Anda di halaman 1dari 4

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh

keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kepada
Allah subhanahu wata’ala, dengan senantiasa berupaya melakukan semua kewajiban dan
meninggalkan semua larangan. Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah, Pada
kesempatan khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib akan menyampaikan
khutbah dengan tema: “Merenungkan Ciptaan Allah Ta’ala”.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Dua ayat dalam surat Ali ‘Imran yang kami baca di atas bermakna: “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia;
Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS Ali ‘Imran: 190-191)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Orang yang memikirkan dan merenungkan tentang makhluk Allah, maka dengan akalnya ia
akan memahami dan mengetahui adanya Allah, keesaan Allah dan tetapnya sifat Qudrah dan
Iradah bagi-Nya. Kita diperintahkan untuk merenung dan berpikir tentang penciptaan Allah
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang ayat di atas:
Maknanya: “Sungguh celaka orang yang membacanya dan tidak berpikir tentang nya” (HR
Ibnu Hibban dalam Shahihnya). Berpikir dan merenungkan mengenai makhluk ciptaan Allah
akan mengantarkan kita pada keyakinan tentang adanya sang Pencipta dan keesaan-Nya. Para
ulama Ahlussunnah menegaskan bahwa wajib bagi setiap mukallaf (baligh dan berakal)
untuk mengetahui dalil aqli yang global (dalil singkat) tentang adanya Allah. Dalil aqli yang
singkat itu seperti apabila dikatakan: “Masing-masing dari kita mengetahui bahwa dirinya
awalnya tidak ada kemudian menjadi ada dan tercipta. Hal yang keadaannya seperti itu pasti
membutuhkan kepada yang mengadakannya dan menciptakannya dari tiada menjadi ada.
Karena akal yang sehat menetapkan bahwa sesuatu yang awalnya tiada lalu menjadi ada pasti
membutuhkan kepada yang mengadakannya. Dan yang mengadakannya tiada lain adalah
Allah ta’ala.” Atau dikatakan: “Alam semesta ini berubah dari satu keadaan ke keadaan yang
lain. Angin kadang berembus kadang tidak. Terkadang udara memanas di suatu waktu dan
berubah menjadi dingin di waktu yang lain. Ada tumbuhan yang tumbuh dan ada yang layu.
Matahari terbit dari arah timur dan terbenam di arah barat. Matahari tampak putih di tengah
hari dan menguning di petang hari. Perubahan-perubahan itu menunjukkan bahwa hal-hal
tersebut adalah makhluk yang memiliki permulaan, tiada kemudian ada. Pasti ada yang
mengaturnya, mengubahnya dan menentukan perkembangannya. Dan itu semua adalah
bagian-bagian dari alam. Dengan demikian, alam beserta seluruh bagiannya adalah makhluk
yang memiliki permulaan, tiada lalu ada, dan pasti membutuhkan kepada yang
menciptakannya, yaitu Allah ta’ala.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Jika seorang ateis yang tidak mempercayai adanya Allah berkata: “Kita tidak melihat Allah,
bagaimana mungkin kita meyakini akan ada-Nya?” Kita jawab: “Meskipun kita tidak
melihat-Nya, namun bukti-bukti yang menunjukkan akan perbuatan dan penciptaan-Nya
sangat banyak tidak terhitung. Adanya alam ini dan berbagai macam makhluk di dalamnya
adalah bukti adanya Allah. Karena tulisan pasti ada yang menulisnya dan bangunan pasti ada
yang membangunnya. Demikian pula alam ini pasti ada yang menciptakan dan
mewujudkannya. Bahwa kita tidak melihat Tuhan, ini bukan bukti bahwa Ia tidak ada. Betapa
banyak hal yang kita yakini ada, padahal kita tidak melihatnya. Di antaranya akal kita, roh
kita, rasa sakit dan kegembiraan kita. Semuanya itu kita tidak melihatnya, tapi kita yakini
keberadaannya.” Diriwayatkan bahwa sebagian dari kalangan Dahriyyah yang mengingkari
adanya Allah menemui Imam Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu dan ingin membunuhnya. Hal
itu dikarenakan beliau tidak henti-hentinya membantah kesesatan mereka dan menyingkap
penyimpangan mereka. Imam Abu Hanifah berkata kepada mereka: “Jawablah satu
pertanyaan dariku, lalu lakukanlah apa yang kalian inginkan.” Mereka berkata: “Silakan.”
Lalu Imam Abu Hanifah berkata: “Apa yang kalian katakan jika ada seseorang yang
menyampaikan kepada kalian: Aku melihat sebuah perahu yang penuh dengan barang
bawaan, penuh dengan beban, diterpa oleh gelombang yang dahsyat dan badai yang tidak
menentu arahnya di tengah lautan. Perahu itu ternyata berjalan terus seakan tiada hambatan di
tengah ombak dan badai tanpa ada nakhoda yang menjalankan dan mengemudikannya.
Apakah hal itu masuk akal?”

Para ateis dari golongan Dahriyyah tersebut menjawab: “Tidak mungkin. Tidak masuk akal.”
Imam Abu Hanifah lantas berkata: “Subhanallah. Jika akal tidak membenarkan adanya
perahu yang berjalan tanpa nakhoda yang mengatur dan menjalankannya, maka bagaimana
bisa akal membenarkan tegaknya dunia ini dengan berbagai perbedaan dan perubahan
keadaannya serta berbagai kompleksitasnya tanpa ada yang menciptakan dan mengaturnya?”
Mendengar apa yang dikatakan Imam Abu Hanifah itu, para ateis tersebut tersentuh dan
menangis seraya berkata kepadanya: “Anda benar.” Mereka pun menyarungkan kembali
pedang-pedang mereka yang telah terhunus lalu langsung masuk Islam. Hadirin jamaah shalat
Jumat rahimakumullah, Allah ta’ala berfirman:

Maknanya: “Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur,


tanaman-tanaman, pohon kurma yang bercabang, dan yang tidak bercabang; disirami dengan
air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam hal rasanya.
Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang mengerti” (QS ar-Ra’d: 4). Marilah kita renungkan!. Tanah yang diairi dengan air yang
sama dan disinari dengan sinar matahari yang sama. Namun tumbuhannya menghasilkan
buah-buahan yang berbeda rasa, warna, sifat, bentuk, bau, manfaat dan khasiatnya.
Karenanya, andai wujudnya segala sesuatu adalah dengan pengaruh tabiat seperti yang
dikatakan oleh kalangan ateis, bukan dengan penciptaan Allah, niscaya akan sama. Karena
tabiat yang sama akan memberikan pengaruh pada benda dengan pengaruh yang serupa.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Jadi ini semua menunjukkan bahwa wujudnya segala sesuatu adalah dengan penciptaan Dzat
yang Mahakuasa, Maha Berkehendak dan Maha Mengetahui. Oleh karena itulah, Imam asy-
Syafi’i berkata: “Daun Murbei: bau, rasa dan warnanya sama. Dimakan oleh kijang lalu
menghasilkan minyak misik, dimakan oleh ulat sutera lalu menghasilkan sutera, dimakan
oleh unta dan menghasilkan kotoran, dan dimakan oleh kambing lalu mengeluarkan susu
kambing.” Seorang arab Badui pernah ditanya tentang hal serupa, ia menjawab: “Kotoran
unta menunjukkan adanya unta, dan bekas-bekas kaki menunjukkan adanya rombongan yang
lewat. Oleh karenanya, alam ini tiada lain menunjukkan adanya Dzat yang Maha Penyayang
dan Maha Mengetahui.” Hadirin yang dirahmati Allah, Demikian khutbah singkat pada siang
hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan semakin mengukuhkan keimanan
kita kepada Allah ta’ala, Tuhan yang Maha Esa dan Mahakuasa. Amin.

Anda mungkin juga menyukai