Abstrak
Pendahuluan : Pasien dengan skor STOP-BANG > 3 memiliki resiko tinggi Obstructive
Sleep Apnea Syndrome atau OSA. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengevaluasi
komplikasi awal pada saluran nafas paska operasi pada orang dewasa dengan skor STOP-
BANG >3 setelah pembiusan total.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif ganda yang mana
mencocokkan 59 pasang pasien dewasa dengan skor STOP-BANG > 3( resiko tinggi OSA)
dengan pasien yang memiliki skor STOP-BANG <3 ( resiko rendah OSA), dengan jenis
kelamin, usia dan jenis operasi yang sama, yang dirawat inap setelah menjalani operasi
selektif pada Bangsal Perawatan Paska Pembiusan di bulan Mei 2011. Keluaran primer
yaitu perkembangan munculnya kejadian yang tidak diharapkan. Data demografik,
variable-variabel sebelum operasi dan lama rawat inap paska operasi di Bangsal Perawatan
Paska Pembiusan serta di rumah sakit dicatat. Tes Mann-Whitney, tes chi-square, dan tes
Fisher exact digunakan untuk perbandingan.
Hasil: Subyek pada kedua pasang partisipan penelitian memiliki nilai tengah usia yaitu 56
tahun, terdiri atas 25% pria, dan sebanyak 59% menjalani operasi intra abdomen. Pasien
dengan resiko tinggi OSA memiliki nilai rata-rata indeks massa tubuh lebih tinggi ( 31
versus 24 kg/m2, p< 0.001) dan lebih sering dijumpai komorbiditas, termasuk hipertensi
( 58% versus 24%, p<0.001), dislipidemia ( 46% versus 17%, p< 0.001) dan diabetes
mellitus yang mendapat terapi insulin ( 17% versus 2%, p= 0.004). Pasien-pasien tersebut
lebih banyak yang menjalani pembedahan bariatric ( diet penurunan berat badan sebelum
operasi ) ( 20% versus 2%, p=0.002). Pasien dnegan resiko tinggi OSA lebih sering
mengalami kejadian tidak diharapkan pada saluran nafas ( 39% versus 10%, p< 0.001),
desaturasi ringan sampai dengan sedang ( 15% versus 0%, p=0.001) dan ketidakmampuan
bernafas dalam (35% versus 9%, p=0.001).
Kesimpulan : Setelah pembiusan total, pasien resiko tinggi OSA memiliki peningkatan
insidensi terjadinya komplikasi-komplikasi pada saluran nafas setelah operasi.
Kata Kunci: Obstructive sleep apnea, kejadian saluran nafas, kondisi paska operasi
Pendahuluan
Obstructive Sleep Apnea (OSA) dapat terjadi pada berbagai kelompok usia1 dan
merupakan bentuk umum dari kelainan pernapasan yang dialami 2-26% dari populasi
secara umum.2 Penelitian-penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa pasien dengan
OSA memilki hubungan dengan peningkatan kejadian mortalitas maupun morbiditas. 3,4
Pasien-pasien tersebut memiliki angka yang cukup tinggi untuk komplikasi-komplikasi
paska operasi.5-9 Oleh karena banyak pasien dengan OSA tidak secara formal didiagnosa
pada saat operasi, 10
maka penalataksanaan sebelum operasi serta langkah-langkah untuk
mengurangi resiko paska operasi sulit diterapkan. Diperkirakan bahwa terdapat sejumlah
besar pria maupun wanita dengan sleep apnea ringan sampai dengan berat yang tidak
terdiagnosa. 11 Overnight polysomnography (PSG) masih menjadi “ baku emas” untuk diagnosis OSA ,
akan tetapi tidak memungkinkan untuk dilakukan selama evaluasi sebelum operasi.
Pada pasien yang menjalani operasi, prevalensi OSA bahkan didapat lebih tinggi
dibanding pada populasi umum dan dapat bervariasi luas bergantung pada komorbiditas
medis yang dimiliki saat ini. 16
Khususnya, sebanyak 70% pasien yang menjalani operasi
bariatric ditemukan memiliki OSA.17 OSA telah dikenal sebagai suatu faktor resiko tidak
bergantung yang potensial untuk terjadinya kejadian tidak diharapkan selama operasi. 18
Pasien-pasien OSA yang menjalani prosedur operasi lebih rentan untuk mengalami
sumbatan saluran nafas paska operasi, 18
iskemik miokardium, gagal jantung kongestif,
stroke dan desaturasi okesigen. 18-20
Pasien dengan OSA dapat lebih rentan mengalami
komplikasi-komplikasi pernapasan selama periode operasi oleh karena penggunaan obat-
obatan selama pembiusan dapat meningkatkan resiko pemanjangan waktu terjadinya
apnea . 14
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi komplikasi-komplikasi awal
setelah operasi pada pasien dengan skor STOP-BANG > 3, setelah pembiusan total.
Metode
Komite Etik The Centro Hospitalar Sao Joao telah menyetujui penelitian ini serta
persetujuan medis / informed consent tertulis telah didapat dari seluruh partisipan. Centro
Hospitalar Sao Joao, di Porto, merupakan suatu rumah sakit tertier dengan 1124 tempat
tidur, pada suatu area metropolitan yang melayani sekitar 3.000.000 penduduk. Penelitian
kohort prospektif ganda ini dilakukan pada 13 tempat tidur di bangsal Perawatan Paska
Pembiusan (PACU) selama periode 3 minggu ( dari 9 Mei sampai dengan 27 Mei, 2011).
Setiap pasien yang dapat memberikan informed consent tertulis serta dirawat pada PACU
setelah menjalani pembiusan total, diikutsertakan ke dalam penelitian ini. Kriteria eksklusi
antara lain penolakan pasien, ketidakmampuan memberikan informed consent, skor Mini-
Mental State Examination (MMSE) sebesar <25, usia kurang dari 18 tahun, warga negara
asing, diketahui memiliki penyakit neuromuscular, riwayat operasi jantung dan operasi
urgensi/gawat darurat, riwayat operasi syaraf atau prosedur lainya yang membutuhkan
hipotermia terapeutik.
Seluruh pasien diwawancara baik sebelum hari operasi maupun pada hari H
operasi, maksimal 3 jam sbeelum operasi, pada bangsal bedah. Selama wawancara ini,
informed consent dimintakan , serta tes MMSE dan kuesionaire STOP-BANG diselesaikan
serta riwayat medis dikumpulkan.
Dokter atau perawat anestesi tidak mengetahui pasien mana yang diikutsertakan
dalam penelitian. Anestesi yang diberikan serta pengawasan yang dilakukan berdasarkan
kriteria dari dokter anestesi yang bertanggung jawab, namun tindakan yang diberikan
sudah sesuai dengan standar minimal dari bagian. Berdasarkan prosedur standar kami,
pembiusan total diinduksi dengan suatu obat anestesi intra vena yang dikombinasikan
dengan opioid, diikuti blokade neuromuscular bila perlu (NMB). Pembiusan dipertahankan
dengan pembiusan intra vena total ( TIVA) atau pembiusan inhalasi. Dokter/perawat
anestesi bebas memilih apakah perlu memberikan oksida nitrat. Penatalaksanaan cairan
berdasarkan anjuran daridokter/perawat anestesi.
Setelah pasien tiba di PACU, pasien diberikan oksigen melalui nasal kanul atau
sungkup muka, dengan pemilihan jenis dan konsentrasi oksigen ditentukan oleh
dokter/perawat anestesi yang bertugas di PACU.
Blokade neuromuskular residual (RNMB) didefinisikan sebagai TOF < 0.9 dan
dihitung pada saat dipindahkan ke PACU menggunakan acceleromyography pada otot
adductor policis (TOF-Watch®). Tiga angka TOF didapat ( dengan rentang waktu 15 detik),
dan nilai rata-rata ketiga nya di hitung. Jika nilai antara ketiga angka tersebut didapat lebih
dari 10%, maka dilakukan TOF tambahan dan rasio terdekat dari ketiga nya dihitung rata-
rata nya. Blok neuromuskuler di hitung kembali satu jam setelah TOF pasien berada pada
angka < 0.9.Ketika TOF pasien dibawah 0.9, maka perlu dilaporkan/ dikonsulkan ke
dokter/perawat anestesi.
Pasien dikategorikan sebagai resiko tinggi OSA (HR-OSA) jika skor STOP-BANG
didapat 3 atau lebih serta dikategorikan sebagai resiko rendah OSA (LR-OSA) jika didapat
skor kurang dari 3.
Variabel-variabel yang terdaftar pada rawat inap PACU yaitu usia, jenis kelamin,
jenis operasi ( intra-abdomen, otot skeletal, bariatric, leher dan kepala), indeks massa
tubuh, status fisik ASA, serta komorbiditas sebelum rawat inap. Dengan menggunakan
klasifikasi yang dikembangkan oleh Lee e col. untuk memprediksi resiko pada jantung,
kami menghitung indeks resiko jantung (RCRI) dari masing masing pasien, yang mana
menjadi poin penanda adanya faktor-faktor resiko : operasi resiko tinggi, riwayat penyakit
serebrovaskuler, terapi insulin sebelum operasi untuk diabetes mellitus dan nilai kreatinin
serum > 2.0 mg/dl sebelum operasi. 21
Resiko operasi dievaluasi menurut Stratifikasi
Resiko Kardiak untuk Prosedur Operasi Non-Kardiak pada Panduan Evaluasi Sebelum
Operasi Kardiovaskuler Tahun 2007 serta Panduan Praktik Klinis Perawatan untuk Operasi
Non-Kardiak oleh American College of Cardiology / American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines. 22
Suhu timpani pasien serta rasio rata-rata Train-of-four dicatat pada saat pasien
dipindah ke PACU. Seluruh pasien dilanjutkan pengawasan terhadap tekanan darah,
frekuensi jantung, elektrokardiogram (ECG) , saturasi okesigen perifer, serta rata-rata rasio
Train-of-Four yang dicatat saat pasien dipindahkan ke PACU.
Data paska operasi yang dikumpulkan antara lain mortalitas, lama rawat inap
keseluruhan di rumah sakit, serta lama rawat di PACU.
Software statistik yaitu SPSS untuk Windows versi 19.0 (SPSS, Chicago, IL)
digunakan untuk menganalisis data.
Hasil
Total didapat sebanyak 59 pasang subyek penelitian yang menjalani rawat inap di
PACU selama periode penelitian. Tabel 2 menunjukan karakteristik pasien yang dirawat
inap di PACU, data operasi, tatalaksana pembiusan, data paska operasi serta perbandingan
antara pasien HR-OSA dengan pasien LR-OSA. Kedua pasang subyek penelitian memilki
nilai tengah usia yaitu 56 tahun, dimana sebanyak 25% merupakan pria, dan sebanyak 59%
menjalani operasi intra abdomen. Kombinasi anestesi digunakan pada 13 dari 118 pasien
yang diteliti.
Pasien HR-OSA memiliki indeks massa tubuh yang lebih besar (nilai tengah 31
versus 24 kg/m2, p < 0.001) dan lebih sering dijumpai komorbiditas termasuk hipertensi
(58% versus 24%, p < 0.001), dyslipidemia (46% versus 17%, p < 0.001) serta diabetes
yang mendapat terapi insulin (17% versus 2%, p = 0.004). Pasien tersebut lebih banyak
yang menjalani operasi bariatric (20% versus 2%, p = 0.002).
Sebanyak 29 pasien dari keseluruhan populasi yang menderita ARE (24.6%; 95% interval
kepercayaan: 16.7, 32.5) (Tabel 3); Sebanyak 25 diantaranya tidak dapat bernafas dalam
ketika diminta (21.2%;95% interval kepercayaan: 13.7, 28.7), 9 memiliki gejala-gejala
berkaitan dengan kelemahan otot saluran nafas atas atau otot pernafasan (7.6%; 95%
interval kepercayaan: 2.8, 12.5), 9 dijumpai adany aperkembangan hipoksemia ringan-
sedang (7.6%; 95% interval kepercayaan: 2.8, 12.5), 6 dijumpai adanya sumbatan saluran
nafas atas (5.1%; 95% interval kepercayaan:1.1, 9.1), 5 dijumpai adanya hipoksemia berat
(4.2%; 95% interval kepercayaan: 0.1, 7.9) dan sebanyak 5 pasien dijumpai adanya tanda-
tanda gawat nafas (4.2%; 95% interval kepercayaan: 0.1, 7.9). Tidak ada satupun pasien
yang membutuhkan intubasi ulang atau memilki bukti klinis adanya kecurigaan aspirasi
pulmoner.
Pasien HR-OSA memilki nilai tengah lama rawat di PACU yang lebih panjang
( 120 menit versus 99 menit, p=0.035). Lama rawat inap di rumah sakit secara keseluruhan
didapat sama pada kedua kelompok pasien.
Pembahasan
Mayoritas pasien OSA yang direncanakan untuk menjalani operasi tanpa
penegakkan diagnosis secara formal. Keadaan ini banyak ditemui pada pasien yang
menjalani pembedahan dan dapat berakibat timbulnya kejadian yang tidak diharapkan
secara signifikan saat operasi berlangsung. 10 Saat sebelum operasi dilakukan, penting untuk
melakukan skrining OSA untuk mendukung penerapan strategi yang bertujuan
meminimalisasi resiko kejadian tidak diharapkan yang timbul selama operasi. Oleh karena
riwayat klinis merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan dalam menunjukkan
adanya OSA, dan oleh karena PSG tidak tersedia untuk seluruh pasien bedah maka
dibutuhkan suatu modalitas atau alat skrining yang efektif. 24
Kuesionaire STOP telah diuji pada pasien yang direncanakan menjalani operasi
sebelum operasi dilakukan sebagai suatu alat skrining dan didapat memiliki sensitifitas
yang tinggi serta Nilai Prediksi Negatif, khususnya untuk pasien dengan OSA sedang
sampai berat. 12,15
Insiden kejadian tidak diharapkan pada saluran nafas yang telah dilaporkan ditemui
pada PACU bervariasi secara luas, dimana dengan penelitian observasional didapat
insidensi sebesar 1.3% - 34% 25-27
bergantung pada ARE yang diteliti serta komorbiditas
pasien.
OSA telah disebutkan merupakan suatu faktor resiko tidak bergantung untuk
terjadinya komplikasi-komplikasi pulmoner saat operasi, 30 31
akan tetapi terdapat sedikit
bukti klinis yang menyebutkan komplikasi pernafasan pada pasien OSA yang dirawat di
PACU. Liao dkk8 mencatat bahwa mayoritas komplikasi paska operasi terjadi setelah
pasien ditransfer ke bangsal dan bahwa kontributor utama tingginya kejadian komplikasi
paska operasi pada pasien OSA adalah tingginya insidensi komplikasi pernafasan.
Pasien dengan HR-OSA dijumpai lebih sering mengalami RNMB dan lebih sering
membutuhkan operasi bariatric dan kedua faktor tersebut dapat bertanggung jawab terhadap
tingginya angka kejadian ARE.
ARE yang paling umum dialami oleh kelompok HR-OSA antara lain
ketidakmampuan untuk bernafas dalam, yang diamati pada 34% pasien. Hipoksemia
ringan-sedang merupakan ARE kedua yang paling umum ditemui pada kelompok HR-OSA
dan diamati pada 15% pasien. Penelitian terdahulu lain menunjukkan hasil yang sama
berkaitan dengan resiko tinggi terjadinya hipoksia 13, 35,36
akan tetapi penelitian ini
menunjukkan bahwa pada pasien dengan komorbiditas obese tidak didapat perbedaan
antara jumlah episode hipoksemia pada pasien OSA maupun non-OSA setelah operasi
bariatric. 37
Konsekuensi dari ARE ialah menunda pasien pulang dari PACU sehingga
menyulitkan perhitungan serta adanya penyimpangan atau perbedaan pada faktor-faktor
institusional misal pola staff , ukuran besar PACU, serta ketersediaan tempat tidur. Pada
penelitian ini, pasien OSA memilkii lama rawat inap di PACU yang lebih panjang, dimana
hasil ini sama dengan hasil yang didapat dari mayoritas penelitian yang sudah ada. 8
Kesimpulan
Kesimpulannya, ARE merupakan kejadian yang umum ditemui pada PACU dan
lebih banyak dijumpai pada pasien HR-OSA.
Penulisan
Seluruh nama yang disebutkan merupakan author/penulis yang berkontribusi
terhadap persiapan dari penulisan laporan serta tidak ada diluar penulis yang disebutkan
memiliki kontribusi signifikan dalam persiapan penelitian. Masing-masing penulis yang
disebutkan berpartisipasi pada keseluruhan isi sehingga para penulis tersebut mendukung
isi dari laporan yang dipublikasikan ini. Keseluruh peneliti telah membaca naskah laporan
sebelum diajukan untuk publikasi serta telah menandatangani pernyatan yang menyatakan
bahwa mereka telah membaca draft laporan serta telah setuju untuk dipublikasikan.
Konflik Kepentingan
Peneliti menyatakan bahwa tidak terdapat adanya konflik kepentingan.