mbah Babadan sekita
terkejut melihat perilaku Ki Gemblong, ternyata inilah
yang menyebabkan hewan-hewannya sakit dan mati.
Mbah Kiai Babadan marah besar, seketika Ki Gemblong
langsung dihajar dengan menggunakan obor dari pelepah
pisang. Ki Gemblong yang merasa bahwa dia sedang
diserang tidak tinggal diam, ia juga mengambil sebuah
obor yang sama untuk mengahadapi Mbah Kiai Babadan
sehingga terjadilah saling perang menggunakan obor dari
pelepah pisang. Dan dengan kejadian tersebut muncul
istilah ‘’Perang Obor’’ yang apinya berserakan kemana-
mana dan sempat membakar tumpukan jerami yang
terdapat disebelah kandang. Kobaran api tersebut
mengakibatkan sapi dan kerbau yang berada di kandang
lari tunggang langgang dan tanpa diduga yang tadinya
sakit akhirnya menjadi sembuh bahkan binatang tersebut

192
mampu berdiri dengan tegak sambal memakan rumput di
ladang.

Kejadian aneh dan tak terduga tersebut diyakini


masyarakat Tegalsambi dengan baik sebagai bentuk
mukjizat. Peperangan yang terjadi secara dramatis dan
tak terduga tersebut malah dapat menyembuhkan segala
penyakit. Maka dari itu masyarakat percaya bahwa
adanya perang obor dapat mengusir berbagai bentuk
penyakit yang ada di Desa Tegalsambi. Perang Obor
antara Mbah Kiai Babadan dengan Ki Gemblong tersebut
sekarang dikembangkan menjadi tradisi rutin oleh
masyarakat Tegalsambi Jepara.

Dengan adanya peristiwa pertarungan obor antara


Mbah Kiai Babadan dan Ki Gemblong warga
Tegalsambi percaya Perang Obor dapat menjauhkan
bencana. Kemudian warga Tegalsambi mengadakan
upacara tradisional perang obor sebagai tolak bala dan
sedekah bumi. Acara tersebut biasanya diselenggarakan
pada Senin Pahing malam Selasa Pon di Bulan
Dzulhijjah dalam kalender Jawa atau Arab. Acara
tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang

193
Maha Esa atas limpahan rahmat, hidayah, serta taufik
yang telah dilimpahkan kepada warga Tegalsambi.

Warga Tegalsambi berkeyakinan jika upacara


tersebut tidak dilaksanakan maka akan datang wabah
penyakit dan malapetaka, sehingga akan mengakibatkan
bencana bagi penduduk. Sebelum melaksanakan upacara
tradisi Perang Obor penduduk menggelar selamatan di
punden-punden yang diyakini sebagai makam para
leluhur dan sesepuh pendiri Desa Tegalsambi. Pada
proses selanjutnya adalah penyembelihan hewan kurban
untuk sesaji, adanya pementasan wayang kulit,
dialnjutkan dengan barikan atau selamatan di Masjid lalu
ada acara puncak yaitu Upacara Tradisional Perang
Obor.

Dibalik sebuah peristiwa atau kejadian zaman


dahulu selalu khas dengan makna atau pesan
didalamnya. Siapa yang menyangka hanya karena
kelalaian sang penjaga ternak bisa menimbulkan
peperangan yang sangat hebat. Ki Gemblong berkhianat
tidak bisa menjaga hewan ternak dengan baik, murkanya
Mbah Kiai Babadan membuat peperangan yang di namai

194
“Perang Obor” mereka berdua saling serang dengan
melempar obor. Hewan-hewan diternak berlarian karena
kobaran api yang semakin besar, tak diduga hewan yang
semula sakit tidak bisa berjalan malah sembuh berlari
dengan kencang. Kobaran api yang semakin besar
membuat kandang hewan terbakar habis. Namun tak ada
satupun hewan yang mati karena terbakar kobaran api,
Kiai Babadan menemukan hewan-hewan ternaknya asyik
memakan rumput di ladang.

Masyarakat Desa Tegalsambi meyakini bahwa


dengan adanya upacara tradisional Perang Obor, maka
warga bisa terhindar dari segala macam bahaya.
Beberapa mitos yang berkembang jika upacara tradisonal
Perang Obor ini tidak dilakukan adalah terdengar uman
harimau jika terlambat pemberian sesaji, lalu ada mitos
yang berkembang jika upacara tradisional ini tidak
dilakukan akan timbul bahaya. Ada minyak penyembuh
luka, minyak ini khusus dibuat oleh ibu Petinggi
Tegalsambi. Dalam puncak acara upacara tradisional
perang obor ada dua kubu yang saling menyerang
dengan menggunakan obor, karena saling menyerang

195
itulah yang timbul luka bakar ditubuh pemain Perang
Obor, jadi fungsi minyak ini adalah untuk
menyembuhkan luka bakar tersebut. Bahan yang
digunakan adalah minyak kelapa dicampur bunga bekas
doa selama satu tahun.

Barangkali dengan melestarikan cerita rakyat ini


dan menjalankan budaya yang ada kita sebagai manusia
dapat hidup berdampingan dengan semesta dan
menyelaraskan semuanya dengan baik. Dengan sikap
tanggung jawab, seharusnya penjaga ternak yaitu Ki
Gemblong dapat menjaga dan bertanggung jawab penuh
terhadap tenrak milik majikannya, tetapi Ki Gemblong
malah berkhianat, hal tersebut dapat menjadi alat
pendidikan sebagai pentingnya sikap tanggung jawab.
Nilai religius juga sangat ditonjolkan dalam Upacara
Tradisional ini yaitu sedekah bumi ini merupakan bentuk
rasa syukur kepada Allah Swt. atas kelimpahan rahmat
kepada warga Tegalsambi. Pesan moral dalam cerita ini
adalah yang bersalah harus mendapatkan hukuman.
Hukuman ini agar ada efek jera dan tidak ingin
mengulangi kesalahannya lagi.

196
Hitungan Pakem dalam Pernikahan Jawa

Fauziatul Husna
Sawah masih begitu terbentang luasnya, rumah
kayu adat jawa masih berdiri kokoh dan berpenghuni
lumayan banyaknya. Kebiasaan sehari-hari seperti
mandi, mencuci baju masih terlaksana dengan senangnya
ditepian sungai. Itulah suasana salah satu desa, penuh
dengan pelukan sejuk dari udara dan damai asri menjadi
kepemilikannya. Ngundaan nama desanya. Desa kecil,
tapi hangat persaudaraannya.
Rahayu, salah satu gadis Ngundaan. Gadis biasa,
bahkan mekarnya bunga mawar jauh lebih indah
daripada Rahayu. Bahkan, beningnya air yang mengalir
di Ngundaan jauh lebih jernih daripada Rahayu. Namun,
daun pasti akan lepas dari rantingnya saat tiba masanya.
Seperti itulah Rahayu, dia tau kapan harus menundukkan
kepala saat berjalan dan berpapasan dengan para orang
tua.
“Monggo, Buk. Amit sewu nggih.” Ucap Rahayu.

197
Begitu sopannya dia, namun dia seperti bedug yang ada
di masjid, tidak akan bersuara jika ia tidak dipukul
terlebih dahulu.
Sosok Rahayu, secara diam menanam cinta
bersama Arya. Sosok Arya begitu berpengaruh terhadap
Rahayu. Diamnya dulu Rahayu, kini mulai sedikit
terhapuskan dengan bantuan support Arya. Cinta yang
tertanam diantara mereka, kurang lebih sudah tertanam 1
tahun lamanya. Lama, seharusnya sudah cukup untuk
mereka saling memahami antara satu dengan satunya.
Namun, ternyata hubungan lama tidak menjamin merekat
kuat seperti lem alteko yang dijual di toko-toko.
“Coba kamu perbaiki sircle pertemananmu, ay.” Ucap
Arya.
“Em..aku usahakan.” Sahut Rahayu.
1 tahun lamanya, sangat sekali dominan akan
pertengkaran, seperti film Tom And Jerry, seperti itulah
Rahayu dengan Arya. Semisal hari ini baik, 3 hari ke
depan bertengkar, 2 hari baik satu minggu hilang tanpa
kabar, tapi masih saling bertahan dalam hubungan. Arya
dengan Rahayu adalah sama-sama anak pertama. Pantas
jika mereka egonya sama-sama besarnya seperti gunung

198
muria. Sering sekali pertengkaran teradi, debat, adu
pendapat, tiada henti-henti. Hubungan yang lelah akan
pertengkaran, hubungan yang lelah karena perselisihan,
tapi sebenarnya mereka saling menyayangi namun
egonya yang terlalu tinggi. Mengalah sulit sekali bagi
Rahayu dan Arya, satu sama lain, ingin dianggap yang
benar.
Akan tetapi, dibalik semua ujian hubungan yang
dialami diantara Rahayu dengan Arya, mereka
mengusahakan segala cara, bagaimana agar
hubungannya penuh dengan bahagia. Mulai dengan cara
ke 1 sampai dengan cara ke 1000. Mungkin bisa
dibilang, cara-cara itu kurang berhasil. Pertengkaran
tetaplah terus ada, bahagia tetap terselip ada di
dalamnya, meskipun sedikit adanya. Seperti itu kondisi
hubungan Rahayu dengan Arya. Entah hubungan yang
dipaksakan bertahan ini baik atau tidak, tapi yang pasti
mereka saling mempertahankan.
Sebagai orang jawa, pasti sudah ada kepercayaan
yang dimiliki dan tentunya sebisa mungkin harus dijalani
dan dipercayai. Seperti yang sudah diketahui banyak
orang, pernikahan antara anak pertama dengan anak

199
pertama sebisa mungkin itu jangan dilakukan. Karena
menurut orang jawa, jika pernikahan tetap terlaksana,
akan ada pihak keluarga yang mengalami musibah. Dan
alasan sederhananya, karena memiliki sikap keras kepala
yang sama. Dan itulah yang terjadi diantara Rahayu dan
Arya. Tidak hanya itu, hitungan weton jawa diantara
Rahayu dengan Arya menunjukkan “Padu” yaitu antara
ahad legi dengan selasa pahing. Sudah sama-sama keras
kepala karena sama-sama anak pertama, ditambah
hitungan jawa menunjukkan padu. Padu diartikan kurang
baik, karena nantinya akan banyak terjadi cek-cok
dikehidupan keluarganya.
“Terserah kamu, kamu tidak peduli dengan aku” ucap
Rahayu.
“Terserah apa katamu” sahut Arya
“Kamu itu ya, dahlah” sahut Rahayu
“Terserah kamu, aku iyain semua perkataanmu” sahut
Arya
“Iya” jawab Rahayu
“Iya leh iya” sahut Arya
Meskipun mitos menunjukkan lebih baik tidak
terjadi pernikahan, namun Rahayu dan Arya tetap saja

200
ingin tetap ada sebuah pernikahan. Rahayu dan Arya
kemudian meminta restu kepada orang tuanya untuk
kelanjutan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.
Orang tua dari mereka saling mengetahui mitos mereka
di adat jawa, tapi bagi mereka, jika mereka saling
menyayangi dan mencintai itu tidak masalah bagi
mereka. Orang tua akan tetap mendukung keputusan
mereka, selagi hal itu masih dalam hal baik. Restu orang
tua pun sudah digenggaman Rahayu dan Arya. Orang tua
Rahayu dan Arya bukan tidak menghormati dan
mempercayai tradisi jawa, tapi bagi mereka, apa yang
sudah menjadi pilihan anak, akan mereka dukung.
Tepat 6 bulan setelah satu tahun hubungan pacaran
mereka, akhirnya pernikahan mereka terlaksana.
Pernikahan sederhana nuansa hijau yang berjalan begitu
lancarnya. Kebahagiaanpun menyelimuti Rahayu dan
Arya sekeluarga. Do’a-do’a baik dari tamu undagan
diucapkan silih berganti kepada Rahayu dan Arya.
“Samawa ya, ay”
“Langgeng ya, ay. Semoga sakinnah mawaddah wa
rohmah”
“Terima kasih ya”

201
Kebahagian pernikahan sedang menyelimuti
Rahayu dan Arya. Namun, padu diantara mereka yang
sudah ada sebelum pernikahan terjadi, akhirnya selang
tidak cukup lama setelah pernikahan, permasalahan dan
cek-cok rumah tangga kian menjadi penghias rumah
tangga mereka. Berjalannya waktu adu pembicaraan
kerap terjadi dan saling membisu beberapa saat adalah
buah hasil dari perdebatan tersebut. Entahlah, mungkin
berdebat dan bertengkar adalah cara mereka
menggambarkan perasaan sayang diantara mereka.
Bahkan peletakan figura saja bisa menjadi permasalahan
bagi Rahayu dan Arya
“Fotonya pasang di ruang tamu aja, Yah”
“Di kamar aja ya?”
“Di ruang tamu bagus, nanti bisa dilihat orang yang
dating kerumah”
“Di kamar aja, biar kita aja yang ngeliat”
“Di ruang tamu aja, yah”
“Yaudah pasang sendiri sana!”
“Tauklah, ngak usah dipasang sekalian”
“Yaudah, biarin aja ngaada foto pernikahan”
“Iya”

202
2 tahun berjalannya pernikahan, akhirnya petaka
mengenai mitos pernikahan antara anak pertama dengan
anak pertama akhirnya terjadi. Entah itu benar terjadi
karena petaka mitos tersebut, atau entah hanya kebetulan
semata. Ayah dari Arya, yaitu Ayah mertua dari Rahayu
mengalami kelumpuhan. Kakinya mulai lamban untuk
difungsikan dan bahkan salah satu tangannya pun sudah
mengalami kelumpuhan. Sudah berbagai cara
pengobatan dilakukan, dari mulai meminum obat dari
resep dokter hingga pijat ke berbagai daerah sudah
dilakukan, namun hasilnya masih tetap sama yaitu masih
belum mendapatkan kesembuhan juga. Cek-cok diantara
mereka pun kian waktu kian marak, atau semakin
menjadi-jadi cek-cok diantara mereka.
Hingga akhirnya, diantara Rahayu dan Arya sudah
sampai pada titik lelah mereka. Sabara selama ini pada
akhirnya sudah sampai batasnya. Rahayu dan Arya pun
memutuskan untuk menyelesaikan hubungan pernikahan
mereka. Mungkin memang tidak bersama adalah jalan
ynag terbaik untuk mereka. Tidak bisa bersama, bukan
berarti tidak pantas tapi memang bukan ruangnya mereka

203
untuk bisa dalam wadah yang sama. Akhirnya, bercerai
secara baik-baik menjadi jalan terakhir mereka.
“Arya, sebelum kita benar-benar berpisah, akan aku
buatkan perpisahan terindah untuk kita”
“Tidak ada perpisahan yang indah”

204
Memudar

Rizka Afrih Liya

Matahari pagi mulai menyiramkan cahayanya dari


ufuk timur. Suara kokok ayam bersahut-sahutan
bergembira ikut menyemarakkan suasana pagi. Cicit-
cicit burung terdengar berhinggapan dari satu pohon ke
pohon lain. Tak kalah pula ramai riuh sapu lidi yang
bergesekan dengan tanah dari tiap-tiap pelataran rumah,
termasuk pula dari pelataran rumah bapak.

Pagi ini sendiri sengaja agak kulambatkan kegiatan


menyapuku. Hari ini adalah hari Jumat. Hari bahagia
bagi santri-santri karena hari itu adalah hari santri bisa
diizinkan untuk keluar dari pondok. Sedikit kebahagiaan
untukku juga karena bisa curi-curi pandang kepada
kang-kang santri yang biasa lewat di depan rumahku
untuk berziarah ke makam seorang tokoh agama
berdarah Cina yang juga seorang ahli ukir ternama, yakni
Kiai Telingsing.

Rumahku sendiri berada di jarak 2 menit ke selatan


dari situs peninggalan Sunan Kudus. Daerah yang masih

205
cukup kental dengan suasana pesantren. Bukan rumahku
sebenarnya, melainkan rumah kedua orang tuaku.

Hari ini ibu menyuruhku mengirim makanan ke


rumah simbah. Kebetulan rumah beliau tak jauh dari
rumahku. Aku hanya perlu berjalan kaki untuk sampai ke
rumah simbah. Beruntungnya beliau sedang duduk di
teras rumahnya yang berundak sehingga aku tak perlu
lama menunggu.

"Mbah, niki diaturi sekul kalih ibuk" Aku


mengutarakan maksud kedatanganku yang tentunya
sudah diketahui simbah lantaran tentengan yang kubawa
di tanganku. Simbah menerima rantang yang kuberikan
lalu membawanya ke dalam rumah. Tak lama kemudian
‘simbah keluar dengan membawa sepiring singkong
goreng hangat yang sebenarnya dari ibu juga. Kami
berdua menikmati singkong goreng sambil memandang
deretan tanaman yang masih terawat dengan baik. Aku
mulai membuka percakapan.

"Mbah, kok sekarang sudah nggak pernah lagi bikin


ramuan untuk bersih-bersih rumah?"

206
"Sekarang sudah ndak ada tenaganya, Nok. Kalau
dulu ya masih banyak yang bantuin. Sekarang paman-
pamanmu ya sudah sibuk sendiri-sendiri"

"Sebenarnya ramuan itu fungsinya apa sih, Mbah?"

"Ya biar kayunya awet, ndak dimakan rayap. Apalagi


dulu kan masih banyak ukirannya"

"Loh, nopo nggih mbah? Saya kok ndak pernah lihat


ukirannya"

"Iya, lah wong sudah dijual. Dulu rumah ini banyak


ukirannya. Tapi satu-persatu dijual ke wong londo buat
berobat simbahmu"

"Oh ngoten. Kok sayang sekali nggih, Mbah. Andai


saja sampai sekarang ukirannya masih ada semua, pasti
cantik sekali rumah simbah"

"Iya, mau bagaimana lagi, dulu ndak ada uang jadi ya


terpaksa harus menjual apa yang ada. S’ekarang yang
bersisa ya sedikit ukiran di pintu itu"

‘ “Memangnya bagian mana saja toh, Mbah, yang


dipasangi ukiran?”

207
‘ “Hampir seluruhnya ada ukiran. Bentuknya pun
macam-macam. Misalnya ukiran naga, leta’knya ada
pada bangku kecil untuk masuk atau biasa disebut dipan.
Kemudian ukiran mah’kota, ada di atas pintu masuk ke
gedongan. Lalu ukiran bunga dan sulut-suluran, itu ada
di ru’ang jogo satru. Yang terakhir ada ukiran padupaan
yang ada di antara pembatas ruang jogos’atru dan ruang
sentong dalam.”

“T’adi simbah bilang ada gedongan, ruang jogo satru,


itu apa, Mbah?”

“Jo’gosatru, nama bagian depan dari rumah adat


Kudus. Jogo artinya menjaga dan satru artinya ‘musuh.
Tapi ya sehari-hari ruangan ini digunakan sebagai tempat
menerima tamu. Di dalam r’uangan ini terdapat satu
tiang yang disebut soko geder, yang melambangkan
Tuhan yang tun’ggal dan mengingatkan penghuninya
agar selalu iman dan taqwa kepadan Gusti Allah.
Ke’mudian ruang dalam sebagai kamar-kamar atau
sentong dan gedongan atau kamar utama digu’nakan
untuk menyimpan benda-benda pusaka, kekayaan, dan
sebagai kamar tidur kepala kelu’arga. Di dalam

208
gedongan ini ada empat soko guru yang melambangkan
“Nafsu Patang Prak’oro” atau 4 jenis nafsu manusia
yaitu amarah, luamah, suah dan mutmainah. Hal ini
berarti b’ahwa penghuninya harus mampu menguasai
dan mengendalikan hawa nafsu tersebut. Ada’ satu lagi
yaitu pawon atau dapur, digunakan sebagai ruang
keluarga, misalnya untuk ruang m’akan, ruang bermain
anak-anak dan dapur."

”Terus ada ‘ciri khas apa lagi mbah dalam rumah


joglo selain ukirannya? Kan yang saya lihat selama ini
‘ya saya kira memang seperti ini saja rumah joglo?"

"Yang khas y’ang dari luarnya ya misalnya itu


gentengnya. Yang bagian tengah kan kamu bisa lihat itu
bentu’knya macam-macam"

Tak puas jika hanya’ membayangkan cerita simbah, aku


lalu berdiri sambil memandang deretan genteng yang
‘beberapa sudah mulai patah. Simbah menyusulku
berdiri.

"Genteng satu yang’ paling atas yang beda sendiri


itu, itu namanya genteng kelir. Kemudian yang samping

209
‘kanan kirinya itu, namanya genteng pengapit. Nah yang
paling ujung ada dua itu, namanya gen’teng cungkrik."
Simbah menjelaskan sambil menunjuk satu-persatu
genteng yang dimaksud. ‘

"Lah kalau tanaman-ta’naman yang di depan rumah


ini juga ada maknanya nopo mboten mbah?"’

"Ada’. Itu pohon belimbing, melambangkan 5 rukun


Islam. Yang di sebelah sana pandan wangi, se’bagai
simbol rejeki yang harum / halal dan baik. Kemudian
bunga melati, yang melamban’gkan keharuman, perilaku
baik dan berbudi luhur, serta kesucian abadi.”

“Berart’i semua bagian rumah ini ada filosofinya


tersendiri nggih, Mbah”

“Iya, jelas. ‘Makanya kelak kamu juga harus


melestarikan warisan budaya seperti rumah joglo tua
milik sim’bah ini. Karena warisan budaya pasti sarat
akan makna di dalamnya. Kalau bukan kita yang
me’mulai, siapa lagi yang akan menjaga kebudayaan
negara ini. Apalagi di zaman yang sekarang’ sudah serba

210
canggih ini, jiwa-jiwa ingin melestarikan mungkin sudah
pudar di beberapa orang’”.

Senang seka’li rasanya bisa memperoleh banyak ilmu


dari simbah hari ini. Pasti momen seperti ini yang ‘akan
selalu kurindukan di masa depan. Setelah banyak
mengobrol dengan simbah, aku berge’gas pulang karena
matahari sudah mulai meninggi dan simbah harus bersiap
untuk sholat Jumat’.


‘***

Enam tahun berlalu sejak pagi hari itu ket’’ika


simbah menjelaskan makna dari rumah joglo khas kudus.
Aku berdiri tepat di hadapan ru’mah itu seperti saat
simbah menunjuk berbagai jenis genteng yang
bertengger di atas rumah. ‘Namun, kini aku berdiri
sendirian di sini sambil menatap genteng yang satu dua
sudah ada ‘yang merosot. Menyedihkan rasanya melihat
pemandangan di depanku ini. Tanaman-tana’man liar
menjalari pohon-pohon di halaman rumah. Bunga melati
yang dulu rajin terpangk’as kini tangkainya memanjang
ke segala arah. Daun-daun berserakan memenuhi

211
pelataran rumah. Tak sampai itu, aku berjalan memasuki
ruangan-ruangan di dalam rumah. Miris rasa’nya melihat
rumah-rumah rayap yang mulai meninggi di sekitar
dapur. Mungkin sebentar lag’i kayu-kayu pun mulai
mengeropos digerogoti rayap yang pastinya akan
semakin banyak ji’ka tidak dibersihkan.

Rumah joglo ini kini telah tak berpenghuni. Simbah’


sudah berpulang beberapa tahun lalu. Sayang sekali tak
ada satupun anak simbah yang mau m’erawat rumah tua
ini. Terkadang ibu menyapu pelataran rumah agar tak
penuh oleh daun ker’ing. Rumput-rumput liar pun hanya
sesekali dipangkas agar tak terlalu tinggi. Aku sendiri
ta’k bisa terus-terusan menjaga rumah simbah karena
harus menuntut ilmu di kota orang. Aku ‘hanya
berkunjung ke rumah simbah ketika aku pulang ke
kampung halaman. ‘

Desas-desus tak mengenakkan mulai t’erdengar di


telingaku. Kabar yang sangat menganggu pikiranku
sepanjang hari. Sore I’’ni ibu dan bapak sedang
berunding di teras samping. Kata bapak, siang tadi beliau
men’dapat telepon dari paman yang berencana membawa

212
seorang makelar kolektor kayu ke rum’ah simbah. Sudah
tentu paman merencanakan akan membongkar rumah
simbah dan menj’ual kayunya.

Keesokan harinya paman sungguh datang ke


rumah’ku bersama istrinya. Aku cukup khawatir jika saja
paman benar-benar membawa makelar it’u hari ini. Tak
lama berselang adik perempuan ayah turut datang
bersama suami dan anak’-anaknya. Sedari tadi aku sibuk
mempersiapkan minuman dan kudapan untuk saudara-
saud’ara yang hadir hari ini. Singkong goreng khas
buatan ibu yang selalu mengingatkanku pada’ simbah.
Mataku seperti hendak berkaca-kaca kalau saja aku tak
menahannya. Entah simbah ‘akan bahagia atau justru
bersedih jika menyaksikan rumah turun-temurun yang
dulu dijagany’a dengan sepenuh hati kini akan hilang tak
berarti. Aku berpikir sekuat tenaga bagaimana aku’ akan
masuk ke diskusi keluarga nanti agar tetap sopan dan
usulanku untuk tetap menjaga keutuhan rumah diterima.
Aku sama sekali tak menginginkan rumah itu dijual.
Apalagi jika rum’ah itu dirobohkan, aku tak akan
sanggup menyaksikannya. ‘

213
Perbincangan santai sud’ah dimulai. Bapak berbasa-
basi dengan menanyakan kabar paman dan bibi saat ini.
Aku sudah ‘bersiap siaga untuk mengutarakan
keinginanku. Percakapan basa-basi pun usai. Paman
mem’ulai pembicaraan yang merupakan inti dari
pertemuan hari ini. Bapak hanya diam mend’engarkan
dalam diam. Sedangkan bibi manggut-manggut
mendengarkan penjelasan pa’man. Aku yang
mendengarkan sedari tadi geram karena dari tadi yang
kudengar dari setiap perkataan paman pada intinya hanya
tentang satu hal, uang. Paman menginginkan agar rumah
sim’bah segera dijual. Menurutnya pembagian warisan
harus segera diselesaikan agar tak repot jika’ harus
ditunda-tunda. Bibi hanya menyetujui setiap perkataan
paman. Bapak sebagai anak ter’tua tak mau hubungan
persaudaraan terpecah hanya karena berebut harta
warisan. Aku sebag’ai cucu simbah yang pertama merasa
geram.

“Nuwun sewu, Paman, tapi bu’kankah warisan bukan


selalu tentang uang? Rumah joglo itu juga termasuk
warisan, bukan ha’nya warisan simbah, bahkan rumah

214
semacam itu termasuk warisan budaya yang harus
dilesta’rikan. Bukankah jika rumah simbah direstorasi,
diperbaiki, dan dirawat seperti semula akan
‘mendatangkan berkah tersendiri? Atau jika panjenengan
semua keberatan, kita bisa mengaju’kan bantuan kepada
dinas pariwisata supaya rumah joglo simbah bisa tetap
bertahan.”’

Paman tampak diam sejen’ak. Dia menggeleng tegas.


Menurutnya akan memerlukan waktu yang lama jika
harus mengaj’ukan bantuan semacam itu. Jika
memutuskan untuk menjual rumah dan tanah tersebut
utuh’ kepada pemilik usaha, tentu akan sulit bernegosiasi
menawar harga yang cukup tinggi meng’ingat kondisi
rumah yang sudah tak utuh lagi. Paman tetap bersikeras
membawa makelar k’ayu minggu depan. Aku hendak
memprotes lagi, tapi ibu menahanku.

Seminggu ini tak henti-hentin’ya aku berdoa agar


makelar kayu yang akan dibawa paman tak jadi membeli
kayu entah apapu’n alasannya. Hanya ini caraku agar
mengulur waktu supaya rumah simbah tak jadi
dirobohkan’. Aku akan mencari cara lagi supaya rumah

215
simbah bisa kembali seperti semula. Tak lama ke’mudian
terdengar paman sudah datang ke rumah bersama
seorang laki-laki berperawakan besar’. Mungkin dia
makelar kayu yang dimaksud paman dalam pertemuan
minggu lalu. Setela’h bertemu dengan bapak, mereka
kemudian pergi ke rumah simbah. Aku tak ikut ke sana
‘karena ibu tidak mengizinkanku pergi. Aku menuruti
perintah ibu. Aku menunggu mereka de’ngan gelisah.
Entah apa saja yang mereka bicarakan di sana.

Setelah beberapa jam akhirnya bapak ‘kembali. Aku


tak melihat paman dan pria tadi. Bapak tersenyum kecil
kepadaku. Aku terheran s’ekaligus was-was akan
hasilnya.

“Rumah simbah tidak jadi dijual. Mak’elar tadi tak


berani memasang harga tinggi karena ternyata sudah
banyak kayu yang lapuk di b’agian dalam rumah. Tapi
pamanmu tetap tak setuju tentang rencanamu merestorasi
rumah, me’nurutnya tak akan banyak keuntungan yang
akan didapat. Dia berencana mencari makelar lai’’n yang
berani menawar harga lebih tinggi.”

216
Aku kecewa sekaligus bersyukur. Setida’knya selama
paman berusaha mencari makelar lain, aku akan mencari
cara dan alasan agar rumah joglo simbah tetap utuh.

“Bagi bapak menjaga saudara-saudara aga’r tak


berperang seperti menjadi tanggung jawab bapak.
Namun, bapak bangga terhadap sem’angatmu yang tak
memudar dalam berusaha melestarikan warisan budaya.
Warisan seharus’nya memang bukan soal uang,
melainkan apa yang bisa kita jaga dan kita manfaatkan
ke depa’nnya”.

217
Menanam Kopi Tumbuhlah Hati
Johan Setiawan
Kisah menjadi kasih yang selalu terngiang dalam
sebuah tatanan kehidupan manusia. Selalu tak terduga
juga menduga apa-apa yang ditakuti dan yang tidak
ditakuti. Frendy selalu bertanya tentang bagaimana
kehidupan yang benar-benar hidup. Peperangan,
materialistis, cinta belum satupun menjawab
pertanyaanya.

“ Apakah manusia harus selalu menang dalam


peperangan? ” renung Frendy

Ia terlalu dini untuk membicarakan persoalan yang


selalu membuatnya bertanya-tanya dan bingung. Sering
kali bingung Frendy memutuskan keluar dari rumah,
menaiki sepeda motornya yang bernama Dadang menuju
sebuah kedai kopi diujung perbatasan wilayah kota
Demak dan Jepara, dan bertemu dengan teman-
temannya. Sekitar lima belas menit Frendy sampai di
kedai kopi, ia tidak langsung memesan minuman ataupun
makanan, suasana kedai yang dihiasi lampu-lampu
muram, bunga-bunga, ikan-ikan dalam akuarium, dan
218
alunan musik slow rock membuat ia ingin langsung
duduk bersanding dengan tiga temanya yang datang lebih
dulu darinya. Bersalaman menjadi gambaran awal bentuk
rasa keharmonisan antar teman, sambil tersenyum ia
menyapa dan bersalaman kepada semua temanya. Lalu
sedikit bertanya dengan celotehan-celotehan sebagai
pengantar perbincangan selanjutnya.

“ Gimana ini Indonesia? ”

“ Haish! Indonesia kok terus” balas Pras teman Frendy


yang duduk persis disampingnya.

“ Loh, The next generation pemimpin Negara kok”


jawab Frendy dengan tertawa.

Frendy melepas jaket dan tas selempang yang


dipakainya, mengeluarkan isi tas, berupa handphone,
sebungkus rokok, korek lalu menaruhnya diatas meja.

“ Lagi asik bahas apa nih”

“ Ini loh, teman kita Gost mau nerbitin buku antologi


puisi ”

219
“ weh, jos mantap-mantap” respon Frendy sambil
menepuk pundak kiri si Gost.

“ Selamat-selamat”

“ Selamat apanya, kan belum” kata Gost.

“ Ya, tidak apa-apa yang penting ada rencana kan, aku


sebagai pendukung terdepan ini” balas Frendy dengan
menganggukan kepalanya keatas, tertawa sedikit.

“ Ngomong-ngomong kamu ada kenalan penerbit ngga


Frend?” Tanya Gost kepadanya

“ Kalo aku belum ada, tapi kebetulan temanku punya


banyak teman penerbit, nanti coba aku tanyakan kepada
temanku terkait tentang peneritan buku” balas Frendy.

“ Oke Frend, nanti kabarin aja ya”

“ siap-siap”

Pesanan makanan dan minuman di Bar dari


pengunjung yang lain terlihat sudah teratasi oleh barista
kedai. Frendy berdiri berjalan ke kursi depan Bar
dimana tempat memesan makanan atau minuman. Tidak
lupa memberi salam hangat kepada barista kedai yang
220
termasuk juga teman dari si Frendy. Dan bertanya
tentang keadaan kedai.

“ Ramai Ko?” ucap Frendy kepada barista kedai yang


bernama Riko.

“ Ya, gini lah, rame sepi tetap disyukuri namanya juga


usaha ada waktunya ramai ada juga waktunya sepi
Frend” jawab Riko.

“ sendirian dari mana?” balik tanya Riko kepada Frendy.

“ Dari rumah Ko, jenuh di rumah terus” Frendy melihat


menu di dinding kedai belakang Bar.

Riko selalu membicarakan tentang tugas-tugas


premature kampus, sedangkan ia sendiri sampai sekarang
belum juga menyelesaikan skripsinya dan lulus dari
perkuliahan setelah menginjak semester sepuluh
sekarang.

“ Jenuh kenapa, banyak tugas?”

“ Hillih, tugas terus, udah aku buatin minuman yang


seger, yang belum pernah aku coba ya”

221
“ Kopi atau non kopi Frend? ”Emang ada kopi yang
seger, kopi kan pahit semua” ungkap Frendy.

“ Lah, belom tau dia Gost kopi yang seger” ucapnya


kepada Gost ia yang sedikit banyak juga tahu tentang
perkopian. “ Ada Frend, kopi memang pahit, tapi juga
ada banyak jenisnya, yang aku maksud seger adalah kopi
arabika, tidak terlalu pahit kok, lebih kepada varian
aroma dan rasa yang dikeluarkan oleh kopi arabika itu
sendiri” jelas Riko.

“ Wahh! Menarik nih kelihatanya”

“ Iya dong, gimana buatin V60 arabika?”

“ Iya deh Ko, coba lihat dulu dong kayak apa bijinya”

“ Kebetulan aku hanya punya yang arabika gayo Frend,


baru pada habis nih stok arbikaku”

“ Gitu ya, yaudah itu aja gapapa Ko”

“ Oke siap! Tunggu bentar ya, prosesnya agak lama


soalnya”

“ Okeoke santai Ko”

222
Seorang barista memang butuh waktu cukup agak
lama untuk menciptakan segelas kopi V60 arbika.
Disela-sela Riko yang sedang sibuk dengan pekerjaanya
yaitu menyeduh kopi, mata Frendy melihat buku-buku
berserak disudut bar. Ia yang selalu didasari rasa suka
membaca mengambil buku tersebut, tak lain buku itu
berisi tentang dunia perkopian, rasa penasaran muncul
ketika membaca paragraf pertama dalam isi buku.
Ternyata kopi tidak hanya pouler di Negara Indonesia
melainkan juga menjadi minuman populer di negar-
negara lain.

“Ini Frend kopinya udah jadi”

“Okai Ko, makasih ya”

“Yoi, silahkan dicoba dulu”

“Aku coba ya Ko”

Frendy mulai mengangkat gelas kopi menempelkan


perlahan mulutnya ke bibir gelas, dan menyeruput kopi
dengan semangat. Tegukan pertama ia hanya masih
menumukan rasa pahit kopi, ia meneguknya kembali
untuk yang kedua kalinya. Rasa yang terselip dalam

223
seduhan kopi V60 mulai muncul. Tak layak seperti kopi
yang biasa diminumnya sering waktu. Kopi itu lebih
kaya rasa, ,dimana ada rasa pahit itu pasti, asam, dan
sedikit manis. Fendy mula bertanya-tanya tentang kopi
itu kepada Riko sang penyeduh.

“Kenapa rasa kopi bisa seperti ini, Ko?”

“Loh! Bisalah, ini yang dinamakan kopi arabika yang


diseduh dengan metode V60” jelas Riko.

“Emmm, jadi gitu ya Ko, kopi tidak hanya memberi rasa


pahit melankan, banyak aroma rasa dan jenisnya”

“Betul frend, tapi disini aku hanya menyediakan dua


jenis kopi yaitu robusta dan arabika, kalo rubusta rasanya
leih dominan tebal pahit Frend, beda sama arabika yang
banyak rasa dan aromanya, daerah sini banyak juga
petani kopi kok, di Kudus bagian dataran tinggi juga
banyak, aku juga punya petani disitu, jadi kalo mau
ambil kopi aku ke Kudus khusus yang robusta. Kamu
kalo mau penasaran besok ikut aku ke Kudus tepatnya di
desa Colo, kebetulan sekarang para petani mulai pada
panen kopi, nanti disitu kita bisa lihat proses pemanenan

224
kopi hingga sampai biji siap seduh, dan jadi seperi yang
kamu minum itu tadi Frend, gimana?”. Ajakan Riko
sangat menarik penasaran Frendy, karena berawal dari
kopi yang ia baru rasakan sekali namun rasanya aneh
menurut lidahnya, ditambah sedikit bicara Riko yang
membahas tentang dunia perkopian yang menurut
Frendy kelihatannya mengasyikkan dan menarik hatinya
untuk menerima ajakan dari Riko yang akan berkunjung
ke desa Colo, menyaksikan dan ikut serta belajar
bagaimana mengelola tanaman kopi dan mengolah biji
kopi.

“Oke Ko, aku ikut ke Colo ya,,”

“Siap Frend, besok kamu aku jemput di rumah ya”

“Okelah, pukul berapa kira-kira?”

“Pukul Sembilan aku sampe rumahmu”

“Siap kalo gitu”

Halimun pagi menyelimuti suasasan pandangan pagi


ini, daun-daun dan rumput-rumput terlihat segar, burng-
burung bernyanyi saling sahut. Pagi yang cerah. Frendy

225
tebangun dari tidurnya, melakukan sedikit peregangan
tubuh agar tidak kaku. Mandi sudah, barang-barang
keperluan jalan telah masuk kedalam tas ransel,
persiapan sudah semua, kecuali sarapan yang masih
belum, ia seorang diri dirumah, karena itu selalu tidak
ada masakan diatas meja makan rumahnya, Frendy selalu
sarpan pagi di luar. Sekalian menunggu Riko yang belum
datang, ia pergi keluar rumah untuk sarapan pagi. Jam
hampir menunjukkan pukul Sembilan, selesai sarapan
Frendy pulang, membawa tas ranselnya keluar,
mengambil sepatu, dan menunggu Riko di depan rumah.
Memakai sweter berjelana hitam panjang, dan juga
memakai sepatu hitam 70s high Frendy siap berangkat.
Tepat sekali usai Frendy memakai sepatu datanglah Riko
dengan kuda Brio merahnya.

“Langsung apa sebatang dulu Ko?” Tanya Frendy


kepada Riko yang di dalam mobil

“Langsung aja Frend, sebat di mobil aja” jawab Riko

“Okedeh, yaudah ayo berangkat” Frendy beranjak


membuka pintu mobil dan masuk

226
“Yang lain gak ikut Ko?”

“Pada sibuk katanya, tadi aku juga udah ajak teman-


teman yang lain, pada gabisa”

“Emmmmm.. gitu ya”

Laju mobil yang tidak pelan, sampailah mereka pada


perbatasan kota Demak-Kudus. Masih sekitar setengah
jam lagi untuk sampai di desa Colo. Kecepatan lari mobil
semakin turun, Riko mengambil sebatang rokok lalu
disulutnya, begitu juga Frendy disampingnya. Disela-sela
mereka sebat santai, Riko sedkit ngobrol tentang budaya
wiwit kopi yang dilaksanakan setiap tahun di desa Colo.

“Oh iya Frend, ternyata hari ini pas banget kita kesana
(desa Colo), ada pelaksanaan budaya wiwit kopi.
Bakalan rame banget sih kayaknya. Jadi budaya wiwit
kopi adalah budaya yang dilaksanakan setiap tahunnya
oleh para petani kopi desa Colo. Dalam acara tersebut
para petani berkumpul dan bedo’a bersama sebagai ucap
syukur kepada Tuhan untuk panen kopi tahun ini, dan
berharap panen kopi semakin melimpah dan berkualitas
baik tahun berikutnya”.

227
“Asyik juga ya Ko! jadi gasabar sampai sana.

“Oh iya, dalam acara tersebut juga ada pelepasan burung


ke alam liar Frend, sebagai bentuk pelestarian cagar
alam” tambah Riko

“Keren ya, selain memanfaatkan suumber daya alam,


mereka juga bersemangat menjaganya, emang jiwa
petani harus dilestarikan ya Ko, soalnya sekarang banyak
juga yang mengeruk sumber daya alam, tapi tidak
merawatnya dan mengelola dengan aman, alias hanya
diambil untung”

“Ya,,, mungkin itu yang menjadi persoalan di era


sekarang bangsa kita Indonesia, yang kaya makin kaya,
dan yang miskin makin miskin ditambah tertindas”

“Mau gimana lagi Ko, kita orang kecil bisa apa! Haish,,
kok jadi bahas Negara, mending putar lagu aja Ko”

“Hehe, iya ya, yaudah putar aja Frend” suruh Riko


kepada Frendy untuk memutar lagu.

Frendy mulai memutar lagu pertama yan dinyanyikan


Iwan Fals berjudul “ Sumbang”.

228
Tak terasa sebatang rokok yang disulut mereka
berdua tadi telah tandas, perjalanan menuju desa Colo
semakin dekat. Pohon-pohon di sepanjang jalan lorong
kaki gunung Muria membuat teduh para pengguna jalan.
Nada-nada lagu rock juga mewarnai perjalanan mereka
bertambah asyik. Perbukitan gunung mulai terlihat, tanda
hampir sampainya mereka pada desa yang dituju (desa
Colo).

“Hampir sampa nih Ko”

“Indah ya pemandangan di atas, apalagi nanti kalo kita


udah sampa diatas”

Udara sejuk mulai terasa, hembusan-hembusan angin


yang menerobos masuk kedalam mobil membuat Riko
mematika ac mobil. Gapura selamat datang di desa Colo
menyapa mereka berdua untuk memasuki wilayah desa.
Sampailah pada rumah petani yang kenal dekat dengan
Riko, karena sering membeli biji kopi robusta kepada
petani tersebut. Namanya Pak Yono, seorang petani kopi
sekaligus pengelola biji kopi yang bertempat tinggal di

229
desa Colo. Frendy dan Riko memarkirkan mobil, keluar
dan mengetuk pintu rumah Pak Yono.

“Assalamualaikum,,” Riko mengulang salamnya hingga


beberapa kali, mungkin didalam rumah Pak Yono tidak
mendengar salam. Tidak lama kemudian ada seoranag
yang membukakan pintu, yaitu Pak Yono sendiri. Seperti
biasa bertanya tentang kabar kepada seorang yang tidak
sering ketemu adalah suatu hal wajib. Pak Yono
menyuruh keduanya masuk ke dalam rumah.

“Silahkan masuk Mas”

“Iya Pak” ucap keduanya Frendy dan Riko”

“Sehat Pak Yono”

“Alhamdulillah Mas masih diberi sehat”

“Duduk mas, lagi mempersiapkan buat acara nanti, jadi


masih berantakan”

“Gapapa Pak, nanti itu acara wiwit kopi ya Pak?” tanya


Riko kepada Pak Yono

“Iya mas, kebetulan kalian datang, nanti bisa ikut


merayakan acara budaya wiwit kopi di kebun”
230
“Boleh banget Pak, oh iya perkenalkan Pak ini temanku
Frendy, dia juga penasaran tentang dunia perkopian, saya
ajak kemari biar bisa melihat secara langsung proses
pengolahan kopi, dari memanen sampai memasak dan
siap diseduh”

Frendy mengulurrkan tangan kepada Pak Yono untuk


berkenalan.

“Frendy Pak”

“Oh iya Mas, saya Pak Yono”

“Senang berkenalan dengan Pak Yono”

“Saya juga sebaliknya juga senang Mas, senang juga


ketika mendengar kata mas Riko, kamu mau belajar
tentang dunia perkopian”

“Hehe iya Pak, saya penasaran dengan kopi yang


ternyata banyak jenis dan rasanya”

Datanglah seorang ibu-ibu berumur sekitar lima


puluhan tahun keluar dari dapur menuju ke ruang tamu.
Beliau adalah istri dari Pak Yono yang bernama Bu
Sumarmi. Sambil membawa tiga gelas teh hangat lalu

231
menaruhnya ke meja, dan menawarkan kepada Frendy
dan Riko.

“Silahkan diminum Mas”

“Iya Buk” Frendy dan Riko mengulurkan tangan,


bersalaman dengan Bu Sumarmi.

“Sehat Bu Marmi” sapa Riko dengan sedikit senyum


seperti anaknya sendiri, karena Bu Marmi sangat bak
kepada Riko, setiap kedatangannya ia disambut layak
anak sendiri.

“Alhamdulillah Mas sehat, sama temanya ya ini?

“Iya Bu, teman saya Frendy namanya”

“Mau belajar tentang kopi Bu” tambah Pak Yono dari


sudut bangku yang berbeda.

“Ehhh,,, begitu, iya gapapa, bagus malah kalo mau


belajar tentang kopi, nanti bisa ikut bapaknya ke kebun,
lihat-lihat para petani memanen kopi”

“Iya Bu, terima kasih sudah dibolehkan ikut belajar


disini”

232
“Hallah tidak apa-apa Mas, orang mau belajar masak
gaboleh, iya kan Pak”

“Iya Mas, nanti ikut saya ke kebun, biar tahu proses


pengolahan kopi itu gimana”

“Ia Pak Yono”

Depan rumah Pak Yono ramai oleh orang-orang yang


berjalan menuju perkebunan kopi untuk ikut serta pada
cara yang diselenggarakan setahun sekali di desa Colo.
Pak Yono, Frendy, Riko beranjak menghabiskan teh
hangat suguhan Bu Sum. Frendy dan Riko menitipkan
baranya di rmah Pak Yono, hanya membawa kamera
mirroles, hp, dan dompet. Meeka berdua membantu
membawa bingkisan-bingkisan untuk acara budaya.
Sesampai di kebun tempat pelaksanaan acara, banyak
sekali penduduk masyarakat setempat yang ikut
perpatisipasi dalam acara tersebut. Mereka berbagi cerita
satu sama lain tentang berkebunan kopi yang dikelola,
dari mulai hama, pembuahan, hingga pemanenan.

Panitia membuka acara dengan sambutan-sambutan.


Para petani dan masyarakat duduk melingkar dan

233
ditengahya terdapat bingkisan-bingkisan makanan untuk
nanti sehabis berdoa bersama. Sambutan-sambutan
selesai, doa-doa dipanjatkan oleh sang imam, suasana
khusuk hening, harapan-harapan yang ditujukan kepada
Tuhan, dan rasa suyukur yang telah diberikan, seingga
para petani masih mendapatkan panen kopi tahun ini.
Doa-doa telah tandas dari hati dan mulut para
masyarakat dan petani, saatnya mengicipi hidangan
masakan yang telah tersedia, Frendy dan Riko yang ikut
serta dalam acara pelaksanaan budaya wiwit kopi, tidak
melewatkan sedikitpun momen-momen yang indah
diantara syukur dan berdoa. Frendy mengambil gambar
selama acara berlangsung untuk dijadikan arsip sebuah
kegiatan yang pernah diikutinya.

Setelah makan bersama, acara selanjutnya dalam


budaya wiwit kopi adalah pelepasan burung ke alam
raya, sebagai simbol pelestarian cagar alam oleh
masyarakat setempat dan petani. Burung-burung dilepas,
alam menyambut dengan kesejukan udara yang bersih
tanpa pengaruh limbah industri. Frendy dan Riko
menyaksikan perpedaan kehidupan distiap sudut daerah

234
perkotaan, desa yang menjaga cagar alamnya pasti lebih
tenang dan nyaman dari pada kehidupan di kota yang
dipenuhi pertikaan-pertikaan orang-orang kapitalis.
Acara demi acara syukur berjalan dengan tanpa
halangan. Saatnya para petani dan masyarakat kembali
ke rumah masih-masing untuk bersiap berangkat ke
kebun memanen kopi. Pak Yono juga mengajak mereka
berdua kembali ke rumahnya. Namun Frendy yang lagi
asik mengambil gambar, mengulur waktu untuk
melanjutkan pemotretan dan menyuruh Riko pulang ke
rumah Pak Yono duluan. Frendy melihat hasil-hasil
pengambilan gambar, secara teliti ia melihat satu gambar
yang dimana dalam hasil potretan itu Frendy melihat
seorang gadis manis tersenyum.

Diperbesarnya foto itu sedikit demi sedikit, semakin


manis senyumnya, ia sedikit tersenyum berharap akan
bertemu pada suatu waktu. Frendy merasa sudah cukup
mengambil gambar, suara telfon bordering di saku kanan
celananya. Ternyata Riko yang menelfon menyuruhnya
untuk segera pulang ke rumah, karena sudah ditunggu
Pak Yono yang akan berangkat ke kebun. Ia segera

235
kembali dan bersiap ganti pakaian lalu ikut ke kebun.
Perlatan panen kopi sudah tersiapkan di depan rumah,
mereka membawa beberapa alat agar membantu
meringankan bawaan Pak Yono. Jarak perkebunan kopi
dengan rumah Pah Yono lumayan dekat, sehingga dapat
ditempuh dengan berjalan kaki. Sampai di perkebuan
mereka beristirahat sebentar sembari santai menghisap
sebatang lisong dan menyaksikan para petani bergotong
royong memanen kopi. Pak Yono mulai bergerak
memanen kopi, dengan teliti memisahkan buah kopi
dengan pohonnya.

Banyaknya pohon kopi menutupi orang-orang dari


pandangan satu sama lain, Frendy memperhatikan
seseorang dibalik satu pohon kopi, seorang gadis
perempuan yang sedang membantu bapak dan ibunya
memanen kopi. “Sepertinya aku pernah melihat gadis itu,
tapi diman ya?” batin Frendy. Ia menghidupkan
kameranya dan memastikan benar atau tidak gadis yang
ada di kamera adalah gadis yang sedang memanen kopi
bersama orang tuannya. Dan ternyata memang benar,
bahwa gadis dibalik pohon itu ialah gadis yang ada pada

236
gambar kamera Frendy. Pandangan mata Frendy tidak
lepas dari gadis berparas cantik dan manis senyum, ia
berdiri berjalan ke arah gadis itu, semakin dekat jarak
antara si gadis dengan Frendy semakin gugup ia mau
menyapa. Sedikit demi sedikit bibir membuka dan sangat
ingin berkata.

“Permisi, maaf menggangu waktunya” sapa Frendy

“Iya gapap kok, santai aja” balas gadis

“Oh iya, kalo boleh kenal siapa namanya?” sembari


mengulurkan tangan kanannya Frendy mengajak
bersalaman si gadis.

“Boleh, namaku Naura”

“Kenalin aku Frendy”

“Pendatang ya?” tanya Naura kepada Frendy dengan


sedikit senyuman manis dan pandangan mata yang
anggun.

“Iya, aku disini pendatang dari luar kota, aku penasaran


tentang tanaman kopi, kebetulan temaku mengajakku
kesini untuk belajar sedikit tentang dunia perkopian”

237
“Emmmm,,, jadi begitu ya, kebetulan sedikit banyak aku
tahu tentang tanaman kopi, atau mari kita belajar
bersama Frend”

“Boleh, kalo kamu ngga repot”

“Ohh, ngga kok, kebetulan buruh kebun udah pada


datang, jadi aku bisa istirahat. Dari pada aku hanya diam,
untuk mengisi waktu aku bisa mengajari kamu
bagaimana cara menanam kopi”

“Okelah. Kalo gitu terima kasih sudah mau mengajari


aku bagaimana cara menanam kopi”

“Sama-sama yaudah ayo kita ambil bibit pohon


kopinya”

“Ayok” mereka berdua mengambil bibit kopi yang udah


siap tanam di gubuk kebun.

Pak Yono dan Riko sedang sibuk memanen kopi, melihat


Frendy dan Naura sedang asik berdua menanam bibit
kopi. Pak Yono bilang kepada Riko

“Lihat mereka asik banget menanam kopi, oh iya itu


keponakan saya Naura, dia juga sedikit banyak paham

238
tentang kopi, biar Naura aja gapapa yang mengajari
Frendy”

“Ohhh jadi begitu ya Pak, jadi itu Naura keponakan


bapak”

“Iya Mas Riko, dia itu orangnya rajin, suka membantu


orang tuanya”

Naura mengajak Frendy berkeliling kebun,


menjelaskan tentang proses pertumbuhan kopi hingga
pembuahan dan berbuah. Setelah kopi dipanen kopi akan
dikeringkan 3-4 hari untuk siap dipisahkannya biji kopi
dengan kulitnya. Habis itu kopi bisa dimasak sesuai
keperluan konsumen, biasanya ada tiga tingkat
kematangan memasak kopi, yaitu light, medium, dan
dark. Jelas Naura sepanjang keliling kebun, Frendy mula
sedikit tahu tentang tanaman kopi serta proses
pemasakannya. Mereka berdua bersama beberapa jam
yang lalu, dengan keramahan Naura kepada Frendy. Rasa
suka dan nyaman tumbuh dalam hati Frendy kepada
seorang gadis yang murah senyum dan berparas cantik,
baik hati, serta tidak sombong. Namun detik jarum jam

239
selalu tersenyum, Frendy dan Riko akan pulang ke
rumah masing-masing setelah membantu Pak Yono
memanen kopi.

Mereka berdua berpamitan kepada Pak Yono


sekeluarga dan Naura yang kebetulan di rumah Pak
Yono juga untuk menyaksikan berpulangya Frendy dan
Riko. Keluar dari rumah mereka bersalaman kepada Pak
Yono, Bu Sum, dan Naura. Salam terakhir untuk Naura
dengan bisikan lirih ditelinga dari Frendy “Kamu cantik
dan baik, semoga kita berjumpa kembali”.

240
Meminang dengan Tradisi Ngemblok

Via Armyandau

Di sebuah desa dekat pesisir pantai laut Jawa di


Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang tepatnya berada
di desa Karanganyar, hiduplahseorang laki-laki bujang
berusia 26 tahun yang sedang berkelana mencari
pasangan hidup.Pria tersebut bernama Adam, Adam
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, orang tua
Adam bermata pecaharian sebagai nelayan, sedangkan
ibunya sebagai buruh cuci panggilan.Kondisi ekonomi
keluarga Adam terbilang cukup mampu, dia juga ikut
membantu biaya sekolah adik-adiknya.

Dulunya ia pernah menjalin asmara selama tiga


tahun lamanya tapi kandas di tengah jalan. Kisah cinta
masa lalunya hingga kinimasih menimbulkan trauma,
malangnya iadiselingkuhi oleh pacarnya yang sekarang
telah menjadi mantan. Pertanyaanseputar kapan menikah
selalu terbayang dipikirannya bahkanbisa saja jadi beban
pikirannya, ia tak tahu kapan semua itu dapat terjawab.

241
Suatu hari ketika Adam hendak berlayar, tiba-
tibaia bertemu dengan seorang paruh baya yang sedang
duduk lemas di gubuk dekat tepian pantai. Orangtersebut
tampaknya pucat dan lemas, lantas Adam mengampiri
dan menanyai orang paruh baya tersebut. Setelah
berbincang-bincang cukup lama, Adam pun langsung
membopong Pak Bandi pulang ke rumahnya,
sesampainya di rumah ia menceritakan semua apa yang
telah terjadi kepada Pak Bandi yang tergeletak lemas di
gubuk reyot itu. Pak Bandi tinggal bersama istri dan
kedua anaknya, Aradan Amel.Selepas perbincangan yang
cukup lama, akhirnya Adam bergegas pamit pulang dan
bersiap-siap untuk berlayar.

Seminggu setelah ia berlayar di lautan lepas, tiba-


tiba ada pesan SMS dari Pak Bandi yang mengajak
Adam untuk bertemu di gubuk tepian pantai pada sore
hari sembari menikmati keindahan tenggelamnya sang
surya. Setibanya di gubuk itu, lantas ngobrol asik
ditemani es degan dan rujak petis khas daerah setempat.
Pada saat Adam sedang menikmati rujak petis tersebut,
tiba-tiba Pak Bandi bertanya serius kepadanya “Wis due

242
pacar opo durung, Le?” yang dalam Bahasa Indonesia
berarti sudah punya pacar atau belum, Nak? Tak sengaja
Adam pun langsung tersedak, ia terkejut dengan
pertanyaan Pak Bandi tersebut. Dengan tegas ia langsung
“Dereng Pak, sudah sekitar 2 tahun lamanya saya
sendirian belum ada pacar atau kekasih. Soalnya saya
masih trauma sama yang kemarin.”

Tanpa basa-basi Pak Bandi langsung


memperkenalkan anak sulungnya yang bernama Ara
kepada si Adam, selisih umur mereka hanya terpaut dua
tahun. Kini umur si Ara 24 tahun, ia bekerja sebagai
karyawan toko sepatu di dekat rumahnya. Tak lama
setelah itu,akhirnya mereka bertemu di persimpangan
jalan dekat dengan SMA N 1 Kragan. Sejak pertemuan
pertama itulah diantara keduanya tampaknya sudah
mulai mucul rasa dan benih-benihcinta serta kasih
sayang antar keduanya, mereka saling mendekatkan satu
sama lain, saling bertukar cerita, berkeluh kesah, dan
saling bertukar pendapat. Ara memiliki paras yang cantik
dan manis yang diturunkan dari ibunya. Adam benar-
benar telah jatuh cinta pada Ara, kini ia sebagai obat dan

243
penyembuh trauma pada masa lalunya. Sudah empat
tahun hubungan ini terjalin, banyak juga rintangan yang
mereka hadapi dan menjadikan itu semua merupakan
bumbu dalam bercinta.Kedua belah pihak orangtua
mereka telah mempersetujui rencana adanya langkah
menuju jenjang yang lebih serius.

Tepatdi bulan Januari mereka memutuskan untuk


tunangan.Sebagai warga Desa Karanganyar Kecamatan
Kragan mereka harus mengikuti serta mematuhi adat
setempat yang berlaku di daerahnya tersebut yaitu
dengan melaksanakan Tradisi Ngemblok.Filosofi tradisi
Ngemblok sendiri merupakan simbol penghormatan bagi
para lelaki dikarenakan laki-laki memiliki peran yang
cukup penting dalam keluarga khususnya “wong
mbelah” karena laki-laki yang berada di daerah bagian
pesisir kelaknya bakal memiliki tanggung jawab yang
besar.Pertunangan yang mereka lakukan mengandung
arti masa tunggu sejak diterimanya “tanda pengikat”
sampai terjadinya perkawinan.Masa tunggu tersebut ada
yang hanya beberapa bulan bahkan ada yang beberapa
tahun juga.Keesokan sore harinya, Ara dan keluarga

244
telah mempersiapkan panjer yang akan dibawa ke rumah
Adam yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan yang
pertama yaitujajanan pasar seperti gemblong, jadah,
krecek, kucur, wingko, bolu, bugisan, dan jenang.Kedua
berupamakanan wajib misalnya nasi lengkap dengan
sayur opor, seekor ayam yang dimasak utuh, mie, kering
tempe, sambal goreng kentang, tumis kacang, dan lain-
lain.Yang ketiga yaitu buah-buahan. Buah-buahan yang
dibawa pada waktu ngemblok antara lain semangka,
nangka, pisang, salak, apel, jeruk, anggur, dan lain-lain.
Keempat adalah bahan baku. Bahan baku yang dibawa
pada saat ngemblok, antara lain beras, gula, kopi, teh,
kelapa, beras ketan, serta membawa rokok sesuai selera
laki-laki yang akan diembloknya. Barang-barang yang
telah dibawa pada waktu ngemblok akan dibagikan
kepada keluarga dekat dan tetangga setelah keluarga dari
pihak perempuan pulang.

Pihak-pihak yang ikut dalam prosesi ngemblok


dari keluarga wanita yaitu ayah, ibu, atau yang mewakili
anggota keluarga, beberapa keluarga dekat, dan biasanya
ada dandan (bila menggunakan dandan).Tradisi

245
ngemblok terdiri dari tiga tahapan yaitu nakokake,
nontoni, peningsetan.Sebelum dilaksanakan ngemblok,
terlebih dahulu pada tahap nontoni pihak wanita mencari
hari baik dan membicarakannya pada pihak pria.Setelah
hari baik tersebut ditentukan, barulah dilaksanakan
ngemblok.Pada dasarnya, tahapan-tahapan meminang
pada tradisi ngemblok identik dengan tahapan-tahapan
meminang pada budaya Jawa pada
umumnya.Perbedaanya adalah pihak yang datang
terlebih dahulu pada tradisi ngemblok adalah pihak
wanita.

Ara yang hanya berdiam diri dirumah menadadak


perasaannya berubah gelisah tak karuan, dia terus
berharap agar si cowoknya menerima semua panjernya
tersebut. Dengar-dengar kabar burung, ada salah satu
teman dekat Ara, Indah, yang mengetahui jika Adam
berselingkuh sama teman SMA-nya dulu yaitu Tika.Tika
sendiri merupakan mantannya yang dulu telah
meninggalkan Adam.Memang benar jika Adam mungkin
masih belum bisa melupakan cinta pertamanya.Mungkin
saja perselingkuhan ini bisa terbilang sudah lama terjalin

246
sebelum dilaksanakannya ngemblok.Benar saja, Adam
telah berselingkuh sejak menjalin hubungan dengan
Ara.Ara yang mengetahui kabar tersebut tak bisa
membendung air matanya yang hampir mau menetes
deras di kedua pipinya yang chubby tersebut,air mata itu
makin deras menetes dan tak hentinya terus
mengalir.Tidak menutup kemungkinan jika ngemblok
gagal sampai pada tahap perkawinan karena ngemblok
bukan jaminan bahwa perkawinan dapat
dilaksanakan.Tepat pukul 21.00 WIB suasana yang
awalnya hangat seketika berubah menjadi menegangkan.
Pak Slamet, orang tua dari Adam, lantas bertanya kepada
Adam, “Gimana nak, kamuakan menerimanya atau mau
membatalkanya? Itu semua berada di tangan mu, bapak
ibu hanya ngikut saja.”

Dengan nada lirih Adam langsung berucap.


“Maafkan saya, Pak Bu. Rencana pernikahan ini tidak
bisa saya teruskan.” Sebenarnya iajuga rela tak rela
membatalkan pernikahan ini dengan mengambil
keputusan yang cukup berat dalam hidupnya.“Bu…! Ara
kaget saat menyadari ibunya tergeletak pingsan.Sigap

247
Adam membopong ibunya Ara menuju ke sofa.Adam
langsung bergegas menuju ke kamarnya dan mengambil
minyak kayu putih. “Bik cepat buatkan ibu teh hangat,
gulanya dua sendok saja.” ujar Adam pada bibiknya yang
membantu ia menemani di ruang televisi tersebut.Setelah
diberi minyak kayu putih, Bu Parmi perlahan-lahan
mulai sadar dari pingsannya, menyisakan air mata yang
terus saja mengalir di pipi.“Sabar ya, Bu. Ibu harus
kuat.” oceh Pak Selamet yang berusaha menenangkan
istrinya kala itu.

Adam kala itu hanya termenung dan menunduk,


ia tak menyangka jika kabar buruk ini sampai ke telinga
Ara dan Ara telah mengetahui ini semua. “Maafkan aku
Ra,” ucap Adam saat dirinya selesai mengatakan
permohonanya kepada Ara untuk membatalkan
pernikahan mereka.

“Aku mencintai Tika, dia telah memberi warna


yang berbeda dalam hidupku sejak pertama aku
mengenalnya.” ucap Adam saat ditemui di taman dekat
TPI. Ara sadar bahwa perkataanya Adam telah membuat
ia syok berat. Dapat dipastikan bahwa Ara sangat terluka

248
karena permintaanya ini, namun Ara harus
melakukannya jika ingin Adam bahagia dengan pilihan
yang telah ia pilih, karena pernikahan tanpa atas dasar
cinta akan melukai satu sama lain.Ara terdiam sambil
sebisa mungkin menahan air matanya, dia membiarkan
Adam yang terus berbicara sekaligus menjelaskan semua
yang telah terjadi.“Aku tahu ini salah, Ra tapi aku tidak
bisa jika kita bersama lagi. Semua usaha untuk tetap
staybersama mu kini percuma. Sekarang hati dan
pikiranku sudah sepenuhnya milik Tika.” kata Adam
sambil menatap mata Ara yang mulai berkaca-kaca.

“Sekarang kita udah beda, Ra,” satu air mata pun


akhirnya lolos dari mata wanita cantik itu. Tak hentinya
Adam merasa bersalah atas apa yang telah terjadi.
Pernikahan mereka tebilang hampir menuju ke satu
langkah terdepan, namun hatinya menolak untuk
bahagia.Kini yang Adam rasakan hanyalah kehampaan
dan takut menyakiti perasaan Arakarena kecewa
kepadanya.Adam takut jika pernikahan ini terus
dilangsungkan maka hanya ada perasaan menyesal antar
keduanya.

249
Memang hubungan Adam dengan Tika belum
terbilang lama, baru berumur jagung tapi kenyamanan
yang Tika bawa telah membuat Adam merasa bahagia
dan nyaman kembali.Perhatian yang Tika berikan kini
membuatnya semakin berarati. Tika mampu melengkapi
apa yang Adam butuhkan. Seolah paham betul dengan
kebutuhanya, Ara menyiapkan apapun untuk Adam tapi
bukan itu wanita yang ia dambakan.

Pernikahan yang sudah mereka dambakan dan


rencanakan waktu dulu berakhir kandas begitu saja,
konsekuensinya jika terdapat pembatalan dari tradisi
ngemblok ini yaitu selain menanggung rasa malu
ditambah dari pihak laki-laki juga harus mengembalikan
panjer yang telah diberikan kepadanya paling besar dua
kali lipatnya.jika yang memutuskan ikatan ngemblok
adalah pihak wanita, maka pihak pria tidak mempunyai
kewajiban untuk mengembalikan panjer, tetapi jika pihak
pria yang memutuskan ikatan ngemblok, maka pihak pria
harus mengembalikan panjer yang pernah
diterima.Pengembalian panjer ini, biasanya diwujudkan
dalam bentuk emas ataupun uang. Jika hal ini tidak

250
dilakukan, maka akan mendapatkan gunjingan dari
masyarakat.

251
JIPEN

Dwi Rahmawati

Jalan yang begitu ramai orang berlalu lalang, aku


yang sendari tadi memandangi dari bangku taman. ku
lihat jam yang melingkar di tanganku ternyata telah
menunjukan pukul 08.00 WIB, lalu aku berdiri dan
memacu lajuku untuk berlali pulang. Aku yang
sesampainya di rumah lalu bergegas siap-siap, hampir
saja aku melupakan janjiku kepasa Iren untuk pergi
membeli buku. Tak berselang lama Iren menelfonku
mengabari bahwa dia telah sampai di depan rumah,
sehingga aku beranjak keluar untuk membukannya pintu.

“Ya ampun Ditaaa, belum siap juga?” ujar Iren dengan


nada sedikit kesal.

“Tinggal make jilbab Ren” jawabku sambil berjalan


menuju kamar.

“kan dah aku bilang pukul sembilan harus dah siap, nanti
tinggal berangkat. Keburu siang, ntar panaaas” Omel
Iren sembari mengikutiku menuju kamar.

252
“Iyaaaaa Iren baweeeel, ini lho udah selesai”

Akhirnya aku dan Iren berangkat menuju toko


buku. Sesampainya di toko buku, Iren langsung mencari
buku yang ia inginkan, sembari menuunggu Iren untuk
mendapatkan buku yang ia inginkan aku berkeliling
untuk melihat-lihat. Selang beberapa menit Iren
memanggilku untuk membayar bukunya di kasir, karena
buku yang ia cari sudah ia dapatkan. Sebelum pulang
kami mampir untuk membeli makan siang. Menikmati
makanan sambil bersenda gurau, bercerita tentang
kejadian apa aja yang di lakukan hari ini. Tanpa sadar
hari semakin sore, akhirnya aku dan Iren memutuskan
untuk pulang.

Sesampainya di rumah Iren langsung pamit


pulang di karenakan telah ada janji untuk kerumah
saudara. Selepas Iren pergi aku pun langsung masuk ke
dalam rumah dan menuju ke kamar untuk merebahkan
diri. Tidak terasa hari minggu akan segera berlalu dan
besok kembali ke rutinitas yang menyibukan. Aku yang
dari tadi hanya tidur-tiduran yang tak tau hendak apa,

253
akhirnya aku pun memutuskan untuk mandi karena
begitu gerah sekali hari ini.

Malam terus berlalu namun aku tak kunjung


memejamkan mataku, seperti malam-malam sebelumnya
aku begitu sulit untuk memejamkan mata ini entah sejak
kapan ini terjadi, namun aku sering melakukannya.
Terjaga sepanjang malam yang terkadang aku
melaluinya dengan menonton film hingga tak terasa pagi
telah datang. Ya… kali ini aku melakukannya lagi, tak
terasa waktu telah menunjukan pukul 04.00 WIB. Aku
berencana untuk memejamkan mata sebentar hingga saat
bekerja nanti tidak begitu mengantuk.

kriiiiing……….. kriiiiiiiingggg…..

Suara alarm itu mengejutkanku, dengan rasa malas aku


pun harus beranjak dari tempat tidur. Hari ini aku
bekerja, jadi tidak ada kata malas-malasan. Aku bekerja
di sebuah kedai kopi sebagai barista yang letak tak begitu
jauh dari rumahku. Perlu kalian tahu aku dahulu kuliah
di jurusan Pendidikan, namun setelah lulus aku merasa
belum siap jika harus menjadi seorang guru hingga

254
akhirnya aku memutuskan bekerja dengan pekerjaanku
yang sekarang. Orang tua ku awalnya
mempermasalahkan tentang pekerjaanku, namun kini
tidak lagi.

Aku bersiap untuk berangkat bekerja karena


waktu telah menunjukan pukul 07.00 WIB sebentar lagi
waktu kedai buka telah tiba. Aku bekerja di sebuah kedai
yang tak begitu besar namun aku menikamati dengan
pekerjaan ini, apalagi dengan teman yang begitu
mengasikkan dan perkenalkan teman kerjaku yang
bernama Vito dan Dika, ya… kami hanya bertiga disini.
Awalnya hanya ada mereka berdua tanpa di sangka
mereka mengajakku untuk bergabung dengan sedikitnya
pengalaman aku menerimanya.

Hari ini kedai sedikit sepi tidak seperti biasanya


dan tak berselang lama terdengar suara pintu terbuka
dengan suara orang berteriak namaku

Iren : “Ditaaaaaaa” teriak Iren

Dita : “Iren, kebiasaan deh” jawabku

255
Iren :“yeee.. gak apa-apa kali Ta, gak ada orang juga.
yakan Vit?” jawab Iren dengan minta pembelaan dari
Vito

Vito :“Iya-iya aja aku mah” Jawab Vito

Iren : “Tuh kan Vito aja gak masalah, eh Dika kok gak
kelihatan?” Tanya Iren

Dita : “Biasalah anak itu, eh kau gak ngampus?”

Iren : “kosong” dengan nada yang pelan

Percakapan yang lumayan panjang hingga ada


seorang pelanggan yang datang buat memesan minuman.
Iren pun berpamitan karena telah ada janji dengan teman
kuliahnya. Aku mengenal Iren sejak duduk di bangku
sekolah namun setelah lulus Iren memutuskan untuk
kerja terlebih dulu. Tidak terasa hari semakin sore, kedai
pun mulai ramai. Canda tawa pengunjung mewarnai sore
ini, betapa bahagianya mereka yang sedang bercanda
gurau.

256
Waktu telah menunjukan pukul setengah sepuluh
waktu dimana kedai akan segera tutup. Aku sedikit
beberes agar nanti tidak terlalu malam saat pulang.

Vito : “Dit, pulang duluan aja”

Dita : “lah kan masih ada pelanggan”

Vito : “Udah gak apa-apa, kana da aku sama Dika”

Dika : “Bener tuh, lagian bentar lagi juga mau tutup”

Dita : “ntar aja, aku juga mau ngomong sesuatu sama


kalian”

Vito : “Ngomongin apaan?”

Dika : “Iya nih, ngmongin apaan sih?”

Dita : “ Ya nanti aku ngomongnya, tunggu tutup dulu nih


kedai”

Dika dan Vito : “ Okee”

Setelah kedai tutup akhirnya aku bicara kepada


mereka bahwa lusa aku mau terbang ke Kalimantan buat
nyusul oran tua ku yang di sana, mereka kaget karena
menurut mereka ndadak banget mereka pikir aku sedang

257
ada masalah di sini sehingga berpikir bahwa Kalimantan
adalah pelarianku. Aku meyakinkan mereka bahwa aku
sedang tidak ada masalah apapun di sini, aku kesana
hanya ingin berjumpa orang tua ku dan membantu
mereka disana dan di sana pun sepertinya aku tidak akan
lama, akhirnya mereka mengerti dengan semua
penjelasanku. Malam ini adalah malam terakir aku
bertemu mereka secara lansung semoga suatu saat kita
dapat bertemu kembali.

Keesokan harinya aku sudah janjian dengan Iren


untuk ketemuan, kebetulan juga Iren cuma ada kelas pagi
sampai pukul setengah Sembilan. Kita pun bertemu di
taman sekalian jalan-jalan, tujuanku bertemu Iren tentu
saja untuk mengabari kepergianku ke Kalimantan, sama
dengan Vito dan Dika, Iren juga begitu terkejutnya tapi
Iren memakluminya. Setelah perbincanganku dengan
Iren, kami lanjut jalan-jalan.

Tidak terasa hari ini cepat berlalu. Sebelum pulang kami


mampir ke kedai yang tak lain tak bukan untuk bertemu
dengan Vito dan Dika.

258
Vito : Lho Dit, kirain udah berangkat

Dita : Lah kan aku kemaren bilang lusa, ya berarti besok


lah

Vito : Eh iya, lupa

Dita : Tumbeh, biasanya si pelupa si Dika

Vito : Yaaa.. namanya manusia

Iren : tumben nih kedai sepi

Dika : Tadi sih rame ada kalian mendadak sepi nih kedai

Iren : Ih datang-dateng gak jelas.

Malam ini kami berbicang cukup panjang, karena kedai


tak seramai biasanya. Mereka selelu menanyakan hal
yang sama di setiap topik pembicaraan mengapa aku
harus pergi ke Kalimantan? karena tidak ada suatu
masalah apapun di sini aku pun hanya menjawab “aku
ingin”, tapi mereka selalu tidak puas dengan jawabanku.
Tidak terasa ternyata percakapan ini sampai kepada jam
kedai tutup, namun kami tak langsung pulang kami
masih membicarakan hal yang tak begitu penting di situ.

259
Akhirnya kami pulang dan Iren memuruskan menginap
di rumahku. Mumpung ada Iren di rumah, jadi aku
menyuruh dia bantuin aku beres-beres untuk pergi besok.
Keesokan harinya ada suara orang mengetuk pintu, tanpa
di sangka ternyata itu Vito dan Dika. Sebenarnya
penerbanganku masih nanti siang, tapi entah kenapa
mereka berdua dapat begitu pagi kerumah, dari
penjelasan mereka, mereka hanya ingin membantu beres-
beres dan mengantarku ke bandara siang nanti.

Waktu telah menunjukan pukul sebelas, aku pun bersiap


untuk berangkat sekarang karena takut jalanan macet dan
nanti ketinggalan pesawatnya. Aku begitu senang karena
aku di temani tiga orang sahabatku, aku bersyukur dapat
bertemu dan berkenalan dengan mereka. Mereka selalu
ada di saat senang maupun susah. Hingga tak terasa
sampailah kami di bandara. Berhubung waktu
penerbangan kurang sebentar lagi, setelah sampai akupun
langsung check in dan mereka pun langsung kembali
pulang.

Akhirnya aku sampai di Kalimantan, kali ini aku lewat


banjar dan aku di jemput oleh Papa ku. Papa udah

260
nungguin aku di pintu keluar dia bilang dia udah
nungguin aku dari pukul satu dan memang seharusnya
aku terbang pukul satu, tapi tadi delay karena cuaca,
yaah.. alhasil aku sampai Kalimantan pukul tiga, kasihan
ya Papa aku.

Berhubung sudah sore jadi aku dan Papaku menginap


dulu ke rumah saudara di Palangka Raya yang
menempuh perjalanan sekitar dua jam, karena kalau
langsung pulang ke dasaku tidak ada taksi yang menuju
kesana saat malam hari, adanya hanya truk yang ke desa
ada dini hari, aku dan Papaku memutuskan kembali ke
desa pada harinya saja itung-itung mengistirahatkan
badan terlebih dahulu.

Keesokan harianya tepatnya pukul delapan aku dan


Papaku berangkat menuju desa ku, sebelumnya sudak
mesan taksi jadi di jemput di depan rumah. Taksi di sini
berbeda karena penumpangnya bukan aku sama Papa aku
aja melaikan ada orang lain, yaa.. bisa di bilang
sistemnya seperti angkot gitu, jadi awalnya jarak ke
desaku bisa ditempuh dalam waktu 4-5 jam
kemungkinan bisa molor sampai 6-7 jam-an bergantung

261
dari penumpangnya dan medan yang dilalui, kalau habis
hujan jalan akan sangat jelek karena jalan tidak
semuanya beraspal.

Selama pejalanan bapak supir ngobrol dengan


penumpang lainnya dengan menggunakan bahasa Dayak,
aku yang sudah lupa dengan bahasa sana dan hanya
mengingat sedikit-sedikit aku pun memilih diam dan
tidur. Ternyata tidur adalah pilihan yang buruk karena
jalan yang sedang dilalaui adalah jalannan yang berbatu
dan bergelombang, jadi aku hanya memejamkan mata
dan tidak benar-benar tidur. Tidak terasa sudah sampai di
depan rumah, ternyata Mama manunggu kedatanyanku
dan Papa. akhirnya aku pun turun dari mobil dan
membantu Papa untuk mengambil barang. Sesampainya
di dalam rumah aku memilih untuk tidur karena aku
merasa pusing dengan perjalanan panjang tadi.

Tiga bulan kemudian……

Tidak terasa tiga bulan berlalu, hari yang terasa singkat.


Aku di sini hanya membatu orang tua ku, tepatnya
membatu pekerjaan mereka seperti membuat kue,

262
mesasak, hingga mengantarkan pesanan ke pelanggan.
Bisa dibilang Mama ku membuka katering sedangkan
Papaku penjual kelilin. Setiap dua sampai tiga hari aku
selalu mengantarkan kerupuk bawang buatan orangtuaku
kewarung-warung dan aku juga biasanya membelikan
bahan-bahan di pasar dari situlah aku mulai akrab
dengan orang-orang pasar termasuk dengan pegawai-
pegawai toko, tapi di sini biasanya orang-orang
memanggilnya dengan anak buah.

Hari-hari yang ku lalui sangat biasa-biasa saja, jika tidak


ada pekerjaan aku lebih memilih menghabiskan waktuku
di kamar, walau terkadang Mama suka marah. Ya.. mau
bagaimana lagi teman semasa kecilku dulu kini telah
beranjak dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing
hingga keluar kota. Biasanya kalau bertepatan dengan
pulangnya temenku TK dan saudraku dari palangka
biasanya kami pergi bermain, entah bermain ke hutan
atau hanya sekadar cerita-cerita di rumah, tpi kini mereka
sedang di palangka entah kapan akan pulang.

Rumahku selalu ramai tiap sorenya, ada saja yang datang


entah itu membawa anaknya jalan-jalan ataupun sekadar

263
ingin jalan ngobrol saja. Biasanya kalau ada emak-emak
yang bawa anaknya aku main sama anaknya. Hingga
suatu ketika pasar ramai dengan berita, bahwa salah satu
anak buahnya Pak Diman bernama Ucup terkena jipen
orang sini. Jipen sendiri yaitu denda tapi orang yang di
jipen dapat memilih membayar denda atau harus
menikahi sang wanita, denda itu sendiri ditentukan oleh
pihak keluarga wanita. Jipen dapat terjadi karena seorang
pria menyukai wanita Dayak kebanyakan begitu, Ucup di
sini mendapatkan jipen dari keluarga wanita, membayar
lima puluh juta atau menikahi sang anak. Ucup memilih
membayar denda dan wanita tersebut menyetujui bahwa
Ucup membayar denda lima puluh juta hingga kasus itu
selesai.

Aku yang mengetahui hal semacam itu langsung


bertanya ke pada Mamaku tentang jipen. Mamaku
bercerita banyak hal dan tidak di sangka ternyata saudara
ku seperti Pakde ku, Om ku mereka terkena Jipen karena
menyukai wanita Dayak, sebenarnya tidak langsung di
jippen seperti tapi diselidiki terlebih dahulu hubungan
tersebut wajar atau tidak jika ketahuan berhubungan

264
secara tidak wajar baru lah di jipen. Jipen sendiri tidak
hanya berlaku pada orang luar Dayak tetapi Sesama
orang Dayakpun bisa terkena Jipen.

Mamaku selalu mewanti-wanti kepada Kakak ku agar


idak suka sama wanita Dayak, karena kalau di jipen
bakal ribet uurusannya dan kakak ku hanya diam. Setelah
kejadian Jipen Ucup anak buah Pak Diman memilih
untuk pulang kampung karena disuruh oleh orang
tuanya. Dulu selama tinggal di Kalimantan baru tau
kalau di sini ada hal yang seperti itu.

Hari terus berganti tidak lupa aku menrceritakan hal-hal


di sini kepada Iren, Vito dan Dika termasuk tentang
Jipen, mereka kaget ketika aku ceritakan kejadian
tentang si Ucup. Mau bagaimana lagi itulah Dayak, di
sini pun saat menikah, menikah secara adat terebih
dahulu. Aku kembali ke rutinitasku seperti biasanya.

Ini adalah tahun keduaku di Kalimantan, waktu terasa


singkat namun waktu dijalani terasa lama begitulah
kehidupan. Tak di sangka kejadian Jipen terjadi lagi, kali
ini bukan seorang anak buah lagi melainkan anak

265
pemilik toko yaitu Om Yanto anaknya bernama Agil.
Sebelumnya Om Yanto telah mengetahui bungungan
Agil dengan wanita Dayak tersebut yang bernama Sarah.
Om Yanto tidak setuju dengan hubungan tersebut dan
menyuruh Agil untuk berpisah dengan Sarah. Om Yanto
kira Agil mendengarkan perkataan ayahnya, namun
ternyata Agil dan Sarah masih berhubungan.

Setelah mengetahui anaknya dan Sarah masih


berhubungan Ibunya Agil membawa Agil ke Jawa agar
tidak bertemu lagi dengan di Sarah. Secara tiba-tiba
orang tua Sarah kerumah Om Yanton untuk menjipen
Agil serta menjelaskan bahwa selama ini orang tua Sarah
telah mengintai anak mereka berdua dan melakukan hal
yang tidak sewajarnya, namun Om Yanto saat itu
memilih denda yang ditawarkan oleh keluarga Sarah,
namun Sarah menolak. Sarah ingin di nikahi oleh Agil.

Setelah kejadian itu Om Yanto sering pingsan karena


memikiran anak sulungnya itu. Ibunya Agilpun bingung
harus berbuat apa hingga akhirnya Ibunya Agil yaitu
Tante Dewi dan Agil berada di jawa selama tiga bulan
lamanya dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke

266
Kalimantan untuk memenuhi Jipen tersebut. Sebenarnya
kejadian Jipen tersebut bisa dibenarkan dengan anak
yang bersangkutan, namun saat yang pria berkata tidak
namun si wanita bersikukuh iya makan jipen tersebut
tetap dilaksanakan.

Bulan depan mereka akan menikah, secepat itu. Aku


hanya bisa mendoakan semoga mereka bahagia. Aku
merasa bahagia selama dua tahun berada di sini, kerena
aku banyak mendapat cerita dan pengalaman yang
menarik yang tidak ada di Bandung. Akhirnya aku
memutuskan untuk kembali lagi ke Bandung dan kabar
baiknya orang tua ku menyetujui keberangkatanku. Kali
ini yang mengantarkan ku ke bandara Mama dan tugas
Papa berjaga dirumah.

Kepulanganku ke Bandung tidak ada yang tau termasuk


Iren. Aku sengaja karena aku ingin memberi kejutan
kepada mereka. Aku pun harus berbohong kepada
mereka bahwa aku akan balik kebandung dua atau tiga
tahun lagi. Sesampainya di Bandung aku langsung ke
Kedai yang kebetuulan Iren pun sedang di sana. Vito lah
yang pertama menyadari kehadiran ku, hingga Dika dan

267
Iren pun menyadarinya betapa kagetnya mereka. Kini
aku kembali pada rutinitasku seperti dulu yaitu segabai
barista betapa senangnya ketika mereka menerimaku
kembali bergabung dan Iren kini telah lulus.

Tiga bulan lagi Iren akan bertunangan dengan pacarnya


dan tahun depan mereka akan menikah. Aku? siapa
sangka aku akan jatuh hati kepada Vito begitupun
sebaliknya akhirnya kami berdua memutuskan untuk
berpacaran. Saat aku berkata beruntung Vito bukan lah
orang Dayak hingga aku tidak perlu di Jipen oleh
keluarganya, seketika semua tertawa.

268
Ritual Malam Satu Suro Desa Pancur
Muh. Ainul Yaqin Aji Putra
Suronan di Kali Sendang merupakan adat atau
kebiasaan yang dilakukan oleh para masyarakat desa
pancur, khususnya masyarakat desa pancur bagian timur
yang sudah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun lalu
secara turun temurun diwariskan ke setiap generasi.
Tradisi ini wajib dilakukan masyarakat setempat karena
dipercaya bisa mendatangkan kemakmuran, dll. Jika
tradisi ini tidak dilakukan, menurut para tetua desa
setempat akan terjadi sebuah bencana atau malapetaka
yang akan menimpa desa tersebut, bencana tersebut
menurut pendapat para tetua desa, yaitu diantaranya
seperti paceklik, terjadinya kekeringan panjang,
kekurangan pangan, dan lain-lain.
Tradisi ini dilakukan masyarakat setempat setiap
tanggal 1 Suro, atau lebih tepatnya pada malam
menjelang tanggal 1 Suro. Masyarakat berbondong-
bondong datang ke lokasi acara tersebut, dimana acara
tersebut bertempat di sebuah kali atau masyarakat
menyebutnya dengan Kali Sendang. Masyarakat yang
datang membawa berbagai macam hasil bumi yang

269
mereka miliki dan melaksanakan doa bersama dengan
harapan supaya satu tahun kedepan mendapatkan
kemakmuran serta dijauhkan dari bala’ atau malapetaka.
Setelah masyarakat melaksanakan doa bersama di kali
tersebut, mereka biasanya mandi atau hanya sekedar
membasuh wajahnya di kali tersebut pada saat tengah
malam sekitar pukul 12.00-1.00. Masyarakat percaya
bahwa dengan mandi atau membasuh wajah mereka di
kali tersebut bisa membuat awet muda dan dijauhkan
dari berbagai malapetaka, sehingga antusias masyarakat
sangat besar dengan dilaksanakannya acara tersebut.
Setelah mereka mandi atau membasuh wajahnya,
masyarakat tidak langsung pulang ke rumah tetapi
terlebih dahulu mereka mengikuti pengajian umum yang
selalu ada setiap diadakannya acara tersebut, pengajian
tersebut dilaksanakan di lapangan dekat Kali Sendang
tersebut.
Acara Suronan di Kali Sendang ini juga menjadi
ladang rezeki bagi para penduduk sekitar kali tersebut
dengan cara berjualan berbagai macam makanan yang
tentunya turut memeriahkan acara tersebut. Para
masyarakat yang datang tidak hanya dari desa pancur

270
saja, namun ada banyak juga masyarakat dari luar desa
yang ikut memeriahkan acara tersebut dikarenakan
mereka penasaran dengan tradisi yang dilakukan setiap
tahun ini. Sehingga banyaknya pengunjung yang datang
menjadi berkah tersendiri untuk para penduduk sekitar
yang menjual berbagai makanan tadi, omset yang mereka
peroleh juga bisa dibilang lumayan. Jadi, degan
diadakannya acara tradisi tersebut juga bisa sedikit
membantu prekonomian masyarakat setempat. Berbagai
cerita mistis juga menyelimuti tradisi suronan tersebut.
Menurut cerita yang sudah beredar di masyarakat
setempat, kenapa mandi di Kali Sendang tersebut di
percaya bisa membuat awet muda. Jadi, pada zaman
dahulu di lokasi Kali tersebut ada bidadari yang turun
dari langit lalu mandi di Kali Sendang tersebut, pada saat
para bidadari tersebut mandi ada seorang laki-laki yang
bernama Wadi mengintip para bidadari yang sedang
mandi lalu kemudian dia mencuri salah satu selendang
dari bidadari tersebut. Sehingga bidadari tersebut tidak
bisa terbang kembali ke tempat asalnya dikarenakan
selendangnya hilang dicuri si Wadi tersebut. Diam-diam
Wadi menyimpan selendang tersebut, sedangkan

271
bidadari yang kehilangan selendang itu memutuskan
untuk tinggal di depan Kali Sendang tersebut dengan
membuat sebuah gubuk yang kebetulan di depan Kali
tersebut memang ada tempat yang lapang.
Pria bernama Wadi tersebut merupakan orang yang
termasuk rajin dalam beribadah dan orang yang
bersahaja, ia juga seorang yang mandiri dan pekerja
keras. Sehari-harinya ia bekerja serabutan, apapun
dikerjakannya agar ia bisa mendapatkan upah atau
makanan untuk dikonsumsi. Wadi hidup seorang diri
sejak kecil karena kedua orang tuanya sudah tiada, ia di
asuh oleh Pak Leknya dan ia di didik untuk hidup
mandiri, bersahaja, dan pekerja keras. Kegiatan yang
paling sering ia lakukan adalah menjadi buruh di sawah,
entah itu mencangkul atau apapun. Ia tidak pernah
mengeluh dengan pekerjaannya dan terus berusaha
banting tulang untuk menyambung hidupnya, ia juga
sering dianggap sebelah mata oleh para penduduk karena
latar belakangnya bukan dari orang berada atau keluarga
terpandang. Namun, ia tetap semangat menjalani
hidupnya untuk hari esok yang lebih baik.

272
Nah, setelah pria bernama Wadi tersebut
mendapatkan selendang milik seorang bidadari tersebut,
ia merasa menemukan orang yang ingin dia jadikan
seorang pendamping dalam hidupnya. Hampir setiap hari
ia berdoa kepada tuhan agar ia bisa mendapatkan hati
dari bidadari tersebut, Wadi yang sudah mengetahui
bahwa bidadari yang selendangnya ia curi itu tinggal
disebuah gubuk depan Kali Sendang tersebut, sering
mendatangi kediaman bidadari tersebut dengan maksud
supaya dia mau dijadikan istrinya. Namun perjuangannya
untuk mendapatkan hati bidadari tersebut tidaklah
mudah, bak kapal yang dihantam ombak di lautan, kisah
cinta Wadi pun tidak mudah karena ia sering mendapat
penolakan dari bidadari tesebut lantaran Wadi hanya
orang biasa yang penampilan dan rupanya pun biasa saja,
malah bisa dibilang kalau rupanya itu dibawah standar.
Tapi ia tidak putus asa dan terus berjuang dengan
menunjukkan keseriusannya untuk menjadikan bidadari
tersebut sebagai istrinya.
Wadi kerap dihina penduduk sekitar karena
keinginannya itu yang bisa dibilang mustahil. Bidadari
tersebut menjadi rebutan para lelaki desa tersebut karena

273
kecantikannya yang tiada tanding, banyak para lelaki
desa yang datang untuk melamar bidadari tersebut
namun semuanya ditolak olehnya. Bahkan lelaki yang
notabennya di juluki sebagai pemuda paling tampan di
desa itu pun ditolak olehnya, semuanya menyerah untuk
mendapatkan hati gadis tersebut. Tetapi tidak dengan
Wadi yang masih bersikeras untuk mendapatkan cinta
dari gadis tersebut.
“Aku harus bisa mendapatkan dia” Ucap Wadi.
Usahanya tidak sia-sia, gadis tersebut akhirnya luluh
terhadap lelaki biasa tersebut yang dikenal dengan nama
Wadi itu. Gadis tersebut mau menerima Wadi karena
sifatnya yang pekerja keras, ulet, dan mandiri itu, mereka
pun akhirnya menikah dan tinggal di gubuk depan Kali
Sendang tersebut. Namun, pada suatu ketika Wadi yang
masih minyimpan selendang dari bidadari itu diketahui
oleh bidadari tersebut dan terjadilah percekcokkan antara
wadi dan bidadari tersebut. Ia tidak menyangka yang
membuatnya tidak bisa kembali ke tempat asalnya adalah
suaminya si Wadi yang telah mencuri selendangnya itu.
Akhirnya mereka berpisah karena bidadari itu
sudah menemukan kembali selendangnya dan memilih

274
untuk meninggalkan suaminya tersebut. Wadi pun
kembali hidup sendirian di gubuk itu karena ia ternyata
telah melukai hati dari bidadari yang menjadi istrinya itu
dengan mencuri selendangnya. Setelah lelaki itu
ditinggal istrinya tersebut tidak berselang lama, sekitar 2-
3 bulan ia meninggal di gubuk tersebut.
Untuk mengenang kisah cinta antara Wadi dan
Bidadari tersebut maka dibangunlah masjid tepat di
depan Kali Sendang tersebut dan Kali Sendangnya
sendiri dijadikan sebagai sesuatu yang keramat yang
dipercaya jika mandi disana bisa membuat awet muda.
Terlepas dari benar atau tidaknya dengan mandi di
Kali tersebut bisa membuat awet muda, semua kembali
kepada yang maha kuasa dan atas kuasa-Nya. Namun,
menurut masyrakat hal tersebut sudah menjadi
perbincangan dan menjadi sebuah stigma bahwa mandi
di Kali tesebut pada malam 1 Suro bisa membuat lebih
awet muda, para tetua atau tokoh masyarakat juga
berpendapat demikian sehingga memperkuat stigma
tersebut karena sesuatu yang dipercaya atau diyakini
akan memiliki efek atau dampak terhadap yang diyakini.
Mungkin jika ada masyarakat luar yang tidak percaya

275
dengan hal tersebut itu hak dari masing-masing orang
dan tidak ada unsur untuk memaksa harus percaya.
Tradisi Suronan yang sudah diadakan sejak lama setiap
tanggal 1 Suro tersebut tetap menjadi daya tarik
masyarakat, bahkan di musim pandemi seperti sekarang
pengunjung masih terlihat antusias untuk mengikuti
rangkaian acara suronan tersebut, tentunya dengan
menerapkan protocol kesehatan yang ada.
Sebagai masyarakat yang baik tentunya kita harus
menjaga tradisi-tradisi yang ada agar tradisi seperti ini
tidak punah tergerus oleh perkembangan zaman.
Masyarakat memaknai acara Suronan ini sebagai suatu
ritual yang suci untuk sarana mendekatkan diri kepada
yang maha kuasa dan agar diberi keberkahan dalam
menjalani kehidupannya. Dengan adanya acara ini juga
menumbuhkan jiwa sosial antar sesama masyarakat
dengan cara saling bertukar hasil bumi yang mereka
peroleh, sehingga rasa kekeluargaan akan semakin erat
dan rasa simpati dan empati juga terjalin dengan baik.
Acara seperti ini tidak menjadikan masyarakat
menjadi musyrik atau percaya kepada selain tuhan, tetapi
justru menambah rasa percaya kepada yang maha kuasa

276
dengan cara terus memelihara tradisi-tradisi yang ada
sebagai rasa hormat terhadap suatu tradisi yang sudah
ada dan dilaksanakan secara turun-temurun. Tradisi ini
semakin memperkuat tali persaudaraan antar sesame
masyrakat, sehingga tradisi semacam ini memberikan
banyak manfaat dan nilai-nilai yang bisa diambil untuk
dijadikan sebagai pedoman dalam hidup. Kegiatan ini
juga menjadikan masyarakat lebih meningkatkan ibadah
dan mempertebal iman untuk mendekatkan diri kepada
yang maha kuasa.

277
Menyambut Hikmah Ramadan dengan
Dandangan

Mokhammad Jadid

Hari itu adalah malam yang sedikit dingin, kami


ber empat tengah duduk santai di pelataran rumah Fiqi
sembari ngobrol - ngobrol santai. Tiba - tiba datang salah
satu teman saya yang bernama Fahri, dia datang dengan
sepeda ontel yang dikayuhnya dengan kecepatan tinggi
dan ekspresi wajah yang sangat bahagia dan ceria malam
itu. Gubrakkkkk...., terdengar suara benturan yang
mengganggu perbincangan kita malam itu, dan ternyata
suara itu berasal dari sisi sebelah kiri pagar kayu rumah
Fiqi yang ditabrak oleh Fahri dengan sepedanya.

“Woiy kawan-kawan, ada kabar gembira ini” kata Fahri


sambil berlari menuju tempat kami dengan raut wajah
yang sangat gembira dan meninggalkan sepeda ontelnya
yang entah bagaimana kodisinya setelah menabrak pagar
kayu tersebut.

278
“Ada apa ri? Kelihatanya kamu bahagia sekali malam
ini”, kata Yusup kebingungan melihat Fahri sambil
melanjutkan memakan semangka.

“eh, tapi sebentar, sepeda ontelmu gapapakan?” Kataku


sambil tertawa terbahak-bahak dan dengan ekspresi
mengejek.

“Kamu itu loh, bukanya tanya keadaanku ko malah tanya


keadaan sepeda ontelku,” jawab Fahri sedikit kesel
dengan pertanyaan Ku malam itu. “Iya-iya maaf, la
orang cuma bercanda kok. Ini ada es sirup minum dulu
baru cerita” kata Kusambil memberikanes sirup dan buah
melon yang telah terpotong rapi di atas piring.

“Jadi gini, kawan-kawanku semua, tadi aku


bersepedamelawati jalan di sekitar menara dan aku
melihat banyak pedagang yang sudah siap untuk
mendirikan lapak-lapak dagangan di sepanjang jalan
menara, berarti ini tandanya, sebentar lagi ini kita masuk
bulan Ramadan kawan-kawan”, kata Fahri menjelaskan
tentang sesuatu yang dilihatnya ketika bersepeda di jalan

279
sekitar menara dengan ekspresi yang kembali ceria
setelah minum es sirup yang Ku berikan padanya.

“Eh, tapi biasanya, dandangan itu ada dua minggu


sebelum Ramadan? Sedangkan ini, Ramadan masih
kurang tiga minggu lagi loh” kata Ku sedikit heran
dengan adanya para pedagang yang telah bersiap-siap
untuk membangun lapaknya untuk meramaikan
dandangan tahun ini.

“Yang terpenting menurutku adalah dandangan telah tiba


dan ini sebagai penanda bahwa bulan Ramadan akan
segera tiba,yeeeeyy” Kata Yusuf sambil berlari
mengambil sepeda Fahri yang masih tergeletak di dekat
pagar dengan ekspresi senang dan gembira karena bulan
Ramadan akan segera tiba. “yosaaahhh” sorakan yang
hampir bersamaan dari Aku dan Fiqi malam itu karena
kegirangan mendengar tentang hal tersebut.

“ehhh, Sebentar-sebentar, dari tadi kalian bercerita dan


bersorak-sorak tentang hubungannya dandangan dan
bulan Ramadan. Sedangkan Aku, Aku kan pendatang di
Kota ini, jadi aku tidak tahu apa-apa yang kalian

280
bicarakan dari tadi hehe”, kata Angga sambil
menggaruk-garuk kepala karena kebingungan melihat
percakapan kami yang membicarakan soal dandangan
dan Ramadan.

“Jadi begini ceritanya, eh tapi sebentar biar saya


panggilkan si Mbah saya, biar simbah saya yang
bercerita” Kata Fiqi sambil meninggalkan kami dan
menghampiri si Mbahnya.

Seperti halnya pepatah tuntut lah ilmu sampai ke


negeri Cina. Angga adalah salah satu temanku yang
berasal dari pulau tetangga yang terkenal dengan hutanya
yang luas. Dia ke Kota kretek ini untuk bersekolah dan
tinggal bersama Bibinya dan ini adalah tahun pertama
dia tinggal di daerahku, jadi ya sangat wajar jika dia
tidak tahu menahu tentang kebudaayan yang ada di
kudus. Apalagi tentang keterkaitannya budaya
dandangan dengan datangnya bulan Ramadan yang
diadakan satu tahun sekali, yang biasanya berlangsung
selama 2 minggu saja.

281
Selang beberapa menit setelah Fiqi pergi,
akhirnya dia datang dengan si Mbahnya yang usianya
kira-kira sudah mencapai 65 tahunan, karena dilihat dari
warna rambut yang hampir seluruhnya berwarna putih,
kulit di tangannya yang mulai mengkerut, dan cara
berjalan yang sedikit membungkuk yang membuatku
yakin bahwa umur si Mbahnya kira-kira mencapai 65
tahunan.

“Monggo Mbah pinarak, niki lo Mbah Angga pengin


ngertos cerito sejarah tentang asal-usul dandangan dan
keterkaitanipun kalih wulan Ramadan” Kata Fahri
sambil bersalaman dan mendekati si Mbah untuk
membantunya untuk duduk di kursi.

Si Mbah duduk di kursi dengan Baju koko dan sarung


kotak-kotaknya yang masih si Mbah gunakan setelah
pulang dari masjid yang membuatnya terlihat elegan dan
sembari mengisab sebatang lisong yang dibawanya dari
rumah yang tersisa setengah batang malam itu dan siap
untuk bercerita.

282
“Jadi ngene cerita awal mulane nang”, “ Punten
Mbah, Angga dereng faham ngagem bahasa jowo,
Njenengan jelasaken ngagem bahasa Indonesia mawon”,
Sahut Fiqi memotong pembicaraan si Mbah yang mau
menjelaskan dan menceritakan menggunakan bahasa
Jawa dan si Mbah mengiyakan perihal tersebut. “Awal
mula sejarah dandangan dan bulan suci Ramadan di kota
Kudus berawal dari Sunan Kudus atau Syeikh Ja’far
Shodiq, beliau adalah salah satu wali songo penyebar
agama Islam di Jawa. Sunan Kudus yang merupakan
salah satu tokoh Wali Songo yang dipercayai warga
mempunyai ilmu falak yang mumpuni sehingga
masyarakat dari berbagai daerah menunggu
pengumuman awal Ramadan dari Kanjeng Sunan Kudus.
Saat itu, pengumuman ditandai dengan tabuhan bedug
sebanyak dua kali yang dilakukan setelah sholat isyak.
Untuk menandai datangnya bulan Ramadan biasanya di
Kota Kudus ada tradisi yang namanya Dandangan.

“Nama dandangan sendiri berasal dari mana Mbah?”,


Tanya Angga karena belum mengetahui asal mula nama
dandangan tersebut.

283
“Jadi begini nang, awal mula tradisi yang menandai
datangnya bulan Ramadan bernama dandangan, itu
berasal dari suara bedug yang ditabuh sebagai penanda
datangnya bulan Ramadanyang berbunyi dag-dag, dari
bunyi tersebut maka tradisi penyambutan bulan Ramadan
di Kudus ini diberi nama Dandangan” Kata si Mbah
menjelaskan asal mula nama dandangan dan berpamitan
untuk istirahat di rumah. “Nggih matur suwun nggih
Mbah mpun diceritani”.

Aku selalu mendengar dari tahun ke tahun,


seperti halnya tahun kemarin, sebelum di mulainya acara
Dandangan biasanya di awali dengan kirab Dandangan
sebagai penanda atau pembukaan tradisi Dandangan
telah dimulai. Kirab dandangan tersebut biasanya berisi
menampilkan potensi-potensi yang ada di desa, tarian
kretek, memperkenalkan makanan khas kudus (jenang
Kudus) dan memperkenalkan batik Kudus.

“Nah, kebetulan besuk siang ada kirab Dandangan,


gimana kawan-kawan kalau besuk kita datang untuk
menyaksikan kirab dandangan tersebut?” Tanya Yusup

284
kepada teman-teman sembari meminum sisa-sisa es sirup
di gelasnya.

“Setujuuu, besuk kita berangkat”, saut Angga yang


sangat bersemangat dan antusias dengan tradisi kirab
Dandangan.

“Boleh juga, eh ngomong-ngomong acara kirab


Dandangan dimulai pukul berapa?” Tanya Fiqi kepada
Yusup.

“Acara kirab Dandangan dimulai pukul 14.00, dimulai


dari depan SMP 3 Kudus gedung lama sampai Alun-alun
(ada pertunjukan-pertunjukan di depan Pendopo
Kabupaten Kudus) dan pemberhentian akhir di SMP 3
Kudus gedung baru”, jelas yusup tentang acara kirab
Dandangan.

“Oke, besuk kita kumpul setelah dzuhur di rumah Fiqi


ya, terkhusus Fahri bin Fahri awas kalau terlambat, kami
tinggal” kata Ku sambil menegaskan kepada Fahri yang
sering terlambat ketika kumpul. “okey, siyap bos” sahut
Fahri sambil mengangkat tangan dan memberi hormat.

285
Malam semakin dingin dan tak terasa jam dinding telah
menunjukan pukul 9 malam. Kami berlima pun pulang
kerumah masing-masing untuk istirahat dan berjumpa
diesok hari untuk datang di acara kirab Dandangan.

Pagi telah tiba dan Aku telah terbangun lebih


pagi 45 menit sebelum mentari pagi menyapa, pagi itu
Aku merasa lebih bersemangat dari hari-hari biasanya.
Kegiatan pagi itu masih sama dengan hari-hari biasanya,
menyiram tanaman diteras rumah dan jalan-jalan
disekitar rumah untuk merasakan segarnya udara pagi
saat itu.

Adzan dzuhur telah berkumandang, saatnya


makan siang dan langsung meluncur kerumah Fiqi untuk
kumpul dan berangkat menyaksikan kirab Dandangan.
Setelah sampai di Rumah Fiqi selang beberapa menit
Angga dan Yusup datang bersamaan.

“Tinggal nunggu Fahri, habis itu kita langsung


berangkat” kata Fiqi sambil menyapa Angga dan Yusup
yang baru datang. Waktu telah menunjukan pukul 12.45
dan Fahri belum datang juga.

286
“Tuhkan kebiasaan emang si Fahri suka molor kalau
disuruh kumpul” kataku sidikit menggerutu. Tampak dari
timur laki-laki bersepeda dengan warna baju yang sangat
mencolok berwarna kuning, “Nah itu Fahri baru datang”
kata Angga memberi tahu kami semua.

“Yok, berangkattt” kata Fahri sambil senyum-senyum


karena merasa terlambat seperti biasanya

Jam telah menunjukkan pukul 13.00 saatnya


berangkat. Ku kayuh dengan semangt sepeda sambil
menerjang teriknya matahari siang itu bersama 4
temanku yang juga bersemangat mengayuh sepedanya.
Sampailah di Alun-alun simpang 7 dan kami berlima
menitipkan sepeda pada tempat penitipan yang telah
banyak dibuka di sepanjang jalan arah masjid agung,
untuk tempat penitipan bagi masyarakat yang ingin
menyaksikan tradisi kirab Dandangan siang itu.

Tibalah rombongan kirab Dandangan, yang di awali


penampilan dari Tari tradisional khas Kudus Tari Kretek
dan diikuti robongan kirab yang di isi dari berbagai
sekolah SMP dan SMA se Kabupaten Kudus. Panasnya

287
siang itu telah terkalahkan oleh segala ke apikan dan ke
elokan yang di sajikan dengan sempurna penampilan dari
berbagai sekolah dengan kombinasi pakaian adat dan
make up yang dibalut dengan pernak-pernik pada wajah
memberikan kesan ke apikan yang sempurna. Akhirnya
rombongan kirab terakhir telah tiba, dan waktu
menunjukan pukul 17.30 Kami berlima pun bergegas
pulang kerumah, karena hari semakin sore dan semakin
gelap buat kita yang masih berumur 12 tahunan.

Di perjalanan pulang “Besuk malam kita pergi ke


Dandangan yok?” ajak Angga yang masih sangat
bersemangat datang ke acara tradisi dandangan. dan
akhirnya kami bersepakat berjanjian untuk besuk malam
datang ke Dandangan habis magrib,

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba yaitu datang ke


acara Dandangan. Malam telah tiba kita berlima sudah
berkumpul dan di karenakan situasi Dandangan yang
sangat ramai kami memutuskan untuk jalan kaki menuju
tempat Dandangan tersebut. Sampailah di tempat
tersebut kami melihat-lihat banyak sekali pedagang yang

288
menjajakan dagangannya di sepanjang jalan dari Menara
sampai Alun-Alun simpang 7.

“Yok kesana, lehat-lihat kalung” ajak Fahri kepada kami.

“hayuk” jawab Angga yang juga tertarik dengan cincin.

“Silahkan dipilih mas, ini bahannya monel asli. Gak


bakal berkarat, Rp 10.000 saja” Kata penjual kalung
sambil menjelaskan bahan dasar kalung.

“Saya kalung ini satu pak, di kasih nama Fahri ya” kata
Fahri mengiyakan harga kalung dan meminta dibuatkan
tulisan Fahri.

Malam itu Aku merasa di glitiki banyak


pertanyaan yang ingin saya tanyakan kepara para
penjuan di sutu, “Pak pedagang yang berjualan di sini
semuanya apakah warga Kudus sendiri pak?” Tanyaku
penasaran malam itu.“Bukan mas, ini contohnya saya
sendiri, saya dari Rembang mas” dan ternyata tidak
seperti apa yang saya pikirkan. Yang sebelumnya saya
berangapan bahwa penjual yang ada di acara Dandangan
hanya di isi oleh pedagang dari Kudus saja. Dan
selanjutnya berpindah tempat melihat-lihat ada ukiran

289
kaligrafi. Di tempat lapak penjual ukiran kali grafi
tersebut, saya menanyakan hal yang saya kepada
bapaknya. “Pak tadi saya habis dari penjual kalung
monel dan saya ingin bertanya kepada Bapak, apakah
Bapak sama dengan pedagang kalung monel sebelah,
pedagang yang berasal dari luar Kudus?” tanyaku yang
masih penasaran. “Iya mas sama, saya pedagang dari luar
Kudus, saya dari Jepara mas, dan di sini juga ada
pedagang dari Pati dan Demak juga ada mas”. Kata
Bapak penjual ukiran kali grafi yang juga pedagang dari
luar Kudus.

Malam itu, aku menemukan banyak hal, apakah ini yang


dinamakan hikmah menuju bulan suci Ramadan? Para
pedagang menjajakan dagangannya tanpa melihat asal
daerah para pedagang dan terbukanya untuk pedagang
luar di acara tradisi Dandangan, dan di situ saya juga
menemukan pedagang yang menjajakan dagangan yang
bernunsa kecina-cinaan seperti baju bermotif naga
berwarna merah. Ini adalah point plus buat saya pribadi,
sebuah toleransi yang di balut dengan sebuah
perdagangan.

290
“Man, ayo pulang, ko malah ngalamu” Tanya Fiqi
kepada Ku sambil menepuk pundakku.

“Gak ngalamun aku” Kataku sedikit mengelak.

“Iya sudah, hayuk” Kataku menegaskan kembali.

Suasana Dandangan semakin ramai menandakan


semakin malam dan ternyata benar jam telah
menunjukan pukul setengah 9 dan kami pun bergegas
pulang meninggal kan tempat Dandangan tersebut.
Malam itu ketika telah sampai di rumah, masih
terpikirkan hal-hal tadi apakah ini yang namanya hikmah
menyambut bulan suci Ramadan dan akhirnya saya
tertidur pulas malam itu.

291
Gadis Berkaki Indah
Henny Purwanti
Kudus, merupakan sebuah kota dengan
penduduknya yang sangat beragam. Kental akan nuansa
religi dan terkenal dengan masyarakatnya yang
kebanyakan bermata pencaharian sebagai pedagang.
Kehidupan masyarakat yang pekerja keras dan ulet
memanfaatkan peluang usaha, membuat mereka mampu
bertahan dalam kondisi apapun. Kota Kudus yang
mendapat julukan kota kretek, kota wali, dan kota santri,
memiliki ikon-ikon yang menjadi ciri khas kebanggaan
warganya, diantaranya : Menara Kudus, Museum
Gusjigang, Museum Kretek, Tugu Identitas, wisata religi
makam Sunan Muria, Air Terjun Montel, dan lain-lain.
Menara Kudus yang menjadi tanda napak tilas Sunan
Kudus masih banyak dikunjungi para peziarah dari
berbagai daerah. Masjid Menara Kudus, yang disebut
juga Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar adalah sebuah
masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun
1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan
menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai
batu pertama.

292
Terdapat sebuah desa bernama desa Glantengan,
yang merupakan bagian dari kota Kudus. Glantengan
adalah sebuah desa atau kelurahan yang berada di
kecamatan Kota, kabupaten Kudus, propinsi Jawa
Tengah, Indonesia. Letaknya tak jauh dari pusat kota
Kudus, kurang lebih 0.5km dari Alun-Alun kota Kudus,
tepatnya di Jalan Sunan Muria. Di desa Glantengan itu
sendiri, terdapat dukuh Ngantenan. Mungkin namanya
terdengar agak unik. Namun, asal usul adanya nama
Glantengan dan Ngantenan tersebut memiliki sejarah
yang masih berhubungan dengan sejarah Sunan Kudus
sebagai salah satu Walisongo yang membesarkan nama
Kudus hingga terkenal di penjuru negeri.
Ketika Sunan Kudus berdakwah di Kudus, beliau
mengutus dua orang muridnya, Mbah Kyai Nganten
(K.H. Abdul Fatah) dan Mbah Kyai Khidir untuk
berdakwah di daerah yang sekarang bernama desa
Glantengan. Ketika beliau berdakwah disana, kedua
murid Sunan Kudus tersebut sempat beradu argumen.
Karena mereka berdebat dan tidak selesai-selesai, salah
satu dari dua kyai tersebut mengeluarkan sabda : “Wes,
malah glandang rono, glandang rene.” Maka akhirnya

293
desa itu dinamakan desa Glantengan yang berasal dari
kata tersebut.
Mbah Kyai Nganten dan Mbah Kyai Khidir
berdakwah di desa Glantengan hingga mereka wafat.
Mbah Kyai Khidir dimakamkan di belakang musholla
Al-Khidir, letaknya di desa Glantengan RT.03/RW.II.
Haul beliau diperingati setiap tanggal 23 Muharram. Jika
ada warga yang mempunyai hajat, biasanya berziarah ke
makam Mbah Kyai Khidir dengan membawa sop kerbau
satu, artinya di dalam sop tersebut terdapat bagian-
bagian dari kerbau seperti : mata, daging, dan lain-lain.
Sedangkan Mbah Kyai Nganten dimakamkan di
depan masjid Al-Falah, dukuh Ngantenan, RT.02/RW.II.
Ada cerita mengapa K.H. Abdul Fatah dijuluki
Ngantenan, karena beliau meninggal bersamaan dengan
sang isteri. Apabila warga sekitar sedang memiliki hajat
atau keinginan, mereka beziarah ke makam Mbah Kyai
Nganten dengan membawa opor ayam, bisa juga
dilengkapi sambal goreng tahu yang dimasak bersama
kuah santan. Haul Mbah Kyai Nganten diperingati setiap
tanggal 27 Muharram.

294
Setiap tahun diadakan acara haul atau buka luwur
di kompleks menara dan makam Sunan Kudus. Begitu
pula di desa Ngantenan. Haul adalah peringatan hari
wafat seseorang yang diadakan setahun sekali, yang
biasanya disertai selamatan arwah. Tradisi buka luwur
yang diselenggarakan setiap 10 Muharram, merupakan
ritual keagamaan untuk menandai penggantian kelambu
atau tirai di makam Sunan Kudus. Buka luwur bagi
masyarakat Kudus ibaratnya sebagai “pesta rakyat”,
karena pada acara ini melibatkan masyarakat secara
aktif. Aktivitas masyarakat tersebut adalah
mengumpulkan sendiri bahan-bahan makanan yang akan
dibagikan, memasaknya sendiri, dan kemudian dibagikan
kepada masyarakat lagi. Hal ini dimaksudkan sebagai
ungkapan rasa syukur. Di desa Ngantenan pun diadakan
acara buka luwur yang berlangsung di makam Mbah
Kyai Nganten. Di acara itulah kisah ini bermula.
Malam itupun berlalu begitu cepat, meninggalkan
kenangan yang tak pernah terlupakan dalam hidup
Kinan. Sosok pria muda nan karismatik dan mempesona
mampu membuatnya tak bisa tidur di sepanjang malam
itu. Meskipun ia mencoba memejamkan mata berkali-

295
kali, namun bayangan pemuda itu tak bisa hilang dari
pikirannya. Akankah ia bertemu dengannya lagi? Entah
apa yang tengah dirasakannya. Mungkin rasa rindu.
Kerinduan yang menggeliat setelah sekian lama berada
di tengah kehampaan. Tak seperti malam-malam dingin
sebelumnya. Malam itu ia merasa hangat. Hingga
ingatannya kembali ke beberapa jam sebelumnya.
Suasana riuh memenuhi lingkungan makam Mbah
Kyai Nganten pada malam itu. Anak-anak kecil berlarian
sambil bermain-main dengan cerianya. Suara tawa disana
sini memenuhi pelataran makam. Sementara itu, panitia
haul sibuk mempersiapkan acara di sekitar bangunan
makam. Ada yang bekerjasama memasang kain putih di
sekeliling makam, dan ada yang melipat kain lama yang
baru saja diturunkan.
Tirai lama akan diganti dengan yang baru dan
bersih. Kain lama biasanya dibuang. Namun jika ada
warga yang menginginkannya atau meminta kain
tersebut, maka kain itu diberikan kepada warga tersebut.
Biasanya mereka memakainya untuk dibuat mukena dan
lain-lain. Entah dengan tujuan apa, mungkin mereka
memiliki anggapan dan kepercayaan bahwa kain tersebut

296
juga bisa memberikan keberkahan dalam hidupnya,
tentunya tanpa maksud mengingkari adanya kekuasaan
Tuhan. Malah justru mereka yang mempercayai
anggapan tersebut adalah orang yang benar-benar kuat
ilmu agamanya. Mereka hanya sekadar menghormati dan
meyakini bahwa setiap ajaran leluhurnya pasti mengarah
kepada kebaikan dan ujungnya kembali ke akhirat. Juga
sebagai rasa syukur dan penghormatan jika memakai
kain yang ada hubungannya dengan seorang tokoh
terkenal, maka akan mendatangkan kebaikan.
Sementara itu, mereka yang mendapatkan bagian
memasak sego jangkrik sudah mulai mempersiapkan
bahan dan menata alat-alat di belakang masjid.
Sebetulnya tidak ada pembagian khusus siapa yang harus
memasak, namun warga dengan semangat
kebersamaannya telah memiliki kesadaran sendiri dan
dengan sigap berbondong-bondong membantu dan
bekerjasama. Mengenai dana yang dipergunakan untuk
acara tersebut sebetulnya dari dulu adalah dari iuran
sukarela warga setempat, dan juga dari dana desa.
Namun, jika dana desa belum turun, maka pihak panitia
akan meng-cover terlebih dulu supaya acara nanti bisa

297
berlangsung lancar tanpa kendala apapun. Selain itu,
tidak menutup kemungkinan jika ada warga yang
bermurah hati menyumbang berupa uang, beras,
kambing, dan lain-lain. Urusan memasak mereka buat
lebih praktis dan fleksibel. Jika ada warga yang saat
acara memasak belum bisa hadir di masjid, maka dia bisa
memasak dirumahnya. Misalnya, ketika beberapa warga
mengajukan diri untuk memasak nasi dirumahnya
sendiri, maka mereka membagi beras tersebut menjadi
beberapa bagian untuk dibawa pulang lalu dimasak
dirumah. Sehingga panitia tidak perlu memasak nasi lagi
di lokasi belakang masjid.
Kinan berjalan menuju pintu masuk lokasi makam
bersama teman-temannya. Dia cukup hapal lingkungan
makam karena ketika kecil sering bersepeda hingga
kesana untuk mencari dedaunan dan bunga yang akan
digunakannya bermain pasar-pasaran. Senyum
sumringah terpancar dari wajah mereka ketika
menyaksikan lokasi makam yang terang oleh lampu-
lampu dan hiruk pikuk teriakan dan candaan anak-anak
kecil. Memang lingkungan makam terlihat agak
menyeramkan di hari-hari biasa karena hanya diterangi

298
dua buah lampu yang dipasang diatas pintu gerbang dan
diatas pintu makam atau punden. Lampu kuning redup
berdaya 10 watt yang tak cukup mampu menerangi
seluruh pelataran makam itu seolah menambah kesan
horor mengiringi bayangan pepohonan yang melambai-
lambai. Suasananya pun didukung oleh tumbuhnya
pohon pisang, pohon randu, pohon alpukat, dan pohon
besar lainnya di lingkungan pekarangan makam,
termasuk di dekat pintu gerbang terdapat pohon bunga
kenanga yang baunya menyengat hidung orang yang
kebetulan lewat di depan gerbang. Mungkin itu juga
yang menambah hawa mistis bagi sebagian warga.
Seperti halnya Kinan, dulu ketika kecil, selepas maghrib
sering disuruh ibunya membeli sembako di warung dan
ia harus melewati makam tersebut. Alhasil, dia akan
berlari cepat-cepat di depan pintu gerbang makam sambil
menoleh ke arah lain. Dari mulutnya pun tak henti
mengucap doa minta perlindungan supaya tidak
diganggu makhluk halus, menurutnya.
Kinan bersama teman-teman sebayanya duduk di
atas tikar yang sudah digelar oleh panitia. Sambil
bersendau gurau, mereka mencicipi makanan ringan

299
yang telah disediakan di tengah tikar. Makanan itu
berupa kacang rebus, pisang rebus, dan ubi rebus yang
dihidangkan dalam wadah-wadah yang terbuat dari
anyaman bambu. Sederhana, namun terasa nikmat jika
dinikmati bersama serta dalam suasana yang sakral
semacam itu. Teh hangat pun disediakan dalam teko-teko
besar bermotif lurik. Cukuplah untuk menambah
kehangatan tubuh di tengah ruang terbuka yang anginnya
cukup menusuk itu.
Pandangan Kinan tertuju pada salah seorang
pengunjung yang baru saja memasuki gerbang makam.
Dia tidak pernah mengenal pemuda itu sebelumnya.
Kemungkinan pemuda itu adalah pengunjung dari desa
atau tempat lain. Pemuda itu mengenakan celana jeans
dan kaos santai yang dibalut jaket berbahan kanvas
berwarna coklat muda. Di lehernya tergantung sebuah
tustel yang tak pernah lepas dari pegangannya. Seorang
pemuda yang wajahnya termasuk dalam kriteria biasa,
namun memiliki pesona yang tak mampu dilukiskan
olehnya. Wajah itu teduh dan memancarkan karisma
yang membuat Kinan tak sanggup berpaling, sampai ia

300
tak mendengar ketika salah seorang temannya
menegurnya beberapa kali.
“Kinan, kamu lihat apa sih? Lekas kemari, sebentar lagi
kita berebut nasi jangkrik.”, tegur temannya sambil
melambai.
“Ow…owh…iya.”, jawab Kinan tergagap.
Sebelum Kinan berlari menuju temannya,
pandangannya sempat berpapasan dengan si pemuda itu
dan seolah pemuda itu tahu kalau sedang diperhatikan.
Kinan salah tingkah, lalu dengan cepat dia berbalik dan
berlari kecil menuju temannya yang memanggilnya tadi.
Begitupun sebaliknya, pemuda itu sempat
memperhatikan Kinan dan diapun terpesona. Kinan
memang cantik. Dia merupakan gadis desa yang cukup
dikagumi oleh para pemuda. Banyak yang berusaha
menarik simpatinya, hingga ingin mempersuntingnya,
namun Kinan belum ingin serius memiliki hubungan.
Kinan selalu bermimpi bisa melanjutkan studinya ke
perguruan tinggi. Keahliannya menari membuat
tekadnya bulat untuk melanjutkan pendidikannya dan
menekuni jurusan seni tari di perguruan tinggi.

301
Setelah berbagai ritual dilakukan secara berurutan,
saat yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Puncak acara
dalam tradisi tersebut yang banyak dinanti warga dan
merupakan tujuan utama pengunjung mengikuti tradisi
tersebut adalah pembagian nasi jangkrik. Nasi atau sego
jangkrik yang menjadi hidangan khas dalam acara
tersebut adalah nasi yang dilengkapi daging kerbau dan
dibungkus daun jati, seolah merupakan sesuatu hal yang
selalu ditunggu oleh masyarakat. Nasi tersebut dibagikan
ke masyarakat sebagai pelengkap wajib di acara buka
luwur tersebut. Masyarakat memiliki anggapan dan
semacam sugesti bahwa jika mereka mendapatkan dan
memakan nasi jangkrik yang dibagikan pada acara buka
luwur tersebut, mereka akan mendapat berkah dari Sunan
Kudus. Meskipun rasanya agak sumek, tapi rasa
penasaran warga terbayarkan setelah menyantapnya.
Seluruh pengunjung, baik warga setempat maupun
luar desa ikut antri untuk mendapatkan nasi jangkrik.
Tentu saja Kinan bersama teman-temannya tak
ketinggalan. Ia ikut berdesak-desakan bersama warga
lainnya seolah berebut keberuntungan. Teman-temannya
telah berhasil mendapatkan nasi jangkrik, namun Kinan

302
masih berdesak-desakan di antrian. Mungkin karena
pembawaannya yang halus sehingga dirinya kalah
bersaing dengan warga yang antusias ingin duluan
mendapatkan nasi jangkrik. Padahal tanpa perlu
berebutpun, semua warga pasti akan menerima masing-
masing bagiannya karena panitia telah mempersiapkan
ratusan bungkus nasi jangkrik demi acara tersebut. Tapi
ya begitulah, kalau tidak ada prosesi berdesakan dan
berebutan, rasanya kurang afdol dan kurang greget bagi
mereka.
Meskipun badannya semampai, namun Kinan tak
berhasil menguak kerumunan warga yang berebut
mendapatkan nasi jangkrik. Sehingga ia hanya bisa
pasrah ketika satu persatu warga berbalik dari antrian
dan membawa nasi jangkrik buruan mereka, namun
Kinan yang berada di urutan paling belakang tidak
kebagian karena nasi jangkrik yang disediakan panitia
telah habis. Sungguh sial nasibnya hari itu. Kinan
melangkah berbalik menghampiri rombongan temannya
dengan gontai berbaur perasaan kecewa. Tiba-tiba
pundaknya ditepuk seseorang dari belakang.
“Mbak tidak kebagian nasi jangkrik?”, tegur seseorang.

303
Kinan berbalik dan mendapati sosok tinggi tegap
dengan wajah nan mempesona di hadapannya. Dia
terhenyak seketika dan tertegun kagum memandang
wajah rupawan itu. Benar, pemuda itu adalah sosok yang
dilihatnya tadi di pintu gerbang.
“Mbak…mbak…”, suara lelaki itu kembali
menyadarkannya dari keterpukauan.
“Oh, eh, iya mas. Bagaimana?”, Kinan menjawab dengan
gugup.
“Mbak tidak kebagian nasi jangkrik?”, tanya pemuda itu
lagi mengulangi pertanyaan yang sama.
“Eh iya mas.”, jawab Kinan sambil tersipu.
Dia tidak mau jika pemuda itu menganggapnya
seperti anak kecil yang memperebutkan sebuah mainan
dan kalah bersaing dari teman-temannya.
“Ambil saja punyaku ini.”, kata pemuda itu sambil
menyodorkan nasi jangkrik bagiannya.
“Oh tidak usah mas. Tidak apa kok.”, tolak Kinan
merasa tidak enak.
“Tak apa. Bagi mbak mungkin nasi ini spesial dan harus
dapat tiap tahunnya. Kalau saya kan bisa dapat lagi tahun
depan.”, pemuda itu tersenyum.

304
Aduhai, senyuman itu membuat Kinan tak mampu
berkedip barang sekejap saking terpesonanya.
“Tapi mas…”, Kinan masih merasa tidak enak.
“Terimalah! Lagian tubuh saya kan tinggi besar. Kalah
mereka itu kalau melawan saya soal rebut-merebut.
Tahun depan pasti saya dapat lagi.”, ujar pemuda itu
sambil terbahak. Bukan bermaksud membanggakan
dirinya, meskipun memang badannya tinggi besar.
Namun semata itu hanya untuk menghibur Kinan dengan
candaan.
Kinan ikut tertawa renyah. “Lucu juga dia.”, pikirnya
dalam hati.
“Baiklah saya terima. Terima kasih mas…”, kalimatnya
terpotong karena dia baru sadar sejak tadi belum tahu
nama pemuda itu dan harus memanggilnya apa.
“Oh perkenalkan, nama saya Pramana.”, ucap pemuda
itu memperkenalkan dirinya sambil memajukan
tangannya untuk menyalami Kinan.
Kinan membalas tangan pemuda itu dan berkata, “Saya
Kinan.”
“Nama yang indah, secantik orangnya.”, ucap Pramana.

305
“Ah mas Pramana bisa saja.”, entah kenapa pipi Kinan
tiba-tiba merona merah. Mungkin karena dipuji cantik,
atau mungkin karena dia terpesona dengan sikap pemuda
itu.
“Panggil saja Pram.”, tukas Pramana.
“Iya mas…Pram.”, Kinan Kembali tersipu.
Malam itu seolah acara haul jadi pendamping saja.
Kinan dan Pramana mulai asyik berbincang seolah hiruk
pikuk di lingkungan makam tak mampu mengusik
mereka yang berasyik masyuk. Sesekali mereka tertawa.
Pram tak hanya kagum dengan wajah cantik Kinan. Pram
mulai terpesona dengan kaki Kinan yang indah. Saat itu
Kinan memang mengenakan rok bawahan 7/8 sehingga
kakinya yang putih, mulus, dan memiliki lekuk indah itu
pun terlihat. Entah kenapa, Pram tak memandang kaki itu
dari segi fisik saja, namun dia seperti melihat ada
kekuatan dan perjuangan dari kaki-kaki itu. Entah apa,
namun sosok Kinan sepertinya memiliki kisah hidup
yang penuh haru dan memiliki kelebihan yang tak
mampu terungkapkan.
Demikian pula halnya dengan Kinan. Ia sudah
tersihir dari pertama kali pemuda itu memasuki pintu

306
gerbang. Pesona Pramana seolah tak mampu terelakkan
lagi. Dia hanya bisa kagum dan berharap pemuda itu
adalah yang terakhir dalam hidupnya setelah beberapa
tahun yang lalu ada beberapa pria yang berusaha
mendekatinya namun selalu mengalami kegagalan. Dia
heran, apakah nasibnya harus selalu mengalami
kegagalan sebelum berniat lebih serius dengan seorang
pria. Setiap pria yang mendekatinya ujung-ujungnya
hanya tertarik akan fisiknya. Kinan terlalu jujur. Dia
akan bercerita tentang latar belakang keluarganya yang
memang kurang mampu kepada pria yang mendekatinya
di awal mereka mulai berkenalan. Alhasil, pria yang
memang kurang siap ke arah hubungan yang lebih serius
selalu mundur teratur dan tak lagi menampakkan batang
hidungnya. Entah raib kemana mereka.
Pramana, dari namanya saja sudah memunculkan
kekaguman tersendiri buat Kinan. Nama yang terkesan
gagah, bijaksana, dan tidak angkuh. Ternyata memang
benar, Pramana adalah seorang pemuda yang ramah,
supel, kalem, baik hati, dan apa adanya. Sisi baiknya
mulai jelas terlihat ketika beberapa kali Pram
mengunjungi rumah Kinan setelah acara haul malam itu.

307
Pram begitu sabar mendengarkan cerita-cerita Kinan.
Tak sedikitpun tampak Pram meremehkan cerita dan
candaan Kinan. Pram selalu dewasa dan bijaksana dalam
bersikap. Ia selalu bijak dan sabar dalam memberikan
masukan dan selalu menghibur Kinan ketika dirundung
duka. Bagi Kinan, semua sikap yang ditunjukkan Pram
kepadanya bukan semata gestur atau basa-basi dari Pram.
Namun itu semua memang jujur keluar dari dalam diri
Pram.
Pram juga selalu kagum pada Kinan. Kepribadian
Kinan yang semakin menambah menawan. Dia juga
mengagumi wajah dan kaki Kinan. Perkiraannya benar.
Kaki itu ternyata tak hanya indah, tapi kaki itulah yang
selama ini menjadi saksi dan penopang hidupnya yang
penuh kepahitan. Kaki itu yang seharusnya melangkah
menjemput impian Kinan, namun kaki itu harus berbelok
arah dan memupuskan impian-impian Kinan. Kisah
hidup Kinan yang haru dan penuh duka membuat Pram
bersimpati. Akan tetapi simpati itu bukan berdasar belas
kasih semata, namun lebih pada kekaguman pada
seorang wanita yang tak pernah dijumpainya di belahan
bumi manapun dia berlabuh.

308
Perjuangan Kinan merawat ibunya yang lumpuh
sejak Kinan duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga
membuatnya menjadi sosok perempuan yang tangguh
dan tak mudah cengeng. Dia harus berjuang keras
bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang tak cukup
mampu untuk memenuhi semua kebutuhannya dan
ibunya. Kondisi ibunya yang lumpuh karena stroke
merembet hingga ke penyakit lain seperti diabetes, darah
tinngi, dan jantung. Keadaan itu mengharuskan ibunya
harus mengonsumsi obat setiap hari. Terkadang jika obat
ibunya habis, ia hanya mampu membeli obat secara ecer
di apotek langganannya. Memang resep yang diberikan
oleh dokter sangat banyak. Sebenarnya satu obat
diresepkan minimal 10 hingga 20 butir, tapi jika Kinan
tidak punya cukup uang untuk membeli obat itu
seluruhnya, dia hanya membeli 1-5 butir saja.
Beruntunglah pemilik apotek tersebut sangat baik dan
ramah padanya. Seringnya Kinan membeli obat disana
membuat pemilik apotek hapal. Kinan tak membawa
ibunya ke dokter lagi untuk berobat jika tak punya uang
lebih, dan hanya cukup untuk makan saja. Sebagai

309
gantinya Kinan membeli beberapa obat yang dirasa
sangat dibutuhkan ibunya segera.
Suatu sore Pramana berkunjung kerumah Kinan
untuk menemui Kinan dan menengok ibunya. Ketika
berbincang berdua di depan rumah, Pram memberanikan
diri memuji Kinan.
“Kinan, aku tak hanya kagum pada wajah cantikmu,
pada perjuangan hidupmu, namun aku juga kagum pada
kakimu yang indah.”, Pram mengawali dengan pelan.
Dia masih kuatir jika perkataannya menyinggung Kinan.
Dia tak mau dianggap menyukai Kinan hanya karena
fisik saja. Dia hanya ingin berkata jujur dan memuji
gadis pujaannya.
Kekuatirannya ternyata salah. Kinan
menyambutnya dengan tersipu. Tanpa marah sedikitpun.
“Mas Pram bisa saja. Indah apaan, wong aku tak pernah
sempat merawat tubuhku apalagi kakiku.”, kata Kinan
tergelak.
Giginya yang putih rapi di balik bibirnya yang ranum
tampak menambah keindahan wajahnya saja. Ah, Pram
tambah terpesona.

310
“Bener kok. Mungkin terdengar aneh. Tapi aku tak
hanya mengagumi bentuk kakimu. Kakimu itu yang
ternyata selama ini menjadi saksi perjuanganmu yang
mungkin tak pernah terlihat oleh orang lain. Tapi aku
bisa merasakannya semenjak pertama kali kita bertemu
satu bulan yang lalu. Intuisiku mengatakan bahwa kaki
itu tak sekadar untuk menopang tubuhmu, namun ada
sesuatu hal yang lain. Dan benar, kaki itu juga menjadi
penopang akan hidup ibumu.”, ungkap Pram. Kata-kata
itu seolah mengalir saja dari mulutnya. Kata-kata jujur
yang keluar dari hatinya yang terdalam. Karena baru kali
ini dia menemukan seorang gadis yang begitu tangguh
dan mengagumkan. Tak hanya mengagumkan dari jalan
hidupnya maupun pengorbanannya, namun kemuliaan
hati Kinan yang membuat Pram tak mampu berpaling
lagi.
“Mas, apalah arti kakiku ini. Nanti ketika tiba saatnya
kaki ini juga tak akan berguna lagi.”, kata Kinan dengan
lirih.
“Hush, jangan bilang begitu. Tak baik.”, ucap Pram
dengan cepat.

311
Namun bukan Kinan namanya kalau tidak bisa
membawa dirinya dan mengalihkan suasana. Dengan
segera dia mengeluarkan lelucon-leluconnya yang selalu
membuat Pram tertawa. Kedua insan yang saling
terpesona dan saling mengagumi itu semakin lama
memiliki rasa yang sangat kuat. Tak hanya cinta, namun
juga kasih sayang yang jauh melebihi apapun.
Satu bulan kemudian, Pram merasa gelisah. Dia
buru-buru keluar dari kamar kosnya. Motor bebeknya di
stater beberapa kali sampai akhirnya bisa hidup.
Bergegas dirinya menuju rumah Kinan. Setelah bertemu
Kinan, ia terbata-bata mengungkapkan kegelisahannya.
“Kinan, baru saja aku mendapat kabar dari kepala
redaksiku bahwa aku harus kembali ke Jakarta besok
pagi. Tugas meliputku disini diperpendek karena kantor
pusat kekurangan jurnalis untuk meliput acara disana.
Beberapa jurnalis ditugaskan di luar Jawa. Sehingga aku
harus segera meliput acara penting besok sore.”, Pram
berusaha menjelaskan dengan sedih.
Tampak raut muka Kinan berubah sedih. Dia
menunduk dan berkata, “Jam berapa Mas Pram
berangkat?”

312
“Pagi-pagi sekali, pukul 5 aku harus sudah siap.
Kepalaku sudah mengatur semuanya. Aku akan dijemput
mobil travel dan diantar ke bandara di Semarang. Dan
harus terbang ke Jakarta.”, jelas Pram dengan lirih.
“Ya Mas, aku doakan Mas Pram sampai di tujuan dengan
selamat.”, jawab Kinan dengan lirih pula. Ia masih
menunduk berusaha menutupi matanya yang berkaca-
kaca. Jika dia tak bisa menahan, mungkin air mata itu
langsung jatuh menetes berderai. Sudah lama sekali ia
tidak menangis. Mungkin tepatnya sudah tidak sempat
menangis. Tapi entah mengapa malam itu ia ingin
menangis dan berteriak sekeras-kerasnya. Ia ingin
berteriak menahan rencana kepergian Pram.
“Jangan sedih ya. Tolong jangan bebani aku dengan
kedukaanmu supaya aku bisa pergi dengan lega dan
tanpa beban yang berat yang tak sanggup aku pikul.”,
Pram setengah memohon. Dia juga merasa berat sekali
meninggalkan Kinan. Namun apalah dayanya. Dia harus
bertugas kembali. Dia harus memastikan bahwa Kinan
akan baik-baik saja meskipun itu tidak mungkin. Dia
juga harus menegarkan hatinya untuk mengatakan yang
sebenarnya meskipun itu akan membuat Kinan tambah

313
sedih. Namun malam itu dia juga ingin mengucapkan
suatu hal. Bukan semata untuk menghibur Kinan, tapi
ungkapan yang selalu disimpannya sejak dulu dan tak
pernah keluar dari mulutnya karena dia tak cukup berani
mengatakannya. Dia seolah ragu bisa membahagiakan
Kinan. Seperti malam ini saja, dia sudah mengecewakan
Kinan meskipun itu bukan karena kemauannya sendiri.
Iapun memberanikan diri mengatakan sesuatu yang
dipendamnya seolah bom itu ingin segera meledak
karena sudah sampai di leher meriam.
“Kinan, aku sayang padamu. Maukah kamu menerimaku
menjadi kekasihmu?”, sorot mata Pram menatap tajam
dan jujur pada Kinan.
Kinan spontan mengangkat wajahnya. Ia tak percaya
akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Pram.
“Mas Pram…Tak salah dengarkah aku?”
“Tidak sayang, aku memang mencintaimu sejak pertama
kali kita bertemu. Tapi nyaliku yang kecil tak cukup
berani untuk mengungkapkannya.”, rahang Pram agak
menggeretak. Dia merasa kecewa dan kesal dengan
dirinya sendiri mengapa tidak sejak dulu memiliki
keberanian seperti ini.

314
“Kamu mau menerimaku, dengan segala kekuranganku
ini?”, tanya Pram lagi.
“Aku mau Mas.”, jawab Kinan berkaca-kaca. Air mata di
pelupuk matanya itu seolah menyiratkan kebahagiaan.
“Kamu mau menungguku sampai tugasku disana selesai?
Aku akan kembali secepatnya untuk menemuimu lagi.”
“Iya Mas, aku akan selalu menunggumu.”
Malam itu serasa pundak Pramana dan hati Kinan
terlepas dari beban yang selama ini membelenggu
keduanya. Kedua insan itu saling berjanji untuk setia
menunggu tiba saatnya nanti kebahagiaan akan
mempersatukan mereka. Secercah harapan yang ikut
larut di bawah terangnya bulan yang malam itu bersinar
sangat indah.
Beberapa bulan mereka rutin berkirim kabar.
Surat-surat Pram yang selalu ditunggu Kinan selalu
menjadi penyemangat hari-harinya. Begitu juga
sebaliknya, surat balasan dari Kinan selalu dinanti Pram.
Dia selalu gembira jika surat Kinan sudah ada di meja
kerjanya ketika dia sampai di ruangannya. Namun
menginjak bulan keenam, kabar dari Pram mulai hilang.
Kinan tak lagi menerima surat dari pujaan hatinya. Resah

315
hati Kinan. Dalam benaknya berkecamuk berjuta tanda
tanya tentang Pramana. Ada apakah gerangan? Apakah
Pram sudah mulai bosan berkirim surat untuknya?
Apakah Pram tak mau lagi berhubungan dengannya?
Apakah Pram sudah lupa padanya? Apakah disana Pram
telah menemukan wanita pengganti Kinan? Ah, itu
merupakan hal yang menakutkan baginya saat ini. Dia
tak mampu membayangkan keadaan Pram di ibukota.
Sudah makankah mas Pram? Sudah tiba di kantorkah
mas Pram? Pikiran Kinan buntu saat itu. Ia tak mampu
berpikir panjang. Kegelisahan yang sangat menyebalkan.
Keadaan itu berlangsung hingga bulan-bulan berikutnya.
Hingga suatu ketika sebuah musibah datang dan
mengubah segalanya.
Satu tahun berlalu. Tradisi haul atau buka luwur
yang selalu diadakan setiap tahunnya kembali digelar.
Malam itu sama seperti malam setahun yang lalu.
Suasana hiruk pikuk dan terang benderang mewarnai
komplek makam Mbah Kyai Nganten. Para panitia sibuk
dengan tugasnya masing-masing. Kinan pun datang
bersama teman-temannya sama seperti sebelumnya.
Sampai di pintu gerbang ia terhenti. Pikirannya

316
menerawang ke malam satu tahun yang lalu. Ia ingat
pertemuannya dengan Pramana untuk pertama kalinya.
Pertemuan itulah yang mengubah hidup Kinan menjadi
berwarna sekalipun berakhir pilu pada akhirnya.
“Kinan, kok berhenti. Kamu mikir apa?”, tepukan tangan
temannya di pundaknya sontak menyadarkannya dari
lamunan.
“Oh tidak apa, Isma. Aku hanya merasa lelah.”, elak
Kinan sambil berpaling berusaha menyembunyikan sorot
matanya yang berkata sebaliknya.
“Owh, apa kita pulang saja? Kulihat beberapa hari ini
kamu sering melamun. Apa ada masalah yang sedang
mengganggu pikiranmu?”
“Ah tidak, Is. Aku hanya sedikit lelah. Ayo kita jalan
lagi. Yang lain sudah menunggu di dalam.”
Bukan Kinan namanya jika tidak bisa mengalihkan. Dia
tidak mau temannya kasihan padanya dan terlalu fokus
pada dirinya.
Tibalah pada puncak acara, yakni pembagian nasi
jangkrik. Malam ini Kinan tak ikut mengantri dengan
lainnya. Dia duduk menunggu temannya yang sedang
mengantri di seberang sana.

317
“Kau tunggu saja disini. Aku yang akan mengambilkan
sego jangkrik untukmu. Tahu sendiri kan, badanku besar.
Pasti yang lain kalah oleh senggolanku ha ha ha ha…”
kata Isma bernada memerintah sambil tertawa terbahak-
bahak.
Kinan pun ikut tertawa. Setelah Isma berlari kecil
menuju barisan antrian, tak sadar ingatan Kinan kembali
ke masa satu tahun yang lalu. Ia ingat gurauan Pramana,
“Tubuh saya kan tinggi besar. Kalah mereka itu kalau
melawan saya soal rebut-merebut.”
Senyum itu. Tawa itu. Semua kebaikannya…Ah,
Kinan berusaha menepis bayangan itu. Ia kembali
memperhatikan Isma yang begitu antusiasnya antri di
barisan warga. Ia ikut tertawa melihat tingkah polah
Isma. Tawa ringannya terhenti ketika ekor matanya
menangkap sosok yang berdiri terpaku tepat enam
langkah di depannya. Dia pria itu. Pria kharismatik itu.
Pria yang setahun lalu berhasil menangkap hatinya.
Jantung Kinan serasa berhenti sejenak. Dia
terhenyak. Tak menyangka akan melihat pria itu lagi.
Begitu pula dengan Pramana yang sungguh tak menduga
akan melihat gadis itu dengan kondisi yang berbeda dari

318
setahun yang lalu. Sewaktu datang tadi dirinya mencari
Kinan yang memang menjadi tujuan utamanya. Sekarang
gadis itu tepat di depannya. Duduk di sebuah kursi roda.
Pram tak lagi melihat kaki jenjangnya yang dulu begitu
dikaguminya. Kedua kaki itu sekarang tinggal sebatas
lutut dan ditutupi dengan rok panjang namun tetap
terlihat kalau kedua kaki itu telah buntung.
Pram berjalan perlahan menghampiri gadis itu
sambil terus menatap mata Kinan yang berkaca-kaca.
Ingin rasanya Kinan berlari meninggalkan tempat itu.
Dia malu dengan kondisinya yang sudah tidak sempurna
lagi. Dia takut Pram akan kecewa dan pergi lagi
meninggalkannya. Tapi apa dayanya, untuk bergerak
bebas saja dia tak mampu. Untuk kemana-mana dia
mengandalkan kursi rodanya itu. Hatinya ingin menjerit.
Apalagi ketika Pram sudah hampir selangkah lagi sampai
di depannya. Bibirnya bergetar menahan sesuatu.
Pram duduk bersimpuh di depan Kinan. Sambil
tetap masih memandang mata Kinan, Pram memegang
kedua tangan Kinan yang gemetar. Kinan menunduk, tak
kuasa memandang Pram.
“Kinan…”, sapa Pram pelan.

319
Kinan mengangkat mukanya dan menjawab, “Aku
sudah tak mempunyai kaki lagi, Mas. Dulu aku pernah
berkata suatu saat kaki ini tak akan berguna lagi.
Ternyata kini menjadi kenyataan.”
Senyum pahit tersimpul di ujung bibirnya.
“Apa yang terjadi?”
“Setelah ibu meninggal, sebuah kecelakaan telah
merenggut kakiku.”
“Ibu meninggal?” tanya Pram kaget. “Kecelakaan…
bagaimana bisa terjadi Kinan?”, lanjutnya.
“Enam bulan yang lalu, setelah Mas Pram hilang tanpa
kabar, hari-hariku kacau. Hatiku hancur. Apalagi ketika
sebulan kemudian ibu meninggal karena komplikasi,
hidupku berantakan. Rasanya duniaku hilang. Aku sering
melamun dan menyendiri. Hingga pada suatu hari aku
seperti orang linglung dan berjalan tak tentu arah.
Akibatnya sebuah truk menabrakku.”, jelas Kinan sambil
menahan air matanya agar tidak tumpah.
Oooh…tiba-tiba dada Pram sesak. Seketika
badannya serasa lumpuh seolah tulang-tulang yang
menyangga tubuhnya lepas entah kemana. “Kinan,
maafkan aku. Aku…”, Pram merasa sangat berdosa dan

320
berusaha menjelaskan keadaannya. Tapi Kinan
memotongnya.
“Mas Pram tahu apa yang terjadi sekarang kan? Aku
sempat koma selama beberapa hari. Ketika aku tersadar,
kedua kakiku sudah tidak ada. Betapa aku adalah orang
yang paling menderita pada saat itu. Hancur semua,
hidupku, masa depanku. Aku sudah kehilanganmu dulu,
ditinggal ibu, dan sekarang aku juga kehilangan kakiku.”
“Kinan, izinkan aku menjelaskan.”, pinta Pramana.
“Yang perlu kamu tahu adalah aku tak pernah
melupakanmu. Di mataku selalu terbayang dirimu. Di
hatiku selalu terukir namamu. Enam bulan setelah aku
pulang dari Kudus, aku ditugaskan meliput berita
sekaligus menjadi relawan di desa Mangsang, jauh di
pelosok Sumatera. Aku berusaha menghubungimu,
namun tak ada jaringan disana. Aku harus bertahan hidup
dengan kondisi seadanya disana. Enam bulan pula aku
disana. Begitu kembali ke Jakarta aku langsung minta
izin ke Kudus.
Kinan merasa tersentak. Prasangkanya selama ini
salah besar. Kepercayaannya kepada Pram tumbuh lagi
seperti kebersamaan mereka dulu. Tapi semua sudah

321
berakhir. Dia tak pantas untuk Pramana yang sempurna.
Rasa rendah diri menderanya selama berbulan-bulan.
Malam ini rasa itu pun masih ada, mengaburkan rasa
cintanya pada pemuda itu.
“Aku sudah tak pantas untuk Mas Pram. Aku bukan
wanita sempurna yang bisa mendampingi Mas Pram.
Mas Pram akan malu.”
“Mengapa kau berkata seperti itu? Siapa yang berhak
memutuskan pantas atau tidak pantas? Bagiku kamu
masih Kinan yang dulu. Justru kegigihanmu berjuang
untuk hidup hingga sekarang semakin membuatku
kagum padamu. Kinan, maukah kamu memaafkanku?
Kita untai lagi tali cinta yang sempat tercerai. Aku tak
bisa menjanjikan kebahagiaan, namun aku akan berusaha
membahagiakanmu.”, mata Pram mulai berkaca penuh
harap.
“Mas Pram mau menerima kondisiku seperti ini? Apa
nanti kata keluarga dan teman-teman Mas Pram?” sangsi
Kinan.
“Aku tak peduli kata orang. Aku akan membawamu ke
keluargaku. Aku yakin mereka akan menerimamu
dengan tangan terbuka.”, sahut Pram mantap.

322
“Mas, aku tak tahu mesti berkata apa lagi. Terima kasih
kau telah datang lagi kepadaku dan mau menerimaku apa
adanya.”, tak kuasa air mata Kinan menitik juga. Tapi
kali ini air mata itu turun penuh kebahagiaan.
Tangan mereka tetap berpegangan. Kali ini cukup
erat seolah tak ingin terpisahkan lagi. Sebuah kekuatan
besar meruntuhkan kekakuan dan mendorong keyakinan
yang kuat bagi mereka.
“Oh iya, aku mengambilkan nasi jangkrik untukmu
tadi.”, Pram merogoh saku jaketnya dan menggenggam
sebungkus nasi jangkrik. Lalu ia menyodorkannya ke
Kinan.
“Kali ini aku dapat duluan dari mereka. Kita makan
bersama ya. Supaya aku juga mendapat keberkahan yang
sama sepertimu. Sampai kapanpun kita akan tetap bisa
bersama-sama lagi.”, ucapan Pram terlantun doa.
Kinan mengangguk sambil tersenyum haru. Ia
menerima nasi itu dan meletakkannya di pangkuannya.
Pram berdiri lalu mendorong kursi roda Kinan menuju
bangku kayu di bawah pohon pisang. Disana mereka
makan berdua sambil sesekali tertawa.

323
Sedangkan di ujung lain, teman-teman Kinan
sudah selesai mengantri nasi jangkrik dan tengah
memperhatikan mereka dari tadi. Mereka sengaja tidak
segera menghampiri Kinan karena memberi kesempatan
Kinan dan Pramana melepas rindu. Mereka ikut
tersenyum bahagia melihat Kinan berseri lagi. Isma
hampir menitikkan air mata menahan haru. Tapi dengan
cepat dia bisa mengendalikan emosinya. Dengan
badannya yang besar itu malulah ia kalau ketahuan
teman-temannya sedang menangis.
“Hai…hai…nasinya Kinan nganggur nih. Aku makan
semua ah.”, teriaknya ke teman-temannya sambil
membawa lari dua nasi yang diambilnya tadi, yang
rencananya untuk dirinya dan untuk Kinan.
“Isma…dasar gendut banyak makan!”, teriak teman-
temannya sambil tertawa-tawa mengejar Isma.
Malam itu lunaslah sudah semua beban yang
sekian lama menggelayut. Keceriaan yang lepas bersama
lantunan Sholawat Nabi yang teruntai seolah membawa
keberkahan bagi seluruh umat yang hadir pada acara haul
malam itu.

324
Patos
Budur Nazilir Rohman
Suara guntur menggelegar di atas langit pagi, seolah
memberi tahu kepada penduduk bumi bahwasanya hari

325
ini tidak akan secerah seperti hari biasanya. Pagi masih
sepi, sepertinya orang-orang masih takut untuk
menginjakkan kakinya keluar rumah setelah pemerintah
mengumumkan kasus covid sudah mulai akut dan
memaksa seluruh kegiatan dilakukan dari dalam rumah,
mulai dari sekolah hingga bekerja. Semua wargapun
meng iyakan anjuran pemerintah agar cepat kembalinya
kehidupan normal.

Sebuah rumah sederhana terlihat tertutup pintunya.


Rumah itu masih polos, masih terlihat tatanan batu
batanya, belum ada cat dinding yang menempel padanya.
Di dalamnya pun perabotan sedikit dan tidak rapi, seperti
tidak pernah terjamah oleh tangan wanita. Ada gelas dan
piring di atas meja samping televisi tabung, handuk di
kursi kamar depan, tumpukan buku-buku di mejanya.

Seorang lelaki yang berusia kira-kira 45 tahun keluar


dari kamar dengan balutan kain sarung yang menyelimuti
tubuhnya, terlihat juga terdapat koyo di pelipisnya,
kumis tipisnya yang menjadikan citra sangat di wajahnya
seakan tiada guna lagi, bibirnya pucat dan wajahnya
mengisyaratkan bahwa tubuhnya sedang lemah. Demam

326
yang dideritanya belum juga reda, ditambah batuk yang
tiada henti membuat orang-orang takut dengan hanya
sekedar mendekatinya, mungkin akan menerka lelaki itu
pembawa virus seperti yang gencar diberitakan di
televisi.

Dia duduk di atas kursi yang dekat dengan pintu.


Menyedekapkan kedua lututnya di depan dadanya.
Matanya menatap lurus ke depan memandangi blangkon
yang berada di atas televisi. Blangkon berdebu yang
sudah lama tak terpakai, blangkon yang sering ia
gunakan untuk mencari nafkah. Dia mengenang hari-hari
yang dia lalui sebagai seorang seniman kethoprak yang
tiada hentinya tampil di undangan-undangan, kini dia
hanya dapat di rumah sja setelah Pandemi datang, rasa
rindu akan pementasan terkadang datang, tapi apa bisa
diperbuat, semuanya demi kesejahteraan, walaupun
dirinya tidak sejahtera.

Sosok anak perempuan kecil keluar dari kamarnya,


dengan mata yang masih terbuka lebar, mungkin ia
terbangun setelah mendengar rintik gerimis yang
hinggap di atap rumah. Gadis kecil yang sudah dua tahun

327
ini tumbuh dan berkembang tanpa ditemani sosok ibu,
karena pergi bekerja menjadi seorang TKW, sering kali
ia merasa iri dengan teman-teman sepermainannya.
Bapaknyalah yang mengurusnya, sering kali ia diajak
saat bapaknya bekerja, yang terkadang pulang hingga
larut, dan terkadang hingga fajar tiba, begitulah
kehidupan seorang seniman kethoprak yang menghibur
orang lain, hingga tak sempat menghibur dirinya dan
keluarganya.

Sepertinya terjadi dialog manja antara bapak dan


anaknya. Kemudian terlihat raut wajah bingung
bapaknya, si anak mengutarakan kekosongan perut yang
ia rasakan menjadi pengganggu tidurnya di pagi dingin
ini. Bergegaslah bapaknya mencari persediaan makanan
yang mereka punya. Alangkah lemasnya sang bapak
ketika tidak dapat ia menemukan persediaan makanan
karena telah habis dimakan sehari-harinya, sebungkus
mie instan pun tak ada, maka masuklah si bapak ke
dalam kamar pengapnya untuk mengambil uang tua
punya.

*****

328
Gerimis masih berjatuhan, terdapat genangan air
dimana-mana, burung-burung pun tak ada yang sudi
berlalu lalang di langit, mungkin sedang berteduh di
antara rimbunan pohon. Sepertinya seseorang sedang
berlari kecil menerobos jutaan tetes gerimis yang turun,
terkerudung di kepalanya sarung bermotif kotak warna
hijau, terdapat pula bingkisan plastik yang berada di
tangannya, sepertinya berharga sekali bingkisan itu,
mungkin kutu loncat pun tak akan diperkenankan
menghinggapinya. Bapak itu memasuki rumahnya,
terlihat putrinya menanti dan tersimpul senyum manis
ketika bapakkya memasuki rumah dengan membawa
plastik yang terdapat 2 bungkus mie instan di dalamnya.

*****

Hari sudah siang, gerimis sudah reda beberapa waktu


yang lalu, namun kini turun kembali, langit pun masih
terlalu gelap untuk siang, ya.....awan hitam masih
terbentang memayungi bumi, suasana tak kunjung
berubah, hawa dingin yang mendekap menganjurkan
penduduk bumi untuk menyiapkan makanan ringan di

329
dekat mereka, karena lapar akan datang tanpa mengucap
kata perjumpaan.

Lapar terasa kembali di perut sang anak,bdan kali ini


bukan hanya si anak melainkan di bapak juga
nampaknya. Setelahpagi tadi sarapan dengan mie instan,
tidak cukup untuk menutup rasa lapar yang datang
kembali. Setelah terguyur air hujan esok tadi, nampaknya
bertambah menggigil tubuh sang bapak, hanya air putih
hangat yang dapat diupayakan untuk mengurangi
sakitnya. Kecemasan pun kian menjadi, hanya ada satu
pertanyaan yang terlintas di pikirannya “ apa yang harus
diperbuat?”. Diantara kebingunganya, terdengar suara
seseorang mengetuk pintu mereka. Ternyata tetangganya,
alangkah bahagianya dia di dalam hatinya, tetangganya
tersebut mengundangnya kerumah karena tetangganya
mengadakan acara megengan.

Megengan merupakan tradisi masyarakat jawa yang


diadakan guna menyambut bulan suci Ramadhan.
Megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya
menahan. Suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan
memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana umat Islam

330
diwajibkan berpuasa, yaitu menahan untuk tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
menggugurkan ibadah puasa tersebut. Masyarakat
biasanya mengadakan di rumah dengan membacakan
tahlil dan Yasin untuk mengirim doa kepada ahli kubur.
Setelah selesai acara megengan maka tamu undangan
akan diberi berkat yang berupa kue apem yang
merupakan ungkapan dari rasa permintaan maaf secara
tidak langsung kepada para tetangga.

Seluas Rasa Terhalang dalam Adat Istiadat


Siti Ma’rifatul Umayah
Pagi yang cerah ini ditandai dengan munculnya sang
surya dari ufuk timur. Udara pagi yang sejuk nan asri

331
mulai terasa dikulit. Siulan burung yang cantik dan
gemercik air mengalir menambah kesejukan di pedesaan
Suralaya. Desa Suralaya adalah desa dibawah kaki
pegunungan, tak heran apabila udaranya sejuk dan
pemandangannya juga sangat menarik hati, setiap orang
yang melihatnya pasti berdecak kagum, melihat
kebesaran Tuhan ini.
Setiap paginya para petani berangkat ke tempat
persinggahannya yaitu persawahan, sedangkan para
pelajar juga berangkat ke sekolahannya masing-masing.
Di Desa Suralaya ada seorang bunga desa yang parasnya
cantik bak bidadari turun kebumi. Ia bernama Indah
Permatasari yang kerap dipanggil Indah oleh teman-
temannya. Usianya masih remaja tak heran apabila
banyak yang menaksirnya.
Indah masih duduk dibangku kelas 10 SMA Negeri 1
Harapan. Indah mempunyai teman akrab yang bernama
Ilham. Ilham sering berangkat bersama Indah dan
membantu Indah dalam setiap harinya. Mereka sudah
lumayan lama menjalin hubungan hati diantaranya
keduanya. Mereka berdua saling melengkapi kekurangan
dan kelebihan masing-masing karena mereka bertekad

332
kuat akan melanggengkan api asmaranya hingga akhir
hayat.
Semakin hari hubungan mereka semakin dekat,
pertemanan mereka menjadikan iri oleh teman-teman
yang lainnya, orang tua mereka sudah mengetahuinya.
Ilham juga sering bermain ke rumah Indah sekadar
melepas rindu. Pada suatu ketika Ilham mengutarakan
perasaannya ke Indah,akan tetapi Indah menganggapnya
hanya gombalan yang di buat Ilham semata. Seiring
berjalannya waktu, Indah pun perasaannya ke ilham
makin dalam.
Menginjak kelas 12 SMA, Ilham dan Indah sibuk
mempersiapkan ujiannya, yang mereka lakukan hanya
belajar, tidak ada main-main lagi. Suatu ketika mereka
bertemu ketika berangkat sekolah mereka saling menatap
tapi mereka hanya sebatas menyapa kabar dan
bagaimana kesiapan dalam menyiapkan ujian.
Ilham ; “Bagimana kabar ibu bapak, Ndah?”
Indah : “Alhamdulillah ham mereka baik-baik
saja, oh iya kalau kamu gimana?”
Ilham : “Alhamdulillah sehat juga kok.
Bagaimana ada kesulitan belajarnya?”

333
Indah : “Tidak ada kesulitan ham, Alhamdulillah
lancar semuanya”.
Ketika menjelang ujian mereka tidak pernah
bareng waktu berangkat sekolah, mereka ketemu ketika
sudah di kelas dan itupun tidak saling berbincang-
bincang, tibalah waktu ujian mereka memfokuskan diri
pada ujiannya masing-masing dan saling memberi
semangat. Hingga sampai pengumuman kelulusan tiba
mereka bertemu di depan papan informasi yang dimana
terdapat daftar nama siswa yang lulus dan tidak lulus,
mereka berdo’a di dalam hati sambil mencari nama
mereka di kertas daftar kelulusan. Setelah satu-persatu
mereka melihatnya mereka tertuju pada satu nama yaitu
Indah Permatasari. Kemudian ilham melanjutkan daftar
nama tersebut hingga tiba nomor dua dari terakhir yang
tertulis namanya yaitu Ilham Ardiansyah. Ilham dan
Indah merasa sangat bahagia atas kelulusan mereka tanpa
mereka sadari mereka berpelukan di depan umum sambal
bersorak-sorak ria.
Setelah dua bulan kemudian mereka
mendapatkan pekerjaan yang sama, disinilah
kebersamaan mereka semakin dekat hingga tiba mereka

334
istirahat bersama dam makan siang, celutuk ilham bilang
kalu dia ingin hubungannya sama indah menuju ke
jenjang serius.
Ilham : “Ndah, Aku mau ngomong sama kamu
tentang hubungan kita.”
Indah : “Emm……, iya gimana ham?” (Indah
melongok karena kaget)
Ilham : “Aku mau hubungan kita ke jenjang yang
lebih serius ndah, kita sudah lama bersama,
kalua kamu mau nerima aku akan langsung bilang sama
orang tuamu, lagi pula kita kan sudah
dewasa dan sudah bekerja kan?”
Indah : “Iya ham, aku juga suka sama kamu sejak
dari dulu, dan moment ini yang aku
tunggu sejak dulu.” (Indah menjawab sambil tersenyum
dan tersipu malu)
Satu bulan dari kejadian itu, Ilham datang ke rumah
Indah sendiri dan membicarakan ke orang tuanya tentang
hubungannya dengan Indah. Sebelumnya, Ilham sudah
membicarakan keinginan melamar Indah ke ayah dan
ibundanya. Mereka merestui dan menyuruh Ilham bilang
ke orang tuanya Indah.

335
Bapak Mawardi yang tak lain adalah ayah Indah
menyambut baik kedatangan Ilham dan mereka
bercengkrama dengan hangat. Ilham disela obrolannya
dengan Pak Mawardi memberanikan diri membahas
tentang keinginannya untuk melamar Indah. Pak
Mawardi sudah mengerti kalau Ilham adalah pacar dari
anaknya. Tapi Pak Mawardi bercerita tentang adat di
desa Suralaya.
Di Desa Suralaya, ada adat istiadat yang sangat
terkenal dan banyak diyakini masyarakat setempat. Adat
tersebut yaitu menikah yang tidak diperbolehkan posisi
rumahnya yaitu “Ngalor Ngetan” (timur laut).
Masyarakat Desa Suralaya percaya apabila pantangan itu
dilanggar akan mendapat musibah selama menjalani
rumah tangga.
Budaya itu banyak yang mempercayai sehingga
terkenal ke desa sekitar. Pernah suatu ketika ada orang
yang melangsungkan pernikahan dan melanggar hal itu,
sang ayah pengantin pria meninggal tanpa sebab setelah
tujuh hari pernikahan anaknya dilangsungkan. Pasangan
pengantin itu juga sering mendapat cobaan, baik berupa
penyakit atau gangguan yang berbau mistis. Akhirnya

336
mereka mencari tahu kejadian itu dan mendapat jawaban
bahwa mereka telah melanggar pantangan di desa
tersebut.
Pak Mawardi setelah mendongeng hal itu, Ia
langsung memberi jawaban bahwa rumahnya dengan
Ilham apabila ditarik garis maka mengarah “Ngalor
Ngetan” . Mendengar hal itu, Ilham cemas dan raut
wajahnya berubah menjadi kusam dan lemas. Ilham
sudah menduga arah jawaban dari Pak Mawardi menolak
lamaran Ilham secara halus dengan cara menjelaskan
adat di desa Suralaya karena takut kejadian itu menimpa
kepadanya.
Ilham kebingungan dan bercerita kepada Indah
bahwa lamarannya berada diujung tanduk dan terancam
gagal. Namun, Ilham berjanji akan mencari jalan keluar
supaya lamarannya diterima dan segera mungkin
melangsungkan pernikahan. Ilham memutar otaknya
berpikir keras mencari solusi permasalahannya yang
sedang dihadapinya. Dia teringat mempunyai kenalan
seorang yang dianggap sesepuh di desa itu dan sangat
disegani. Dia bernama Mbah Joyo Kusumo atau sering
disebut Mbah Joyo.

337
Ilham mendatangi rumah Mbah Joyo dan
menceritakan masalahnya kepada Mbah Joyo.
Ilham : “Mbah, Saya datang kesini mau
meminta bantuannya”
Mbah Joyo : “Bantuan apa Nak Ilham?”
Ilham : “Tentang kisah kasihku Mbah”
Mbah Joyo : “Oalah, silakan cerita dulu Nak, Mbah
mau menyimak ceritamu dahulu.”
Ilham bercerita panjang lebar tentang kejadian yang
dialaminya. Mbah Joyo mendengarkan cerita Ilham dari
awal hingga akhir sambil menghisap rokok dengan pipa.
Setelah selesai bercerita, Mbah Joyo memberi saran agar
pernikahannya dengan Indah dapat dilangsungkan tanpa
menemui bahaya apalagi sampai korban nyawa. Mbah
Joyo menyarankan Ilham pindah rumah minimal dua
bulan sebelum pernikahannya dan saat pindah itu
menggelar hajatan dengan menyembelih ayam cemani
sepasang.
Saran dari Mbah Joyo dilakukan Ilham. Pada kali ini
Ilham bersama bapaknya yang bernama Pak Khasan
bertamu ke rumah Pak Mawardi melanjutkan rembukan
yang sebelumnya. Ilham bercerita bahwa dia bertekad

338
sehidup semati dengan Indah dan rela berkorban apapun
agar dapat menikah dengan Indah. Dia juga bercerita
bahwa akan pindah rumah supaya arahnya dengan arah
rumah Indah tidak “Ngalor Ngetan” dengan pindahan
dan menggelar hajatan dengan menyembelih ayam
cemani sepasang.
Pak Mawardi menerima hal itu dan menanyakan
kapan pernikahan akan dilangsungkan. Pak Khasan
menjawab secepatnya dilangsungkan supaya tidak
menyebabkan mudharat yang lebih banyak dan menjadi
gunjingan para tetangga. Mereka sepakat tiga bulan
setelah pertemuan itu adalah hari pernikahan antara
Ilham dan indah.
Hari yang dinantipun tiba, Indah dan Ilham
menyelesaikan ijab habul di masjid terdekat dan mulai
bersenang senang dan bercanda tawa di panggung
pelaminan. Tamu berdatangan mengucapkan selamat dan
mendoakan supaya magligai mereka sampai akhir hayat
dan segera diberi momongan anak yang sholeh dan
sholehah. Setelah menikah mereka mendirikan rumah
dan hidup bahagian bersama-sama di Desa Suralaya.

339
Prasah Pengantin
Lisa Agustin Dwi Rahayu
Mujip kini sudah berusia 23 tahun. Mujib berasal dari
keluarga yang bisa dibilang orang berada. Dia adalah
anak tunggal dari pasangan bapak Sutomo dan ibu
Martini. Orang tuanya memiliki Dayah yang luas dan
juga memelihara kerbau yang bisa dibilang cukup

340
banyak. Dia hanyalah lulusan SMA dan ia bekerja
membantu orang tuanya disawah dan mengurus kerbau
kerbaunya. Mujip akan melamar seorang gadis. Gadis itu
adalah tetangganya yanga bernama Muntik. Muntik
adalah gadis yang berusia 20 tahun berasal dari desa
Sidigede. Muntik hanylah lulusan SMP, setelah lulus
Muntik bekerja sebagai buruh menjahit. Dia berasal dari
keluarga yang sederhana. Bapak dari Muntik bernama
Parjono dan ibunya bermana Sumini. Pekerjaan orang
tua Muntik adalah sebagai petani.

Disuatu hari dimana hari yang sudah disepakati dari


kedua keluarga. Hari ini Mujip akan melamar Muntik.

Mujip : "pak nanti ngomongnya gimana ya? Mujip


ndredek pak."

Sutomo : "ws le tidak usah ndredek santy wae."

Martini : "iya le jangan ndredek gitu santay wae. Ws


kono siap siap ibuk tak nyuap nyiapke seserahan yang
nanti dibawa."

Mujip : "iya buk."

341
Martini ibunya Mujip mempersiapkan seserahan dari
pagi dan dibantu oleh tetangganya. Dari membuat
gemblong, wajik, kue dan lain-lain. Karena membuat
atau mempersiapkan itu semua membutuhkan waktu
yang lumayan. Sedangkan Mujip dan bapanya sedang
mempersiapkan yang lain juga. Karena acara lamarannya
itu dilaksanakan makan hari habis sholat Isyak. Malam
harinya semua sedang bersiap siap untuk menuju rumah
Muntik untuk melamarnya.

Sutomo : "gimana Bu sudah siap semua kan?"

Martini : "Alhamdulillah sudah semua pak tingal tunggu


Mujip, dia lagi siap siap dilamarnya."

Sutomo : "oh ya sudah, kali gitu bapak pangil Mujip dulu


ya buk."

Martini : "iya pak ibu tunggu di ruang tamu dulu kalau


gitu."

Dan Sutomo bapaknya Mujip pun menghampirinya


untuk cepat keluar.

Sutomo : "ayo le cepat nanti keburu telat nanti."

342
Mujip : "iya pak ini sudah siap kok. Ayo kalau gitu
berangkat sekarang."

Dan mereka pun berangkat kerumah Muntik. Karema


rumah Muntik dekat jadi hanya menempuh waktu 10
menit untuk sampai di rumahnya. Setelah sampai di
rumah Muntik

Sutomo : "assalamualaikum."

Parjono : "waalaikumsalam. Silahkan masuk."

Setelah semua masuk dan duduk lalu ibunya Muntik


menyajikan hidangannya. Dan lalu duduk dan memangil
Muntik keluar dari dalam kamarnya.

Sutomo : "oh iya kita mulai saja langsung. Kedatangan


saya kesini mengantar anak saya dengan tujuan dan
maksut yang baik. Dan silahkan le bucara."

Mujip : "iya baiklah, tujuan saya kesini adalah ingin


melamar Muntik untuk menjadi pendamping hibup saya,
menemani saya dalam suka maupun duka."

Parjono : "baik nak semua bapak serahkan kepada


Muntik langsung. Gimana nduk?"

343
Muntik : "iya pak insyaallah saya bersedia dan menerina
lamarannya."

"Alhamdulillah." Ucan semua orang

Sumini : "Monggo dimakan dulu hidangannya, maaf


seadanya saja."

Martini : "iya buk ini sudah lebih dari cukup kok."

Dan setelah itu mereka menentukan tanggal baiknya


menurut perhitungan Jawa untuk acara pernikahannya.
Dan merekan memutuskan tangal pernikahannya yaitu 5
bulan setelah hari pertunangannya. Waktu terus berlalu,
hari berganti minggu dan kini Mujip dan keluarganya
sedang mempersiapkan semuanya untuk acara
pernikahannya. Seperti tradisi di desanya dia
mengunakan tradisi yang sudah lama ada di desanya
yaitu tradisi Prasah.

Mujip : "buk, tadi ibuk sudah pesan tentanya?"

Martini : "sudah le semalan ibuk kerumah yang punya


tenda sama bapak terus langsung milih tendanya yang
mana."

344
Mujip : "oh iya buk yasudah. Kulo izin mau kefoto copy
mau buat undangan."

Martini : "iya le. Oh iya ke besok kamu kerumahe


Muntik ya katanya mau fiting baju pengantinnya."

Mujip : "iya buk."

Hari terus berganti minggu dan minggu berganti bulan.


Kini tinggal 1 bulan lagi pernikahan Mujip dan Muntik
dilaksanakan.

Martini : "pak kerbau untuk acara prasahnya sudah


dipilih yang mana kan?"

Sutomo : "oh iya Bu sudah, tadi sudah dipisah sama


kerbau yang lainnya. Oh iya Bu untuk urusan makanan
dan sesajen sudah dipesen?"

Martini : "iya pak kemarin ibuk sudah pesen dan katanya


seminggu sebelum harinya akan diantar kerumah."

Sutomo : "oh ya sudah. Berarti sudah semua gak ada


yang kelupaan?"

Martini : "sudah semua pak."

345
Semua sudah dipersiapkan dan kini tinggal 4 hari menuju
hari pernikahan. Semua sibuk untuk mempersiapkan
pernikahan Mujip dan Muntik. Dari orang yang masang
tenda ada yang memasak ada juga yang mempersiapkan
untuk acara tradisi prasah berupa berbau sesajen dan
sebagainya.

Kini adalah hati yang ditunggu tunggu oleh kedua


keluarga dari pengantin. Dimaha hari bersejarah bagi
Mujip dan Muntik.

Sutomo : "semua sudah siap ngih pak?"

Tito : "ngih sampun sedoyo. Niki tinggal berangkat."


(Tito adalah orang yang biasanya mengurusi acara acara
pernikahan didesanya.)

Sutomo : "oh ya sudah. Oh iya buk Mujip sudah siap?"

Martini : "sudah pak, itu dia orangnya. Ayo le nanti


telat."

Mujip : "iya buk."

Dan iring iringan pun berangkat menuju kediaman


pengantin wanita. Mereka pergi mengarak kerbau

346
tersebut dari kediaman pengantin laki-laki sampai
kediaman perempuan yang diikuti oleh seluruh warga
desa dengan berjalan kaki. Didalam proses pengarakan
kerbau itu, tak sedikit membuat orang yang cidera. Baik
cidera ringan seperti luka luka atau cidera berat seperi
patah tulang, selain cidera dari orang orang yang
mengaraknya, banyak pula pagar-pagar rumah dipinggir
jalan yang terbuat dari bambu rusak karena amukan dari
kerbau itu. Sesampainya kerbau di rumah mempelai
perempuan, kerbau ditenangkan oleh sesepuh desa
dengan mantra, selain membawa kerbau sebagai mahar,
dalam tradisi pasrahan pengantin di desa Sidigede juga
membawa seperangkat peralatan memasak lengkap serta
lemari yang terbuat dari kayu jati. Dalam pernikahan
Mujip juga terdapat hiburan sebagai pelengkap dari
tradisi prasah yaitu berupa jaran kepang dan barongan.
Setelah itu kini saatnya acara ijab qobul. Sebelum acara
ijab qobul yaitu ada pembacaan ayat suci Al-Quran dan
sambutan. Kini tinggallah acara ijab qobul.

Penghulu : "gimana nak sudah siap?"

Mujip : "iya pak insyaallah sudah."

347
Penghulu : "ya sudah kita langsung mulai saja ya."

Setelah Mujip bembacakan ijap qobul, kini saatnya acara


balang sirih dan sungkeman. Setelah acara balang sirih
dan sungkeman kini pengantin pria dan wanita datang
kerumah pengantin pria yang tujuannya sebagai
silaturahmi oleh sedua keluarga. Dan setelah itu
pengantin wanita kembali kekediamanya untuk
melanjutkan acara yaitu biasanya teman teman dari
pengantin adakan datang atau biasanya dibilang buoh
atau kondangan.

Setelah serangkaian acara selesai malam harinya


pengantin perempuan akan diserahkan kembali ke
keluarga pengantin pria.

Parjono : "assalamualaikum."

Sutomo : "waalaikumsalam. Ayo masuk pak."

Parjono : "iya terimakasih. Langsung saja saya kisini


ingin mengantar dan menyerahkan Muntik kembali
kesini sesuai janji yang sudah tadi pagi dibilang. Dan
apabila Muntik disini ada kekurangannya atau
kesalahany mohon diberitahu dan dibimbing."

348
Sutomo : "iya pak saya terima. Dan saya juga apa bila
Mujip nanti disana ada kesalah mohon diberitahu dan
dibimbing."

Setalah acara menyerahkan sang pengantin mereka pun


kembali kerumah. Keesokan harinya biasanya akan ada
acara selametan setelah hari pernikahan yang dihadiri
oleh tetangga kiri kanan dari rumah.

Tradisi Prasah ini sebagai ungkapan rasa bersyukur


karena anak yang dirawat dari kecil hingga dewasa telah
diberi kesehatan, hingga sampai berumah tangga.
Kemudian tujuan orang tua mencari nafkah itu diberikan
kepada keluarga, khususnya anak. Akhirnya dari kedua
belah pihak pun sudah merasa cocok kemudian
diejawentahkan dengan Prasah. Selain itu, Prasah juga
menyimpan makna rasa saling peduli dengan sesama,
“Ngajeni wong ben anakke sok diajeni wong,”. Ini
digambarkan dengan pemberian kerbau yang besar dan
terbaik, merupakan cerminan dari menghargai orang lain
dengan yang terbaik.

349
Mutiara Cinta Kota Santri
Faidhurtohmah
Nabila, nama yang singkat dan cantik secantik
wajahnya. Wajahnya yang mendekati kata sempurna,
keindahan matanya yang bisa menghipnotis para laki-
laki, hidung mancung seperti orang luar, kulit putih

350
bersih, bibir yang tipis, serta lesung pipi yang ia miliki
menambah nilai ples pada dirinya.
Kedua orang tua Nabila sepakat memasukkan
nabila ke pondok pesantren, karena kelakuan Nabila
yang sangat minus. Di pesantren kelakuan nabila
semakin memperhatinkan, jangan salahkan pesantrennya
jika santrinya berperilaku buruk, itu karena pilihan
nabila. Tiga bulan nabil di pesantren mama nabila
meninggal dan nabila tidak mengetahui itu.
***
Untuk pertama kalinya ku injakkan kaki di
pesantren, dimana antrian menjadi makanan setiap hari,
barisan yang panjang seperti kereta api, bagaimana
kalau aku mau makan misalnya dan dapat nomer antrian
ke-50 keburu meninggal dong. Belum lagi tidur dalam
satu ruangan dengan 25 santri lainnya siapa tau orangnya
korengan, punya kutu dan lain-lain. Oh ku lupa kutu
itukan sudah menjadi ciri khas santri putri, belum bisa
dikatakan santri kalau belum punya kutu kata santri yang
sudah lama tinggal dipesantren. Frustasi tingkat dewa ini.
Pikirku yang mulai menerka-nerka tentang
pesantren akan terjadi padaku nanti, ku tutup mata

351
sembari menghirup udara segar. Kulihan di sekeliling
banyak santri yang berlalu lalang membuat pikiran buruk
tentang pesantren itu teralihkan. Apalagi saat kulihat
banyak mading yang menghiasi lorong.
Setelah melihat-lihat isi mading tidak ada satupun
yang menarik, aku melanjutkan langkah kakiku
mengikuti langkah kaki orang tuaku, baru beberapa
langkah aku melihat ada secarik kertas yang berwarna
putih terjatuh tepat di depanku, kertas itu tertulis “Fakta
Santri” yang membuat aku tertarik untuk
membacanya,walaupun memakai kata-kata sederhana
berhasil membuatku tersenyum geli, di ujung kertas
terdapat nama pengarangnya yang ditulis menggunakan
bahasa arab. Setelah membaca isinya aku tempel kembali
kertas itu pada tempatnya.
Fakta santri:
1. Merasakan punya kutu, peliharaan yang sangat setia
dibawa kemana-mana mandipun ikut.
2. Harus merasakan antrian yang panjang yang tidak
kalah dengan kereta api, karena antrian menjadi ciri
khas anak santri.
“Nabila” suara papa yang memanggilku.

352
“Iyaaa pa” jawabku kemudian mengikuti papa dari
belakang.
Ternyata jarak antara aku sama papa dan mama
cukup jauh, merekaa telah sampai di ujung dan aku
masih berdiri di depan mading
“Ayo masuk” ujur papa, dan aku pun duduk di dekat
mama.
“Ini anak saya gus namanya Nabila, saya titip ke kamu
dan pesantren agar Nabila menjadi perempuan yang
sesungguhnya” kata papaku
“Akrab banget papa” ucapku dalam hati.
“Papa ini ada-ada aja, dari dulu aku ini perempuan kali
pa” ucapku sewot. Gus fauzan hanya tersenyum,
sedangkan papa melotot ke arahku, menandakan kalau
ucapanku tidak sopan.
Setelah selesai berbincang-bincang yang panjang
banget, kedua orang tuaku pamit pulang dan aku di
bimbing menuju asrama putri tempat tiggalku sekarang.
***
Peraturan pesantren yang ketat membuat aku bisa
merubah kepribadian yang buruk ini akan aku ganti
dengan pribadi yang lebih baik. Setelah 3 bulan aku

353
perhatikan banyak teman-teman yang memakai hijab
panjang hanya untuk image tapi kelakuan sungguh miris.
Akhlak memang tidak tergantung dengan jilbabnya tapi
setidaknya benahi diri sebagaimana kamu memakai
jilbabmu.
Lamunanku buyar ketika ada seorang santri
memanggilku.
“Naabilaaaaaaaaa” teriakan yang sangat kencang dari
najwa.
“Apa?” ucapku datar.
“Kamu dipanggil abah di ruang tamu rumah abah” kata
najwa dengan nada dan muka yang datar.
“Ada apa?” ucapku datar.
“Aku juga gak tau bilaaaaa” ujarnya dengan nada
gregetan.
“Iya-iya, aku kesana sekarang” ujarku sambil
meninggalkan najwa yang masih berdiri didepanku.
Aku bergegas menuju rumah abah //pengasuh
pondok pesantren // tubuh ku gemetar kencang “pasti
ada peraturan yang aku langgar dan aku tidak tau yang
mana” ucapku dalam hati.

354
Kurang lebih tinggal 5 langkah aku sampai ke ruang
abah dan disitu abah sudah duduk sambil membaca
sebuah kitab. Rasa takut semakin menjadi,suhu tubuh
mendadak menjadi panas dingin, aku memberanikan diri
untuk mendekati abah.
“Assalamu’alaikum abah, ada apa abah memanggil saya”
ujarku sambil menunduk.
“Waalaikumsalam nabila, duduk di atas saja, ada yang
harus aku sampaikan” ujarnya sambil menutup kitab
yang abah baca.
“Aku lihat satu bulan ini kamu sudah jarang kena
hukuman” ucapnya datar sambil melihatku.
“……” aku hanya tersenyum sambil menunduk.
“Alhamdulillah kalau kamu sudah bisa menjadi pribadi
yang baik” ucapnya dengan nada yang santai.
“……” aku tak berani membalas ucapan abah dan
akhirnya aku hanya terenyum.
“Kalau gitu besok kamu boleh pulang, kamu sudah 2
bulan belum pulang kan? Itukan karena ulahmu sendiri
kamu gak dapat ijin pulang dari aku” ucapnya sambil
tersenyum mengkledekku.

355
“Alhamdulillah, terima kasih abah” aku tak berani
membalas ucapan abah dengan panjang, karena disisi
lain aku deg deg, disisi lain aku bahagia akhirnya bisa
pulang.
“Sekarang kamu kembali ke pesantren lagi, lanjutkan
aktivitasmu” ucapnya sambil membuka kembali kitab
yang dia baca.
“Iya bah, assalamu’alaikum”ucapku sambil bersiap-siap
berdiri dan segera meninggalkan ruangan ini.
“Waalaikumsalam” ucapnya datar.
Aku segera meninggalkan ruang tamu abah dengan hati
bahagia karena diperbolehkan pulang, setelah 2 bulan
tidak dapat ijin dari abah karena hukuman yang abah
berikan kepadaku.
***
Mobil mewah bercat putih terparkir di lapangan
samping pesantren, pintu mobil terbuka dan muncul laki-
laki tampan nan gagah, senyuman yang sudah lama yang
tidak terlihat dan hari ini aku melihat senyuman itu. Iya
itu ayah ku.
Lamunanku terbuyar ketika ayah memanggilku
sambil tersenyum, tapi disisi lain aku tidak melihat

356
mama. Aku berjalan kearah ayah yang berdiri di samping
mobil, sudah lama aku tidak melihat ayah aku rindu
sekali, aku langsung memeluk ayah sambil menanyakan
di mana mama.
“Ayah, mama mana yah”. Ucapku sambil berjabat
tangan.
“Mama gak ikut” ucap ayah datar.
“…..” aku diam melihat ekspresi ayah.
“Iya udah bil, masuk mobil kita pulang” kata ayah
sambil buka pintu mobil.
Aku iku intruksi ayah, dan ayah melajukan
mobilnya. Di dalam mobil aku dan ayah bicara banyak
mengenai kehidupanku yang banyak berubah setelah aku
tinggal di pesantren. Kini matahari akan segera mapit
dan akan diganti dengan bulan, tidak terasa mobil ayah
sudah terparkir di depan rumah yang bercat pink, aku
lihat tidak ada perubahan dengan rumah ini,hanya saja
sekarang ada gerbang hitam yang membatasi rumah dan
jalan raya.
“Mama!, nabilaaa pulang!!! Teriakku megelegar dalam
rumah tapi tidak ada jawaban dari mama.

357
“Ayah mama kemana?” tanyaku kepada ayah yang
disampingku.
“Mama sudah sama nenek disurga” ucap papa sambil
memelukku.
“Maksud ayah apa? Jawabku
“Iya, mama sudah gak ada, mama meninggalkan kita”
ucap ayah yang masih erat memelukku.
“Kenapa ayah gak bilang, dan kenapa ayah gak hubungi
nabila kepondok” ucapku
“Maafin ayah nabila, ayah dilarang oleh mama kamu, itu
pesan mama kamu sebelum mama dipanggil sang
pencipta” pejelasan ayah.
“……” aku terdiam dan taunya sekarang pipiku sudah
basah, aku menangis di pelukan ayah.
Aku berusaha menerima kabar ini dengan ikhlas,
jadi inget pesan abah satu hari sebelum pulang.” Nabila
nanti kalau kamu menerima kabar buruk dari ayahmu,
kamu harus ikhlas menerimanya”. Ternyata abah sudah
tahu kalau mama sudah gak ada, tapi abah tidak memberi
tahuku.
***

358
Dari balkon kamarku, ku pandangi langit yang
berkelip yang indah tiada tara, di atas sana ada 1 bintang
yang paling terang, aku melihatnya sambil memeluk foto
mama, aku berharap mama melihat aku disini.
“Mama nabila sekarang sudah istiqomah memakai jilbab,
nabila sekarang sudah berubah ma, nabila sekarang
sudah bisa ngaji,sudah bisa masak, mama nabilaa sudah
berubah, sudah tidak menjadi anak yang manja dan
nakal, mama nabila kangen mama” ucapku dalam hati
sambil memeluk foto mama. Tiba-tiba ada tangan yang
tiba-tiba memelukku dari belakang dan ternyata itu ayah.
“Nabilaa, kalau kangen sama mama nabila berdoa buat
mama” ucap ayah
“Iya ayah, nabila selalu berdoa buat mama” jawabku.
“Nabila sekarang mama sudah gak ada, rumah jadi sepi,
ayah juga gak tahu kapan kakak kamu pulang” ucap ayah
“Apa kakak tau kalau mama sudah gak ada yah?”
tanyaku.
“Iya, kakak kamu tahu soal itu, tapi kakak kamu gak bisa
pulang karena pekerjaannya yang gak bisa di tinggal”.
Jawab ayah.
“…….” Aku diam dan masih memeluk foto mama.

359
“Ayah” panggilku
“Iya” jawab ayah
“Ayah besok nabila antar ke pesantren lagi ya yah, nabila
ingin mewujudkan cita-cita mama, dulu mama pernah
cerita ke nabila, kalau dulu mama pengen punya anak
hafidhoh, dan sekarang saatnya nabila mewujudkan cita-
cita mama”
“Ayah masih ingin nabila dirumah, tapi kalau itu sudah
menjadi keputusan nabila, ayah tidak bisa melarang”
“Terima kasih ayah” aku memeluk ayah
“Iya sama- sama” ucap ayah sambil memelukku.
Angin malam yang dingin aku dan ayah masuk ke
dalam rumah. aku meletakkan foto mama di meja
samping tempat tidurku, dan ayah kembali ketempat
kerja karena masih ada hal yang harus ayah kerjakan.
Ayahku memang pekerja keras, apalagi kalau sudah
menyangkut tentang perusahaannya yang dirintisnya
sejak ayah kenal mama.
***
Pagi ini aku memutuskan untuk kembali
kepesantren, sebelumnya aku mampir ke makam mama.
Aku di anter sama ayah, sebenarnya ayah masih ingin

360
aku dirumah tapi setelah mendengar penjelasanku tadi
malam ayah mengijinkanku ke pesantren lagi. Aku
dirumah terasa hanya mampir untuk tidur malam dan
makan malam bersama ayahku. saat ini aku kembali
kepesantren dengan niatan menjadi penghafal al-quran
sesuai dengan cita-cita mama.
Aku melepas pelukan ayah yang nantinya sangat
aku rindukan, dan aku berjalan meninggalkan ayah yang
sedang menatapku dengan ekspresi datar di depan pindu
gerbang pesantren. Semakin jauh aku melangkah masuk
semakin tidak terlihat sosok laki-laki yang sabar dan
kuat. “ayah, mama, kakak, maafkan nabila yang dulu”
ucapku dalam hati sambil melangkah masuk ke
pesantren. Sekarang pesantren adalah rumahku.

Ada Bala Dibalik Gapura Bata

Intania Dwi Oktaviar

Ada seorang wanita cantik hidup didesa bernama


Astuti. Desa tersebut masyarakatnya masih memegang

361
teguh kepercayaan sejak dulu, yang masih kental
kebudayaanya sampai sekarang tidak luntur yang
membuat Astuti harus mengikuti semua peraturan-
peraturan, mitos atau kebiasaan yang telah lama ada di
desanya. Astuti bukan asli warga loram, meski ia bukan
asli orang kudus asli, Astuti dan keluarganya adalah
orang pindahan dari kota Surabaya hingga wajar saja jika
dia tidak terlalu paham kebiasaan yang ada di desanya
sekarang.

Dua tahun sudah berlalu, selama tinggal di desa


ini Astuti menemukan pasangan hidupnya yaitu pemuda
tampan dari desa loram yang bernama Sumaryo dan
mereka memutuskan untuk menikah. Sebagai warga di
desa ini, mereka harus mengikuti peraturan dan
kepercayaan yang ada di desa ini, yaitu adat apabila
menikah kedua mempelai harus mengitari gapura yang
ada di depan masjid, dengan tujuan agar nantinya
pengantin tersebut mendapatkan keberkahan. Ada mitos
di desa tersebut, katanya akan ada bala (musibah) bagi
pasangan pengantin tersebut jika tidak mengitari gapura
di depan masjid tersebut.

362
Mitos yang beredar, jika tradisi tidak dilakukan
maka akan terjadi sesuatu. Tadisi ini harus dilakukan
oleh para pengantin di Masjid Wali Loram. Sumaryo dan
Astuti mencoba menemui salah seorang yang pernah
melakukan tradisi nganten mubeng. Namanya pak
Ahmad Thirozul Ahyar (Ahmad). Dia menyampaikan
tidak ada aturan pasti bahwa seorang penganting harus
mubeng (berkeliling). Namun, karena sudah menjadi
tradisi, nganten tetap harus mubeng. “ secara syariat
tidak diwajibkan. Tidak ada aturan secara pasti. Ini lebih
ke budaya. Tradisi ini sudah ada sejak saya kecil,”
katanya.

Soal mitos terjadi hal yang tak dinginkan jika


tidak melakukan nganten mubeng, pak Ahmad
menyampaikan itu semua Kembali kepercayaan masing-
masing. “yang tidak mubeng tidak terjadi apa-apa ya ada,
yang tidak mubeng terjadi sesuatu ya ada. Tergantung
keyakinan,” ujarnya. Lebih lanjut, pak Ahmad
mengatakan memang pernah mendengar kejadian yang
kurang mengenakkan yang menimpa seseorang yang
tidak melakukan nganten mubeng. “ kalau dengar-dengar

363
ya ada. Entah itu terjadi pada yang rewang (membantu
saat acara) maupun menimpa orang yang tidak
melakukan nganten mubeng. Misalnya jatuh sakit atau
tidak kunjung diberi keturunan. Terus soal nasi yang
nggak mateng-mateng saat punya gawe memang terjadi
dan itu nyata,” sambungnya.

Akan tetapi Astuti tidak mempercayainya tetap


kekeh ngeyel “ leren mubeng ki lapo tah, kater boto kok
di ubengi” padahal sudah diingatkan oleh warga sekitar
dan si Romi calon suaminya. Akhirnya mereka tetap
menikah tetapi tidak melaksanakan adat tersebut. Saat
acara pernikahan selesai kaki Astuti terkilir saat turun
dari mobil “aduh aduh kakiku sakit sekali sepertinya
terkilir” Astuti meringik kesakitan. Akibatnya kakinya
tidak bisa dibuat berjalan dengan normal (pincang).
Pihak keluarganya sudah mengobatinya, baik ke tukang
pijat maupun dokter, tapi tidak membuahkan hasil akan
tetapi Astuti tetap dibawa ke rumah sakit.

364
Keesokan harinya, orang tuanya datang ke rumah
sakit setelah dikabari Sumaryo. Orang tuanya menangis
melihat Astuti terbujur kesakitan di rumah sakit,. Astuti
hanya bisa meneteskan air mata saat ibunya menangis
melihat kondisinya, Astuti memejamkan mata sambal
berkata dalam hati bertanya, dosa apa yang membuatku
bisa terjatuh. Tak lama dokter bilang kalau kondisiku
tidak apa-apa hanya bagian tulang panggul yang patah
dan kakinya patah dapat tersambung kembali karena usia
astuti masih muda. “ Alhamdulillah, Allah masih
menyayangiku, tubuhku tidak ada yang terluka
sedikitpun walaupun jatuh.” Ucap syukur Astuti dalam
hati. Astuti dirawat di rumah sakit selama 4 hari dengan
ditemani orang tua, saudara, dan suaminya.

Kesokan harinya, kaki Astuti sakitnya semakin


menjadi-jadi hingga membuat Astuti tak betah menahan
rasa sakitnya. Keluarga Astuti meminta dokter agar
segera cepat operasi menyambung tulang yang patah,
akan tetapi dokter berkata bahwaa tidak bisa melakukan
operasi hari ini. Jalan terakhir, pihak keluarga membawa

365
pengantin perempuan ke seorang kyai, sebut saja Kyai
Ageng Kusumo.

Ki Ageng menyampaikan, kedua mempelai


disuruh mubeng gapura sesuai petunjuk ki Ageng. Ki
Ageng menunjukan tata cara nganteng mubeng. Yakni
pengantin masuk melalui pintu Gapura Pandureksan
Masjid Wali bagian selatan. Lalu mengisi kas dan
mengisi buku tamu. Kemudian keluar lewat gapura
sebelah utara. “ setelah keluar dari gapura sebelah utara,
kemudian kedua pengantin menghadap ke bagian barat
dan membaca tulisan arab yang terdapat di pintu bagian
tengah,” jelas ki Ageng. Satu hari setelah melakukan
tradisi nganten mubeng, Astuti sudah sembuh dan bisa
berjalan normal lagi.

Dari musibah tersebut Astuti percaya adanya


cerita mitos dalam tradisi Gapura Masjid Wali. Karena
adanya suatu kepercayaan terhadap perkataan dan sikap
Sultan Hadlirin yang sangat dipercaya oleh masyarakat
Loram sehingga terbentuk beberapa tradisi yang meliputi
sega kepel, tradis kirab ngantin, dan tradisi kirab
Ampyang Maulid.

366
367

Anda mungkin juga menyukai