Anda di halaman 1dari 10

DOA BAPA KAMI

Matius 6:9-13 dan Lukas 11:2-4


(band. Didakhe 8:2)

Yosi Rorimpandei

PENDAHULUAN

1. Sumber teks Doa Bapa Kami (DBK)


a. Dalam Injil Sinoptik, DBK hanya dicatat dalam dua kitab, yaitu Matius (6:9-13) dan
Lukas (11:2-4).
b. Di luar kitab kanonik, DBK juga dicatat dalam kitab Didakhe (8:2) atau yang juga
dikenal dengan nama Didakhē Kuriou dia tōn Dōdeka Apostolōn tois Ethnesin
(Pengajaran Tuhan melalui Dua Belas Rasul untuk Bangsa-bangsa)
- Kitab Didakhe merupakan teks katekismus (kumpulan ajaran atau doktrin)
yang membahas etika, ritual—baptisan dan ekaristi—dan organisasi gereja.
- Banyak ahli menduga kitab Didakhe ditulis pada akhir abad ke-2 M, tetapi saat
ini semakin banyak yang mendukung bahwa teks ini berasal dari abad pertama
- Penemuan Naskah Laut Mati (DSS) telah ikut mendukung argumen bahwa
Didakhe merupakan kitab yang lebih tua dari dugaan sebelumnya.
- Kitab Didakhe ditulis dalam bahasa Yunani Koine dan naskahnya baru
ditemukan pada 1873 oleh Philotheos Bryennios, sementara versi Latinnya
ditemukan pada 1900 oleh J. Schlecht.
- Ada teori yang mengatakan bahwa Didakhe ditulis berdasarkan Injil Matius,
karena banyaknya kesamaan. Namun, sejumlah perbedaan membuat teori lain
mengatakan bahwa Didakhe dan Matius ditulis untuk komunitas Kristen yang
sama, yaitu Kristen Yahudi yang mulai beradaptasi dengan budaya Yunani.
- Yang tertarik mengkaji kitab Didakhe, teksnya bisa dibaca di
https://www.ccel.org/ccel/lake/fathers2.v.html

2. Mengapa Yesus mengajarkan DBK?


a. Menurut Matius, DBK diajarkan langsung oleh Yesus, sebagian bagian dari khotbah
Yesus di bukit. Ini adalah inisiatif Yesus sendiri, tidak ada yang meminta diajari
berdoa:
(ay. 9) “houtōs oun proseukhesthe humeis” (karena itu, berdoalah kamu...)
b. Menurut Lukas, DBK diajarkan Yesus karena permintaan seorang murid kepada-
Nya, mengikuti tradisi Yohanes Pembaptis:
(ay. 1) “kurie, didaxon hēmas proseukhesthai” (Tuhan, ajarlah kami berdoa)
“kathōs kai Iōannēs edidaxen tous mathētas autou” (sama seperti Yohanes
mengajarkan murid-muridnya)
c. Dalam Didakhe hanya disebutkan bahwa DBK merupakan perintah Tuhan dalam
Injil. Tidak disebutkan apakah perintah Tuhan ini karena kemauan Yesus sendiri
ataukah karena ada permintaan dari salah satu murid-Nya:
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 2 dari 10

(ay. 2) “mēde proseukhesthe hōs hoi hupokritai” (janganlah kamu berdoa


seperti orang-orang munafik) “all hōs ekeleusen ho Kurios en tō euaggeliō autou”
(tetapi seperti yang diperintahkan Tuhan dalam Injil-Nya) “houtō
proseukhesthe” (berdoalah kamu...).
- Penting juga untuk kita pahami bahwa sebutan Kurios (Tuhan) dalam Didakhe
selalu merujuk kepada BAPA, bukan Yesus. Yesus disebut “Sang Pelayan”
(Paidos), sementara Injil tidak merujuk pada kitab-kitab, seperti yang kita
pahami sekarang, melainkan pada “pesan” yang diajarkan Yesus.
- Dalam Didakhe juga disebutkan bahwa doa ini harus diucapkan tiga kali sehari
setiap hari: (ay. 3) “tris tēs hēmeras houtō proseukhesthe” (tiga kali sehari
berdoalah begitu).

3. Perbedaan Teks?
a. Versi DBK dalam Lukas lebih pendek dibandingkan versi Matius, sehingga beberapa
ahli berpandangan bahwa versi Lukas adalah versi orisinal, sedangkan versi Matius
telah mengalami penambahan elemen-elemen Yahudi untuk menyesuaikan dengan
tradisi orang-orang Kristen Yahudi, yang merupakan pembaca perdana Injil
Matius. Sementara, catatan Didakhe dianggap merupakan rekaman dari tradisi
lisan dalam liturgi gereja mula-mula
b. Tetapi, sebagian ahli bahasa dan sastra Ibrani justru melihat versi Matius (dan
Didakhe) lebih mendekati gaya bahasa dan sastra Ibrani atau Aramaik. Sementara,
versi Lukas telah dipoles sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan gaya
bahasa dan sastra Yunani. Meskipun, ada juga yang menyangsikan bahwa Lukas
melakukan polesan Helenistik. [band. ay. 1 “kai egeneto en tō einai auton” (dan
terjadilah, ketika Ia berada di suatu tempat...), dimana kalimat ini sangatlah
mencerminkan gaya bahasa Ibrani ketimbang Yunani]

4. Konteks Teks
a. Matius dan Didakhe menempatkan DBK dalam konteks pertentangan dengan doa
“kaum goyim” (Yun: ethnikoi—Mat. 6:7-8) atau “orang-orang munafik” (hupokritai—
Did. 8:2). Mereka berdoa “bertele-tele” (battalogēsēte) atau menggunakan kata-kata
yang hampa secara berulang-ulang, seperti mantra
b. Lukas menempatkan DBK dalam konteks tradisi Yahudi, dimana dalam tradisi
rabinik Yahudi, biasanya para rabi mengajarkan doa-doa tertentu kepada murid-
muridnya (Ibr: talmidim atau Yun: mathētes)

PEMBAHASAN TEKS

Pembahasan teks akan mengacu pada versi Matius sebagai dasar, mengingat teks Matius
menjadi teks liturgis di gereja-gereja Protestan. Namun, untuk kepentingan penafsiran
yang lebih dalam, akan tetap dibandingkan dengan teks Lukas dan Didakhe, serta tradisi
doa-doa dan liturgi Yahudi.
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 3 dari 10

Dari segi struktur, DBK disusun dalam pola 3 + 3, yaitu tiga “-MU” (fokus kepada
kekudusan, kerajaan dan kehendak TUHAN) dan tiga “kami” (fokus kepada permohonan
umat):

“dikuduskanlah nama-MU”
“datanglah Kerajaan-MU”
“jadilah kehendak-MU”

“makanan kami”
“kesalahan kami”
“membawa kami ke dalam pencobaan”

Pola ini sama dengan pola Dasa Titah, yang menggunakan pola 5 + 5, yaitu lima fokus
kepada TUHAN, dan tiga fokus kepada manusia. Angka lima sendiri melambangkan Taurat
dalam Perjanjian Lama. Sedangkan angka tiga pada pola DBK melambangkan Trinitas.

1. “Pater hēmōn ho en tois ouranois”


“Bapa kami yang di Surga”
Lukas : “Pater”
Didakhe : “Pater hēmōn ho en tō ouranō”

a. Analisa Teks:
- Lukas hanya menggunakan bentuk singkat “BAPA” (Pater), kemungkinan
berangkat dari sapaan “Abba’” dalam bahasa Aramaik atau menyesuaikan
dengan tradisi Yunani, yang terbiasa menyapa dewa-dewa mereka dengan
sapaan “pater” [band. tulisan Homeros, Odisseia (abad VIII SM); Plato, Timaeus
(360 SM); dan tulisan Stoa, Pujian kepada Zeus (pertengahan abad III SM)].
- Ada juga penafsiran yang mengatakan bahwa Lukas mengikuti tradisi Yunani,
yang tidak lazim menggunakan pronomina pada sebutan-sebutan agung bagi
TUHAN, seperti beberapa kasus dalam Septuaginta (LXX).
- Namun, ada juga beberapa manuskrip Injil Lukas yang menggunakan bentuk
“Bapa kami yang di Surga”, seperti yang ada di Matius dan Didakhe.
- “Surga” menggunakan bentuk jamak “tois ouranois” merupakan hal yang lazim
dalam tradisi Ibrani (band. Ibr: shamayim), tetapi dalam Didakhe menggunakan
bentuk tunggal: tō ouranō, diduga karena jemaat Kristen Yahudi mulai
menyesuaikan dengan tradisi Yunani.
b. Sapaan “BAPA Kami” yang ditujukan kepada TUHAN bukanlah hal baru dalam
tradisi Yudaisme, sapaan ini dalam bahasa Ibrani: Avīnū,
- Band. Yesaya 64:8 “we‘attā, YHWH, Avīnū attā” (dan sekarang, YHWH, ENGKAU-
lah BAPA kami...)
- Dalam Tefīlath ha-‘Amīdā (Doa Berdiri) atau yang juga disebut Shemonē ‘Esrē
(Delapan Belas)
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 4 dari 10

- Doa Avīnū Malkhēnū (Bapa kami, Raja kami)—doa permohonan pengampunan


yang biasanya dibacakan pada hari raya Rosh Hashshanā dan Yōm Kippūr
- Dalam Qaddīsh (doa puji-pujian kepada TUHAN) terdapat frasa Aramaik: Avūhōn
dī vishmayya’ (BAPA di Surga). Qaddīsh merupakan doa harapan para rabi
Yahudi bagi akhir zaman, yang bentuknya banyak digunakan dalam beragam
liturgi Yahudi. Bagian awal DBK sangatlah mirip dengan pembukaan Qaddīsh.
- Terdapat juga dalam Naskah Laut Mati (DSS) serta tulisan-tulisan rabinik,
misalnya dalam Midrash Mazmur 25:13
c. Dalam tradisi Yahudi, sapaan BAPA merupakan metafora umum bagi TUHAN
sebagai pemberi hidup dan pemberi hukum atau sebagai “Kepala Rumah Tangga”
atas dunia ini
d. Dalam teologi Kristen, “BAPA Kami yang di Surga” memiliki makna imanensi (Bapa
kami)—bahwa TUHAN itu dekat, bahkan hadir di tengah-tengah kita—dan sekaligus
transendensi (yang di Surga) TUHAN—bahwa TUHAN itu tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu, serta tak terjangkau oleh pikiran manusia

2. “hagiasthētō to onoma sou”


“dikuduskanlah Nama-MU”
Lukas : “hagiasthētō to onoma sou”
Didakhe : “hagiasthētō to onoma sou”

a. Qaddīsh: “yithgadal weyithqaddash Sh’meh Rabba’ ”


“Ditinggikan dan dikuduskanlah Nama-NYA Yang Agung”
b. Dalam tradisi Yudaisme, “menguduskan Nama TUHAN” memiliki makna:
menghormati reputasi dan kehormatan TUHAN, dikenal dengan konsep “Qiddūsh
Hashshem”. Jadi, tidak sebatas persoalan proper name TUHAN, melainkan lebih pada
implikasi religius-etis dalam kehidupan sehari-hari.
c. “Menguduskan Nama TUHAN” berarti menaati semua perintah TUHAN, sekalipun
dalam keadaan yang paling sulit. Karenanya, dalam perkembangan kemudian,
konsep ini menjadi mirip dengan konsep “martir” dalam Yudaisme.
d. Dalam tulisan-tulisan rabbinik, misalnya, konsep Qiddūsh Hashshem sering merujuk
pada kisah Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Abednego, yang memilih bertahan
menyembah TUHAN, sekalipun harus menghadapi ancaman hukuman mati yang
mengerikan.

3. “elthetō hē basileia sou, genēthētō to thelēma sou, hōs en ouranō kai epi gēs”
“datanglah Kerajaan-MU, jadilah kehendak-MU, seperti di surga, begitu juga di
bumi”
Lukas : “elthetō hē basileia sou”
Didakhe : “elthetō hē basileia sou, genēthētō to thelēma sou hōs en ouranō kai epi gēs”

a. Qaddīsh: “be‘alma’ dī vera’ khir‘ūthē weyamlīkh malkhūtheh”


Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 5 dari 10

“di dunia yang IA ciptakan menurut kehendak-NYA; kiranya IA menegakkan


Kerajaan-NYA”
b. Analisa Teks:
- Lukas tidak mencantumkan kalimat: “genēthētō to thelēma sou hōs en ouranō kai
epi gēs” (jadilah kehendak-MU, seperti di surga, begitu juga di bumi)
- Para ahli Perjanjian Baru menduga karena sumber Lukas memang tidak
mencantumkan kalimat itu
c. Ada tiga istilah mengenai “Kerajaan TUHAN” dalam Perjanjian Baru:
- Basileia (Kerajaan)
- Basileia tou Theou (Kerajaan TUHAN)
- Basileia tōn Ouranōn (Kerajaan surga)
d. Dalam tradisi Yudaisme, istilah “Kerajaan TUHAN” (Malkhūth Elohīm) dan “Kerajaan
Surga” (Malkhūth Shamayim) tidak ditemukan dalam Tanakh, tetapi dikembangkan
kemudian dalam tradisi Farisi berangkat dari 1Tawarikh 28:5; 29:10-12; 2Tawarikh
13:8; Daniel 3:33; Mazmur 45; 93; 96-99; dan berbagai teks yang memproklamirkan
TUHAN sebagai Raja, Yang bertakhta
e. Pada periode intertestamental, istilah ini menjadi istilah apokaliptik-eskatologis,
meskipun dalam pemahaman orang-orang Yahudi, dimaknai secara “nasional”,
mengenai kerajaan Israel yang baru, yang dipimpin oleh sang Mesias
f. Yesus mewartakan “Kerajaan TUHAN” yang berbeda, yaitu kerajaan yang hadir di
tengah-tengah dunia, dimana TUHAN yang memerintah dan kehendak-NYA yang
terjadi
g. Kalimat “elthetō hē basileia sou” (datanglah Kerajaan-MU), sering dipertentangkan
dengan ajaran Yesus: “eiselthēte eis tēn nasileian tōn ouranōn” (masuk ke dalam
Kerajaan Surga): Ketika, Yesus mengajarkan supaya Kerajaan itu “datanglah...”
(elthetō), menggambarkan kehadiran Kerajaan itu. Sementara setiap kali berbicara
tentang “masuk ke dalam...” (eiselthēte eis) cenderung bermakna eskatologis
h. Karena itu, kita perlu melihat “Kerajaan TUHAN” itu sebagai pemerintahan dan
kekuasaan TUHAN atas dunia ini, yang diwujudnyatakan dengan “genēthētō to
thelēma sou hōs en ouranō kai epi gēs” (kehendak TUHAN terjadi di bumi, seperti di
surga). Itulah sebabnya disebut juga “Kerajaan Surga”, dimana suasana surga
(damai sejahtera) dihadirkan di tengah dunia ini.

4. “ton arton hēmōn ton epiousion dos hēmin sēmeron”


“roti kami yang secukupnya, berikanlah kami hari ini”
Lukas : “ton arton hēmōn ton epiousion didou hēmin to kath hēmeran”
Didakhe : “ton arton hēmōn ton epiousion dos hēmin sēmeron”

a. Tidak ada dalam Qaddīsh, tetapi doa yang mirip ditemukan dalam Birkath Hammazōn
(Doa Makan): “ūmekhīn mazōn lekhol-beriyyōthaw asher bara’”
“dan menyediakan makanan bagi semua makhluk yang IA ciptakan”
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 6 dari 10

b. Analisa teks:
- “Makanan” diterjemahkan dari kata ton arton (roti), mengingatkan peristiwa
manna dalam Kel. 16 (ay. 29, 31). Tradisi apokaliptik Yahudi mendambakan
adanya “manna yang baru” di akhir zaman
- Kata ton epiousion merupakan istilah yang unik dalam Alkitab, sebab kata ini
hanya muncul di dalam DBK—baik dalam versi Matius, Lukas maupun Didakhe.
Secara harfiah, kata ini berarti “yang pas” atau “secukupnya” atau “yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan”
- Kalimat yang mengikutinya berbeda antara Matius-Didakhe dengan Lukas.
Matius dan Didakhe menggunakan kalimat “doa hēmin sēmeron” (berikanlah
kami hari ini), sementara Lukas menggunakan kalimat “didou hēmin to kath
hēmeran” (berikanlah kami setiap hari)
- Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan tafsir para penulis
Injil terhadap makna kata “secukupnya” (ton epiousion) dalam bahasa Ibrani dan
Aramaik, tetapi kita tidak memiliki teks Ibrani ataupun Aramaik kuno untuk
DBK. Dalam Peshitta pun, Matius dan Lukas menggunakan kata yang berbeda.
Matius: “‫ܘܡ ܵܢܐ‬
ܵ ‫ܢܩ ܲܢܢ ܲܝ‬ ܵ ‫”ܗܒ ܲܠܢ ܲܠ‬
ܲ ‫ܚܡܐ ݁ܕ‬
ܵ ‫ܣܘ‬ ܲ (hav lan lakhmā desūnqānan yawmānā) band.
ܲ ‫ܢܩ ܲܢܢ ݁ܟ‬
Lukas: “‫ܠܝܘܡ‬ ܵ ‫ܣܘ‬ ܵ ‫”ܗܒ ܲܠܢ ܲܠ‬
ܲ ‫ܚܡܐ ݁ܕ‬ ܲ (...kulyūm).
- Kata ton epiousion dalam Matius mungkin berakar dari kata epi tēn ousan
(kebutuhan untuk hidup), yang fokus pada kebutuhan hari ini. Sementara,
Lukas dari kata hē epiousa (band. Kis. 7:26; 16:11; 20:15; 21:18), yang melihat pada
“hari esok”.
c. Para ahli Perjanjian Baru cenderung melihat teks Matius lebih sesuai dengan
maksud ajaran Yesus, yang fokus pada kebutuhan harian (band. Matius 6:34b). Hal
ini juga sesuai dengan teologi Perjanjian Lama (band. kisah manna dalam Keluaran
16). Sementara, Lukas fokus pada penggunaan kata kerja: didou hēmin, yang
menggunakan bentuk iterative present, “memberikan terus-menerus”, sehingga
bukan hanya “hari ini”, melainkan “setiap hari” atau “sehari-hari”.

5. “kai afes hēmin ta ofeilēmata hēmōn, hōs kai hēmeis afēkamen tois ofeiletais hēmōn”
“dan ampunilah hutang-hutang kami, seperti kami mengampuni orang-orang
yang berhutang pada kami”
Lukas : “kai afes hēmin tas hamartias hēmōn, kai gar autoi afiomen panti ofeilonti hēmin”
Didakhe : “kai afes hēmin tēn ofeilē hōs kai hēmeis afiemen tois ofeiletais hēmōn”

a. Tidak ada dalam Qaddīsh, tapi ditemukan dalam Tefīlath ha-‘Amīdā: “selakh lanū
Avīnū kī khata’nū”
“ampunilah kami, ya BAPA, karena kami telah berdosa”
b. Analisa teks:
- Matius menggunakan kata “ta ofeilēmata hēmōn” (hutang-hutang kami), Didakhe
juga menggunakan kata yang sama, hanya saja bentuk tunggal: “tēn ofeilē”.
Sementara, Lukas menggunakan kata “tas hamartias hēmōn” (dosa-dosa kami)
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 7 dari 10

- Kalimat berikutnya terdapat perbedaan antara ketiga teks ini:


1) Matius:
“hōs kai (seperti juga) hēmeis afēkamen (kami mengampuni/ menghapuskan)
tois ofeiletais hēmōn (orang-orang yang berhutang pada kami)”
2) Lukas:
“kai gar (sebab juga) autoi (diri kami) afiomen (kami mengampuni) panti
ofeilonti hēmin (semua yang berhutang pada kami)”
3) Didakhe:
“hōs kai (seperti juga) hēmeis (kami) afiemen (mengampuni) tois ofeiletais
hēmōn (orang-orang yang berhutang pada kami)”
c. OFEILĒMA vs HAMARTIA
- Matius dan Didakhe mempertahankan konsep Ibrani soal “ofeilēma” (hutang)
sebagai metafora “dosa”, sementara Lukas langsung menggunakan kata
“hamartia” (dosa), mengingat pembacanya yang mayoritas Kristen Yunani.
Tetapi, kalimat afiomen panti ofeilonti hēmin dalam tulisan Lukas, menunjukkan
bahwa Lukas tahu jika Yesus menggunakan metafora “hutang”.
- Tradisi Yudaisme tidak melihat “dosa” sebagai “kegagalan” melainkan sebagai
“kesalahan” yang bisa dihapuskan, seperti halnya hutang. Istilah “dosa” dan
“hutang” dalam bahasa Aramaik menggunakan kata yang sama: khōv atau
khūva’.
d. Aorist vs Present
- Dalam hal “mengampuni”, Matius menggunakan kata kerja bentuk aorist:
“afēkamen”, sedangkan Lukas dan Didakhe sama-sama menggunakan bentuk
present: afiomen atau afiemen.
- Matius konsisten dengan konsep rekonsiliasi antar manusia sebelum memohon
rekonsiliasi dengan TUHAN (band. Matius 5:23-24), dan para penafsir Perjanjian
Baru cenderung melihat teks Matius lebih mendekati perkataan Yesus secara
harfiah, meskipun dalam bahasa Ibrani dan Aramaik tidak mengenal bentuk
aorist. Kemungkinan Matius menyesuaikan dengan bentuk perfek dalam bahasa
Aramaik: “sudah mengampuni”, sementara Didakhe menekankan pada bentuk
present untuk menunjukkan bahwa pengampunan adalah sebuah proses.
- Beberapa penafsir menyebut Lukas memahami permohonan ini sebagai quid pro
quo atau “barter” karena adanya penggunaan kata penghubung: kai gar... (sebab
juga), diikuti dengan kata kerja bentuk present: “afiomen”. Tetapi, pandangan ini
justru bertentangan dengan teologi Lukas sendiri, yang melihat kasih TUHAN
itu tanpa batas dan tidak bergantung pada tindakan manusia (band. Luk. 6:35
dan 23:34).
- Kata penghubung kai gar... sebaiknya dimaknai sebagai bentuk ekstensif.
Artinya, permohonan pengampunan kepada TUHAN merupakan respons dari
tindakan serupa kepada sesama, sehingga ada keharmonisan antara doa dan
perilaku sehari-hari. Bahkan Lukas memberi penekanan lebih, dengan adanya
frasa: “panti ofeilonti hēmin” (semua yang berhutang pada kami).
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 8 dari 10

6. “kai mē eisenegkēs hēmas eis peirasmon, alla rhusau hēmas apo tou ponērou”
“dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan/ ujian, tetapi lepaskanlah
kami dari yang jahat”
Lukas : “kai mē eisenegkēs hēmas eis peirasmon”
Didakhe : “kai mē eisenegkēs hēmas eis peirasmon, alla rhusau hēmas apo tou ponērou”

a. Tidak ada dalam Qaddīsh tetapi ditemukan dalam Birkhōth hash-Shakhar (Doa Pagi):
“welo’ līdē nissayon, welo’ līdē bizzayōn, we’al tashlet banū yetser hara‘, weharkhōqenū
me’adam ra‘ ūmekhaver ra‘”
“Janganlah membawa kami ke dalam pengaruh dosa, pelanggaran dan jangan biarkan roh
jahat menguasai kami, dan jagalah kami dari orang jahat dan dari teman yang buruk”
b. Analisa teks:
- Lukas tidak mencantumkan kalimat: “alla rhusau hēmas apo tou ponērou”, tetapi
karena teks ini sangat Yudaistik dan juga ada dalam Didakhe, maka para
penafsir Perjanjian Baru cenderung menganggap bahwa teks ini orisinal dari
Yesus
- Kemungkinan, sumber Lukas tidak menuliskan teks ini
c. Kata “peirasmos” bisa sama-sama berarti “godaan” atau “cobaan/ ujian”. Agak sulit
membedakan antara keduanya dalam tradisi Ibrani. Dalam Alkitab TB-LAI pun, kata
ini sering diterjemahkan “pencobaan” dan juga “ujian”.
d. Meskipun DBK sangat kental bernuansa apokaliptik-eskatologis, tetapi kata
peirasmos di sini tidak merujuk pada Great Tribulation (Kesusahan Besar) di akhir
zaman, melainkan pada ujian atau cobaan yang dialami sehari-hari.
e. Kata kerja mē eisenegkēs (jangan membawa) juga sebaiknya tidak dilihat dalam
bentuk kausatif, melainkan permisif: “jangan biarkan kami masuk...”.

7. “hoti sou estin hē basileia kai hē dunamis kai hē doxa eis tous aiōnas. Amēn”
“sebab milik-MU kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.
Amin”
Lukas : ...
Didakhe : “hoti sou estin hē dunamis kai hē doxa eis tous aiōnas”

a. Doksologi merupakan bagian liturgis yang sangat tua dalam tradisi Yudaisme,
misalnya ditemukan dalam 1Tawarikh 29:11-13
b. Analisa teks:
- Banyak manuskrip Perjanjian Baru mencantumkan doksologi ini seperti dalam
Matius, tetapi justru dalam manuskrip-manuskrip penting, seperti Codex
Vaticanus, Codex Sinaiticus dan Codex Bezae, doksologi ini tidak ada
- Para ahli menduga bahwa dalam teks asli Matius, doksologi ini memang tidak
ada. Namun, karena doksologi ini merupakan hal yang lazim dalam liturgi doa
Yahudi, maka para penyalin di kemudian hari menambahkannya ke dalam
salinan mereka.
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 9 dari 10

- Hal ini didukung dengan adanya doksologi ini dalam teks Didakhe—meskipun
tanpa kata “hē basileia” (dan kerajaan), sebab “kerajaan” dan “kuasa”
merupakan dua hal yang identik.

KESIMPULAN

Setelah mengikuti penjelasan di atas, buatlah kesimpulan iman Anda:

BIBLIOGRAFI

Abrami, Leo Michel. (tt). “The Jewish Origins of the Lord’s Prayer”

Basser, Herbert W & Cohen, Marsha B. 2015. The Gospel of Matthew and Judaic Traditions: A
Relevance-based Commentary. Boston: Brill

Bivin, David N & Tilton, Joshua N. 2011. “Lord’s Prayer” (revisi 1 September 2020) dalam
Jerusalem Perspective
Black, C. Clifton. 2018. The Lord’s Prayer: Interpretation. Resources for the Use of Scripture in the
Church. Louisville: Westminster John Knox Press

Clark, David A. 2014. From Jewish Prayer to Christian Ritual: Early Interpretations of the Lord’s
Prayer (PhD Thesis). Nottingham: University of Nottingham

Evans, Craig A. 1990. Understanding the Bible Commentary Series: Luke. Michigan: BakerBooks

France, R.T. 2007. The New Internasional Commentary on the New Testament: The Gospel of
Matthew. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company

Gaebelein, Frank E (ed). 1984. The Expositor’s Bible Commentary vol. 8. Michigan: Regency
Reference Library
Garrow, Alan J.P. 2004. The Gospel of Matthew’s Dependence on The Didache. London: T&T Clark
International
Green, Joel B. 1997. The New Internasional Commentary on the New Testament: The Gospel of
Luke. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company

Gundry, Robert H. 1982. Matthew: A Commentary on His Literary and Theological Art. Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company

Hagner, Donald D. 1993. World Biblical Commentary: Matthew 1-13. Dallas: Word Books
Publisher

Hammerling, Roy. 2008. The Lord’s Prayer in the Early Church: The Pearl of Great Price. New
York: Palgrave MacMillan
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 10 dari 10

Keener, Craig S. 2014. The IVP Bible Background Commentary. Madison: InterVarsity Press

Luz, Ulrich. 2007. Matther 1-7: A Commentary. Minneapolis: Fortress Press


Milavec, Aaron. 2003. The Didache: Text, Translation, Analysis, and Commentary. Minnesota:
Liturgical Press
Niederwimmer, Kurt. 1998. Hermeneia—A Critical and Historical Commentary on the Bible: The
Didache. Minneapolis: Fortress Press

Stein, Robert H. The New American Commentary vol. 24: Luke. Nashville: Broadman Press

Anda mungkin juga menyukai