Anda di halaman 1dari 15

Kejadian Tidak Diharapkan Setelah Pembiusan Total pada Pasien

dengan Resiko Tinggi Obstructive Sleep Apnea Syndrome

Daniela Xaráa, Júlia Mendonc¸aa, Helder Pereiraa, Alice Santosa,Fernando José


Abelha a,b,c,
a
Bagian Anestesi, Centro Hospitalar de São João, Porto, Portugal
b
Unit Anestesi dan Perawatan Selama Operasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Porto,
Porto, Portugal
c
Bagian Bedah Fakultas Kedokteran, Universitas Porto, Portugal

Abstrak
Pendahuluan : Pasien dengan skor STOP-BANG > 3 memiliki resiko tinggi Obstructive
Sleep Apnea Syndrome atau OSA. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengevaluasi
komplikasi awal pada saluran nafas paska operasi pada orang dewasa dengan skor STOP-
BANG >3 setelah pembiusan total.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif ganda yang mana
mencocokkan 59 pasang pasien dewasa dengan skor STOP-BANG > 3( resiko tinggi OSA)
dengan pasien yang memiliki skor STOP-BANG <3 ( resiko rendah OSA), dengan jenis
kelamin, usia dan jenis operasi yang sama, yang dirawat inap setelah menjalani operasi
selektif pada Bangsal Perawatan Paska Pembiusan di bulan Mei 2011. Keluaran primer
yaitu perkembangan munculnya kejadian yang tidak diharapkan. Data demografik,
variable-variabel sebelum operasi dan lama rawat inap paska operasi di Bangsal Perawatan
Paska Pembiusan serta di rumah sakit dicatat. Tes Mann-Whitney, tes chi-square, dan tes
Fisher exact digunakan untuk perbandingan.
Hasil: Subyek pada kedua pasang partisipan penelitian memiliki nilai tengah usia yaitu 56
tahun, terdiri atas 25% pria, dan sebanyak 59% menjalani operasi intra abdomen. Pasien
dengan resiko tinggi OSA memiliki nilai rata-rata indeks massa tubuh lebih tinggi ( 31
versus 24 kg/m2, p< 0.001) dan lebih sering dijumpai komorbiditas, termasuk hipertensi
( 58% versus 24%, p<0.001), dislipidemia ( 46% versus 17%, p< 0.001) dan diabetes
mellitus yang mendapat terapi insulin ( 17% versus 2%, p= 0.004). Pasien-pasien tersebut
lebih banyak yang menjalani pembedahan bariatric ( diet penurunan berat badan sebelum
operasi ) ( 20% versus 2%, p=0.002). Pasien dnegan resiko tinggi OSA lebih sering
mengalami kejadian tidak diharapkan pada saluran nafas ( 39% versus 10%, p< 0.001),
desaturasi ringan sampai dengan sedang ( 15% versus 0%, p=0.001) dan ketidakmampuan
bernafas dalam (35% versus 9%, p=0.001).
Kesimpulan : Setelah pembiusan total, pasien resiko tinggi OSA memiliki peningkatan
insidensi terjadinya komplikasi-komplikasi pada saluran nafas setelah operasi.
Kata Kunci: Obstructive sleep apnea, kejadian saluran nafas, kondisi paska operasi

Pendahuluan
Obstructive Sleep Apnea (OSA) dapat terjadi pada berbagai kelompok usia1 dan
merupakan bentuk umum dari kelainan pernapasan yang dialami 2-26% dari populasi
secara umum.2 Penelitian-penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa pasien dengan
OSA memilki hubungan dengan peningkatan kejadian mortalitas maupun morbiditas. 3,4
Pasien-pasien tersebut memiliki angka yang cukup tinggi untuk komplikasi-komplikasi
paska operasi.5-9 Oleh karena banyak pasien dengan OSA tidak secara formal didiagnosa
pada saat operasi, 10
maka penalataksanaan sebelum operasi serta langkah-langkah untuk
mengurangi resiko paska operasi sulit diterapkan. Diperkirakan bahwa terdapat sejumlah
besar pria maupun wanita dengan sleep apnea ringan sampai dengan berat yang tidak
terdiagnosa. 11 Overnight polysomnography (PSG) masih menjadi “ baku emas” untuk diagnosis OSA ,
akan tetapi tidak memungkinkan untuk dilakukan selama evaluasi sebelum operasi.

Tindakan rutin skrining sebelum operasi penting dilakukan untuk mengidentifikasi


pasien dengan diagnose OSA yang belum ditegakkan. 12-14
Banyak alat untuk mengskrining
pasien OSA yang telah digunakan – misal kuesionaire Berlin, kuesionaire STOP dan daftar
tilik American Society of Anesthesiologist (ASA) – dan penggunaanya meningkat terutama
dalam mengidentifikasi OSA sebelum operasi dilakukan.1,9,13,15 Kuesionaire STOP-BANG
(Tabel 1), yang mana telah teruji dapat digunakan untuk populasi yang menjalani operasi
oleh peneliti F.Chung dkk ,merupakan suatu model skoring yang terdiri atas 8 pertanyaan
yang tidak rumit, yang disingkat dengan akronim STOP-BANG ( snoring/mendengkur,
Tiredness during daytime/ lelah di siang hari, observed apnea/ sesak yang tampak, high
blood pressure/ tekanan darah tinggi, body mass index/ indeks massa tubuh, age/usia, neck
circumference/lingkar leher, gender/usia). Kuesionaire ini di hitung berdasarkan adanya
jawaban Ya/Tidak (skor: 1/0), dan rentang skor mulai dari 0 sampai dengan 8. Skor > 3
menunjukkan adanya sensitifitas tinggi untuk mendeteksi OSA: dimana sensitifitasnya
masing-masing 93% dan 100% untuk OSA sedang dan berat. 12
Oleh karena sensitifitas nya
yang tinggi serta penggunaanya yang mudah sebagai alat skrining, maka kuesionaire
STOP-BANG dipertimbangkan sebagai alat yang sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi
pasien dengan OSA sedang dan berat.

Pada pasien yang menjalani operasi, prevalensi OSA bahkan didapat lebih tinggi
dibanding pada populasi umum dan dapat bervariasi luas bergantung pada komorbiditas
medis yang dimiliki saat ini. 16
Khususnya, sebanyak 70% pasien yang menjalani operasi
bariatric ditemukan memiliki OSA.17 OSA telah dikenal sebagai suatu faktor resiko tidak
bergantung yang potensial untuk terjadinya kejadian tidak diharapkan selama operasi. 18
Pasien-pasien OSA yang menjalani prosedur operasi lebih rentan untuk mengalami
sumbatan saluran nafas paska operasi, 18
iskemik miokardium, gagal jantung kongestif,
stroke dan desaturasi okesigen. 18-20
Pasien dengan OSA dapat lebih rentan mengalami
komplikasi-komplikasi pernapasan selama periode operasi oleh karena penggunaan obat-
obatan selama pembiusan dapat meningkatkan resiko pemanjangan waktu terjadinya
apnea . 14
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi komplikasi-komplikasi awal
setelah operasi pada pasien dengan skor STOP-BANG > 3, setelah pembiusan total.

Metode
Komite Etik The Centro Hospitalar Sao Joao telah menyetujui penelitian ini serta
persetujuan medis / informed consent tertulis telah didapat dari seluruh partisipan. Centro
Hospitalar Sao Joao, di Porto, merupakan suatu rumah sakit tertier dengan 1124 tempat
tidur, pada suatu area metropolitan yang melayani sekitar 3.000.000 penduduk. Penelitian
kohort prospektif ganda ini dilakukan pada 13 tempat tidur di bangsal Perawatan Paska
Pembiusan (PACU) selama periode 3 minggu ( dari 9 Mei sampai dengan 27 Mei, 2011).
Setiap pasien yang dapat memberikan informed consent tertulis serta dirawat pada PACU
setelah menjalani pembiusan total, diikutsertakan ke dalam penelitian ini. Kriteria eksklusi
antara lain penolakan pasien, ketidakmampuan memberikan informed consent, skor Mini-
Mental State Examination (MMSE) sebesar <25, usia kurang dari 18 tahun, warga negara
asing, diketahui memiliki penyakit neuromuscular, riwayat operasi jantung dan operasi
urgensi/gawat darurat, riwayat operasi syaraf atau prosedur lainya yang membutuhkan
hipotermia terapeutik.

Seluruh pasien diwawancara baik sebelum hari operasi maupun pada hari H
operasi, maksimal 3 jam sbeelum operasi, pada bangsal bedah. Selama wawancara ini,
informed consent dimintakan , serta tes MMSE dan kuesionaire STOP-BANG diselesaikan
serta riwayat medis dikumpulkan.

Dokter atau perawat anestesi tidak mengetahui pasien mana yang diikutsertakan
dalam penelitian. Anestesi yang diberikan serta pengawasan yang dilakukan berdasarkan
kriteria dari dokter anestesi yang bertanggung jawab, namun tindakan yang diberikan
sudah sesuai dengan standar minimal dari bagian. Berdasarkan prosedur standar kami,
pembiusan total diinduksi dengan suatu obat anestesi intra vena yang dikombinasikan
dengan opioid, diikuti blokade neuromuscular bila perlu (NMB). Pembiusan dipertahankan
dengan pembiusan intra vena total ( TIVA) atau pembiusan inhalasi. Dokter/perawat
anestesi bebas memilih apakah perlu memberikan oksida nitrat. Penatalaksanaan cairan
berdasarkan anjuran daridokter/perawat anestesi.

Obat-obatan penghambat neuromuscular (NMBD) diberikan untuk intubasi trakea,


dan bolus tambahan juga diberikan jika perlu. Tidak ada kebijakan tertulis yang ada
berkaitan dengan pengawasan neuromuscular, sehingga pengawasan nya dilakukan
terpisah oleh dokter anestesi.

Untuk memastikan bahwa dokter/perawat anestesi yang bertanggung jawab benar-


benar tidak mengetahui partisipasi pasien dalam penelitian, maka kami tidak melakukan
observasi selama operasi ataupun interpretasi Train-of-four (TOF). Dokter/perawat anestesi
bebas untuk menentukan apakah akan mengembalikan NMB dengan pemberian
neostigmine pada akhir prosedur operasi. Umumnya, pasien di ekstubasi di ruang operasi
dan kemudian ditransfer ke PACU. Seluruh subyek diberikan oksigen 100% melalui
sungkup muka setelah ekstubasi trakeal. Dokter/perawat anestesi yang bertanggung jawab
menentukan apakah akan memberikan oksigen selama waktu saat pasien dipindahkan ke
brankar atau saat dipindah ke PACU.

Setelah pasien tiba di PACU, pasien diberikan oksigen melalui nasal kanul atau
sungkup muka, dengan pemilihan jenis dan konsentrasi oksigen ditentukan oleh
dokter/perawat anestesi yang bertugas di PACU.

Blokade neuromuskular residual (RNMB) didefinisikan sebagai TOF < 0.9 dan
dihitung pada saat dipindahkan ke PACU menggunakan acceleromyography pada otot
adductor policis (TOF-Watch®). Tiga angka TOF didapat ( dengan rentang waktu 15 detik),
dan nilai rata-rata ketiga nya di hitung. Jika nilai antara ketiga angka tersebut didapat lebih
dari 10%, maka dilakukan TOF tambahan dan rasio terdekat dari ketiga nya dihitung rata-
rata nya. Blok neuromuskuler di hitung kembali satu jam setelah TOF pasien berada pada
angka < 0.9.Ketika TOF pasien dibawah 0.9, maka perlu dilaporkan/ dikonsulkan ke
dokter/perawat anestesi.

Pasien dikategorikan sebagai resiko tinggi OSA (HR-OSA) jika skor STOP-BANG
didapat 3 atau lebih serta dikategorikan sebagai resiko rendah OSA (LR-OSA) jika didapat
skor kurang dari 3.

Desain penelitian kohort ganda dengan penjabaran kasus secara prospektif


diterapkan pada penelitian ini. Seluruh kasus HR-OSA yang ditemui selama periode
penelitian diidentifikasi serta kemudian dipasangkan dengan pasien kontrol terpilih untuk
perbandingan. Kasus dan kontrol ditentukan atau diidentifikasi dengan mengumpulkan data
pada seluruh pasien yang datang di PACU selama periode penelitian secara konsekutif.
Kasus terdiri atas seluruh pasien HR-OSA dan dipasangkan dengan pasien yang memilki
kesamaan dalam hal jenis kelamin, usia , jenis operasi intraabdomen, musculoskeletal atau
kepala dan leher yang sama, yang dirawat di PACU setelah pemberian bius total untuk
operasi elektif.

Pasien LR-OSA dikategorikan berdasarkan pencocokan satu sama lain dengan


pasien HR-OSA dan dipilih dari pasien tanpa skor STOP-BANG > 3 secara konsekutif
menurut karakteristik yang dicocokkan.

Variabel-variabel yang terdaftar pada rawat inap PACU yaitu usia, jenis kelamin,
jenis operasi ( intra-abdomen, otot skeletal, bariatric, leher dan kepala), indeks massa
tubuh, status fisik ASA, serta komorbiditas sebelum rawat inap. Dengan menggunakan
klasifikasi yang dikembangkan oleh Lee e col. untuk memprediksi resiko pada jantung,
kami menghitung indeks resiko jantung (RCRI) dari masing masing pasien, yang mana
menjadi poin penanda adanya faktor-faktor resiko : operasi resiko tinggi, riwayat penyakit
serebrovaskuler, terapi insulin sebelum operasi untuk diabetes mellitus dan nilai kreatinin
serum > 2.0 mg/dl sebelum operasi. 21
Resiko operasi dievaluasi menurut Stratifikasi
Resiko Kardiak untuk Prosedur Operasi Non-Kardiak pada Panduan Evaluasi Sebelum
Operasi Kardiovaskuler Tahun 2007 serta Panduan Praktik Klinis Perawatan untuk Operasi
Non-Kardiak oleh American College of Cardiology / American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines. 22

Premedikasi dengan benzodiazepine dan penggunaan jangka lama nya dicatat.


Detail-detail selama operasi juga dicatat termasuk jenis dan durasi pembiusan, serta
penggunaan NMBD dan neostigmine.

Suhu timpani pasien serta rasio rata-rata Train-of-four dicatat pada saat pasien
dipindah ke PACU. Seluruh pasien dilanjutkan pengawasan terhadap tekanan darah,
frekuensi jantung, elektrokardiogram (ECG) , saturasi okesigen perifer, serta rata-rata rasio
Train-of-Four yang dicatat saat pasien dipindahkan ke PACU.

Data paska operasi yang dikumpulkan antara lain mortalitas, lama rawat inap
keseluruhan di rumah sakit, serta lama rawat di PACU.

Kejadian Tidak Diharapkan Awal Dari Saluran Pernapasan Paska Operasi


Tiap kejadian tidak diharapkan dari saluran pernapasan paska operasi (ARE)
didefinisikan pada formulir pengumpulan data sesuai dengan kriteria yang dibuat
berdasarkan klasifikasi yang dijelaskan oleh peneliti Murphy dkk yaitu antara lain : 23
1. Obstruksi saluran nafas atas yang membutuhkan intervensi ( jaw thrust, saluran
pernapasan oral maupun nasal).
2. Hipoksemi ringan-sedang (saturasi O2 (SpO2) sebesar 93%-90%) saat pemberian
nasal kanul O2 3 liter dimana tidak mengalami kemajuan setelah dilakukan
intervensi aktif ( peningkatan aliran O2 sampai dengan 3L/menit, pemberian
sungkup muka O2 aliran tinggi, permintaan verbal untuk bernafas dalam, stimulasi
taktil)
3. Hipoksemia berat ( SpO2 <90%) saat pemberian nasal kanul O2 3 liter dimana tidak
mengalami kemajuan setelah dilakukan intervensi aktif ( peningkatan aliran 0 2
sampai dengan 3L/menit, pemberian sungkup muka O2 aliran tinggi, permintaan
verbal untuk bernafas dalam, stimulasi taktil)
4. Tanda-tanda adanya gawat nafas atau ancaman kegagalan ventilasi ( frekuensi nafas
> 20 kali per menit, penggunaan otot-otot aksesorius, serta adanya tarikan/deviasi
trakea)
5. Ketidakmampuan untuk bernafas dalam ketika diminta oleh perawat PACU
6. Pasien mengeluhkan gejala-gejala kelemahan otot saluran nafas atau pernafasan
( kesulitan bernafas, pembengkakan, atau sulit berbicara).
7. Pasien yang membutuhkan intubasi ulang saat berada di PACU
8. Bukti klinis atau kecurigaan adanya aspirasi pulmoner setelah ekstubasi trakeal ( isi
gaster dijumpai pada orofaring atau adanya hipoksemia)

Selama dirawat di PACU, pasien diawasi secara kontinyu oleh perawat-perawat


PACU yang telah dihubungi oleh investigator penelitian tanpa adanya jeda jika ARE
dijumpai. Ketidakmampuan untuk bernapas dalam dan penatalaksanaan gejala kelemahan
otot nafas atas maupun pernafasan dilakukan dengan interval 10 menit. Satu investigator
penelitian lainnya kemudian mengamati pasien untuk memastikan bahwa pasien tersebut
memenuhi minimal salah satu kriteria dari ARE.
Analisis Statistik
Analisis deskriptif dari variable digunakan untuk menyimpulkan data serta tes
Mann-Whitney U digunakan untuk membandingkan variabel-variabel kontiyu antar
individu kelompok; Tes Chi Square dan Tes Fischer Exact digunakan untuk
membandingkan proporsi antar individu kelompok. Seluruh variable dianggap signifikan
ketika didapat p< 0.05.

Software statistik yaitu SPSS untuk Windows versi 19.0 (SPSS, Chicago, IL)
digunakan untuk menganalisis data.

Hasil
Total didapat sebanyak 59 pasang subyek penelitian yang menjalani rawat inap di
PACU selama periode penelitian. Tabel 2 menunjukan karakteristik pasien yang dirawat
inap di PACU, data operasi, tatalaksana pembiusan, data paska operasi serta perbandingan
antara pasien HR-OSA dengan pasien LR-OSA. Kedua pasang subyek penelitian memilki
nilai tengah usia yaitu 56 tahun, dimana sebanyak 25% merupakan pria, dan sebanyak 59%
menjalani operasi intra abdomen. Kombinasi anestesi digunakan pada 13 dari 118 pasien
yang diteliti.

Pasien HR-OSA memiliki indeks massa tubuh yang lebih besar (nilai tengah 31
versus 24 kg/m2, p < 0.001) dan lebih sering dijumpai komorbiditas termasuk hipertensi
(58% versus 24%, p < 0.001), dyslipidemia (46% versus 17%, p < 0.001) serta diabetes
yang mendapat terapi insulin (17% versus 2%, p = 0.004). Pasien tersebut lebih banyak
yang menjalani operasi bariatric (20% versus 2%, p = 0.002).
Sebanyak 29 pasien dari keseluruhan populasi yang menderita ARE (24.6%; 95% interval
kepercayaan: 16.7, 32.5) (Tabel 3); Sebanyak 25 diantaranya tidak dapat bernafas dalam
ketika diminta (21.2%;95% interval kepercayaan: 13.7, 28.7), 9 memiliki gejala-gejala
berkaitan dengan kelemahan otot saluran nafas atas atau otot pernafasan (7.6%; 95%
interval kepercayaan: 2.8, 12.5), 9 dijumpai adany aperkembangan hipoksemia ringan-
sedang (7.6%; 95% interval kepercayaan: 2.8, 12.5), 6 dijumpai adanya sumbatan saluran
nafas atas (5.1%; 95% interval kepercayaan:1.1, 9.1), 5 dijumpai adanya hipoksemia berat
(4.2%; 95% interval kepercayaan: 0.1, 7.9) dan sebanyak 5 pasien dijumpai adanya tanda-
tanda gawat nafas (4.2%; 95% interval kepercayaan: 0.1, 7.9). Tidak ada satupun pasien
yang membutuhkan intubasi ulang atau memilki bukti klinis adanya kecurigaan aspirasi
pulmoner.

Pasien dengan HR-OSA lebih sering mengalami komplikasi-komplikasi pernafasan


saat dirawat di PACU (39% versus 10%, p< 0.001). Hanya pasien HR-OSA dengan
hipoksemia ringan-sedang yang menunjukkan tingginya ketidakmampuan untuk bernafas
dalam ( 34% versus 9%, p=0.001).

Pasien HR-OSA memilki nilai tengah lama rawat di PACU yang lebih panjang
( 120 menit versus 99 menit, p=0.035). Lama rawat inap di rumah sakit secara keseluruhan
didapat sama pada kedua kelompok pasien.

Pembahasan
Mayoritas pasien OSA yang direncanakan untuk menjalani operasi tanpa
penegakkan diagnosis secara formal. Keadaan ini banyak ditemui pada pasien yang
menjalani pembedahan dan dapat berakibat timbulnya kejadian yang tidak diharapkan
secara signifikan saat operasi berlangsung. 10 Saat sebelum operasi dilakukan, penting untuk
melakukan skrining OSA untuk mendukung penerapan strategi yang bertujuan
meminimalisasi resiko kejadian tidak diharapkan yang timbul selama operasi. Oleh karena
riwayat klinis merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan dalam menunjukkan
adanya OSA, dan oleh karena PSG tidak tersedia untuk seluruh pasien bedah maka
dibutuhkan suatu modalitas atau alat skrining yang efektif. 24

Kuesionaire STOP telah diuji pada pasien yang direncanakan menjalani operasi
sebelum operasi dilakukan sebagai suatu alat skrining dan didapat memiliki sensitifitas
yang tinggi serta Nilai Prediksi Negatif, khususnya untuk pasien dengan OSA sedang
sampai berat. 12,15
Insiden kejadian tidak diharapkan pada saluran nafas yang telah dilaporkan ditemui
pada PACU bervariasi secara luas, dimana dengan penelitian observasional didapat
insidensi sebesar 1.3% - 34% 25-27
bergantung pada ARE yang diteliti serta komorbiditas
pasien.

Berbagai penelitian berbeda telah dilakukan dan menunjukkan adanya hubungan


antara OSA dengan komorbiditas 8 28, 29
dan pada penelitian kami pasien dengan HR-OSA
lebih sering dijumpai adanya hipertensi, dislipidemia dan gagal ginjal, tetapi kami tidak
dapat menunjukkan adanya hubungan antara OSA dengan penyakit jantung kongestif atau
iskemik yang mana dikembangkan oleh peneliti lain. 28,29
Salah satu penyebab tidak
didapatkannya hasil tersebut dapat dikarenakan relative rendahnya nilai tengah usia dari
populasi kami.

OSA telah disebutkan merupakan suatu faktor resiko tidak bergantung untuk
terjadinya komplikasi-komplikasi pulmoner saat operasi, 30 31
akan tetapi terdapat sedikit
bukti klinis yang menyebutkan komplikasi pernafasan pada pasien OSA yang dirawat di
PACU. Liao dkk8 mencatat bahwa mayoritas komplikasi paska operasi terjadi setelah
pasien ditransfer ke bangsal dan bahwa kontributor utama tingginya kejadian komplikasi
paska operasi pada pasien OSA adalah tingginya insidensi komplikasi pernafasan.

Penelitian kami menunjukkan bahwa setelah operasi, pasien HR-OSA memilki


resiko tinggi mengalami ARE dan akan meningkat 4 kali lipat pada pasien yang dirawat di
PACU dibandingkan dengan pasien LR-OSA. Hal ini didasarkan pada penelitian Liao dkk
yang telah menunjukkan adanya angka insidensi tinggi dari komplikasi pulmoner pada
pasien dengan OSA ( 33% versus 22%).

Komplikasi pernafasan pada periode segera setelah operasi berakibat pada


peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. 32
Fisiologi pulmoner dan faring dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor selama operasi yang mana berdampak merugikan pada
pasien dengan OSA 33,34. Kerusakan aktifitas otot-otot faring dipicu oleh faktor-faktor yang
berhubungan dengan farmakologis dan mekanis , dapat dianggap sebagai faktor yang
mengganggu yang dapat meningkatkan resiko terjadinya ARE selama periode paska operasi
pada pasien dengan OSA. 23
. Penelitian mengenai dampak pemberian anestesi bukan
merupakan tujuan dari penelitian ini, maka penulis memilih untuk mengobservasi berbagai
anestesi berbeda yang digunakan. Faktanya, hanya 11% dari pasien diberikan anestesi
kombinasi, sehingga dampaknya terhadap ARE tidak dapat diamati.

Pasien dengan HR-OSA dijumpai lebih sering mengalami RNMB dan lebih sering
membutuhkan operasi bariatric dan kedua faktor tersebut dapat bertanggung jawab terhadap
tingginya angka kejadian ARE.

ARE yang paling umum dialami oleh kelompok HR-OSA antara lain
ketidakmampuan untuk bernafas dalam, yang diamati pada 34% pasien. Hipoksemia
ringan-sedang merupakan ARE kedua yang paling umum ditemui pada kelompok HR-OSA
dan diamati pada 15% pasien. Penelitian terdahulu lain menunjukkan hasil yang sama
berkaitan dengan resiko tinggi terjadinya hipoksia 13, 35,36
akan tetapi penelitian ini
menunjukkan bahwa pada pasien dengan komorbiditas obese tidak didapat perbedaan
antara jumlah episode hipoksemia pada pasien OSA maupun non-OSA setelah operasi
bariatric. 37

Konsekuensi dari ARE ialah menunda pasien pulang dari PACU sehingga
menyulitkan perhitungan serta adanya penyimpangan atau perbedaan pada faktor-faktor
institusional misal pola staff , ukuran besar PACU, serta ketersediaan tempat tidur. Pada
penelitian ini, pasien OSA memilkii lama rawat inap di PACU yang lebih panjang, dimana
hasil ini sama dengan hasil yang didapat dari mayoritas penelitian yang sudah ada. 8

Penelitian kami memiliki sejumlah keterbatasan yang perlu diketahui. Pertama,


jumlah sampel kecil dan dilakukan pada satu pusat pelayanan kesehatan, sehingga sulit
untuk menyamaratakan hasil yang didapat pada penelitian kami. Kedua, kami hanya
bergantung pada skor STOP-BANG untuk menegakkan diagnosis OSA oleh karena tidak
ada data polisomnografik yang tersedia untuk seluruh pasien; sehingga, kami tidak dapat
menghitung derajat severitas dari pasien HR-OSA. Ketiga, definisi dari ARE memiilki
beberapa kriteria yang sifatnya subyektif yang mana akan mempengaruhi diagnosis.
Keempat, kejadian tidak diharapkan yang diamati hanya ketika pasien dirawat di PACU
serta komplikasi yang dapat terjadi setelah pasien pulang dari PACU tidak dicatat.

Dan terakhir, walaupun penulis berusaha untuk menyamakan karakteristik


khususnya berkaitan dengan jenis operasi yang dilakukan pada kedua kelompok yang
diteliti, namun pasien HR-OSA lebih sering menjalani operasi bariatric dan hal ini dapat
berdampak pada kejadian ARE diantara pasien-pasien tersebut.
Prinsip temuan dari penelitian ini adalah bahwa pasien dengan skor STOP-BANG >
3 memiliki suatu indeks massa tubuh lebih besar serta lebih banyak menjalani oeprasi
bariatric; pasien HR-OSA lebih banyak dijumpai komorbiditas , antara lain hipertensi,
dyslipidemia dan diabetes mellitus dengan terapi insulin; pasien dengan skor STOP BANG
> 3 memilki insidensi lebih tinggi terjadinya komplikasi pernafasan paska operasi;
ketidakmampuan untuk bernafas dalam serta hipoksia ringan/sedang merupakan kejadian
tidak diharapkan pada saluran pernapasan yang sering dijumpai pada periode segera setelah
operasi dan akan lebih banyak lagi dijumpai pada pasien resiko tinggi OSA.

Kesimpulan
Kesimpulannya, ARE merupakan kejadian yang umum ditemui pada PACU dan
lebih banyak dijumpai pada pasien HR-OSA.

Penulisan
Seluruh nama yang disebutkan merupakan author/penulis yang berkontribusi
terhadap persiapan dari penulisan laporan serta tidak ada diluar penulis yang disebutkan
memiliki kontribusi signifikan dalam persiapan penelitian. Masing-masing penulis yang
disebutkan berpartisipasi pada keseluruhan isi sehingga para penulis tersebut mendukung
isi dari laporan yang dipublikasikan ini. Keseluruh peneliti telah membaca naskah laporan
sebelum diajukan untuk publikasi serta telah menandatangani pernyatan yang menyatakan
bahwa mereka telah membaca draft laporan serta telah setuju untuk dipublikasikan.

Fernando Albeha mengatur koordinasi berkaitan dengan penelitian, melakukan


analisis statistic serta menulis konsep laporan. Daniela Xara berpartisipasi dalam hal
desain penelitian serta memberikan revisi kritis untuk konsep laporan penelitian. Julia
Mendoca berpartisipasi dalam hal desain penelitian, membantu membangun data basis
penelitian. Helder Pereira berpartisipasi dalam hal desain penelitian, mengkoordinasi
databasis serta memilki kontribusi penting dalam analisis dan interpretasi data, menulis
konsep laporan penelitian serta mengkoordinasi revisi terhadap laporan final .

Konflik Kepentingan
Peneliti menyatakan bahwa tidak terdapat adanya konflik kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai