Anda di halaman 1dari 238

XI.

FRAKTUR

1. FRAKTUR DISTAL RADIUS

-
Akibat jatuh dengan tangan terentang
-
Atau akibat jatuh dengan gaya aksial setelah KLL
-
Fernandez menekankan pentingnya mekanisme cedera untuk metode
reduksi dan fiksasi tergantung pada gaya langsung yang menimpa

KLASIFIKASI

Klasifikasi Fernandez:

Tipe I :
-
Akibat gaya lengkung dan menunjukkan kegagalan regangan metafiseal
ekstra artikular
-
Misal: Fraktur Colles dan fraktur Smith

Tipe II:
-
Akibat penyebaran beban pada permukaan sendi
-
Misal: Fraktur Barton dan fraktur styloideus radius

Tipe III:
-
Akibat beban kompresi yang menimbulkan impaksi tulang subkondral
dan metafiseal
-
Dapat timbul sejumlah keping fragmen fraktur intra artikuler
-
Misal pada cedera punch die

Tipe IV:
-
Fraktur yang timbul akibat gaya avulsi dan menyebabkan fraktur pada
tempat perlekatan ligamentum
-
Cedera ini meliputi spektrum luas radiokarpal sprain, subluksasi, dan
dislokasi

Tipe V:
-
Cedera akibat kecelakaan dengan kecepatan tinggi disertai dengan
kombinasi berbagai gaya lainnya
-
Gambaran khas pergeseran tulang yang nyata, comminuted, dan tidak
stabil

Klasifikasi Gartlan dan Werley


-
Ekstra artikular
-
Intra artikular

1
Klasifikasi Frykman
-
Didasarkan pada keterlibatan sendi radiokarpal dan/atau radioulnar serta
keberadaan fraktur stiloideus ulnaris
-
Klasifikasi ini tidak meliputi berbagai variabel seperti arah dan derajat
pergeseran atau communitionnya yang justru vital sebagai penuntun untuk
penanganan fraktur dan penentuan hasil yang diharapkan.

Klasifikasi McMurty dan Jupiter


-
Tetap mempertahankan pembagian berdasarkan ekstra artikular dan intra
artikular
-
Ekstra artikular, berdasarkan jumlah fraktur comminuted dan angulasinya
dibagi menjadi:
-
Unstable : dengan gambaran
-
Fraktur comminuted dorsal yang luas
-
Fraktur comminuted yang meluas ke volar ke
midaxial plane dari radius
-
Angulasi dorsal > 200
-
Angulasi volar yang nyata
-
Stable : berdasar jumlah fragmen fraktur
artikular:
-
Fraktur 2 bagian
Bagian opposite dari sendi radiokarpal tetap bersambungan dengan
radius, contohnya: Fraktur Barton tipe volar dan dorsal; fraktur
stiloideus radius; fraktur die punch fossa lunatum isolated
-
Fraktur 3 bagian
Os Lunatum yang intak dan facet schapoid keduanya terpisah dan juga
dari os radius
-
Fraktur 4 bagian
Terjadi fragmen dari fossa lunatum pada fraktur 3 bagian dan terpisah
menjadi fragmen volar dan dorsal
-
Fraktur comminuted (5 bagian atau lebih)
Trauma dengan energi tinggi memisahkan secara komplit distal radius
dari artikulasinya
-
Rayhack et al dan Bradway et al menekankan pentingnya membedakan
antara cedera intra dan ekstra artikular.
-
Kedua klasifikasi tersebut selanjutnya membagi fraktur distal radius
menurut derajat pergeseran, reducibility, dan stabilitas setelah direduksi.

Klasifikasi Melone
-
Membagi fraktur intra artikular menjadi 4 bagian berdasar pola pergeseran
yang terjadi

2
Tipe I
-
Pergeseran minimal

Tipe II
-
Fragmen fossa lunatum bergeser ke volar atau dorsal sebagai satu unit
-
Fragmen satunya tidak mengalami rotasi ataupun terpisah jauh
-
Berdasarkan atas scaphoid dan lunatum mengimpaksi fossa lunatum atau
tidak, tipe II dibagi lagi menjadi Tipe IIa dan Tipe IIb
-
Reduksi tertutup pada cedera tipe ini seringkali gagal jika terjadi:
-
Fraktur komunitif dorsal atau volar yang hebat
-
Radiocarpal stepoff yang nyata
-
Terjadi angulasi

Tipe III
-
Pergeseran fragmen fossa lunatum serupa dengan tipe II hanya disertai
dengan metaphyseal spike (khas ke volar pada fraktur yang bergeser ke
dorsal).
-
Keadaan tsb meningkatkan ketidakstabilan fraktur dan dapat menimbulkan
komplikasi pada jaringan lunak.

Tipe IV
-
Fragmen fossa lunatum terpisah jauh
-
Fragmen medial palmar sering mengalami rotasi sebesar 1800

Tipe V
-
Disebut juga tipe ledakan (explosion)
-
Fraktur timbul akibat energi tinggi dengan cedera komunitiva yang hebat
-
Serupa dengan fraktur lima bagian atau lebih pada klasifikasi Mc Murty
dan Jupiter
Klasifikasi sistem AO
-
Sistem ini paling komprehensif dan berdasarkan anatomi
-
Sistem AO membagi cedera menjadi:

1. Tipe A (extra-articular)
2. Tipe B (simple-articular)
3. Tipe C (complex-articular)
-
Untuk setiap tipe mempunyai gambaran khas berdasar ada dan arah
pergeseran, keadaan ulna, serta keberadaan dan lokasi komunitivanya
-
Dengan menggunakan sistem ini fraktur distal radius yang paling
komplekspun dapat diklasifikasikan.

PEMERIKSAAN FISIS DAN DIAGNOSIS


-
Mekanisme cedera sangat penting dalam menilai luas/hebatnya cedera dan
kerusakan jaringan lunak yang menyertainya
3
-
Jatuh dari ketinggian dan KLL menimbulkan cedera yang lebih hebat
dibanding penyebab lainnya
-
Posisi ekstremitas dan tangan pada waktu benturan dapat membantu
menjelaskan mekanisme fraktur dan pola pergeseran yang timbul
-
Perlu mengetahui apakah ada fraktur sebelumnya, ada tidak penyakit
sistemik (rheumatoid arthritis)
-
Pemeriksaan sensoris, motoris nervus medianus, ulnaris dan radialis juga
harus dilakukan
-
Nervus medianus yang paling sering cedera pada fraktur distal radius.
-
Sering dijumpai neuropraxia sekunder karena kontusio pada waktu
pergeseran maksimum fraktur serta akibat pembengkakan pasca cedera.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
-
Foto rontgen PA, lateral, dan oblique
-
Foto PA diperoleh dengan mengabduksikan humerus sehingga siku sama
tinggi dengan bahu
-
Foto lateral diperoleh dengan humerus adduksi dan siku fleksi 900
-
Foto oblik diperoleh dengan lengan bawah supinasi mendekati 450
-
Pada lateral view volar tilt dari permukaan artikular radius distal harus
diukur. Nilai normal sekitar 110
-
Pada PA view panjang (atau tinggi) radial, sudut inklinasi, dan lebarnya
harus dicatat
-
Panjang radial diukur sebagai jarak antara garis sejajar aksis panjang
radius, satu garis pada ujung proc. styloideus dan satunya lagi pada
permukaan artikular ulnar distal. Normal 11-12 mm.
-
Alternatif lain, diukur sebagai variasi relatif ulnar (jarak vertikal antara
permukaan artikular ulnar dengan sudut medial facet lunatum) dan
dibandingkan dengan pergelangan yang satunya. Ini lebih akurat dalam
menilai pemendekan yang timbul.
-
Inklinasi radial diukur sebagai sudut yang terbentuk dari garis yang ditarik
ujung proc styloideus dengan sudut medial facet lunatum dan sebuah garis
perpendicular sepanjang aksis memanjang radius. Nilai normal 220-230
-
Derajat dan lokasi communition sangat penting dalam meramalkan hasil
manajemen yang akan dilaksanakan
-
Communition dorsal yang berat sering disertai dengan shortening dan
sedangkan fragmen volar berbentuk butterfly sering disertai dengan
neuropraxia n. medianus
-
Fraktur styloideus ulnaris menunjukkan fraktur displacement derajat tinggi,
sehingga gangguan dan pergeseran artikular perlu diperiksa selain untuk
klasifikasi juga untuk menentukan terapi yang tepat.
-
Pogue et al, tak dapat melakukan angulasi dorsal > 150 atau shortening
radial > 4 mm tanpa membuat fraktur os styloideus ulnaris.
-
Anatomi karpal harus dievaluasi untuk mengetahui ada tidaknya fraktur
dan putusnya ligamen interkarpal.

4
PENANGANAN
-
Ada 4 hal mendasar dalam penanganan fraktur distal radius, yakni:
1. Pemulihan kongruitas artikular dan alignment axial (reduksi fraktur)
2. Maintenance reduksi
3. Memperoleh penyatuan tulang
4. Pemulihan fungsi tangan dan pergelangan
-
Malunion extra artikular terutama berkaitan dengan 3 hal mendasar:
1. Derajat angulasi dorsal atau palmar dari permukaan artikular radius
distal yang tampak pada sagital plane
2. Derajat inklinasi radial dan pergeseran radial pada coronal plane
3. Shortening distal radius dibanding dengan varians relatif ulnar pada
ekstremitas yang tidak cedera
-
Perubahan anatomik yang timbul akan berakibat berubahnya pola beban dan
konsentrasi pada sendi radiokarpal
-
Pogue et al: angulasi hebat palmar atau dorsal dari distal radius ( >30 0)
akan meningkatkan beban pada posisi dorsal dibanding posisi normal sendi
radiokarpal. Hilangnya sudut inklinasi radial diatas 10 0 menyebabkan
peningkatan beban pada fossa lunatum begitu juga dengan shortening
radius sebesar 2 mm. Shortening diatas 6 mm akan menimbulkan
pergeseran pada triquetrolunate
-
Shortening radial dan hilangnya inklinasi radial akan menyebabkan
perubahan kinematik sendi radioulnar distal dan menyebabkan deformitas
pada fibrokartilago triangular.
-
Semua ini berkaitan dengan arthrosis radioulnar distal setelah fraktur radius
distal.
-
Short et al: dengan angulasi dorsal artikular, 65% beban karpal berada di
ulnar (pada keadaan normal hanya 20%) dan beban sisanya ditransmisikan
dalam konsentrasi tinggi secara dorsal ke fossa schapoid
-
Fraktur intra artikular dan angulasi dorsal artikular menyebabkan penurunan
kisaran pergerakan sedangkan shortening radial dan pergeseran berkaitan
dengan penurunan kekuatan menggenggam dan nyeri.
-
Mc Queen dan Caspers: angulasi dorsal sebesar 100 atau pergeseran radial
sebesar 2 mm akan menimbulkan nyeri, kekakuan, kelemahan dan fungsi
yang buruk setelah 4 tahun pasca fraktur.
-
Kopylov et al: shortening sekecil 1 mm akan meningkatkan resiko
arthrosis hingga 20%, jika 2 mm, meningkat menjadi 50%.
-
Angulasi dorsal artikular pasca fraktur pada anak muda menyebabkan
instabilitas dinamik midkarpal serta nyeri, sehingga Taleisnik dan Watson
menganjurkan osteotomi korektif.
-
Koreksi malunion ekstra artikular bertujuan menghilangkan gejala dan
pemulihan alignment karpal
-
Bickerstaff dan Bell: malunion dengan angulasi dorsal yang hebat dari
radius distal akan menyebabkan nyeri instabilitas midkarpal dan skor

5
fungsional yang rendah pada pasien yang telah mengalami fraktur distal
radius
-
Malunion intraartikular telah diketahui sebagai salah satu penyebab hasil
yang buruk pada pasien dengan fraktur radius distal.
-
Kopylov et al: inkongruitas sendi sebesar 1mm saja akan meningkatkan
resiko untuk mengalami perubahan degeneratif baik pada sendi radiokarpal
maupun pada sendi radioulnar distal.
-
Perubahan degeneratif ini berhubungan erat dengan menetapnya gejala
nyeri dan penurunan kisaran pergerakan
-
Knirk dan Jupiter: menyimpulkan kegagalan dalam memulihkan anatomi
intra artikular akan menimbul kan hasil yang buruk walaupun berhasil
dicapai reduksi ekstra artikular yang adekuat. Sebagai tambahan, disrupsi
dari jaringan lunak, ligamen interkarpal, dan sendi radio ulnar distal akan
memperburuk hasil.
-
Walaupun malalignment residual pada pasien yang berusia lanjut lebih bisa
ditoleransi, namun dengan semakin panjangnya usia harapan hidup serta
semakin meningkatnya mobilitas pada golongan usia ini maka semakin
penting diperoleh pemulihan anatomis pada artikular ini walaupun pada
manula.

PENANGANAN NON OPERATIF


-
Fraktur yang membutuhkan reduksi harus diklasifikasikan menjadi stable
atau unstable.
-
Fraktur yang stable dapat berhasil dilakukan reduksi tertutup sedangkan
yang unstable memerlukan fiksasi internal atau eksternal.
-
Kriteria instabilitas:
1. Fraktur intra artikular yang bergeser jauh
2. Dorsal atau volar comminution yang hebat
3. Angulasi dorsal > 200
4. Pasien-pasien tua dengan osteoporosis
-
Abbaszadegan et al dan Jenkins menyatakan bahwa instabilitas –
didefinisikan sebagai kegagalan mempertahankan reduksi secara tertutup -
sangat berhubungan erat dengan initial fracture displacement terutama jika
shortening > 5 mm dan ada dorsal communition
-
Cedera tepi artikular (Barton’s dan Chauffeur’s fractures); palmar
displacement dan cedera extra articular communited (Smith’s fractures)
serta cedera berenergi tinggi dengan intra articular comminuted yang hebat
sering unstable dan gagal jika dilakukan manajemen non operatif
-
Langkah awal untuk semua penanganan nonoperatif fraktur distal radius
adalah reduksi tertutup
-
Dapat dilakukan dengan anestesi lokal (hematoma block)
-
Reduksi dilakukan dengan melakukan traksi aksial digabung dengan
reduksi bagian yang deformitas melalui tekanan manual pada fragmen
fraktur
-
Traksi dan penekanan yang berlebihan akan mengakibatkan cedera jaringan
lunak
6
-
Dapat juga dilakukan finger traps dan ditarik dengan beban 4,5 kg (10 lb)
agar fragmen fraktur tertarik secara perlahan
-
Setelah 5-10 menit dengan traksi ini dapat dilakukan reduksi manual
-
Kriteria reduksi yang dapat diterima adalah:
1. Perubahan sudut palmar (volar) tidak lebih dari 10 0 (netral atau palmar
slope 200)
2. Radial shortening < 2 mm
3. Perubahan dalam inklinasi radial < 50
-
Sebagai tambahan, bila ada fraktur intra artikular maka articular stepoff <
1-2 mm dapat diterima
-
Jika reduksi tidak memenuhi standar ini, maka dapat dilakukan reduksi
ulang dan jika tetap tidak berhasil maka merupakan indikasi untuk
melakukan terapi operatif dengan reduksi terbuka terbatas atau formal dan
perkutaneus, eksternal, dan / atau fiksasi internal
-
Setelah reduksi dilakukan immobilisasi dengan sugartong plaster splint
atau gips sirkular
-
Setelah immobilisasi dilakukan kontrol dengan foto x-ray biplanar untuk
menilai adekuatnya reduksi
-
Immobilisasi dengan gips merupakan metode pilihan untuk
mempertahankan reduksi selama fase penyembuhan pada sebagian besar
fraktur distal radius yang stable
-
Sugar-tong splint dapat diubah menjadi gips short atau long arm setelah 1-2
minggu
-
Immbolisasi gips dipertahankan hingga konsolidasi fraktur sempurna terjadi
setelah 6-8 minggu
-
Selanjutnya dipasang gips fungsional dengan tambahan 2-4 minggu
tergantung kenyamanan pasien
-
Immobilisasi above the elbow terbukti tidak begitu bermanfaat untuk
mempertahankan reduksi ataupun untuk hasil fungsional yang baik
-
Posisi lengan sewaktu immobilisasi juga masih diperdebatkan
-
Posisi Cotton-Loder berupa fleksi ekstrim dan deviasi ulnar telah
ditinggalkan karena menimbulkan komplikasi pada n. medianus
-
Sebagian besar orthopedists melakukan sedikit palmar fleksi dan deviasi
ulnar
-
Gupta mendapatkan hasil yang baik secara anatomik dan fungsional
dengan melakukan immobilisasi dengan tangan ekstensi. Ia juga melakukan
penekanan pada tiga titik fraktur yang setara dengan dorsifleksi karpal
-
Sarmiento et al menyatakan supinasi lebih unggul dibanding pronasi
karena menghilangkan beban pergeseran radial dari brachioradialis dan
memungkinkan pemulihan fungsional yang maksimal setelah fraktur
displace.
-
Penulis lain menyatakan tak ada perbedaan antara supinasi dengan pronasi
-
Secara teori, supinasi memungkinkan mempertahankan reduksi sendi
radioulnar distal setelah terjadi subluksasi dorsal, dan pada fraktur yang
menyebabkan disrupsi sendi ini, maka teknik ini merupakan pilihan utama.
Hal ini karena pada sebagian besar fraktur radius distal, rotasi dari forearm
bukan merupakan hasil akhir yang penting.
7
-
Hilangnya reduksi merupakan kegagalan yang paling sering terjadi pada
imobilisasi tertutup.
-
Karena itu perlu follow up dengan foto rontgen tiap minggu selama 2-3
minggu pertama.
-
Pergeseran ulang, baik secara akut maupun progresif perlahan harus
ditindaki dengan relokasi dan dipertahankan dengan percutaneus pinning,
fiksasi eksternal atau internal, bukan dengan gips.
-
Komplikasi kedua terbanyak pada manajemen non operatif (dan juga
operatif) adalah hilangnya pergerakan bahu, siku dan tangan ipsilateral.
-
Untuk menghindarinya pasien harus melakukan latihan mengangkat bahu
sesegera mungkin setelah manajemen dan pergerakan siku dimulai setelah
gips dilepaskan
-
Tehnik gips yang tepat adalah yang memungkinkan sendi
metakarpopalangeal bergerak dengan bebas selama periode immobilisasi
-
Untuk kontrol edema dilakukan dengan elevasi tangan, penggunaan sarung
tangan kompressi dan daily digital tendon gliding exercise.

OPERATIF
-
Secara garis besar, penanganan operatif dapat dibagi kategori :
1. Fraktur yang unreducible
2. Fraktur unstable (reduksi tak dapat dipertahankan secara tertutup)
3. Fraktur yang disertai dengan cedera jraingan lunak yang membutuhkan
penanganan (luka terbuka, cedera yang disertai cedera tendon, saraf, atau
vaskular)
-
Tindakan operatif yang paling sering dilakukan adalah percutaneus pinning,
fiksasi eksternal, dan reduksi terbuka serta fiksasi internal.

PERCUTANEUS PINNING
Indikasi dan kontra indikasi
-
Paling ideal untuk mempertahankan alignment fraktur sagital pada fraktur
ekstra artikular yang unstable dengan cortex volar tetap intak
-
Dapat juga digunakan untuk fraktur intra artikular sederhana dengan
permukaan artikular tidak mengalami pergeseran atau mempunyai dua
fragmen yang besar
-
Percutaenus pinning tidak dapat mempertahankan panjang fraktur jika ada
communition volar atau bicortical
-
Kontra indikasi untuk prosedur ini juga termasuk pergeseran intra artikular
yang jelas atau adanya communition atau ketidakmampuan melakukan
reduksi tertutup.

PROSEDUR DAN PENDEKATAN


-
Tehnik yang paling sering digunakan adalah radial styloid pinning atau
dikombinasi dengan dorsal radial pinning
-
Alternatif lain, pin dimasukkan melalui ujung distal radius dan ulna (tehnik
transulnar Rayhack)

8
-
Atau pin dimasukkan langsung melalui garis fraktur dorsal menuju ke
fragmen proksimal (tehnik intrafokal Kapandji )
-
K wire yang paling sering digunakan ukuran 0,0625
-
Wire pertama dimasukkan secara oblik melalui proc styloideus radius dan
menyilang garis fraktur hingga ke korteks ulnar radius
-
Wire kedua dimasukkan ke dorsoulnar radius dan mengarah ke proksimal
dan volar melintas garis fraktur hingga ke korteks volar
-
Pada tehnik Kapandji pin diarahkan ke garis fraktur dan bertindak sebagai
buttress terhadap pergeseran fragmen distal
-
Pada tehnik Rayhack wire ukuran 0,045 dimasukkan subkutan dari tepi
ulnar melintas ke sendi radioulnar distal ke fragmen fraktur radius distal
-
Setelah pemasangan pin dilakukan imobilisasi dengan gips
-
Pin diangkat setelah 6-8 minggu pasca operasi tergantung konsolidasi
fraktur
-
Splint tambahan dipasang selama 2-4 minggu pasca pengangkatan pin

HASIL
-
Mah dan Atkinson melaporkan 82% anatomis sangat baik, 100% hasil
fungsional baik dengan komplikasi minimal lewat penggunaan pin styloid
radial
-
Calncey mendapatkan hasil yang sangat memuaskan pada 90% kasus
dengan pinning styloid radial digabung dengan pinning dorsal radial
-
Rayhack et al menyatakan bahwa fiksasi superior dicapai dengan
melewatkan sejumlah pin kecil melintas dari ulna ke radius distal sehingga
memungkinkan splint beban ringan selama 3 minggu dan menghindari
resiko terhadap sensoris dari n radialis
-
Greatting dan Bishop menyatakan bahwa tehnik Kapandji pinning
intrafokal yang paling luas digunakan di Eropa dan Amerika Selatan, hasil
radiografik yang dapat diterima hanya 60% pada pasien dengan usia> 65
tahun; hasil anatomis yang lebih baik namun dengan hasil fungsional yang
lebih buruk diperoleh pada pasien yang berusia lebih muda.

KOMPLIKASI DAN KEGAGALAN


-
Komplikasi yang paling sering dari pinning perkutaneus adalah
redisplacement
-
Komplikasi lainnya adalah cedera saraf dan tendon, infeksi tempat
masuknya pin, migrasi pin, pin patah, dan distrofi refleks simpatetik

FIKSASI EKSTERNAL
Indikasi dan kontra indikasi
-
Indikasi terutama pada fraktur ekstra artikular yang unstable dengan
communition yang nyata, fraktur intra artikular comminuted, fraktur yang
gagal dipertahankan reduksinya dengan metode lain, fraktur terbuka, dan
fraktur pada pasien dengan cedera multipel
-
Pergeseran ke volar dan cedera communited biasanya membutuhkan
paparan volar formal serta reduksi terbuka dengan fiksasi interna.
9
-
Tetapi fiksasi eksterna kadang diperlukan sebagai tambahan untuk
memperkokoh stabilitas jika fiksasi yang kurang rigid diperoleh akibat
fragmen tulang yang kecil atau osteoporosis
-
Fiksasi eksternal memungkinkan reduksi fraktur dan mempertahankan
reduksi melalui ligamentoaksis yang konstan
-
Fiksator yang ada saat ini memungkinkan untuk dilakukan pemasangan
fiksator sebelum reduksi dilakukan, mengendalikan dan menyesuaikan
kekuatan traksi selama masa perawatan, menambah beban traksi pada
berbagai permukaan, memasang pin dalam pola konvergen dan
memposisikan pergelangan tangan dalam posisi ekstensi sewaktu
mempertahankan reduksi fraktur.
-
Selain hasil reduksi yang bagus dalam hal panjang dan inklinasi radial,
fiksasi eksternal gagal dalam mejulihkan palmar tilt dari distal radius dan
reduksi anatomis permukaan sendi radiokarpal.
-
Bartos dan Saldana: selama masa distraksi ligamen palmar yang dominan
menjadi memendek dan membatasi distraksi radiokarpal
-
Sedangkan kompleks ligamen dorsal yang paling lemah yang berbentuk Z
mencapai panjang yang maksimum
-
Juga, reduksi dorsomedial fragmen radiokarpal sering tak dapat dicapai

PROSEDUR DAN PENDEKATAN


-
Langkah paling awal adalah memaparkan metakarpal telunjuk dan radius
untuk penempatan pin
-
Insisi longitudinal untuk memaparkan radius dipusatkan pada bagian
permukaan lateral kira-kira 10 cm proksimal proc styloideus
-
Cabang-cabang saraf kutaneus antebrachii lateralis harus dicermati pada
diseksi subkutaneus
-
Fascia kemudian dipotong sejajar dengan insisi kulit. Identifikasi saraf
sensoris radialis, biasanya muncul pada interval antara brachioradialis
dengan ekstensor karpi radialis longus
-
Selanjutnya paparkan radial shaft secara subperosteal
-
Dorosoradial shaft dari metakarpal telunjuk dipaparkan melalui 1-2 insisi
longitudinal.
-
Cabang-cabang subkutaneus n radialis akan tampak dan disisihkan
-
M interosseus dorsalis I diinsisi pada aponeurosis fascia nya sepanjang
aspek radial dari ekstensor. Otot ini selanjutnya diangkat secara
subperosteal dari permukaan metakarpal dan terpisah dari bagian metafiseal
yang berada di shaft distal
-
Setelah pemasangan pin dan luka ditutup maka dipasang peralatan fiksator
eksternal
-
Reduksi yang stabil < 1-2 mm dari inkongruitas intra artikular tidak
memerlukan lagi intervensi
-
Jika stabilitas reduksi artikular meragukan (karena communition pada
metafise) maka dapat dimasukkan K wire 0,0625 1-2 buah lewat proc
styloideus radial dan/atau lewat dorsomedial fragmen fossa lunatum ke
radial shaft untuk menstabilkan reduksi artikular.

10
-
Jika kongruitas artikular > 1-2 mm, maka ini merupakan indikasi untuk
reduksi, dapat dilakukan perkutaneus pinning dengan menggunakan K wire
sebagai joy stick untuk mendapatkan efek reduksi
-
Alternatif lain dilakukan reduksi terbuka yang terbatas lewat insisi kecil di
bagian dorsal.

HASIL
-
Beberapa kajian melaporkan keberhasilan fungsional dan anatomis hingga
80-90% dengan fiksator eksternal
-
Penggunaan dynamic external fixation untuk cedera tipe ini haruslah
dihindari. Alat ini secara teoritis memberikan perlindungan terhadap
pergerakan radiokarpal selama penanganan, namun alat ini lebih lanjut
ternyata terbukti menyebabkan insidens yang tinggi hilangnya reduksi,
komplikasi teknis yang lebih banyak, dan hasil fungsional yang lebih buruk
dibanding dengan static external fixation.

KOMPLIKASI DAN KEGAGALAN


-
Komplikasi yang paling sering berkenaan dengan:
1. Memperoleh dan mempertahankan reduksi (kegagalan mengembalikan
palmar tilt atau radiocarpal alignment, overdistractie, late fracture
displacement, dan nonun ion)
2. Penggunaan pin (Infeksi tempat masuknya pin, pin patah, pin hilang,
fraktur pada tempat pin masuk, dan cedera iatrogenik tendon dan saraf)
3. Terhadap fraktur radius distal dipengaruhi oleh fiksasi eksternal (median
neuropathy, reflex symphatetic dystrophy, penurunan pergerakan, dan
kekuatan menggenggam)
-
Kegagalan traksi longitudinal untuk memulihkan palmar slope dan
radiocarpal alignment pada beberapa fraktur distal radius haruslah dikenali
sebelum direduksi dengan pemasangan fiksator
-
Agee memperkenalkan konsep triplanar ligamento axis dengan translasi
palmar dari carpus yang dipakai untuk memulihkan palmar slope dalam
mengatasi masalah di atas
-
Alternatif lain, tehnik reduksi terbuka terbatas untuk mengoreksi kedua
palmar slope dan kongruitas radiokarpal.
-
Distraksi yang lama dan kuat sering menyebabkan kekakuan pasca reduksi
dan penurunan kekuatan yang tidak sebanding dengan hasil anatomis
(terutama pada fraktur radius distal yang disertai dengan radiokarpal
lengthening atau posisi pergelangan tangan fleksi selama pemasangan
fiksator)
-
Batas distraksi radiokarpal hingga 5 mm atau kurang dan mempertahankan
pergelangan tangan dalam posisi netral atau ekstensi selama pemasangan
fiksator eksternal.
-
Leung et al, menganjurkan cancelous bone grafting pada regio metafiseal
untuk memperbaiki reduksi dan menurunkan lamanya waktu penggunaan
fiksator eksternal hingga 3 minggu tanpa komplikasi
-
Komplikasi pin dapat diminimalkan dengan identifikasi saraf dan tendon,
predrilling, ukuran pin yang tepat dan release skin tension.
11
REHABILITASI
-
Fiksator biasanya dicabut setelah 6-8 minggu tergantung konsolidasi
fraktur
-
Bone grafting memungkinkan pencabutan fiksator lebih awal
-
Splint tambahan dapat digunakan selama 2-4 minggu sebagai tambahan
-
Infeksi pada tempat pin dan jika disertai dengan erosi dan hilangnya tulang
harus diterapi dengan pengangkatan pin dan kuretase tulang disertai
pemberian antibiotik

REDUKSI TERBUKA DAN FIKSASI INTERNA

Indikasi dan indikasi kontra


-
Ada 2 indikasi utama untuk open reduction and internal fixation (ORIF):
1. Cedera tepi artikular (articular marginal injuries) seperti dorsal dan volar
lip fractures (Bartons fractures). Fraktur shearing ini sering disertai
dengan dislokasi karpal, cedera ligament interkarpal, dan fraktur karpal.
Walaupun bisa dilakukan reduksi tertutup, tapi fraktur jenis ini biasanya
susah untuk direduksi secara anatomis, dan karena tegangan otot-otot
yang melintas fragmen fraktur yang oblique maka sering terjadi
redisplacement
Avulsi styloid radius dapat ditangani dengan perkutaneus pinning dan
pemasangan gips.
Bila disertai dengan dislokasi perilunatum (dan dislokasi ligamen
scapholunate atau fraktur schapoid) atau bila terjadi displacement yang
parah atau interposisi jaringan lunak sehingga reduksi tertutup tidak dapat
dilakukan maka ini merupakan indikasi untuk ORIF
2. Komplikasi mayor kedua adalah fraktur intra artikular kompleks,
comminuted. Ini termasuk bagian fraktur distal radius yang sering
diakibatkan trauma energi tinggi, dan sering disertai dengan cedera
skeletal atau jaringan lunak dan biasanya timbul rotasi dan impaksi
fragmen artikular.
Termasuk dalam keadaan ini adalah fraktur Melone tipe 4, fraktur AO
tipe C3, dan cedera kombinasi Fernandez.
Mengingat kompleksitas cedera ini, maka ORIF sering dikombinasi
dengan fiksasi eksternal dan bone grafting untuk memperoleh reduksi
anatomis intra dan ekstra artikular yang sangat vital untuk pemulihan
fungsi.
Indikasi tambahan untuk ORIF primer atau sebagai suplemen adalah:
1. Fraktur distal radius yang disertai fraktur shaft ulnar distal
2. Fraktur dengan pergeseran volar kortikal communi- tion
3. Fraktur dengan ekstensi metafise-diafise

Prosedur dan Pendekatan


12
-
Paparan bedah dapat diperoleh dengan pendekatan dorsal atau palmar atau
kombinasi keduanya
-
Pemaparan tergantung pada anatomi fraktur dan kepentingan eksplorasi dan
release struktur neurovascular
-
Pemaparan dorsal diperoleh melalui atau dengan kedua sisi kompartmen
ekstensor ketiga; diseksi subperiosteal secara radial dan ulnar untuk
menampakkan dorsal tepi fraktur. Tendon ekstensor pollicis longus sering
ditransposisikan pada waktu menutup insisi.
-
Pemaparan palmar dapat melalui dasar flexor carpi radialis sheath atau
melalui insisi yang diperluas dari carpal tunnel dengan diseksi diantara n.
median dan tendon fleksor. Tehnik yang pertama lebih mudah sedang yang
kedua baik karena membebaskan neurovaskular median dan ulnar dan
memungkinkan pemaparan yang lebih luas dari tepi artikular volar
-
Palmar lip fracture sering dapat direduksi dengan mensejajarkan
permukaan metafiseal tanpa membahayakan ligamen karpal palmaris
-
Namun pada fraktur intra artikular yang communited kadang dibutuhkan
insisi kapsul ligamen dan sedikit elevasi
-
Pilihan internal fiksator meliputi buttress plate, lag screw fixation dan atau
K wire, Alternatif lain dapat digunakan 2,7 mm mini fragment plate atau 3,5
mm mini fragment set.
-
Mengingat iritasi tendon ekstensor dan resiko ruptur banyak penulis
menganjurkan pengangkatan dorsal plate.

HASIL
-
Pemasangan ORIF untuk fraktur artikular margin hasilnya sangat
memuaskan
-
Komplikasinya sedikit dan pemulihannya tinggi
-
Pattee dan Thompson menyatakan bahwa bila fraktur disertai dengan
cedera ligament carpal atau fraktur karpal hasilnya tidak sebagus yang
diharapkan.
-
Jupiter dan Lipton menyatakan, walaupun fraktur yang berat pada distal
radius tapi hasil anatomis yang baik dapat diharapkan hingga 85% pada
waktu operasi, dengan menggabungkan paparan dorsal dan palmar (jika
perlu) dan dengan bantuan fiksasi eksternal untuk menetralkan beban
kompresi dan penggunaan bone grafting
-
Pasien dengan residual articular stepoff, radial shortening, dan dan
fragmen fraktur yang banyak, mempunyai hasil yang buruk

KOMPLIKASI DAN KEGAGALAN


-
Cedera iatrogenik tendon, vaskular dan saraf
-
Pada cedera yang highly communited, dapat terjadi compartement
syndrome, median dan ulnar neurovascular compromise serta infeksi

ARTHROSCOPY
-
Dianjurkan oleh Cooney dan Berger, tehnik ini minimal invasive
menghindari paparan berlebihan dan insisi kapsul palmar

13
-
Cara ini memungkinkan mengidentifikasi dan menangani lesi ligamen
interkarpal, dan lesi fibrokartilago triangular
-
Keterbatasannya adalah terbatas sebagai penuntun untuk reduksi yang
akurat dan ada resiko untuk menggeser struktur neurovaskular

2. FRAKTUR PROKSIMAL HUMERUS

PENDAHULUAN
-
Meliputi 5-7% dari semua fraktur dan merupakan 50% dari seluruh fraktur
humerus
-
Terdapat hubungan yang mirip antara insidens, pola fraktur proksimal
humerus serta fraktur proksimal femur
-
Pada orang tua dibanding dengan fraktur distal humerus, fraktur proksimal
humerus hanya memerlukan sedikit trauma dan lebih sering pada wanita
dibanding pria
-
Fraktur proksimal humerus tidak susah untuk didiagnosa namun seringkali
sulit untuk ditangani karena distorsi anatomi tulang mencerminkan
gangguan anatomi rotator cuff, disrupsi fungsi, dan lengthy immobilization
sehingga akan timbul keterbatasan fleksibilitas bahu dan kekuatannya.
-
Pada fraktur tipe ini dapat terjadi gangguan asupan darah menuju caput
humerus sehingga mengancam viabilitas caput dan dapat timbul late
sequelae karena osteonekrosis pasca tarumatik
-
Kebanyakan fraktur proksimal humerus dapat direduksi non operatif namun
penanganan jaringan lunak pada bahu sama pentingnya dengan penanganan
jaringan skeletalnya jika tidak akan timbul keterbatasan fungsi dan
kenyamanan

Anatomi dan pathogenesis


-
Permukaan artikular caput 4x lebih besar dari permukaan glenoid, sehingga
sepanjang waktu dan dalam segala posisi hanya sebagian caput humerus
yang berkontak dengan permukaan glenoid
-
Bony landmarks yang penting untuk memahami fraktur proksimal humerus
adalah tuberositas, collum anatomicum, collum chirurgicum, sulcus
bicipitalis, dan shaft humerus
-
Tuberositas mayor merupakan processus pada tulang tempat insersi otot-
otot supraspinatus, infraspinatus, teres minor dari rotator cuff; dan
tendon-tendon ini berpe ran dalam displacement tuberositas mayor pada
fraktur proksimal humerus
-
Tuberositas minor merupakan proc yang lebih kecil tempat melekat m
subscapularis

14
-
Diantara keduanya terdapat sulcus bicipitalis yang berada di anterior cortex
humeri tempat lewatnya tendon longum m. biceps brachii
-
Collum anatomicum merupakan daerah perbatasan antara cartilago
artikularis dengan ujung proksimal tuberositas major.
-
Collum chirurgicum merupakan daerah perbatasan antara ujung distal
tuberositas major dan minor dengan shaft humeri
-
Pergerakan bahu yang normal merupakan interaksi antara 2 kelompok
utama otot yang bertanggung jawab terhadap kekuatan bahu yakni: otot
deltoid dan rotator cuff.
-
Keempat otot rotator berfungsi untuk merotasi, menstabilkan, dan menjaga
caput humerus tetap di central sehingga otot deltoid dapat melakukan
elevasi tangan
-
Otot rotator yang cedera atau berfungsi buruk akan meniadakan fungsi
deltoid sehingga akan mempengaruhi fungsi bahu
-
Jika terjadi fraktur maka perlekatan cuff akan menentukan displacement
segmen fraktur
-
Misal: tuberositas major, bila terjadi displacement maka jika tertartik ke
superior adalah akibat kerja supraspinatus, jika ke inferior akibat kerja
kombinasi otot infraspinatus dan teres minor sehingga untuk reduksi dan
fiksasi yang baik maka kekuatan otot ini harus dinetralkan
-
Tuberositas minor jika mengalami displacement akan tertarik ke medial
oleh m. subscapularis.
-
Karena caput longum biceps berjalan di sulcus bicipitalis maka sering
terjepit (terjebak) diantara fragmen fraktur pada fraktur tuberositas atau
fraktur collum chirurgicum sehingga menganggu reduksi
-
Perlekatan otot-otot pada shaft humerus cenderung akan membuat shaft
relatif bergeser ke medial dari caput dan segmen tuberositas
-
Rotator cuff sebenarnya dilapisi oleh suatu jaringan tipis yang disebut bursa
subacromial, yang memudahkan cuff menggelincir pada arcus
coracoacromialis
-
Gangguan pada bursa ini misal karena perdarahan atau jaringan parut
merupakan salah satu faktor yang menimbulkan nyeri dan membatasi
pergerakan bahu.
-
Arcus coracoacromialis terdiri atas bagian anterior dari acromion dan
ligamen coracoacromialis
-
Rotator cuff dan bursa akan menggelincir dibawah acromion sewaktu
tangan di elevasi melewati kepala
-
Coracoacromial space normal berjarak 0,5-1 cm
-
Malunion atau nunuonion dari fraktur segmen proximal humerus akan
mengganggu ruang yang ada dibawah arcus coracoacromialis sehingga
membatasi pergerakan yang mulus dan fungsi bahu.
-
Pada dasarnya, tujuan manajemen agresif pada fraktur proksimal humerus
adalah memperbaiki dan mempertahankan normal anatomik space dan
permukaan untuk menggelincir (gliding surfaces).

Asupan darah

15
-
Asupan darah ke caput humerus didapat melalui cabang-cabang arteri
circumflexa anterior dan posterior serta perlekatan tulang dengan tendon
rotator cuff
-
Gangguan asupan darah baik karena segmen fraktur maupun karena
tindakan bedah sewaktu melakukan ORIF sehingga akan timbul nekrosis
kaput dan akhrinya menyebabkan hilangnya kongruitas sendi.

KLASIFIKASI
-
Pada saat ini yang paling banyak dan luas digunakan adalah klasifikasi
Neer. Sistem ini didasarkan berdasar hasil pengamatan Coldman (1934)
yang menemukan bahwa jika proksimal humerus mengalami fraktur maka
fraktur cenderung hingga sepanjang garis epifiseal sehingga akan timbul 4
segmen :
(1) caput anatomicum;
(2) tuberositas mayor;
(3) tuberositas minor; dan
(4) shaft humerus.
-
Neer menyatakan bahwa segmen yang mengalami pergeseran karena
tarikan cuff yang melekat atau otot-otot yang melekat pada shaft sehingga
akan timbul pola pergeseran yang dapat diramalkan
-
Neer membagi menjadi 4 segmen berdasar pada lokasi dan posisi tiap-tiap
segmen yang bergeser dan jumlah segmen yang bergeser. Bukan pada
jumlah garis fraktur
-
Suatu segmen dinyatakan bergeser jika bergerak sekurang-kurangnya sejauh
1 cm atau mengalami angulasi sekurang-kurangnya 450
-
Klasifikasi Neer
(segmen anatomik – collum anatomicum, collum chirurgicum, tuberositas
mayor, tuberositas minor, fraktur dislokasi, dan head-splitting) :
1 bagian
Non displaced, any number of fractur lines
2 bagian
Pergeseran 1 cm atau derajat angulasi 450 pada 2 segmen anatomis
3 bagian
3 segmen anatomik, masing-masing terpisah 1 cm atau angulasi 450
4 bagian
4 segmen anatomik terpisah 1 cm atau angulasi 450
-
Yang penting dari klasifikasi Neer adalah jika diperoleh hasil X ray yang
tepat dan di interpretasi dengan benar semua fraktur proksimal humerus
dapat diklasifikasikan menjadi jumlah bagian yang bergeser.
-
Fraktur 2 bagian (tuberositas mayor atau minor, caput humerus atau
humeral shaft) akan bergeser terhadap 3 bagian lainnya.
-
Fraktur 3 bagian mempunyai 3 segmen yang bergeser tidak hanya terhadap
satu sama lainnya tapi juga terhadap bagian yang masih intak.
-
Fraktur 4 bagian mempunyai 4 segmen yang bergeser satu sama lainnya

16
PEMERIKSAAN FISIS DAN DIAGNOSIS
-
Mekanisme yang umum terjadi pada fraktur proksimal humerus adalah
jatuh dengan tangan outstretched atau benturan langsung pada bahu
terutama pada tulang yang osteopenic
-
Jika tangan dengan rotasi berlebihan seperti pada posisi hiperabduksi maka
akan timbul dislokasi sehingga memperparah fraktur dan lebih banyak
segmen terjadi dan lebih luas cedera jaringan lunak.
-
Gambaran umum seperti fraktur lainnya, bengkak, nyeri tekan, nyeri dan
keterbatasan ROM aktif dan pasif
-
Edema jaringan lunak, utamanya pada orang yang berotot dapat terlihat di
caput humerus dan dapat menimbulkan dislokasi caput.
-
Ekimosis dapat meluas turun ke seluruh lengan atas dan dinding dada
bahkan sampai ke pinggang.
-
Cedera neurovaskular dapat terjadi tapi jarang namun tetap harus diperiksa
dan diwaspadai.
-
Pemeriksaan neurologis harus meliputi saraf perifer pada lengan atas tapi
difokuskan untuk memeriksa fungsi saraf axillar dan musculocutaneus
karena kedua saraf ini yang paling sering mengalami cedera terutama jika
terjadi dislokasi bahu.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
-
Karena diagnosis dan klasifikasi sangat bergantung pada hasil pemeriksaan
rontgen yang berkualitas maka diperlukan beberapa seri foto dengan atau
tanpa memakai sling, posisi tegak dan supine
-
Pemeriksaan foto yang sering dilakukan adalah true AP-view dari sendi
glenohumeral, true lateral view dari scapula, dan axillary view
-
Axillary view paling baik untuk menilai hubungan yang sebenarnya antara
caput humeri dengan glenoid dan seringkali dapat menampakkan dislokasi
yang mungkin tidak nampak pada posisi lainnya.
-
Posisi yang tepat dari tuberositas mayor sangat sulit dinilai dengan foto X
ray, paling baik dengan CT scan.
-
CT scan tidak hanya menampakkan tuberitas mayor tapi juga tuberositas
minor, caput humeri dan memungkinkan visualisasi glenoid.
-
CT scan tidak begitu bermanfaat untuk mengetahui fraktur pada collum.
-
Elektromiogram dapat dilakukan jika ada kecurigaan kerusakan saraf

PENANGANAN
Non operatif
-
Pasien dengan fraktur prokjsimal humeri yang nondisplaced dapat ditangani
secara non operatif dengan hasil yang baik. Hal ini tidak tergantung pada
jumlah garis fraktur dan derajat communitionnya.
17
-
Kekecualian untuk hal ini adalah fraktur tuberositas mayor dengan
displacement ke superior kurang dari 1 cm.
-
Untuk kenyamanan tangan diletakkan dalam sling.
-
Jika rasa nyeri sudah hilang maka dimulai latihan pergerakan dengan
memfokuskan pada fleksi ke depan, rotasi eksternal dan internal.
-
Sebagai tambahan, latihan isometrik untuk otot cuff dan deltoid dapat
dimulai.
-
Latihan resistive strengthening dimulai pada saat gambaran radiologik
menunjukkan union biasanya 6-8 minggu pasca cedera.
-
Fraktur harus stabil, dan pergerakan seluruh ekstremitas harus merupakan
satu unit sebelum latihan dimulai.
-
Cara paling baik untuk menilai apakah humerus bergerak sebagai satu unit
adalah dengan palpasi tuberositas mayor dengan satu tangan dan tangan
lainnya melakukan gerakan eksorotasi humerus bagian distal. Jika
tuberositas bergerak dibawah jari saat humerus dirotasi maka humerus
dianggap sebagai satu unit.
-
Penanganan non operatif dapat dilakukan jika penderita bersedia menerima
keadaan fungsi dan pergerakan bahu nya yang terbatas.
-
Pertimbangkan melakukan tindakan non operatif pada penderita berusia
lanjut, fraktur terjadi pada tangan yang tidak dominan, tulang yang fraktur
cukup osteopenic, atau penderita punya masalah jika dilakukan tindakan
operatif fiksasi.

Operatif
-
Penanganan operatif tidak hanya tergantung anatomi fraktur tapi juga
kepentingan dan tujuan pasien serta keterampilan ahli bedah.

FRAKTUR COLLUM CHIRURGICUM


-
Humeral shaft seringkali bergeser ke medial akibat tarikan m. pectoralis
mayor dan kelompok otot besar lainnya yang mempunyai insersi pada
humeral shaft.
-
Segmen caput dan tuberitas mayor dapat dalam posisi netral atau sedikit
abduksi.
-
Beberapa fraktur surgical neck dengan displacement dapat dimanipulasi
secara tertutup, sedangkan yang lainnya membutuhkan pinning percutaneus
atau reduksi terbuka dan fiksasi interna.
-
Tujuan reposisi tertutup adalah menempatkan shaft dibawah segmen caput-
tuberositas, mengimpaksinya dalam posisi tersebut.
-
Dengan demikian traksi dan abduksi yang gentle untuk merelaksasi
pectoralis mayor biasanya berhasil menempatkan shaft dibawah caput.
-
Sekali otot dalam keadaan relaksasi dan shaft berhasil direduksi ke bawah
segmen caput-tuberositas maka shaft dapat diimpaksi ke area cancellous
dari fraktur dan biasanya stabil dalam posisi demikian.
-
Jika fraktur irreducible atau reducible namun unstable biasanya ada
interposisi jaringan lunak (dari biceps atau dari capsul) sehingga diperlukan
ORIF.
18
Tehnik percutaneus pin fixation
-
Dengan bantuan image intensifier 2 AO threaded tip pins diletakkan pada
humeral shaft dekat atau pada otot deltoid untuk mengontrol segmen shaft.
Satu pin lagi dimasukkan dari superior ke inferior pada tuberositas mayor
dan pin kedua dimasukkan secara horizontal dan bertindak sebagai joystick
untuk memanipulasi caput dan shaft humerus
-
Pada saat shaft berhasil direduksi ke bawah caput, pin pada tuberisatas
majus dapat dimasukkan lebih jauh dari superior ke inferior untuk
mengamankan posisi tersebut
-
Saat cortex sudah dicapai pin lateral humerus dapat dibengkokkan dan
diarahkan ke caput. Harus hati-hati agar jangan sampai menembus
permukaan artikular caput, dengan ini perlu image intensifier agar
visualisasi yang baik
-
Dengan tehnik ini, pin dapat dicabut setelah 3 minggu yang
biasanya fraktur sudah cukup stabil dan segmen tidak lagi bergeser.
-
ORIF hanya digunakan untuk kasus fraktur irreducible, tulang yang sangat
osteopenic, atau tangan yang sangat berotot atau berat. Macam-macam
ORIF antara lain minimal pin internal fixation, intramedullary rod fixation,
plate fixation, tension bending, dan kombinasi diatas.

Fraktur tuberositas majus 2 segmen


-
Sering disertai dengan dislokasi anterior bahu
-
Bila mengalami pergeseran, segmen tuberositas majus akan tertarik ke
superior dan posterior. Jika fraktur menyembuh dengan posisi demikian
maka rotasi eksternal dan abduksi akan terhambat sehingga pergerakan
menjadi sangat terhambat.
-
Untuk mencegah ini, sangat penting untuk memulihkan secara anatomik
segmen tuberositas majus.
-
Walaupun defenisi pergeseran menurut Neer adalah 1 cm namun pergeseran
ke superior dari tuberositas ini kurang dari 1 cm saja sudah dapat
mengakibatkan penurunan fungsi yang sangat nyata.
-
Reduksi tertutup untuk fraktur 2 segmen tuberositas majus sangatlah susah
jika tuberositas ini bergeser ke superior dan posterior. Banyak yang
menganjurkan perkutaneus pinning namun hasilnya tidak menjanjikan
reduksi anatomis baik.
-
Jika fraktur ini disertai dislokasi anterior bahu, tuberositas majus dapat
dipertahankan ke posisi anatomis. Jika kaput direposisi kembali, tuberositas
ada kemungkinan berada dalam posisi yang acceptable dan rehabilitasi dini
dapat dimulai. Namun reduksi dengan fiksasi interna harus dilakukan
karena late displacement dari tuberositas dapat terjadi.
-
Displacement dari tuberositas majus akan menyebabkan robekan pada
rotator cuff biasanya pada interval antara supraspinatus dan subscapularis.
-
Jika tuberositas berada dalam posisi anatomis pada waktu direduksi maka
robekan rotator akan sembuh, jika tidak dalam posisi anatomis, maka
robekan rotator akan menetap.
19
-
ORIF dilakukan jika segmen tuberositas majus bergeser ke superior dan
posterior cukup jauh sehingga perlu dicegah timbulnya sequela malunion
atau non union dari tuberositas.
-
Pendekatannya adalah melalui insisi superior, otot deltoid di split namun tak
boleh meluas lebih dari 5 cm ke origo deltoid agar tak merusak cabang-
cabang terminal n. axillaris.
-
Biceps merupakan penuntun yang paling baik. Tuberositas majus dengan
rotator yang melekat padanya terletak di posterior caput longum biceps.
-
Internal fixation yang paling sering digunakan adalah screw dan figure
eight tension dengan memakai benang besar nonabsorbable.

Fraktur tuberositas minus 2 segmen


-
Lebih jarang terjadi dibanding fraktur tuberitas majus 2 segmen.
-
Bila mengalami pergeseran, tuberositas minus biasanya bergeser ke medial
oleh tarikan otot subscapularis
-
Pergeseran minimal dari tuberositas ini dapat diabaikan karena sekuele
lanjut jarang terjadi.
-
Frtaktur tuberositas minus biasanya disertai dengan dislokasi posterior
bahu.
-
Posisi tuberositas minus dapat dipakai patokan untuk reduksi dislokasi
posterior bahu.
-
Tindakan ORIF sama dengan pada fraktur tuberositas majus 2 segmen.

Fraktur 3 segmen
-
Merupakan fraktur yang paling sulit ditangani
-
Fraktur ini mencakup fraktur pada surgical neck, dan tarikan pectoralis
majus akan menyebabkan pergeseran shaft ke medial.
-
Tuberositas majus dan minus keduanya akan bergeser, dan sisa tuberositas
yang masih intak akan memutar permukaan artikular ke posterior jika
tuberositas minus intak atau ke anterior jika tuberositas majus intak.
-
Jika deformitas rotasi dikombinasi dengan displacement maka reduksi dan
evaluasi sulit untuk dilakukan.
-
Fraktur ini cenderung terjadi pada tulang yang osteopenic dan sering terjadi
pada usia lanjut.
-
Jadi harus diputuskan, pada penderita berusia lanjut, apakah melakukan
reduksi anatomis atau mengganti caput dengan protesa.
-
Reduksi tertutup pada fraktur 3 segmen sulit dilakukan karena tuberositas
yang intak akan merotasi caput melalui fraktur surgical neck.
-
Fraktur surgical neck membuat posisi tangan tepat dibawah caput yang
terotasi.
-
Tehnik reduksi yang paling banyak dilakukan adalah dengan ORIF, pada
pasien yang osteopenik dapat dipertimbangkan mengorbankan kaput dan
melakukan prosthetic hemiarthroplasty.
-
Ada yang menganjurkan penggunaan pin namun tindakan ini sulit,
membutuhkan keterampilan dan pengalaman.
-
Tehnik ORIF yang dapat digunakan antara lain plate dan screw,
intramedullary rods, staples dan wire.
20
-
Tehnik yang paling populer yang dilakukan oleh Hawkins dengan tension
band, baik dengan menggunakan wire atau benang nonabsorbable ukuran
besar.

Fraktur 4 segmen dan head split


-
Pada fraktur tipe ini, kedua tuberositas mengalami fraktur dan saling
bergeser satu sama lain, shaft mengalami pergeseran dan permukaan
artikular mengalami pergeseran terhadap kedua tuberositas
-
Satu-satunya jaringan ikat yang melekat pada caput adalah biasanya
merupakan sisasisa kapsul.
-
Karena humeral head terpisah dari asupan darahnya maka biasanya
diragukan viabilitas caput dan biasanya timbul necrosis avascular
-
Namun demikian, pada pasien muda usia, biasanya caput dipertahankan,
tetapi cara yang paling baik adalah dengan prostetik artroplasti.
-
Tehnik pendekatannya adalah melalui insisi panjang delto-pectoral,
kemudian fascia clavipectoral diinsisi hingga ke ligamen coracoacromial,
conjoined tendon kemudian disisihkan ke medial. Biseps diidentifikasi dan
ditelusuri hingga ke area interval rotator.
-
Interval rotato kemudian dibebaskan, stay suture dijahit ke tendon
supraspinatus dan subscapularis untuk mengontrol kedua tuberositas.
-
Selanjutnya hematom, debris tulang dan jaringan fibrous dibersihkan dan
sendi diperiksa termasuk permukaan artikular glenoid.
-
Terakhir shaft humerus dipersiapkan untuk pemasangan implant.

3. CEDERA SENDI ACROMIOCLAVICULAR

PENDAHULUAN
-
Sendi acromioclavicular (AC) merupakan komponen paling perifer dari
rangkaian sendi ekstremitas atas, yang juga termasuk dalam rangkaian ini
adalah klavikula dan sendi sternoclavicular.
-
Bersamasama komponen ini akan memberikan hubungan mekanis langsung
dengan skeleton aksial.
-
Semua gaya mekanis yang menimpa atau melalui ekstremitas atas secara
otomatis akan diteruskan melalui rangkaian ini.
-
Kompleks sendi AC meliputi:
1. Acromion,
2. Coracoid,
3. Clavicula distal (lateral),
4. ligamenta acromioclavicular (kapsul sendi AC),
5. ligamenta coracoclavicular (conoid dan trapezoid)

21
6. Otot-otot trapezius dan deltoid.
-
Gaya yang menimpa tiba-tiba atau dalam kekuatan besar akan melewati
parameter kekuatan mekanis sehingga akan menimbulkan :
1. Kerusakan sendi AC,
2. Fraktur clavicula,
3. Kerusakan sendi sternoclavicular,
4. Kerusakan jaringan lunak setempat (termasuk plexus brachialis dan
pembuluh darah setempat)

Pemeriksaan Fisis dan Diagnosis


-
Cedera sendi AC yang umum terjadi adalah terpisahnya sendi AC atau
terpisahnya sendi bahu.
-
2 penyebab tersering cedera pada sendi AC adalah atletik dan KLL, faktor
presipitasinya adalah trauma langsung pada tepi lateral acromion.
-
Sistem klasifikasi Rockwood dan Young yang paling banyak dipakai.
-
Klasifikasi Rockwood and Young:

Grade 1
-
Sprain ringan pada ligamen acromioclavicular dan ligamen
coracoclavicular, tanpa gangguan sendi yang nyata.
-
Gambaran klinis nyeri tekan pada sendi AC dan iritasi ringan sendi pada
waktu adduksi tangan melintasi dada.
-
Setelah beberapa jam timbul edema subkutan kulit diatas sendi.
-
Gambaran radiologis normal.

Grade 2
-
Pergeseran sebagian clavicula distal ke arah atas relatif terhadap
acromion (kurang dari lebar clavicula).
-
Tampak pada foto radiograf stress.
-
Cedera tipe ini merupakan sprain derajat 2 ligamen acromioclavicular dan
ligamen coracoclavicular.
-
Pemeriksaan klinis nyeri sekitar sendi AC dan teraba stepp off antara
distal clavicula dengan acromion.
-
Abduksi dan adduksi terasa nyeri.
-
Edema subkutan akan tampak disekitar kulit sendi beberapa jam
kemudian.

Grade 3
-
Dislokasi komplit distal clavicula ke arah atas relatif terhadap acromion
(lebih besar dari lebar clavicula)
-
Ruptur komplit ligamen acromioclavicular dan ligamen coracoclavicular.
-
Jelas tampak pada pemeriksaan klinis dan radiograf. Nyeri tekan segera
timbul dan edema hanya butuh beberapa menit untuk timbul di jaringan
sekitar sendi dan interval antara coracoid dan clavicula.

22
-
Cedera tipe ini sering disertai dengan nyeri hebat dan pergerakan sendi
AC dan bahu terbatas.

Grade 4
-
Dislokasi posterior clavicula relatif terhadap acromion.
-
Clavicula distal terletak atau menembus m. trapezius
-
Ligamen acromioclavicular mengalami ruptur.
-
Ligamen coracoclavicular dapat mengalami ruptur komplit, partial, atau
hanya “stretched”.
-
Klinis nyeri hebat dan keterbatasan pergerakan sendi bahu dan AC.
-
Proc. coracoideus akan tampak menonjol abnormal secara relatif akibat
dislokasi posterior clavicula.
-
Nyeri tekan dan edema segera timbul.

Grade 5
-
Dislokasi hebat distal clavicula ke arah atas relatif terhadap acromion
-
Kerusakan komplit ligamen acromioclavicular dan cora coclavicular.
-
Kerusakan perlekatan m. deltoid dan trapezius pada clavicula.
-
Pada beberapa kasus, clavicula dapat menembus otot bahkan kulit.
-
Nyeri dan edema segera timbul pada jaringan sekitar sendi dan interval
antara coracoid dan clavicula.

Grade 6
-
Dislokasi inferior clavicula di bawah coracoid
-
Timbul akibat gaya yang sangat hebat misal pada KLL.
-
Keadaan ini menunjukkan ruptur komplit ligamen acromioclavicular dan
coracoclavicular.
-
Perlu diperiksa neurovascular.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
-
Foto rontgen AP dari kedua sendi AC dengan keadaan normal dan dengan
beban sangat berguna untuk membeda kan grade 1, 2, dan 3.
-
Status AC dapat dilihat dengan jelas pada foto Zanca view, yakni foto
proyeksi AP dengan cephalic tilt.
-
Untuk memperoleh stress view beban 4,5 kg digantung secara pasif pada
kedua pergelangan tangan penderita bukan dipegang dengan tangan
sehingga otot-otot bahu benar-benar relaksasi dan dapat menampakkan
integritas ligamen yang sebenarnya.
-
Pada kasus yang dicurigai grade 4, axillary view perlu dilakukan.
-
Cedera grade 5 dan 6 biasanya secara klinis sudah tampak jelas juga dengan
foto polos AP sehingga tidak perlu dan tidak dianjurkan foto stress.

PENANGANAN
-
Cedera grade 1 dan 2 cukup ditangani secara simtomatik dengan es,
istirahat, dan obat anti inflamasi

23
-
Untuk grade 1 dapat digunakan arm sling, jika lengan harus segera
digunakan dapat dipakai batalan.
-
Untuk grade 2 arm sling mutlak digunakan untuk mencegah tarikan beban
lengan.
-
Cedera grade 3 masih merupakan kontroversi, ada yang masih
menganjurkan konservatif untuk kasus tertentu, dan ada yang menganjurkan
operasi segera
-
Pengobatan konservatif berupa istirahat, es, anti inflamasi dan sling selama
3 minggu. Ini dilanjutkan dengan fisiotherapi untuk mengurangi nyeri dan
memulihkan fungsi bahu.
-
Jika penderita tidak puas, dapat dilakukan pembedahan rekonstruktif.
-
Cedera grade 4, 5, dan 6 biasanya membutuhkan reduksi bedah dan
stabilisasi dengan memperbaiki semua cedera jaringan lunak dalam situasi
akut.

Pembedahan untuk cedera sendi AC


-
Ada berbagai prosedur yang dapat digunakan untuk penanganan cedera
sendi AC. Penggunaan fiksasi internal metalik (misal transfixation pin, atau
screw dari clavicula ke coracoid) akan menggunakan komplikasi
sehubungan dengan penggunaan hardware tersebut.
-
Prosedur dengan menggunakan graft sintetik terbukti mempunyai insidens
bermakna dengan terjadinya erosi tulang simtomatik.
-
Prosedur lain adalah dengan menggunakan graft autogenous untuk
rekonstruksi ligamen coracoclavicular baik pada keadaan cedera sendi AC
akut maupun kronik. Ini merupakan variasi dari metode Weaver dan Dunn.
-
Graft auotgenous ini dapat diambil dari lokal ligamen coracoacromial atau
dari conjoined tendon atau yang jauh dari tendon hamstring.
-
Sering ditambahkan benang dari bahan yang terserap untuk memperkuat
graft autogenous selama periode dini pasca operatif.

4. FRAKTUR CLAVICULA

PENDAHULUAN
-
Clavicula termasuk tulang yang paling sering mengalami fraktur, sekitar 5-
10% dari cedera skeletal pada orang dewasa.
-
Sebagian fraktur clavicula sembuh tanpa tindakan dan kebanyakan
nonunion tidak bergejala sehingga tidak butuh tindakan bedah.
-
Kadang terjadi shortening atau angulasi sehingga timbul nyeri atau
penurunan fungsi sendi bahu, dalam keadaan demikian dibutuhkan tindakan
bedah.

24
Biomekanik dan relevansi anatomi
-
Clavicula berbentuk huruf S dengan 2 lengkung besar.
-
Kurva convex ke anterior di sebelah medial dan curva convex ke posterior
di sebelah lateral.
-
Kedua ujung clavicula dipertahankan oleh sendi acromio clavicular dan
sternoclavicular.
-
Sejumlah otot berinsersi sepanjang sepertiga medial dan lateral dan relatif
sedikit jaringan lunak yang menutupi sepertiga medial.
-
Pada potongan melintang, ujung clavicula memipih dan melebar dengan
struktur tulang cancellous pada bagian ujung persendian.
-
Bagian sepertiga medial yang hanya ditutupi sedikit jaringan lunak dan
kurang mengandung tulang medullar me-rupakan tempat yang paling
banyak mengalami non unions.
-
Secara fungsional, clavicula berlaku sebagai penyangga yang
menghubungkan ekstremitas atas dengan dada dan memberikan kekuatan
serta stabilitas terutama pada aktivitas yang berlebihan.
-
Clavicula juga mentransmisikan gaya tarikan m. trapezius ke scapula
melalui ligamen coracoclaviculare.
-
Sewaktu elevasi tangan dengan fleksi ke depan dan abduksi, m. trapezius
akan mengelevasi clavicula hingga 300 melalui sendi sternoclavicular.
-
Bila ligamen coracoclavicular intak, elevasi clavicula ini akan diikuti
dengan rotasi scapula sewaktu protraksi, retraksi dan elevasi bahu.
-
Scapula mampu melakukan rotasi hingga 50 0 dan elevasi dengan bertumpu
pada sendi sternoclavicular. Clavicula akan meneruskan dan menyokong
gerakan ini.
-
Pada elevasi maksimal lengan, clavicula elevasi 30 0, menyudut ke
posterior 350, dan rotasi 500 pada axisnya. Bentuk dan struktur tulang sangat
penting dalam gerakan ini.
-
Deformitas yang nyata atau hilangnya kontinuitas clavicula akan sangat
berpengaruh terhadap gerakan ini dan juga mempengaruhi kekuatan
pergerakan dan menggelincir bahu.
-
Deformitas clavicula juga dapat menimbulkan penekanan struktur
neurovascular yang berada di bawahnya sewaktu tangan dalam elevasi.

PEMERIKSAAN FISIS DAN DIAGNOSIS


-
Nyeri akut dan tidak mampu menggerakkan bahu biasanya akibat trauma
langsung atau jatuh pada bahu.
-
Fisis pada bahu dan clavicula cukup tampak jelas deformitas. Palpasi dapat
menentukan bagian yang fraktus.
-
Pemeriksaan harus mencakup luka terbuka, perforasi otot yang dapat
menimbulkan interposisi jaringan, dan cedera neurovascular.
-
Cedera pleksus brachialis berupa parestesia dan hilangnya fungsi motoris
distal ekstremitas.
-
Cedera arteri aksillaris atau brachialis berupa hipotensi, parestesia tangan,
hematoma yang meluas, dan kemungkin an hilangnya denyut radialis.
25
-
Dengan adanya sirkulasi kolateral maka denyut radialis masih dapat teraba,
namun parestesia, edema dan hematoma serta denyut asimetri biasanya ada.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
-
Foto polos rutin biasanya cukup untuk memperlihatkan fraktur dan beratnya
fraktur.

KLASIFIKASI
-
Klasifikasi yang biasanya digunakan adalah klasifikasi Allman
-
Klasifikasi ini menggambarkan pola dasar fraktur yang terjadi.
-
Ada 3 kelompok dasar berdasarkan lokasi anatomis dari fraktur.
-
Klasifikasi Allman :

Grade 1
-
Fraktur 1/3 tengah.
-
Merupakan 80% dari seluruh fraktur clavicula.

Grade 2
-
Fraktur 1/3 lateral.
-
Merupakan 10-15% dari seluruh fraktur clavicula.

Grade 3
-
Fraktur 1/3 medial.
-
Jarang terjadi.
-
Neer selanjutnya membuat subklasifikasi untuk fraktur grade 2 berdasarkan
hubungan fraktur dengan ligamen coracoclavicular.
-
Klasifikasi Neer, fraktur 1/3 lateral (ujung distal)

Tipe I
-
Fraktur lateral dari ligamen coracoclavicular
-
Tidak membutuhkan tindakan pembedahan

Tipe II
-
Fraktur dislokasi
-
Sendi acromioclavicular intak
-
Ligamentum coracoclavicular mengalami avulsi
-
Butuh tindakan pembedahan

Tipe III
-
Fraktur intra artikular
-
Ligamen coracoclavicular intak
26
-
Tidak membutuhkan tindakan pembedahan
-
Neer menyatakan bahwa fraktur clavicula distal yang disertai dengan ruptur
ligamen coracoclavicular biasanya penyembuhannya buruk bila ditangani
secara konservatif.

PENANGANAN
Nonoperatif
-
Sebagian besar fraktur clavicula dapat ditangani dengan reduksi tertutup.
-
Juga karena penanganan bedah yang tertunda tidak berbeda dengan
penanganan bedah pada fase akut.
-
Cedera pleksus brachialis bukan alasan untuk melakukan tindakan bedah,
sebab dengan reduksi tertutup, 60% pulih.
-
Reduksi tertutup bertujuan untuk mengurangi nyeri dan stabilitas tulang
sehingga dapat dilakukan pergerakan dini. Standar penanganan dengan
figure of eight bandage.
-
Bebat secara tidak langsung akan mereduksi fraktur pada saat bahu
penderita berada dalam posisi militer
-
Alternatif lain adalah dengan sling (mitella) atau sling dan swathe yang
akan mengimobilisasi bahu.
-
Kebanyakan clavicula sembuh dengan tehnik reduksi tertutup dalam 6
minggu dan latihan aktif bisa dimulai.
-
Fungsi penuh dapat dicapai dalam 3 bulan.
-
Refraktur harus dicegah dalam 3 bulan, sebab dapat mengakibatkan
nonunion.

Operatif
Indikasi
-
Fraktur akut yang perlu dipertimbangkan tindakan reduksi terbuka antara
lain:
1. Refraktur
2. Fraktur terbuka
3. Fraktur dengan interposisi jaringan lunak yang nyata
4. Fraktur dengan shortening atau angulasi yang nyata sehingga tampak
jelas ptosis bahu atau winging scapula
5. Padap pasien dengan multiple trauma dengan trauma capitis atau kejang
karena fraktur dapat menjadi terbuka.
-
Ptosis merupakan istilah yang digunakan oleh Jupiter dan Leffert untuk
menggambarkan rotasi ke depan scapula yang terjadi setelah hilangnya
sokongan clavicula. Dapat diketahui dengan mudah karena pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan adanya ayunan corpus scapula menjauhi
dinding dada.
-
Ptosis harus dikoreksi sebab akan mengganggu rotasi bahu dan
kekuatannya.
-
Cedera kombinasi shoulder girdle dan scapular neck dan clavicula paling
baik dimanaje dengan ORIF.
27
-
Orif pada clavicula biasanya sudah cukup untuk menstabilkan fraktur
scapular neck, dan memulihkan stabilitas shoulder girdle.
-
Demikian juga, perbaikan clavicula akan memulihkan stabilitas lengan atas
setelah disosiasi scapulothoracic.

5. FRAKTUR HUMERAL SHAFT

PENDAHULUAN
-
Fraktur diafiseal humeral hanya sekitar 1-2 % dari semua fraktur.

Patogenesis dan Relevansi anatomi


-
Diafise atau shaft humerus memanjang mulai dari insersi aspek anterior m.
pectoralis majus hingga ke supracondylar ridge.
-
Fraktur pada humeral shaft umumnya digambarkan berdasarkan lokasinya
terhadap tulang 1/3 proximal, middle, atau distal.
-
Deskripsi yang rutin untuk fraktur ini juga mencakup pola frakturnya dan
derajat communitionnya.
-
Kurang lebih 50% fraktur diafiseal terjadi pada 1/3 tengah, 30% pada 1/3
distal dan 20% pada 1/3 proksimal.

HUMERUS 1/3 PROXIMAL


-
Bagian 1/3 proksimal dimulai dari tempat insersi aspek anterior pectoralis
mayor hingga tepi proksimal tempat melekatnya deltoid pada tuberositas
deltoideus.
-
Struktur neurovascular utama pada daerah ini adalah :
1. Arteri dan vena brachialis;
2. N. radialis, medianus dan ulnaris; dan
3. V. basilica.
-
Semua struktur ini terletak di sebelah medial dan dipisahkan oleh m.
coracobrachialis terhadap shaft humerus.
-
Otot-otot yang melekat pada 1/3 proksimal humerus adalah:
1. M. pectoralis mayor (tuberositas majus);
2. M. Latissimus dorsi (dasar sulcus intertubercularis);
3. M. Teres mayor (labium medialis sulcus intertubercularis);
4. Caput lateral triceps brachii mempunyai origa pada bagian posterior
daerah ini.
-
Fraktur 1/3 proksimal humerus, pada atau sebelah atas insersi pektoralis
mayor mempunyai gambaran khas abduksi dan rotasi eksternal fragmen
proksimal akibat gaya otot-otot rotator cuff.

28
-
Fraktur diantara insersi pectoralis dan insersi deltoid mempunyai
gambaran khas displacement ke proximal dan lateral fragmen distal
dengan adduksi fragmen proksimal. Akibatnya terjadi shortening lengan
atas.

HUMERUS 1/3 TENGAH


-
Humerus 1/3 tengah dimulai dari bagian proksimal insersi deltoid dan terus
ke bawah hingga aspek superior origo m. brachioradialis pada permukaan
anteromedial.
-
Tulang pada regio ini tetap cylindrical dan masih mengandung tuberositas
deltoid pada permukaan antero-lateral
-
Septa intermuscular anterior dan lateral pada daerah ini sangat menonjol
dan memisahkan kompartmen anterior dan posterior dari tangan.
-
Struktur neurovascular utama tetap berada di sebelah medial humerus di
sepanjang regio ini.
-
Kekecualiannya adalah n. radialis yang berjalan dari medial ke lateral,
profunda dari caput lateral triceps brachii, dekat dengan humerus bagian
posterior pada sulcus spiralis.
-
N. radialis melekat pada humerus hanya pada 1/3 distal humerus.
-
Fraktur pada bagian distal insersi deltoid pada humerus 1/3 tengah
mempunyai gambaran khas abduksi fragmen proksimal
-
Compartement syndrome pada extremitas atas jarang terjadi.

HUMERUS 1/3 DISTAL


-
Pada 1/3 bagian distal, tulang humerus berbentuk lebih triangular.
-
1/3 distal ini dimulai dari tepi superior origo radialis m. brachioradialis
hingga ke bagian paling proksimal area supracondylar yang mulai memipih.
-
Sebagian besar struktur neurovascular tetap berada di sebelah medial dari
shaft.
-
N. radialis berjalan melintang menembus septum intermusculare lateral
untuk berada di kompartmen anterior diantara m. brachioradialis dan m.
brachialis.
-
Pada daerah dekat n. radialis melintas septum intermusculare, tepat diatas
crista supracondylar, nervus ini berkontak langsung dengan humerus.
-
Titik ini sangat penting dalam klinis karena fraktur longitudinal pada daerah
1/3 distal mempunyai insidens relatif tinggi disertai dengan cedera atau
penjepitan n. radialis.
-
Asupan darah untuk humerus sendiri berasal dari cabang a. brachialis dekat
perbatasan antara 1/3 tengah dengan 1/3 distal.
-
2/3 pasien, a. nutricia ini masuk ke foramen nutricia pada aspek
anteromedial ½ distal dari 1/.3 medial shaft humerus
-
1/3 pasien foramen ini berada di anterior atau di medial.
-
Secara umum, fraktur pada ½ proksimal humerus tidak akan
membahayakan asupan darah ke tulang.
-
Fraktur pada shaft humerus umumnya terjadi sebagai akibat trauma
langsung pada tangan (KLL, jatuh), penyebab lainnya adalah fraktur

29
patologis, kekerasan pada anak, luka tembak, gaya puntir, dan kecelakaan
kerja.

Pemeriksaan fisis dan diagnosis


-
Sering dijumpai nyeri pada tangan, disertai edema, deformitas, crepitasi,
rotasi, dan shortening.
-
Pemeriksaan fisis harus dengan membandingkan tangan yang sehat,
memeriksa denyut radialis dan ulnar distal, fungsi motorik dan sensoris.
-
Pemeriksaan fungsi mototrik n. radialis amat penting. Cara paling sederhana
dengan ekstensi pergelangan tangan dan jari terutama extensi m. abductor
pollicis longus.
-
Fungsi sensoris paling baik diperiksa pada permukaan dorsal tangan pada
daerah web diantara jempol dan jari telunjuk.
-
Sebagai tambahan, cabang lateral bawah cutaneus brachialis dari n. radialis
mempersarafi kulit pada daerah supracondylar lateralis.
-
Nonunion merupakan komplikasi yang paling umum baik pada penanganan
nonoperatif maupun operatif dari fraktur humerus.
-
Nonunion terjadi 2-8% pada penderita yang menjalani tindakan operatif dan
50% yang ditangani dengan nonoperatif.
-
Delayed union timbul hingga 15% pada kasus yang ditangani secara
konservatif.
-
Asosciation of Study for Internal Fixation (ASIF) mendefinisikan delayed
union sebagai tidak ditemukannya tanda-tanda bridging callus 4 bulan
setelah dimulai penanganan.
-
Penulis lain menyatakan delayed union sebagai tidak ditemukannya tanda-
tanda bridging callus pada 3 pemeriksaan foto berturut-turut dengan
interval 1 bulan setelah penanganan dimulai.
-
Ratarata waktu untuk union fraktur shaft humerus adalah 8-12 minggu.
-
Pasien dengan nonunion fraktur humerus akan bergejala nyeri menetap dan
ada pergerakan pada tempat fraktur serta ke kakuan pada bahu dan siku
ipsilateral.
-
Fraktur terbuka dan fraktur akibat trauma energi tinggi mempunyai resiko
untuk nonunion karena tingginya insidens periosteal terkelupas, dan
menurunnya vaskularitas pada fragmen fraktur.
-
Stabilisasi fraktur secara operatif juga mempunyai resiko untuk nonunion
akibat gangguan vaskularitas dari jaringan lunak atau periosteal terkelupas,
fiksasi tidak stabil atau infeksi.
-
Anatomi fraktur juga berperan terhadap terjadinya nonunion, pada fraktur
short oblique atau fraktur transversal pada mid diaphysis mempunyai
insidens tinggi untuk nonunion karena penurunan luas area dari fragmen-
fragmen tulang.

RADIOLOGIK
-
Yang paling utama adalah foto polos dengan two views AP view yang juga
meliputi sendi bahu dan siku, serta foto lateral (transthoracic).

30
KLASIFIKASI
-
Klasifikasi fraktur humeral shaft umumnya berdasarkan terjadinya termasuk
lokasinya (proximal, middle, distal), pola fraktur (oblique, transversal,
spiral, segemental), serta derajat kerusakan jaringan lunak (terbuka,
tertutup). Namun klasifikasi ini tidak menggambarkan prognosis dan
penanganannya, juga cenderung subyektif.
-
Klasifikasi yang paling baik dipakai adalah klasifikasi sistem AO
(Arbeitsgemeinschaft fur Osteosynthesefragen)

PENANGANAN
Nonoperatif
-
Merupakan penanganan yang utama untuk fraktur shaft humerus.
-
Asupan darah yang banyak serta banyaknya otot yang membungkus
membuat fraktur ini dapat cepat sembuh. Tingkat unionnya hingga 90-
99%.
Fracture bracing
-
Dasar penanganan yang utama untuk fraktur adalah mengembalikan
ekstremitas yang cedera ke aktifitas fungsionalnya sesegera mungkin.
-
Immobilisasi dapat mengakibatkan:
1. Atrofi otot
2. Kapsulitis adesif
3. Disuse osteopenia.
-
Fracture braces membutuhkan pasien dalam posisi tegak dan pasien harus
mempraktekkan fleksi dan ekstensi aktif dari siku sewaktu menggunakan
brace
-
Brace ini tidak terlalu bermanfaat pada penderita yang koma atau terbaring
lama. Sehingga untuk pasien ini sebaiknya dilakukan tindakan operatif.
-
Waktu union rata-rata 10 minggu. Insidens nonunion 1-2%.
-
Secara umum 20% mengalami angulasi anteroposterior, dan 30% angulasi
varus.

Cuff and Collar atau hanging arm cast


-
Penerapan alat ini mudah, sederhana, cepat dan murah.
-
Dapat digunakan pada siatuasi akut sebagai preliminary stabilizer sebelum
dilakukan fracture brace atau sebagai penanganan definitif.
-
Seperti pada fracture brace, alat ini memanfaatkan gaya gravitasi untuk
membantu mempertahankan reduksi fraktur. Jadi pasien harus dalam posisi
tegak sesering mungkin.
-
Ini penting terutama pada pasien dengan fraktur yang short oblique, spiral
atau transversal yang pemulihan panjang tulang sangatlah penting. Union
rata-rata 90-95%.

Sling and Swathe device dengan Velpeau dressing


31
-
Peralatan swing and swathe dengan Velpeau dressing tidaklah mahal dan
gampang dipakai terutama pada situasi akut.
-
Kelebihan alat ini adalah tidak begitu membutuhkan kerja sama penderita
dan lebih cocok dikenakan pada pasien yang koma atau berusia lanjut.

Coaptation Splint
-
Adalah splint dengan tipe plaster sugar-tong yang dibuat mulai dari aksilla
di medail turun ke bawah mengeliling siku dan kembali ke atas lewat sisi
lateral tangan hingga ke bahu.
-
Dibuat untuk situasi akut,selain itu mudah, murah dan sederhana.
-
Keuntungan lainnya adalah pergerakan sendi pergelangan tangan tetap
dapat dilakukan, sehingga memungkinkan pergerakan yang cukup dari
lengan ipsilateral.
-
Kekurangannya adalah bisa timbul alergi di sekitar axilla dan kulit disekitar
sendi bahu akibat alergi plaster.
-
Angulasi fraktur sering terjadi dengan immboilisasi tipe ini.

Pembedahan
-
Indikasi untuk operasi fiksasi fraktur diafise humerus dapat dibagi menjadi
absolut dan relatif.
-
Indikasi absolut :
1. Fraktur terbuka
2. Fraktur yang disertai dengan radial nerve palsy yang timbul sewaktu
manipulasi.
3. Fraktur yang disertai dengan vascular injury.
4. Fraktur yang disertai dengan multiple injury atau multiple long bone
fracture
5. Fraktur humerus bilateral atau
6. Ipsilateral forearm fracture (floating elbow)
7. fraktur patologik
8. Nonunion
-
Indikasi relatif :
1. Fraktur transversal atau short oblique unstable
2. Fraktur pada pasien yang tidak kooperatif
3. Fraktur yang disertai penyakit lain yang membuat penyembuhan sulit
terjadi (mis, Parkinson).

6. TRAUMA CERVICAL

PENDAHULUAN
-
Cervical spine injury dengan defisit neurologis terjadi 39-50%.

32
-
Defek demikian dapat timbul terutama pada anak-anak tanpa ada gambaran
radiologik fraktur (Spinal Cord Injury WithOut Radiographic Abnormality
= SCIWORA).
-
SCIWORA juga dapat ditemukan pada orang dewasa dengan stenosis
cervical spine.
-
Instabilitas subakut (subacute instability) didefinisikan sebagai
perkembangan instabilitas radiografik dalam 3 minggu pasca cedera
cervical spine, sehubungan dengan pemeriksaan awal radiologik dan
neurologik yang normal.
-
Pada waktu follow-up dapat ditemukan defisit neurologik yang berkenaan
dengan bukti-bukti radiologik instabilitas sebagai akibat cedera pada
ligament atau discus.
-
Penyebab yang paling umum cedera cervical spine terabaikan adalah karena
multiple trauma, gangguan kesadaaran, dan fraktur non-contiguous.

Patogenesis dan relevansi anatomi


-
Cedera cervical spine paling sering pada lelaki dewasa muda. Insidens
tertinggi pada dekade 3 kehidupan.
-
Penyebab paling sering adalah kecelakaan motor (40-50%), jatuh dan luka
tembak, sports injury (10%). Tapi ini berbeda berdasarkan wilayah.
-
Tempat yang paling sering mengalami trauma adalah C1,C5, C6, C7
-
40% pasien datang dengan lesi komlit, 40% dengan lesi inkomplit, dan 20%
dengan neurologik intak.
-
Mortalitas keseluruhan 40%.
-
Mortalitas tertinggi di rumah sakit untuk cedera cervical cord adalah cedera
pada level C4-5.
-
Fungsi cervical spine ada tiga:
1. Tempat lewatnya medulla spinalis. Melindungi medulla spinalis dan root-
nya.
2. Memungkinkan gerakan triplanar
3. Shock absorber untuk kepala dan otak.
-
Cervical spine terdiri atas 7 vertebra. Dengan kekecualian vertebra atlas,
setiap vertebra terdiri atas corpus, facies articularis superior dan inferior,
canalis vertebra, dan arcus vertebra.
-
Vertebra dibawah axis mempunyai pedicel dan lamina pada arcus
vertebranya.
-
Di lateralnya, foramina intervertebralis merupakan portal untuk keluar
masuknya pembuluh darah dan saraf.
-
Lima kebawah vertebra cervical mempunyai gambaran umum: semakin ke
bawah ukurannya bertambah, dari C3 ke C7, untuk menampung
pertambahan beban dan berbentuk oval, silinder pendek
-
Lordosis cervical normal terbentuk karena discus intervertebral yang
berbentuk wedge-shape, dan bukan karena corpus vertebranya.
-
Lateral margin dari permukaan superior corpus vertebra menonjol dan
berbentuk seperi kaitan yang disebut processus uncinatus. Gunanya untuk
33
menahan permukaan lateral vertebra agar tepat berada di atasnya pada
kedua sisi dan berfungsi untuk menjaga stabilitas dan mobilitas cervical
spine.
-
Pada tindakan bedah dengan pendekatan anterior, processus uncinatus ini
harus dipaparkan seluas mungkin untuk menjamin stabilitas vertebra.
-
Processus spinosus C3-5 dan kadang C6 biasanya berbentuk bifida sedang
C7 proc spinosus lebih panjang dan memipih ke ujung sehingga biasa
disebut vertebra prominence.
-
Pada 79% wanita dan 59% pria proc spinosus dari C7 sangat meninjol
disepanjang cervicothoracic junction.
-
13% wanita dan 6% pria mempunyai proc spinosus C6 yang menonjol.
-
6% wanita dan 9% pria, proc spinosus T1 yang menonjol.
-
Foramina transversa dari C3-6 menyalurkan a. dan v vertebralis serta
pleksus simpatetik.
-
Vertbera C1 berada dibelakang (setinggi) angulus mandibula.
-
Proc transversus atlas biasanya dapat diraba diantara sudut mandibula dan
proc. mastoideus.
-
Os hyoid berada di anterior C3 sedangkan cartilago thyro- id di anterior C4.
-
Cartilago cricoid terletak berseberangan dengan C6 dan merupakan
landmark penting untuk 2 penyakit cervical disc yang sering terjadi (yakni
C5-6 dan C6-7).
-
Insisi kulit untuk pendekatan anterior C7-T1 biasanya tepat di atas
clavicula.
-
Atlas mempunyai struktur seperti cincin yang terdiri dari sepasang massa
lateral yang bersatu oleh arcus anterior yang tebal dan pendek serta arcus
posterior yang panjang, lebih tipis dan lebih melengkung.
-
Axis merupakan vertebra cervical yang paling tebal dan paling kuat. Yang
unik adalah corpus C1 menyatu dengan corpus axis pada proc odontoid
yang merupakan tempat ro tasi atlas.
-
Pedicle atau pars interarticularis area dari axis sangat rentan terhadap high
shearing forces, yang jika cukup kuat akan menyebabkan Hangman’s
fracture.
-
Ke dorsal, axis menipis menjadi pendek dan tebal serta mempunyai proc
spinosus yang bifid.
-
Foramen trnasversalis axis memungkinkan inklinasi late- ral a. vertebralis
sehingga sejalan dengan foramen atlas.
-
Dens menonjol ke superior dari corpus axis, tingginya 14-16 mm, dan
membentuk sudut 200-420 terhadap corpus atlas pada potongan sagital. Perlu
untuk mengingat variasi sudut ini jika hendak memasang screw pada
odontoid.
-
Collum axis sedikit menyempit hingga 10 mm yang akan membatasi
pemasangan single screw pada fracture odontoid.
-
Pada aspek anterior dens ada facet yang luas berbentuk oval yang
berartikulasi dengan aspek posterior dari arcus anterior atlas melalui sendi
sinovial.
-
Aspek superior dari dens tempat melekat ligamen apical dan permukaan
kasar pada bagian lateralnya merupakan tempat perlekatan ligamen alar.
34
-
Ligamen longitudinalis anterior dan posterior meluas ke seluruh panjang
spinosus dan merupakan stabilizer utama untuk sendi intervertebral.
-
Ligamen longitudinalis anterior yang lebih kuat dari posterior, merupakan
struktur serupa pita yang melekat pada aspek anterior axis dan meluas ke
atas hingga ke arcus anterior atlas dan bagian anterior membran atlanto-
occipital. Serabut-serabut superficialnya meluas ke beberapa vertebra,
sedang serabut profundanya pendek dan melekat ke struktur vertebra di
dekatnya.
-
Ligamen longitudinalis posterior merupakan ligamen yang paling luas pada
cervical spine dan menyempit ke caudal. Bagian superficial mudah
dipisahkan dari bagian profunda pada tingkat corpus vertebra.
-
Bagian profunda membentuk ligamen yang sempit pada pertengahan corpus
vertebra dan melaus ke disc dan melekat dengan kuat pada annulus fibrosus.
-
Ossifikasi idiopatik dari ligamen ini sekarang diketahui sebagai penyebab
terpenting kompresi kronik dari spinal cord, terutama pada orang Asia.
-
Ossifikasi idiopatik sering disertai dengan ossifikasi ligamen spinal lainnya
dan mempunyai predileksi pada cervical spine.
-
Keberadaaan penyakit ini akan merentankan trauma cervical spine untuk
mencederai spinal cord.
-
Ligamentum Flavum melekat pada permukaan anterior dari setengah bagian
inferior upper lamina vertberae. Setiap ligaentum flavum dipisahkan dengan
yang sebelahnya oleh suatu fissura kecil.
-
Ke lateral ligamentum flavum akan menyatu dengan kapsul dari facet joint.
-
Ligamentum flavum berperan penting sebagai stabilizer untuk flaksi leher
dan mempunyai serabut elastik yang banyak serta berwarna kuning.
-
Pada cedera hyperextensi, ligamentum ini dapat menyumbat/menekuk
kanalis spinalis dan mencederai spinal cord.
-
Ligamenta interspinalis pada cervical spine merupakan ligamen yang
menghubungkan antar proc spinosus, berbentuk tipis, serupa membran dan
kurang berkembang baik.
-
Ligamenta supraspinalis yang berjalan diantara ujung proc spinosus akan
meluas menjadi jaringan fibrous pada midline mulai dari protuberantia
occipitalis externa dan linea mediana nuchae hingga ke proc spinosus
vertbera C7. Serabut fibrous ini dikenal juga sebagai ligamentum nuchae.
-
Ligamentum transversalis axis merupakan ligamentum yang kuat yang
melekat pada setiap sisi tubercle pada aspek medial massa lateralis axis.
Ligamentum ini sewaktu melewati bagian posterior akan melebar dan 2
fasciculi yang kecil dan berjalan vertikal akan melekat pada ligamentum ini.
-
Fasciculus longitudinalis superior berjalan dari tepi atas pertengahan
ligamen transversalis axis ke tepi anterior dari foramen magnum.
-
Fasciculus longitudinalis inferior berjalan ke inferior ke aspek posterior dari
corpus axis.
-
Susunan ligamentum transversalis dan fasciculus longitudi nalis dikenal
sebagai ligamen cruciform.
-
Suatu ligamentum apical yang kecil yang berjaln dari apex dens ke tepi
anterior foramen magnum tidak mempunyai fungsi penting tetapi

35
merupakan petunjuk tempat fraktur dens tipe avulsi yang mungkin disertai
dengan dislokasi atlanto-occipital.
-
Sebagian besar dari sepasang ligamen alar meluas dari aspek lateral dens ke
aspek medial dari condylus occipital.
-
Ligamen alar ini berada di anterior ligamen cruciform dan arah dari serat-
serat ligamen ini tergantung dari berat dens secara relatif terhadap condylus
occipital.
-
Membrana tectorial membentuk garis pada aspek dalam dinding anterior
dari bagian atas canalis spinalis. Ini merupakan tempat paling cranial dari
lig longitudinalis post.
-
Membran ini melekat pada permukaan posterior corpus axis dan
memanjang ke atas untuk melekat ke tepi anterior dan lateral foramen
magnum dan selanjutnya bergabung dengan duramater dari spinal.
-
Membrana tectorial membantu menstabilkan sendi atlantooccipital dan
sendi atlantoaxial.
-
Pada potongan sagital setinggi atlas Spinal cord menempati 1/3 tengah, 1/3
anterior diisi oleh dens dan 1/3 posteri or diisi oleh oleh meninges, lemak
epidural , venavena, dan cairan cerebrospinal.
-
1/3 bagian posterior bertindak sebagai zona pengaman karena penyempitan
canalis spinalis setinggi level ini hingga 1/3-nya tidak menyebabkan
gangguan fungsi spinal cord.
-
Steele, orang yang pertama menemukan hal ini sehingga dikenal sebagai
Steel’s rule of thirds.
-
Sepanjang regio spina cervicalis banyak ruang-ruang potensial yang akan
menurunkan potensi untuk terjadinya cedera spinal.
-
Cervical spine subaxial mempunyai mobilitas yang lebih rendah dan
mempunyai rasio cord:canal yang lebih kecil dibanding spina pada C1-2.
-
Hal ini sangat berperan dalam tingginya frekuensi cedera spinal pada lower
cervical spine.
- Cervical cord melebar pada C3 dan mencapai lingkar maksimalnya pada C6
sebelum mengecil hingga T3. Pembesaran ini untuk mengakomodasi suplai
saraf pada extremitas atas.
- Mengelilingi spinal cord adalah cairan cerebrospinal yang akan menahan
cord sewaktu akselerasi dan deselerasi di leher.
- Dalam meninges cord distabilisasi oleh ligamentum denticulata.
Ligamentum ini muncul sebagai bagian dari piamater, dari setiap sisi spinal
cord akan keluar 19 hingga 23 pasang yang melekat ke dura di interval
antara ujung-ujung nerve root.
- Pada upper cervical spine, segmen cord mempunyai lokasi sama tinggi
dengan vertebranya.
- Nerve root keluar secara transversal melalui foramina intervertebralis.
- Pada lower cervical spine, segmen spinal cord satu tingkat lebih tinggi
dibanding vertebranya. Akibatnya, nerve root turun secara oblique untuk
keluar melalui foramina intervertebralnya.
- Struktur yang perlu diproteksi selama operasi bedah cervical adalah:
1. a. vertebralis
2. a. carotis
36
3. recurrent laryngeal nerve
4. symphatetic chain
5. ductus thoracicus
6. oesophagus

- A. vertebralis merupakan sumber utama untuk cervical cord dan cervical


spine.
- Arteri ini biasanya masuk ke foramina intervertebralis C6 (90%) tapi dapat
juga (jarang) masuk pada C5, C4, C7, bahkan C3.
- Arteri ini dikelilingi oleh anyaman vena dan berjalan naik dari foramina
transversalis atlas. Dari sini berjalan ke posterior disekeliling massa lateralis
atlas dan melewati arcus posterior C1, tepat di belakang massa lateralisnya
- Arteri di bagian atlas ini dapat memanjang sewaktu rotasi atlas dan kepala.
- Kedua arteri ini kemudian menembus bagian posterior membrana atlanto-
occipital dan melalui foramen magnum untuk kemudian bersatu membentuk
a. basillaris.
-
A. vertebralis dapat mengalami cedera selama prosedur bedah dekompresi
cervical dari anterior, dengan insidens < 1%.
-
Jika arteri ini mengalami ligasi, pasca operasi akan timbul tandatanda dan
gejala-gejala iskemi vertebrobasiler.
-
Kejadian ini jarang timbul, pada beberapa keadaan klinis, oklusi salah satu
a. vertebralis dapat ditoleransi dengan baik.

Diagnosis dan Pemeriksaan fisis


-
Langkah awal manajemen berdasar guidelines ATLS.
-
Pemeriksaan neurologik penuh harus dilakukan pada pasien yang kooperatif
dan meliputi pemeriksaan:
1. Semua saraf kranial;
2. Pemeriksaan motorik dan sensoris;
3. Menguji semua refleks; dan
4. Pemeriksaan rektal untuk menilai tonus rektal.
-
Pemeriksaan neurologik untuk pasien yang tidak sadar, intoksikasi meliputi
pemeriksaan sensasi gross pain; fungsi motoris dengan mengamati refleks
withdrawal.
-
Sistem klasifikasi Frankel untuk cedera saraf spinalis banyak dipakai.
-
Klasifikasi Frankel

1. Frankel grade A
Cedera neurologik komplit

2. Frankel grade B
Sensoris di bawah level cedera masih baik

3. Frankel grade C
Sensoris baik
37
Motorik dibawah level cedera tidak ada

4. Frankel grade D
Sensoris dan motorik dibawah level cedera masih baik
5. Frankel grade E
Fungsi normal
-
Lesi inkomplit dapat bermanifestasi sebagai syndrome klinik seperti
syndroma Brown-Sequard; anterior cord; atau central cord.
-
Ada tidaknya fungsi motor distal tidak dapt ditentukan secara pasti hingga
spinal shock pulih, yang tampak dengan kembalinya refleks
bulbokavernosus (kontraksi sphincter anal terhadap refleks pemijitan shaft
penis). Biasanya 11-48 jam setelah trauma.
-
Untuk membatasi efek sekunder yang timbul pada spinal cord, maka
diberikan dosis tinggi steroid secara iv sebagai inhibitor poten untuk radikal
oksigen bebas.
-
Uji klinis membuktikan bahwa tindakan farmakologik ini memperbaiki
fungsi motoris dan sensoris pada cedera komplit dan inkomplit cervical dan
thoracic spinal cord
-
Obat ini harus diberikan dalam 8 jam pasca cedera. Loading dose 30
mg/kgBB selama 1 jam pertama diikuti dengan 5,4 mg/kgBB/jam untuk 23
jam berikutnya.
-
Pasien dengan defisit neurologis harus dipasang skull traction dengan
Gardner-Wells tongs atau halo ring untuk dekompresi cord dengan jalan
mereposisi fraktur dan dislokasi.
-
Traksi dipasang dengan beban mulai 2 hingga 4,5 kg (5-10 lb) dengan
tambahan tiap 2 kg (5 lb) berdasar hasil pemeriksaan neurologis.
-
Pengawasan khusus harus diberikan pada kasus dengan dislokasi facet joint
karena dapat terjadi herniasi diskus ke anterior.
-
Untuk pasien dengan ankilosing spondilitis dan fraktur cervical spine,
manajemen awalnya adalah memastikan realignment dari leher ke posisi
deformitas spinal sebelum terjadi fraktur dan bukan traksi skeletal ke posisi
netral.

RADIOLOGIS
-
Pemeriksaan foto lateral saja ketepatan diganosa 70-85%, bila ditambah
dengan foto AP, oblique dan open mouth, diagnosis mendekati 80-95%.
Bila disertai dengan CT scan diagnosis dapat 100%.
-
Foto polos berikutnya meliputi foto serial seluruh cervical spine.
-
Ada 6 poin yang harus diperhatikan pada foto lateral tulang belakang yakni:

1. Empat garis lordotik yang mulus, terdiri dari: 1). Anterior spinal line,
2) Posterior spinal line, 3) spinolaminar line, 4) Garis sepanjang ujung
processus spinosus.

38
2. Garis basillar Wackenheim, garis sepanjang aspek posterior clivus, harus
bersinggungan dengan cortex posterior dari ujung proc. odontoid.
3. Setiap kehilangan tinggi, rotasional malalignment, atau perubahan
paralelisme oblique normal dari facet joint harus diperhatikan pada tiap
vertebra.
4. Struktur posterior harus diperiksa untuk mengetahui fraktur proc
spinosus atau pertambahan relatif ruang antara proc spinosus (yang
menunjukkan disrupsi ligamen posterior akibat trauma tipe fleksi)
5. Lebar dari jaringan lunak prevertebral harus diukur dan tidak boleh
melebihi 10 mm pada C1; 5 mm pada C2; 7 mm pada C3-4; dan 20 mm
pada C5-7 (abaikan nilai ini jika pasien diintubasi atau dipasang NGT ,
anak menangis, atau luka tembus leher).
6. Interval atlantodens (ADI) harus dinilai, batas atas normalnya 3 mm pada
orang dewasa dan 5 mm pada anak-anak.
-
Pemeriksaan foto AP harus meliputi pemeriksaan proc spinosus untuk
menyingkirkan asimetritas yang menunjukkan adanya rotasi subluksasi
(misal dengan dislokasi unilateral facet joint).
-
Jarak interspinosus harus diukur. Pelebaran vertikal lebih 1,5 kali dari
ukuran level didekatnya menunjukkan cedera fleksi.
-
Inspeksi massa lateralis dan facet joint, yang normalnya simetris dan
tampak sebagai satu kolom tunggal. Perubahan dari gambaran tersebut
menunjukkan disrupsi sendi atau fraktur.
-
Open-mouth view sangat penting untuk menilai seluruh upper cervical
spine.
-
Ruang antara dens dengan tepi medial massa lateralis pada kedua sisinya
harus seimbang; tidak ada tepi lateral massa artikular C1 yang bergantung
pada tepi lateral C2.
-
Curiga fraktur C1 (Jefferson fracture) jika jumlah jarak pergeseran massa
lateralis dari dens ke kedua sisinya 7 mm atau lebih.
-
Foto radiograf penting untuk menilai facet joint. Gambaran tipikal tumpang
tindih tapi simetris dari lamina adalah normal. Setiap perubahan dari
gambaran tersebut dapat mengarah ke fraktur lamina atau disrupsi facet
joint.

PENANGANAN
-
Pilihan antara operatif dan nonoperatif tergantung pada :
1. Tipe cederanya,
2. Ada tidaknya cedera ikutan, dan
3. Status neurologis (Frankel grade)
-
Secara umum, tindakan operatif diperlukan untuk :
1. Dekompresi neural
2. Instabilitas
3. Residual malalignment
4. Multiple injury untuk pulmonary toilet dan rehabilitasi dini
39
-
Cedera ligamen yang berat jarang sembuh tanpa prosedur bone grafting.
-
Jumlah segmen yang difusikan harus dibatasi mengingat kepentingan
mobilitas/ fungsi dan meminimalkan kejadian pseudoarthrosis.
-
Upper cervical spine merupakan bagian yang mempunyai derajat mobilitas
tertinggi sehingga arthrodesis sebisa mungkin harus dihindari pada tingkat
ini.

INSTABILITAS CERVICAL SPINE


-
Instabilitas klinis dari cervical spine menurut White dan Panjabi adalah:
kehilangan kemampuan spine dalam keadaan beban fisiologis untuk
mempertahankan pola pergeserannya sehingga tidak ada awal atau
tambahan defisit neurologis, tak ada deformitas, serta tak ada nyeri tak
tertahankan.

UPPER CERVICAL SPINE


-
Pada daerah atlanto-occipital junction, batas atas pergerakan adalah 1mm
pada potongan sagital dari C0 terhadap C1.
-
Pada level C1-2, ketergantungan bilateral C1 terhadap C2, seperti pada
fraktur tipe Jefferson tidak boleh lebih dari 7 mm.
-
Pada level C1-2, interval atalantodental tidak boleh lebih dari 3 mm.

Kriteria untuk upper cervical instability


C0-1 C1-2
>80 rotasi axial > 7 mm ditambah
pada satu sisi overhang C1 pada C2
> 1 mm translasi >450 rotasi axial pada
satu sisi
>4 mm translasi
sagital
<12 mm space untuk
cord
Avulsi lig
transversum

LOWER CERVICAL SPINE


-
White dan Panjabi membatasi kondisi biomekanik untuk instabilitas
subaxial cervical spine sbb:
1. Seluruh elemen anterior atau posterior mengalami gangguan atau tidak
mampu berfungsi.
2. Pergeseran horisontal satu vertebra terhadap lainnya lebih dari 3,5 mm,
dan
3. Perbedaan rotasi lebih dari 110 dibanding level vertebra didekatnya.
40
Diagnosis instabilitas klinis subaksial
Elemen Nil
ai
Elemen anterior hancur / tidak 2
berfungsi
Elemen posterior hancur / tidak 2
berfungsi
Positive stretch test 2
Kriteria radiografik (A atau B)
A. Foto fleksi/ekstensi
1. Translasi sagital plane >3,5 2
mm atau 20%
2. Rotasi sagital plane >200 2
B. Foto “resting”
1. Pergeseran sagital plane >3,5 2
mm atau 20%
2. Angulasi relatif sagital plane 2
> 110
Penyempitan abnormal diskus 1
Penyempitan spinal canal dalam
perkembangan ( A atau B)
A. Diameter sagital < 13 mm 1
B. Rasio Pavlov < 0,8 1
Kerusakan spinal cord 2
Kerusakan nerve root 1
Dangerous loading anticipated 1
-
Menurut sistem evaluasi ini, nilai lima atau lebih menunjukkan instabilitas
spinal.
-
Cedera pada cervical spine secara umum dapat dibagi dua yang mengenai
upper portion yakni atlas dan axis dan yang mengenai lower portion yakni
C3-7.
-
Vertebra C3-7 lebih uniform dan secara struiktural dan fungsionil berbeda
dari vertebra C1 dan C2.

UPPER CERVICAL SPINE INJURIES

DISLOKASI ATLANTO-OCCIPITAL
-
Jarang terlihat akibat sering disertai dengan defisit neurologis yang berat
dan henti napas. Dengan kemajuan penanganan emergensi hal ini mulai
banyak.
-
Dislokasi atlanto-occipital disebabkan oleh trauma berenergi tinggi
sehingga terjadi gangguan :
41
1. Ligamentum alar,
2. Membrana tectorial, dan
3. Kapsula sendi atlanto-occipital.
-
Traksi cervical harus dihindari pada pasien ini karena walaupun dengan
beban 2 kg (5 lb) dapat menimbulkan tarikan berlebihan jaringan lunak,
termasuk cord.
-
Keberadaan fraktur avulsi ujung proc odontoid menunjukkan adanya fraktur
ini.
-
Manajemen awalnya adalah dengan imobilisasi halo vest dilanjutkan
dengan fusi occiput posterior ke C1 dan C2.
-
Fusi dapat dilakukan dengan standard wiring, tehnik bone grafting atau
dapat diperkuat dengan occipitocervical plate dan screw.
-
Karena beratnya instabilitas pada cedera ini maka post op tetap dipasang
halo vest hingga union terjadi.

FRAKTUR CONDYLUS OCCIPITALIS


-
Jarang terjadi
-
Klasifikasi menurut Anderson dan Montesano

Tipe I
-
Fraktur impaksi kondilus
-
Biasanya hanya terjadi pada satu sisi tengkorak
-
Stable injury
-
Ditangani dengan rigid cervical collar

Tipe II
-
Fraktur kondilus occipital disertai fraktur dasar tengkorak.
-
Kurang stabil
-
Dapat ditangani dengan immobilisasi 12 minggu dengan halo vest dengan
hasil memuaskan.

Tipe III
-
Fraktur kondilus occipital disertai instabilitas atlanto-occipital
-
Foto rontgen, CT scan, atau tomogram menunjukkan fragmen kecil tulang
yang menandakan trauma avulsi dari insersi ligamen alar pada aspek
medial kondilus occipital.
-
Cegah overdistraksi, seperti pada cedera atlanto-occipital lainnya.
-
Penanganan definitif dengan fusi occipital hingga ke C2.

FRAKTUR ATLAS

42
-
Dikenal 4 tipe utama fraktur atlas yakni :
1. Fraktur atau avulsi arkus anterior
2. Fraktur arkus posterior
3. Fraktur massa lateralis
4. Fraktur burst (fraktur Jefferson)
-
Cedera ini biasanya timbul akibat gaya kompresif axial yang mendorong
kondilus occipital ke massa lateral dari atlas.
-
Tergantung dari besarnya dan arah gaya yang timbul cincin C1 dapat rusak
hingga terjadi fraktu 1, 2, 3, atau 4 bagian.
-
Fraktur atlas jarang disertai dengan cedera neurologik karena secara
alamiah terjadi dekompresi dari gaya yang timbul.
-
Jika terjadi defisit neurologis maka harus diperiksa spinal cord yang
menimbulkan.
-
Fraktur atlas paling baik dilihat dengan foto open mouth.
-
Jumlah overhang C1 ke C2 secara bilateral >7 mm yang menunjukkan
gangguan pada ligamen.
-
Cara paling baik untuk mengklasifikasi cedera ini adalah dengan CT scan
axial.
-
Fraktur Jefferson klasik adalah fraktur 4 bagian dengan fraktur bilateral
daerah anterior dan posterior dari cincin C1.
-
Ruptur ligamentum transversal paling baik dilihat dengan MRI axial.
-
Fraktur arkus posterior merupakan fraktur terbanyak ke dua pada 50%
kasus.
-
Frakture yang paling umum terjadi adalah fraktur odontoid dengan
pergeseran ke posterior atau spondylolisthesis traumatik C2.
-
Fraktur arkus anterior C1 bniasnya terjadi akibat avulsi m. longus colli.
-
Fraktur arkus anterior atau posterior yang isolated merupakan fraktur yang
stabil. Evaluasinya dengan foto x ray fleksi dan ekstensi untuk
mneyingkirkan instabilitas C1-2.
-
Penanganannya dengan rigid cervical orthosis.
-
Fraktur unilateral massa lateralis atlas biasanya, sesuai namanya, terbatas
pada satu sisi arkus neuralis.
-
Fraktur Jefferson atau disebut juga fraktur burst dari atlas paling baik
ditangani dengan traksi diikuti dengan immobilisasi dengan halo vest
selama 3 minggu
-
Levine dan Edwards menemukan bukti bahwa disrupsi lig transversum yang
menyertai fraktur ini tidak disertai dengan perkembangan lanjut instabilitas.
-
Masih kontroversi apakah pergeseran massa lateralis mem butuhkan reduksi
atau tidak.
-
Tak ada bukti yang menyokong adanya masalah dalam arthrosis facet C1-2,
sebagai penyebab nyeri, bila massa lateralis tetap dibiarkan dalam posisi
tidak tereduksi.
-
Skeletal traksi dapat digunakan untuk mereduksi pergeser an massa lateralis
yang nyata (> 7 mm).

43
-
Traksi axial berkepanjangan (minimum 6 minggu) diperlukan untuk
mempertahankan reduksi, karena halo vest tidak dapat memberikan
distraksi yang memadai untuk keadaan ini.
-
Setelah itu pasien menggunakan immobilisasi halo vest se-lama 6 minggu.
-
Kebanyakan unit spinal injury meletakkan pasien langsung ke dalam halo
vest sesegera mungkin, tanpa memandang jumlah displacement yang
terjadi.

INSTABILITAS ATLANTOAXIAL TANPA FRAKTUR


-
Kompleks lig atlantoaxial dapat mengalami ruptur sehingga timbul
instabilitas tanpa fraktur..
-
Keadaan ini dapat timbul setelah gaya fleksi hebat membebani spine, atau
bila beban tidak begitu hebat ada faktor yang mempermudah terjadi
misalnya rheumatoid arthritis atau penyakit-penyakit jaringan penyambung
lainnya.
-
Instabilitas ini dapat menyebabkan spinal cord injury, karena proc odontoid
bebas untuk menekan cord ke arkus posterior atlas.
-
Namun demikian kerusakan cord jarang terjadi karena adanya ruang residu
potensial (Steele’s rule of third).
-
Untuk kasus semacam ini, ADI meningkat lebih 3 mm pada orang dewasa.
Paling baik tampak dengan foto radiograf fleksi dan ekstensi.
-
Disrupi ligamen paling baik dilihat dengan MRI.
-
Jika ada nyeri yang hebat, perubahan dinamik ini dapat luput akibat spasme
otot. ADI yang lebih dari 5 mm menunjukkan ruptur komplit kompleks
ligamen ini.
-
Ruang antara aspek posterior odontoid dengan aspek anterior arkus
posterior C1 harus diukur. Ini menunjukkan ruang yang tersedia untuk cord
(SAC= space available for the cord).
-
Ruang yang kurang dari 16 mm adalah abnormal, kurang dari 13 mm
menandakan resiko tinggi untuk spinal cord injury, dan kurang dari 10 mm
berarti situasi kritis.
-
Karena instabilitas atalatoaxial murni karena cedera lig maka dibutuhkan
stabilisasi bedah untuk mencegah instabilitas kronis. Ini dicapai dengan
fusi posterior C1-2 biasanya dengan kawat.

SUBLUKSASI ROTATOR ATLANTOAXIAL


-
Subluksasi atlantoaxial relatif jarang terjadi
-
Lebih banyak mengenai anak-anak, tetapi dapat juga orang dewasa.
-
Terjadi secara spontan, terutama setelah infeksi traktus res piratorius
bagian atas.
-
Dapat juga timbul setelah trauma
-
Kombinasi distraksi dan rotasi axial akan mengakibatkan subluksasi
artikulasi C1-2.
44
-
Gejala biasanya berupa nyeri dengan tortikolis dan nyeri tertahan sewaktu
leher digerakkan.
-
Pada kasus-kasus kronis, subluksasi telah menetap sehingga terjadi posisi
abnormal dari kepala.
-
Atlantoaxial rotatory subluxation dapat luput pada pemeriksaan awal
radiografi
-
Open mouth view akan menampakkan jarak yang asimetris antara massa
lateral atlas dengan proc. odontoid.
-
Jarak antara tepi medial massa artikular dengan tepi luar dens berkurang
pada satu sisi. Ini dikenal dengan istilah Wink sign.
-
Dynamic CT dengan kepala pasien menoleh ke kiri atau kanan akan
menampakkan subluksasi facet dengan fixed rotation dari atlas.
-
Cedera akut pada anak-anak biasanya berespon dengan traksi cervical
dengan kurun waktu tertentu diikuti dengan imobilisasi collar.
-
Cedera akut pada orang dewasa biasanya membutuhkan traksi skeletal
untuk reduksi, diikuti dengan imobilisasi halo vest selama 3 bulan.
-
Kegagalan melakukan tindakan reduksi tertutup mengindi kasikan tindakan
reduksi bedah dan fusi posterior C1-2.
-
Alternatif lain, direct anterior transoral reduction dengan fixasi plate
anterior C1-2.
-
Reduksi tertutup jarang berhasil pada cedera yang sudah lebih 3 bulan, dan
biasanya diperlukan tindakan fusi untuk menghilangkan nyeri.

FRAKTUR ODONTOID
-
Menurut lokasi anatominya, fraktur odontoid dibagi menjadi 3 tipe
(klasifikasi Anderson dan D’alonzo)
-
Klasifikasi Anderson dan D’alonzo, yakni :

Tipe I
-
Gambaran khas, avulsi pada ujung proc odontoid pada tempat perlekatan
ligamen alar.
-
Stabil, tidak terlalu bermakna
-
Dapat disertai dengan dislokasi atlanto-occipital

Tipe II
-
Fraktur odontoid terjadi pada leher dari dens pada axial plane.
-
Merupakan fraktur odontoid yang paling sering terjadi.
-
Masalah dalam manjemennya karena fraktur ini unstable dan sering
nonunion bila ditangani secara nonoperatif.
-
Angka nonunion yang tinggi disebabkan karena :
1. Asupan darah yang buruk ke dens.
2. Cross sectional surface area yang kecil pada tempat fraktur.
3. Lebih banyak mengandung tulang cortical dibanding cancelous.

45
-
Fraktur odontoid tipe II ini jarang disertai dengan defi-sit neurologis
walaupun disebabkan oleh trauma berkecepatan tinggi misal karena KLL
atau jatuh.
-
Penanganan dengan halo vest mempunyai kisaran nonunion sebesar 35%.
-
Faktor predisposisi untuk nonunion yang tinggi adalah:
1. Usia > 40 tahun,
2. pergeseran pada tempat fraktur > 4 mm, dan
3. pergeseran odontoid terhadap dasarnya ke posterior.
-
Penanganan alternatif dengan imobilisasi halo vest dan stabilisasi bedah.
Halo vest dikenakan selama 3 bulan kemudian dievaluasi penyembuhan
tulang. Jika tidak terjadi, maka dilakukan posterior fusion C1-2.
-
Pada tahap akut dapat ditangani langsung secara operatif dengan posterior
C1-2 fusion dan akhir-akhir ini dengan anterior odontoid screw fixation..
-
Di Eropa lebih menyenangi tehnik reduksi transoral dan prosedur anterior
plate fixation untuk memaparkan rotasi axial C1-2.

Tipe III
-
Fraktur odontoid meluas ke bawah hingga ke basis proc odontoid.
-
Fraktur ini, karena mempunyai luas permukaan fraktur yang besar, akan
mempunyai asupan darah yang baik.
-
Juga mempunyai tulang cancelous dalam jumlah berlebihan dibanding
tipe II.
-
Biasanya ditangani dengan imobilisasi halo vest selama 12 minggu.
-
Alternatif lain, untuk fraktur impaksi nondisplaced dapat ditangani
dengan rigid cervical orthosis.
-
Kasus yang sangat jarang terjadi adalah fraktur tipe III yang angulasi dan
displace dan membutuhkan fixasi internal.

HANGMAN’S FRACTURE DARI C2


-
Dikenal juga sebagai tyraumatic spondylolistehsis of the axis.
-
Adalah fraktur melalui pedicle C2, dengan atau tanpa disertai cedera diskus
C2-3 dan ligamen anterior.
-
Klasifikasi yang sering dipakai adalah menurut Levine dan Edwards
-
Klasifikasi Levine dan Edwards :

Tipe I
-
Adalah fraktur melalui arkus neuralis pada dasar pedicle.
-
Pergeseran C2 terhadap C3 kurang dari 3 mm
-
Tak ada angulasi
-
Fraktur ini terjadi akibat gaya hiperekstensi dan aksial yang cukup kuat
sehingga membuat fraktur arkus neuralis tanpa mencederai diskus atau
ligamen longitudinalis.

46
-
Foto radiografi fleksi dan ekstensi dapat membedakan fraktur tipe I
dengan tipe II.
-
Fraktur tipe ini secara intrinsik stabil
-
Manajemen dengan imobilisasi dalam rigid orthosis selama 8-12 minggu
dengan hasil memuaskan.

Tipe II
-
Gambaran khasnya adalah translasi > 3 mm, angulasi fraktur, dan
kompresi sudut superior anterior dari corpus vertebra C3.
-
Gaya inisial hiperekstensi dan aksial yang menimbulkan fraktur diikuti
dengan gaya fleksi sekunder yang menyebabkan
1. Disrupsi diskus C2-3,
2. Robekan sebagian lig longitudinalis posterior, dan
3. Melepaskan lig longitudinalis anterior dari corpus C3.
4. Ligamen longitudinalis anterior tetap intak.
-
Penanganan berupa reduksi awal fraktur dengan traksi halo kepala dalam
posisi sedikit ekstensi.
-
Pasien dengan displacement awal moderat (3-6 mm) memakai halo vest
selama 8-12 minggu.
-
Pasien dengan displacemen awal yang berat (>6 mm) memerlukan traksi
yang lebih lama 4-6 minggu untuk memungkinkan fraktur sembuh dalam
posisi reduksi lalu dilanjutkan dengan imobilisasi halo vest dengan total
penanganan selama 12 minggu.
-
Mobilisasi yang terlalu dini pada penderita dengan displacement awal
yang berat akan mengakibatkan kehilangan reduksi secara nyata serta
nonunion.
-
Alternatif lain adalah dengan arthrodesis anterior atau posterior C2-3. Ini
diindikasikan pada penderita dengan multiple injury untuk perbaikan
perawatan paru serta rehabilitasi dini.
-
Prosedur anterior berupa aproach retropharyngeal anterior, proteksi n.
hipoglossus dan pemasangan plate C2-3
-
Aproach transoral dapat pula digunakan tetapi mempunyai resiko
terkontaminasi
-
Aproach posterior berupa tehnik wiring C1-3, melakukan bypass fraktur
termasuk level lain dalam fusi; atau fraktur disilangkan dengan pedicle
screws, dan massa lateralis di skrup ke C3 dan memasang plate ke cedera
C2-3. Ini membatasi fusi hanya pada satu level saja.

Tipe IIA
-
Gambaran khas : angulasi yang jelas antara C2-3 dengan translasi
minimal
-
Dianggap varian dari tipe II
-
Cedera ini timbul akibat fleksi dan distraksi hebat
-
Garis fraktur lebih oblique dan lebih ke posterior dibanding tipe II dan
berada lebih ke anterior dari facet joint.

47
-
Cedera ini sangat tidak stabil yang justru bertambah buruk bila dilakukan
traksi. Sehingga perlu diagnosis tepat sebelum dilakukan tindakan.
-
Penanganan berupa imobilisasi segera dengan halo vest selama 12
minggu.
-
Penyembuhan biasanya terjadi dengan pembentukan anterior bridge
antara corpus vertebra C2-3 hingga ke disc space.

Type III
-
Kombinasi fraktur bipedikular dengan cedera facet posterior.
-
Timbul sebagai akibat fleksi dan kompresi
-
Gambaran khas berupa
1. Angulasi hebat,
2. Translasi fraktur arkus neuralis, dan
3. Dislokasi facet C2-3 unilateral atau bilateral dengan atau tanpa fraktur
facet
-
Kasus ini biasanya membutuhkan reduksi bedah dan fusi melalui
posterior aproach.
-
Pilihan pembedahan sama seperti pada fraktur tipe II.

LOWER CERVICAL SPINE INJURIES (C3-7)


-
Sistem klasifikasi untuk cedera lower cervical spine berdasarkan pada
mekanisme terjadinya cedera.

WEDGE COMPRESSION FRACTURE


-
Timbul sebagai akibat gaya fleksi dan kompresi
-
Gambaran khas hilangnya/ berkurang tinggi bagian ante-rior corpus
vertebra.
-
Paling sering kena level C4-5 dan C6-7.
-
Aspek posterior corpus vertebra tetap intak meskipun pada beberapa kasus
yang hebat dapat terjadi ruptur lig longitu-dinal posterior.
-
Pemeriksaan pencitraan meliputi flexi dan extension views
-
CT sca, MRI untuk menilai kemungkinan cedera cord atau lig longitudinal
posterior.
-
Kriteria White dan Panjabi untuk menilai instabilitas fraktur ini adalah
sebagai berikut :

1. Wedge fracture < 25% tinggi aspek anterior


-
Dinding posterior vertebra tetap baik
-
Penanganan dengan rigid orthosis selama 8-12 minggu dengan hasil
memuaskan

2. Wedge fracture > 50% tinggi aspek anterior


-
Kemungkinan telah terjadi kerusakan kompleks lig longitudinalis
posterior.
48
-
Penanganan dengan operasi stabilisasi dan fusi yang terbaik diperoleh
dengan spinous process wiring.
-
Bila fraktur kompresi wedge disertai dengan fraktur elemen posterior,
maka dibutuhkan penyatuan segmen terdekat dengan spinous process
wiring.
-
Meskipun tehnik oblique wiring dapat digunakan untuk keadaan ini,
tetapi alternatif terbaik adalah dengan lateral mass plating, dengan fusi
hanya terbatas pada level yang terlibat saja.
-
Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah deformitas kyphotic
postraumatik dan dapat dicegah dengan rekonstruksi column anterior
untuk kasus yang wedge hebat.

FACET JOINT INJURY


-
Cedera ini meliputi subluksasi, dislokasi, fraktur, dan kombinasi ketiganya.
-
Cedera ini dapat terjadi unilateral atau bilateral dan dapat disertai dengan
defisit neurologis
-
Paling sering kena pada level C5-6 dan C6-7
-
40% luput pada diagnosis awal karena radiografi yang inadekuat, adanya
cedera lain, atau gejala awal yang kurang jelas.
-
Pada kasus yang jelas mengalami dislokasi, proc artikularis inferior berada
di anterior dari proc artikularis superior dari vertebra di bawahnya.
-
Penyebab tersering adalah KLL, jatuh, perkelahian, dan olah raga.

Dislokasi facet unilateral


-
Dislokasi facet unilateral adalah cedera distraksi fleksi dengan roatasi.
-
Murni akibat cedera ligamen. Disrupsi terjadi pada :
1. Lig supraspinosus,
2. Lig interspinosus,
3. Lig flavum, dan
4. Kapsula facet
-
Pada sisi facet yang mengalami dislokasi foramen neural mengalami
penyempitan menyebabkan tingginya insidens radikulopati.
-
Foto lateral 25% menampakkan displacemen anterior vertebra dengan
gambaran khas “bow tie” dari laminae.
-
Foto oblique menampakkan dislokasi. Pada kasus subluksasi akan tampak
facet yang agak tinggi dan penyempitan neural foramen.
-
Pada foto AP akan tampak deviasi proc spinosus ke sisi dislokasi.
-
CT scan membantu dalam menetapkan anatomi pasti serta cedera ikutan
lainnya. Biasanya tampak facet superior yang kosong atau telanjang dari
vertebra di bawahnya.

Dislokasi facet bilateral


-
Dislokasi ini meliputi disrupsi ligamen, kapsul ligamen, dan sering juga
diskus, sebagai akibat cedera distraksi fleksi.
-
Foto lateral 50% menampakkan subluksasi corpus vertebra
49
-
Insidens spinal cord injury sangat tinggi akibat penyempitan spinal canal.
-
Penanganan awal semua dislokasi facet joint adalah dengan reduksi tertutup
dengan traksi kepala.
-
Akhir-akhir ini ternyata dapat terjadi deteriorisasi neurologik setelah
reduksi tertutup diduga sebagai akibat herniasi diskus.
-
Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan CT mielografi dan MRI sebelum
melakukan reduksi tertutup.
-
Closed reduksi yang aman tampak pada pasien yang sadar baik dan
kooperatif.
-
Karena itu, pendekatan alternatif adalah melakukan pemeriksaan CT atau
MRI sebelum melakukan reduksi tertutup pada pasien yang tidak sadar atau
tidak kooperatif.
-
Pasien harus menjalani pemeriksaan radiografik dan montioring neurologik
yang ketat.
-
Setiap pasien yang mengalami deteriorisasi neurologik selama reduksi atau
direncanakan untuk dioperasi harus dilakukan pemeriksaan MRI atau CT
scan.
-
Pasien yang datang dengan defisit neurologis komplit paling baik ditangani
dengan reduksi segera dan pemeriksaan MRI untuk perencanaan operasi.
-
Jika tak ada bukti protrusi diskus, dianjurkan stabilisasi dan fusi posterior
mengingat mekanisme alamiah cedera ligamen.
-
Stabilisasi diperoleh dengan tehnik wiring spinosus poste-rior atau plating
massa lateralis.
-
Bila tampak tandatanda nyata herniasi diskus maka dilaku kan fusi dan
discectomy anterior cervical sebelum dilaku-kan fusi posterior.
-
Beberapa center rumah sakit melakukan purely anterior decompression,
interbody grafting, dan plating anterior pada keadaan semacam tersebut.
Namun mereka menggunakan plating anterior tanpa prosedur posterior.
-
Penggunaan anterior plating tanpa prosedur posterior masihlah
kontroversial.

Fraktur facet
-
Fraktur facet biasanya menyertai dislokasi facet, namun dapat timbul
tersendiri (isolated).
-
Defisit neurologik yang menyertai dapat berupa cedera radiks hingga spinal
cord syndroms.
-
Kasus-kasus unilateral dapat direduksi secara tertutup namun residual
instabilitas rotasional membutuhkan stabili sasi dan fusi posterior.
-
Pasien dengan fraktur facet dan deficit radiks membutuh-kan foraminotomy
cervical sebagai bagian dari tindakan pembedahan.
-
Beratnya instabilitas pada kasus-kasus bilateral tergantung pada keadaan
tempat fraktur facet superior atau inferior. Umumnya untuk fraktur jenis ini
juga dibutuhkan tindakan bedah.

VERTEBRAL BODY BURST FRACTURE

50
-
Cedera ini timbul akibat gaya aksial biasanya disertai dengan komponen
fleksi.
-
Akibatnya adalah terjadinya fraktur comminuted hingga ke aspek posterior
vertebra dengan berbagai derajat retropulsi tulang ke spinal canal.
-
Elemen posterior juga terkena baik berupa disrupsi ligamen maupun fraktur
dan ini umum terjadi sehingga menim bulkan kiposis.
-
Sering timbul spinal cord injury dengan bebagai derajat keparahan akibat
gangguan kanal maupun deformitas spinal.
-
Foto polos lateral biasanya menampakkan gambaran frak-tur kecuali fraktur
pada sagital plane namun ini jarang ter-jadi. Fraktur ini paling baik dilihat
dengan foto AP atau dengan CT scan axial.
-
CT scan akan membrikan gambaran jelas anatomi tulang dan detail spinal
canal.
-
MRI membantu dalam menilai derajat kompresi mekanis cord dan cedera
parenchymal cord serta memperlihatkan integritas kompleks ligamentum
posterior.
-
Traksi skeletal dini membuat realign spina dan membantu reduksi indirek
dari fragmen tulang yang mengalami retropulsi dengan ligamentoaxis.
-
Pasien-pasien dengan neurologis intak tanpa gangguan kanal dapat
dipertahankan dengan imobilisasi traksi atau halo vest hingga dilakukan
intervensi bedah dengan fiksasi internal.
-
Operasi bedah anterior surgical decompression dilakukan pada pasien-
pasien dengan defisit neurologis inkomplit dan residual canal compromise.
-
Intervensi bedah berupa anterior corpectomy sebagai bagian dari prosedur
dekompresi dan reconstructive anterior load sharing dengan tricortical iliac
crest atau fibular strut graft.
-
Stabilisasi cedera hebat dengan plating anterior saja masih kontroversial
terlebih lagi jika terjadi disrupsi kompleks lig posterior.
-
Pada kasus demikian, tambahan prosedur stabilisasi posterior dengan wiring
proc spinosus atau plating massa lateralis secara nyata memperbaiki
stabilitas konstruksi dan karena itu merupakan pendekatan pilihan.

TEARDROP FRACTURE DISLOCATION


-
Merupakan cedera kompresi fleksi yang sangat tidak stabil
-
Biasanya terjadi pada C5-6, seringkali mempunyai gambaran relatif yang
tidak berbahaya pada foto radiograf.
-
Gambaran khas fraktur ini adalah :
1. Fraktur displaced sudut anterioinferior corpus vertebra superior,
2. Disrupsi segmental diskus,
3. Cedera atau fraktur lig posterior
-
Subluksasi dan angulasi posterior pada vertebra yang kena disertai dengan
pelebaran ruang interspinosus. Akibatnya terjadi penyempitan spinal canal.
-
Insidens cedera neurologis relatif tinggi berkisar mulai dari cedera radiks
hingga cedera komplit cord.
51
-
Evaluasi awal dan prinsip penanganannya sama dengan vertebral body burst
fracture.

FRAKTUR LAMINA
-
Isolated fracture of the lamina rrelatif jarang terjadi
-
Terjadi sebagai akibat gaya ekstensi dan aksial
-
Fraktur ini biasanya terjadi kombinasi dengan cervical spine injury lainnya.
-
Evaluasi radiologis diperlukan.
-
Fraktur isolated ditangani dengan rigid orthosis selama minimal 6 minggu.

FRAKTUR MASSA LATERALIS


-
Meliputi separasi komplit massa lateralis dari vertebranya akibat :
1. Fraktur pedikel dan lamina ipsilateral serta
2. Disrupsi facet joint superior dan inferior dari massa lateralis yang fraktur.
-
Biasanya disertai dengan cedera cervical spine lainnya tetapi kadang juga
terjadi sebagai fraktur isolated.
-
Fraktur yang nondisplaced dapat ditangani secara nonoperatif.
-
Fraktur yang displaced bersifat unstable dan dapat disertai dengan nerve
injury atau cedera a. vertebralis (jarang).
-
Reduksi, stabilisasi, dan fusi secara bedah lebih disenangi utamanya pada
fraktur yang isolated.

AVULSI PROC SPINOSUS


-
Dikenal juga sebagai clay-shoveler fracture.
-
Biasanya terjadi pada lower cervical spine utamanya vertebra C7.
-
Fraktur ini meliputi avulsi oblique proc spinosus dan dianggap stabil namun
cedera cervical lainnya harus disingkirkan lebih dulu.
-
Sering terjadi pseudoarthrosis pada isolated injury.
-
Untuk pasien simptomatik ditangani dengan cervical collar.

7. FRAKTUR TORAKOLUMBAL

-
Rasio laki: wanita 4:1 mean age usia pertengahan 20-an
-
Penyebab terbanyak adalah KLL (45%), jatuh (20%), olah raga (15%),
kekerasan (15%), dan lain-lain (5%).

Anatomi dan patogenesis


-
Spine yang melindungi elemen-elemen neural yang berada dalam spinal
canal terbagi atas :
1. Segmen Torakal (T1-11)

52
2. Segmen Torakolumbar (T12-L1)
3. Segmen Lumbal (L2-5)
-
Bagian torakal merupakan bagian yang paling stabil karena adanya tulang
iga, diskus yang relatif pendek, dan karena pada dasarnya pada potongan
sagital berbentuk kifosis.
-
Bagian torakolumbar merupakan bagian yang relatif tegak.
-
Bagian lumbal merupakan bagian yang relatif lebih mobil, diskus lebih
tinggi, dan lordotik.
-
Daerah torakolumbar lebih rentan karena berada diperbatasan antara daerah
torakik yang stabil dengan daerah lumbal yang mobil.
-
Cord memanjang mulai dari dasar otak hingga caudalnya pada L2 dan
disebut sebagai conus terminalis.
-
Posisi conus terminalis sangat bervariasi sepanjang spinal kanal.
-
Distal dari conus terminalis adalah ruang subarachnoid, mengandung radix
anterior dan posterior yang membentuk cauda equina.
-
Cedera pada thoracic atau thoracolumbar spine dapat menimbulkan gejala
cord.
-
Cedera pada cauda equina akan menimbulkan gejala yang berkenaan
dengan radix anterior dan posterior.
-
Fraktur pada thoracic spine seringkali disertai dengan cedera dinding dada.
-
Cedera pada thoracolumbar junction mempunyai insidens tinggi disertai
cedera abdonen
-
Fraktur pada lumbar spine dapat disertai dengan cedera pelvis.

Pemeriksaan fisik dan diagnosis


-
Pemeriksaan awal mengikuti evaluasi trauma ATLS termasuk stabilisasi
pasien terhadap cedera.
-
Riwayat dan mekanisme cedera harus diketahui untuk menilai derajat resiko
dan stabilitas cedera spine.
-
Proc spinosus harus dipalpasi untuk mencari daerah nyeri tekan, pelebaran
interspinosus, atau deformitas kifosis yang nyata.
-
Evaluasi neurologik yang detail, level sensoris yang ada, level kekuatan
otot, refleks erifer, refleks Babinski dan refleks bulbokavernosus.
-
Pada pria, refleks bulbokavernosus dilakukan dengan menekan glans penis
atau memasang kateter sementara melakukan rectal examination. Sphincter
akan mencekik.
-
Pada wanita, refleks ini dilakukan dengan menekan klitoris.
-
Spinal syok merupakan suatu keadaan gangguan fisiologis fungsi spinal
cord yang timdul dibawah level lesi anatomis
-
Pemulihan spinal syok terjadi 24-48 jam kemudian pada 99% kasus ditandai
dengan pulihnya refleks bulbokaverno sus.
-
Dengan demikian. Pada keadaan spinal syok penilaian lesi penderita yang
adekuat tidak dapat dilakukan.
-
Penilaian preopertafi meliputi jga refleks kandung kemih dan refleks
menghindar.

53
-
Keberadaan fungsi motoris dan sensoris dibawah level lesi menandakan
bahwa lesi bersifat inkomplit.Lesi inkomlit dapat dibagi menjadi 4 sindrom
klasik berdasar kerusakan neurologisnya pada spinal cord.

1. Central cord syndrome


- Paling umum terjadi
-
Gambaran klinis kelemahan otot proksimal yang lebih hebat dari
bagian distal.
-
Pemulihan fungsional pada 75% kasus.

2. Anterior cord syndrome


-
Relatif sering terjadi
-
Kerusakan pada bagian anterior cord
-
Bagian posterior cord tetap utuh
-
Fungsi motoris hilang total, sensasi nyeri dalam hilang, begitu juga
sensasi suhu hilang.
-
Pemulihan pada 10% kasus
3. Posterior cord syndrome
-
Jarang terjadi
-
Dikaitkan dengan kerusakan bagian posterior cord
-
Tractus spinothalamicus tetap baik.

4. Brown sequard syndrome


-
Sangat jarang terjadi
-
Gambaran khas hilangnya fungsi motoris ipsilateralis
-
Perasaan terhadap getar (vibrasi), propioseptif sentuhan ringan (light
touch propioceptive) juga hilang.
-
Pemulihan fungsi terjadi pada lebih 90% kasus.
-
Syok neurogenik merupakan penyebab umum timbulnya hipertensi pada
pasien dengan cedera thoracolumbar spine.
-
Gambaran khas neurogenik syok adalah :
1. Hipertensi dengan bradikardi.
-
Hipertensi timbul sebagai akibat peningkatan kapasitas sirkulasi karena
hilangnya tonus simpatetik dan vasodilatasi parasimpatetik vagal tanpa
rintangan.
2. Hipovolemia.
3. Hipotensi (dapat juga terjadi).
4. Takikardia (dapat juga terjadi).
-
Steroid harus diberikan pada semua pasien dengan cedera spinal cord
dengan waspada terhadap terjadinya gastric ulcers dan infeksi.
-
Protokol menurut Bracken et al : bolus metilprednisolon 30 mg /kgBB
dilanjutkan dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam dalam drips selama periode
total 23 jam.
-
Anjuran pemberian steroid adalah dalam 6 jam pasca cedera akut.

54
SKEMA GRADING
-
Grading bertujuan untuk memonitor luasnya cedera neuro- logik,
progresifitas dan menilai manfaat berbagai metode penanganan.
-
Skema grading Frankel mempunyai keuntungan dikenal luas, banyak
digunakan dan gampang diterapkan.
-
Kekurangan grading Frankel adalah tidak menilai fungsi kandung kemih
dan rektal dan tidak sensitif terhadap perbaikan pada grade D.
-
Selain itu grading Frankel tidak melihat level cedera dan derajat disfungsi,
misalnya quadriplegik dan paraplegik mempunyai grade yang sama.
-
Klasifikasi yang lebih komprehensif diusulkan oleh Lucas dan Ducker
yang menggunakan pemeriksaan motorik standar yang memadukan 14
kelompok otot.
-
The American Spinal Injury Association (ASIA) memo difikasi indeks
motorik Lucas dan Ducker dan mencipta kan sistem grading 100 poin
berdasar pada tes motorik 20 otot spesifik
-
Setiap kelompok otot diberi nilai 0 sampai 5 dengan meng gunakan tehnik
standar pengujian otot
-
Kekurangan sistem ASIA adalah tidak menilai fungsi usus dan kandung
kemih.

Klasifikasi Frankel
Grade Karakteristik
A Fungsi motoris dan sensoris tak
ada dibawah level cedera
B Sensoris ada, paralisis motorik
komplit
C Sensoris ada, fungsi motoris ada
tapi tak berguna (not useful) grade
2-3/5
D Sensoris ada, fungsi motorik ada
dan bermanfaat (useful) (grade
4/5)
E Neurologik intak

Skor indeks motorik ASIA


Grade Otot Grade kiri
kanan
0-5 C5 0–5

55
0–5 C6 0–5
0–5 C7 0–5
0–5 C8 0–5
0–5 T1 0–5
0–5 L2 0–5
0–5 T3 0–5
0–5 T4 0–5
0–5 T5 0–5
0-5 S1 0-5

Klasifikasi Fraktur Tulang Belakang


-
Tulang belakang dikatakan stabil jika tulang belakang mampu menahan
stres tanpa mengalami deformitas progresif, perubahan neurologik, atau
nyeri dibawah beban fisiologis.
-
Denis mengajukan konsep 3 pilar pada tulang belakang dalam usaha untuk
menilai dan menjumlahkan stabilitas pada fraktur tulang belakang.
-
Sistem ini paling populer saat ini
-
Konsep 3 pilar Denis yakni :

1. Pilar (collumn) anterior, terdiri dari :


1) Lig longitudinalis anterior;
2) Bagian anterior annulus;
3) Aspek anterior corpus vertebra.

2. Pilar tengah (middle collumn), terdiri dari :


1) Lig longtiudinalis posterior;
2) Bagian posterior annulus;
3) Aspek posterior corpus vertebra.

3. Pilar (collumn) posterior, terdiri dari :


1) Tulang arkus neuralis;
2) Ligamentum interspinosus;
3) Ligamentum flavum
-
Gangguan dari 2 atau lebih pilar akan menimbulkan instabilitas.
-
Menurut Denis ada 4 pola fraktur utama pada tulang belakang yakni :
1. Fraktur kompresi,
2. Fraktur burst,
3. Seat belt-type injuries, dan
4. Fraktur dislokasi
-
Ke empat tipe fraktur ini dapat dikenali dari gangguan pada ketiga pilar
tersebut.

56
-
Fraktur kompresi terjadi jika hanya satu pilar terganggu dan fraktur ini
dianggap stabil.
-
Fraktur burst terjadi timbul akibat gaya aksial yang mengganggu pilar
anterior dan tengah
-
Fraktur burst dapat dibagi lagi menjadi 5 subtipe
-
Fraktur burst :
Tipe A
Fraktur burst yang mengenai kedua end plates
Tipe B
Fraktur pada bagian superior end plate
Tipe C
Fraktur pada bagian inferior end plate
Tipe D
Fraktur burst dengan rotasi
Tipe E
Fraktur burst dengan lateral fleksi
-
Fraktur ini termasuk fraktur unstable dengan peningkatan ketidakstabilan
dari A ke E
-
Seat-belt type injury terjadi akibat gangguan pilar tengah dan posterior
akibat gaya tekan.
-
Cedera seat-belt type dapat mengenai seluruh tulang seperti pada fraktur
Chance, atau dapat juga mengenai komponen tulang dan ligamen.
-
Fraktur-dislokasi terjadi jika gangguan pada ketiga pilar dibawah gaya
kompresi, tension, dan rotasi atau gaya sebar (shear).
-
Fraktur ini merupakan tipe fraktur paling unstable.
-
Ada 3 tipe fraktur dislokasi yakni :
1. Fraktur dislokasi fleksi-rotasi
2. Fraktur dislokasi shear type
3. Fraktur dislokasi fleksi-distraksi
-
McAfee et al. mengembangkan satu klasifikasi berdasar pada 3 gaya, pada
potongan transversal, yang bekerja pada pilar tengah :
1. Gaya kompresi aksial
2. Gaya distraksi aksial
3. Gaya translasi
-
Dari konsep ini diidentifikasi 6 cedera prinsipal yakni:

1. Fraktur wedge compression


Gangguan hanya pada pilar anterior, kolum tengah tetap intak.

2. Fraktur burst stable


Pilar anterior dan tengah gagal pada gaya kompresi. Pilar posterior tidak
kehilangan integritasnya.

57
3. Fraktur burst unstable
Sama seperti fraktur burst stable hanya pilar posterior juga mengalami
disrupsi

4. Fraktur Chance
Pilar tengah gagal sewaktu ada gaya distraksi.

5. Cedera fleksi-distraksi
Pilar tengah berada dalam tension dengan pilar posterior dan pilar
anterior gagal pada gaya kompresi.

6. Cedera translasional
Ketiga pilar ini gagal dalam gaya sebar (shear).
-
Magerl et al. mengajukan klasifikasi komprehensif pada fraktur tulang
belakang berdasar pada 3 gaya dasar : kompresi, distraksi dan rotasi.
-
Dari ke 3 gaya ini dikenal cedera tipa A untuk gaya kompresi, cedera tipe B
untuk gaya distraksi, dan cedera tipe C untuk gaya rotasi.
-
Setiap tipe ini dibagi lagi menjadi kategori 1 hingga 3 berdasarkan beratnya
cedera.
-
Misal Fraktur tipe A dibagi menjadi impaksi corpus (A1), slitting (A2), dan
burst (A3).
-
Tipe A1-1 adalah fraktur impaksi pada end plate, sedang tipe A1-3 adalah
lesi kompresi dengan kolaps komplit cor-pus.
-
Sistem klasifikasi Magerl et al komprehensif namun sulit digunakan. Saat
ini jarang dipakai.
-
Sebagai tambahan terhadap disrupsi pilar, perlu dipertim- bangkan
geometrik fraktur tulang belakang untuk menge- nali instabilitas potensial.
-
Suatu fraktur dikatakan stabil jika < 50% hilangnya tinggi corpus atau jika
sudut deformitas <200.
-
Untuk deformitas berlanjut, persentase kompresi dan derajat angulasi
haruslah dijumlah.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
-
Foto rutin AP dan lateral meliputi seluruh tulang belakang
-
70-90% kasus dapat terdiagnosis dengan foto single cross-table.
-
Foto AP akan menampakkan pelebaran pedikel atau tanda tanda
keterlibatan elemen posterior berupa pelebaran proc spinosus.
-
Fraktur laminar vertikal atau transversal juga dapat diketahui dari foto AP.
-
Pelebaran pedikel pada foto AP curiga keterlibatan pilar tengah.
-
Pelebaran interspinosus yang nyata menunjukkan keterlibatan pilar
posterior.
-
Pada anak-anak kecurigaan spinal cord injury sangat tinggi mengingat pada
kelompok ini dapat terjadi tanpa disertai kerusakan tulang yang nyata.

58
-
Fenomena ini disebut sebagai spinal cord injury without radiological
abnormality (SCIWORA). Karena ini pada anak-anak dianjurkan
pemeriksaan CT atau MRI.
-
Pada pasien dengan ankylosing spondylitis dan diffuse idiopathic skeletal
hyperostosis (DISH) perlu dicurigai spinal cord injury karena pasien dengan
latar belakang penyakit seperti ini dapat mengalami fraktur dengan hanya
trauma kecil dan frakturnya sulit untuk divisualisasi dengan radiograf rutin.
-
Secara khusus, pada pasien dengan ankylosing spondylitis dan nyeri
punggung akibat trauma harus ditangani seolah-olah mengalami fraktur.

CT scan
-
Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi secara mendetail menyangkut
tulang dan derajat gangguan kanal.
-
Perhatian harus diberikan terhadapo hubungan facet joint nkarena
memberikan informasi menyangkut derajat displacement.
-
Integritas lamina dan pedikel juga harus diperiksa.
-
Walaupun tidak selalu penting, rekonstruksi sagital dan ko ronal dapat
memberikan informasi tambahan menyangkut struktur fraktur yang
nantinya membantu dalam pembedah an dekompresi.

MRI
-
Memberikan status intervertebral disk, potensial ligament ous injury,
epidural hematoma , dan penekanan cord.
-
Cord hemorrhage tampak sebagai daerah hypointense pada T 1-weighted
images.
-
Edema cord tampak sebagai daerah hyperintense pada T1-weighted images.

Myelogram
-
Pada keadaan-keadaan MRI tak dapat digunakan misal karena alat tidak
ada, pasien dengan pacemakers, ferromag netic implants, claustrophobia
atau hasil MRI ternyata suboptimal maka dilakukan pemeriksaan
myelogram.
-
Myelogram sangat berguna terutama pada robekan dura.

PENANGANAN
-
Tujuan penanganan adalah :
1. Menstabilkan, menyeimbangkan spinal collumn tanpa nyeri,
2. Memperoleh fungsi neurologis yang optimal dengan imobilisasi sesedikit
mungkin segmen tulang belakang.
3. Mempersingkat rehabilitasi
-
Tujuan diatas dapat dicapai dengan tindakan operatif maupun nonoperatif.
-
Penanganan nonoperatif berupa pemakaian brace, yakni thoracolumbal
orthosis untuk fraktur torakolumbal yang stable.

59
-
Tulang yang berada dalam spinal canal akan teresorbsi dalam waktu yang
lama.
-
Fraktur yang unstable ditangan secara operatif baik dengan pendekatan
anterior, posterior atau kombinasi keduanya.

Nonoperatif
-
Tindakan ini dipertimbangkan pada fraktur yang stabil, misal fraktur yang
mengenai satu pilar dan tak ada tandatanda kifosis lokal.
-
Stable burst fracture dapat pula ditangani secara nonopera tif.
-
Cedera pada level T8 dan proksimalnya dilakukan pemasangan
cervicothoracolumbar orthosis.
-
Pasien dengan fraktur sebelah distal T8 dilakukan pemasangan
thoracolumbar orthosis.
-
Orthosis dipasang selama 3-6 bulan. Penyembuhan ditandai dengan
berkurangnya nyeri.
-
Fraktur dipantau secara radiologik untuk menilai instabilitas selama
pemasangan brace.

Operatif
-
Diindikasikan pada fraktur yang unstable
-
Penanganan fraktur yang unstable tanpa defisit neurologis masih
kontroversi.
-
Sangat sulit untuk memprediksi pasien dengan fraktur un- stable tanpa
defisit neurologis akan berkembang menjadi potensial kifosis. Walaupun
angulasi 200 dianggap batas potensial instabilitas. Hal lain yang perlu
dipertimbangkan antara lain ukuran penderita yang mungkin dapat
menimbulkan large kyphosing moment.

8. FRAKTUR SUBTROCHANTER DAN INTERTROCHANTER


FEMUR PROXIMAL

PENDAHULUAN

60
-
Fraktur ekstrakapsular femur proksimal juga mencakup daerah
subtrochanteric dan intertrochanteric.
-
Fraktur intertrochanter paling sering terjadi pada pasien-pasien berusia 75-
80 tahun (>60 tahun) yang mempunyai mortalitas dan morbiditas yang
tinggi terhadap fraktur collum femur.
-
Pada fraktur intertrochanteric kaki yang cedera dalam posisi rotasi eksternal
(varus), lebih pendek, pangkal paha edem dan nyeri sehingga tak mampu
mengangkat kaki.
-
Daerah trochanter kaya pembuluh darah sehingga nekrosis avaskular dan
nonunion tidak terjadi.
-
Istilah hip fracture mencakup fraktur cervical dan intertrochanteric tapi
tidak meliputi fraktur subtrochanter.
-
Fraktur subtrochanter merupakan 7-15% dari fraktur femur proksimal, dan
pada dasarnya merupakan subgrup dari shaft fracture serta mempunyai
mekanisme yang unik dan masalah bilogik khusus.
-
Fraktur subtrochanterik umumnya terjadi pada dua kelom-pok umur
pertama kelompok dewasa muda pada usia 40-an akibat trauma berenergi
tinggi dan kedua kelompok usia tua pada umur 80-an akibat trauma
berenergi rendah.

DEMOGRAFIK
-
Pada dewasa muda, fraktur transversal atau short oblique pada bagian
proksimal femur (terutama pada daerah subtrochanter) biasanya disebabkan
oleh trauma berenergi tinggi misal jatuh dari ketinggian, KLL, atau (jarang)
luka tembak.
-
Faktor lain yang juga terkait antara lain: wanita, usia lan- jut, penurunan
massa tulang (osteoporosis), osteomalacia, berat badan rendah, kelemahan
otot, gangguan penglihatan, gangguan neurologik (keseimbangan buruk,
gangguan refleks), inaktifitas fisik, malnutrisi, ras (kaukasus), pero-kok,
konsumsi alkohol, dan geografi.
-
Hampir 90% hip fracture pada usia lanjut diakibatkan oleh jatuh
-
Fraktur long oblique dengan minimal communition sering terjadi pada
penderita usia lanjut yang diakibatkan oleh trauma berenergi rendah.
-
Mengingat massa tulang yang rendah, rapid post menopausal bone loss, dan
resiko tinggi untuk mengalami jatuh, wanita mempunyai resiko 2-8 kali
lebih tinggi mengalami hip fracture dibanding wanita.
-
Meskipun menopaus sendiri bukan merupakan suatu faktor resiko, namun
suplementasi estrogen dan intek harian yang tinggi kalsium (1000 mg
premenopaus, 1500 pasca menopaus) mempunyai efek proteksi terhadap hal
ini.
-
Kehilangan tulang trabekular yang progresif, penipisan diafise cortical,
serta pelebaran kanal intermedullar terjadi sejalan dengan pertambahan usia
atau dengan penyakit metabolik tulang.
-
Artritis sendiri mempunyai efek yang bervariasi terhadap resiko fraktur dan
hasil pengobatannya.

61
-
Osteoartritis dapat memberikan efek proteksi terhadap hip fracture akibat
adanya penebalan sclerotik tulang.
-
Sebaliknya, pasien-pasien rheumatoid dengan fraktur inter trochanterik
dilaporkan mempunyai laju tinggi mengalami avascular necrosis (AVN)
(10%), nonunion (7%), dan secondary displacement (24%) dibanding yang
diharapkan pada populasi umum yang nonrheumatoid.
-
Manajemen fraktur antara manula dengan dewasa muda tidaklah berbededa,
tujuan penanganan adalah aligment fraktur yang baik, stabilisasi yang
cukup untuk memungkinkan mobilisasi fungsi dan rehabilitasi dini.
-
Masalah komorbid, usia lanjut, kualitas cadangan tulang yang buruk
merupakan faktor resiko yang harus dipertimbangkan.

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Daerah decussatio dari kompresi medial dan tension lateral trabekula pada
tulang cancelous yang kompak di bagian pusat caput femoris menciptakan
daerah dengan densitas maksimal, kirakira 25 mm dari cortex subchon dral.
-
Sebaliknya, femoral neck tersusun dari tulang cancelous yang lemah yang
lebihj dense di perifernya dan daerah sentra (Ward’s triangle) dan secara
progresif menipis sesuai pertambahan usia.
-
Dengan memperhatikan pola trabnekular akan membantu dalam
keberhasilan fiksasi internal.
-
Singh index membantu dalam menghitung derajat osteo porosis melalui
grading roentgenografik pola trabekular ini. Skala 1untuk osteoporosis berat
hingga 6 untuk tulang normal. Indeks ini sangat subyektif dan realibilitas
prognostiknya sangat terbatas.
-
Geometri femoral neck perlu diperhatikan jika hendak memasang implant
melalui femoral head atau intramedullary canal.
-
Normalnya, femoral neck-shaft angle menurun dari 1500 pada bayi baru
lahir hingga ratarata 1350 pada orang dewasa dan 1200 pada orang tua.
-
Pada orang dewasa anteversi ratarata 70 hingga 160.
-
Proksimal dari trochanter minor, pada potong-an sagital lengkungan
anterior dari shaft berbalik menjadi lengkungan convex ke posterior.
-
Ini menyatukan intramedullary canal dengan fossa piriformis; dengan
demikian hampir semua intramedullary implant harus dimasukkan melalui
regio ini atau melalui posterior prominence trochanter mayor.
-
Karena trochanter mayor merupakan struktur posterior, maka harus hati-hati
dan memasukkan implant lebih ke anterior.
-
Jika dimasukkan di pusat atau lebih ke posterior, implant dapat keluar
melalui bagian posterior neck dan merusak asupan pembuluh darah ke
femoral head.
-
Daerah intertrochanterik tersusun dari daerah kaya pembu-luh darah, tulang
kompak cancelous, dan dibatasi oleh trochanter mayor dan minor, yang
merupakan tempat insersi musculotendinous gluteal (medius dan minimus)
dan otot iliopsoas.

62
-
Ke distal, cortical metafiseal mulai menipis hingga menja di lapisan tipis di
daerah diafise.
-
Karena tidak pertanda anatomik yang jelas dari batas tran-sisi ini maka
daerah ini didefinisikan sebagai zona perluas-an dari puncak maupun dasar
trochanter minor hingga ke titik 5 cm distal atau sejauh ishtmus dari shaft.
-
Calcar femorale adalah tulang vertikal tebal padat yang meluas dari bagian
posterior neck ke daerah posteromedial intertrochanteric tepat di anterior
trochanter minor hingga ke posteromedial cortex subtrochanteric.
-
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa daerah ini menerima gaya
tekanan dan regangan yang hebat selama mekanisma weight bearing.

BIOMEKANIK
-
Besar dan arah gaya yang diterima serat derajat osteoporo- sis tulang
berperan dalam timbulnya berbagai pola fraktur di proksimal femur dan hip
joint.
-
Gaya langsung meliputi benturan langsung pada trochanter mayor dan
acetabular rim dari femoral neck.
-
Gaya tak langsung biasanya terdiri atas gaya aksial sepanjang femur dan
gaya tarikan abduktor pada trochanter mayor.
-
Trochanter minor biasanya ikut terlibat jika seseorang jatuh dengan posisi
hip ekstensi.
-
Orang jatuh biasanya tangan secara refleks menahan keja tuhan dan melalui
sifat elastik dari jaringan lunak dan komponen lainnya pada sekleton, gaya
ini akan berkurang.
-
Namun pada orang tua, kontraksi yang lamban dan otot yang lemah dan tua
tidak dapat mengurangi gaya potensial tersebut untuk mencegah fraktur.
-
Proksimal femur merupakan arkus penopang yang menyokong kerangka
tubuh.
-
Pauwels menghitung satu kaki, jika berdiri, gaya reaksi sendi 3 kali berat
badan, diteruskan pada sudut 1590 pada potongan vertikal.
-
Penulis lain mendapatkan gaya ini 1,5-3 kali BB selama berdiri tegak, 2,5-4
kali BB sewaktu bangun dan tidur, 4-5 kali BB sewaktu berlari, dan 7 kali
BB selama memanjat tangga. Semua faktor ini penting dalam pemilihan
implant dan perencanaan rehabilitasi.
-
Stres yang paling besar terjadi di daerah subtrochanteric. Koch
mendapatkan daerah stres paling besar adalah 2,5-7,5 cm distal trochanter
minor, semakin ke proksimal didapatkan puncak stres regangan (tensil)
pada lateral cor-tex.
-
Selain itu, inklusi dari regangan otot abduktor pada pang- gul menyebabkan
peningkatan stres hingga 4 kali lipat, dan kekuatan regangan ini
diteruskan ke femur.
-
Sewaktu berjalan secara normal, kenaikan ini dapat diimbangi sebesar 90 kg
oleh regangan tensor fascia latae, yang akan mengurangi stres pada femur
dengan membagi 3 dan strain energy membaginya 10.

63
-
Defek tulang sepanjang cortex medial femur akibat fraktur communition
atau displacement fragmen-fragmen yang besar akan menurunkan stabilitas
fraktur dan meningkat- kan gaya lengkung pada komposit tulang-implant,
sehing- ga dengan demikian akan memperpendek fatigue life dari implant.
-
Rekonstruksi cortex medial femur bagian proksimal amatlah penting untuk
mencegah terjadinya hal tersebut.
-
Apel, membuktikan bahwa fiksasi seluruh cortex medial dan sebagian besar
cortex posterior meningkatkan kekuatan menanggung beban hingga 57%.
-
Sebaliknya, stabilisasi bagian kecil dari trochanter minor hanya
meningkatkan 17% dari beban terhadap kegagalan.
-
Faktor-faktor lain, seperti tipe fiksator, keadaan biomekanis dari fraktur,
geometri reduksi, kualitas tulang dan laju penyembuhan lebih memegang
peranan dalam mencapai stabilitas dibanding ukuran, bentuk, atau lokasi
fragmen medial.
-
Kualitas tulang yang buruk merupakan faktor predisposisi bagi pasien untuk
fraktur, membuat fiksasi lebih lemah, menghilangkan potensi untuk stabil
oleh implant intrame- duller, dan meningkatkan resiko kegagalan implant
atau terjadi fraktur pada bagian distal dari implant.
-
Sebaliknya, kualitas tulang yang baik pada pasien muda memberikan
stabilitas fiksasi dan hasil tindakan bedah yang lebih baik.
-
Reduksi varus akan menimbulkan momen lengan yang lebih panjang dan
dengan demikian meningkatkan gaya deformitas pada implant dan fraktur
yang menyembuh dibanding reduksi valgus yang lebih kurang
menimbulkan stres.
-
Gaya lengkung dari implant dapat dikurangi dengan meletakkan implant
lebih dekat ke pusat aksis berat badan (weight bearing axis).
-
Fiksasi intramedullar akan menyokong antara 3-4 kali BB, dibanding plate
yang akan gagal jika beban 1-2 kali BB.

PEMERIKSAAN FISIS DAN DIAGNOSIS


-
Kurang lebih 50% pasien yang menderita fraktur subtrochanterik berenergi
tinggi disertai dengan cedera mayor lainnya, antara lain cede-ra organ
intraabdominal, fraktur extremitas, fraktur pelvic ring dan tulang belakang.
-
Instabilitas hemodinamik dapat diakibatkan hilangnya darah yang berkisar
580-1500 ml untuk fraktur di subtrochan terik dan diafiseal.
-
Cedera neuorvaskular jarang terjadi.
-
Pada keadaan dengan deformitas klinis tidak begitu jelas pada fraktur
intertrochanterik nondipslaced, namun pemeriksaan fisik dapat ditemukan
nyeri, ketidakmampuan berdiri atau berjalan, pemendekan, dan rotasi
eksternal ekstremitas.
-
Pada keadaan akut akan ditemukan pembengkakan di daerah panggul, dan
jika lebih lanjut akan ditemukan ekimosis diatas trochanter mayor.
-
Pada fraktur subtrochanterik, spasme otot gluteal akan menimbulkan
abduksi, otot iliopsoas akan menyebabkan fleksi, dan rotasi eksternal akibat
spasme otot short external rotators bagian proksimal fragmen sedangkan

64
bagian distal ke arah medial oleh spasme otot adduktor. Semuanya ini
menimbulkan shortening nyata dan rotasi eksternal ekstremitas, dengan
benjolan di paha.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
-
Foto AP pelvis memungkinkan perbandingan dengan sisi kontralateral dan
informasi lengkap menyangkut acetabu-lum dan pelvic ring.
-
AP view akan memperlihatkan fraktur di daerah intertro-chanterik dan
menggambarkan anbatomi neck (jika diambil dalam posisi rotasi internal).
-
Foto lateral untuk mendeteksi fraktur subcapital dan untuk mengidentifikasi
setiap communition posterior, displacement, atau ekstensi ke trochanter
mayor atau fossa pirifor mis (lebih baik jika diambil foto cross-table).
-
Foto oblique merupakan tambahan untuk menilai lebih baik fraktur
communition atau kecurigaan nonunion.
-
Untuk fraktur subtrochanterik, seluruh femur harus difoto, termasuk sendi
lutut.
-
Keluhan nyeri terus menerus pada pasien manula yang mempunyai foto
roentgen normal harus mengarah ke kecurigaan occult fracture.
-
Fraktur semacam ini sering terjadi dengan riwayat yang kurang jelas,
trauma minimal, nyeri panggul, perasaan tidakn enak sewaktu bergerak, dan
ketidakmampuan untuk menahan BB.
-
Hanya 2,5% dari pasien ini yang kelak berkembang menja di displaced hip
fracture.
-
Diagnosis banding untuk keadaan ini adalah penyakit atraumatik termasuk
neoplasma, arthritis, bursitis trochan terik, avascular necrosis, dan gangguan
spinal.
-
Jadi, jika masih rendah kecurigaan terhadap occult fracture dan belum
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, maka dilakukan non weight bearing
dan pemeriksaan rontgen dilakukan 1 minggu kemudian.

PENANGANAN

Penanganan awal dan waktu pembedahan


-
Untuk penanganan awal dilakukan skin traction ringan (beban 2,2 kg)
sebagai immobilisasi dan mempertahankan panjang ekstremitas, namun
harus hati-hati pada pasien dengan gangguan vaskular perifer atau gangguan
sensoris.
-
Pasien dengan fraktur subtrochanterik sering memerlukan tibial atau distal
femoral pin traction akibat adanya gaya deformitas, terlebih lagi jika
penanganan terlambat beberapa hari.
-
Penanganan operatif secara dini akan menurunkan morbiditas dan
mortalitas.
-
Stabilisasi dini fraktur femur pada pasien dengan politrau-ma akan
menurunkan insidens komplikasi paru dan merangsang mobilisasi dini serta
pemulihan.
65
-
Sexson dan Lehner mendapatkan bahwa pembedahan dini menurunkan laju
mortalitas pada pasien yang sehat dari 15 ke 3% namun meningkatkan laju
dari 22 menjadi 33% pada pasien dengan 3 atau lebih komorbid.
-
Zuckerman et al melaporkan bahwa penundaan 2 hari atau lebih akan
disertai dengan reduksi 50% mortalitas 1 tahun, namun peningkatan 3 kali
lipat mortalitas pada pasien dengan komorbid lebih sedikit.
-
Kenzora et al, mendapatkan laju mortalitas 1 tahun yang tinggi (28%) pada
pasien yang relatif sehat yang menjalani pembedahan dalam 24 jam
dibanding yang menjalani pembedahan 2-5 hari kemudian (4%).
-
Fraktur terbuka ditangani sesuai protokol standar fraktur terbuka.

FRAKTUR INTERTROCHANTERIC

Klasifikasi
-
Klasifikasi yang paling mudah dimengerti dan digunakan adalah sistem
Evans.
-
Evans menyadari pentingnya posteromedial cortical butress, membuat
fraktur menjadi stabil (tipe 1 ) atau tidak stabil (tipe2).
-
Klasifikasi Evans :

Fraktur tipe 1
-
Daerah fraktur tetap intak atau minimal communited
-
Karena itu, kolaps fraktur minimal
-
Tanpa memandang metode fiksasi, stabilitas diperoleh dengan
memulihkan kontak kortikal medial.

Fraktur tipe 2
-
Meliputi communition bagian cortex posteromedial, ekstensi
subtrochanteric, dan reverse oblique pattern (garis fraktur oblique
memanjang dari korteks proksimal-medial hingga ke korteks distal-
lateral)
-
Pada fraktur ini dibutuhkan implant dengan bentuk khusus.
-
Walaupun klasifikasi Evans memberikan gambaran detail reduksi stabil
namun mempunyai reproducibility yang buruk.
-
Boyd dan Griffin mengajukan sistem klasifikasi yang selanjutnya
dimodifikasi oleh Kyle. Sisitem ini sangat bermanfaat karena membagi
lebih jauh fraktur stable.
-
Klasifikasi Boyd dan Griffin (modifikasi Kyle) :

Fraktur tipe 1
1. Nondisplaced
2. Stable
3. Lack communition
66
Fraktur tipe 2
1. Stable
2. Minimally communited
3. Displaced (reduksi menyebabkan stable)

Fraktur tipe 3
-
Fraktur unstable dan mempunyai communiton postero-medial yang nyata.

Fraktur tipe 4
-
Fraktur unstbale yang relatif jarang
-
Fraktur ini meluas hingga ke subtrochanteric
-
Paling susah untuk distabilkan karena besarnya gaya pada daerah ini.
-
Muller et al mengembangkan sistem klasifikasi yang kom prehensif dengan
multipart label.
-
Misalnya fraktur intertrochanterik diberi label 31-A; 3 menunjukkan femur,
1 area proksimal, A menunjukkan daerah trochanter.
-
Fraktur secara spesifik digambarkan dengan dua angka disusul huruf.
-
Fraktur daerah trochanter diklasifikasikan sbb :
31-A1.1
Simple fraktur pertrochanteric sepanjang linea intertro-chanteric
31-A1.2
Simple fraktur pertrochanteric melalui trochanter major
31-A1.3
Simple fraktur pertrochanteric dibawah trochanter minor (subtrochanteric
extension)
31-A2.1
Fraktur multifragmen pertrochanteric dengan satu fragmen intermediat
31-A2.2
Fraktur multifragmen pertrochanteric dengan beberapa fragmen intermediat
31-A2.3
Fraktur multifragmen pertrochanteric yang memanjang lebih 1 cm dibawah
trochanter minor (subtrochanteric extension)
31-A3.1
Fraktur intertrochanteric simple oblique
31-A3.2
Fraktur intertrochanteric simple transverse
31-A3.3
Fraktur intertrochanteric multifragmen

Penanganan Nonoperatif dan Indikasi Pembedahan


-
Tujuan penanganan adalah mobilisasi dini dengan hasil fungsi yang baik.
-
Ini susah untuk dicapai bila :
1. Pasien kesakitan,
2. Berbaring lama ditempat tidur,
3. Mempunyai resiko serius komplikasi medis
67
4. Bila pasien mempunyai fraktur yang menyatu dengan posisi union
memendek dan malaligned.
-
Pada sebagian besar kasus semacam ini lebih disenangi stabilisasi secara
pembedahan.
-
Fraktur intertrochanteric butuh waktu 2-4 bulan untuk sembuh, tergantung
dari stabilitas fraktur dan integritas fiksasinya.
-
Faktor-faktor ini, berkaitan erat dengan pola fraktur yang terjadi serta
kulaitas tulang itu sendiri.
-
Penanganan nonoperatif mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
cukup bermakna dan hanya cocok pada sebagian kecil pasien.
-
Hornby et al, menyuatakan tak ada perbedaan yang bermakna dalam hal
fatalitas, nyeri kaki, atau decubitus yang tidak sembuh diantara pasien
dengan fraktur intertrochanterik yang ditangan secara konservatif atau
dengan stabilisasi bedah. Hanya pasien dengan stabilisasi bedah hanya
butuh waktu 26 hari lebih singkat di rumah sakit sehingga biaya rumah sakit
lebih murah dan juga biaya sosialnya.
-
Pasien dengan fraktur unstable yang ditangani secara konservatif
mempunyai hasil yang buruk.
-
Mobilisasi dini dan perawatan yang baik dapat menurunkan resiko
decubitus, infeksi traktus urinarius, trombosis vena profunda, dan
komplikasi paru namun hal ini sulit dipertahankan.
-
Ambulasi non-weight bearing atau ambulasi terbatas sangat sulit dilakukan
pada pasien yang lemah atau pada orang tua.

FRAKTUR SUBTROCHANTERIC

Klasifikasi
-
Fraktur subtrochanteric pada dasarnya dapat dibagi menja di tipe
intertrochanteric-subtrochanteric dan tipe shaft (distal).
-
Boyd dan Griffin mengajukan klasifikasi yang masih sederhana, karena
mengklasifikasikan fraktur subtrochanteric sebagai bagian dari fraktur
trochanteric (tipe III dan IV).
-
Seinsheimer mengetahui berbagai pola instabilitas yang terjadi dan
mengajukan suatu sistem yang hasil penanganannya didasarkan pada
konfigurasi fraktur dan metode fiksasi yang digunakan, bukan pada
lokasinya.
-
Sistem klasifikasi Seinsheimer sangat rumit, mengabaikan panjang kaki,
dan tidak ditujukan pada medial calcar atau fossa piriformis.
-
Klasifikasi Seinsheimer.

Fraktur tipe I
-
Nondisplaced (displacement <2 mm )

68
Fraktur tipe II
-
Fraktur 2 bagian
-
Dibagi lagi menjadi :

Tipe II A :Fraktur transversal


Tipe II B : Fraktur spiral dengan trochanter minor melekat pada fragmen
proksimal.
Tipe II C : Fraktur spiral dengan trochanter minor melekat pada fragmen
distal.

Fraktur tipe III


-
Mempunyai tambahan fragmen berbentuk burtterfly (fraktur 3 bagian)
-
Dibagi lagi menjadi :
Tipe III A : Fraktur spiral dengan trochanter minor melekat pada
fragmen butterfly (sering ada inferior cortical spike).
Tipe III B : Fraktur spiral dengan trochanter minor melekat pada
fragmen proksimal.

Fraktur tipe IV
-
Fraktur comminuted dengan fragmen 4 atau lebih

Fraktur tipe V
-
Fraktur subtrochanter dengan perluasan ke intertrochanterik.
-
Muller et al mengajukan klasifikasi comprehensif untuk fraktur
subtrochanterik murni.
-
32:3 menunjukkan femur dan 2 menunjukkan faerah diafise.
-
Keterbatasan dari sistem ini adalah terlalu kompleks terutama bila fraktur
disertai dengan fraktur femoral shaft.
-
Namun klasifikasi ini memberikan deskripsi anatomik yang detail yg sangat
bermanfaat bagi pengumpulan data dan analisa hasil penanganan.
-
Fraktur ini untuk lebih spesifik lagi diberi huruf dan angka dua bagian.
-
Fraktur subtrochanterik diklasifikasikan sbb :
32-A1.1
Fraktur spiral simple subtrochanterik
32-A1.2
Fraktur oblique simple subtrochanterik 300 atau lebih
32-A1.3
Fraktur transversal simple subtrochanterik < 300
32-B1.1
Fraktur wedge spiral subtrochanterik
32-B2.1
Fraktur bending wedge subtrochanterik
32-B3.1
Fraktur fragmented wedge subtrochanterik
32-C1.1
Fraktur spiral diafiseal kompleks dengan 2 fragmen intermediat
69
32-C1.2
Fraktur spiral diafiseal kompleks dengan 3 fragmen intermediat
32-C1.3
Fraktur spiral diafiseal kompleks dengan > 3 fragmen intermediat
32-C2.1
Fraktur segmental diafiseal kompleks dengan 2 fragmen in termediat
32-C2.2
Fraktur segmental diafiseal kompleks dengan 3 fragmen in termediat
32-C2.3
Fraktur segmental diafiseal kompleks dengan > 3 fragmen intermediat
32-C3.1
Fraktur irregular diafiseal kompleks dengan 2 atau 3 fragmen intermediat
32-C3.2
Fraktur irregular diafiseal kompleks dengan shattering (hancur) terbatas (<5
cm)
32-C3.3
Fraktur irregular diafiseal kompleks dengan shattering luas ( 5 cm atau
lebih)
-
Russel, Taylor dan Kyle mengajukan sistem klasifikasi yang sederhana
untuk implant dan tehnik.
-
Sistem ini ditujukan pada integritas calcar medial dan adanya fraktur
coronal plane yang meluas hingga ke fossa piriformis yang dapat
mengganggu fiksasi intramedullar.

-
Klasifikasi Russel dan Taylor :

Fraktur grup I : Fossa piriformis intak


Grup IA : Trochanter minor dan medial wall intak (no
communition)
Grup IB : Fraktur trochanter minor dan medial wall (fraktur
communition)

Fraktur grup II : Fraktur meluas ke fossa piriformis


Grup IIA : Trochanter minor dan medial wall in tak (no
communition)
Grup IIB : Trochanter minor dan medial wall intak (no
communition)
-
Sebagai tambahan, kedua grup ini mencakup fraktur simple atau
communited dengan perluasan ke shaft.
-
Klasifikasi Kyle :

Fraktur tipe 1
-
High subtrochanteric fracture meluas ke trochanter minor
70
-
Dibagi lagi menjadi : A. Simple; B. Comminuted; C. Fossa piriformis
intak

Fraktur tipe II
-
Low cubtrochanteric fracture dengan trochanter minor intak
-
Dibagi lagi menjadi : A. Simple; B. Comminuted

Skema klasifikasi Russell dan Taylor serta pilihan penanganan

Fraktur subtrochanterik tertutup


Tak ada deformitas (hip atau shaft)

Foto rontgen lateral

Garis fraktur coronal tidak sampai ke fossa


piriformis

Foto rontgen AP

Troch minor dan medial wall intak


(Grup 1A)
Treatment : Conventional static interlocking
71nail
intramedullary nail atau reconstruction
Fraktur trochanter minor dan medial wall
(comminution) (Grup I B)
Treatment : static interlocking reconstruction
nail

Garis fraktur coronal meluas ke fossa


piriformis

Foto rontgen AP

Troch minor dan medial wall intak (Grup


IIA)
Treatment : Extramedullary fixation
indicated with lag screw and
indirect reduct ion technique

Fraktur trochanter minor dan medial wall


(commu nition) (Grup IIB)
Treatment : Extramedullary fixation
indicated plus autogenous iliac
bone graft and indirect
reduction technique

72
Skema klasifikasi Kyle fraktur subtrochanterik serta penanganannya

Subtrochanteric hip fraxture

Tipe I Tipe II
High (fraktur troch Low (fraktur troch
minor) minor)

A. Simple A. Simple
Siding hip screw First-generation
locking nail dgn. 1 distal
B. Commu B. Communited
nited First-generation
Siding hip screw Nail dgn. 2 distal
dgn locking
C. Fossa piriformis
intak
Distal shaft
extension
second

Penanganan nonoperatif dan indikasi bedah


-
Tujuan penanganan sama seperti fraktur subtrochanterik: mobilisasi dini
dan fungsi yang baik.
-
Fraktur daerah subtrochanterik butuh waktu 15-17 minggu untuk union.
-
Cedera berenergi rendah yang stabil yang ditangani dengan bone garft
hanya butuh waktu 8 minggu untuk sembuh.
-
Cedera berenergi tinggi butuh waktu 26 minggu untuk sembuh.
-
Shortening < 1-1,5 cm; malalignment 50-70 pada frontal pain; atau
malalignment 70-100 pada sagittal plain, dapat diterima.
-
Meskipun fraktur subtrochanteric dapat berhasil ditangani dengan traksi dan
bracing begitu pula dengan pin dan plaster namun penerapannya
mempunyai masalah; hasil yang tidak memuaskan dilaporkan pada 50%
kasus, mortalitas berkisar 20-40% dan morbiditas (trombosis vena
profunda, dekubitus, dan komplikasi baring lainnya) juga merupakan
masalah
-
Selain itu displacement selama traksi, varus dan malunion rotasional,
refrakture dini, dan nonunion sering pula terjadi, bahkan ditangan ahli.

73
-
Umumnya, bed rest dan traksi (14-18 kg) dilakukan selama 4-12 minggu.
Walaupun begitu, kemajuan sangat lambat dan dibutuhkan spica cast atau
bracing selama bebe rapa bulan untuk membantu ambulasi.
-
Tindakan konservatif saat ini jarang dilakukan lagi pada fraktur
subtrochanter terutama pada pasien dewasa.
-
Untuk pasien dibawah 8-10 tahun, penanganan dengan traksi dilanjutkan
spica casting atau bracing selama 4-6 minggu dapat efektif.
-
Beberapa penulis mengkhawatirkan fragmen proksimal sehingga
menganjurkan fiksasi plate, bahkan pada pasien muda.

FRAKTUR PATOLOGIS
-
Sering terjadi, kurang lebih 30% dari semua metastasis ke tulang.
-
Yang paling sering bermetastasis dan menimbulkan patologik fraktur pada
proksimal femur adalah karsinoma mamma (45%), lalu myeloma (20%),
dan tumor bronchial (11%).
-
Biopsi harus dilakukan, mengingat prognosis sangat tergantung pada tumor
primernya, dengan ratarata survival untuk tumor paru 3,6 bulan dan Ca
mamma 22,6 bulan.
-
Sampel biopsi harus diambil di daerah lesi dan bukan di daerah callus
karena dapat dibingungkan dengan sarcomatous changes.
-
Sekitar 50-75% pasien dengan metastatic longfbone fracture hidup lebih
dari 1 tahun sehingga diperlukan penanganan lebih agresif untuk frakturnya
dan fraktur potensial nya.
-
Tujuannya adalah stabilisasi untuk mengurangi nyeri, perbaikan fungsi,
mobilisasi dini, dan mengurangi waktu mon dok.
-
Prinsip penanganan sama seperti fraktur nonneoplastik namun tidak
dilakukan tehnik plating jika ada lesi metastatik pada shaft, dan
hemiartroplasti dan suplemen metakrilat lebih baik mengingat kualitas
tulang.
-
Stabilisasi intramedullar merupakan tehnik pilihan untuk tumor destruktif
yang meluas ke daerah subtrochanteric.
-
Untuk kecurigaan metastasis dari Ca sel renal atau Ca thyroid, perlu
diperhitungkan asupan darah dari tumor ini.
-
Sebelum pembedahan dilakukan, bone survey dilakukan untuk
mengidentifikasi lesi lainnya yang dapat mempenga ruhi rencana
penanganan.
-
Pasien dengan osteitis deformans (Paget’s disease) yang mengalami fraktur
subtrochanteric dapat ditangani dengan tehnik standar.
-
Pagetic fracture yang mengenai daerah subtrochanteric penanganannya
sulit, namun hasil yang baik dapat dicapai dengan penanganan medis
preoperatif dan bone scanning untuk menilai fraktur, dilanjutkan dengan
second-generation intramedullary anterograde nailing.

74
Perawatan pascaoperasi dan rehabilitasi
-
Pasca operasi mobilisasi dini harus segera dilakukan tanpa weight bearing
untuk menghindari komplikasi baring.
-
Hampir 1/3 pasien dengan hip fracture mengalami ulkus dekubitus dalam 2
minggu perawatan, kebanyakan pada ha ri dioperasi; setengah dari pasien
ini mengalami multiple sores.
-
Sebagai menifestasi dari iskemia lokal pada kulit dan subkutan, dekubitus
sering timbul pada sacrum, tumit dan bokong.
-
Dekubitus ini sulit penanganannya, memperpanjang waktu mondok dan
disertai laju mortalitas hingga 27%.
-
Pencegahannya jauh lebih mudah, dengan membalikkan pasien setiap 2
jam.
-
Jika nyeri dapat ditoleransi pasien, ia boleh duduk sehari setelah operasi.
Strengthening dan range motion exercise dilakukan sesegera mungkin.
-
Ambulasi dilakukan sedini mungkin, pasien dapat menggunakan paralel
bars pada hari ke 2-3 pasca operasi.
-
Status weight-bearing masih merupakan topik yang kontroversial untuk
fraktur intertrochanteric.
-
Untuk mencegah shortening dan fraktur overimpaksi, beberapa ahli
menganjurkan weight-bearing terbatas hingga ada tanda-tanda
penyembuhan, namun sebagian besar ahli lainnya menyatakan bahwa
weight-bearing yang tak dibatasi tidak mempunyai efek yang mengganggu.
-
Dengan memandang gaya yang diterima hip joint, maka pendapat yang
terakhir ini jauh lebih bijaksana.
-
Psaien yang menjalani fiksasi untuk fraktur unstable atau pasien dengan
osteoporotik berat maka kemampuan weight-bearing-nya tidak akan
sempurna, walaupun dengan pemasangan implant yang tepat, untuk itu
perelu dipertimbangkan protected weight-bearing hingga callus benar-benar
terbentuk dengan kontrol roentgen.
-
Berbeda dengan pasien fraktur intertrochanteric yang menerima regimen
agresif, pasien dengan fraktur subtro-chanterik dengan perluasan ke shaft
atau ke intertrochanteric harus menjalani periode protected weight-bearing.
Begitu pula pada pasien yang ditangani dengan pemasangan intramedullary
atau fixed angle extramedullary.
-
Unstable fraktur mengalami gaya stress yang cukup besar, sering
comminuted, dan distabilkan dengan implant namun tidak dirancang untuk
memungkinkan fraktur impaksi yang stabil dan translasi medial shaft.
-
Karena itu, pasien semacam ini harus dimobilisasi sesegera mungkin namun
dibatasi pada protected partial weight bearing selama 3-6 minggu.
-
Ini sangat penting terutama pada pasien muda, aktif, gemuk yang
kemungkinannya besar menerima stress berlebihan pada tempat frakturnya.
-
Penulis ali menganjurkan toe-touch weight bearing selama 12 minggu untuk
pasien dengan fraktur unstable yang membutuhkan static locking nails.
-
Pada pasien berusia lanjut yang tidak dapat mentoleransi ambulasi terbatas
dapat segera dilakukan full weight- bearing.
-
Pasien dengan pola konfigurasi fraktur stable dan telah menjalani tindakan
dynamically locked nail dapat segera melakukan ambulasi weight-bearing
75
dan secara progresif ke weight-bearing 50% dan dalam 4-6 bulan telah full
weight-bearing.
-
Beberapa implant, seperti gamma nail dirancang untuk memungkinkan
ambulasi full weight-bearing.
-
Pasien yang telah menjalani hemiartroplasti dengan posterior surgical
approach perlu waspada terhadap terjadinya dislokasi.
-
Kursi yang tinggi, toilet dan bantal abduksi untuk mencegah fleksi dan
adduksi (posisi yang paling tidak stabil).
-
Sebagai tambahan untuk pasien yang tidak patuh atau pasien demensia
dapat digunakan knee immobilizer untuk membatasi fleksi panggul.
-
Selama periode pasca operasi ada kecenderungan kaki untuk berada dalam
posisi exorotasi ekstrem, kadang ada tanda malalignment, namun tanda ini
akan segera hilang begitu penderita belajar jalan dan bear-weight.
-
Tehnik apapun yang dipakai untuk stabilisasi, perlu diingat bahwa semua
dapat mengalami komplikasi seperti nonunion dan kegagalan fiksasi, karena
hal ini tidak akan nampak dalam 6-12 bulan.
-
Pemeriksaan radiologi dilakukan dalam 1-2 minggu untuk memastikan
bahwa terjadi impaksi fragmen dengan tepat tanpa ada masalah dalam
fiksasi.
-
Follow-up selanjutnya pada minggu 4 dan 6 lalu setiap bulan selama 6
bulan pertama setelah fraktur.
-
Setelah sembuh, implant dapat dicabut setelah 15-18 bulan pada penderita
muda, aktif atau penderita simptomatik.
Morbiditas dan mortalitas
-
Meskipun fraktur subtrochanteric mempunyai mortalitas yang lebih tinggi
dari fraktur intertrochanteric, namun karena kebanyakan pasien dengan
fraktur intertrochanteric berusia muda sehingga prognosis kesembuhannya
jauh lebih baik.
-
Faktor lain yang berperan dalam tingginya morbiditas dan mortalitas antara
lain, gangguan SSP atau jiwa, kondisi medis yang tak terkontrol baik, faktor
komorbid seperti penyakit jantung, diabetes, COPD(=PPOM), dan
rheumatoid arthritis, gizi buruk, lingkungan, immobilisasi, dan fungsi kaki
sebelumnya yang sudah buruk.
-
Wood menemukan bahwa faktor yang paling berperan adalah demensia,
infeksi paru atau luka pasca operasi, neoplasia, dan usia lanjut.
-
Magaziner et al, menyatakan bahwa bukan pasien dengan demensia tetapi
pasien normal yang masuk ke rumah sakit dalam keadaan delirium yang
mempunyai resiko 3x lipat untuk meninggal.
-
Kenzore et al, mendapatkan mortalitas 1 tahun sebesar 11% untuk pasien
dengan komorbid <4, dan 25 % untuk pasien dengan komorbid >4, dengan
demikian kondisi fisk dan level fungsi juga merupakan faktor yang penting.
-
White et al menemukan adanya korelasi erat dengan grading sistem ASA.
Pasien dengan ASA I atau II (sehat atau penyakit ringan) mempunyai
mortalitas 8%, ASA III atau IV (penyakit sistenik berat) mortalitas hingga
49%.
-
Komplikasi pasca operasi juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

76
-
Beals mendapatkan penyebab paling umum mortalitas ada lah pneumonia
(42%), infeksi luka (37%), dan miokard infark atau gagal jantung (12%),
infeksi saluran kemih mem punyai mortalitas 24%. Juga malnutrisi dan
dekubitus.

Kegagalan fiksasi, nonunion dan malunion


-
Penyebab yang paling umum adalah pemotongan implant tepat di caput
femoral yang osteoporotik sehingga terjadi kolpas varus dan berbagai
derajat rotasi.
-
Penyebab lainnya adalah momen aksi varus dari screw dan side plate
sehingga plate fraktur atau menarik screw keluar dari tulang.
-
Kebanyakan dari kejadian tersebut disebabkan oleh penyembuhan tulang
yang tertunda (delayed healing) dan berbagai faktor teknis seperti :

1. Penempatan implant ke kaput femur yang tidak benar, meningkatkan


resiko kegagalan hingga 3x lipat,
2. Tehnik reaming yang jelek,
3. Kegagalan memperoleh reduksi yang stabil karena kurangnya sokongan
posteromedial,
4. Osteoporosis berat,
5. Fraktur kolpas yang hebat yang melebihi kapasitas sliding dari implant,
6. Inhibited sliding yang disebabkan oleh inadequate screw-barrel
engagement.
-
Karena sifat alamiah ekstrakapsular dari fraktur intertrochanteric dan
intertrochantericsubtrochanteric dan juga karena garis patah melalui tulang
cancellous yang mempunyai perfusi baik sehingga penyembuhan jarang
menimbulkan masalah dan nonunion berkisar 0-10%.
-
Sebaliknya, asupan darah yang meragukan, labih banyak tulang kortikal,
serta stres yang lebih besar pada saerah subtrochanteric menyebabkan angka
nonunion dan im-plant failure yang tinggi; namun demikian, jarang terjadi
nonunion diafiseal setelah stabilisasi dengan intramedullary.
-
Angka kegagalan yang tinggi pada fraktur subtrochanteric berkaitan erat
dengan regimen yang diberikan dan bukan karena frakturnya.
-
Dengan kemajuan desain implant dan tehnik operasi, angka nonunion dan
kegagalan fiksasi setelah stabilisasi pembedahan pada daerah
subtorchanteric turun hingga 0-13%. Malunion dan deformitas rotasional
hanya 3-8% kasus.
-
Penanganan untuk kegagalan implant atau nonunion dan malunion adalah :

1. Perawatan konservatif dan menerima keadaan defor-mitas.


2. Reduksi dan stabilisasi dengan pembedahan yang kedua kali.
3. Konversi ke arthroplasti.
-
Pilihan pertama dilakukan pada penderita yang nonambulatory dan beresiko
besar untuk pembedahan.

77
-
Jika tak ada infeksi, sebagian besar pasien dengan nonunion fraktur
intertrochanteric berhasil ditangani dengan revisi fiksasi termasuk posisi
fragmen proksimal lebih valgus serta bone grafting.
-
Blade plate paling optimal digunakan pada kasus poor remaining bone
stock, karena memberikan permukaan sokongan yang lebih luas.
-
Malunion varus yang simtomatik dapat ditangani dengan cara serupa
dengan osteotomi valgus intertrochanteric.
-
Delayed union setelah intramedullary nailing pada daerah subtrochanteric
ditangani dengan dinamisasi nail pada bulan ke 6, kirakira 25% kasus
memerlukan tindakan ini.
-
Nonunion pada shaft proksimal dan daerah subtrochanteric ditangani
dengan thick, reamed, locked nail.
-
Untuk deformitas rotasional yang simptomatis dapat dilakukan osteotomi
derotasional secara terbuka atau tertutup atau dengan locked intramedullary
rod.
-
Foto CT anteversi sangat menolong untuk kasus semacam ini karena dapat
menilai perbedaan panjang kaki dan/atau malalignment rotasional.
-
Secara teoritis, resiko mengalami fraktur pada daerah ujung implant sangat
besar ini karena perbedaan modul elastisitas implant dengan tulang
menciptakan stress lebih tinggi, yang bila digabung dengan faktor lain
seperti trauma, kualitas stock tulang akan menimbulkan fraktur.
-
Untuk kasus kegagalan fiksasi internal pada fraktur femur proksimal dan
tidak disenangi atau tidak mungkin dilakukan revisi bedah maka alternatif
tindakan paling baik adalah dengan hip arthroplasty biasanya dilakukan
bersamaan dengan calcar-replacement arthroplasty.
-
Pada pasien manula, bahkan setelah kegagalan fiksasi interna, 61% pasien
ini dapat dengan mudah dimobilisasi karena kurangnya nyeri, dan
shortening pasca operasi dapat disiasati dengan sepatu tinggi sebelah.
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan matang-matang bagi golongan usia
ini.

9. FRAKTUR COLLUM FEMORIS INTRACAPSULAR

PENDAHULUAN
-
Merupakan bagian dari fraktur panggul dan sering terjadi.
-
Fraktur ini umum terjadi pada manula.
-
Pada usia muda, fraktur ini sering terjadi akibat kekerasan dan mempunyai
komplikasi seperti osteonekrosis caput femoris sehingga menimbulkan
kecacatan.

78
ANATOMI DAN PATOGENESIS
-
Anatomi collum femoris menetap setelah terjadi penutupan lempeng epifisis
capital femoris.
-
Femoral neck shaft angle relatif konstan sebesar 130070.
-
Terhadap shaft femoris, collum femoris terletak anteversi, derajat anteversi
ratarata 10070.
-
Anatomi tulang caput serta collum femoris menunjukkan posisi ideal untuk
pemasangan fiksasi interna.
-
Pusat caput femoris menunjukkan pusat dengan densitas tulang maksimal,
karena daerah ini merupakan tempat pertemuan trabekula tulang.
-
Calcar femorale adalah suatu lempeng tulang yang tebal yang menonjol
secara vertikal sepanjang bagian posterome dial collum femoris.
-
Daerah ini sangat memegang peranan penting dalam bio mekanik fraktur
dan merupakan kunci untuk reduksi dan fiksasi interna yang stabil pada
fraktur intrakapsular.
-
Anatomi vaskular caput femoris memegang peranan penting yg
mempengaruhi keberhasilan penanganan fraktur collum femoris.
-
Sebagian besar aliran vaskular ke kaput femoris diasupi oleh cabang
posterior a. circumflexa femoris medialis cabang dari a. femoralis profunda.
-
A. circumflexa femoris medialis dan lateralis akan membentuk cincin dan
melingkari basis collum femoris.
-
Cabang-cabang cervical ascenderen dari cincin ini akan masuk ke kaput
femoris dari tempat insersinya.
-
Pembuluh darah yang kecil dan halus ini berjalan sepanjang bagian superior
caput femoris dan masuk ke dalam kaput dekat basis kaput.
-
Fraktur collum femoris sering terjadi akibat gangguan asupan darah ke
kaput femoris.
-
Claffey, menemukan bahwa fraktur collum femoris dapat terjadi cukup
dengan kinking pembuluh darah ini, sehingga ada potensi utk terjadi
revaskularisasi aliran darah ke kaput setelah tindakan reduksi yang tepat.
-
Kapsul sendi panggul berinsersi sepanjang linea intertrochanterica.
-
Kapsul yang intak akan mampu untuk melakukan tampona de terhadap
perdarahan; karena itu perdarahan kecil sering dihubungkan dengan fraktur
intrakapsular.
-
Kapsul yang tidak intak dapat menyebabkan berkembang nya tekanan
intrakapsular yang tinggi setelah terjadi fraktur sehingga dapat
menimbulkan penurunan aliran darah ke kaput.
-
Sejumlah penulis meragukan tindakan kapsulotomi sebagai langkah penting
untuk reduksi dan fiksasi fraktur intra kapsular.
-
Pada orang tua, penurunan densitas mineral tulang dan kecenderungan
untuk mudah jatuh merupakan faktor resiko yang menonjol untuk terjadinya
fraktur panggul.
-
Wanita berusia lanjut punya resiko tinggi untuk mengalami fraktur ini.
-
Wanita yang diberi suplemen calcium dan vitamin D dalam diet mereka dan
mereka yang secara fisik mempunyai pola hidup aktif mempunyai resiko
rendah untuk mengalami fraktur.
79
-
Wanita kulit hitam dan pria mempunyai resiko rendah untuk mengalami
osteoporosis dan fraktur panggul.
-
Selain pentingnya densitas tulang sebagai faktor kausatif untuk fraktur
collum femoris. Sejumlah kecil fraktur terjadi akibat fatigue atau terjadi
secara spontan.
-
Sebagian besar fraktur terjadi karena jatuh dari posisi berdiri.
-
Courtney et al, menyatakan bahwa jatuh ke sisi dengan impak trochanter
mayor yang menyebabkan fraktur femur proksimal. Ini menyokong
kenyataan bahwa manula dengan penyakit kronis dan penyakit
neuromuskular serta pola hidup lebih banyak duduk, mempunyai resiko
paling tinggi untuk mengalami fraktur panggul.
-
Pencegahan fraktur panggul dapat dilihat dari dua sudut pandang :

1. Pencegahan osteoporosis dengan early screening, pendidikan, diet sehat


dan aktivitas.
2. Diperlukan penelitian untuk mencegah jatuh (maksudnya lingkungan
rumah dan tempat kerja dibuat aman, tidak beresiko tinggi).
-
Fraktur collum femoris pada orang muda jarang terjadi.
-
Umumnya terjadi akibat kekerasan dengan gaya vertikal pada femur dan
panggul dalam posisi abduksi dan sering disertai dengan trauma lainnya.
-
Stress fracture pada collum femoris terjadi pada orang yang secara
mendadak meningkatkan akitfitas fisiknya, misalnya pada wajib militer,
atau pada penderita dengan gangguan metabolik tulang seperti osteomalacia
atau gagal ginjal kronik.
-
Pada wajib militer, fraktur ini timbul akibat kelemahan yang disebabkan
oleh fase awal remodeling yang dipicu oleh beban skeletal yang meningkat
oleh latihan.
-
Pada penderita dengan gangguan metabolik kualitas tulang yang buruk
mengakibatkan struktur skeletal tidak mampu menahan kondisi beban yang
normal.
-
Stress fraktur pada kedua kelompok ini harus cepat didiagnosa dan
ditangani untuk mencegah displacement dan mencegah morbiditas.

KLASIFIKASI
-
Secara anatomis, fraktur collum femoris dibagi menjadi :

1. Fraktur subcapital
2. Fraktur transcervical
3. Fraktur basis collum femoris.
-
Klasifikasi menurut Pauwel (arah garis patah) :
1. Tipe I
Garis patah membentuk sudut 300
2. Tipe II
Garis patah membentuk sudut 500
80
3. Tipe III
Garis patah membentuk sudut 709
-
Klasifikasi menurut Garden (berdasarkan derajat dislokasi fragmen) :
1. Tipe I
Fraktur inkomplit atau valgus-impacted fracture

2. Tipe II
Fraktur komlit tapi tanpa dislokasi

3. Tipe III
Fraktur dengan dislokasi namun masih ada kontak antara kaput femoral
dan neck femoris

4. Tipe IV
Fraktur dengan dislokasi total
-
Secara klinis sangat susah untuk membedakan secara jelas antara ke empat
tipe tersebut.
-
Sebagai tambahan kebanyakan keputusan penanganan didasarkan pada
derajat pergeseran fraktur.
-
Karena itu, saat ini lebih dipercaya secara klinis untuk membedakan hanya
pada 2 tipe fraktur saja :

1. Displaced (Gardens grades III dan IV)


2. Nondisplaced (Gardens grades I dan II)

PEMERIKSAAN FISIS DAN DIAGNOSIS


-
Keluhan biasanya berupa nyeri hebat di lipat paha dan keti dakmampuan
berjalan setelah jatuh.
-
Pasien dengan displaced femoral neck fracture memberikan gambaran kaki
ipsilateral mengalami shortening dan rotasi eksternal ekstrim.
-
Trochanter mayor terletak tinggi dan ke posterior, paha posisi abduksi,
fleksi.
-
Pasien dengan stable, impacted atau nondisplaced fracture (tipe I dan II
klasifikasi Garden) hanya akan memberikan gambaran deformitas yang
tidak begitu jelas. Penderita masih dapat berjalan, posisi tungkai masih
netral.
-
Bengkak atau hematom di daerah trochanter mayor memberikan kecurigaan
kearah fraktur collum femoris.
-
Fraktur intrakaspuler yang disertai dislokasi mudah mengalami nekrosis
avaskular.
-
Fraktur collum femoris susah sembuh, karena fraktur yang terjadi turut
merobek pembuluh darah kapsuler sebagai pengasup utama.

81
-
Selain itu, tulang intra artikuler tidak berhubungan dengan jaringan lunak
sebagai penunjang osteogenesis dan cairan sinovial disekitar fraktur
mencegah terjadinya pembekuan.
-
Craig test :
Test yang dipakai untuk mengukur anteversi femur, yakni sudut antara
collum femoris dengan condylus femoris (normal pada orang dewasa 8 0-
150).
Penderita baring telungkup dengan lutut fleksi 90 0, trochanter mayor diraba
kemudian dilakukan rotasi pasif sendi panggul ke lateral dan medial.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
-
Standar pemeriksaan radiologik adalah foto AP hip dan pelvis serta cross-
table lateral view.
-
Untuk menilai secara penuh collum femoris, kaki yang cedera harus dirotasi
interna minimal ke posisi netral yang akan memberikan visualisasi
alignment collum femoris. Ini sangat penting dalam menilai displace
minimal atau fraktur occult.
-
Jika secara klinis ada kecurigaan fraktur tapi pada foto rontgen tak tampak,
maka dapat diminta pemeriksaan MRI atau bone scanning dengan
technetium.
-
Bone scan sangat efektif untuk occult femoral neck fracture namun kadang
tak dapt dipercaya jika fraktur terjadi < 48 jam.
-
MRI meskipun mahal namun sangat akurat menilai fraktur neck femoris
dalam 24 jam.

PENANGANAN
-
Jika pertimbangan tujuan penanganan fraktur intrakapsular adalah
mengembalikan fungsi secara maksimal dan mencegah komplikasi
berbaring lama pada manula, maka jelas bahwa hampir semua fraktur
collum femoris harus ditangani secara operatif.
-
Manajemen nonoperatif dilakukan hanya pada penderita yang tak dapat
mentoleransi pembedahan dan fungsi kaki tidak mungkin membaik
(penderita paraplegik).

Fraktur Nondisplaced
-
Secara umum ada kesepakatan bahwa fraktur Garden grade I dan II
ditangani melalui stabilisasi insitu dengan multiple cannulated screws.
-
Beberapa ahli meragukan fraktur impaksi adalah stable dan dapat ditangani
tanpa fiksasi.
-
Bentley melaporkan laju late displacement untuk fraktur impaksi sekitar 8-
15% dan manajemen non-operatif mem-butuhkan periode non-weight
bearing yang lebih lama dan tak dapat ditoleransi oleh pasien.
82
-
Tidak ada konsensus menyangkut jumlah screws yang harus digunakan
pada fraktur nondisplaced untuk fiksasi yang adekuat.
-
Karena cannulated screws mempunyai diameter yang besar biasanya cukup
dengan 2-3 screws.

Fraktur displaced
-
Dalam perawatan fraktur saat ini, penanganan fraktur displaced (Gardens
grade III dan IV) masih kontroversi.
-
Kontroversi menyangkut keuntungan antara reduksi tertutup dengan reduksi
terbuka dan fiksasi interna dengan penggantian kaput femoris dengan
prostetik.
-
Reduksi secara tertutup dan terbuka dengan fiksasi interna baik
menggunakan pin atau screws mempunyai keuntung-an terutama pada
pasien muda yang tidak menyukai penggantian kaput dengan prostetik.
-
Kekurangan reduksi dan fiksasi interna adalah tingginya insidens nonunion
dan nekrosis avaskular dan sering diperlukan operasi ulang.
-
Lu Yao et al mendapatkan bahwa fiksasi interna mempu-nyai kemungkinan
besar untuk mengalami kegagalan fiksasi, non union, nekrosis avaskular.
Tak ada perbedaan apakah mengunakan fiksasi internal yang lebih besar
dapat mencegah pergeseran screws, bahkan malah membuat disrupsi bone
stock. Pada bipolar hemiarthroplasty 11% mengalami erosi kartilago
acetabular atau loosening stem namun operasi ulang jauh lebih rendah
dibanding fiksasi interna.
-
Arnold menyatakan bahwa hanya 75% displaced femoral neck fracture yang
secara adekuat dapat direduksi pada penderita manula. Dan diantara pasien
ini yang direduksi dengan Knowles pins, 50% membutuhkan operasi ulang
karena nonunion atau nekrosis avaskular dalam 2 tahun. Dengan bipolar
hemiarthroplasty dislokasi hanya 3% tak perlu revisi sekunder karena erosi
kartilago acetabular atau loosening prosthetic stem, nyeri hilang dan fungsi
baik.
-
Fraktur collum femoris pada orang muda yang terjadi akibat mekanisme
berenergi tinggi maka semua usaha ditujukan untuk mempertahankan kaput
femoris.
-
Bukti menyokong bahwasanya semakin cepat fraktur intra kapsular
direduksi pada kasus semacam ini, semakin tinggi kemungkinan terhindar
dari nekrosis avasklular. Karena itu, kasus demikian harus ditangani secara
emergensi dengan menggunakan reduksi terbuka atau tertutup dan fiksasi
internal.
-
Sejumlah ahli meragukan tindakan kapsulotomi terbuka untuk dekompresi
hematoma dan meningkatkan tekanan dalam hip joint.

Manajemen komplikasi
-
Pada pasien manula, nonunion dan nekrosis avaskular paling baik ditangani
dengan total hip replacement.
-
Pada pasien muda, nonunion dapat ditangani dengan valgus,
intertrochanteric osteotomy yg merangsang union dengan meningkatkan
kompresi beban sepanjang nonunion.
83
-
Nonunion dan osteonekrosis sering juga ada, dan osteonekrosis biasanya tak
tampak hingga nonunion menyembuh.
-
Osteonekrosis panggul pasca traumatik tidak berespon dengan core
decompression dan mempunyai prognosis buruk untuk mengalami kolaps
dan debilitating arthrosis.
-
Prosedur penyelamatan untuk osteonekrosis yang paling baik adalah dengan
total hip replacement.
-
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan MRI untuk menilai viabilitas kaput
femoris sebeleum melakukan osteotomi intertrochanteric.

10. FRAKTUR ACETABULUM

PENDAHULUAN
-
Morbiditas dan mortalitas fraktur acetabular telah menurun secara drastis
berkat revolusi tehnik pembedahan yang diperkenalkan oleh Judet dan
Letournel.
-
Keberhasilan pembedahan tergantung pada banyak faktor terutama
kemampuan ahli bedah untuk menegakkan diagnosis dengan tepat, memilih
pendekatan yang tepat, dan melakukan tehnik dengan benar.

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Secara anatomis, pelvis dibentuk dari 3 pusat ossifikasi primer: ischium,
ilium dan pubis.
-
Ketiga pusat ossifikasi ini selanjutnya menyatu pada cartilago triradiat, dan
fusi terjadi pada usia 16-18 tahun.
-
Secara konseptual, acetabulum dapat dianggap terdiri dari 2 pilar atau
kolom tulang: satu anterior dan 2 posterior.
-
Kedua kolom ini berbentuk huruf Y terbalik, bersatu ke superior dengan
ilium dan ke inferior dengan ramus ischiopubis.
-
Pilar ini dapat mengalami disrupsi tunggal atau kombinasi.
-
Ala os ilii mempunyai sudut inklinasi 45 0 pada sagittal plane terhadap aksis
memanjang dari tubuh dan sebagian besar aksis ala os ilii mengarah ke
sudut kanan terhadap obturator ring.
-
Ada banyak perforator baik disisi dalam maupun luar yang memberikan
asupan darah untuk pelvis. Namun yang utama adalah dari
1. A. glutea superior dan
2. A. iliolumbalis.
-
Acetabulum dibungkus oleh jaringan lunak yakni :
1. Otot gluteus pada permukaan eksternal

84
2. Otot iliacus pada permukaan internal
3. Otot external rotator brevis pada bagian posteroinferior
-
N. Sciatic (Ischiadicus) keluar melalui greater sciatic notch (foramen
ischiadicum majus) bersama dengan nervus dan vasa gluteus superior dan
inferior.
-
N. pudendus keluar melalui greter sciatic notch kemudian berjalan disekitar
spina ischiadicum untuk masuk kembali ke pelvis melalui lesser sciatic
notch (foramen ischiadicum minus).

KLASIFIKASI
-
Judet et al mengajukan klasifikasi yang saat ini banyak dipakai. Sistem
klasifikasi fraktur acetabular ini didasarkan pada identifikasi landmarks
anatomi yang mengalami fraktur dan tampak pada foto AP dan oblique dari
acetabu-lum.
-
Pola fraktur ini dibagi menjadi 5 elemen dan 5 associated (complex) type.
Associated fracture dinamakan demikian karena mencakup minimal 2
bentuk elemen.
-
Sistem klasifikasi Letournel-Judet :

Elemental acetabular fracture

Tipe 1
Fraktur posterior wall
Tipe 2
Fraktur collumn posterior
Tipe 3
Fgraktur anterior wall
Tipe 4
Fraktur collumn anterior
Tipe 5
Fraktur transversal

5 associated acetabular fracture :


Tipe 1
Fraktur collumn posterior dan posterior wall

Tipe 2
Fraktur transversal dan posterior wall

Tipe 3
Fraktur T-type

85
Tipe 4
Fraktur anterior collumn dan posterior hemitransverse

Tipe 5
Fraktur collumn anterior dan posterior
-
Untuk sederhananya 3 pola fraktur dikelompokkan jadi satu dengan lainnya
yakni:
1. Fraktur collumn posterior dan anterior hemitransverse dikelompokkan
bersama dengan fraktur T-shaped (T-type).
2. Fraktur anterior wall dan fraktur collumn anterior dikelompokkan
bersama.
3. Fraktur anterior wall dan posterior hemitransverse dikelompokkan
bersama fraktur collumn anterior dan posterior hemitransverse dijadikan
satu. Secara kolektif disebut sebagai fraktur anterior dengan fraktur
posterior hemitransverse.
-
Sistem kalsifikasi Letournel-Judet telah digabung dengan sistem klasifikasi
alfanumerik AO untuk dokumentasi komputer dan penilaian cedera ini.

-
Sistem klasifikasi AO (ada 3 kategori besar) :

Tipe A
Fraktur satu kolom dan/atau wall partial articular fracture

Tipe B
Tyransverse oriented partial articular fractures

Tipe C
Complete articular (associated both collumn) fractures.

PEMERIKSAAN FISIS DAN DIAGNOSIS


-
Kebanyakan fraktur acetabular terjadi akaibat rauma berenergi tinggi,
biasanya akibat pejalan kaki, pengendara sepeda ditabrak kendaraan
bermotor dengan kecepatan tinggi atau akibat jatuh dari ketinggian.
-
Fraktur ini dapat pula terjadi akibat lutut menabrak dashboard sewaktu
kecelakaan.
-
Mekanisme cedera biasanya akibat trauma tidak langsung yang
ditransmisikan lewat femur.
-
Benturan langsung pada trochanter major, pada lutut fleksi atau pada kaki
dengan lutut ekstensi dapat menyebabkan fraktur acetabular.
-
Posisi femoral head terhadap acetabulum pada waktu terjadi benturan
sangat menentukan pola fraktur yang terjadi.
-
Panggul yang rotasi eksternal akan menyebabkan fraktur anterior.
86
-
Panggul yang rotasi interna akan menyebabkan fraktur posterior.
-
Posisi netral cenderung menyebabkan fraktur transversal.
-
Karena fraktur ini akibat trauma berenergi tinggi, maka sering disertai
dengan cedera tulang lain atau organ lain atau trauma kapitis.
-
Disrupsi tulang pelvis dapat diketahui dengan palpasi fragmen tulang
sewaktu rectal atau vaginal examination.
-
Fraktur terbuka merupakan pertanda prognosis buruk.
-
Penderita sering disertai dengan hematuria, bahkan walau tanpa fraktur
pelvis sehingga perlu diperiksa secara teliti.
-
Posisi ekstremitas bawah dapat memberi petunjuk pola fraktur yang terjadi.
-
Windswept legs yakni satu kaki rotasi eksternal dan satu-nya rotasi internal
dapat terjadi pada fraktur pelvis dengan pola fraktur acetabular transversal.
-
Kaki yang memendek dengan rotasi internal umumnya terjadi pada
dislokasi posterior.
-
Pasien mugnkin mempunyai tandatanda trauma langsung pada pelvis
termasuk kontusio dan abrasi.
-
Kontusio dan abrasi tepat diatas trochanter major atau crista iliaca
menunjukkan adanya lesi Morel-Lavele yakni suatu daerah dengan
fluktuasi sekunder akibat hematoma yang luas dan nekrosis lemak yang
berkembang di bawah kulit yang terkelupas dan jaringan subkutan.
-
Lesi ini mempunyai kemungkinan besar terkontaminasi bakteri, walaupun
tertutup, dan kebanyakan ahli menyaran kan dekompresi, debridement dan
drainage sebelum penanganan definitif fraktur dilakukan.
-
Dislokasi panggul anterior atau posterior 48% menyertai fraktur acetabular.
Keadaan ini dianggap emergensi dan harus direduksi sesegera mungkin
untuk menurunkan resiko nekrosis avaskular.
-
Reduksi harus dilakukan sebelum dilakukan uji diagnostik lebih jauh seperti
CT scan, kecuali jika ada alasan yang mengancam nyawa untuk menunda
reduksi ini.
-
Setelah reduksi, stabilitas dinilai, jika ada kecenderungan untuk terjadi
redislokasi maka dilakukan pemasangan traksi skeletal.
-
Yang paling aman, dilakukan pin traksi pada distal femur, terutama bila
status ligamen lutut tidak diketahui.
-
Berat total traksi tidak boleh lebih dari 1/6 BB.
-
Pemeriksaan neurologis dan defisit vaskular harus dilakukan karena
insidens gangguan n. sciatic pre operatif dan pasca traumatik berkisar 12-
38%.
-
Pemeriksaan cabang peroneal n. sciatic harus juga dilakukan.
-
Cedera a. gluteus superior dapat terjadi akibat fraktur acetabular baik karena
frakturnya sendiri maupun iatrogenik selama pembedahan.
-
Cedera yang potensial mematikan ini sering terjadi pada fraktur acetabular
dengan displacement hebat greater sciatic notch (mis, pada hgh transverse
fracture dengan rotasi medial yang nyata).
-
Pasien dengan hemodinamik tidak stabil dengan penyebab tak jelas atau
penurunan hematokrit yang jelas harus menjalani pemeriksaan angiografi
pelvis untuk menilai cedera vaskular.

87
-
Penanganan jika cedera pada a. glutea superior adalah dengan embolisasi
arteriografik. Setelah stabil, penilaian selanjutnya adalah terhadap viabilitas
gluteal muscle flap.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
-
Diagnosis akurat menyangkut pola dasar fraktur dapat diperoleh dengan 3
pemeriksaan radiologis yakni:
1. Foto AP views dari pelvis
2. Foto iliac oblique view dari acetabulum
3. obturator oblique view dari acetabulum
-
Dua terakhir disebut juga dengan Judet views.
-
Ketiga foto ini didasarkan pada geometri pelvis dan memberikan informasi
yang memudahkan ahli bedah untuk memetakan pola fraktur dan
merencanakan penanganan.
-
Foto iliac oblique view diperoleh dengan menggulingkan pasien 45 0 ke sisi
cedera sehingga akan nampak jelas ala os ilium dan obturator ring.
-
Foto obturator oblique view diperoleh dengan mengguling kan pasien 45 0
ke sisi yang tidak cedera sehingga tampak keseluruhan obturator ring dan
ala ilii.
-
Jika memungkinkan, pasien digulingkan dan disokong dengan bantalan
busa selama pengambilan foto Judet views.
-
Menekuk X ray beam dan bukan menggulingkan pasien akan menghasilkan
pencitraan yang distorsi, sehingga interpretasi menjadi sulit.
-
Ada 6 garis radiografik yang harus diidentifikasi dan dievaluasi sewaktu
menginterpretasikan radiograf fraktur acetabular. Ke 6 garis itu yakni :

1. 2 garis yang mewakili anterior dan posterior lips dinding acetabulum


dapat diketahui dengan melihat contour halus lips posterior
2. Garis iliopectineal menunjukkan garis collumn anterior dan merupakan
petanda radiografik untuk tepi pelvis.
3. Garis ilioischiacal mewakili collumn posterior dan menggambarkan
tangensial tulang terhadap permukaan quadrilateral, memanjang ke
ischium.
4. Garis tangensial ke tepi superior kubah acetabulum, dikenal sebagai atap
atau sourcil, berupa garis tulang 2-3 mm dan karena itu tidak mewakili
integritas atap anatomis, yang membentuk arkus 500 - 600.
5. Teardrop berbentuk huruf U dari permukaan tulang, bagian luarnya
adalah fossa cotyloid, sedangkan bagian dalamnya adalah daerah canalis
obturatorius bergabung dengan permukaan quadrilateral ischium.
-
Disrupsi dari garis ini menunjukkan fraktur yang melibatkan tulang yang
membentuk struktur ini.
-
Ke 6 garis ini dapat diidentifikasi pada foto radiografik AP meskipun tidak
komplit.
-
Untuk lebih jelasnya :
88
1. Proyeksi iliaca oblique menunjukkan garis ilioischial dan anterior lip.
2. Obturator oblique view menunjukkan garis iliopectineal dan posterior lip.
-
Dengan mentransfer garis ini ke pelvis dapat memberikan studi geografik
dan garis fraktur itu sendiri. Dengan demikian memberikan gambaran 3
dimensi sehingga dapt dipilih tehnik approach yang optimal, tehnik reduksi,
dan metode fiksasi.
-
Level dari fraktur pada ke 3 proyeksi dapat dijumlahkan dengan
pengukuran atap arkus.
-
Sudut atap arkus (roof arc angle) ditentukan dari panjang 2 garis dari pusat
geometrik acetabulum, satu melalui pusat dari atap dan satunya lagi melalui
bagian intra artikular fraktur.
-
Selain ke 6 garis ini tetap harus diperhatikan bagian tulang lainnya untuk
menghindari terabaikannya fraktur penyerta yang mempengaruhi stabilisasi
atau pilihan tehnik pembedahan.
-
Obturator ring harus dinilai, paling baik dengan obturator oblique view,
untuk mencari tahu garis fraktur yang meluas ke ischium yang
menunjukkan fraktur tipe T.
-
Selain itu dinilai integritas sacrum, sacroiliac joints, dan simpisis, begitu
pula caput dan collum femoris.
-
CT scan konvensional dengan potongan axial memungkinkan untuk :

1. Menilai luasnya cedera acetabulum dan


2. mengidentifikasi ukuran dan jumlah fragmen posterior wall
3. Cedera marginal impaksi
4. Rotasi collum
5. Fragmen intraartikular
6. Fraktur caput femoris
7. Cedera ikutan pada aspek posterior pelvis seperti disrupsi sacroiliac joint
atau fraktur sakral.
-
Orientasi fraktur pada CT memberikan kita informasi tipe fraktur.
-
Fraktur pada satu atau dua collum paling baik dengan coronal plane.
-
Fraktur transversal paling baik dengan sagittal plane.
-
Fraktur pada dinding paling baik dengan oblique langsung
-
CT scan paling baik adalah yang 3 dimensi.

PENANGANAN
-
Tujuan penanganan adalah reduksi secara akurat permukaan artikular untuk
memperoleh kongruen sendi panggul, sehingga menormalkan mekanik
sendi.
-
Malreduksi dan subluksasi sendi panggul dapat menimbulkan penyebaran
abnormal beban pada kartilago artikular dan menimbulkan artrosis sendi.
-
Judet dan Letournel menganjurkan fiksasi operatif untuk semua displace
acetabular fracture untuk nmemulihkan secara anatomis weight-bearing
89
articular surface dari acetabulum dan memperoleh reduksi yang konsentrik
dari panggul.
-
Kebanyakan ahli lain sepakat bahwa tindakan ini sangat penting dalam
mengurangi seminimal mungkin arthritis pasca trauma dan memperoleh
hasil yang memuaskan dalam jangka panjang.
-
Namun hal ini harus didukung dengan ahli yang terlatih jika tidak hasilnya
akan buruk.
-
Karena itu penanganan non operatif jarang dianjurkan, terutama untuk
fraktur acetabulum yang displaced. Tanpa memandang pola atau sifat
cedera.
-
Untuk menentukan manajemen yang optimal, beberapa hal perlu diketahui :

1. Displacement dari permukaan artikular


2. Inkongruensi sendi
3. Pengukuran roof arc < 450, unacceptable
4. Inkerserasi fragmen intraartikular ke dalam sendi
5. Subluksasi caput femoris
-
Fraktur yang nondisplaced dengan sendi panggul yang stable dengan
reduksi konsentrik dapat ditangani secara nonoperatif.
-
Manajemen konservatif dapat pula dikerjakan pada fraktur yang tidak
meluas / memanjang ke weight-bearing dome. Antara lain :
1. Low anterior collumn fracture yang hanya mengenai bagian inferior
acetabulum anterior.
2. Fraktur kecil pada dinding posterior, yang mengenai hanya 25% dinding
posterior (diukur dari CT scan).
3. Low transverse fracture dengan roof arc angle > 450 pada ketiga x-ray
views.
4. Fraktur pada kedua collumn dengan kongruens sekunder yang sangat baik
kadang dapat dimanajemen secara nonoperatif, terutama pada penderita
yang tidak terlalu menuntut reduksi sempurna.
-
Osteoporosis hebat merupakan indikasi kontra relatif untuk reduksi operatif.
-
Selain itu perlu juga dipertimbangkan faktor komorbid lainnya, misalnya
penyakit jantung, DM.
-
Jika tampak jelas ada osteoporosis atau kerusakan kaput femoris maka perlu
dipertimbangkan tindakan totoal hip arthropalsty.

Penanganan Nonoperatif
-
Penanganan nonoperatif meliputi bed rest, dengan atau tanpa traksi,
tergantung pada stabilitas sendi panggul.
-
Kadang diperlukan bantuan bantal abduksi untuk mempertahankan posisi
panggul dan mengurangi kemungkinan dis lokasi.
-
Pada pasien dengan reduksi stabil, pergerakan aktif pada sendi panggul
harus dimulai.

90
-
Pasien dengan fraktur dinding posterior yang kecil dapat dimobilisasi
segera; namun harus dihindari fleksi diantara 60 0 –800 serta weight bearing
> 9 kg (20lb) hingga penyembuhan terjadi.
-
Pasien dengan low transverse fracture dapat dimobilisasi sejauh yang dirasa
nyaman penderita dengan toe-touch weight bearing.
-
Untuk meminimalkan resiko redislokasi, pasien dengan unstable hip joint
butuh bed rest selama 6-8 minggu.
-
Selama recumbent, perlu diberikan regimen agresif untuk pulmonary toilet.

Penanganan Operatif
-
Waktu untuk melakukan pembedahan tergantung pada sejumlah faktor:
ketersediaan ahli bedah, stabilisasi cedera organ visera (jika cedera),
skeletal dan jaringan lunak, serta pemeriksaan pencitraan yang lengkap
untuk merenca nakan tindakan dan aproach.
-
Dislokasi caput femoris dan inkarserata fragmen intraartikular setelah
reduksi tertutup harus dikerjakan dengan tepat untuk meminimalkan
kejadian nekrosis avaskular dan osteoarthritis pasca trauma.
-
Tujuan pembedahan adalah untuk memulihkan kongruinitas sendi dengan
sekecil mungkin morbiditas.
-
Approach terutama ditentukan dengan pengalaman ahli bedah namun harus
memungkinkan reduksi anatomnis dan stabilisasi permukaan sendi.
-
Mayo mencamkan ada 5 faktor yang mempengaruhi yakni

1. Pola fraktur,
2. Kondisi jaringan lunak lokal,
3. Keberadaan cedera sistemik mayor ikutan,
4. Usia dan status penderita, dan
5. Penundaan operasi.
-
Ada 3 approach yang paling sering digunakan untuk reduksi bedah fraktur
acetabular yakni :
1. Kocher-Langenbeck
2. Ilioinguinal
3. Extended iliofemoral
-
Approach Kocher-Langenbeck memberikan kemudahan akses ke
permukaan retroacetabular dari tulang innominata dari ischium ke incisura
ischiadicus major.
-
Akses ke permukaan quadrilateral dilakukan dengan palpasi melalui
incisura ischiadicus major dan minor sehingga dapat menilai setelah
dilakukan reduksi fraktur yang meluas hingga ke quadrilateral plate dan
collumn anterior.
-
Incisura ischiadicus majus memberikan celah untuk menempatkan klem
untuk memanipulasi dan mereduksi fraktur.
-
Kekurangan approach ini adalah neurovaskular bundle gluteus superior
membatasi akses ke ala iliaca superior.

91
-
Approach ilioinguinal, diperkenalkan oleh Letournel dan Judet,
memberikan visualisasi langsung ala ilii, bagian anterior sendi sacroiliaca,
keseluruhan collumn anterior, dan simpisis pubis.
-
Approach extended iliofemoral merupakan pendekatan anatomik yang
mengikuti jalannya saraf, melalui otot yang dipersarafi oleh n. femoralis di
anterior dan n. gluteus inferior di posterior. Flap posterior dimobilisasi
sebagai satu unit tanpa merusak neurovascular bundlenya.
-
Pola fraktur yang dapat direduksi melalu standar approach Kocher-
Langenbeck yakni :

1. Fraktur dinding posterior,


2. Fraktur collumn posterior, dan
3. Varian fraktur communited posterior
-
Untuk fraktur transversal dan T type, approach yang sesuai tergantung
pada :

1. Derajat oblique fraktur transversal,


2. Arah rotasi, dan
3. Column dengan major displacement
-
Jika mayor displacement-nya ke posterior terutama jika fraktur intratectal
atau juxtatectal disertai fraktur ikutan dinding posterior maka digunakan
approach Kocher-Langenbeck.
-
Jika major dispalcement atau rotasinya terutama ke anterior maka
digunakan approach ilioinguinal.
-
Pola fraktur T type atau high transtectal transverse (merupakan tipe yang
paling sulit ditangani) yang melibatkan weight-bearing dome sering
membutuh kan approach yang luas (extensile approach) untuk memperoleh
akses yang adekuat ke atap acetabulum.
-
Fraktur dinding dan/atau collumn anterior dapat divisualisasi langsung
melalui approach ilioinguinal.
-
Fraktur acetabular pada kedua collumn idealnya approach dan stabilisasinya
melalui approach ilioinguinal. Hal ini membutuhkan reduksi secara tak
langsung pada collumn posterior sehingga tak dapat dilakukan jika fraktur
sudah berlangsung lebih dari 2-3 minggu.
-
Pengecualian untuk hal ini dan harus dilakukan dengan paparan yang lebih
luas (extensile exposure) adalah jika fraktur acetabular pada kedua collumn
disertai keterlibatan

1. Dinding posterior
2. Fraktur comminuted collumn posterior
3. Sendi sacroiliaca
4. Keterlibatan lateral dome
-
Mengingat tingginya morbiditas pada approach yang luas (extensile) maka
tindakan operasi ini bukan merupakan pilihan pertama.
92
-
Tingkat infeksi tinggi pada approach ilioinguinal jika disertai dengan
kateter suprapubic dan kolostomi.
-
Penanganan bedah untuk fraktur acetabular yang etertunda 2-3 minggu
sangat susah jika tidak disertai paparan yang baik, dan kemampuan untuk
memperoleh reduksi anatomis akan turun dari 75% ke 62%, mengingat
sudah banyak callus terbentuk.
-
Keterbatasan tehnik yang utama padap paparan extended iliofemoral adalah
akses ke collumn anterior. Diseksi menjadi sulit dan berbahaya karena ahli
bedah melakukan diseksi disebelah medial eminentia iliopectineal, karena
m. psoas dan fascia iliopectineal menghambat kemajuan operasi
-
Alternatif lain terhadap paparan yang luas adalah dengan melakukan
approach anterior dan posterior secara sequential.
-
Extensile approach masih tetap merupakan pilihan terutama pada fraktur
high transtectal T-type dan fraktur yang ditangani setelah 2 minggu pasca
trauma.
-
Trauma tumpul pada massa otot gluteal dan daerah peritro chanteric
merupakan suatu masalah jika merencanakan approach posterior atau
extensile, karena ada Morel-Lavele lesion (closed degloving injury).
-
Indikasi kontra relatif untuk extensile approach adalah closed-head injury
karena dapat menyebabkan masive heterotopic ossification.

Perawatan Pasca operasi


-
Paling penting adalah profilaksis antibiotik.
-
Profilaksis untuk heterotropic ossification adalah dengan memberikan
indomethacin (75 mg per oral lepas lambat sekali sehari ) selama 6 minggu.
Hal ini harus diberikan pada approach Kocher-Langenbeck dan extended
iliofemoral. Obat ini perlu diberikan sebelum pembedahan dengan approach
ilioinguinal jika permukaan luar ala ilii membutuhkan stripping..
-
Mobilisasi dini harus ditekankan, dan pasien diberanikan untuk
mengayunkan kakinya dan duduk di kursi dalam 24-48 jam pasca operasi.
Dapat pula dengan menggunakan continuous passive motion (CPM) jika
mengayunkan kaki sulit dilakukan.
-
Setelah drain dicabut, setelah 48-72 jam, pasien diperbolehkan melakukan
toe-touch weight bearing hingga 9 kg (20 lb) menggunakan kruk (crutches).
-
Latihan strengthening bersamaan dengan gait training dilakukan oleh
fisiotherapi.
-
Wieght-bearing tidak ditambah hingga 6-8 minggu pertama setelah
pembedahan.
-
Bila dilakukan extended iliofemoral approach atau osteotomi trochanteric
maka abduksi aktif dihindari selama 6-8 minggu.
-
Selama 3 bulan pertama pasca bedah, tergantung pada tanda penyembuhan
secara radiologik, maka pasien diperbolehkan menambah full weight-
bearing sesuai toleransi.

93
-
Rutin lakukan pemeriksaan radiologi foto AP pelvis dan Judet views serta
CT scan untuk menilai reduksi fraktur dan untuk mengidentifikasi reesidual
loose fragment.

KOMPLIKASI
-
Komplikasi akibat tindakan operatif dapat dibagi 3 yakni :
1. Intraoperatif
-
Cedera neurovaskular
-
Malreduksi
-
Penetrasi artikular oleh perangkat keras
-
Kematian
2. Komplikasi dini pasca operasi
-
Trombosis vena profunda
-
Emboli paru
-
Nekrosis kulit
-
Infeksi
-
Loss of reduction
-
Arthritis
-
Kematian

3. Komplikasi lanjut pasca operasi


-
Heterotopic ossification (HO)
-
Chondrolisis
-
Nekrosis avaskular
-
Arthrosis pasca trauma.
-
HO merupakan komplikasi yang paling sering setelah operasi fiksasi fraktur
acetabular dengan insidens berkisar 18-90%, namun dilaporkan hanya
menyebab kan 5-10% keterbatasan fungsi. Passien yang mempunyai
kemungkinan paling besar menderita HO adalah pasien dengan approach
extended iliofemoral dan pengangkatan seluruh permukaan luar ala ilii.
-
Indomethacin maupun radiasi dosis rendah (tunggal maupun dalam bentuk
fraksi) efektif sebagai profilaktif HO bila diberikan secara dini.
-
Cedera iatrogenik saraf ischiadicus atau memperburuk defisit saraf
ischiadicus yang memang sudah defisit sebelumnya juga merupakan
masalah.
-
Pasien yang mempunyai resiko untuk mengalami hal ini adalah pasien yang
sebelumnya saraf ischiadicus sudah ter ganggu dan pasien dengan pola
fraktur yang melibatkan dinding posterior atau collumn posterior.
-
Cara untuk menghindari cedera saraf ini adalah dengan melakukan
monitoring saraf ischiadicus intra operatif dengan menggunakan
somatosensory-evoked potentials.

94
11. FRAKTUR PATELLA

Anatomi dan Biomekanik


-
Patella merupakan tulang sesamoid yang paling besar dan berada diantara
tendon quadriseps dan ekstensor lutut. Berbentuk triangular dengan apeks
menghadap ke distal. Bagian proksimal tebal dan merupakan tempat insersi
tendon quadriceps. Bagian distal merupakan tempat origo ligamentum
infrapatellaris yang berinsersi pada tuberkulum tibialis. Semua elemen ini
menyebabkan mekanisme ekstensor lutut.
-
Patella melekat di proksimal pada tendon quadriceps femoris dan di distal
dengan ligamentum infra patellaris, di sisi medial dan lateral patella
melakat pada retinacular expansion yang melekat pada kapsul.
-
Patella mengefisiensikan kerja m. quadriceps dan mekanisme ekstensor
dengan menggeser tendon quadriceps menjauh dari aksis rotasi sehingga
meningkatkan momen ayun.
-
Fungsi dasar dari mekanisme ekstensor adalah melakukan ekstensi lutut dan
mempertahankan posisi ereksi.
-
Permukaan artikular posterior dibagi menjadi facet medial dan lateral oleh
vertical ridge, yang berartikulasi dengan sulcus articularis anterior femoris
distal.
-
Daerah yang berkontak antara patella dengan femur bervariasi tergantung
pada posisi lutut.
-
Ujung distal merupakan daerah nonartikular dan kirakira 20% dari jarak
proksimal ke distal patella, ini akan tampak pada X ray lateral lutut.
-
Patella bipartite yang sering diduga sebagai fraktur, adalah akibat pusat
ossifikasi aksesori pada sudut superolateral dari patella. Sering ditemukan
bilateral sehingga sulit untuk membedakannya dengan fraktur melalui foto
kedua sendi lutut.
-
Juga berperan dalam mekanisme ekstensor adalah retinacula extensor lateral
dan medial. Ini merupakan perluasan serabut longitudinal yang berasal dari
m. vastus medialis dan vastus lateralis.
-
Retinacula extensor ini bergabung dengan fascia lata melewati patella dan
berinsersi langsung pada proximal tibia.
-
Retinaculum patellar bersama dengan serabut iliotibial merupakan ekstensor
tambahan untuk lutut.
-
Asupan darah patella diperoleh dari plexus yang berasal dari arteri
geniculatum superior, media, dan inferior. Pengasup darah utama akan
masuk dari ujung distal dan permukaan anterior bagian pusat patella.
-
Setiap fraktur pada patella yang menyebabkan displacement fragmen pada
aksis longitudinal akan menimbulkan disrupsi dari mekanisme ekstensorum.

Pemeriksaan fisis dan diagnosis

95
-
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisis, dan foto
rontgen.
-
Penyebab paling sering adalah jatuh dari ketinggian, benturan langsung
pada tempurung lutut, atau kombinasi dari mekanisme tersebut.
-
Biasanya tampak hemarthrosis, kecuali jika sendi mengalami dekompresi
akibat robekan retinacular yang hebat.
-
Defek palpable pada lutut menandakan fraktur displaced.
-
Ketidakmampuan untuk melakukan ekstensi lutut menandakan
diskontinuitas mekanisme ekstensor dan fraktur displaced.
-
Hilangnya fungsi quadriceps bermakna hilangnya ekstensi aktif lutut dan
hilangnya kemampuan untuk mengunci sendi dalam posisi ekstensif.
-
Karena nyeri dapat membatasi pemeriksaan ini maka aspirasi dan injeksi
lidokain secara steril dapat membantu.
-
Kemampuan untuk melakukan ekstensi tidak berarti tidak ada fraktur
patella karena ekstensi ini dapat dibantu oleh retinaculum ekstensor.

KLASIFIKASI
-
Fraktur patella nondisplaced adalah fraktur dengan per-geseran
permukaan artikular < 2 mm.
-
Fraktur patella displaced adalah fraktur dengan pergeseran permukaan
artikular > 2 mm.
-
Ada beberapa tipe fraktur yakni :

1. Fraktur transversa
- Fraktur yang terjadi pada garis horizontal.
- Fraktur ini terjadi akibat gerakan kontraksi tibatiba otot kuadriceps seperti
pada penderita yang jatuh atau mencoba menghentikan gerakan jatuhnya.
- Sering terjadi avulsi tendo kuadriceps atau tendo infra patellar atau terjadi
fraktur transversal dari patella dengan robekan retinacular expansion.
2. Central transverse fracture
Fraktur pada pusat patella dan pada garis horizontal
3. Polar transverse fracture
Ditandai dengan adanya fragmen perifer yang kecil akibat avulsi tulang
dengan tendon quadriceps (jika di apical) atau tendon patellar (distal)

4. Comminuted fracture atau stellate pattern


- Fraktur berkeping-keping dan kadang memberi gambaran serupa bintang.
- Fraktur stellata adalah fraktur undisplaced atau vertikal pada patella.
- Fraktur ini biasanya terjadi akibat benturan langsung pada patella.
- Kontinuitas mekanisme kuadriceps tiodak terganggu dan retiancula tidak
robek. Fraktur ini stabil dan tidak akan mengalami displace dibawah stres
fisiologik normal pada pergerakan aktif.
- Tindakan bedah pada fraktur tipe ini tidak perlu dilakukan.

5. Fraktur longitudinal
Biasanya pada aspek lateral patella dan biasanya nondisplaced
96
6. Fraktur osteochondral
- Biasa terjadi setelah dislokasi patella.
- Fraktur ini seringkali melibatkan berbagai bagian dari facet medial dan
tulang sekitarnya akibat dislokasi patellar.
- Pembedahan dibutuhkan untuk mengangkat fragmen yang terlepas dan
memperbaiki mekanisme kuadriceps untuk mencegah terjadinya
dislokasi.
- Pada cedera ini mekanisme ekstensor tidak terganggu.
- Fraktur ini hanya dapat dilihat dengan foto rontgen “skyline” sehingga
pada foto biasa sering luput.

BIOMEKANIK
-
Fraktur pada patella dan fraktur pada olecranon merupakan dua fraktur yang
merupakan indikasi ideal untuk tension band fixation dengan wire.
-
Jika patella direduksi dan dipertahankan dengan cerclage wire yang
dipasang secara sirkumferensial, maka reduksi dipertahankan sepanjang
lutut tidak fleksi dan quadriceps tidak kontraksi berlebihan.
-
Sekali lutut difleksikan maka akan terbentuk celah fraktur di anterior,
contour patella berubah dan kongruensi menghilang.
-
Juga pada kontraksi quadriceps yang berlebihan walaupun lutut di-
immobilisasi dalam posisi ekstensu dan dalam cylinder cast.
-
Dengan tension band fixation, fleksi pada lutut akan menyebabkan
peningkatan kompresi pada fraktur, dan kontraksi quadriceps jika lutut
diekstensikan tidak akan menyebabkan timbulnya gap pada frgamen fraktur.
-
Sebuah tension band wire yang dipasang pada permukaan anterior patella
akan menyerap “distracting force”. Sewaktu fleksi, patella akan tertarik
terhadap intercondylar groove dan fragmen fraktur akan saling mendekat
akibat kompresi aksial. Ini merupakan contoh dari kompresi dinamik.

RADIOLOGIK
-
Pemeriksaan radiologis meliputi foto AP, lateral dan Merchant views.
-
AP view sering membingungkan akibat tumpang tindih antara patela dan
distal femur.
-
Foto lateral biasanya menampakkan fraktur transversal displaced termasuk
pergeseran fragmen dan inkongruinitas artikular.
-
Periksa tinggi patella untuk menyingkirkan kemungkinan ruptur ligamen
patellar.
-
Rasio Insall-Salvati = panjang patellar : panjang ligamen patellar (pada
foto rontgen lateral)
-
Rasio Insall-Salvati < 0,8 menunjukkan patella alta dan konsisten dengan
ruptur ligamen patella.
-
Merchant view sangat menolong dalam diagnosis fraktur longitudinal atau
fraktur osteochondral.

97
-
Ct scan jarang diperlukan, tetapi dapat berguna untuk mendiagnosis fraktur
occult.

PENANGANAN
-
Pilihan penanganan untuk fraktur patella adalah :

1. Nonoperatif
2. ORIF
3. Reduksi tak langsung dan cerclage wiring
4. Partial patellectomy dan rekonstruksi tendon.
5. Patellectomy total

Penanganan nonoperatif
-
Diindikasikan pada fraktur patella tertutup nondisplaced tanpa disrupsi
mekanisme ekstensor lutut.
-
Tindakan ini berupa gips extensi dalam cylinder cast atau brace selama 4-6
minggu.
-
Weight-bearing dapat segera dilakukan dengan lutut diimmobilisasi posisi
ekstensi.
-
Setelah terjadi konsolidasi pada foto x ray sekitar 4 minggu, aktif ROM
dapat dimulai.
-
Pada fraktur transversal, undisplaced yang merupakan fraktur avulsi, fungsi
mekanisme ekstensor tidak mengalami gangguan dan pasien mampu
mengekstensikan lutut karena retinacular pada setiap sisi tetap utuh.
-
Fraktur jenis ini tetap potensial berbahaya karena dengan kontraksi secara
tiba-tiba maka retinacular ini akan robek. Selanjutnya faktur akan displaced
dan fungsi ekstensor terganggu.
-
Untuk fraktur ini hanya dibutuhkan proteksi sederhana. Hasil yang
memuaskan dapat dicapai dengan pasien tetap bisa bergerak namun
memakai crutches atau dengan mengimmobilisasi lutut dalam cylinder cast
dan dibolehkan weight bearing.

Penanganan operatif
-
Secara umum, indikasi reduksi terbuka dan fiksasi internal pada patella
adalah setiap fraktur pada patella yang menimbulkan gangguan pada fungsi
mekanisme kuadriceps.
-
Diindikasikan pada :
1. Fraktur terbuka
2. Fraktur dengan displacement artikular > 2 mm
3. Fraktur yang disertai dengan disrupsi mekanisme ekstensor.
-
Fraktur terbuka membutuhkan irigasi dan debridement segera serta
stabilisasi interna.
-
Manajemen luka mengikuti aturan penanganan fraktur terbuka.
98
-
Luka tetap dibiarkan terbuka, namun sendi lutut ditutup dan dipasang drain.
-
Reduksi terbuka dan fiksasi internal dilakukan pada fraktur displaced tanpa
atau dengan minimal communition.
-
Jika memungkinkan, ini merupakan tindakan bedah pilihan, baik dengan
approach longitudinal atau tansversal anterior.
-
Jika ORIF memberikan stabilitas yang adekuat, maka ROM aktif dilakukan
dini, ambulasi full weight-bearing dapat dimulai segera setelah
pembedahan. Setelah 6 minggu ambulasi unprotected dilakukan.
-
Jika communition terlalu besar dan meliputi sebagian besar patella dan jika
ORIF secara tehnik tak mungkin dilakukan, maka dilakukan reduksi indirek
dan dipasang cerclage wiring.
-
Kawat ukuran 18 dipasang melingkari melalui perbatasan patella dengan
quadriceps dan tendon patellar dan mengelilingi retinaculum. Dapat
ditambahkan anterior tension band.
-
Rehabilitasi setelah prosedur ini tergantung pada derajat stabilitas yang
diperoleh intraoperatif.
-
Jika fraktur communition terjadi pada ujung distal patella dan fragmennya
nonartikular maka dapat dilakukan partial patellectomy dan dilanjutkan
dengan tendon repair. Perbaikan retinaculum harus dilakukan secara hati-
hati.
-
Immediate weight-bearing dapat dimulai dengan lutut terkunci dalam posisi
ekstensi dalam brace. Kisaran pergerakan yang aman ditentukan pada
waktu operasi.
-
Patellectomy total merupakan tindakan penyelamatan untuk fraktur patella
yang sangat communited atau bila tak ada tindakan alternatif lain untuk
menyelamat kan patella dan bukan merupakan indikasi pada prosedur
primer.
-
Fragmen patella yang “major comminuted” dapat dipasang lag screw
bersama. Ini paling baik pada garis fraktur yang oblik atau vertikal karena
tension band yang dipasang pada quadriceps dan tendon infrapatellar tidak
akan menekan / mneyatukan garis fraktur yang vertikal.
-
Fragmen-fragmen fraktur patella yang kecil seperti avulsi pada pole inferior
atau fragmen lateral paling baik jika difikasi bersama bagian lainnya dengan
menggunakan lag screw.
-
Fiksasi ini kemudian diperkokoh dengan tension band wire yang seklaigus
berfungsi untuk melindungi lag screw.
Komplikasi
-
Kekurangan atau komplikasi yang harus dicegah antara lain :
1. Loss of fixation dan pergeseran fraktur
Dicegah dengan mengikuti prinsip AO/ASIF, membuat penilaian akurat
intraoperatif menyangkut stabilitas struktur dan melakukan protokol
rehabilitasi yang tepat.

2. Posterior tilt dari patella


Setelah patellectomy partial atau tendon repair dicegah dengan
melekatkan tendon dekat ke permukaan artikular dari patella.

99
3. Kekakuan sendi
Akibat immobilisasi yang berkepanjangan dapat dicegah dengan
menentukan secara tepat periode immobilisasi melalui stabilitas
konstrruksi selama operasi.

4. Meskipun susah untuk mencegah kerusakan pada tension band, namun


gejala yang menyertai dapat diminimalkan dengan menggunakan benang
dan bukan kawat.

5. Resiko nonunion dan infeksi dapat dikurangi dengan melakukan eksisi


fragmen yang devaskularisasi dan meminimalkan stripping pada jaringan
lunak dari fragmen tulang selama pembedahan.

6. Arhtritis patellofemoral
Dapat diminimalkan dengan memulihkan permukaan artikular patella dan
kongruinitas sendi patellofemoral.

Tehnik fiksasi internal


- Tension band wire dilewatkan melalui quadriceos dan tendon patellar
sebelum disimpul pada permukaan anterior patella.
- Konfigurasi tigure of eight tidak begitu baik untuk tension band wire karena
menyilangkan wire akan mengurangi kemampuannya untuk mengendalikan
rotasi dari fragmen sepanjang aksis memanjang (vertikal) dari patella.
- Satu wire biasanya sudah cukup, meskipun pada orang yang besar harus
digunakan dua wire untuk memperkuat fiksasi.
- Wire harus disimpul pada kedua sisi untuk menjamin penekanan (kompresi)
yang seragam pada daerah fraktur.
- Fraktur harus direduksi dan lutut diekstensikan sebelum wire dikencangkan
dan disimpul.
- Biasanya wire dikencangkan hingga terjadi sedikit “overcorrection” dan
fissura artikular mulai membentuk “gap”.
- Lutut kemudian difleksikan hingga melewati 900. Maneuver ini membuat :
1. Seluruh permukaan fraktur mengalami kompresi,
2. Terjadi impaksi fragmen-fragmen fraktur, dan
3. Menutup fissura artikular tanpa ada “gap” di anterior ataupun distorsi dari
patella.
- Kompresi juga dapat dicapai dengan menggunakan lag screw. Tehnik ini
terutama diperlukan pada fraktur pole distal yang jika hanya dipasanag
tension band wire fragmen distalnya yang kecil akan mengalami
pergeseran/displaced dan menekuk masuk ke dalam sendi.
- Tension band wire dipasang setelah lag screw dikencangkan, dan berfungsi
untuk mengamankan fiksasi lag screw.
- Demikian pula jika terdapat fragmen-fragmen comminution yang cukup
besar, maka dapat direduksi dan difiksasi dengan lag screw.
- Jika Kirschner wire digunakan untuk mengamankan fiksasi fragmen maka
tidak boleh disilang; jika tidak maka tidak akan terjadi impaksi dan
kompresi fragmen-frgamen.
100
- Jika tension band wire digunakan di sekeliling Krischner wire dan bukan
melalui tendon, maka dapat timbul bahaya Krischner wire tertarik ke depan,
merusaknya dan tension wire jadi terlepas.
- Kirscner wire digunakan hanya bila patella mengalami cominuted dan wire
diperlukan untuk stabilitas.
- Patella sebisa mungkin harus diselamatkan dan patellectomy hanya
dilakukan bila fraktur sudah sedemikian rupa sehingga tidak dapat
dipertahankan walau satu fragmenpun.
- Jika ada fragmen yang masih dapat diselamatkan maka fragmen ini
dipertahankan dan jahitan tendon ke fragmen ini diperkuat dengan tension
band wire.
Perawatan pascaoperasi
-
Sendi diimmobilisasi dalam posisi fleksi 400-600 selama 2-3 hari dan
dipertahankan elevasi dengan splint Bohler-Braun.
-
Pada hari ke 2 atau 3 jika luka sembuh maka dimulai latihan fleksi aktif dan
ekstensi namun hanya diperkenankan partial weight-bearing selama 6
minggu pertama.
-
Lutut tidak di splint dalam posisi ekstensi.
-
Adalah suatu tindakan yang salah mengimmobilisasi lutut setelah reduksi
terbuka dan fiksasi internal suatu fraktur artikular.
-
Pergerakan tidak hanya diperlukan untuk mempercepat penyembuhan
kartilago artikular namun juga fleksi lutut pada fraktur patella dibutuhkan
untuk mempercepat efek stabilisasi dari kompresi dinamik pada interface
fraktur.
-
Jadi tidak digunakan cylinder cast untuk melindungi fiksasi internal.
-
Biasanya dalam 6 minggu atau lebih , fraktur telah mengalami konsolidasi
dan pasien dapat mencapai pergerakan dengan range yang memuaskan.
-
Pada waktu ini, pasien dapat memulai full weight bearing, namun
disarankan untuk melakukan proteksi secukupnya hingga kekuatan
kuadriceps telah pulih.

12. FRAKTUR TIBIAL PLATEAU

-
Disebut juga bumper fracture
-
Fraktur tibial plateau merupakan fraktur intra artikular dari sendi weight-
bearing besar.

Anatomi dan biomekanik


-
Tibial plateau adalah permukaan artikular dari bagian proksimal tibia.
-
Daerah proksimal tibia merupakan daerah rentan, mudah patah karena
terdiri dari tulang spongiosa dan dibatasi korteks yang tipis.
-
Pada orang tua, tulang ini cenderung osteoporotik.

101
-
Tibial plateau terdiri atas:

1. Medial plateau, berbentuk konveks dan menghadap ke superior,


2. Lateral plateau, berbentuk konkaf dan menghadap ke superior,
3. Area intercondylar nonarticular, merupakan daerah diantara keduanya.
-
Lateral plateau lebih tinggi dari medial plateau.
-
Perbedaan ini, ditambah dengan perbedaan bentuknya membantu untuk
membedakan secara klinis keduanya ada foto x-ray lateral.
-
Struktur tulang pada media plateau jauh lebih kuat dari lateral plateau.
-
Permukaan artikular dari plateau merupakan daerah paling banyak untuk
weight-bearing.
-
Kartilago hyalin meliputi bagian medial plateau setebal 3 mm dan meliputi
bagian lateral plateau setebal 4 mm.
-
Permukaan artikular tulang miring 100 ke inferior dari tepi anterior ke
posterior.
-
Menisci membungkus bagian perifer dari kedua plateau dan melekat ke
tibial plateau pada tepi perifernya melalui ligamentum coronary atau
meniscotibial.
-
Tuberculum tibialis merupakan tempat insersi tendon patellar.
-
Tuberculum Gerdy pada permukaan anterolateral dari lateral tibial flare
merupakan tempat insersi iliotibial band.
-
Artikulasi fibula dengan tibia pada bagian proksimal tibio fibular joint
berada di posterolateral tibial flare.
-
Tendon pes anserinus dan ligamentum collateral medialis pada bagian
proksimal tibialis medialis, dan ligamentum cruciatum anterior yang
berorigo dari daerah intercondilaris anterior.
-
Mekanisme cedera yakni stress varus dan valgus yang sering dikombinasi
dengan gaya aksial kompresif sehingga terjadi split dan/atau depresi pada
plateau.
-
Fraktur ini dapat juga timbul akibat kombinasi gaya mendadak secara
vertikal dengan gaya lengkung (Kennedy dan Bailey, 1968).
-
Fraktur sering terjadi akibat cedera berenergi tinggi dan sering disertai
dengan cedera jaringan lunak.
-
Mekanisme fraktur ini biasanya menyebabkan berbagai derajat depresi
pemukaan artikular serta malalignment aksial.
-
Bila salah satu permukaan artikular mengalami depresi maka permukaan
artikular menjadi “incongruous” dan sebagian kecil sendi harus
menanggung seluruh berat badan atau tekanan pada salah satu permukaan
artikular menjadi tinggi.
-
Malalignment aksial akan menyebabkan aksis weight-bearing bergeser ke
sisi yang mengalami depresi.
-
Mekanisme vertikal dan lengkung juga akan menyebabkan timbulnya
osteoartritis pasca trauma.
-
Jika mekanisme destruksi ini disertai dengan kerusakan akibat trauma pada
permukaan artikular maka kerusakan pada sendi akan semakin cepat.

102
-
Kadangkala pada setiap kejadian fraktur, gaya yang menyebabkan
deformitas sedemikian besarnya sehingga turut menyebabkan kerusakan
pada ligamentum kolateral bahkan ligamentum cruciatum dapat ikut rusak.
Ini akan menimbulkan instabilitas sendi.
-
Instabilitas dapat juga timbul akibat :
1. Depresi sendi, dan
2. Incongruinitas tanpa disrupsi ligament.
-
Apapun penyebabnya, instabilitas yang terjadi akan mengganggu fungsi
sendi yang normal karena tidak aman dan mallaignment aksial yang
menyertainya serta beban yang berlebihan.
-
Jadi, inkongruinitas sendi, malaignment kasial dan instabilitas, sendiri atau
bersama akan menyebabkan osteoartritis pasca trauma.
-
Untuk menjamin keberhasilan penanganan fraktur tibial plateau maka harus
dijamin :
1. Sendi tetap stabil,
2. Permukaan artikular tetap congruous,
3. Sendi tidak nyeri (painless)
4. ROM dalam kisaran memuaskan.
-
Kebanyakan literatur melaporkan angka keberhasilan penanganana fraktur
ini, baik dengan metode tertutup maupun operatif, hanya 50% lebih sedikit,
yang memuaskan.
-
Kegagalan penanganan biasanya akibat:
1. Residual pain,
2. Stiffnes,
3. Instabilitas,
4. Deformitas,
5. Efusi rekuren,
6. Giving way.

Pemeriksaan fisis dan diagnosis


-
Perlu membedakan antara trauma akibat cedera berenergi tinggi dan
berenergi rendah.
-
Pasien mengeluh nyeri dan tidak mampu untuk weight- bearing.
-
Edema, hemarthrosis dan nyeri pada tibia proksimal. Semuanya merupakan
tanda umum.
-
Pemeriksaan neurologik harus dilakukan dengan cermat untuk
menyingkirkan cedera n. peronealis atau n. tibialis.
-
Pemeriksaan vaskular untuk menentukan cedera arteri popliteal. Jika a.
popliteal mengalami cedera, perlu pemeriksaan arteriogram.

Klasifikasi

103
-
Klasifikasi yang paling banyak dipakai dan “reproducible” adalah
klasifikasi Schatzker et al. Sistem ini mengklasifikasikan fraktur menjadi 6
tipe dan sangat membantu dalam merencanakan tindakan bedah.
-
Setiap tipe dalam klasifikasi ini mencerminkan satu kelompok fraktur yang
sama dalam patogenesis dan polanya, masalah yang harus dihadapi dalam
penanganan dan prognosis yang sama.
-
Klasifikasi Schatzker :

Schatzker I
-
Fraktur wedge atau split pada lateral tibial plateau akibat gaya benidng
dan shearing.
-
Tidak ada depresi atau impaksi pada permukaan artikular.
-
Hampir selalu terjadi pada anak muda dengan tulang yang kuat.
-
Fraktur ini terjadi akibat tulang cancellous yang tebal pada lateral tibial
plateau menahan depresi (tekanan).
-
Jika undisplaced, fraktur ini membutuhkan pergerakan dini dan proteksi
terhadap weight bearing karena, dibawah tekanan, dapat terjadi
displacement.
-
Ada 3 pola dasar displacement :
1. Fragmen lateral wedge terpisah dari metaphyse, sehingga permukaan
artikular menjadi luas.
2. Fragmen lateral wedge mengalami depresi.
3. Fragmen lateral wedge mengalami depresi dan terpisah dari metaphyse.
-
Pada fraktur yang mengalami displaced nyata, maka meniscus lateralnya
terjebak dalam fraktur. Sehingga jika displaced maka fraktur ini harus
dioperasi karena menicus lateral yang terjebak dalam garis fraktur akan
menghambat reduksi manipulatif secara tertutup.
-
Fraktur yang displaced dan meniscus yang terjebak akan membuat
inkongruinitas permukaan artikular yang mengganggu fungsi sendi.
-
Jika meniscus terjebak dan terjadi fraktur displace maka meniscus akan
memperparah major intraarticular dearrangement yang jelas akan
mengganggu fungsi sendi.
-
Pengaruh dari pelebaran lateral plateau tergantung pada derajat yang
terjadi.
-
Jika minimal, celah yang terjadi akan tertutup oleh meniscus secara
parsial dan tidak timbul konsekuensi.
-
Jika besar maka meniscus ini akan terjebak dalam garis fraktur dan
serpihannya akan menyebabkan inkongruinitas sendi dan instabilitas
dalam berbagai derajat.
-
Mengingat fraktur ini paling banyak mengenai usia dibawah 30 tahun,
maka pengobatan harus maksimal dengan reduksi terbuka dan fiksasi
internal karena potensial dapat timbul :
1. Internal derangement,
2. Instabilitas sendi, dan
3. Axial overload

104
-
Jika displacement kecil dan indikasi pembedahan tidak jelas, maka
dilakuakn arthroskopi untuk memastikan meniscus tidak terjebak.

Schatzker II
-
Fraktur split depresi pada lateral tibial plateau.
-
Mekanisme cedera sama dengan tipe I namun kejadiannya pada orang tua
(rata-rata >50 tahun).
-
Biasa terjadi pada orang tua karena tulang cancellous pada poksimal tibia
lemah dan tak dapat menanggung gaya kompresi.
-
Fraktur meliputi daerah depresi atau impaksi pada permukaan artikular,
sebagai tambahan fragmen split atau wedge.
-
Pada fraktur ini terbentuk latera; wedge yang disertai dengan berbagai
derajat depresi bagian weight-bearing sekitarnya yang tertinggal (tidak
mengalami fraktur) pada tibial plateau.
-
Segmen yang mengalami depresi bisa anterior, posterior, sentral, atau
kombinasi ketiganya.
-
Wedge yang terbentuk dapat bervariasi mulai dari rim fraktur yang
simple hingga yang melibatkan hampir sepertiga permukaan artikular.
-
Displacement fraktur yang terjadi sejalan dengan pelebaran permukaan
sendi yang timbul dengan pemisahan wedge yang terjadi disertai dengan
depresi pada lateral plateau.
-
Grading depresi dilakukan dengan mengukur titik terendah yang
diketahui dari medial plateau dengan fragmen depresi terendah dari
lateral plateau.
-
Depresi >4 mm sangat bermakna, jika tidak direduksi akan
menimbulkan :
1. Inkongruinitas sendi,
2. Deformitas valgus, dan
3. Perasaan tidak stabil.
-
Derajat dari defek ini sebanding dengan derajat pelebaran sendi dan
depresi sentral yang terjadi.
-
Hasil yang buruk dengan penanganan terbuka maupun tertutup dapat
diakibatkan oleh :
1. Depresi sendi residual,
2. Inkongruenitas, dan
3. Instabilitas sendi.
-
Baik oleh karena sudah diterima sejak awal maupun karena reduksi yang
tidak sempurna atau karena redisplacement terjadi pasca operasi.
-
Reduksi manipulatif tertutup dikombinasi dengan traksi, atau hanya
dengan traksi saja mempunyai angka keberhasilan yang bervariasi.
-
Displaced lateral wedge dengan manipulasi tertutup kadang memberikan
hasil yg memuaskan, namun frgamen wedge anterior atau posterior tidak
akan berhasil dengan tindakan ini.

105
-
Fragmen artikular yang depresi dan mengalami impaksi ke metaphyse
tidak akan berhasil dimanipulasi dengan cara tertutup.
-
Jika fragmen yang mengalami depresi cukup nyata dan berpengaruh
terhadap instabilitas sendi maka instabilitas ini akan menetap dan nampak
setelah penanganan. Depresi sendi ini tidak akan terisi dengan
fibrokartilago dan tetap permanen sebagai defek negatif artikular.
-
Immobilisasi dengan gips dari fraktur intra artikular ini, bahkan dalam
waktu yang singkat 3-4 minggu, akan terjadi kekakuan yang irreversibel.
-
Traksi, walaupun gagal menghasilkan reduksi yang acceptable, namun
mempunyai keuntungan menghilangkan nyeri dan memungkinkan
pergerakan dini sementara traksi terpasang.
-
Jika disrupsi kolateral ligamen menyertai fraktur maka perlu diperbaiki.
Setelah pembedahan immobilisasi sendi dengan plaster walaupun hanya
beberapa hari akan mengakibatkan kehilangan pergerakan yang permanen
dan serius. Beberapa ahli menganjurkan pemasangan cast brace untuk
mencegah hal ini.
-
Beberapa ahli juga menggunakan cast brace sebagai metode yang ideal
untuk external splint bagi fiksasi internal yang unstable dan sebagai
metode yang paling memuaskan untuk fraktur undisplaced pada pasien
yang tidak patuh dan tanpa keluhan.
-
Cast brace mempertahankan axial alignment pada fraktur unstable dengan
depresi sendi namun malalignment dapat terjadi kembali sewaktu brace
dilepas. Hal ini diakibatkan oleh depresi sendi yang mengakibatkan
instabilitas karena tidak terisi oleh fibrokartilago.
-
Cast brace tidak dapat digunakan untuk reduksi fraktur namun digunakan
sebagai metode yang paling baik untuk latihan fungsional setelah reduksi
tercapai dan pergerakan dini tanpa beban pada bagian artikulasi yang
rusak,
-
Dsiplaced lateral wedge yang disertai dengan depresi > 4 mm harus
ditangani dengan :
1. Reduksi terbuka,
2. Elevasi fragmen yang depresi,
3. Bone graft,
4. Stable fixation, dan
5. Pergerakan dini.
-
Jika penderita berusia lanjut atau tidak memungkinkan untuk dioperasi
maka dilakukan :
1. Reduksi manipulatif tertutup,
2. Traksi skeletal,
3. Pergerakan dini, dan
4. Transfer ke cast brace segera setelah fraktur tidak lagi displaceable
walaupun masih deformable.
-
Fraktur tidak boleh diimobilisasi denga plaster karena akan menyebabkan
kekakuan sendi.

106
-
Jika pada akhir reduksi tertutup instabilitas sendi dan / atau deformitas
menetap maka perlu dilakukan prosedur rekonstruksi sekunder.

Schatzker III
-
Fraktur depresi murni pada sebagian permukaan artikular dan lateral tibial
plateau tanpa disertai fraktur lateral wedge.
-
Tidak ada split.
-
Biasanya timbul akibat gaya trauma yang kecil namun mengenai bagian
tulang yang lemah.
-
Sering mengenai penderita berusia lanjut (55-60) akibat osteoporosis.
-
Termasuk tipe fraktur yang paling ringan dan paling sering terjadi.
-
Stabilitas sendi tidak terganggu dan hasil akhir berupa fungsi sendi yg
baik tanpa inkongruinitas sendi.
-
Derajat keterlibatan sendi bervariasi, mulai dari depresi kecil pada central
plateau hingga depresi seluruh plateau.
-
Depresi biasanya central dan letral, namun dapat juga mengenai bagian
lainnya.
-
Depresi pada bagian posterios dan lateral biasanya disertai dengan derajat
instabilitas yang hebat.
-
Sangat penting sewaktu mengevaluasi fraktur ini untuk memeriksa lutut
(dengan anestesi) dalam ekstensi penuh dan berbagai derajat fleksi.
-
Jika tidak ada instabilitas maka aman untuk melakukan tindakan
mobilisasi dini tanpa weight bearing.
-
Jika ada instabilitas, maka tergantung derajat instabilitas dan faktor lain,
seperti usia, harapan penderita, dll, untuk melakukan ORIF.

Schatzker IV
-
Fraktur pada medial plateau.
-
Sering terjadi akibat trauma berenergi tinggi pada orang muda dan
dengan sedikit gaya varus jika pada orang tua.
-
Medial plateau merupakan bagian yang sulit mengalami beban berlebihan
dan fraktur, sehingga fraktur pada bagian ini akibat gaya yang sangat
besar pada orang muda atau gaya yang kecil pada orang tua dengan
tulang yang osteoporotik nemun medial plateau remuk akibat berbenturan
dengan massa fragmen dalam sendi.
-
Prognosis yang buruk lebih disebabkan karena secara tehnis rekonstruksi
sangat sulit dilakukan.
-
Traksi jarang menyebabkan aligment pada condylus medialis dan
permukaan artikular, dan hasil yg buruk disebabkan karena inkongruinitas
dan instabilitas.
-
Split yang terjadi pada medial plateau sering berupa simple wedge,
seperti wedge fraktur pada lateral plateau namun sering disertai dengan
fraktur pada eminencia intercondylaris dan tulang dekat perlekatan
ligamentum cruciatum.
-
Sering pula disertai dengan :
1. Disrupsi kompleks ligamentum collateralis lateralis (baik melalui
ligamentum maupun akibat avulsi tulang sepeti pada proksimal fibula),
107
2. Stretching ataupun rupture n. peronealis akibat traksi,
3. Ruptur vasa popliteal akibat traksi,
4. Cedera ligamentum cruciatum.
-
Disrupsi dari kekuatan trauma ini menyebabkan terjadinya subluksasi
atau dislokasi lutut namun telah mengalami realignment.
-
Jadi, pada orang muda, prognosis yang buruk dari cedera ini bukan
karena fraktur yang terjadi namun karena:
1. Cedera ikutan,
2. Compartment syndrome,
3. Volkmann’s ischemia necrosis,
4. foot drop
-
Jika tidak ada undisplaced dan tidak disertai dengan lesi jaringan lunak,
maka fraktur tipe IV ini dapat ditangani dengan reduksi tertutup dan hasil
yang memuaskan sepanjang pergerakan dilakukan dini dan axial
malalignment dicegah.
-
Jika displaced dan / atau disertai dengan lesi ligamen atau neurovaskular,
maka fraktur ini harus ditangani secara terbuka dengan perbaikan
komponen ligamen yang mengalami cedera dan internal fiksasi fraktur.
-
Beberapa fraktur disertai dengan posterior split wedge dari medial
plateau sehingga menyebabkan condylus femoralis mengalami subluksasi
ke posterior sewaktu fleksi dan bertambahnya intstabilitas sendi. Fragmen
ini harus direduksi dan distabilkan.

Schatzker V
-
Wedge fraktur pada medial dan lateral plateau (fraktur bicondylar).
-
Mekanisme trauma diduga akibat gaya beban aksial yang menimpa lutut
sewaktu dalam posisi ekstensi. Gaya aksial ini seimbang kiri dan kanan
sewaktu menimpa tibial palateau.
-
Walaupun bisa terjadi, namun biasanya tanpa disertai dengan depresi
permukaan artikular.
-
Prognosis tergantung apakah fraktur melibatkan intra artikular atau
dimulai ekstraartikular pada eminencia intercondylar.
-
Fraktur yang meluas hingga ke sendi lutut pada daerah nonartikular
secara relatif mempunyai prognosis lebih baik.
-
Karena masih ada jaringan lunak yang melekat pada split wedge fragmen,
maka traksi sering kali memberikan hasil yang memuaskan dan jika telah
stabil dapat dilakukan cast brace.
-
Walaupun cast brace dapat mempertahankan alignment namun tidak
dapat mencegah terjadinya shortening ringan. Akibatnay sekali
dipindahkan ke cast brace, banyak fraktur ini mengalami teleskop dengan
pelebaran pada condylus tibialis.
-
Ini menyebabkan perpanjangan relatif jaringan lunak kolateral sehingga
menimbulkan instabilitas minor valgus / varus.
108
Schatzker VI
-
Fraktur metaphyseal yang meluas ke diafise dan memi- sahkan
permukaan artikular dari diafise.

-
Klasifikasi lain adalah menurut AO yakni:

Klasifikasi AO

Tipe I : wedge
Tipe II : depressi
Tipe III : wedge dan depressi
Tipe IV : fraktur Y dan T atau
fraktur comminuted kedua condylus

-
Klasifikasi fraktur dislokasi menurut Moore

Tipe I : Split
Tipe II : Seluruh condylus
Tipe III : Avulsi rim
Tipe IV : Kompresi rim, robekan lig. collateral kontra lateral
Tipe V : Robekan 4 bagian

-
Klasifikasi fraktur tibial spine (eminencia) menurut Meyers dan Mc
Keeven

Tipe I : Tepi anterior eminencia sedikit elevasi


Tipe II : Tepi anterior eminencia terangkat jauh
Tipe IIIA : Seluruh eminencia mengalami fraktur dan terpisah dari
tibial bed
Tipe IIIB : Fraktur komplit eminencia dengan rotasi
-
Cedera ligamentum collateral

Grade I atau derajat I


-
Robekan mikroskopik
-
Fungsi ligamen intak

Grade II atau derajat II


-
Robekan parsial (makroskopik)
-
Fungsi ligamen separuh terganggu tapi endpoint ada

Grade III atau derajat III


109
-
Robekan komplit
-
Fungsi ligamen tak ada
-
Dislokasi lutut, berdasarkan posisi tibia terhadap femur dibagi menjadi:
1. Dislokasi anterior
2. Dislokasi posterior
3. Dislokasi medial
4. Dislokasi lateral
5. Dislokasi rotasi

RADIOLOGIK
-
Meliputi pemeriksaan foto AP, Lateral, dan oblique views.
-
Foto x-ray internal oblique view memungkinkan kita mengevaluasi lateral
plateau dan pemeriksaan foto external oblique view untuk mengevaluasi
medial plateau.
-
Pemeriksaan CT scan coronal dan sagittal atau tomografi dapat membantu
jika ahli bedah membutuhkan informasi tambahan menyangkut pola fraktur.

PENANGANAN
-
Tujuan penanganan adalah :
1. Memulihkan stabilitas sendi,
2. Preservasi mobilitas sendi,
3. Memulihkan anatomi permukaan artikular,
4. Memulihkan kongruinitas sendi,
5. Memulihkan alignment axial ekstremitas bawah,
6. Prevensi nyeri,
7. Prevensi arthritis pasca traumatik.
-
Pilihan penanganan adalah
1. Nonoperatif
2. ORIF dengan bone grafting jika perlu
3. Reduksi indirek, paparan terbatas, dan fiksasi internal
4. Fiksasi internal terbatas dan penerapan hybrid external fixator
5. Penerapan bridging internal fixator melintas lutut, delayed open
reduction, dan fiksasi internal.

Penanganan Nonoperatif
-
Diindikasikan pada fraktur nondisplaced tanpa inkongruin itas artikular atau
instabilitas varus atau valgus.
-
Penanganannya berupa pemakaian hinged knee brace, ROM dini dan
mencegah weight-bearing selama 6 minggu

110
Penanganan Operatif
-
Indikasi pembedahan adalah :
1. Inkongruinitas sendi,
2. Instabilitas sendi pada coronal plane > 100 dengan lutut ekstensi penuh,
3. Articular steppof > 2 mm,
4. Axial malalignment,
5. Fraktur terbuka,
6. Fraktur dengan lesi vaskular.
-
Tujuan penanganan pembedahan adalah untuk memulihkan antomi
permukaan sendi, memulihkan axial alignment dan mencapai stabilitas yang
adekuat untuk memungkinkan ROM dini pada lutut.
-
Approach klasik adalah dengan ORIF untuk semua fraktur tibial plateau
displaced.
-
Saat ini banyak dilakukan stripping jaringan lunak seminimal mungkin ,
diseksi terbatas, dan optimal internal fixa tion.
-
Beberapa prinsip dasar pembedahan adalah insisi harus longitudinal,
jaringan lunak ditangani dengan hati-hati dan gentle.
-
Paparan permukaan sendi dipermudah dengan fleksi lutut dan
membiarkannya tergantung, untuk persiapan traksi.
-
Alternatif lain dapat digunakan distraktor femur melintasi lutut untuk
membantu paparan dan reduksi melalui ligamentoaxis.
-
Reduksi indirek melalui paparan terbatas dan minimal internal fixation
hanya digunakan pada fraktur tipe tertentu.
-
Dengan bantuan arthroscopy dan/atau fluoroscopy dilakukan reduksi dan
fiksasi interna perkutaneus fraktur Schatzker tipe I dan III.
-
Tehnik ligamentoaksis yakni reduksi indirek pada fragmen tulang yang
displaced dengan traksi melalui perlekatan jaringan lunak yang intak pada
fragmen tersebut dapat pula berguna.
-
Ligamentoaxis melalui distraktor femur melintasi lutut dapat bermanfaat
dalam mereduksi fragmen wedge pada fraktur Schatzker tipe I. Selanjutnya
screw percutaneus dipasang untuk menstabilkan reduksi.
-
Untuk mengurangi depresi artikular pada fraktur schatzker tipe III dibuat
jendela cortical pada tibial flare. Dari jendela ini dapat dilakukan elevasi
fragmen yang mengalami depresi. Selanjutnya reduksi dan iliac bone graft
dimasukkan untuk menyokong dan ditambah 2 screw cancellous threaded
secara parsial perkutaneus.
-
Iiac bone graft diperlukan karena setelah elevasi fragmen depresi akan ada
defek tulang metafiseal.
-
Setelah pembedahan, lutut dilindungi dengan menggunakan hinged knee
brace selama 6 minggu. ROM sendi dilakukan sesegera mungkin.
-
Toe-touch weight bearing dilakukan pada 6-12 minggu pertama, tergantung
pada tipe fraktur dan penilaian stabilitas yang diperoleh sewaktu operasi.
-
Selama periode ini otot hamstring dan quadriceps diperkuat (dilatih) dan
ROM dioptimalkan.

111
-
Jika edema jaringan lunak sangat hebat, misal akibat trauma berenergi
tinggi dan fraktur Schatzker tipe IV maka hindari operasi pada daerah
rentan ini.
-
Pilihannya adalah memasang fixator external melintasi lutut untuk
memperoleh stabilitas, gross reduction permukaan sendi melalui
ligamentoaxis dan axial aligment yang tepat. Setelah edema surut dapat
dipasang ORIF
-
Alternatif lain adalah dengan menggunakan hybrid external fixator dengan
wire kulit dekat sendi. Kekurangannya adalah bisa terjadi infeksi pada tract
pin dan toleransi yang buruk dari pasien.

Penanganan untuk fraktur tipe tertentu

Schatzker I simple wedge lateral plateau


-
Reduksi tanpa traksi. Reduksi dapat dilakukan dengan visualisasi melalui
arthroscopy dan fluoroscopy. Fiksasi internal dengan percutaneus partially
threaded cancellous screws.
-
Alternatif lain, ORIF melalui arthrotomy. Meniscus dielevasi dan fraktur
direduksi langsung. Fiksasi internal dicapai dengan partially threaded
cancellous screws. Untuk menambah stabilitas dipasang plate butress kecil.

Schatzker II fraktur lateral plateau


-
Ditindaki dengan ORIF dan bone grafting.
-
Setelah melakukan arthrotomy dan mengelevasi meniscus maka akan
tampak permukaan sendi. Fraktur wedge dibuka lewat anterior dan melalui
sisi fraktur dapat dicapai fragmen yang depresi. Selanjutnya fragmen
depresi diele-vasi dan defek metafiseal diisi dengan iliac crest autograft
Fragmen wedge kemudian direduksi dan distabilkan de-ngan partially
threaded cancellous screws sekitar 1 cm dibawah permukaan sendi.
Fragmen wedge ini kemudian disokong dengan plate buttress.

Schatzker III fraktur depresi sendi pada lateral plateau


-
Membutuhkan perbaikan permukaan artikular.
-
Tanpa adanya fraktur wedge, depresi sendi harus dielevasi melalui jendela
kortikal dibawah permukaan tibial flare.
-
Reduksi harus secara visual dengan arthrotomy, arthroscopy atau
fluoroscopy.
-
Defek metafiseal digraft dengan iliac crest bone graft. Fragmen yang telah
dielevasi beserta bone graft disokong dengan dua ukuran besar partially
threaded cancellous screws. Karena cortex bagian plateau lateral tipis dan
di-perlemah dengan jendela kortikal maka dipakai buttress plate walaupun
tidak ada fraktur split.
-
Kekurangan dari visualisasi arthroskopik adalah seringkali daerah yang
mengalami derpesi terletak anterior dan sebagian terlindungi oleh cornu
anterior meniscus sehingga visualisasi yang baik sulit dicapai.

112
Schatzker IV fraktur pada medial plateau
-
Harus direduksi dan distabilisasi dengan menggunakan medial buttress
plate.
-
Reduksi pada fraktur ini dipermudah dengan tehnik distraksi ligamentoaksis
dengan femoral distractor melintasi lutut
-
Reduksi permukaan artikular dapat divisualisasi langsung atau melalui
fluoroscopy.

Schatzker V fraktur bicondylar


-
Fraktur ini dapat terjadi intra artikular atau ekstra artikular.
-
Jika tak ada articular communition reduksi dapat dicapai dengan distraksi
dan ligamentoaxis.
-
Meskipun kadang diperlukan stabilisasi dengan bilateral buttress plate
namun seringkali dapat dicapai cukup dengan reduksi dan fiksasi screw dari
sisi lateral.
-
Stabilisasi tambahan pada sisi medial dapat dicapai dengan plate medial
kecil lewat suatu paparan kecil atau melalui tehnik subkutan.
-
Alternatif lain, suatu fiksator eksternal kecil ditempatkan di medial untuk
mencapai buttress medial tanpa paparan pembedahan.
-
Hindari diseksi berlebihan pada kedua plateau seperti yang dilakukan
dengan Z-plasty pada tendon patellar atau osteotomy tuberculum tibialis.

Schatzker VI fraktur metafiseal


-
Metafise harus di “bridged” ke diafise dengan aligment yang tepat dan
permukaan sendi harus dipulihkan.
-
Dapat digunakan satu narrow dynamic compression plate ukuran 4,5 mm,
satu lateral tibial head buttress plate, atau satu fixed-angle blade plate dari
set AO/ASIF.
-
Perhatikan bahwa buttress plate T atau L tidak cukup kuat untuk
menjembatani metafise ke diafise.
-
Untuk fraktur yang unstable dan cenderung untuk memendek dan bila
jaringan lunak terlalu udem untuk melakukan pembedahan dini, maka dapat
digunakan temporary bridging external fixator yang melintasi lutut sampai
udem menghilang. Jika sudah surut udem, baru dilakukan ORIF.
-
Pilihan lain, dapat digunakan hybrid external fixator dengan skinny wires
pada tibia proksimal dan standar Schanz screws pada diafise.

Cedera ikutan jaringan lunak


-
Cedera jaringan lunak sering menyertai fraktur tibial plateau.
-
Cedera ikutan ini meliputi :

1. Robekan meniscus,
2. Robekan ligamentum collateralis,
3. Robekan ligamentum cruciatum,
4. Cedera a. poplitea,
5. Cedera n. peroneus.
113
-
Robekan mensicus dapat diperbaiki sewaktu arthrotomy.
-
Robekan lig. collateral dapat dimanaje secara nonoperatif dengan
pemasangan hinged knee brace selama 6 minggu.
-
Sangat sulit untuk mendiagnosis dan menangani robekan lig. cruciatum
kecuali jika disertai avulsi tulang tempat melekat ligamentum cruciatum
anterior (ACL) yang mesti ditangani dengan fiksasi internal pada waktu
pembedahan fraktur tibial plateau.
-
Kasus cedera lig. cruciatum lainnya ditindaki belakangan jika lutut tetap
tidak stabil dan simptomatik.
-
Pemeriksaan fraktur tibial plateau dibawah anestesi di ruang operasi setelah
ORIF dapat membantu mendiganosis cedera ikutan ligamentum.
-
Cedera tertutup pada n. peroneus seringkali berupa neuropraxia dan
dimanaje dengan pengobatan supportif dan observasi.
-
Komplikasi yang dapat terjadi adalah :

1. Permasalahan pada luka


2. Kegagalan fiksasi
3. Loss reduksi artikular
4. Malunion
5. Nonunion
-
Gangguan pembuluh darah dapat didiagnosis dengan bantuan arteriografi.
-
Komplikasi kulit dapat diminimalkan dengan menghindari paparan
traumatik melalui jaringan lunak yang terganggu dan dengan menghindari
stripping luas jaringan lunak pada tulang.
-
Kegagalan fiksasi, malunion dan nonunion dapat dihindari dengan tehnik
reduksi yang tepat dan hati-hati untuk mencapai reduksi yang memuaskan
dan stabilisasi fraktur.

13. FRAKTUR DISTAL FEMUR

ANATOMI
-
Dalam coronal plane, sendi lutut paralel dengan permukaan tanah.
-
Aksis anatomi lutut atau sudut femorotibial adalah 60-90 valgus.
-
Aksis mekanikal sendi lutut adalah 30 valgus dari garis vertikal.
-
Condylus femoralis lebih lebar di posterior daripada anterior dan ini susah
untuk dinilai pada foto AP karena tumpang tindih.
-
Potongan transversal melalui condylus dengan CT scan menampakkan
gambaran trapezoid dengan 25% penyempitan dari posterior ke anterior.
-
Pada potongan sagital, corpus femur segaris (aligned) dengan setengah
bagian anterior condylus.

114
-
Anatomi muscular meliputi kompartmen anterior yg berisi kelompok
hamstring dan m. gastrocnemius.
-
Kompartmen ini dipisahkan oleh septa inter muskulare medial dan lateral.
-
Jika terjadi fraktur pada bagian distal femur, fragmen tulang akan
mengalami deformitas akibat tarikan otot-otot.
-
Otot quadriceps dan hamstring membuat deformasi dan pemendekan tulang.
-
Sebagai akibat tarikan otot gastrocnemius, condylus akan mengalami
angulasi dengan apex ke posterior.
-
Jika fraktur meluas ke sendi, condylus dapat mengalami displace dan rotasi.
-
Anatomi vaskular yang penting pada daerah ini adalah a. femoralis
superficialis yang terletak pada sisi medial distal femur dan berjalan ke
fossa popliteal untuk menjadi a. popliteal pada jarak sekitar 10 cm
proksimal dari sendi lutut lewat hiatus adductor Hunteri.

PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSIS


-
Dari anamnesis didapatkan riwayat trauma langsung pada lutut yang fleksi.
-
Sering terjadi pada orang tua yang jatuh atau trauma impaksi karena
benturan lutut pada dashboard pada anak muda.
-
Tampak pembengkakan lutut di daerah condylar, disertai deformitas dan
nyeri tekan.
-
Nilai status vaskular dan tandatanda kompartmen syndrome.

Klasifikasi
-
Banyak dipakai adalah klasifikasi AO/ASIF dan sangat membantu dalam
deskripsi fraktur.
-
Klasifikasi AO/ASIF

Tipe A
-
Fraktur extra articular supracondylar.
-
Batas proksimal dari segmen distal femur ditentukan dengan metode
bujur sangkar. Sisi bujur sangkar sama lebar dengan bagian lebar epifise.
-
Fraktur ini dibagi lagi menjadi :
Tipe A1 : simple
Tipe A2 : wedge
Tipe A3 : comminution

Tipe B
-
Fraktur intra articular unicondylar dari femur distal
-
Dibagi lagi menjadi :
Tipe B1 : Fraktur condylus lateralis pada bidang sagital
Tipe B2 : Fraktur condylus medialis pada bidang sagital
Tipe B3 : Fraktur coronal pada kedua condylus disebut juga coronal
atau Hoffa fracture
115
Tipe C
-
Fraktur intra artikular bicondylar dari femur distal
-
Dibagi lagi menjadi :
Tipe C1 : Fraktur tipe T atau Y noncomminuted
Tipe C2 : Fraktur supracondylar comminuted
Tipe C3 : Fraktur intra artikular comminution dengan > 2 fragmen
sendi
-
Pembagian lebih jauh hanya untuk kepentingan dokumentasi dan bukan
klinis.

Pemeriksaan Radiologik
-
Standar pemeriksan adalah foto AP dan lateral.
-
Evaluasi secara cermat permukaan artikular femur distal dan aligment
dalam hubungan dengan femoral shaft.
-
Kadang diperlukan foto oblique dan femoral notch view, serta CT scan
untuk mendapatkan gambaran yang jelas fragmen fraktur intra artikular.
-
Bila communition hebat pada femur distal membuat interpretasi sulit
dilakukan, maka diperlukan foto traksi untuk mengidientifikasi lebih baik
morfologi fraktur.

Penanganan
-
Tujuan : mengembalikan panjang, rotasi, dan axial alignment dari femur
distal dalam hubungannya dengan lutut.
-
Untuk fraktur intra artikular : rekosntruksi anatomik per-mukaan artikular.
-
Pilihan penanganan adalah casting, traksi dan delayed casting, serta ORIF.
-
Indikasi pembedahan adalah :
1. Fraktur intra artikular displace
2. Fraktur terbuka
3. Fraktur dengan cedera vaskular
4. Floating knee (fraktur distal femur dan tibia proksimal)
5. Fraktur femur bilateral
6. Politrauma
7. Fraktur femur distal disertai disrupsi ligamen lutut
8. Fraktur extra artikular yang tak dapat direduksi atau reduksi tak dapat
dipertahankan.
-
Bahkan pada kasus dengan posisi reduksi dapat dipertahankan boleh
dilakukan pembedahan untuk menghindari immobilisasi berkepanjangan.
-
Penanganan nonoperatif terutama dilakukan pada orang tua dan fraktur
impak dengan minimal displace.

116
Penanganan operatif
-
Meliputi ORIF dengan 950 condylar blade plate, 950 Dynamic Condylar
Screw (DCS), condylar buttress plate, lag screws dengan atau tanpa
supplementary buttress plate, dan intramedullary nail.
-
Kecuali darurat, misal karena fraktur terbuka atau cedera vaskular, maka
pembedahan paling baik dilakukan dalam 24-48 jam.
-
Walaupun reduksi anatomi disekitar daerah metafise penting, namun
stripping jaringan lunak yang dilakukan untuk mencapai reduksi anatomis
akan menyebabkan penyembuhan tertunda dan kegagalan implant.
-
Prinsip tehnik plating adalah penanganan hati-hati jaringan lunak, tehnik
reduksi tak langsung pada metafisis untuk mencegah stripping jaringan
lunak pada fragmen fraktur dan untuk preservasi vaskular sebanyak
mungkin.
-
Reduksi anatomi pada permukaan artikular penting namun hanya
diperlukan restorasi panjang, axial alignment, dan rotasi daerah extra
artikular.
-
Stable internal fixation harus dicapai untuk memungkinkan mobilitas dini.
-
Paparan bedah untuk plating femur distal adalah dengan pendekatan lateral.
Ke arah distal, insisi dapat diperluas berbentuk kurva ke anterior melewati
sendi lutut hingga ke tepi lateral tuberculum tibialis.
-
Iliotibial band diinsisi segaris dengan insisi kulit, vastus lateralis diretraksi
ke anterior dan didiseksi dari septum intermuskulare laterale.
-
Arteri geniculatum superior diligasi.
-
Pada kasus yang tidak lazim, paparan tambahan pada condylus medialis
dapat dicapai dengan osteotomy tuberculum tibialis atau, lebih baik lagi,
dengan insisi tambahan di sebelah medial.
-
Untuk fraktur tipe B1 atau B2 fraktur unicondylar, pendekatan dilakukan
melalui medial atau lateral tergantung pada frakturnya. Condylus harus
direduksi dan pastikan permukaan artikular dari femur distal telah anatomis.
-
Intramedullary nail dapat ditangani untuk fraktur tipe A ekstra artikular
femur distal. Dengan tehnik ini harus hati-hati dengan mencermati agar
tidak terjadi malposisi frag-men distal. Pendekatan retrograde lebih baik
dari anterograde karena lebih mudah mengontrol fragmen distal.
-
Tempat insersi nail ke femur distal dan arahnya menentukan alignment
yang terjadi pada fragmen distal. Hal ini dikerjakan dengan pasien dalam
posisi supine, lutut sedikit flkesi 45 0. Dilakukan arthrotomy medial
parapatellar 5 cm.
-
Retraksi yang adekuat dari patella diperlukan untuk menda patkan akses ke
tempat insersi, 15 mm anterior dari insersi femoral ligamentum cruciatum
anterior.
-
Deviasi dari titik start atau dari arah awal akan menimbulkan malposisi
varus atau valgus.
-
Reduksi diperoleh melalui free-hand traction melalui lutut yang fleksi dan
dipertahankan selama reaming atau pemasangan nail.
-
Rehabilitasi tergantung pada tipe cedera dan penanganan yang diberikan.

117
-
Jika stabilisasi adekuat diperoleh sewaktu pembedahan maka ROM pasif
dan aktif pada lutut dapat segera dimulai.
-
Weight-bearing harus dibatasi hingga 2-3 bulan pertama setelah plating.
-
Weight-bearing dan latihan terbatas baru bisa ditambah jika sudah ada
tandatanda penyembuhan pada foto rontgen.
-
Solid union biasanya terjadi dalam 3-6 bulan.
-
Weight-bearing yang lebih dini dapat dilakukan jika tindakannya adalah
pemasangan intramedullary nailing, karena alat ini merupakan pembagi
beban (load-sharing).

Komplikasi
-
Komplikasi yang dapat terjadi berupa infeksi, malunion, nonunion, loss of
fixation, arthritis pasca traumatik, dan kekakuan sendi.
-
Insidens infeksi dapat ditekan dengan penanganan tepat fraktur terbuka,
penanganan cermat jaringan lunak, dan menghindari diseksi terlalu luas.
-
Nonunion biasanya terjadi pada daerah supracondylar femur. Faktor
predisposisi untuk hal ini adalah cedera berenergi tinggi dengan
devaskularisasi tulang yang luas dan adanya defek tulang.
-
Nonunion dapat dihindari dengan tidak terlalu banyak melakukan stripping
jaringan lunak dan dengan mencapai stabilitas mekanis yang adekuat
sewaktu pembedahan.
-
Cara terbaik untuk mencapai hal ini adalah dengan reduksi tidak langsung
dan balanced fixation dengan 950 condylar blade plate dengan panjang yang
adekuat.
-
Malunion lebih banyak terjadi pada penanganan nonoperatif daripada
operatif.
-
Malunion pada penanganan operatif terjadi bila femur distal difiksasi dalam
posisi yang salah atau jika ada loss fixation dan perubahan yang jelas nyata
pada posisi femur distal.
-
Menghindari hal ini harus dilakukan reduksi anatomis permukaan artikular
secara hati-hati dan stabilisasi adekuat fragmen distal dalam aksial yang
tepat dan rotational alignment. Hal ini biasanya sulit jika fragmen distal
kecil.
-
Loss fixation biasanya terjadi pada :
1. Fraktur communition yang hebat
2. Tulang osteopenik
3. Fraktur dengan fragmen distal kecil
4. Delayed union
5. Pasien tidak patuh pada ambulasi weight-bearing.
-
Hal ini dapat diminimalkan dengan melakukan stabilitas yang adekuat dan
meminimalkan stripping jaringan lunak sewaktu pembedahan sehingga
membantu union tulang.
-
Fiksasi balans pada distal fraktur sering dilakukan dengan pemasangan 95 0
blade plate.

118
-
Pada keadaan screw yang dipasang terganggu akibat tulang osteopenik
dapat diinjeksikan polymethyl methacry late (PMAA) agar pegangan screw
jadi kuat.
-
Kaku lutut dapat terjadi akibat :

1. Malreduksi permukaan artikular,


2. Intra articular hardware,
3. Intra articular adhesion, dan
4. Kontraktur kapsular.
-
Kekakuan lutut dapat dihindari dengan :

1. Reduksi anatomi permukaan artikular femur distal,


2. Penempatan hardware yang tepat,
3. Stable fixation, dan
4. ROM dini lutut.
-
Arthritis pasca traumatik biasanya terjadi akibat kerusakan artikular pada
waktu cedera atau malunion.
-
Baik inkongruinitas sendi maupun abnormalitas axial akan merupakan
predisposisi bagi pasien untuk mengalami beban stress yang abnormal pada
sendinya dan akan menimbulkan arthrosis.
-
Untuk mencegah hal ini dengan reduksi femur distal secara hati-hati dan
memperhatikan detail tehnis.

14. FRAKTUR ANKLE (PERGELANGAN KAKI)

PENDAHULUAN
-
Merupakan salah satu sendi yang paling sering mengalami cedera.
-
Bukan murni merupakan sendi tipe hynge-joint (sendi pelana).

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Tersusun atas 3 buah tulang yakni tibia, fibula dan talus.
-
Pergelangan kaki merupakan sendi pelana yang sangat kongruen (highly
congruent saddle-shaped joint).
-
Artikulasi terjadi antara :

1. Aspek superior talus


2. Aspek distal tibia

119
3. Aspek distal fibula
-
Atap tibia dan fibula akan membentuk ankle mortise dan merupakan tempat
artikulasi talus.
-
Facet medial talus berartikulasi dengan facet malleolus medialis tibia
distalis.
-
Facet lateral talus berartikulasi dengan malleolus lateralis fibula distalis.
-
Malleolus lateralis lebih posterior dari malleolus medialis.
-
Aspek distal malleolus lateralis lebih distal dari ujung distal malleolus
medialis.
-
Talus lebih lebar di anterior dari posterior dan lebih lebar di medial dari
lateral.
-
Kompleks ligamen syndesmosis mempertahankan integritas tibia dan fibula
untuk membentuk ankle mortise.
-
Kompleks ligamen syndesmosis ini disusun oleh :

1. Ligamentum tibiofibular anterior


2. Ligamentum tibiofibular posterior distal
3. Ligamentum tibiofibularis transversalis
4. Ligamentum interosseus
-
Ligamenta tibiofibularis anterior dan posterior distal melekat pada aspek
dalam tibia, berjalan ke lateral dan bawah untuk melekat ke fibula.
-
Ligament tibiofibularis posterior lebih kuat dari ligament talofibularis
anterior, sehingga gaya torsio pada daerah ini seringkali akan menyebabkan
fraktur avulsi tibia posterior dan ruptur ligament tibiofibularis anterior.
-
Ligamentum interosseus merupakan kunci untuk stabilizer transversal
artikulatio tibiofibularis.
-
Membrana interosseus berada diantara tibia dan fibula di keseluruhan
panjang tibia dan fibula. Arah serabut membran ini dari superomedial ke
inferolateral.
-
Membran ini berfungsi menstabilkan fibula dan sebagai tempat insrsi
tambahan otot-otot tungkai bawah.
-
Normal ROM sendi ankle kurang lebih 120 dorsifleksi dan 560 plantarfleksi
pada keadaan tanpa beban.
-
Pergerakan normal plantar fleksi dan dorsifleksi merupakan kombinasi
gerakan sliding (menggelincir) dan rolling (berputar).
-
Gerakan dorsifleksi dan plantar fleksi ankle selalu disertai dengan rotasi
sepanjang aksis vertikal.
-
Gerakan plantar fleksi menyebabkan rotasi internal dari talus sebesar 4 0 -80
dan gerakan ini diduga akibat tambatan aspek medial talus oleh ligamentum
deltoideum.
-
Gerakan dorsifleksi dan plantar fleksi ankle juga menyebabkan pergerakan
fibula. Dengan dorsifleksi, fibula berge rak dari medial ke lateral dan
berotasi eksterna sebesar 20.
-
Selama weight-bearing dengan aligment ankle normal, 80-90% beban talus
ditransmisikan ke atap tibia. Sisa beban ini ditransmisikan ke fibula.
120
-
Artikulasio tibiofibular tidak sepenuhnya pipih/datar tetap mempunyai dua
proyeksi condyler yang dangkal dari talus. Kedua proyeksi ini berartikulasi
tepat dengan depresi dari tibial plafond (atap tibia).
-
Konfigurasi ini membantu talus tepat pada posisi yang paling kongruen
terhadap sendi bila mengalami beban.
-
Gaya reaksi sendi ankle kurang lebih 4x BB pada keadaan berjalan.
-
Bila ankle mengalami fraktur maka tulang dan ligamen disekitarnya juga
mengalami cedera.
-
Mekanisme dan gaya trauma menentukan pola fraktur dan luasnya cedera
ligamen.
-
Kongruensi statik dan dinamik dari sendi ankle ditentukan oleh pola fraktur
dan displacement dari fragmen.
-
Inkongruen statik dari sendi ankle mempunyai articular step-off pada daerah
weight-bearing.
-
Meskipun radiograf dari fraktur ankle tidak selalu menam-pakkan step-off
pada daerah weight-bearing namun pene-litian membuktikan bahwa lebih
40% fraktur ankle yang menjalani operasi menunjukkan adanya cedera
kartilago (biasanya pada sisi talar).
-
Dengan inkongruinitas dinamik, sering dikenal sebagai instabilitas, terdapat
gangguan susunan alignment dari struktur tulang ankle, sehingga terjadi
pergerakan abnor-mal dari sendi ankle.
-
Kinematik yang abnormal akan menyebabkan arthritis premature.
-
Pada fraktur ankle bimalleolar, displacement talar biasanya mengikuti
malleolus lateralis masuk.
-
Jika malleolus lateralis fraktur, kongruinitas dinamik sendi tetap
dipertahankan sepanjang ligamentum deltoideum medialis dan malleolus
medialis tetap intak. Jika malleolus medialis atau ligamentum deltoideum
mengalami disrupsi maka akan terjadi instabilitas rotatori anterolateral
sehing-ga daerah kontak sendi menghilang.
-
Tujuan penanganan semua fraktur sendi ankle adalah un-tuk mendapatkan
kembali kongruinitas statik dan dinamik sendi ankle.

KLASIFIKASI
-
Sistem klasifikasi fraktur ankle digunakan untuk menentukan penanganan
yang paling sesuai.
-
Klasifikasi yang ada didasarkan pada ketinggian fraktur terhadap
permukaan sendi dan mekanisme trauma.
-
Dua klasifikasi fraktur ankle yang paling banyak digunakan adalah
Klasifikasi Dannis-weber AO dan klasifikasi Lauge-Hansen.
-
Klasifikasi Lauge-Hansen dikembangkan sebagai penun-tun untuk
penanganan tertutup fraktur ankle.
-
Klasifikasi ini didasarkan pada mekanisme terjadinya cedera dan
menyarankan bahwa fraktur ankle dapat direduksi dengan membalik
mekanisme terjadinya tersebut.

121
-
Klasifikasi Dannis-Weber jauh lebih sederhana, namun tidak
mempertimbangkan cedera medial. Ini merupakan masalah pada cedera tipe
B karena dengan adanya cedera medial dapat mempengaruhi rencana
penanganan.
-
Klasifikasi Danis-weber berdasarkan pada ketinggian fraktur dari
permukaan sendi. Semakin tinggi letak fraktur, semakin besar kerusakan
dan dislokasi yang terjadi.
-
Kedua klasifikasi ini tidak dapat menentukan prognostik.
-
Klasifikasi Danis-Weber AO

Weber Tipe A
-
Akibat gaya rotasi dan adduksi
-
Sesuai klasifikasi Lauge-Hansen “supinasi-adduksi”
-
Fibula avulsi berbentuk transversal setinggi atau dibawah atap tibia atau
ruptur kompleks lateral.
-
Malleolus posterior biasanya utuh
-
Kadang terdapat fragmen posterior yang merupa kan bagian dari
malleolus medialis.

Weber tipe B
-
Akibat gaya rotasi eksterna
-
Sesuai klasifikasi Lauge-Hansen “supinasi-eversi”
-
Fraktur fibula oblik (spiral) mengarah ke postero superior setinggi atap
tibia.
-
Malleolus posterior dapat utuh atau ruptur pada tepi posterolatral.
-
Syndesmosis membrana interosseus intak atau avulsi bersama margo
anterior tibia.

Weber tipe C
-
Disebut juga fraktur Dupuytren
-
Akibat gaya abduksi untuk tipe C2 dan adduksi-rotasi eksterna untuk tipe
C 2.
-
Sesuai klasifikasi Lauge-Hansen “pronasi-eversi” atau “pronasi-abduksi”
-
Fibula dapat fraktur pada shaft dengan kemungkinan robekan mulai
syndesmosis sampai fraktur kaput fibula.
-
Malleolus medialis dapat utuh atau fraktur
-
Ruptur ligamentum deltoideum.
-
Malleolus posterior dapat intak atau avulsi.
-
Klasifikasi Lauge-Hansen :

Tipe I Supinasi abduksi


Stage I Fraktur transversal malleolus lateralis dibawah garis sendi,
ligamentum medialis robek.
Stage II Fraktur transversal malleolus lateralis dan fraktur vertikal
malleolus medialis, ligamentum medialis robek.

122
Tipe II Supinasi eversi (terbanyak, eversi = external rotasi)
Stage I Ruptur ligamentum tibiofibularis anterior dengan avulsi tibia
atau fibula
Stage II sama stage I disertai fraktur oblik (spiral oblique) malleolus
lateralis dengan arah patah anteroinferior ke posterosuperior,
membran interossea utuh
Stage III Sama stage II disertai fraktur tepi posterior tibia intra
artikular (malleolus posterior)
Stage IV sama stage III disertai fraktur malleolus medialis atau ruptur
ligamentum deltoideum.

Tipe III Pronasi abduksi


Stage I Fraktur transversal malleolus medialis atau ruptur ligamentum
deltoideum
Stage II sama stage I namun disertai ruptur syndes mosis, kadang
disertai fraktur tepi posterior tibia.
Stage III sama stage II tapi disertai fraktur fibula supramalleolar
inferomedial ke postero-lateral, kadang disertai robekan
sindesmosis (fraktur short oblique fibula diatas garis sendi)

Tipe IV Pronasi eversi


Stage I Fraktur transversal malleolus medialis atau ruptur ligamentum
deltoideum
Stage II sama stage I ditambah ruptur ligamentum tibiofibulare anterior
dan membrana inter ossea.
Stage III Sama stage II tapi disertai fraktur fibula 7-8 cm di atas
ujung distalnya
Stage IV sama stage III ditambah fraktur ujung ti- bia ekstra artikular
karena tekanan fibula pada saat rotasi disertai ruptur
ligamentum tibiofibulare posterior.

Tipe V Pronasi dorsifleksi


Stage I Fraktur malleolus medialis
Stage II fraktur margo anterior tibia intra artikular
Stage III Fraktur fibula supramalleolar
Stage IV Fraktur superior margo tibia intra artikular (fraktur
transversal permukaan artiukulasi posterior tibia)
Fraktur Tillaux
-
Khusus pada orang dewasa tapi dapat juga anak-anak.
-
Mekanisme cedera gaya rotasi eksternal dengan tekanan pada lig.
tibiofibular anterior sehingga terjadi avulsi plate epifiseal tibia distal.
-
Keadaan ini terjadi setelah bagian medial lempeng epifiseal telah menutup
namun bagian lateral baru setengah tertutup.
-
Resultan gaya fraktur melalui lempeng epifiseal melintas epifise dan ke
distal menuju ke sendi sehingga menimbulkan fraktur Selter Harris tipe III
atau IV.

123
-
Fragmen fraktur akan tertarik ke anterior oleh ligamen tibiofibular anterior
sehingga letaknya di anterior.

Fraktur Pilon
-
Disebut juga fraktur eksplosif.
-
Adalah fraktur metafisis tibia distal.
-
Timbul akibat gaya kompresi aksial pada permukaan sendi tibia distal.
-
Dapat disertai dengan fraktur tibia.
-
Kadang disertai fraktur malleolus medialis dan/atau lateralis dan/atau
malleolus posterior namun fokus cedera tetap diatas malleoulus.
-
Berdasar Lauge-Hansen termasuk dalam fraktur ankle pronasi-dorsifleksi.
-
Dapat berupa cedera hebat dengan fraktur terbuka, edema jaringan lunak,
kehilangna jaringan lunak, pergeseran artikular, gangguan sirkulasi ke
tulang atau jaringan lunak, dan shaft extension.
-
Prognosis paling baik pada varian fraktur spiral
-
Langkah fikasasi operatif :
1. Memulihkan panjang fibula
2. Rekonstruksi permukaan artikular tibia
3. Mengisi rongga metafisis dengan cancellous bone graft
4. Menyokong fragmen fraktur dengan butress plate pada bagian medial.
-
Klasifikasi Mast, Spiegel, dan Pappas untuk fraktur Pillon

Tipe I
-
Fraktur supinasi-rotasi eksternal dengan beban vertikal sewaktu cedera
-
Fraktur malleolar dengan fragmen artikular posterior lip

Tipe II
-
Fraktur ekstensi spiral pada tibia distal yang meluas ke plafond

Tipe III
-
Fraktur kompresi vertikal atau cedera kompresi sentral dan dibagi lagi
seusai klasifikasi Redi Allgwer

-
Klasifikasi Redi Allgwer

Tipe I
-
Fraktur undisplaced dengan split garis fraktur
-
Pada sistem AO, tipe ini mungkin mempunyai displacement artikular
namun tidak comminuted atau impaksi.

Tipe II
-
Fraktur dengan displacement pada permukaan artikular disertai fraktur
tipe split
-
Pada sistem AO, fraktur ini mempunyai impaksi hanya pada metafisis
supra artikular
124
Tipe III
-
Fraktur crush atau impaksi dengan comminution dan displacement
permukaan artikular

Pemeriksaan fisis dan diagnosis


-
Biasanya ditemukan riwayat pergelangan kaki mengalami keseleo, diikuti
nyeri dan bengkak dan penderita merasa pergelangan kaki terasa longgar
atau tidak stabil.
-
Pasien dengan fraktur yang stable mampu untuk bear weight pada kaki yang
cedera, tapi tidak demikian pada fraktur yang unstable.
-
Pada pemeriksaan fisis akan tampak edema dan kadang ekimosis.
-
Perlu diperhatikan apakah ada medial injury karena hal ini menentukan
penanganan.
-
Seluruh panjang fibula harus diperiksa untuk menyingkirkan fraktur yang
lebih proksimal.
-
Foto x-ray dapat menampakkan hal ini disertai cedera syndesmosis

Pemeriksaan radiologik
-
Pada fraktur ankle, sebagian besar penanganan tergantung pada hasil
pemeriksaan rongten.
-
Standar pemeriksaan berupa foto AP, lateral dan mortise view (150 internal
oblique).
-
Penelitian terakhir membuktikan bahwa 95% keakuratan diagnosis
ditegakkan hanya berdasarkan pada foto lateral dan mortise.
-
Dari foto radiograf dapat ditentukan luasnya edema jaringan, pola fraktur,
dan alignment sendi.
-
Pada foto AP dapat dinilai :
1. Kongruinitas artikular
2. Panjang relatif malleolar
3. Integritas syndesmosis
4. Luasnya pergeseran talar
-
Foto lateral dipakai untuk menentukan alignment ankle, dan kongruinitas
permukaan artikular.
-
Mortise view dipakai untuk mengetahui :
1. Aligment sendi,
2. panjang fibular,
3. Luasnya pergeseran talar (talar shift), dan
4. Sudut talokrural.

125
-
Jika ada kecurigaan cedera syndesmosis maka perlu dilakukan beberapa
pengukuran penting pada foto AP yakni :
1. Talar tilt
Normal memberikan gambaran garis yang paralel.
2. Tibiofibular overlap
Normal < 10 mm, jika lebih menunjukkan cedera syndesmosis.
3. Tibiofibular clear space
Normal < 5 mm.
-
Rotasi eksternal dari fragmen fibulare distal yang tampak pada foto standar
jauh lebih nyata dari sebenarnya.
-
Foto CT scan menyangkut fraktur ankle memperlihatkan hubungan antara
fragmen distal fibula dengan talus tidak mengalami perubahan dan bagian
proksimal fibula sebenarnya berotasi interna terhadap fragmen distal fibula.
-
Migrasi proksimal dari fragmen distal fibula (fibular shortening) dapat
diukur dengan sudut talokrural, namun pengukuran ini kurang bermanfaat.

PENANGANAN

Nonoperatif
-
Kurang lebih 85% fraktur malleolus lateralis tidak disertai dengan cedera
medial.
-
Pada fraktur isolated malleolus lateralis tak ada perbedaan antara
penanganan operatif maupun nonoperatif.
-
Fraktur isolated malleolus lateralis tidak menimbulkan mekanik atau
kinematik yang abnormal pada sendi.
-
Jumlah displacement fibula tidak menentukan displacement talar sewaktu
ankle mengalami beban aksial.
-
Pemeriksaan CT menunjukkan deformitas rotasi eksternal yang nampak
pada malleolus lateralis sebenarnya merupakan rotasi internal dari aspek
proksimal fibular shaft, yang terjadi setelah fraktur, dan posisi malleolus
lateralis terhadap talus tidak mengalami perubahan.
-
Fraktur isolated malleolus lateralis (fraktur Weber tipe A atau B) ditangani
dengan pemasangan cast atau brace.
-
Weight bearing dimulai segera setelah penderita merasa nyaman sepanjang
weight bearing tidak disertai dengan displascement lebih jauh fraktur stable
ini.
-
Fraktur isolated malleolus medialis jarang terjadi dan dapat ditangani secara
nonoperatif jika tidak mengalami displace, atau jika fraktur ini melibatkan
bagian malleolus yang berada di bawah garis sendi, atau jika dapat
direduksi anatomis secara tertutup..
-
Reduksi tertutup dilakukan dengan membalik mekanisme terjadinya cedera.
-
Setelah reduksi tercapai dan short leg cast dipasang, dilakukan pemeriksaan
foto untuk menilai adekuatnya reduksi.
-
Untuk kasus dengan edema hebat, maka dipasang splint dan setelah edema
surut dipasang cast.
126
-
Fraktur stable ditangani dengan short leg walking cast atau fracture brace
selama 6 minggu.
-
Untuk fraktur unstable dipasang long leg cast selama 6 minggu kemudian
setelahnya dipasang short leg walking cast atau fracture brace.
-
4 minggu setelah reduksi fraktur unstable dilakukan pemeriksaan rontgen
tiap minggu untuk mengidentifikasi dan memperbaiki loss of reduction
yang terjadi.

Operatif
-
Tindakan operatif dilakukan segera sebelum terjadi edema maksimal pada
ankle atau ditunda hingga edema surut.
-
Waktu operasi tergantung pada kondisi pasien, kondisi jaringan lunak, dan
edema.
-
Sambil menunggu dilakukan operasi, ankle dapat direduk-si dan
immobilisasi dengan well-padded splint.
-
Immobilisasi fraktur membantu mencegah kerusakan jaringan lunak lebih
jauh, dan meninggikan kaki yang cedera membantu menyurutkan bengkak.

FRAKTUR ANKLE BIMALLEOLAR


-
Fraktur ankle bimalleolar dan fraktur malleolus lateralis disertai disrupsi
deltoid medial (equivalen bimalleolar) tergolong unstable karena
menyebabkan hilangnya sokongan bagian medial dan lateral ankle.
-
Disrupsi kedua ligamen deltoid dan fraktur malleolus medialis
menyebabkan perubahan daerah kontak tibiotalar dan juga kinematika
sendi.
-
Untuk fraktur bimalleolar atau bimalleolar equivalent ankle fracture, hasil
yang terbaik dicapai dengan pembedahan untuk reduksi anatomis dan
fiksasi.
-
Sekitar 85-90% pasien yangmenajlani reduksi anatomis dengan cara
pembedahan pada fraktur tipe ini memperlihatkan hasil yang memuaskan
pada 3 tahun atau lebih.
-
Mendiagnosis cedera deltoid dan fraktur malleolaris lateralis sangat sulit.
-
Adanya medial tenderness serta ruang antara malleolus medialis dan talus >
5 mm baik pada foto awal maupun foto stress dapat membantu diagnosis
kecurigaan cedera ligamentum deltoideum medialis.
-
Bila malleolus lateralis mengalami fraktur dan ligamentum deltoideum
mengalami disrupsi, maka tak perlu melakukan perbaikan ligamentum
deltoideum.
-
Pada kasus demikian, reduksi anatomis dengan fiksasi pada fraktur
malleolus lateralis dan pemasangan short lag case sudah cukup memuaskan.
-
Satu-satunya indikasi melakukan pembukaan pada sisi medial adalah jika
terjadi kegagalan dalam mereduksi talus ke medial dengan ruang medial
yang jelas melebar.
-
Pada keadaan semacam ini, sisi medial dieksplorasi untuk mengangkat
ligamen, yang kemungkinan terselip diantara sendi ankle. Ligamen tidak
127
perlu dijahit kembali ke tempat nya. Kenyataannya, pasien yang menjalani
perbaikan primer pada ligamen deltoid mempunyai hasil yang lebih buruk
dibanding yang tidak diperbaiki.
-
Keputusan pembedahan tidak boleh didasarkan pada usia penderita.
Walaupun penderita berusia lanjut namun mem punyai prognosis yang lebih
baik jika menjalani reduksi terbuka dan fiksasi interna untuk fraktur
bimalleolar dibanding yang telah menjalani tindakan nonoperatif.
-
Masalah yang utama pada penderita usia lanjut adalah tingginya laju
komplikasi pada luka dan karena tulang osteopenik maka susah untuk
mendapatkan fiksasi yang stabil.
-
Untuk tulang yang osteopenik dapat disiasati dengan pemakaian plate
antiglide pada aspek posterior fibula.

SYNDESMOTIC INJURIES
-
Fraktur fibula yang dimulai dari bagian proksimal hingga ke atap (plafond)
tibial (Weber tipe C) dianggap ikut mencederai syndesmosis.
-
Jika ruang (space) antara aspek distal tibia dengan fibula pada foto mortise
> 5 mm maka syndesmosis mengalami pelebaran.
-
Jika syndesmosis mengalami disrupsi maka harus distabil kan untuk
memulihkan stabilitas ankle mortise.
-
Syndesmosis dapat distabilkan dengan berbagai cara, tergantung pada pola
fraktur yang terjadi.
-
Syndesmosis screw tidak perlu jika disrupsi meluas > 3cm ke proksimal
tibial plafond dan disertai fraktur malleolus medialis yang dapat distabilkan
tanpa residual displacement dari fibula.
-
Syndesmotic screw diperlukan jika ligamen deltoideum mengalami disrupsi
dan cedera syndesmosis meluas > 3 cm proksimal dari tibial plafond. Pada
kasus semcam ini fraktur fibula harus direduksi.
-
Screw syndesmosis dipasang setelah dilakukan reduksi dan stabilisasi
fraktur malelolus. Screw ditempatkan dari lateral fibula ke tibia dan harus
mengikat 3-4 cortices. Screw harus ditempatkan paralel dengan tibial
plafond untuk menghindari displace fibula ke superior dan inferior.
-
Karena fibula berada pada aspek posterior tibia, maka screw harus
mengarah sekitar 300 ke anterior dari lateral korteks fibula.
-
Untuk menghindari kompresi pada ankle mortise dan terbatasnya
pergerakan ankle maka syndesmosis tidak boleh dipasang dengan lag
technique, dan ankle harus dipertahankan dalam posisi 100-150 dorsifleksi.
-
Bila ankle dipertahankan dalam posisi yang lebih ke plantar fleksi sewaktu
screw dipasang maka ankle mortise akan terlalu ketat dan tidak akan
mampu mengakomodasi bagian lebar talar dome; karena itu kisaran
dorsifleksi akan menghilang.

FRAKTUR MALLEOLUS POSTERIOR (FRAKTUR TRIMALLEOLAR)

128
-
Terjadi jika cedera pada ankle posterior termasuk margo posterior tibia.
-
Fraktur inimerupakan fraktur avulsi tibia di tempat perlekatan ligamen
tibiofibular posterior.
-
Penanganan terantung pada ukuran dan displacement fragmen fraktur.
-
Reduksi dan fiksasi pada cedera ikutan fraktur fibula seringkali
mengakibatkan reduksi secara tak langsung pada fragmen malleolus.
-
ORIF dianjurkan pada fragmen yang meliputi lebih dari 25% permukaan
artikular yang diukur dari foto rontgen lateral dan untuk fraktur yang
displace > 2 mm.
-
Stabilisasi fragmen dapat dilakukan secara langsung maupun tak langsung.
Fragmen dapat distabilisasi langsung dengan approach posterior.
-
Setelah menstabilkan fibula dengan insisi dekat aspek posterior fibula
maka akses ke posterior tibia dapat dicapai melalui interval antara tendon
peroneal dan m. flexor hallu cis longus. Sebagai penuntun reduksi fragmen
dipakai tepi eksternal fraktur dan foto x-ray. 1-2 lag screw dipasang dari
posterior ke anterior untuk fiksasi fragmen.
-
Pilihan lain, setelah melakukan fiksasi internal fibula, dibuat insisi kecil di
anterior tibia dan lag screw dipasang dari anterior ke posterior setelah
fragmen direduksi. Dorsi-fleksi ankle dapat membantu mereduksi fragmen
melalui efek ligamentoaksis dari kapsul posterior. Tambahan lagi, fragmen
dapat direduksi secara digital dari insisi lateral dan dipertahankan dengan
clamp reduksi.
-
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan reduksi dan
fiksasi fraktur malleolus posterior adalah :
1. Malleolus lateralis harus dahuluan direduksi karena akan membantu
mempermudah fragmen malleolus posterior.
2. Insisi di fibula harus dilakukan di posterior untuk memudahkan akses ke
fragmen malleolus posterior, baik secara langsung maupun tidak.
3. Bila memasang screw dari posterior ke anterior, fragmen harus dipegang
dengan kuat sehingga reduksi tidak hilang.
4. Jika fragmen posterior tidak perlu difiksasi, maka setelah pembedahan
ankle harus diimmobilisasi dalam posisi dorsifleksi untuk
mempertahankan posisi malleolus posterior.

FRAKTUR MALLEOLUS MEDIALIS


-
Operasi fiksasi fraktur malleolus medialis diindikasi kan jika :
1. Fraktur terjadi di daerah conjoint disertai fraktur malleolus lateralis.
2. Jika fraktur pada malleolus medialis meluas hingga pada atau diatas level
tibial plafond.
3. Jika fraktur displaced dan irreducible.
-
Fraktur dapat difiksasi dengan satu atau lebih cancellous screw, dengan
kombinasi screw dan wire, atau dengan tehnik tension-band wiring.
-
Untuk mendapatkan akses ke malleolus medialis, dibuat insisi longitudinal
diatas mallelolus medialis. Insisi dapat dibuat melengkung ke distal.
129
-
Harus diingat, nervus dan vena saphena berada tepat di anterior malelolus
medialis dan harus dilindungi terutama jika melakukan insisi anterior.
-
Tendon tibialis posterior berada di sulcus di sebelah posterior tibia dan
malleolus medialis, dan tendon ini harus dilindungi selama paparan dan
fiksasi fragmen fraktur.

Rehabilitasi
-
Idealnya, setelah fraktur difiksasi secara operatif, mobilisasi dini dapat
dilakukan untuk memulihkan fungsi dan pergerakan.
-
Namun karena kekhawatiran loss of fixation dan pasien menghindari
weight-bearing sehingga sering ditunda hingga ada tanda-tanda
penyembuhan pada x-ray
-
Sepanjang tidak ada cedera syndesmosis, dan fiksasi adekuat partial weight-
bearing dapat dilakukan dengan cast atau fracture brace.
-
Pada kasus dengan pemasangan screw syndesmosis, beberapa ahli
menganjurkan pencabutan screw sebelum dilakukan weight-bearing karena
kekhawatiran wcrew patah.
-
Jika screw masuk hingga 3 korteks pergerakan normal fibula tidak
terpengaruh oleh weight bearing.
-
Harus dihindari pengangkatan screw syndesmosis sebelum 6-8 minggu
karena pengangkatan yang terlalu dini sering disertai dengan
redisplacement fibula dan pelebaran syndesmosis.

15. FRAKTUR CALCANEUS DAN TALUS

FRAKTUR CALCANEUS
-
Merupakan bagian integral dari kompleks kaki. Calcaneus merupakan dasar
untuk weight-bearing
-
Melaui artikulasinya dengan talus, navisulare dan cuboid, ikut berpartisipasi
dalam pergerakan kaki sewaktu ambulasi.
-
Fraktur calcaneus sering berakhir dengan hasil fungsional yang buruk serta
nyeri kronis.
-
Komplikasi operatif yang sering timbul adalah dehisensi luka, infeksi
jaringan lunak, osteomielitis, septik arthritis dan cedera saraf.

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Calcaneus adalah tulang tarsal yang paling besar. Bertanggung jawab dalam
weight-bearing terutama dalam phase heel-strike sewaktu ambulasi.
130
-
Melalui artikulasinya dengan talus, cuboid, dan naviculare calcaneus
memungkinkan hindfoot untuk melakukan gerakan inversi dan eversi.
-
Calcaneus juga merupakan tempat insersi tendon Achilles. Berlaku sebagai
pengumpil untuk gerakan plantar felksi sewaktu fase berdiri dan fase toe-off
dari ambulasi.
-
Calcaneus mempunyai 3 permukaan yang dirancang untuk berartikulasi
dengan permukaan bawah talus membentuk kompleks sendi subtalar. Ini
termasuk facet posterior (yang paling luas), middle, dan anterior.
-
Aspek anterior calcaneus berupa facet yang berartikulasi dengan cuboid
membentuk sendi calcaneocuboid.
-
Mengingat kompleksnya anatomi calcaneus dan mempunyai beberapa
daerah perlekatan tendon dan ligamen serta berbagai gaya yang diterimanya
sehingga sangat rentan terhadap berbagai pola fraktur.
-
Pola fraktur yang banyak mendapat perhatian sehubungan dengan sifat
kompleksnya serta potensi morbiditas yang ditimbulkannya adalah joint-
depression intra articular fracture.
-
Fraktur joint-depression calcaneus umumnya timbul sebagai akibat
kompresi aksial hindfoot.
-
Kompresi aksial ini sering terjadi karena jatuh dari ketinggian dengan
penderita mendarat pada satu atau dua kaki; atau akibat kecelakaan motor
akibat aspal menekan tumit yang menginjak rem. Pada kedua keadaan ini,
processus lateralis berkontraksi langsung dengan aspek lateral calcaneus,
dan bertindak sebagai baji, talus menyebabkan calcaneus terpisah. Garis
fraktur primer yang tercipta berja lan dari daerah crucial angle of Gissane
ke posterior dan medial, sehingga membagi calcaneus menjadi dua frag men
besar; fragmen anteromedial dan fragmen posterola teral.
-
Pola akhir fraktur dan jumlah displacement fragmen fraktur tergantung pada
posisi calcaneus dan talus pada waktu impak serta jumlah dan arah impak.
-
Gaya ini tidak hanya menyebabkan disrupsi tulang calcaneus tetapi juga
menyebabkan cedera ligamen dan kartilago artikular dan akhirnya
mempengaruhi hasil akhir tidak perduli bagaimanapun penanganan pada
tulang calcaneus-nya.

PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK


-
Tanda fisis yang paling awal adalah keluhan nyeri di daerah hindfoot serta
bengkak di kaki dan ankle, dan pada beberapa kasus dapat massive.
-
Seringpula terjadi deformitas hindfoot dengan shortening dan angulasi serta
pelebaran.
-
Pada pasien yang cedera karena jatuh berdiri, patut diperiksa kaki
sebelahnya dan lower lumbar spine bila perlu dengan x-ray.
-
Edema dan perdarahan yang terjadi segera setelah fraktur dapat
mengakibatkan tekanan kompartmen meningkat di daerah kaki, utamanya
pada kompartmen calcaneal profunda dan dapat menimbulkan compartmen
syndrome.

131
-
Sindroma kompartmen ini dapat timbul baik pada fraktur calcaneus terbuka
maupun tertutup.
-
Gejala yang paling sering pada sindroma kompartmen ini adalah nyeri yang
semakin menghebat dan meliputi seluruh kaki dan tungkai bawah.
-
Sindroma kompartmen ini sering timbul dalam 36 jam pertama setelah
fraktur.
-
Pasien dengan fraktur os calcaneus harus diperhatikan kaki sebelahnya serta
lower lumbar spine, karena 5-10% pasien fraktur calcaneus disertai dengan
fraktur kompresi lumbal dan 5% disertai fraktur calcaneus kontralateral.

Pemeriksaan Radiologis
-
Pemeriksaan rontgen yang rutin adalah foto AP, lateral dan oblique untuk
kaki dan ankle, mortise view untuk ankle dan Harris view untuk tumit.
-
Untuk mengetahui perluasan fraktur ke facet posterior, middle, anterior atau
ke sendi calcaneocuboid dan meng-evaluasi displacement fraktur dapat
diminta pemeriksaan foto tambahan.
-
Broden view memudahkan untuk mevisualisasi facet posterior dari
beberapa titik. Posisi ini diambil dengan pasien supine, ankle netral, dan
kaki rotasi internal 450.
-
Tuber joint angle of Bohler (Bohler angle) ditentukan dengan mengukur
interseksi 2 garis yang ditarik pada foto lateral.
-
Garis pertama ditarik dari processus anterior ke titik paling tinggi dari facet
posterior. Garis kedua ditarik dari titik posterosuperior dari tuberositas ke
titik tertinggi pada facet posterior.
-
Bohler angle merupakan pelengkap dari obtuse angle yang dibentuk dari
garis ini.
-
Normal sudut Bohler angle adalah sebesar 250-400 dan biasanya sebanding
dengan garis yang sama pada kaki satunya.
-
Bohler angle mewakili tinggi calcaneus dan biasanya mendekati 0 0 pada
fraktur joint-depression calcaneal.
-
Crucial angle of Gissane juga dapat dilihat pada foto lateral. Sudut ini
didapat dengan menarik 2 garis interseksi sepanjang cortical support yang
tampak diantara processus lateralis talus.
-
Sudut ini mengalami disrupsi pada fraktur intra artikular, joint-depression
calcaneus fracture.
-
CT kebanyakan digunakan untuk menilai fraktur calcaneus
-
Dan diambil 2 planes (axial dan coronal) dengan potongan 2 mm melalui
permukaan artikular. CT memungkinkan penilaian komplit permukaan
artikular dan morfologi fraktur calcaneus. Calcaneus kontralateral dapat
pula diperiksa untuk perbandingan.

KLASIFIKASI
-
Kebanyakan sistem klasifikasi yang dipakai uintuk fraktur calcaneus
didasarkan pada foto lateral hindfoot, Broden view dan aksial dari tumit.
132
-
Di Amerika utara, klasifikasi yang banyak dipakai didasarkan pada CT
scan. Namun demikian klasifikasi ini mempunyai kekurangan antara lain
karena didasarkan pada 2 plane yang berbeda, sehingga proc. anterior, facet
anterior dan midlle serta facet calcaneocuboid tidak jelas.
-
Klasifikasi Sander didasarkan pada potongan coronal yang merupakan
daerah undersurface yang paling luas pada facet posterior talus. Sekali
potongan ini diidentifikasi maka permukaan sebelahnya dari permukaan
posterior calcaneus juga harus dicermati.

-
Klasifikasi Sanders :

Tipe I
Fraktur nondipslaced tanpa memandang pola fraktur dan jumlah fragmen

Tipe II
Fraktur dengan 2 fragmen dengan displaced minimal 2 mm.
Dibagi 3 subtipe :
Tipe IIA
Garis fraktur di lateral talus

Tipe IIB
Garis fraktur di central talus

Tipe IIC
Garis fraktur di medial talus

Tipe III
Fraktur dengan 3 fragmen masing-masing dengan displaced minimal 2 mm.

Dibagi 3 subtype :
Tipe IIIAB
Fraktur dengan garis fraktur di lateral dan central talus.

Tipe IIIAC
Fraktur dengan garis fraktur di lateral dan medial talus.

Tipe IIIBC
Fraktur dengan garis fraktur di central dan medial talus.

Tipe IV
Fraktur dengan 2 garis fraktur primer dan memisahkan facet posterior
menjadi 4 atau lebih fragmen displaced.

133
PENANGANAN
-
Fraktur ekstra artikular ( misal fraktur proc. anterior, fraktur tuberositas
calcaneus) dan fraktur intra artikular nondisplaced dapat ditangani secara
nonoperatif.
-
Secara umum ini berarti pergerakan dini kaki dan ankle namun tidak boleh
weight-bearing selama 6-8 minggu.
-
Jarang terjadi nonunion simtomatik pada fraktur proc. anterior, namun jika
hal ini terjadi perlu dilakukan stabilisasi atau eksisi operatif.
-
Fraktur tuberositas calcaneal yang displaced dan mengandung sebagian atau
seluruh perlekatan tendon Achilles dan fraktur yang cenderung ditutupi
kulit bagian posterior, jika kondisi jaringan lunak memungkinkan, harus
ditangani secara operatif untuk stabilisasi dan menghindari ulserasi.
-
Fraktur intra artikular nondisplaced (Sanders tipe I) dapat pula ditangani
secara nonoperatif.
-
Penilaian dan manajemen awal sama seperti lainnya meliputi penerapan
well-padded posterior U splint dengan kaki dan ankle dalam posisi netral
dan alignment baik.
-
Penderita harus dilatih berjalan dengan memakai crutches dan tetap dalam
toe-touch weight bearing. Kemungkinan kompartmen sindrome tetap ada
namun pasien dapat berobat jalan.
-
7-10 hari pasca cedera, setelah keadaan jaringan membaik, splint dapat
diganti dengan removable walking boot dan pergerakan dini ankle dan
subtalar harus dilakukan.
-
Muscle strengthening dan latihan propioceptif dimulai pada saat penderita
sudah partial weight-bearing. Full weight-bearing dapat dimulai pada
minggu ke 12, jika hasil rontgen menunjukkan union.
-
Manajemen nonoperatif untuk penderita dengan fraktur calcaneal displaced
hanya dilakukan jika penderita tidak mungkin untuk dioperasi atau tidak
bersedia menerima resiko untuk ORIF
-
Indikasi kontra relatif untuk ORIF adalah :
1. Tidak berhenti merokok pasca operasi karena dapat mengganggu
penyebuhan.
2. Pasien dengan gangguan pembuluh darah perifer yang nyata karena
mengganggu penyembuhan luka.
-
Indikasi kontra absolut untuk ORIF adalah :
1. Faktor komorbid tidak memungkinkan penderita mentoleransi
pembedahan.
2. Udem yang tidak surut dalam 3 minggu setelah cedera.
3. pasien dengan lepuh full-thickness ditempat akan dilakukan insisi.
4. Pasien dengan luka atau ulserasi persisten di daerah ankle dan hindfoot.
-
Indikasi melakukan ORIF adalah :

134
1. Fraktur intra artikular pada facet posterior, middle, anterior atau
calcaneocuboidal yang displaced.
2. Adanya deformitas dinding lateral terutama bila disertai kerusakan tendon
peroneal.
3. Hilangnya calcaneal height dan length sehingga terjadi dorsifleksi talus
dan mengganggu talus pada tibia anterior. Lebih lanjut lagi hilangnya
calcaneal length menyebabkan kelemahan mekanisme plantarfleksi
tendon Achilles.
-
Tanpa operasi akan timbul gangguan fungsi dan nyeri kronis.
-
Tindakan operatif reksontruksi salvage-type pada calcaneus dan hindfoot
untuk mengoreksi deformitas ini setelah tindakan nonoperatif sering gagal
dan secara tehnis merupakan tindakan sulit dibanding arthrodesis subtalar
pada calcaneus dengan bentuk normal.

Penanganan Operatif
-
Tujuan intervensi operatif pada fraktur calcaneal displaced tidak hanya
untuk mengembalikan permukaan artikular tetapi juga mengembalikan ke
lebar, tinggi dan panjang serta alignment normalnya.
-
Rehabilitasi pasca operasi dirancang untuk membantu memulihkan
pergerakan sendi ankle dan subtalar.
-
Pergerakan dimulai setelah insisi tampak sembuh tanpa komplikasi.

ORIF
-
Waktu pembedahan sangatlah penting. Sebelum intervensi operatif
dilakukan, jaringan lunak disekitarnya harus diberi kesempatan untuk pulih.
-
Intervensi bedah harus ditunda hingga terjadi penurunan edema dan kerutan
kulit pada kaki dan pergelangan kaki mulai tampak, biasanya dalam 5-7 hari
pasca cedera.
-
Pembedahan harus dilakukan sebelum lewat 21 hari, karena jika lewat
rekonstruksi bedah menjadi lebih sulit dan hasilnya susah untuk
diperkirakan lagi.
-
Pasca operasi, kaki penderita dipasang well-padded U atau trilaminar splint
dengan ankle dorsifleksi.
-
Luka dinilai dalam 72 jam, pasien ditempatkan dalam removable cast atau
cast boot dan mulai diajarkan toe-touch weight bearing dengan crutches.
-
Jahitan dibiarkan selama 2-3 minggu dan latihan aktif serta active-assisted
ROM untuk kaki dan ankle dimulai pada saat luka jahitan diangkat.
-
Pasien tetap dalam toe-touch weight bearing selama 6 minggu dan
ditingkatkan menjadi partial weight-bearing selama 6 minggu. Full weight-
bearing biasanya diperbolehkan setelah 3 bulan.

Perkutaneus Osteosynthesis

135
-
Untuk menghindari komplikasi jaringan lunak akibat formal ORIF pada
fraktur calcaneus dilaukan tehnik reduksi tertutup dan internal fiksasi
perkutaneus.
-
Reduksi tertutup harus dilakukan dalam 48 jam pertama pasca cedera
sebelum hematoma mulai mengorganisasi yang akan menghambat
pergerakan fragmen.
-
Salah satu tehnik yang umum digunakan adalah pertamatama dengan
reduksi tuber-joint angle dengan menempatkan distraksi diantara tuberositas
calcaneqal, talus dan cuboid.
-
Setelah calcaneus direduksi dan facet artikular distabilisasi sisa calcaneus
difiksasi dengan long screws yang ditempatkan dari tumit ke corpus
calcaneus.

Fiksasi Eksternal
-
Pada fraktur calcaneus terbuka, stabilisasi temporer dapat dicapai dengan
memasang fiksator eksternal yang ditempatkan di sisi medial. Fiksator yang
digunakan adalah 3 Scahnz screw medullar yang ditempatkan di metatarsal
pertama, tuberositas calcaneus, dan tibia distal bagian medial.
-
Ketiga kerangka triangular ini memberikan distraksi pada fragmen fraktur
major dan memberikan stabilitas smentara jaringan lunak diobati.
-
Fraktur calcaneal juga telah dimanaje dengan menggunakan kawat fiksator
eksternal yang tipis, namun hasilnya belum menjanjikan.

Arthrodesis subtalar primer


-
Tehnik yang semakin banyak digunakan dan diterima untuk menangani
fraktur calcaneal comminuted dan displaced.
-
Prosedur ini diindikasikan pada fraktur calcaneal Sanders tipe IV.
Dilakukan ORIF dan dilanjutkan arthrodesis subtalar.
-
Kesalahan yang paling sering pada tehnik ini adalah kegagalan memulihkan
tinggi dan aligment calcaneus.

Salvage
-
Prosedur salvage untuk late colapse dan/atau arthrodesis subtalar meliputi
fusi subtalar insitu dan bone-block distraction subtalar arthrodesis.
-
Karena banyak pasien yang mengalami kehilangan pergerakan subtalar
setelah mengalami fraktur calcaneal intraartikular maka mereka daoat
mentoleransi arthrodesis subtalar.
KOMPLIKASI
-
Syndroma kompartmen timbul pada 10% kasus dan dapat mengakibatkan
clawing toes atau deformitas kaki lainnya.
-
Komplikasi penanganan nonoperatif berupa :
1. Gangguan tendon peroneal,
136
2. Kekakuan,
3. Arthrosis subtalar,
4. Late collapse, dan
5. Hindfoot varus
-
Komplikasi akibat tindakan operatif meliputi :
1. Wound breakdown sehingga timbul osteomyelitis.
Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan tehnik no-touch lateral L-
shaped incision.
2. Kekakuan,
3. Late-collapse,
4. Subtalar arthritis

16. FRAKTUR TALUS

PENDAHULUAN
-
Os talus memegang peranan penting dalam pergerakan dan transmisi gaya
di hindfoot.
-
Lebih 60% permukaan os talus diliputi oleh kartilago artikular, maka fraktur
pada os talus sering menimbulkan hilangnya pergerakan secara substansial
dan timbulnya artritis pasca trauma.
-
Fraktur os talus, lebih jauh dapat mengakibatkan disrupsi talus’s tenous
blood supply dan berkembangnya nekrosis avaskular.
-
Fraktur ini jarang terjadi kurang lebih 0,32% dari semua fraktur dan 3,4%
dari semua fraktur pada kaki.

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Os talus dapat dibagi menjadi 3 daerah berbeda, masing-masing daerah
mempunyai kontribusi penting terhadap fungsi sendi ankle, subtalar, dan
talonavikular.
-
Caput talus terletak anterior dan medial dan hampir seluruhnya diliputi
kartilago artikular. Daerah in di anterior berartikulasi dengan os navicular
dan ligamen calcaneonavicular dan facet anterior calacenus dibagian
inferior.
-
Collum tali berada di posterior dan lateral dari caput.
-
Collum bertindak sebagai tempat perlekatan kapsul sendi talonavicular pada
bagian anterior, dan kapsul sendi ankle di posterior, ligamen talonavikulare
di medial, serta retinaculum ekstensorum di lateral, dan ligamen interosseus
talo calcaneal di bagian inferior. Setiap struktur ini berperan dalam menjaga
stabilitas talus.

137
-
Collum tali membentuk atap sinus tarsi dan canalis tarsalis dan ditembus
oleh sejumlah pembuluh darah nutrien.
-
Korpus atau dome talus berada di posterior collum dan berartikulasi dengan
tibial plafond di superior dan calcaneus, melalui facet posterior, di inferior.
-
Talar dome lebar di bagian anterior dibanding posterior.
-
Gerakan dorsifleksi menyebabkan korpus talus masuk ke ankle mortise.
-
Plantar fleksi hanya menyebabkan sebagian kecil talus berada di ankle
mortise sehingga meningkatkan pergerakan antara talus dan tibia.
-
Di lateral, korpus berartikulasi dengan fibula distal dan beralku sebagai titik
perlekatan ligamentum talocalcaneal dan ligamenta talofibular anterior dan
posterior.
-
Di medial talus berartikulasi dengan malleolus medialis dan mempunyai
sejumlah foramina untuk ditembus oleh arteri nutricia.
-
Bagian aspek posteromedial talus yang merupakan tempat perlekatan
bagian profunda ligamentum deltoideum.
-
Di posterior, talus mempunyai 2 tuberkel yang membentuk sulcus untuk
tempat lewatnya tendon flexor hallucis longus. Tuberkulum posterolateral
lebih besar dari yang satunya dan mungkin mereupakan lanjutan dari facet
artikular inferior dan mungkin ditemukan berhubungan dengan trigonum.

Asupan darah
-
Asupan darah untuk os talus berasal dari 3 pembuluh darah utama pada
ekstremitas bawah:
1. A. tibialis anterior
2. A. tibialis posterior
3. A. Peronealis
-
Cabang-cabang a. tibialis anterior (a. dorsalis pedis) dan a. tarsalis media
langsung menembus bagian superior collum tali.
-
A. malleolaris lateralis, suatu cabang dari a. dorsalis pedis akan
bernastomose dengan cabang-cabang perforantes a. peronealis untuk
menjadi a. sinus tarsalis.
-
A. peronealis juga berperanserta dalammengasupi darah untuk os talus
melalu cabang-cabangnya yang akan bergabung dengan cabang calcaneal a.
tibialis posterior dan membentuk plexus vascular diatas tuberculum
posterior.
-
A. canalis tarsalis, suatu cabang dari a. tibialis posterior, berasal kurang
lebih 1 cm proksimal dari a. plantaris lateralis dan medialis, dan
memberikan cabang-cabang deltoid yang melewati aspek medial os talus.
-
A. canalis tarsalis (yang berasal dari a. tibialis posterior), a. sinus tarsi (yang
berasal dari a. dorsalis pedis), pembuluh-pembuluh periosteal medial (dari
a. tibialis posterior) merupakan pembuluh darah yang penting untuk os
talus. Asupan darah interosseus dan dengan disrupsinya dengan fraktur dan
dislokasi dipercaya berpengaruh terhadap berkembangnya nekrosis
avaskular.

138
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSTIK
-
Keluhan awalnya adalah nyeri dan bengkak pada daerah hindfoot dan ankle.
-
Penderita selalu tidak mampu untuk bear weight pada kaki yang cedera.
-
Fisis ditemukan bengkak, nyeri dan deformitas.
-
Deformitas tergantung pada displacement fragmen dan arah dislokasi.
-
Jika korpus talus mengalami dislokasi ke anterior maka sering dapat diraba
di bawah kulit di anterior fibula distal.
-
Pada tipe inilah yang sering mengalami dislokasi ke anterior.
-
Jika frakturnya tertutup maka diperlukan reposisi segera untuk mencegah
terjadinya iskemia lokal dari kulit dan gangguan jaringan lunak.
-
Pada fraktur-dislokasi posterior, korpus talus akan bergeser mengalami
dislokasi ke medial atau ke lateral ke tendon Achilles.
-
Pada fraktur-dislokasi posteromedial, tendo flexor hallucis longus akan
teregang pada talus yang dislokasi sehingga timbul deformitas fleksi jari I.
Struktur neurovaskular posteromedial dapat pula mengalami gangguan
sehingga bagian medial mengalami parastesia.
-
Fraktur dislokasi terbuka relatif sering terjadi, mudah didiagnosa dan
merupakan 44% dari semua fraktur dislokasi pada talus.
-
Mengingat tingginya resiko infeksi, nekrosis avaskular, dan nonunion,
cedera ini merupakan kasus emergensi dab harus dilakkan segera reduksi
terbuka, irigasi dan debridemen, fiksasi internal dan penanganan jarinagn
lunak.
-
Cedera ikutan muskuloskeletal juga sering terjadi pada fraktur-dislokasi
talus. Sering terjadi fraktur malleolus medialis, terutama pada fraktur
displace talar neck (25%).
-
Beberapa ahli yakin bahwa pada fraktur malleolus medialis cabang ligamen
deltoid dari a. tibialis posterior sering tidak mengalami cedera, sehingga
memberikan jaminan asupan darah ke korpus talus.

RADIOLOGIK
-
Evaluasi radiologik awal meliputi foto AP, oblique atau mortise view, dan
lateral untuk ankle.
-
Brodens view untuk menilai sendi subtalar dapat membantu untuk
perencanaan preoperatif dan membantu reduksi.
-
AP dan mortise view biasanya memperlihatkan talus dalam mortise, fraktur
vertikal korpus, dan subluksasi atau dislokasi ankle.
-
Fraktur malleolus medialis lebih nampak jelas pada AP atau mortise view.
-
Foto lateral ankle dapat memerlihatkan fraktur pada caput atau collum talar
jika ada.
-
Foto lateral harus dicermatio secara hati-hati untuk menilai subluksasi sendi
subtalar dan tibiotalar..
-
Bahkan fraktur dislokasi minimal pada collum talar akan disertai subluksasi
sendi subtalar. Subluksasi dan dislacemen ini harus dikoreksi untuk
139
memulihkan mekanisme normal sendi subtalar dan meminimalkan
kemungkinan timbulnya artritis pasca traumatik.
-
CT scan dapat menilai pola fraktur kaput, collum dan korpus talus serta
kognruitas sendi subtalar.
-
CT memungkinkan evaluasi yang lebih mendetail menyangkut permukaan
artikular. CT scan 3 dimensi memungkinkan ahli bedah untuk mengerti
geometri fraktur dan orientasi fragmen fraktur.

Klasifikasi
-
Klasifikasi didasarkan pada lokasi anatomis fraktur dan derajat
displacement fraktur.

FRAKTUR CAPUT TALAR


-
Meliputi kurang lebih 5-10% dari semua fraktur talus.
-
Umumnya diakibatkan oleh kompresi aksial atau gangguan pada kaput talar
pada aspek anterior tibia distal dengan gaya dorsifleksi pada kaki.
-
Fraktur ini sering disertai dengan instabilitas midfoot, termasuk instabilitas
sendi calcaneocuboidal dan subtalar.
-
Penanganan terutama didasarkan pada ukuran, jumlah dan adanya cedera
ikutan serta instabilitas.

FRAKTUR COLLUM TALAR


-
Meliputi 50% dari semua fraktur talar.
-
Kurang lebih 65% disertai dengan cedera ikutan muskuloskeletal lainnya,
dan 16-44% merupakan fraktur terbuka.
-
Fraktur collum talar 3x lebih sering pada pria daripada wanita.
-
Paling sering terjadi jika ankle dengan paksa didorsifleksikan, sehingga
collum talar rentan untuk terganggu oleh margo anterior distal tibia.
-
Penyebab yang jarang adalah kompresi aksial.
-
Klasifikasi yang paling banyak digunakan adalah dengan
mempertimbangkan displacement fraktur bersama dengan subluksasi atau
dislokasi sendi talocalcaneal, tibiotalar, dan talonavicular.
-
Sistem klasifikasi ini dikembangkan oleh Hawkins dan kemudian
dimodifikasi oleh Canale dan Kelly tidak hanya sebagai penuntun
penanganan namun juga sebagai penilaian prognostik.
-
Klasifikasi Hawkins

Tipe I
-
Fraktur neck talar, nondisplaced.
-
Insidens nekrosis avaskular 0-13%

140
Tipe II
-
Subluksasi atau dislokasi sendi subtalar
-
Ankle joint normal
-
Anastomosi sinus tarsi mengalami disrupsi (pembuluh darah neck dan
canalis tarsalis)
-
Insidens nekrosis avaskular 20-50%

Tipe III
-
Subluksasi atau dislokasi sendi subtalar dan tibiotalar
-
Cedera pembuluh darah neck, tarsal canal, dan deltoid medial.
-
Insidens nekrosis avaskular 80-100%

Tipe IV
-
Subluksasi atau dislokasi sendi subtalar, tibiotalar, dan talonavikular

Fraktur Hawkins Tipe I


-
Akibat low-energy dan merupakan closed injury
-
Talar neck mengalami fraktur tapi nondisplaced.
-
Neck vessels disrupted
-
Kurang lebih 10% mengalami nekrosis avaskular
-
Meskipun prognosis baik namun tetap diperlukan foto radiograf dan CT
scan untuk mengetahui adanya subluk sasi di sekitar sendi, terutama pada
sendi subtalar.
-
Jika subluksasi subtalar terjadi maka dianggap fraktur talar neck
mengalami displacemen atau terjadi instabili tas pada hindfoot atau
midfoot.
-
Rotasi pada caput fragmen dapat terjadi sehingga terjadi malposisi
hindfoot, walaupun fraktur tidak menampakkan displacement.
-
Displacement ini paling baik dilihat dengan foto oblique dari kaki dan
juga dapat membantu untuk mengevaluasi keberadaan fraktur caput talar.

Fraktur Hawkins Tipe II


-
Mencakup fraktur talar neck yang displaced
-
Disertai subluksasi atau dislokasi sendi subtalar.
-
Pada pola fraktur ini, sendi tibiotalar tetap intak tanpa tandatanda cedera.
-
Fraktur dislokasi ini mudah terlihat pada foto radiograf. Utamanya pada
foto lateral, namun tetap diperlukan foto lainnya untuk menyingkirkan
cedera ikutan, utamanya ankle (fraktur malleolus medialis) dan sendi
midfoot.
-
CT scan diperlukan untuk evaluasi lebih jauh dan untuk menilai lebih
baik comminution dan keterlibatan artiklular.
-
Tipe ini umumnya disertai dengan disrupsi nyata kedua asupan darah
ekstraosseus dan intraosseus sehingga angka kejadian nekrosis avaskular
mencapai 20%.
-
Fraktur dislokasi ini harus ditangani secara vemergensi untuk
meminimalkan iskemia talus dan resiko nekrosis avaskular corpus tali.

141
Fraktur Hawkins Tipe III
-
Gambaran khas fraktur displace talar neck dengan subluksasi atau
dislokasi sendi tibiotalar dan subtalar.
-
Foto AP dan Mortise view ankle akan memperlihatkan dislokasi
tibiotalar.
-
Foto lateral menampakkan fraktur talar neck dan disrupsi sendi subtalar.
-
Foto radiograf juga digunakan utk mengidentifikasi cedera skeletal ikutan
lainnya.
-
CT scan membantu tapi tidak selalu diperlukan.
-
Karena fraktur tipe III jelas mengganggu asupan darah ekstraosseus dan
intraosseus ke talus dan kemungkinan juga mengganggu struktur
neurovaskular posteromedial dan kulit diatasnya maka diperlukan reduksi
emergensi dan fiksasi internal untuk sendi subtalar dan tibiotalar.
-
Tingkat nekrosis avaskular pada cedera ini mencapai 70-100%.
Fraktur Hawkins Tipe IV
-
Mencakup fraktur talar neck displaced dan dislokasi sendi tibiotalar,
subtalar dan talonavikular.
-
Fraktur ini relatif jarang terjadi dan susah untuk di manaje karena
instabilitas fragmen fraktur dan disrupsi yang hampir komplit asupan
darah ekstraosseus dan intraosseus.
-
Tipe IV ini mudah dikenali pada foto awal radiograf dan harus segera
dilakukan reduksi emergensi serta stabilisasi untuk meminimalkan
iskemia talus.

FRAKTUR TALAR BODY


-
Kurang lebih 13-23% dari semua fraktur talus
-
Kejadian nekrosis avaskular jauh lebih rendah dibanding fraktur talar neck
-
Berhubungan erat dengan cedera jaringan lunak dan pola fraktur.
-
Fraktur talar body mencakup
1. Fraktur permukaan artikular,
2. Fraktur corpus talar,
3. Fraktur tuberkel posterior, dan
4. Fraktur processus lateralis

-
Klasifikasi Sneppen et al :

Tipe I
Fraktur transchondral pada talar dome

Tipe II
Fraktur coronal, sagital, atau horizontal pada talar dome

142
Tipe III
Fraktur tuberkel posterior (20%)

Tipe IV
Fraktur processus lateralis

Tipe V
Crush fraktur pada talar dome
-
Fraktur transchondral pada corpus talar umumnya terjadi pada aspek
anterolateral dari dome akibat cedera inversi dan dorsifleksi. Biasanya
terjadi pada nakle sprain
-
Fraktur transchondral posteromedial terjadi sewaktu kaki plantar fleksi dan
inversi. Farktur ini dapat dilihat pada foto polos tapi paling baik pada CT
scan atau MRI.

PENANGANAN

Nonoperatif
-
Fraktur caput talar, fraktur collum talar tipe I, dan fraktur corpus talar
dengan minimal displaced baisanya ditangani dengan immobilisasi splint
tapi pasien diopname.
-
Kaki yantg cedera dielevasi dan diobnservasi untuk compartment syndrome.
-
Penanganan nonoperatif mencakup short leg cast, yang dipasang setelah
edema surut.
-
Toe touch weight bearinmg (biasanya mencapai 9 kg) dimulai sesegera
mungkin. Selanjtunya dapat ditingkatkan ke partial weight bearing (22,5 kg)
sekitar 6 minggu pasca cedera. Pada saat ini dipasang removable boot / cast.
-
Latihan ROM active-assisted dan pasif untuk kaki dan ankle harus sudah
dimulai.
-
Setelah 3 bulan, dapat dilakukan full weight bearing. Agresif ROM dan
muscle strengthening dimulai juga dimulai pada saat ini.
-
Fraktur displace intra artikular pada talus harus ditangani dengan cara yang
sama seperti fraktur intra artikular pada sendi weight bearing lainnya.
-
Jika displace fragmen artikular > 2mm dan cukup besar untuk stabilisasi
fiksasi internal maka harus ditangani dengan reduksi dan fiksasi.
-
Jika fragmen artikular terlalu kecil untuk stabilisasi fiksasi interna, maka
harus dieksisi.
-
Fraktur isolated tipe I dari collum talar dapat ditangani secara nonoperatif
sepanjang wasapada dan dijamin tidak terjadi displacement atau malrotasi
atau subluksasi sendi subtalar.
-
Ankle harus diimmobilisasi dengan short leg cast dan pasien harus segera
memulai toe touch weight bearing.
-
Fraktur collum talar tipe II, III, IV biasanya ditangani dengan emergensi
ORIF.

143
-
Secara teoritis, semakin cepat fragmen fraktur direduksi dan aliran darah
dipulihkan, maka semakin kecil kemungkinan nekrosis avaskular serta
komplikasi lainnya untuk terjadi.
-
Reduksi anatomis collum talar harus dilakukan untuk menjamin reduksi
sendio subtalar dan sendi ankle yang sangat diperlukan untuk mekanisme
normal sendi hindfoot.
-
Indikasi lain untuk ORIF adalah fraktur terbuka dan cedera neurologis atau
vaskular.
-
Poada kasus-kasus dengan gangguan neurovaskular, fraktur harus direduksi
dan distabilisasi untuk menjamin perbaikan vaskular dan mencegah cedera
lebih lanjut.
-
Penanganan fraktur corpus dan dome talar sama seperti fraktur intra
artikular lainnya. Jika displacement > 2 mm, maka dilakukan ORIF.
-
Fraktur transchondral dapat ditangani dengan eksisi dan pengeboran atau
penyegaran (freshening) bed untuk merangsang pertumbuhan fibrokartilago
ke dalam defek. Ini dapat dilakukan dengan arthroscopy tapi memerlukan
arthrotomuy.

Penanganan Operatif
-
Macam fraktur yang perlu penanganan operatif antara lain:
1. Fraktur displace caput talar intra artikular
2. Fraktur tipe III dan IV Hawkins
3. Fraktur crush atau comminuted dari corpus talar
-
Pada sebagian besar kasus, aktif dan active-assisted ROM dari kaki dan
ankle dimulai 48 jamj pasca operasi meskipun weight bearing ditunda
hingga 6-12 minggu.
-
ROM dini dimulai untuk mencegah arthrofibrosis dan permanent loss of
motion.

FRAKTUR CAPUT TALAR


-
Approach untuk ORIF pada fraktur ini tergantung pada lokasi dan ukuran
fragmen fraktur serta anatomi lokal.
-
Jika fraktur pada aspek medial caput talar maka approach-nya anteromedial
untuk memungkinkan visualisasi langsung dan reduksi anatomis serta
fiksasi internal fragmen fraktur.
-
Fraktur pada aspek lateral caput talar maka approach-nya melalui sinus tarsi
sama seperti pada lesi subtalar.
-
Fragmen fraktur distabilisasi dan difiksasi dengan screw. Fragmen kecil
dieksisi namun harus diperhatikan jangan sampai mengganggu stabilitas
sendi talonavicular.

FRAKTUR COLLUM TALAR

144
-
Fraktur collum talar tipe I biasanya ditangani secara non operatif dan
mempunyai resiko rendah untuk mengalami displacement atau komplikasi.
-
Tujuan utama tindakan operatif stabilisasi untuk fraktur tipa II, III dan IV
adalah :

1. Reduksi anatomis collum talar


2. Reduksi anatomis sendi subtalar, tibiotalar, dan talonavicular.
3. Fiksasi stabilisasi dari fraktur untuk memungkin kan pergerakan dini
ankle dan hindfoot.
-
Sejalan dengan derajat displacement frgamen fraktur maka semkin tinggi
derajat reduksi emergensi dan stabilisasi talus diperlukan.
-
Approach, reduksi dan stabilisasi fraktur talus dapat dilakukan melalui
anterolateral (sinus tarsi) dan/atau anteromedial.
-
Approach anteromedial dapat mengganggu vaskularisasi yang sebelumnya
sudah terganggu dan tidak dapat memberikan penempatan optimal screw
dan orientwasi untuk kompresi melintas bagian fraktur.
-
Approach posterolateral meminimalkan resiko ganggaun vaskular dan
memungkinkan penempatan screw melintas fraktur dan caput talar.
-
Fraktur Hawkins tipe III dan IV kadang membutuhkan traksi pin calcaneal
agar tercapai distraksi yang adekuat untuk reduksi sendi tibiotalar
-
Reduksi pada fraktur Hawkins tipe II diperoleh dengan platar fleksi corpus
talar untuk memperoleh align dari caput dan collum talar.
-
Hasil reduksi diperksa dengan fluoroskopi melalui antero-posterior dan
lateral planes begitu pula dengan live fluoros kopi.
-
Insisi sepanjang 6-8 cm dibuat di lateral tendo Achilles, memanjang ke
distal hingga ke tuberculum calcaneal.
-
N. Suralis diidentifikasi dan diretraksi ke lateral, dan tendo fleksor hallucis
longus diretraksi ke medial.
-
Processus lateralis os talus pada palpasi berada di lateral fleksor hallucis
longus.
-
Dua pin 2,0 mm dibor dari posterolateral corpus talus, melintas sisi fraktur
menuju ke caput talar.
-
Selanjutnya pin akan digantikan dengan cancellous screw menurut ukuran
panjang yang sesuai.
-
Pasien dipertahankan dalam keadaan non weight bearing hingga collum
talar sembuh tanpa mengalami kolaps.
-
Stabilitas fiksasi harus cukup untuk menjamin ROM dini tanpa weight
bearing.

FRAKTUR CORPUS TALAR


-
Approach ORIF untuk corpus talar ditentukan oleh tipe dan lokasi fraktur.
-
Fraktur talar body Sneppen tipe II dan IV paling baik ditangani dengan
approach anterior atau anteromedial extensile untuk memungkinkan
visualisasi langsung fragmen fraktur.
145
-
Osteotomi malleolus medialis lebih disukai jika terjadi disrupsi ligamentum
deltoideum agar tercapai integritas cabang-cabang deltoid arteri tibnialis
posterior.
-
Tujuan utama pembedahan adalah reduksi permukaan artikular os talar dan
fiksasi internal yang stabilk dengan perbaikan pada malleolus medialis.
-
Fikasasi internal dapat digunakan small fragmen screws (3,5 mm),
minifragmen screws (2,0-2,7 mm), Herbert atau Herbert-Whipple screws
dan pin absorbable.
-
K wire dengan diamter kecil dapat digunakan untuk mempertahankan
fragmen osteochondral sewaktu operasi stabilisasi, namun K wire ini tak
dapat digunakan sebagai kompresi interfragmenter karena itu pemakaiannya
harus dibatasi.
-
Penenggelaman kepala screw perlu dilakukan jika screw ditempatkan pada
permukaan artikular.
-
Kadang diperlukan tindakan debrdement pada frgamen kecil kartilago yang
tak dapat direkonstruksi.
-
Disamping reduksi permukaan artikular perrlu juga dilakukan reduksi
secara anatomis pada sendi subtalar dan ankle.
-
Malleolus medialis yang telah diosteotomi harus direduksi secara anatomis
dan difiksasi untuk memungkinakn ROM dini pada sendi ankle.
-
Approach lateral melalui sinus tarsidapat digunakan jika fraktur melibatkan
aspek lateral corpus talar dan/atau processus lateralis os talus.
-
Aspek lateral corpus talar dapat pula ditangani dengan osteotomi malleolus
lateralis melalui approach langsung dari lateral.
-
Approach ini tidak dianjurkan karena ligamen tibiofibular anterior dan
bagian dari membrana interosseus atau ligamen harus diangkat agar dapat
membuka bagian distal fibula.

PERHATIAN
-
Mengingat cedera ini umumnya diakibatkan oleh trauma berenergi tinggi
dan tibmulnya edema maka jaringan lunak disekitar kaki dan ankle akan
mengalami gangguan pada waktu cedera.
-
Dengan demikian, jaringan lunak harus ditangani secara cermat dan hati-
hati serta sabart untuk mencegah terjadinya surgicak disasters.
-
Waktu operasi, pilihan approach, dan penanganan jaringan lunak sewaktu
pembedahan serta penutupan jahitan harus dilakukan dan dipilih secara
cermat.
-
Fraktur terbuka atau dislokasi talus dan fraktur tertutup Hawkins tipe III dan
IV membutuhkan intervensi bedah emergensi. Meskipun ada kemungkinan
akan terjadi gangguan pada jaringan lunak disekitarnya yang akan
menyebabkan penundaan penutupan kulit.
-
Untuk fraktur tertutup caput dan corpus talar jika tak ada gangguan kulit
oleh fragmen fraktur, maka operasi harus dilakukan dalam 4-6 jam pasca
cedera atau ditunda hingga jaringan edema surut.

146
REHABILITASI
-
Tujuan utama perawatan pasca operasi adalah proteksi dari weight bearing
dengan tetap mempertahankan ROM.
-
Pasien biasanya tetap berada dalam toe touch weight bearing selama 6
minggu namun untuk fraktur akibat energi tinggi biasanya sampai 12
minggu.
-
Selama 4-6 minggu berikutnya bila telah ada bukti-bukti radiologis
penyembuhan fraktur, pasien diperbolehkan partial weight bearing.
-
Selama 12 minggu berikutnya, jika gambaran radiologis menunjukkan
penyembuhan, tak ada perubahan dalam reduksi atau posisi implan dan
revaskularisasi telah terjadi, pasien biasanya sudah boleh full weight
bearing.

17. CEDERA MIDFOOT DAN FOREFOOT

MIDFOOT

Anatomi dan Patogenesis


-
Midfoot terdiri atas tulang-tulang tarsal :
1. Os Naviculare
2. Os Cuboid
3. Os cuneiforme 3 buah
4. Sendi tarsometatarsal
-
Kompleks tulang ini memperoleh stabilitasnya dari arsitektur tulangnya
sendiri dan dari ligamenta interosseus yang tebal.
-
Akibat dari stabilitas ini midfoot relatif kaku (rigid).
-
Sebagian besar pergerakan pada daerah ini terjadi pada sendi trnascersal
tarsal (Sendi Chopart) yang merupakan kombinasi pergerakan sendi
talonaviculare dan sendi calcaneocuboidal.
-
Sendi-sendi ini terlibat terutama pada pergerakan supinasi dan pronasi dan
mempunyai efek yanjg tak adapat diabaikan pada pergerakan dorsifleksi
dan plantarfleksi.
-
Sendi-sendi midfoot lainnya berperan serta dalam derajat yang terbatas pada
pergerakan abduksi, adduksi, dorsi fleksi, dan plantar fleksi.
-
Sendi tarsometatarsal yang paling lateral memberikan pergerakan bebas
yang lebih besar pada gerakan plantar fleksi dan dorsi fleksi sehingga
memberikan fungsi kompensatoris pada midfoot.

147
-
Sendi tarsometatarsal. Terdiri atas basis 5 ossa metatarsal yang
berhubungan dengan os cuneiforme, dan cuboid serta disebut sebagi sendi
Lisfranc.
-
Kunci dari stabilitas sendi ini adalah pada basis os metatarsal ke dua yang
berhubungan dengan cuneiforme lateral dan medial.
-
Suatu ligamen yang besar berjalan oblique dari basis plantar metatarsal ke
dua menuju cuneiforme medial disebut ligamen Lisfranc.
-
Ligamen interosseus pada sendi bergabung dengan bnasis os metatarsal ke
dua melalui metatarsal ke lima, setiap ligamen ini memperkuat aspek
plantar.
-
Pada potongan melintang, midfoot akan membentuk arkus plantaris
transversal yang tersusun dari tulang-tulang yang berbentuk asimetris.
-
Basis os metatarsal ke dua dan ke tiga mempunayi bentuk yang lebar dan
melebar ke dorsal.
-
Sokongan arsitektur tulang dan ligamen membentuk suatu konfigurasi
pelana ke midfoot sehingga menyokong gaya weight bearing.

-
Stabiliser kedua pada arkus transversalis meliputi :
1. Fascia plantaris,
2. Otot-otot intrinsik,
3. Tendon-tendon ekstrinsik.
-
Hubungan diantara semua struktur ini pewrlu diperhitungkan terutama bila
terjadi cedera pada bagian distal dan proksimal sendi Lisfranc.
-
Cedera isolated pada midfoot jarang terjadi. Kalaupun terjadi diperlukan
trauma berenergi tinggi agar dapat merusak kompleks ini.
-
Beberapa macam fraktur sering terjadi dan biasanya melibatkan lebih dari
satu struktur.
-
Yang sering terjadi adalah fraktur dislokasi dan biasanya tidak begitu jelas
pada radiologik namun dapat menyebabkan kolaps dan deformitas.
-
Foto radiologik yang penting adalah foto AP, lateral dan oblique.
-
Jika memungkinkan, foto AP dan lateral diambil dengan penderita dalam
keadaan berdiri untuk menentukan deformitas kolaps akibat cedera ligamen.
-
CT dan MRI dapat membantu memperjelas fraktur intra artikular atau
fraktur yang tak jelas.
-
Prinsip dasar penanganan cedera midfoot adalah memulihkan dan
mempertahankan stabilitas kolom lateral dan medial dari kaki.

FRAKTUR AKUT NAVIKULARE


-
Dibagi menjadi 4 tipe yakni :
1. Fraktur dorsal lip (cortical avulsion),
2. Fraktur tuberositas
3. Fraktur korpus
148
4. Fraktur stress
-
Fraktur yang paling sering terjadi adalah tipe 1, fraktur dorsal lip, namun
fraktur ini tidak begitu bermakna.
-
Fraktur dorsal lip terjadi akibat gaya puntiran disertai gaya inversi dan dapat
ditangani secara simptomatis.
-
Fraktur avulsi pada tuberositas terjadi akibat kontraksi tendon tibialis
posterior terhadap tahanan.
-
Jarang terjadi pergeseran yang nyata mengingat luasnya insersi tendon ini
dan perlekatan dari ligamentum deltoideum serta kapsula sendi
talonavikulare pada tuberositas.
-
Associated fraktur os cuboideum perlu diperhatikan pada cedera tipe ini.
-
Tulang anviculare assesorius sering ada dan dapat disalah artikan dengan
fraktur tuberositas (os naviculare assesorius insidensnya 12 %, 64%
bilateral).
-
Fraktur yang paling potensial untuk menimbulkan kecacat an adalah fraktur
pada corpus navculare yang melibatkan sendi talobnaviculare dan sendi
naviculocuneiformis.
-
Kegagalan dalam mengenali dan menindaki fraktur ini akan menimbulkan
deformitas hebat dan arthritis pasca traumatik.
-
Pada fraktur tipe I, garis utama fraktur berjalan transversal terhadap coronal
plane dan melibatkan < 50% corpus.
-
Fraktur tipe II merupakan tipe fraktur yang paling umum terjadi; fraktur ini
meluas dari posisi dorsal-lateral ke posisi plantar-medial.
-
Fraktur tipe II dapat disertai dengan adduksi forefoot.
-
Fraktur tipe III merupakan communition sentral atau lateral. Fragmen yang
major adalah bagian medial dan kaki mengalami displace ke lateral.
-
Fraktur tipe III sering pula diikuti dengan :
1. Disrupsi sendi naviculocuneiformis
2. Subluksasi sendi calcaneocuboidal,
3. fraktur cuboid, atau
4. fraktur processus anterior calcaneus.

PENANGANAN
-
Fraktur avulsi awalnya ditangani dengan imobilisasi splint dengan tujuan
untuk meminimalkan nyeri dan edema
-
Bila gejala sudah mereda, maka dilakkukan pemasangan short leg walking
cast dan dipertahankan selama 4-6 minggu.
-
Bentuk cast harus moulded sesuai dengan lekukan kaki dan dipertahankan
dengan posisi netral atau sedikit supinasi.
-
Jika terjadi nonunion, jarang sekali simptomatik.
-
Prognosis fraktur coprus naviculare umumnya buruk.
-
Dengan alasan ini, maka setiap fraktur pada corpus dengan minimal
displaced (>1 mm) membutuhkan ORIF.
-
Penanganan operatif berupa approach anteromedial, disebelah medial dari
tendon tibialis anterior.
149
-
Fraktur tipe I dapat distabilkan dengan lag screws dari dorsal ke plantar.
-
Pada fraktur tipe II, fragmen lateral cukup besar sehingga lag screw dapat
dipasang dari aspek medial ke aspek lateral os naviculare.
-
Jika fraktur tipe communition (tipe II dan III) maka diperlukan fiksasi ke
sendi naviculocuneiforme.
-
Pada fraktur communitiva penting untuk mempertahankan panjang medial
collumn dan memulihkan alignment netral dari forefoot. Hal ini mungkin
memerlukan pemasangan medial external fixator dan interpositional bone
graft.

STRESS FRAKTUR OS. NAVICULARE


-
Stress fraktur pada os naviculare sering terjadi pada atlit akibat aktivitas
stres berulang-ulang, misal berlari.
-
Ratarata diagnosis ditegakkan setelah 4 bulan.
-
Kegagalan dalam menegakkan diagnosis yang tepat akan mengakibatkan
nyeri kronis dan kecacatan.
-
Stress fraktur pada os naviculare umumnya terjadi sebagai akibat fraktur
partial atau komplit pada sagittal plane dan terjadi pada 1/3 sentral os
naviculare.
-
Diagnosis harus ditegakkan sedini mungkin untuk memini malkan insidens
nonunion dan artritis pasca traumatik.
-
Bone scan dapat menolong dalam melokalisasi lesi pada pasien dengan
nyeri midfoot yang tidak khas.
-
CT atau tomogram dapat membantu memastikan diagnosis fraktur stress.

PENANGANAN
-
Penderita dengan fraktur nondisplaced, hasil yang baik dapat dicapai
dengan non-weioght bearing cast selama 6-8 minggu.
-
Untuk fraktur yang mengalami displaced, diperlukan tindakan ORIF diikuti
dengan non-weight bearing cast selama 6 minggu.
-
Weight-bearing yang terlalu dini (early unprotected weight-bearing) akan
menyebabkan berkembangnya nonunion.
-
Tomogram dapat membantu untuk memastikan union tulang sebelum
dilakukan unrestricted weight-bearing.
-
Kemungkinan terjadi refraktur perlu dipertimbang kan terutama bila
penderita mengeluh nyeri yang rekuren.
-
Misdiagnosis dan penanganan yang tidak adekuat akan meningkatkan
insidens delayed union hingga nonunion. Pada kasus yang semcam ini,
diperlukan inlay bone graft.

CEDERA OS. CUBOID

150
-
Sebagian besar cedera pada os cuboid berupa fraktur avulsi dengan displace
minimal yang pada fotyo rontgen AP akan tampak sebagai suatu fleck pada
aspek lateral sendi calcaneocuboidal.
-
Cedera tipe ini timbul sebagai akibat regangan inversi dan dapat ditangani
secara simptomatik dengan weight bearing cast selama 4 minggu.
-
Yang paling penting pada fraktur os cuboid adalah mengenali fraktur
cuboid, kemudian mengetahui fraktur nutcracker.
-
Fraktur nutcracker adalah fraktur kompresi yang terjadi karena gaya
abduksi dengan subluksasi lateral forefoot.
-
Cedera berenergi tinggi ini tidak hanya mengakibatkanb kompresi os
cuboid, menurunkan lateral collumn length, namun juga menimbulkan
ekstrusi tulang dengan arah plantar.
-
Komplikasi jangka panjang yang terjadi meliputi arthritis sendi
calcaneocuboidal, dan yang lebih luas lagi, hingga ke sendi metatarsal.
-
Posisi kaki dapat menjadi abduksi forefoot.
-
Pada keadaan lanjut dapat timbul pada plantar promi-nence.

PENANGANAN
-
Fraktur yang nondisplaced atau minimal displace dapat ditangani dengan
short leg walking cast selama 4-6 minggu.
-
Fraktur displace membutuhkan ORIF.
-
Fraktur yang menimbulkan comminution yang nyata atau menyebabkan
kehilang fragmen tulang sering memerlukan fiksasi eksternal dan / atau
autogenous bone graft untuk memulihkan lateral collumn length.
-
Pemulihan alignment forefoot serta arcus longitudinalis sangat penting
untuk meminimalkan terjadinya deformitas lanjut.
-
Arthrodesis calcaneocuboidal dilakukan jika timbul arthritis symptomatic.
-
Harus dihindari tindakan arthrodesis untuk arthritis pada sendi cuboid-
metatarsal, karena sendi ini memberikan mobilitas kompensatoris yang
nyata bagi forefoot.
-
Sering terjadi nonunion jika dilakukan arthrodesis pada sendi ini.

CEDERA OS. CUNEIFORME


-
Seperti halnya cedera pada os cuboid, cedera pada tulang ini jarang terjadi
tersendiri (isolated), dan biasanya terjadi akibat trauma langsung.
-
Sebagian besar fraktur dan dislokasi pada tulang ini biasa nya menyertai
cedera pada daerah lainnya akibat trauma berenergi tinggi. Yang paling
sering adalah fraktur-dislokasi Lisfranc.
-
Pada cedera ini, gaya yang timbul ditransmisikan melalui sendi
tarsometatarsal menuju ke cuneiforme dan keluar melalui sendi
naviculocuneiforme.
-
Cedera ini dapat terjadi selintas dan sering luput dari perhatian.

151
-
Deformitas lanjut dan nyeri berkepanjangan dapat timbul jika tidak
dilakukan tindakan protected weight bearing.
-
Bone scan, CT scan atau Tomogram dapat membantu mempertegas
diagnosis dan mengidentifikasi daerah yang mengalami diastasis atau
disrupsi intraartikular.

PENANGANAN
-
Mengingat cedera pada tulang ini sering disertai dengan cedera ligamen
maka diperlukan immobilisasi untuk penyembuhannya.
-
Pada cedera yang mengalami displacement, perlu dilakukan tindakan ORIF
diikuti dengan periode immobilisasi non-weight bearing.

FRAKTUR-DISLOKASI LISFRANC
-
Merupakan cedera midfoot yang paling penting.
-
Fraktur dapat terjadi subtle atau pada awalnya tidak jelas namun mengalami
deformitas yang progresif dan nyeri kronis.

PATOGENESIS
-
Mekanisme terjadinya fraktur Lisfranc berkisar mulai dari gaya kompresi
dengan kecepatan rendah dan gaya tekuk (twisting force) hingga crush
injury berenergi tinggi.
-
Pola cedera dapat terjadi akibat gaya langsung terutama pada arah plantar,
dengan disertai fraktur comminution pada basis metatarsal dan os.
Cuneiforme serta cedera hebat jaringan lunak.
-
Tidak jarang terjadi compartemen syndrome dan fraktur terbuka.
-
Lebih sering terjadi cedera dengan mekanisme tidak langsung hal ini
disebabkan oleh beban aksial yang menimpa pada kaki dengan plantar-
fleksi. Sewaktu forefoot menghalami hyper plantar-fleksi ligamenta
tarsometatarsal dorsal yang lemah akan mengalami ruptur.
-
Sejalan dengan progresi cedera, aspek plantar dari basis metatarsal
mengalami fraktur atau capsula plantaris mengalami ruptur sehingga
metatarsal mengalami displacement ke dorsal.
-
Kadang-kadang gaya cedera dapat disebarkan ke proximal melalui sendi
midtarsal, sehingga cedera berlanjut.
-
Abduksi hebat serta displacement lateral dari metatarsal akan
mengakibatkan fraktur kompresi (nutcracker) dari os cuboid.
-
Sering terjadi avulsi basis metatarsal kedua oleh ligament Lisfranc yang
kuat.

152
-
Cedera ikutan dari forefoot berupa dislokasi sendi metatarsophalangeal dan
fraktur collum metatarsal.

Pemeriksaan fisis dan diagnosis


-
Penting untuk menegakkan diganosis fraktur Lisfranc sedini mungkin. Foto
radiologik standar dievaluasi dengan cermat untuk menilai edema jaringan,
distasis sendi, dan cedera iokutan pada forefoot.
-
Fraktur avulsi pada basis metatarsal kedua dan fraktur kompresi os cuboid
merupakan suatu tanda yang patognomonic.
-
Dapat terjadi reduksi spontan, bahkan setelah cedera hebaty; sehingga pada
radiograph akan tampak hubungan sendi normal.
-
Pada kasus-kasus trauma yang cukup luas, diagnosis midfoot sprain baru
dapat ditegakkan setelah ada sokongan foto stress radiograph. Dibawah
kondisi anestesi atau sedasi, gaya abduksi dan adduksi diterapkan pada
forefoot sehingga setiap displacement atau perubahan aligment akan tampak
pada foto.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
-
Gambaran instabilitas akan tampak pada fluoroskopi imaging, namun
penentuan akhir fraktur Lisfranc tergantung pada foto polos 3 plane.
-
Pada kaki yang normal, akan tampak hubngan nyang konsisten anatar tepi
medial basis metatarsal ke dua dengan tepi medial middle cuneiforme pada
AP view.
-
Pada foto oblique internal view nomral akan tampak garis tanpa putus
(unbroken) sepanjang medial basis metatarsal ke empat dan tepi medial dari
os cuboid.
-
Pada foto lateral view, juga normal akan tampak garis tan- pa putus
(walaupun tak selalu berupa garis lurus) sepan- jang bagian dorsum
metatarsal pertama dan kedua serta bersambungan dengan garis serupa dari
os cuneiforme.
-
Setiap garis yang terputus alignmentnya merupakan sutau pertanda
kemungkinan terjadinya fraktur Lisfranc.
-
Foto weight bearing AP dan lateral , jika memungkinkan untuk dilakukan,
akan menampakkan, walau pada cedera yang subtle, hilangnya tinggi arcus
longitudinalis atau subluksasi dr sendi tarsometatarsal
-
CT scan dengan splay view construction, dapat membantu dalam menilai
pola fraktur yang terjadi dan mendeteksi cedera yang subtle.
-
Jika semua hasil pemeriksaan radiograf normal, namun nyeri tetap ada pada
daerah midfoot, dapat dilakukan pemeriksaan bone scan dengan techtenium.
Lebih dianjurkan pemeriksaan pinhole images untuk menilai lokasi hasil
uptake.

PENANGANAN
153
-
Tujuan penanganan cedera sendi tarsometatarsal adalah untuk memperoleh
dan/atau mempertahankan reduksi anatomis yang tepat.
-
Jika fraktur berhasil diidentifikasi dan reduksi anatomis berhasil
dipertahankan maka cukup dilakukan short lag cast immobilization selama
6 minggu. Weight bearing baru diperbolehkan setelah penderita merasa
nyeri sudah tak ada.
-
Fiksasi percutaneus Kirschner wire dapat dilakukan pada pasien dengan
fraktur nondisplace dan diidentifikasi dengan foto stress radiograf.
-
Sebagian besar fraktur-dislokasi Lisfranc yang displaced harus ditangani
dengan ORIF untuk memastikan reduksi anatomis dan stabilisasi yang rigid.
-
Basis metataqrsal dua harus direduksi, kadang diperlukan debridemen
fragmen tulang yang mengalami avulsi
-
Interposisi tendo tibialis anterior dan tendon peroneus longus dapat
mengakibatkan cedera yang irreducible.
-
Jaringan lunak yang terjebak ini sering tewrjadi pada cedera sendi Lisfranc
utamanya pada fragmen fraktur dari basis metatarsal dua.
-
Biasanya, setelah dilakukan reduksi pada sendi tarsometatarsal maka cedera
ikutan pada forefoot secara spontan ikut tereduksi.
-
Pada cedera nutcracker, perlu dilakukan pemulihan/ perbaikan lateral
collumn length.
-
Pada cedera communitiva perlu dipertimbangkan melakukan tindakan
eksternal fixation dan interposisi bone graft.
-
Pada kasus-kasus dengan cedera primer pada ligamen, dan dirasa perlu
dilakukan open reduction, maka dianjurkan memasang screw fixation
melintas sendi yang terlibat.
-
Dapat dilakukan approach dengan dari dorsal dengan menggunakan insisi
tunggal longitudinal atau dua insisi paralel.
-
Penting untuk diperhatikan agar menyingkirkan interposisi jaringan lunak
dan debris diantara basis metatarsal satu dan ke dua kemudian dilakukan
reduksi anatomis.
-
Dapat digunakan cortical screw full threaded 3,5 mm untuk sendi medial
dan jika perlu fiksasi K wire untuk kompleks sendi lateral yang mobil.
-
Jika cedera murni tulang sehingga butuh waktu lebih lama untuk sembuh
dibanding cedera ligamen, pemasangan K wire sudah cukup adekuat.
-
Wire dapat dicabut setelah 6 minggu, diikuti dengan protected weight
bearing.
-
Bila digunakan fiksasi screw, tidak dianjurkan melakukan unprotected
weight bearing hingga screw dicabut setelah 10-12 minggu cedera.
Selanjutnya digunakan penyokong longitudinal arch untuk beberapa setelah
pencabutan screw.

KOMPLIKASI
-
Late reduksi (7-8 minggu setelah cedera) mempunyai prognosis yang buruk
dan perlu dipertimbangkan tindakan reduksi arthrodesis primer.
154
-
Arthrodesis harus dibatasi hanya pada bagian sendi columna medial dan
melakukan latihan pergerakan pada sendi tarsometatarsal ke empat dan ke
lima yang akan memberikan fungsi kompensatoris.
-
Sequele jangka panjang yang sering timbul pada cedera Lisfranc meliputi
arthritis pascatrauma dan deformitas menetap namun ini dapat dicegah
dengan penanganan yang tepat waktu dan reduksi yang tepat.
-
Arthrodesis baik in situ maupun dengan reduksi dapat dipandang sebagai
tindakan penyelamatan terhadap nyeri, stabilitas dan plantigrade foot.

SINDROMA KOMPARTMEN
-
Kompartmen pada kaki cenderung terjadi pada :
1. Crush injury
2. Lisfrqanc atau fraktur-dislokasi midtarsal
3. Cedera tertentu yang mengakibatkan fraktur multiple metatarsal.

Patogenesis
-
Kaki dapat dibagi menjadi 4 kompartmen fascial :
1. Kompartmen sentral
2. Kompartmen medial
3. Kompartmen lateral
4. Kompartmen interosseus, dan
5. Kompartmen calcaneal
-
Kompartmen ke lima terletak pada bagian profunda hindfoot dan meliputi
otot quadratus plantaris.
-
Penelitian terbaru mengungkapkan ada 9 kompartmen pada kaki dan
terdapat hubungan antara kompartmen calcaneal dengan kompartmen
posterior profunda pada tungkai bawah.
-
Hubungan antara kompartmen calcaneal dengan kompar-tmen posterior
profunda pada tungai bawah berjalan mengikuti struktur neurovascuar dan
tendinous melalui retincaulum posterios ke malleolus medialis.

Gambaran Klinis
-
Tidak seperti pada kompartmen di lengan bawah atau tungkai bawah, tidak
ada gambaran klasik pada kompart-men di kaki.
-
Nyeri pada peregangan pasif, dysesthesia, dan pulse yang menghilang
bukan merupakan temuan yang dapat dipercaya.
-
Edema yang tegang dapat merupakan suatu kecurigaan adanya kompartmen
ini.
-
Karena itu perlu dicurigai terjadinya keadaan ini jika terjadi fraktur tertentu.
-
Untuk diagnosis pasti perlu dilakukan kateterisasi invasif dan pengukuran
semua kompartmen mayor.

155
Penanganan
-
Setelah menegakkan diagnosis, perlu dilakukan tindakan membebaskan
kompartmen berupa fasciotomy.
-
Bila kompartmen sindrom timbul akibat fraktur multiple metatarsal atau
cedera lisfranc yang memerlukan tindakan ORIF maka dianjurkan
melakukan metode insisi dorsal. Insisi dibuat sepanjang aksis tulang
metatarsal ke dua dan ke empat dilanjutkan dengan diseksi tumpul untuk
membebaskan kompartmen sisanya.
-
Jika disertai dengan trauma hindfoot, suatu insisi medial yang tersendiri
perlu dibuat dekat origo otot abductor hallucis untuk dekompresi
kompartmen calcaneal.
-
Untuk cedera midfoot yang tidak memerlukan open repair dan untuk kasus
dengan isolated hindfoot trauma dapat digunakan insisi longitudinal tunggal
pada plantar medial.
-
Insisi ini mengikuti perjalanan otot abduktor hallucis dan metatarsal
pertama.
-
Insisi ini dapat diperluas ke proksimal untuk dekompresi tarsal tunnel.
-
Fasciotomy dibiarkan terbuka dengan delayed primary closure biasanya
dilakukan pada hari ke 5 dan 7. Jika perlu dapat dilakukan split-thickness
skin graft.

KOMPLIKASI
-
Late contracture dapat timbul akibat kompartmen syndrome.
-
Deformitas yang sering terjadi pada kompartmen ini adalah claw toe.
Kadang terjadi cavus posterior disertai gangguan pada otot intrinsik.
-
Mengingat hubungan antara kaki dan tungkai bawah, kemungkinan
kontraktur ini timbul akibat isolated deep posterior compartemen syndrome.
-
Efek tenodesis tendon ekstrinsik pada kaki dapat timbul sewaktu fleksi
plantar ankle dan dorsifleksi akibat gangguan calf oleh cedera.

CEDERA FOREFOOT

PENDAHULUAN
-
Merupakan fraktur derngan persentase tertinggi untuk cedera pada kaki.

FRAKTUR METATARSAL

156
-
Umumnya timbul akibat trauma langsung, seringkali oleh benda berat yang
jatuh menimpa dorsum pedis.
-
Keberhasilan penanganan fraktur ini tergantung pada kemampuan untuk
memulihkan distribusi normal gaya berat badan.

PENANGANAN
-
Sebagian besar fraktur shaft metatarsal yang isolated dapat ditangani secara
nonoperatif.
-
Foto rontgen lateral perlu dinilai secara hati-hati untuk mengetahui ada
tidaknya displacement sagittal.
-
Daerah metatarsal yang menyembuh dengan displacement plantar yang
cukup nyata akan menimbulkan peningkatan penerimaan beban berat
(weight bearing) yang terisolasi khusus di daerah tersebut dan potensial
untuk terjadinya keratosis plantar yang disertai nyeri.
-
Fraktur displace metatarsal pada transversal plane umumnya dapat
ditoleransi.
-
Angulasi medial atau lateral yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
mekanis dan neuroma interdigitalis.
-
Pergeseran lateral dari metatarsal ke lima atau pergeseran ke medial dari
metatarsal pertama akan menyebabkan kesulitan dalam mencari sepatr yang
tepat serta iritasi jaringan lunak.
-
Multiple fraktur shaft metatarsal yang displaced, seperti halnya multiple
fraktur metacarpal pada tangan, adalah unstable dan umumnya
membutuhkan ORIF.
-
Insisi longitudinal dibuat diantara intermetatarsal space dan fiksasi dapat
digunakan K wire atau plate dan screws.
-
Immobilisasi dan non weight bearing yang berkepanjangan akan
mengakibatkan :
1. Osteopenia
2. Disuse atrophy, dan
3. Dystrophy refleks symphatetic
-
Weight-bearing dini dengan perlindungan rigid-soled device seperti sandal
atau cast dianjurkan dipakai pada fraktur nondisplace atau minimally
displaced.
-
Secara garis besar, fraktur displace yang refrakter terhadap reduksi tertutup
memerlukan tindakan yang lebih invasive.
-
Sejumlah penulis menganjurkan tindakan operatif jika angulasi pada
fragmen distal dalam segala plane > 100 atau displacement > 3-4 mm.
-
Fraktur shaft atau neck metatarsal dapat ditangani dengan traksi
longitudinal dan manipulasi. Short leg cast dianjurkan dipasang selama 4-6
minggu, dan weioght bearing dimulai setelah penderita dapat
mentoleransinya.
-
Multiple fraktur displace neck metatarsal biasanya dapat direduksi dengan
traksi longitudinal dan biasanya tetap stabil setelah traksi..
157
-
Keadaan ini semua membatasi tindakan ORIF walaupun weight-bearing
harus tertunda selama 3 minggu sementara pasien diimmobilisasi dengan
short leg cast.
-
Fraktur head metatarsal relatif jarang terjadi, dan kalaupun terjadi
membutuhkan evaluasi yang cermat.
-
Fraktur head metatarsal biasanya terjadi akibat trauma langsung dan perlu
untuk menyingkirkan cedera sendi metatarsal proksimal atau sendi
tarsometatarsal.
-
Fragmen intra artikular biasanya displace ke plantar atau lateral.
-
Fraktur subtle osteochondral pada caput metatarsal biasanya terjadi akibat
shear injury akibat dislokasi dorsal sendi metatarsophalangeal..
-
Traksi secara hati-hati disertai manipulasi dapat menghasilkan reduksi yang
stable.
-
Redukdi terbuka diperlukan jika terjadi pelepasan jaringan lunak di tulang.
-
Jika fraktur unstable setelah reduksi, digunakan fiksasi K wire interosseus.
-
Komplikasi yang sewring timbul adalah stiffness (kekakuan) dan arthritis
traumatik.
-
Nekrosisi avaskular belum pernah dilaporkan terjadi pada fraktur ini.

FRAKTUR METATARSAL KE LIMA


-
Yang sering terjadi adalah fraktur avulsi pada basis metatarsal ke lima.
Peneybabanya adalah inversi mendadak seqaktu m,. peroneus brevis
berkontraksi untuk mencegah inversi lanjut dari kaki.
-
Fragmen fraktur mempunyai ukuran yang bervariasi namun harus bisa
dibedakan dari kegagalan fusi dari apophysis.
-
Walaupun dengan displacement yang nyata (> 1 cm) fraktur ini dapat
ditangani secara simptomatis.
-
Untuk penanganan simptomatis dapat digunakan :
1. Wooden-soled shoes (sepatu bersol kayu)
2. Cast
3. Splints
4. Soft wraps
-
Walaupun ORIF dapat digunakan pada penderita seorang atlit olahraga,
namun belum ada laporan yang menyokong tindakan ini akan memperbaiki
prognosis dan mempercepat penyembuhan.
-
Clinically union biasanjya terjadi setelah 3 minggu dan radiographic uinion
pada 6-8 minggu.
-
Walaupun fraktur dengan displaced yang nyata dapat menyebabkan
nonunion, namun jarang bersifat simptomatik.
-
Pada kasus yang simptomatik, dapat dilakukan tindakan eksisi fragmen
proksimal dengan reattachment tendon peroneus brevis.
-
Yang memerlukan pertimbangan dan tindakan khusus adalah fraktur
diaphysis metatarsal ke lima.

158
-
Fraktur pada bagian proksimal diaphysis metatarsal, distal dari tuberositas
disebut sebagai Jones fracture.
-
Meskipun fraktur ini dapat timbul akibat mekanisme trauma direk maupun
indirek namun sebagian besar kasus terjadi akibat stress berulang-ulang
pada atlit.
-
Insidens tertinggi ditemukan pada para pemain basket ball
-
Sering ditemukan riwayat perasaan tidak nyaman sepanjang tepi lateral kaki
2 minggu atau lebih sebelum terjadinya fraktur.
-
Perubahan vaskularisasi terjadi pada daerah fraktur, dengan daerah
watershed pada bagian proximal diaphysis.
-
Dua sistem klasifikasi telah diajukan untuk menggambarkan fraktur ini.
-
Klasifikasinya didasarkan pada ada dan jumlah sclerosis intrameduller.

Klasifikasi Torg

Akut : tidak ditemukan sclerosis intrameduller


Delayed union : ditemukan sclerosis intrameduller
Nonunion : Sclerosis mengobliterasi secara komplit canalis medullaris
-
Delee et al menyatakan suatu cedera akut jika ditemukan prodormal
symptoms dan adanya sclerosis intrameduller.

PENANGANAN
-
Pada kasus dengan fraktur akut, pilihan penanganan adalah short leg cast.
-
Immobilisasi dipertahankan hingga terdapat tanda-tanda union radiografik,
biasanya setelah 8 minggu kemudian dilanjutkan dengan aktifitas terbatas
selama 6 minggu.
-
Indikasi operasi biasanya meliputi :
1. Fraktur stress,
2. Delayed union,
3. Nonunion,
4. Refraktur, atau
5. Kegagalan penanganan konservatif.
-
Operasi fiksasi biasanya dilakukan pada atletik yang sangat mengandalkan
kakinya atau kemungkinan refraktur besar terjadi akibat kegiatannya.
-
Fiksasi dapat dilakukan dengan intramedullary screw fixation dan aktivitas
weight bearing dilakukan bertahap dan dimulai pada minggu ke dua.
-
Penderita dapat kembali ke kegiatan semula setelah nyeri menghilang.
-
Delayed union dan non union dapat ditangani dengan tehnik intramedullary
screw ini.
-
Bila telah ada intramedullary sclerosis maka dianjurkan kuretase terbuka
dan bone graft.

159
18. DEFORMITAS LESSER TOES

PENDAHULUAN
-
Tujuan penanganan pada deformitas lesser toes adalah untuk memulihkan
fungsi, menghilangkan nyeri, dan memungkinkan pemakaian kaki serta
sepatu/sendal.

Anatomi dan Patofisiologi


-
Lesser toes terdiri dari 3 phalanges: proximal, middle, dan distal.
-
Phalanx proximal merupakan yang terpanjang dan mempunyai dua
tuberculum plantaris pada bagian basis sebagai tempat melekat mm.
Interossei
-
37% populasi mempunyai phalanx media yang berfusi dengan bagian distal
pada phalanx ke lima sehingga memberi gambaran radiologik 2 tulang ke
lima.
-
Phalanx media merupakan tempat insersi m. ekstensor longus di bagian
dorsal dan flexor digitorum brevis (FDB) di bagian plantarnya.
-
Phalanx distal merupakan tempat insersi terminal tendon ekstensor di
bagian dorsal dan flexor digitorum longus (FDL) pada aspek planatarnya.
-
Sendi interpahalangeal proximal (PIP) dan interphalangeal distal (FDIP)
memungkinkan fleksi jari 650 tanpa ada nya ekstensi.
-
Mekanisme ekstensor dari lesser toes dibentuk terutama oleh tendo extensor
digitorum longus (EDL) yang terletak sentral yang menerima bantuan gaya
dari bagian lateral oleh tendon extensor digitorum brevis (EDB) kemudian
terbagi menjadi 3 slip.
-
Tidak ada tendon ekstensorum digitorum brevis ke lima.
-
Slipn sentral berinseri pada basis phalnax media; 2 slips lainnya memanjang
ke distal melewati aspek dorsal phalnx media dan kemudian bergabung
dengan serabut-serabut lumbrical untuk membentuk tendon terminal yang
berinsersi pada basis phalanx distal.
-
Tendon sentral berada tetap ditempatnya karena dipegang oleh
fibroaponeurotic sling yang meluas dari sendi metatar sophalangeal (MTP)
pada phalanx proximal.
-
Sling ini berasal dari m. extensorus longus dan berinsersi di bagian plantar
dari plantar plate dari flexor tendon sheath dan ligamentum metatarsalis
transvarsalis profunda.
-
Ke arah distal, serabut ekstensor tersusun dari serabut-serabut yang ebrasal
dari m. interosseus palnataris dan m. lumbricales.
-
Bersamasama serabut ini menyokong phalanx proximal tanpa ada tendon
extensor sejati yang melekat ke tulang.
-
Apparatus extensor berfungsi sebagai dorsifleksor untuk phalanx proximal.
-
PIP mengalami ekstensi oleh apparatus uini hanya bila phalanx proximal
dalam keadaaan fleksi atau ditahan dalam posisi netral.

160
-
Sistem fleksor berjalan lebih lurus. FDB (suatu otot intrinsik, yang berasal
dari kaki sendiri) berorigo pada tuberculum medialis os calcaneus dan
berinsersi pada phlanx media dan menyebabkan fleksi PIP.
-
FDL (suatu otot ekstrinsik, yang berasal dari luar kaki) berorigo pada basis
phalanx distal dan mefleksikan DIP.
-
Tidak ada insersi fleksor pada phalanx proximal sehingga meminimalkan
kekuatan fleksi pada MTP.
-
Mm. Lumbricalis dan interossei (keduanya otot intrinsik) memberikan gaya
tambahan pada lesser toes.
-
M. lumbricalis origonya berasal dari tendo flexor longus dan berinsersi pada
bagian medial jari kaki.
-
Fungsi m. lumbricalis bersama m. interossei plantaris adalah untuk
mefleksikan MTP dan mengekstensikan sendi PIP dan DIP (meingnat posisi
kedua otot ini berada di plantar dari MTP dan dorsal dari PIP dan DIP untuk
aksis pegerakan).
-
M. interossei dorsalis berinsersi pada aspek lateral phalanges proximal
serta expansi ekstensor.
-
M. interossei plantaris berinsersi pada sisi medial phalanges proximal ke
dua, tiga, dan empat, serta ke lima, juga berinsersi pada ekspansi ekstensor.
-
M. Interossei, karena insersinya kurang pada mekanisme ekstensor maka
merupakan ekstensor sendi interphalang eal yang lemah diabnding m.
lumbricalis.
-
M. interossei, sendirian, berfungsi untuk abduksi dan adduksi lesser toes
dan menyatukan lesser toes sewaktu weight bearing.
-
Sendi distabilkan secara sagital (fleksi dan ekstensi) oleh plantar plate yang
dibentuk oleh capsula plantaris dan ke arah proximal berorigo pada
aponeurosis plantaris.
-
Struktur ini merupakan komponen utama penstabil sendi MTP sewaktu
ekstensi.
-
Sendi ini distabilkan secara coronal oleh ligamentum colla teralis medialis
dan lateralis.
-
Struktur kapsul, ligament collateralis medialis dan lateralis serta plantar
plates merupakan static constraint bagi lesser toes.

HAMMER TOES, CLAW TOES, MALLET TOES


-
Merupakan deformitas yang paling sering ditemukan pada lesser toes.
-
Timbul akibat pemakaian lama sepatu dengan ujung yang sempit.
-
Timbul sejalan dengan waktu dan pertambahan usia
-
Paling sering terjadi pada jari kaki ke dua. Lebih sering pada wanita (5,7 :1)
-
Rasa tidak nyaman pada daerah permukaan dorsal jari kaki hingga ke ujung
distal dan dapat timbul pertandukan (calus).
-
Callus disertai nyeri jika ujung jari menapak ke tanah.

PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK

161
-
Perlu menentukan apakah deformitas yang terjadi fleksibel atau rigid.
-
Deformitas felksibel akan terkoreksi secara pasif sewaktu penderita berdiri.
Sedangkan deformitas rigid tidak akan terkoreksi secara pasif ke posisi
netral.
-
Deformitas ringan hanya mengalami beberapa derajat fleksi dan deformitas
yang berat menyebabkan fleksi rigid yang komplit dari sendi yang terlibat.
-
Perlu diperiksa abnormalitas forefoot yang menyertai seperti hallux valgus
(yang membutuhkan koreksi agar tersedia ruang untuk sendi yang berada
didekatnya), keter-libatan lebih dari satu jari, serta alignment abnormal pada
lesser toes didekatnya.
-
Juga diperiksa pertandukan atau callus yang disertai nyeri, pilihan
penanganan sebelumnya termasuk operasi sebelumnya yang dapat membuat
approach untuk koreksi menjadi sulit.

RADIOLOGIK
-
Rutin diminta foto AP, lateral dan oblik.
-
Diperhatikan adanya abnormalitas tulang seperti degenera si, abnormalitas
alignment sendi termasuk subluksasi atau dislokasi serta malalignment
varus atau valgus.

HAMMER TOE
-
Adalah deformitas fleksi PIP
-
Phalanx media mengalami fleksi terhadap phalanx proksimal tetapi MTP
dan DIP tidak terlibat.
-
Penyebab tersering adalah pemakaian lama sepatu yang tidak cocok dengan
ujung yang sempit.
-
Penyebab lain adalah penyakit neuromuskular dengan imbalans otot seperti
pada
1. Penyakit Charcot-Marie-Tooth,
2. Cerebral palsy,
3. Friedereich ataxia,
4. Myelodipslasia, dan
5. Multiple sclerosis
-
Sindroma kompartmen dapat merupakan patogenesis yang mendasari
terjadinya kelainan ini, atau neuropati akibat diabetes mellitus atau penyakit
Morbus Hansen.
-
Pertandukan yang disertai nyeri dapat timbul dipermukaan dorsal PIP.

PENANGANAN

Nonoperatif
162
-
Penanganan awal harus berupa tindakan konservatif dengan ditujukan pada
modifikasi sepatu sehingga tersedia ruang untuk menampung deformitas
yang terjadi.
-
Menghindari pemakaian sepatu bertumit tinggi akan mencegah terjadinya
penebalan kulit pada jari.
-
Untuk deformitas yang fleksibel dapat digunakan splint elastik yang akan
memberikan tekanan pada plantar.
-
Bantalan kecil dapat digunakan dibawah jari untuk mencegah agar ujung
jari tidak menapak tanah.
-
Sejumlah ahli menganjurkan latihan peregangan untuk menjaga agar
deformitas tetap fleksibel.

Operatif
-
Hanya digunakan pada penderita dengan kegagalan pada penanganan
konservatif, dan penanganannya tergantung pada perjalanan alamiah
deformitas tersebut.
-
Hammer toe yang fleksibel dapat ditangani dengan perkutaneus FDL
tenotomy namun biasanya membutuhkan Girdlestone-Taylor flexor-to-
extensor transfer.
-
Approach dilakukan melalui plantar dan dorsal. Suatu insisi transversal
dibuat pada bagian atas MTP yang fleksi, flexor sheath dibuka dan FDL
(tendon yang paling tengah dengan raphe mediananya) dibebaskan bagian
distalnya pada phlanx distal perkutaneus. Tendon ditarik ke proximal dan
dikeluarkan melalui luka incisi dan dipisahkan pada bagian raphenya.
-
Insisi longitudinal dibuat pada phalanx proximal untuk mengungkapkan
tendon extensor. Hemostat dilewatkan dari dorsal ke plantar dekat phalanx
proximal dibawah neurovascular bundle dan superficial dari extensor
mechanism. FDL dari setiap jari dilewatkan melalui bagian dorsal ke
extensor mecahnism dengan jari fleksi 200 dan untuk menstabilkan dapat
digunakan K wore 0,045.
-
Rehabilitasi dimulai dengan weight bearing sedini mungkin dengan sepatu
khusus.
-
KI wire dan benang jahitan diangkat setelah 3 minggu dan toe taping
dilakukan selama 6 minggu.
-
Manipulasi pasif dilakukan dilakukan 6 minggu setelah pembedahan untuk
menjaga fleksibilitas.
-
Deformitas rigid (fixed) dilakukan DuVries arthroplasty.
-
Insisi eliptical dibuat diatas PIP dan diperdalam hingga ke tulang. Ligamen
collateral dibebaskan dan caput phalanx proximal direseksi hingga tak adak
lagi tegangan pada PIP.
-
Jika perlu, pembebasan FDL dapat dilakukan melalui capsula plantaris.
-
Sejumlah ahli melakukan reseksi permukaan artikular pada basis phalanx
media, namun hal ini tak perlu karena biasanya terbentuk fibrous union
pasca operasi dengan residual motion 150.
-
Untuk sementara, aligment dapat dipertahankan dengan K wire 0,045
melintas DIP atau dengan jahitan matras vertikal.

163
-
Rehabilitasi dengan weight bearing dini dan pengangkatan K wire atau
jahitan setelah 3 minggu. Toe taping dilakukan setelahnya selama 4-6
minggu.

CLAW TOES
-
Adalah deformitas hammer toe yang disertai hiperekstensi pada sendi MTP
sehingga sering terjadi metatarsalgia dan kemungkinan ulcus plantaris.
-
Timbulnya deformitas ini serupa dengan kondisi pada hammer toe termasuk
spinal cord injury, multiple sclerosis, myelodisplasia, polio, lumbar disc
disease, sindroma kompartmen, dan fraktur tibia
-
Claw toe sering timbul bilateral melibatkan beberapa jari kaki, dan dapat
disertai dengan deformitas cavovarus pada kaki.
-
Kelemahan otot intrinsik yang menyebabkan ketidak seimbangan otot dapat
merupakan penyebabnya.
-
Pemeriksaan awal ditujukan terutama pada diagnosis dan penyebabnya.
-
Deformitas ini diklasifikasikan berdasarkan pada fleksibiltas atau
rigiditasnya serta derajat deformitas pada sendi MTP dan PIP.

PENANGANAN
-
Penanganan konservatif ditujukan untuk menghilangkan gejala dan sama
dengan penanagan pada hammer toe.
-
Penanganan operatif sama dengan pada hammer toe padap sendi PIP tetapi
juga ditujukan pada sendi MTP.
-
Approach dilakukan pada insisi longitudinal dorsal tepat di atas MTP dan
ke bawah hingga ke tendon extensor. EDB ditenotomi dan EDL dilakukan
Z plasty atau tenotomi. Kapsul dibebaskan pada sisi medial, dorsal dan
lateral 1 cm dari plantar. Ligamentum collateralis juga dibebaskan.
-
Jari kaki distabilisasi dengan K wire 0,45 atau 0,62 dan melintas sendi
MTP.
-
Rehabilitasi sama dengan pada deformitas hammer toe.

MALLET TOE

-
Adalah deformitas dengan phalanx distal mengalami fleksi pada phalanx
media.
-
Biasanya acquired akibat sepatu yang berujung sempit.
-
Rasa tidak nyaman timbul jika permukaan dorsal dari DIP menapak tanah.

PENANGANAN
-
Tindakan pembedahan ditentukan oleh perjalanan penyakit.

164
-
Pada kasus yang masih fleksibel dapat dilakukan tindakan percutaneus FDL
tenotomy.
-
Pada kasus yang rigid (fixed) dapat dilakukan tindakan arthropalsty
DuVries pada DIP dengan fiksasi wire sementara melintasi DIP atau
dipakai Telfa Bolster.

CURLY TOE
-
Adalah keadaan phalanx media yang mengalami fleksi pada phalanx
proksimal dan phalanx distal mengalami fleksi pada phalanx media
sehingga terjadi deformitas fleksi pada sendi PIP dan DIP.
-
Kadang disertai dengan rotasi.
-
Deformitas ini dapat terjadi kongenital dan seringkali asimptomatik.

Penanganan
-
Deformitas curly toe yang simptomatik dilakukan tindakan tenotomy pada
tendon FDL yang mengalami kontraktur dan bertanggung jawab terhadap
terjadinya deformitas ini.
-
Approach untuk FDL tenotomy melalui insisi plantar oblik tepat diatas
phalanx media.
-
Untuk fikjsasi sementara pada sendi PIP dan DIP digunakan K wire dan
diangkat setelah 3 minggu.
-
Weight bearing dini dilakukan segera setelah pembedahan dan toe tapping
selama 4-6 mkinggu setelah pin dicabut.

DEFORMITAS METATARSOPHALANGEAL

INSTABILITAS MTP

Pemeriksaan fisik dan diagnosis


-
Paling sering mengenai jari kaki ke dua.
-
Dalam bentuk dini berupa subluksasi dengan phalanx proximal bergeser ke
dorsal sewaktu menjinjit sehingga timbul nyeri dan synovitis.
-
Dalam bentuk lanjut terjadi crossover jari kaki atau dislokasi ke dorsal dari
phalanx proximal terhadap caput metatarsal.
-
Instabilitas terjadi sebagai akibat plantar plate melemah dan kapsul sendi
meregang.

165
-
Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan nyeri sewaktu terjadi stres vertikal
pada sendi.
-
Uji tes vertikal (tes Lachman) dilakukan dengan menstabilkan caput
metatarsal dengan satu tangan sedang tangan yang satunya berusaha
menggeser basis phalanx proximal ke dorsal.
-
Adanya laksitas dan nyeri menunjukkan tes positif.
-
Pemeriksaan radiologik berdiri dapat memberi hasil normal karena phalanx
proximal hanya mengelami subluksasi sewaktu berjinjit.
-
Pada kasus dengan dislokasi yang nyata, kemungkinan sendi sudah tak
dapat direduksi, dan pemeriksaan rontgen menunjukkan dislokasi ke dorsal.
-
Deformitas hallux valgus sering disertai dengan dislokasi dan pasien
mengelauh callus yang nyeri di bagain bawah caput metatarsal yang
mengalami tekanan.
-
Sejalan dengan jari kaki mengalami subluksasi bahakn dislokasi maka akan
berkembang kontrsktur fleksi pada sendi PIP dan juga berkembang
deformitas hammer toe.

Penanganan
-
Pembedahan dialkukan berdasarkan deformitas yang terjadi.
-
Jika deformitas berupa subluksasi sendi MTP yang reducible maka
intervensi bedah melalui approach MTP secara insisi dorsal atau
longitudinal atau zigzag.
-
Jika tak ada kontraktur pada extensor mechanism, maka tendon diretraksi,
masuk sendi melalui capsulotomy dorsal, dan dilakukan synovectomy.
Selanjutnya dilakukan Girldestone-Taylor flexor to extensor transfer.
-
Jika ada deformitas hammer toe yang fixed maka ditambahkan arhtroplasty
DuVries, namun jika deformitas hammer toe felksible maka prosedur
Girdlestone-Taylor sudah cukup memadai.
-
Untuk stabilisasi ditambahkan K wire melalui ujung jari ke caput
metatarsal.
-
Jika ada deformitas hallux valgus maka pertimbang kan untuk menyediakan
ruang bagi koreksi alignment jari kaki ke dua.
-
Jika sendi MTP mengalami dislokasi, diperlukan tindakan yang lebih
ekstensif.
-
Insisi sama dengan di atas, tehnik untuk koreksi MTP juga sama dengan
koreksi pada claw toe, hanya saja 2-3 mm kartilago artikular dari caput
metatarsal perlu direseksi untuk memungkinakn reduksi total sendi.
-
Jika callus telah terbentuk pada bagian bawah caput metatarsal maka
dilakukan reseksi condylus plantaris sejalan dengan permukaan inferior
metatarsal shaft.
-
Deformitas hammer toe yang timbul dikoreksi sama seperti di atas, jika
perlu dengan transfer fleksor ke ekstensor atau arthroplasty DuVries.
-
Jari kaki untuk sementara distabilisasi dengan K wire 0,062 yang dipasang
mulai dari ujung kaki ke caput metatarsal dengan sendi MTP fleksi 200.
-
Weight bearing dini dilakukan dengan kaki memakai sepatu kayu.

166
-
Wire dan jahitan diangkat setelah 3 minggu; sendi PIP taped, dan sendi
MTP dimanipulasi secara pasif hingga ke alignment normal. Pasien
selanjutnya melakukan latihan fleksi jari kaki.

CROSSOVER JARI KAKI KE DUA


-
Adalah keadaaan jari kaki kedua yang mengalami deviasi ke medial dan
dorsal sehingga berada diatas ujung hallux.
-
Dapat timbul sebagai keadaan idiopatik atau sekunder karena rheumatoid
arthritis, sinovitis, atau trauma
-
Dapat disertai dengna hallux valgus atau hallux valgus interphalangeus.
-
Deformitas paling sering terjadi pada jari kaki ke dua, namun jari lainnya
dapat juga mengalami.
-
Erosi plantar plate, liamen collateral lateralis dan struktur kapsul
memungkinkan terjadi subluksasi sendi MTP ke dua dan deviasi ke medial
jari ke dua melewati hallux.

PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK


-
Pada tahap awal dari deformitas ini, sendi MTP ke dua mengalami
subluksasi namun masih reducible
-
Pada tahap lanjut, sendi mengalami dislokasi dan irreducible, dan timbul
deformitas fleksi pada sendi PIP yang dapati atau tidak dikoreksi secara
pasif, selanjutnya pada tahap yang sangat lanjut timbul callus disertai nyeri
dibawah caput metatarsal kedua.
-
Evaluasi tidak hanya difokuskan pada MTP kedua dan sendi PIP namun
juga posaisi hallux dan jari kaki ke tiga serta varus dari kaki untuk
menentukan apakah tersedia ruang untuk jari kaki kedua setelah dilakukan
realigment.
-
Koreksi deformitas yang menyertai perlu dilakukan lebih dulu sebelum
melakukan realigment.
-
Pemeriksaan fisik harus dapat menentukan ada tidaknya sinovitis pada sendi
MTP, neyri pada sela kaki kedua serta nyeri palpasi pada caput metatarsal
kedua pada bagian plantarnya.

KLASIFIKASI
-
Richardson mengembangkan sistem kalsifikasi beratnya crossover jari kaki
kedua.

Kalsifikasi Richardson

Mild deformity
-
Fleksibel
167
-
Subluksasi kurang dari sepertiga permukaan artikular caput metatarsal
proksimal

Moderate deformity
-
Fixed (rigid) pada sendi PIP
-
Subluksasi pada sepertiga hingga dua pertiga permukaan artikular caput
metatarsal
-
Robekan inkomplit ligamen collaterale laterale

Severe deformity
-
Dislokasi komplit MTP
-
Deformitas PIP yang fixed
-
Robekan komplit ligamentum collaterale laterale serta apparatus extensor.

Penanganan
-
Penanganan bedah tergantung pada beratnya deformitas
-
Untuk deformitas ringan dengan hanya deviasi medial sendi MTP kedua
dilakukan EDL lengthening dan EDB tenotomy dengan capsulotomy.
-
Untuk deformitas sedang hingga berat dengan sendi PIP fleksibel tindakan
berupa transfer fleksor ke ekstensor.
-
Deformitas yang moderat dengan sendi PIP fleksibel tindakan berupa
capsulotomy, EDL lengthening, serta EDB tenotomy. Sebagai tambahan
dapat dipertimbangkan transfer EDB ke plantar melalui tunnel (saluran)
pada bagian lateral extensor hood. EDB kemudian dijahit kembali ke
dirinya dan kapsul lateral diperbaiki.
-
Jika terjadi deformitas fixed pada sendi PIP perlu dilakukan arthroplasty
DuVries pada sendi PIP.
-
Jika deformitasnya berat padap PIP dilakukan arthropasty DuVries dan
sendi MTP di-realigment dengan capsulotomy, EDL lengthening, EDB
tenotomy sertya reseksi caput metatarsal setinggi MTP dapat direduksi
(biasanya 3-6 mm).
-
Reseksi dapat dilakukan dengan membuat sedikit sudut pada bagian lateral
untuk memudahkan realignment dan ujungnya dibuat bulat.
-
Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin.

BUNIONETTE ATAU TAILOR’S BUNION

-
Adalah deformitas pada jari kaki ke lima dengan gambaran penonjolan
condylus lateralis dari caput metatarsal.
-
Ada beberapa tipe bunionettes, tergantung pada tempat deformitasnya.

Tipe pertama
Berupa penonjolan besar condylus lateralis dari caput metatarsal ke lima..
Bentuk ini serupa dengan medial eminence pada deformitas hallux valgus

168
Tipe kedua
Berupa sudut metatarsal yang besar (wide divergence) antara metatarsal ke
empat dan ke lima.
Normalnya sudut intermetatarsal (IM) ke empat dan ke lima sebesar 6 0.
Sudut sebesar 80 atau lebih akan menimbulkan gejala.

Tipe ketiga
Berupa lengkungan diaphysis ke lateral yang abnormal.
Akibatnya akan terbentuk penonjolan condylus lateralis meskipun ukuran
caput metatarsalnya normal.

PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK


-
Pemeriksaan hanya ditemukan nyeri dan bursa yang mengalami inflamasi di
atas condylus lateralis.
-
Sejalan dengan waktu akan berkembang callus di daerah lateral, plantar,
atau plantar lateral disertai nyeri.
-
Dapat disertai dengan splayfoot (bunionette dengan deformitas hallux
valgus dan disertai pertambahan sudut IM pertama dan ke dua) atau pes
planus.
-
Ukuran caput metatarsal ke lima diukur dan diperiksa ada tidaknya
lengkungan lateral diaphysis.
-
Sudut MTP ke lima dan sudut IM ke empat dan ke lima juga diukur
termasuk hallux valgus dan sudut IM pertama dan ke dua.

PENANGANAN
-
Intervensi bedah diperlukan jika timbul callus yang disertai nyeri dan
penderita mengeluh tidak dapat memakai sepatu.
-
Pembedahan ditujukan pada abnormalitas anatominya.
-
Jika timbul condylus lateralis yang besar, maka dibvuat approach lateral
diatas penonjolan dan insisi kapsular dibuat untuk memaparkan caput.
Selanjtunya condylus dapati direseksi dengan osteotom atau gergaji dan
tepinya diperhalus. Capsula medialis dibebaskan dengan menarik sendi
MTP dan capsula lateralis diperkecil.
-
Pasca operasi penderita boleh ambulasi dengan sepatu pasca operasi.
-
Jika yang terjadi lengkungan ke lateral diaphysis atau sudut IM ke empat
dan ke lima yang besar maka dilakukan osteotomi untuk mengoreksi
deformitas.
-
Ada banyak macam osteotomi, tetapi yang paling sering dilakukan adalah
osteotomi distal biasanya dengan varietas chevron.
-
Approach kulit dibuat di midlateral, kapsula diinsisi dengan model inverted
L. Stripping minimal jaringan lunak dilakukan. Selanjutnya dibuat vreseksi
eminence lateral antara 2-3 mm dengan arah sagital. Kurang lebih 1cm dari
sendi, dengan gergaji sagital dibuat proximally based horizontal chevron

169
dengan sudut 600, dan caput metatarsal ditranslasi ke medial kurang lebih 3
mm dan diimpaksi.
-
Jika digunakan fiksasi dipakai K wires dan condylus lateralis yang masih
menonjol direseksi.
-
Ambulasi dilakkan pasca operasi sedini mungkihn dengan sepatu pasca
operasi.
-
Jika ada callus di plantar atau plantar-lateral, karena chevron saja tidak
memungkinkan translasi ke dorsal, maka digunakan oblique midshaft
osteotomy. Condylus yang menonjol direseksi dan digunakan gergaji untuk
untuk membuat osteotomi diaphyseal.
-
Pisasu diarahkan dari dorsal proksimal ke plantar distal dan ke sephalad
untuk mengangkat fragmen distal.
-
Osteotomy dipertahankan dengan K wires atau screws.
-
Ambulasi dilakukan segera setelah operasi dengan sepatu pasca operasi dan
K wire diangkat setelah 6-8 minggu.
-
Kompliklasi berupa delayed union, nonunion dan under correction atau
overcorrection.

DEFORMITAS COCK-UP JARI KE LIMA

-
Adalah deformitas dorsifleksi sendi MTP ke lima sehingga terjadi sudut
artikulasi hingga sebesar 900 pada sendi tersebut.
-
Sering disertai dengan deformitas hammer toe yang fixed

Penanganan
-
Penanganan nonoperatif ditujukan dengan pemakaian sepatu yang
dimodifikasi untuk memuat deformitas yang terjadi
-
Untuk deformitas cock-up yang ringan tapi disertai dengan deformitas
hammer toe dilakukan tindakan bedah ditujukan pada sendi MTP dengan
EDL lengthening atau tenotomy, soft tissue release, dan perbaikan hammer
toe.
-
Untuk deformitas yang berat dilakukan prosedur Ruiz-Mora. Approach
melalui insisi elliptical plantar. FDL ditenotomy, phalanx proximal
direseksi secara partial atau total, dan luka operasi ditutup dengan jari kaki
dipertahan kan dalam posisi terkoreksi.
-
Ambulasi dilakukan segera dan jahitan diangkat setelah 3 minggu.

19. FRAKTUR DAN DISLOKASI TANGAN

PENDAHULUAN

170
-
Cedera skeletal pada tangan sangat sering terjadi mengingat tangan sangat
rentan dan sering terpapar terhadap stres baik karena aktivitas sehari,
kecelakaan maupun kegiatan olah raga.
-
Tangan digunakan sebagai suatu pertahanan sewaktu jatuh dan secara
agresif sewaktu bergiat serta seringkali mengalami kerusakan karena
gerakan berlebihan.
-
Pengetahuan dan pemahaman mengenai hubungan anatomis yang kompleks
antara komponen skeletal dan jaringan lunak sekitarnya sangat penting
dalam mengoreksi cedera pada tangan.
-
Penanganan fraktur dan dislokasi pada metacarphal dan phalangeal
ditujukan untuk mengeliminasi deformitas skeletal yang terjadi serta
obstruksi tulang selama fase penyembuhan dan memungkinkan pergerakan
sedini mungkin sendi, pergerakan tendon untuk menghindari kontraktur
serta perlekatan.
-
Meskipun sebagian besar fraktur pada tangan dapat ditangani secara
nonoperatif namun kemajuan dalam miniatur fiksasi internal dan eksternal
semakin membuka lebar indikasi intervensi bedah.

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Fraktur phalanx distal sering disertai dengan cedera struktur khusus seperti
nail plate dan nail bed.
-
Basis phalanx distal merupakan tempat insersi flexor digitorum profundus
pada aspek volar dan terminal dari tendon extensor pada aspek dorsal.
-
Central slip dari extensor mechanism berinsersi pada aspek dorsal proximal
lip phalanx media.
-
Flexor digitorum superficialis memepunayi insersi yang luas, sepanjang
volar shaft dari phalanx media.
-
Phalanx proximal di bagian dorsal dibungkus oleh extensor hood.
-
Mm. Interossei berada di palmar dari ligamenta intermeta carpal dan
mempunyai insersi pada basis phalanx proximal.
-
Fraktur phalanx proximal khas memberikan ambaran angulasi palmar
sebagai akibat ketidak seimbangan gaya antara tendon flexor dengan
extensor.
-
Mm interossei mefleksikan fragmen proximal sedangkan extensor hood
memperpendek dan mengangulasi tulang.
-
Angulasi palmar yang progresif dari phalanx proximal secara efektif
memperpendek panjang skeletal (khas ke dorsal), sehingga terjadi
mekanisme extensor yang inkompeten serta extensor lag (celah extensor).
-
Angulasi pada fraktur phalanx media mempunyai gambaran yang
tergantung dari lokasi fraktur yang terjadi.
-
Pada fraktur seperempat proximal, phalanx menghalami angulasi dengan
apex ke dorsal akibat ketidak seimbangan gaya tarik central slip.
-
Fraktur pada midshaft dapat mengalami angulasi ke dorsal atau ke palmar.

171
-
Fraktur pada seperempat distal memberikan gambaran angulasi dengan
apex ke palmar akibat kuatnya gaya tarik fleksor superficialis pada fragmen
proximal.
-
Angulasi shaft ke apex dorsal merupakan gambaran khas pada fraktur
metacarpal akibat tarikan mm. Interossei.
-
Tepi metacarpal (jari telunjuk dan kelingking) mengalami pemendekan
akibat tidak adanya efek suspensoris dari metacarpal di sebelahnya yang
dapat bertindak sebagai penyokong melalui ligamen intercarpalia.
-
Fraktur shaft metacarpal dan phalanx dapat diklasifikasi-kan berdasar
gambaran fraktur yang terjadi : transversal, oblik, spiral, atau comminuted.
-
Gaya beban axial umumnya menyebabkan fraktur trans-versal.
-
Gaya torsional akan menyebabkan pola fraktur spiral atau oblik.
-
Direct impact sering menyebabkan pola fraktur comminuted dan fraktur
memendek.
-
Karena anatomi sendi, kapsul, dan ligamen collateral dari sendi
metacarpophalangeal berada dalam tegangan maksi -mal pada posisi flexi
penuh, maka pemasangan splint atau cast dari sendi metacarpophalangeal
harus dalam posisi flexi untuk menghindari kontraktur sendi.
-
Sendi interphalangeal akan mengalami kekakuan pada posisi felxi sehingga
hareus diimmobilisasi dalam posisi extensi.

PEMERIKSAAN FISIS DAN DIAGNOSIS


-
Perlu diketahui mekanisme trauma, usia dan penyebab fraktur atau
dislokasi.
-
Pilihan penanganan tergantung pada kehendak penderita, jenis pekerjaan,
kidal atau bukan, kebutuhan pemakaian tangan serta kosmetik.
-
Pemeriksaan harus dapat mengidentifikasi tempat nyeri maksimum, lokasi
luka terbuka, kondisi tendo flexor dan extensor, serta status neurovascular.
-
Pemeriksaan jari terhadap deviasi ulnar dan radial, angulasi volar atau
dorsal, dan pemeriksaan panjangnya dilakukan secara fisis dan radiologik.
Juga diperiksa alignment rotational.

RADIOLOGIK
-
Pemeriksaan radiologik berupa foto true AP, lateral, dan oblique views.
-
Untuk fraktur metacarpal, pronasi dan supinasi view sebesar 10 0 akan
membantu mevisualisasi jari telunjuk dan kelingking.
-
Karena tumpang tindih jari pada foto lateral maka dianjurkan foto fan
lateral dengan jari-jari fleksi dengan derajat yang bertambah dari radial ke
ulnar untuk mencegah tumpang tindih tersebut.
-
Untuk fraktur intra artikular, foto oblique dan Brewerton dapat membantu
memudahkan menilai permukaan artikular. Kadang diperlukan CT scan atau
tomogram.

172
PENANGANAN

FRAKTUR PHALANGEAL

Penanganan nonoperatif
-
Fraktur phalangeal distal extra articular biasanya ditangani secara tertutup
dengan protective splinting.
-
Penanganan untuk fraktur phalangeal distal dilakukan segera, cedera ikutan
seperti cedera jaringan lunak, nail bed, kehilangan jaringan, dan neurinoma
-
Fraktur Mallet adalah avulsi tulang pada tempat insersi terminal tendo
extensor pada basis phalanx distal.
-
Sebagian besar fraktur Mallet ditangani secara nonoperatif dengan splint
extensi selama 6-8 minggu.
-
Penanganan bedah untuk fraktur Mallet hanya dilakukan jika terjadi
subluksasi sendi DIP, walaupun hasil yang baik dapat dicapai dengan
nonoperatif tanpa memandang subluksasi sendi atau ukuran dan jumlah
pergeseran dari fragmen tulang.
-
Sangat penting untuk membedakan antara fraktur yang stable dengan
unstable pada fraktur phalangeal sehubungan dengan penanganan awalnya.
-
Fraktur nondisplaced cenderung untuk stable dan dapat diimmobilisasi
selama 3 minggu sebelum dimulai latihan pergerakan.
-
Kadang kala fraktur bergeser sehingga perlu dilakukan foto kontrol setelah
beberapa hari dengan interval minggu untuk menyakinkan bahwa alignment
tetap terjaga.
-
Fraktur displace dapat direduksi dengan digital block anestesia.
-
Angulasi lebih dari 100 dalam setiap plane pada fraktur shaft phlangeal
media dan proximal atau malalignment rotasional tidak dapat diterima.
-
Jari tangan dapat di immobilisasi dengan malleable finger splints atau
dengan gutter splint atau diikat dengan jari di sebelahnya.
-
Immobilisasi harus dapat mempertahankan sendi MP dalam fleksi penuh
dan sendi IP dalam extensi untuk mencegah kontraktur kapsul.
-
Pergerakan aktif harus dilakukan sebelum 4 minggu, paling baik 3 minggu,
jika secara klinis stabil dan penyembuhan memungkinkan untuk itu.
-
Tanda radiologis union tidak boleh digunakan sebagai indikasi untuk
memulai ROM tanpa memandang secara klinis.

Penanganan operatif
-
Penanganan pilihan untuk fraktur shaft phalangeal yang unstable adalah
fiksasi dengan pin halus.
-
Jika perlu dilakukan reduksi terbuka maka lebih baik memakai fiksasi
internal yang rigid, karena hal ini memungkinkan pergerakan aktif lebih
dini dan memperba iki hasilnya secara fungsional.
-
Fiksasi internal pada fraktur tangan baik dengan menggunakan lag screws,
tension banding, atau plate and screws akan menurunkan insidens
kekakukan sendi dan adhesi tendon.
173
-
Insersi dilakukan melalui midlateral kecuali pada aspek proximal dari
phalanx proximal dipakai insersi dorsolateral mengingat desakan ruangan.
-
Hasil fungsional yang dicapai amat bergantung pada parahnya cedera awal.
-
Keuntungan mini-external fixation pada fraktur jari tangan adalah :
1. Exposur bedah tidak ada atau minimal,
2. Stabilitas yang memadai,
3. Dapat memanipulasi reduksi yang inadekuat, atau
4. Dapat mereduksi fraktur yang mengalami displaced sekunder.

CEDERA SENDI PIP

Penanganan nonoperatif
-
Dislokasi dorsal murni dari sendi PIP merupakan cedera artikular yang
paling sering terjadi pada tangan.
-
Sekali dapat tereduksi sendi PIP biasanya stabil dan dapat segera
dimobilisasi dengan buddy taping pada jari disebelahnya.
-
Sekuele jangka panjang yang sering terjadi adalah kontraktur.
-
Dislokasi palmar merupakan cedera yang berat namun jarang terjadi dan
kadang diserttai dengan ruptur ligamen collaterale di sebelah proximal dan
disrupsi dari central tendon.
-
Lateral bands atau central tendon sering mengalami interposisi pada sendi
sehingga menghambat reduksi.
-
Jika ekstensi aktif penuh dapat dicapai maka pergerakan dini dapat dimulai.
-
Jika penderita tak dapat melakukan ekstensi aktif penuh berarti terjadi
ruptur central slip dan PIP harus diimmobi-lisasi dalam ekstrensi penuh dan
ditangani sebagai cedera boutonniere tertutup.
-
Fraktur subluksasi atau dislokasi pada sendi PIP dapat terjadi ke arah
dorsal dengan fraktur volar lip atau ke arah volar dengan fraktur avulsi
dorsal pada tempat insersi central slip.
-
Fraktur dislokasi dorsal biasanya merupakan cedera kompresi aksial dan
dapat copmminuted kadang melibatkan bagian substansial dari permukaan
artikular volar.
-
Jika < 40% permukaan artikular yang mengalami fraktur, maka reduksi dan
ekstensi blok splint dengan posisi flexi moderat biasanya dapat
mempertahankan sendi tetap tereduksi.
-
Fraktur dislokasi volar dengan avulsi central slip ditangani sebagai dislokasi
volar murni dan dilakukan splint statik dalam posisi ekstensi penuh untuk
komponen boutonniere. Tindakan operatif hanya dilakukan jika reduksi
sendi yang kongruen tak dapat dicapai atau dipertahankan.

Penanganan Operatif
-
Pada fraktur dislokasi dorsal jika reduksi yang kongruen tak dapat
dipertahankan setelah dilakukan reduksi, perlu dipertimbangkan tindakan
volar plate arthroplasty atau fiksasi internal jika fragmen cukup besar.
-
Fraktur comminution yang hebat ayau fraktur depresi artikular memerlukan
tindakan fiksasi eksternal statik, fiksasi eksternal gantung (hinged) atau
splint traksi dinamik.
174
-
Fraktur unicondylar atau bicondylar pada phalanx proximal dapat dtindaki
dengan fiksasi K wire atau fiksasi miniscrew atau microscrew.
-
Plate minicondylar dapat pula digunakan pada fraktur intra artikular.
-
Tindakan arthroplasty silastic, arthrodesis dan interpositional arhtroplasty
pada fraktur sendi PIP yang unsalvageable dapat memulihka panjang dan
stabilitas jari namun mengorbankan mobilitas jari.
-
Suatu implant yang disebut Swanson hinged dapat digunakan secara kaut
pada fraktur intraartikular yang unsalvageable dan memungkinkan
pergerakan aktif dengan kisaran hingga 200 pada sendi PIP.

FRAKTUR METAKARPAL

Penanganan nonoperatif
-
Fraktur collum metakarpal timbul akibat beban aksial terhadap kepalan jari
dan sering kali disertai dengan cedera jari manis dan kelingking.
-
Kebanyakan ahli sepakat bahwa setiap deviasi/deformitas rotasional atau
lateral pada metakarpal harus dikoreksi.
-
Jumlah total angulasi apeks dorsal yang dapat diterima (sekunder akibat
tarikan m. interossei) bervariasi.
1. <150 pada jari telunjuk dan jari tengah metakarpal karena kedua jari ini
sendi carpometacrapal (CMC)nya lebih rigid.
2. Pada jari manis dan jari kelingking angulasi hingga 35 0 dan 450 ke dorsal
dapat diterima.
3. Deformitas angulasi hingga 700 pada metakarpal ke lima akan disertai
dengan kehilangan fungsi.
-
Sebagian besar fraktur shaft metacarpal dapat ditangani dengan reduksi
tertutup dan exsternal splinting.
-
Walaupun angulasi pada fraktur shaft metacarpal dapat ditoleransi dengan
baik namun perlu dipertimbangkan reduksi pada fraktur dengan angulasi >
300 pada jari kelingking, 20 0 pada jari manis, dan setiap angulasi pada jari
tengah dan telunjuk.
-
Shortening hingga 0,5 cm pada fraktur comminuted tidak akan
mempengaruhi fungsi
-
Penanganannya berupa immobilisasi hingga ke pergelangan tangan dan
keseluruhan jari atau, seperti pada fraktur phalangeal, dorsal extension
block splint dengan pergelangan tangan dalam posisi ekstensi dan seni MP
dalam posisi fleksi.

Penanganan operatif
-
Dianjurkan pada :
1. Fraktur metakarpal terbuka,
2. Fraktur dengan malalignment rotational atau lateral,
3. Fraktur dengan angulasi yang menimbulkan penonjolan ke dorsal, dan
4. Knuckle deformity pada pasien yang menginginkan kesempurnaan
kosmetik.
175
-
Pada fraktur shaft metacarpal, setiap malalignment rotasional tidak dapat
diterima.
-
Rotasi sebesar 50 akan menyebabkan overlap jari sebesar 1,5 cm.
-
Fiksasi terbuka atau percutaneus pada fraktur shaft metacarpal dianjurkan
pada :
1. Fraktur yang unstable
2. Fraktur intra artikular displaced
3. Fraktur terbuka yang displaced
4. Fraktur multiple
5. Fraktur dengan segmental bone loss
6. Fraktur dengan cedera jaringan lunak hebat
-
Kurang lebih 10% penderita dengan fraktur metakarpal (dan phalangeal)
merupakan fraktur yang irreducible dengan manipulasi tertutup atau tidak
cocok dengan percutaneus pinning dan membutuhkan penanganan terbuka.
Untuk keadaan demikian dapat digunakan fiksasi internal AO yang miniatur
dengan miniscrew atau microscrew dan plate sehingga bisa mobilisasi dini.
Approachnya melalui insisi dorsal.
-
Fiksasi eksternal digunakan pada :
1. Fraktur yang terbuka
2. Fraktur comminuted
3. Fraktur dengan cedera jaringan lunak yang hebat
4. Fraktur dengan fragmen bone loss
-
Keuntungan dan kerugian fiksasi eksternal tidak beda jauh dengan fiksasi
eksternal pada fraktur phalangeal namun hasilnya jauh lebih baik.
-
Fraktur pada basis metakarpal relatif stabil namun demikian, sekecil apapun
malalignment rotasional yang terjadi akan berefek ganda pada ujung jari
dan akan mengganggu fungsi jari.
-
Fraktur pada daerah ini sering diakibatkan oleh crush injury tapi dapat juga
oleh avulsi m. extensor carpi radialis brevis atau longus pada basis
metakarpal II dan III.

CEDERA ARTIKULAR SENDI MP DAN CMC


-
Cedera sendi metacarpophalangeal (MP) lebih jarang terjadi dibanding
cedera pada sendi interphalangeal proxi- mal.
-
Hasil penanganan yang jelek pada sendi ini akan berpe-ngaruh pada fungsi
tangan.
-
Fraktur intra artikular dengan fragmen intra artikular yang besar dapat
ditangani dengan open reduksi dan fiksasi K wire, minifragmen atau
microfragmen screw atau plate minicondylar.
-
Dislokasi sendi MP sering ke dorsal. Dislokasi simple dapat ditangani
dengan reduksi tertutup.

176
-
Dislokasi kompleks membutuhkan reduksi traksi dan manipulasi karena
interposisi volar plate dan efek m. lumbricals pada satu sisi dan tendon
flexor pada sisi sebelah collum metacarpal. Dengan demikian fraktur ini
irreducible dan dibuthkan reduksi terbuka yang dapat dilakukan melalui
approach volar.
-
Fraktur dan dislokasi sendi carpometacarpal (CMC) pada jari relatif jarang
terjadi dan sering diagnosa terlambat akibat radiograf yang tidak adekuat
pada waktu penialian awal.
-
Fraktur ini sering akibat cedera energi tinggi, pembeng-kakan dan nyeri
menunjukkan kecurigaan terhadap cedera ini.
-
Dislokasi ini dapat ditangani dengan reduksi tertutup dan percutaneus
pinning tetapi jika terjadi interposisi frgamen fraktur atau cedera ligamen
maka dibutuhkan reduksi ter-buka dengan approach dorsal.

FRAKTUR DAN DISLOKASI IBU JARI


-
Fraktur phalanges ibu jari dievaluasi dan ditangani seperti jari lainnya.
-
Fraktur metakarpal ibu jari tangan berbeda dengan fraktur metakarpal
lainnya.
-
Fraktur shaft jarang terjadi menginghat kurangnya struktur yang mefiksasi
bagian proksimal metakarpal.
-
Gaya yang diterima akan diteruskan melalui diaphysis yang rigid menuju
basis cancellous yang lebih lembut dimana terjadi fraktur metaphyseal atau
intra articular.
-
Angulasi hingga 300 pada fraktur basis ekstra artikular masih dapat
ditoleransi karena pergerakan kompensasi yang besar pada sendi CMC.
-
Angulasi yang berlebihan dapat menyebabkan hipereksten si adaptive pada
sendi MP.
-
Sendi CMC pada ibu jari merupakan artikulasi yang terspesialisasi yang
dirancang untuk memungkinkan pergerakan mencubit (pinch), meremas,
dan oposisi sementara mempertahankan gaya kompresif sendi yang
mengalami perkuatan hingga 10 kali melalui metacarpal ibu jari.
-
Fraktur dan dislokasi pada sendi basilar ibu jari timbul akibat gaya aksial
yang diteruskan ke shaft metakarpal yang mengalami fleksi partial.
-
Fraktur Bennett adalah fraktur intra artikular dengan fragmen metakarpal
kecil ke volar.
-
Fraktur Rolando pada dasarnya adalah fraktur intra artikular berbentuk T
atau Y yang sering comminuted akibat gaya cedera yang berat.
-
Fragmen volar pada kedua jenis konfigurasi fraktur ini tetap melekat pada
ligamen obliquus anterior sedangkan basis dari shaft mengalami displaced
dengan arah dorsal dan radial akibat tarikan m. abductor pollicis longus dan
distal metakrapal mengalami adduksi akibat tarikan m. adductor pollicis.
-
Suatu penelitian serial menympulkan tidak adanya hubungan antara
incongruinitas articular dengan osteoartritis pascatraumatik simtomatik.

177
-
Dislokasi murni sendi CMC pada ibub jari jarang terjadi meskipun reduksi
sederhana dan gampang namun mempertahankan reduksi yang merupakan
masalah.
-
Immobilisasi dilakukan dengan posisi abduksi, elstensi dan pronasi.
-
Dapat pula dilakukan perkutaneus pinning selama 6 minggu untuk
mempertahankan reduksi.
-
Instabilitas kronis pada sendi CMC ibu jari membutuhkan stabilisasi dengan
rekonstruksi ligamen.

FRAKTUR TERBUKA DAN INFEKSI


-
Melimpahnya vaskularisasi pada tangan membuat fraktur terbuka pada
daerah in jarang mengalami infeksi dibanding fraktur daerah lainnya.
-
Tingkat infeks meningkat jika :
1. Adanya kontaminsai jaringan yang hebat.
2. Crush injury yang luas pada jaringan lunak dan skeletal.
3. Penyakit sistemik
4. penundaan dalam penanganan lebih dari 24 jam.
-
Namun demikian penundaan dalam 12 jam tidak mening-katkan insidens
infeksi ataupun mempengaruhi hasil pe-nanganannya.
-
Infeksi tidak meningkat dengan :
1. Fiksasi internal,
2. Penutupan segera luka,
3. Cedera vaskular, tendon atau saraf, dan
4. Ukuran luka yang luas
-
Penutupan sekunder luka dianjurkan untuk luka dengan kontaminasi yang
luas.

20. CEDERA SENDI RADIOULNAR DISTAL DAN TRIANGULAR


FIBROCARTILAGE COMPLEX

PENDAHULUAN
-
Mengingat pergerakan yang halus pada tangan serta kegiatan yang
membutuhkan kekuatan seringkali merupakan pergerakan yang rumit dan
melibatkan gerakan fleksi, ekstensi, pronasi, dan supinasi sehingga cedera
pada sendi radioulnar distal dan triangular fibrocartilago complex (TFCC)
akan menyebabkan gangguan / kecacat-an pada pergerakan ini.

178
-
Cedera pada daerah ini akan menyebabkan gangguan pada jaringan lunak
dan tulang dan menimbulkan masalah tersendiri.

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Sendi radioulnar distal terdiri dari 2 artikulasi yakni :
1. Caput ulnar berartikulasi dengan sigmoid notch os radius untuk
membentuk artikulasi distal bagio rotasi lengan bawah.
2. Permukaan artikulasi ulna distal yang berhadapan dengan permukaan
ulnar os carpus melalui TFCC.
-
Werner et al : kurang lebih 20% gaya diteruskan dari lengan atas ke lengan
bawah akan melalui sendi radiokarpal.
-
Hal ini tidak tergantung pada variasi ulnar, karena ketebalan TFCC
berbanding terbalik dengan variasi positif ulnar.
-
Jika variasi ulnar meningkat 2 mm, sebagai akibat pemanjangan ulna atau
pemendekan radius, maka gaya yang melintasi TFCC akan berlipat ganda.
-
Penderita dengan variasi ulnar positif akan mempunyai masalah pada sisi
ulnar pergelangan tangan. Bila gaya yang melalui sendi ulnocarpal
meningkat dengan nyata maka masalah akan semakin progresif.

KLASIFIKASI
-
Klasifikasikan menyangkut robekan pada TFCC :

Klasifikasi Palmer

Klas I : traumatik
1A : Perforasi sentral
Seringkali terjadi 2-3 mm dari perlekatan radial TFCC
Arahnya dari palmar ke dorsal
Karena bagianj dalam dari TFCC adalah avaskular, maka
penanganan terbaik adalah dengan debridement
1B :Avulsi TFCC dari insersinya ke ulna distal.
Karena robekan pada bagian yang vaskular maka penanganan dengan
memperbaikinya.
1C : Robekan perifer dari TFCC
Robekan pada bagian yang vaskular sehingga penanganan dengan
memperbaikinya/menjahitnya .
1D : Avulsi traumatik pada TFCC pada tempat per
lekatannya di radius
Perdebatan masih ada menyangkut perbaikan bagian yang robek di
sigmoid notch.

179
Klas II : degeneratif
2A :Cedera, robekan partial thickness
2B : Robekan, tampak chondromalacia dari ulnar carpus dan distal ulna.
2C : Robekan full thickness pada bagian sentral TFCC
2D :Robekan melibatkan hingga ke ligamentum luno-triquetral.
2E : Terjadi perubahan degeneratif lunatum ulnar, triquetrum, dan distal
ulna.
-
Kontak antara ulna dan karpus sedemikian hebatnya sehingga sendi
radioulnar distal menjadi unstable.
-
Kumpulan gejala ini disebut dengan ulnocarpal impaction (atau
abutment) syndrome.
-
Istilah ini sering dibingungkan dengan radioulnar impingement syndrome
yang berarti kontak abnormal antara radius dan proximal stump ulna distal
setelah eksisi caput ulna.
-
Distal radioulnar joint (DRUJ) juga merupakan pokok masalah. Sendi ini
kurang congruinitasnya karena itu hanya bergantung pada kekuatan jaringan
lunak untuk mempertahankan stabilitasnya.
-
TFCC merupakan stabilizer utama untuk DRUJ.
-
TFCC terdiri dari struktur jaringan lunak pada sisi ulnar pergelangan
tangan dan in mencakup :

1. Discus articularis
2. Ligamenta ulnocarpal palmar dan dorsal
3. ligamenbta ulnotriquetral dan ulnolunate
4. Extensor sarpi ulnaris sheath
-
TFCC melekat pada :
1. Fovea ulnaris dan styolid
2. Dorsal dan palmar wrist capsule
3. Distal rim dari sigmoid notch os radius
-
Seperti halnya meniscus pada lutut, bagian pinggir (perifer) kurang lebih
10-20% merupakan area vaskular.
-
Perbaikan ligamenta radioulnar palmar dan dorsal merupakan suatu indikasi
jika bagian palmar atau dorsal dari TFCC mengalami cedera..
-
Perlekatan sentral TFCC dapat diperbaiki ke radius jika jaringan avaskular
dari kartilago artikular dan tulang subkhondral diangkat dan TFCC
diinsersikan ke tulang cancellous.
-
Fraktur intra artikular pada distal radius yang meluas hingga ke sigmoid
notch dapat menimbulkan incongruin-itas dan osteoarthritis pascatraumatik.
-
Walupun sigmoid notch tidak mengalami fraktur atau gangguan oleh fraktur
yang terjadi tetapi incongruinitas antara sigmoid notch dan ulna distal dapat
terjadi jika radius mengalami pemendekan dan permukaan artikular tidak
lagi mengalami kontak.
-
DRUJ sering ikut terkena pada arthritis rheumatoid.

180
-
Erosi pada ulna distalakibat pannus dapat menimbulkan spur di bagian
dorsal.
-
Sewaktu engan bawah mengalami rotasi spur ini akan bergerak melintasi
otot ekstensor sehingga terjadi ruptur sekuensial pada tendon ini dari ulnar
ke radial.

PEMERIKSAAN FISIS
-
Secara klinis keluhannya adalah rasa nyeri pada sisi ulnar pergelangan
tangan, bertambah sewaktu aktivitas sehinga penderita melakukan deviasi
ulnar pergelangan tangan.
-
Pasien dengan keluhan nyeri pada sisi ulnar pergelangan tangan perlu
diperiksa dengan cermat untuk menentukan asal nyeri.
-
Siku penderita di fleksikan dan diletakkan di atas meja, keseluruhan jari
menghadap ke atas dan lengan bawah dalam posisi netral.
-
Pemeriksa harus meng “eksklusi” kan extensor carpi ulnaris (ECU), flexor
carpi ulnaris (FCU), sensoris cabang dorsal dari n. ulnaris, dan sendi
pisotriquetral karena semuanya ini potensial merupakan sumber nyeri.
-
Stabilitas DRUJ diperiksa dengan memeriksa displacement ke palmar dan
dorsal ulna distal sewaktu lengan bawah dalam posisi netral, pronasi, dan
supinasi.
-
Piano key sign mendeteksi instabilitas dorsal ulna distal sewaktu pronasi.
Telapak tangan penderita diletakkan di atas meja dengan lengan bawah
pronasi, penderita kemudian di suruh untuk menekan meja. Instabilitas
dorsal manifest dengan ulna bergerak ke dorsal dan palmar dengan
maneuver ini. Namun hal ini harus dibandingkan dengan lengan sebelah
yang normal.
-
DRUJ juga diperiksa untuk menetahui adanya krepitus. Pergelangan tangan
diperiksa pergerakan penuhnya.
-
Nyeri pada deviasi ulnar menandakan adanya ulnocarpal impaction
syndrome.
-
Nyeri tekan pada styloideus ulna diantara ECU dan FCU menunjukkan
nnyeri berasal dari TFCC.
-
Instabilitas sendi lunotriquetral diperiksa dengan mendorong triquetrum ke
dorsal melalui tekanan pada os pisiformis sementara juga mendorong
lunatum ke palmar.
-
Walaupun biasanya asimptomatik namun styloideus ulnar dapat merupakan
sumber nyeri.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
-
Meliputi foto AP dan lateral dari pergelangan tangan dengan lengan bawah
dalam posisi netral.
-
Varians ulnar menurun sewaktu lengan bawah berputar dari pronasi ke
supinasi.

181
-
Bila x-ray diambil dalam posisi rotasi netral maka styloid ulnar dan radial
akan tampak pada sisi seberang pergelangan tangan.
-
Elemen-elemen jaringan lunak, ligamentum scapholunate, ligamentum
lunotriquetral, dan TFCC dapat dinilai dengan triple-injection arthrogram.
-
Pertama, zat pewarna disuntikkan ke sendi radiokarpal, jika zat warna
tampak di sendi midcarpal berarti terjadi perforasi pada ligamen
scapholunate dan lunotriquetral.
-
Jika zat warna muncul pada sendi radioulnar distal maka terjadi perforasi
pada TFCC.
-
Mengingat dapat terjadai katup searah pada daerah perforasi maka jika tidak
terjadi kebocoran setelah injeksi radiocarpal maka dilakukan injeksi secara
terpisah antara sendi midcarpal dan sendi radioulnar distal.
-
Pemeriksaan dapat juga dengan menggunakan MRI terutama untuk menilai
keadaan jaringan lunak.

PENANGANAN

Nonoperatif
-
Penanganan awal untk nyeri pergelangan tangan sisi ulnar meliputi
immobilisasi, pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid, dan istirahat.
-
Jika nyeri pada sendi radioulnar distal, maka imobilisasi berupa splint
sepanjang lengan bawah atau sugar-tong splint untuk membatasi rotasi
lengan bawah.
-
Jika nyeri tidak berkurang dapat dipertimbangkan pemberian injeksi
kortikosteroid.

Operatif
-
Diindikasikan jika penanganan nonoperatif gagal.
-
Tipe operasi tergantung pada tandatanda dan gejalagejala residual.
-
Jika nyeri dan perubahan degeneratif tampak pada DRUJ, maka diperlukan
tindakan eksisi permukaan artikular ulna.
-
Ini dapat dilakukan dengan hemireseksi permukaan artikular ulna distal atau
eksisi komplit kaput ulna (prosedur Darrach).
-
Secara umum, hemireseksi jauh lebih disukai bila TFCC kompeten dan
berperan dalam stabilitas DRUJ.
-
Penanganan sendi ulnocarpal didasarkan pada penyebab cedera.
-
Robekan traumatik TFCC ditindaki dengan debridement atau perbaikan,
tergantung lokasi dan asupan darah regional.
-
Perubahan degeneratif patologik dari TFCC dan sendi ulnocarpal sering
mencerminkan panjang realtif ulna.
-
Pasien dengan varians ulnar netral atau negatif ditangani dengan
arthroscopy pergelangan tangan dan debridement TFCC.
-
Pasien dengan varians ulnar positif dtangani dengan ulnar shortening
osteotomy atau eksisi permukaan artikujlar ulna distal dan eksisi tulang
enchondral (Prosedur wafer).

182
21. FRAKTUR DAN DISLOKASI CARPUS

FRAKTUR DAN NONUNION SCAPHOID

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Os scaphoid mempunyai tempat yang unik di carpus sehingga rentan
terhadap fraktur dan cedera ligamen.
-
Dengan pergelangan tangan dalam ekstensi penuh seperti waktu jatuh
dengan pergelangan tangan outstretched, os scaphoid bergeser sehingga
aksis panjangnya hampir paralel dengan aksis panjang os radius dan kutub
proksimal dan distal terkunci dalam posisi ini oleh peregnagan tulang dan
ligamen dari jejeran carpal.
-
Konsekuensi terhadap hal ini adalah gaya kompresi yang timbul karena
jatuh dikonsentrasikan melintasi tempat yang sempit, nonartikular dan
sering terjadi kegagalan ga ya lengkung. Dengan semakin bertambahnya
ekstensi per-gelangan tangan, fraktur akan terjadi jauh ke proksimal.
-
Dua asupan utama os schapoid adalah : satu mengasupi tubercle scahpoid
melalui perforator dari cabang palmar a. radialis; satunya lagi mengasupi
nonartikular dorsal schapoid ridge pada bagian pinggang schapoid.
-
Aliran interosseus sebagian besar retrograde, dan hampir 75% asupan darah
scaphoid berasal dari dorsal ridge perforators.
-
Karena aliran darahnya yang retrograde, maka fraktur scaphoid
berkomplikasi :
1. Nekrosis avaskular pada fragmen proksimal,
2. Nonuinon, dan
3. Kadang-kadang kolaps
-
Insidens nekrosis avaskular pada fragmen proximal os schapoid berbanding
terbalik dengan uikuran dan mencapai 20%.
-
Fungsi normal os schapoid untuk menetralkan beban kompresif yang
melintasi pergelangan tangan, yang jika ti- dak dilawan maka bagian jejeran
proksimal dan jejeran dis tal dalam arah berlawanan dan menimbulkan
deformitas kolaps (dorsal intercalated segment instability).
-
Tempat fraktur os scaphoid merupakan subyek untuk stres bertekanan tinggi
ini akibat pergerakan rotasional ini.
-
Kegagalan untuk secara efektif menetralkan gaya ini dengan casting yang
sesuai atau fiksasi internal dapat menyebabkan kolaps palmar pada tempat
fraktur (disebut humpback scaphoid), dan tingkat nonunion yang tinggi.
-
Faktor-faktor lain yang berpenagruh buruk pada penyembuhan fraktur
scaphoid adalah :
1. Lokasi fraktur intra artikular
2. Derajat awal displacement

183
3. Adanya communition, dan
4. Cedera ikutan ligamen atau tulang.

FRAKTUR AKUT
-
Sehubungan dengan cedera pada pergelangan tangan dengan posisi
hiperekstensi, nyeri pada anatomical snuffbox bermakna fraktur schapoid,
bahkan walau foto rontgen menampakkan gambaran normal.
-
Edema dan nyeri mungkin minimal.
-
Nyeri pada bagian proximal dan distal pole serta sewaktu reduksi
pergelangan tangan dalam ROM merupakan tanda yang sangat membantu.
-
Gambaran awal ini dapat tumpang tindih dengan gejala cedera pada
ligamen di lokasi yang sama.

RADIOLOGIK
-
Foto rutin AP, lateral, dan oblique dapat menampakkan fraktur scahpoid
yang displaced
-
Jika ada kecurigaan fraktur schapoid, dapat dilakuan pemeriksaan schapoid
view, yakni foto PA dengan deviasi ulnar 30 0 dan film ulnar deviasi dengan
cranial tube 150 untuk memperlihatkan tempat/garis fraktur.
-
Peningkatan angulasi lunatum pada foto lateral (>15 0 dorsal tilt) merupakan
tanda prognosis buruk, karena menunjukkan angulasi fraktur atau disrupsi
ligamen schapulolunate yang menyertai, kedua hal ini mempunyai tingkat
nonunion atau malunion sebesar 80% dengan penanganan hanya cast saja.
-
Sklerosis, pembentukan kista, atau pelebaran fracture gap pada cedera akut
menunjukkan disrupsi fibrous union yang telah ada sebelumnya. Semuanya
ini menunjukkan respons yang buruk terhadap immobilisasi cast.
-
Displacement 1 mm atau lebih pada setiap foto rontgen merupakan tanda
prognosis buruk untuk reduksi tertutup.
-
Tanda prognosis yang paling bermakna diantara semuanya adalah lokasi
fraktur, fragmen pada proximal pole yang kecil mempunyai laju nekrosis
avaskular dan nonunion yang tinggi.
-
Foto berkala PA, lateral, dan schapoid view setelah 10-14 hari immobilisasi
cast biasanya akan menampakkan garis fraktur schapoid yang occult
sebagai akibat resorpsi yang terjadi pada tempat fraktur tersebut.

PENANGANAN

Nonoperatif
-
Masih diperdebatkan menyangkut laju penyembuhan, lamanya
immobilisasi, tipe cast, dan posisi immobilisasi untuk penanganan tertutup
fraktur schapoid.
184
-
Indikasi penangaan tertutup adalah fraktur stable, nondis-placed pada
bagian pinggang atau distal pole tanpa disertai cedera ikutan ligamen atau
tulang.
-
Kontraindikasi relatif untuk penanganan tertutup berupa :
1. Fraktur kecil pada proximal pole
2. Fraktur ipsilateral atau contralateral pada distal radius atau siku
3. Polytrauma
4. Cedera subakut (> 6 minggu)
5. Lunate dorsal tilt
-
Kontra indikasi absolut untuk penanganan tertutup termasuk :
1. Displacemen yang irreducible,
2. Angulasi atau dorsal tilt yang nyata
3. Dislokasi ikutan perilunate atau lunate.
-
Suatu penilitan secara acak pada fraktur nondisplced waist dan proximal
pole yang ditangani dengan long arm thumb spica cast diikuti dengan short
arm thumb spica cast selama 6 minggu menunjukkan laju union yang lebih
tinggi dan lebih cepat dibanding shorst arm spica cast saja.
-
Short arm cast hanya digunakan pada fraktur distal pole.
-
Dibutuhkan waktu hingga 6 bulan immobilisasi untuk fraktur proximal pole
mengingat :
1. Instabilitas intrinsiknya,
2. Status vaskular yang dapat berubah/terpengaruh, dan
3. Lokasinya yang intra artikular.

Nekrosis avaskular
-
Bukti radiologik berupa peningkatan densitas pada proximal pole dapat
timbul paling cepat 4 minggu pasca trauma. Hal ini masih diragukan
beberapa ahli.
-
Rekomendasi saat ini adalah dengan menangani fraktur akut nondisplaced
yang menunjukkan peningkatan densi-tas proximal pole pada radiograf
dengan immobilisasi cast 12-24 minggu.
-
Fraktur yang menyatu biasanya akan memberikan kemaju-an
revaskularisasi pada proximal pole bahkan juga ke tulang yang kolaps.
-
Beberapa ahli mengunggulkan penggunaan stimulasi pulse electromagnetic
field (PEMF) hingga 9 bulan untuk frak-tur undisplaced dengan proximal
pole avaskular, dan me-nyatakan laju penyembuhan hingga 89%.

Operatif
-
Pola pendekatan dan tipe fiksasi tergantung pada lokasi fraktur dan derajat
displacement.
-
Secara umum, fleksi pada fragmen schapoid menunjukkan palmar
communition dan paling baik dengan approach dari palmar dengan bone
grafting.
-
Fragmen kecil pada proximal pole harus difiksasi interna dengan dorsal
approach.

185
-
Disrupsi ligamen atau dislokasi perilunate yang menyertai fraktur
membutuhkan approach dari dorsal dan palmar.
-
Approach palmar biasanya dilakukan dengan membuat insisi 5-7 cm hockey
stick dengan berpusat pada bagian atas tuberkel schapoid.
-
Tindakan fiksasi internal tergantung pada stabilitas dari fraktur serta
pengalaman ahli bedah.

SCHAPOID NONUNION
-
Perbedaan antara schapoid yang nonunion dengan fraktur akut susah
dibedakan terutama jika keluhan penderita samar-samar.
-
Nonunion schapoid dapat berlangsung asimptomatik selama bertahun-tahun
dan kemundian datang dengan nyeri setelah cedera ringan.
-
Tandatanda sklerosis dan perubahan sekunder pada carpal malalignment
atau perubahan degeneratif menunjukkan perlangsungan nonunion yang
lama.
-
Nonunion schapoid yang tidak tertangani setelah 10 tahun akan berkembang
menjadi degenratif arthritis dengan frkeuansi mendekati 100%.
-
Nonunion schapoid yang simptomatik akan menampakkan keluhan nyeri
terlokalisir pada anatomical snuffbox dan Watson’s schapoid shift test
akan menghasilkan keluhan crepitus dan nyeri pada tempat fraktur.
-
ROM biasanya terbatas akibat nyeri pada fleksi dan ekstensi ekstrem sertai
deviasi radioulnar.
-
Edema, sinovitis, dan krepitus midkarpal yang timbul tergantung pada
lamanya perlangsungan nonunion.

RADIOLOGIK
-
Foto tomografi multiplanar, artrografi, dan MRI dapat mengkonfirmasi
nonunion.
-
Paling penting adalah CT scan long axis schapoid karena dapat memberikan
informasi tambahan menyangkut alignment dan rotasi frgamen fraktur dan
dapat mendeteksi penyembuhan sebagian pada kecurigaan nonunion.

KLASIFIKASI
-
Faktor-faktor prognostik untuk penanganan nonunion schapoid adalah:
1. Lamanya nonunion
2. Derajat displacement
3. Ukuran dan vaskularitas proximal pole
4. Instabilitas carpal yang menyertai, dan
5. Perubahan degeneratif sekunder
-
Nonunion schapoid akan menyebabkan instabilitas carpal yang progresif
dan perubahan degeneratif karenafragmen fraktur akan bertindak sebagai

186
tulang carpal tersendiri dan tidak lagi berikatan dan berkoordinasi dalam
pergerakan dengan jejeran carpal.
-
Pergerakan rotasional yang berlawanan pada jejeran carpal proksimal
dengan distal akan menyebabkan meningkatnya deformitas fleksi
(humpback) dari schapoid dan carpus menanggung deformitas kolaps akibat
instabilitas segmen intercalated dorsal [dorsal intercalated segment
instability (DISI) collpase deformity].
-
Karena hubungan yang erat dengan instabilitas carpal dan arthritis
degeneratif sekunder maka lamanya nonunion merupakan faktor penentu
terpenting untuk penyembuhan.

PENANGANAN
-
Pada sebagian besar kasus, tindakan yang paling penting adalah usaha untuk
melakukan rekonstruksi dengan menggunakan bone graft untuk menutupi
defisiensi integritas schapoid palmar dan sebagai stimulus untuk
penyembuhan.
-
Penanganan nonoperatif dapat dipertimbangkan pada pasien :
1. Berusia lanjut dengan kebutuhan fungsional yang terbatas.
2. Pasien muda dengan perubahan degeneratif moderat yang menginginkan
penundaan prosedur penyelamatan (salvage procedure) seperti reseksi
atau partial arthrodesis.
-
Untuk nonunion schapoid yang tidak berkomplikasi, tindakan yang paling
populer adalah dengan Russe inlay bone graft.

DISLOKASI KARPAL

ANATOMI DAN PATOGENESIS


-
Pergerakan carpus yang komplek sdapat disederhanakan dengan
mengelompokkan karpal menjadi kelompok jejeran proksimal dengan
kelompok jejeran distal.
-
Perlekatan ligamen yang tebal pada jejeran karpal distal (trapezium,
trapezoid, capitatum, dan hamatum) menuju metacarpal secara kolektif
dapat dianggap sebagai satu segmen tunggal tangan (single “hand”
segment).
-
Interposisi antara segmen tangan dengan radius dan ulna (segmen forearm)
merupakan segmen “intercalated”, atau jejeran carpal proximal terdiri atas
tulang schapoid, lunatum, dan triquetrum.
-
Pada keadaan tanpa cedera tulang carpal jejeran proximal berotasi secara
sinkron; sewaktu tangan ekstensi atau deviasi ulnar maka schapoid, lunate,
dan triquetrum juga ekstensi.
-
Sebaliknya, sewaktu tangan fleksi atau deviasi radial maka schapoid, lunate,
dan triquetrum juga fleksi.

187
-
Tidak seperti jejeran karpal distal, pada tulang jejeran proximal terdapat
kurang lebih 250 pergerakan antar tulang dan dibatasi oleh ketegangan
ligamentum scapholunate in-terosseus (SLIL) dan ligamentum
lunotriquetral (intrinsik).
-
Disrupsi ligamen interosseus ini akan mengakibatkan diso-siasi jejeran
carpal proximal dan menciptakan kinematika yang abnormal sehingga
menimbulkan nyeri dan arthritis degeneratif.
-
Ligamenta ekstrinsik mayor (kapsular) berjalan diantara jejeran carpal,
membatasi pergerakan diantara tulang car-pal.
-
Disrupsi hanya pada ligamenta ekstrinsik akan menyebab-kan perubahan
kinematika dan bila dikombinasi dengan cedera ligamen intrinsik, disrupsi
yang terjadi akan menimbulkan destabilisasi seluruh carpus.

INSTABILITAS PERILUNAR PROGRESIF


-
Pertama kali dikemukakan oleh Mayfield et al dengan model kadaver.
Disrupsi ligamen carpal yang terjadi akibat gaya hiperekstensi pergelangan
tangan, deviasi ulnar, dan supinasi intercarpal
-
Urutan kejadian adalah kegagalan ligamen yang dimulai dengan ligamen
interosseus schapolunate (SLIL) berjalan dengan arah berlawanan jarum
jam disekitar lunatum, dan berakhir dengan dislokasi komplit os lunatum.
-
Dislokasi perilunatum (stage III) dan dsilokasi lunatum (stage IV)
mencerminkan disrupsi ligament carpal yang massif dan membutuhkan
penanganan yang cepat dan tepat.

PEMERIKSAAN FISIK
-
Penderita dengan dislokasi perilunatum dan lunatum biasanya datang
dengan keluhan bengkak hebat dan gambaran rontgen memperlihatkan
disrupsi hebat arsitektur normal.
-
Tindakan reduksi tertutup dilanjutkan dengan tindakan operatif untuk
perbaikan ligamen ekstrinsik dan intrinsik yang robek melalui kombinasi
approach dorsovolar. Tulang karpal di “pin” dalam posisi anatomis selama
4-6 minggu setelahnya rehabilitasi.
-
Hasilnya biasanya buruk mngingat cedera oleh energi tinggi dan disrupsi
massif arsitektur karpal.
-
Dislokasi scapholunate atau disrupsi ligamen interosseus scapholunate
merupakan cedera ligament pergelangan tangan yang paling sering terjadi.
-
Dislokasi scapholunate yang tidak ditangani akan berakibat fleksi abnormal
scaphoid dan kolaps zigzag carpus kompensatoris.
-
Aligment abnormal karpal menyebabkan penurunan area kontak
radioschapoid.
-
Meningkatnya beban fokal pada kartilago artikular akan menimbulkan
peribahan-perubahan degeneratif dan peningkatan pemakaian area tersebut,
keadaan ini disebut sebagai scapholunate advanced collapse (SLAC)
-
Perubahan degeneratif pada awalnya terjadi pada sendi radioscaphoid dapat
dapat meluas hingga ke sendi midcarpal.

188
-
Mekanisme terjadinya cedera pada dissosiasi scapholunate biasanya karena
jatuh dengan pergelangan tangan hyperextensi.
-
Seringkali pasien dengan disosiasi scapholunate mempu-nyai riwayat sprain
pergelangan tangan jauh sebelumnya.
-
Pada keadaan akut, pergerakan pergelangan tangan terbatas, timbul
ekimosis dan hasil aspirasi menunjukkan hem-arthrosis merupakan tanda
patognomonik cedera ligamen yang serius. Terdapat titik nyeri di bagian
dorsal sendi scapholunate.
-
Penderita yang datang 6 minggu atau lebih setelah cedera, gejala yang
timbul dapat berupa nyeri yang menetap, dan hilangnya pergerakan.
-
Eksaserbasi nyeri sewaktu menggenggam atau aktivitas dan gejala
“clunking”, “:popping” atau “giving way” menunjukkan cedera SLIL.
-
Uji shift scaphoid Watson biasanya positif. Untuk melakukan uji ini
pemeriksa menerapkan beban langsung ke arah dorsal pada tuberculum
scaphoideum dan di palpasi untuk mengetahui adanya nyeri subluksasi
scaphoid sewaktu deviasi ulnar ke radial.
-
Pasien dengan cedera kronik biasanya datang dengan keluhan arthritis
degeneratif, gerakan yang sangat terbatas, dan penurunan mobilitas
scaphoid sewaktu uji scaphoid shift.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
-
Foto radiologik meliputi fota PA (supinated) clenched fist view, foto PA
dalam posisi deviasi radial dan ulnar, serta foto lateral dalam posisi fleksi
dan ekstensi.
-
Sebagai pembanding diambil foto pergelangan tangan sebelah dalam posisi
PA dan lateral.
-
Gap (celah) scapholunate 1-2 mm lebih besar dari gap pergelangan tangan
sebelah dalam setiap posisi menunjukkan robekan SLIL.
-
Peningkatan fleksi scaphoid (rotatory subluxation) dapat menyertai robekan
SLIL dan ini tampak berupa forshort-ened scaphoid pada foto PA.
-
Scaphoid ring sign dapat tampak pada foto PA bila tuberculum
scaphoideum tumpang tindih dengan pinggangnya dengan peningkatan
fleksi.
-
Hilangnya bentuk normal trapezoidal merupakan tanda (walau tak begitu
jelas) dari rotasi abnormal lunate dan merupakan pertanda untuk mencari
tahu lebih jauh.
-
Subluksasi rotatori scaphoid paling baik dilihat pada foto lateral. Sudut
scapholunate > 700 menunjukkan disosiasi scapholunate (sudut normalnya
300-600)
-
Sudut radiolunate merupakan jumlah dorsovolar tilt dari lunate, dan jika
>150 meruipakan indikasi dorsal DISI.

189
PENANGANAN
-
Penanganan tergantung pada waktu diagnosis dan kejadian cedera dan
ditujukan untuk memperbaiki kinematika yang abnormal dan mencegah
perubahan degeneratif lebih lanjut.
-
Metode penanganan akut meliputi reduksi tertutup dan casting, percutaneus
pinning, reduksi terbuka dan perbaikan ligamen, dan rekonstruksi ligamen.
-
Penanganan untuk disosiasi scapholunate kronik tergantung pada luasnya
dan lokasi perubahan degeneratif.

Penanganan cedera akut


-
Diagnosis disrupsi komplit SLIL ditujukan pada perbaikan langsung
ligamen.
-
Untuk disrupsi partial ligamen, casting dapat merupakan penanganan yang
adekuat.
-
Beberapa ahli menganjurkan percutaneus pinning untuk penanganan yang
adekuat dan dipandu secara fluoroskopi.
-
Disrupsi ligamen tidak akan menyembuh secara adekuat dalam lingkungan
intrasinovialnya, terutama jika 3-4 minggu telah berlalu sejak cedera.
-
Perbaikan ligamen scapholunate selain diindikasikan pada keadaan akut
juga dapat efektif pada periode subakut jika tulang schapoid masih
reducible, tidak ada perbahan degeneratif, dan ligamenta substansial masih
intak.

Penanganan cedera kronik


-
Penantganan akut masih belum terbukti efektif untuk perbaikan cedera akut,
sejumlah ahli menganjurkan fusi intercarpal untuk penanganan chronic
fixed scapholunate subluxation yang tidak disertai degenerative joint
disease (DJD).

22. CEDERA TENDON FLEKSOR DAN TENOSYNOVITIS

ANATOMI
-
Flexor digitorum superficialis (atau flexor sublimis) berorigo pada
epicondylus medialis, processus coronoideus ulna, dan proximal radius.
-
Serat-serta ototnya yang lebar berjalan ke lengan bawah dan terbagi
menjadi dua. Bagian superfcialis berakhir sebagai tendo flexor jari tengah
dan jari manis. Bagian profundus berakhir sebagai tendon flexor untuk jari
telunjuk dan jari kelingking.
-
Tendon felxor superficialis berjalan dalam carpal tunnel dengan pola
berpasangan; tendon untuk jari tengah dan jari manis terletak lebih ke volar

190
atau lebih subcutaneus dibanding dibanding tendon ke jari kelingking dan
jari manis.
-
Sewaktu berada di telapak tangan, ke empat tendon ini akan menyebar dan
mengarah ke masing-masing jari.
-
Setiap tendo superficialis menuju ke phalanx proximal, terbagi menjadi dua
slips (chiasma of Camper) yang pada akhirnya akan menyatu kembali
sewaktu tendo ini hendak berinsersi pda mid aspect volar dari phlanx
media. Jadi felxor superficialis akan memfleksikan sendi PIP. Tendo ini
diinervasi oleh n. medianus.
-
Flexor digitorum profundus juga berasal dari sisi meial dan ulnar lengan
bawah namun berada di bawah tendo supericialis.
-
Tendo profundus berasal dari ulna proximal dan membrana interosseus
lengan bawah. Tendo ini berjalan ke bawah dan terbagi menjadi empat
tendon pada bagian distal lengan bawah seaktu mendekati pergelangan
tangan.
-
Tendo profundus tidak membungkus dirinya seperti tendo superficialis.
-
Aspek unik dari tendo profundus adalah baia otot yang beralih menjadi
tendon pada jari telunjuk biasanya berbeda atau terpisah dari otot-otot pada
jari tengah, manis dan kelingking. Hal ini perlu dicamkan dalam menyusun
otot ini sewaktu perbaikan.
-
Sewaktu tendo profundus berjalan lebih ke distal, mereka berjalan diantara
pisahan atau cabang tendo superficialis (chiasma of Camper) dalam
perjalanannya untuk berinsersi pada phalanges distal.
-
Jadi meskipun bagian profundus adalah tendo flexor profundus, berdasar
lokasinya pada lengan bawah dan pergelangan tangan, namun tendo ini
lebih rentan sewaktu berada di jari, karena tendo sebagian besar ini lebih
terpapar di bagian volar jari tangan.
-
Tendo profundus memfleksikan sendi DIP; tendo profundus ke jari manis
dan jari kelingking diinervasi oleh n.ulnaris, dan tendo profundus ke jari
telunjuk dan jari tengah diinnervasi oleh n. medianus.
-
Ibu jari (jempol) hanya mempunyai satu tendo fleksor yakni flexor pollicis
longus. Tendo ini berorigo pada processus coronoideus os ulna dan
sepertiga medial os. radius serta membrana interosseus di dekatnya. Tendo
ini berinsersi pada aspek volar phalanx distal. Tendo ini ber-fungsi
memfleksikan sendi DIP ibu jari dan diinnervasi oleh n. medianus.
-
Di telapak tangan, setinggi caput metacarpal, tendo flexor ditutupi oleh
synovial sheath.
-
Synovial sheath, atau tunnel, adalah suatu tabung yang membungkus tendo
flexor superficial dan profundus pada daerah setinggi caput metacarpal
hingga ke insersi terminal pada phalanx distal.
-
Selubung untuk tendo jari kelingking berhubungan dnegan bursa ulnaris
pada telapak tangan.
-
Selubung untk tendo ibu jari berhubungan dengan bursa radialis pada
telapak tangan.
-
Selubung ini mempertahankan tendon agar tetap berada pada daerah volar
periosteum phalanges, disini selubung ini dikenal dengan nama fibroosseus
tunnel.
191
-
Jika bowstring tendo flexor menjauh dari tulang sewaktu jari fleksi, maka
serabut ototnya harus memberikan kontraksi untuk mempertahankan agar
tendon tetap berada dekat tulang.
-
Melalui mekanisme yang belum jelas, tunnel mempertahankan fungsinya
agar tendo flexor tetap berada dekat dengan tulang tanpa menjadi kaku
sehingga fleksibilitas jari tidak terpengaruh.
-
Sistem tarikan dari tendon sheath tendon flexor bertempat pada bagian yang
tebal dan tipis dari sheath ini. Bagian yang tebal dari sheath disebut sebagai
annular pulley (katrol) dan merupakan bagian yang bertanggung jawab
untuk mencegah terjadinya lengkungan atau pergerakan tendon menjauh
phalanges. Bagian yang tipis disebut sebagai cruciform pulley dan
memungkinkan tendon untuk memanjang dan memendek seiring pergekan
jari.
-
Ada empat annular pulley dan tiga cruciform pulley.
-
Annular pulley diberi desain A1 hingga A4: A1 berlokasi setinggi caput
metacarpal; A2 pada basis phlanx proximal; A3 pada caput phalanx
mproximal; A4 pada bagian tengah phalanx media. Ibu jari mempunyai dua
annular pulley dan satu oblique pulley. A1 ibu jari terletak setinggi caput
metacarpal; oblique pada midproximal phalanx; dan A2 pada sendi
interphalangeal. A2 dan A4 pulley bertanggung jawab mencegah
lengkungan pada jari-jari sehingga tidak boleh dikorbankan. Jika A2 dan A4
tidak ada, maka harus direkonstruksi. Pada ibu jari oblique pulley
merupakan komponen yang paling penting sehingga harus dicegah
kerusakannya.
-
Selain fungsi mekanisnya, sheath juga berfungsi untuk memberi nutrisi
pada tendon dengan “merendam” tendon dalam carian synovial. Cairan
synovial ini bertindak sebagai pelumas sehingga berperan dalam menjaga
pergerakan yang mulus dan lancar dari tendon.
-
Di dalam sheath, tendo flexor superficialis dan profundus melekat satu sama
lainnya melalui vincula yang merupakan lipatan ke dalam dari sheath
(mesotendon) yang mene-rima cabang-cabang akhir dari arteri digitalis,
melalui ini tendo flexor divaskularisasi.
-
Vincula ini terletak pada setengah bagian dorsal tendon, sehingga tendo
flexor mendapat nutrisi dalam sheath melalui dua mekanisme : vascular dan
synovial.
-
Mengingat buruknya dan gentingnya vaskularisasi tendon flexor sehingga
tendon ini dianggap tidak mempunyai kemampuan intrinsik untuk
menyembuh, sehingga dianggap adhesi di dalam tendon sheath diperlukan
untuk penyembuhan tendon; jadi, tendon membutuhkan sumber ekstrinsik
gizi yang disuplai dari adhesi jaringan parut yang terbentuk antara tendon
flexor dan sheath.
-
Sekarang ini diterima secara umum, tendo flexor mempu-nyai kemampuan
intrinsik untuk penyembuhan dan pem,bentukan adhesi tidak hanya tidak
diinginkan tetapi juga dihindari karena mengurangi mobilitas.
-
Karena variabilitas sistem flexor tendon- sheath sepanjang pergelangan
tangan, telapak tangan, dan jari tangan maka digunakan sistem labeling
untuk mempermudah dan menghindari kerancuan. Sistem labeling yang
192
digunakan adalah modifikasi sistem zona Verdans yang membagi menjadi
5 zona :

Modifikasi sistem zona Verdans

Zona I
Merupakan daerah paling distal.
Terletak di sebelah distal insersi tendo superficialis pada bagian tengah
phalanx media.

Zona II
Mulai pada bagian distal palmar crease hingga ke insersi tendo
superficialis.

Zona III
Mulai dari ujung carpal tunnel ke distal palmar crease

Zona IV
Pada daerah carpal tunnel

Zona V
Terletak di bagian distal lengan bawah, proximal dari carpal tunnel.
-
Dari segi prognostik, cedera pada zona II mempunyai prognosis paling
buruk.
-
Sheath pada zone II mengandung dua buah tendon sublimis dan sebuah
tendon profundus. Ruang yang ada pada sheath ini hanya menyisakan
sedikit tempat untuk perbaikan untuk ketiga tendon ini jika mereka
mengalami laserasi. Sebagai tambahan, setiap manipulasi pada tendon akan
menimbulkan adhesi yang akan membatasi kemam-puan tendon untuk
menggelincir dan menimbulkan perge-rakan interphalangeal proximal dan
distal yang indepen-den.
-
Karena sering menghasilkan mobilitas yang buruk pada perbaikan primer di
zona II ini maka Bunnel menyebut area ini sebagai “no man’s land”. Yang
berarti tidak seorangpun seharusnya mengoperasi secara primer pada daerah
ini jika tendonnya mengalami laserasi.
-
Saat ini dengan tehnik bedah yang hati-hati dan cermat dapat dilakukan
perbaikan primer pada zona ini dengan tetap mempertahankan
vaskularisasinya, dan pergerakan dini.

193
PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSIS

CEDERA AKUT TENDON FLEXOR


Laserasi
-
Bagian volar atau palmar dari tangan sangat mudah mengalami cedera.
Sering terjadi laserasi.
-
Karena struktur vital terletak subkutan maka semua laserasi daerah palmar
harus diperiksa dengan cermat untuk memastikan tidak ada lasera tendon,
saraf, atau pembuluh darah.
-
Laserasi yang terjadi sementara jari tangan dalam posisi fleksi akan
menyebabkan ujung distal tendon berada disebelah distal luka.
-
Penting untuk menanyakan hobi dan pekerjaan penderita.
-
Pemeriksaan daerah sebelah distal meliputi :
1. Pertama penilaian vaskularitas, meliputi warna, kehangatan, turgaor dan
capillary refill
2. Kedua, sensoris dengan memperhatikan keberadaan sensasi sentuhan
ringan pada daerah radial dan ulnar jari.
3. Ketiga, uji ROM. Jika tendo flexor profundus intak maka pasien akan
mampu memfleksikan secara aktif DIP. PIP harus dipertahankan dalam
posisi extensi untuk mengisolasi fungsi tendo profundus. Untuk uji fungsi
tendo superficialis, jemari yang tidak diuji harus dipertahankan dalam
posisi extensi dan pasien secara aktif memfleksikan PIP, kegagalan
melakukan fleksi menunjukkan laserasi tendo superficialis.
-
Ingat, tendo profundus mempunyai banyak otot, sehingga kontraksi tendo
profundus akan menyebabkan flexi PIP dan DIP, karena tendo profundus
melintasi kedua sendi ini.
-
Kekuatan fleksi juga harus diperhatikan karena laserasi pertial tendo fleksor
mungkin saja terjadi.
-
Jika luka telah dibiarkan terbuka >12 jam maka resiko infeksi akan
meningkat dan perbaikan ditunda hingga 3-5 hari.

RUPTUR DAN AVULSI


-
Kadang kontinuitas tendon mengalami interupsi akibat trauma tumpul
seperti pada cedera hyperextensi.
-
Secvara prognostik, ruptur ini berbeda dengan laserasi karena diagnosis
sering terlambat.
-
Karena itu, setiap “sprain” pada jari harus diperiksai dengan hati-hati
mekanisme flexor.
-
Cedera ini sering terjadi pada kegiatan olah raga (disebut football jersey
finger) dan sering terjadi pada jari manis.

KLASIFIKASI
Klasifikasi Leddy dan Packer

194
Cedera tipe 1
-
Tendon mengalami ruptur dan kehilangan asupan darah dari vincula
-
Timbul degenerasi dan kontraktur otot
-
Tendon haru di reinsersi dalam 7-10 hari

Cedera tipe 2
-
Tendon menglami retraksi setinggi sendi PIP
-
Reinsersi dapat dilakukan hingga 6 minggu pasca cedera

Cedera tipe 3
-
Satu fragmen besar tulang mengalami avulsi, lepas dari phalanx distal dan
terjebak dalam A4 pulley (katrol).
-
Perbaikan dilakukan dengan fiksasi fraktur.
-
Kadang, flexor digitorum profundus mengalami avulsi terpisah dari
fragmen tulang yang avulsi (cedera bilevel)
-
Jika penundaan diagnosis melebihi 6 minggu, maka perbaikan primer
biasnya tak mungkin dilakukan.
-
Lokasi paling sering untuk ruptur tendo flexor profundus adalah pada zona I

CEDERA KRONIK TENDON FLEXOR


-
Laserasi dan ruptur tendon flexor pada daerah tangan merupakan masalah
besar dan serius.
-
Jika diagnosis ditegakkan >6 minggu pasca cedera maka tidak mungkin
dilakukan perbaikan primer dan diperlukan rekonstruksi dengan tendon
graft baik secara bertahap maupun sekaligus.
-
Isolated pulley rupture sering tidak terdeteksi, biasanya tampak dalam
keadaan sudah lanjut berupa kontraktur fleksi dari sendi interphalangeal dan
melengkungkan tendon (bowstringing).

RADIOLOGIK
-
Dilakukan sebagai hal yang rutin dan bertujuan untk menyingkirkan benda
asing serta fraktur ikutan utamanya jika menkanisme cedera akibat terlindas
atau terpotong.

PENANGANAN
-
Semua laserasi tendon flexor yang terjadi akut harus diperbaiki secara
primer kecuali jika jaringan lunak pembungkusnya tidak adekuat akibat
hilang atau infeksi
-
Kadang kala tendon flexor yang cedera mengalami kerusakan yang amat
parah sehingga perbaikan primer besar kemungkinan mengalami kegagalan.

195
-
Laserasi tendon parsial harus diperbaiki jika kerusakan meliputi >50% lebar
tendon
-
Cedera ikutan seperti fraktur atau laserasi nerve tidak boleh menghalangi
tindakan perbaikan tendon. Jika mungkin, fraktur harus distabilisasi lebih
dahulu untuk memungkinkan pergerakan dini.
-
Untuk cedera yang kompleks yang melibatkan aspek volar dan dorsal dari
jari, maka tendon ekstensor dan fleksor perlu diperbaiki secara simultan.
Biasanya lebih didahulukan rehabilitasi pada sistem fleksor walaupun ini
berarti harus menunda perbaikan pada tendon ekstensor.
-
Perbaikan primer atau delayed harus dilakukan sesegera mungkin dalam 7-
10 hari pasca cedera.
-
Luka traumatk perlu diperluas ke proximal dan ke distal untuk menghindari
kontraktur jaringan parut.
-
Hindari membuat insisi longitudinal diatas sendi.
-
Insisi yang paling banyak digunakan adalah insisi zigzag di daerah volar
(tipe Bruner). Dapat juga digunakan insisi midlateral.
-
Jika diperlukan perluasan insisi ke ujung jari maka insisi tidak jangan
melintasi midline, hindari denervasi saraf pada kulit daerah ujung jari.
-
Pada daerah telapak tangan, FDP dapat dikenali dari perlekatan pada otot
lumbricales.
-
Pada cedera daerah jari, sheath tendon dibuka dengan L-shaped fashion, dan
dibuka di segmen cruciform pulley dan bukan di annuilar pulley. A2 dan A4
pulley pada jari serta oblique pulley pada ibu jari harus dipertahankan tidak
di potong.
-
Penyambungan tendon dengan menggunakan bahan nonabsorbabale yang
kuat dan tidak membentuk benjolan.
-
Penyambungan dengan menggunakan modified Kesler core suture dan
ditempatkan di setengah bagian volar dari tendon. Jarak jauh jahitan adalah
1 cm dari ujung tendon yang ruptur.
-
Dapat pula digunakan jahitan 2 buah benang (Tajima modification of the
Kessler stitch) yang meninggalkan simpul pada pertemuan kedua ujung
tendon yang ruptur. Tehnik ini sangat berguna terutama jika banyak jari dan
tendon yang cedera, karena dapat menghindari benjolan simpul yang akan
mengakibatkan bertambah lebarnya tendon. Keadaan ini tidak dapat
ditoleransi pada daerah dengan fibro-osseus sheath yang ketat seperti pada
zone II dan carpal tunnel.
-
Setelah dilakukan penyambungan tendon selanjutnya dilakukan jahitan
running epitendinous (continuous).
-
Bila tendon superficialis pada zone II yang mengalami laserasi maka tidak
dapat digunakan core stitch karena tendon disini pipih, maka digunakan
jahitan tehnik figure of eight. Aligment yang tepat dapat diperoleh dengan
mencermati vincula yang berada di setengah bagian dorsal tendon. Jahitan
harus rapi dan hindari terbentuknya benjolan simpul.
-
Jika tendon mengalami avulsi pada phalanx distal, maka harus dilekatkan
kembali melalui jahjitan intraosseus dan dikencangkan ke dorsal menembus
nail plate.

196
-
Perawatan pasca operasi sama dengan cedera laserasi meskipun rubber band
retraction tidak dianjurkan pada reinsersi zone I. Latihan dini ROM pasif
pada cedera zone I akan meningkatkan celah sambungan tendon dan akan
menurunkan pergerakan yang sebenarnya (aktif).
-
Jika memungkinkan, sheath harus dijahit kembali, graft sheath tidaklah
perlu sepanjang digital A2 dan A4 serta oblique pulley pada ibu jari tetap
intak.
-
Jika pulley ini mengalami keruskan ireversible maka perlu dilakukan
rekonstruksi primer pulley bersamaan dengan tendon graft. Dapat
digunakan tendo superficialis atau tendo palmaris longus.
-
Perbaikan saraf harus dilakukan juga secara bersamaan dan fraktur sudah
harus distabilisasi sebelumnya. Cegah peregangan pada saraf.
-
Pasca operasi, pergelangan tangan diimmobilisasi dalam posisi flexi 30 0;
sendi metacarpo-phalangeal (MP) dalam flexi 600-700; dan sendi
interphalangeal ekstensi 00.
-
Untuk cedera ibu jari pergelangan tangan dan sendi MP di splint dalam
posisi flexi.
-
Jika menggunakan traksi rubber band pada cedera sigital pada zone II, maka
palmar pulley harus bebat uintuk mencegah flexi sendi DIP.
-
Traksi rubber band tidak dianjurkan untuk cedera digital pada zone I atau
cedera pada ibu jari.
-
Splint harus cukup kokoh untuk mencegah pergerakan pergelangan tangan
dan ekstensi jari.
-
Pada anak-anak dapat digunakan long arm cast dengan dorsal rigid
extension untuk menghambat extensi jari.

FREE TENDON GRAFTS


-
Pada keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan untuk melakukan
perbaikan primer ataupun delayed maka dapat dipertimbangkan melakukan
tendon graft.
-
Penggunaan tendon graft ataupun rekonstruksi bertahap sangat bergantung
pada status jari terutama jumlah jaringan parut yang ada.
-
Penanganan lanjut divided FDP dengan menggunakan FDS intak masih
kontroversial.
-
Pada keadaan-keadaan khusus misal usia dan pekerjaan (musisi atau teknisi
trampil) maka grafting dengan intak sublimis dapat digunakan.
-
Jika kedua flexor terbelah (profundus dan superficialis) maka keputusan
untuk melakukan graft tidak begitu rumit. Hanya satu graft yang
diperkenankan untuk satu jari.
-
Tendon donor potensial. Dalam urutan anjuran adalah: tendo palmaris;
tendonj extensor ibu jari kaki; dan tendo plantaris.
-
Kontraindikasi grafting (free atau staged / bertahap) adalah :
1. Jari dengan sensoris negatif (sekurang-kurangnya satu digital nerve harus
intak)
2. Sirkulasi buruk
197
3. jaringan parut yang hebat
-
Tegangan pada graft intraoperatif haruslah sedikit lebih fleksi dibanding jari
normal dalam keadaan istirahat.
-
Bagian proximal dijahit dengan metode Pulvertaft weave.
-
Bagian yang diperbaiki diimmobilisasi selama 3 minggu kemudian dimulai
ROM terprogram.

TAHAPAN REKONSTRUKSI CEDERA KRONIK TENDON FLEXOR


-
Tahapan I berupa pengangkatan jaringan parut tendon dan persiapan
sheath. Jika pulley (katrol) inadekuat maka harus direkonstruksi pada tahap
ini.
-
Tendon yang tak dapat diselamatkan dapat digunakan untuk rekonstruksi
pulley.
-
Prosthesis tendon silicone pasif (Hunter rod) dapat diinser-sikan sebagai
temporary spacer dan dijahit ke bagian distal tendon.
-
Sekurang-kurangnya 1 cm insersi tendon perlu dipersiapkan untuk dijahit ke
prosthesis atau graft ke tempatnya.
-
Spacer ini didorong ke proximal melalui telapak tangan via canalis
lumbricalis. Ujung proximalnya dibiarkan bebas pada lengan bawah bagian
distal, proximal dari carpal tunnel.
-
Setelah immobilisasi 3 minggu dengan dorsal protective splint, dimulai
latihan ROM pasif. Fotot rontgen diambil 4-6 minggu pascaoperasi untuk
memastikan implant tidak bergeser.
-
Setelah 3 bulan pasca operasi, tendon grafts diinsersi ke pseudo sheath yang
dibentuk dari implant silicone. Implant dijahit ke tendon graft dan ditarik
via impant ke dalam sheath dan dijahit ke distal.
-
Tendon graft diimmobilisasi selama 3 minggu selanjutnya dilatih secara
pasif dan aktif.

REKONSTRUKSI ISOLATED CHRONIC PULLEY RUPTURE


-
Untuk pasien dengan isolated pulley rupture, jaringan setempat biasanya
tidak cukup memadai untuk rekonstruk-si sehingga siperlukan free graft.
-
Pasca operasi diperlukan immobilisasi dan diikuti dengan hand thearpy dan
external pulley support ring.

REHABILITASI PASCA OPERASI


-
Untuk mencegah rupture tendon repair maka tangan harus di splint dalam
dorsal protective splint.
-
Posisi tangan dan pergelangan tangan yang fleksi akan mengakibatkan
hilangnya tegangan pada tendon yang disambung dan mencegah pasien
untuk melakukan kontraksi penuh pada jarinya.
-
Tanpa adanya pergerakan jari akibat splint, akan timbul kontraktur, tendon
adherence dan hilangnya pergerakan.
198
-
Beberapa ahli menganjurkan postoperatove controle motion program
sehingga memungkinkan pergerakan tendon namun mencegah rupture ulang
tendon yang dieprbaiki. Ini sangat penting terutama pada cedera zona II.
-
Lister et al, memperkenalkan konsep passive flexion-active extension ke
dalam protokol rehabilitasi.
-
Dalam pprotokol ini, karet gelang dilekatkan ke ujung jari pada aspek
dorsal kuku melalui suatu pengait yang direkatkan ke kuku atau melalui
sutau jahitan. Karet gelang ini secara pasif akan menjaga jari tetap fleksi.
Beberapa jam pasca operasi penderita melakukan latihan aktif ekstensi jari-
jari dan dibatasi oleh splint dan melawan tahanan karet gelang.
-
Masalah dengan protokol ini adalah timbulnya kontaktur fleksi pada sendi
interphalangeal karena jari secara permanen dipertahankan pada posisi
fleksi kecuali pada waktu latihan.
-
Selain itu, kekuatan tarikan karet gelang dapat inadekuat untuk membuat
fleksi penuh sendi DIP sehingga tidak menimbulkan fleksi tendon sesuai
yang diinginkan.
-
Modifikasi untuk hal ini dilakukan dengan menempatkan palmar pulley
(yakni menempatkan karet gelang dibawah pulley atau pin di midpalm)
akan memperbaiki arah tarik-an fleksi pasif dan menimbulkan fleksi lebih
baik pada DIP.
-
Insidens kontraktur fleksi dapat dicegah dengan melepaskan karet gelang
sewaktu tidak latihan atau dengan mempertahankan jari dalam ekstensi
sewaktu malam.
-
Protokol lain adalah modifikasi tehnik Duran yakni dengan melakukan
latihan ROM pasif yang menciptakan sebesar 3-5 mm tendon gliding untuk
mobilisasi tendon yang diperbaiki dan mencegah adesi serta kontraktur
sendi
-
Protokol ini juga menggunakan dorsal protective splint dan immobilisasi
posisi. Namun tak ada peralatan traksi yang digunakan dan pasien
diperintahkan untuk melakukan latihan ROM fleksi dan ekstensi pasif jari
dengan dibatasi oleh splint.
-
Kebanyakan ahli menggunakan gabungan kedua tehnik ini. Misalnya
dengan Washington regimen.
-
Washington regimen : menggabungkan antara ekstensi aktif terhadap fleksi
pasif karet gelang dengan ekstensi dan fleksi pasif therapist-assisted.
-
Kontrol program terkendali selama 6 minggu (dibagi menjadi 3 fase)
immobilisasi dalam dorsal protective splint dengan palmar pulley.
-
Selama 2 minggu pertama dilakukan latihan full passive flexi dan extensi
oleh terapis dan setiap jam oleh penderita terhadap tahanan gelang karet.
-
Selama 2 minggu kedua dilakukan full interphalangeal joint extension dan
latihan pasif dihentikan. Altihan aktif diteruskan hingga minggu ke 3 dan 4.
-
Pada hari ke 28 traksi gelang karet dihentikan dan selama minggu ke 5 dan
6 fleksi aktif dimulai dengan batasan splint bersamaan dengan latihan fleksi
pasif.
-
Sewaktu splint dilepaskan maka dimulai ekstensi aktif pergelangan tangan
dengan dibantu flexor tenodesis dan rehabilitasi.

199
TENOSYNOVITIS

ANATOMI
-
Inflamasi pada jarinagn yang mengelilingi felxor tendon sheaths merupakan
kejadian yang sering dan sering menyebabkan jaringan ini menebal dan
membentuk nodul.
-
Pada jaringan selubung tendon dan pulley terjadi perubahan proliferatif dan
pembentukan chondroblast.
-
Penebalan pulley dapat berlangsung progresif sehingga mengakibakan
konstriksi tendon flexor.

PENERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSIS


-
Penderita sering mengeluh nyeri tekan di jari dan telapak tangan yang
memburuk di waktu pagi hari.
-
Ibu jari merupakan bagian yang paling sering kena lalu jari manis dan jari
tengah. Jari telunjuk paling jarang terkena.
-
Onset gejala mendadak dan atraumatik.
-
Wanita lebih sering kena, utamanya mereka yang lebih sering menggunakan
tangan dalam pekerjaannya.
-
Insidens tertinggi pada usia dekade ke lima dan ke enam.
-
Sejalan dengan perkembangan penyakit penderita merasa ada “snapping”
pada level sendi PIP d an sendi IP pada ibu jari akibat perbedaan ukuran
yang berkembang antara stenotic sheath dan nodular tendon, walaupun
nyeri dirasakan di telapak tangan.
-
Proses patologik yang sebenarnya terjadi pada level sendi MP dengan
tendon mengalami tambatan pada A1 pulley.
-
Kadang-kadang terjadi triggering pada level A2.
-
Nodul nyeri dapat teraba disertai nyeri sepanjang selubung tendon.
-
Nodul ini merupakan pembesaran dari sheath.
-
Snaping dapat berkembang progresif dengan mengunci sendi dalam posisi
fleksi atau ekstensi.
-
Dianosis banding antara lain tumor, benda asing, laserasi parsial tendon
fleksor, rheumatoid arthritis, dan locked sendi MP.
-
Locked sendi MP merupakan kejadian mendadak dengan sendi kehilangan
ekstensi tanpa disertai abnormalitas pada ROM sendi IP.

RADIOLOGIS

200
-
Sekurang-kurangnya satu seri foto baseline pada tangan yang nyeri di foto
dengan tujuan untuk menyingkirkan kelainan patologik yang turut
menyertai.

PENANGANAN

Nonoperatif
-
Kasus yang dini harus ditangani secara nonoperatif dengan injeksi cortisone
ke flexor tendon sheath.
-
Jarum berukuran 25 gauge digunakan untuk menginjeksikan 0,5 ml
triamcinolone.
-
Nyeri akan hilang dalam 24 jam, tapi snapping dapat menetap selama
beberapa hari pasca injeksi.
-
Manfaat injeksi dalam menghilangkan gejala tergantung pada beratnya
inflamasi pada waktu datang berobat.
-
60-90% kasus dapat disembuhkan dengan injeksi cortisone
-
Tidak ada efek samping dari injeksi obat ini, namun harus diwaspadai pada
penderita diabetes karena obat ini dapat mempengaruhi kadar gula darah.

Operatif
-
Penderita yang gagal dengan injeksi triamcinolone atau dengan kontraktur
sendi yang fixed perlu dipertimbangkan tindakan oepratif.
-
Operasi dilakukan dengan anestesi lokal dan dilakukan pemotongan A1
pulley pada sendi yang menderita.
-
Untuk triggering pada level A2 dilakukan reduksi flexor tenoplasty dan
bukan release A2.
-
Surgical release dilakukan dengan teknik standar atau per kutaneus.
-
Untuk operasi terbuka, dilakukan insisi longitudinal atau horisontal. Tepi
proksimal cincin A1 pulley dan jari kelingking berada pada level distal
palmar crease sepanjang aksis longitudinal jari-jari.
-
Pada jari tengah, tepi pulley berada diantara distal dan proximal palmar
crease.
-
Pada ibu jari, tepi pulley ini terletak pada level MP joint crease.
-
Tetap berada di midline shetah selama pulley release akan mencegah
kerusakan pada digital nerves.
-
Radial digital nerve pada ibu jari merupakan saraf yang paling rentan
terhadap cedera karena letaknya yang sub kutaneus, di atas radial sessamoid
dan dapat mengalami laserasi sewaktu insisi kulit transversal.
-
Penanganan pasca operasimeliputi bebat ringan selama 24 jam diikuti bebat
di tempat jahitan luka insisi.
-
ROM dapat dimulai segera, dan therapi tangan formal jarang dilakukan .
-
Luka insisi masih terasa sakit sewaktu disentuh selama beberapa minggu.
Massase jaringan parut dan desensitisasi dapat membantu meringankan
gejala ini.
-
Komplikasi yang terjadi meliputi cedera saraf digital, infeksim, stiffness,
dan sensitifitas jaringan parut.
201
-
Pembebasan terlalu banyak sistem pulley dengan kerusakan A2 pulley
akanb menimbulkan bowstringing yang akan menurunkan kekuatan
menggenggam dan membatasi ekstensi jari-jari.

TRIGGER FINGER PADA ANAK-ANAK


-
Congenital trigger finger paling banyak mengenai ibu jari.
-
Pada bayi baru lahir hanya dianjurkan observasi karena resolusi spontan
akan terjadi dalam 1 tahun pada 30% anak-anak.
-
Trigger thumbs yang didiagnosis antara usia 6 dan 36 bu-lan harus
diobservasi selama 6 bulan karena resolusi akan terjadi pada 12% penderita.
-
Jika diagnosis ditegakkan sewaktu berusia > 3 tahun maka dianjurkan
pembedahan.
-
Diagnosis sering terlambat karena secara fisiologis anak-anak sering
mengepalkan tangannya.
-
Trigger finger menyebabkan sendi IP dari ibu jari terkunci dalam posisi
fleksi.
-
Trgiger finger pada jari-jari lainnya yang didiagnosis pada masa kanak-
kanak dan simtomatik harus ditangai secara operatif. Begitu pula pada
orang dewasa, protokol tetap sama.

23. CEDERA TENDON EXTENSOR DAN TENDINOPATHI GENERAL

PENDAHULUAN
-
Cedera tendon ekstensor telah lama dianggap sebagai masalah yang
sederhana dan ditangani dengan melakukan pendekatan (reapproximation)
dari defek yang timbul.
-
Penelitian terbaru membuktikan bahwa cedera tendon ekstensor dapat
menimbuilkan masalah yang pelik terutama dalam kecacatan fungsi jari-
jari.
-
Kehalusan kerja serta keseimbangan dinamik mekanisme ekstensor
memerlukan pengetahuan serta penanganan yang teliti dalam keberhasilan
tindakan.

ANATOMI
-
Kekuatan mekanisme ekstensor didukung oleh dua komponen :
1. Ekstrinsik
Oleh otot-otot yang diinnervasi secara radial dan berasal dari otot lengan
bawah atau siku.
202
2. Intrinsik
Oleh otot-otot yang diinnervasi secara ulnar dan berasal dari otot tangan.
-
Otot-otot dan tendon ekstrinsik berasal dari proksimal tangan dan berjalan
di bawah ekstensor retinakulum, yg di dorsal membagi mnejadi 6
kompartmen yakni :

1. Kompartmen I
Extensor pollicis brevis (EPB) dan abductor pollicis longus (APL), yang
dibagi menjadi satu atau lebih septa.

2. Kompartmen II
Extensor carpi radialis longus (ECRL) dan extensor carpi radialis brevis
(ECRB)

3. Kompartmen III
Extensor pollicis longus (EPL) berjalan di dalam kompartmen ini dan di
sekitar Lister’s tubercle ke phalanx distal ibu jari.

4. Kompartmen IV
Berisi extensor digitorum communis (EDC). Tendon ini berjalan ke
empat jari-jari dan extensor indicis propius (EIP) yang berada di ulnar
ESDC ke jari telunjuk.

5. Kompartmen V
Meliputi extensor digiti minimi (EDM).

6. Kompartmen VI
Kompartmen ini mempunyai subsheath, dibawah exensor retinaculum,
yang membungkus dengan erat extensor carpi ulnaris (ECU) terhadap
ulna.
-
Retinaculum extensor adalah suatu pulley (katrol) yang mencegah
bowstringing tendon extensor.
-
Tendon extensor (kompartmen IV) pada pergelangan tangan dibungkus oleh
tenosynovium dan melintasi metacarpal.
-
Tendon-tendon ini dihubungkan oleh suatu juncturae tendinum.
-
Junctura ini bertanggung jawab terhadap ekstensi jari yang kontinue dan
uniform dan mencegah retraksi tendon setelah terjadi laserasi pada dorsum
tangan.
-
Tendon yang menuju ke jari-jari akan melintasi sendi MP dan
dipertahankan di tempatnya oleh sagittal bands yang melintas dari tendon
ke volar plate phalanx proximal dan mencegah terjadinya subluxasi.
-
Otot-otot intrinsik yang berada di volar dari aksis rotasi dan flexi sendi MP.
-
Otot-otot extrinsic dan tendon tetap berada di dorsal dan memanjang ke
sendi MP.

203
-
Tendon extensor akan mengalami tricufate (bercabang 3) di phalanx
proximal untuk membentuk satu central slip dan dua lateral slip.
-
M. lumbricales berasal dari tendon FDP pada sisi radial dari setap jari.
-
Ke arah distal, tendon m lumbricales tetap berada di volar dari profunda
ligamentum metacarpalis transversalis melintasi sisi radial sendi MP dan
terbagi untuk berperan pada central slip dan lateral slip dari mekanisme
extensor.
-
Ke tiga m interossei palmaris berasal dari metacarpal shaft melintas di
bagian dorsal profunda dari profunda ligamentum metacarpalis transversalis
dan mengirimkan satu slip ke basisi phalanx proximal; slip lainnya
menyerupai insrsi lumbricalis.
-
Ke empat m. interossei dorsalis berasal dari 2 metacarpal shaft yang
membatasinya.
-
M. interossei dorsalis memberikan pola insersi yang sama dengan interossei
palmaris namun melintas di atas axis MP.
-
Ada banyak variasi menyangkut insersi pada phalanx proximal atau
mekanisme extensor diantara jari-jari.
-
Fungsi dari m. interossei dorsalis adalah untuk abduksi dan m. interossei
volaris untuk adduksi.
-
Pada bagian dorsum phalanx proximal, central slip dibentuk oleh EDC dan
sebagian kecil lumbrical serta m. interossei dorsalis dan volaris. Semua
struktur ini berinsersi pada basis phalanx media.
-
Tendon intrinsik (m. lumbricalis dan m. interossei) akan membentuk lateral
band dan menerima kontribusi kecil dari serabut-serabut melintang (cross
over) central slip, yakni EDC.
-
Lateral bands ini bergabung pada bagian dorsum phalanx media untuk
membentuk tendon terminal yang akan berinsersi pada basis phalanx distal.
-
Mekanisme extensor distabilisasi oleh beberapa struktur tambahan.
-
Ligament transversum retinacular bekerja pada level sendi PIP untuk
menahan translasi dorsovolar dari lateral bands.
-
Lebih ke distal. Terdapat ligamen triangular yang tersusun dari serabut-
serabut transversal yang memegang conjoined lateral bands di bagian
dorsal.
-
Conjoined lateral bands inilah yang membentuk tendon extensor terminal.
-
Ligamentum obliqum retinacular berjalan dalam flexor sheath, di sebelah
volar dari sendi PIP untuk bergabung dengan tendon terminal, berinsersi
pada basis dorsal phalanx distal.
-
Ligamen ini memperkuat ekstensi DIP (distal interphalang eal) dengan
mengekstensi secara aktif sendi PIP.
-
Sistem extensor dari ibu jari termasuk satu otot yang berinsersi pada tiap
sendi yakni:
1. EPL berinsersi pada phalanx distal
2. EPB berinsersi pada phalanx proximal
3. APL berinsersi pada basisi metacarpal.
-
Fungsi extensor ibu jari tidak tergantung pada hubungan dinamik pada tiap
komponennya meskipun dorsal hood memang serupa dengan yang dijumpai
pada jari lainnya.
204
-
Mekanisme extensor dibagi menjadi 8 zona oleh Kleinert dan Verdan.
-
Disrupsi tendon pada tiap level akan menyebabkan tipe cedera yang
berbeda.

CEDERA AKUT TENDON EXTENSOR

Zona I : DIP (Mallet Finger)


-
Zone I dimulai dari insersi paling distal mekanisme extensor pada sentral
slip di ujung proximal phalanx media.
-
Dsirupsi tendon terminal atau conjoined lateral bands pada sendi DIP akan
menyebabkan extensor lag dari phalanx distal. Keadaan ini disebut sebagai
drop, baseball, cricket, atau paling seirng mallet finger.
-
Cedera ini paling sering ditemukan pada pekerja pabrik dan sport.
-
Mallet finger dapat terjadi spontan pada pasien dengan rheumatoid arthritis
atau dengan trauma minimal pada jari.
-
Mekanisme cedera berupa gaya flexi tibatiba dan jari yang sedang ekstensi.
-
Kadang, walaupun jarang, cedera ini timbul akibat gaya hyperextensi
sehingga terjadi fraktur dorsal dan mallet finger.
-
Warren et al, melokalisir zona kritis avaskular pada jarak 11-16 mm dari
insersi lateral bands, berhubungan dengan daerah kompresi di atas caput
phalanx media jika dalam keadaan flexi. Ini menunjukkan bahwa gangguan
vaskular turut berperan dalam menyebabkan mallet finger.
-
Gambaran paling nyata dari mallet finger adalah postur flexi sendi DIP dan
hilangnya ekstensi aktif bagian terminal.
-
Derajat deformitas dapat bervariasi, beberapa ahli menemukan timbulnya
deformitas fleksi terjadi beberapa hari setelah trauma pada sendi DIP.
-
Mallet finger kronik berupa deformitas flexi pada sendi DIP dan
hiperextensi sendi PIP. Ini dikenal sebagai secondary swan-neck defor-
mity.
-
Foto radiograf dianjurkan untuk mallet finger akut maupun kronik. Foto
lateral dapat memperlihatkan fragmen fraktur dan subluksasi sendi. Foto AP
dapat menampakkan cedera ligamen collateral yang menyertai.
-
Doyle mengklasifikasikan mallet finger menjadi 4 tipe.

KLASIFIKASI MALLET FINGER (DOYLE)

Cedera tipe I
-
Disebabkan oleh hyperfleksi sekunder akibat trauma tumpul atau tertutup.
-
Cedera ini meliputi disrupsi atau stretching tendon extensor proksimal dari
tempat insersi-nya dan dapat disertai atau tidak dengan fraktur avulsi yang
kecil.

205
Cedera tipe II
-
Cedera laserasi yang membagi dua tendon terminal

Cedera tipe III


-
Gambaran khas abrasi yang dalam sehingga terjadi kejhilangan jaringan
lunak di atas fraktur.

Cedera tipe IV
-
Dibagi lagi menjadi 3 subgrup:

a. Fraktur transephiphyseal pada anak-anak


b. Fraktur yang meliputi 20-50% permukaan artikular akibat cedera
hyperflexi
c. Fraktur akibat hyperextensi yang meliputi lebih dari 50% permukaan
artikular dan menampakkan subluksasi volar dari phalanx distal.
-
Fraktur malet akut tertutup ditangani secara nonoperatif. Jari diimmobilisasi
dengan sendi DIP dalam posisi ekstensi dengan menggunakan prefabricated
plastic splint finger splint, foam-padded alumionium splint, atau custom-
made finger tip protector.
-
Splint harus memungkinkan pergerakan yang bebas dari sendi PIP.
-
Penelitian anatomi Kaplan mendapatkan adanya relaksasi relatif dari
mekanisme ekstensor pada ke tiga sendi jika hanya sendi DIP diper-
tahankan dalam posisi ekstensi.
-
Splinting yang lebih ekstensif atau dengan Smillie’s serial casting method
kadang diperlu-kan untuk pasien yang aktif atau tidak kooperatif.
-
Splinting dipertahankan selama 6-8 minggu dilanjutkan dengan night
splinting selama 2 minggu sewaktu pasien mulai melakukan flexi.
-
Jika timbul rekurensi atau deformitas maka splinting dipasang kembali.
-
Hasil yang memuaskan dapat tertunda 4-6 minggu.
-
Mc Farlane dan Hampole mendapatkan hasil yang accep-table setelah 3
bulan pasca cedera.
-
Fraktur mallet transepiphyseal pada anak-anak jarang ter-jadi. Fraktur ini
disebabkan oleh perlekatan tendon exten-sor pada epifise phalanx distal.
Penanganannya berupa reduksi tertutup sampai ke jari. Splint dipasang
selama 3-4 minggu.

Komplikasi
-
Komplikasi dengan penggunaan splint dapat berupa ulse-rasi dan maserasi
kulit.
-
Untuk mencegah komplikasi ini hindari hyperextensi ex-treme dan tekanan
pada dorsum sendi.

Operatif
-
Reduksi terbuka pada fraktur tertutup jarang diperlukan dan tidak efektif.

206
-
Fiksasi dengan K wire yang melintas DIP dapat digunakan pada penderita
yang pekerjaannya tidak memungkinkan penggunaan splint.
-
K wire dipertahankan selama 6 minggu dan setelahnya dimulai pergerakan.
-
Komplikasi potensial seperti cedera nail bed dan osteo-mielitis harus
dijelaskan pada penderita sebelum dipasang K wire.
-
Mallet finger terbuka ditangani dengan reapproximasi jaringan, dengan
menggunakan tehnik figure eight atau roll suture.
-
Pasca operasi DIP dipertahankan dalam posisi ekstensi dan jahitan dibuka
setelah 10-14 hari, kemudian splinting dilanjutkan seperti pada fraktur
tertutup.

Hasil
-
Mallet finger dengan avulsi fragmen kecil dapat ditangani dengan reduksi
tertutup. Beberapa sarjana telah membuk-tikan bahwa keberadaan fragmen
kecil ini tidak banyak berpengaruh pada hasil penanganan.
-
Wehbe dan Schneider menganjurkan slinting ekstensif untuk semua mallet
finger. Mereka percaya bahwa congruinity sendi tidaklah esensial, karena
remodelling akan menciptakan sendi yang fungsional dan tidak nyeri.
-
Crawford menyatakan bahwa splinting dalam posisi hi-perekstensi harus
dihindari jika tampak nyata fraktur kare-na hal ini akan menyebabkab
subluksasi.
-
Beberapa ahli lain menganjurkan penanganan operatif un-tuk semua fraktur
yang melibatkan lebih 1/3 permukaan artikular.
-
Sebagian besar ahli menganjurkan penaganan operatif un-tuk memulihkan
kongruinitas sendi hanya jika telah terjadi subluksasi.
-
Jika terjadi subluksasi volar dan fraktur lebih dari 30%, maka sendi
diekspose ke dorsal dan single K wire dipasang longitudinal melalui
phalanx distal untuk mereduksi dan mempertahankan sendi DIP.
-
Jika fragmen fraktur tidak aposisi dengan baik maka dapat digunakan
jahitan pull out atau wire dan keluar ke volar ditambat ke kancing.
-
Selanjutnya dipasang splint selama 6 minggu sebelum wire dicabut dan
rehabilitasi dimulai.
-
Perbaikan operatif untuk deformitas mallet dapat menimbulkan masalah
dalam communition dari fragmen fraktur, sehingga akan timbul kesulitan
dalam menyam-bung kembali extensor mechanism, nekrosis kulit, dan
penurunan ROM pada sendi DIP. Juga dapat timbul intoleransi terhadap
dingin dan nyeri yang menetap.
-
Cedera mallet thumb lebih jarang terjadi dibanding jari lainnya namun
prinsip penanganannya sama.
-
Walaupun sejumlah ahli menganjurkan tindak-an operatif namun Doyle
lebih menyenangi tindakan splinting dalam posisi ekstensi untuk cedera
tertutup.
-
Laserasi pada level sendi interphalangeal akanb memungkinkan perbaikan
pada tendo EPL.
-
Fraktur melalui sendi dengan pulloff insersi EPL membutuhkan reduksi
operatif dan fiksasi internal.
207
Zona II : PHALANX MEDIA
-
Laserasi pada level ini jarang komplit mengingat luasnya serta lengkungan
dari mekanisme ekstensor.
-
Penanganannya sama seperti pada zona I dengan figure of eight atau roll
suture serta splinting pada sendi DIP selama 6 minggu.
-
Laserasi < 50% tidak membutuhkan perbaikan dan pergerakan aktif dapat
dimulai setelah terjadi penyembuhan luka.

Zona III:SENDI PIP (CEDERA BOUTON NIERE)


-
Tanda paling nyata dari deformitas Bouton-niere adalah fleksi sendi PIP
dengan hiperekstensi sendi PIP.
-
Ini timbul akibat diskontinuitas centrals slip dari mekanisme ekstensor pada
level sendi PIP dengan migrasi volar lateral bands.
-
Cedera ini timdul akibat laserasi, gaya fleksi sendi PIP, crush injuries,
dislokasi volar PIP, dan sinovitis dari artritis inflamatory.
-
Diagnosis pada situasi akut mungkin sulit haya kecurigaan besar saja.
-
Temuan yang mendukung antara lain edema dan nyeri pada basis dorsal
phalanx media dengan kelemahan ekstensi sendi PIP terhadap tahanan.
-
Dislokasi volar sendi PIP menunjukkan ke-mungkinan late boutonniere
injury.
-
Foto x-ray jarang memperlihatkan fragmen fraktur hingga ke dorsum
phalanx media.
-
Pada kejadian akut, penderita masih mampu mengekstensikan sendi PIP
melalui lateral bands.
-
Dengan penggunaan terus menerus ligamen tri-angular akan mengalami
peregangan dan ligamentum transversalis retinacular mengalami kontraktur
secara progresif.
-
Lateral bands selanjutnya akan bermigrasi ke volar pada aksis sendi PIP dan
mulai berlaku sebagai flexor untuk PIP.
-
Aligment baru ini terfokus pada gaya mekanis-me ektensor pada sendi DIP,
yang bersamaan dengan sendi MP, mulai mengalami hipereks-tensi.
-
Pada boutonniere kronik, deformitas akan me-netap sekunder akibat
kontraktur retinacular transversum, retinacular obliquum, ligamenta
collaterale, dan volar plate.
-
Acute closed boutonniere deformity ditangani dengan immobilisasi pada
sendi PIP dalam posisi ekstensi. Tindakan ini dapat disertai dengan splint
atau transarticular K wire.
-
Sendi PIP diimmobilisasi dan fleksi aktif sendi DIP dilakuukan untuk
mencegah terjadinya perlengketan pada lateral bands serta kontraktur pada
ligamentum retinacular obliquum.

208
-
Splint dipasang selama 6 minggu selanjutnya dilakukan fleksi aktif sendi
PIP dan sendi diproteksi dalam posisi ekstensi selama 2 minggu lagi
diantara periode latihan.
-
Pada awalnya beberapa jari tidak mungkin melakukan ekstensi penuh. Dam
dibutuhkan serial splinting atau casting.
-
Tujuan dari penanganan adalah untuk mencegah kekaku-an, deformitas
kronik boutonniere.
-
Penanganan bedah pada deformitas akut boutonniere hanya ditujukan pada :
1. Fraktur avulsi
2. Deformitas subakut boutonniere pada usia muda
3. Dislokasi volar sendi PIP, dan
4. Laserasi melintasi sendi PIP.
-
Reattachment tulang atau eksisi fragmen dan central slip reattachment
merupakan penanganan pilihan untuk fraktur avulsi.
-
Jika tidak terjadi fraktur maka central slip dieksplorasi dan diperbaiki,
seperti perbaikan pada struktur lainnya.
-
Pada kedua keadaan, K wire digunakan untuk menempat-kan sendi PIP
dalam posisi ekstensi selama 3 minggu.
-
Laserasi pada regio sendi PIP dapat terjadi intraartikular dan mrmbutuhkan
irrigasi, debridement dan perbaikan primer pada central slip dan/atau lateral
bands dengan jahitan pullout; kadang diperlukan immobilisasi dengan K
wire pada sendi PIP dalam posisi ekstensi.
-
Sejumlah prosedur rekonstruktif dengan menggunakan jaringan lokal dapat
digunakan untuk mencergah deformitas kronik jika terjadi kehilangan
jaringan disertai keterlibatan mekanisme ekstensor.

Zona IV: PHALANX PROXIMAL


-
Laserasi pada zona IV kadang kala menimbulkan transeksi komplit karena
pada level ini mekanisme ekstensor lebar dan berorientasi circumferential.
-
Laserasi parsial diperbaiki secara primer dan pasien mulai menjalani
porotokol ROM.
-
Perbaikan termasuk mempertahankan central slip dengan splint dan sendi
PIP dalam posisi ekstensi selama 6 minggu untuk menghindari lengthening
central slip dan berkembangnya deformitas tipe boutonniere.

Zona V : SENDI MP
-
Sendi MP merupakan lokasi tersering yang mengalami abrasi di tangan
karena letaknya yang menonjol.
-
Cedera penetrans pada level ini dapat mempengaruhi sendi MP.

209
-
Setiap luka kecil pada lokasi ini harus dianggap sebagai akibat gigitan orang
kecuali terbukti tidak.
-
Gigitan orang merupakan luka terkontaminasi biasanya polimikrobial
berupa bakteri gram positif (streptococci, staphylococci) atau gram negatif
Eikenella.
-
Jika luka masih dalam 6 jam pasca cedera, mungkin sudah tertutup; jika
tidak, dibiarkan terbuka dan perbaikan tendon sekunder dilakukan 4-7 hari
kemudian.
-
{ada laserasi yang simpel dan bersih, perbaikan tendon dilakkan primer.
-
Perbaikan sagittal bands dilakukan untuk mencegah subluksasi tendon
ekstensor. Dinamik splinting dalam posisi intrinsic-minus dan pergerakan
dini dianjurkan setelah perbaikan sagittal bands.
-
Subluksasi atau dislokasi tendon ekstensor ekstrinsik pada level ini terjadi
sekunder akibat cedera sagittal bands oleh:
1. Laserasi,
2. Benturan langsung,
3. Fleksi sepenuh tenaga (forcefull),
4. Stress ekstensi
-
Yang paling sering terlihat adalah pada jari tengah, ini meliputi robekan
pada sisi radial sagittal band dan subluksasi ulnar tendon.
-
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan nyeri tekan, edema, dan
ketidakmampuan mengekstensikan secara aktif sendi MP.
-
Deviasi ulnar pada jari yang terkena dapat terlihat sewaktu difleksikan.
-
Jika tendon ekstensor diesktensikan secara pasif maka tendon akan
mengalami reduksi dan pasien akan mampu secara aktif untuk
mempertahankan posisi ini.
-
Penatalaksanaan awal subluksasi tertutup tendon ekstensor pada sendi MP
harus meliputi splinting dalam posisi ekstensi.
-
Sejumlah ahli lebih menyenangi perbaikan dengan pembedahan akut pada
radial sagittal band.
-
Pasca pembedahan, sendi MP displint dalam posisi ekstensi maksimum
selama 4 minggu
-
Pergerakan aktif sendi PIP dan DIP dimulai pada minggu ke 2 dengan sendi
MP ekstensi.

Zona VI : METAKAPALIA
-
Tendo ekstensor pada dorsum p\manus terletak superficial sehingga mudah
mengalami cedera.
-
Prognosis baik setelah operatif , namun laserasi yang disertai dengan cedera
yang lebih berat akan meningkatkan resiko adhesi.
-
Tendo pada regio ini dapat diperbaiki dengan jahitan nonabsorbable
kemudian di splint dengan sendi MP dalam posisi netral serta pergelangan
tangan sedikit ekstensi.
-
Karena adanya junctura maka seluruh jari harus displint pada cedera EDC.
210
-
Splinting dinamik dimulai dini dan proteksi tetap dipertahankan selma 6
minggu.

Zona VII: PERGELANGAN TANGAN


-
Penatalaksanaan cedera tendo ekstensor pada pergelangan tangan sedikit
lebih kompleks mengingat adanya retinaculum extensorum.
-
Laseras tendon secara rutin dikerjakan sesuai dengan metode standar.
-
Tergantung pada lokasi perbaikan, beberapa bagian retinaculum extensorun
harus dieksisi untuk menghindari gangguan.
-
Disebelah proximal atau distal tendon yang diperbaiki, perbaikan
retinaculum extensorum harus tetap intak untuk mencegah bowstringing
tendon.
-
Laserasi dorsal dapat pula mengenai cabang-cabang superfisial n. radialis
atau n. ulnaris.
-
Saraf ini harus diperbaiki secarta akut pada waktu perbaikan tendon.
-
Pada level ini tendon sering mengalami retraksi ke proximal setelah laserasi
dan mungkin membutuhkan ekstensi longitudinal luka untuk
mengidentifikasi kedua ujung tendon yang putus.
-
Pasca operasi pergelangan tangan harus diimmobilisasi dalam posisi
ekstensi dan sendi MP dalam posisi netral.
-
Cedera tendon multipel berespon dengan baik terhadap pergerakan dini
(early motion) yang akan memicu penggelinciran tendon diantara
retinaculum.
-
Dynamic extension splinting dimulai pada hari ke 10.
-
Latihan protected ROM dimulai antara minggu ke 4 dan ke 6.

Zona VIII : DISTAL LENGAN BAWAH (DISTAL FORE ARM )


-
Cedera pada distal lengan bawah umumnya disebabkan oleh trauma
penetrans.
-
Penetrasi yang dalam membutuhkan pemeriksaan neuro-vascular yang
lengkap.
-
Diagnosis dikonfirmasi dengan hilangnya efek tenodesis, sehingga terjadi
ekstensi digital pada pergelangan tangan yang fleksi.
-
Dibutuhkan extensi longitudinal dari luka dan eksplorasi yang hati-hati dan
cermat untuk memperoleh perbaikan yang memuaskan.
-
Cedera pada musculotendinous junction dilakukan perbaikan dengan
melakukan aproksimasi tendon ke septa fibrosa pada muscle belly.
-
Laserasi intramuskular di reaposisi dengan menggunakan jahitan
absorbable.
-
Pasca operasi, pergelangan tangan diimmobilisasi dalam posisi ekstensi
dengan sendi MP sedikit fleksi.
-
Siku diimmobilisasi jika tendon yang terlibat mempunyai origo disebelah
proksimal siku.
211
-
Protected ROM dimulai pada minggu ke 4 dan splint dapat dilepas setelah 6
minggu.

REKONSTRUKSI TENDON EKSTENSOR

Mallet finger kronik


-
Extensor lag pada sendi DIP ditangani dengan memasang splint selama 12
minggu pasca cedera walaupun jangka waktu yang pasti belum ada yang
sepakat.
-
Disfungsi dengan kronik mallet finger dapat terjadi minimal dan dapat
ditoleransi oleh pasien.
-
Pasien yang mengeluh nyeri, deformitas, dan kehilangan fungsi mungkin
memerlukan koreksi bedah.
-
Koreksi pada kronik mallet finger membutuhkan perbaikan dengan
memendekkan mekanisme ekstensor.
-
Melalui dorsal approach ke sendi DIP dapat disertai dengan 3 metode:
a. Satu segmen jaringan parut di reseksi diikuti dengan perbaikan end-to-
end pada tendon;
b. Tendon diimbrikasi ke dirinya sendiri;
c. Insersi dari tendon yang tersebar dibagi, advanced, atau dilekatkan
kembali ke tulang.
d. Prosedur alternatif adalah dengan tenodermodesis.
-
Kulit dan mekanisme ekstensor dieksisi secara elips dan tepinya di re-
approximasi.
-
Sendi di stabilisasi dalam posisi ekstensi dengan K-wire longitudinal dan
dilindungi dengan splint selama 8 minggu
-
Tehnik lain adalah dengan release central slip.
-
Melalui insisi midlateral pada level sendi PIP, lateral bands diidentifikasi
kemudian bersama dengan mekanisme ekstensor dielevasi.
-
Insersi central slip di bebaskan dari proximal phalanx media.
-
PASca operasi sendi DIP di splint dalam posisi ekstensi dan sendi PIP
dipertahankan dalam posisi fleksi 300 selama 3 minggu, dan setelahnya
dimulai pergerakan sendi PIP dengan sendi DIP dipertahanbkan dalam
posisi ekstensi selama 4 minggu tambahan.
-
Prosedur ini mempunyai keuntungan menggerakakkan mekanisme
ekstensor proximal dan mempererat lateral bands.
-
Disamping itu juga memperkokoh sendi PIP dan menghindari hyperextensi.
-
Prosedur ini membutuhkan sendi DIP yang kongruen dan elastis sehingga
sulit untuk mengerjakan perbaikan kronik mekanisme ekstensor terutama
setelah mallet finger.
-
Alignment tulang dapat dipulihkan namun kontraktur akibat kapsula sendi,
ligamenta collateral dan volar plate akan membatasi fungsi.
-
Indikasi untuk arthrodesis sendi DIP adalah :
1. Deformitas fixed,
2. Perubahan degeneratif, dan
212
3. Malalignment sendi
-
Arthrodesis dapat dilakukan dengan menggunakan K-wire ataupun Herbert
screw.
-
Insisi dilakukan di bagian dorsal, dengan menggunakan rongeur permukaan
artikular diangkat. K wire dipasang secara retro grade sedangkan Herbert
screw dipasang antegrade dengan bimbingan fluoroskopi.

DEFORMITAS SWAN-NECK
-
Adalah deformitas fleksi pada sendi DIP dengan hiperekstensi ssendi PIP.
-
Deformitas ini terjadi akibat :
1. Ketidak-seimbangan dinamik yang mengganggu mekanisme ekstensor
distal yang mefokuskan kekuatannya pada phalanx media.
2. Atau dapat juga terjadi akibat inkompetensi volar plate pada sendi PIP.
-
Hasilnya adalah hiperekstensi sendi PIP sehingga terjadi dorsal
displacement dari lateral bands yang selanjutnya mengakibatkan
pemanjangan mekanisme ekstensor.
-
Faktor-faktor yang mengakibatkan deformitas swan-neck antara lain :
1. Mallet finger kronik
2. Fraktur malunion
3. Cedera volar plate pada sendi PIP
4. Spastisitas
5. Rheumatoid arthritis
6. Laxitas ligamen
-
Splinting dan latihan dapat digunakan untuk menghilangkan kontaktur fixed
dan struktur dalam yang ketat, namun hal ini tidak akan mencegah
terjadinya deformitas swan-neck.
-
Koreksi harus membatasi hiperekstensi pada sendi PIP dan memperkuat
ekstensi DIP.
-
Ini diikuti dengan melakukan konstruksi analog ligamentum retinaculum
obliquum dan mengamankan posisi volar untuk mencegah hiperekstensi PIP
dan menciptakan ekstensi pasif sendi DIP sewaktu sendi PIP secara aktif
diekstensikan.
-
Thompson et al melakukan tehnik operasi modifikasi dengan menggunakan
free tendon graft.
-
Approach dilakukan dorsolateral untuk memaparkan lateral band.
Selanjutnya dibuat lubang dengan arah anteroposterior pada basis phalanx
distal dan secara transversal pada basis phalanx proximal.
-
Tendon graft dengan panjang yang sesuai, biasnaya diambil tendon
palmaris atau plantaris, dimasukkan ke phlanx distal dengan tehnik jahitan
pull-out ke sebuah kancing atau dengan mini-Mitek.
-
Graft ini berjalan mengikuti perjalanan lateral band ke volar dan ke
proximal melintas phalanx media.

213
-
Graft ini berada di sebelah profunda neurovascular bundle untuk melintas
ke anterior pada sisi berseberangan dari phalanx proximal yang selanjutnya
berjalan menembus lubang transversal untuk kemudian disambung ke
sebuah kancing lagi.
-
Ketegangan tendon graft diatur dengan menarik graft hingga sendi DIP
ekstensi penuh dan sendi PIP dipertahankan dengan posisi fleksi sekitar 200.
-
Dapat ditambahkan K wire untuk memegang sendi PIP pada posisi ini dan
diangkat setelah 4 minggu dan jari dipasang dorsal splint pada posisi yang
sama.
-
Pada saat ini fleksi aktif juga dimulai. Splint diangkat setelah minggu ke 8
dan dimulai ekstensi aktif. Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan
ekstensi penuh pada sendi PIP.
-
Komplikasi pasca operasi adalah flexor tendon scarring dan deformitas
rekurens. Karenanya dibutuhkan program rehabilitasi dibawah pengawasan.
-
Jika sendi PIP rusak berat , atau mengalami deformitas, atau kontraktur
fixed maka dianjurkan melakukan arthroplasty atau arhtrodesis.

DEFORMITAS KRONIK BOUTONNIERE


-
Deformitas boutonniere dapat memperpanjang central slip sehingga terjadi
peningkatan migrasi volar dan fiksasi rigid lateral band.
-
Deformitas akan menjadi fixed dengan adanya kontraktur pada :
1. Ligamentum retinacular transversum, serta
2. Ligamentum retinacular obliquum,
3. Volar plate, dan
4. ligamenta collateral pada sendi PIP
-
Rencana penanganan tergantung pada deformitas yang terjadi pada sendi
PIP apakah supel atau fixed.
-
Kebanyakan deformitas boutonniere yang fleksibel berespon baik dengan
splinting dan intervensi therapeutik.
-
Ekstensi active-assisted pada sendi PIP akan meregangkan struktur volar
dan meningkatkan efek tenodesis pada sendi DIP.
-
Fleksi aktif sendi DIP dengan sendi PIP dipertahankan dalam posisi
ekstensi akan meregangkan lateral bands dan ligamenta retinacular
obliquum.
-
Prosedur penanganan pada garis besarnya dapat digolongkan menjadi empat
(tehnik) :
1. Perbaikan anatomis central slip,
2. Rekonstruksi dengan menggunakan lateral bands atau jaringan lokal
lainnya,
3. Tendon graft, atau
4. Redistrubusi gaya pada sendi
-
Burton melakukan prosedur realign joint forces. Dengan menggunakan
insisi bayonet dorsal dengan berpusat di atas sendi PIP, tendon ekstensor
dipisah tepat di atas bagian proximal phalanx media.
214
-
Tindakan ini secara efektif akan memanjangkan lateral band sehigga
memungkinkan migrasi proximal mekanisme ekstensor sehingga
meningkatkan kekuatan central slip.
-
Pasca operasi sendi PIP displint dalam posisi ekstensi namun latihan ROM
active-assisted tetap dilanjutkan.
-
Pada deformitas yang fixed, prioritas pertama adalah memastikan
pergerakan pasif. Dynamic atau serial splinting dapat membantu hal ini.
-
Kadang diperlukan operasi untuk membebaskan sendi, diikuti dengan
rekonstruksi bertahap pada mekanisme ekstensor.
-
Jika terdapat tandatanda perubahan degeneratif atau extensive fibrous
ankylosis maka perlu dipertimbangkan arthroplasty atau arthrodesis.

TENOLISIS EKSTENSOR
-
Bila tendon ekstensor menjadi fixed pada titik di luar insersi anatomis
(tenodesis), maka pergerakan menjadi terbatas.
-
Prosedur untuk hal ini, yang paling disenangi, adalah simple release dari
extensor tendon adhesions (tenolisis). Namun hal ini dapat inadekuat jika
struktur anatomik lainnya ikut terlibat.
-
Kekakuan sendi dan kontraktur yang terjadi mengharuskan kita untuk
membebaskan kapsul dan ligamen kolateral.
-
Tehnik tenolisis ekstensor adalah dengan approach dorsal hingga ke jari
untuk memperoleh paparan yang masimal.
-
Adhesi diantara kulit dan tendon ekstensor dibebaskan sejalan dengan
memperluas paparan.
-
Dimulai dengan phalanx proximal, central dan lateral slips diangkat dan
interval diantara keduanya dibebaskan pada tingkat setinggi sendi PIP.
-
Tindakan ini memberikan akses ke mekanisme ekstensor dan kapsul dorsal.
-
Bagian terminal tendon ekstensor dibebaskan sepanjang tepi radial dan
ulnar untuk mendapatkan akses lebih jauhke kapsula dorsal sendi DIP.
-
Jika kapsulotomi yang dilakukan tidak berhasil memulihkan ROM maka
diperlukan collateral ligament release.
-
Lebih disenangi melakukan partial collateral ligament release untuk
menjaga stabilitas sendi.
-
Pergerakan aktif dan pasif diuji sebleum menutup luka operasi.
-
Pola pendekatan lainnya untuk mengatasi adhesi mekanisme ekstensor
adalah dengan tendon release.
-
Extrinsic extensor tendon release dilakukan dengan tujuan untuk
memisahkan sistem intrinsik dari sistem ekstrinsik.
-
Eksisi yang dilakukan pada bagian sentral mekanisme ekstensor pada level
pahlanx proximal akan mengisolasi ekstrinsik sebagai ekstensor MP dan
intrinsik sebagai ekstensor interphalangeal.
-
ROM penuh dimulai segera setelah operasi.
-
Untuk mengurangi nyeri akibat oergerakan dapat diberikan analgesia
narkotik secara intravena, atau dengan memberikan transcutaneus
electyrical nerve stimulation (TENS).
215
-
Pergerakan pasif berkesinambungan (continuous passive motion = CPM)
dan dynamic splinting dapat membantu ROM.
-
Sangatlah penting menggunakan tendon ekstensor secara aktif.

SUBLUKSASI TRAUMATIK TENDON PADA SENDI MP


-
Subluksasi kronik tendon ekstensor akan menimbulkan gangguan akibat :
1. Hilangnya ekstensi aktif sendi MP,
2. Penyimpangan kearah ulnar jari yang terlibat, dan
3. Hiperekstensi sekunder pada sendi PIP.
-
Tehnik oiperasi yang dilakukan bertujuan untuk memusatkan tendon
ekstensor.
-
Kebanyakan operasi dilakukan untuk membuat tali kekang pengimbang
pada sisi radial tendon sehingga akan menahan dislokasi sewaktu fleksi. Ini
dikombinasi dengan release terbatas pada sisi ulnar seperlunya.
-
Pasca oeprasi, sendi MP displint dalam posisi ekstensi selama 4 minggu.
-
Pergerakan sendi PIP dilakukan setelah luka menyembuh untuk membantu
pergerakan tendon.

Rekonstruksi proksimal
-
Ditujukan pada pasien dengan pergerakan sendi MP hilang atau ekstensi
pergelangan tangan menunjukkan kecacatan yang nyata.
-
Prosedur rekonstruktif dilakukan untuk memperoleh kembali fungsi
pergelangan tangan.
-
Perbaikan langsung yang tertunda akan menyebabkan terjadinya kontraktur
miotatik.
-
Pilihan rekonstruksi adalah dengan tendon transfer dan interpositional graft.
-
Transfer pada umumnya lebih disukai terutama jika tersedia donor yang
sesuai.
-
Pergelangan tangan pasien diimmobilisasi selama 4-6 minggu sebelum
pergerakan dimulai.

COMMON EXTENSOR TENDINOPATHIES

TENOSINOVITIS De QUERVAIN
-
Tenosinovitis De Quervain adalah stenosis tenosinovitis pada kompartmen
pertama dorsal.
-
APL dan EPB berjalan melalaui suatu saluran fibro-osseus dan membentuk
suatu lekukan pada styloideus radialis dan retinaculumnya.

216
-
Gejala yang timbul berupa nyeri pada styloideus radii yang bertambah
buruk dengan pergerakan ibu jari atau pergelangan tangan.
-
Tes Finkelstein positif (nyeri timbul dengan deviasi ulnar pergelangan
tangan sewaktu ibu jari diadduksi). Merupakan tanda yang tipikal tapi tidak
patognomonik.
-
Penanganan awal berupa :
1. Memasang splint spica ibu jari,
2. Obat anti inflamasi, dan
3. Injeksi krotikosteroid pada dorsal kompartmen pertama.
-
Jika penanganan konservatif gagal maka dilakukan operasi dekompresi
pada dorsal kompartmen pertama.
-
Hati-hati sewaktu melakukan pembelahan setiap septa pada kompartmen
karena penelitian anatomis menunjukkan 20-30% kasus mempunyai hal ini.
-
Komplikasi yang dapat terjadi seperti :
1. Adhesi tendinuous,
2. Subluksasi volar tendon,
3. Cedera n. radialis superficialis, dan
4. Nyeri yang menetap.

INTERSECTION SYNDROME
-
Adalah tenosinovitis pada kompartmen dorsal jari ke dua.
-
Umumnya terjadi pada atlit.
-
Penderita mengeluh edema, nyeri tekan, dan krepitus pada 4-6 cm
proksimal Lister’s tubercle.
-
Dengan penanganan konservatif 95% berhasil, berupa istirahat, volar splint,
dan obat anti inflamasi, serta injeksi kortikosteroid.
-
Jika perlu, dilakukan pembedahan dengan melakukan release pada
kompartmen dorsal jari ke dua dengan eksplorasi pada zona intersection
diantara ekstensor radial pergelangan tangan dan APL serta EPB.
-
Setiap daerah inflamasi atau jaringan bursa diangkat dan selubung fascial
APL serta EPB dibebaskan.

TENDINITIS EPL
-
Biasa disebut dengan “drummer boy palsy”.
-
Sering dialami penderita rheumatoid arthritis dan penderita yang
sebelumnya pernah mengalami fraktur radius distal.
-
Penderita mengeluh edema, nyeri tekan, dan krepitus pada kompartmen
dorsal ajri ke tiga.
-
Nyeri bertambah hebat dengan pergerakan ibu jari.
-
Penanganan awal berupa splint spica ibu jari, istirahat, dan obat anti
inflamasi.

217
-
Injeksi kortikosteroid tidak dianjurkan karena akan meningkatkan tekanan
pada jaringan setempat dan dapat meningkatkan resiko ruptur.
-
Penanganan bedah berupa release kompartmen dorsal jari ke tiga,
transposisi tendon EPL ke sisi radial Lister’s tubercle, dan penutupan
retinaculum untuk mencegah relokasi.

EIP SYNDROME
-
Iritasio pada tendon EIP dapat dipresipitasi oleh hipertrofi muskular atau
sunovitis akibat pemakaian berlebihan.
-
Pasien menggambarkan nyeri dan edema pada kompartmen dorsal jari ke
empat.
-
Tes provokatif yang dapat dipercaya adalah dengan merasakan ekstensi
yang tertahan pada jari telunjuk sewaktu pergelangan tangan diekstensikan.
-
Penanganan konservatif berupa :
1. Splinting pergelangan tangan dan sendi MP,
2. Obata anti inflamasi,
3. Injeksi kortikosteroid.
-
Jika pengobatan konservatif gagal maka dilakukan tindakan operasi dengan
membelah retinaculum pada kompartmen dorsal jari ke empat dan
melakukan sinovektomi.

TENDINITIS EDM
-
Adalah tenosinovitis pada kompartmen dorsal jari ke lima.
-
Jarang terjadi dan serinmg dihubungkan dengan trauma, penggunaan
berlebihan , dan anomali anatomis.
-
Nyeri dan edema timbul di sebelah distal caput ulnar.
-
Standar terapi konservatif meliputi splint pada sisi ulnar.
-
Pada kasus yang resistan dilakukan tindakan pembedahan dengan
membelah retinaculum pada kompartmen dorsal jari ke lima.

TENDINITIS ECU
-
Merupakan stenosing tenosinovitis kedua yang paling sering terjadi pada
tangan.
-
Sering terjadi pada cedera olahraga.
-
Tendinitis ECU dapat timbul setelah pasca traumatik subluksasi ECU.
-
ECU merupakan struktur yang unik karena berjalan dalam saluran fibro-
osseus nya sendiri, terpisah dari retinaculum extensorum didekatnya.
-
Pasien dengan tendinitis ECU mengalami nyeri dan edema pada bagian
distal caput ulnar, bertambah berat dengan ekstensi pergelangan tangan dan
deviasi ulnar.

218
-
Subluksasi ECU dapat terjadi dengan supinasi dan deviasi ulnar sehingga
menyebabkan nyeri “snapping” pada dorsal pergelangan tangan.
-
Hajj dan Wood menganjurklan tindakan operatif jika pengobatan secara
konservatif gagal.
-
Tindakannya berupa radial release dari fibro-osseus tunnel diikuti dengan
perbaikan retinaculum extensorum.
-
Subluksasi ECU kadang kala membutuhkan graft retinacular atau sling
untuk menstabilkan tendon.
-
Pasca operasi pergelangan tangan diimmobilisasi dalam posisi pronasi dan
sedikit dorsofleksi dengan long arm cast.

24. FRAKTUR SHAFT FEMUR

ANATOMI
-
Tulang femur merupakan tulang tubular paling besar di tubuh.
-
Tulang shaft femur berbentuk tubular, melebar di bagian posterior
sepanjang linea aspera yang merupakan daerah dengan ketebalan korteks
paling besar.
-
Tulang femur dikelilingi oleh massa otot yang besar dan dirancang untuk
bertahan terhadap gaya yang besar.
-
Linea aspera merupakan tempat perlekatan fascia.
-
Daerah metafisis di proksimal dan distal melebar yakni di daerah
subtrochanter dan supracondylar femur.
-
Kedua daerah ini merupakan pusat konsentrasi stress.
-
Tulang shaft femur melengkung ke anterior (antecurvatur). Ini perlu
dipertimbangkan karena pemasangan implant yang kaku dan lurus akan
menimbulkan gap di posterior tempat fraktur.
-
Shaft femur menerima gaya otot-otot yang besar sehingga akan timbul
deformitas sewaktu terjadi fraktur.
-
Gaya mm. Gluteus yang berinsersi pada trochanter mayor menyebabkan
abduksi fragmen femur proximal pada fraktur femur proximal.
-
Juga terjadi flexi dan rotasi external akibat tarikan otot iliopsoas pada
trochanter minor.
-
Pada fraktur distal shaft femur terutama yang meluas ke supracondylar,
akan cenderung terjadi angulasi ke posterior karena tarikan m.
Gastrocnemius.

KOMPARTMEN

KOMPARTMEN ANTERIOR
-
Tersusun dari :
1. M. quadriceps femoris,

219
2. M. sartorius,
3. M. iliacus dan m. psoas,
4. M. pectineus,
5. AVN femoralis,
6. N. cutaneus lateralis femoralis.

KOMPARTMEN MEDIUS
-
Tersusun dari :
1. M. gracilis,
2. M. adductor longus,
3. M. adductor brevis,
4. M. adductor magnus,
5. M. obturator externa,
6. AVN obturatoria,
7. A. femoralis profundus.

KOMPARTMEN POSTERIOR
-
Tersusun dari :
1. M. biceps femoris,
2. M. semitendineus,
3. M. semimembranosus,
4. Sebagiahn m. adductor magnus,
5. A. femoralis profuindus,
6. N. ischiadicus,
7. N. cutaneus posterior femoralis.
-
Septum intermusculare yang tebal memisahkan kompartmen anterior dari
kompartmen posterior. Sedangkan septum intermusculare medial dan
posterios lebih tipis.
-
Mengingat tingginya volume ketiga kompartmen ini maka sindroma
kompartmen pada paha relatif lebih jarang dibanding pada kaki.

Vaskularisasi
-
Ada tiga pembuluh darah utama yang mensuplai tulang panjang, yakni :
1. a. nutrisia
2. a. metafisis
3. a. periosteum
-
A. nutrisia bertanggung jawab untuk perfusi marrow dan 2/3 - ¾ bagian
dalam korteks diafisis.
-
A. nutrisia menembus korteks shaft dan selanjutnya bercabang dua sebagai
pembuluh darah endosteum:
220
1. A. medullaris ascending
2. A. medullaris descending
-
Hampir semua prosedur operasi terbuka (periosteal stripping dan medullary
reaming) mempunyai kemungkinan untuk merusak dan membahayakan
sirkulasi tulang sehingga akan terjadi devaskularisasi tulang dengan akibat
perlambatan atau terhentinya proses penyembuhan tulang, mengganggu
perkembangan atau memberi kesempatan untuk menjadi fokus infeksi.
-
Intra medullary nail yang dipasang sebagai fiksator akan merusak sirkulasi
darah medulla namun mampu terjadi regenerasi dengan cepat dan sempurna
pada ruang antara nail dan permukaan endosteum, namun jika memakai
reaming hasilnya berbeda.
-
Penggunaan reaming pada intra medulalry nail akan menimbulkan
kerusakan sebagian besar pembuluh darah medulla, kerusakan pada bagian
dalam korteks kurang lebih 50-70%.
-
Kerusakan vaskular akibat reaming pertama lebih besar dibanding reaming
kedua atau selanjutnya.
-
Nail sendiri merupakan penghalang untuk terjadinya revaskularisasi pada
kanal medulla.
-
Regenerasi dari pembuluh darah terjadi pada minggu ke 6 pasca reaming
dan pemasangan intra medullary nail. Pembuluh darah yang masuk berasal
dari endosteum.
-
Revaskularisasi daerah nekrose berasal dari 2 sumber :
1. Regenerasi dari sirkulasi pembuluh darah medulla melalui arteriol-arteriol
kecil pada membran endosteum baru,
2. Pembuluh darah ekstra osseus baru yang sebagian besar berasal dari
jaringan ikat sekitarnya dengan cabang-cabang yang melintang
menembus eksternal callus sehingga mendukung kerja osteoklas untuk
membuang sel-sel nekrose.
-
Pada patah tulang kompleks, sirkulasi pembuluh darah terputus pada
intermediate fragmen dan sirkulasi dipertahankan dari periosteum.

KLASIFIKASI
-
Belum ada klasifikasi yang diterima secara universal untuk patah tulang
shaft femur.
-
Menurut geografinya, patah tulang shaft femur dibagi menjadi sepertiga
proksimal, sepertiga tengah, dan sepertiga distal.
-
Karean isthmus kanalis medulla selalu berada pada bagian pertengahan,
maka patah tulang sepertiga distal disebut juga fraktur infra isthmal.
-
Patah tulang shaft femur komunitiva menurut Winquist dibagi empat tipe.

221
Klasifikasi Winquist patah tulang shaft femur komunitif

Type I
-
Garis patah tulang minimal tanpa komunitif,
-
Fragmen kecil yang ada tidak menghganggu stabilitas setelah
pemasangan intra medullary nail.

Type II
-
Fragmen komunitif lebih besar dari tipe I
-
Sedikitnya 50% dari lingkaran korteks fragmen utama masih intak.

Type III
-
Derajat patah tulang komunitif antara 50-100% dari lingkaran korteks,
-
Dua fragmen utama seperit fragmen buterfly yang besar,
-
Intra medullary nail standar tidak mungkin dipasang perlu tambahan
antirotasi.

Type IV
-
Korteks komunitif pada seluruh fragmen tulang, sehingga
-
Dengan nail intra medullar tidak ada kontak antara fragmen distal dengan
proksimal akibat seluruh stabilitas tulang telah hilang.

FLOATING KNEE SYNDROME


-
Adalah suatu isitilah yang digunakan pada penderita yang mengalami
fraktur femur dan tibia ipsilateral.
-
Evaluasi lutut yang paling tepat pada cedera ini adalah sewaktu lutut dan
tibia telah distabilisasi secara ORIF.
-
Hasil penanganan yang paling baik untuk cedera ini serta cedera ikutan
ligamen atau cedera intra artikular adalah jika dilakukan sedini mungkin
jika kondisi penderita memungkinkan.
-
Jika tindakan pembedahan terpaksa ditunda, maka fraktur harus displint dan
ekstremitas dalam posisi traksi skeletal dengan fragmen dalam posisi
aligment terbaik yang dapat dicapai.

25. FRAKTUR SUPRACONDYLAR FEMUR

222
PENDAHULUAN
-
Fraktur supracondylar femur merupakan fraktur yang paling sering
mengakibatkan disabilitas permanen.
-
Disabiltas sendi ini lebih banyak disebabkan oleh cederanya diobvanding
akibat penanganan
-
Reposisi tertutup paling banyak digunakan pada fraktur ini dan secara
prinsipil meliputi splint dan traksi.
-
Traksi yang digunakan berupa two-pin system. Satu pin dipasang pada
fragmen supracondylar dan satunya lagi dipasang pada tuberositas tibia.
-
Dapat juga dipasang traksi single melalui tuberositas tibia.
-
Untuk immobilisasi dipasang splint. Untuk mempertahankan reduksi maka
dilakukan padding, fleksi lutut dan traksi.
-
Kekurangan dari metode ini adalah :
1. Ketidak mampuan untuk mengontrol fragmen intra artikular yang
displaced, dan
2. Fragmen supracondylar yang mengalami displaced ke posterior
-
Akibat dari ini adalah timbulnya kaku lutut dan lamanya hospitalitas yang
bertambah hingga 6-8 minggu.
-
Penanganan ORIF diperlukan untuk :
1. Fraktur yang unstable,
2. Membutuhkan reduksi anatomis,
3. Pada fraktur terbuka, atau
4. Fraktur yang disertai dengan cedera pembuluh darah,
5. dan juga pada fraktur dengan masalah tertentu.
-
Hasil akhir penanganan fraktur supracondylar dengan ORIF atau reduksi
tertutup sangat tergantung pada :
1. Beratnya trauma
2. Beratnya kerusakan jaringan lunak,
3. Usia (penderita usia lanjut sering disertai osteoporosis)
-
Tujuan penanganan penderita dengan fraktur supracondylar femur adalah :
1. Reduksi anatomis yang akurat pada permukaan sendi,
2. Reduksi atraumatik atau komponen metafiseal dari fraktur dengan
pemulihan alignment axial dan panjang yang normal,
3. Fiksasi internal yang stabil pada permukaan artikular,
4. Butressing metaphyseal,
5. Mobilitas dini
-
Sebagian besar komponen di atas hanya dapat dicapai dengan operasi.

ANATOMI DISTAL FEMUR

223
-
Aksis anatomi sendi lutut tidaklah segaris ataupun paralel dengan aksis
weight-bearing.
-
Aksisi weight bearing berjalan melintas center caput femoris dan center dari
lutut sedangkan aksis anatomi sendi lutut adalah valgus dan membentuk
sudut 810 dengan aksis horisontal sendi lutut.
-
Dari tampak lateral, jika kita menarik garis lurus pada cortex posterior shaft
femur ke arah distal maka akan tampak seolah-olah bagian posterior
condylus yang dibagi oleh garis ini seperti melekat pada shaft femur
-
Aplikasi dari hal ini adalah blade dari condylar plate ataupun screw DCS
yang hendak dipasang harus dipasang dibagian anterior condylus yang
merupakan proyeksi ke distal shaft femur sehingga plate akan sejalan/sesuai
dengan femur begitu pula screw akan memegang secara maksimal.
-
Ujung distal femur jika dilihat dari arah bawah (cross section) berbentuk
trapezoid.
-
Permukaan artikular bagian anterior tidak segaris atau paralel dengan cortex
posterior condylus.
-
Jarak dari sisi medial ke lateral atau lebar bagian anterior jauh lebih kecil
dibanding bagian posterior karena dinding lateral dan medial membentuk
garis inklinasi satu sama lain.
-
Dinding medial mempunyai slope yang lebih besar dengan sudut inklinasi
250 terhadap garis vertikal.
-
Hal ini penting untuk diingat sewaktu memilih panjang blade untuk
condylar plate atau memilih panjang screw kompresi.
-
Proyeksi lebar femur pada foto rontgen adalah lebar paling maksimum dan
mewakili jarak paling posterior dari dinding medial dan lateral dan bukan
jarak setengah bagian anterior ditempat blade mesti dipasang. Sehingga
blade yang diukur panjangnya pada cortex posterior akan terlalu panjang
dan keluar dari tulang intra artikular sehingga masuk ke dalam serabut-
serabut anterior dari ligamentum collateralis medialis.
-
Blade atau screw harus berhenti 8-10 mm dari proyeksi dinding medial.

PENANGANAN

OPERATIF
-
Indikasi secara umum untuk penanganan operatif adalah pada fraktur
supracondylar femur yang tak dapat ditangani secara nonoperatif atau jika
ditangani secara nonoperatif akan hasilnya tidak memuaskan.
-
Indikasi tindakan operatif adalah :

1. Indikasi absolut

a. Fraktur intraartikular dengan kongruinitas yang tak dapat dipulihkan


secara adekuat melalui manipulasi, yakni pada :

1. Fraktur unicondylar

224
Fraktur ini jika ditangani dengan cast brace, traksi, atau plaster
sering terjadi displace dan inkongruinitas sendi serta axial
nonalignment.

2. Fraktur bicondylar pada coronal plane (fraktur Hoffa)

Fraktur intra artikular ini tak dapat direduksi secara tertutup karena
satu-satunya perlekatan jaringan lunak (jika ada) adalah refleksi
sinovial dan kapsula posterior dari sendi sehingga traksi hanya
mempunyai sedikit pengaruh terhadap posisi fragmen.

3. Fraktur bicondylar T atau Y dengan displacement rotasional


condylus

Displacement klasik fragmen supracondylar adalah angulasi posterior


(rotasi dengan aksis sendi lutut) akibat tarikan m. gastrocnemius dan
displacement anterior shaft femur akibat shortening.
Jika displacement tak dapat dikoreksi dengan fleksi lutut dan traksi
maka reduksi hanya dapat dicapai dengan reduksi terbuka. Ini
tampak jelas jika penanganan ditunda hingga 1 minggu atau lebih.
Displacement yang lebih penting adalah rotasi satu condylus
terhadap yang satunya. Manipulasi dan reduksi pada displacement ini
tidak akan mempunyai efek dan jika dibiarkan akan menimbulkan
inkongruinitas yang permanen.

4. Fraktur supracondylar diatas lutut, total knee replacement

Fungsi dan long term survival dari total knee replacement


tergantung pada akurasi alignment axial dari komponen-komponen
nya. Suatu fraktur supracondylar diatas total knee repelacmen, jika
mengalami displace tidak akan dapat di realignment secara tertutup.
Malalignment yang terjadi akan mengakibatkan gangguan fungsi
atau survival dari total knee replacement.

b. Fraktur intra artikular terbuka

Dalam setiap fraktur terbuka penyebab utama disability permanen


adalah sepsis karena akan menimbulkan parut jaringan lunak yang

225
membungkus sendi dan kaku sendi. Sehingga setiap usaha penanganan
fraktur terbuka ditujukan untuk mencegah sepsis.
Faktor kedua yang paling penting setelah pencegahan sepsis adalah
stabilitas absolut fragmen tulang.
Dengan demikian, setelah tindakan debridemen maka perlu
dilakukan fiksasi internal agar tercapai stabilitas untuk mencegah
infeksi.

c. Cedera ikutan neurovaskular

Untuk mencegah terjadinya cedera neurovaskular diperlukan


stabilitas skeleton.

d. Fraktur ipsilateral tibial plateau

Keberadaan dua fraktur terpisah pada sisi berseberangan pada sendi


yang sama membutuhkan tindakan operatif untuk mereduksi
displacement fragmen yang terjadi.

e. Fraktur tibia ipsilateral (floating knee)

Keberadaan kedua fraktur ini menyebabkan kontrol reduksi tertutup


tidak berguna dan untuk mempertahankan fungsi diperlukan tindakan
reduksi terbuka dan fiksasi internal.

f. Cedera multipel

Tindakan stabilisasi fraktur pada penderita cedera multipel adalah


dengan alasan selain fraktur itu sendiri.

g. Fraktur patologis

Fraktur patologis tidak akan berhasail ditangani dengan immobilisasi


plaster karena destruksi tulang terjadi akibat adanya tumor.
Reduksi terbuka dengan evakuasi tumor serta diperlukan fiksasi
internal tipe komposit dengan methyl metacrilate.

2. Indikasi relatif

Indikasi relatif adalah pada fraktur intra artikular atau peri artikular
karena tindakan reduksi terbuka dengan fiksasi internal memberikan hasil
fungsional yang jauh lebih baik, namun perlu waspada pada fraktur intra
artikular yang mengalami communited hebat karena hasil operasi bisa
jauh dari yang diharapkan.

Tehnik reduksi dan fiksasi internal


226
-
Tehnik reduksi dan pemasangan fiksasi internal pada fraktur supracondylar
femur mempunyai beberapa masalah sehingga dapat membatasi tindakan.

a. Fraktur tipe A
-
Fraktur tipe ini dibagi menjadi A1(simple), A2 (metaphyseal wedge), A3
(metaphyseal kompleks) tergantung derajat fragmentasi metafiseal.
-
Merupakan fraktur suprakondilar tanpa ekstensi ke intra artikular.
-
Surgical exposure adalah melalui insisi lateral.
-
Cara terbaik dan terpercaya untuk menentukan setengah bagian anterior
condylus lateralis femoris adalah dengan palpasi tepi paling posterior
condylus lateralis femoris, lalu menentukan diameter paling panjang dari
condylus lateralis. Jarak ini lalu dibagi dua. Setengah bagian anterior
merupakan setengah bagian anterior condylus lateralis. Plate condylar atau
screw condylar dirancang untuk diinsersikan pada 1,5-2 cm proksimal dari
permukaan artikular distal femur.
-
Jika diambil titik tengah dari setengah bagian anterior condylus lateralis
femoris pada titik 1,5-2 cm dari tepi artikular distal, maka kita dapat
menentukan secara akurat pusat dari jendela yang akan dibuat untuk insersi
seating chisel dan condylar blade plate atau sebagai titik insersi
compression screw dari DCS.
-
Insersi seating chisel pada anak muda bisa mengalami kesulitan karena
epifise distal femur dipenuhi oleh tulang cancellous yang sangat tebal dan
keras.
-
Kesulitan ini tidak hanya karena tahanan tulang untuk insersi seating chisel
namun kenyataan bahwa tulang cancellous yang tebal ini tidak kokoh
karena dapat pecah sewaktu seating chisel dipukul masuk.
-
Agar insersi seating chisel mudah dan untuk mencegah komplikasi serius
berupa pecahnya fragmen suprakondilar maka slot harus dibor dengan
ukuran 3,2 mm untuk seating chisel.
-
Biasanya cukup dengan membuat 3-4 lubang paralel dengan kawat
penuntun c dan mengebor lubang yang ditengah hingga ke cortex medial
diseberangnya.
-
Setelah jendela dipotong/dibuat dan slot untuk setaing chisel dibor, maka
seating chisel dipukul masuk.
-
Flap dari penuntun seating chisel digunakan untuk menentukan sagittal
plane.
-
Sepanjang penuntun ini sejajar dengan aksis panjang dari femur jika dilihat
dari samping, maka condylar plate akan terpasang tepat dengan femur jika
dipukul masuk, dan plate tidak akan mengarah ke depan atau ke belakang.
-
Jika slot tidak dipotong pada setengah bagian anterior namun pemotongan
salah dilakukan di titik tengah condylus lateralis atau agak kebelakang
akibatnya tidak mungkin dilakkan alignment shaft dengan plate.
-
Selalu timbul celah (gap) antara shaft dengan plate sebesar 1 cm atau lebih
-
Cortex di atas blade tidak boleh hancur agar dapat mengarahkan blade atau
screw lebih ke dalam.
-
Jika ini terjadi maka jelas akan :
227
1. Melemahkan fragmen supracondylar
2. Menurunkan kekuatan pegangan dari implant pada fragmen distal, dan
3. Membuat ujung dari blade atau screw keluar melewati cortex medial.
-
Shaft juga tidak boleh di-lateral-kan hanya agar sesuai dengan plate, karena
hal ini akan merusak stabilitas reduksi dan secara fungsional me-medial-kan
fragmen distal yang selanjutnya akan berakibat pada biomeknik fungsi
sendi lutut.
-
Mengingat kesulitan yang ditemui dalam insersi condylar plate maka
AO/ASIF telah mengembangkan “dynamic condylar screws” (DCS). Screw
ini identik dengan dynamic hip screw (Synthes).
-
Keuntungan DCS ini adalah hanya cukup dengan insersi reaming guide
wire pada daerah pusatnya ditempat yang seharusnya dibuat jendela untuk
seating chisel dan dibuat paralel dengan kawat penuntun c.
-
Dudukan untuk kombinasi DCS screw-plate dipotong dengan special triple
reamer dan tap.
-
Dengan demikian insersi implant ke tulang menjadi mudah dan sederhana.
-
Keuntungan lain dari DCS ini adalah sagittal plane tidak sekritis pada
condylar plate.
-
Setiap malalignment pada DCS pada sagittal plane dapat dikoreksi secara
mudah hanya dengan menggeser plate dan memutar screw secukupnya
untuk mencapai koreksi yang diinginkan.
-
Untuk indikasi dan penggunaannya DCS dengan condylar plate identik.
-
Karena DCS lebih mudah dan sederhana penggunannya maka condylar
plate sudah sangat jarang digunakan.
-
Salah satu kesalahan yang paling sering dilakukan dalam pemasangan
condylar blade plate adalah dengan membuat terlalu kecil jendela untuk
insersi seating chisel.
-
Ini membuat insersi seating chisel susah dilakukan dan dapat menyebabkan
pecahnya cortex lateral dari fragmen distal.
-
Kekuatan pegangan dari condylar blade plate tidak tergantung pada
ketatnya atau kesesuaian lubang dengan plate sebagai pegangan pada cortex
lateral.
-
Selain itu, kekuatan pegangan tidak akan terganggu oleh pengeboran pada
tulang yang keras untuk slot yang dipotong oleh seating chisel karena plate
tidak bergantung pada ketatnya untuk kekuatan pegangan.
-
Kekuatan fiksasi dari condylar blade plate pada fragmen distal tergantung
pada :
1. Tekanan yang timbul diantara permukaan yang luas dari blade dan tulang
sebagai penekannya.
2. Oleh salah satu atau lebih baik lagi dua cancellous screws yang harus
diinsersikan melalui plate ke fragmen distal.
-
Semua screw ini sangat penting karena memberikan stabilitas rotasioal bagi
implant dan pada fraktur yang karena communition-nya tidak boleh
digunakan kompresi aksial, sehingga ini meupakan satu-satunya fiksasi
implant untuk fragmen distal.
-
Kedua screws ini juga dibutuhkan pada pemasangan DCS.

228
-
Masalah yang dapat timbul pada insersi posterior condylar blade plate
maupun DCS adalah blade atau screw dapat masuk di daerah intercondylar
notch dan memotong salah satu atau kedua ligamentum cruciatum.
-
Jika condylar plate telah berhasil di-insersi-kan dan fraktur telah direduksi,
maka fraktur harus diletakkan dalam kompresi aksial dengan bantuan
peralatan penekan.
-
Atau jika reduksinya telah anatomis dan sudah tak ada celah diantara
fagmen fraktur maka hal ini telah memenuhi prinsip self-compressing dari
DC plate.
-
Harus diusahakan untuk melintas garis fraktur supracondylar dengan
menggunakan lag screw dan harus di-insersi-kan melalui plate. Ini akan
meningkatkan stabilitas fiksasi.
-
Jika fraktur supracondylar terlalu rendah dan fragmen supracondylar terlalu
kecil maka tidak mungkin digunakan condylar plate atau DCS karena tidak
mungkin untuk fiksasi fragmen distal ke plate dengan sekurang-kurangnya
satu screw. Untuk kasus demikian maka digunakan buttress plate
-
Jika bagian distal dari palte telah difiksasikan ke fragmen supracondylar
dengan menggunakan screws maka fiksasi dilanjutkan dengan cara yang
sama dengan cara condylar plate atau DCS.
-
Buttress plate ini dapat dipasang dengan menggunakan tekanan atau dengan
tension device sehingga kompresi aksial dapat dicapai.
-
Reduksi dan fiksasi fraktur A3 atau C3.3 jauh lebih sulit karena fragmentasi
supracondylar. Masalah yang harus dihadapi adalah :
1. Insersi plate yang tepat pada fragmen distal sebelum reduksi fragmen
supracondylar
2. Reduksi panjang femur dan alugment rotasional yang tepat.
-
Exposure untuk fraktur A3 sama dengan fraktur A1 atau A2 walaupun insisi
harus diperluas ke proksimal dan distal.
-
Masalah pertama yang harus dihadapi adalah orientasi yang tepat fragmen
distal karena fragmen ini sering mengalami rotasi terhadap aksisnya akibat
tarikan m. gastrocnemius sehingga sewaktu dipaparkan permukaan artikular
distal bisanya mengarah ke anterior.
-
Patokan yang paling baik untuk fragmen ini adalah diameter panjang
condylus lateralis.
-
Garis tepi condylus lateralis femoris harus dipalpasi dengan cermat dan
bagian-bagiannya dapat dipaparkan seperlunya untuk mendapatkan
orientasi diameter panjang.
-
Jika orientasi diameter panjang telah ditentukan maka arah dan titik tengah
ditandai. Melalui titik tengah ditarik garis dengan sudut 900 terhadap
diameter panjang.
-
Garis ini menunjukkan arah dari aksis panjang femur.
-
Selanjutnya ditandai tempat untuk membnuat jendela (dengan
menggunakan methylene blue) padas etangah bagian anterior condylus
lateralis.
-
Kemudian kawat penuntun Kirschner a, b, dan c di-insersi.

229
-
Pada langkah ini harus hati-hati karena aligment pada frontal plane dari
kawat penuntun c tidak dapat di periksa ulang (double checked) dengan
penuntun condylar.
-
Setiap kesalahan pada langkah ini dapat berakibat misalignment valgus atau
varus dari fragmen distal.
-
Jendela pada cortex lateral condylus dipotong dan slot pada fragmen
supracondyler dibor dengan mata bor 3,2 mm seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
-
Selanjutnya dilakukan insersi seating chisel ke fragmen supracondylar.
-
Insersinya harus paralel dengan kawat penuntun c dengan flap dari
penuntun paralel dengan garis yang ditarik dengan sudut 90 0 terhadap
diameter panjang condylus femoris lateralis.
-
Setelah diinsersi kemudian ditarik secara hati-hati, dan plate condylar
dipasang dan difiksasi dengan satu screw cancellous ke fragmen distal.
-
Fraktur suprakondilar dengan kehilangan segmen tulang sangat sulit
direduksi karena communition fraktur yang terjadi.
-
Panjang tulang sebenarnya ditentukan pre operatif dengan mengukur foto
dan mencocokkan dengan lubang pada plate.

b. Fraktur tipe B
-
Reduksi dan fiksasi internal untuk fraktur artikular parsial seperti fraktur
tipe 33-B1 atau 33-B2 relatif mudah.
-
Aproachnya dapat lewat lateral atau medial, atau lewat midline seperti pada
total knee replacement.
-
Pada fraktur artikualr, sangat penting melakukan reduksi secara anatomis.
-
Fiksasi internal pada prinsipnya dengan memakai lag screw.
-
Buttressing juga esensial untuk mencegah displacement akibat beban aksial.
-
Suatu Buttress plate tidak harus kuat sekali. Dapat digunakan narrow 4,5
plate atau T plates.
-
Yang penting adalah buttress plate harus sesuai dengan contour permukaan
femur atau akan terjadi deformitas.
-
Fraktur jenis partial articular unicondylar posterior atau fraktur Hoffa (33-
B3) lebih sulit penanganannya.
-
Pada pasien muda dengan tulang yang kokoh, fiksasi lag screw dengan
menggunakan screws cancellous yang besar dari arah depan biasanya
memadai.
-
Screws ini harus di-insersi, jika memungkinkan, di luar permukaan
artikular.
-
Jika screw harus di-insersi lewat permukaan artikular maka kepala screw
harus terbenam dibawah permukaan artikular.
-
Pada pasien lanjut usia fikasasi condylus harus dengan buttress.
-
Approach untuk fraktur Hoffa daapat dibuat dari medial atau lateral,
tergantung dari sisi yang mengalami fraktur.
-
Jika frgamen condylus telah berhasil direduksi dan difiksasi dengan lag
screw maka harus di-buttress dengan plate yang diletakkan di posterior
untuk mencegah displacement fragmen akibat beban aksial.
230
c. Fraktur tipe C.
-
Reduksi dan fiksasi internal dari fraktur tipe C menjadi rumit akibat adanya
satu atau lebih faktur epifisis yang memisahkan condylus.
-
Langkah awal untuk reduksi terbuka setiap fraktur intra artikular adalah
dengan melakukan rekonstruksi sendi secara cermat.
-
Pada fraktur tipe C1 dan C2, komponen vertikal dari fraktur supracondylar
harus direduksi dan difiksasi.
-
Fraktur tipe C1 dan C2 berhubungan dengan komponen supracondylar dari
fraktur tipe A1, A2, dan A3.
-
Langkah-langkah untuk reduksi terbuka dan fiksasi internal serupa jika
fragmen supracondylar telah direduksi dan difiksasi.
-
Pada fraktur intra artikular yang simple seperti pada tipe C1 dan C2 agar
didapatkan pemaparan permukaan artikular maka fraktur supracondylar
dibiarkan tidak tereduksi.
-
Pemendekan tungkai bawah akan mengendurkan otot quadriceps dan
biasanya cukup untuk memungkinkan semua tarikan yang diperlukan agar
diperoleh pemaparan permukaan artikular yang memadai sehingga
diperoleh rekonstruksi yang akurat.
-
Langkah awal untuk konstruksi adalah dengan menilai condylus lateralis
dan menandai tempat pemasangan plate.
-
Langkah ini penting karena harus diketahui dengan tepat dimana condylar
plate atau DCS dipasang sebelum cancellous lag screw di-insersi.
-
Jika condylus telah direduksi secara anatomis, maka difiksasi dengan 2
cancellous lag screws, yang harus di-insersikan dengan menggunakan
ring/cincin agar tidak tenggelam ke cortex sewaktu screw dikencangkan.
-
Harus hati-hati sewaktu memasang lag screw di anterior bersama cincinnya,
kecuali jika di-insersikan se-anterior mungkin biasanya pada
osteocartilagenous junction, dan ini akan mengganggu penempatan plate
dan menggesernya lebih ke posterior dengan konsekuensi seperti yang
disebut sebelumnya.
-
Jika perlu hal ini dapat ditinggalkan dan fragmen tulang di-lag screw lewat
plate.
-
Jika frakturnya sederhana, seperti fraktur tipe C1, reduksi biasanya dapat
dilakukan tanpa kesulitan.
-
Semakin berat communition supracondylar maka semakin sulit reduksinya.
-
Fraktur yang paling sulit adalah tipe C3.
-
Agar dapat dilakukan reduksi sendi dan memfiksasi shaft dengan dua plate,
yang paling banyak dilakukan, seringkali kita terpaksa membebaskan dan
merefleksikan mekanisme quadriceps dengan jalan membebaskan tendin
patellar dari insersinya berikut dengan tulang sekitarnya atau dengan
menggunakan approach seperti pada total knee replacement.
-
Saat ini, prosedur ini yang banyak digunakan dan meninggalkan prosedur
pembebasan distal dari mekanisme quadriceps patellar.
-
Rekonstruksi sendindimulai dengan melakukan reduksi secara hati-hati
semua fragmen artikular dan fiksasi sementara dengan Kirschner wire.
-
Fiksasi definitif semua frgamen artikualr ini dilakukan dengan lag screws
yang di-insersi-kan sebisa mungkin melalui bagian non artikular dari sendi.
231
-
Kadang kala perlu dipasang screw melalui kartilago artikular. Screw
semacam ini harus dibenamkan dibawah levela rtikular dan tidak boleh
dipasang dipermukaan untuk weight-bearing.
-
Jika memungkinkan gunakan condyla plate atau DCS untuk me-fiksasi
fraktur tipe C3.
-
Karena sudutnya sudah tetap (fixed angle) pada waktu plate sudah dipasang
mkaka akan mnejaga aligment aksial dari femur yang normal. Pada keadaan
ini, pola fraktur dari condylus dan lajur screws yang diperlukan untuk
fiksasi fraktur berada sedemikian rupa sehingga condylar plate tidak dapt
digunakan.
-
Untuk keadaan seperti ini digunakan buttress plate karena implant ini
bersandar pada screws untuk fiksasinya pada distal femur.
-
Namun dengan buttress plate akan lebih sulit untuk mencapai koreksi
aligment aksial dari femur karena kurangnya hubungan yang konstan akibat
tidak adanya fixed angle terhadap aksis sendi.
-
Sebelum buttress plate ini difiksasi ke fragmen supracondylar maka
posisinya harus dikaji secara radiografi.
-
Ini juga mencakup foto dengan plane AP atau frontal karena aligment aksial
pada plane sagital sama dengan plate condylar yakni 900 terhadap diameter
panjang condylus lateralis.
-
Buttress plate, seperti halnya condylar plate harus difiksasi ke setenagah
bagian anterior condylus lateralis.
-
Jika fiksasinya lebih ke posterior tidak hanya gagal untuk sepadan dengan
shaft namun juga mempunyai bahaya besar karena screw posterior akan
merusak ligamentum collateralis lateralis dari lutut.
-
Bila condylar buttress plate hendak digunakan sebagai bridge plate maka
plate yang kedua harus digunakan pada sisi medial untuk mencegah
deformitas varus.
-
Deformitas varus timbul akibat screw yang melintasi plat tidak sesuai
dengan plate dan dapat bergerak dalam lubang di plate.
-
Jika plate kedua digunakan maka tidak diragukan lagi akan mengganggu
asupan darah bagai fragmen yang tumpang tindih.
-
Untuk menjamin dan mempercepat union maka fraktur ini harus di “bone
graft”.
-
Demikian pula, jika banyak bagian tulang yang hilang seperti yang terjadi
pada fraktur terbuka, maka harus digunakan dua plate untuk mencapai
kestabilan yang diinginkan.
-
T plate atau tibial condylar buttress plate sangat bermanfaat untuk plate
medial walaupun plate lain dapat juga bermanfat untuk tujuan ini.
-
Harus hati-hati untuk tidak merusak arteri femoralis dan vena yang
menyertainya sewaktu melewati canalis adductorius.
-
Plate lateral yang pertama dipasang lalu plate medial dengan fragmen
tulang yang comminuted atau bone graft diantara kedua plate.

d. Fraktur supracondylar di atas lutut, total knee replacement.


-
Merupakan indikasi absolut untuk ORIF karena reduksi anatomis dan
alignment aksial yang normal tidak dapat dicapai secara tertutup.
232
-
Umumnya terjadi pada usia lanjut yang telah mengalami gangguan pada
ekstremitasnya oleh penyakit-penyakit dan telah mengalami pengobatan
untuk penyakitnya itu.
-
Tulangnya hampir selalau mengalami osteoporotik dan frgamen yang
melekat ke komponen femoral dari lutut sangatlah kecil.
-
Revisi tidak dapat dilakukan untuk jenis fraktur ini, karena usaha untuk
memisahkan komponen femoral dari tulang residualnya akan
mengakibatkan destruki total dari tulang.
-
Ada dua prosedur yang bermanfaat untuk mengatasi masalah ini.
-
Pertama, jika frakturnya meruapakan fraktur sederhana atau wedge fracture
maka dapat digunakan dua plate untuk mengamankan fiksasi fragmen
tulang.
-
Lutut direeksplorasi mellaui approach orisinil namun lebih diperluas ke
proksimal.
-
Condylus buttress plate dipasang ke fragmen distal pada sisi lateral dan T
plate difiksasi ke fragmen distal pada sisi medial
-
Fraktur kemudian direduksi dan plate difiksasai ke fragmen proksimal
-
Sebagai tambahan untuk fiksasi screw dapat digunakan methyl 
methacrylate.
-
Kedua, jika fraktur kompleks dan meluas ke diafise maka harus diamankan
dengan menggunakan nail yang dikembangkan khusus untuk fiksasi fraktur
supracondylar.
-
Alat ini tidak begitu baik digunakan untuk penanganan fraktur yang masih
“fresh” karena harus diinsersikan secara transartikular.
-
Pada total knee replacement, sepanjang komponen femoral tidak
mempunyai stem / batang maka dapat diinsersikan secara lebih mudah
melalui komponen intercondylar notch.
-
Harus hati-hati dalam memulihkan aligmnet panjang tulang, rotasional, dan
valgus.
-
Jauh lebih bermanfaat untuk memasukkan nail melalui fragmen distal ke
canalis medullaris dari fragmen proksimal sebelum memulihkan alignment
panjang tulang.
-
Jika nail sudah dimasukkan maka kaki ditarik untuk memanjangkan hingga
nail seluruhnya masuk ke intercondylar notch.
-
Pada tahap ini alignment aksial dan rotasinal sudah harus pulih dan
dipertahankan hingga nail dikunci mula-mula bagian distal lalu proksimal.
-
Dengan kedua metode ini, lutut di-splint mula-mula selama 2-3 hari setelah
pembedahan kemudian dimobilisasi.
-
Weight bearing tidak boleh dilakukan hingga terdapat tanda-tanda union.

e. Fraktur terbuka supracondylar


-
Prinsip penanganan untuk fraktur terbuka pada sendi hampir sama dengan
prinsip penanganan pada fraktur terbuka diafiseal.
-
Penanganan emergensi, penilaian awal, dan debridement, semuanya sama.
-
Namun fragmen-fragmen sendi yang bessar dan avaskular yang ditutupi
oleh kartilago artikular dan esensial untuk integritas mekanikal pada daerah
sendi harus diselamatkan meskipun nantinya mengalami sepsis. Walaupun
233
tindakan ini termasuk berjudi, jika kelak akan mengalami infeksi maka
fragmen ini harus diangkat namun tetap harus dicoba.
-
Defek pada sendi akan menjadi permanen sedangkan defek pada diafiseal
dapat direkonstruksi kelak.
-
Stabilitas sangat penting sewaktu mencegah sepsis.
-
Dalam menghadapi fragmen artikular tidak boleh dilakukan tindakan
splinting temporer dengan menggunakan fiksasi eksternal, kemudian
menunda rekonstruksi artikular.
-
Ini karena fragmen-fragmen artikular disokong oleh tulang cancellous yang
akan union dengan cepat.
-
Semakin lama kita menunda reksontruksi akan semakin sulit nantinya.
-
Dengan alasan inilah maka reduksi anatomis sudah harus tercapai pada saat
pembedahan pertama fraktur artikular dan menstabilkannya dengan fiksasi
internal minimum.
-
Paling baik jika digunakan lag screw karena implant ini akan memberikan
stabilitas terbaik dan dapat ditinggalkan sebagai suatu fiksasi definitif.
-
Jika epifise telah direkonstruksi maka rekonstruksi metafise dapat dilakukan
saat itu juga atau ditunda hingga jaringan lunak telah membungkus dengan
stabil.
-
Waktu untuk rekonstruksi metafise tergantung sepenuhnya pada kerusakan
jaringan lunak yang membungkusnya.
-
Jika ada keraguan terhadap integritas jaringan lunak yang membungkusnya
maka paling baik untuk menunda rekonstruksi metafise.
-
Metafise dapat direkonstruksi dengan menggunakan bridge plate atau
fiksasi eksternal.
-
Dinamakan bridging karena melewati sendi.
-
Tehnik tergantung pada keadaan jaringan lunak yang membungkusnya.
-
Rekonstruksi metafise ditunda hingga jaringan lunak pembungkus telah
sembuh dan stabil dan infeksi sudah dicegah.
-
Jika jaringanlunak pembungkus baik, viabel, kontaminasi rendah dan tidak
ada defek segmentalk maka dapat dilakukan rekonstruksi primer pada
metafise.
-
Jika fraktur pada metafise simple maka dapat direduksi dan difiksasi.
-
Jika frakturnya multifragmen maka direduksi secara tidak langsung untuk
meminimalkan fragmen-fragmen yang tidak vital lalu di “bridge” dengan
plate. 
-
Setiap defek tulang yang terjadi akan di cangkok tulang dikemudian hari. 
-
Semua fraktur terbuka dibiarkan terbuka namun pada fraktur artikular,
kartilago artikular harus ditutup untuk mencegah kekeringan dan kerusakan.
Karena itu kapsul dan sinovial sebisa mungkin harus ditutup, namun luka
harus dibiarkan terbuka untuk ditutup kelak yang mungkin memerlukan
tandur alih bebas atau rotasional.
-
Metal tidak boleh dibiarkan terpapar bebas.
-
Jadi jika diperlukan tandur alih agar luka dapat ditutup maka fiksasi
metafise harus ditunda dan fraktur dipasang eksternal fiksasi untuk menjaga
mencegah pemendekan.

234
-
Pergerakan dini sangatlah penting namun pergerakan pada sendi lutut baru
boleh dilakukan jika dipastikan tidak akan mengganggu penyembuhan luka
dan tidak menimbulkan sepsis.
-
Penundaan jarang sampai lama sekali. Jika jaringan lunak pembungkusnya
telah stabil dan fraktur sudah stabil maka mobilisasi sendi dapat dimulai.
-
Fraktur tebuka membutuhkan canngkok tulang.
-
Semakin parah fraktur terbukanya maka semakin kecil kemungkinan untuk
bersatu.
-
Perlu diingat, fraktur terbuka seringkali disertai dengan hilangnya bagian
tulang.
-
Cangkok tulang dilakukan setelah 3-6 minggu pada saat jaringan lunak
pembungkus telah stabil dan infeksi sudah dapat dicegah.
-
Jika terdapat defek tulang yang cukup besar pada metafise dan dibiarkan
untuk kelak dilakkan cangkok tulang (delayed bone grafting) maka paling
baik defek ini diisi dengan methyl methacrylate antibiotic impegnated
beads.
-
Ini tidak hanya membantu dalam mengatasi sepsis namun juga mencegah
terjadinya ‘gap’ pada jaringan lunak.
-
Pada saat melakukan cangkok tulang dan beads sudah dikeluarkan maka
jaringan granulasi sehat yang berdarah berlaku sebagai ‘beds’ untuk tulang
yang dicangkokkan dan akan me-fasilitasi revaskularisasi kelak.
-
Luaran (outcome) dari penanganan fraktur terbuka ditentukan oleh beratnya
luka yang terbuka.
-
Pengalaman terbaru terhadap fraktur supracondylar tipe C yang parah
diperoleh 80% memuaskan walaupun terdapat kerusakan jaringan lunak
yang hebat bahkan dengan sepsis.

Pencangkokan tulang
-
Bagian epifiseal intra-artikular dari fraktur supracondylar akan melewati
tulang cancellous yang well-vascularized, dan biasanya pembuluh darah ini
berjalan hingga ke tumit walaupun tidak direduksi secara akurat dan tidak
difiksasi dengan baik.
-
Ini tidak benar terutama pda garis fraktur yang timbul akibat tekanan hebat
seperti fraktur tipe B pada condylus.
-
Bagian ekstra-artikular dari fraktur supracondylar dapat meluas hingga ke
bagain diafise, yang pada orang tua, canalis medullarisnya yang diisi oleh
tulang cancellous sangat longgar (tidak padat) dan tulang korteksnya tipis
dan rapuh.
-
Pemasangan fiksasi internal pada daerah ini sulit dan jika terjadi
communition maka stabilitas akan sulit dicapai.
-
Dengan demikian, setiap segmen supracondylar dengan bone loss harus di
cangkok tulang dengan autogenous corticocancellous dan tulang cancellous.
-
Tindakan ini akan mempercepat union dan melindungi fiksasi internal dari
kegagalan.
-
Pencangkokan tulang pada fraktur communition keberhasilannya tergantung
pada asupan darah yang menuju ke fragmen yang mengalami communition.

235
-
Jika dilakukan reduksi secara indirek dan fragmen dianggap telah pulih
perlekatan jaringan lunaknya maka tidak diperlukan lagi bone graft.
-
Jika dilakukan manipulasi reduksi secara direk maka perlu dipertimbangkan
tindakan bone graft jika viabilitas fragmen diragukan..
-
Bone graft harus diinsersikan dari sisi seberang plate untuk membentuk
“bilogical bridge” dan mencegah kegagalan plate.
-
Agar bone graft dapat diinsersikan dari sisi seberang plate maka sering
melakukan tindakan stripping dan devitalisasi tulang.
-
Jadi, jika kita dapat mnegantisipasi bahwa bone graft diperlukan maka harus
diinsersikan melalui fraktur ke sisi medial sebelum dilakukan reduksi dan
manipulasi.

Methyl Methacrylate
-
Kadangkla perlu dilakukan tindakan reduksi terbuka dan fiksasi interna
pada pasien dengan tulang yang osteoporotik.
-
Tulang yang mengalami osteoporotik mempunyai kekuatan pegangan yang
buruk terhadap screw sehingga stabilitas susah dicapai walalupun dilakukan
reduksi yang akurat dan posisi yang tepat serta insersi implant.
-
Dalam keadaan demikian digunakan methyl methacrylate untuk
memperkokoh pegangan screws.
-
Agar setting time bisa diperpanjang maka bubuk dan cairannya disimpan
dalam ruang dingin.
-
Sewaktu pemasangan fiksasi internal, screw yang crucial ,yang kekuatan
pegangannya harus diperkokoh, ditunda pemasangannya, korteks yang
didekatnya di bor dengan ukuran 4,5 mm.
-
Ujung spuit 20 mL dibor dengan mata bor 3,5 mm sehingga lubangnya
besar dan semen dapat diinjeksi dengan mudah.
-
Campuran semen yang diinjeksi akan meluas hingga ke kedua korteks.
Kemudian screws dipasang dan sewaktu semen telah mengalami
polimerisasi baru screw dikencangkan.
-
Methyl methacrylate juga digunakan untuk fiksasi pada fraktur patologis.
-
Setelah evakuasi tumor dan pemasangan fiksasi internal maka defek diisi
dengan methyl methacrylate.
-
Injeksi bahan ini sewaktu masih lembek sehingga menjamin distribusi yang
penuh disekitar fiksasi implant dan defek tulang.

Perawatan Pasca Operasi


-
Pasca operasi sangat penting untuk memasang solint pada sendi untuk
mencegah kontraktur yang akan menyebabkan hilangnya fungsi dan
pergerakan.
-
Dahulu, sendi lutut di splint dalam posisi full esktensi yang disebut sebagai
posisi fungsional untuk menjamin jika kekakuan terjadi maka minimal
ekstermitas dalam posisi yang memungkinkan untuk berfungsi dalam
beberapa derajat.
-
AO menganjurkan immobilisasi lutut dalam posisi felksi 90 0 selama 3-4
hari pasca operasi.
236
-
Keuntungan dari posisi ini adalah cepat dicapai kembali fleksi.
-
Bila splint fleksi disingkirkan maka pasien diinstruksikan untuk segera
memulai latihan felksi dan ekstensi aktif.
-
Namun yang paling penting adalah pasien harus mempertahankan felksi 90 0
dan harus meningkatkan derajat fleksi dari posisi ini.
-
Yang terbaik jika pasien setelah pasca operasi melakukan gerakan pasif dan
selama 4-7 hari pertama dan hal ini sangat membantu pasien dengan fraktur
intra artikular.
-
Tidak semua pasien dapat memulai latihan aktif yang ” unprotected ” .
-
Suatu ruptur pada ligamentum kolateralis lateralis harus diperbaiki pada
waktu dilakukan ORIF, dan perbaikan semacam ini tidak pernah cukup kuat
untuk menahan gerakan aktif ” unprotected ” .
-
Pada pasien semacam ini, setelah periode splint dan immobilisasi atau
continuous passive motion, maka pasien ini dipindahkan ke cast brace
dengan polycentric hinges tanpa blok.
-
Dengan tehnik ini maka dapat dilakukan mobilisasi aktif secara dini dengan
proteksi penuh terhadap gaya valgus atau varus yang mungkin terjadi.
-
Ruptur ligamentum cruciatum hanya boleh diperbaiki jika mengalami avulsi
berikut sekeping tulang yang ikut terlepas sehingga dapar difiksasi dengan
aman dengan menggunakan tension band wire atau lag screw.
-
Fiksasi semacam ini biasanya cukup aman untuk dilakukan pergerakan dini.
-
Robekan yang tidak mendasar (in-substance) atau suatu avulsi yang tanpa
diserati kepingan tulang paling baik diabaikan atau dikerjakan kelak jika
disertai dengan masalah pada ligamentum cruciatum.
-
Pada fraktur intra-artikular setelah tindakan ORIF maka tujuan utama
adalah pergerakan.
-
Pergerakan dini tidak hanya menjamin ROM utntuk pergerakan namun juga
membantu regenerasi kartilago artikular.
-
Aturan ini juga berlaku untk fiksasi internal yang unstable.
-
Pada akhir operasi ORIF, stabilitas fiksasi internal harus dinilai.
-
Hanya ahli bedah yang melakukan operasi yang tahu :
1. Berapa banyak screw yang dipasang,
2. Seberapa kuat tulangnya,
3. Seberapa kuat daya pegang screws.
-
Jika pada akhir operasi ternyata kekuatan fikasi internal tidak stabil maka
pergerakan dini harus tetap dilakukan untuk menjamin pergerakan sendi
pulih ke keadaan normal, namun proteksi eksternal harus dipasang untuk
menjaga gaya beban yang berlebihan yang dapat menyebabkan :
1. Hilangnya fiksasi,
2. Malunion, atau
3. Nonunion.
-
Juga sangat penting untuk menilai derajat instabilitas secara tepat.
-
Fiksasi yang sangat unstable harus diproteksi dengan skeletal traksi.
-
Fraktur lain yang lebih stabil dapat diproteksi dengan cast brace.
-
Fiksasi yang unstable dan tidak aman harus dilakukan “bone graft” dan
diperbaiki sesegera mungkin.
-

237
-
-

-
-

238

Anda mungkin juga menyukai