Permasalahan Lahan
Permasalahan Lahan
MEITY WULANDARI
D1091131019
A. Pendahuluan
Indonesia adalah Negara yang berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan
bermasyarakat diatur oleh hukum yang diwujudkan dalam peraturan perundang
undangan. Masyarakat dalam suatu Negara hukum akan menyelesaikan masalahnya
dalam suatu lembaga peradilan yang diatur khusus oleh undang undang. Begitu pula
dengan pertanahan yang mempunyai undang-undang politik agrarian (UUPA). Namun,
sengketa tanah yang terjadi di Indonesia tidak pernah berakhir, selalu ada permasahalan
terkait masalah kepemilikan tanah dan hak guna pakainya. Bahkan menurut Saidin
(2002), bahwa pada catatan statistik pengadilan di Indonesia, kasus-kasus sengketa
pertanahan di peradilan formal menempati urutan pertama bila dibandingkan dengan
kasus-kasus lainnya. Masalah sengketa tanah tidak akan ada habisnya karena tanah
mempunyai arti sangat penting bagi kehidupan manusia. Selain sebagai tempat untuk
tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat mengadakan aktivitas ekonomi, jalan
untuk kegiatan lalu lintas, perjanjian dan yang pada akhirnya sebagai tempat tinggal
masa depan (kuburan).
Menurut Lovetya (2008), faktor penyebab dari konflik di bidang pertanahan
antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur
penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara
mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan
ketidaksinkronisasian antara undang-undang dengan kenyataan dilapang seperti
terjadinya manipulasi pada masa lalu yang mengakibatkan pada era reformasi sekarang
ini muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan
pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat
hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria.
Menurut Fia (2007), faktor penyebab munculnya permasalahan tentang kasus
sengketa tanah antara lain Harga tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi
masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan dan haknya, iklim
keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Dari dua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor utama penyebab
adanya kasus sengketa tanah yakni luas tanah yang tersedia terbatas, tapi di sisi lain
kebutuhan akan tanah meningkat sehingga nilai tanah lebih besar. Selain itu masalah
pengaturan, penguasaan, dan pemilikan yang pengendaliannya belum efektif. Kasus
konflik pertanahan seperti sengketa tanah hampir terjadi seluruh penjuru tanah air
indonesia. Setelah diusut dan diteliti semua kasus sengketa tanah yang terjadi
menunjukkan pola sengketa yang sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang
menyangkut nasib ribuan warga itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa
menggetirkan dalam proses penyelesaiannya.
B. Contoh Kasus
Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H.
Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun 1972
– 1973 dan pada putusan MA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi
tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak atas tanahnya sudah milik warga sekarang
tinggal di meruya yang sudah mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik. Kasus
sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun turun
tangan dalam masalah ini. Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya
sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga
membeli tanah dari PT Portanigra,namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati
hampir 5000 kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan
putusan MA. Tidak hanya tanah milik warga, tanah milk negara yang di atasnya terdapat
fasilitas umum dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini
dikarenakan sengketa yang terjadi 30 tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya
tahun 2007, dimana warga meruya sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang
dikeluarkan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Disini terbukti
adanya ketidaksinkronan dan kesemrawutan hukum pertanahan indonesia yang dengan
mudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang masih bersengketa.
Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu
antara PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha
pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya
kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara
perdata (1996). Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau
bukanlah kurun waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang,
baik penghuni, lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya
sudah silih berganti. Warga merasa memiliki hak dan ataupun kewenangan atas tanah
meruya tersebut. Mereka merasa telah menjalankan tugas dengan baik seperti
membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan
hak miliknya. Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali
dengan sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah
penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini telah banyak berubah. Paradigma masa lalu
bahwa warga banyak yang belum memiliki sertifikat akan berhadapan dengan program
sertifikasi yang memberi kemudahan dalam memperoleh sertifikat tanah.
Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah
daerah dan Badan Pertanahan Tanah (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah
yang masih bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus
sengketa tanah ini. PT. Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996
tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru
melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya sekarang
dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang
terlibat. Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan adalah pemilik
kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga sebelum tahun
1997 yang memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang menampati tanahnya tahun 1997
keatas tidak bisa diukur kecuali mereka mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik
sebelumnya. Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra
hanya bisa mengelola lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus
Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena sudah membeli
langsung hak kepemilikan tanah ke PortaNigra.
D. Rekomendasi
Dari kasus sengketa tanah meruya selatan, Jakarta barat saya
merekomendasikan bahwa putusan MA, yang menyatakan PT Portanigra adalah
pembeli dan pemilik sah atas tanah sengketa adalah melanggar ketentuan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian, tanah sengketa tidak lagi berstatus
hak milik adat tetapi dikonversi menjadi tanah hak milik. PT Portanigra juga tidak
mungkin menjadi pemilik tanah-tanah dengan status hak milik. Kalau pun terjadi jual-
beli, menurut Pasal 26 ayat (2) UUPA, transaksi itu batal demi hukum. Hak milik PT
Portanigra hapus, dan tanah itu menjadi tanah Negara. Karena, pihak manapun yang
menguasai bidang tanah dalam sengketa harus mendapat perlindungan hukum.
Putusan MA yang memenangkan PT Portanigra juga bersifat condemnatoir yakni
putusan yang harus jelas obyeknya, baik luas dan letak tanah, batas-batas tanah, serta
ciri-ciri tanah, dalam kasus ini banyak hal yang menjadi pertanyaan. Diantaranya, jika
benar pada tahun 1972-1973 telah terjadi pembelian tanah oleh PT Portanigra,
seharusnya sejak tahun tersebut tanah sengketa secara nyata berada di tangan pembeli,
tapi mengapa baru sekarang dipersoalkan. Sementara, tanah sengketa tersebut sudah
terbagi menjadi 4.428 bidang tanah berstatus hak milik, 1.908 berstatus hak guna
bangunan, dan 90 bidang berstatus hak pakai, dengan luas keseluruhan mencapai
3.006.635 meter persegi. Pemilik sertifikat itu harus mendapatkan kepastian dan
perlindungan hukum, karena pengeluaran sertifikat dilakukan sesuai prosedur dan
dengan itikad baik. Dengan rekomendasi ini, saya berharap MA harus lebih berhati-hati
dalam mengeluarkan keputusan. Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran agar MA lebih
teliti lagi dalam mengambil keputusan, rekomendasi ini sejalan dengan UU Pokok
Agraria.
Daftar Pustaka
Anonim. 2007. Sengketa Tanah Yang Aneh. Dalam Http:/// Mata – Mata Jakarta
www.jakartahariini.com. Diakses pada tanggal 4 januari 2015.
Lovetya. 2008. “Hak Milik atas Tanah” Pengaturan Hak Milik atas Tanah dan Pendaftaran
Tanah. Dalam http:///www. lovetya.wordpress.com/2008/12/24/pengaturan-hak-milik-atas-
tanah-dan-pendaftaran-tanah. Diakses pada tanggal 4 januari 2015.