Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELLITUS

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Anatomi fisiologi Pankreas

Gambar 1 : Anatomi Pankreas

a. Anatomi Pankreas
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster
didalam ruang retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus
limpa diarah kronio – dorsal dan bagian atas kiri kaput pankreas dihubungkan
dengan corpus pankreas oleh leher pankreas yaitu bagian pankreas yang
lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan vena mesentrika superior
berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput pankreas ini disebut processus
unsinatis pankreas. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu :
1) Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.
2) Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan
getahnya namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung
kedalam darah.

Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap pulau


langerhans hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh
darah kapiler.
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel-alfa, beta
dan delta. Sel beta yang mencakup kira-kira 60 % dari semua sel terletak
terutama ditengah setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel B
merupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusan bervariasi
antara spesies satu dengan yang lain. Dalam sel B , molekul insulin membentuk
polimer yang juga kompleks dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan
ini mungkin karena perbedaan dalam ukuran polimer atau agregat seng dari
insulin. Insulin disintesis di dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian
diangkut ke aparatus golgi, tempat ia dibungkus didalam granula yang diikat
membran. Granula ini bergerak ke dinding sel oleh suatu proses yang
tampaknya sel ini yang mengeluarkan insulin ke daerah luar dengan
eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel B serta kapiler
berdekatan dan endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah
(Ganong, 1995). Sel alfa yang mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel
mensekresikan glukagon. Sel delta yang merupakan 10 % dari seluruh sel
mensekresikan somatostatin (Pearce, 2000)

b. Fisiologi Pankreas
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh
berupa hormon-hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau langerhans.
Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang
merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang dapat
meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon.
Fisiologi Insulin :

1
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans
menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis
hormone lainnya, contohnya insulin menghambat sekresi glukagon,
somatostatin menghambat sekresi glukagon dan insulin.
Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau
langerhans. Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah
peningkatan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan
normal adalah 80-90 mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan dengan
reseptor insulin dan setelah berikatan, insulin bekerja melalui perantara kedua
untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa kedalam sel dan dapat
segera digunakan untuk menghasilkan energi atau dapat disimpan didalam hati
(Guyton & Hall, 1999)

Gambar
2: Fisiologi
Pankreas

B. Definisi
Diabetes mellitus adalah keadaan hyperglikemia kronis yang disebabkan
oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai

2
karakteristik hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikontrol (WHO).
Diabetes mellitus adalah kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smletzer C.Suzanne, 2001).
Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan
herediter, dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan
atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari
kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada
metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme
lemak dan protein ( Askandar, 2000).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa diabetes mellitus adalah gangguan metabolik yang timbul
pada seseorang akibat peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh
kekurangan insulin baik absolute maupun relatif.

C. Epidemiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang menyerang kurang
lebih 12 juta orang. Tujuh juta dari 12 juta penderita diabetes tersebut sudah
terdiagnosis: sisanya tidak terdiagnosis. Di Amerika serikat kurang lebih
650.000 kasus diabetes baru didiagnosis setiap tahunnya (Healthy People 2000,
1990).
Data WHO menyebutkan bahwa, pada tahun 2000 terdapat sekitar 171
juta orang pasien DM di dunia dan diperkirakan jumlah ini akan meningkat
menjadi 366 juta orang pada tahun 2030. Sedangkan untuk kawasan Asia
Tenggara, terdapat sekitar 46 juta orang pasien DM pada tahun 2000 dan juga
diperkirakan akan terjadi peningkatan pada tahun 2030 menjadi 119 juta orang.
Jumlah ini juga termasuk prevalensi jumlah pasien DM di Indonesia, yaitu
sekitar 8 juta orang pada tahun 2000 dan diperkirakan akan mengalami
peningkatan pada tahun 2030menjadi sekitar 21 juta orang. Berdasarkan jumlah
ini, Indonesia menempatiurutan kedua setelah negara India (WHO, 2008).

3
D. Etiologi
Penyebab dari penyakit diabetes mellitus pada umumnya adalah karena
kekurangan insulin dan juga dipengaruhi oleh faktor herediter. Namun,
beberapa penyebab dapat muncul berdasarkan tipe – tipe dari diabetes itu
sendiri, diantaranya :
a. Diabetes tipe I:
a) Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b) Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans dan insulin endogen.
c) Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
b. Diabetes Tipe II
Diabetes Tipe II atau NIDDM disebabkan oleh kegagalan relative sel
beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan gukosa oleh jaringan perifer dan
untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. sel beta tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi
relative insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi
insulin pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin
lain. Berarti sel beta pancreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
c. Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) : Disebabkan oleh hormon yang
disekresikan plasenta dan menghambat kerja insulin.

4
E. Patofisiologi
Diabetes mellitus mengalami defisiensi insulin menyebabkan glukagon
meningkat sehingga terjadi pemecahan glukagon (glukoneogenesis) yang
menyebabkan metabolism lemak meningkat kemudian terjadi proses
ketogenesis (pembentukan keton). Terjadinya peningkatan eton di dalam
plasma menyebabkan terbentuknya keton di dalam urin dan kadar natrium derta
Ph menurun sehingga terjadilah asidosis atau disebut juga ketoasidosis.
Meningkatnya metabolisme lemak menyebabkan cadangan lemak di dalam
tubuh menurun sehingga dapat menyebabkan penurunan berat badan.
Defisiensi insulin juga menyebabkan penggunaan glukosa oleh sel
menurun sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tinggi dan melebihi ambang batas, ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya akan
munculnya glukosa dalam urine (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
diekskresikan bersamaan dalam urine, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebih (deuresis osmotik). Sebagai akibat dari
kehilangan cairan yang berlebih, seseorang dengan diabetes mellitus akan
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliura) dan rasa harus (polidipsia).
Penggunanan glukosa oleh sel yang menurun akan menyebabkan
peningkatan rasa lapar (polifagia) dan gangguan pembentukan energi sehingga
tubuh menjadi lemah.
Hiperglikemia yang terjadi dapat berpengaruh pada pembuluh darah
sehingga suplai makaanan dan oksigen ke perifer menurun hingga
menyebabkan luka yang terjadi pada pasien diabetes tidak sembuh – sembuh.
Berkurangnya dan tidak adekuatnya suplai makanan dan oksigen menyebabkan
terjadinya infeksi dan terjadinya ulkus / ganggren. Gangguan pada pembuluh
darah ini juga menyebabkan terjadinya gangguan seperti neuropati, nefropati
dan retinopati. Gangguan mikrovaskular (pembuluh darah) menyebabkan aliran
darah ke retina menurun sehingga suplai makanan dan oksigen menurun,
akibatnya pandangan mata menjadi kabur.

5
PATOFISIOLOGI DIABETES MELLITUS

Penyakit Insufisiensi
DM DM Obesitas, gaya
Autoimun insulin Resistensi
Tipe I Tipe II hidup, usia,
(genetic) Insulin
riwayat klg DM,
pola makan

Polifagi
Glukosa intrasel menurun
Glukagon Meningkat Pembentukan
Risiko
Hiperglikemia Gangguan Energi (ATP)
Ketidakstabilan
Pembuluh terganggu
Glukoneogenesis kadar glukosa Glukosuria
Darah
darah
Metabolisme lemak Suplai darah
meningkat Deuresis Osmotik Lemah/ lemas
ke pereifer
menurun
Gangguan
Ketogenesis Poliuria
Pola Tidur Intoleransi
Aktivitas
PH menurun
Polidipsia Dehidrasi Luka sulit sembuh

PK : Ketoasidosis
Aktivitas
Kekurangan Volume Ulkus / gangren
Fisik
Cairan
menurun
Cadangan Lemak dan
Protein menurun Kerusakan Integritas
Jaringan Konstipasi
BB menurun

Ketidakseimbangan Nutrisi
Kurang Dari Kebutuhan Tubuh

Mikrovaskuler
Gangguan
Penglihatan Retinopati
(Pandangan kabur)
Nefropati Neuropati

Resiko jatuh
PK : GGK

6
F. Manifestasi Klinis
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau
hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau
cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari
hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler
menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi
sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus
teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum
(polidipsia).
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar
insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi
rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak
makan (poliphagia).
d. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan
cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel
akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofi dan
penurunan secara otomatis.
e. Malaise atau kelemahan (Brunner & Suddart, 2002)

Gejala klinis pada pasien diabetes berdasarkan klasifikasi (Brunner dan


Suddarth, 2002):
a. Diabetes tipe I atau IDDM
 Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda (<30 tahun)
 Biasanya bertubuh kurus pada saat di diagnosis; dengan penurunan berat
yang baru saja terjadi

7
 Etiologi mencakup faktor genetik, imunologi atau lingkungan (misalnya
virus)
 Sering memiliki antibodi sel pulau Langarhans
 Sering memiliki antibodi terhadap insulin sekalipun belum pernah
mendapatkan terapi insulin.
 Sedikit atau tidak mempunyai insulin endogen.
 Memerlukan insulun untuk mempertahannkan kelangsungan hidup.
 Cenderung mengalami ketosis jika tidak memiliki insulin.
 Komplikasi akut hiperglikemia: ketoasidosis diabetik

b. Diabetes tipe II atau NIDDM


 Awitan terjadi di segala usia , biasanya di atas 30 tahun
 Biasanya bertubuh gemuk (obese) pada saat di diagnosis
 Tidak ada antibodi sel pulau Langarhans
 Penurunan produksi insulin endogen atau peningkatan resistensi insulin
 Mayoritas penderita obesitas dapat mengendalikan kadar glukosa
darahnya melalui penurunan berat badan
 Agens hipoglikemia oral dapat memperbaiki kadar glukosa darah bila
modifikasi diet dan pelatihan tidak berhasil
 Mungkin memerlukan insulin dalam waktu yang pendek atau panjang
untutk mencegah hiperglikemia
 Ketosis jarang terjadi kecuali bila dalam keadaan stress atau menderita
infeksi
 Komplikasi akut: sindrom hiperosmoler non ketotik.

c. Gestasional diabetes
 Awitan selama kehamilan biasanya terjadi pada trimester kedua atau
ketiga.
 Risiko terjadinya komplikasi perinatal diatas normal, khususnya
makrosomia (bayi yang secara abnormal berukuran besar).

8
 Diatasi dengan diet, dan insulin (jika diperlukan) untuk
mempertahankan secara ketat kadar glukosa darah normal.
 Terjadi pada sekitar 2%-5% dari seluruh kehamilan.
 Intoleransi glukosa terjadi untuk sementara waktu tetapi dapat kambuh
kembali: pada kehamilan berikutnya, 30-40% akan mengalami diabetes
yang nyata (biasanya tipe II) dalam waktu sepuluh tahun (jika obesitas).
 Faktor risiko mencakup: obesitas, usia diatas 30 tahun, riwayat diabetes
dalam keluarga, pernah melahirkan bayi yang besar (lebih dari 4,5 kg)
 Pemeriksaan skrining (tes toleransi) harus dilakukan pada SEMUA
wanita hamil dengan usia kehamilan di antara 24-28 minggu.

G. Klasifikasi
Diabetes Mellitus dapat diklasifikasikan menjadi 3, diantaranya :
a. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM) merupakan keadaan
dimana kadar glukosa yang tinggi akibat ketidakmampuan pancreas untuk
mensekresi insulin yang dalam fungsinya sebagai hormone yang membantu
mempermudah pergerakan glukosa dari darah menuju ke sel –sel tubuh.
b. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM) adalah
keadaan diamana pancreas mampu dan masih mengasilkan insulin namun
terjadinya ketidakefektifan untuk menstimulasi pengambilan glukosa.
c. Diabetes mellitus gestasional (GDM) adalah diabetes yang timbul selama
masa kehamilan yang dapat mempengaruhi perkembangan janin bila tidak
ditangani dengan benar.

H. Komplikasi
Komplikasi DM terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan komplikasi
kronik
1) Komplikasi Akut, adalah komplikasi akut pada DM yang penting dan
berhubungan dengan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka
pendek, ketiga komplikasi tersebut adalah:
a) Diabetik Ketoasedosis (DKA)

9
Ketoasidosis diabetik merupakan defesiensi insulin berat dan akut
dari suatu perjalanan penyakit DM. Diabetik ketoasidosis disebabkan
oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata
(Smeltzer,20002)
Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinis yang penting
pada diabetes ketoasidosis: dehidrasi, kehilangan elektrolit, asidosis.
Ketosis dan asidosis merupakan ciri khas diabetes ketoasidosis
menimbulkan gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah dan
nyeri abdomen. Napas pasien mungkin berbau aseton (bau manis spereti
buah) sebagai akibat dari peningkatan kadar badan keton. Selain itu
hiperventilasi (disertai pernafasan yang sangat dalam tetapi tidak
berat/sulit).Pernafasan kussmaul ini menggambarkan upaya tubuh untuk
mengurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan
keton.Perubahan status mental pada ketoasidosis diabetik bervariasi
antara pasien yang satu dan yang lainnya.Pasien dapat terlihat sadar,
mengantuk (letargik) atau koma, hal ini tergantung pada osmolaritas
plasma (konsentrasi partikel aktif -osmotis).

b) Koma Hiperosmolar Nonketonik(KHHN)


Koma Hipermosolar Nonketonik merupakan keadaan yang
didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai
perubahan tingkat kesadaran (sense of awareness).. Salah satu
perubahan utamanya dengan DKA adalah tidak tepatnya ketosis dan
asidosis pada KHHN (SMELTZER, 2000)
Perbedaan jumlah insulin yang terdapat dalam masing-masing
keadaan ini dianggap penyebab parsial diatas.Pada hakikatnya, insulin
tidak terdapat pada DKA. Dengan demikian terjadi penguraian simpanan
glukosa, protein, lemak (penguraian nutrient yang disebut terakhir ini
akan menghasilkan badan keton dan selanjutnya akan terjadi
ketoasidosis). Pada sindrom KHHN, kadar insulin tidak rendah,
meskipun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia (dan selanjutnya

10
dieresis osmotik). Namun, sejumlah kecil insulin ini cukup untuk
mencegah pemecahan lemak. Penderita sindrom KHHN tidak akan
mengalami gejala sistem gastrointestinal yang berhubungan dengan
ketosis seperti pada penderita DKA. Pasien yang mengalami sindrom
KKHN biasanya dapat mentoleransi poliuria dan polidipsia selama
berminggu-minggu dan setelah terjadi perubahan neurologis atau setelah
penyakit yang mendasarinya semakin berat, barulah pasien (atau yang
lebih sering lagi, anggota keluarga atau petugas perawatan kesehatan
primer) datang untuk meminta pertolongan medis.Jadi, keadaan
hiperglikemia dan dehidrasi yang lebih parah pada sindrom KKHN,
terjadi akibat penanganan yang lambat.
Gambaran klinis sindrom KKHN terdiri atas gejala hipotensi,
dehidrasi berat (membrane mukosa kering, turgor kulit jelek), takikardi,
dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi (perubahan sensori, kejang-
kejang, hemiparesis). Keadaan ini makin serius dengan angka mortalitas
yang berkisar dari 5% hingga 30% dan biasanya berhubungan dengan
penyakit yang mendasarinya.

c) Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi kalau kadar gula dalam darah turun dibawah
50-60 mg/dl keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian preparat insulin
atau preparat oral berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit
(Smeltzer, 2000)
Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori,
yaitu gejala adrenergik dan gejala system saraf pusat.
Pada hipoglikemia ringan, ketika kadar glukosa darah menurun,
system saraf simpatik akan terangsang. Pelimpahan adrenalin ke dalam
darah menyebabkan gejala seperti perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi,
kegelisahan dan rasa lapar.
Pada hipoglikemia sedang, penurunan kadar glukosa darah
menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk
bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi system saraf pusat

11
mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo,
konfusi, penurunan daya ingat, patirasa di daerah bibir serta lidah, bicara
pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang
tidak rasional, penglihatan ganda dan rasa ingin pingsan. Kombinasi
semua gejala ini (disamping gejala adrenergik) dapat terjadi pada
hipoglikemia sedang.
Pada hipoglikemia berat, fungsi sistem saraf pusat mengalami
gangguan yang sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan
orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang dideritanya. Gejalanya
dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang,
sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.

2) Komplikasi Kronik
Diabetes Mellitus pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah
diseluruh bagian tubuh (Angiopati Diabetik) dibagi menjadi 2 :
a. Mikrovaskuler
a) Penyakit Ginjal
Salah satu akibat utama dari perubahan-perubahan
mikrovaskuler adalah perubahan pada struktural dan fungsi
ginjal.Bila kadar glukosa dalam darah meningkat, maka
mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang
menyebabkan kebocoran protein darah dalam urine
(Smeltzer,2000)

b) Penyakit Mata
Penderita DM akan mengalami gejala pengelihatan sampai
kebutaan keluhan pengelihatan kabur tidak selalu disebabkan
neuropati. Katarak disebabkan karena hiperglikemia yang
berkepanjangan menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan
lensa. (Long,1996)

c) Neuropati

12
Diabetes dapat mempengaruhi saraf- saraf perifer, sistem saraf
otonom medulla spinalis atau sistem saraf pusat. Akumulasi
sorbital dan perubahan- perubahan metabolik lain dalam sintesa
fungsi myelin yang dikaitkan dengan hiperglikemia dapat
menimbulkan perubahan kondisi saraf.

b. Makrovaskuler
a) Penyakit Jantung Koroner
Akibat kelainan fungsi pada jantung akibat diabetes maka
terjadi penurunan kerja jantung untuk memompakan darahnya ke
seluruh tubuh sehingga tekanan darah akan naik. Lemak yang
menumpuk dalam pembuluh darah menyebabkan mengerasnya
arteri (arteriosclerosis) dengan resiko penderita penyakit jantung
koroner atau stroke.

b) Pembuluh Darah kaki


Timbul karena adanya anesthesia fungsi saraf- saraf sensorik,
keadaan ini berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak
terdeteksinya infeksi yang menyebabkan ganggren. Infeksi di
mulai dari celah –celah kulit yang mengalami hipertropi, pada sel-
sel kuku kaki yang menebal dan kalus demikian juga pada daerah
–daerah yang terkena trauma

c) Pembuluh Darah ke Otak


Pada pembuluh darah otak daoat terjadi penyumbatan sehingga
suplai darah ke otak menurun (long,1996).

I. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadarglukosa darah,
tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuriasaja. Dalam
menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darahyang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM,pemeriksaan yang

13
dianjurkan adalah  pemeriksaan glukosa dengan caraenzimatik dengan bahan
glukosa darah plasma vena. Untuk memastikandiagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah seyogyanya dilakukan dilaboratorium klinik yang terpercaya .
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler.  Saat
ini banyak dipasarkan alatpengukur kadar glukosa darah cara reagen kering
yang umumnya sederhanadan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah memakaialat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan
denganbaik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan.
Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perludibandingkan
dengan cara konvensional.

a. Pemeriksaan darah
WHO merekomendasikan pengambilan sampel 2 jam sesudah
konsumsi glukosa yaitu :
 Glukosa plasma sewaktu/ random > 200 mg/ dl (11,1 mmol/ L)
 Glukosa plasma puasa/ nutcher > 140 mg/ dl (7,8 mmol/ L)
 Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 g karbohidrat (2 jam postprandial/ pp) > 200 mg/dl
(11,1 mmol//L)

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan


penyaring dan diagnosis DM (mg/dl
  Bukan DM    Belum pasti  DM  DM       

Kadar glukosa darah sewaktu      

plasma vena       < 110    110 – 199      ≥ 200

darah kapiler       <   90           90  - 199          ≥ 200

       

Kadar glukosa darah puasa      

plasma vena        < 110    110 – 125 ≥ 126

darah  kapiler                            <   90    90  - 109   ≥110  

14
b. Pemeriksaan HbA1C
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat.
Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa
darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan
HbA1C-nya )

c. Urine
Tes urine digunakan untuk mengetahui kandungan gula di dalam
urine. Tes ini meliputi uji Benedict dan uji Dipstick. Uji Benedict
digunakan untuk menentukan adanya glikogen dalam urine. Mula-mula
sampel urine dari penderita diabetes diambil. Kemudian ambillah 8 tetes
urine tersebut ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya sampel tersebut ditetesi
dengan pereaksi Benedict sebanyak 5 tetes. Kemudian sampel tersebut
dipanaskan sampai terbentuk warna. Sifat warna inilah yang memberikan
petunjuk kadar gula dalam urine. Pada hasil uji Benedict, jika warna yang
dihasilkan adalah merah bata, maka urine tersebut mengandung lebih dari
2% glukosa, yang artinya orang tersebut menderita penyakit diabetes.Pada
dasarnya uji Benedict untuk mengetahui kandungan senyawa aldehida.
Oleh karena itu, pada uji benedict akan memberikan warna bahkan jika ada
gula-gula lain yang terdapat dalam urine, seperti maltosa, galaktosa,
sukrosa fruktosa, dan lain-lain.
Uji Benedict tidak dapat digunakan untuk penderita hipogleikimia.
Sedangkan pada uji Dipstick digunakan untuk memastikan adanya gula
dalam urine. Pada dasarnya Dipsticks merupakan strip kertas yang
mengandung zat kimia tertentu dan akan berubah warna jika bereaksi
dengan gula. Perubahan warna yang terjadi tergantung pada bahan kimia
yang digunakan dalam pembuatan dipstick tersebut. Pada uji Dipstick
warna yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan warna yang terdapat
pada buku manual.

d. Kultur pus

15
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan jenis kuman.

J. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama pengobatan adalah untuk menormalkan atau mengontrol
kadar gula didalam darah, meliputi beberapa komponen, yaitu :
a) Obat Hipoglikemik Oral
1) Golongaan Sulfonilurea / sulfonyl ureas
Obat ini paling banyak digunakan dan dapat dikombinasikan
denagan obat golongan lain, yaitu biguanid inhibitor alfa
glukosidase atau insulin. Obat golongan ini mempunyai efek
utama meningkatkan produksi insulin oleh sel- sel beta pankreas,
karena itu menjadi pilihan utama para penderita DM tipe 2 dengan
berat badan berlebihan

2) Golongan Biguanad /metformin


Obat ini mempunyai efek utama mengurangi glukosa hati,
memperbaiki pengambilan glukosa dari jaringan (glukosa perifer)
dianjurkan sebagai obat tinggal pada pasien kelebihan berat badan.

3) Golongan Inhibitor Alfa Glikosidase


Mempunyai efek utama menghambat penyerapan gula di saluran
pencernaan sehingga dapat menurunkan kadar gula sesudah
makan. Bermanfaat untuk pasien dengan kadar gula puasa yang
masih normal.

b) Insulin
1) Indikasi insulin :
Pada DM tipe 1 yang tHuman Monocommponent Insulin (40 UI
dan 100 UI/ml injeksi) yang beredar adalah actrapid. Injeksi

16
insulin dapat diberikan kepada penderita DM tipeII yang
kehilangan berat badan secara drastis. Yang tidak berhasil dengan
penggunaan obat-obatan anti DM dengan dosis maksimal atau
mengalami kontra indikasi dengan obat-obatan tersebut. Bila
mengalami ketoasidosis, hiperosmolar asidosis laktat, stress berat
karena infeksi sistemik, pasien operasi berat , wanita hamil dengan
gejala DM yang tidak dapat dikontrol dengan pengendalian diet.

2) Jenis insulin
 insulin kerja cepat (Rapid acting insulin). Jenisnya adalah
reguler insulin, cristalin zink, dan semilente
 Insulin kerja sedang. Jenisnya adalah NPH (Netral Protamine
Hagerdon)
 Insulin kerja lambat. Jenisnya adalah PZI (Protamine Zinc
Insulin)

b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarga
2) Monitor kadar gula darah
3) Menjaga gaya hidup pasien
4) Menjaga keadaan kulit pasien
5) Menghindari pasien dari cedera
6) Memeriksa keadaan pasien secara rutin
7) Latihan fisik dapat mempermudah transportasi glukosa kedalam sel
karena kerja insulin meningkat dan menurunkan kadar gula dalam
darah.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
a. Identitas penderita

17
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk
rumah sakit dan diagnosa medis.

b. Riwayat kesehatan sekarang


Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan nyeri, kesemutan pada
ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola
mata cekung, Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan,
lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.

c. Riwayat kesehatan lalu


Biasanya klien DM mempunyai Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti
Infart miokard

d. Riwayat kesehatan keluarga


Biasanya ada riwayat anggota keluarga yang menderita DM

e. Pola Fungsional Gordon


1. Pola persepsi
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gangren kaki diabetik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, lebih dari 6 juta dari penderita
DM tidak menyadari akan terjadinya resiko Kaki diabetik bahkan mereka
takut akan terjadinya amputasi (Debra Clair, journal februari 2011)

2. Pola nutrisi metabolic


Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi
insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga
menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum,
berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat

18
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat
mempengaruhi status kesehatan penderita.Nausea, vomitus, berat badan
menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.

3. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik
yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran
glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada
gangguan.

4. Pola aktivitas dan latihan


Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan
istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas
dan bahkan sampai terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahan
otot – otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah
mengalami kelelahan.

5. Pola tidur dan istirahat


Istirahat tidak efektif Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka ,
sehingga klien mengalami kesulitan tidur.

6. Kognitif persepsi
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati
rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan
mengalami penurunan, gangguan penglihatan .

7. Persepsi dan konsep diri


Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar
sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan

19
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan
peran pada keluarga ( self esteem ).

8. Peran hubungan
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan
penderita malu dan menarik diri dari pergaulan.

9. Seksualitas
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan
kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi
serta orgasme. Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme
menurun dan terjadi impoten pada pria. risiko lebih tinggi terkena kanker
prostat berhubungan dengan nefropati.(Chin-Hsiao Tseng on journal,
Maret 2011)

10. Koping toleransi


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik,
perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi
psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung
dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.

11. Nilai keprercayaan


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan
ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita

f. Keadaan Umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat
badan dan tanda – tanda vital.

20
g. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada
leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan
pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi
mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan
kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
2. Sistem integument
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas
luka, kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren,
kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.

3. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita
DM mudah terjadi infeksi.

4. Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.

5. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi,
dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen,
obesitas.

6. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit
saat berkemih.

7. Sistem musculoskeletal

21
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan,
cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.

8. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi,
mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi

B. Diagnosa
Diagnosa Keperawatan yang sering muncul pada pasien Diabetes Mellitus
adalah : (Nanda, 2006)
1. Kekurangan volume cairan b/d gejala poliuria dan dehidrasi
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d defisiensi
insulin
3. Perubahan persepsi sensori b/d ketidakseimbangan elektrolit, glukosa,
insulin
4. Gangguan perfusi jaringan perifer b/d penurunan aliran darah vena/ arteri
5. Konstipasi b/d kurangnya aktivitas fisik
6. Intoleransi aktivitas b/d penurunan produksi metabolism energy, kelemahan
7. Gangguan pola tidur b/d frekuensi yang sering/ miksi yang sering/ poliuria
8. Kerusakan integritas jaringan b/d hiperglikemia, penurunan darah dan
oksigen ke jaringan
9. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah b/d Diabetes Mellitus
10. Resiko jatuh b/d gangguan penglihatan, gangguan kabur
11. PK GGK
12. PK Ketoasidosis

C. Intervensi
1. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan gejala poliuria dan
dehidrasi
Tujuan : kekurangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil :
 Tanda – tanda vital stabil

22
 Turgor kulit baik
 Capillary time kurang dari 2 detik
Intervensi :
a. Pantau tanda – tanda vital
Rasional : untuk mendeteksi adanya tanda – tanda dehidrasi : taikardia,
hipotensi, orthostatic
b. Pantau masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urine
Rasional : memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti,
fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan
c. Timbang Berat Badan
Rasional : memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan
yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan
pengganti
d. Kolaborasi terapi cairan sesuai indikasi
Rasional : tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan
cairan dari respons pasien secara individual

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d defisiensi


insulin
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
 Berat badan stabil
 Nafsu makan meningkat
Intervensi :
a. Timbang Berat Badan Setiap hari
Rasional : mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
b. Auskultasi bunyi usus, catat adanya nyeri abdomen, perut kembung,
mual/ muntah
Rasional : hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan elektrolit
dapat menurunkan motilitas/ fungsi lambung
c. Libatkan keluarga pasien pada perencanaan sesuai indikasi

23
Rasional : memberikan informasi kepada keluarga untuk memahami
kebutuhan nutrisi pasien
d. Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional : sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien

3. Perubahan persepsi sensori b/d ketidakseimbangan elektrolit, glukosa,


insulin
Tujuan : tidak terjadi perubahan sensori
Kriteria hasil :
 Tidak terjadi cidera
Intervensi :
a. Observasi tanda – tanda vital
Rasional : untuk membandingkan temuan abnormal, seperti suhu
meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental
b. Evakuasi lapang pandang penglihatan sesuai dengan indikasi
Rasional : edema atau lepasnya retina, hemoragis, katarak/ paralosis otot
ekstra okuler sementara mengganggu penglihatan yang memerlukan
terpai korektif/ perawatan penyokong
c. Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk
melakukan kegiatan sehari –hari sesuai dengan kemampuannya
Rasional : membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan
realitas dan mempertahankanorientasi pada lingkungannya
d. Pantau nilai laboratorium, seperti glukosa darah, hb/ ht, ureum, kreatinin
Rasional : ketidakseimbangan nilai laboratorium dapat menurunkan
fungsi mental

4. Gangguan perfusi jaringan perifer b/d penurunan aliran darah vena/ arteri
Tujuan : tidak terjadi gangguan perfusi jaringan
Kriteria hasil :
 Tanda –tanda vital stabil
 Capillary refill time kurang dari 2 detik

24
Intervensi :
a. Catat penurunan nadi
Rasional : perubahan ini menunjukkan kemajuan/ proses kronis
b. Evaluasi sensasi bagian yang sakit
Rasional : sensasi sering menurun selama serangan/ kronis pada tahap
lanjut
c. Lihat dan kaji kulit untuk lesi, area ganggren
Rasional : lesi dapat terjadi dari ukuran jarum peniti sampai melibatkan
seluruh ujung jari dan mengakibatkan infeksi/ kerusakan/ kehilangan
yang serius
d. Berikan nutrisi dan vitamin yang tepat
Rasional : keseimbangan diet yang baik meliputi protein dan hidrasi
adekuat perlu untuk penyembuhan dan regenerasi jaringan

5. Konstipasi b/d kurangnya aktivitas fisik


Tujuan : Konstipasi hilang
Kriteria Hasil :
- tidak ada nyeri abdomen
- BAB lancer 1-3 x per hari
- Konsistensi feses lembek
- Bising Usus 8 – 12 x/ menit
- Tympani pada perkusi Abdomen
Intervensi :
a. Kaji Frekuensi BAB
Rasional : Dapat digunakan sebagai indikator perkembangan kesehatan
klien
b. Kaji warna dan konsistensi feses
Rasional : digunakan sebagai indikator perkembangan kesehatan klien
c. Kaji bising usus dan perkusi abdomen
Rasional : Bising usus sebagai data penunjang dalam mengkaji keadaan
sistem pencernaan
d. Anjurkan pasien melakukan aktivitas optimal

25
Rasional : Aktivitas yang menurun menyebabkan tonus otot dapat
bekerja lambat yang mempengaruhi defekasi
e. Anjurkan pasien tidak mengejan selama defekasi
Rasional : Mengejan dapat menimbulkan komplikasi lanjut berupa
perdarahan
f. Kolaborasi pemberian diet tinggi serat
Rasional : Makanan tinggi serat memperlancar saluran pencernaan

g. Kolaborasi pemberian enema


Rasional : Enema merangsang kolon mengeluarkan feses

6. Intoleransi aktivitas b/d penurunan produksi metabolism energy, kelemahan


Tujuan : aktivitas pasien dapat berjalan dengan baik
Kriteria hasil :
 Tidak mudah lelah
 Pasien mengungkapkan peningkatan tingkat energy
 Menunjukkan kemampuan untuk beraktifitas sesuai dengan
keinginan pasien
Intervensi :
a. Diskusikan dengan pasien kebutuhan aktivitas, buat jadwal perencanaan
dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan
Rasional : mempermudah pasien untuk melakukan aktivitas
b. Pantau tanda – tanda vital sebelum dan sesudah melakukan aktivitas
Rasional : untuk memantau keadaan umum pasien
c. Tingkatan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari –hari
sesuai toleransi
Rasional : meningkatkan perasaan dan kondisi pasien selama
beraktivitas

7. Gangguan pola tidur b/d frekuensi yang sering/ miksi yang sering/ poliuria
Tujuan : pola tidur tidak mengalami gangguan
Kriteria hasil :

26
 Tidur 7 – 8 jam/ hari
 Tidak Nampak kantung mata
Intervensi :
a. Batasi masukan cairan waktu malam dan berkemih sebelum berbaring
Rasional : istirahat pada malam hari tidak terganggu
b. Jelaskan pada pasien dan eluarga tentang penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindarinya
Rasional : menghindari ansietas pada pasien karena sering berkemih
pada malam hari

8. Kerusakan integritas jaringan b/d hiperglikemia, penurunan darah dan


oksigen ke jaringan
Tujuan : integritas jaringan dapat kembali seperti semula saat sebelum sakit
Kriteria hasil :
 Jaringan nekrose disekitar luka berkurang
 Luka tidak berbau
 Warna kulit sama dengan warna kulit yang tidak terdapat luka
Intervensi :
a. Kaji kedalaman luka dan proses penyembuhannya
Rasional : mengetahui kedalaman atau seberapa luas kerusakan jaringan
b. Rawat luka dengan teknik strelilisasi
Rasional : mengurangi terjadinya resiko infeksi
c. Jaga kebersihan luka dan lingkungan sekitar luka
Rasional : pembersihan luka mempermudah proses penyembuhan luka
d. Kolaborasi dalam pemberian antibiotika
Rasional : pemberian antibiotic mencegah terjadinya proses infeksi

9. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah b/d Diabetes Mellitus


Tujuan : Glukosa darah stabil
Kriteria hasil : glukosa darah 74 – 110 mg/dL
Intervensi :
a. Pantau kadar glukosa darah

27
Rasional : Kadar glukosa yang terpantau mencegah adanya komplikasi
seperti hipoglikemia
b. Pantau tanda dan gejala hipoglikemia
Rasional : Memantau dan mendeteksi dini tanda hipoglikemia yang
dapat mempengaruhi kesehatan pasien
c. Pantau tanda dan gejala hiperglikemia
Rasional : Memantau dan menentukan pemberian tindakan selanjutbnya
d. Kaji faktor yang dapat meningkatkan risiko ketidakseimbangan kadar
glukosa darah
Rasional : Menentukan faktor lain yang dapat menjadi pemberat dan
memicu ketidakseimbangan glukosa
e. Beri informasi mengenai penatalaksanaan diabetes
Rasional : Pemberian KIE membantu dan mendukung tingkat
kesembuhan pasien
f. Kolaborasi pemberian insulin
Rasional : Insulin menghambat glukkosa masuk ke dalam darah dan
mencegah terjadinya hiperglikemia

13. Resiko jatuh b/d gangguan penglihatan, gangguan kabur


Tujuan : tidak terjadi cidera
Kriteria hasil :
 Gerakan terkoordinasi
Intervensi :
a. Kaji tingkat persepsi sensori mata
Rasional : mengetahui ketajaman dan lapang pandang mata
b. Orientasikan pasien terhadap lingkungan sekitar
Rasional : membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari - hari
c. Berikan penerangan lampu/ cahaya yang cukup
Rasional : mempermudah mengenali lingkungan
d. Jauhkan benda –benda yang dapat menyebabkan cidera
Rasional : mengurangi terjadinya peristiwa yang membahayakan jiwa

28
e. Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan potensi
jatuh
f. Reorientasikan pasien dengan realitas lingkungan di sekeliling pasien
g. Bantu pasien saat ambulasi
h. Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengatur barang-barang dengan
baik
i. Anjurkan pasien mencari bantuan untuk pergerakan

D. Implementasi
Pada implementasi, perawat melakukan tindakan berdasarkan perencanaan
mengenai diagnosa yang telah dibuat sebelumnya.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap
proses keperawatan (Diagnosa, tujuan untervensi) harus di evaluasi, dengan
melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan bertujuan
untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan tercapai atau
tidak untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum hasil.
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan berhasil
atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapun alternatif
tersebut adalah :
1. Tujuan tercapai
2. Tujuan tercapai sebagian
3. Tujuan tidak tercapai (Budi Anna Keliat, SKP, th 1994, hal 69)

Sesuai dengan rencana tindakan yang telah di berikan, dilakukan penilaian


untuk melihat keberhasilannya. Bila tidak/belum berhasil perlu disusun rencana
baru yang sesuai. Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP secara
operasional.

29
Daftar Pustaka

Mansjoer,Arif. Kapita Selekta.Edisi III.Jilid I.jakarta.media Aesculapius. 2001.

Brunner & Suddarth. 2002. Kepeawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:
EGC

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Anynomous. 2007. Diabetes Mellitus. Diunduh di http://jptunimus-gdl-s1-2007-


aniknimatu-101-2-BAB2 / pada tanggal 26 September 2014

Setih Setio, Akper. 2013. Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus. Diunduh di


http://Yayasanakpersetihsetio.org /Asuhan-Keperawatan-DM/ pada tanggal 26
September 2014

30

Anda mungkin juga menyukai