Yosi Rorimpandei
PENDAHULUAN
3. Perbedaan Teks?
a. Versi DBK dalam Lukas lebih pendek dibandingkan versi Matius, sehingga beberapa
ahli berpandangan bahwa versi Lukas adalah versi orisinal, sedangkan versi Matius
telah mengalami penambahan elemen-elemen Yahudi untuk menyesuaikan dengan
tradisi orang-orang Kristen Yahudi, yang merupakan pembaca perdana Injil
Matius. Sementara, catatan Didakhe dianggap merupakan rekaman dari tradisi
lisan dalam liturgi gereja mula-mula
b. Tetapi, sebagian ahli bahasa dan sastra Ibrani justru melihat versi Matius (dan
Didakhe) lebih mendekati gaya bahasa dan sastra Ibrani atau Aramaik. Sementara,
versi Lukas telah dipoles sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan gaya
bahasa dan sastra Yunani. Meskipun, ada juga yang menyangsikan bahwa Lukas
melakukan polesan Helenistik. [band. ay. 1 “kai egeneto en tō einai auton” (dan
terjadilah, ketika Ia berada di suatu tempat...), dimana kalimat ini sangatlah
mencerminkan gaya bahasa Ibrani ketimbang Yunani]
4. Konteks Teks
a. Matius dan Didakhe menempatkan DBK dalam konteks pertentangan dengan doa
“kaum goyim” (Yun: ethnikoi—Mat. 6:7-8) atau “orang-orang munafik” (hupokritai—
Did. 8:2). Mereka berdoa “bertele-tele” (battalogēsēte) atau menggunakan kata-kata
yang hampa secara berulang-ulang, seperti mantra
b. Lukas menempatkan DBK dalam konteks tradisi Yahudi, dimana dalam tradisi
rabinik Yahudi, biasanya para rabi mengajarkan doa-doa tertentu kepada murid-
muridnya (Ibr: talmidim atau Yun: mathētes)
PEMBAHASAN TEKS
Pembahasan teks akan mengacu pada versi Matius sebagai dasar, mengingat teks Matius
menjadi teks liturgis di gereja-gereja Protestan. Namun, untuk kepentingan penafsiran
yang lebih dalam, akan tetap dibandingkan dengan teks Lukas dan Didakhe, serta tradisi
doa-doa dan liturgi Yahudi.
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 3 dari 10
Dari segi struktur, DBK disusun dalam pola 3 + 3, yaitu tiga “-MU” (fokus kepada
kekudusan, kerajaan dan kehendak TUHAN) dan tiga “kami” (fokus kepada permohonan
umat):
“dikuduskanlah nama-MU”
“datanglah Kerajaan-MU”
“jadilah kehendak-MU”
“makanan kami”
“kesalahan kami”
“membawa kami ke dalam pencobaan”
Pola ini sama dengan pola Dasa Titah, yang menggunakan pola 5 + 5, yaitu lima fokus
kepada TUHAN, dan tiga fokus kepada manusia. Angka lima sendiri melambangkan Taurat
dalam Perjanjian Lama. Sedangkan angka tiga pada pola DBK melambangkan Trinitas.
a. Analisa Teks:
- Lukas hanya menggunakan bentuk singkat “BAPA” (Pater), kemungkinan
berangkat dari sapaan “Abba’” dalam bahasa Aramaik atau menyesuaikan
dengan tradisi Yunani, yang terbiasa menyapa dewa-dewa mereka dengan
sapaan “pater” [band. tulisan Homeros, Odisseia (abad VIII SM); Plato, Timaeus
(360 SM); dan tulisan Stoa, Pujian kepada Zeus (pertengahan abad III SM)].
- Ada juga penafsiran yang mengatakan bahwa Lukas mengikuti tradisi Yunani,
yang tidak lazim menggunakan pronomina pada sebutan-sebutan agung bagi
TUHAN, seperti beberapa kasus dalam Septuaginta (LXX).
- Namun, ada juga beberapa manuskrip Injil Lukas yang menggunakan bentuk
“Bapa kami yang di Surga”, seperti yang ada di Matius dan Didakhe.
- “Surga” menggunakan bentuk jamak “tois ouranois” merupakan hal yang lazim
dalam tradisi Ibrani (band. Ibr: shamayim), tetapi dalam Didakhe menggunakan
bentuk tunggal: tō ouranō, diduga karena jemaat Kristen Yahudi mulai
menyesuaikan dengan tradisi Yunani.
b. Sapaan “BAPA Kami” yang ditujukan kepada TUHAN bukanlah hal baru dalam
tradisi Yudaisme, sapaan ini dalam bahasa Ibrani: Avīnū,
- Band. Yesaya 64:8 “we‘attā, YHWH, Avīnū attā” (dan sekarang, YHWH, ENGKAU-
lah BAPA kami...)
- Dalam Tefīlath ha-‘Amīdā (Doa Berdiri) atau yang juga disebut Shemonē ‘Esrē
(Delapan Belas)
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 4 dari 10
3. “elthetō hē basileia sou, genēthētō to thelēma sou, hōs en ouranō kai epi gēs”
“datanglah Kerajaan-MU, jadilah kehendak-MU, seperti di surga, begitu juga di
bumi”
Lukas : “elthetō hē basileia sou”
Didakhe : “elthetō hē basileia sou, genēthētō to thelēma sou hōs en ouranō kai epi gēs”
a. Tidak ada dalam Qaddīsh, tetapi doa yang mirip ditemukan dalam Birkath Hammazōn
(Doa Makan): “ūmekhīn mazōn lekhol-beriyyōthaw asher bara’”
“dan menyediakan makanan bagi semua makhluk yang IA ciptakan”
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 6 dari 10
b. Analisa teks:
- “Makanan” diterjemahkan dari kata ton arton (roti), mengingatkan peristiwa
manna dalam Kel. 16 (ay. 29, 31). Tradisi apokaliptik Yahudi mendambakan
adanya “manna yang baru” di akhir zaman
- Kata ton epiousion merupakan istilah yang unik dalam Alkitab, sebab kata ini
hanya muncul di dalam DBK—baik dalam versi Matius, Lukas maupun Didakhe.
Secara harfiah, kata ini berarti “yang pas” atau “secukupnya” atau “yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan”
- Kalimat yang mengikutinya berbeda antara Matius-Didakhe dengan Lukas.
Matius dan Didakhe menggunakan kalimat “doa hēmin sēmeron” (berikanlah
kami hari ini), sementara Lukas menggunakan kalimat “didou hēmin to kath
hēmeran” (berikanlah kami setiap hari)
- Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan tafsir para penulis
Injil terhadap makna kata “secukupnya” (ton epiousion) dalam bahasa Ibrani dan
Aramaik, tetapi kita tidak memiliki teks Ibrani ataupun Aramaik kuno untuk
DBK. Dalam Peshitta pun, Matius dan Lukas menggunakan kata yang berbeda.
Matius: “ܘܡ ܵܢܐ
ܵ ܢܩ ܲܢܢ ܲܝ ܵ ”ܗܒ ܲܠܢ ܲܠ
ܲ ܚܡܐ ݁ܕ
ܵ ܣܘ ܲ (hav lan lakhmā desūnqānan yawmānā) band.
ܲ ܢܩ ܲܢܢ ݁ܟ
Lukas: “ܠܝܘܡ ܵ ܣܘ ܵ ”ܗܒ ܲܠܢ ܲܠ
ܲ ܚܡܐ ݁ܕ ܲ (...kulyūm).
- Kata ton epiousion dalam Matius mungkin berakar dari kata epi tēn ousan
(kebutuhan untuk hidup), yang fokus pada kebutuhan hari ini. Sementara,
Lukas dari kata hē epiousa (band. Kis. 7:26; 16:11; 20:15; 21:18), yang melihat pada
“hari esok”.
c. Para ahli Perjanjian Baru cenderung melihat teks Matius lebih sesuai dengan
maksud ajaran Yesus, yang fokus pada kebutuhan harian (band. Matius 6:34b). Hal
ini juga sesuai dengan teologi Perjanjian Lama (band. kisah manna dalam Keluaran
16). Sementara, Lukas fokus pada penggunaan kata kerja: didou hēmin, yang
menggunakan bentuk iterative present, “memberikan terus-menerus”, sehingga
bukan hanya “hari ini”, melainkan “setiap hari” atau “sehari-hari”.
5. “kai afes hēmin ta ofeilēmata hēmōn, hōs kai hēmeis afēkamen tois ofeiletais hēmōn”
“dan ampunilah hutang-hutang kami, seperti kami mengampuni orang-orang
yang berhutang pada kami”
Lukas : “kai afes hēmin tas hamartias hēmōn, kai gar autoi afiomen panti ofeilonti hēmin”
Didakhe : “kai afes hēmin tēn ofeilē hōs kai hēmeis afiemen tois ofeiletais hēmōn”
a. Tidak ada dalam Qaddīsh, tapi ditemukan dalam Tefīlath ha-‘Amīdā: “selakh lanū
Avīnū kī khata’nū”
“ampunilah kami, ya BAPA, karena kami telah berdosa”
b. Analisa teks:
- Matius menggunakan kata “ta ofeilēmata hēmōn” (hutang-hutang kami), Didakhe
juga menggunakan kata yang sama, hanya saja bentuk tunggal: “tēn ofeilē”.
Sementara, Lukas menggunakan kata “tas hamartias hēmōn” (dosa-dosa kami)
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 7 dari 10
6. “kai mē eisenegkēs hēmas eis peirasmon, alla rhusau hēmas apo tou ponērou”
“dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan/ ujian, tetapi lepaskanlah
kami dari yang jahat”
Lukas : “kai mē eisenegkēs hēmas eis peirasmon”
Didakhe : “kai mē eisenegkēs hēmas eis peirasmon, alla rhusau hēmas apo tou ponērou”
a. Tidak ada dalam Qaddīsh tetapi ditemukan dalam Birkhōth hash-Shakhar (Doa Pagi):
“welo’ līdē nissayon, welo’ līdē bizzayōn, we’al tashlet banū yetser hara‘, weharkhōqenū
me’adam ra‘ ūmekhaver ra‘”
“Janganlah membawa kami ke dalam pengaruh dosa, pelanggaran dan jangan biarkan roh
jahat menguasai kami, dan jagalah kami dari orang jahat dan dari teman yang buruk”
b. Analisa teks:
- Lukas tidak mencantumkan kalimat: “alla rhusau hēmas apo tou ponērou”, tetapi
karena teks ini sangat Yudaistik dan juga ada dalam Didakhe, maka para
penafsir Perjanjian Baru cenderung menganggap bahwa teks ini orisinal dari
Yesus
- Kemungkinan, sumber Lukas tidak menuliskan teks ini
c. Kata “peirasmos” bisa sama-sama berarti “godaan” atau “cobaan/ ujian”. Agak sulit
membedakan antara keduanya dalam tradisi Ibrani. Dalam Alkitab TB-LAI pun, kata
ini sering diterjemahkan “pencobaan” dan juga “ujian”.
d. Meskipun DBK sangat kental bernuansa apokaliptik-eskatologis, tetapi kata
peirasmos di sini tidak merujuk pada Great Tribulation (Kesusahan Besar) di akhir
zaman, melainkan pada ujian atau cobaan yang dialami sehari-hari.
e. Kata kerja mē eisenegkēs (jangan membawa) juga sebaiknya tidak dilihat dalam
bentuk kausatif, melainkan permisif: “jangan biarkan kami masuk...”.
7. “hoti sou estin hē basileia kai hē dunamis kai hē doxa eis tous aiōnas. Amēn”
“sebab milik-MU kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.
Amin”
Lukas : ...
Didakhe : “hoti sou estin hē dunamis kai hē doxa eis tous aiōnas”
a. Doksologi merupakan bagian liturgis yang sangat tua dalam tradisi Yudaisme,
misalnya ditemukan dalam 1Tawarikh 29:11-13
b. Analisa teks:
- Banyak manuskrip Perjanjian Baru mencantumkan doksologi ini seperti dalam
Matius, tetapi justru dalam manuskrip-manuskrip penting, seperti Codex
Vaticanus, Codex Sinaiticus dan Codex Bezae, doksologi ini tidak ada
- Para ahli menduga bahwa dalam teks asli Matius, doksologi ini memang tidak
ada. Namun, karena doksologi ini merupakan hal yang lazim dalam liturgi doa
Yahudi, maka para penyalin di kemudian hari menambahkannya ke dalam
salinan mereka.
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 9 dari 10
- Hal ini didukung dengan adanya doksologi ini dalam teks Didakhe—meskipun
tanpa kata “hē basileia” (dan kerajaan), sebab “kerajaan” dan “kuasa”
merupakan dua hal yang identik.
KESIMPULAN
BIBLIOGRAFI
Abrami, Leo Michel. (tt). “The Jewish Origins of the Lord’s Prayer”
Basser, Herbert W & Cohen, Marsha B. 2015. The Gospel of Matthew and Judaic Traditions: A
Relevance-based Commentary. Boston: Brill
Bivin, David N & Tilton, Joshua N. 2011. “Lord’s Prayer” (revisi 1 September 2020) dalam
Jerusalem Perspective
Black, C. Clifton. 2018. The Lord’s Prayer: Interpretation. Resources for the Use of Scripture in the
Church. Louisville: Westminster John Knox Press
Clark, David A. 2014. From Jewish Prayer to Christian Ritual: Early Interpretations of the Lord’s
Prayer (PhD Thesis). Nottingham: University of Nottingham
Evans, Craig A. 1990. Understanding the Bible Commentary Series: Luke. Michigan: BakerBooks
France, R.T. 2007. The New Internasional Commentary on the New Testament: The Gospel of
Matthew. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company
Gaebelein, Frank E (ed). 1984. The Expositor’s Bible Commentary vol. 8. Michigan: Regency
Reference Library
Garrow, Alan J.P. 2004. The Gospel of Matthew’s Dependence on The Didache. London: T&T Clark
International
Green, Joel B. 1997. The New Internasional Commentary on the New Testament: The Gospel of
Luke. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company
Gundry, Robert H. 1982. Matthew: A Commentary on His Literary and Theological Art. Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company
Hagner, Donald D. 1993. World Biblical Commentary: Matthew 1-13. Dallas: Word Books
Publisher
Hammerling, Roy. 2008. The Lord’s Prayer in the Early Church: The Pearl of Great Price. New
York: Palgrave MacMillan
Yosi Rorimpandei: Doa Bapa Kami | hlm 10 dari 10
Keener, Craig S. 2014. The IVP Bible Background Commentary. Madison: InterVarsity Press
Stein, Robert H. The New American Commentary vol. 24: Luke. Nashville: Broadman Press